93
1 CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE HEAD INJURY IN PREGNANT PATIENTS M. Zafrullah Arifin, Subrady Leo SS, Firman Priguna T Divisi Trauma Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Dr. Hasan Sadikin-Bandung Abstract Background and Objective: Head injury in pregnancy can increase the risks of mortality and morbidity, both for the mother and fetus. Common complications are including death, shock, intrauterine bleeding, intrauterine fetal death, fetal trauma, placental abruptio and, uterine rupture. Motor vehicle accident, falls, assault and gun shot wound are the primary cause of injury. Treatment and recognition of this cases are unique, even though the main target are early evaluation and resuscitation of the mother and afterward, the fetus. Tococardiography monitoring, ultrasound, and head CT Scan can be perform with or without craniotomy and caesarean section. Subject and Method: An observasional study taken from the year of 2008-2012, a serial case report in pregnant women with severe head injury undergoing operation for evacuation of hematoma. Result: During the last 3 years, three patients had underwent surgery for head injury with two of them underwent a sectio caesarean procedure. Conclusion: The incidence of head injury in pregnant women is considered very rare and an early multidiciplinary management for head injury in pregnancy can decrease the risk of morbidity and mortality for both the mother and the fetus. Key Word : Head injury, pregnancy, surgery, outcome JNI 2012;1(3):149-157 Abstrak Latar Belakang dan Tujuan: Cedera kepala pada wanita dengan kehamilan dapat meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janinnya. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain kematian ibu, syok, perdarahan intrauterin, kematian janin intrauterin, trauma janin, abruptio placenta, ruptur uterin. Penyebab tersering dari trauma tersebut antara lain kecelakaan lalulintas, terjatuh dari ketinggian, kekerasan dalam rumah tangga, dan luka tembak. Banyak penilaian dan penanganan yang unik untuk kasus ini, meskipun evaluasi awal dan resusitasi sasaran utama untuk menyelamatkan ibu. Setelah keadaan ibu stabil baru dilakukan evaluasi dan penilaian dari janin. Monitoring tokokardiografi, pemeriksaan ultrasound, CT-Scan kepala dapat dilakukan disertai dengan tindakan kraniotomi dan atau seksio sesarea. Subjek dan Metode: Penelitian observasional dari tahun 2008-2012, serial kasus, pada wanita hamil yang mengalami cedera kepala berat dan dilakukan operasi untuk evakuasi hematoma. Hasil: Selama 3 tahun terakhir telah dilakukan tindakan pembedahan untuk penderita cedera kepala dengan kehamilan sebanyak 3 kasus, dua diantaranya disertai dengan seksio sesarea. Simpulan: Kasus cedera kepala pada wanita dengan kehamilan tergolong jarang dan penanganan dini multidisiplin pada cedera kepala berat pada kehamilan dapat menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin Kata kunci : Cedera kepala, kehamilan, pembedahan, luaran JNI 2012;1(3):149-157 I. Pendahuluan Insidensi kejadiaan trauma pada kehamilan yang dilaporkan sekitar 6-7%. Trauma yang terjadi pada masa kehamilan merupakan penyebab utama kematian ibu. Kematian ibu akibat trauma pada kehamilan diperkirakan terjadi pada 10% kasus, sedangkan angka kematian janin didapatkan nilai yang lebih tinggi yaitu 61%. Kematian janin akibat trauma lebih sulit diprediksi. Meskipun telah banyak penelitian yang menyatakan peningkatan angka kematian janin berbanding lurus dengan derajat beratnya trauma yang dialami sang ibu,

CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

1

CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL

SEVERE HEAD INJURY IN PREGNANT PATIENTS M. Zafrullah Arifin, Subrady Leo SS, Firman Priguna T

Divisi Trauma Departemen Bedah Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Dr. Hasan Sadikin-Bandung

Abstract

Background and Objective: Head injury in pregnancy can increase the risks of mortality and morbidity, both

for the mother and fetus. Common complications are including death, shock, intrauterine bleeding, intrauterine

fetal death, fetal trauma, placental abruptio and, uterine rupture. Motor vehicle accident, falls, assault and gun

shot wound are the primary cause of injury. Treatment and recognition of this cases are unique, even though the

main target are early evaluation and resuscitation of the mother and afterward, the fetus. Tococardiography

monitoring, ultrasound, and head CT Scan can be perform with or without craniotomy and caesarean section.

Subject and Method: An observasional study taken from the year of 2008-2012, a serial case report in pregnant

women with severe head injury undergoing operation for evacuation of hematoma.

Result: During the last 3 years, three patients had underwent surgery for head injury with two of them underwent a sectio caesarean procedure.

Conclusion: The incidence of head injury in pregnant women is considered very rare and an early

multidiciplinary management for head injury in pregnancy can decrease the risk of morbidity and mortality for

both the mother and the fetus.

Key Word : Head injury, pregnancy, surgery, outcome

JNI 2012;1(3):149-157

Abstrak Latar Belakang dan Tujuan: Cedera kepala pada wanita dengan kehamilan dapat meningkatkan resiko

morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janinnya. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain kematian ibu, syok,

perdarahan intrauterin, kematian janin intrauterin, trauma janin, abruptio placenta, ruptur uterin. Penyebab

tersering dari trauma tersebut antara lain kecelakaan lalulintas, terjatuh dari ketinggian, kekerasan dalam rumah

tangga, dan luka tembak. Banyak penilaian dan penanganan yang unik untuk kasus ini, meskipun evaluasi awal

dan resusitasi sasaran utama untuk menyelamatkan ibu. Setelah keadaan ibu stabil baru dilakukan evaluasi dan

penilaian dari janin. Monitoring tokokardiografi, pemeriksaan ultrasound, CT-Scan kepala dapat dilakukan

disertai dengan tindakan kraniotomi dan atau seksio sesarea.

Subjek dan Metode: Penelitian observasional dari tahun 2008-2012, serial kasus, pada wanita hamil yang

mengalami cedera kepala berat dan dilakukan operasi untuk evakuasi hematoma.

Hasil: Selama 3 tahun terakhir telah dilakukan tindakan pembedahan untuk penderita cedera kepala dengan kehamilan sebanyak 3 kasus, dua diantaranya disertai dengan seksio sesarea.

Simpulan: Kasus cedera kepala pada wanita dengan kehamilan tergolong jarang dan penanganan dini

multidisiplin pada cedera kepala berat pada kehamilan dapat menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas untuk

ibu dan janin

Kata kunci : Cedera kepala, kehamilan, pembedahan, luaran

JNI 2012;1(3):149-157

I. Pendahuluan

Insidensi kejadiaan trauma pada kehamilan yang

dilaporkan sekitar 6-7%. Trauma yang terjadi pada

masa kehamilan merupakan penyebab utama

kematian ibu. Kematian ibu akibat trauma pada

kehamilan diperkirakan terjadi pada 10% kasus,

sedangkan angka kematian janin didapatkan nilai

yang lebih tinggi yaitu 61%. Kematian janin akibat

trauma lebih sulit diprediksi. Meskipun telah

banyak penelitian yang menyatakan peningkatan

angka kematian janin berbanding lurus dengan

derajat beratnya trauma yang dialami sang ibu,

Page 2: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

akan tetapi penelitian-penelitian ini tidak mengungkapkan faktor prediksi kematian janin.1-7

Kemungkinan kehamilan harus dipertimbangkan

pada setiap wanita yang berumur antara 10 dan 50

tahun. Kehamilan menyebabkan perubahan

fisiologi yang nyata dan perubahan anatomis pada

hampir semua organ tubuh. Perubahan struktur dan

fungsi ini dapat mempengaruhi evaluasi penderita

trauma yang hamil karena perubahan tanda dan

gejala yang ditemukan, cara dan respon terhadap

resusitasi maupun hasil-hasil pemeriksaan.

Kehamilan juga dapat mempengaruhi pola maupun beratnya cedera. Dalam menangani penderita

trauma yang hamil, harus selalu diingat ada dua

korban, walaupun demikian pengelolaan penderita

hamil sama seperti tidak hamil. Harus difahami

dengan baik hubungan fisiologis antara ibu dengan

janinnya bila ingin memberikan pengobatan terbaik

untuk keduanya. Perawatan yang terbaik untuk

janin adalah dengan resusitasi optimal terhadap ibu

dan penilaian dini terhadap janinnya. Cara evaluasi

dan pemantauan harus meliputi ibu maupun anak. 7

Meskipun ringan, cedera kepala yang terjadi pada

wanita yang sedang hamil dapat mengancam kehidupan bagi ibu dan janinnya. Kecelakaan

lalulintas merupakan penyebab utama cedera kepala

dan sering disertai dengan cedera lain seperti cedera

perut. Pada wanita hamil, hal ini dapat berujung

pada kematian akibat dengan cedera kepala berat

dan syok perdarahan.

Semua trauma terutama cedera kepala berpotensi

bahaya pada kehidupan janin berhubungan dengan

kelainan sistemik dan otak seperti hipotensi arterial

akibat trauma, anoksia atau anemia. Selain itu

prosedur diagnosis dan medikasi dapat membahayakan janin. Pengambilan keputusan

dalam menyelamatkan nyawa pada lesi

dienchephalon membutuhkan kerjasama antara

dokter intensivis, dokter bedah saraf, dokter

kebidanan dan kandungan, dokter anak dan dokter

anestesi terutama pada keadaan koma yang tidak

diketahui kapan penderita akan sadar kembali.

Kebanyakan mekanisme cedera sama seperti

penderita tidak hamil, namun ada perbedaan yang

harus diketahui pada penderita hamil. Tujuh belas

persen penderita hamil adalah cedera akibat ulah orang lain dan 60% penderita ini mengalami

kekerasan dalam rumah tangga yang berulang.2-7

Beratnya trauma akan menentukan hasil akhir pada

ibu dan anak. Karenanya cara terapi juga

tergantung pada beratnya trauma yang dialami ibu.

Semua penderita hamil yang mengalami cedera

berat memerlukan terapi di pusat trauma yang

mempunyai pelayanan obstetrik karena ada

peningkatan angka kematiaan ibu dan anak pada

kelompok ini. Delapan puluh persen penderita hamil yang cedera dan datang dalam keadaan syok,

akan mengalami kematian bayi walaupun ibunya

hidup. Bahkan penderita hamil dengan cedera

ringan harus berhati-hati karena dapat mengalami

solusio plasenta dan kematian bayi, sehingga perlu

dilakukan pemantauan. Trauma langsung pada

janin biasanya terjadi pada kehamilan lanjut dan

umumnya disertai cedera berat pada ibu. 1-7

II.Subjek dan Metode

Dilakukan penelitian observasional serial kasus, dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012, pada

wanita hamil yang mengalami cedera kepala dan

dilakukan operasi evakuasi hematoma di RS Dr.

Hasan Sadikin-Bandung

III. Hasil

Kasus

Kasus 1

Wanita 16 tahun yang sebelumnya sehat G1P0A0

datang dengan kehamilan 33-34 minggu karena

cedera kepala berat akibat terjatuh saat sedang menjemur pakaiannya dilantai dua. Setelah

kejadian penderita sempat sadar dan mengeluh

nyeri kepala tanpa disertai keluar cairan jernih atau

darah dari hidung, telinga dan mulut. Keluar darah

atau cairan jernih dari jalan lahir. Tiga puluh menit

kemudian penderita menjadi mengantuk dan sulit

untuk dibangunkan, karena keluhannya kemudian

dibawa ke rumah sakit Astana Anyar Bandung,

karena keterbatasan alat kemudian dirujuk ke

rumah sakit Hasan Sadikin Bandung.

Gambar 1.

Page 3: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

3 Cedera Kepala Berat Pada Pasien Hamill

Gambar.2

Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan

didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan

intubasi dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan

dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada

pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E2M4VT=7 pupil bulat anisokor diameter mata kanan lebih

besar dan reflex cahaya mata kanan menurun di

bandingkan mata kiri, disertai dengan anggota

gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif.

Pemeriksaan Focused Assesment with Sonography

for Trauma (FAST) tidak dapat dilakukan karena

kondisi ibu tidak memungkinkan disertai dengan

masalah biaya pada penderita ini. Pada survey

sekunder didapatkan hematoma pada daerah

temporoparietal kanan. Monitoring tanda vital ibu

dan janin didapatkan tanda vital dalam keadaan

normal, pemeriksaan laboratorium darah ibu di dapatkan adanya anemia dan pemeriksaan urin

didapatkan benda keton. Pemeriksaan rontgen leher

dan dada tidak ditemukan garis fraktur dan cedera

yang mengancam jiwa (Gambar 1 & 2). Kemudian

diputuskan untuk dilakukan burr hole diagnostik

dalam anestesi lokal dan bila hasilnya positif

direncanakan untuk dilakukan kraniotomi evakuasi

dan dari bagian kandungan direncanakan untuk

dilakukan seksio sesarea untuk menyelamatkan

bayi.

Gambar. 3

Gambar. 4

Karena hasil burr hole positif kemudian dilakukan

kraniotomi evakuasi dalam anestesi umum

berbarengan dengan seksio sesarea (Gambar 3 & 4). Saat operasi didapatkan fraktur tulang tengkorak

di daerah temporal dekstra, dan perdarahan epidural

50 cc dengan sumber perdarahan laserasi cabang

arteri meningia media, duramater putih dan tidak

ditemukan laserasi (Gambar 5 & 6). Dari seksio

sesarea didapatkan bayi wanita, berat badan 1950

gr, dengan panjang 51 cm, dan nilai Apgar 3 untuk

1 menit, 5 untuk 5 menit, dan 8 untuk 10 menit.

Gambar. 5

Gambar. 6

Page 4: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Setelah operasi ibunya dirawat di ruang perawatan intensif bedah saraf selama 4 hari. Saat masuk

setelah operasi GCS E1M4VT dan dengan

perawatan yang baik disertai dengan dukungan

nutrisi, GCS penderita mengalami perbaikan yang

signifikan GCS hari ke 4 E4M6V4: 14 disertai

dengan lemah anggota gerak sebelah kiri, mata

kanan tetap besar disertai dengan reflex cahaya

yang menurun, kemudian pasien dipindahkan ke

ruang perawatan biasa selama 6 hari dan

dipulangkan dengan keadaan perbaikan. Bayinya

dirawat di ruang perawatan perinatologi dengan distress pernafasan ringan dan pulang paksa pada

hari perawatan ke 3. Saat ini kedua penderita

dalam keadaan baik.

Kasus 2

Wanita 28 tahun yang sebelumnya sehat G2P0A0

datang dengan kehamilan 27-28 minggu karena

cedera kepala berat akibat kecelakaan lalulintas di

daerah Purwakarta. Setelah kejadian penderita tidak

sadar dan tanpa disertai keluar cairan jernih atau

darah dari hidung, telinga dan mulut. Tidak ada

darah atau cairan jernih keluara dari jalan lahir.

Karena keluhannya kemudian dibawa ke rumah

sakit Bayu Asih Purwakarta dan karena

keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit

Hasan Sadikin.

Gambar. 7

Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan

didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan intubasi dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan

dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada

pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E1M4VT=6,

pupil bulat isokor, pemeriksaan anggota gerak tidak

ditemukan kelemahan. Pemeriksaan FAST tidak

dapat dilakukan karena kondisi ibu tidak memung-

kinkan. Pada survey sekunder didapatkan

hematoma pada daerah temporoparietal kanan.

Monitoring tanda vital ibu dan janin didapatkan

tanda vital dalam keadaan normal, pemeriksaan

laboratorium darah ibu di dapatkan adanya anemia dan lekositosis. Pemeriksaan rontgen leher dan

dada tidak ditemukan garis fraktur dan cedera yang mengancam jiwa. Pada pemeriksaan CT-Scan

kepala tanpa kontras ditemukan perdarahan

subdural di frontotemporoparietal kiri dengan

ketebalan lebih dari 1 cm, disertai dengan

pergeseran garis tengah kearah kanan lebih dari 5

mm, disertai kompresi sisterna magna dan sisterna

ambien. Sehingga diputuskan untuk dilakukan

kraniektomi dekompresi dalam anestesi umum dan

dari Bagian Obstetri hanya pemantauan kondisi

janin karena janin dalam kondisi baik. Saat operasi

didapatkan duramater kebiruan dan tidak ditemukan laserasi, perdarahan subdural clot 30 cc lisis 5 cc,

dengan sumber perdarahan ruptur bridging vein,

defek tulang 10x12 cm (Gambar 8 & 9)

Gambar. 8

Gambar. 9

Setelah operasi ibunya dirawat di ruang perawatan

intensif bedah saraf selama 4 hari, saat masuk

setelah operasi GCS E1M4VT dengan perawatan

yang baik disertai dengan dukungan nutrisi, GCS

penderita mengalami perbaikan yang signifikan

GCS hari ke 14 E3M5V4: 12, kemudian pasien dipindahkan ke ruang perawatan biasa selama 7

hari dan dipulangkan dengan keadaan E4M6V4: 14,

dan perbaikan.

Page 5: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

5 Cedera Kepala Berat Pada Pasien Hamill

Gambar. 10

Selama dua minggu di rumah kondisi ibu mengalami perburukan karena terkena infeksi pada

paru-parunya (Gambar 10) dan datang kembali

pada saat usia kehamilan 33-34 minggu dalam

keadaan gagal nafas sehingga kemudian diintubasi

dan dilakukan seksio sesarea untuk menyelamatkan

bayinya, penderita meninggal 6 jam pasca seksio

sesarea. Dari seksio sesarea didapatkan bayi laki-

laki, berat badan 2100 gr, dengan panjang 50 cm,

dan nilai Apgar 3 untuk 1 menit, 5 untuk 5 menit,

dan 8 untuk 10 menit. Bayinya dirawat di ruang

perawatan perinatologi dengan distress pernafasan ringan dan pulang dalam keadaan perbaikan pada

hari perawatan ke 21.

Kasus 3

Wanita 26 tahun yang sebelumnya sehat G2P0A1 datang dengan kehamilan 21-22 minggu karena

cedera kepala berat akibat kecelakaan lalulintas di

daerah Moh. Toha Bandung. Setelah kejadian

penderita tidak sadar dan disertai keluar cairan

jernih atau darah telinga kiri. Ditemukan darah

atau cairan jernih keluar dari jalan lahir. Karena

keluhannya kemudian di bawa ke rumah sakit

Sartika Asih, karena keterbatasan alat kemudian di

rujuk ke rumah sakit Hasan Sadikin.

Gambar. 11

Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan

didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan

suction dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan

dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada

pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E2M5V2=9 pupil bulat isokor, pemeriksaan anggota gerak tidak

ditemukan kelemahan. Pemeriksaan FAST tidak

dapat dilakukan karena kondisi ibu tidak

memungkinkan. Pada survey sekunder didapatkan

hematoma pada daerah temporoparietal kiri.

Monitoring tanda vital ibu didapatkan tanda vital

dalam keadaan normal sedangkan janin sudah

meninggal di dalam rahim (Intrauterine fetal

death= IUFD). Pemeriksaan laboratorium darah ibu

didapatkan adanya anemia dan lekositosis.

Pemeriksaan rontgen leher tidak ditemukan garis fraktur, pemeriksaan rontgen dada didapatkan retak

tulang clavicula kiri 1/3 tengah. Pada pemeriksaan

CT-Scan kepala tanpa kontras ditemukan

perdarahan subdural di frontotemporoparietal kanan

dengan ketebalan lebih dari 1 cm, disertai dengan

pergeseran garis tengah kearah kanan lebih dari 5

mm, disertai kompresi sisterna magna dan sisterna

ambien. Sehingga diputuskan untuk dilakukan

kraniektomi dekompresi dalam anestesi umum dan

dari Bagian Obstetri hanya pemantauan kondisi

janin karena janin dalam kondisi baik. Saat operasi

didapatkan duramater kebiruan dan tidak ditemukan laserasi, perdarahan subdural clot 15 cc lisis 15 cc,

dengan sumber perdarahan contusio serebri, defek

tulang 10x12 cm (Gambar 8 dan 9). Kemudian

diputuskan untuk dilakukan kraniektomi

dekompresi dalam anestesi umum dan dari bagian

kandungan tidak ada tindakan karena janin sudah

meninggal.

Gambar.12

Page 6: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

6 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Gambar.13

Setelah operasi ibunya dirawat di ruang perawatan

intensif bedah saraf selama 20 hari, dan meninggal pada hari perawatan ke 21 akibat gagal nafas

karena pneumonia.

Gambar. 14

Gambar. 15

Hasil penelitian terlihat pada tabel di bawah ini

Tabel 1. Diagnosis klinis, diagnosa radiologis, usia ibu, usia kehamilan Kasus Diagnosis Usia Ibu

(Th)

Usia

kehamil

an

(Mg)

GCS Radio-

logis

1 CKB,

Terjatuh

16 33-34 7,

latera

lisasi

(+)

Fraktur

linier,

EDH

a/r TP

kanan

2 CKB, KLL 28 27-28 6,

latera

lisasi

(-)

SDH

a/r FTP

kiri

3 CKB, KLL 26 21-22 6,

latera

lisasi

(+)

SDH

a/r FTP

kanan

Keterangan: CKB=Cedera Kepala Berat, KLL=Kecelakaan lalu lintas, EDH=epidural hematoma, SDH=Subdural hematoma, FTP=Fronto-Temporo-Parietal

Tabel 2. Penanganan Ibu, Janin, GOS, APGAR

Kasus Penangan

an

ibu

Penangan-

an

Janin

Keluaran Ibu

(GOS)

Keluaran

janin

1 Burr hole

diagnostik,

kraniotomi

evakuasi

Seksio

sesarea

4,

(hemipharese

kiri)

APGAR

score 1’=5,

5’=5, 10 =

8’,

BBL=1950

2 Kraniektomi

dekompresi

Seksio

sesarea

(33-34

mg)

1, (mening-

gal, pneumo-

nia)

APGAR

score 1’=5,

5’=5, 10 =

8’,

BBL=2050

3 Kraniektomi

dekompresi

Terminasi

kehamilan

1, (mening-

gal, pneumo-

nia)

IUFD

Keterangan: BBL=Berat badan lahir, IUFD=Intra Uterine Fetal Death, GOS= Glasgow Outcome Score

IV. Pembahasan

Cedera hebat pada penderita dengan kehamilan

relatif jarang terjadi, akan tetapi, bila terjadi

memberikan resiko dua kali lipat dibandingkan

cedera tanpa kehamilan berupa ancaman

keselamatan ibu dan janinnya. Segala tindakan

harus dilakukan untuk mengevaluasi derajat cedera

ibu dan melakukan pengobatan secara adekuat. Beberapa kasus telah dilaporkan tentang perawatan

intensif pada ibu dengan kehamilan yang belum

matang disertai dengan cedera kepala berat,

kehamilannnya dipertahankan hingga bayinya

cukup mampu untuk hidup diluar kemudian

dilakukan terminasi kehamilan. Dari beberapa

literatur diketahui hanya 12 kasus dengan penderita

Page 7: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

7 Cedera Kepala Berat Pada Pasien Hamill

cedera berat yang melahirkan bayi dengan kondisi sehat.4,5,6 Cedera otak traumatika atau cedera kepala

di dunia hingga saat ini masih merupakan penyebab

kematian dan kesakitan pada populasi dibawah 45

tahun.10 Berbagai penelitian eksperimental dan

analisis klinis tentang biomekanisme cedera dan

kerusakan jaringan telah menambah wawasan

mengenai patofisiologi utama kejadian yang

bertanggung jawab yang berperan dalam

mendefinisikan penyebab atau melakukan strategi

baru dalam pengobatanya. Klasifikasi cedera kepala

yang banyak digunakan dan berdasarkan patokan klinis adalah klasifikasi menurut Glasgow Coma

Scale (GCS) yang pertama kali diperkenalkan oleh

Teasdale dan Jennet tahun 1974.12 Berdasarkan

klasifikasi ini pula Valadka dan Narayan pada

tahun 1996 mengelompokan cedera kepala menjadi

tiga yaitu cedera kepala ringan (CKR) bila GCS 14-

15, cedera kepala sedang (CKS) bila nilai GCS 9-

13 dan cedera kepala berat (CKB) bila nilai GCS 3-

8.11 Klasifikasi lain adalah berdasarkan mekanisme

utama yang mana cedera otak traumatika dibagi

menjadi 1) kerusakan otak fokal akibat cedera

langsung pada otak berupa kontusi, laserasi dan perdarahan intrakranial dan 2) kerusakan otak difus

akibat cedera akselerasi dan deselerasi berupa

cedera axon difus atau edema otak.10 Luaran pada

cedera kepala ditentukan oleh dua mekanisme yang

berbeda: a) Kerusakan primer (Primary insult,

kerusakan mekanis) yang terjadi saat terjadi cedera.

b) kerusakan sekunder (Secondary Insult,

kerusakan non-mekanis yang tertunda) merupakan

gambaran proses patologis yang dimulai saat cedera

disertai dengan gejala klinis yang tertunda. Iskemia

serebri dan hipertensi intrakranial merupakan penyebab kerusakan sekunder dan dalam

pengobatan jenis cedera ini berespon terhadap

pengobatan.10

Pada ketiga kasus yang ditampilkan semuanya merupakan kasus cedera kepala berat yang memiliki penyebab yang berbeda yaitu kasus pertama akibat terjatuh, sedangkan kasus kedua dan ketiga akibat kecelakan lalu lintas. Dari temuan radiologis dan tindakan pembedahan didapatkan untuk kasus 1 adalah perdarahan epidural yang memiliki prognosis baik bila cepat dilakukan tindakan pembedahan dengan mortalitas berkisar 20-55%13 dan pada kasus ini diagnosis ditegakkan dengan melakukan tindakan burr hole. Faktor lain yang berperan pada luaran perdarahan epidural adalah umur penderita yang relatif lebih muda dibandingkan dengan kasus 2 dan 3, dan tidak ditemukannya postur deserebrasi atau hilangnya reflex cahaya pada penderita ini.13 Sedangkan untuk kasus 2 & 3, dari pemeriksaan radiologis didapatkan midline shift > 5mm, kompresi sisterna

basal disertai perdarahan subdural merupakan prognosis buruk pada penderita cedera kepala berat yang disertai perdarahan intrakranial, menyebabkan angka mortalitas yang tinggi yaitu 50-90% (51 % untuk GCS 6 & 7). Selain temuan radiologis diatas penyebab tingginya angka mortalitas perdarahan subdural antara lain pembedahan yang dilakukan >4 jam pascatrauma, mekanisme cedera akibat kecelakaan bermotor tanpa helm, usia lebih dari 65 tahun dan tekanan intrakranial >45 mmHg pascabedah.13

Penyulit lain yang ditemukan pada kasus 2 & 3 adalah pneumonia, dan diduga terkait dengan defek imunitas pada sistem imunitas nonspesifik, makrofag dan fagosit, serta spesifik seluler dan humoral. Defek imunitas yang terjadi berupa 1) penurunan jumlah limfosit dalam sirkulasi, akibat supresi sel limfosit dalam mitogen, 2) menurunnya kemampuan limfosit B dalam memproduksi immuno-globulin, 3) menurunnya kemampuan sel-sel fagosit yaitu monosit dan netrofil dalam memusnahkan bakteri atau antigen lain, 4) Delayed type of hypersensitivity. Kondisi ini berlangsung segera setelah cedera kepala dan mencapai puncaknya pada hari ke sebelas setelah trauma dan akan pulih setelah tiga bulan,14,15,16,17 sehingga pneumonia pada cedera kepala insidensinya mencapai 40 %-60 % 18,19 dan terutama terjadi dalam 3 hari pertama pada masa perawatan.20,21 Keadaan ini menyebabkan perawatannya di ruang rawat intensif menjadi lama dan meningkatkan mortalitas hingga 50 %.22

Di literatur disebutkan umumnya cedera kepala pada wanita hamil hampir selalu disebabkan oleh tindakan kekerasan dan 60% diantaranya merupakan tindak kekerasan dalam rumah tangga berulang 2,3,4,5,6 Ketiga pasien ini dilakukan tindakan kraniektomi untuk cedera kepalanya dengan atau tanpa tindakan seksio sesarea, memberikan resiko kematian dan kesakitan yang tinggi pada ibu dan janin terlepas dari besarnya usia kehamilan yang dialami ibu saat terjadinya cedera kepala. Suatu penelitian yang dilakukan di Negara Bagian Washington di Amerika Serikat didapatkan dari 693 wanita yang dirawat selama kehamilan dan mengalami cedera ringan akibat terjatuh memiliki resiko lebih tinggi mengalami kelahiran sebelum waktunya (preterm), abruptio plasenta, kelahiran dengan induksi untuk ibu dan resiko untuk bayi mengalami fetal distress yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita dengan kehamilan yang tidak mengalami kecelakaan sebesar 2 kali lipat.8

Untuk ibu, meningkatnya resiko kelahiran sebelum waktunya, terjadi karena kecelakaan menstimulasi kontraksi rahim, meskipun biomekanisme terjatuh mempengaruhi kontraksi rahim hingga saat ini

Page 8: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

8 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

belum pernah diteliti. Abruptio plasenta terjadi karena terjadi deselerasi tiba-tiba dari rahim yang menyebabkan hilangnya atau lepasnya penempelan plasenta dengan dinding rahim, beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hubungan ketinggian dengan mekanisme abruptio plasenta, tetapi hingga saat ini masih menjadi perdebatan karena ukuran tinggi saat terjadi kecelakaan ataupun terjatuh tidak diketahui ataupun tidak ditulis dalam laporan unit gawat darurat. Karena umumnya cedera yang terjadi pada ibu hamil tanpa disertai tanda kegawatan janin ataupun ibu berdasarkan monitoring selama di unit gawat darurat.9

Untuk janin terjadinya abruptio placenta menyebab-kan fetal distress dan hipoksia akibat menurunnya

aliran darah ke uterus sehingga dapat berakhir

dengan kematian janin. Hal ini lah yang menjadi

alasan beberapa pusat kesehatan untuk merawat ibu

hamil yang mengalami kecelakaan terutama bila

usia kehamilan telah memasuki trimester ketiga,

atau disertai dengan tanda kegawatan janin,

perdarahan dari jalan lahir, atau mekanisme cedera

yang hebat. Adapun kematian janin akibat cedera

ibu berkisar 3,4 hingga 38 persen akibat abruptio

plasenta, kematian ibu, dan syok pada ibu (Tabel

3).9

Tabel 3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan

kematian janin pasca trauma

Ibu mengalami hipotensi

ISS yang tinggi

Terlempar dari kendaraan bermotor

Ibu mengalami Fraktur pelvis

Ibu tertabrak kendaraan bermotor

Ibu mengkonsumsi alkohol

Ibu berusia muda

Tabrakan motor

Ibu merokok

Ruptur uteri

Dikutip dari: Grossman NB.9

Page 9: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

9 Cedera Kepala Berat Pada Pasien Hamill

Tabel 4. Algoritma Manajemen Trauma pada wanita dengan kehamilan (adaptasi 9)

Penanganan multidisiplin disertai dengan diagnostik

dini dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian

ibu dan janin. Dan terpenting dari semuanya adalah

mencegah terjadinya kecelakaan pada ibu hamil.

Daftar Pustaka

1. Piastra M, Pietrini D, Massini L, de Luca D, del

Lungo LM, de Carolis MD, et al. Severe

subdural hemorrhage due to minimal prenatal trauma: case report. J Neurosurg Pediatric

2009; 4 : 543-46

2. Cohen-Gadol AA, Friedman JA, Friedman JD,

Tubb RS, Munis JR, Meyer FB. Neurosurgical

management of intracranial lesion in the

pregnant patient: a 36-year institutional

experience and review of a literature. J

Neurosurg 2009; 111:1150-57

3. Muench MV, Canterino JC. Trauma in

Pregnancy. Journal Obstet Gynecol Clin North

Am 2007; 34: 555-83

4. Weintraub AY, Leron E, Mazor M. The

Pathophysiological of Trauma in Pregnancy: A

review. The Journal of Maternal-Fetal and

Neonatal Medicine 2006; 19(10): 601-5

5. Subhas CH, Biswas GM. Trauma in Pregnancy:

A 5-Year Prospective analysis of Feto-maternal

outcome in tertiary centers. Journal Obstetric

Gynecologic India 2004; 54(5): 452—55

6. Sim Ki-Bum. Maternal persisten vegetative state

with successful fetal outcome. Journal korean

Page 10: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

10 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

medical science The korean academy of medical

science, 2001; 16: 669—72

7. American College of Surgeons Committee on

Trauma. Trauma pada Wanita. Dalam: Advanced

Trauma Life Support for doctors student course

manual Komisi Trauma IKABI;1997;347-58

8. Schiff M. Pregnancy outcomes following

hospitalization for a fall in Washington State

from 1987 to 2004. British Journal of Obstetric

and Gynecology (BJOG) 2008;115:1648-54

9. Grossman NB. Blunt Trauma in Pregnancy.

American Family Physician Journal (AAFP)

2004;70:1303-10

10. Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of

Traumatic Brain Injury. Br J Anaesth 2007;99:4-

9

11. Valadka. AB, Narayan RK. Emergency room

management of the head injury patient. Dalam: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds.

Neurotrauma. The McGraw-Hill Companies, Inc.

1996;119-35

12. Teasdale GM. Mechanism of concussion,

contusion and other efect of head injury. Dalam:

Youman, eds. Neurological Surgery, 4 th ed. Vol

3. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1996.

13. Greenberg MS. Head Trauma. Dalam: Greenberg

MS, eds. Handbook of Neurosurgery. 7th ed.

New York: Thieme Medical Publisher;

2010,850-928.

14. Smrcka M, Mrlian A, Klabusay M. Immune

system status in the patients after severe brain

injury. Bratislava Lekture Lysty 2005;106:144-

146

15. Schmidt OI, Infanger M. The Role of

neuroinflamation in traumatic brain injury.

European Journal of Trauma 2004;3:1-7

16. Newsholme EA. Nutrition of Immune Cells: The

Implication of Whole Body Metabolism. Dalam:

Ptotein energy interaction. The International

Dietary Energy Colsuntancy Group (I/D/E/C/G)

1991,437.

17. Shapiro NI, Karas DJ. Absolute lymphocyte

Count as a predictor of CD 4 count. Annual

Emergency Medicine 1998, 32: 323-28

18. Piek J, Chesnut RM, Marshall L F, Van Berkum-

Clark M, Klauber MR. Extracranial complication

of severe head injury. Journal of Neurosurgery

1992;77:901-907

19. Woratyla SP, Morgan AS, Mackay, Bernstein B,

Barba C. Factors associated with early onset

pneumonia in severly brain – injured patients. J.

Conn Med 1995;59:643-47

20. Berrouane Y, Daudenthum I, Riegel B, Emery

MN, Martin G., Early onset pneumonia in Neurosurgical intensive care unit patients. J Host

Infect 1998;40:275-80

21. Hsien AH, Bishop MJ, Kubilis PS, Newell DW,

Pierson DJ. Pneumonia folowing closed head

injury. J. Am Rev Respir Dis 1992;146:290-94

22. Rodriquez-Roldan JM, Altuna-Cuesta A, Lopez

A, Garcia J, Martinez LJ. Prevention of

nosocomial lung infection in ventilated patients:

use of an antimicrobial pharyngeal

nonabsorbable paste. J. Critical Care Medicine

1990;18:1239-42

Page 11: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

1

LUARAN PASIEN DENGAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL

DAN INTRAVENTRIKULAR YANG DILAKUKAN VP-SHUNT EMERGENSI

OUTCOME OF PATIENTS WITH INTRACEREBRAL AND INTRAVENTRICULAR

HAEMORRHAGE AFTER AN EMERGENCY VP-SHUNT INSERTION

Zafrullah Khany Jasa*), Siti Chasnak Saleh**), Sri Rahardjo***)

*) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

**) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Airlangga – RSUD Dr.Soetomo Surabaya

***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Abstract

Background and Objective: Intraventricular and intracerebral haemorrhage is an acute condition that can

occurs spontaneously due to hypertension or rupture of aneurism, and also can be occurs as a result from

brain damage caused by trauma. Management in this acute condition can be done by either giving

particular drugs or through surgical procedures. The aim of surgical procedure is to reduce a sudden

increase of intracranial pressure as well as to evacuate hematome, in order to prevent functional neurology

disturbance and damage. By performing this management, intracranial pressure is expected to decrease,

and to reduce the risk of hydrocephalus resulted from an occlusion in brain ventricular system as one of the

complication of intracranial haemorrhage.

Subject and Method: Ventriculo-Peritoneal Shunt (VP-Shunt) was inserted during the first 72 hours after

the event in 8 patients with intraventricular and intracerebral haemorrhage due to stroke and trauma. Level of consciousness was assessed, by comparing the pre-operative and 72 hours post-operative using Glasgow

Coma Scale (GCS), and the patient outcome was also assessed.

Result: Six (75%) patients showed an increase GCS after VP-Shunt insertion, with 4 of them can be

discharged from the hospital, whilst 4 patients died due to other complications.

Conclusion: VP-Shunt insertion in acute condition in patients with intraventricular and intracerebral

haemorrhage is considered to be useful in accelerating the level of consciousness, even though the overall

outcome of the patients is not significantly different.

Keywords: intraventricular haemorrhage, intracerebral haemorrhage, Ventriculo-Peritoneal Shunt

JNI 2102;1(3):158-162

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Perdarahan intraventrikuler dan intraserebral merupakan kejadian akut yang

dapat timbul spontan terutama akibat hipertensi dan aneurisma yang pecah atau oleh karena cedera kepala

akibat trauma. Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan dapat berupa pemberian obat-obatan ataupun

tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi tekanan

intrakranial yang meningkat mendadak dan mengeluarkan hematoma untuk segera memperbaiki gangguan

fungsi dan mencegah kerusakan neurologis lebih berat. Tindakan ini diharapkan dapat menurunkan tekanan

intrakranial serta mengurangi resiko timbulnya hidrosefalus akibat tersumbatnya sistem ventrikel di otak

sebagai salah satu kompilkasi dari perdarahan intrakranial.

Subjek dan Metode: Telah dilakukan tindakan pemasangan Ventrikulo-Peritoneal Shunt (VP-Shunt) pada 8

orang pasien yang mengalami perdarahan intraventrikuler atau perdarahan intraserebral oleh karena stroke dan trauma dalam 72 jam pertama setelah timbulnya gejala. Dilakukan perbandingan terhadap GCS awal

sebelum operasi dan 72 jam setelah operasi serta luaran terhadap pasien terebut.

Hasil: Didapatkan bahwa 6 orang pasien (75%) terjadi peningkatan GCS setelah pemasangan VP-Shunt.

Dari pasien yang mengalami perbaikan GCS didapatkan selanjutnya 4 orang (50%) dipulangkan dan 4

pasien meninggal selama perawatan karena komplikasi.

Simpulan: Tindakan VP-Shunt pada keadaat akut terhadap pasien perdarahan intraventrikuler dan

intraserebral diduga dapat memperbaiki tingkat kesadaran meskipun luaran pasien tidak menunjukkan

perbedaan bermakna

Kata Kunci: Perdarahan Intraventikuler, Perdarahan Intraserebral, Ventrikulo-Peritoneal Shunt

JNI 2102;1(3):158-162

Page 12: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

I Pendahuluan

Perdarahan intraserebral (Intra Cerebral

Haemorrhage) atau ICH merupakan problem kesehatan utama diberbagai negara dengan

insiden bervariasi antara 10-30 dalam setiap

100.000 populasi dan 10-30% dari stroke yang

dibawa kerumah sakit. Angka kematian cukup

tinggi yaitu 50% dalam 30 hari dan separuhnya

meninggal dalam 24 jam pertama setelah

perdarahan awal. Lebih dari 40% kasus

perdarahan meluas sampai ke intraventrikuler

(Intra Ventriculer Haemorrhage) atau IVH yang

menimbulkan hidrosefalus obstruktif sehingga

memperburuk luaran.1-4

Lebih dari 85% ICH

timbul primer dari pecahnya pembuluh darah otak yang sebagian besar akibat hipertensi kronik

(65-70%) dan angiopathy amyloid. Sedangkan

penyebab sekunder timbulnya ICH dan IVH bisa

oleh karena berbagai hal yaitu gangguan

pembekuan darah, trauma, malformasi

arteriovenous, neoplasma intrakranial, trombosis

atau angioma vena.3

Morbiditas dan mortalitas ditentukan oleh

berbagai faktor, sebagian besar berupa hipertensi,

kenaikan tekanan intrakranial, luas dan lokasi

perdarahan, usia, serta gangguan metabolisme serta pembekuan darah. ICH merupakan kegawat

daruratan derajat pertama yang dapat dengan

segera menimbulkan kematian sehingga

diagnosis dan penatalaksanaannya perlu

dilakukan dengan segera. Penatalaksanaan awal

dilakukan sejak di unit gawat darurat yaitu

mempertahankan jalan nafas tetap bebas dan

optimalisasi oksigenasi segera. Gangguan

respirasi dan GCS awal rendah (<8) biasanya

membutuhkan tindakan intubasi segera. Tindakan

pada tahap awal adalah memberikan obat-obatan

yang mengendalikan tekanan darah sambil tetap mempertahankan perfusi otak, mengatasi

kenaikan tekanan intrakranial yang tinggi dan

mendadak, kontrol suhu dan mencegah kejang.5-7

Tindakan pembedahan dilakukan untuk

mengeluarkan hematoma melalui kraniotomi

evakuasi hematoma atau dengan extraventrikuler

drainage (EVD). Berbagai penelitian

menunjukkan hasil yang bermakna terhadap

perbaikan fungsi neurologis setelah tindakan

pembedahan dalam 72 jam setelah timbulnya

perdarahan. Pembedahan dapat mempertahankan kehidupan pada 96% kasus dibandingkan 81%

yang dapat dipertahankan hidup hanya dengan

terapi obat-obatan. Umur harapan hidup dalam 3

bulan juga lebih tinggi pada kasus yang dilakukan

tindakan pembedahan.6-8

Timbulnya IVH yang kemudian disertai

komplikasi hidrosefalus memperburuk luaran

pada ICH spontan. Hampir 50% dari kasus ICH timbul hidrosefalus terutama pada pasien yang

berusia lebih muda dan GCS yang lebih rendah.9-

10

Angka komplikasi hidrosefalus yang cukup tinggi

setelah kejadian perdarahan intraserebral serta

kenaikan tekanan intrakranial yang tinggi dapat

menimbulkan luaran yang lebih buruk sehingga

tindakan Ventricular-Peritoneal Shunt atau VP-

Shunt segera, berpeluang memperbaiki luaran.

II. Subjek dan Metode

Pasien penelitian adalah pasien dengan kasus

perdarahan intraserebral atau perdarahan intraventrikuler yang timbul spontan atau oleh

karena trauma dalam kurun waktu 3 bulan selama

Juli sampai September 2011 di Rumah Sakit

Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Gambaran CT-Scan kepala awal dijumpai

perdarahan intraserebral atau perdarahan

intraventrikuler atau kombinasi keduanya

(Gambar-1). Pada 3 orang pasien diduga sudah

mulai dijumpai hidrosefalus. Setelah tindakan

resusitasi dan stabilisasi terhadap kondisi awal

pasien kemudian dalam 72 jam pertama dilakukan tindakan pembedahan yaitu

pemasangan VP-shunt segera. Tidak dilakukan

tindakan pembedahan lainnya terhadap lesi

intrakranial dan tidak didapat cedera di bagian

ditubuh lainnya (multi trauma).

Semua pasien dirawat di Unit Terapi Intesif

(Intensive Care Unit /ICU) setelah operasi dan

dilakukan pemberian obat-obatan untuk

mengatasi hipertensi, kenaikan tekanan

intrakranial, pengendalian kadar gula darah serta

masalah lainnya seperti gangguan elektrolit,

aritmia dan kenaikan suhu. Dilakukan observasi dan pencatatan data terhadap GCS awal sebelum

pembedahan, kemudian 72 jam setelah

pembedahan dan luaran pasien (angka

kehidupan).

III. Hasil

Selama waktu penelitian didapatkan 8 orang

pasien dengan perdarahan intraserebral dan atau

perdarahan intraventrikuler yang dilakukan

tindakan VP-Shunt dalam 72 jam pertama setelah

kejadian perdarahan. Hanya 3 orang pasien yang

diduga sudah timbul hidrosefalus sebelum dilakukan tindakan pembedahan. Pada pemerik-

saan awal dijumpai 4 pasien (50%) dengan GCS

8 atau lebih rendah, dan 4 pasien lainnya GCS

diatas 8 (Tabel 1).

Page 13: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

3 Luaran Pasien dengan Perdarahan Intraserebral dan Intraventrikular yang dilakukan VP-Shunt Emergency

Tabel 1. Pemeriksaan GCS awal pasien

GCS Awal Jumlah %

≤ 8 4 50

> 8 4 50

GCS: Glasgow Coma Scale

Gambar 1: CT Scan Pasien ICH dan IVH sebaiknya dipisah dan diberi tanda dengan

nomor pasiennya dan diagnosa CT-scannya

Tabel 2. Perbaikan GCS setelah pemasangan VP-Shunt

GCS setelah pemasangan VP

Shunt

Jumlah %-ase

Meningkat 6 75

Tetap atau menurun 2 25

GCS: Glasgow Coma Scale

Hasil observasi terhadap perbaikan GCS

pascaoperasi dijumpai meningkat pada 6 orang

pasien (75%) setelah 72 jam pascapemasangan

VP-Shunt (Tabel 2). Pasien yang tidak mengalami

peningkatan GCS adalah dengan GCS awal dibawah 8 disertai komplikasi hiperglikemia,

hipertermia dan pneumonia yang diduga

berhubungan dengan pemakaian ventilator.

Tabel 3. Luaran pasien setelah pemasangan VP-Shunt

Luaran Pasien Jumlah %-ase

Pulang karena perbaikan 4 50

Meninggal 4 50

III. Pembahasan

Sebagian besar GCS awal pasien dengan

perdarahan intraserebral dan intraventrikuler

adalah 8 atau lebih rendah. Oleh karenanya

tindakan resusitasi pada tahap awal ditujukan

terutama terhadap mempertahankan jalan nafas dan pernafasan serta mengoptimalisasi perfusi

kardiovaskular untuk mencegah hipoksia dan

kenaikan tekanan intrakranial yang mendadak.

Pada tahap awal kejadian perdarahan

intraserebral dan intraventrikuler dengan GCS 8

atau kurang maka harus dilakukan intubasi

endotrakea serta bantuan ventilasi untuk

menurunkan kebutuhan metabolisme otak serta

mengontrol tekanan intrakranial. 3,4,7 Pasien pada

penelitian ini semuanya dilakukan intubasi dan

bantuan ventilasi segera pada GCS dibawah 8,

sedangkan 6 pasien setelah operasi pemasangan VP-Shunt tetap dipertahankan intubasi dan

bantuan ventilasi selama 24 jam pascaoperasi.

Kemudian pasien dinilai kembali setelah 24 jam

pemasangan VP-Shunt untuk dilakukan

penatalaksanaan lebih lanjut. Hampir semuanya

Page 14: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

dilakukan pembedahan dalam 24 jam pertama

setelah kejadian perdarahan dan hanya 1 orang

yang dilakukan setelah 24 jam tetapi masih

dibawah 72 jam pertama. Satu orang pasien

adalah pascaoperasi kraniotomi evakuasi tumor

dengan perburukan akibat komplikasi perdarahan intraserebral yang timbul setelah 24 jam

observasi di ICU.

Sangat sedikit penelitian sebelumnya yang dapat

menunjukkan gambaran perbedaan luaran pasien

dengan perdarahan intraserebral atau perdarahan

intraventrikuler yang dilakukan VP-Shunt segera

untuk komplikasi hidrosefalus yang sering timbul

setelah perdarahan akibat tersumbatnya sistem

ventrikel. Tindakan VP-Shunt diharapkan juga

mampu mengendalikan tekanan intrakranial yang

meningkat. Penelitian oleh Andrew Whitelaw

terhadap bayi dengan perdarahan intraventrikuler yang diberikan perbedaan terapi obat-obatan dan

dilakukan VP-Shunt pada semua pasien tidak

menunjukkan perbedaaan luaran yang berbeda.11

Dilaporkan 2 kasus terjadinya perdarahan

intraserebral setelah pemasangan VP-Shunt oleh

karena hidrosefalus meskipun hal ini jarang

sekali terjadi.12 Hasil observasi terhadap 6 pasien

yang mengalami perbaikan GCS menunjukkan

adanya manfaat tindakan VP-Shunt yang

dilakukan segera. Namun jumlah pasien yang

cukup besar mungkin diperlukan untuk menentukan manfaatnya secara lebih jelas.

Pasien yang dipulangkan karena mengalami

perbaikan adalah 4 orang (50%) dengan 2 orang

pulang GCS diatas 14 pada hari ke 7 dan 8

perawatan. Dua orang lainnya pulang setelah hari

ke 19 dan 21 paca perawatan dengan GCS waktu

pulang 9 dan 12. Semua pasien yang pulang

adalah yang mengalami peningkatan GCS setelah

dilakukan pemasangan VP-Shunt. Empat pasien

meninggal yaitu 2 pasien meninggal pada hari ke

5 rawatan, 1 orang hari ke 7 rawatan dan 1 orang

hari ke 17 rawatan (Tabel 3). Meskipun 2 orang pasien mengalami peningkatan GCS setelah

pemasangan VP-Shunt pada perawatan di ICU

mengalami perburukan oleh karena memiliki

predisposisi hipertensi dan diabetes mellitus serta

timbul komplikasi lebih lanjut yaitu pneumonia,

hiperglikemia dan hipertermia. Hal ini diduga

berhubungan dengan perawatan pasien selama

masa kritis di ICU, penggunaan antibiotika yang

adekuat serta terapi obat-obatan lainnya.

Penelitian terhadap 586 pasien di 30 negara

didapatkan bahwa mortalitas dalam 3 bulan pada

pasien dengan perdarahan intraserebral adalah

34%. Penelitian yang lain menunjukkan bahwa

pasien meninggal 31% pada hari ke 7, 59% dalam

1 tahun, 82% pada 10 tahun, dan 90% lebih

meninggal sampai 16 tahun kemudian. Suatu

studi observasional terhadap 25 pasien

perdarahan intraventrikel yang disertai

hidrosefalus obstruktif yang dilakukan evakuasi

perdarahan secara endoskopi menunjukkan

perbaikan hidrosefalus pada 24 pasien (96%).

Pada penelitian lainnya evakuasi perdarahan

intraventrikular secara endoskopi menunjukkan

angka perbaikan yang tinggi selama 2 bulan

kemudian dibandingkan dengan melakukan

tindakan drainase eksternal ventrikuler saja.1

Berbagai hasil penelitian diatas menunjukkan

bahwa bila tindakan VP-Shunt dilakukan secara

tepat maka luaran pasien dapat meningkat. Pada

observasi pasien penelitian dijumpai peningkatan

GCS yang bermakna pada 75% penderita

meskipun secara jumlah sampel penelitian masih

sangat kurang. Namun tindakan VP-Shunt yang

dilakukan terlihat bermanfaat untuk menaikkan

GCS pada awal perawatan pasien. Luaran yang

sama antara pasien yang mengalami perbaikan

dan akhirnya dipulangkan serta pasien yang

meninggal pada sampel penelitian diduga

dipengaruhi oleh mulitfaktor selama perawatan.

Perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan ulang

sehari setelah pemasangan VP-Shunt untuk

mengevalusi timbulnya komplikasi (meskipun

sangat jarang) perdarahan sekunder akibat

tindakan pemasangan kateter serta resolusi dari

hidrosefalus.12

Pemberian obat-obatan selama perawatan sangat

berpengaruh terhadap luaran pasien setelah

pemasangan VP-Shunt. Pemberian terapi

neuroprotektif, antikonvulsi, terapi homeostatik,

cairan, nutrisi, pengendalian kadar gula darah dan

suhu, pencegahan thrombosis serta pencegahan

peningkatan tekanan intrakranial merupakan

berbagai hal yang sangat kompleks dan saling

berperan dalam perawatan pasien pasca

perdarahan intraserebral dan intraventrikuler.1,2,5

Kombinasi berbagai terapi diatas sebenarnya

dapat diberikan namun membutuhkan biaya yang

cukup mahal sehingga menimbulkan masalah

utama pada pasien yang tidak mampu secara

ekonomi untuk membeli semua obat-obatan yang

dibutuhkan. Hal ini yang membuat luaran pasien

menjadi berbeda pada banyak penelitian

diberbagai negara.

IV. Simpulan

Pembedahan segera terhadap perdarahan

intraserebral dan atau perdarahan intraventrikel

yang dilakukan VP-Shunt segera dapat

memperbaiki derajat kesadaran dalam 72 pasca

tindakan. Hal ini dihubungkan dengan komplikasi

Page 15: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

5 Luaran Pasien dengan Perdarahan Intraserebral dan Intraventrikular yang dilakukan VP-Shunt Emergency

hidrocephalus yang sering timbul setelah terjadi

perdarahan. Namun luaran pasien tidak

menunjukkan perbedaan bermakna. Hal ini

disebabkan komplikasi lainnya yang timbul

seperti pneumonia, hiperglikemia atau

hipertermia. Perlu dilakukan studi retrospektif

dalam kurun waktu lebih lama dengan jumlah

pasien yang lebih besar untuk lebih mempertegas

perlunya dilakukan tindakan VP-Shunt segera

pada perdarahan intraserebral atau intraventrikel.

Hasil observasi deskriptif ini dapat menjadi

bahan penelitian lebih lanjut untuk mencari bukti

manfaat tindakan VP-Shunt segera pada

perdarahan intraserebral dan perdarahan

intraventrikel.

Daftar Pustaka

1. Qureshi AI, Mendelow AD, Hanley DF.

Intracerebral haemorrhage. The Lancet 2009;

373: 1632-44

2. Mayer SA, Rincon F. Treatment of

intracerebral haemorrhage. The Lancet

Neurology 2005; 4: 662-74

3. Elliott J, Smith M. The acute management of

intracerebral hemorrhage: a clinical review.

Anesth Analg 2010; 110: 1419-27

4. Hanley DF. Intraventricular hemorrhage

severity factor and treatment target in

spontaneous intracerebral hemorrhage. AHA Journal; 2009:1533-9

5. Flower O, Smith M. The acute management

of intracerebral hemorrhage. Current Opinion

in Critical Care 2011; 17: 106-14

6. Naval NS, Nyquist PA, Carhuapoma JR.

Advances in the management of spontaneous

intracerebral hemorrhage. Critical Care

Clinics. 2007; 22: 607-17

7. Broderick JP, Adams HP, Barsan W,

Feinberg W. Guidelines of the management

of spontaneous intracerebral hemorraghe. Stroke. 1999; 30: 905-15

8. Rincon F, Mayer SA. Clinical review:

critical care management of spontaneous

intracerebral hemorrhage. Ciritical Care.

2008; 12: 237-52

9. Bhattathiri PS, Gregson B, Prasad KS.

Intraventricular hemorrhage and hydrocephalus after sponteous intracerebral

hemorrhage: results from the STICH trial.

Acta Neurochirurgica. 2006; 96: 65-8

10. Diringer MN, Edwards DF, Zazulia AR.

Hydrocephalus: a previously unrecognized

predictor of poor outcome from

supratentorial intracerebral hemorrhage.

Stroke. 1998; 29: 1352-7

11. Whitelaw A, Evans D, Carter apa??.

Randomized Clinical Trial of prevention of

hydrocephalus after intraventricular

hemorrhage in preterm infants: brain washing versus tapping fluid. Pediatrics.

2007; 119(5):

12. Zhou F, Liu Q, Ying G. Delayed

intracerebral hemorrhage secondary to

ventriculoperitoneal shunt: two case reports

and a literature review. International Journal

of Medical Sciences. 2012; 9(1): 65-7

Page 16: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

1

PENATALAKSANAAN CEDERA OTAK PADA ANAK

MANAGEMENT OF BRAIN TRAUMA IN CHILDREN

Muhammad AR *), Nazaruddin Umar *), Siti Chasnak Saleh **)

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU /RSUP. H. Adam Malik Medan – Sumut

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unair/RS Dr. Soetomo-Surabaya

Abstract

Head trauma (TBI) in children is a particular problem in neuroanestesi. There are differences in anatomy, physiology and psychosocial, as well as children who are experiencing brain development / growth. In the event

of trauma will cause mortality and morbidity and a higher rate, which is very influential in the development of

children. Skull fracture, epidural hemorrhage, subdural and intracerebral, brain edema may lead to an effect on

growth and other organ.

A boy, 4 years 10 months, admitted to hospital with the experience a decrease in consciousness after falling from

a vehicle due to traffic accidents. Come to the hospital approximately 6 hours after the accident, previously

treated in nearly hospitals. On examination 10 obtained GCS, pupillary light reflex isocoor 2/2mm + / +,

hemodynamics in the normal range, anemia (+). After a physical examination and was diagnosed with an

additional examination brain damage due to trauma (GCS 10) + obtained frontoparietal bone fracture open

fracture of the right frontal bone fracture + left + contusio hemorrhagic + anemia. Surgical debridement and

correction of the broken bone fragments under general anesthesia. Post surgery patients cared for in ICUs with increased awareness, things got better. Then the patient at discharge after 15 days.

Anesthesia management in head trauma the child has special problems that are different from adults. It is

necessary to an understanding of the anatomy, physiology and psychology are both in preparation and stylists

specifically so as to prevent or reduce the likelihood of postsurgery complications.

Keywords: Head Trauma, Anesthesia in children, Anemia

JNI 2102;1(3):163-169

Abstrak

Trauma kepala (TBI) pada anak merupakan suatu problem khusus dalam neuroanestesi. Terdapat perbedaan anatomi, fisiologi dan fisikososial, disamping otak anak yang sedang mengalami perkembangan/pertumbuhan.

Bila terjadi trauma akan menyebabkan angka mortalitas dan morbilitas serta angka kecatatan yang lebih tinggi,

yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Patah tulang kepala, perdarahan epidural, subdural dan

intracerebral, edema otak akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan berefek pada organ-organ lain.

Seorang anak laki-laki, 4 tahun 10 bulan, datang ke RS dengan mengalami penurunan kesadaran setelah terjatuh

dari kendaraan karena kecelakaan lalu lintas. Datang ke rumah sakit lebih kurang 6 jam setelah kecelakaan,

sebelumnya dirawat di rumah sakit terdekat. Pada pemeriksaan didapat GCS 10, pupil isokor 2/2mm, reflek

cahaya +/+, hemodinamik dalam batas normal, anemia (+). Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

tambahan didiagnosa kerusakan otak karena trauma (GCS 10) + didapatkan fraktur terbuka tulang frontoparietal

kanan + fraktur tulang frontal kiri kontusio hemorrhagik + anemia. Dilakukan operasi debridemen dan koreksi

fragmen tulang yang patah dengan bantuan anestesi umum. Pascabedah pasien di rawat di ICU dengan kesadaran

meningkat, keadaan membaik. Kemudian pasien di pulangkan setelah 15 hari perawatan. Penanganan anestesi pada trauma kepala anak mempunyai problem khusus yang berbeda dengan dewasa, maka

perlu pemahaman tentang anatomi, fisiologi dan psikologi yang baik dalam persiapan dan penatalaksanaan yang

khusus sehingga dapat mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit-penyulit post operasi.

Kata Kunci : Trauma Kepala, Anestesi pada anak, Anemia

JNI 2102;1(3):163-169

I. Pendahuluan

Trauma kepala pada anak sering menyebabkan

kematian dan kecacatan, kecacatan akan

mempengaruhi tumbuh kembangnya anak baik fisik

maupun mental dikemudian hari. Adanya

perbedaan anatomi fisiologi dan psikososial akan

menjadi masalah khusus pada penanganan trauma

Page 17: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

2

pada anak khususnya trauma kepala baik penatalaksanaan sebelum, selama dan setelah

operasi.1,2 Trauma multipel pada anak sering

mengenai kepala. Kematian trauma pada anak

sering disebabkan trauma kepala. Akibat terjatuh,

kecelakaan lalu lintas, kecelakaan ditempat bermain

dan lain-lain sering menyebabkan trauma kepala

pada anak.3-5 Trauma kepala pada anak bisa

disebabkan oleh satu injuri atau kombinasi berbagai

injuri di kepala berupa luka pada kulit kepala,

fraktur tulang tempurung kepala, fraktur tulang

dasar tengkorak, kontusio serebri, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, hematom

epidural, hematom subdural, perdarahan

intraventrikular, trauma tembus dan trauma aksonal

menyeluruh.4,5

Sasaran dari penanganan pasien dengan trauma

kepala adalah mengenal dan menangani secepatnya

keadaan yang mengancam jiwa, dan mencegah atau

meminimumkan terjadinya kerusakan otak

sekunder (ABCDE neuroanestesi), 10-15% trauma

kepala menyebabkan kematian anak sebesar 50%.

Penanganan dalam hal ini bertujuan untuk

membatasi berlanjutnya cedera primer dan mencegah atau meminimalkan cedera sekunder.3-5

II. Kasus

Anak laki-laki, umur 4 tahun 10 bulan, berat badan

22 kg, datang dengan penurunan kesadaran. Hal ini

dialami pasien sejak setelah terjatuh dari sepeda

motor karena kecelakaan lalu lintas, sepeda motor

yang ditumpangi korban ditabrak oleh mobil

angkutan umum ± 5 jam sebelum masuk rumah

sakit, awalnya pasien dirawat dirumah sakit

terdekat (rumah sakit Pertamina Pangkalan Brandan Sumut) ± 100 km dari Medan, karena kekurangan

fasilitas kemudian pasien dirujuk ke rumah sakit di

Medan dengan menempuh jalan darat 2-3 jam

perjalanan dengan menggunakan mobil ambulan.

Pasien tiba di rumah sakit Medan ± 5 jam setelah

kejadian. Riwayat penyakit terdahulu tidak

dijumpai, pengobatan yang telah diberikan dirumah

sakit Pertamina oksigen 2-3 l/menit selang-hidung,

infus Ringer asetat diguyur 1500cc, kemudian

dilanjutkan dengan 10 tetes/menit, antibiotika

Cefotaxim 300 mg intravena, Ranitidin ½ ampul

intravena, Ketorolac 15 mg intravena, Asam tranexcanat ½ ampul intravena, Tetanus toxoid 0,5

cc.

Pemeriksaan fisik:

Nafas spontan, jalan nafas bebas, Malampati I, laju

nafas 20x/menit, nafas teratur, suara nafas

tambahan tidak dijumpai, gerak nafas tidak

dijumpai, saturasi oksigen 100%, tekanan darah

110/70 mm Hg, laju nadi 96x/menit, perfusi pucat hangat kering, suara jantung 1 dan 2 tunggal teratur

suara tambahan tidak dijumpai. Kesadaran GCS 10,

pupil isokor 2/2 mm, reflek cahaya +/+, tidak

dijumpai lateralisasi. Saluran makanan, saluran

kemih, dan alat gerak dalam batas normal. Tidak

dijumpai trauma ditempat lain. Kepala dibalut

perban tampak berwarna kemerahan.

Pemeriksaan laboratorium:

Hemoglobin 8,3 gr/dl, Ht 25% (dirumah sakit

Pertamina). Hb 6,3 gr/dl, Ht 18% (dirumah sakit

Medan), trombosit 277000/ mm3, Natrium 134 mmol/L, Kalium 3,8 mmol/L, Cl 106 mmol/L. CT

Scan kepala: perdarahan subaraknoid didaerah

frontal kiri-kanan dan parietal kanan, juga tampak

fraktur impressi dari tulang parietal kanan, dan

fraktur tulang frontal kiri + edema serebri. Foto

Ronsen dada: jantung dan paru dalam batas normal

tidak tampak patah tulang rusuk dan tidak tampak

pneumotorak. Diagnosa: Traumatic brain injury

GCS 10 + Fraktur terbuka impressi tulang parietal

kanan dan fraktur tertutup tulang prontal kiri +

perdarahan subaraknoid didaerah frontal kiri-kanan

dan parital kanan + edema cerebri + anemia. Rencana tindakan: Operasi debridemen dan koreksi

fragmen tulang yang patah. Masalah :

a. Cedera otak traumatika dengan tekanan

intrakranial yang meningkat

b. Anak-anak

c. Anemia

Gambar Preoperasi

Page 18: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

3

Gambar CT Scan :

Penatalaksanaan Anestesi

1. Persiapan

Penjelasan ke keluarga tentang rencana dan tujuan

tindakan operasi, prognosa dan komplikasi yang

mungkin terjadi, pembuatan izin operasi.

Persiapan darah: WB dan PRC, kamar operasi alat

dan obat-obatan, ICU: alat monitoring ventilator

bila perlu.

2.Prosedur Anestesi

Jalur intravena sudah terpasang di vena radialis kiri

sejak dari RS Pertamina dengan infus NaCl 0,9 %,

ditambah 1 jalur intravena lagi ditempat lain untuk rencana tranfusi. Dipasang alat monitor tekanan

darah non-invasif, denyut jantung, saturasi oksigen,

EKG, precordial stetoskop, kateter urine, Et CO2.

Posisi terlentang, kepala ditinggikan 150.

Induksi: diberikan preoksigenasi 100% O2,

Fentanyl 25 µg, midazolam 2,5 mg, propofol 50

mg, rocuronium 20 mg, lidokain 2% 30 mg

intravena, dilakukan ventilasi dengan O2 100%.

Intubasi: - Pipa endotrakheal no 5, non kinking,

cuff, dipasang tampon.

Pemeliharaan Anestesi :

Sevofluran 0,5 – 1,5 % + O2 5 L/menit + N2O 2

L/menit (tidak tersedia udara tekan), kontrol

Ventilasi dengan target normokapnia. Manitol

20 % sebanyak 50 cc diberikan dalam 20 menit

sebelum insisi kulit. Operasi berlangsung 2 jam 30

menit dengan monitoring selama operasi sebagai

berikut :

Tekanan Darah : 100 – 120 / 60 – 70 mmHg, Laju

Jantung: 80 – 100 kali per menit, Saturasi oksigen:

96 – 100 %, Entidal CO2: 32 – 37 mmHg

Gambar Monitoring Selama operasi

Gambar Lapangan Operasi

Pendarahan: ± 500 cc lama dan baru, Urine 750 cc,

Cairan masuk: NaCl 0,9 % 1000 cc, Manitol 20 %

50 cc, Koloid (berupa hydroxyl ethyl starch) 200

cc, Darah WB 750 cc, Darah PRC 250 cc

Pascabedah

Setelah operasi pasien dipindahkan ke ICU nafas

spontan dengan ETT.

Hari pertama pascabedah dini: Laju nafas 20

kali/menit, SpO2 100 %, suara nafas tambahan tidak

dijumpai, tekanan darah 110/60 mmHg, laju nadi

88/mnt, perfusi hangat, kering, pucat, kesadaran

belum bisa dinilai, Hb: 8,9 gr/dl, Ht: 26, Leukosit:

14400/mm3, Trombosit 253000/mm3, Na: 134, K:

4,2, Cl: 106

Terapi: kepala ditinggikan 15o, infus NaCl 0,9 % 10

tetes/mnt, tranfusi PRC 250 cc 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, proteksi otak, Vit C,

fentanil 200 µg + midazolam 15 mg dilarutkan

dalam 50 cc NaCl 0,9 %, diberikan 2 cc perjam

dengan syringe pump.

4 Jam pascabedah: nafas spontan, laju nafas 18 kali,

tidak ada suara tambahan, tekanan darah 120/70

mmHg, Nadi 88 kali/menit, SpO2 99 %, GCS: 3x4,

pupil isokor 2/2 mm, lateralisasi (-), Hb: 11,3 gr/dl,

Page 19: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

4

Ht: 34%, Leukosit: 8700/mm3, Trombosit: 211000/mm3. Dilakukan ektubasi.

Selanjutnya evaluasi dan terapi hari kedua dan

seterusnya seperti terlihat pada tabel berikut:

Hari Pemeriksaan Penilaian Perencanaan

II GCS 345.

Pupil Isokor, 2/2, RC + / +, Lateralisasi Ө, Laju nafas 18 kali/mnt, SpO2 100 %, Tekanan darah 115/70, Nadi 85 kali,

perfusi baik, demam (-), urine cukup. Hb 12,4 gr/dl, Ht 36 %

Ada

perbaikan

infus NaCl 0,9 %

10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, fentanil 200 µg + midazolam 15 mg dilarutkan dalam 50 cc NaCl 0,9 %, diberikan 2 cc

perjam dengan syring pump

III 08.00

18.00

GCS 445. Pupil Isokor,

RC +/+, Lateralisasi (-), laju nafas 18 kali/mnt, SpO2 100 %, tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi

88 kali, perfusi baik, urine cukup. GCS 445, pupil isokor 2/2, Reflek cahaya +/+,

lateralisasi (-) → Kejang-kejang (+) → 3x Laju nafas 18x/mnt, SpO2 100%, Tensi 110/70, nadi 86x/mnt,

perfusi baik, urine cukup, temperatur 38,50C, Na 121 mmol/L, Kalium 4,5 mmol/L, Cl :36

mmol/L, kadar gula darah 104 miftal,

Ada perbaikan

Kejang-kejang

3x, Demam (+) Hyponatremia

Terapi : infus NaCl 0,9 %

10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, Fentanyl+Midazolam, dikurangi bertahap, habis stop.

Terapi tambahan: Stesolid rectal 5 mg, Phenitoin 1/3

ampul per 8 jam Totilac 50 cc dalam 15 menit kemudian dilanjutkan 1 cc per jam syring pump Dilantin :

Novalgin 300 mg intravena k/p Paracetamol Inj 500 mg kp Koreksi Na → NaCl 3% 150cc dalam 24 jam

pencukupan gas darah :PH 7,374, PCO2 40, HCO 323,8, LCO2 tabel 25,2, LBE 3,3, SpO2 98%

IV Kejang-kejang (+), GCS 445, pupil isokor 2/2, RC +/+, laju nafas 18 kali/mnt, tekanan

darah : 100/70, Laju nadi 96 kali, SpO2: 98 %, Temp. 36,80C, urine cukup

Kejang-kejang (+) Demam (-)

infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, Fentanyl stop, Midazolam dikurangi bertahap, habis

stop. Stesolid rectal 5 mg, Phenitoin 1/3 ampul per 8 jam Totilac 50 cc dalam 15 menit

kemudian dilanjutkan 1 cc per jam syringe pump Dilantin: Novalgin 300 mg intravena k/p Paracetamol Inj

500 mg kp

V Kejang-kejang (-) GCS 456 pupil isokor 2/2 , RC +/+, lateralisasi (), Na 135, nafas

18x/mnt,SpO2 99%, K = 3,8, Cl = 106, tekanan darah 110/60, nafas 80x/mnt, temp 36,70C

Kesadaran membaik Kejang-kejang (-) Demam (-)

Terapi: infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, Stesolid rectal 5

mg, Phenitoin 1/3 ampul per 8 jam Totilac stop Propofol stop Dilantin 30 mg Oral/8jam + B6 Pulv

VI s/d VIII

Sadar baik Nafas normal Hemodinamil stabil Urine cukup

infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, Stesolid rectal 5 mg,

Phenitoin 1/3 ampul per 8 jam Dilantin 30 mg Oral/8jam + B6 Pulv

Page 20: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

5

IX s/d XV

Pindah Ruang Sadar baik nafas normal Hemodinamik stabil Urine cukup Kejang-

kejang (-) Demam (-)

infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik stop, anti pendarahan stop, Vit C stop, Stesolid rectal 5 mg,

Phenitoin stop ampul per 8 jam Dilantin 30 mg Oral/8jam + B6 Pulv

Dipulangkan

III. Pembahasan

Adanya perbedaan anatomi, fisiologi, dan

psikososial pada anak, menyebabkan perbedaan

dalam penanganan baik pada pemeriksaan,

penegakkan diagnosa, penggunaan alat-alat dan

obat-obatan, sehingga menjadi suatu masalah

khusus dalam neuroanestesi.1,3,4 Perbedaan-

perbedaan tersebut dapat menyebabkan pada anak

lebih mudah terjadi2,3,9 trauma kepala karena kepala

lebih besar dibandingkan dengan badan yang secara

gravitasi kepala lebih duluan kena benturan, tulang

kepala lebih tipis yang mengurangi proteksi isi

tengkorak. Jaringan neural yang sedikit mengandung mielin yang menyebabkan jaringan

saraf mudah rusak, pada anak lebih sering terjadi

injuri yang diffus dan edema otak, dan peningkatan

tekanan intrakranial lebih mudah terjadi. Dilihat

dari segi fisiologi dan metabolisme: CMRO2,

aliran darah otak dan autoregulasi serebral. CMRO2

pada anak 5,8 ml/100 gr jaringan/mnt, lebih tinggi

daripada dewasa 3,5 ml/100 gr jaringan/mnt,

sedangkan kebutuhan glukosa pada anak 6,8 ml/100

gr jaringan/mnt yang lebih tinggi dari perbandingan

dewasa yaitu 5,5 ml/100 gr jaringan/mnt, aliran darah otak berubah menurut umur pada anak 3

sampai 12 tahun. Aliran darah otak 100 ml/100 gr

jaringan/mnt lebih tinggi dari dewasa sekitar 53

ml/100 gr jaringan/mnt, dari hal di atas pada anak

lebih cepat terjadinya iskemik dan hiperemia

jaringan otak.3 Disamping juga terdapat perbedaan

dalam fisiologi respirasi dan sirkulasi pada anestesi

anak umumnya. Dalam hal perbedaan tersebut

diatas maka pengelolaan trauma kepala pada anak

haruslah kita mengikuti/menyesuaikan dengan hal-

hal tersebut diatas, baik pada pemeriksaan atau

penanganan sebelum, selama dan setelah operasi. Pecahnya tulang kepala pada anak dapat

disebabkan oleh bermacam sebab seperti trauma

lahir kecelakaan lalu lintas trauma di tempat

bermain kecelakaan rumah tangga. Fragmen tulang

yang patah dapat menekan jaringan otak, terbukanya rongga kepala ataupun dapat berupa

fraktur tulang dasar tengkorak, ini akan

meningkatkan angka kematian dan kecacatan.7

Bentuk cedera lain dari trauma kepala pada anak

dapat berupa hematom epidural, subdural dan

intraserebral, kontusio serebri dan edema serebri

yang semuanya akan meningkatkan tekanan

intrakranial.

Penilaian sebelum operasi sangat terbantu dengan

pemeriksaan CT-scan sehingga dapat menilai

kerusakan-kerusakan jaringan otak yang terjadi dan tanda-tanda peningkatan intrakranial. Glasgow

Coma Scale (GCS) Skor (GCS yang dimodifikasi

untuk anak umumnya dapat digunakan untuk

penilaian status neurologis, yang tabelnya dapat

dilihat dibawah ini.6

Tabel 1. Skala Koma Glasgow pada Anak: Buka

mata

Nilai ≥1 Tahun 0-1 Tahun

4 Buka mata secara spontan

Buka mata secara spontan

3 Buka mata atas

perintah suara

Buka mata atas

perintah seruan

2 Buka mata atas respon nyeri

Buka mata atas respon nyeri

1 Tidak ada respon Tidak ada respon Dikutip dari: Stock R.

6

Tabel 2. Skala Koma Glasgow pada Anak: Gerakan

Motorik

Nilai ≥1 Tahun 0-1 Tahun

6 Mengikuti Perintah Mengikuti Perintah

5 Dapat melokalisasi nyeri

Dapat melokalisasi nyeri

4 Gerakan Fleksi Gerakan Fleksi

3 Fleksi Abnormal Fleksi Abnormal

2 Gerakan Ekstensi Gerakan Ekstensi

1 Tidak ada respon Tidak ada respon Dikutip dari: Stock R.

6

Page 21: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

6

Tabel 3. Skala Koma Glasgow pada Anak: Respon Suara

Nilai > 5 Tahun 2-5 Tahun 0-2 Tahun

5 Berkomunikasi dan berorientasi dengan baik

Berkata-kata yang sesuai

Bersuara yang sesuai

4 Berkomunikasi secara membingungka

n

Berkata-kata yang tidak sesuai

Hanya bersuara

3 Berkata-kata yang tidak sesuai

Hanya bersuara

Bersuara yang tidak sesuai

2 Hanya mengeluarkan suara

Mendengkur

mendengkur

1 Tidak ada

respon

Tidak ada

respon

Tidak ada

respon

Dikutip dari: Stock R.6

Pengelolaan jalan nafas merupakan hal yang sangat

penting dalam penanganan awal dari trauma kepala

pada anak, yang merupakan bagian dari ABCDE

neuroanestesi. Anak dengan kesadaran GCS diatas

10 dengan pernafasan yang adequat dan

hemodinamik yang stabil dapat dilakukan

pembebasan jalan nafas dengan cara sederhana

dengan jaw-thrust manuver dan pemasangan jalan nafas oro/naso airway bila GCS < 9 perlu dilakukan

intubasi trakhea.2

Semua obat intravena untuk induksi seperti

barbiturat, etomidat, propofol dapat digunakan

untuk memfasilitasi intubasi trakhea, berpotensi

terjadinya vasokonstriksi serebral, menurunkan

aliran darah otak dan CMRO2 dan dapat

menurunkan tekanan intrakranial.3-5,8 Opoid dan

benzodiazepam dapat diberikan untuk memfasilitasi

intubasi tetapi harus dengan dosis kecil. Lidokain

umumnya diberikan sebagai obat anestesi tambahan

untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh rangsangan laringoskop dan

intubasi trakheal.2-5,8 Semua obat inhalasi

menyebabkan vasodilatasi serebral. Tetapi

penggunaan sevofluran dengan konsentrasi kurang

dari 1 MAC tidak akan meningkatkan aliran darah

otak dibandingkan dengan anestetika inhalasi lain,

oleh sebab itu sevofluran lebih sering digunakan

dibandingkan dengan isofluran, desfluran atau

halotan pada trauma kepala anak.2,3 N2O dapat

meningkatkan tekanan intakranial Namun terpaksa

digunakan untuk mencampur oksigen bila dikamar operasi tidak tersedia udara tekan untuk mencegah

oksigen intoksikasi pada penggunaan oksigen 100%

dalam waktu lama.5,10,11 Obat pelumpuh otot sedikit

memberi efek pada sirkulasi otak. Jalan infus intravena harus adequat untuk memasukkan

kebutuhan cairan intravena. Pada anak hipovolemia

dapat terjadi pada trauma atau luka robek dikepala.

Cairan isotonik pada umumnya dapat digunakan

selama anestesi dan untuk resusitasi serebral, cairan

hipotonik harus dihindari dan cairan koloid masih

dalam perdebatan, hipertonik salin 0,1-1ml/kg berat

badan dapat digunakan untuk menurunkan tekanan

intrakranial dan meningkatkan tekanan perfusi otak.

Monitoring rutin seperti precordial stetoskop,

tekanan darah non invasif, laju nadi, temperatur, EKG, SpO2, ETCO2, kateter urine, dan bila perlu

dengan keadaan tertentu invasif monitoring harus

digunakan. Kontrol tekanan intrakanial harus

dilakukan sampai selesai operasi, pasien di

masukkan ke ICU kalau perlu pasien ditidurkan dan

kontrol ventilasi apabila ada indikasi.2,5,8

Pada hari ke-3 dimana pasien mengalami kejang

selain diberikan anti kejang yang umum juga

diberikan Hypertonic Lactate Solution 0,5 M

(Totilac) suatu diuretik osmotik dengan tujuan

untuk menarik cairan dari jaringan otak

(mengurangi edema otak). Pada hari-2 setelah ventilator dilepaskan masih diberikan fentanyl -

midazolam namun dengan dosis dikurangi bertahap

dan digantikan dengan analgetik non narkotik

dimana pasien tetap diawasi ICU.

IV. Simpulan

Penanganan anestesi pada cedera otak tramatika

anak mempunyai masalah khusus yang

membutuhkan pengetahuan tentang anatomi,

fisiologi dan psikososial dari anak. Pada kasus ini

telah dilakukan penanganan dengan berbagai kekurangan baik alat, obat dan fasilitas yang ada,

dengan hasil akhir pasien membaik dan dapat

dipulangkan dengan keadaan dapat berjalan.

Untuk penanganan pasien yang akan datang, agar

penangganannya lebih baik perlu didalami

pengetahuan dan penataan alat dan berbagai

fasilitas untuk keperluan penanganan trauma pada

anak, agar dapat diperoleh hasil yang lebih baik

lagi.

Daftar Pustaka

1. Gilder F, Turner JM. Principles of Paediatric Neuroanaesthesia. Dalam: Matta BF, Menon

DK, Turner JM, eds. Textbook of

Neuroanaesthesia and Critical Care, 1st ed.

London: Greenwich Medial Media LTP; 2000,

227-38.

Page 22: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

7

2. Vavilala MS, Chestnut R. Anesthesia Considerations for Pediatric neuroanesthesia.

Dalam: Gupta AK, Gels AW, eds. Essential of

Neuroanesthesia and Neurointensive Care, 1th

ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008,192-

201

3. Hobbs AJ, Stirt JA. Pediatric Neuroanesthesia.

Dalam: Sperry RS, Stirt JA, Stone AJ, eds.

Manual of Neuroanesthesia, 1st ed.

Philadelphia: Pensyvania, 1989; 183-204

4. Newfield P, Field LH, Hamid RKA. Pediatric

neuroanesthesia. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed.

Philadelhia: Lippincot William & Wilkins;

2007, 256-77

5. Newfield P, Field LH, Hamid RKA. Pediatric

neuroanesthesia. Dalam: Newfield P, Cottrell

JE, Smith DS, eds. Anesthesia and

Neurosurgery, 4th ed, Philadelphia: Mosby;

2001, 501-29

6. Stock R. Pediatric Head Trauma. Dalam:

Corden TE, ed. Medscape reference, Updated;

November 1; 2011

7. Su F. Traumatic Brain Injury in Children. Dalam: Corden TE, ed. Medscape Reference;

updated November 2; 2011.

8. Soriano SG, McManus ML. Pediatric

neuroanesthesia and critical Care.

Dalam:Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell

and Young’s Neuroanesthesia, 5th ed.

Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, 327-42

9. Soriono SG, Eldred GE, Rockoff MA.

Pediatric Neuro Anesthesia. Anesthesiology

Clinic of North America 20 (2002), 389-404.

10. Hinz CP, Destch O, Hackher C, Kocks E. Coresponding minimum alveolar concentration

of isoflurane and isoflurane / nitrous oxide

have divergent effects on thalamic nociceptive

signaling. Br J Anaesthesia; February 2007 ; 98

(2), 228 – 35.

11. Smith EW, Karsli C, Luginbuehl l, Bissonnette

B. Effect of nitrous oxide on cerebrovacular

reactivity to carbon dioxida in children during

sevoflurane anaesthesia. Br. J Anaesth 2003 ;

91 (2):190-5.

Page 23: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

PENANGANAN ANESTESI WANITA HAMIL UNTUK KRANIOTOMI

EMERGENSI HEMATOMA SUBDURAL

ANESTHETIC MANAGEMENT OF PREGNANT WOMAN FOR EMERGENCY

CRANIOTOMY SUBDURAL HEMATOMA

Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri

Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

RS. Hasan Sadikin -Bandung

Abstract

Trauma during pregnancy, including head injury, is the leading cause of accidental maternal death and

morbidity, and complicates 6%-7% of all pregnancies which requires multidisciplinary patient’s management.

The anesthesiologist must understand the physiological changes of pregnancy, their implications, and the

specific risks of anesthesia during pregnancy, so that the best anesthetic approach can be performed. The unique

physiologic changes of pregnancy, particularly on the cardiovascular system, are both have advantage and

disadvantage after acute traumatic injury.

We reported a 28 years old parturient patient at 27-28 weeks of pregnancy who was admitted to emergency

department due to motorcycle accident with Glasgow Coma Scale (GCS) of E1M4Vt, Blood Pressure 130/70

mmHg, Heart Rate 72 x/minute, Respiratory Rate 16 x/minute.The patient was already intubated using an

endotracheal tube no.6.5, the pupils were equal, round and still reactive to light stimulation, fetal heart rate

(FHR) was 140-144 x/minute, and head computed tomography scan showed right temporoparietal subdural hematoma. Endotracheal anesthesia was given with isoflurane, oxygen/air, with implementation of standard

monitors and Doppler for FHR.

The main aim of a neurosurgical intervention in a pregnant woman is to preserve the viability of both the mother

and the infant. The main goal in the management of anesthesia for pregnant woman undergoing a non-obstetric

surgery is to maintain the uteroplacental perfusion. The role of a multidisciplinary team in the care of high risk

parturient patients cannot be avoided.

Key word: pregnant woman, neuroanesthesia, traumatic brain injury, subdural hematoma.

JNI 2102;1(3):170-177

Abstrak

Trauma selama kehamilan, termasuk cedera kepala, adalah penyebab morbiditas dan kematian ibu akibat

kecelakaan dan merupakan 6%-7% penyulit dari keseluruhan kehamilan dan pengelolaan pasien harus

multidisiplin. Spesialis anestesiologi harus memahami perubahan fisiologi pada wanita hamil, implikasinya, dan

risiko khusus pemberian anestesi selama kehamilan sehingga dapat dibuat perencaan penanganannya. Perubahan

fisiologi yang unik dari kehamilan, terutama sistem kardiovaskuler, mempunyai keuntungan dan kerugian

setelah trauma.

Kami melaporkan seorang pasien, umur 28 tahun, dengan umur kehamilam 27-28 minggu masuk ke departemen

emergensi akibat kecelakaan sepeda motor dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E1M4Vt, tekanan darah 130/70

mmHg, laju nadi 72 x/menit, laju nafas 16 x/menit, telah diintubasi dengan pipa endotrakhea no.6.5, pupil

isokor, refleks cahaya positif, laju jantung fetus 140-144 x/menit, dan hasil CT-scan menunjukkan adanya

subdural hematoma temporoparietal kanan. Anestesia endotrakheal dengan isofluran, oksigen/udara dengan monitor standar dan Doppler untuk memantau laju jantung fetus.

Tujuan utama intervensi bedah saraf pada wanita hamil adalah adalah untuk kelangsungan hidup ibu dan anak.

Sasaran utama penanganan anestesi untuk wanita hamil yang tidak dilakukan operasi obstetri adalah

mempertahankan perfusi uteroplasenta. Peranan tim multidisiplin dalam penanganan pasien parturien dengan

risiko tinggi tidak dapat diremehkan

Kata kunci: wanita hamil, neuroanestesi, cedera otak traumatik, hematoma subdura.

JNI 2102;1(3):170-177

Page 24: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

I. Pendahuluan

Trauma selama kehamilan, termasuk cedera kepala,

adalah penyebab morbiditas dan kematian ibu

akibat kecelakaan, dan merupakan 6%-7% dari

penyulit keseluruhan kehamilan.1 Trauma di-

hubungkan dengan keguguran dalam trimester

pertama, kelahiran prematur, ruptur membran

prematur, abrupsio plasenta, ruptur uterus, dan

kelahiran mati. 2,3

Penyebab trauma pada kehamilan antara lain

kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, penyerang-an, pembunuhan, kekerasan dirumah, dan luka

penetrasi. Kecelakaan kendaraan bermotor

merupakan kontributor terbanyak pada kematian

ibu dan janin akibat trauma. Fetal loss terjadi pada

0,03–0,09% kejadian trauma ibu. 3

Cedera otak traumatik pada wanita hamil mungkin

disertai trauma ditempat lain dan resusitasi dini

yang agresif pada ibu juga menghasilkan resusitasi

pada fetus. Bila ada indikasi intubasi endotrakheal

dan ventilasi, harus digunakan rapid sequence

induction (RSI) dengan pentotal atau propofol

dengan succinylcholin. Untuk menghindari kompresi vena cava, setelah 20 minggu kehamilan

harus dilakukan left lateral tilt dari keseluruhan

tubuh pasien, karena mengganjal panggul saja akan

mengakibatkan tidak stabilnya columna vertebralis. 1 Difficult intubation ditemukan pada 1 dalam 300

wanita hamil. Walaupun tidak ada konsensus

metode terbaik untuk pasien dengan cervical-spine

injury, teknik fiberoptik mungkin lebih

memungkinkan pada wanita hamil dengan cervical-

spine injury karena adanya tambahan kesulitan

yaitu adanya kehamilan dan tidak stabilnya leher.1

Pengelolaan optimal memerlukan pengertian

fisiologi maternal dan fetal, perubahan

farmakodinamik dan farmakokinetik obat, dan

pendekatan yang sensitif terhadap pasien. Penyebab

utama kematian fetal adalah akibat kematian ibu,

diikuti dengan abrupsio plasenta. Pengelolaan

pasien harus multidisiplin dan spesialis

anestesiologi harus memahami perubahan fisiologi

pada kehamilan, implikasinya, dan risiko spesifik

dari anestesia selama kehamilan, sehingga dapat

dirancang cara pengelolaan pasien yang baik.1,4

Perubahan fisiologik yang unik pada kehamilan, terutama pada susunan saraf pusat, sistim respirasi,

kardiovaskuler, hematologik, gastrointestinal dapat

mempengaruhi teknik dan obat anestesi yang biasa

diberikan pada pasien dengan cedera kepala.5 Pada

sistem kardiovaskuler, setelah kejadian cedera

trauma akut, perubahan fisiologik ini dapat

menguntungkan atau merugikan. Peningkatan

fisiologik dalam volume darah dapat memberikan

proteksi setelah cedera yang mana darah dialirkan

ke organ vital. Akan tetapi, perubahan dalam laju

jantung dan tekanan darah dapat membawa kearah

kegagalan atau salah penilaian luasnya cedera dan

kehilangan darah ketika dilakukan evaluasi awal

suatu trauma. 1

II. Kasus

Seorang wanita umur 28 tahun dengan G1P1A0,

umur kehamilan 27-28 minggu, perkiraan berat

badan 60 kg, masuk ke Departemen Emergensi karena kehilangan kesadaran dan 2 jam sebelum

masuk rumahsakit pasien mengalami kecelakaan

lalu lintas.

Pemeriksaan Fisik

GCS: E1M4Vt, tekanan darah 130/70 mmHg, laju

nadi 72 x/menit, laju nafas 16 x/menit, jalan nafas

bebas, terintubasi dengan pipa endotrakhea no.6.5,

pupil bulat iskor, refleks cahaya positif.

Status obstetricus: Uterus gravida: 27-28 minggu,

tinggi uterus: 24 cm, laju jantung fetal 140-144

x/menit, perkiraan berat fetal 1000 gr. Pada regio parietal dextra hematoma (+), pada regio abdomen

massa (+) pada level umbilical, pada regio lumbalis

sinistra bruised (+).

Pemeriksaan Lab

PT:11.9 dtk INR:0.96 APTT:25.9dtk Hb:10.3 mg/dl

Ht:30 % Leukosit:24.400/mm3, thrombosit

192.000/mm3, ureum:11 mg/dl, kreatinin: 0,44

mg/dl, glukosa darah:172 mg/dl, Na:135 meq/l,

K:3,3 meq/l, AGD: pH: 7,448, pCO2: 26,6, pO2:

101,9, HCO3: 18,5, TCO2: 19,3, BE: -5,6, Sat O2:

97,8.

Hasil CT-scan:

CT-scan kepala: subdural hematoma

temporoparietal kanan.

Kesan CT-scan: Subdural hematoma dengan mid-

line shift

Page 25: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

Penanganan Anestesi

Pasien tiba di kamar operasi dengan GCS E1M4Vt,

tekanan darah 132/80 mmHg, laju nadi 92 x/menit,

laju nafas 16 x/menit dengan pipa endotrakhea no

6,5. Pasien diinduksi dengan propofol 100 mg,

fentanyl 125 µg, vecuronium 6 mg. Posisi head-up

untuk mengurangi tekanan intrakranial. Dipasang

alas pemanas untuk mempertahankan pasien dalam

normotermi atau sedikit hipotermi. Rumatan

anestesi dengan propofol infus 50-100 µg kg/menit,

0,6-0,8 MAC isoflurane dan 50% oxygen:50% udara tanpa N2O. Ventilasi kendali dengan volume

tidal 8 ml/kg dan nilai end tidal CO2 pada 30 - 35

mmHg. Lama operasi sekitar 2 jam.

Monitoring selama pembedahan dengan

pemantauan standar seperti EKG, SpO2, end tidal

CO2, suhu tubuh, diuresis. Fetal heart rate (FHR)

dimonitor dengan USG Doppler sebelum operasi

dan selama pembedahan berlangsung dan secara

periodik sampai 24 jam pascabedah.

Pada akhir pembedahan, blokade neuromuskuler di

reverse dan pasien dapat bernafas spontan. Tidak

dilakukan ekstubasi sampai pasien betul sadar untuk melindungi jalan nafas dari regurgitasi dan

aspirasi.

BJJ=bunyi jantung janin

Pascabedah

Kondisi pasien pascakraniotomi GCS: E1M4VT dengan tekanan darah 125/73 mmHg, laju nadi 109

x/menit dan laju jantung fetal 152-156 x/menit.

Keterangan: GCS=Glaggow Coma Scale

Keterangan: BJJ=bunyi jantung janin. HR=heart rate/laju jantung/laju nadi

III. Pembahasan

Pengelolaan Prabedah

Tindakan yang terkoordinir penting untuk

kelangsungan hidup ibu dan fetal. Fetus

dipengaruhi secara tidak langsung oleh hipotensi

ibu, vasokonstriksi arteri uterina, hipoksemia ibu, dan perubahan asam-basa ibu, tentu saja setiap

perubahan pada fisiologi ibu dapat menurunkan

perfusi uteroplasenta atau mempengaruhi pertu-

karan gas fetal. Tim emergensi yang melakukan

intubasi melakukan normoventilasi dan mempo-

sisikan ibu miring kekiri untuk mencegah sindroma

hipotensi supine.

Pasien dilakukan pemeriksaan CT-scan. Pemerik-

saan radiologik <5 rad tidak menyebabkan fetal

Page 26: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

anomali atau keguguran. CT-scan <1rad, sehingga aman untuk fetus sepanjang periode kehamilannya

bila perlu dilakukan pemeriksaan CT-scan.2

Adaptasi fisiologik ibu terhadap kehilangan darah

sebagai berikut:

Tabel 2: Adaptasi Fisiologik Ibu Hamil terhadap

Kehilangan Darah

Kehilangan darah Ringan 20–25% dari volume darah (1.200 –1.500 mL)

Takikardia (95–105 kali per menit) Vasokonstriksi— ekstremitas dingin dan pucat Tekanan arteri rerata turun 10–

15% (70–75 mm Hg) Kehilangan darah Sedang 25–35% dari volume darah (1.500–2.000 mL)

Hipoksia jaringan Takikardia (105–120 kali per menit) Gelisah Tekanan arteri rerata turun 25–30% (50–60 mm Hg) Oliguria (kurang dari 0,5 mL/kg

BB)

Kehilangan darah Berat—lebih dari 30% volume darah atau lebih dari 2.000 mL

Syok hemoragik Hipoksia jaringan Takikardia (lebih dari 120 kali per menit) Hipotensi (Tekanan arteri rerata kurang dari 50 mm Hg) Perubahan kesadaran

Anuria Disseminated intravascular coagulation (DIC)

Dikutip dari: Brown HL.3

Pengelolaan kasus harus secara individual

disesuaikan dengan kebutuhan pembedahan dan

neuroanestesi serta umur kehamilan.

Pertimbangan anestesi selama kehamilan adalah

perubahan fisiologik. Wanita hamil berisiko tinggi

untuk terjadi aspirasi maka tindakan profilaksis

sangat penting sebelum dilakukan anestesi selama kehamilan, disebabkan karena wanita hamil mudah

mengalami regurgitasi simptomatik dan silent,

sebab wanita hamil selalu dalam kondisi lambung

penuh. Rapid sequence induction (RSI) dianjurkan

pada kehamilan trimester kedua untuk mengurangi

risiko aspirasi. Bila ingin melakukan RSI, harus

dipikirkan efeknya pada peningkatan tekanan

intrakranial. 6

Perubahan fisiologik pada jalan nafas menyebabkan

perlunya penilaian yang hati-hati pada jalan nafas

dan perancangan pengelolaan jalan nafas sangat

penting. 6 Sebagai akibat dari deposisi lemak dan edema jalan nafas bagian atas, wanita hamil

diprediksi lebih sulit dilakukan intubasi. Pipa endotrakheal dengan ukuran yang lebih kecil dari

yang biasa digunakan, harus siap untuk mengelola

jalan nafas yang sulit, dan awake fibreoptic

intubation harus dipertimbangkan bila diduga ada

jalan nafas yang sulit.5-8

Supine hypotension syndrome dapat dicegah dengan

posisi ibu miring kekiri sedikitnya 150 untuk

mengurangi kompresi aortocaval, hal ini diperlukan

pada kehamilan lebih dari 20 minggu. 5,9

Selama kehamilan kebutuhan oksigen meningkat

dan mekanik respirasi berubah disebabkan karena efek dari uterus yang gravid dan perubahan berat

badan ibu. Penurunan functional residual capacity

(FRC) dapat menyebabkan cepatnya terjadi

desaturasi ibu selama hipoventilasi dan apnoe.

Disebabkan karena tekanan oksigen arteri menurun

2 kali dibandingkan dengan wanita tidak hamil,

maka pemberian oksigen sebelum induksi anestesi

sangat penting. Pasien diberikan oksigen 3 menit

sebelum induksi anestesi melalui kanul binasal atau

3 kali narik nafas panjang. Pada pasien yang koma

akibat cedera otak traumatik, berikan oksigen

melalui sungkup muka. 5

Tabel 2. Adaptasi Ibu pada trauma berhubungan

dengan kehamilan

Kategori Adaptasi Konsekuensi Klinis

Sistim Kardiovaskuler

Curah jantung meningkat 30-50% Laju nadi meningkat 10-15 x/menit Tekanan darah

menurun

Adaptasi terhadap kehilangan darah

Sistim Hematologik

Volume plasma meningkat 40-50% Eritrosit meningkat 30%

Anemia dilusional Volume darah sirkulasi 6 Liter

Sistim Pulmonari

Ventilasi semenit meningkat 30-

40% FRC menurun 20%

Respiratori alkalosis normal Penurunan PCO2

Desaturasi cepat bila apneu atau supine

Uterus dan Plasenta

20-30% shunt Peningkatan ukuran uterus Aliran plasenta, aliran tinggi dan

tahanan rendah.

Kehilangan darah cepat Organ abdomen berpindah Hipotensi pada

posisi supine

Sistim Gastrointestinal

Pengosongan lambung lambat Organ berpindah tempat

Risiko aspirasi Tempat cedera mempengaruhi kerusakan organ

Page 27: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

Dikutip dari: Harris CM. 10

Waktu dilakukan Pembedahan dan Metode

kelahiran

Bila kraniotomi selama kehamilan adalah

merupakan tindakan yang harus dilakukan, maka

pilihan ditentukan oleh umur gestational fetus, dengan umur gestational 32 minggu sebagai cuttoff.

Sebelum 32 minggu kehamilan diteruskan, tapi bila

lebih dari 32 minggu dilakukan seksio sesarea lalu

dilanjutkan dengan kraniotomi. Hal ini bukan saja

disebabkan karena kelangsungan hidup dimulai dari

32 minggu tapi disebabkan saat ini risiko kelahiran

preterm lebih kecil daripada risiko fetus yang

ibunya mendapat terapi untuk hipotensi kendali,

pemberian osmotik diuretik, dan hiperventilasi

mekanik.8

Bila operasi dilakukan pada kehamilan dini (umur kehamilan <24 minggu) pengelolaan fetalnya

berdasarkan pertimbangan spesialis kebidanan.

Spesialis anestesi mungkin menghadapi 3 skenario

yaitu: 1) bayi tidak dilahirkan dan hanya dilakukan

kraniotomi, dan 2) dilakukan seksio sesarea dulu

baru kraniotomi atau 3) kraniotomi dulu baru seksio

sesarea. Pada semua skenario tersebut, spesialis

anestesi harus mengerti perubahan fisiologi wanita

hamil, implikasinya, dan risiko khusus pemberian

anestesi pada wanita hamil.1 Pada kasus ini, wanita

dengan kehamilan 28 minggu, maka tidak

dilakukan seksio sesarea.

Pengelolaan Intraoperatif

Monitoring selama pembedahan dengan monitoring

standar EKG, SpO2, end tidal CO2, suhu tubuh,

diuresis selama pembedahan dan anestesi. FHR

dipantau dengan Doppler sebelum, selama, dan

pascabedah.

Pertimbangan Hemodinamik

Pemantauan tekanan darah invasif dianjurkan

sebelum induksi anestesi, sehingga perubahan

hemodinamik dapat dengan cepat diobservasi dan

diterapi. Untuk memelihara perfusi otak dan perfusi uteroplasenta, mempertahankan stabilitas hemo-

dinamik adalah penting, yang dapat dicapai dengan

pemberian cairan, hindari kompresi aortocaval,

profilaksis atau penggunaan segera obat vasopresor.

Posisi ibu harus efektif untuk memindahkan uterus

yang gravid kekiri. Bila memungkinkan untuk

dilakukan pembedahannya, pasien ditempatkan

pada posisi lateral untuk prosedur intrakranial yang

lama. Bila tidak dipakai monitor tekanan darah

invasif, bisa dengan monitor tekanan darah non-

invasif otomatis kontinyu.

Secara umum, tekanan darah harus diatur mendekati nilai awal. Bila tekanan darahnya dalam

rentang 140/90 sampai 160/110 (preeclampsia

ringan sampai berat), tekanan darah harus

diturunkan sampai kira-kira sampai 140/90 mmHg.

Pada operasi bedah saraf emergensi dimana tekanan

intrakranial meningkat, penurunan tekanan darah

tidak dianjurkan. Pasien ini tiba di kamar operasi

dengan GCS E1M4Vt, tekanan darah 132/80

mmHg, laju nadi 92 x/menit. Pasien diposisikan left

lateral untuk mencegah kompresi aortocaval dan

head up 30o untuk menurunkan tekanan intra-kranial. Tekanan darah ideal pada pasien ini adalah

sistolik 110-140 mmHg dan diastolik 60-70 mmHg.

Bila terjadi bradikardi fetal berat intraoperatif,

dilakukan tindakan untuk memper-baiki aliran

uteroplasenta dan oksigenasi fetal dengan

meningkatkan tekanan darah ibu, memastikan

bahwa posisi pasien left lateral, dan normo-

ventilasi.1

Pengelolaan Ventilasi

Pada wanita hamil, FRC menurun 20% dan

konsumsi O2 lebih tinggi daripada wanita yang tidak hamil. Hipokapnia dan hiperkapnia keduanya

mengurangi aliran darah uterus, menimbulkan

asidosis fetal dan depresi miokardium. Dengan

demikian, selama pembedahan kita bertujuan untuk

mempertahankan hipokapnia ringan untuk men-

cegah fetal stres, seraya menghindari hipoksia dan

melakukan normoventilasi.

Sebagai akibat dari peningkatan ventilasi selama

kehamilan, tekanan CO2 arteri normal pada steady-

state adalah 30-32 mmHg. Hiperventilasi kendali

untuk menurunkan tekanan intrakranial masih merupakan opsi pada kasus peningkatan tekanan

intrakranial akut. Walaupun efek klinis pada aliran

darah plasenta masih diperdebatkan, hiperventilasi

berat (PaCO2 25 mmHg) dapat menyebabkan

vasokonstriksi arteri uterina dan menurunkan curah

jantung ibu serta menurunkan pelepasan oksigen

pada bayi dengan shifting kurfe disosiasi

oxyhemoglobin ibu ke kiri. Hiperventilasi pro-

filaksis pada pasien cedera kepala dengan mencapai

PaCO2 25 mmHg mempunyai efek buruk pada

outcome pasien, karena itu, PaCO2 dipertahankan

dalam rentang 25-30 mmHg. 1

Monitoring Fetal Heart Rate (FHR) dan Fetus

Semua wanita hamil dengan umur kehamilan >20

minggu yang mengalami trauma harus dilakukan

pemantauan cardiotocographic minimal 6 jam.2

Monitoring FHR kontinyu mungkin dapat dilaku-

kan pada kehamilan 18 minggu tapi dibatasi

Page 28: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

kesulitan bila dilakukan operasi abdomen atau ibu obesitas. FHR harus diekpertise oleh operator yang

berpengalaman yang mengerti perubahan yang

terjadi selama anestesi dan pembedahan. Bila

secara teknik memungkinkan, monitoring fetal

dapat menunjukkan kestabilan hemodinamik ibu

dan bukan indikator dari fetal well-being. 6

Variabilias FHR adalah indikator yang digunakan

untuk melihat kehidupan fetal (fetal well-being) dan

dapat dipantau dari kehamilan 25-27 minggu

kedepan. Anestetika mengurangi variabiltas dan

frekuensi FHR, jadi pembacaannya harus diinter-pretasi dalam konteks obat apa yang diberikan.

Fetus manusia dapat merespon stimuli luar seperti

kegaduhan, tekanan, nyeri, dan suhu dingin.

Noksious stimuli menimbulkan respons otonom dan

peningkatan stres hormon. Fetal bradikardi yang

menetap umumnya menunjukkan adanya fetal

distres. Neostigmin dapat menyebab-kan bradikardi

fetal bila diberikan bersama glikopirolate

disebabkan pengurangan transfer plasenta dari

glikopirolate.6

Nilai FHR intraoperatif yang terdeteksi segera,

menyebabkan dilakukan optimalisasi hemodinamik dan oksigenasi maternal dengan terapi cairan,

vasopresor, pemberian produk darah, hiperventilasi,

atau pengaturan posisi. 6

Monitoring fetal menolong spesialis anestesiologi

menilai adekuatnya perfusi bila terjadi hipotensi,

atau bila jumlah besar volume cairan dan darah

hilang. Pemantauan harus diteruskan dan evaluasi

selanjutnya dilakukan bila uterus berkontraksi,

perdarahan per vagina, iritabilitas uterus yang

signifikan, cedera pada ibu, ruptur membran

amnion.2 Monitor FHR dapat digunakan dengan Doppler.

Pasien ini dengan umur kehamilan 27-28 minggu

dan normal FHR adalah 120-160 kali per menit,

dan kita menggunakan monitor FHR dengan

Doppler pada periode prabedah, selama pembeda-

han, dan pascabedah di neurointensive care unit

selama 24 jam.

Fetus sangat berisiko pada susunan saraf pusat pada

umur kehamilan 8-15 minggu dan pertimbangan

dilakukan seksio sesarea bila umur kehamilam 24

minggu keatas. Ada beberapa indikasi untuk seksio

sesarea emergensi adalah kondisi ibu stabil dengan fetus dalam keadaan distress, ruptur uterine akibat

trauma, uterus gravid mengganggu operasi

intraabdominal ibu, dan bila ibu tidak akan selamat

bila fetus masih hidup. Kalau fetus hampir

meninggal atau sudah meninggal, pertolongan

difokuskan pada pengoptimalan kondisi ibu. Seksio

sesarea emergensi merupakan opsi untuk fetus

dengan umur 24 minggu kehamilan dengan ibu sudah meninggal. Pada kasus ini kondisi fetus dan

hemodinamik stabil, sehingga tidak ada alasan

untuk dilakukan seksio sesarea.2

Penggunaan monitor FHR selama operasi non-

obstetri masih kontroversial. Penurunan variabiltas

FHR dan penurunan nilai awal FHR dapat terlihat

pada bayi sehat dan ibunya diberikan anestesi

umum, agaknya, monitor FHR tetap berguna sebab

terjadinya perubahan dapat disebabkan karena

penurunan perfusi uteroplasenta seperti hipoksemia

dan hipotensi.8

Anestetika

Dilakukan anestesi umum, dengan induksi

intravena, dan rumatan anestesi dengan isofluran

dan propofol kontinyu. Fasilitas intubasi dengan

pelumpuh otot non-depolarisasi. Prinsip anestesi

adalah dengan ABCDE neuroanestesia.11,12

Pemberian reverse pelumpuh otot dilakukan secara

perlahan-lahan untuk mencegah peningkatan tibat-

tiba dari asetilkholin yang dapat memicu kontraksi

uterus. Polar molekul seperti obat pelumpuh otot

tidak menembus barier plasenta secara nyata dan

konsentrasi pelumpuh otot dalam darah fetal hanya 10-20% dari konsentrasi pelumpuh otot dalam

darah ibu. Anestetika inhalasi isofluran dipakai

dengan dosis dibawah 1,5 MAC untuk

mempertahankan autoregulasi otak ibu serta tidak

mengganggu reaktivitas pembuluh darah otak ibu

terhadap CO2.11,12

MAC anestetika inhalasi menurun 30% selama

kehamilan yang dimulai dari trimester pertama

kehamilan. Perubahan ini dipostulatkan akibat lebih

tingginya level endorphin dalam sirkulasi dan

peningkatan konsentrasi progesteron yaitu suatu hormon yang mempunyai efek sedatif. Sebagai

akibat dari wanita hamil lebih sensitif terhadap

anestetika inhalasi, konsentrasi inspirasi anestetika

inhalasi yang tidak menimbulkan depresi

kardiovaskuler untuk wanita tidak hamil, dapat

menimbulkan depresi kardiovaskuler pada ibu

hamil. 8

Pemberian N2O menujukkan adanya kejadian

abnormalitas struktur dan keguguran pada tikus dan

saat pemberian menentukan beratnya efek N2O,

efek ini pada permulaannya dipikirkan akibat

inhibisi enzim methionin synthetase dan sterusnya terjadi penurunan kadar methionin dan

tetrahidrofolat. Inhibisi maksimal aktivitas

methionin synthetase terjadi pada level pemaparan

anestetik yang tidak mempunyai efek teratogenik.

Bukti yang lebih baru menunjukkan bahwa efek

fetal dari N2O adalah dari stimulasi alpha

adrenergik dan selanjutnya menurunkan aliran

Page 29: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

darah uterus. Efek ini dapat dilawan dengan anestetika inhalasi yang poten. 8

Pelumpuh otot tidak efek teratogenik pada dosis

klinis. Opioid juga tidak menunjukan efek

teratogenik baik pada penelitan hewan atau

manusia.7,8

Tabel: Induksi dan Rumatan anestesi untuk

Kraniotomi pada wanita hamil

Induksi anestesi Rumatan anestesi

Tiopental 5-7 mg/kg Fentanyl 3-5 ug/kg Lidokain 75 mg Rocuronium 0,9-1,2 mg/kg

Ventilasi dengan sungkup dengan cricroid pressure, Oksigen 10%

Fentanyl 1-2 ug/kg/jam Isofluran 0,5-1%/N2O Pelumpuh otot non depol

Tiopental 5-6 mg/kg/jam bila ―tight brain‖

Dikutip dari: Cottrell and Young’s.8

Karena di Indonesia tidak tersedia tiopental, maka

induksi intravena diganti dengan propofol dan

rumatan anestesia dengan propofol infus 50-100 µg

kg/menit, 0,6-0,8 MAC isoflurane and 50%

oksigen: 50% udara, tanpa N2O.

Mannitol dan Terapi Cairan

Berabagai cara untuk menegendalikan ICP, seperti posisi head-up, tidal voume rendah selamam

ventilasi tekanan positif, dan hindari muntah.

Mannitol yang diberikan pada wanita hamil secara

lambat diakumulasi di fetus, dan fetal

hiperosmolalitas akan menyebabkan perubahan

fidiologis seperti produksi cairan paru fetal

berkurang, penurunan aliran darah urinari,

meningkatkan konsentrasi sodium plasma. Pada

hewan coba, terjadi transfer cairan dari fetus ke ibu,

meningkatkan kemungkinan terjadinya fetal

dehidrasi. Akan tetapi, dalam satu laporan kasus,

telah digunakan mannitol dengan dosis 0,25-0,5 g/kg dan aman. Furosemid merupakan alternatif

lain tapi harus digunakan dengan hati-hati. Diuresis

harus dipantau setiap jam. Terapi cairan intravena

adalah yang bersifat isonatremik, isotonik, tidak

mengandung glukosa untuk mengurangi risiko

edema serebral dan hiperglikemia.1

Pasien ini diberikan cairan 1500 mL NaCl 0,9%

dan 500 mL ringer laktat. Penggantian cairan

berdasarkan indikator diuresis dan diberikan cairan

3/4 jumlah diuresis.

Terapi Antiemetik

Kebanyakan obat antiemetik aman bila digunakan

selamam kehamilan, dan dianjurkan penggunaan

metoclopramide, antihistamin, dan droperidol.

Serotonin 3 receptor (5-HT3) antagonist juga aman

berdasarkan penelitian hewan coba dan pengalaman klinis dan telah digunakan selama kehamilan.1

Pengelolaan Pascabedah

Managemen Nyeri

Setelah prosedur intrakranial, wanita hamil harus

dirawat di ICU untuk obsevasi dan terapi

selanjutnya. Walaupun secara umum rasa nyeri

setelah kraniotomi lebih ringan dari rasa nyeri

setelah operasi ekstrakranial, nyeri setelah

kraniotomi bersifat sedang sampai berat pada 50%

pasien. Analgesia pascabedah yang baik harus

diberikan untuk kenyamanan dan mobilitas pasien serta untuk mengurangi gejolak hemodinamik yang

tidak diinginkan.1

Analgesia lebih baik dengan pendekatan

multimodal kombinasi infiltrasi anestesi lokal, atau

scalp blok, opioid dan paracetamol. Penelitian yang

membandingkan morfin, kodein, dan tramadol

untuk pengelolaan nyeri pascakranitomi

menunjukkan bahwa morfin memeberikan efek

terbaik dengan beberapa efek samping. Tramadol

sangat terbatas penggunaannya disebabkan karena

walaupun tidak menyebabkan depresi nafas, tapi

menurunkan ambang kejang. Inhibitor cyclooxygenase 1 dan 2 ( inhibitor COX1 dan

COX2) umumnya dihindari disebabkan karena

efeknya pada fungsi platelet dan kemungkinan

perdarahan setelah operasi intrakranial, atau karena

kemungkinan komplikasi pada fetal (gagal ginjal,

necrotizing enterocolitis, dan persistent fetal

circulation after birth) khususnya bila diberikan

setelah kehamilan 32 minggu. COX2 inhibitor

seperti celexocib, parecoxib, dan valdecoxib tidak

mempunyai efek pada platelet tapi belum dievaluasi

efek pemberian selama kehamilan.1 Pada pasien in diberikan metamizole 2 gram.

IV. Simpulan

Operasi bedah saraf jarang dilakukan pada wanita

hamil, tapi diperlukan tim multidisiplin dan

pertimbangan hati-hati tentang waktu pembedahan

dan melahirkan bayi. Tujuan dari intervensi bedah

saraf pada wanita hamil adalah memelihara

kelangsungan hidup ibu dan fetal. Target utama

pengelolaan anestesi untuk wanita hamil tanpa

dilakukan operasi obstetrik adalah memelihara

perfusi uteroplasenta. Peranan tim multidisplin dalam mengelola pasien hamil dengan risiko tinggi

tidak dapat diremehkan.

Page 30: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

Daftar Pustaka

1. Wang LP, Paech MJ. Neuroanesthesia for the

pregnant woman. Anesth Analg 2008;107:193–

200.

2. Barraco RD, Chiu WC, Clancy TV, Como JJ,

Ebert JB, Hess LW, et al. Practice management

guidelines for the diagnosis and management

of injury in the pregnant patient: the EAST Practice Management Guidelines Work Group.

The Eastern Association for the Surgery of

Trauma. 2005: 1-19.

3. Brown HL. Trauma in Pregnancy. Obstet

Gynecol 2009;114:147–60.

4. Mhuireachtaigh R, O’Gorman DA. Anesthesia

in pregnant patients for nonobstetric surgery.

Journal of Clinical Anesthesia 2006; 18: 60–

66.

5. Datta S. Obstetric Anesthesia Handbook, edisi

ke-4. USA: Springer;2006

6. Bisri DY, Bisri T. Strategi untuk mencegah

aspirasi isi lambung pada operasi cedera otak

traumatika emergensi. JNI 2012,1(1):51-58

7. Wlody DJ, Weems LD. Neurosurgery in the

pregnant patient. Dalam: Newfield P, Cottrell

JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia, edisi-4.

Philadelphia: Lippincott Willams & Wilkins;

2007, 278-95.

8. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for

neurosurgery in the pregnant patient. Dalam:

Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and

Young’s neuroanesthesia, edisi-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010,416-24.

9. Bisri DY, Redjeki IS, Himendra A. The

comparative of effect of bolus-infusion

oxytocin with infusion oxytocin on blood

pressure, heart rate, and uterine contraction of

women undergoing elective caesarean section

with general anesthesia N2O-sevoflurane.

InaJA 2010;1(1):1-9.

10. Harris CM. Trauma and pregnancy. Dalam:

Foley MR, Strong TH, Garite TJ, eds., edisi

ke-3. New York: Mc Graw Hill Medical; 2011, 213-21.

11. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi. Bandung:

Saga Olah Citra; 2011.

12. Bisri T. Penanganan Anestesia dan Critical

Care: Cedera Otak Traumatik. Bandung:

Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran;2012.

Page 31: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN PENYAKIT

JANTUNG HIPERTENSI

SUBDURAL HEMATOM IN PATIENT WITH ATRIAL FIBRILATION AND

HYPERTENSIVE HEART DISEASE

Agus Baratha Suyasa, *) Sudadi **)

*) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Kasih Ibu Hospital, Denpasar – Bali

**) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif FK Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito-Yogyakarta

Abstract Traumatic Brain Injury (TBI) is one of the serious life-threatening condition in trauma victim, and as the

major cause of disability and death in adult and children. Subdural hematoma is the most often focal

intracranial lesion found, with the incidence of 24% in close head injury cases. Approximatelly 6-24% of Atrial

Fibrilation (AF) contributes to ischemic stroke and sudden death because of heart failure.

We reported a 63 years old female, diagnosed with subdural hematoma of the right temporoparietal,

atrial fibrillation and hypertensive heart disease, who arrivde at the hospital with history of unconsciousness,

and severe headache due to motor vehicle accident, and undergone a craniotomy clot evacuation and reposition

fixation of the fractured bones. The procedure was performed under general anesthesia, using ETT No 7,5.,

controlled ventilation. NGT no 16 was inserted for gastric decompression. Two mg of Midazolam and 1,5

mg/KgBW of lidocain given intravenously 3 minutes prior to intubations was used as premedications, 100 μg

intravenou Fentanyl,was given as co induction. Induction anesthesia was performed using 100mg propofol and

0,1mg/KgBW vecuronium to facilitate intubations. Maintenance of anesthesia was obtained using O2, N2O, sevoflorane, continuous drip of 100 mg/hour propofol, 6mg/hour vecuronium,and 0,25mg/24hours of digoxin

continuous drip was given. The procedure was done in 4 hours. During the operation, haemodynamic remained

stable with SBP 130 – 150 mmHg, DBP 70-90 mmHg, HR 90-110 bpm irregular and SaO2 99-100 %. EtCO2

level was 30-33. The patient was not extubated by end of surgery, because ECG monitor showed VES bigemini

and rapid ventricular response of AF. The patient was directly transferred to the ICU after the procedure.

Decreased in brain tissue oxygenation is the physiological impact of body system. Hypertension,

arrhythmia, hyperglycemia, hyperthermia and hypernatremia can occur due to sympathetic storm. The most

common arrhythmias that could occur are bradycardia, ectopic beat, irregular beat, atrial fibrillation and

supraventricular tachycardia. Arrhythmias due to myocardial infarction or thromboemboli (AF and SVT) must

be treated immediately when considered as a life threatening condition which provokes a hemodynamic

instability and cerebral hypoxia Optimal pre-operative management including oxygenation, cardiorespiration stabilization, arrhythmia managemen and, adequate fluid status, will improve the outcome.

Keywords: Traumatic Brain Injury, Subdural Hematom, Atrial Fibrilation, Hypertensive Heart Disease.

JNI 2102;1(3):178-188

Abstrak

Cedera kepala traumatik merupakan salah satu kondisi yang mengancam jiwa secara serius pada korban

kecelakaan, dan merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian pada dewasa dan anak-anak. Subdural

hematom merupakan lesi fokal intrakranial yang paling sering dijumpai, sekitar 24% dari pasien yang

mengalami cedera kepala berat tertutup. Atrial Fibrilasi (AF) menyebabkan 6-24% kejadian stroke iskemik serta

dapat terjadi kematian secara tiba-tiba karena gagal jantung.

Seorang wanita 63 th dengan subdural hematom temporoparietal D, atrial fibrilasi dan penyakit jantung hipertensi, dengan riwayat jatuh dari motor, pingsan, mual dan nyeri kepala hebat. Rencana dilakukan

kraniotomi evakuasi clot dan reposisi fiksasi fraktur. Operasi dilakukan dengan anestesi umum, menggunakan

ETT No 7,5, ventilasi kendali. NGT no.16 dipasang untuk dekompresi. Premedikasi dengan midazolam 2 mg.

Lidocain 1,5 mg /KgBB 3 menit sebelum intubasi. Co induksi menggunakan fentanyl 100 μg, induksi dengan

propofol 100 mg. Fasilitas intubasi dengan vekuronium 0,1 mg / KgBB. Pemeliharaan anestesi menggunakan O2

+ N2O + Sevofluran. Propofol di berikan kontinyu 100 mg/jam, Vekuronium 6mg /jam, Digoksin drip

0,25mg/24 jam. Operasi dilakukan selama 4 jam. Selama operasi hemodinamik relatif stabil, tekanan darah

sistolik 130-150 mmHg, tekanan darah diastolik 70-90mmHg, laju nadi (HR) 90-110 x/mnt ireguler, SaO2 99-

100 %, EtCO2 30-33. Ekstubasi tidak dilakukan dikamar operasi karena terdapat VES bigemini dan rapid

ventricular respons terhadap AF, pasien kemudian dibawa ke ICU.

Page 32: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

Penurunan oksigenasi jaringan otak merupakan akibat dari dampak fisiologis pada sistem tubuh. Hipertensi, aritmia, hiperglikemi, hipertermi dan hipernatremi dapat muncul akibat sympathetic storming.

Aritmia yang sering muncul adalah bradikardi, denyut ektopik, denyut ireguler, atrial fibrilasi dan

supraventrikuler takikardi. Aritmia harus segera ditangani jika mengancam kehidupan, dan menyebabkan

instabilitas hemodinamik serta hipoksia serebral, baik karena infark miokard maupun thromboemboli (AF dan

SVT). Persiapan yang baik sebelum pembedahan yaitu oksigenasi, stabilisasi respirasi dan kardiovaskuler

termasuk terapi aritmia, serta status cairan yang adekuat akan memberikan hasil yang lebih baik.

Kata Kunci : Cedera Otak Traumatik, Subdural Hematom, Atrial Fibrilasi, Penyakit Jantung Hipertensi.

JNI 2102;1(3):178-188

I. Pendahuluan

Cedera kepala traumatik merupakan salah satu

kondisi yang mengancam jiwa secara serius pada

korban kecelakaan, dan merupakan penyebab

utama kecacatan dan kematian pada dewasa dan

anak-anak. Diperkirakan 1,5 juta orang mengalami

cedera kepala traumatik setiap tahunnya di USA,

dan 50.000 orang diantaranya meninggal, serta

80.000 sisanya mengalami kecacatan permanen. Hematoma subdural merupakan lesi fokal

intrakranial yang paling sering dijumpai, sekitar

24% dari pasien yang mengalami cedera kepala

berat tertutup. Cedera kepala traumatik

memberikan efek yang besar pada kehidupan

individual dan keluarganya termasuk biaya rumah

sakit, rehabilitasi sosial serta perawatan jangka

panjang. Penanganan yang cepat dan tepat

diperlukan untuk mencapai outcome yang baik. 1,2

Atrial Fibrilasi (AF) merupakan kejadian aritmia

jantung yang paling sering ditemukan pada praktek

klinis dan merupakan sepertiga dari kasus gangguan irama jantung yang dirawat di rumah

sakit serta jumlahnya meningkat setiap tahunya.

Diperkirakan 2,2 juta orang di Amerika dan 4,5 juta

orang di Eropa mengalami AF. Sebuah penelitian

menyatakan bahwa AF menyebabkan 6-24%

kejadian stroke iskemik, hal ini mungkin karena

pada AF terjadi pengumpulan darah pada atrium

kiri karena kontraksi yang tidak sinkron, sehingga

menyebabkan terbentuknya trombus yang dapat

menyumbat aliran darah di seluruh tubuh, seperti

pembuluh darah otak yang menyebabkan stroke iskemik. Jika pembuluh darah paru-paru yang

tersumbat, dapat terjadi kematian secara tiba-tiba

karena gagal jantung. Namun 3-11% AF

menunjukkan struktur jantung yang normal. 3,4

Keadaan ini saling memperberat, pada cedera

kepala traumatik terjadi peningkatan aktivitas

simpatis sebagai respon terhadap stress

(sympathetic storming). Hipertensi, aritmia,

hiperglikemi, hipertermi dan hipernatremi dapat

muncul akibat sympathetic storming. Aritmia yang

sering muncul adalah bradikardi, denyut ektopik,

denyut ireguler, atrial fibrilasi dan supraventrikuler

takikardi. Aritmia harus segera ditangani jika

mengancam kehidupan, dan menyebabkan

instabilitas hemodinamik baik karena infark

miokard maupun thromboemboli (AF dan SVT). 5,9

II. Kasus

Seorang wanita umur 63 tahun. BB 60 kg, masuk

RS dengan Diagnosis : Subdural Hematom temporoparietal D

Fraktur Rima Orbita Inferior D

Fraktur Os Zygoma D

Fraktur Os Temporalis D

Atrial Fibrilasi

Hipertensive Heart Disease

Prosedur : Craniotomi, Trepanasi, Evakuasi Clot

Reposisi fiksasi fraktur

Anamnesis

Seorang wanita 63 th, kiriman dari RS swasta

kabupaten dengan cedera kepala sedang dan subdural hematom. Keluhan Utama: Sakit kepala

hebat, setelah jatuh dari motor.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pada tanggal 17 Desember 2011 pukul 15.30

WITA, penderita terjatuh dari sepeda motor, karena

terserempet mobil. Pingsan (+), mual (+), muntah

(-)

Penderita dibawa ke RS swasta di Singaraja,

dilakukan CT-scan kepala. Kemudian penderita

dirujuk ke RS Kasih Ibu Denpasar.

Hasil CT-scan kepala menunjukkan perdarahan subdural regio temporoparietal kanan, fraktur rima

orbita inferior kanan, fraktur tulang zygoma kanan,

fraktur tulang temporalis kanan.

Riwayat Asthma (-), Allergi (-), Hipertensi (+),

Riwayat sakit jantung tidak jelas

Riwayat jantung sering berdebar (+), riwayat sesak

nafas (+)

Page 33: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

61

SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN

PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum: Sadar, tampak bengkak pada

wajah, hematom pada mata kanan

Survei Primer

Airway Bebas, oksigenasi 3 L/mnt O2 nasal

kanul

Breathing Nafas spontan 24 - 28 x/mnt,

gerakan dinding dada simetris (+)

Pola nafas Thorakoabdominal,

vesikuler (+/+), wheezing (-/-),

rhonki (-/-)

Circulation TD 180/90 mmHg, HR 90 x/mnt, irregular

Bising (-), sianosis (-), ekstremitas

hangat, temperatur : 36o C

Disability Tingkat kesadaran : GCS = E3 M6

V5 = 14

Pupil kiri bulat 3 mm. Reflek

cahaya (+). Pupil kanan tidak bisa

di evaluasi.

Motorik 5 / 5 / 5 / 5, Sensorik + /+

/ + / + Reflek fisiologis (+)

Defisit neurologis lain (-)

Survei Sekunder

Kepala TMD 5 cm. Brail hematom mata

kanan, wajah bengkak

Gerakan kepala bebas ke segala

arah

Leher JVP tidak meningkat

Thorak Bentuk dan gerakan dada

simetris, jejas (-)

Abdomen Supel, Bising Usus (+), jejas (-)

Ekrstremitas Deformitas (-),hangat (+),

Capilary refill <2 detik Motorik 5 / 5 Sensorik + / +

5 / 5 + / +

Pemeriksaan Laboratorium pre op (18 Desember

2011)

Haemoglobin 12,9 gr/ dL BUN 21,8 mg/dL Leukosit 13,5 / mm3 Creatinin 0,80 mg / dL

Eritrosit 4000 / mm3 Haematokrit 38,1 %

Trombosit 251 000 / mm3 CT/BT 2.00/13.15 Gula darah 159 mg / dL Natrium 139 mMol / L

Kalium 4,3 mMol / L Klorida 108 mMol / L

Foto Thorak

Paru : Corakan Bronchovaskular meningkat,

kedua sudut costofrenicus tajam

Jantung : Cardiomegali

CT- Scan Kepala (pre op)

subdural hematom regio temporoparietal kanan

fraktur rima orbita inferior kanan

fraktur tulang zygoma kanan

fraktur tulang temporalis kanan.

Page 34: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

Gambaran EKG

Assessmen :

1. subdural hematom regio temporoparietal

kanan

2. fraktur rima orbita inferior kanan

3. fraktur tulang zygoma kanan

4. fraktur tulang temporalis kanan. 5. Atrial fibrilasi rapid ventricular respons

6. Hipertensive heart disease

Rencana Tindakan

1. Informed consent

2. Persiapan operasi, Infus NaCl 0,9% 24

tts/mnt

3. O2 2L/menit nasal

4. Stabilisasi irama jantung, digoksin drip

0,25 mg/ 24 jam 5. Phenitoin 500 mg drip dalam 100 mL

NaCl, habis dalam 1 jam

6. Operasi cito, kraniotomi evakuasi clot dan

kranioplasti

7. Post operasi pemantauan di ICU

Pengelolaan Anestesi

Teknik pengelolaan anestesi dilakukan dengan

anestesi umum, menggunakan ETT No 7,5,

ventilasi kendali. NGT no.16 dipasang untuk

dekompresi. Premedikasi dengan midazolam 2 mg.

Co induksi menggunakan fentanyl 100 μg, induksi

dengan propofol 100 mg. Lidokain 1,5 mg /KgBB

diberikan 3 menit sebelum intubasi. Fasilitas

intubasi dengan vekuronium 0,15 mg/KgBB.

Pemeliharaan anestesi dengan O2 + N2O +

Sevofluran. Propofol di berikan kontinyu 100

mg/jam, Vekuronium 6mg /jam, Digoksin drip 0,25mg / 24 jam.

Operasi dilakukan selama 4 jam, evakuasi clot di

regio temporoparietal kanan dan fiksasi fraktur

tulang zygoma kanan. Selama operasi

hemodinamik relatif stabil, tekanan darah sistolik

berkisar 130-150 mmHg, tekanan darah diastolik

70-90mmHg, laju nadi (HR) 90-110 x/mnt ireguler,

SaO2 99-100 %, etCO2 30-33. Pasca operasi pasien

masih tetap kontrol ventilasi karena adanya rapid

ventricular respons dan VES bigemini. Post operasi

dirawat di ICU.

Status Anestesi

Page 35: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

63

SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI

CATATAN HARIAN PASIEN DI ICU

Tgl /jam Klinis Intake Lab/Penunjang Terapi Masalah Ket 18/12/2011 Hari 0 09.00 11.00

KU : tersedasi, masih terintubasi A : Clear, terpasang ETTno 7,5 B : Ventilator BIPAP 12 P 15 ASB 10 FiO2 80% Vesikuler +/+ , rhonki -/- C : TD 205 / 105 , N 122 X/mnt, ireguler SaO2 96%, VES bigemini EtCO2 33 D: GCS tdk dpt dinilai (DPO) Pupil kanan tidak dapat dinilai Pupil kiri 3mm, RC (+) Kepala : terdapat bekas craniotomi Mata kanan tampak

bengkak, hematom (+) Thx : vesikuler +/+, Rh -/-, whz -/- , suara jantung ireguler bising (-), gallop (-) Abd : Supel, NT (-), H / L ttb Ext : Sianosis (-), Pucat (-), oedem (-) Ass : 1. post craniotomi evakuasi clot e.c sub

dural hematom regio temporoparietal kanan

2. fraktur rima orbita inferior kanan 3. fraktur tulang zygoma kanan 4. Post cranioplasti fraktur tulang

temporalis kanan. 5. Atrial fibrilasi rapid ventricular

respon 6. Hipertensif heart disease 7. Congestif heart disease Ekstubasi KU : tersedasi, post ekstubasi A : Clear, NRM O2 6L/mnt B : Spontan, RR18-20 x/mnt Vesikuler +/+ , rhonki -/- C : TD 137 / 85 , N 92 X/mnt, ireguler SaO2 97%,VES jarang D: GCS, E3M6V5 = 14 Pupil kanan tidak dapat dinilai Pupil kiri 3mm, RC (+) Kepala : terdapat bekas craniotomi Mata kanan tampak

bengkak, hematom (+) Thx : vesikuler +/+, Rh -/-, whz -/- , suara jantung ireguler bising (-), gallop (-) Abd : Supel, NT (-), H / L ttb Ext : Sianosis (-), Pucat (-), edema (-)

NaCl 0,9% 1000mL Asering 500mL NaCl 0,9% 1000mL Asering 500mL

Hb : 12,5 L : 17,93 HCT : 38,7 RBC : 4,09 Plt : 237 AGD pH : 7,17 pCO2 : 67 pO2 : 73 HCO3 : 24,4 BE : -4,10 SO2 : 90%

Head up 30 0

Oksigenasi ventilator BIPAP12, P 15 ASB10 FiO2 80% Weaning bertahap Ceftazidime 2x1 gr iv Pantoprazole 1x 40 mg iv Fenitoin 3x100 mg iv Ondansetron 2x4 mg iv Analgetik drip fentanil 200μg+Tramadol 100 mg + Ketorolac 60 mg drip dlm 500 cc NaCl 0,9% , 40 cc/jam Digoxin drip 0,5mg / 24 jam Catapres 0,2 ug/kg/jam titrasi Amiodaron drip 900mg / 24jam Nifedipin 10 mg sublingual Nebuliser tiap 8 jam Lab DL, AGD Head up 30

0

Oksigenasi NRM 6L/mnt Ceftazidime 2x1 gr iv Pantoprazole 1x 40 mg iv Fenitoin 3x100 mg iv Ondansetron 2x4 mg iv

Analgetik drip fentanil 200μg+Tramadol 100 mg + Ketorolac 60 mg drip dlm 500 cc NaCl 0,9% , 40 cc/jam

Digoxin drip 0,5mg / 24 jam Catapres 0,2 ug/kg/jam titrasi Amiodaron drip 900mg / 24jam Nifedipin 10 mg sublingual Nebuliser tiap 8 jam Lab AGD ulang

Atrial fibrilasi Rapid ventrikular respon Hipertensi Respirasi belum adekuat Atrial fibrilasi Rapid ventrikular respon Hipertensi

Extubasi dilakukan jika TV cukup Monitoring ketat

Monitoring ketat

19/12/2011 Hari 1 08.00

KU : CM, sesak nafas (-),panas (-) A : Clear B : Spontan, RR 16-18 x/mnt Vesikuler +/+ , rhonki -/- C : TD 130/73 , N 82 X/mnt, SaO2 97-98% D: GCS = E4M6V5 = 15 Pupil kanan tidak dapat dinilai Pupil kiri 3mm, RC (+) Ass : 1. post craniotomi evakuasi clot e.c sub

dural hematom regio temporoparietal kanan

2. fraktur rima orbita inferior kanan 3. fraktur tulang zygoma kanan 4. Post cranioplasti fraktur tulang

temporalis kanan. 5. Atrial fibrilasi non rapid ventrikular

respon 6. Hipertensive heart disease 7. Congestive heart disease

NaCl 0,9% 1000mL Tutofusin OPS®

500mL

Head up 30 0

Oksigenasi nasal 3L/mnt Ceftazidime 2x1 gr iv Pantoprazole 1x 40 mg iv Fenitoin 3x100 mg iv Ondansetron 2x4 mg iv Analgetik Ketesse 3x1 amp iv Amiodaron tab 1x 200 mg Nebuliser K/P

Atrial Fibrilasi Awasi tanda tanda Rapid Ventrikuler Respons Awasi tanda gagal jantung Boleh Pindah ke Ruangan

Page 36: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

P emantauan T ekanan D arah,MAP ,

L aju J antung , S pO2, etC O2 P as c abedah

102030405060708090

100110120130140150160170180190200210220

H 0-Int H 0-E xt H 1

S is tolik D ias tolikMAP D enyut J antungetC O 2 S pO 2

Grafik Perubahan Hemodinamik Pascabedah

Keterangan: H0-Int : Hari ke-0, intubasi H0-Ext : Hari ke-0, extubasi H1 : Hari ke-1

III. Pembahasan

A. Cedera Otak Traumatik

Cedera otak traumatik di klasifikasikan menjadi

cedera primer dan sekunder. Cedera otak primer

adalah ireversibel, yang terjadi pada saat terjadinya

benturan, aselerasi-deselerasi dan menimbulkan

kerusakan pada tulang tengkorak, jaringan otak dan jaringan saraf akibat axon yang putus (DAI).

Setelah kejadian cedera otak primer, cedera

sekunder muncul karena hipoksia, hiperkapnia,

hipotensi, gangguan biokimia dan hipertensi

intrakranial, dimana semuanya menyebabkan

iskemik serebral. Cedera otak sekunder dapat di

atasi maupun dicegah dengan intervensi medis yang

baik. Indikasi dilakukan pembedahan jika terjadi

kompresi pada sisterna basalis akibat karena resiko

terjadinya herniasi. 1,2

1. Patofisiologi

1.1. Efek Sistemik

Respon kardiovaskular seringkali terlihat pada

stadium awal cedera otak, seperti hipertensi,

takikardi dan peningkatan curah jantung. Pada

cedera otak yang berat, cedera sistemik multipel

dan kehilangan darah yang banyak, respon yang

muncul adalah hipotensi dan penurunan curah

jantung. Hipotensi (TDS < 90 mmHg) saat tiba di

rumah sakit meningkatkan mortalitas dan

morbiditas secara signifikan. Respon respirasi pada

cedera otak termasuk apnea, pola nafas abnormal, hiperventilasi, aspirasi karena muntahan dan

central neurogenic pulmonary edema. Regulasi

suhu tubuh juga terganggu, hipertermi dapat terjadi

dan memperberat cedera yang ada.2

1.2. Perubahan sirkulasi dan metabolisme

serebral

Pada daerah cedera fokal, CBF dan CMRO2

menurun pada pusat cedera dan penumbra, dengan

area hipoperfusi di sekitarnya. Jika TIK meningkat

maka akan semakin hipoperfusi dan

hipometabolisme.2

1.3. Pembengkakan Otak Akut dan Edema

Serebral

Pembengkakan otak akut di sebabkan oleh

penurunan tonus vasomotor serta peningkatan

volume pada jaringan pembuluh darah serebral.

Pada keadaan ini peningkatan tekanan darah dapat

dengan mudah menyebabkan pembengkakan otak

dan peningkatan TIK. Edema Serebral seringkali

vasogenik atau sitotoksik karena kerusakan sawar

darah otak (blood brain barrier) dan iskemia.

Kedua keadaan diatas dapat terjadi bersama dengan trauma kepala,jika keadaan tersebut tjd karena

adanya hematom intra serebral, maka TIK yang

terjadi akan menyebabkan penurunan CBF dan

iskemia. Jika tidak dilakukan penanganan segera

akan menyebabkan herniasi batang otak melalui

foramen magnum.2

Page 37: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

65

SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN

PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI

1.4. Eksitotoksisitas, Inflamasi sitokin dan

mediator

Cedera kepala menyebabkan pelepasan glutamat

dari neuron dan sel glia, meningkatkan konsentrasi

glutamat pada CSF, sehingga meningkatkan

kalsium intraseluler. Keadaan ini mengaktivasi

phospolipase, protrein kinase, protease, NO

sintetase dan enzim lainya yang memacu

terbentuknya lipid peroksidase, proteolisis, radikal

bebas dan kereusakan DNA sehingga menyebabkan

kematian sel. Sitokin meningkat pada keadaan

iskemia serebral. Pasien dengan GCS < 8 memiliki kadar IL-6 yang lebih tinggi. Pelepasan sitokin

setelah TBI menstimulasi produksi radikal bebas,

asam arachidonat dan molekul adhesi yang

mengganggu mikrosirkulasi.2

Skema. 1. Patofisiologi pada Cedera Otak

Traumatik

Dikutip dari: Sakabe T et al.

2

Dikutip dari: Avelino AM, et al.10

B. Subdural Hematom (SDH)

Subdural hematom merupakan lesi fokal

intrakranial yang paling sering dijumpai, sekitar

24% dari pasien yang mengalami cedera kepala

berat tertutup. Subdural hematom disebabkan

karena robeknya bridging vein kortikal diantara

duramater dan piamater. Pada CT-scan tampak

seperti gambaran bulan sabit, dan paling sering

terjadi pada daerah lobus frontal inferior dan lobus

temporal anterior. SDH diklasifikasikan menjadi

(1) Akut, (2) Subakut, dan (3) Kronik. Outcome

yang buruk terjadi jika terjadi SDH bilateral atau terakumulasi secara cepat, atau penanganan operasi

ditunda lebih dari 4 jam. SDH akut berhubungan

dengan mortalitas yang tinggi. Laju mortalitas

(mortality rate) SDH sangat tinggi mencapai 50%.

Beberapa faktor mempengaruhi outcome pasien

pada SDH termasuk umur, waktu darti kejadian

cedera sampai penanganan, adanya pupil yang

abnormal, GCS motor skor saat masuk, koma, lucid

interval, gambaran CT scan (ketebalan hematom,

midline shift), TIK postoperatif dan tipe

pembedahan. Adanya kontusio serebral

memperburuk prognosis SDH. 1,2,3

SDH menyebabkan kerusakan otak dengan

meningkatkan TIK dan pergeseran struktur otak

(shifting). Terapi utama SDH adalah evakuasi

hematom dengan pembedahan, semakin lama

pembedahan tertunda (delay time) semakin buruk

kerusakan iskemik yang terjadi. Beberapa studi

menyatakan penurunan morbiditasdan mortalitas

pada pasien yang dilakukan evakuasi hematom

segera. 1,2,3

C. Manajemen Perioperatif pada Cedera

Kepala Traumatik

Manajemen perioperatif pada pasien cedera kepala

fokus pada stabilisasi dan mencegah cedera

sekunder karena sebab sistemik dan intrakranial.

Assessmen preanestesi mencakup (1) Airway dan

cervical spine, (2) Breathing: oksigenasi dan

ventilasi, (3) Circulatory Status, (4) Associated

Injury, (5) Status Neurologis (GCS), (6) Penyakit kronis penyerta, (7) Circumstances of injury: waktu

kejadian cedera, lamanya tidak sadar, riwayat

mengkonsumsi alkohol dan obat lain. 1,3,4

Langkah pertama adalah menjaga jalan nafas dan

ventilasi yang adekuat. Intubasi dan ventilasi

mekanik dilakukan jika diperlukan, namun harus

dijaga agar tidak terjadi kenaikan tekanan

intracranial. Setelah jalan nafas terkontrol, fokus

penanganan terhadap resusitasi kardiovaskuler.

Hipotensi sering terjadi pada cedera kepala

biasanya karena perdarahan. Keadaan ini harus

Page 38: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

segera ditangani secara agresif dengan cairan, koloid, darah, inotropik maupun vasopresor bila

perlu. Hal yang harus diperhatikan dalam resusitasi

kardiovaskuler adalah terjadinya edema serebri.

Osmolalitas serum total merupakan kunci

terjadinya edema serebri. Ketika osmolalitas serum

menurun maka akan terjadi edema serebri karena

rusaknya sawar darah otak, sehingga cairan yang

hipoosmoler akan menyebabkan peningkatan kadar

air otak. Hipovolemia seringkali tidak tampak pada

tekanan darah yang relatif stabil karena

hiperaktivitas simpatis atau respon terhadap peningkatan TIK. Karenanya resusitasi cairan

seharusnya tidak berdasarkan pada tekanan darah

semata, namun juga pada produksi urine dan

tekanan vena sentral. Larutan kristaloid isotonis dan

hipertonis maupun koloid dapat diberikan untuk

mempertahankan volume intravaskuler. Darah dan

produk darah dapat diberikan jika kadar hematokrit

rendah (< 30%). Larutan yang mengandung glukosa

sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan

hiperglikemi dan perburukan outcome neurologis.

Jika tekanan darah dan curah jantung tidak dapat

dikembalikan dengan resusitasi cairan, maka inotropik dan vasopresor intravena dapat segera

diberikan.1,3,4

D. Manajemen peningkatan TIK

Penurunan TIK dan pemeliharaan tekanan darah

adalah hal yang krusial pada penanganan hipertensi

intrakranial. Hipertensi intrakranial dapat

mempresipitasi reflek hipertensi arterial dan

bradikardi (Trias Cushing).

(1) Hiperventilasi; jika ditemukan tanda herniasi

transtentorial pada pasien dengan cedera kepala

berat, hiperventilasi sampai PaCO2 30 mmHg harus

segera dilakukan karena hiperventilasi dapat secara

cepat dan efektif menurunkan TIK. (2) Terapi diuretik; manitol 0,25 – 1 g/KgBB infus selama 15

menit, dapat diulangi setiap 3-6 jam. (3) Posisi;

elevasi kepala 10-300 memfasilitasi drainase CSF

dan vena serebral, serta dapat menurunkan TIK. (4)

Barbiturat; barbiturat dikenal memiliki efek

proteksi serebral dan menurunkan TIK. Barbiturat

dosis tinggi dapat diberikan pada pasien dengan

cedera kepala berat yang tidak mampu di kontrol

dengan terapi medikal dan pembedahan. 1,3,4

E. Manajemen Anestesi

Tujuan utama manajemen anestesi adalah meningkatkan perfusi serebral dan oksigenasi,

mencegah kerusakan sekunder dan memberikan

kondisi yang optimal untuk pembedahan. Anestesi

umum menjadi pilihan untuk mengontrol fungsi

respirasi dan kardiosirkulasi. Induksi anestesi dapat menggunakan obat anestesi intravena. Pada

umumnya pemilihan obat anestesi berdasarkan

efeknya pada sistem kardiovaskuler, namun pada

kasus cedera kepala, harus dipikirkan efeknya

terhadap aliran darah otak, volume darah otak,

tekanan intra kranial cairan serebrospinal, auto

regulasi serta respon terhadap CO2. Obat anestesi

intravena yang dapat menurunkan TIK dan aliran

darah otak adalah tiopental, etomidate, propofol

dan midazolam. Untuk pemeliharaan anestesi dapat

menggunakan anestesi intravena maupun inhalasi. Obat yang ideal adalah obat yang mampu

menurunkan TIK, memelihara suplai oksigen ke

jaringan otak, dan menjaga otak dari iskemik akibat

metabolik. Barbiturat (pentotal), etomidat,

propofol, midazolam dan narkotik dapat menjadi

pilihan karena efeknya yang baik dalam hal

menurunkan CBF, TIK, dan CMRO2. Untuk

anestesi inhalasi, isofluran, sevofluran, dan

desfluran dapat menjadi pilihan. Vekuronium

merupakan pelumpuh otot pilihan karena efeknya

minimal terhadap TIK, tekanan darah dan denyut

nadi.1,3,4,7

Hipotensi intraoperatif karena perdarahan maupun

karena perlakuan anestesi harus dihindari, karena

dalam 24 jam pertama otak telah mengalami

hipoperfusi. Pembengkakan otak intraoperatif

ataupun herniasi dari tempat operasi dapat menjadi

komplikasi dekompresi hematom. Dapat disebab-

kan karena posisi pasien yang kurang baik, ICH

kontralateral, gangguan drainase vena, atau

hidrocephalus akut karena perdarahan

intraventrikuler harus segera ditangani.3,4

F. Proteksi Serebral

Menurunkan CMRO2 tampaknya adalah cara kerja

utama pharmakologi proteksi otak dan barbiturat memiliki efek tersebut. Barbiturat dosis tinggi

direkomendasikan untuk mengontrol peningkatan

TIK, dimana terapi medis dan pembedahan tidak

mampu mengatasi peningkatan TIK ini. Penurunan

suhu tubuh (hipotermia) 35-33oC dipercaya

memiliki efek proteksi serebral. Mekanisme

proteksi termasuk menurunkan kebutuhan

metabolik, eksitotoksisitas, menghambat

pembentukan radikal bebas dan edema.1,3,4,7

Page 39: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

67

SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN

PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI

Tabel. 1. Terapi Hipertensi Intrakranial pada Cedera Kepala Traumatik Berat 4

Penatalaksanaan Hipertensi Intrakranial pada Cedera

Kepala Traumatik Berat (Glasgow Coma Scale ≤ 8)

1. Pasang ICP monitor

2. Pertahankan CPP 50-70 mmHg

First Tier Therapy

Drainase ventrikel (jika tersedia)

Manitol 0,25-1 gr/Kg iv (dapat diulang jika

osmolaritas serum < 320 mOsm/L dan euvolemik)

Hiperventilasi untuk mencapai PaCO2 30-35mmHg

Second Tier Therapy

Hiperventilasi sampai PaCO2 < 30 mmHg

(monitor SjVO2, AvDO2 dan CBF direkomendasikan)

Terapi barbiturat dosis tinggi (koma barbiturat)

Pertimbangkan Hipotermia

Pertimbangkan terapi hipertensi

Pertimbangkan kraniektomi dekompresi

Dikutip dari: Bendo AA.4

G. Atrial Fibrilasi (AF)

Atrial fibrilasi merupakan penyakit aritmia jantung

yang paling sering ditemukan. AF kadang muncul

tanpa gejala, namun seringkali berhubungan dengan

nyeri dada, kelelahan, atau penyakit jantung

kongestif (CHF). Angka kejadian AF meningkat

sesuai umur, 5% usia diatas 70 tahun mengalami

AF. AF sering terjadi pada penyakit jantung kongestif / CHF (40%), bypass koroner jantung

(25-50%), dan pada pasien kritis (15%). AF dapat

meningkatkan resiko stroke sampai tujuh kali lipat,

dan diperberat lagi jika terdapat hipertensi. 5,6

1. Gejala Klinis

Atrial fibrilasi biasanya ditandai dengan denyut

jantung yang cepat dan ireguler. Keadaan ini dapat

menyebabkan palpitasi, angina, gejala kongestif,

nafas yang pendek bahkan edema. Pada

kebanyakan kasus AF terjadi sekunder terhadap

penyakit yang lain. Adanya riwayat stroke, TIA, hipertensi, DM, gagal jantung dan demam rematik,

menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki AF

dengan komplikasi resiko tinggi.5,6

2. Penatalaksanaan AF

Tujuan utama penatalaksanaan AF adalah

mencegah instabilitas kardiosirkulasi dan stroke,

yaitu dengan cara mengontrol laju denyut ventrikel

(rate control), mengontrol irama jantung (rhytm

control) dan antikoagulant. Rate Control

menurunkan denyut jantung mendekati normal, 60-

100 x/menit tanpa mengubah irama jantung. Rhytm

Control mengembalikan irama jantung normal (cardioversi) dan menjaga irama dengan obat-

obatan.

Rate Control dapat dicapai dengan obat-obatan dengan meningkatkan derajat hambatan pada AV

node. Obat-obatan yang dapat digunakan adalah

golongan beta bloker (yang kardioselektif lebih

baik), non dihidropiridine Ca chanel bloker

(diltiazem, verapamil), dan glikosida jantung

(digoksin). Selain obat diatas, amiodaron juga

memiliki efek blokade AV node jika diberikan

secara intravena. 5,6

3. Ventricular Rate Control

Pada AF, sangat penting untuk mengontrol respon

ventrikel (laju denyut ventrikel), jika hemodinamik tidak stabil dengan respon ventrikel cepat (Rapid

Ventricular Respons), synchronized DC shock

harus segera diberikan. Jika hemodinamik stabil,

simtomatik dan fungsi ventrikel kiri normal,maka

cukup dengan obat-obatan saja. Beta bloker,

diltiazem, digoksin, magnesium, amiodaron atau

sotalol dapat diberikan. Pada AF kronik digoksin

sering menjadi pilihan, khususnya pada fungsi

ventrikel kiri yang tidak baik. Beta bloker sering

diberikan sebagai tambahan untuk meningkatkan

daya kerja digoksin. Amiodaron juga memiliki hasil

yang baik pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri. 5,6

Gambar.1. Gambaran EKG Atrial Fibrilasi

Dikutip dari: Prystowsky EN.6

H. Penyakit Jantung Hipertensi

Penyakit jantung hipertensi disebabkan karena

peningkatan tekanan darah yang kronis, namun

penyebab kenaikan tekanan darah bisa bermacam

macam. Hipertensi menyertai seperempat kasus

gagal jantung. Studi komunitas menunjukkan hipertensi 50-60% berperan terhadap terjadinya

gagal jantung. Hipertensi yang tidak terkontrol

menyebabkan perubahan struktur miokard dan

pembuluh koroner serta sistem konduksi jantung.

Page 40: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

Perubahan ini dapat menyebabkan terjadinya LVH, CAD, penyakit gangguan konduksi jantung,

disfungsi sistolik dan diastolik miokard.

Komplikasi yang terjadi manifestasinya dapat

berupa angina, miokard infark, aritmia jantung

(khususnya atrial fibrilasi), dan CHF. Perubahan

pola makan, konsumsi obat antihipertensi yang

teratur, olah raga yang teratur serta pengaturan

berat badan yang ideal adalah hal yang perlu

dilakukan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut

dan perbaikan outcome. 8

I. Implementasi

Pada pasien ini prinsip penanganan praanestesi dan

prioperatif telah dilakukan terutama penanganan

airway, breathing, sirkulasi. Penanganan terhadap

atrial fibrilasi yang terjadi, diberikan digoksin drip

0,25 mg/jam untuk kontrol laju denyut jantung dan

kontrol terhadap tekanan darah. Pada pasien ini

obat pro koagulan tidak diberikan karena

memberikan efek kurang baik terhadap perdarahan

subdural yang terjadi pada pasien ini serta respon

ventrikel yang masih normal.

Memang terjadi keterlambatan (delayed time) lebih

dari 4 jam, sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien ini, namun jika melihat

kondisi klinis pasien, dimana GCS masih 14, tidak

ditemukan tanda TIK yg meningkat serta tanda-

tanda herniasi.

Pemilihan jenis cairan dan obat anestesi telah

dipilih yang memiliki efek yang baik terhadap otak

(proteksi serebral) yaitu larutan isotonis dan

hipertonis, obat anestesi intravena yang

menurunkan TIK dan aliran darah otak, propofol,

fentanil, lidokain, midazolam. Thiopental

sebenarnya merupakan pilihan utama karena efeknya menurunkan CMRO2, namun obat ini tidak

tersedia.

Pascabedah, terjadi respon cepat ventrikel terhadap

atrial fibrilasi, peningkatan tekanan darah serta

VES bigemini, sehingga diputuskan untuk menunda

ekstubasi di kamar operasi. Amiodaron dan

clonidin diberikan untuk mengontrol laju jantung,

irama jantung serta peningkatan tekanan darah.

IV. Simpulan

Semua keadaan ini saling memperberat, pada

cedera kepala traumatik terjadi peningkatan aktivitas simpatis sebagai respon terhadap stress

(sympathetic storming). Sympathetic storming

terjadi pada 24 jam pertama setelah cedera sampai

beberapa minggu kemudian. Jika sympathetic

storming tidak ditangani akan meningkatkan resiko

cedera otak sekunder. Penurunan oksigenasi

jaringan otak merupakan akibat dari dampak fisiologis pada sistem tubuh. Hipertensi, aritmia,

hiperglikemi, hipertermi dan hipernatremi dapat

muncul akibat sympathetic storming. Aritmia yang

sering muncul adalah bradikardi, denyut ektopik,

denyut ireguler, atrial fibrilasi dan supraventrikuler

takikardi. Aritmia harus segera ditangani jika

mengancam kehidupan, dan menyebabkan

instabilitas hemodinamik serta hipoksia serebral,

baik karena infark miokard maupun thromboemboli

(AF dan SVT). Persiapan yang baik sebelum

pembedahan yaitu oksigenasi, stabilisasi respirasi dan kardiovaskuler termasuk terapi aritmia, serta

status cairan yang adekuat akan memberikan hasil

yang lebih baik.

V. Daftar Pustaka

1. Yarham S, Absalom A. Anesthesia for patient with head injury. Dalam: Gupta, Gelb, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders. 2008 ;150-9.

2. Sakabe T and Bendo A. Anesthetic management of head trauma. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007 ; 91-110.

3. Gopinath SP, Robertson CS. Management of severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery. 4th ed. USA: Mosby. 2001; 663-91.

4. Bendo AA. Perioperative management of adult patient with severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Neuroanesthesia. 5th ed. USA: Mosby. 2010; 317-25.

5. Holt A. Management of cardiac arrhytmias. Dalam: Oh TE, Bersten AD, Soni N, eds. Intensive Care Manual. 5th ed. China: Butterworth-Heinemann;2003; 157-205.

6. Prystowsky EN. "Management of atrial fibrillation: therapeutic options and clinical decisions". Am J Cardiol 2000; 85 (10A): 3D–11D.

7. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Bandung: Saga Olahcitra; 2011.

8. Riaz K, Ali YS, Ahmed A. Hypertensive Heart Disease. Medscape. 2012.

9. Lemke DM. Sympathetic storming after severe traumatic brain injury. Clinical Article. Critical Care Nurse 2007; 27 : 30-37.

10. Avelino AM, Lam AM, Winn HR. Management of acute head injury. Dalam:

Page 41: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

69

SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN

PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI

Albin MS, ed. Textbook of Neuroanesthesia with Neurosurgical and Neuroscience Perspective. USA : McGraw-Hill; 1997, 1137-69.

Page 42: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

1

PERAN NEURO CRITICAL CARE PADA TATA LAKSANA PASIEN CEDERA

AKSONAL DIFUS

THE ROLE OF NEUROCRITICAL CARE ON DIFFUSE AXONAL INJURY

MANAGEMENT

Bambang Harijono, Siti Chasnak Saleh

Departemen Anestesiologi dan Reanimasi

RSUD dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Surabaya

Abstract

Diffuse Axonal Injury (DAI) is a state of long-time unconsciousness, more than 6 hours in severe traumatic brain

injury and without mass lesions of intracranial. According to how long the patient still in coma condition, DAI is

divided into 3 categories, grade I (mild), grade II (moderate), grade III (severe). If this condition not addressed

quickly and accurately, the patient may will get a permanent disability and still in a vegetative state condition.

The importance of Neuro-anesthesiologist and Critical Care is to take care of the patient, from the trauma site

until in the neurointensive care.

A woman, 18 years old, weight 50 kg, height 165 cm. She had a motorcycle accident and unconscious from the

trauma site until she got into the hospital. Intra Cranial Pressure (ICP) Monitoring and a treatment of traumatic

brain injury in general was performes. On the 4th day after trauma, the patient began to understand the

command that was given and the GOS (Glasgow Outcomes Scale) is 3 (severe disability). DAI occurs due to severe brain injury after trauma resulting in impairment of consciousness with the absence of

intracranial mass lesions and also ischemia. The various theories bring to the surface regarding the occurrence

of DAI. The management in DAI is nothing specials, it contains the treatment in traumatic brain injury in

general, the prevention of secondary injury and maintain ICP in normal condition is essentials. The prognosis is

depends on the type DAI that was occurs.

Keywords : anesthesia, diffuse axonal injury, traumatic brain injury.

JNI 2102;1(3):189-196

Abstrak

Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury / DAI) adalah keadaan penderita dengan kehilangan kesadaran,

lebih dari 6 jam pada cedera otak traumatik berat dan tanpa lesi masa intrakranial. Berdasar lama kondisi koma

pada pasien, DAI dibagi menjadi 3 kategori, kelas I (ringan), kelas II (sedang), kelas III (berat). Bila tidak

ditangani dengan cepat dan tepat, kemungkinan pasien akan mengalami cacat permanen dan tetap dalam kondisi

vegetative. Peran Neuro Anestesi dan Critical Care adalah untuk menangani penderita, dimulai dari tempat

kejadian trauma hingga perawatan neurointensif.

Seorang wanita, umur 18 tahun, berat badan 50 kg, tinggi 165 cm. Mengalami kecelakaan sepeda motor,

kemudian penderita pingsan mulai dari tempat kejadian sampai dibawa ke rumah sakit. Dilakukan monitoring

tekanan intrakranial (ICP) dan perawatan cedera otak traumatik berat pada umumnya. Pada hari ke 4 setelah

trauma, penderita mulai sadar, dapat diperintah dan dengan nilai Glasgow Outcomes Scale (GOS): 3 (cacat

parah). DAI terjadi karena cedera otak berat setelah trauma sehingga menyebabkan penurunan kesadaran tanpa adanya

lesi masa intrakranial maupun iskemik. Bermacam-macam teori dikemukakan mengenai terjadinya DAI.

Penatalaksanaan DAI tidak ada yang khusus, dilaksanakan penanganan seperti pada cedera otak traumatik

umumnya, hanya diperlukan pencegahan cedera sekunder dan mempertahankan tekanan intrakranial (ICP) dalam

kondisi normal. Prognosa tergantung dari jenis DAI yang terjadi.

Kata kunci : anestesi, cedera difus aksonal, cedera otak traumatik.

JNI 2102;1(3):189-196

Page 43: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

2

I. Pendahuluan

Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury / DAI)

pertama kali diperkenalkan oleh Sabrina Strich,

yang dikemukakan pada tahun 1956 dengan nama

Diffuse Degeneratif of White Matter, yang

kemudian dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury.

Strich meneliti hubungan antara demensia dengan

trauma kepala dan di tahun 1956 menegaskan,

bahwa DAI mempunyai peran penting dalam

perkembangan akhir demensia yang disebabkan

oleh trauma kepala. Istilah Diffuse Axonal Injury

baru populer pada awal tahun 1980.1

Cedera aksonal difus adalah keadaan penderita

dengan kehilangan kesadaran dalam jangka waktu

lama, pada cedera otak berat yang disebabkan oleh

karena trauma, dimana tanpa lesi masa intrakranial.

Kehilangan kesadaran terjadi sejak saat cedera dan

berlanjut sampai lebih dari 6 jam.2 Akson adalah sel

saraf panjang yang membawa impuls elektrik dari

satu bagian sistem saraf ke bagian yang lain. Pada

otak dan medula spinalis terdapat miliaran akson

yang membawa informasi secara bolak-balik.3

Pada DAI terjadi lesi yang luas didalam saluran

white matter. Ini merupakan penyebab utama dari ketidaksadaran penderita dan dapat memburuk

menjadi persistant vegetative setelah trauma kepala

terjadi.1 Pada 90% pasien DAI berat yang

mengalami koma, tidak pernah sadar kembali.

Banyak penulis lain yang menyatakan bahwa DAI

dapat terjadi pada setiap derajat beratnya cedera

kepala, dari ringan, sedang hingga cedera kepala

berat.2 Dengan campur tangannya seorang neuro

critical care yang juga seorang neuro anestetist

maka diharapkan akan mendapatkan hasil yang

lebih baik dan penderita dapat beraktivitas normal kembali. DAI pada umumnya disebabkan karena

penderita jatuh, perkelahian dan paling sering

karena kecelakaan kendaraan bermotor dan juga

kekerasan pada anak yang disebut sebagai Shaken

Baby Syndrome.1

II. Kasus

Seorang wanita 18 tahun, berat badan 50 kg, tinggi

badan 165 cm. Masuk RSUD dr. Soetomo,

Surabaya bagian Instalasi Rawat Darurat tanggal 25 Februari 2012 jam 18.00.

Tanggal 25 Februari 2012 jam 14.00, penderita naik

sepeda motor dan menyeberang jalan kemudian

ditabrak dengan sepeda motor lain. Kejadian

tersebut tidak diketahui secara pasti. Penderita

langsung pingsan/tidak sadar ditempat kejadian dan

tetap tidak sadarkan diri sampai dibawa ke rumah

sakit terdekat. Dari hetero anamnesa, penderita

muntah dua kali dan penderita juga memakai helm pengaman. Penderita langsung dibawa ke RS

Anwar Medika Krian, diberikan pertolongan

dengan memasang infus dextrose 5%-0.45% NaCl,

diberikan oksigen masker 8 liter/menit, dipasang

neck collar, dilakukan foto dada dan cervical,

tercatat tekanan darah 80/40 mmHg, nadi 120

kali/menit. Karena alat CT-scan RS Anwar Medika

Krian rusak, pasien kemudian dirujuk ke RSUD dr.

Soetomo dengan diagnosa cedera otak berat (COB).

Setelah pasien tiba di RSUD dr. Soetomo (tanggal

25 Februari 2012, pukul 18.00) dilakukan pemeriksaan ulang diruang resusitasi, dengan hasil

sebagai berikut.

Pemeriksaan fisik

Hasil Primary Survey: Jalan nafas bebas, terpasang

neck collar. Nafas spontan, frekuensi 20 kali/menit,

gerak dada simetris, kedua paru terdengar vesicular,

tidak terdengar ronchi dan wheezing. Perfusi

hangat, kering, merah, capillary refill time (CRT)

normal, tekanan darah 125/87 mmHg, nadi 120

kali/menit. Respon terhadap rasa sakit/GCS 5

(1,1,3), reflek cahaya +/+, pupil bulat isokor 3/3,

lateralisasi (-), kejang (-), tanda fraktur basis cranii (-). Tanda-tanda ekstrimitas fraktur (-).

Tindakan terapi sementara di UGD (ruang

resusitasi)

- Diberikan oksigen masker 10 liter/menit, serta

dipersiapkan untuk intubasi setelah sebelumnya,

memberi penjelasan dan minta persetujuan

keluarga.

- Infus diganti dengan NaCl 0,9%

- Induksi dengan Midazolam 2 mg + 2 mg, Rocuronium 50 mg, ditambahkan Lidokain 60

mg secara intravena. Intubasi dengan ETT no. 7

diberi Cuff. Dilakukan kontrol ventilasi dengan

FiO2 50%.

- Dilakukan pemasangan naso gastric tube

- Pemeriksaan laboratorium lengkap dan CT-scan

ulang.

Hasil Secondary Survey: Jalan nafas bebas,

terintubasi, gerak dada simetris, suara nafas

vesikuler serta tidak terdengar ronchi juga

wheezing pada kedua paru. Perfusi dan capilary refill time normal, tekanan darah 125/87 mmHg,

nadi 105 kali/menit, tidak terdapat tanda-tanda

perdarahan aktif. Tersedasi, pupil bulat isokor 3/3,

reflek cahaya +/+, battle sign (-), panda sign (-).

Terpasang kateter, produksi urine 50 ml/jam,

kuning dan jernih. Abdomen supel, terpasang NGT.

Lainnya dalam batas normal.

Page 44: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

3

Pemeriksaan laboratorium

Hb: 10.4 g/dL, Hct: 31.1 %, Leukosit: 16.100,

Thrombosit: 204.000, BUN: 4.5 mg/dL, Sr.

Creatinin: 0.39 mg/dL, Albumin: 4.29 g/dL, Gula

darah: 103 mg/dL, SGOT: 33 u/L, SGPT: 22 u/L,

APPT: 30.1/29.6 detik, PPT:13.8/11.5 detik, Na+:

135 mmol, K+: 2.88 mmol, Cl-: 108.9 mmol.

Analisa gas darah (FiO2 50%) pH: 7.37, PaCO2:

33 mm/Hg, PaO2: 293 mm/Hg, HCO3: 19.1

mmol/L, Tot. CO2: 20.1 mmol/L, BE: -6.2

mmol/L. Foto dada (gambar 1.1): dalam batas

normal. Foto leher (gambar 1.2): dalam batas normal. CT Scan (gambar 1.3 & 1.4): menunjukkan

adanya edema otak, tanpa midline shift.

Gambar 1. 1 Gambar 1. 2

Gambar 1. 3

Gambar 1. 4

Diagnosa akhir: pasien cedera otak berat (COB)

dan cedera aksonal difus (DAI). Rencana terapi

selanjutnya adalah: posisi head up 30°, ventilasi

dikendalikan, infus NaCl 0,9% 1500 ml/24 jam,

mannitol 4 x 100 ml/iv, antibiotik, dilakukan

pemasangan ICP monitoring dengan anestesi umum di ruang operasi.

Pengelolaan anestesi

Keadaan saat di kamar operasi (jam 21.45 WIB):

Jalan nafas bebas, terintubasi, nafas dikontrol,

gerak dada simetris, suara nafas vesikuler, ronchi

dan wheezing tidak terdengar di kedua paru. Perfusi

normal, CRT normal, tekanan darah 105/60 mmHg,

nadi 95 kali/menit. Tersedasi, reflek cahaya +/+,

pupil bulat isokor 3/3. Terpasang kateter, produksi

urine 100 ml/jam. Lainnya dalam batas normal.

Diberikan tambahan terapi dengan Propofol 50 mg, Vecuronium 4 mg. Untuk rumatan diberikan

Isofluran, O2 50% serta udara 50%. Selain itu, juga

diberikan Fentanyl 50 mcg/jam (1 mcg/kgBB/jam)

serta Vecuronium 2 mg/jam (0.04 mg/kgBB/jam)

dengan syringe pump. Selama operasi tekanan

darah berkisar, Sistolik 100–120 mmHg, Diastolik

60–80 mmHg, Nadi 80–90 kali/menit, SpO2 99-

100%.

Keseimbangan cairan sebelum operasi: (cairan

masuk) D5-0,45 NS: 1000 ml, NaCl 0.9%: 1000

ml, Mannitol: 200 ml, (cairan keluar) Urine: 400

ml.

Keseimbangan cairan selama operasi: (cairan

masuk) Koloid/voluven: 200 ml, NaCl 0.9%: 200

ml, (cairan keluar) Urine: 200 ml, Perdarahan: 150

ml.

Dilakukan boor hole untuk pemasangan ICP

Monitoring, mulai jam 21.45-23.45 (durasi operasi:

2 jam). Kemudian dilakukan pemasangan drain

intraventrikuler dengan menggunakan naso gastric

tube no. 8 dan dilakukan fiksasi. ICP terukur

berkisar 15 cmH2O, dan liquor jernih. Operasi

selesai.

Pascabedah

Hari ke 0 pascabedah (26/2/2012): Jalan nafas

bebas, terintubasi, kontrol ventilasi, FiO2: 50%

kemudian diturunkan menjadi 30%. Tidak

terdengar ronchi dan wheezing, suara nafas

vesikuler. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 70

kali/menit, suhu 37.2°C. Tersedasi, pupil bulat

isokor 3/3, reflek cahaya +/+, ICP: 15 cmH2O.

Terpasang kateter, produksi urine sekitar 50

ml/jam, kuning, jernih. Lainnya dalam batas

normal. Terapi yang diberikan: posisi head up 30°,

ventilasi dikendalikan dengan sedasi morphine dan midazolam, analgesik, H2 blocker, antibiotik,

mannitol 4 x 100 ml, infus NaCl 0,9% 1500 ml/24

jam, pirasetam, drip KCl: 25 meq/12 jam.

Hari ke I pascabedah (27/2/2012): Jalan nafas

bebas, terintubasi, ventilator mode: spontan, FiO2

Page 45: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

4

30%. PS: 10, PEEP: 6, Trigger – 2, sehingga didapat TV: 390, RR 16 kali/menit, MV: 6.1. Suara

nafas vesikuler, tidak terdapat ronchi dan wheezing.

Perfusi hangat, kering, merah, CTR normal,

tekanan darah 109/80 mmHg, MAP: 80 mmHg,

nadi 88 kali/menit. GCS 2, X, 5, pupil bulat isokor

3/3, ICP: 13 cmH2O, reflek batuk (+), EVD 150 ml.

Terpasang kateter urine, dan lainnya dalam batas

normal. Terapi yang diberikan: Infus Ringer

dextrose 5% 1000 ml/24 jam, Sonde 6 x 250 ml

(sonde nutrisi), Antibiotik, Phenytoin, Pirasetam.

Hari ke II pascabedah (28/2/2012): Jalan nafas bebas, terintubasi, ventilator mode: spontan, PS: 6,

Trigger 2, PEEP 6, FiO2 30%. Sehingga

menghasilkan TV 380-450, MV 7-8.4, RR 18-20

kali/menit. SpO2 99-100%. Tekanan darah 118/84

mmHg, nadi 88 kali/menit. GCS 3, X, 5, pupil bulat

isokor 3/3, ICP : 8 cmH2O. Terpasang kateter urine

dan lainnya dalam batas normal. Terapi yang

diberikan; Infus Ringer dextrose 5% 1000 ml/24

jam, Sonde 6 x 250 ml (sonde nutrisi), Antibiotik,

Phenytoin, Pirasetam. Pada hari ini pula, kondisi

pasien membaik, dicoba nafas spontan, sehingga

ekstubasi dapat dilakukan.

Hari ke III pascabedah (29/2/2012): Jalan nafas

bebas, nafas spontan, RR 20 kali/menit, suara paru-

paru vesikuler, tidak terdapat ronchi dan wheezing.

Perfusi cukup, CRT normal, tekanan darah 128/84

mmHg, nadi 77 kali/menit. GCS 13 (3,4,6), reflek

cahaya +/+, pupil bulat isokor 3/3, dilakukan

pelepasan drain EVD. Terpasang kateter urine dan

lainnya dalam batas normal. Pada hari yang sama,

penderita pindah ruangan bedah saraf.

III. Pembahasan

A. Anatomi

Otak besar (cerebrum) terdiri atas beberapa bagian

antara lain, korteks cerebri (grey matter), white

matter (substansi alba). Korteks cerebri atau biasa

disebut grey matter adalah substansi grisia yang

terletak pada permukaan hemisphere cerebri. Tiap

hemisphere cerebri terdiri dari lobus frontalis,

lobus parietalis, lobus temporalis dan lobus

occipitalis. Secara makroskopik, bagian ini

mengandung badan sel saraf, dendrit dan ujung akson yang tidak bermielin.2

Sedangkan white matter (substansi alba) merupakan

bagian pusat dari hemisphere cerebri yang letaknya

dibawah korteks cerebri. Medulla serebri terdiri

dari substansi alba, ventrikulus lateralis dan

kelompok nuclei. Secara makroskopik, bagian ini

sebagian besar tersusun atas akson bermyelin.2

B. Definisi

Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury/DAI)

merupakan bentuk cedera otak berat yang terjadi

pada penderita cedera otak traumatik (Traumatic

Brain Injury/TBI).2 Cedera aksonal difus (DAI)

terjadi karena cedera otak berat yang menyebabkan

penurunan kesadaran tanpa adanya lesi masa

intrakranial ataupun kerusakan iskemik. Cedera

otak (Head Injury) berdasarkan GCS di bagi

menjadi2 :

1. Cedera Kepala Ringan (Head Injury Grade I)

Penderita dengan cedera kepala ringan

memiliki skor GSC 13-15, bisa disertai dengan

disorientasi, amnesia, sakit kepala, mual dan

muntah.

2. Cedera Kepala Sedang (Head Injury Grade II)

Penderita dengan cedera kepala sedang

memiliki skor GCS 9-12 atau GCS bisa lebih

dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis focal.

Pada keadaan ini pasien masih bisa mengikuti

perintah sederhana yang diberikan. 3. Cedera Kepala Berat (Head Injury Grade III)

Penderita dengan cedera kepala berat memiliki

skor GCS ≤ 8, dengan atau tanpa disertai

dengan gangguan fungsi batang otak.

Penilaian derajat kesadaran ini dilakukan sesudah

stabilisasi pernafasan dan stabilisasi sirkulasi

penderita untuk memastikan bahwa defisit tersebut

diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh cedera

yang lain.2

Pada kasus yang dibicarakan didapatkan penderita

dengan GCS 5 (1,1,3), penilaian GCS ini diberikan

setelah dilakukan primer survey dan resusitasi dengan oksigenasi, pemasangan infus dan neck

collar, sehingga penderita tersebut termasuk dalam

cedera otak berat ( Head Injury Grade III).

C. Epidemiologi

Cedera otak karena trauma merupakan penyebab

kematian dan kecacatan di seluruh dunia, terutama

di negara berkembang termasuk Indonesia.

Kejadian cedera otak dari waktu ke waktu tidak

pernah berkurang. Faktor-faktor yang menyebabkan

cedera otak antara lain: meningkatnya kuantitas dan

kualitas sarana transportasi, sehingga mengakibatkan meningkatnya jumlah kecelakaan

lalu lintas. Meningkatnya kuantitas dan kualitas

industri, terutama kendaraan bermotor, juga

berpengaruh pada meningkatnya kecelakaan. Faktor

lain seperti disiplin lalu lintas, sarana pendukung

jalan yang relative tetap dan mudahnya untuk dapat

memiliki kendaraan bermotor, juga memicu

kecelakaan.2

Page 46: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

5

Cedera otak lebih banyak dialami oleh kelompok dewasa muda antara 15–30 tahun, dari pada anak-

anak dan orang tua, dan lebih banyak terjadi pada

laki-laki dari pada wanita. Hal ini dikarenakan usia

dewasa muda dan laki-laki lebih sering beraktifitas

atau lebih banyak menggunakan kendaraan.

Sedangkan, pada kasus ini dialami oleh seorang

wanita dewasa muda karena kecelakaan lalu lintas

mengendarai sepeda motor.

D. Mekanisme Cedera Kepala

Mekanisme cedera kepala terbagi menjadi 3 macam

pergerakan yaitu linier, rotasional dan angular. Pada umumnya banyak cedera kepala melibatkan 3

pergerakan tersebut.1,2,3 Tidak seperti trauma otak

yang terjadi karena benturan langsung, kerusakan

dari otak pada DAI merupakan hasil dari

pergeseran yang terjadi ketika kepala bergerak

secara cepat dan paksa yang bisa terjadi pada

kecelakaan kendaraan, jatuh dan lainnya.1,2,3

Penyebab utama kerusakan pada DAI adalah

gangguan pada akson. Sedangkan akson tersebut

terlihat putih karena mengalami myelinisasi,

sehingga disebut sebagai white matter. Akselerasi

dan deselerasi pada kepala menyebabkan cedera pergeseran sehingga mengakibatkan kerusakan

yang ditimbulkan karena adanya gesekan antara

jaringan yang satu dengan jaringan yang lain.

Ketika otak mengalami akselerasi, bagian dari

komponen otak dapat bergeser/berotasi secara

simetris dan meregangkan akson yang

bersimpangan pada area yang berbeda, khususnya

pada area pertemuan antara white matter dan grey

matter. Dua per tiga dari lesi pada DAI terjadi pada

area dimana terdapat pertemuan antara white matter

dan grey matter.1,2

Selama cedera trauma kepala, banyak gaya tekan

yang terjadi pada otak. Tekanan/gaya inilah yang

dapat menyebabkan perputaran dan pergeseran

pada jaringan otak. Dengan perputaran dan

pergeseran pada jaringan otak, akson yang panjang

dapat meregang dan akhirnya putus sehingga

impuls elektrik yang normal tidak bisa dihantarkan

oleh akson. Disebut cedera aksonal difus karena

secara umum, menyebabkan akson pada banyak

area di otak dapat mengalami cedera secara

simultan (bersamaan). Karena cedera ini dapat

menyebar luas pada otak, bentuk dari cedera ini menjadi salah satu yang paling fatal dan

menyebabkan cacat neurologis secara permanen2,3,4.

E. Patofisiologi Cedera Aksonal Difus (DAI)

Lesi biasanya muncul pada white matter otak yang

cedera karena DAI. Lesi ini memiliki ukuran yang

bervariasi dari 1–15 mm dan dapat menyebar. DAI

biasanya mempengaruhi daerah white matter,

termasuk brain stem, corpus callosum dan cerebral hemisphere. Lobus otak yang biasanya cedera

adalah pada bagian frontal dan temporal. Lokasi

lainnya yang umum untuk DAI, termasuk white

matter pada korteks serebri, corpus callosum,

superior cerebral peduncle, basal ganglia,

thalamus dan deep hemispheric nuclei. Area-area

inilah yang mungkin lebih mudah rusak karena

adanya perbedaan kepadatan antara area tersebut

dengan area yang lain.1,4,5

DAI ditandai dengan adanya akson yang terpisah

karena putus akibat perenggangan secara tiba-tiba. Penyebab utama dari robeknya akson karena

tekanan mekanis selama terjadi trauma, tetapi dapat

juga akson tidak robek pada saat trauma, tetapi

akson robek karena reaksi biokimia sekunder.

Reaksi biokimia ini terjadi sebagai respon dari

cedera utama dan terjadi setelah beberapa jam atau

beberapa hari setelah cedera awal, sehingga

menjadi penyebab rusaknya akson.1,6

Proses yang terlibat di dalam cedera otak sekunder

masih sulit untuk dimengerti, namun kenyataannya

dapat diterima bahwa meregangnya akson selama

cedera akan menyebabkan gangguan fisik dan degradasi proteolitik dari sitoskeleton. Keadaan ini

juga membuka saluran Sodium (sodium channel)

pada axolemma, yang menyebabkan terbukanya

saluran Kalsium secara elektrik dan Kalsium masuk

dalam sel.1,4,6

Terdapatnya Kalsium dalam sel akan mengaktifkan

fosfolipase dan enzim proteolitik, yang akan

merusak mitokondria dan sitoskeleton sehingga

menyebabkan pemutusan akson dan kematian sel.

Akson secara normal berbentuk elastis, tetapi ketika

meregang dengan cepat, akson menjadi rapuh dan sitoskeleton pada akson dapat patah. Ketidak

selarasan komponen sitoskeleton setelah terjadi

peregangan dapat menyebabkan putusnya akson

dan matinya sel saraf. Transport yang dilakukan

akson tetap terjadi sehingga mencapai titik dimana

akson putus dan menyebabkan penumpukan materi

yang di transport, sehingga terjadi pembengkakan.

Ketika pembengkakan menjadi besar, dapat

memutuskan akson pada tempat dimana

sitoskeleton rusak dan membentuk sebuah benjolan.

Benjolan ini disebut bola retraksi, tanda dimana

terjadi DAI. Kejadian tersebut diatas membutuhkan waktu 1-2 hari setelah cedera.1,4

Meskipun terkadang hanya sitoskeleton yang

mengalami gangguan, biasanya aksolemma juga

terganggu, sehingga menyebabkan masuknya ion

Ca2+ kedalam sel dan menyebabkan berbagai proses

degradasi. Peningkatan kadar Ca2+ dan Na+ serta

penurunan kadar K+, ditemukan langsung pada

akson setelah cedera terjadi. Tingkat kadar Ca2+ di

Page 47: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

6

dalam sel yang tinggi, merupakan penyebab utama kerusakan sel setelah cedera, sehingga

menghancurkan mitokondria. Hal ini akan memicu

fosfolipase dan enzim proteolitik yang merusak

saluran Na+ dan merusak susunan sitoskeleton dan

aksolemma. Kelebihan Ca2+ dapat juga

menyebabkan kerusakan blood brain barrier dan

pembengkakan otak. Salah satu protein yang aktif

dengan adanya Ca2+ dalam sel adalah Calpain, yang

merupakan Ca2+ dependent non lysosomal protease.

Sekitar 15-30 menit setelah cedera, sebuah proses

yang disebut calpain-mediated spectrin proteolisis (CMSP) terjadi. Calpain akan memecah molekul

yang disebut spectrin, sehingga menyebabkan

pembentukan blebs, memecah sitoskeleton dan

membrane, yang akan langsung menyebabkan

kematian sel.1,5

Pada umumnya setelah 1–6 jam setelah proses

cedera peregangan akson, munculnya Ca2+ dalam

sel, menjadi pertanda proses cedera sel yang

menyebabkan apoptosis atau kematian sel.

Mitokondria, dendrit dan bagian dari sitoskeleton

yang rusak pada saat cedera, memiliki kemampuan

terbatas untuk sembuh dan regenerasi, prosesnya membutuhkan waktu selama 2 minggu atau lebih.

Setelah cedera, astrocyte dapat mengecil sehingga

menyebabkan otak menjadi atropi.1,4

F. Klasifikasi

Berdasarkan studi mengenai neuro pathology,

Adam’s membagi dalam 3 gradasi.1,2

Grade I : DAI ditandai dengan aksonal

mikroskopik, tersebar luas dan

menyebabkan banyak kerusakan

pada lokasi tersebut.

Grade II : DAI tersebut diatas, ditambah

abnormalitas fokal pada corpus

callosum.

Grade III : DAI dengan lesi fokal pada rostral

brain stem.

DAI terdapat pada 50–60 % penderita cedera otak berat dan memiliki ciri khas lesi yang kecil

bilateral, tidak adanya perdarahan pada white

matter, corpus callosum dan batang otak bagian

atas. Sedangkan menurut lamanya koma, DAI

dibagi dalam 3 kategori:

Ringan : Koma selama 6 – 24 jam

Sedang : Koma > 24 jam, tanpa postur

decerebrate

Berat : Koma > 24 jam disertai dengan postur decerebrate

DAI dengan level sedang (moderate) merupakan

bentuk yang paling sering dan muncul pada 45%

dari semua pasien dengan DAI. DAI berat (severe)

muncul dengan prosentase 36% dari semua pasien DAI, dan pada umumya memberikan hasil yang

jelek, dengan mortalitas berkisar 50%.

DAI berat akan membuat pasien berada dalam

kondisi koma yang cukup dalam dan dengan jangka

waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda

dekortikasi atau deserebrasi dan sering disertai

cacat berat dan menetap bila penderita tidak mati.

Pasien sering menunjukkan disfungsi otonom

seperti : hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia.2

G. Diagnosis

Dasar diagnosa DAI dapat ditegakkan dengan gejala klinis, tingkat kesadaran dan deficit

neurologis. DAI sulit dideteksi dengan teknik CT

Scan atau teknik makroskopik lainnya, hanya dapat

dideteksi secara mikroskopik.

Terdapat ciri-ciri khas pada DAI yang mungkin

muncul pada CT Scan dan MRI, yaitu dengan

adanya perdarahan-perdarahan kecil yang terlihat

pada corpus callosum atau cerebral cortex.

Pemeriksaan MRI lebih berguna dan disenangi dari

pada CT Scan. Pemeriksaan terbaru yaitu dengan

Diffuse Tensor Imaging dapat menunjukkan derajat

cedera yang ada di white matter yang tidak terdeteksi oleh MRI1,6,7.

Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan tingkat

keparahan cedera, dengan cara: MRI, untuk

menunjukkan dengan rinci bagian-bagian dari otak,

pemeriksaan ini lebih dipilih untuk mendiagnosis

DAI. Sedangkan CT Scan tidak dapat diandalkan

untuk dapat memberikan hasil yang pasti. Dapat

juga dilakukan pemeriksaan Evoke potensial dan

EEG.4,6,7

H. Gejala DAI

Gejala utama dari DAI adalah tidak sadar (koma) yang dapat berlangsung hingga 6 jam atau lebih.

DAI sering diakibatkan karena cedera trauma

deselerasi dan sering menyebabkan status

vegetative persistence, terutama pada DAI berat.

Karena DAI bersifat difus, secara umum tidak

menyebabkan gejala neurologis fokal. Karena

akson pada system saraf sentral tidak dapat tumbuh

kembali, hal ini dapat menyebabkan cacat

neurologis jangka panjang yang menyebabkan

pasien dapat mengalami cedera lainnya.2,3,6

Pada kasus yang dibicarakan tersebut diatas,

penderita dengan COB dan dalam keadaan tidak sadar lebih dari 24 jam, dilakukan pemeriksaan CT

scan didapatkan odema serebri, tanpa lesi dan

iskemia otak dan tidak didapatkan postur

decerebrate, sehingga penderita pada kasus tersebut

didiagnosa sebagai DAI sedang.

Page 48: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

7

I. Penatalaksanaan

DAI tidak memiliki perawatan yang spesifik.

Tindakan perawatan sangatlah komplek.

Pemantauan neurologis, tindakan bedah dan

tindakan kontrol ICP adalah perawatan yang

standar. Tidak ada pengobatan khusus untuk DAI,

yang dilakukan adalah pengobatan pasien cedera

otak traumatik secara umum. Perawatan pada

setiap pasien akan berbeda–beda disesuaikan kasus

per kasus.1,2,3,6

Tindakan segera dilakukan untuk mengurangi

pembengkaan di dalam otak, yang dapat menyebabkan kerusakan tambahan. Dalam

beberapa kasus pemberian steroid dan obat lain

yang diharapkan untuk mengurangi peradangan dan

pembengkaan dapat dipertimbangkan, dan

penderita tetap dalam pemantauan. Operasi bukan

pilihan bagi penderita DAI.2,6

Jika pasien menderita DAI ringan atau sedang,

maka fase rehabilitasi akan dilakukan setelah

penderita stabil dan sadar. Selama fase perawatan,

pasien dan keluarganya akan bekerja sama dengan

staf multidisiplin termasuk dokter, perawat, ahli

terapi fisik dan pekerjaan, dan spesialis lain untuk merancang program individual yang diharapkan

dapat mengembalikan pasien ke tingkat fungsi yang

maksimum. Tahap rehabilitasi meliputi: terapi

bicara, terapi fisik, terapi kerja, rekreasi terapi,

adaptasi dengan alat alat latihan dan konseling.2,6

Dalam penelitian pada tikus, pemberian

Polyethylen Glycol bekerja sebagai sealant dari

membran, sehingga mencegah terjadinya calsium

influks. Sehingga pada tikus yang diperiksa dengan

MRI tidak terjadi sitotoksik edema setelah 7 hari

DAI1.

Kasus yang dibicarakan termasuk dalam DAI

sedang, pada penderita tersebut diatas dilakukan

tindakan pemantauan tekanan intrakranial dengan

pemasangan drain intraventricular dan tindakan-

tindakan serta terapi obat-obatan untuk mencegah

kenaikan intrakranial, sehingga pada hari ke 3

perawatan dihasilkan peningkatan GCS, yang

kemudian dilakukan ekstubasi dan penderita bisa

alih rawat di bangsal.

J. Prognosis

Diperkirakan DAI dapat terjadi pada hampir setiap

tingkat dari keparahan trauma kepala, dengan gegar otak dianggap salah satu bentuk yang lebih ringan.

DAI dalam derajat ringan dan sedang, sangat

dimungkinkan dapat pulih kembali, dan sedikit

yang menimbulkan masalah jangka panjang.

Sekitar 90% penderita DAI berat, tetap dalam

keadaan vegetative persistence tanpa batas waktu,

dan 10% penderita yang sadar dengan defisit fungsional permanen yang luas.1,2,4,6

IV. Simpulan

DAI merupakan bagian dari cedera otak traumatik

yang berat, dimana masih banyak teori yang

mendasarinya. Perawatan secara umum pada cedera

otak traumatik dan mempertahankan ICP dalam

kondisi normal sangat dianjurkan, dan harus

dilakukan pencegahan terhadap terjadinya cedera

sekunder, sehingga penderita tidak bertambah

memburuk .

Peran Neuro Anestesia dan Neuro Critical Care

dalam mengelola penderita cedera otak traumatik

berat harus diawali ditempat kejadian, transportasi,

unit gawat darurat, neuroradiologi, kamar operasi

dan perawatan neurointensif.

Bila telah sadar penderita masih harus menjalani

latihan (Rehabilitasi medik) untuk memaksimalkan

fungsinya. Rehabilitasi medik meliputi: terapi

bicara, terapi fisik, terapi kerja, terapi rekreasi dan

masih banyak lagi, yang disesuaikan dengan

kebutuhan dari pasien per pasien. Semua itu

diharapkan dapat memaksimalkan hasil akhir penderita.

Dalam kasus ini, kondisi terakhir penderita dapat

dinyatakan dengan nilai GOS (Glasgow Outcomes

Scale) adalah 3. Dimana penderita sadar perintah,

namun belum mampu menjalankan aktifitas

hidupnya secara independen.

Daftar Pustaka

1. Iwata A, Stys PK, Wolf JA, Chen XH, Taylor AG, Meaney DF, Smith DH. Traumatic axonal

injury induces proteolytic cleavage of the

voltage-gated sodium channels modulated by

tetrodotoxin and protease inhibitors. The

Journal of Neuroscience 2004; 24 (19): 4605-

13.

2. Wahyu RH. Diffuse axonal injury 2011.

http://www.kotakmedis.com/2011/11/diffuse-

axonal-injury/. Diakses pada tanggal 14

Februari 2012.

3. Elliot J. Diffuse axonal injury 2008.

http://www.nervous-system-diseases.com/diffuse-axonal-injury.html.

Diakses pada tanggal 14 Februari 2012.

4. Shipley C. Traumatic brain injury and diffuse

axonal injury 2011.

http://www.trialimagestore.com/article_trauma

tic_brain_injury.html. Diakses pada tanggal 15

Februari 2012.

Page 49: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

8

5. Douglas HS, David FM, et al. Diffuse axonal injury in head trauma. Dalam: Corrigan JD, ed.

The Journal of Head Trauma Rehabilitation

Knowledge Informing Care. Philadelphia:

Wolthers Kluwer Health, Lippincot Williams

& Wilkins;2012, 307-16.

6. Martin S. Diffuse axonal injury; 2011.

http://www.brainandspinalcord.org/traumatic-

brain-injury-types/diffuse axonal-

injury/index.html. Diakses pada tanggal 15

Februari 2012.

7. Titolo T. Diffuse axonal injury 2011. http://brainandspine.titololawoffice.com/2011/

10/articles/brain-injury/diffuse-axonal-injury/.

Diakses pada tanggal 14 Februari 2012.

Page 50: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

PENATALAKSANAAN ANESTESIA PADA PASIEN CRETIN DENGAN

HIPOPITUITARISME SEKUNDER AKIBAT KRANIOFARINGIOMA

ANESTHESIA MANAGEMENT IN CRETIN PATIENT WITH HYPOPITUTARISM

SECONDARY OF CRANIOPHARYNGIOMA

Theresia Monica Rahardjo, Iwan Fuadi, Tatang Bisri

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

Abstract Craniopharyngioma is a sellar and parasellar tumor, which accounts to 6-10% of childhood brain tumors.

Common symptoms are signs of increase intracranial pressure, like headache, vomiting and visual dysfunction.

A significant endocrine dysfunction is an usual feature of craniopharyngioma due to the proximity of the tumor

to hypothalamus and pituitary gland. Short statue found in 50-86% patient with subnormal growth rates and

delayed puberty.

A male, 20 yrs cretin patient with hypopituitarism secondary of craniopharyngioma had a craniotomy tumor removal and placement of omaya shunt. He had a history of headache since 13 yrs ago accompanied by visual

disturbance, started from his left eye, now he is totally blind. He also suffered from growth failure and delayed

puberty, has a physic of a boy regardless his age as 20 yrs old adult, with height 140 cm and weight 40 kg. He

has an elevated TSHs but normal T3 and fT4, a decreased LH and FSH, a normal prolactin, a normal but low

growth hormon and a decreased cortisol. Anesthetic technique used was general anesthesia. Induction was done

with fentanyl, pentotal, lidocaine and vecuronium with a mixture of N2O/O2 and isoflurane. Anesthesia was

maintained with isoflurane and a mixture of O2/air. Patient was in controlled breathing with an incremental

dose of vecuronium to maintaine the relaxation. Mannitol and furosemide were given to reduce intracranial

pressure. The procedure took about 5 hours. After 5 days ICU stayed, the patient was referred back to his room

at Kemuning.

The problems in this patient are a raised of intracranial pressure, an endocrine dysfunction and a possibility of

airway difficulty related to his short statue. Corticosteroid as hormone replacement therapy was given before the operation. Based on his short statue, induction dose of anesthetic agents were adjusted and smaller

laryngoscope blade and endotracheal tube were used for intubation. Avoidance of nitrous oxide, low

concentration of volatile agent and dominant used of intravenous anesthetic agent were applied during the

operation. Post operative monitoring was done in ICU with specific concern of hormone complications like

diabetes insipidus and hyponatremia beside post operative pain control.

Patient with pituitary disease, in this case craniopharyngioma, accompanied by endocrine dysfunction and

abnormal growth, need a very careful treatment from preoperative, intraoperative to postoperative period. A

good management and cooperation between anesthesiologist, surgeon and endocrinologist can reduce the

morbidity and mortality in this kind of disease.

Key word : cretin, hypopituitarism, craniopharyngioma

JNI 2102;1(3):197-202

Abstrak Kraniofaringioma adalah tumor sela dan parasela, yang merupakan 6-10% tumor otak pada anak-anak. Gejala

umum merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala, muntah dan gangguan

penglihatan. Disfungsi endokrin yang nyata merupakan gambaran umum kraniofaringioma akibat lokasi tumor

terhadap kelenjar hipotalamus dan pituitari. Fisik pendek ditemukan pada 50-86% pasien dengan laju pertumbuhan subnormal dan pubertas yang terlambat.

Seorang laki-laki, umur 20 tahun, pasien kretin dengan hipopituitarisme sekunder menjalani craniotomy tumor

removal dan penempatan omaya shunt. Dia memiliki riwayat sakit kepala sejak 13 tahun yang lalu disertai

dengan gangguan penglihatan yang dimulai dari mata kiri dan saat ini dia buta. Dia juga menderita kegagalan

pertumbuhan dan pubertas yang terhambat, memiliki fisik seorang anak laki-laki, dengan tinggi badan 140 cm

dan berat badan 40 kg. Dia memiliki TSHs yang meningkat dengan T3 dan fT4 yang normal, LH dan FSH yang

menurun, prolaktin yang normal, hormon pertumbuhan yang normal rendah dan kortisol yang menurun. Teknik

Page 51: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

anestesia yang digunakan adalah anestesia umum. Induksi dengan fentanyl, pentotal, lidocaine dan vecuronium dengan kombinasi N2O/O2 dan isoflurane. Rumatan anestesi dengan isoflurane dan kombinasi O2/udara.

Pernapasan pasien dikontrol dengan dosis inkremental vecuronium untuk mempertahankan relaksasi. Mannitol

dan furosemide diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Operasi berlangsung selama 5 jam. Setelah 5

hari di ICU, pasien dapat kembali keruangannya di Kemuning.

Masalah pasien ini adalah peningkatan tekanan intrakranial, disfungsi endokrin dan kemungkinan kesulitan jalan

napas akibat bentuk tubuh yang kecil. Kortikosteroid sebagai terapi penggantian hormonal diberikan sebelum

operasi. Dosis obat anestesi disesuaikan dengan berat badan. Intubasi menggunakan laryngoscope blade dan

endotracheal tube dengan ukuran lebih kecil. Selama operasi dihindari pemakaian nitrous oxide, digunakan

konsentrasi rendah anestesi inhalasi dan penggunaan dominan anestesi intravena. Pemantauan post operatif

dilakukan di ICU dengan memperhatikan kemungkinan komplikasi hormonal seperti diabetes insipidus dan

hiponatremia selain pengelolaan nyeri post operatif. Pasien dengan penyakit pituitari, dalam kasus ini kraniofaringioma, disertai dengan disfungsi endokrin dan

pertumbuhan abnormal, membutuhkan penatalaksanaan preoperatif, intraoperatif dan postoperatif yang sangat

teliti. Kerjasama yang baik antara bagian anestesi, bedah dan endokrinologi dapat menurunkan morbiditas dan

mortalitas pada penyakit ini.

Kata kunci: cretin, hypopituitarism, craniopharyngioma

JNI 2102;1(3):197-202

I. Pendahuluan

Kraniofaringioma merupakan tumor selar dan

paraselar dan merupakan 6-10% dari tumor pada

anak-anak. Tumor ini merupakan tumor ke tiga

tersering dari tumor intrakranial pada anak-anak dan paling sering dijumpai di daerah hipotalamus

dan pituitari pasien pediatrik. Kraniofaringioma

berasal dari sisa-sisa epitel skuamosa embrionik

kantung Rathke’s yang meluas ke daerah

hipotalamus dan tumor ini sering ditemukan di

daerah sela tursika serta jarang ditemukan di daerah

nasofaring.1

Gambar 1. Tumor kraniofaringioma yang telah mendesak dan

menggantikan seluruh kelenjar pituitari yang normal. Dikutip dari: O’Connor M.6

Kraniofaringioma merupakan tumor jinak dengan

pertumbuhan yang lambat dan terjadi terutama pada

dekade pertama kehidupan dengan puncak pada usia di antara 5 sampai 15 tahun. Sekitar 25% dari

tumor ini terdapat pada dekade ke tiga. Gejala dan

tanda klinis kraniofaringioma tidak jauh berbeda

dari tumor supraselar yang lain. Gejala umum

adalah peningkatan tekanan intrakranial seperti

sakit kepala, muntah dan gangguan penglihatan.

Gejala gangguan endokrin terdapat pada 80-90%

pasien. Defek lapang pandang disebabkan dari

kompresi kiasma optikus atau komponen lain dari

aparatus optikus seperti saraf optikus dan dapat menyebabkan atrofi optik. Edema papila saraf

optikus, yang disebabkan peningkatan tekanan

intrakranial, juga berperan dalam gangguan

penglihatan.1-3

Disfungsi endokrin yang nyata merupakan

gambaran umum kraniofaringioma disebabkan

letak tumor yang berdekatan dengan kelenjar

hipotalamus dan pituitari. Ukuran tubuh yang

pendek abnormal ditemukan pada 50-86% pasien

disertai dengan laju pertumbuhan subnormal dan

pubertas yang terlambat.1-3 Pasien kretin dengan hipopituitarisme sekunder

terhadap kraniofaringioma, merupakan tantangan

bagi ahli anestesi disebabkan peran penting kelenjar

pituitari dalam sistem endokrin, selain tubuh

pendek dan kemungkinan masalah jalan napas.

Tantangan dimulai selama penilaian preoperatif dan

berlanjut selama pembedahan sampai periode pasca

operasi. Keberhasilan penatalaksanaan anestesi dan

pembedahan pasien dengan penyakit kelenjar

pituitari, dalam hal ini kraniofaringioma,

membutuhkan pendekatan multi disiplin dan sangat

tergantung pada kualitas penatalaksanaan perioperatif.

Page 52: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

Gambar 2.

Tanda dan gejala hipopituitarisme. Dikutip dari: Buja ML.7

II. Laporan Kasus Seorang laki-laki berusia 20 tahun dengan

diagnosis SOL at regio suprasellar ec suspect

craniopharyngioma dan direncanakan untuk

menjalani pengangkatan tumor kraniotomi dan

penempatan shunt omaya dikonsulkan ke Bagian

Anestesi pada tanggal 26 Maret 2010. Pasien ini

memiliki riwayat sakit kepala sejak 13 tahun yang lalu disertai dengan gangguan penglihatan yang

dimulai dari mata kiri kemudian berlanjut ke mata

kanan dan dia sudah buta pada saat datang ke

rumah sakit. Dia juga mengalami kegagalan

pertumbuhan dan pubertas yang terlambat. Dia

memiliki kondisi fisik seperti anak laki-laki pada

saat berusia 20 tahun dengan tinggi badan 140 cm

dan berat badan 40 kg. Pemeriksaan fisik

Tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 100 kali/menit,

respirasi 18 kali/menit dan suhu normal.

Pemeriksaan laboratorium (23 Maret 2010) memberikan hasil yang normal dan subnormal. Hb

11,5 g%, Ht 33%, lekosit 6.900, trombosit 251.000.

Parameter koagulasi dalam batas normal. Tidak

ditemukan ketidakseimbangan elektrolit yang berat,

Na 144 meq, K 4,6 meq, Ca 4,52 meq, Mg 2,80

meq, hipokalsemia dikoreksi dengan kalsium

glukonas 1 gr IV. Fungsi hati dan ginjal normal

dengan SGOT 38, SGPT 29, ureum 17 dan

kreatinin 0,71. Tidak ditemukan hiperglikemia

dengan GDS 97. Profil endokrin (12 Maret 2010)

menunjukkan peningkatan TSHs 4,8 ul/ml tetapi T3 dan fT4 normal yaitu 1,2 nmol/L dan 1,6 ng/dl.

Penurunan LH 0,19 mIU/ml dan FSH 0,8 mIU/ml.

Nilai prolaktin dan hormon pertumbuhan normal

yaitu 2,3 ng/ml dan 0,051 ng/ml, tetapi terjadi

penurunan kortisol 3,62 ug/dl. Pemeriksaan

radiologi (8 Maret 2010) memberikan hasil yang

normal. Tes fungsi paru (8 Maret 2010)

menunjukkan adanya restriksi berat, tetapi hal ini

berhubungan dengan tinggi dan berat badan

dibandingkan usia pasien. EKG (8 Maret 2010)

menunjukkan sinus takikardia dengan denyut jantung 101 kali/menit.

Gambar 3. Hasil CT Scan Pasien.

Gambar 4. Profil hormonal pasien.

Pengelolaan Anestesi:

Pemasangan jalur intravena dilakukan sebelum induksi. Teknik anestesi yang digunakan adalah

anestesi umum. Induksi dilakukan dengan fentanil,

pentotal, lidokain dan vekuronium dengan

campuran N2O/O2 dan isofluran. Rumatan anestesi

dengan isofluran dan campuran O2/udara.

Pernapasan pasien dikontrol selama operasi dengan

pemberian dosis inkremental vecuronium untuk

mempertahankan relaksasi. Manitol dan furosemid

diberikan untuk menurunkan tekanan dan volume

intrakranial. Operasi berlangsung selama 5 jam.

Setelah operasi selesai, pasien langsung

dipindahkan ke ICU, dan setelah 5 hari berada di ICU pasien dikembalikan ke ruangannya di

Kemuning.

Page 53: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

Gambar 5. Profil hemodinamik pasien selama operasi.

Gambar 6. Kondisi pasien post operatif di ICU.

III Pembahasan

Hal utama yang harus diperhatikan pada pasien

kretin yang disebabkan hipopituitarisme sekunder

terhadap kraniofaringioma ini, adalah gangguan

endokrin akibat lokasi tumor yang mendesak

kelenjar pituitari, selain dari tubuh yang pendek dan

potensi masalah jalan napas selama laringoskopi

dan intubasi.

Penatalaksanaan Preoperatif

Selain penilaian dan pemeriksaan yang umumnya

dilakukan terhadap pasien saraf yang akann

menjalani pembedahan dengan anestesi umum,

penilaian dan pemeriksaan pasien yang akan

menjalani operasi kraniofaringioma harus meliputi

pemeriksaan tanda dan gejala peningkatan tekanan

intrakranial, profil endokrin, efek hiposekresi

hormon dan fungsi penglihatan.1,2

Terapi penggantian hormon preoperatif harus dilakukan selama periode preoperatif dan

dilanjutkan selama periode operatif. Defisiensi

ACTH dilaporkan terjadi pada 25–71% anak-anak

dengan kraniofaringioma dan dapat menyebabkan

hipotensi dan kematian selama stres seperti pada

saat operasi. Defisiensi ACTH dapat terjadi selama

pembedahan pada pasien yang tidak menunjukkan

tanda-tanda defisiensi preoperatif, sehingga semua

pasien dengan kraniofaringioma harus diberikan

stress doses glukokortikoid sebelum pembedahan.

Pasien yang telah menerima deksametason untuk

kepentingan pembedahan tidak membutuhkan dosis steroid tambahan karena dosis deksametason

umumnya jelas lebih besar dari dosis fisiologis

yang dibutuhkan.1,2,3

Pada pasien anak-anak dengan defisiensi ACTH,

dosis penggantian hidrokortison tergantung usia.

Pada anak-anak kecil, dosis penggantian sekitar 6

mg/m2 luas permukaan tubuh sedangkan untuk

anak-anak yang lebih besar dan remaja sekitar 9

mg/m2. Dosis pemeliharaan hidrokortison harus

disesuaikan seiring pertumbuhan dan peningkatan

berat badan anak. Dosis yang berlebihan atau kurang, walaupun sedikit, dapat menyebabkan efek

samping. Dosis yang berlebihan dapat

menyebabkan tanda dan gejala Cushing syndrome

dan menyebabkan hambatan pertumbuhan

sedangkan dosis yang kurang dapat menyebabkan

insufisiensi adrenal. Hidrokortison diberikan 3

kali/hari dan lebih disukai pada anak-anak karena

efek restriksi pertumbuhan lebih ringan dan

merupakan preparat glukortikoid dengan durasi

kerja lama.1,2,3

Pasien ini mengalami penurunan kortisol dan telah

diberikan deksametason 8 mg/hari, yang bertujuan selain untuk menguragi edema di sekitar tumor,

juga untuk mengisi kekurangan kortisol yang ada.

Tidak diperlukan dosis tambahan steroid karena

dosis deksametason tersebut sudah mencukupi dan

melebihi dosis fisiologis yang diperlukan.

Penatalaksanaan Intraoperatif

Walaupun semua teknik anestesi dapat digunakan

untuk prosedur operasi intrakranial, keberadaan

peningkatan tekanan intrakranial membutuhkan

perhatian khusus. Pada kondisi ini, penggunaan anestesi intravena dan menghindari penggunaan

N2O telah direkomendasikan. Penggunaan obat-

obatan dengan durasi kerja pendek lebih dianjurkan

karena mempermudah dan mempercepat pemulihan

pada akhir pembedahan obat seperti propofol dan

sevofluran jelas masuk ke dalam kategori tersebut.

Selama pembedahan, ventilasi dengan target

normokapnia atau sedikit hipokapnia harus

dipertahankan. Opioid dengan durasi kerja pendek

diberikan secara titrasi untuk mempertahankan

stabilitas hemodinamik. Pemberian opioid dengan

durasi kerja panjang seperti morfin intravena atau kodein intramuskuler 20-30 menit sebelum

pembedahan berakhir dianjurkan supaya pasien

tidak bangun dalam kesakitan.1-5

Pada pasien ini, induksi dilakukan dengan fentanil,

pentotal, lidokain dan vekuronium dengan

campuran N2O/O2 dan isofluran. Rumatan anestesi

dengan isoflurane dan campuran O2/udara. Pasien

dikontrol pernapasannya dengan pemberian

inkremental vekuronium untuk mempertahankan

Page 54: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

relaksasi. Manitol dan furosemid diberikan untuk mengurangi tekanan dan volume intrakranial.

Antibiotika profilaksis

Pemberian antibiotika masih menjadi perdebatan

sampai saat ini. Walaupun sebagian ahli bedah

tidak menggunakan profilaksis dan menyebutkan

tidak ada masalah, hampir semua unit di UK

mempertahankan pemberian antibiotika.

Antibiotika yang umumnya diberikan adalah

cefixime (cefuroxime 1.5 gr) saat induksi anestesi

dan setiap 3 jam selama operasi. Tidak ada

pemberian lebih lanjut pada periode post operatif untuk meminimalkan perkembangan organisme

resisten.2,4

Komplikasi operatif

Pasien ini dioperasi dengan pendekatan transkranial

karena ukuran tumor yang besar. Pembedahan

tumor pituitari transkranial memiliki resiko serupa

dengan prosedur intrakranial yang lain. Kerusakan

lobus frontal akibat iskemia karena traksi lama

dapat diminimalkan dengan hati-hati memasang

retraktor dan pelepasan berkala dari retraktor.

Trauma terhadap arteri karotis atau kiasma optikus

dapat terjadi. Insidensi kejang post operasi lebih tinggi pada pembedahan subfrontal dibandingkan

pendekatan lain. Beberapa ahli merekomendasikan

penggunaan terapi antikonvulsan tetapi hal ini

belum meyakinkan. Anosmia dapat juga terjadi

karena kerusakan pada traktus olfaktorius.2,4

Pemulihan dari anestesia

Pemulihan yang mulus dan cepat dari anestesia

setelah pembedahan otak memberikan kesempatan

untuk penilaian neurologis lebih awal dan

stabilisasi respirasi dan kardiovaskuler lebih baik.

Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan obat-obatan anestesi dengan durasi kerja yang cepat.

Ekstubasi harus dilakukan dengan tanpa atau

sesedikit mungkin menyebabkan gejolak

hemodinamik, selain harus memperhitungkan

syarat-syarat ekstubasi pada pasien dengan operasi

otak. Sebelum dilakukan ekstubasi segera post

operatif harus memperhatikan beberapa hal yang

penting seperti kesadaran pra bedah adekuat,

operasi otak terbatas, tidak ada laserasi otak yang

luas, bukan operasi fossa posterior yang luas yang

mengenai saraf IX dan XII, bukan reseksi AVM

yang besar, suhu normal, oksigenasi normal dan kardiovaskuler stabil. Ekstubasi pada pasien ini

dilakukan setelah semua kriteria di atas telah

terpenuhi.2,3,4

Penatalaksanaan post operatif

Penatalaksanaan post operatif meliputi

penataklaksanaan jalan napas yang baik, analgesia

post operatif yang memadai, pemberian cairan dan

hormon yang sesuai dan pemantauan ketat untuk komplikasi post operatif.2,4

Pasien ini dikirim langsung ke ICU setelah operasi

selesai untuk pemantauan ketat kondisi

hemodinamik dan pencegahan komplikasi

penyakitnya. Setelah 5 hari di ICU, pasien

dikembalikan ke ruangannya di Kemuning.

Analgesia post operatif

Kraniotomi merupakan prosedur bedah yang lebih

menyakitkan dibandingkan teknik transsphenoidal

dan analgesia yang kuat diperlukan. Opioid telah

menjadi analgesia post operatif utama pada pasien dengan operasi otak selama bertahun-tahun karena

efek analgesia yang kuat.2,3,4

Pasien ini mendapatkan morfin sebagai analgesia

post operatif selama di ICU dan dosis perlahan-

lahan diturunkan sesuai dengan kondisi pasien. Saat

pasien sudah mampu menerima nutrisi peroral,

pemberian morfin intravena diturunkan dan

digantikan dengan analgesia peroral.

Terapi penggantian hormon

Keamanan menjadi hal pokok sehingga semua

pasien diasumsikan membutuhkan penggantian

kortisol post operatif dalam jangka pendek. Penggantian harus diturunkan perlahan-lahan

menjadi dosis pemeliharaan dalam beberapa hari.

Regimen standar yang direkomendasikan adalah

hidrokortison 50 mg 2 kali/hari pada hari pertama

post operasi, 25 mg 2 kali/hari pada hari ke dua,

dan menjadi 20 mg saat pagi dan 10 mg saat sore

pada hari ke tiga. Pasien umumnya pulang dengan

dosis ini. Dosis sore diberikan antara pukul 17.00

dan 18.00. pasien dengan mikroadenoma yang

mensekresi prolaktin dapat lepas dari

hydrocortisone dengan aman dalam beberapa hari pertama bila ≥ 20% kelenjar pituitari disisakan.

Pada penyakit Cushing’s, kortikotrof normal sangat

disupresi dan penggantian dibutuhkan sampai

beberapa minggu atau bulan. Penggantian hormon

yang dilakukan pada periode preoperatif harus

dilanjutkan pada periode post operatif, sampai

evaluasi oleh ahli endokrin dilakukan.1-5

Pasien ini telah mendapatkan deksametason 8

mg/hari dan pemberian obat ini dilanjutkan sampai

periode post operatif di ICU. Pemberian

deksametason disertai dengan pemantauan kadar

glukosa darah berkala karena adanya resiko hiperglikemia pada pemberian obat tersebut.

Komplikasi hormon post operatif

Diabetes Insipidus

Umumnya terjadi dalam 24 jam pertama dan timbul

bila > 80% saraf yang mensintesis vasopresin rusak

atau menjadi tidak berfungsi untuk sementara

waktu. Hal ini harus diduga bila pasien

menghasilkan urine > 1 liter dalam 12 jam dengan

Page 55: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

konsentrasi Na+ plasma > 143 mmol/l. Keluaran dan berat jenis urine harus diperiksa secara rutin

setelah operasi pituitari. Bila hal ini terjadi,

pemeriksaaan osmolaritas plasma dan urine yang

teratur harus dilakukan. Diagnosis diabetes

insipidus harus ditegakkan secara biokimiawi

sebelum terpai dilakukan. Kombinasi dari

peningkatan osmolaritas plasma (>295 mosmol/kg),

urine hipotoni (< 300 mosmol/kg) dan keluaran

urine yang banyak (> 2 ml/kg/h) merupakan kriteria

untuk menetapkan diagnosis. Diabetes insipidus

dapat diterapi dengan desmopressin acetate (DDAVP). Walaupun demikian, bila pasien sadar

dan memiliki mekanisme haus normal, lebih aman

untuk memberikan cairan seperti biasa

dibandingkan pemberian cairan intravena yang

berlebihan dan DDAVP. Penggunaan DDAVP

yang berlebihan dapat menimbulkan hiponatremia

yang akan menyebabkan kejang dan koma. Hampir

semua kasus borderline diabetes insipidus membaik

secara spontan dalam beberapa hari seiring dengan

kembali normalnya fungsi lobus posterior.

Pemberian DDAVP dibutuhkan pada pasien koma,

pasien tanpa respon haus dan pasien dengan keluaran urine yang sangat banyak. Dosis DDAVP

IM/IV yang direkomendasikan adalah 0.1 µg

diulang bilamana perlu. Pada fase akut, dosis 0.04

µg IV memberikan respon adekuat dengan durasi

yang lebih singkat. Pemantauan konsentrasi sodium

dan osmolaritas plasma harus dilakukan sampai

tercapai keseimbangan elektrolit dan cairan.1-5

Hiponatremia

Penyebab tersering hiponatremia setelah operasi

pituitari adalah penggunaan DDAVP yang

berlebihan. Hiponatremia juga dapat disebabkan, walaupun jarang, oleh SIADH karena pelepasan

ADH non spesifik dari terminal neurosekretori

pituitari posterior yang berdegenerasi. Hal ini

menyebabkan retensi air dan kehilangan Na+ urine

sekunder. Umumnya bersifat sementara dan

berlangsung sekitar 7 sampai 10 hari post operatif.

Kondisi ini diatasi dengan restriksi cairan dan

dipantau dengan pemeriksaan elektrolit berkala.

Selain itu, hiponatremia setelah pembedahan

intrakranial dapat disebabkan kecenderungan untuk

diuresis sehingga terjadi kontrksi nyata volume

sirkulasi dan ekstraseluler. Fenomena ini dikenal sebagai cerebral salt wasting syndrome (CSW) dan

dapat sulit dibedakan dari SIADH.1-5

Walaupun demikian, sangat penting untuk

membedakan ke 2 kondisi tersebut karena terapi

keduanya berbeda bahkan berlawanan. Pada

SIADH, masalah disebabkan karena ekspansi

volume ekstraseluler akibat retensi air sehingga

terapi terbaik adalah membatasi asupan air sekitar

500–1000 ml/hari tergantung konsentrasi Na+

plasma. Pada CSW, restriksi cairan tidak dapat mengkoreksi hiponatremia tetapi akan berbahaya

karena akan lebih menurunkan volume

intravaskuler. Larutan hipertonik digunakan untuk

mengkoreksi hiponatremia pada CSW. Koreksi

konsentrasi Na+ yang rendah harus dilakukan dalam

24-48 jam, dengan kecepatan peningkatan

konsentrasi Na+ plasma < 1 mmol/jam. Koreksi

yang terlalu cepat dapat menyebabkan mielinolisis

pontin sentral.1-5

IV. Simpulan Pasien dengan penyakit pituitari, dalam kasus ini

dengan kraniofaringioma yang disertai dengan

disfungsi endokrin dan pertumbuhan abnormal,

membutuhkan penatalaksanaan yang baik mulai

dari periode pre operatif, selama operasi sampai

periode post operatif. Peningkatan tekanan

intrakranial, disfungsi endokrin dan kemungkinan

kesulitan jalan napas yang berhubungan dengan

tubuh yang pendek dan kecil merupakan potensi

masalah pada pasien ini. Penatalaksanaan dan kerja

sama yang baik di antara ahli anestesi, ahli bedah

dan ahli endokrin sangat dibutuhkan dan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien-

pasien dengan penyakit dan kondisi seperti ini.

Daftar Pustaka

1. Halac I, Zimmerman D. Endocrine

manifestations of craniopharyngioma. Childs

Nerv Syst. 2005;21:640-8.

2. Nemergut EC, Dumont AS, Barry UT, Laws

ER. Perioperative management of patients

undergoing transphenoidal pituitary surgery.

Anesth Analg. 2005;101:1170-81.

3. Smith M, Hirsch NP. Pituitary disease and

anaesthesia. Br J Anaesth. 2000;85:3-14.

4. Jane JA, Laws ER. Surgical management of

pituitary adenomas. Singapore Med J. 2002;43(6):318-23.

5. Okafor UV, Onwuekwe IO, Ezegwui HU.

Management of pituitary adenoma with mass

effect in pregnancy: a case report. Cases

Journal. 2009;2:1-3.

6. O’Connor M. Acquired Hypopituitarism

[document on the internet]. Medpedia News &

Analysis - Medpedia [diunduh 18 Agustus 2012]. Tersedia dari: http://www.medpedia.

com/news_analysis/173-Cushings-Cancer/entri

es/51875-Acquired-Hypopituitarism.

7. Buja ML, Krueger GRF. Endocrine System.

Dalam: Netter’s Illustrated Human Pathology.

Edisi pertama. Philadelphia: Saunders Elsevier

Inc; 2004. 419.

Page 56: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

1

PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PERDARAHAN INTRACEREBRAL YANG

DISEBABKAN STROKE HIPERTENSI

ANAESTHESIA MANAGEMENT IN INTRACEREBRAL BLEEDING

CAUSED BY HYPERTENSION STROKE

Muhammad AR*), Nazaruddin Umar*), Siti Chasnak Saleh**)

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU / RSUP. H. Adam Malik- Medan

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unair/RS Dr. Soetomo-Surabaya

Abstract Intracerebral hemorrhage (ICH) is primary in many cases are caused by the rupture of blood vessels due to

chronic hypertension called vasculopathy hypertensive hematoma due to intracerebral haemorrhage occurred

which resulted in an increase in intracranial pressure and pressure on surrounding brain tissue causing

neurological deficits. which if not treated quickly can result in death or disability, it is necessary fast and precise

handling.

A 56 year male 70 kg weight gain admission with a chief complaint of decreased consciousness occur suddenly,

before os os complain of headaches and a history of high blood pressure and uncontrolled for a long time. After

a physical examination and CT scan and an additional diagnosed with ICH with extensive Hemorrhage Stroke at

left hemisfer + right hemiplegi hypertension. Craniotomy surgical decompression externa, with the help of

general anesthesia, postoperative care of patients in ICU patients with a better awareness, improved general

condition, blood pressure under control, but the neurological deficit persists, the patient returned / moved to a

near by hospital for further treatment in the form of physiotherapy and hypertensive on day-to-22. ICH due to hemorrhagic stroke have a high mortality and high disability, neurological devisit difficult removed.

Surgery aims to reduce intracranial pressure and prevent death and disability is. So rapid and appropriate

action must be done immediately.

Key words: hemorrhagic stroke, ICH, craniotomy, hemiplegia

JNI 2102;1(3):203-208

Abstrak

Perdarahan intracerebral (ICH) secara primer pada banyak kasus disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah

akibat hipertensi kronis yang disebut hipertensif vaskulopati. Akibat perdarahan terjadi hematoma intracerebral

yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dan penekanan pada jaringan otak sekitar yang menyebabkan terjadinya defisit neurologis yang bila tidak diatasi dengan cepat dapat mengakibatkan kematian

atau kecacatan, maka perlu penanganan yang cepat dan tepat.

Seorang laki-laki 56 tahun berat badan 70 Kg, datang ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran yang terjadi

tiba-tiba, sebelumnya paien mengeluh sakit kepala mempunyai riwayat penyakit darah tinggi, sejak lama dan

tidak terkontrol. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan tambahan serta CT Scan didiagnosa dengan Stroke

Hemorrhage dengan ICH luas di hemisfer kiri + hemiplegi kanan + hipertensi. Dilakukan operasi kraniotomi

dekompresi externa, dengan bantuan anestesi umum, post operasi pasien di rawat ICU kesadaran penderita

menjadi membaik, keadaan umum membaik, tekanan darah terkontrol, namun defisit neurologis masih tetap,

pasien pulang / pindah ke rumah sakit terdekat untuk perawatan lanjutan berupa fisioterapi dan kontrol

hipertensi pada hari ke-22.

ICH karena stroke hemorrhage mempunyai angka kematian dan kecacatan yang tinggi, defisit neurologis yang

sukar dihilangkan. Tindakan operasi bertujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial dan mencegah kematian dan kecacatan tersebut. Maka tindakan yang cepat dan tepat harus segera dilakukan.

Kata kunci: stroke hemorrhagic, ICH, kraniotomi, hemiplegi

JNI 2102;1(3):203-208

I. Pendahuluan

Perdarahan intrakranial dapat berupa perdarahan

subarachnoid ( Subarachnoid hemorrhage = SAH)

akibat pecahnya aneurisma serebral, perdarahan

dari pecahnya arteriovenous malformation (AVM),

dan perdarahan intraserebral (Intracerebral

Page 57: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

2

Hemorrhage = ICH) yang disebabkan hipertensi kronis.1-4 Perdarahan intraserebral adalah

perdarahan spontan yang bukan disebabkan oleh

trauma, yang darahnya masuk parenhim otak

membentuk hematoma. ICH merupakan suatu

penyakit yang berat dengan angka kematian dan

kecacatan yang cukup tinggi.1,3,5,6 Kematian sangat

bergantung pada beratnya penyakit, makin berat

makin tinggi angka kematian.7 Beratnya penyakit

dapat ditentukan dengan suatu skoring yang disebut

Skor ICH, yang parameternya adalah tingkat

kesadaran sewaktu pertama diperiksa, volume dari hematoma yang ditentukan dari gambaran CT-scan,

lokasi dari hematoma apakah diatas atau dibawah

tentorium. Makin tinggi skor ICH maka makin

tinggi angka kematiannya.6,7 Di Amerika Serikat

mendekati 65.000 kasus penderita ICH per tahun

dengan angka kematian 50%. Duapuluh lima persen

dari ICH spontan fatal dalam 24 jam pertama dan

25% lainnya dalam 3 bulan.1,4,6 Penyakit hipertensi

merupakan salah satu penyakit yang paling

beresiko terjadinya perdarahan intraserebral.5,6

II. Kasus Seorang laki-laki, umur 56 tahun, berat badan 70

Kg, datang ke rumah sakit dengan penurunan

kesadaran. Penurunan kesadaran terjadi sejak pagi

hari, lebih kurang 12 jam sebelum datang ke rumah

sakit, terjadi secara tiba-tiba, sebelumnya pasien

mengeluh sakit kepala, mempunyai riwayat

penyakit darah tinggi sejak lama, namun berobat

tidak teratur. Awalnya dirawat dirumah sakit

terdekat, dilakukan CT-scan dan didiagnosa dengan

stroke hemorrhage kemudian penderita dirujuk ke

rumah sakit di Medan oleh teman sejawat ahli penyakit saraf. Terapi yang telah diberikan adalah

oksigen 2 Liter/menit selang hidung,infus manitol

20% diberikan 0,35 gr/kg berat badan (125

cc/6jam), infus ringer laktat 20 tetes/menit, citicolin

1 amp/ 6 jam, ranitidin 50 mg/ 8 jam, tablet

nipedipin 3 x 10 mg.

Pemeriksaan fisik

Nafas spontan, jalan nafas bebas, laju nafas

18x/mnt, reguler, suara tambahan dan gerak

tambahan tidak dijumpai, saturasi oksigen 98%.

Tekanan darah 190/110 mmHg, laju nadi 100x/mnt, pulsasi kuat, suara jantung satu dan dua tunggal,

suara tambahan tidak dijumpai. Kesadaran GCS 8,

pupil anisokor, diameter kiri 4mm/kanan 2mm,

reflek Cahaya +/+, hemiplegia kanan. Saluran

cerna dan saluran kemih dalam batas normal,

extremitas kanan hemiplegia.

Pemeriksaan laboratorium:

Hb 15,8 gr/dl, Ht 51 %, Leukosit 27.600, Trombosit 260000, Ureum 30 mg/dl, Creatinin 0,8 mg/dl,

Uric acid 7,4 mg/dl, gula darah 140 mg/dl,

Kolesterol 285 mg/dl < 200, Triglycerida 67 mg/ll

< 150, HDL 42 mg/dl ( < 40), LDL 229 mg/dl (

<150), Na 139 mmol/L (136-145), K 38 mmol/L

(3,6 – 5,5), Cl 105 mmol/L ( 96 - 106). CT Scan

kepala ICH luas di daerah parietal kiri dengan

midline shift lebih setengah centimeter. Foto

Rongen dada kesan pembesarn jantung kiri, EKG

hipertropfi ventrikel kiri.

Gambar : CT Scan

Diagnosa:

Stroke hemorrhage dengan ICH luas hemisphere

kiri + hemiplegia kanan + hipertensi. Dengan skor

ICH = 2 (Angka kematian 26%). Rencana:

kraniotomi dekompresi luar

Penatalaksanaan Anestesi

Persiapan: penjelasan ke keluarga tentang maksud

dan tujuan operasi, prognose dan kemungkinan

komplikasi serta cacat neurologis, pembuatan izin

operasi, persiapan kamar operasi: obat-obatan dan peralatan, ICU: peralatan, monitoring dan ventilator

Jalur intravena dipasang di dua tempat, lengan kiri

dengan abocath 18 G, diberikan NaCl 0,9%, lengan

kanan dipasang setelah penderita tidur dengan

abocath 18 G juga diberikan NaCl 0,9%. Dipasang

monitoring: tekanan darah non invasif, denyut

jantung, EKG, saturasi oksigen, End tidal CO2,

kateter urine. Induksi: diberi preoksigenasi dengan

O2 100 % selama 5 menit, midazolam 5 mg,

fentanyl 75 ug intravena. Diukur tekanan darah,

turun + 30 %, propofol 100 mg, rocuronium 50 mg, lidocain 2% 80 mg, diberikan ventilasi, intubasi

dengan pipa endotrakheal non kingking diameter

7,5 mm, lalu periksa suara pernafasan kanan sama

dengan kiri, cuff dikembangkan, fiksasi, lalu

pasang tampon.

Diberikan infus manitol 0,5 gr/kg BB.

Pemeliharaan anestesi dengan sevoflurane 0,5 – 1,5

volume % + O2 2 liter/menit + N2O 2 liter/menit.

Page 58: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

3

Kontrol ventilasi dengan mempertahankan endtidal CO2 berkisar 30-35mmHg. Operasi berlangsung

selama 2 jam 45 menit dengan monitoring durante

operasi sebagai berikut:

Tekanan Darah: 130 – 160/80 – 90 mmHg (MAP:

97 – 111 mmHg)

Denyut Jantung: 80 – 100 x mnt

SpO2: 95 – 100 %

ETCO2: 30 – 35 mmHg

Gambar Monitoring Selama Operasi

Didapati hematoma + 150 ml

Tulang di simpan dibawah kulit.

Gambar Lapangan Operasi

Perawatan Post Operasi

Terlihat pada Tabel dibawah ini:

Hari Pemeriksaan Penilaian dan Perencanaan

I 03.50

Pupil anisokor, ki>ka, Reflek Cahaya +/+, Tensi Darah: 140 – 150/70 – 90`( MAP 95 – 110 ) mmHG, HR: 98x/mnt, Temp: 370C.Urine:

cukup

Tirah baring dengan posisi headup 300 Kontrol Ventilasi FiO2 40%, TV 550 ml, Frekuensi 14x /mnt I:E=1:2 :PEEP 5 cm H20 IVFD Ringer Solution

25 tetes / menit AB: Inj Meropenem 1 gr / 12 jam

I 13.30

23.00

Kesadaran: belum bisa dinilai TD:180 / 85 ( MAP 123 ) mmHg

HR: 86 x / mnt Temp: 37 C Urine: cukup Demam ( - ) Kesadaran belum

bisa dinilai Pupil Isokor, RC +/+, TD: 190/90 mmHG, HR: 90x / mnt, Tem: 370C Urine Cukup

Inj. Vit C 2 amp / 8jam Inj Alinamin F 1 amp / 12 jam Inj Fentanyl 300 ug +

midazolam 15 mg dalam NaCl 0,9 % sebanyak 50 ml → 3 – 4 ml / jam/ syringe pump Modus Ventilator SIMV 8 PS 10 FiO2

30% Inj Fentanyl 300 μg +

midazolam 15 mg dalam NaCl 0,9% sebanyak 50 ml → 2 ml / jam / syringe pump - IVFD R-Sol 20 gtt /

menit - Inj Ranitidin 50 mg /

8 jam / IV

- Manitol 125 ml / 8 jam

- Inj Fentanyl 3 cc, Kalau gelisah midazolam 5 mg / IV

- Adalat 10 mg 1x1 Aminofluid 15 tetes / menit

II 09.00

TD: 180 / 95 (MAP 123 ) mmHg H R: 80 x / mnt Temp 37 C Pupil: Isokor R C +/+

Temp: 37,40C, Sat O2 100%

Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt /

menit - Inj Ranitidin 50 mg /

8 jam / IV - Manitol 125 ml / 8

jam Inj Fentanyl 2 cc, Kalau gelisah midazolam 5 mg / IV Mulai fisioterapi Diet 2100 kcal/hari Lepas ventilator.

III 08.00

GCS 3x5, Pupil Isokor, Reflek Cahaya +/+, Hemiplegia kanan TD: 190 / 95 mmHg (MAP 126), HR:81x/mnt, Temp: 37,40C, Sat

Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt /

menit - Inj Ranitidin 50 mg /

8 jam / IV - Manitol 125 ml / 8

jam Inj Fentanyl 1 cc,

Page 59: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

4

III 14.00

O2 100% Pupil Isokor, Reflek Cahaya +/+, Pupil isokor, Reflek Cahaya +/+, TD: 150-160 /80-90 mmHg (MAP =108)

HR: 70-80x/mnt Temp: 37,40C, Urine Cukup

Kalau gelisah midazolam 5 mg / IV Mulai fisioterapi Diet 2100 kcal/hari Terapi Tetap Seperti Jam 08.00

IV Kesadaran Meningkat Hemiplegia kanan, Pupil Isokor,

Reflek Cahaya +/+, TD: 160-180/80-90 ( MAP 113) mmHg, HR: 76 x/mnt, Temp 37,2 C Urine Cukup

Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt /

menit - Inj Ranitidin 50 mg /

8 jam / IV - Manitol 125 ml / 8

jam Inj Fentanyl 1 cc,

V 09.00

14.00

GCS 15 (Sadar Baik), Pupil Isokor,

Reflek Cahaya +/+, Hemiplegi kanan, TD: 150/90 (MAP110) mmHg, HR: 100x/mnt, urine cukup,

demam (-)

Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt /

menit - Inj Ranitidin 50 mg /

8 jam / IV - Manitol 125 ml / 8

jam Inj Fentanil stop Adalat 20 mg 1x1 Ektubasi

VI TD : 180/90 (MAP 120), HR: 76x/mnt, Hemiplegia kanan (+),

Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt /

menit - Inj Ranitidin 50 mg /

8 jam / IV - Manitol stop

VII Sadar baik, Afasia (+), Hemiplegia Kanan (+) TD: 170/85 (MAP 113) HR: 80x/mnt Temp: 370C

Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt /

menit - Inj Ranitidin 50 mg /

8 jam / IV Vit K Stop Vit C Teruskan

Perdipin 0,5 mg/kg BB (bila TD <120, obat stop)

VIII s/d X

Pindah Ruangan TD: 160/85 (MAP 110)mmHg, HR:94 x /mnt, RR: 20 x

/mnt, Temp: 37,50C

Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 10 gtt /

menit - Inj Ranitidin 50 mg /

8 jam / IV Vit C Teruskan Perdipin Teruskan

XI s/d XV

Hemiplegia kanan, Afasia(+) TD: 150/85 (MAP 106) mmHg, HR:96 x /mnt, Temp: 38,00C,

Obat ganti oral Perdipin stop Lasix 1 amp / 12 jam Inj Meropenem stop Cravit 500 mg / 12 jam Aff hecting

XVI s/d

XX

TD: 140/80 (MAP 103) mmHg, HR:

80x/mnt,

Terapi seperti hari ke-25

Lasix 1 amp / 24 jam

XXI

Pasien Pulang Cravit 500 mg/ 12 jam Adalat 20 mg

1 4 7 10 13 16 19

60

110

160 Sistol

Diastol

MAP

Grafik 1. Pemantauan Tekanan Darah setelah operasi

Gambar Pasien Post Operasi

III. Pembahasan

Perdarahan intraserebral (Intracerebral hemorrhage

/ICH) diklasifikasikan secara primer dengan

penyebab utama adalah rupturnya pembuluh darah

akibat injuri kronik pembuluh darah kecil serebral

disebabkan oleh hipertensi (hipertensive vasculopathy).1-7 Akibat perdarahan, darah masuk

ke dalam parensim otak membentuk hematoma

intracerebral, yang menyebabkan penekanan pada

jaringan otak sekitarnya, lokasi perdarahan bisa

diberbagai tempat di serebral mulai dari permukaan

sampai ke dalam ventrikel otak. Sel-sel darah yang

masuk mengalami kematian atau lisis yang

mengeluarkan toksin menyebabkan edema jaringan

dan kerusakan jaringan sekitar (injuri sekunder)

yang mengakibatkan defisit neurologis. Bila

jumlah darah bertambah banyak dalam parensim

Hari

Page 60: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

5

otak yang membentuk bekuan yang lebih besar akan menambah massa intrakranial, yang akan

meningkatkan tekanan intrakranial dengan segala

akibatnya. Persentase kematian dari ICH dapat

ditentukan oleh suatu skor yang disebut SKOR

ICH, yang parameternya adalah tingkat kesadaran

(GCS) waktu ditentukan, volume dari hematoma,

ada tidaknya perdarahan di ventrikel, lokasi

hematoma di supra atau infratentorium, umur

penderita (lihat tabel di bawah ini ):7

Komponen Skor ICH Nilai

Skor GCS 2

3-4 2

5-12 1

13-15 0

Volume ICH, cm3

Ya 1

Tidak 0

ICH di Infratentorial

Ya 1

Tidak 0

Umur, Tahun

>80 1

<80 0

Total skor ICH 0-6

Skor mortalitas 30 hari

0 0%

1 13%

2 26%

3 72%

4 97%

5 100%

Sumber: Rost N, dkk 10

Perdarahan intraserebral merupakan suatu keadaan

darurat medis yang memerlukan penanganan yang

cepat dan tepat degan focus menstabilisasikan

kardiorespiratori (ABCDE neuroanestesi) dan

pencegahan/pengobatan komplikasi intrakranial.1-10

Tujuan penanganan pada ICH adalah difokuskan

pada penurunan tekanan intrakranial, menghentikan

perdarahan, dan mengeluarkan hematoma. Segera

setelah diagnosa ditegakkan lokasi dan besarnya

hematoma diketahui dilakukan penanganan yang

dapat berupa penanganan secara medikal atau pembedahan. Penanganan secara medical meliputi

pengendalian tekanan darah, pengendalian tekanan

intrakranial, pemberian anti perdarahan. Karena

hipertensi merupakan penyebab paling umum dari

ICH spontan, pengaturan tekanan darah cukup

penting, walaupun terdapat kontroversial dimana

ada yang berpendapat bahwa kemungkinan

terjadinya pemburukan jaringan yang rentan

terhadap iskemik jika tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba yang menyebabkan cedera

sekunder.4,5,6 Namun pendapat lain tidak menerima

pendapat tersebut, yang mengatakan pengaturan

tekanan darah tampak aman dilakukan.1,3,4,5,6,7

Perobahan autoregulasi pada penderita hipertensi

dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Sumber: Manoach S. Dalam: Newfield P, Cottrell JE 6

Penanganan pada peningkatan ICP meliputi posisi

kepala ditinggikan 30 derajat, cegah batuk dan

mengedan, pemberian infus diuretik manitol dan

furosemid, hiperventilasi dengan mempertahankan

EtCO2 normokapnia. Beberapa tindakan

pembedahan kini dilakukan untuk menangani

penderita perdarahan intraserebral dengan tujuan

untuk menurunkan tekanan intrakranial, menghentikan perdarahan, mengangkat hematoma,

dan memperbaiki aliran cairan serebrospinalis.

Pembedahan dilakukan untuk evakuasi hematom

yang dapat dijangkau, tergantung lokasi hematoma

di intraserebral. Pertimbangan utama dalam

memilih obat anestesi atau kombinasi obat anestesi

adalah pengaruhnya terhadap tekanan intrakranial,

karena semua obat yang dapat menyebabkan

vasodilatasi serebral mungkin berakibat peninggian

tekanan intrakranial, pemakaiannya sedapat

mungkin harus diperhatikan mana yang lebih menguntungkan dalam neuroanesthesia. Semua

penderita yang dirawat dengan perdarahan

intracerebral di ICU harus mendapat perhatian

dalam hal evaluasi radiologik, menjaga adequatnya

respirasi dan sirkulasi, pengendalian tekanan darah,

pencegahan hiperglikemi, hipotensi dan demam,

pengendalian tekanan intrakranial, pengontrolan

terhadap neurosurgical dan pencegahan kejang

Page 61: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

6

V. Simpulan

1. Penyebab utama dari perdarahan intraserebral

oleh karena hipertensi kronis merupakan suatu

kelainan pada pembuluh darah kecil yang

disebut Hipertensive Vasculophaty.

2. Pengendalian hipertensi sebelum terjadinya

perdarahan adalah suatu sangat penting.

3. Usaha pembedahan dan anestesi merupakan

suatu tindakan / upaya untuk menurunkan

tekanan intrakranial, dan menghilangkan atau

mengurangi efek penekanan dari hematoma.

4. Defisit neurologis yang sudah terjadi biasanya sulit dihilangkan

5. Pada kasus ini efek dari peningkatan

intrakranial dapat diatasi, terlihat dengan

membaiknya kesadaran umum dari pasien,

walaupun defisit neurologi berupa hemiparese

masih terlihat ada.

6. Perawatan selanjutnya adalah perlu dilakukan

fisioterapi secara teratur

Daftar Pustaka

1. Elliot G, Smith M. The acute management of

intracerebral hemorrhage; a clinical review. Anesth Analg 2010; 110 ;1419 - 27

2. Hasan AE, Zacharatos H, Qurcshi A. Acute

Hypertensive Response in Intracerebral

Hemorrhage. Dalam: Carhuapoma JR, Mayer

SA, Hanley DF, eds. Intracerebral Hemorrhage.

New York: Cambridge University Press; 2010;

159 - 64

3. Manoach S, Charchaflieh JG. Traumatic Brain

Injury, Stroke, and Brain death. Dalam:

Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of

Neuroanesthesia, 4th edition, Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins; 2007,414-40

4. Qureshi AI, Tuhrim S, Brodereek JP, et al.

Spontaneous intracerebral hemorrhage. N Eng

J Med, May 2010; 344; 19; 1450-60 .

5. Naval NS, Nyquist PA, Carhuapoma JR.

Medical Management of Intracerebral

Hemorrhage. Dalam: Carhuapoma JR, Mayer

SA, Hanley DF, eds. Intracerebral Hemorrhage.

New York: Cambridge University Press; 2010;

159-64

6. Qureshi AI, Anendelow AD, Hanley DF.

Intracerebral Hemorrhage. Lancet 2009; 373; 1632 - 44

7. Rost N, Rosand J. Intracerebral hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care,

1st ed, New York: Cambridge University Press;

2010, 143-59

8. Bruder N, Ravussin PA. Supratentorial Masses:

Anesthetic Considerations. Dalam: Cottrell JE,

Young WL, eds. Cottrell and Young’s

Neuroanesthesia, 5th ed, Philadelphia: Mosby

Elsevier; 2010, 184-202.

9. Godsiff LS, Matta BF. Intensive care

management of intracranial haemorrhage.

Dalam: Matta BF, Menon DK, Turner JM, ed. Textbook of Neuro Anesthesia and Critical

Care, 1st ed, London: Greenwich Medical

Media; 2000,331-41

10. Petrozza PH, Prough DS. Post Operative and

Intensive Care. Dalam: Cottrell JE, Smith DS,

ed. Anesthesia and Neurosurgery, 4th ed,

Philadelphia: Mosby:623-61.

Page 62: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

1

MEMBRAN SEL NEURON DAN SAWAR DARAH OTAK SEBAGAI STRUKTUR

PROTEKSI OTAK

MEMBRANE NEURONAL CELL AND BLOOD BRAIN BARRIERE AS STRUCTURE

BRAIN PROTECTION

Rose Mafiana*), Tatang Bisri**)

*) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSMH/ FK UNSRI Palembang

**) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSHS/ FK UNPAD Bandung

Abstract

The brain is the body's vital organs are susceptible to damage. Have a high oxygen demand, is highly

dependent on glucose, has a high metabolic rate, but have low adaptability of the injury and it is very

difficult to regeneration. Injury on brain cells (neurons) is a serious condition because of risk for

dysfunction and cells death.

The brain needs for oxygen and glycogen constanly to produce the body's energy in the form of adenosine-5'-triposphate (ATP) which is useful for maintaining life. Injury can interfere with the metabolism of these

cells, reducing the production of ATP, reducing ATP reserves and cause glycolysis process in the body and

the use of lactate as an energy source metabolisme.

This pathological condition for the occurrence of damage cell and trigger to cell death through necrosis

or apoptosis process. Therefore, the protective structure cell membran and cerebral vascular system such as

special, the vascular structure is blood brain barrier.

Keywords: brain, neurons, cell membrane, blood brain barrier

JNI 2012;1(3):209-216

Abstrak

Otak adalah organ vital tubuh yang rentan untuk rusak. Mempunyai kebutuhan oksigen yang tinggi, sangat tergantung terhadap glukosa, mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi, tetapi mempunyai daya adaptasi

yang rendah terhadap cedera serta sangat sulit beregenerasi. Cedara pada sel otak (neuron) adalah suatu kondisi

yang serius yang dapat menyebabkan disfungsi dan kematian sel otak.

Kebutuhan otak yang tinggi akan oksigen dan glikogen secara konstan adalah untuk memproduksi energi

tubuh berupa adenosine-5’-triposphate (ATP) yang berguna untuk mempertahankan kehidupannya. Injuri sel

dapat mengganggu metabolisme tersebut, mengurangi produksi ATP, menurunkan cadangan ATP dan

menyebabkan proses glikolisis dan penggunaan laktat tubuh sebagai sumber energi metabolisme. Kondisi

patologis ini memicu untuk terjadinya kerusakan sampai kematian sel melalui jalur nekrosis maupun apoptosis.

Oleh karena itu otak dilindungi oleh membran sel dan sistem pembuluh darah otak yang bersifat spesifik, yang

disebut sawar darah otak.

Kata kunci: otak, neuron, membran sel, sawar darah otak

JNI 2012;1(3):209-216

I. Pendahuluan

Otak sebagai salah satu organ vital tubuh, adalah

organ yang paling rentan untuk terjadi kerusakan.

Secara anatomis otak dilindungi oleh tulang

tengkorak yang rigid, proteksi metabolisme spesifik

yang ditunjang sistem pembuluh darah dan

membran sel yang istimewa. 1-3

Sel adalah unit terkecil dari tubuh yang dilapisi membran, terdapat dalam sitoplasma yang

mengandung melindungi organela-organela sel

yaitu nukleus, lisosome, badan golgi, mitokondria,

ribosom, dan retikulum endoplasmik. Organela-

organela inilah yang berfungsi untuk memelihara

kehidupan sel.4-6

Komposisi utama membran adalah fosfolipid,

kolesterol, protein dan rantai oligosakarida kovalen

yang melekat pada molekul fosfolipid dan protein.

Struktur komposisi lipid membran membuat

permukaannya cukup lentur dan mampu bersifat

sebagai partahanan yang selektif terhadap regulasi material yang keluar dan masuk sel, struktur

protein berfungsi memfasilitasi transport molekul

yang spesifik.5-6

Page 63: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Fungsi otak sebagai pusat integrasi, kontrol tubuh dan penerus informasi memerlukan energi yang

tinggi untuk selalu dapat “berkomunikasi” yaitu

menerima signal, mengintegrasikan dan mengirim

informasi melalui impuls elektriknya. Energi itu

berasal dari ATP yang dihasilkan mitokondria

adidalam sel otak dengan bahan baku nutrisi dan

oksigen yang cukup. Injuri sel otak dapat

menyebabkan disfungsi pada sel sampai kematian

sel bila injuri tidak bersifat reversibel.1-2,4

II. Sel saraf

Sel adalah suatu unit terkecil tubuh. Sel saraf biasa disebut neuron. strukturnya terdiri dari komponen

nukleus, sitoplasma, sitoskeleton. Komponen ini

dibungkus oleh suatu membran sel yang

mempunyai struktur yang kompleks yang disebut

fluid mosaic model.4-5 Secara umum isi organela sel

saraf mirip dengan sel tubuh lain, tetapi lebih kaya

akan mitokondria. Sedangkan struktur neuron

berbeda, sesuai dengan fungsinya. Neuron

mempunyai badan sel beserta komponennya,

dendrit, akson dan terminal presinaptik.1,6

Gambar 1: Sel neuron. Dikutip dari : Sherwood L. 4

Sel untuk sistem saraf disebut neuron, dimana

tugasnya adalah sebagai pengintegrasi,

menstimulus dan mentransmisikan aksi potensial

melalui organisasi dari badan sel atau soma, dendrit sebagai penerima (input) dan axon sebagai

pemberi (output). Neuron juga diproteksi dan

disokong oleh neuroglia atau sel-sel glia.2,4,6

Didalam sel diproduksi bioenergi ATP oleh

organela-organela sel terutama mitokondria melalui

siklus The Citric Acid (Krebs) Cycle (siklus

TCA/Krebs). Sel otak membutuhkan banyak energi

untuk aktifitasnya, sehingga selnya sangat kaya

dengan mitokondria. Didalam sel terdapat nukleus

tempat deoxyribonucleic acid (DNA) bereplikasi

dan transkripsi. Organela lain yang terdapat dalam sel adalah badan golgi, ribosom, endoplasmik

retikulum, lisosom dan sitoplasma. Koordinasi

komponen ini berfungsi memelihara kehidupan sel.4,6

Gambar 2: Membran Sel. Dikutip dari: Sherwood L. 5

Membran sel, selain melindungi sitoplasma sel dan isinya, dan membatasi kompartemen intraseluler, membran sel juga berfungsi sebagai: 1) permeabilitas membran yaitu mengontrol substansi yang masuk dan keluar sel, yang mana hanya molekul dengan sifat tertentu yang bisa melalui membran sel dan mempunyai berat molekul < 500 Dalton,6 memelihara konsentrasi berbagai substansi substansi, 2) tempat melekatnya protein: dimana terjadi aktifitas enzim, transport protein, tempat melekat reseptor molekul dan marker, 3) tempat terjadinya transduksi sinyal: umumnya untuk hormon. 4) tempat komunikasi antar sel.5

Struktur membran sel terdiri dari dua lapisan dengan komponen penyusunnya adalah fosfolipid, kolesterol, protein dan rantai oligosakarida kovalen yang melekat pada fosfolipid dan molekul protein. Dibanding komponen membran yang lain fosfolipid adalah struktur yang paling stabil, terhadap pergerakan dinding membran yang mempunyai lapisan hidropobik dan hidrofilik. Fosfolipid pembentuk membran terutama adalah fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidilserine, fosfatidiletinolamin (sefalin) dan fosfatidilinositol. Pada membran sel fosfolipid selalu mengandung fatty acid (asam lemak), kepala fosfat pada fosfolipid bersifat hidrofilik dan ekor asam lemak bersifat hidrofobik. Kolesterol pada membran berfungsi menetralisir fosfolipid rantai panjang pada plasma membran menjadi lebih cair. Protein yang membentuk komponen membran adalah integral protein yang dapat melekat langsung pada kedua lapis membran lipid dan protein periferal yang melapisi permukaaan membran.5

Page 64: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

3 Membran Sel Neuron dan Blood Brain Barrier

sebagai Struktur Proteksi Otak

Gambar 3: Sel membran. Dikutip dari: Sherwood L. 5

Neuron menerima pasokan substansi baik nutrisi

maupun oksigen melalui sawar darah otak (blood

brain barrier /BBB), yaitu suatu struktur spesifik

diantara pembuluh darah yang terdapat diotak. 2-

4,6,11-13.

Proses transport substansi yang melintasi membran

sel dan BBB bersifat spesifik. Umumnya proses transportasi tersebut melalui metode 2,4:

1. Difusi simpel ( pasif)

2. Difusi difasilitasi ( pasif)

3. Transport aktif ( aktif)

4. Kotransport

5. Eksositosis, endositosis dan transitosis

Simpel difusi (pasif)

Adalah metode transport melintasi membran

fosfolipid dari area yang mempunyai konsentrasi tinggi ke area yang lebih rendah konsentrasinya,

sampai dynamic equilibriumnya tercapai. Proses ini

tidak menggunakan energi, karena substansi hanya

bergerak berdasarkan konsentrasi gradien.

Substansi yang bergerak melintasi membran dengan

cara ini adalah oksigen dan karbondioksida.

Pergerakan air (H2O) melintasi membran juga

melalui cara simpel difusi, tetapi lazim disebut

osmosis. Tonisitas cairan adalah perbedaan

konsentrasi cairan yang melintasi membran semi

permeabel. Dikatakan isotonik bila kedua cairan mempunyai konsentrasi yang sama, hipotonik bila

konsentrasinya lebih rendah dan hipertonik bila

lebih tinggi.

Difusi difasilitasi ( pasif)

Adalah metode transport melintasi membran

melalui transport protein tanpa menggunakan

energi, karena substansi bergerak dari area dengan

konsentrasi gradien yang tinggi ke area yang lebih

rendah konsentrasinya. Contoh substansi yang

bergerak seperti ini adalah larutan glukosa yang

mempunyai konsentrasi tinggi masuk kedalam sel

yang mempunyai konsentrasi yang lebih rendah.

Transport aktif ( aktif)

Adalah suatu metode dimana suatu substansi

melintasi membran dari area dengan gradient

konsentrasi rendah ke area yang lebih tinggi

konsentrasinya dengan menggunakan transport

protein. Contohnya adalah transport ion Na+ dan K+

melintasi membran dengan menggunakan fasilitas

pompa aktif Na+ dan K+, yang merupakan pompa

protein. Energi pompa berasal dari ATP.

Cotransport

Adalah suatu metode transport suatu substansi

melintasi membran secara berpasangan, dimana satu substansi melintasi membran transport secara

aktif sedangkan substansi yang lain menyertainya

secara pasif. Contoh pergerakan ini terjadi pada sel

tanaman, dimana masuknya sukrose ke sitoplasma

sel dibarengi dengan satu gugus H+ yang dihasil-

kan oleh pompa proton.

Eksositosis, endositosis dan transitosis.

Adalah proses suatu partikel melintasi membran

dengan bantuan vesikel. Dikatakan exotoksis bila

vesikel mengeluarkan partikel keluar dari sel,

misalnya pada pelepasan neurotransmiter.

Endositosis adalah gerakan vesikel memasukkan partikel ke dalam sel. Transitosis adalah kombinasi

endositosis dan eksotosis.

Sawar Darah Otak

Sawar darah otak adalah suatu struktur khusus

pembuluh darah otak yang berguna untuk

melindungi kerusakan neuron, merupakan suatu

mekanisme proteksi tubuh terhadap neuron. 6-12

Dimulai dari penemuan Paul Enrich (1885),

seorang ahli bakteriologi ketika menyuntikkan

cairan pewarna melalui intravena untuk mewarnai

organ-organ binatang pada percobaannya, ternyata otak tidak ikut diwarnai. Disimpulkannya bahwa

otak adalah penerima pewarnaan yang buruk.

Kemudian Edwin Gilman menginjeksikan trypan

blue secara intravena, didapatkan pewarnaan

dipleksus koroidalis dan meningen, tetapi tidak

terdapat diotak. Tahun 1920 Stren and Gautier

menemukan blood-CSF barrier. Tahun 1960

diketahui bahwa suatu substansi memerlukan

fasilitas transport untuk melintasi BBB. Antara

tahun 1965-1967 para peneliti memperkenalkan

struktur BBB.6

Page 65: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Gambar 4: Area BBB pada otak. Dikutip dari Nolte J. 13

Tabel 1: Gambaran BBB.

Ruang antara BBB dan sistem transportnya.

1. Area Darah-Otak: lokasi BBB pada sel endotel

kapiler.

Sistem transportasi substansi melintasi BBB

adalah dengan transport aktif, dengan pompa

Na + dan K+-ATP-ase pada permukaan membran endotel kapiler. Tight junction akan

menahan substansi yang hidrofilik dengan

berat molekul yang besar.

2. Area Darah – cairan serebrospinalis: lokasi

pada pleksus koroidalis

Sistem transportasi dengan ultrafiltrasi plasma

menyertai sekresi aktif cairan serebrospinalis,

dan proses ini membutuhkan energi tinggi dari

ATP, melalui komponen ATP-ase dan

karbonik anhidrase.

3. Area cairan serebrospinalis dan darah vena:

lokasi granulasi araknoid.

Granulasi araknoid mentransmisikan cairan

serebrospinalis kedalam sinus venosus serebri

berdasarkan perbedaan tekanan.

Untuk transportasi aktif, energi ATP sangat

dibutuhkan.

Dikutip: Weil RJ, et al. 8

a. Struktur anatomi sawar darah otak.

Pada potongan memanjang struktur BBB akan

terlihat sebagai berikut:

Gambar 5: Strukur potongan memanjang BBB.

Dikutip dari: Nimjee SM.3

Potongan melintang BBB juga berbeda dengan

pembuluh darah dari jaringan tubuh lain.

Blood brain barrier pembuluh darah somatik

Gambar 6: Beda pembuluh darah otak dan somatik. Dikutip dari: Schwartz JH.6

Secara anatomis pembuluh darah otak mempunyai:

1) sel endotelial yang utuh dan padat. 2) membran

basalis endotelial yang kuat dan mengandung

proteglikan, sulfat heparin, lamnin, entactin dan

kolagen. 3) tight junction interseluler rapat hampir

tanpa celah diantara sel membran yang

memungkinkan komunikasi diantara kompartemen.

Struktur tight junction ini bersifat kontinyu,

anastomosing dan mengandung komponen protein claudin, occludin, junction adhesion molecules dan

accessory proteins. Fungsi protein claudin dan

occludin ini pada tight junction adalah mengatur

regulasi protein dengan merubah permeabilitas

paraseluler, mengatur difusi secara selektif ion-ion

dan molekul hidrofilik. Fungsi junction adhesion

molecules adalah mengatur permeabilitas parseluler

dan migrasi leukosit, termasuk adesi antar sel dan

transmigrasi monosit melalui BBB, sirkulasi

leukosit, platelet dan organ limfoid. Junction

adhesion molecules memiliki superfamili imunoglobulin. Struktur endotelial mikrovaskuler

seperti ini disebut Brain Microvasculer Endothelial

Cell (BMEC) 4) kaya akan mitokondria 5) Perisit

dengan otot polos yang menyelimuti pembuluh

darah sebagai penyokong membran. Perisit bersifat

Page 66: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

5 Membran Sel Neuron dan Blood Brain Barrier

sebagai Struktur Proteksi Otak

menunjang kapasitas vasodinamik pembuluh darah yang dilindunginya dan membuat struktur tersebut

lebih stabil, lebih resisten terhadap apoptosis dan

juga bersifat sebagai fagosit, 6) processus

Astroglia, yaitu ujung kaki astroglia yang

mempunyai kandungan lipid tinggi, melingkupi

85% permukaan BBB.6-12. Membran neuron lebih

bersifat lipofilik, lebih mudah dilintasi substansi

yang larut dalam lemak, sulit untuk substansi

kompleks atau yang mempunyai berat molekul

tinggi.6-11

Fungsi lain astrosit pada glia adalah sebagai penyokong biokimia terhadap BMEC, termasuk

mempengaruhi morfologis dan mengorganisasi

struktur dinding pembuluh darah dibawahnya.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa astrosit

bertanggung jawab terhadap maturasi dan generasi

BBB. Astrosit juga berfungsi sebagai ko-regulasi

beberapa sekresi sitokin seperti Leukemia inhibiting

factor (LIF), Ca2+ dependent signal pada IP3

intraseluler dan gap junction dependent pathway

termasuk difusi ekstraseluler dari purigenic

messenger.6

Struktur pembuluh darah otak ini secara anatomis sangat berbeda dengan struktur pembuluh darah

jaringan tubuh yang lain. Struktur pembuluh darah

diluar otak cenderung berpori, tanpa perlindungan

berlapis, mudah dilintasi air dan tidak kaya

mitokondria.4-6,11-13.

Tabel 2: Perbedaan karakteristik BBB dan kapiler pembuluh darah lain.

Karakteristik

struktur

BBB Kapiler

Resistensi tight junction

5-10 ohm/sq.cm

2000 ohm/sq.cm

Pori tidak ada ada Vesikel pinositik kurang banyak Mitokondria banyak jarang Tight junction ++++++ +

Transport selektif ++++++ - Astroglia ++++++ -

Dikutip dari:

b. Fungsi Sawar Darah Otak

Secara anatomi pertahanan BBB ini akan

memproteksi otak terhadap substansi asing

didalam darah yang bersifat patogen dan dapat

menyebabkan injuri sel otak, juga memproteksi otak terhadap hormon dan neurotransmitter yang

didesain untuk bekerja dibagian tubuh yang lain

serta memelihara kondisi lingkungan neuron yang

sesuai karena otak termasuk organ yang rentan

terhadap kondisi kritis.6

Karakteristik substansi yang dapat melintasi BBB adalah substansi lemak yang mempunyai molekul

yang kecil dan mudah menembus fosfolipid

dengan ukuran kurang dari 500 dalton. Sebagai

contoh adalah H2O 18 Dalton, insulin 3000 Dalton,

virus berukuran jutaan Dalton sedangkan bakteri

berukuran lebih berat dari virus. Sebagian besar

dari obat-obat medis berukuran lebih dari 500

Dalton. 6-9

Karena karakteristik BBB ini maka jarang sekali

ada infeksi yang bisa menembus sawar otak, bila

infeksi itu terjadi maka akan sangat sulit untuk disembuhkan, karena antibodi terlalu besar

ukurannya untuk menembus BBB. 6

Beberapa metode untuk transport obat melintasi

BBB adalah melalui injeksi langsung pada

tempatnya, merubah sifat osmosis permeabilisasi

tight junction atau mengubah sifat secara biokimia

misalnya pada vasoactive compound histamin. Cara

lain yang sedang dikembangkan adalah dengan

meningkatkan transitosis yang akan meningkatkan

kemampuan endositosis membran pada sel otak

melalui tehnik nanotehnologi. 6-9,14.

Beberapa penyakit infeksi yang dapat terjadi diotak adalah: meningitis, yaitu penyakit inflamasi yang

dapat merusak BBB dan dapat meningkatkan

penetrasi beberapa substansi untuk masuk ke otak,

Multipel Sclerosis yaitu penyakit autoimun, Late-

stage neurological trypanosomiasis (sleeping

sickness) yang disebabkan protozoa dan

Progressive multifocal leukoencephalopathy

(PML).6-9

Secara normal transport substansi secara selektif

yang dapat melalui BBB secara difusi, yaitu

melintasi bilayer fosolipid (fosfolipid 2 lapis), adalah substansi yang bersifat lipofilik, termasuk

barbiturat, librium, opium, heroin, morfin, cocain,

nikotin, mariyuana, alkohol, amfetamin,

metamfetamin dan lain-lain serta beberapa obat

yang mampu mempengaruhi sistem saraf pusat

seperti obat pereda nyeri yang spesifik, penurun

panas, obat tidur dan sedasi, pencegah muntah,

pengurang nafsu makan dan beberapa obat yang

bersifat mengurangi ansietas dan obat yang

digunakan untuk terapi depresi, parkinson,

alzheimer, migren, epilepsi dsb.5-6,9

Fasilitas transport substansi yang difasilitasi oleh sistem carier, terutama untuk transportasi asam

amino yang bekerja untuk prekursor

neurotransmiter, glukosa, glisin dan beberapa

reseptor yang bekerja sebagai mediasi endositosis,

seperti leptin dan insulin. 4-6,11-13

Page 67: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

6 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Gambar 7: Sistem transportasi substansi melintasi BBB. Dikutip: Well RJ, et al. 8

Pada otak ada area dimana struktur BBB lebih

longgar dan memungkinkan beberapa substansi

dapat melintas lebih mudah dibandingkan pada area

dimana struktur BBB nya lebih rapat. Area ini dikenal sebagai organ sirkumventrikular. Area ini

diisolasi dari otak oleh sel ependimal khusus yang

disebut tanycytes yang berlokasi menutupi

sepanjang permukaan ventrikel sampai area

midline. 6-7

c. Organ sirkumverential

Organ sirkumventrikuler ini terdiri dari:

1. Pineal body

Adalah organ yang mensekresikan melatonin

dan peptida neuroaktif.

2. Neurohypophysis (pituitary posterior) Adalah organ yang melepaskan neurohormon

seperti oksitosin dan vasopresin.

3. Postrema area (area postrema)

Adalah organ pusat muntah

4. Subfornical organ-chemoreceptive

Adalah organ yang berperanan untuk

memonitor level angiotensin darah. Organ ini

penting pada regulasi cairan tubuh dan balans

elektrolit.

5. Organum vasculosum (organ vaskulosa) dari

lamina terminalis

Adalah organ Chemosensory untuk mendeteksi peptida dan molekul-molekul lain.

6. Median eminance

Adalah organ yang mengatur regulasi pituitari

anterior yang melepaskan neurohormon.

7. Pleksus koroidalis

Pleksus koroidalis adalah tempat dibentuknya

cairan serebrospinalis (CSF) dan tempat

konsentrasi molekul CSF diatur, untuk

didistribusikan ke ventrikel IV pada dasar otak

dan ventrikel lateralis yang terletak pada sisi

kanan dan kiri hemisperium serebri. Pleksus koroidalis mengandung banyak pembuluh

darah dan dipisahkan dari ruang subarachnoid oleh membran araknoid .

Fungsi area yang mengelilingi sirkumventrikular

organ ini lebih terbuka dibanding BBB adalah

untuk menerima respon terhadap faktor-faktor yang

terjadi pada pembuluh darah sistemik.8

Walaupun struktur BBB sangat spesifik dan ketat,

BBB dapat rusak karena berbagai sebab seperti:6,8

1) Hipertensi, tekanan darah yang tinggi

menyebabkan jaringan endotelial rusak dan membuka struktur BBB, 2) Hiperosmolaritas,

tingginya gradien suatu substansi dalam darah

dapat menyebabkan kerusakan pada struktur

pendukung BBB. Manitol dapat meningkatkan

permeabilitas BBB, tetapi bersifat sementara, 3)

Gelombang mikro dan radiasi, paparan gelombang

mikro dan radiasi dapat menyebabkan kerusakan

struktur BBB, 4) Infeksi, proses infeksi yang terjadi

pada jaringan otak atau meningen misalnya

meningitis, penyakit autoimun MS,

trypanosomiasis suatu infeksi yang disebabkan trypanosoma protozoa, 5) Trauma, iskemia dan

inflamasi, proses cedera sel baik secara langsung

ataupun tidak langsung akan merusak BBB.

Trauma kepala, inflamasi dan kaskade iskemia

merupakan salah satu rangkaian proses yang dapat

merusak BBB, 6) Genetik, disebabkan karena

perkembangan BBB yang tidak lengkap pada masa

pertumbuhan.11

Mekanisme neurotoksisitas, dapat terjadi secara

nonspesifik misalnya hipoksia: baik anoksia akibat

paralisis respiratori dan kegagalan hemoglobin

darah mengangkut oksigen, iskemia yang disebabkan hipotensi, perdarahan atau trombosis,

henti jantung atau proses sitoksis yang disebabkan

inhibisi oksidatif sitokrom, inhibisi metabolik dan

hipoksia yang berulang. Sedangkan neurotoksik

yang bersifat spesifik akan langsung menyerang

target misalnya akson, mielin dan sinap. 9

Tumor otak, kebanyakan tumor otak mempunyai

vaskularisasi yang abnormal yang merusak BBB,

menyebabkan akumulasi cairan interstitiel (edema

vasogenik), sedangkan pertumbuhan yang agresif

dari astrositoma menyebabkab BBB ditutupi oleh tumor tersebut dan merubah vascularisasinya.

Adanya mediator kimia yang dilepaskan sel tumor

seperti sitokin, mediator inflamasi, growth factor

menyebabkan kerusakan struktur BBB. Kejang

akan meningkatkan permeabilitas membran,

menyebabkan edema sitotoksik. 3,6,8-15.

Tabel 2. Beberapa kondisi yang merubah

permeabilitas BBB.

Penurunan Permeabilitas BBB

Peningkatan Permeabilitas BBB

Page 68: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

7 Membran Sel Neuron dan Blood Brain Barrier

sebagai Struktur Proteksi Otak

Intraseluler ciklic AMP Steroid Adrenomedulin Noradrenalin Glial-drived

neurotrophic factor (GDNF)

Basic fibroblast growth

factor (bFGF) Polyunsaturated fatty

acids (PUFA) Transforming growth

factor-β (TGF- β)

Bradikinin Histamin Serotonin (5HT) Thrombin Glutamat Purine nucleotides: ATP, ADP, AMP Endothelin-1 Adenosine

Platelet-activating factor Phospholipase A2 Arachidonic acid Prostaglandin Leukotrins IL-1α, IL-1 β, IL-6, TNF-α Macrophage inhibitory protein: MIP-1 dan MIP-2

Complement polieptida, Radikal bebas, nitric oxida

Dikutip : Well RJ, et al. 8

Kerusakan BBB dapat meningkatkan permeabilitas

membran, menghilangkan proteksi terhadap

paparan substansi yang berbahaya bagi otak,

meningkatkan tekanan perfusi otak, menurunkan

aliran darah otak, menyebabkan iskemia sampai menyebabkan kematian sel. 6,8-9

IV. Simpulan

1. Otak adalah organ vital yang sangat rentan

terhadap kerusakan, sulit beregenerasi sehingga

sangat dilindungi oleh tubuh.

2. Otak terdapat dalam struktur yang rigid,

mempunyai struktur membran dan pembuluh

darah yang spesifik sebagai salah satu bentuk

proteksinya.

3. Struktur pembuluh darah otak itu disebut blood

brain barrier (BBB), fungsinya untuk

melindungi otak terhadap paparan substansi dan penyakit yang membahayakan kehidupan

neuron.

4. Meningkatnya permeabilitas BBB oleh sebab

apapun akan menyebabkan mudahnya

transportasi substansi cair masuk ke sel,

terjadinya perubahan koefisiens gradasi

membran dan mudah terjadi edema seluler.

Daftar Pustaka

1. Kass IS. Physiology and metabolisme of the

brain and spinal cord. Dalam: Newfield P,

Cottrell JE, eds. Handbook of neuroanesthesia. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins;

2007, 3-35.

2. Werner C, Kochs E, Hoffman WE. Cerebral

blood flow and metabolisme. Dalam: Albin

MS, eds. Texbook of neuroanesthesia with

neurosurgical and neuroscience perspective. New York: The McGraw & Hill; 1997, 21-52.

3. Nimjee SM, Grant GA, Winn HR, Janign D.

Blood brain barrier. Dalam: Winn HR, eds.

Youmans neurological surgery. Edisi ke-6.

Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011, 147-61.

4. Sheerwood L. Cell physiology. Dalam: Human

physiology, from cell to system. Edisi ke -7.

Australia: Brooks/ Cole; 2010, 20-51.

5. Sheerwood L. Plasma membran and membran

potensial. Dalam: Human physiology, from

cell to system. Edisi ke-7. Australia: Brooks/ Cole; 2010, 53-85.

6. Schwartz JH, Westbrook GL. The citology of

neurons. Dalam: Kendell ER, Schwartz JH,

Jessel TM, eds. Principles of neural science.

Edisi ke-4. New York: McGraw- Hill, 2000,

67-87.

7. Mendelov A, Crawford PJ. Primary and

secondary brain injury. Dalam: Reilly P,

Bullock R, eds. Head injury. London:

Chapman & Hall; 1997, 71-87

8. Weil RJ, Oldfield EH. Cerebral edema. Dalam:

Winn HR, eds. Youman neurological surgery. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier Saunders;

2011, 162-68.

9. Laterra J, Goldstein GW. Ventricular

organization of cerebrospinal fluid: blood brain

barrier, brain edema and hydrocephalus.

Dalam: Kendell ER, Schwartz JH, Jessel TM,

eds. Principles of neural science. Edisi ke-4.

New York: McGraw-Hill; 2000. 1288-1301.

10. Bruder N, Ravussin PA. Supratentorial mass:

anesthetic consideration. Dalam: Cottrell JE,

Young WL, eds. Cotrell and Young’s neuroanesthesia. Edisi ke-5. Philadelphia:

Mosby Elsevier; 2011, 184-202.

11. Weyhenmeyer J, Gallman E. Vasculature.

Dalam: Rapid review neuroscience.

Philadelphia: Mosby Elsevier; 2007, 25-44.

12. Felten DL, Shetty AN. Neurons and their

properties. Dalam: Netter’s atlas of

neuroscience. Edisi ke-2. Philadelphia:

Elsevier saunders; 2010, 3-25.

13. Nolte J. Blood supply of the brain. Dalam:

Essential of human brain. Philadelphia: Mosby

Elsevier; 2010, 37-41.

14. Lange ECM, Ravenstijn PGM, Groenendal D,

Steeg TJ. Toward of prediction of CNS drug-

effect profiles in physiologyal and pathological

Page 69: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

8 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

conditios using microdialysis and mechanism-based pharmacokinetic-pharmacodynamic

modeling. The AAPS Journ 2005;7(3)E532-43.

15. Pardrige WM. Blood brain barrier delivery.

Drug discovery today 2007;1/2(12): 54-61.

Page 70: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

0

PENATALAKSANAAN ANESTESI UNTUK TUMOR NEUROENDOKRIN

ANESTHESIA MANAGEMENT FOR NEUROENDOCRINE TUMOR

Syafruddin Gaus*)

, Tatang Bisri**)

*)Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Hasanudin Makassar

**) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Padjadjaran Bandung

Abstract Neuroendocrine tumor is commonly in adult patient with incidence 10-15% in all of intracranial neoplasm and

highest at 4th-6th of life decade.

Patients with neuroendocrine tumor have an unique challange for anesthesiologist because the important role of

pituitary gland in endocrine system. The challange came during preoperative, intraoperative and postoperative

periode.

Many of anesthesia technique and anesthetics can use for neuroendocrine tumors surgery. The choice of

anesthetics depend on comorbid diseases and history of anesthesia previously. If needed fast emergens for

neurological evaluation, it can be use drug with fast elimination (ex propofol and remifentanil) or inhalation

anesthetic with low coefficient partition (ex sevoflurane) is rational choice.

The successful surgery and anesthesia management for neuroendocrine patient need multidisipline approach

and depend on the quality of postoperative care.

Key words: pitutary gland, endocrine system, neuroendocrine tumor, anesthesia technque.

JNI 2102;1(3):217-233

Abstrak

Tumor neuroendokrin sering ditemukan pada orang dewasa dengan angka kejadian 10%-15% dari seluruh

neoplasma intrakranial dan tertinggi pada dekade ke 4 sampai ke 6 kehidupan.

Penderita dengan tumor neuroendokrin mempunyai tantangan yang unik untuk dokter ahli anestesi karena

peranan yang penting kelenjar hipofise pada sistem endokrin.Tantangan ini mulai saat pemeriksaan prabedah dan

berlanjut selama operasi serta periode pascabedah.

Banyak teknik anestesi dan obat anestesi yang dapat diberikan pada pembedahan tumor neuroendokrin. Pemilihan obat anestesi tergantung pada penyakit komorbititas penderita dan riwayat anestesi sebelumnya.

Apabila diinginkan penderita cepat sadar untuk segera dilakukan pemeriksaan neurologik maka dapat digunakan

obat-obat yang cepat dieliminasi (misalnya propofol dan remifentanil) atau anestetika inhalasi dengan kelarutan

dalam darah yang rendah (misalnya sevofluran) merupakan pilihan yang rasional.

Keberhasilan pembedahan dan penatalaksaan anestesi pada penderita tumor neuroendokrin memerlukan

pendekatan multidisiplin dan sangat tergantung pada kualitas perawatan perioperatif.

Kata kunci: kelenjar hipofise, sistem endokrin, tumor neuroendokrin, teknik anestesi

JNI 2102;1(3):217-233

I. Pendahuluan

Prosedur pembedahan saraf baik elektif maupun

emergensi, melibatkan peredaran darah, cairan

serebrospinal, bersama dengan struktur tulang,

tengkorak, dan sumsum tulang belakang. Faktor

penting adalah mempertahankan tekanan perfusi

serebral dan memfasilitasi lapangan pembedahan

dengan meminimalkan kehilangan perdarahan dan

mencegah peningkatan volume dan edema jaringan

saraf. 1

Pemberian anestesi pada pasien yang akan

menjalani pembedahan hipofisis meliputi semua hal

pada pembedahan saraf intrakranial, juga

pengertian yang spesifik mengenai pembedahan

hipofisis. Pengetahuan mengenai anatomi dan

fisiologi tumor diperlukan karena hormon hipofisis

baik hiposekresi maupun hipersekresi dan akibat-

akibatnya, efek dari massa tumor, menyebabkan

masalah-masalah yang berkaitan dengan anestesi.2

Sebagai tambahan, beberapa perhatian telah

diberikan sehubungan dengan pendekatan

Page 71: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

1

pembedahan, baik itu transsfenoid atau, lebih sering, transkranial.3

Tumor hipofisis terhitung 10-15% dari seluruh

neoplasma intrakranial, cenderung jinak dan

kadang-kadang ditemukan sebagai penemuan tidak

sengaja dalam pemeriksaan postmortem (10-25%

dari autopsi). Adenoma ini memiliki puncak insiden

pada usia menengah dan dapat berupa

mikroadenoma (< 1 cm) atau makroadenoma.4

Neuroanatomi dan neurofisiologi otak secara

umum

Aliran darah otak (CBF) dan autoregulasi otak Otak menerima sekitar 15% dari curah jantung

(sekitar 750ml/m pada orang dewasa) saat istirahat,

sekitar 50 ml/100 g/m, walaupun beratnya hanya

sekitar 2% dari total berat badan. 5,6 Metabolik

yang tinggi dari otak (20% dari konsumsi oksigen

basal dan 25% konsumsi glukosa basal)

memerlukan aliran darah otak (ADO) yang

terjamin.6

Umumnya, ADO lebih besar pada substansia grisea

dibandingkan substansia nigra, yakni sekitar 80

ml/100 g/m dan sekitar 20 ml/100g/m. ADO kurang

dari 20-25 ml/100 g/m dapat menyebabkan gejala neurologis yang terlihat dari melambatnya EEG,

ADO antara 15-20 ml/100g/m dapat menyebabkan

EEG isoelektrik yang reversibel, dan ADO antara

10-15 ml/100 g/m dapat menyebabkan kerusakan

otak yang ireversibel.7,8

Serupa dengan jantung dan ginjal, otak normalnya

mentoleransi perubahan pada tekanan darah dengan

sedikit perubahan pada aliran darah. Pada individu

yang normal, ADO tetap konstan pada tekanan

arteri rerata (MAP) antara 60-160 mmHg (gb.1). Di

luar batas ini, aliran darah bergantung pada tekanan. Tekanan di atas 150-160 mmHg dapat

mengganggu sawar darah otak dan menyebabkan

edema dan perdarahan otak. 9

ADO sangat tergantung pada tekanan perfusi

serebral dan resistensi pembuluh darah serebral.

Hubungan antara tekanan perfusi serebral dan ADO

diilustrasikan dengan persamaan berikut 6:

Kurva autoregulasi otak bergeser ke kanan pada pasien dengan hipertensi arteri yang kronik.

Beberapa penelitian menunjukkan terapi anti-

hipertensi jangka panjang dapat mengembalikan

batas autoregulasi otak ke normal (Gambar 1).7

Gambar 1. Autoregulasi aliran darah otak dalam keadaan normal. Dikutip dari: Morgan GE, et al. 7

Tekanan perfusi serebral (CPP) merupakan hasil

pengurangan antara tekanan arteri rerata (MAP)

dengan tekanan intrakranial (ICP). Di mana normal

CPP adalah 80-100 mmHg. Karena ICP nomalnya

kurang dari 10 mmHg, maka CPP utamanya

bergantung pada nilai MAP.7

Peningkatan ICP yang sedang sampai berat (>30

mmHg) dapat mempengaruhi CPP dan ADO secara

bermakna walaupun dalam MAP yang normal.

Pasien dengan CPP yang kurang dari 50 mmHg seringkali menunjukkan perlambatan EEG, di mana

pasien dengan CPP antara 25 dan 40 mmHg pada

umumnya memiliki EEG yang datar. Tekanan

perfusi yang menetap sampai kurang dari 25 mmHg

menghasilkan kerusakan otak yang ireversibel.7

Kompartemen intrakranial dan tekanan

intrakranial

Volume intrakranial sekitar 1700 ml dan dibagi

menjadi 3 kompartemen fisiologis, yaitu:

1. Parenkim otak, sekitar 1400 ml (80%, dengan

komposisi 10% adalah material padat dan 70%

berupa cairan); 2. Cerebral blood volume (CBV), sekitar 150 ml

(10%); dan

3. Cerebrospinal fluid (CSF), sekitar 150 ml

(10%).

Monro dan Kellie yang pertama kali menggam-

barkan hubungan antara volume dan tekanan dalam

tengkorak yang intak pada orang dewasa, yang

secara umum dikenal sebagai hukum Monro-Kellie,

bahwa peningkatan volume salah satu kompar-

temen intrakranial akan menyebabkan peningkatan

ICP, kecuali bila dapat dikompensasi dengan

pengurangan volume salah satu kompartemen yang

lain. Dalam hal ini, kompartemen CBV dan CSF

memiliki peranan yang penting dalam merespon

peningkatan volume intrakranial dengan mening-katkan aliran balik atau menurunkan ADO dan

mengurangi jumlah CSF intrakranial.10

ICP normal berkisar antara 5-15 mmHg, dan tidak

selalu konstan tergantung dari perubahan fisiologis

CBF = CPP / CVR CBF = MAP – ICP CVR CPP = MAP – ICP

Page 72: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

2

seperti posisi, pulsasi arteri, respirasi, dan batuk. Bila ICP meningkat secara cepat, seperti yang

terlihat pada cedera kepala, maka akan terjadi

perubahan-perubahan sistemik, seperti hipertensi,

lesi pada jantung dan aritmia, hipoksemia arteri,

serta neurogenic pulmonary edema (NPE). Tahun

1901, Cushing menemukan adanya trias Cushing

yaitu hipertensi, bradikardi dan melambatnya

respirasi yang terjadi akibat peningkatan ICP.

Walaupun peningkatan tekanan darah untuk

mempertahankan ADO, namun dapat menyebabkan

bertambahnya kenaikan ICP. Bradikardi biasanya hanya terjadi sebentar dan yang paling sering

adalah terjadinya takikardi dan aritmia ventrikel.

Pada keadaan dimana ICP sangat tinggi, dapat

terjadi spasme arteri serebral yang dapat

menyebabkan iskemik dan infark serebral.11

Anatomi fisiologi hipotalamus dan hipofisis

Otak terdiri dari banyak bagian yang berfungsi

sebagai satu kesatuan. Bagian-bagian utama adalah

medulla, pons, dan otak tengah (secara kolektif

disebut batang otak), cerebellum, hipotalamus,

talamus, dan cerebrum.12

Hipotalamus berlokasi pada superior kelenjar hipofisis dan di bawah talamus, hipotalamus adalah

suatu daerah kecil dengan banyak fungsi.12

Kelenjar hipofisis berada pada dasar tengkorak di

sella tursika, suatu kavitas bertulang di dalam

tulang sfenoid, dan terbagi menjadi lobus anterior

(adenohipofisis) dan posterior (neurohipofisis).5

Kelenjar ini terdiri dari dua bagian yang terpisah

secara histologi: lobus anterior, yang besar, merah

muda, penuh vaskuler atau disebut adenohipofisis,

dan lobus posterior yang lebih kecil berwarna putih

keabu-abuan. Kelenjar ini terletak dalam fossa hipofisis atau sella tursica, berukuran sekitar

6x13x9 mm. Dinding dasar dan anterior sella

dibentuk oleh dasar udara sfenoid, dinding

posterior oleh clivus dan dinding lateral oleh sinus

kavernosa yang mengandung arteri karotis dan

nervus kranialis ke 3, 4, dan 6.2

Hipotalamus mengatur hormon yang dilepaskan

oleh hipofisis anterior melalui pangaturan peptida

(faktor pelepasan dan penghambatan hipotalamik)

yang menjangkau hipofisis anterior oleh sistem

vaskuler portal yang kompleks. Kontrol oleh

sekresi hipotalamus adalah kompleks dan terjadi dari pengaruh neuron dan kimiawi, termasuk

umpan balik dari hormon organ target. Kelenjar

hipofisis anterior yang lebih besar menghasilkan

setidaknya tujuh macam hormon. Kelenjar hipofisis

posterior yang lebih kecil menyimpan dan

menghasilkan dua macam hormon, yaitu hormon

antidiuretik (ADH) dan oksitosin, yang disintesa

dalam neuron hipotalamik khusus dan ditranspor sebagai granula dalam akson di bawah tangkai

hipofisis ke kelenjar hipofisis posterior.5

Gambar berikut (gb. 2 dan 3) memperlihatkan

neuroanatomi dan neurofisiologi sella tursika

hipofisis.13,14

Gambar 2. Neuroanatomi sella tursica hipofisis.

Dikutip dari: Netter FH, et al. 13

Gambar 3. Neurofisiologi sella tursica hipofisis.

Dikutip dari: Netter FH, et al. 14

Hormon-hormon yang dilepaskan oleh hipofisis

anterior dan posterior dapat dilihat pada tabel 1 di

bawah ini: 5

Tabel 1. Hormon-hormon yang dilepaskan oleh hipofisis anterior dan posterior.

Hipofisis anterior Hipofisis posterior

Hormon pertumbuhan (Growth

hormone)

Prolactin

Gonadotropin:

Follikel-stimulating hormon

Luteinizing hormon

Adrenocoticotropin (ACTH)

β- Lipoprotein

Thyrotropin (TSH)

Hormon antidiuretik

(ADH)

Oksitosin

Dikutip dari: Bendo AA, et al. 5

Sedangkan pengaturan hormon hipofisis-

hipotalamus dapat terlihat pada tabel berikut ini 15:

Tabel 2. Hipofisis anterior dan pengaturan hormon hipotalamus.

Hormon Pelepasan Inhibisi

ACTH* Corticotrophin –releasing factor (CRF)

----

GH* Growth hormone- Growth hormone

Page 73: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

3

releasing factor (GRF) release-inhibiting hormone (GHRIH, somatostatin)

PRL* Prolactin-releasing factor (PRF)

Prolactin-inhibiting factor (PIF)

TSH! Thyrotropin-releasing

hormone (TRH)

Somatostatin

LH! Gonadotropin-releasing hormone (GnRH)

----

FSH! Gonadotropin-releasing hormone (GnRH)

----

*Polypeptida; Glycoprotein, dengan subunit alfa dan beta;

subunit alfa adalah penanda serum untuk diagnosis tumor dan

keberhasilan terapi.

Dikutip dari: Matjasko MJ. 15

Gambar 4. Ringkasan pelepasan hormon oleh kelenjar hipofisis

anterior dan posterior dikutip dari:

http://bio1152.nicerweb.com/Locked/media/ch45/adenohypophy

sis.html

Patologi Hipofisis

Tumor hipofisis dapat dibagi menjadi dua kategori

utama, yaitu ‘nonfunctioning’ dan hipersekresi atau ‘functioning’. Tumor hipofisis ‘nonfunctioning’

biasanya didiagnosa saat menjadi besar dan

menghasilkan gejala-gejala yang berhubungan

dengan efek massa yang mengenai struktur-struktur

yang berdekatan dengan tumor, seperti sakit kepala,

gangguan penglihatan, kelumpuhan saraf kranialis,

peningkatan TIK, dan hipopituitarisme. Pembesa-

ran tumor-tumor ini dapat menyebabkan gangguan

selektif ataupun global terhadap fungsi hipofisis

dengan penekanan pada kelenjar yang normal.

Suatu pembesaran hipofisis yang tiba-tiba yang

disebabkan oleh perdarahan spontan atau infark pada tumor memberikan gejala kompleks yang

dikenal sebagai ‘pituitary apoplexy’, suatu kondisi

yang mengancam jiwa yang ditandai oleh defisit

neurologi yang akut dan penurunan yang cepat oleh

fungsi hipofisis. Terapinya termasuk pemberian

kortikosteroid dan pembedahan dekompresi

emergensi.5

Tabel 3. Adenoma ‘functioning’: penyakit klinis dan terapi medikal.

Penyakit klinis

Hormon

yg

dihasilkan

tumor

Perkiraan

kejadian

(%)

Terapi medikal

Acromegali Growth

hormone

5-10 Somatostatin

analog

(octreotide)

Penghambat

reseptor GH

Penyakit

Cushing

ACTH 10-15 Ketokonazole

(blok sintesa

kortisol)

Gonadotrof FSH, LH 5 Tidak ada

Prolaktinoma Prolactin 20-30 Agonis dopamine

(bromocriptine,

cabergoline,

pergolide)

Null cell Tidak ada 20-25 Tidak ada

Thyrotropic TSH < 3 Somatostatin

analog (ocreotide)

Propylthiouracil

Lainnya

(termasuk

adenoma sel

campur)

Tidak ada 20 Tidak ada

ACTH=adrenocorticotropic hormone; FSH=follicle stimulating

hormone, LH=luteinizing hormone, TSH=thyroid stimulating

hormone.

Dikutip dari: Nemergut EC, et al.16

Gambar berikut ini (Gambar 5) memperlihatkan

hubungan antara massa tumor hipofisis dengan efek

sistemiknya.16

Adenoma hipofisis ‘functioning’ menghasilkan satu

atau lebih hormon hipofisis anterior yang

berlebihan, dan karenanya biasanya didiagnosa saat

tumor berukuran kecil. Paling sering adalah

prolaktinoma, diikuti oleh hormon pertumbuhan

dan adenoma adrenokortikotrofin. Adenoma yang disekresi oleh tirotrofin atau hormon follikel

stimulating dan luteinizing hormon adalah jarang.

Produksi berlebihan hormon pertumbuhan sebelum

pubertas menghasilkan gigantisme; setelah pubertas

menjadi akromegali. Penyakit Cushing

berkembang dari adenoma adrenokortikotrofin

yang menyebabkan hiperplasia adrenal bilateral.5

Prolaktinoma

Tumor prolaktin terhitung lebih dari setengah

tumor hipofisis ‘functioning’. Sebagian besar

mikroadenoma (< 1cm) dan 90% terjadi pada

wanita. Pada wanita dapat terjadi amenore sekunder dan galaktorea, di mana galaktorea tidak terjadi jika

konsentrasi estrogen rendah. Pria dengan tumor

prolaktin dapat memperlihatkan impotensi dan

penurunan jumlah sperma dan tumor dapat

didiagnosa selama pemeriksaan untuk fertilitas.

Page 74: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

4

Gambar 5: Efek sistemik dan massa tumor pituitari. Suatu

tumor pituitari dapat memperlihatkan manifestasi sistemik

sekunder yang luas terhadap peranan sentral tumor pituitari dari

sistem endokrin. Juga, perluasan massa intrasellar apapun dapat

menghasilkan efek lokal sekunder terhadap penekanan pada

srtruktur terdekat di dalam otak. DI = diabetes insipidus, ICA =

Internal carotid artery.

Dikutip dari: Nemergut EC, et al.16

Prolaktin makroadenoma (> 1 cm) lebih sering pada

pria dan dapat memberikan defek lapangan

penglihatan sekunder akibat penekanan oleh massa

tumor dibandingkan dengan masalah pada fertilitas.2

Lebih dari 90% pasien berespon terhadap terapi

medikal dengan agonis dopamin seperti

bromokiptin, dan hanya beberapa yang dioperasi.

Diagnosis

MRI fossa hipofisis mengidentifikasi adanya tumor

dan peningkatan konsentrasi prolaktin plasma

menguatkan diagnosis. Batas atas normal untuk

sirkulasi prolaktin bervariasi tergantung pada

pemeriksaan, tetapi konsentrasi > 400 mU/ liter (20

ng/ ml) umumnya diterima sebagai peningkatan (2). Konsentrasi plasma berkorelasi dengan ukuran

tumor. Mikroadenoma prolaktin umumnya meng-

asilkan konsentrasi 1000-4000 mU/ liter, sedangkan

konsentrasi >6000 mU/ liter biasanya berhubungan

dengan makroadenoma. Tumor ‘non-functioning’

yang besar juga dapat meningkatkan konsentrasi

prolaktin melalui penekanan tangkai hipofisis

(infundibulum), tetapi kadar prolaktin jarang

melebihi 3000 mU/ liter.2

Terapi

Terapi utama prolaktinoma adalah dengan agonis dopamin, seperti bromokriptin.2 Bromokriptin

harus diberikan dalam dosis rendah (1mg) saat

makan dan ditingkatkan sampai 5-15 mg/hari

sampai kontrol optimal dicapai. Cabergoline

merupakan alternatif terhadap bromokriptin. Lebih

dari 90% pasien berespon terhadap terapi

medikal.17 Pembedahan adenoma diindikasikan

pada beberapa pasien yang tidak berespon terhadap agonis dopamin, atau pada kasus yang jarang, jika

efek samping obat (nausea, letargi, atau hidung

tersumbat) membatasi kegunaannya.2

Penatalaksanaan anestesi pada pasien ini berfokus

terutama pada massa prolaktinoma dan efeknya.16

Peningkatan hormon pertumbuhan: akromegali

Pasien akromegali merupakan tantangan yang

paling besar untuk ahli anestesi. Kondisi prabedah

pasien dan jalan napasnya dapat merupakan

masalah.18 Walaupun terapi pilihan adalah operasi 2, beberapa pasien dapat sedang dalam terapi medikal seperti agonis dopamin, somatostatin

analog (mis. Ocreotide) atau dengan pregvisomant,

suatu antagonis reseptor hormon pertumbuhan.

Terapi prabedah seperti ini pada umumnya

meningkatkan manifestasi akromegali.16

Kardiovaskuler

Penyakit jantung merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas pada pasien akromegali.19

Penyebab kematian tersering pada akromegali yang

tidak diterapi adalah kardiovaskuler, di mana 50%

pasien meninggal sebelum umur 50 tahun.

Hipertensi terjadi pada hampir 40% pasien akromegali.16 Dapat juga terjadi kardiomegali,

penyakit arteri koroner, penyakit katup mitral dan

aorta, kardiomiopati, gagal jantung kongestif, dan

aritmia.18 Pembesaran jantung kiri dapat terjadi

pada pasien dengan hipertensi sistemik, tetapi juga

dapat terjadi setidaknya pada 50% pasien

akromegali yang normotensi. Pemeriksaan

ekhokardiografi menunjukkan peningkatan pada

massa ventrikel kiri, stroke volume, curah jantung,

dan waktu relaksasi isovolemik. Perubahan-

perubahan ini tidak tergantung dari hipertensi sistemik. Disfungsi diastolik dapat merupakan

suatu tanda awal dari kardiomiopati akromegalik,

tetapi fungsi sistolik pada umumnya masih ada.18

Endokrin

Akromegali juga dapat berhubungan dengan

diabetes mellitus. Insulin ‘sliding scale’ dapat

diperlukan untuk menangani status endokrin yang

fluktuatif setelah operasi.18

Masalah jalan napas

Peningkatan hormon pertumbuhan menyebabkan

hipertrofi jaringan lunak pada mulut, hidung, lidah,

palatum mole, epiglottis, dan lipatan aryepiglottic. Suara serak harus diwaspadai oleh ahli anestesi

sebagai suatu kemungkinan adanya stenosis laring 18 atau trauma nervus laryngeal rekuren.16

Penebalan laring dan jaringan lunak faring

menyebabkan penyempitan pembukaan glottis,

hipertrofi lipatan periepiglottis, pengapuran laring,

Page 75: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

5

dan trauma nervus laringeus rekuren yang semuanya dapat menyebabkan obstruksi jalan

napas.16

Sindrom obstruksi pernapasan didapatkan pada

25% pasien wanita dan pada 70% pasien pria.

‘Obstructive sleep apnea’ (OSA) sekunder terhadap

obstruksi jalan napas atas dapat berdampak sampai

70% pasien akromegali; namun depresi pernapasan

sentral oleh etiologi yang tidak diketahui juga dapat

terjadi.16 Suatu riwayat mendengkur yang keras,

periode ‘apnea’ dan mengantuk di siang hari harus

diperhatikan dan monitoring pascaoperasi harus dijaga. 2

Diagnosis

Diagnosis diperoleh dengan pemeriksaan

konsentrasi serum hormon pertumbuhan lebih dari

10 mU/ L (5 ng/ml), gagalnya penekanan serum

hormon pertumbuhan sampai kurang dari 2 mU/ L

(1 ng/ml) setelah pemberian 75 gr glukosa oral dan

peningkatan IGF-I. Suatu pengukuran konsentrasi

hormon pertumbuhan yang terisolasi dapat

menyesatkan karena pelepasan yang tiba-tiba dan

memiliki waktu paruh yang singkat. IGF-I, suatu

somatomedin memiliki waktu paruh yang lebih panjang dan karenanya merupakan pengukuran

yang berguna untuk aktivitas hormon pertumbuhan

rata-rata.2

Gejala dan tanda klinis yang sering terjadi

diperlihatkan dalam tabel 4 berikut 2:

Tabel 4. Gambaran klinis akromegali.

Area yang terkena

Gambaran klinis

Wajah

Tangan dan kaki Mulut/ lidah Jaringan lunak

Tulang Kardiovaskuler Endokrin Lainnya

Pembesaran ukuran tengkorak dan pemendekan supraorbital; pembesaran

rahang bawah (mandibula); penambahan jarak antara gigi/ maloklusi Bentuk sekop; sindrom ‘carpal-tunnel’ Makroglosia; penebalan faring dan jaringan lunak faring; OSA Penebalan kulit; perabaan ‘doughlike’

pada telapak tangan Pembesaran vertebra; osteoporosis; kifosis Hipertensi; kardiomegali; gangguan fungsi ventrikel kiri Gangguan toleransi glukosa; diabetes Artropati; miopati proksimal

Dikutip dari: Smith M, et al.2

Terapi

Terapi utama adalah pembedahan, dengan atau

tanpa tambahan radioterapi. Beberapa pasien

berespon terhadap agonis dopamine dan, pada beberapa kasus, konsentrasi hormon pertumbuhan

dan IGF-I dapat dinormalkan tanpa pembedahan. Somatostatin analog kerja panjang (seperti

ocreotide) dapat berguna pada pasien-pasien yang

tidak berespon terhadap agonis dopamin tetapi

pemberiannya secara parenteral dan angka kejadian

yang tinggi akan batu empedu membatasi

penggunaannya. Baru-baru ini, suatu penelitian

telah dilakukan terhadap preparat somatulin, suatu

preparat lepas lambat, yang diberikan secara injeksi

setiap 1-2 minggu.2

Peningkatan hormon adrenokortikotropik:

penyakit Cushing

Gambaran penyakit Cushing yang relevan dengan

anestesia adalah penyakit kardiovaskuler, diabetes

mellitus, imunosupresi dan infeksi sebelumnya,

kerapuhan kulit dengan mudah memar (menyulit-an

kanulasi vena), dan osteoporosis (yang meningkat-

an resiko fraktur selama pasien diposisikan). 18

Sebanyak 80% pasien Cushingoid memiliki

hipertensi sistemik dan 50% dari pasien yang tidak

terobati memiliki tekanan darah diastolik > 100

mmHg. Peningkatan kortikosteroid endogen

menyebabkan hipertensi sistemik dengan berbagai

mekanisme. Hidrokortison meningkatkan kardiak output sebagaimana produksi angiotensinogen

hepatik. Peningkatan angiotensinogen mengaktivasi

system renin-angiotensin, yang menyebabkan

peningkatan volume plasma. Peningkatan bermakna

glukokortikoid meningkatkan influx Na+ dalam sel

otot polos pembuluh darah dan inhibisi

glukokortikoid fosfolipase A2 menyebabkan

penurunan sintesa prostaglandin vasodilator.

Pasien dengan penyakit Cushing memiliki pening-

tan reseptor angiotensinogen II (tipe I) dan

menguatan produksi triofosfat inositol dalam sel otot polos vaskuler. Hal ini meningkatkan sensitivi-

as vasokonstriktor endogen seperti angiotensin II,

epinefrin, dan norepinefrin. Sensitivitas terhadap

katekolamin eksogen juga dapat meningkat.

Abnormalitas EKG juga umum terjadi pada

penyakit Cushing akibat hipertensi sistemik.

Gelombang kompleks QRS voltase tinggi dan T

inverse menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel

kiri dan kekakuan ventrikel kiri telah digambarkan.

Menarik untuk dicatat bahwa, setelah reseksi

adenoma berhasil, perubahan-perubahan ini biasa-

ya kembali ke normal kurang dari 1 tahun. Echokardiografi dapat menunjukkan hipertrofi

septum ventrikel yang tidak proporsional dan

mengurangi kemampuan sistolik dinding tengah

dan dengan disfungsi diastolik pada sekurangnya

40% pasien. 16

OSA juga umum terjadi pada penyakit Cushing.

Penelitian polosomnografik menunjukkan sebanyak

Page 76: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

6

33% pasien dengan penyakit Cushing memiliki ‘sleep apnea’ ringan dan 18% yang berat. 16

Intoleransi glukosa terjadi sekurangnya pada 60%

pasien penyakit Cushing dengan adanya diabetes

mellitus pada lebih dari sepertiga dari keseluruhan

pasien (2). Penelitian terbaru menganjurkan pening-

atan kadar glukosa darah >180 mg/ dl (10,1

mmol/L) harus diterapi dengan insulin intravena. 16

Eksoftalmus sebagai akibat sekunder peningkatan

deposi lemak retro-orbital dapat terjadi pada

sepertiga pasien dengan penyakit Cushing. Ahli

anestesi dan bedah saraf harus menyadari adanya exoftalmus untuk menghindari terjadinya abrasi

kornea, sebagai contohnya, yang dapat meng-anggu

berhasilnya pembedahan. Hiperkortisolisme me-

nyebabkan penipisan kulit. Kanulasi vena

superfisial untuk akses intravena dapat menjadi

sangat sulit dan trauma yang minimal saja dapat

menghasilkan memar. 16 Apapun penyebab

peningkatan sirkulasi kortisol, sindrom Cushing

ditandai oleh berbagai aspek yang dipengaruhinya

(tabel 5).

Diagnosis

Diagnosis dapat kompleks dan harus dilakukan pada pusat spesialis. Konsentrasi kortisol bebas

pada urin, hilangnya kontrol kortisol diurnal dan

kurangnya respon terhadap supresi deksametason

semalaman merupakan prosedur skrining primer.

Tingginya konsentrasi sirkulasi ACTH diindikasi-

kan oleh kortisol urin > 275 nmol/ 24 jam dan

gagalnya supresi konsentrasi kortisol serum sampai

< 138 nmol/L setelah pemberian dosis oral 1mg

deksametason pada malam hari sebelum sampling

dilakukan. Jika ACTH tidak dapat dideteksi, maka

dinyatakan sebagai suatu tumor kelenjar adrenal; konsentrasi antara 10 dan 100 ng/ L dinyatakan

sebagai penyakit pituitary dependen, di mana

konsentrasi > 200 ng/ L dinyatakan sebagai suatu

sekresi ACTH ektopik. Seringkali, konsentrasi

kortisol tidak di bawah batas normal dan karenanya

memerlukan stimulasi atau tes supresi yang lain.

Tes supresi deksametason dosis tinggi meliputi

pemberian 2 mg deksametason setiap 6 jam selama

48 jam. Sindrom Cushing dependen hipofisis

biasanya berespon dengan turunnya konsentrasi

kortisol plasma dan urin pagi hari pada hari kedua.2

Tabel 5. Gambaran klinis sindrom Cushing.

Penampakan Redistribusi badan lemak; ‘moon face’; obesitas trunkal atau

‘buffalo’

Muskuloskeletal Miopati proksimal; osteoporosis; kolaps vertebra

Kulit Striae ungu pada abdomen, pantat, paha; kulit yang rapuh dan mudah memar; hirsutisme; jerawat

Endokrin Gangguan toleransi glukosa;

diabetes

Kardiovaskuler Hipertensi; abnormalitas EKG; hipertrofi ventrikel kiri

Metabolisme Hipernatremia; hipokalemia; alkalosis

Lainnya ‘Sleep apnea’; reflux gastrointestinal; batu ginjal;

maskulinisasi; gangguan mental Dikutip dari: Smith M, et al.

2

Terapi

Terapi primer adalah pembedahan, dan angka

kesembuhan pada <80% pasien. Medikasi prabedah

dengan metyrapone atau betaconazole melawan

efek samping peningkatan konsentrasi sirkulasi

kortisol, yang biasanya menyebabkan morbiditas

dan mortalitas perioperatif yang bermakna. Jika

pembedahan tidak mungkin dilakukan atau telah gagal, radioterapi merupakan pilihan kedua. Hal ini

dapat disertai dengan adrenalektomi bilateral dan

terapi penggantian mineralokortikoid dan

glukokortikoid. Namun, adrenalektomi

mengandung resiko terjadinya sindrom Nelson

(hiperpigmentasi sebagai hasil sekresi MSH dan

kompresi struktur parahipofisis) pada 20% pasien.

Radioterapi hipofisis dan adrenalektomi memiliki

efektivitas yang tinggi pada anak-anak. 2

Tumor sekresi glikopeptida (TSH, FSH dan LH)

Adenoma tirotropik (TSH-secreting pituitary) adalah sangat jarang dan terjadi tidak lebih dari

2,8% dari semua tumor hipofisis. Adenoma

tirotropik dapat menyebabkan hipofisis

hipertiroidisme. Tanda-tanda dan gejala

hipertiroidisme meliputi palpitasi, tremor,

menurunnya berat badan, sulit tidur, dan

berkeringat. Karena hipertirioidisme jarang

disebabkan oleh adenoma hipofisis, kebanyakan

pasien telah diterapi dengan penyebab

hipertiroidisme yang lain, seperti penyakit Grave,

sehingga tumor dapat berkembang dan menjadi

besar pada saat diagnosis dilakukan. Pasien seringkali memiliki gejala yang berhubungan

dengan efek lokal massa tumor. Hipertiroidisme

harus dikontrol sebelum pasien menjalani

pembedahan reseksi tumor. Medikasi antitiroid

seperti propiltiouracil dapat menurunkan produksi

hormon tiroid dan analog somatostatin seperti

ocreotide dapat menekan produksi TSH dan dapat

mengurangi ukuran tumor. 2

Page 77: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

7

Adenoma gonadotrof biasanya terjadi sebagai adenoma inaktif tetapi kadang-kadang muncul

bersamaan dengan pubertas premature atau sebagai

perdarahan menstruasi pada wanita post

menopause. Peningkatan konsentrasi prolaktin

dapat terjadi < 80% adenoma endokrin inaktif

karena kompresi pada tangkai hipofisis.

Makroadenoma dapat terjadi karena penekanan

pada sella tursika dan hipopituitarisme sekunder.

Sekali lagi, terapi pillihan pertama adalah

pembedahan. 2

Tumor ‘non-function’: adenoma ‘nonfunction’,

kista rathke cleft, craniofaringioma

Adenoma ‘non-function’ (null cell) merupakan

tumor hipofisis tersering kedua, terhitung sekitar

20-25% adenoma hipofisis. Craniofaringioma dan

kista rathke cleft sangat jarang. Karena masing-

masing tumor ini tidak terpengaruh oleh

hipersekresi salah satu hormon, maka gejalanya

hampir selalu muncul akibat efek lokal massa

tumor. 16 Biasanya disadari jika ada gangguan

penglihatan sekunder akibat penekanan ke chiasma

atau sakit kepala akibat peningkatan tekanan

intrakranial. Pemeriksaan oftalmologi adalah wajib untuk semua tumor yang meluas ke daerah

suprasellar. Jika tidak terdapat gejala atau tandda

penekanan, pasien biasanya diperiksa dengan

pemeriksaan lapangan pandang dan MRI reguler.

Peningkatan ukuran tumor, menurunnya lapangan

penglihatan atau gejala-gejala lain yang memrlukan

dekompresi dengan pembedahan, biasanya

dikombinasi dengan radioterapi post operasi.

Pemeriksaan status kortisol harus dilakukan jika

ada tanda-tanda hipopituitarisme. 2 Karena itu,

pasien harus diskrining untuk hipopituitarisme yang berhubungan dengan hipotiroidisme dan

insufisisensi adrenal sebelum operasi. Disfungsi

hipofisis posterior dan diabetes insipidus juga dapat

terjadi, tetapi lebih kurang.16

Pemeriksaan prabedah

Pemeriksaan perioperatif pasien dengan tumor

hipofisis memerlukan pemeriksan fungsi endokrin

dan gangguan medis yang berhubungan dengannya.

Tes endokrin dilakukan pada status basal yang

diprovokasi oleh tes provokatif yang sesuai. Tes ini

mendiagnosa tumor hiperfunsi atau hipofungsi,

gangguan endokrin yang berlanjut, dan adekuatnya terapi. 5

Tabel berikut ini memperlihatkan pemeriksaan

endokrin prabedah untuk tumor-tumor hipofisis.15

Selama evaluasi anestesi, lokasi tumor, ukuran dan

efeknya terhadap dinamika intracranial harus

dipertimbangkan. Hipofisis mikroadenoma tidak

menyebabkan efek massa. Tumor hipofisis dengan perluasan ke suprasellar, kraniofaringioma, dan

tumor suprasellar yang lain mungkin saja

menimbulkan efek massa.

Tabel 6. Pemeriksaan endokrin prabedah untuk

tumor hipofisis.

Tes Fungsi Hipofisis anterior Tes Fungsi

Hipofisis posterior

- Level basal hormon pituitary:

GH, prolaktin, ACTH, TSH, FSH, LH

- Level serum: kortisol (pagi dan malam), tiroksin, testosterone, estradiol

- Level urin: 17-ketosteroid, 17-hidroksikortikosteroid, kortisol bebas, estrogen

- Tes provokatif dan supresi sesuai indikasi:

- Cadangan GH – stimulasi glukagon

- Supresi GH – supresi glukosa (akromegali)

- Cadangan Prolaktin – tes provokatif klorpromazin atau pelepasan hormon tirotropin

- Supresi deksametason dosis rendah dan tinggi (sindrom Cushing)

- Tes metirapon (sindrom Cushing)

- Cadangan ADH:

osmolalitas serum dan urin sebelum dan setelah 8-12 jam ‘pengurasan’ air

Dikutip dari: Bendo AA, et al.5

Pada pasien-pasien ini, CT Scan atau MRI dan

pemeriksaan neurologi dievaluasi untuk melihat

adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intra

cranial. Semua pasien yang akan menjalani

pembedahan hipofisis diberikan terapi

glukokortikoid kerja singkat prabedah. Karena

tumor melibatkan manipulasi atau pengangkatan

kelenjar hipofisis anterior, defisiensi

adrenokortipkotropin dan kortisol baik sementara

maupun permanen dapat terjadi. Untuk menilai

fungsi nervus optikus dan chiasma, dilakukan pemeriksaan penglihatan, termasuk pemeriksaan

lapangan penglihatan. Jika pembedahan

transsfenoidal direncanakan, suatu pemeriksaan

otolaringologi dari hidung dan nasofaring juga

dilakukan, dan kultur mukosa hidung diambil

sebagai panduan terapi antibiotik jika terjadi infeksi

pasca operasi.5

Pemeriksaan sistem jalan napas dan pernapasan

Pada pasien dengan akromegali, suatu penilaian

mallampati ‘grade’ 1 atau 2 dapat dipastikan

sebagai suatu prediksi palsu mudah intubasi. Penyakit ini dikenal sebagai penyebab sulit intubasi

dan pada beberapa kasus ventilasi dengan masker

Page 78: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

8

juga dapat menjadi sulit. Peningkatan hormone pertumbuhan dapat menebalkan jaringan lunak

faring dan laring, makkroglosi, penyusutan rima

glottis dan hipertrofi fald ariepiglottis, palatum

molle dan epiglottis. Suara serak atau stridor dapat

menunjukkan suatu kelumpuhan nervus laryngeal

rekuren atau stenosis laryngeal dan sepertiga pasien

akromegali memiliki pembesaran tiroid yang dapat

menyebabkan penekanan trakea. Kifosis dan

‘buffalo hump’ terlihat pada penyakit Cushing juga

dapat menyulitkan penatalaksanaan jalan napas

pada pasien-pasien ini. Spirometri dan laringoskopi indirek mungkin dapat memberikan kekuntungan.

‘Sleep apnea obstruktif’ juga sering pada pasien

akromegali dan Cushingoid. Gejalanya seperti

disebutkan terdahulu yaitu mengorok, mengantuk

pada siang hari, sakit kepala, kesulitan konsentrasi

dan mengingat. Hal-hal ini haruslah diidentifikasi

dan dilakukan terapi pre-operatif untuk mengurangi

resiko obstruksi jalan napas sebelum operasi. 20

Pemeriksaan sistem kardiovaskuler

Pada semua pasien harus dilakukan pemeriksaan

rutin EKG. Abnormalitas gelombang seperti T

inverse dan kompleks QRS voltase tinggi sering ditemukan pada pasien dengan penyait Cushing.

Hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung, aritmia, dan

penyakit jantung iskemik merupakan situasi yang

sering terjadi dan menyebabkan mortalitas peri-

operasi yang tinggi. Ekhokardiogram dapat berguna

jika ada disfungsi kardiak. Hipertensi berpengaruh

pada 30% pasien dengan akromegali dan 85%

pasien dengan sindrom Cushing dan harus

dilakukan kontrol farmakologi sebelum

pembedahan elektif. 20

Pemeriksaan neurologi

Pemeriksaan nervus kranialis secara menyeluruh

harus dilakukan sebelum operasi dengan perhatian

pada pemeriksaan kemampuan dan lapangan

pandang penglihatan (nervus kranialis II). Tumor

dapat menekan chiasma optikus dan dapat

menyebabkan hemianopia bitemporal. Setelah

anestesi, diperlukan penilaian ulang fungsi nervus

kranialis untuk melihat apakah pembedahan

memberikan peningkatan atau perburukan. Juga

harus diperhatikan adanya tanda-tanda peningkatan

intrakranial sebelum operasi. 20

Pemeriksaan endokrin

Diabetes mellitus dapat terjadi pada 25% pasien

akromegali dan 60% pasien dengan sindrom

Cushing. Gangguan toleransi glukosa bahkan lebih

sering terjadi. Juga penting untuk menilai T4 dan

TSH dan menormalkan fungsi tiroid sebelum

pembedahan untuk menghindari aritmia dan

ketidakstabilan kardiak.20

Yang harus diingat. 20:

Riwayat

Harus diingat untuk menanyakan gejala yang

sering terjadi seperti penyakit jantung iskemik,

peningkatan tekanan intra cranial, fungsi tiroid

abnormal dan ‘sleep apnea’ obstruksi

Pemeriksaan

Penilaian jalan napas

Penilaian nervus kranialis

Pencitraan

MRI hipofisis (jika memungkinkan)

Laboratorium

Kalsium, glukosa darah , prolaktin basal

TSH dan T4

Kortisol serum-ingat untuk kover glukokortikoid

Lainnya

EKG

Echokardiogram

Laringoskopi indirek

Spirometri

Terapi penggantian hormon

Terapi penggantian hormon prabedah harus dilanjutkan sampai hari operasi. Secara umum,

hidrokortison 100 mg harus diberikan saat induksi

anestesi pada semua pasien yang akan menjalani

pembedahan hipofisis. 2 Diikuti dengan 50 mg dua

kali sehari pada pasca operasi hari pertama, 25 mg

dua kali sehari pada pasca operasi hari kedua, 20

mg saat pagi hari dan 10 mg pada sore hari pada

hari ketiga dan setelahnya sampai pasien

dipulangkan. Pasien dengan penyakit Cushing

dapat memerlukan tambahan penggantian

glukokortikoid untuk beberapa minggu sementara

pasien dengan tumor non-ACTH sekresi dapat dihentikan terapinya setelah beberapa hari. 2

Penggunaan hormon post-operatif berdasarkan

level kortisol:

<100 nmol/L: terapi rumatan dengan

hidrokortison 15-30 mg/ hari; tidak diperlukan

tes aksis hipotalamik-pituitari (HPA) selama

pasien adalah ACTH-defisiensi.

100-200 nmol/L: hidrokortison 10-20 mg dosis

tunggal di pagi hari, diperlukan pemeriksaan

HPA lebih lanjut

250-450 nmol/L: pasien-pasien ini hanya memerlukan penggantian glukokortikoid jika

stress dan harus dilakukan pemeriksaan HPA

Page 79: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

9

>450 nmol/L: tidak diperlukan penggantian glukokortikooid dan tidak diperlukan tes lebih

lanjut. 18

Pendekatan pembedahan

Tujuan utama pembedahan adalah pengangkatan

tumor, yang dapat dicapai pada sebagian besar

kasus. Pada prakteknya, pengangkatan tumor yang

hampir total menyebabkan remisi endokrin dan

debulking menyebabkan dekompresi chiasma.

Biopsi tumor sendiri jarang diindikasikan. 2

Fossa hipofisis dapat dicapai dengan cara. 2:

- transsfenoid

- transethmoid atau

- transkranial

Tumor-tumor dengan diameter kurang dari 10 mm

biasanya dicapai dengan jalur transsfenoid (gb. 6),

sedangkan tumor yang lebih besar dari 20 mm dan

dengan perluasan ke suprasellar biasanya dicapai

dengan kraniotomi bifrontal. 7 Jalur transsfenoid sendiri dipilih untuk sebagian besar kasus,

merupakan pendekatan yang rasional untuk

mikroadenoma dan biasanya cukup untuk tumor

dengan perluasan ke suprasellar. 21

Dengan penggunaan antibioitik profilaksis,

morbiditas dan mortalitas berkurang secara

bermakna dengan pendekatan transsfenoid7,

keuntungan lain yaitu, akses midline ke sella

dengan resiko minimal trauma otak atau perdarahan

dan komplikasi pascabedah yang lebih rendah 2

seperti diabetes insipidus, sehingga mengurangi morbiditas dan mortalitas, mengurangi retraksi

lobus frontalis dan perlukaan eksternal; pembesaran

visualisasi dan pengangkatan tumor-tumor kecil

yang menyisakan jaringan normal; kurangnya

frekuensi transfusi darah; dan memungkinkan

pemulangan yang lebih cepat, waktu operasi yang

relatif singkat, terutama untuk kasus rekuren. 4,5,22

Peningkatan ketepatan dan invasi jaringan yang

lebih kurang diperoleh dengan penggunaan teknik

navigasi.

Operasi dilakukan dengan bantuan mikroskop

melalui suatu insisi pada mukosa gusi di bawaah bibir bagian atas. Ahli bedah memasuki kavitas

nasal, memotong melalui septum nasal, dan

akhirnya memasuki dasar sinus sfenoid untuk

masuk ke dasar sella tursika. 7

Gambar 6. Operasi endoskopi transsfenoid

Dikutip dari: http://drarunlnaik.com/acromegaly

Pengangkatan tumor yang lengkap dapat dicapai

pada sebagian besar kasus, tetapi tidak pada semua

pasien. Keberhasilan pembedahan ditentukan oleh pengalaman ahli bedah, besarnya ukuran adenoma,

dan derajat perluasan di atas sella tursika. Perluasan

tumor ke dalam sinus kavernosa hampir selalu

dihubungkan dengan pengangkatan yang tidak

lengkap. Rekurensi adenoma hipofisis setelah

pembedahan dilaporkan terjadi pada 10-25%

pasien, biasanya dalam 4 tahun pertama. Karena itu

perlu dilakukan pemeriksaan hormonal secara

berkala dan pemeriksaan pencitraan direkomendasi-

kan setiap tahun. MRI follow up biasanya dilakukan

3-4 bulan setelah pembedahan untuk memberikan

waktu penyembuhan dan bersihnya sisa-sisa operasi.23 Simpson menghubungkan angka

rekurensi dengan luasnya pengangkatan tumor dan

menemukan sistem grading berdasarkan luasnya

reseksi (tabel 7). 21

Pendekatan endoskopi endonasal pada umumnya

dilakukan dan berhubungan dengan komplikasi

yang lebih kurang pada kosmetik, gigi dan nasal.

Sebagai tambahan, diabetes insipidus (DI)

pascabedah dapat menjadi lebih kurang jika

prosedur dilakukan secara endoskopi. 16

Banyak ahli bedah saraf menempatkan kateter intratekal lumbal untuk membantu visualisasi

tumor. Kateter dapat digunakan untuk memani-

pulasi tekanan cairan serebrospinal dengan

menginjeksi salin atau dengan mengalirkan cairan

serebrospinal.16

Gambar 7 memperlihatkan posisi pasien, ahli bedah

dan ahli anestesi dalam pembedahan hipofisis

melalui transsfenoid. 16

Manajemen anestesi

Pemeriksaan prabedah

Penatalaksanaan anestesi pasien yang akan

menjalani pembedahan hipofisis pada dasarnya tidak berbeda dengan pasien-pasien yang akan

menjalani kraniotomi. Prinsip-prinsip dasar

Page 80: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

10

neuroanestesi tetap diberlakukan baik digunakan pendekatan transsfenoid maupun transkranial. 5

Tabel 7. Angka rekurensi lima tahun untuk

meningioma berdasarkan luasnya reseksi.

Derajat Deskripsi Angka rekurensi 5 th

(%)

1 Pengangkatan lengkap tumor makroskopi dengan eksisi dura dan tulang yang terlibat

9

2 Pengangkatan lengkap tumor makroskopi dengan koagulasi dura/ tulang

19

3 Pengangkatan lelngkap tumor makroskopi tetapi tidak ada terapi terhadap dura dan tulang yang terlibat

29

4 Tumor intrakranial ditinggalkan in situ

44

5 Hanya dilakukan

dekompresi tumor

--

Dikutip dari: Stacey RJ, et al.21

Semua pasien memerlukan pemeriksaan

konsentrasi basal prolaktin, tes fungsi tiroid dan

MRI dengan kualitas tinggi.2 MRI lebih baik dalam

mengidentifikasi mikroadenoma, sedangkan CT

scan lebih baik dalam mendeteksi invasi ke tulang.4

Sebagai tambahan dalam pemeriksaan umum pre-

anestesi pada pasien bedah saraf, penilaian prabedah pasien yang akan menjalani pembedahan

hipofisis harus meliputi: fungsi penglihatan, tanda-

tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial,

pemeriksaan endokrin pasien, dan efek dari

hipersekresi hormon. 2 Perhatian khusus terutama

diberikan pada akromegali dan penyakit Cushing

karena memberikan tantangan unik pada ahli

anestesi.

Teknik anestesi yang digunakan haruslah dapat

memfasilitasi lapangan pembedahan, mempertahan-

kan perfusi serebral, menghindari hipertensi dan

memfasilitasi pemulihan yang cepat. Teknik dan agen anestesi yang digunakan haruslah berdasar

pada pemeriksaan prabedah yang seksama pada

setiap pasien dengan mempertimbangkan semua

komorbid yang ada. 2,20

Manajemen jalan napas

Beberapa hal terkait dengan jalan napas antara lain:

a. akromegali

b. penyakit Cushing

c. posisi intraoperatif

Gambar 7. Posisi pasien dan pendekatan pembedahan

transsfenoid ke hipofisis. AS=asisten ahli bedah (‘surgeon’), S=

ahli bedah (‘surgeon’), A=anesth (ahli anestesi).

Dikutip dari: Nemergut EC, et al. 16

Pemeriksaan prabedah yang seksama haruslah

diwaspadai ahli anestesi akan adanya kemungkinan

kesulitan manajemen jalan napas dan intubasi

trakea. Ventilasi dengan ‘bag’ dan masker pada

umumnya memang sulit dilakukan pada pasien

akromegali.

Ada empat tingkatan jalan napas yang terlibat pada pasien akromegali:

1. tidak ada kelainan jalan napas yang terlibat

2. hipertrofi mukosa nasal dan faringeal, tetapi

plika vokalis dan glottis masih normal

3. glottis teribat, termasuk stenosis glottis atau

parese plika vokalis

4. kombinasi tingkat 2 dan 3, seperti abnormalitas

glottis dan jaringan lunak.

Trakeostomi direkomendasikan untuk grade 3 dan

4, tetapi beberapa ahli berpendapat bahwa

laringoskopi fiberoptik merupakan alternatif yang

aman. 2

Intubasi dilakukan dengan pipa endotrakeal

standard dan harus memungkinkan ahli bedah

menyelesaikan prosedur; namun, beberapa ahli

bedah lebih memilih oral tube RAE (‘right angle

endotracheal’). 16 Tentu saja, intubasi nasal adalah

kontraindikasi. 24

Tantangan terbesar dalam menangani jalan napas

pasien akromegali adalah kesulitan intubasi trakea

yang tidak diprediksi. Dalam suatu penelitian

pasien akromegali oleh Schmitt, dkk menemukan

bahwa 20% pasien akromegali yang dinilai sebagai

Mallampati 1 dan 2 adalah sulit diintubasi. Karena

itu ahli anestesi haruslah menyiapkan peralatan

jalan napas yang bervariasi. Peralatan untuk

Page 81: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

11

trakeostomi harus disiapkan jika perubahan jalan napas sangat bermakna. 2 Laringoskopi fiberoptik

fleksibel juga dapat lebih menyulitkan. Teknik

‘awake’ selalu memberikan batas keamanan yang

lebih besar.16

Penyakit Cushing berhubungan jelas dengan

kesulitan intubasi (mis. OSA, obesitas). Karena itu,

jalan napas harus diperhatikan dengan seksama.

Adanya diabetes juga harus dipertimbangkan

adanya penyakit reflux gastroesofageal dan

melambatnya pengosongan lambung dan

kemungkinan diperlukannya ‘rapid sequence induction’. 16

Setelah intubasi, mulut dan faring posterior harus di

‘pack’ sebelum operasi dimulai. Hal ini tidak hanya

mencegah perdarahan masuk ke daerah glottis

selama operasi, tetapi juga masuknya darah dan

secret ke dalam lambung yang akan merangsang

timbulnya muntah pasca operasi. Pipa endotrakeal

harus diposisikan untuk memungkinkan ahli bedah

saraf mengakses tempat insisi. 2

Persiapan mukosa nasal

Kebanyakan ahli bedah memilih injeksi agen

vasokonstriksi ke dalam tiap rongga hidung sebelum pembedahan transsfenoid.2 Injeksi

xylometazoline (suatu simpatomimetik amin kerja

panjang yang bekerja pada reseptor α) dengan atau

lidokain 1% dengan adrenalin 1:200.000 ke dalam

mukosa nasal menyebabkan vasokonstriksi yang

dapat berlangsung sampai 8 jam, dan mengurangi

perdarahan. 2,6,20

Posisi intra-operatif dan monitoring

Setelah induksi anestesi, pasien diposisikan untuk

pembedahan. Reseksi hipofisis transsfenoid pada

umumnya dilakukan dengan posisi head-up untuk mengurangi pelebaran vena. Kepala dapat diputar

sedikit untuk memfasilitasi lapangan pembedahan. 2

Posisi demikian menyebabkan emboli vena udara

merupakan suatu resiko. Karena itu dapat

dipertimbangkan monitoring precordial Doppler,

end-tidal CO2, dan end-tidal N2. 16

Tube endotrakeal dan mesin anestesi harus

ditempatkan berlawanan dengan lapangan pembe-

dahan. Karena pemeriksaan radiografi seringkali

diperlukan, suatu C-arm biasanya ditempatkan di

sebelah kiri lapangan bedah. Semua yang berada

dalam ruang pembedahan harus mengenakan proteksi yang memadai. 2

Monitoring selama pembedahan meliputi EKG,

SpO2, endtidal CO2, dan tekanan darah arteri

langsung. Adanya komorbid, terutama pada pasien

penyakit Cushing, dapat memerlukan tambahan

monitoring kardiovaskuler invasif. 2 Kateter arteri

harus dipertimbangkan pada pasien dengan toleransi bergiat yang rendah, pada pasien dengan

tanda dan gejala gagal jantung bendungan, pada

pasien dengan hipertensi yang sulit terkontrol, atau

pada pasien dengan kardiomiopati yang

terdokumentasikan. Adanya potensi terjadinya

hipertensi tiba-tiba selama pembedahan

transsfenoid menyebabkan ahli anestesi akan

menempatkan kateter arteri untuk diagnosis dan

terapi yang lebih awal. Harus diingat bahwa aliran

darah melalui arteri ulnaris dapat dikompromikan

sampai 50% pada pasien akromegali. Hal ini mirip dengan adanya atau riwayat sindrom ‘tunnel

carpal’. Pada pasien-pasien ini, aliran darah ke

tangan dapat sepenuhnya tergantung pada aliran

arteri radialis. Kateterisasi pada arteri radialis

berpotensi menghasilkan iskemia pada tangan,

sehingga tempat keteterisasi alternatif untuk

monitoring intraarterial (seperti femoralis) perlu

dipertimbangkan. 16

Rekaman ‘visual evoked potential (VEP)’ telah

direkomendasikan untuk pembedahan pada area

jalur penglihatan. 2

Proteksi pada bagian-bagian yang tertekan sangat penting karena operasi dapat memanjang. Mata

harus rutin dilindungi dengan bantalan.

Osteoporosis dan kulit yang tipis pada pasien

dengan penyakit Cushing memudahkan terjadinya

memar, fraktur patologis dan lecet pada daerah

penekanan, sehingga diperlukan perhatian yang

lebih pada pasien-pasien ini. 20

Pemilihan obat anestesi

Pemilihan obat anestesi bergantung pada komorbid

pasien yang bersangkutan dan riwayat anestesi

sebelumnya. Perlunya pemulihan yang cepat untuk memungkinkan pemeriksaan neurologis yang

segera menyebabkan penggunaan obat-obat dengan

klirens yang cepat, seperti propofol dan

remifentanil, atau anestesi inhalasi dengan

kelarutan darah yang rendah seperti sevofluran,

merupakan pilihan yang masuk akal. Anestesi

inhalasi dengan remifentanil dapat memberikan

hemodinamik yang lebih stabil dan pemeriksaan

neurologis yang lebih awal. Jika remifentanil

digunakan, penting untuk memberikan analgesia

peralihan dengan opioid yang lebih panjang masa

kerjanya, jika tidak pemulihan dapat berkomplikasi dengan nyerinya pasien. Blok neuromuskuler

dengan atrakurium atau vekuronium harus

dipertahankan selama pembedahan karena segala

pergerakan pasien dapat mengakibatkan kebocoran

cairan serebrospinal (LCS), trauma jalur

penglihatan, atau kerusakan vaskuler. Antiemetik

harus rutin diberikan untuk mengurangi tingginya

insiden mual dan muntah pasca operasi. 2,16,20

Page 82: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

12

Pemeliharaan anestesi

Pembedahan hipofisis transsfenoid normalnya

‘minimal blood loss’, namun berpotensi terjadinya

perdarahan yang bermakna karena hipofisis

proksimal dari artri karotis interna. Sebenarnya,

trauma arteri karotis intraoperatif jarang terjadi,

tetapi berpotensi fatal, suatu komplikasi dari

pembedahan transsfenoid. Pada kasus trauma arteri

karotis yang tidak disengaja, hipotensi kendali

dapat meningkatkan visualisasi dan menolong

memfasilitasi perbaikan. Trauma seharusnya

dijahit; namun pada prakteknya, seringkali dihentikan dengan penekanan dan pengguanaan

obat hemostatik. Suatu balon kateter dapat

dikembangkan dan ditempatkan pada daerah yang

memerlukan tambahan tampon. 16

Perdarahan vena yang sedang dari sinus kavernosus

merupakan masalah yang paling sering pada

prakteknya dan cenderung terjadi lebih berat pada

pasien dengan tumor yang lebih besar dan

perluasan ke suprasellar. Ahli anestesi seharusnya

memiliki akses intravena di ekstremitas manakala

diperlukan. 16

Insersi drainase lumbal

Untuk tumor hipofisis dengan perluasan suprasellar

yang bermakna, ahli bedah biasanya meminta untuk

dipasang drain subarachnoid lumbal. Cara

termudah adalah dengan menggunakan kateter

standar epidural 16 G. Biasanya diinsersikan pada

L 3-4 dan dimasukkan 10 cm kateter dengan arah

cephalad. Injeksi 10 ml normal saline ke dalam

kateter (dengan teknik yang steril) menghasilkan

peningkatan sementara tekanan LCS dan dapat

menyebabkan tumor yang meluas ke suprasellar

bergerak ke dalam daerah operasi. Suatu drainase lumbal juga dapat berguna pasca operasi untuk

mengatasi kebocoran LCS. 20

Manajemen pasca operasi

Jalan napas

Resiko terjadinya obstruksi jalan napas pada pasien

dengan pembedahan hipofisis pada periode akut

pasca operasi. Ahli anestesi harus meyakinkan

bahwa ‘pack’ tenggorokan telah diambil pada akhir

pembedahan dan pasien harus diekstubasi dalam

keadaan sadar untuk mengurangi resiko aspirasi

darah. Tampon nasal seringkali ditinggalkan setelah

pembedahan selesai sehingga patensi jalan napas orofaringeal sangat penting. Pasien akromegali dan

pasien yang lain dengan riwayat obstruksi ‘sleep

apnea’ mungkin telah menggunakan CPAP saat

malam hari pada periode prabedah. Nasal CPAP

dapat tidak efektif jika masih terdapat tampon nasal

pasca operasi. Lebih lagi, adanya resiko masuknya

udara ke dalam kranium (pneumocephalus) melalui defek di sekitar dasar hipofisis. Walaupun

normalnya hal ini hanya menyebabkan sakit kepala,

jika udara tersebut tertekan, dapat terjadi tension

pneumocephalus yang dapat meningkatkan tekanan

intrakranial dan menurunnya kesadaran. Resiko

utama pasien-pasien ini adalah hipoksemia, dan

karena itu harus berada dalam pengawasan

monitoring saturasi dan pemberian oksigen untuk

beberapa hari pasca operasi. 20

Penilaian neurologis

Pulih sadar dari anestesi idealnya ‘smooth’ dan memungkinkan ahli bedah untuk melakukan

penilaian dini dari fungsi nervus kranialis,

utamanya nervus kranialis II – VI yang sangat

dekat dengan lapangan pembedahan. Pemulihan

yang cepat dapat dicapai dengan menggunakan obat

anestesi kerja singkat dan cepat dimetabolisme. 20

Analgesia

Pasien biasanya mengeluhkan adanya sakit kepala

frontal setelah operasi. Kodein telah digunakan

untuk analgesia pasca operasi akibat efek

sampingnya yang disukai. Opioid yang lebih kuat

dapat digunakan bila perlu, terutama jika dilakukan pendekatan trans-kranial. 20 Dapat juga diberikan

obat-obat antisteroid seperti ketorolak, atau

acetaminophen. Sekali lagi, perhatian harus

diberikan jika memberikan opioid pada pasien-

pasien dengan riwayat OSA. 16

Mual dan muntah

Mual dan muntah merupakan komplikasi pasca

operasi yang paling sering pada prosedur bedah

saraf, dengan hampir 40% pasien dilaporkan terjadi

mual muntah. Untuk menghindari terjadinya efek

yang tidak diinginkan dari muntah seperti peningkatan tekanan intrakranial, profilaksis anti

emetik harus diberikan pada semua pasien. 16,20

Komplikasi pembedahan hipofisis

Pembedahan hipofisis dengan pendekatan

transsfenoid biasanya hanya berhubungan dengan

3,5% dari seluruh komplikasi, namun harus

diwaspadai oleh ahli anestesi terhadap komplikasi-

komplikasi berikut ini. 20:

1. Perdarahan

Perdarahan dari rusaknya arteri karotis interna

atau vena-vena dalam dinding sinus kavernosus

adalah komplikasi yang jarang. Tumor yang lebih besar dan penyebaran ke suprasellar lebih

cenderung berdarah. Perdarahan vena dapat

memerlukan ‘packing’, di mana perdarah arteri

dapat dikurangi dengan hipotensi kendali

dengan menggunakan obat-obatan intravena α

Page 83: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

13

atau β bloker. Jika terjadi perdarahan arteri, pembedahan lebih lanjut harus ditunda dan

pasien ditransfer ke ruang perawatan intensif

secepatnya untuk monitoring, sedasi, dan

ventilasi. 20

2. Kebocoran LCS

Hal ini hanya dapat diidentifikasi ketika tampon

hidung dilepaskan. Pasien dapat mengeluh sakit

kepala, rhinorrhea, atau mengeluh adanya rasa

asin di mulut akibat tetesan/ post nasal drips.

Tes untuk mencurigai adanya LCS akan positif

dengan glukosa. Gejala-gejala seperti rasa nyeri, kaku kuduk, fotofobia dan demam harus

diwaspadai sebagai kemungkinan adanya

meningitis dan diperlukannya terapi antibiotik

yang sesuai. Kebocoran LCS yang menetap

biasanya dapat diatasi dengan menempatkan

drainase lumbal insitu selama 24 - 48 jam untuk

drainase LCS secara kontinyu. 20,21

3. Diabetes insipidus

Diabetes insipidus (DI) neurogenik disebabkan

adanya kerusakan sel sekresi ADH pada

hipofisis posterior atau hipotalamus, atau

pelepasan ADH yang lemah dari sel-sel ini. Karena fungsi ADH adalah menyebabkan

retensi air pada tubulus distal ginjal dan duktus

koledokus, maka DI ditandai oleh poliuri,

kehausan, peningkatan osmolalitas plasma dan

hipernatremia. Hal ini merupakan salah satu

komplikasi tersering pada pembedahan hipofisis

dan dapat berpengaruh sampai pada 50% pasien

dalam 24-48 jam pertama pasca operasi.

Untuk membedakan DI dari penyebab poliuri yang lain pasca operasi, dianjurkan untuk memeriksa berat jenis dan urin output secara rutin. Poliuri dengan berat jenis urin < 1,005 dan osmolaritas yang rendah, < 300 mosm merupakan gambaran diagnostik DI. Sekali diagnosa ditegakkan, akses cairan dan monitoring ketat elektrolit dan urin merupakan strategi menejemen lini pertama. Pada beberapa kasus, penggunaan desmopressin (DDAVP, suatu analog ADH sintetis) dapat diperlukan. Kondisi ini biasanya sementara, sampai sel-sel yang lain mengambil alih produksi dan sekresi ADH. 20

Pengobatan harus dipertimbangkan jika trjadi ketidaksesuaian antara cairan masuk dan keluar, peningkatan natrium serum (diatas 145 mEq/ L), dan jika keluaran urin bermakna saat tidur. Terapi dengan DDAVP biasanya cepat dan efektif tanpa peningkatan tekanan darah arteri. Pemberian oral biasanya efektif dan harus dipikirkan sebagai pilihan pertama. Dosis awal 0,1 mg DDAVP dapat diberikan biasanya

efektif. Jika pasien tidak dapat diberikan secara oral, maka dapat diberikan 1 µg DDAVP secara subkutan. Pemberian jalur intravena biasanya jarang diperlukan. Karena DI sebagian besar sementara (> 95%), maka pemberian dosis tunggal biasanya telah memadai. Diperlukan monitoring ketat keluaran urin dan elektrolit serum untuk menghindari hiponatremia berlebihan. 20

4. Sindrom inappropriate produksi hormon anti-

diuretik (SIADH).

Kondisi ini lebih jarang terjadi dibandingkan DI.

Ditandai oleh pelepasan ADH dari hipofisis

posterior yang rusak tanpa menghiraukan

osmolaritas plasma. Tanda-tanda klinis termasuk

osmolaritas plasma dan natrium serum yang

rendah dan tingginya osmolaritas urin (lebih besar dari osmolaritas plasma) pada pasien yang

euvolemik. Diagnosisnya dibuat eksklusi dan

penyebab lain hiponatremia seperti sindrom

Cushing, hipotiroidisme, diabetes mellitus,

NSAID dan opioid harus dipisahkan terlebih

dahulu. 20

SIADH biasanya terjadi sekitar satu minggu

setelah pembedahan yang mana penyebab lain

bisa terjadi lebih cepat. Kondisinya dapat diatasi

dengan restriksi cairan untuk mengembalikan

natrium serum ke normal. Pilihan yang lain

termasuk penggunaan hipertonik salin dengan hati-hati untuk menghindari mielinolisis pontin

yang berhubungan dengan pemberian natrium

yang cepat. 16,20

5. Emboli udara vena

Resiko terjadinya emboli sekitar 10% jika

lapangan operasi lebih tinggi dari jantung.

Namun, emboli udara vena yang bermakna

secara klinis sehubungan dengan morbiditas dan

mortalitas belum pernah dilaporkan pada

pembedahan hipofisis. 20

6. Hipopituitarisme

Setidaknya 27% pasien dengan hipopituitarisme

pre operatif akan mengalami normalisasi fungsi

setelah reseksi tumor. Kebanyakan pasien (90-

95%) dengan fungsi pre-operatif hipofisis yang

normal akan kembali pada pasca operasi;

namun, semua pasien harus diskrining untuk

tanda-tanda hipopituitarisme.

Beberapa pusat melanjutkan pemberian

kortikosteroid setelah pulang dengan evaluasi

aksis adrenal-hipotalamus-hipofisis pada hari

berikutnya. Pendekatan alternatif adalah dengan

cepat me’weaning’ pasien dari supplemen kortikosteroid setelah 24 jam dan pemeriksaan

Page 84: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

14

kortisol pagi setiap hari. Dengan pendekatan ini, pasien hanya diberikan tambahan kortikosteroid

jika terjadi gejala-gejala insufisiensi adrenal.

Jika pasien merasa baik dan kortisol pagi >

10µg/dl, supplemen steroid tambahan biasanya

tidak diperlukan dan pasien dapat dipulangkan

tanpa penggantian steroid tambahan. Dengan

cara ini, kebanyakan pasien tidak memerlukan

tambahan supplemen kortikosteroid. 16

Tabel berikut ini memperlihatkan kejadian (insiden)

komplikasi dari pembedahan transsfenoid 16:

Tabel 8. Komplikasi pembedahan transsfenoid.

Komplikasi Insiden (%)

Mortalitas

Komplikasi mayor (kebocoran LCS,

meningitis, stroke iskemik, trauma

vascular, perdarahan intrakranial,

kelumpuhan nervus kranialis yang baru,

dan kehilangan penglihatan)

Komplikasi minor (penyakit sinus,

perforasi septi, epistaksis, luka infeksi,

dan hematom)

< 0,5

1,5

6,5

Dikutip dari: Nemergut EC, et al.16

Tabel 9. Perbedaan SIADH dengan DI.

SIADH DI

Penampakan

Volume plasma

(pasien sadar)

Serum

Natrium serum

Volume urin

Osmolaritas urin

Natrium urin

Terapi

Hiponatremia

Euvolemik (atau

sedikit

hipervolemik)

Hipotonik (<275

mOsm/ L)

Menurun (<135

mEq/ L)

Sedikit (tetapi tetap

ada)

Relatif tinggi (>100

mOsm/ L)

>20 mEq/ L

Restriksi cairan jika

Na <120 mEq/L,

pertimbangkan

hipertonik salin

untuk mengoreksi

Na (ttp kec.tdk

lebih 1 mEq/ L/

jam)

Urea intravena

Demeclocycline

Lithium (jarang

digunakan)

Polyuri

Euvolemik

Hipertonik (>310

mOsm/L)

Meningkat (>145

mEq/ L)

Banyak (4-18L/

hari)

Relatif rendah

(<200 mOsm/ L)

>20 mEq/ L

DDAVP suportif

(desmopressin)

Dikutip dari: Nemergut EC, et al.16

Gangguan keseimbangan air sebagai hasil dari

terganggunya sekresi ADH merupakan salah satu

komplikasi akut pascaoperatif. Tabel 9 di bawah ini

meringkaskan perbedaan antara DI dan SIADH. 16

Adalah penting untuk membedakan DI dengan

beberapa proses yang sering terjadi pada paien yang

telah menjalani pembedahan hipofisis (tabel 10).

Perlu diingat bahwa pasien akromegali memper-

lihatkan diuresis fisiologis setelah pembedahan

reseksi tumor yang berhasil dan pengobatan dini dengan DDAVP seharusnya dihindari. 16

Pemeriksaan spesifik pasca operasi

Akromegali

Pengurangan kadar hormon pertumbuhan

menghasilkan keringat yang cepat berhenti.

Diabetes mellitus dapat lebih mudah terkontrol dan

banyak pasien dapat ditangani hanya dengan diet

dan hipoglikemik oral. Pada hari kedua, penting

untuk dilakukan tes toleransi glukosa dengan kadar

GH (mis.sebelum pulang). GH akan turun sampai

di bawah 2 mlU/ l, dan idealnya di bawah 0,5 mlU/ l jika sembuh. Jika pasien belum ‘sembuh’, re-

eksplorasi dini biasanya bermanfaat.

Angka kesembuhan bervariasi antara 60-80%. Jika

pembedahan gagal, pasien perlu dikontrol sekresi

hormone pertumbuhannya dengan analog

somatostatin dan menjalani iradiasi hipofisis. 21

Tumor cushing

Pasien yang sembuh akan menjadi tidak tergantung

pada penggantian kortisol. Jika hidrokortison tidak

diberikan selama prosedur, kadar kortisol dapat

dicek pada hari berikutnya, sekitar 24 jam

berikutnya. Jika pembedahan berhasil, kadar kortisol akan turun di bawah 50, tetapi penggantian

harus segera dimulai. Kegagalan pembedahan

menuntut re-eksplorasi yangtepat, utamanya jika

ditemukan adenoma pada eksplorasi pertama.

Kebanyakan pengarang yang telah berpengalaman

melaporkan angka kesembuhan lebih dari 70%.

Gagalnya terapi pembedahan pada penyakit

Cushing memerlukan radioterapi. Akhir-akhir ini,

metode untuk adrenalektomi bilateral dapat

dikurangi dengan kontrol hipersekresi kortisol yang

lebih disukai dengan ketokonazol. 21

Prolaktinoma

Suatu operasi tunggal biasanya memadai untuk

prosedur ini. Pasien wanita dapat medapatkan

kembali siklus menstruasinya jika kadar prolaktin

tetap sedikit di atas normal. Angka kesembuhan

dari pembedahan bervariasi antara 50-70%. Angka

kesembuhan untuk tumor invasif lebih rendah dari

20%, dengan terapi obat dan radioterapi yang

biasanya diperlukan beberapa tahap setelah

pembedahan. 21

Page 85: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

15

Gambar 8. Kelenjar hipofisis dan anatomi yang berhubungan.

ICA=internal carotid artery, AntComArt= anterior

communicating artery, ACA= anterior cerebral artery, MCA=

middle cerebral artery, CNIII= cranial nerve III (occulomotor),

CNV= cranial nerve V (trigeminal). Dikutip dari : Nemergut EC, et al.

16

Ringkasan

Tumor hipofisis dapat dibagi menjadi dua kategori

utama, yaitu ‘nonfunctioning’ dan hipersekresi atau

‘functioning’. Tumor hipofisis ‘nonfunctioning’

biasanya didiagnosa saat menjadi besar dan menghasilkan gejala-gejala yang berhubungan

dengan efek massa yang mengenai struktur-struktur

yang berdekatan dengan tumor, seperti sakit kepala,

gangguan penglihatan, kelumpuhan saraf kranialis,

peningkatan TIK, dan hipopituitarisme.

Manajemen intra operasi

Beberapa hal terkait dengan jalan napas antara lain:

a. akromegali

b. penyakit Cushing

c. posisi intraoperatif

Pemeriksaan pre-operatif yang seksama haruslah

diwaspadai ahli anestesi akan adanya kemungkinan

kesulitan manajemen jalan napas dan intubasi

trakea.

Pasien yang telah menjalani pembedahan lebih

meningkatkan resiko obstruksi jalan napas pada

periode pasca operasi, terutama pada pasien dengan

riwayat OSA. Antisipasi kesulitan intubasi dan

pertimbangan intubasi dengan fiber optic baik

‘sleep’ maupun ‘awake’ merupakan metode yang

paling aman untuk mengamankan jalan napas.

Anestesia untuk pembedahan hipofisis harus

memungkinkan pemulihan yang cepat, karena itu

pemilihan obat didasarkan pada cepatnya masa

kerja dan mudahnya obat dimetabolisme. Juga

bergantung pada komorbid pasien yang

bersangkutan dan riwayat anestesi sebelumnya.

Karena itu penggunaan obat-obat dengan klirens

yang cepat, seperti propofol dan remifentanil, atau

anestesi inhalasi dengan kelarutan darah yang rendah seperti sevofluran, merupakan pilihan.

Anestesi inhalasi dengan remifentanil dapat

memberikan hemodinamik yang lebih stabil dan

pemeriksaan neurologis yang lebih awal. Blok

neuromuskuler dengan atracurioum atau

vecuronium harus dipertahankan selama

pembedahan karena segala pergerakan pasien dapat

mengakibatkan kebocoran cairan serebrospinal,

trauma jalur penglihatan, atau kerusakan vaskuler.

Antiemetik harus rutin diberikan untuk mengurangi

tingginya insiden mual dan muntah pasca operasi.

Pendekatan pembedahan transsfenoid merupakan

metode yang paling sering digunakan untuk

mencapai daerah hipofisis, dan penggunaan

drainase lumbal dapat mengoptimalkan kondisi

pembedahan. 2,6,20

Manajemen pasca operasi:

Pada akhir operasi, ekstubasi dilakukan setelah

kembalinya napas spontan, pengisapan faringeal

dengan laringoskopi, dikeluarkannya pack dan

kembalinya refleks laryngeal. Semua pasien harus

diobservasi ketat setelah pembedahan sampai pulih

dengan sempurna (fully awake). Pasien harus dirawat di unit perawatan intensif atau ‘high-care

unit’ sekurangnya dalam 24 jam pasca operasi.2

Penggantian hormon dilakukan bertahap sampai

beberapa hari, direkomendasikan hidrokortison

50mg dua kali sehari pada hari pertama pasca

operasi, 25mg dua kali sehari pada hari kedua, dan

pada hari ketiga 20mg di pagi hari dan 10mg di

sore hari. 2

Komplikasi-komplikasi pasca operasi:

1. Perdarahan

2. Kebocoran LCS 3. Diabetes insipidus

4. SIADH

5. Emboli udara vena

6. Hipopituitarisme

Pasien-pasien yang akan menjalani pembedahan

karena tumor neuroendokrin, yaitu hipofisis dapat

memberikan tantangan kepada ahli anestesi. Ahli

neuro anestesi haruslah memiliki pemahaman

tentang penyakit hipofisis dan implikasinya pada saat kunjungan perioperatif. Pendekatan

transsfenoid berhubungan dengan beberapa

masalah spesifik yang harus diantisipasi dan

ditangani. Sangat diperlukan adanya kerjasama tim

dan komunikasi yang baik antara ahli bedah saraf,

ahli anestesi, perawat neuroendokrin, ahli patologi,

ahli radiologi, dokter residen dan staf perawat

terutama di ICU untuk keberhasilan penanganan

pasien yang menjalani pembedahan hipofisis.

Page 86: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

16

Daftar Pustaka

1. Nathanson MH, Simpson PJ. Neurosurgical

anaesthesia. Dalam: Aitkenhead AR, Smith G,

Rowbotham DJ, eds. Textbook of anaesthesia.

5th ed. London: Elsevier; 2007, 688-702.

2. Smith M, Hirsch NP. Pituitary disease and

anaesthesia. Br J Anaesth. 2000;85(1):3-14.

3. Razis PA. Anesthesia for surgery of pituitary

tumors. Int Anesthesiol Clin. 1997;35(4):23-

34.

4. Adapa R, Gupta AK. Anesthesia for pituitary

surgery. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds.

Essentials of neuroanesthesia and

neurointensive care. 1st ed. Philadelphia:

Elsevier-Saunders; 2008, 141-9.

5. Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE.

Anesthesia for neurosurgery. Dalam: Barash

PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical

anesthesia. 4th ed. New York: Lippincott

Williams & Wilkins; 2001, 747-89.

6. Nortje J. Cerebral blood flow and its control. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials

of neuroanesthesia and neurointensive care.

Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2008, 21-5.

7. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.

Anesthesia for neurosurgery. Dalam: Morgan

GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical

anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-

Hill, Inc; 2006, 631-46.

8. Patel PM. Cerebral ischemia. Dalam: Gupta

AK, Gelb AW, eds. Essentials of

neuroanesthesia and neurointensive care.

Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2008, 36-8.

9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.

Neurophysiology and anesthesia. Dalam:

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds.

Clinical anesthesiology. 4th ed. New York:

McGraw-Hill Company, Inc; 2006, 614-30.

10. Timoveev I. The intracranial compartment and

intracranial pressure. Dalam: Gupta AK, Gelb

AW, eds. Essentials of neuroanesthesia and

neurointensive care. Philadelphia: Elsevier -

Saunders; 2008, 26-35.

11. Bisri T. Neuroanestesi. Bandung: Saga Olah Citra; 1997, 21-78.

12. Scanlon VC, Sanders T. The nervous system.

Dalam: Scanlon VC, Sanders T, eds.

Essentials of anatomy and physiology. 5th ed.

Philadelphia: F.A. Davis Company; 2007,

176-84.

13. Netter FH, Craig JA, Perkins J. Neuroanatomy. Atlas of neuroanatomy and

neurophysiology. Texas: Icon Custom

Communication; 2002, 20.

14. Netter FH, Craig JA, Perkins J.

Neurophysiology. Atlas of neuroanatomy and

neurophysiology. Texas: Icon Custom

Communications; 2002, 60.

15. Matjasko MJ. Anesthetic considerations in

patients with neuroendocrine disease. Dalam:

Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and

neurosurgery. 3rd ed. Philadelphia: Mosby; 1994, 604-24.

16. Nemergut EC, Dumont AS, Barry UT, Laws

ER. Perioperative management of patients

undergoing transsphenoidal pituitary surgery.

Anesth Analg. 2005;101:1170-81.

17. Jones TH. The management of

hyperprolactinaemia. Br J Hosp Med. 1995

Apr 19-May 2;53(8):374-8.

18. Lim M, Williams D, Maartens N. Anaesthesia

for pituitary surgery. J Clin Neurosci. 2006

May;13(4):413-8.

19. Melmed S, Braunstein GD, Chang RJ, Becker DP. Pituitary tumors secreting growth

hormone and prolactin. Ann Intern Med. 1986

Aug;105(2):238-53.

20. Griffiths S, Perks A. The hypothalamic

pituitary axis part 2: anaesthesia for pituitary

surgery. Anaesthesia tutorial of the week.

2010;189.

21. Stacey RJ, Powell MP. Sellar and parasellar

tumors. Dalam: Moore AJ, Newell DW, eds.

Neurosurgery principles and practice. London:

Springer - Verlag; 2004, 203-20.

22. Schubert A, Lotto M. Awake craniotomy,

epilepsy, minimally invasive, and robotic

surgery. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds.

Cottrell and Young's neuroanesthesia. 5th ed.

Philadelphia: Elsevier; 2010, 296-309.

23. Arafah BM, Nasrallah MP. Pituitary tumors:

pathophysiology, clinical manifestations and

management. Endocrine-Related Cancer.

2001;8:287-305.

24. Paul M, Dueck M, Kampe S, Petzke F, Ladra

A. Intracranial placement of a nasotracheal

tube after transnasal trans-sphenoidal surgery. Br J Anaesth. 2003;91(4):601-4.

Page 87: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

1

PENGGUNAAN DEXMEDETOMIDIN PADA NEUROTRAUMA

THE USE OF DEXMEDETOMIDINE ON NEUROTRAUMA

MM Rudi Prihatno*), Abdul Lian**), Nazarudin Umar**)

*)Lab. Anestesiologi & Terapi Intensif FK Unsoed-RSMS Purwokerto

**)Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK Universitas Diponegoro-Semarang

**) Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK Universitas Sumatra Utara-Medan

Abstract The use of dexmedetomidine in Neurotrauma still divided between the agree and disagree. Disagreement is the

issue of the assessment of patient awareness, while approving the provision of dexmedetomidine were more

likely to be used as a sedative and also its effect as a brain protector.

The problems mentioned above can be considered by an anesthesiologist in the management of Neurotrauma

while considering the physical condition and consciousness of the patient with the expectation that patient safety

is maintained properly and not worsen the patient's condition.

Keyword : dexmedetomidine, neurotrauma, brain protection

JNI 2012;1(3):234-240

Abstrak Penggunaan dexmedetomidin dalam neurotrauma masih terpecah antara yang setuju dan tidak setuju.

Permasalahan ketidaksetujuan adalah dari sisi penilaian terhadap kesadaran pasien, sedangkan yang menyetujui

pemberian dexmedetomidin lebih cenderung digunakan sebagai sedasi dan juga efeknya sebagai protektor otak.

Permasalahan tersebut diatas dapat dijadikan pertimbangan oleh ahli anestesi dalam penatalaksanaan

neurotrauma dengan tetap mempertimbangkan kondisi fisik dan kesadaran pasien dengan harapan agar

keselamatan pasien tetap terjaga dengan baik dan tidak memperburuk kondisi pasien.

Kata kunci : dexmedetomidin, neurotauma, proteksi otak

JNI 2012;1(3):234-240

I. Pendahuluan

Kegawatan saraf merupakan salah satu yang

terbesar di Indonesia. Kasus kecelakaan yang

mengakibatkan gangguan saraf atau mengalami

penurunan kesadaran, dengan derajat kesadaran

yang bervariasi hingga GCS < 6. Pada pasien

dengan GCS > 6 lebih sering gelisah dan tidak

kooperatif. Selain itu, kondisi pasien yang tetap

tersadar merupakan salah satu acuan penting dalam

monitoring dan penilaian derajat kesadaran pasien.

Permasalahan yang berkembang di ruang gawat

darurat adalah bagaimana cara menenangkan pasien dengan medikasi yang tidak memperburuk keadaan

atau kesadaran pasien hingga diberikan tindakan

definitif, baik operatif maupun non-operatif.

Maksud dengan memberikan penenang pada pasien

adalah untuk mencegah pasien berbuat diluar

kesadarannya yang dapat berakibat fatal pada

dirinya sendiri. Beberapa kasus yang pernah terjadi

antara lain pasien melepas semua jalur intravena

yang terpasang, terjatuh dari tempat tidur,

mengamuk yang mengakibatkan kegaduhan di

ruang gawat darurat yang berakibat gangguan pada

pelayanan dan menimbulkan ketidaknyamanan

pasien yang lain. Berdasarkan kejadian-kejadian

tersebut, maka beberapa RS menerapkan kebijakan

untuk penatalaksanaan pasien-pasien dengan

penurunan kesadaran dan cenderung kombatif

untuk diberikan sedasi.

II. Dexmedetomidin

Dexmedetomidin merupakan agonis α-2

adrenoseptor yang sangat selektif sekali. Pemberian

bila sesuai dengan dosis yang dibutuhkan dapat

menimbulkan sedasi, anxiolisis, dan analgesia tanpa

adanya depresi nafas. Pemberian obat-obatan agonis α-2 dapat mengurangi kebutuhan anestesi

dikarenakan komponen simpatolitik, mampu

menahan stabilitas hemodinamik selama operasi.1

Agonis α-2 adrenoseptor merupakan subgroup dari

reseptor noadrenergik yang terdistribusi luas di

dalam dan diluar susunan saraf pusat (SSP). Agonis

α-2 di otak terutama terkonsentrasi didalam pons

dan medulla, suatu area yang terlibat dalam

transmisi aktifasi sistem saraf simpatis dari pusat

otak ke perifer. Stimulasi presinaptik reseptor α-2

dapat mengurangi pelepasan norepinefrin dan

Page 88: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

aktifasi reseptor α-2 pasca sinap hiperpolarisasi membran neural.1

Dexmedetomidin menimbulkan efek sedatif dan

ansiolitik melalui aktifasi adrenoseptor α-2 di locus

ceruleus (LC), tempat terbesar inervasi

noradrenergik di SSP. LC berperan sebagai

modulator kunci untuk berbagai macam fungsi

kritis otak seperti gairah, tidur, kecemasan, dan

putus obat yang terkait dengan sindrom depresi

SSP, seperti opioid.1,2 Sedasi dihasilkan oleh agonis

α-2 adrenoseptor, tidak seperti yang dihasilkan oleh

obat-obatan sedatif tradisional, seperti benzodiazepine dan propofol, independen terutama

terhadap sistem GABA.1,2

Dexmedetomidin di Indonesia merupakan obat baru

yang mulai dikenal luas awal tahun 2000, walaupun

sebenarnya obat ini sudah lama diproduksi dan

diteliti mulai awal tahun 1990. Penggunaan

dexmedetomidin lebih banyak untuk sedasi pada

pasien-pasien di ICU dan juga digunakan untuk

pasien operasi bedah saraf, terutama awake

craniotomy.

Dexmedetomidin memiliki waktu paruh yang cepat

± 6 menit. Sembilan puluh empat persen dari dexmedetomidin merupakan protein terikat, dan

konsentrasi rasio antara seluruh darah dan plasma

adalah 0,66.3 Biotransformasi dengan konjugasi

(41%), n-metilasi (21%), atau hidroksilasi diikuti

oleh konjugasi dalam hati. Metabolit tidak aktif

diekskresikan dalam urin dan feses. Eliminasi

waktu paruh dexmedetomidin antara 2-3 jam,

dengan konteks-sensitif waktu paruh mulai dari 4

menit setelah infus selama 10 menit hingga 250

menit setelah infus selama 8 jam. Tidak ada

akumulasi setelah infus 12-24 jam.3

Adrenoseptor agonis α2 terbagi menjadi 3 subtipe,

yaitu α2a (didistribusikan di perifer), α2b dan α2c

(ada di otak dan tulang belakang). Mekanisme

umum dari adrenoseptor tersebut adalah:

Aktivasi presinaptik dari α2-adrenoseptor

menghambat pelepasan norepinefrin.

Aktivasi pascasinap dari adrenoseptor α2 dalam

sistem saraf pusat menghambat aktivitas

simpatik dan dapat menurunkan tekanan darah

dan denyut jantung.

Analgesia timbul melalui mekanisme pengikatan dexmedetomidin untuk α2-

adrenoseptor di sumsum tulang belakang.3

[Type text]

10-minute infusion to 250 minutes after an 8-hour infusion. No accumulation

after infusions 12-24 h.Pharmacokinetics similar in young adults and elderly.

Mechanism of actions A selective α2-adrenoceptor agonist. It’s action is unique and different.

Three subtypes of α2 adrenoreceptors have been described in humans: α2A,

α2B, and α2C ( Fig). The α2A

adrenoreceptors are primarily distributed in the periphery, whereas α2B and α2C

are in the brain and spinal cord.

• Presynaptic activation of alpha2-adrenoceptors inhibits the release of nor

epinephrine.

• Postsynaptic activation of alpha2-adrenoceptors in the central nervous

system inhibits sympathetic activity and can decrease blood pressure and

heart rate, so sedation and anxiolysis can result from this activity.

• Analgesia is provided through binding of Dexmedetomidine to alpha2-

adrenoceptors in the spinal cord.

The overall response to α2 adrenoreceptors agonists is related to the stimulation of

α2 adrenoreceptors located in the CNS and spinal cord. The α2 agonists produce

their sedative-hypnotic effect by an action on α2 receptors in the locus caeruleus

and an analgesic action at α2 receptors within the locus caeruleus and within the

spinal cord.

Gambar 1. Mekanisme agonis α-2 adrenoseptor

Dikutip dari: Kumar GK 3

Penggunaan dexmedetomidin sebagai agen sedasi memberikan efek yang lebih baik dibandingkan

propofol terhadap tingkat kecemasan pasien.3

Penelitian ini menitikberatkan pada monitoring

tekanan darah, nadi, SpO2, bispectral index (BIS),

faces anxiety scale (FAS). Hasil yang didapat

menyatakan bahwa, dexmedetomidin sedikit

menimbulkan depresi nafas bila dibandingkan

propofol. Efek sedasi dexmedetomidin tidaklah

sebaik propofol untuk mengatasi kecemasan

berdasarkan hasil dari penilaian FAS, dimana pada

pemberian propofol skor FAS menurun lebih cepat dibandingkan dexmedetomidin, akan tetapi

penilaian kesadaran dengan metode mental

aritmetika (MA) menunjukkan bahwa pasien masih

dapat berhitung pengurangan pada tingkat sedasi

ringan (BIS 75-85).4

Efek analgesi dari dexmedetomidin dapat menurun-

kan penggunaan opioid hingga 30%-50%, akan

tetapi potensinya tidak bisa menyamai kemampuan

opioid, akan tetapi untuk kasus-kasus yang opioid

tidak bisa maksimal, seperti nyeri neuropatik, maka

pemberian agonis α-2 akan lebih menguntungkan.1,5

Dexmedetomidin merupakan salah satu obat yang sangat berguna untuk penatalaksanaan kasus-kasus

yang memerlukan sedasi dan juga penatalaksanaan

nyeri. Mekanisme efek dalam mereduksi nyeri

merupakan akibat dari aktifasi adrenoseptor α-2.3,5

Mekanisme kerja dari dexmedetomidin dalam

mereduksi nyeri berhubungan dengan aktifitasnya

terhadap LC dan persarafan di tulang belakang

(spinal cord) dengan mengaktifasi adrenoseptor

α2c dengan cara melemahkan transmisi nosiseptik

ke SSP.

Penggunaan dexmedetomidin sudah sangat luas, tidak hanya untuk kasus-kasus bedah saraf saja,

akan tetapi telah digunakan sebagai salah satu

bagian dari penatalaksanaan sedasi di ruang terapi

intensif serta dapat sebagai bagian dari pengelolaan

anestesi pada pasien-pasien yang akan operasi non-

bedah saraf dengan kondisi yang tidak

memungkinkan untuk dilakukan operasi

Page 89: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

3 Penggunaan Dexmedetomidine pada Neurotrauma

pembedahan dengan anestesi umum secara menyeluruh.

Ruang terapi intensif menggunakan

dexmedetomidin pada umumnya untuk kasus-kasus

yang memerlukan penanganan khusus serta untuk

pengendalian hemodinamik, nyeri, ataupun sedasi

ringan. Efek dari dexmedetomidin terhadap pasien-

pasien dengan kondisi kritis dalam beberapa hal

lebih menguntungkan.

Pemberian dexmedetomidin secara intravena

menghasilkan peningkatan sementara tekanan darah

arteri dan resistensi arteri perifer, kemudian akan diikuti oleh penurunan berkepanjangan. Pada sel

efektor simpatik, α2-agonis menghambat pelepasan

presinaptik norepinefrin, tetapi proses ini akan

ditahan dalam pembuluh oleh efek vasokonstriksi

langsung α2-agonis dalam sirkulasi.6,7

Penelitian yang pernah dilakukan pada kasus bedah

vaskuler, dengan anestesia, pasien yang tidak

diberikan dexmedetomidin menunjukkan

peningkatan kadar norepinefrin yang lebih tinggi 2-

3x lipat dibandingkan pasien yang diberikan

dexmedetomidin. Hal tersebut diketahui

berdasarkan peningkatan kadar normetanefrin yang tinggi dalam urin. Normetanefrin merupakan

derivat norepinefrin.7

Pasien yang mendapatkan dexmedetomidin, tidak

ada peningkatan kadar normetanefrin urin hingga

hari kedua pascaoperasi. Konsentrasi

dexmedetomidin plasma (antara 0,18-0,34 ng/ml)

akan mengurangi peningkatan denyut jantung dan

konsentrasi norepinefrin plasma selama tindakan

anestesi.7

Penggunaan dexmedetomidin dalam anestesi

umum, akan bekerja sinergi dengan agen inhalasi, opioid, serta obat-obatan pelumpuh otot. Peng-

gunaan dexmedetomidin sebagai ajuvan pada

pasien dengan anestesi umum yang menggunakan

agen inhalasi, dapat mengurangi kebutuhannya

hingga 90% dari MAC. Penggunaan isofluran

sendiri tidak terlalu mempengaruhi farmakokinetik

dexmedetomidin.8,9

Penggunaan opioid pada pemberian

dexmedetomidin dapat dikurangi, selain itu juga

dapat mengurangi rigiditas otot yang merupakan

salah satu efek samping dari pemberian opioid.8

Penelitian efek dexmedetomidin terhadap pelum-puh otot yang pernah dilakukan menemukan

beberapa kejadian setelah pemberian

dexmedetomidin dalam dosis klinis yang relevan,

konsentrasi pelumpuh otot dalam plasma meningkat

dan T1 (respon TOF-1) menurun. Selain itu, bila

dilakukan infus dexmedetomidin, maka akan terjadi

penurunan berkelanjutan dalam volume darah

jaringan dan peningkatan yang berkelanjutan tekanan darah sistemik, yang menunjukkan

vasokonstriksi berkelanjutan yang disebabkan oleh

dexmedetomidin di perifer.10

III. Dexmedetomidin dalam Neurotrauma

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah

dilakukan, ada 2 pendapat yang menyetujui

penggunaan dexmedetomidin dalam neurotrauma

dan ada pula yang sebaliknya. Pendapat yang

menyetujui adalah dengan pertimbangan derajat

kesadaran yang masih baik, hemodinamik yang

tinggi dan tidak stabil, serta untuk keperluan proteksi otak. Pendapat yang tidak menyetujui

adalah bila dexmedetomidin diberikan pada pasien

neurotrauma, akan mengakibatkan gangguan dalam

menilai kesadaran pasien. Pertimbangan-pertim-

bangan tersebut merupakan dasar yang diambil oleh

rumahsakit dalam mengambil kebijakan penatalak-

sanaan pasien dengan neurotrauma.

Kerusakan sel otak akibat trauma dapat

berlangsung cepat atau lambat. Perlu diketahui

bahwa kerusakan sel ada 3, yaitu apoptosis,

nekrosis dan autofagi. Pada kasus trauma, yang

paling sering terjadi adalah nekrosis dan biasanya akut. Nekrosis adalah hasil akhir dari kekacauan

bioenergi akibat deplesi ATP ke tingkat yang tidak

sesuai dengan kelangsungan hidup sel dan dapat

terjadi pada kasus keracunan atau kerusakan fisik.

Hal ini secara morfologi ditandai oleh vakuolasi

dari sitoplasma, pembengkakan mitokondria,

dilatasi endoplasmik retikulum (ER), dan kerusakan

pada membran plasma.12 Akibatnya, isi seluler

dibebaskan ke dalam ruang ekstraseluler dan dapat

merusak sel disebelahnya dan menimbulkan respon

inflamasi. Meskipun mekanisme molekuler yang menyebabkan kematian sel nekrotik tidak sepenuh-

nya dijelaskan, biasanya, neuron kehilangan kontrol

keseimbangan ion, penyerapan, dan lisis.

Eksitotoksisitas merupakan hasil dari pelepasan

neurotransmiter yang berlebihan dan melibatkan

reseptor membran sel dengan asam amino

eksitatorik seperti N-metil-D-aspartat (NMDA)

ionotropik, kainate, dan 2-amino-3-propionat

(AMPA). Asam amino eksitatorik memicu pening-

katan Ca2+ intrasel oleh pelepasan Ca2+ reticulum

endoplasma mengelompok dan atau memicu

transport Ca2+ ekstrasel melalui transporter membran plasma.12

Inhibisi pengambilan Ca2+ oleh mitokondria dapat

menekan kerusakan sel nekrotik. Nekrosis terlihat

seperti sistem proteolitik yang dependen, namun

pada kenyataannya pada kerusakan lisosom dan

pembebasan kalpain-katepsin merupakan

mekanisme aktif dalam jalur kematian ini.12

Page 90: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Masih berkaitan dengan kejadian neurotrauma adalah terjadinya edema otak ataupun pembeng-

kakan otak. Edema adalah akumulasi abnormal

cairan dalam parenkim otak, melainkan dibagi ke

dalam jenis vasogenik dan sitotoksik. Edema

vasogenik didefinisikan sebagai cairan yang berasal

dari pembuluh darah dan terakumulasi di sekitar

sel. Edema sitotoksik didefinisikan sebagai cairan

yang terakumulasi dalam sel sebagai akibat dari

cedera sel. Edema sitotoksik sering terjadi pada

iskemia serebral. Edema neurotoksik adalah subtipe

dari edema sitotoksik yang disebabkan oleh tingginya kadar asam amino eksitatorik. Sampai

saat ini, edema pada cedera otak traumatis dianggap

sebagai "vasogenik", sekunder dari trauma terbuka

sawar darah otak. Namun, ketiga bentuk edema

dapat terjadi bersamaan, dan berkontribusi relatif

terhadap peningkatan tekanan intrakranial dan

pembengkakan otak yang belum teridentifikasi.13

Kasus neurotrauma tidak boleh dibiarkan terlalu

dalam tanpa ada penatalaksanaan yang tepat. Kasus

yang segera diberikan penatalaksanaan adalah

pasien dengan cedera kepala berat, dikarenakan

kerusakan sel-sel otak dapat berlangsung cepat, tergantung jenis trauma, lokasi atau posisi, dan

volume perdarahannya. Pasien dengan cedera

kepala ringan, biasanya cukup diberikan

penatalaksanaan konservatif bila GCS > 13.

Proses kerusakan sel neuron yang terjadi dan

bersifat ireversibel antara lain adalah nekrosis yang

cepat dan apoptosis lambat. Nekrosis cepat terjadi

pada fase akut dalam inti infark serebral.

Neurotransmitter disimpan dalam vesikel

presinaptik, dan, di otak yang utuh, melepaskan dan

menyerap energi terikat dan dikontrol dengan kuat. Gangguan pasokan darah/oksigen ke otak

mengakibatkan disfungsi saluran ion ATP-

dependent, menyebabkan depolarisasi sel dan

pelepasan neurotransmitter eksitatorik ekstraseluler.

Glutamat adalah neurotransmitter eksitatorik yang

paling banyak dan penting.14

Glutamat mengaktifkan NMDA subtipe reseptor

glutamaterik. Aktivasi reseptor NMDA

meningkatkan kalsium intraseluler dan natrium,

serta berkontribusi pada depolarisasi dan aktivasi

saraf. Kelebihan kalsium mendorong aktivasi jalur

yang mengganggu homeostasis ionik, sinyal oksida nitrat, fungsi sitoskeleton, kemunculan radikal

bebas, dan aktivasi lemak dan protease, yang

berakhir pada degenerasi dan kematian sel

membran eksitotoksik.12,13,14

Mekanisme apoptosis aktif sebagai respon terhadap

cedera otak iskemik, dapat terjadi dalam hitungan

hari sampai minggu setelah terjadinya iskemik,

terutama di area penumbra sekitar inti nekrotik.

Apoptosis dapat menjadi respon patologis, atau sarana eliminasi sel yang akan mati perlahan-lahan

setelah kejadian iskemik. Proses ini diduga

melibatkan pelepasan sitokrom C mitokondria dan

aktivasi kaspase dan faktor pro-apoptosis yang

lainnya. Tingkat kematian sel pada akhirnya

terletak pada keseimbangan sinyal pro-apoptosis

dan anti-apoptosis.14

Penggunaan atau aktifasi adrenoseptor agonis α2

oleh dexmedetomidin dalam rangkaian

neuroproteksi berkaitan dengan efeknya yang

menghambat aktifitas simpatis. Aktivasi

adrenoseptor agonis α2 di sumsum tulang belakang

berefek analgesi. Pengikatan ligan ekstraseluler

(hormon endogenous atau molekul eksogen seperti

dexmedetomidin) ke α2-reseptor berpasangan

dengan salah satu dari beberapa guanine-binding

protein (G-protein). Reseptor-reseptor α2

menghambat adenilatsiklase melalui penghambatan

protein Gi. Hal ini menyebabkan penurunan

pembentukan 3’5’-siklik adenosin monofosfat

(cAMP), yang sangat penting sebagai second

messenger untuk memerantarai kerja norepinefrin

dan sejumlah hormon lainnya. Aktivasi dari protein

Gi juga mengaktifkan saluran kalium terbuka-

keluar, sehingga mengakibatkan hiperpolariasi dari

membran sel neuron dan mengurangi pelepasan sel

eksitatorik dalam SSP. Melalui protein lain yang

disebut protein Go, reseptor α2 menghambat

masuknya kalsium ke dalam sel dan menghambat

aktivitas fosfolipase C. Penghambatan aktivitas

fosfolipase C berkontribusi pada pengurangan

aktivitas enzim, seperti protein kinase C, yang

antara lain, memiliki peran dalam stres oksidatif

dan apoptosis. Reseptor α2 berpasangan melalui

protein-Glain yang belum ditentukan untuk

percepatan pertukaran ion natrium hidrogen.14

Dexmedetomidin diberikan pascatrauma di ruang

perawatan gawat darurat, ketika pasien tersebut

pertama kali masuk, merupakan salah satu langkah

yang penting dalam penatalaksanaan kasus-kasus

dengan cedera kepala berat. Hal ini dapat dijadikan

pertimbangan. Pemberian dexmedetomidin

sebaiknya diikuti dengan evaluasi kontinyu

terhadap hemodinamik.

Penggunaan dexmedetomidin dapat dipertimbang-

kan dari beberapa aspek, antara lain adalah waktu

paruhnya yang cukup cepat bila dibandingkan

golongan Imidazole yang lain (Klonidin).

Walaupun keduanya memiliki rasio perbandingan

yang cukup tinggi antara α2 : α1, namun

dexmedetomidin lebih selektif, dengan perban-

dingan 1.600:1, sehingga dapat dikatakan sebagai

Page 91: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

5 Penggunaan Dexmedetomidine pada Neurotrauma

agonis adrenoseptor α2 yang lengkap. 3,15 Selain itu,

waktu paruh dexmedetomidin lebih pendek bila

dibandingkan klonidin. Metabolit yang diekskresi-

kan melalui urin atau feses menunjukkan bahwa

dexmedetomidin masih cukup tinggi kadarnya,

yang berarti tidak terlalu banyak mengalami

perubahan.15 Beberapa penelitian, menguji efek

samping yang muncul akibat penggunaan

dexmedetomidin dibandingkan obat-obatan yang

memiliki efek sedasi yang sama sebagai plasebo

(tabel 1).

Tabel 1. Efek samping dexmedetomidin dibandingkan plasebo

Efek buruk Dexmedetomidin

(%)

Plasebo

(%)

Hipotensi

Hipertensi

Nausea

Bradikardi

Demam

Muntah

Atrial fibrilasi

Hipoksia

Takikardi

Perdarahan

Anemia

Mulut kering

Kaku

Agitasi

Hiperpireksia

Nyeri

Hiperglikemia

Asidosis

Pleural efusion

Oliguria

Haus

28

16

11

7

5

4

4

4

3

3

3

3

2

2

2

2

2

2

2

2

2

13

18

9

3

4

6

3

4

5

4

2

1

3

3

3

2

2

2

1

<1

<1

Dikutip dari: Abramov D. 16

Penelitian yang berbeda terhadap hewan coba yang

dilakukan tindakan anestesi, menyatakan bahwa

dengan pemberian dexmedetomidin dapat berefek

pada penurunan organ akan nutrien. Penelitian

tersebut menunjukkan bahwa dexmedetomidin

melindungi aliran ke organ paling vital (otak,

jantung, hati, ginjal) dengan mengorbankan organ

yang kurang penting dan mengalir melalui pintas

arteriovenosa. Aliran darah di organ vital jauh di atas rerata diketahui menyebabkan perfusi yang

kurang, yang berarti terjadi redistribusi curah

jantung. Penurunan aliran darah di organ dengan

ekstraksi oksigen rendah yang muncul dapat

sebagai kontributor penting untuk peningkatan

ekstraksi oksigen vena campuran.17

IV. Penatalaksanaan Pasien ICU

PascaNeurotrauma dengan Menggunakan

Dexmedetomidin

Penggunaan dexmedetomidin di ICU untuk pasien

pascatrauma dengan operasi ataupun yang

konservatif dengan GCS diatas 8 sangat

dimungkinkan sekali dan dapat membantu dalam

penatalaksanaan sedasi pada pasien yang gelisah.

Pada beberapa kasus yang terjadi di daerah,

penggunaan obat-obatan golongan benzodiazepin

pada pasien neurotrauma masih jadi salah satu

pilihan yang dianggap efektif, walaupun pada kenyataannya justru mempersulit dalam penilaian

kesadaran yang berakibat mempengaruhi rencana

tindakan atau intervensi terhadap pasien tersebut

dan tentunya akan merugikan pasien sendiri. Hal

tersebut akan diperburuk dengan fakta yang sering

terjadi di lapangan bahwa pemeriksaan penunjang

terkadang tidak langsung segera dilakukan, seperti

pemeriksaan CT-scan dan x-foto kranium, serta

pemeriksaan laboratorium.

Pasien yang direncanakan untuk dilakukan tindakan

operasi bedah saraf, akan tetapi kondisinya belum

memungkinkan untuk dilakukan operasi, biasanya diobservasi beberapa saat hingga pasien siap untuk

dilakukan tindakan operasi. Persiapan pasien dapat

dilakukan di ruang perawatan intensif atau bangsal

traumatologi yang dilengkapi dengan monitor

pasien.

Jurnal yang ada selama ini lebih banyak membahas

pemanfaatan dexmedetomidin untuk penatalak-

sanaan pasien di ruang perawatan intensif yang

diambil manfaat sedasinya, sedangkan penggunaan

dexmedetomidin pada kasus pasca neurotrauma di

ruang perawatan intensif masih jarang untuk dilakukan pembahasan secara lebih mendalam.

Penggunaan klonidin oral dan dexmedetomidin

intravena telah digunakan untuk memberikan sedasi

pra operasi dan anxiolitik pada pasien bedah.

Secara kuantitas, sedasi dari alpha2-agonis adalah

unik karena pasien dapat dengan mudah

dibangunkan tetapi kemudian kembali ke keadaan

tidur. Rumatan infus dexmedetomidin telah

didokumentasikan dengan menggunakan tes

Critical Flicker Fusion. yang dilakukan di Imperial

College of Medicine, Kensington dan Chelsea dan

Westminster Hospital, London dimana kinerja dalam tes psikomotor cukup terjaga dengan baik

selama sedasi dexmedetomidin. Oleh karena itu,

pasien dianestesi dengan alpha2-agonis akan lebih

kooperatif dan komunikatif dibandingkan pasien

yang disedasi dengan obat lain dalam pengaturan

terapi intensif.19

Selama lebih dari satu dekade, agonis α2 telah

Page 92: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

6 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

digunakan untuk memberikan sedasi pra operasi dan ansiolisis dan untuk mengurangi kebutuhan

anestesi intraoperatif. Pasien yang diberikan

dexmedetomidin memerlukan propofol lebih sedikit

dibanding kelompok plasebo yang diberikan obat

untuk tingkat sedasi klinis yang sama; secara

kualitatif, tipe sedasi yang dihasilkan unik dimana

pasien bisa dibangunkan dengan mudah dan

kemudian kembali berubah menjadi keadaan

tidur.20

Efektivitas klonidin sebagai analgesik tambahan

pada pasien dengan injuri termal menjadi awal yang baik untuk studi obat sedatif di masa-masa

mendatang yang mencakup hingga saat ganti balut.

Indikasi pemberian sedasi dexmedetomidin untuk

pengobatan di ruang terapi intensif pasien

pascabedah hingga 24 jam adalah karena efek

simpatolitik dan vagomimetik, dengan

mempertimbangkan aspek kehati-hatian akan resiko

hipotensi, bradikardia, dan sinus arrest dan hanya

dapat digunakan dengan monitoring yang ketat.20

Karena target untuk tindakan sedasi dari agonis α2

diketahui dengan tepat, hal ini meningkatkan

kemungkinan bahwa strategi untuk menghentikan tindakan ini dapat dilakukan dengan mudah.

Sebuah penelitian melaporkan tentang kemampuan

atipamezole, antagonis selektif adrenoseptor α2,

untuk membalikkan sifat sedatif dari

dexmedetomidin pada sukarelawan. Kedua obat

penenang dan efek simpatolitik dari

dexmedetomidin intramuskular adalah dosis

ketergantungan antagonis oleh atipamezole

intravena, namun sensitivitas untuk pembalikan

keduanya mungkin memiliki respon yang berbeda.

Karena agonis dan antagonis memiliki waktu paruh eliminasi yang hampir sama, kemungkinan

kekambuhan dari efek klinis dexmedetomidin

setelah pembalikan (reversal) oleh atipamezole

kecil. Oleh karena itu, agonis α2 dapat diberikan

secara titrasi agar efek sedasi hipnotis dapat dibalik

dengan mudah.20

V. Simpulan

Berdasarkan beberpa penelitian yang pernah

dilakukan terhadap keuntungan dan kerugian dari

penggunaan dexmedetomidin, maka perlu dapat

diambil suatu kesimpulan bahwa tidak ada

permasalahan apabila dexmedetomidin digunakan pada pasien neurotrauma sebagai bagian dari

penatalaksanaan sedasi pada pasien dengan

kesadaran yang menurun (15 > GCS > 8).

Penggunaan dexmedetomidin juga dapat

bermanfaat pada pasien dengan tekanan darah yang

tinggi.

Efek neuroproteksi dexmedetomidin dan analgesinya juga perlu dijadikan pertimbangan

dalam penatalaksanaan awal kegawatdaruratan

medik di instalasi gawat darurat, dengan catatan

bahwa pasien tersebut tetap dilakukan monitoring

hemodinamik secara kontinyu.

Daftar Pustaka

1. Bekker A, Sturaitis MK. Dexmedetomidine for

neurological surgery. J Neurosurgery.

2005[diunduh 10 April 2010];57 Suppl 1:1-10.

Tersedia dari: http://anesthesia.ucsf.edu/neuroanesthesia/resid

ents/respdf/Dexmedetomidin_neurosurgery.pdf

2. Nelson LE, Lu J, Guo T, Sappor CB, Franks

NP, Maze M. The α2-adrenoceptor agonist

dexmedetomidine convergeson an endogenous

sleep-promoting pathway to exert its sedative

effects. Anesthesiology.2003;98:428 –36.

3. Kumar GK. Dexmedetomidin [dokumen di

internet]. Madras Medical College[diunduh 20

Februari 2010]. Tersedia dari:http://www.isakanyakumari.com/docs/Dex

medetomidin%20text.pdf

4. Okawa K, Ichinohe T, Kaneko Y. A

comparison of propofol and dexmedetomidine

for intravenous sedation: a randomized,

crossover study of the effects on the central

and autonomic nervous systems. J Anesth

Analg. 2010;110(2):415-8.

5. Poree RL, Guo TZ, Kingery WS, Maze M. The analgesic potency of dexmedetomidine is

enhanced after nerve injury: A possible role for

peripheral α2-adrenoceptors. Anesth Analg.

1998;87:941-8.

6. McCallum JB, Boban N, Hogan Q, Schmelling

WT, Kampine JP, Bosnjak ZJ. The mechanism

of α2-adrenergic inhibition of sympathetic

ganglionic transmission. Anesth

Analg.1998;87:503-10.

7. Talke P, Chen R, Thomas B, Aggarwall A, Gottlieb A, Thorborg P, et al. The

hemodynamic and adrenergic effects of

perioperative dexmedetomidine infusion after

vascular surgery. Anesth Analg. 2000;

90(4):834-9.

Page 93: CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE … · gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. ... keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit ... dan sirkulasi tidak ditemukan

7 Penggunaan Dexmedetomidine pada Neurotrauma

8. Arcangeli A, Alo CD, Gaspari R. Dexmedetomidine use in general anesthesia.

Current Drug Targets. 2009;10:687-95.

9. Aanta R, Jaakola ML, Kallio A, Kanto J.

Eduction of the MAC of isoflurane by

dexmedetomidine. J Anesth. 1997;86:1055-60

10. Weinger MB, Segal IS, Maze M.

Dexmedetomidine, acting through central α-2

adrenoceptors, prevent opiate-induced muscle

rigidity in the rat. J Anesth. 1989; 71:242-49.

11. Caldwell JE, Talke PO, Richardson CA,

Nielsen HK, Stafford M. The effects of

dexmedetomidine on neuromuscular blockade

in human volunteers. Anesth Analg

1999;88:633–9.

12. Repici M, Mariani J, Borsello T. Neuronal

death and neuroprotection: a review. Dalam:

Borsello T, ed. Neuroprotection methods and

protocol. New Jersey: Humana Press; 2007, 1-

14.

13. Marmarou A. The pathophysiology of brain

edema and elevated intracranial pressure. Clev

Clin J Med. 2004(71) Suppl 1:6-8.

14. Janke EL, Samra S. Dexmedetomidine and

neuroprotection. J Sem in Anesth, Periop Med

and Pain. 2006;25:71-6.

15. Tobias JD. Dexmedetomidine in trauma

anesthesiology and critical care. J Int Trauma Anesth and Crit Care. 2007[diunduh 21

November 2010](17)1:6-18. Tersedia dari

:http://www.itaccs.com

16. Abramov D. The role of dexmedetomidine in

the sedation of critically ill patients. J Pharm

Therapeutics. 2005(30)3:158-61.

17. Lawrence CJ, Prinzen FW, Lange S. The effect

of dexmedetomidine on nutrient organ blood

flow. Anesth Analg. 1996;83:1160-5.

18. Venn RM, Bradshaw CJ, Spencer R, et al.

Preliminary UK experience of

dexmedetomidine, a novel agent for

postoperative sedation in the intensive care

unit. Anaesthesia. 1999;54:1136-42.

19. Hall JE, Uhrich TD, Barney JA, et al. Sedative, amnestic, and analgesic properties of

dexmedetomidine infusions. Anesth Analg.

2000;90:699-705.

20. Kamibayashi T, Maze M. Clinical uses of α2-

adrenergic agonist. Anesthesiology. 2000;

93:1345–9

21. Shehabi Y, Botha JA, Ernest D, Freebairn RC,

Reade M, Roberts BL, Seppelt I, Weisbrodt L.

Clinical application, the use of dexmedetomidine in intensive care sedation.

Crit Care & Shock. 2010;13:40-50

22. Venn M, Newman J, Grounds M. A phase II

study to evaluate the efficacy of

dexmedetomidine for sedation in the medical

intensive care unit. Intensive Care Med

2003;29:201-7.