Upload
nguyencong
View
253
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL
SEVERE HEAD INJURY IN PREGNANT PATIENTS M. Zafrullah Arifin, Subrady Leo SS, Firman Priguna T
Divisi Trauma Departemen Bedah Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Dr. Hasan Sadikin-Bandung
Abstract
Background and Objective: Head injury in pregnancy can increase the risks of mortality and morbidity, both
for the mother and fetus. Common complications are including death, shock, intrauterine bleeding, intrauterine
fetal death, fetal trauma, placental abruptio and, uterine rupture. Motor vehicle accident, falls, assault and gun
shot wound are the primary cause of injury. Treatment and recognition of this cases are unique, even though the
main target are early evaluation and resuscitation of the mother and afterward, the fetus. Tococardiography
monitoring, ultrasound, and head CT Scan can be perform with or without craniotomy and caesarean section.
Subject and Method: An observasional study taken from the year of 2008-2012, a serial case report in pregnant
women with severe head injury undergoing operation for evacuation of hematoma.
Result: During the last 3 years, three patients had underwent surgery for head injury with two of them underwent a sectio caesarean procedure.
Conclusion: The incidence of head injury in pregnant women is considered very rare and an early
multidiciplinary management for head injury in pregnancy can decrease the risk of morbidity and mortality for
both the mother and the fetus.
Key Word : Head injury, pregnancy, surgery, outcome
JNI 2012;1(3):149-157
Abstrak Latar Belakang dan Tujuan: Cedera kepala pada wanita dengan kehamilan dapat meningkatkan resiko
morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janinnya. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain kematian ibu, syok,
perdarahan intrauterin, kematian janin intrauterin, trauma janin, abruptio placenta, ruptur uterin. Penyebab
tersering dari trauma tersebut antara lain kecelakaan lalulintas, terjatuh dari ketinggian, kekerasan dalam rumah
tangga, dan luka tembak. Banyak penilaian dan penanganan yang unik untuk kasus ini, meskipun evaluasi awal
dan resusitasi sasaran utama untuk menyelamatkan ibu. Setelah keadaan ibu stabil baru dilakukan evaluasi dan
penilaian dari janin. Monitoring tokokardiografi, pemeriksaan ultrasound, CT-Scan kepala dapat dilakukan
disertai dengan tindakan kraniotomi dan atau seksio sesarea.
Subjek dan Metode: Penelitian observasional dari tahun 2008-2012, serial kasus, pada wanita hamil yang
mengalami cedera kepala berat dan dilakukan operasi untuk evakuasi hematoma.
Hasil: Selama 3 tahun terakhir telah dilakukan tindakan pembedahan untuk penderita cedera kepala dengan kehamilan sebanyak 3 kasus, dua diantaranya disertai dengan seksio sesarea.
Simpulan: Kasus cedera kepala pada wanita dengan kehamilan tergolong jarang dan penanganan dini
multidisiplin pada cedera kepala berat pada kehamilan dapat menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas untuk
ibu dan janin
Kata kunci : Cedera kepala, kehamilan, pembedahan, luaran
JNI 2012;1(3):149-157
I. Pendahuluan
Insidensi kejadiaan trauma pada kehamilan yang
dilaporkan sekitar 6-7%. Trauma yang terjadi pada
masa kehamilan merupakan penyebab utama
kematian ibu. Kematian ibu akibat trauma pada
kehamilan diperkirakan terjadi pada 10% kasus,
sedangkan angka kematian janin didapatkan nilai
yang lebih tinggi yaitu 61%. Kematian janin akibat
trauma lebih sulit diprediksi. Meskipun telah
banyak penelitian yang menyatakan peningkatan
angka kematian janin berbanding lurus dengan
derajat beratnya trauma yang dialami sang ibu,
2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
akan tetapi penelitian-penelitian ini tidak mengungkapkan faktor prediksi kematian janin.1-7
Kemungkinan kehamilan harus dipertimbangkan
pada setiap wanita yang berumur antara 10 dan 50
tahun. Kehamilan menyebabkan perubahan
fisiologi yang nyata dan perubahan anatomis pada
hampir semua organ tubuh. Perubahan struktur dan
fungsi ini dapat mempengaruhi evaluasi penderita
trauma yang hamil karena perubahan tanda dan
gejala yang ditemukan, cara dan respon terhadap
resusitasi maupun hasil-hasil pemeriksaan.
Kehamilan juga dapat mempengaruhi pola maupun beratnya cedera. Dalam menangani penderita
trauma yang hamil, harus selalu diingat ada dua
korban, walaupun demikian pengelolaan penderita
hamil sama seperti tidak hamil. Harus difahami
dengan baik hubungan fisiologis antara ibu dengan
janinnya bila ingin memberikan pengobatan terbaik
untuk keduanya. Perawatan yang terbaik untuk
janin adalah dengan resusitasi optimal terhadap ibu
dan penilaian dini terhadap janinnya. Cara evaluasi
dan pemantauan harus meliputi ibu maupun anak. 7
Meskipun ringan, cedera kepala yang terjadi pada
wanita yang sedang hamil dapat mengancam kehidupan bagi ibu dan janinnya. Kecelakaan
lalulintas merupakan penyebab utama cedera kepala
dan sering disertai dengan cedera lain seperti cedera
perut. Pada wanita hamil, hal ini dapat berujung
pada kematian akibat dengan cedera kepala berat
dan syok perdarahan.
Semua trauma terutama cedera kepala berpotensi
bahaya pada kehidupan janin berhubungan dengan
kelainan sistemik dan otak seperti hipotensi arterial
akibat trauma, anoksia atau anemia. Selain itu
prosedur diagnosis dan medikasi dapat membahayakan janin. Pengambilan keputusan
dalam menyelamatkan nyawa pada lesi
dienchephalon membutuhkan kerjasama antara
dokter intensivis, dokter bedah saraf, dokter
kebidanan dan kandungan, dokter anak dan dokter
anestesi terutama pada keadaan koma yang tidak
diketahui kapan penderita akan sadar kembali.
Kebanyakan mekanisme cedera sama seperti
penderita tidak hamil, namun ada perbedaan yang
harus diketahui pada penderita hamil. Tujuh belas
persen penderita hamil adalah cedera akibat ulah orang lain dan 60% penderita ini mengalami
kekerasan dalam rumah tangga yang berulang.2-7
Beratnya trauma akan menentukan hasil akhir pada
ibu dan anak. Karenanya cara terapi juga
tergantung pada beratnya trauma yang dialami ibu.
Semua penderita hamil yang mengalami cedera
berat memerlukan terapi di pusat trauma yang
mempunyai pelayanan obstetrik karena ada
peningkatan angka kematiaan ibu dan anak pada
kelompok ini. Delapan puluh persen penderita hamil yang cedera dan datang dalam keadaan syok,
akan mengalami kematian bayi walaupun ibunya
hidup. Bahkan penderita hamil dengan cedera
ringan harus berhati-hati karena dapat mengalami
solusio plasenta dan kematian bayi, sehingga perlu
dilakukan pemantauan. Trauma langsung pada
janin biasanya terjadi pada kehamilan lanjut dan
umumnya disertai cedera berat pada ibu. 1-7
II.Subjek dan Metode
Dilakukan penelitian observasional serial kasus, dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012, pada
wanita hamil yang mengalami cedera kepala dan
dilakukan operasi evakuasi hematoma di RS Dr.
Hasan Sadikin-Bandung
III. Hasil
Kasus
Kasus 1
Wanita 16 tahun yang sebelumnya sehat G1P0A0
datang dengan kehamilan 33-34 minggu karena
cedera kepala berat akibat terjatuh saat sedang menjemur pakaiannya dilantai dua. Setelah
kejadian penderita sempat sadar dan mengeluh
nyeri kepala tanpa disertai keluar cairan jernih atau
darah dari hidung, telinga dan mulut. Keluar darah
atau cairan jernih dari jalan lahir. Tiga puluh menit
kemudian penderita menjadi mengantuk dan sulit
untuk dibangunkan, karena keluhannya kemudian
dibawa ke rumah sakit Astana Anyar Bandung,
karena keterbatasan alat kemudian dirujuk ke
rumah sakit Hasan Sadikin Bandung.
Gambar 1.
3 Cedera Kepala Berat Pada Pasien Hamill
Gambar.2
Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan
didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan
intubasi dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan
dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada
pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E2M4VT=7 pupil bulat anisokor diameter mata kanan lebih
besar dan reflex cahaya mata kanan menurun di
bandingkan mata kiri, disertai dengan anggota
gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif.
Pemeriksaan Focused Assesment with Sonography
for Trauma (FAST) tidak dapat dilakukan karena
kondisi ibu tidak memungkinkan disertai dengan
masalah biaya pada penderita ini. Pada survey
sekunder didapatkan hematoma pada daerah
temporoparietal kanan. Monitoring tanda vital ibu
dan janin didapatkan tanda vital dalam keadaan
normal, pemeriksaan laboratorium darah ibu di dapatkan adanya anemia dan pemeriksaan urin
didapatkan benda keton. Pemeriksaan rontgen leher
dan dada tidak ditemukan garis fraktur dan cedera
yang mengancam jiwa (Gambar 1 & 2). Kemudian
diputuskan untuk dilakukan burr hole diagnostik
dalam anestesi lokal dan bila hasilnya positif
direncanakan untuk dilakukan kraniotomi evakuasi
dan dari bagian kandungan direncanakan untuk
dilakukan seksio sesarea untuk menyelamatkan
bayi.
Gambar. 3
Gambar. 4
Karena hasil burr hole positif kemudian dilakukan
kraniotomi evakuasi dalam anestesi umum
berbarengan dengan seksio sesarea (Gambar 3 & 4). Saat operasi didapatkan fraktur tulang tengkorak
di daerah temporal dekstra, dan perdarahan epidural
50 cc dengan sumber perdarahan laserasi cabang
arteri meningia media, duramater putih dan tidak
ditemukan laserasi (Gambar 5 & 6). Dari seksio
sesarea didapatkan bayi wanita, berat badan 1950
gr, dengan panjang 51 cm, dan nilai Apgar 3 untuk
1 menit, 5 untuk 5 menit, dan 8 untuk 10 menit.
Gambar. 5
Gambar. 6
4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
Setelah operasi ibunya dirawat di ruang perawatan intensif bedah saraf selama 4 hari. Saat masuk
setelah operasi GCS E1M4VT dan dengan
perawatan yang baik disertai dengan dukungan
nutrisi, GCS penderita mengalami perbaikan yang
signifikan GCS hari ke 4 E4M6V4: 14 disertai
dengan lemah anggota gerak sebelah kiri, mata
kanan tetap besar disertai dengan reflex cahaya
yang menurun, kemudian pasien dipindahkan ke
ruang perawatan biasa selama 6 hari dan
dipulangkan dengan keadaan perbaikan. Bayinya
dirawat di ruang perawatan perinatologi dengan distress pernafasan ringan dan pulang paksa pada
hari perawatan ke 3. Saat ini kedua penderita
dalam keadaan baik.
Kasus 2
Wanita 28 tahun yang sebelumnya sehat G2P0A0
datang dengan kehamilan 27-28 minggu karena
cedera kepala berat akibat kecelakaan lalulintas di
daerah Purwakarta. Setelah kejadian penderita tidak
sadar dan tanpa disertai keluar cairan jernih atau
darah dari hidung, telinga dan mulut. Tidak ada
darah atau cairan jernih keluara dari jalan lahir.
Karena keluhannya kemudian dibawa ke rumah
sakit Bayu Asih Purwakarta dan karena
keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit
Hasan Sadikin.
Gambar. 7
Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan
didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan intubasi dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan
dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada
pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E1M4VT=6,
pupil bulat isokor, pemeriksaan anggota gerak tidak
ditemukan kelemahan. Pemeriksaan FAST tidak
dapat dilakukan karena kondisi ibu tidak memung-
kinkan. Pada survey sekunder didapatkan
hematoma pada daerah temporoparietal kanan.
Monitoring tanda vital ibu dan janin didapatkan
tanda vital dalam keadaan normal, pemeriksaan
laboratorium darah ibu di dapatkan adanya anemia dan lekositosis. Pemeriksaan rontgen leher dan
dada tidak ditemukan garis fraktur dan cedera yang mengancam jiwa. Pada pemeriksaan CT-Scan
kepala tanpa kontras ditemukan perdarahan
subdural di frontotemporoparietal kiri dengan
ketebalan lebih dari 1 cm, disertai dengan
pergeseran garis tengah kearah kanan lebih dari 5
mm, disertai kompresi sisterna magna dan sisterna
ambien. Sehingga diputuskan untuk dilakukan
kraniektomi dekompresi dalam anestesi umum dan
dari Bagian Obstetri hanya pemantauan kondisi
janin karena janin dalam kondisi baik. Saat operasi
didapatkan duramater kebiruan dan tidak ditemukan laserasi, perdarahan subdural clot 30 cc lisis 5 cc,
dengan sumber perdarahan ruptur bridging vein,
defek tulang 10x12 cm (Gambar 8 & 9)
Gambar. 8
Gambar. 9
Setelah operasi ibunya dirawat di ruang perawatan
intensif bedah saraf selama 4 hari, saat masuk
setelah operasi GCS E1M4VT dengan perawatan
yang baik disertai dengan dukungan nutrisi, GCS
penderita mengalami perbaikan yang signifikan
GCS hari ke 14 E3M5V4: 12, kemudian pasien dipindahkan ke ruang perawatan biasa selama 7
hari dan dipulangkan dengan keadaan E4M6V4: 14,
dan perbaikan.
5 Cedera Kepala Berat Pada Pasien Hamill
Gambar. 10
Selama dua minggu di rumah kondisi ibu mengalami perburukan karena terkena infeksi pada
paru-parunya (Gambar 10) dan datang kembali
pada saat usia kehamilan 33-34 minggu dalam
keadaan gagal nafas sehingga kemudian diintubasi
dan dilakukan seksio sesarea untuk menyelamatkan
bayinya, penderita meninggal 6 jam pasca seksio
sesarea. Dari seksio sesarea didapatkan bayi laki-
laki, berat badan 2100 gr, dengan panjang 50 cm,
dan nilai Apgar 3 untuk 1 menit, 5 untuk 5 menit,
dan 8 untuk 10 menit. Bayinya dirawat di ruang
perawatan perinatologi dengan distress pernafasan ringan dan pulang dalam keadaan perbaikan pada
hari perawatan ke 21.
Kasus 3
Wanita 26 tahun yang sebelumnya sehat G2P0A1 datang dengan kehamilan 21-22 minggu karena
cedera kepala berat akibat kecelakaan lalulintas di
daerah Moh. Toha Bandung. Setelah kejadian
penderita tidak sadar dan disertai keluar cairan
jernih atau darah telinga kiri. Ditemukan darah
atau cairan jernih keluar dari jalan lahir. Karena
keluhannya kemudian di bawa ke rumah sakit
Sartika Asih, karena keterbatasan alat kemudian di
rujuk ke rumah sakit Hasan Sadikin.
Gambar. 11
Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan
didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan
suction dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan
dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada
pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E2M5V2=9 pupil bulat isokor, pemeriksaan anggota gerak tidak
ditemukan kelemahan. Pemeriksaan FAST tidak
dapat dilakukan karena kondisi ibu tidak
memungkinkan. Pada survey sekunder didapatkan
hematoma pada daerah temporoparietal kiri.
Monitoring tanda vital ibu didapatkan tanda vital
dalam keadaan normal sedangkan janin sudah
meninggal di dalam rahim (Intrauterine fetal
death= IUFD). Pemeriksaan laboratorium darah ibu
didapatkan adanya anemia dan lekositosis.
Pemeriksaan rontgen leher tidak ditemukan garis fraktur, pemeriksaan rontgen dada didapatkan retak
tulang clavicula kiri 1/3 tengah. Pada pemeriksaan
CT-Scan kepala tanpa kontras ditemukan
perdarahan subdural di frontotemporoparietal kanan
dengan ketebalan lebih dari 1 cm, disertai dengan
pergeseran garis tengah kearah kanan lebih dari 5
mm, disertai kompresi sisterna magna dan sisterna
ambien. Sehingga diputuskan untuk dilakukan
kraniektomi dekompresi dalam anestesi umum dan
dari Bagian Obstetri hanya pemantauan kondisi
janin karena janin dalam kondisi baik. Saat operasi
didapatkan duramater kebiruan dan tidak ditemukan laserasi, perdarahan subdural clot 15 cc lisis 15 cc,
dengan sumber perdarahan contusio serebri, defek
tulang 10x12 cm (Gambar 8 dan 9). Kemudian
diputuskan untuk dilakukan kraniektomi
dekompresi dalam anestesi umum dan dari bagian
kandungan tidak ada tindakan karena janin sudah
meninggal.
Gambar.12
6 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
Gambar.13
Setelah operasi ibunya dirawat di ruang perawatan
intensif bedah saraf selama 20 hari, dan meninggal pada hari perawatan ke 21 akibat gagal nafas
karena pneumonia.
Gambar. 14
Gambar. 15
Hasil penelitian terlihat pada tabel di bawah ini
Tabel 1. Diagnosis klinis, diagnosa radiologis, usia ibu, usia kehamilan Kasus Diagnosis Usia Ibu
(Th)
Usia
kehamil
an
(Mg)
GCS Radio-
logis
1 CKB,
Terjatuh
16 33-34 7,
latera
lisasi
(+)
Fraktur
linier,
EDH
a/r TP
kanan
2 CKB, KLL 28 27-28 6,
latera
lisasi
(-)
SDH
a/r FTP
kiri
3 CKB, KLL 26 21-22 6,
latera
lisasi
(+)
SDH
a/r FTP
kanan
Keterangan: CKB=Cedera Kepala Berat, KLL=Kecelakaan lalu lintas, EDH=epidural hematoma, SDH=Subdural hematoma, FTP=Fronto-Temporo-Parietal
Tabel 2. Penanganan Ibu, Janin, GOS, APGAR
Kasus Penangan
an
ibu
Penangan-
an
Janin
Keluaran Ibu
(GOS)
Keluaran
janin
1 Burr hole
diagnostik,
kraniotomi
evakuasi
Seksio
sesarea
4,
(hemipharese
kiri)
APGAR
score 1’=5,
5’=5, 10 =
8’,
BBL=1950
2 Kraniektomi
dekompresi
Seksio
sesarea
(33-34
mg)
1, (mening-
gal, pneumo-
nia)
APGAR
score 1’=5,
5’=5, 10 =
8’,
BBL=2050
3 Kraniektomi
dekompresi
Terminasi
kehamilan
1, (mening-
gal, pneumo-
nia)
IUFD
Keterangan: BBL=Berat badan lahir, IUFD=Intra Uterine Fetal Death, GOS= Glasgow Outcome Score
IV. Pembahasan
Cedera hebat pada penderita dengan kehamilan
relatif jarang terjadi, akan tetapi, bila terjadi
memberikan resiko dua kali lipat dibandingkan
cedera tanpa kehamilan berupa ancaman
keselamatan ibu dan janinnya. Segala tindakan
harus dilakukan untuk mengevaluasi derajat cedera
ibu dan melakukan pengobatan secara adekuat. Beberapa kasus telah dilaporkan tentang perawatan
intensif pada ibu dengan kehamilan yang belum
matang disertai dengan cedera kepala berat,
kehamilannnya dipertahankan hingga bayinya
cukup mampu untuk hidup diluar kemudian
dilakukan terminasi kehamilan. Dari beberapa
literatur diketahui hanya 12 kasus dengan penderita
7 Cedera Kepala Berat Pada Pasien Hamill
cedera berat yang melahirkan bayi dengan kondisi sehat.4,5,6 Cedera otak traumatika atau cedera kepala
di dunia hingga saat ini masih merupakan penyebab
kematian dan kesakitan pada populasi dibawah 45
tahun.10 Berbagai penelitian eksperimental dan
analisis klinis tentang biomekanisme cedera dan
kerusakan jaringan telah menambah wawasan
mengenai patofisiologi utama kejadian yang
bertanggung jawab yang berperan dalam
mendefinisikan penyebab atau melakukan strategi
baru dalam pengobatanya. Klasifikasi cedera kepala
yang banyak digunakan dan berdasarkan patokan klinis adalah klasifikasi menurut Glasgow Coma
Scale (GCS) yang pertama kali diperkenalkan oleh
Teasdale dan Jennet tahun 1974.12 Berdasarkan
klasifikasi ini pula Valadka dan Narayan pada
tahun 1996 mengelompokan cedera kepala menjadi
tiga yaitu cedera kepala ringan (CKR) bila GCS 14-
15, cedera kepala sedang (CKS) bila nilai GCS 9-
13 dan cedera kepala berat (CKB) bila nilai GCS 3-
8.11 Klasifikasi lain adalah berdasarkan mekanisme
utama yang mana cedera otak traumatika dibagi
menjadi 1) kerusakan otak fokal akibat cedera
langsung pada otak berupa kontusi, laserasi dan perdarahan intrakranial dan 2) kerusakan otak difus
akibat cedera akselerasi dan deselerasi berupa
cedera axon difus atau edema otak.10 Luaran pada
cedera kepala ditentukan oleh dua mekanisme yang
berbeda: a) Kerusakan primer (Primary insult,
kerusakan mekanis) yang terjadi saat terjadi cedera.
b) kerusakan sekunder (Secondary Insult,
kerusakan non-mekanis yang tertunda) merupakan
gambaran proses patologis yang dimulai saat cedera
disertai dengan gejala klinis yang tertunda. Iskemia
serebri dan hipertensi intrakranial merupakan penyebab kerusakan sekunder dan dalam
pengobatan jenis cedera ini berespon terhadap
pengobatan.10
Pada ketiga kasus yang ditampilkan semuanya merupakan kasus cedera kepala berat yang memiliki penyebab yang berbeda yaitu kasus pertama akibat terjatuh, sedangkan kasus kedua dan ketiga akibat kecelakan lalu lintas. Dari temuan radiologis dan tindakan pembedahan didapatkan untuk kasus 1 adalah perdarahan epidural yang memiliki prognosis baik bila cepat dilakukan tindakan pembedahan dengan mortalitas berkisar 20-55%13 dan pada kasus ini diagnosis ditegakkan dengan melakukan tindakan burr hole. Faktor lain yang berperan pada luaran perdarahan epidural adalah umur penderita yang relatif lebih muda dibandingkan dengan kasus 2 dan 3, dan tidak ditemukannya postur deserebrasi atau hilangnya reflex cahaya pada penderita ini.13 Sedangkan untuk kasus 2 & 3, dari pemeriksaan radiologis didapatkan midline shift > 5mm, kompresi sisterna
basal disertai perdarahan subdural merupakan prognosis buruk pada penderita cedera kepala berat yang disertai perdarahan intrakranial, menyebabkan angka mortalitas yang tinggi yaitu 50-90% (51 % untuk GCS 6 & 7). Selain temuan radiologis diatas penyebab tingginya angka mortalitas perdarahan subdural antara lain pembedahan yang dilakukan >4 jam pascatrauma, mekanisme cedera akibat kecelakaan bermotor tanpa helm, usia lebih dari 65 tahun dan tekanan intrakranial >45 mmHg pascabedah.13
Penyulit lain yang ditemukan pada kasus 2 & 3 adalah pneumonia, dan diduga terkait dengan defek imunitas pada sistem imunitas nonspesifik, makrofag dan fagosit, serta spesifik seluler dan humoral. Defek imunitas yang terjadi berupa 1) penurunan jumlah limfosit dalam sirkulasi, akibat supresi sel limfosit dalam mitogen, 2) menurunnya kemampuan limfosit B dalam memproduksi immuno-globulin, 3) menurunnya kemampuan sel-sel fagosit yaitu monosit dan netrofil dalam memusnahkan bakteri atau antigen lain, 4) Delayed type of hypersensitivity. Kondisi ini berlangsung segera setelah cedera kepala dan mencapai puncaknya pada hari ke sebelas setelah trauma dan akan pulih setelah tiga bulan,14,15,16,17 sehingga pneumonia pada cedera kepala insidensinya mencapai 40 %-60 % 18,19 dan terutama terjadi dalam 3 hari pertama pada masa perawatan.20,21 Keadaan ini menyebabkan perawatannya di ruang rawat intensif menjadi lama dan meningkatkan mortalitas hingga 50 %.22
Di literatur disebutkan umumnya cedera kepala pada wanita hamil hampir selalu disebabkan oleh tindakan kekerasan dan 60% diantaranya merupakan tindak kekerasan dalam rumah tangga berulang 2,3,4,5,6 Ketiga pasien ini dilakukan tindakan kraniektomi untuk cedera kepalanya dengan atau tanpa tindakan seksio sesarea, memberikan resiko kematian dan kesakitan yang tinggi pada ibu dan janin terlepas dari besarnya usia kehamilan yang dialami ibu saat terjadinya cedera kepala. Suatu penelitian yang dilakukan di Negara Bagian Washington di Amerika Serikat didapatkan dari 693 wanita yang dirawat selama kehamilan dan mengalami cedera ringan akibat terjatuh memiliki resiko lebih tinggi mengalami kelahiran sebelum waktunya (preterm), abruptio plasenta, kelahiran dengan induksi untuk ibu dan resiko untuk bayi mengalami fetal distress yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita dengan kehamilan yang tidak mengalami kecelakaan sebesar 2 kali lipat.8
Untuk ibu, meningkatnya resiko kelahiran sebelum waktunya, terjadi karena kecelakaan menstimulasi kontraksi rahim, meskipun biomekanisme terjatuh mempengaruhi kontraksi rahim hingga saat ini
8 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
belum pernah diteliti. Abruptio plasenta terjadi karena terjadi deselerasi tiba-tiba dari rahim yang menyebabkan hilangnya atau lepasnya penempelan plasenta dengan dinding rahim, beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hubungan ketinggian dengan mekanisme abruptio plasenta, tetapi hingga saat ini masih menjadi perdebatan karena ukuran tinggi saat terjadi kecelakaan ataupun terjatuh tidak diketahui ataupun tidak ditulis dalam laporan unit gawat darurat. Karena umumnya cedera yang terjadi pada ibu hamil tanpa disertai tanda kegawatan janin ataupun ibu berdasarkan monitoring selama di unit gawat darurat.9
Untuk janin terjadinya abruptio placenta menyebab-kan fetal distress dan hipoksia akibat menurunnya
aliran darah ke uterus sehingga dapat berakhir
dengan kematian janin. Hal ini lah yang menjadi
alasan beberapa pusat kesehatan untuk merawat ibu
hamil yang mengalami kecelakaan terutama bila
usia kehamilan telah memasuki trimester ketiga,
atau disertai dengan tanda kegawatan janin,
perdarahan dari jalan lahir, atau mekanisme cedera
yang hebat. Adapun kematian janin akibat cedera
ibu berkisar 3,4 hingga 38 persen akibat abruptio
plasenta, kematian ibu, dan syok pada ibu (Tabel
3).9
Tabel 3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kematian janin pasca trauma
Ibu mengalami hipotensi
ISS yang tinggi
Terlempar dari kendaraan bermotor
Ibu mengalami Fraktur pelvis
Ibu tertabrak kendaraan bermotor
Ibu mengkonsumsi alkohol
Ibu berusia muda
Tabrakan motor
Ibu merokok
Ruptur uteri
Dikutip dari: Grossman NB.9
9 Cedera Kepala Berat Pada Pasien Hamill
Tabel 4. Algoritma Manajemen Trauma pada wanita dengan kehamilan (adaptasi 9)
Penanganan multidisiplin disertai dengan diagnostik
dini dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian
ibu dan janin. Dan terpenting dari semuanya adalah
mencegah terjadinya kecelakaan pada ibu hamil.
Daftar Pustaka
1. Piastra M, Pietrini D, Massini L, de Luca D, del
Lungo LM, de Carolis MD, et al. Severe
subdural hemorrhage due to minimal prenatal trauma: case report. J Neurosurg Pediatric
2009; 4 : 543-46
2. Cohen-Gadol AA, Friedman JA, Friedman JD,
Tubb RS, Munis JR, Meyer FB. Neurosurgical
management of intracranial lesion in the
pregnant patient: a 36-year institutional
experience and review of a literature. J
Neurosurg 2009; 111:1150-57
3. Muench MV, Canterino JC. Trauma in
Pregnancy. Journal Obstet Gynecol Clin North
Am 2007; 34: 555-83
4. Weintraub AY, Leron E, Mazor M. The
Pathophysiological of Trauma in Pregnancy: A
review. The Journal of Maternal-Fetal and
Neonatal Medicine 2006; 19(10): 601-5
5. Subhas CH, Biswas GM. Trauma in Pregnancy:
A 5-Year Prospective analysis of Feto-maternal
outcome in tertiary centers. Journal Obstetric
Gynecologic India 2004; 54(5): 452—55
6. Sim Ki-Bum. Maternal persisten vegetative state
with successful fetal outcome. Journal korean
10 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
medical science The korean academy of medical
science, 2001; 16: 669—72
7. American College of Surgeons Committee on
Trauma. Trauma pada Wanita. Dalam: Advanced
Trauma Life Support for doctors student course
manual Komisi Trauma IKABI;1997;347-58
8. Schiff M. Pregnancy outcomes following
hospitalization for a fall in Washington State
from 1987 to 2004. British Journal of Obstetric
and Gynecology (BJOG) 2008;115:1648-54
9. Grossman NB. Blunt Trauma in Pregnancy.
American Family Physician Journal (AAFP)
2004;70:1303-10
10. Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of
Traumatic Brain Injury. Br J Anaesth 2007;99:4-
9
11. Valadka. AB, Narayan RK. Emergency room
management of the head injury patient. Dalam: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds.
Neurotrauma. The McGraw-Hill Companies, Inc.
1996;119-35
12. Teasdale GM. Mechanism of concussion,
contusion and other efect of head injury. Dalam:
Youman, eds. Neurological Surgery, 4 th ed. Vol
3. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1996.
13. Greenberg MS. Head Trauma. Dalam: Greenberg
MS, eds. Handbook of Neurosurgery. 7th ed.
New York: Thieme Medical Publisher;
2010,850-928.
14. Smrcka M, Mrlian A, Klabusay M. Immune
system status in the patients after severe brain
injury. Bratislava Lekture Lysty 2005;106:144-
146
15. Schmidt OI, Infanger M. The Role of
neuroinflamation in traumatic brain injury.
European Journal of Trauma 2004;3:1-7
16. Newsholme EA. Nutrition of Immune Cells: The
Implication of Whole Body Metabolism. Dalam:
Ptotein energy interaction. The International
Dietary Energy Colsuntancy Group (I/D/E/C/G)
1991,437.
17. Shapiro NI, Karas DJ. Absolute lymphocyte
Count as a predictor of CD 4 count. Annual
Emergency Medicine 1998, 32: 323-28
18. Piek J, Chesnut RM, Marshall L F, Van Berkum-
Clark M, Klauber MR. Extracranial complication
of severe head injury. Journal of Neurosurgery
1992;77:901-907
19. Woratyla SP, Morgan AS, Mackay, Bernstein B,
Barba C. Factors associated with early onset
pneumonia in severly brain – injured patients. J.
Conn Med 1995;59:643-47
20. Berrouane Y, Daudenthum I, Riegel B, Emery
MN, Martin G., Early onset pneumonia in Neurosurgical intensive care unit patients. J Host
Infect 1998;40:275-80
21. Hsien AH, Bishop MJ, Kubilis PS, Newell DW,
Pierson DJ. Pneumonia folowing closed head
injury. J. Am Rev Respir Dis 1992;146:290-94
22. Rodriquez-Roldan JM, Altuna-Cuesta A, Lopez
A, Garcia J, Martinez LJ. Prevention of
nosocomial lung infection in ventilated patients:
use of an antimicrobial pharyngeal
nonabsorbable paste. J. Critical Care Medicine
1990;18:1239-42
1
LUARAN PASIEN DENGAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL
DAN INTRAVENTRIKULAR YANG DILAKUKAN VP-SHUNT EMERGENSI
OUTCOME OF PATIENTS WITH INTRACEREBRAL AND INTRAVENTRICULAR
HAEMORRHAGE AFTER AN EMERGENCY VP-SHUNT INSERTION
Zafrullah Khany Jasa*), Siti Chasnak Saleh**), Sri Rahardjo***)
*) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
**) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Airlangga – RSUD Dr.Soetomo Surabaya
***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Abstract
Background and Objective: Intraventricular and intracerebral haemorrhage is an acute condition that can
occurs spontaneously due to hypertension or rupture of aneurism, and also can be occurs as a result from
brain damage caused by trauma. Management in this acute condition can be done by either giving
particular drugs or through surgical procedures. The aim of surgical procedure is to reduce a sudden
increase of intracranial pressure as well as to evacuate hematome, in order to prevent functional neurology
disturbance and damage. By performing this management, intracranial pressure is expected to decrease,
and to reduce the risk of hydrocephalus resulted from an occlusion in brain ventricular system as one of the
complication of intracranial haemorrhage.
Subject and Method: Ventriculo-Peritoneal Shunt (VP-Shunt) was inserted during the first 72 hours after
the event in 8 patients with intraventricular and intracerebral haemorrhage due to stroke and trauma. Level of consciousness was assessed, by comparing the pre-operative and 72 hours post-operative using Glasgow
Coma Scale (GCS), and the patient outcome was also assessed.
Result: Six (75%) patients showed an increase GCS after VP-Shunt insertion, with 4 of them can be
discharged from the hospital, whilst 4 patients died due to other complications.
Conclusion: VP-Shunt insertion in acute condition in patients with intraventricular and intracerebral
haemorrhage is considered to be useful in accelerating the level of consciousness, even though the overall
outcome of the patients is not significantly different.
Keywords: intraventricular haemorrhage, intracerebral haemorrhage, Ventriculo-Peritoneal Shunt
JNI 2102;1(3):158-162
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Perdarahan intraventrikuler dan intraserebral merupakan kejadian akut yang
dapat timbul spontan terutama akibat hipertensi dan aneurisma yang pecah atau oleh karena cedera kepala
akibat trauma. Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan dapat berupa pemberian obat-obatan ataupun
tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi tekanan
intrakranial yang meningkat mendadak dan mengeluarkan hematoma untuk segera memperbaiki gangguan
fungsi dan mencegah kerusakan neurologis lebih berat. Tindakan ini diharapkan dapat menurunkan tekanan
intrakranial serta mengurangi resiko timbulnya hidrosefalus akibat tersumbatnya sistem ventrikel di otak
sebagai salah satu kompilkasi dari perdarahan intrakranial.
Subjek dan Metode: Telah dilakukan tindakan pemasangan Ventrikulo-Peritoneal Shunt (VP-Shunt) pada 8
orang pasien yang mengalami perdarahan intraventrikuler atau perdarahan intraserebral oleh karena stroke dan trauma dalam 72 jam pertama setelah timbulnya gejala. Dilakukan perbandingan terhadap GCS awal
sebelum operasi dan 72 jam setelah operasi serta luaran terhadap pasien terebut.
Hasil: Didapatkan bahwa 6 orang pasien (75%) terjadi peningkatan GCS setelah pemasangan VP-Shunt.
Dari pasien yang mengalami perbaikan GCS didapatkan selanjutnya 4 orang (50%) dipulangkan dan 4
pasien meninggal selama perawatan karena komplikasi.
Simpulan: Tindakan VP-Shunt pada keadaat akut terhadap pasien perdarahan intraventrikuler dan
intraserebral diduga dapat memperbaiki tingkat kesadaran meskipun luaran pasien tidak menunjukkan
perbedaan bermakna
Kata Kunci: Perdarahan Intraventikuler, Perdarahan Intraserebral, Ventrikulo-Peritoneal Shunt
JNI 2102;1(3):158-162
2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
I Pendahuluan
Perdarahan intraserebral (Intra Cerebral
Haemorrhage) atau ICH merupakan problem kesehatan utama diberbagai negara dengan
insiden bervariasi antara 10-30 dalam setiap
100.000 populasi dan 10-30% dari stroke yang
dibawa kerumah sakit. Angka kematian cukup
tinggi yaitu 50% dalam 30 hari dan separuhnya
meninggal dalam 24 jam pertama setelah
perdarahan awal. Lebih dari 40% kasus
perdarahan meluas sampai ke intraventrikuler
(Intra Ventriculer Haemorrhage) atau IVH yang
menimbulkan hidrosefalus obstruktif sehingga
memperburuk luaran.1-4
Lebih dari 85% ICH
timbul primer dari pecahnya pembuluh darah otak yang sebagian besar akibat hipertensi kronik
(65-70%) dan angiopathy amyloid. Sedangkan
penyebab sekunder timbulnya ICH dan IVH bisa
oleh karena berbagai hal yaitu gangguan
pembekuan darah, trauma, malformasi
arteriovenous, neoplasma intrakranial, trombosis
atau angioma vena.3
Morbiditas dan mortalitas ditentukan oleh
berbagai faktor, sebagian besar berupa hipertensi,
kenaikan tekanan intrakranial, luas dan lokasi
perdarahan, usia, serta gangguan metabolisme serta pembekuan darah. ICH merupakan kegawat
daruratan derajat pertama yang dapat dengan
segera menimbulkan kematian sehingga
diagnosis dan penatalaksanaannya perlu
dilakukan dengan segera. Penatalaksanaan awal
dilakukan sejak di unit gawat darurat yaitu
mempertahankan jalan nafas tetap bebas dan
optimalisasi oksigenasi segera. Gangguan
respirasi dan GCS awal rendah (<8) biasanya
membutuhkan tindakan intubasi segera. Tindakan
pada tahap awal adalah memberikan obat-obatan
yang mengendalikan tekanan darah sambil tetap mempertahankan perfusi otak, mengatasi
kenaikan tekanan intrakranial yang tinggi dan
mendadak, kontrol suhu dan mencegah kejang.5-7
Tindakan pembedahan dilakukan untuk
mengeluarkan hematoma melalui kraniotomi
evakuasi hematoma atau dengan extraventrikuler
drainage (EVD). Berbagai penelitian
menunjukkan hasil yang bermakna terhadap
perbaikan fungsi neurologis setelah tindakan
pembedahan dalam 72 jam setelah timbulnya
perdarahan. Pembedahan dapat mempertahankan kehidupan pada 96% kasus dibandingkan 81%
yang dapat dipertahankan hidup hanya dengan
terapi obat-obatan. Umur harapan hidup dalam 3
bulan juga lebih tinggi pada kasus yang dilakukan
tindakan pembedahan.6-8
Timbulnya IVH yang kemudian disertai
komplikasi hidrosefalus memperburuk luaran
pada ICH spontan. Hampir 50% dari kasus ICH timbul hidrosefalus terutama pada pasien yang
berusia lebih muda dan GCS yang lebih rendah.9-
10
Angka komplikasi hidrosefalus yang cukup tinggi
setelah kejadian perdarahan intraserebral serta
kenaikan tekanan intrakranial yang tinggi dapat
menimbulkan luaran yang lebih buruk sehingga
tindakan Ventricular-Peritoneal Shunt atau VP-
Shunt segera, berpeluang memperbaiki luaran.
II. Subjek dan Metode
Pasien penelitian adalah pasien dengan kasus
perdarahan intraserebral atau perdarahan intraventrikuler yang timbul spontan atau oleh
karena trauma dalam kurun waktu 3 bulan selama
Juli sampai September 2011 di Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Gambaran CT-Scan kepala awal dijumpai
perdarahan intraserebral atau perdarahan
intraventrikuler atau kombinasi keduanya
(Gambar-1). Pada 3 orang pasien diduga sudah
mulai dijumpai hidrosefalus. Setelah tindakan
resusitasi dan stabilisasi terhadap kondisi awal
pasien kemudian dalam 72 jam pertama dilakukan tindakan pembedahan yaitu
pemasangan VP-shunt segera. Tidak dilakukan
tindakan pembedahan lainnya terhadap lesi
intrakranial dan tidak didapat cedera di bagian
ditubuh lainnya (multi trauma).
Semua pasien dirawat di Unit Terapi Intesif
(Intensive Care Unit /ICU) setelah operasi dan
dilakukan pemberian obat-obatan untuk
mengatasi hipertensi, kenaikan tekanan
intrakranial, pengendalian kadar gula darah serta
masalah lainnya seperti gangguan elektrolit,
aritmia dan kenaikan suhu. Dilakukan observasi dan pencatatan data terhadap GCS awal sebelum
pembedahan, kemudian 72 jam setelah
pembedahan dan luaran pasien (angka
kehidupan).
III. Hasil
Selama waktu penelitian didapatkan 8 orang
pasien dengan perdarahan intraserebral dan atau
perdarahan intraventrikuler yang dilakukan
tindakan VP-Shunt dalam 72 jam pertama setelah
kejadian perdarahan. Hanya 3 orang pasien yang
diduga sudah timbul hidrosefalus sebelum dilakukan tindakan pembedahan. Pada pemerik-
saan awal dijumpai 4 pasien (50%) dengan GCS
8 atau lebih rendah, dan 4 pasien lainnya GCS
diatas 8 (Tabel 1).
3 Luaran Pasien dengan Perdarahan Intraserebral dan Intraventrikular yang dilakukan VP-Shunt Emergency
Tabel 1. Pemeriksaan GCS awal pasien
GCS Awal Jumlah %
≤ 8 4 50
> 8 4 50
GCS: Glasgow Coma Scale
Gambar 1: CT Scan Pasien ICH dan IVH sebaiknya dipisah dan diberi tanda dengan
nomor pasiennya dan diagnosa CT-scannya
Tabel 2. Perbaikan GCS setelah pemasangan VP-Shunt
GCS setelah pemasangan VP
Shunt
Jumlah %-ase
Meningkat 6 75
Tetap atau menurun 2 25
GCS: Glasgow Coma Scale
Hasil observasi terhadap perbaikan GCS
pascaoperasi dijumpai meningkat pada 6 orang
pasien (75%) setelah 72 jam pascapemasangan
VP-Shunt (Tabel 2). Pasien yang tidak mengalami
peningkatan GCS adalah dengan GCS awal dibawah 8 disertai komplikasi hiperglikemia,
hipertermia dan pneumonia yang diduga
berhubungan dengan pemakaian ventilator.
Tabel 3. Luaran pasien setelah pemasangan VP-Shunt
Luaran Pasien Jumlah %-ase
Pulang karena perbaikan 4 50
Meninggal 4 50
III. Pembahasan
Sebagian besar GCS awal pasien dengan
perdarahan intraserebral dan intraventrikuler
adalah 8 atau lebih rendah. Oleh karenanya
tindakan resusitasi pada tahap awal ditujukan
terutama terhadap mempertahankan jalan nafas dan pernafasan serta mengoptimalisasi perfusi
kardiovaskular untuk mencegah hipoksia dan
kenaikan tekanan intrakranial yang mendadak.
Pada tahap awal kejadian perdarahan
intraserebral dan intraventrikuler dengan GCS 8
atau kurang maka harus dilakukan intubasi
endotrakea serta bantuan ventilasi untuk
menurunkan kebutuhan metabolisme otak serta
mengontrol tekanan intrakranial. 3,4,7 Pasien pada
penelitian ini semuanya dilakukan intubasi dan
bantuan ventilasi segera pada GCS dibawah 8,
sedangkan 6 pasien setelah operasi pemasangan VP-Shunt tetap dipertahankan intubasi dan
bantuan ventilasi selama 24 jam pascaoperasi.
Kemudian pasien dinilai kembali setelah 24 jam
pemasangan VP-Shunt untuk dilakukan
penatalaksanaan lebih lanjut. Hampir semuanya
4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
dilakukan pembedahan dalam 24 jam pertama
setelah kejadian perdarahan dan hanya 1 orang
yang dilakukan setelah 24 jam tetapi masih
dibawah 72 jam pertama. Satu orang pasien
adalah pascaoperasi kraniotomi evakuasi tumor
dengan perburukan akibat komplikasi perdarahan intraserebral yang timbul setelah 24 jam
observasi di ICU.
Sangat sedikit penelitian sebelumnya yang dapat
menunjukkan gambaran perbedaan luaran pasien
dengan perdarahan intraserebral atau perdarahan
intraventrikuler yang dilakukan VP-Shunt segera
untuk komplikasi hidrosefalus yang sering timbul
setelah perdarahan akibat tersumbatnya sistem
ventrikel. Tindakan VP-Shunt diharapkan juga
mampu mengendalikan tekanan intrakranial yang
meningkat. Penelitian oleh Andrew Whitelaw
terhadap bayi dengan perdarahan intraventrikuler yang diberikan perbedaan terapi obat-obatan dan
dilakukan VP-Shunt pada semua pasien tidak
menunjukkan perbedaaan luaran yang berbeda.11
Dilaporkan 2 kasus terjadinya perdarahan
intraserebral setelah pemasangan VP-Shunt oleh
karena hidrosefalus meskipun hal ini jarang
sekali terjadi.12 Hasil observasi terhadap 6 pasien
yang mengalami perbaikan GCS menunjukkan
adanya manfaat tindakan VP-Shunt yang
dilakukan segera. Namun jumlah pasien yang
cukup besar mungkin diperlukan untuk menentukan manfaatnya secara lebih jelas.
Pasien yang dipulangkan karena mengalami
perbaikan adalah 4 orang (50%) dengan 2 orang
pulang GCS diatas 14 pada hari ke 7 dan 8
perawatan. Dua orang lainnya pulang setelah hari
ke 19 dan 21 paca perawatan dengan GCS waktu
pulang 9 dan 12. Semua pasien yang pulang
adalah yang mengalami peningkatan GCS setelah
dilakukan pemasangan VP-Shunt. Empat pasien
meninggal yaitu 2 pasien meninggal pada hari ke
5 rawatan, 1 orang hari ke 7 rawatan dan 1 orang
hari ke 17 rawatan (Tabel 3). Meskipun 2 orang pasien mengalami peningkatan GCS setelah
pemasangan VP-Shunt pada perawatan di ICU
mengalami perburukan oleh karena memiliki
predisposisi hipertensi dan diabetes mellitus serta
timbul komplikasi lebih lanjut yaitu pneumonia,
hiperglikemia dan hipertermia. Hal ini diduga
berhubungan dengan perawatan pasien selama
masa kritis di ICU, penggunaan antibiotika yang
adekuat serta terapi obat-obatan lainnya.
Penelitian terhadap 586 pasien di 30 negara
didapatkan bahwa mortalitas dalam 3 bulan pada
pasien dengan perdarahan intraserebral adalah
34%. Penelitian yang lain menunjukkan bahwa
pasien meninggal 31% pada hari ke 7, 59% dalam
1 tahun, 82% pada 10 tahun, dan 90% lebih
meninggal sampai 16 tahun kemudian. Suatu
studi observasional terhadap 25 pasien
perdarahan intraventrikel yang disertai
hidrosefalus obstruktif yang dilakukan evakuasi
perdarahan secara endoskopi menunjukkan
perbaikan hidrosefalus pada 24 pasien (96%).
Pada penelitian lainnya evakuasi perdarahan
intraventrikular secara endoskopi menunjukkan
angka perbaikan yang tinggi selama 2 bulan
kemudian dibandingkan dengan melakukan
tindakan drainase eksternal ventrikuler saja.1
Berbagai hasil penelitian diatas menunjukkan
bahwa bila tindakan VP-Shunt dilakukan secara
tepat maka luaran pasien dapat meningkat. Pada
observasi pasien penelitian dijumpai peningkatan
GCS yang bermakna pada 75% penderita
meskipun secara jumlah sampel penelitian masih
sangat kurang. Namun tindakan VP-Shunt yang
dilakukan terlihat bermanfaat untuk menaikkan
GCS pada awal perawatan pasien. Luaran yang
sama antara pasien yang mengalami perbaikan
dan akhirnya dipulangkan serta pasien yang
meninggal pada sampel penelitian diduga
dipengaruhi oleh mulitfaktor selama perawatan.
Perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan ulang
sehari setelah pemasangan VP-Shunt untuk
mengevalusi timbulnya komplikasi (meskipun
sangat jarang) perdarahan sekunder akibat
tindakan pemasangan kateter serta resolusi dari
hidrosefalus.12
Pemberian obat-obatan selama perawatan sangat
berpengaruh terhadap luaran pasien setelah
pemasangan VP-Shunt. Pemberian terapi
neuroprotektif, antikonvulsi, terapi homeostatik,
cairan, nutrisi, pengendalian kadar gula darah dan
suhu, pencegahan thrombosis serta pencegahan
peningkatan tekanan intrakranial merupakan
berbagai hal yang sangat kompleks dan saling
berperan dalam perawatan pasien pasca
perdarahan intraserebral dan intraventrikuler.1,2,5
Kombinasi berbagai terapi diatas sebenarnya
dapat diberikan namun membutuhkan biaya yang
cukup mahal sehingga menimbulkan masalah
utama pada pasien yang tidak mampu secara
ekonomi untuk membeli semua obat-obatan yang
dibutuhkan. Hal ini yang membuat luaran pasien
menjadi berbeda pada banyak penelitian
diberbagai negara.
IV. Simpulan
Pembedahan segera terhadap perdarahan
intraserebral dan atau perdarahan intraventrikel
yang dilakukan VP-Shunt segera dapat
memperbaiki derajat kesadaran dalam 72 pasca
tindakan. Hal ini dihubungkan dengan komplikasi
5 Luaran Pasien dengan Perdarahan Intraserebral dan Intraventrikular yang dilakukan VP-Shunt Emergency
hidrocephalus yang sering timbul setelah terjadi
perdarahan. Namun luaran pasien tidak
menunjukkan perbedaan bermakna. Hal ini
disebabkan komplikasi lainnya yang timbul
seperti pneumonia, hiperglikemia atau
hipertermia. Perlu dilakukan studi retrospektif
dalam kurun waktu lebih lama dengan jumlah
pasien yang lebih besar untuk lebih mempertegas
perlunya dilakukan tindakan VP-Shunt segera
pada perdarahan intraserebral atau intraventrikel.
Hasil observasi deskriptif ini dapat menjadi
bahan penelitian lebih lanjut untuk mencari bukti
manfaat tindakan VP-Shunt segera pada
perdarahan intraserebral dan perdarahan
intraventrikel.
Daftar Pustaka
1. Qureshi AI, Mendelow AD, Hanley DF.
Intracerebral haemorrhage. The Lancet 2009;
373: 1632-44
2. Mayer SA, Rincon F. Treatment of
intracerebral haemorrhage. The Lancet
Neurology 2005; 4: 662-74
3. Elliott J, Smith M. The acute management of
intracerebral hemorrhage: a clinical review.
Anesth Analg 2010; 110: 1419-27
4. Hanley DF. Intraventricular hemorrhage
severity factor and treatment target in
spontaneous intracerebral hemorrhage. AHA Journal; 2009:1533-9
5. Flower O, Smith M. The acute management
of intracerebral hemorrhage. Current Opinion
in Critical Care 2011; 17: 106-14
6. Naval NS, Nyquist PA, Carhuapoma JR.
Advances in the management of spontaneous
intracerebral hemorrhage. Critical Care
Clinics. 2007; 22: 607-17
7. Broderick JP, Adams HP, Barsan W,
Feinberg W. Guidelines of the management
of spontaneous intracerebral hemorraghe. Stroke. 1999; 30: 905-15
8. Rincon F, Mayer SA. Clinical review:
critical care management of spontaneous
intracerebral hemorrhage. Ciritical Care.
2008; 12: 237-52
9. Bhattathiri PS, Gregson B, Prasad KS.
Intraventricular hemorrhage and hydrocephalus after sponteous intracerebral
hemorrhage: results from the STICH trial.
Acta Neurochirurgica. 2006; 96: 65-8
10. Diringer MN, Edwards DF, Zazulia AR.
Hydrocephalus: a previously unrecognized
predictor of poor outcome from
supratentorial intracerebral hemorrhage.
Stroke. 1998; 29: 1352-7
11. Whitelaw A, Evans D, Carter apa??.
Randomized Clinical Trial of prevention of
hydrocephalus after intraventricular
hemorrhage in preterm infants: brain washing versus tapping fluid. Pediatrics.
2007; 119(5):
12. Zhou F, Liu Q, Ying G. Delayed
intracerebral hemorrhage secondary to
ventriculoperitoneal shunt: two case reports
and a literature review. International Journal
of Medical Sciences. 2012; 9(1): 65-7
1
PENATALAKSANAAN CEDERA OTAK PADA ANAK
MANAGEMENT OF BRAIN TRAUMA IN CHILDREN
Muhammad AR *), Nazaruddin Umar *), Siti Chasnak Saleh **)
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU /RSUP. H. Adam Malik Medan – Sumut
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unair/RS Dr. Soetomo-Surabaya
Abstract
Head trauma (TBI) in children is a particular problem in neuroanestesi. There are differences in anatomy, physiology and psychosocial, as well as children who are experiencing brain development / growth. In the event
of trauma will cause mortality and morbidity and a higher rate, which is very influential in the development of
children. Skull fracture, epidural hemorrhage, subdural and intracerebral, brain edema may lead to an effect on
growth and other organ.
A boy, 4 years 10 months, admitted to hospital with the experience a decrease in consciousness after falling from
a vehicle due to traffic accidents. Come to the hospital approximately 6 hours after the accident, previously
treated in nearly hospitals. On examination 10 obtained GCS, pupillary light reflex isocoor 2/2mm + / +,
hemodynamics in the normal range, anemia (+). After a physical examination and was diagnosed with an
additional examination brain damage due to trauma (GCS 10) + obtained frontoparietal bone fracture open
fracture of the right frontal bone fracture + left + contusio hemorrhagic + anemia. Surgical debridement and
correction of the broken bone fragments under general anesthesia. Post surgery patients cared for in ICUs with increased awareness, things got better. Then the patient at discharge after 15 days.
Anesthesia management in head trauma the child has special problems that are different from adults. It is
necessary to an understanding of the anatomy, physiology and psychology are both in preparation and stylists
specifically so as to prevent or reduce the likelihood of postsurgery complications.
Keywords: Head Trauma, Anesthesia in children, Anemia
JNI 2102;1(3):163-169
Abstrak
Trauma kepala (TBI) pada anak merupakan suatu problem khusus dalam neuroanestesi. Terdapat perbedaan anatomi, fisiologi dan fisikososial, disamping otak anak yang sedang mengalami perkembangan/pertumbuhan.
Bila terjadi trauma akan menyebabkan angka mortalitas dan morbilitas serta angka kecatatan yang lebih tinggi,
yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Patah tulang kepala, perdarahan epidural, subdural dan
intracerebral, edema otak akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan berefek pada organ-organ lain.
Seorang anak laki-laki, 4 tahun 10 bulan, datang ke RS dengan mengalami penurunan kesadaran setelah terjatuh
dari kendaraan karena kecelakaan lalu lintas. Datang ke rumah sakit lebih kurang 6 jam setelah kecelakaan,
sebelumnya dirawat di rumah sakit terdekat. Pada pemeriksaan didapat GCS 10, pupil isokor 2/2mm, reflek
cahaya +/+, hemodinamik dalam batas normal, anemia (+). Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan didiagnosa kerusakan otak karena trauma (GCS 10) + didapatkan fraktur terbuka tulang frontoparietal
kanan + fraktur tulang frontal kiri kontusio hemorrhagik + anemia. Dilakukan operasi debridemen dan koreksi
fragmen tulang yang patah dengan bantuan anestesi umum. Pascabedah pasien di rawat di ICU dengan kesadaran
meningkat, keadaan membaik. Kemudian pasien di pulangkan setelah 15 hari perawatan. Penanganan anestesi pada trauma kepala anak mempunyai problem khusus yang berbeda dengan dewasa, maka
perlu pemahaman tentang anatomi, fisiologi dan psikologi yang baik dalam persiapan dan penatalaksanaan yang
khusus sehingga dapat mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit-penyulit post operasi.
Kata Kunci : Trauma Kepala, Anestesi pada anak, Anemia
JNI 2102;1(3):163-169
I. Pendahuluan
Trauma kepala pada anak sering menyebabkan
kematian dan kecacatan, kecacatan akan
mempengaruhi tumbuh kembangnya anak baik fisik
maupun mental dikemudian hari. Adanya
perbedaan anatomi fisiologi dan psikososial akan
menjadi masalah khusus pada penanganan trauma
2
pada anak khususnya trauma kepala baik penatalaksanaan sebelum, selama dan setelah
operasi.1,2 Trauma multipel pada anak sering
mengenai kepala. Kematian trauma pada anak
sering disebabkan trauma kepala. Akibat terjatuh,
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan ditempat bermain
dan lain-lain sering menyebabkan trauma kepala
pada anak.3-5 Trauma kepala pada anak bisa
disebabkan oleh satu injuri atau kombinasi berbagai
injuri di kepala berupa luka pada kulit kepala,
fraktur tulang tempurung kepala, fraktur tulang
dasar tengkorak, kontusio serebri, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, hematom
epidural, hematom subdural, perdarahan
intraventrikular, trauma tembus dan trauma aksonal
menyeluruh.4,5
Sasaran dari penanganan pasien dengan trauma
kepala adalah mengenal dan menangani secepatnya
keadaan yang mengancam jiwa, dan mencegah atau
meminimumkan terjadinya kerusakan otak
sekunder (ABCDE neuroanestesi), 10-15% trauma
kepala menyebabkan kematian anak sebesar 50%.
Penanganan dalam hal ini bertujuan untuk
membatasi berlanjutnya cedera primer dan mencegah atau meminimalkan cedera sekunder.3-5
II. Kasus
Anak laki-laki, umur 4 tahun 10 bulan, berat badan
22 kg, datang dengan penurunan kesadaran. Hal ini
dialami pasien sejak setelah terjatuh dari sepeda
motor karena kecelakaan lalu lintas, sepeda motor
yang ditumpangi korban ditabrak oleh mobil
angkutan umum ± 5 jam sebelum masuk rumah
sakit, awalnya pasien dirawat dirumah sakit
terdekat (rumah sakit Pertamina Pangkalan Brandan Sumut) ± 100 km dari Medan, karena kekurangan
fasilitas kemudian pasien dirujuk ke rumah sakit di
Medan dengan menempuh jalan darat 2-3 jam
perjalanan dengan menggunakan mobil ambulan.
Pasien tiba di rumah sakit Medan ± 5 jam setelah
kejadian. Riwayat penyakit terdahulu tidak
dijumpai, pengobatan yang telah diberikan dirumah
sakit Pertamina oksigen 2-3 l/menit selang-hidung,
infus Ringer asetat diguyur 1500cc, kemudian
dilanjutkan dengan 10 tetes/menit, antibiotika
Cefotaxim 300 mg intravena, Ranitidin ½ ampul
intravena, Ketorolac 15 mg intravena, Asam tranexcanat ½ ampul intravena, Tetanus toxoid 0,5
cc.
Pemeriksaan fisik:
Nafas spontan, jalan nafas bebas, Malampati I, laju
nafas 20x/menit, nafas teratur, suara nafas
tambahan tidak dijumpai, gerak nafas tidak
dijumpai, saturasi oksigen 100%, tekanan darah
110/70 mm Hg, laju nadi 96x/menit, perfusi pucat hangat kering, suara jantung 1 dan 2 tunggal teratur
suara tambahan tidak dijumpai. Kesadaran GCS 10,
pupil isokor 2/2 mm, reflek cahaya +/+, tidak
dijumpai lateralisasi. Saluran makanan, saluran
kemih, dan alat gerak dalam batas normal. Tidak
dijumpai trauma ditempat lain. Kepala dibalut
perban tampak berwarna kemerahan.
Pemeriksaan laboratorium:
Hemoglobin 8,3 gr/dl, Ht 25% (dirumah sakit
Pertamina). Hb 6,3 gr/dl, Ht 18% (dirumah sakit
Medan), trombosit 277000/ mm3, Natrium 134 mmol/L, Kalium 3,8 mmol/L, Cl 106 mmol/L. CT
Scan kepala: perdarahan subaraknoid didaerah
frontal kiri-kanan dan parietal kanan, juga tampak
fraktur impressi dari tulang parietal kanan, dan
fraktur tulang frontal kiri + edema serebri. Foto
Ronsen dada: jantung dan paru dalam batas normal
tidak tampak patah tulang rusuk dan tidak tampak
pneumotorak. Diagnosa: Traumatic brain injury
GCS 10 + Fraktur terbuka impressi tulang parietal
kanan dan fraktur tertutup tulang prontal kiri +
perdarahan subaraknoid didaerah frontal kiri-kanan
dan parital kanan + edema cerebri + anemia. Rencana tindakan: Operasi debridemen dan koreksi
fragmen tulang yang patah. Masalah :
a. Cedera otak traumatika dengan tekanan
intrakranial yang meningkat
b. Anak-anak
c. Anemia
Gambar Preoperasi
3
Gambar CT Scan :
Penatalaksanaan Anestesi
1. Persiapan
Penjelasan ke keluarga tentang rencana dan tujuan
tindakan operasi, prognosa dan komplikasi yang
mungkin terjadi, pembuatan izin operasi.
Persiapan darah: WB dan PRC, kamar operasi alat
dan obat-obatan, ICU: alat monitoring ventilator
bila perlu.
2.Prosedur Anestesi
Jalur intravena sudah terpasang di vena radialis kiri
sejak dari RS Pertamina dengan infus NaCl 0,9 %,
ditambah 1 jalur intravena lagi ditempat lain untuk rencana tranfusi. Dipasang alat monitor tekanan
darah non-invasif, denyut jantung, saturasi oksigen,
EKG, precordial stetoskop, kateter urine, Et CO2.
Posisi terlentang, kepala ditinggikan 150.
Induksi: diberikan preoksigenasi 100% O2,
Fentanyl 25 µg, midazolam 2,5 mg, propofol 50
mg, rocuronium 20 mg, lidokain 2% 30 mg
intravena, dilakukan ventilasi dengan O2 100%.
Intubasi: - Pipa endotrakheal no 5, non kinking,
cuff, dipasang tampon.
Pemeliharaan Anestesi :
Sevofluran 0,5 – 1,5 % + O2 5 L/menit + N2O 2
L/menit (tidak tersedia udara tekan), kontrol
Ventilasi dengan target normokapnia. Manitol
20 % sebanyak 50 cc diberikan dalam 20 menit
sebelum insisi kulit. Operasi berlangsung 2 jam 30
menit dengan monitoring selama operasi sebagai
berikut :
Tekanan Darah : 100 – 120 / 60 – 70 mmHg, Laju
Jantung: 80 – 100 kali per menit, Saturasi oksigen:
96 – 100 %, Entidal CO2: 32 – 37 mmHg
Gambar Monitoring Selama operasi
Gambar Lapangan Operasi
Pendarahan: ± 500 cc lama dan baru, Urine 750 cc,
Cairan masuk: NaCl 0,9 % 1000 cc, Manitol 20 %
50 cc, Koloid (berupa hydroxyl ethyl starch) 200
cc, Darah WB 750 cc, Darah PRC 250 cc
Pascabedah
Setelah operasi pasien dipindahkan ke ICU nafas
spontan dengan ETT.
Hari pertama pascabedah dini: Laju nafas 20
kali/menit, SpO2 100 %, suara nafas tambahan tidak
dijumpai, tekanan darah 110/60 mmHg, laju nadi
88/mnt, perfusi hangat, kering, pucat, kesadaran
belum bisa dinilai, Hb: 8,9 gr/dl, Ht: 26, Leukosit:
14400/mm3, Trombosit 253000/mm3, Na: 134, K:
4,2, Cl: 106
Terapi: kepala ditinggikan 15o, infus NaCl 0,9 % 10
tetes/mnt, tranfusi PRC 250 cc 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, proteksi otak, Vit C,
fentanil 200 µg + midazolam 15 mg dilarutkan
dalam 50 cc NaCl 0,9 %, diberikan 2 cc perjam
dengan syringe pump.
4 Jam pascabedah: nafas spontan, laju nafas 18 kali,
tidak ada suara tambahan, tekanan darah 120/70
mmHg, Nadi 88 kali/menit, SpO2 99 %, GCS: 3x4,
pupil isokor 2/2 mm, lateralisasi (-), Hb: 11,3 gr/dl,
4
Ht: 34%, Leukosit: 8700/mm3, Trombosit: 211000/mm3. Dilakukan ektubasi.
Selanjutnya evaluasi dan terapi hari kedua dan
seterusnya seperti terlihat pada tabel berikut:
Hari Pemeriksaan Penilaian Perencanaan
II GCS 345.
Pupil Isokor, 2/2, RC + / +, Lateralisasi Ө, Laju nafas 18 kali/mnt, SpO2 100 %, Tekanan darah 115/70, Nadi 85 kali,
perfusi baik, demam (-), urine cukup. Hb 12,4 gr/dl, Ht 36 %
Ada
perbaikan
infus NaCl 0,9 %
10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, fentanil 200 µg + midazolam 15 mg dilarutkan dalam 50 cc NaCl 0,9 %, diberikan 2 cc
perjam dengan syring pump
III 08.00
18.00
GCS 445. Pupil Isokor,
RC +/+, Lateralisasi (-), laju nafas 18 kali/mnt, SpO2 100 %, tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi
88 kali, perfusi baik, urine cukup. GCS 445, pupil isokor 2/2, Reflek cahaya +/+,
lateralisasi (-) → Kejang-kejang (+) → 3x Laju nafas 18x/mnt, SpO2 100%, Tensi 110/70, nadi 86x/mnt,
perfusi baik, urine cukup, temperatur 38,50C, Na 121 mmol/L, Kalium 4,5 mmol/L, Cl :36
mmol/L, kadar gula darah 104 miftal,
Ada perbaikan
Kejang-kejang
3x, Demam (+) Hyponatremia
Terapi : infus NaCl 0,9 %
10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, Fentanyl+Midazolam, dikurangi bertahap, habis stop.
Terapi tambahan: Stesolid rectal 5 mg, Phenitoin 1/3
ampul per 8 jam Totilac 50 cc dalam 15 menit kemudian dilanjutkan 1 cc per jam syring pump Dilantin :
Novalgin 300 mg intravena k/p Paracetamol Inj 500 mg kp Koreksi Na → NaCl 3% 150cc dalam 24 jam
pencukupan gas darah :PH 7,374, PCO2 40, HCO 323,8, LCO2 tabel 25,2, LBE 3,3, SpO2 98%
IV Kejang-kejang (+), GCS 445, pupil isokor 2/2, RC +/+, laju nafas 18 kali/mnt, tekanan
darah : 100/70, Laju nadi 96 kali, SpO2: 98 %, Temp. 36,80C, urine cukup
Kejang-kejang (+) Demam (-)
infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, Fentanyl stop, Midazolam dikurangi bertahap, habis
stop. Stesolid rectal 5 mg, Phenitoin 1/3 ampul per 8 jam Totilac 50 cc dalam 15 menit
kemudian dilanjutkan 1 cc per jam syringe pump Dilantin: Novalgin 300 mg intravena k/p Paracetamol Inj
500 mg kp
V Kejang-kejang (-) GCS 456 pupil isokor 2/2 , RC +/+, lateralisasi (), Na 135, nafas
18x/mnt,SpO2 99%, K = 3,8, Cl = 106, tekanan darah 110/60, nafas 80x/mnt, temp 36,70C
Kesadaran membaik Kejang-kejang (-) Demam (-)
Terapi: infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, Stesolid rectal 5
mg, Phenitoin 1/3 ampul per 8 jam Totilac stop Propofol stop Dilantin 30 mg Oral/8jam + B6 Pulv
VI s/d VIII
Sadar baik Nafas normal Hemodinamil stabil Urine cukup
infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, Stesolid rectal 5 mg,
Phenitoin 1/3 ampul per 8 jam Dilantin 30 mg Oral/8jam + B6 Pulv
5
IX s/d XV
Pindah Ruang Sadar baik nafas normal Hemodinamik stabil Urine cukup Kejang-
kejang (-) Demam (-)
infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik stop, anti pendarahan stop, Vit C stop, Stesolid rectal 5 mg,
Phenitoin stop ampul per 8 jam Dilantin 30 mg Oral/8jam + B6 Pulv
Dipulangkan
III. Pembahasan
Adanya perbedaan anatomi, fisiologi, dan
psikososial pada anak, menyebabkan perbedaan
dalam penanganan baik pada pemeriksaan,
penegakkan diagnosa, penggunaan alat-alat dan
obat-obatan, sehingga menjadi suatu masalah
khusus dalam neuroanestesi.1,3,4 Perbedaan-
perbedaan tersebut dapat menyebabkan pada anak
lebih mudah terjadi2,3,9 trauma kepala karena kepala
lebih besar dibandingkan dengan badan yang secara
gravitasi kepala lebih duluan kena benturan, tulang
kepala lebih tipis yang mengurangi proteksi isi
tengkorak. Jaringan neural yang sedikit mengandung mielin yang menyebabkan jaringan
saraf mudah rusak, pada anak lebih sering terjadi
injuri yang diffus dan edema otak, dan peningkatan
tekanan intrakranial lebih mudah terjadi. Dilihat
dari segi fisiologi dan metabolisme: CMRO2,
aliran darah otak dan autoregulasi serebral. CMRO2
pada anak 5,8 ml/100 gr jaringan/mnt, lebih tinggi
daripada dewasa 3,5 ml/100 gr jaringan/mnt,
sedangkan kebutuhan glukosa pada anak 6,8 ml/100
gr jaringan/mnt yang lebih tinggi dari perbandingan
dewasa yaitu 5,5 ml/100 gr jaringan/mnt, aliran darah otak berubah menurut umur pada anak 3
sampai 12 tahun. Aliran darah otak 100 ml/100 gr
jaringan/mnt lebih tinggi dari dewasa sekitar 53
ml/100 gr jaringan/mnt, dari hal di atas pada anak
lebih cepat terjadinya iskemik dan hiperemia
jaringan otak.3 Disamping juga terdapat perbedaan
dalam fisiologi respirasi dan sirkulasi pada anestesi
anak umumnya. Dalam hal perbedaan tersebut
diatas maka pengelolaan trauma kepala pada anak
haruslah kita mengikuti/menyesuaikan dengan hal-
hal tersebut diatas, baik pada pemeriksaan atau
penanganan sebelum, selama dan setelah operasi. Pecahnya tulang kepala pada anak dapat
disebabkan oleh bermacam sebab seperti trauma
lahir kecelakaan lalu lintas trauma di tempat
bermain kecelakaan rumah tangga. Fragmen tulang
yang patah dapat menekan jaringan otak, terbukanya rongga kepala ataupun dapat berupa
fraktur tulang dasar tengkorak, ini akan
meningkatkan angka kematian dan kecacatan.7
Bentuk cedera lain dari trauma kepala pada anak
dapat berupa hematom epidural, subdural dan
intraserebral, kontusio serebri dan edema serebri
yang semuanya akan meningkatkan tekanan
intrakranial.
Penilaian sebelum operasi sangat terbantu dengan
pemeriksaan CT-scan sehingga dapat menilai
kerusakan-kerusakan jaringan otak yang terjadi dan tanda-tanda peningkatan intrakranial. Glasgow
Coma Scale (GCS) Skor (GCS yang dimodifikasi
untuk anak umumnya dapat digunakan untuk
penilaian status neurologis, yang tabelnya dapat
dilihat dibawah ini.6
Tabel 1. Skala Koma Glasgow pada Anak: Buka
mata
Nilai ≥1 Tahun 0-1 Tahun
4 Buka mata secara spontan
Buka mata secara spontan
3 Buka mata atas
perintah suara
Buka mata atas
perintah seruan
2 Buka mata atas respon nyeri
Buka mata atas respon nyeri
1 Tidak ada respon Tidak ada respon Dikutip dari: Stock R.
6
Tabel 2. Skala Koma Glasgow pada Anak: Gerakan
Motorik
Nilai ≥1 Tahun 0-1 Tahun
6 Mengikuti Perintah Mengikuti Perintah
5 Dapat melokalisasi nyeri
Dapat melokalisasi nyeri
4 Gerakan Fleksi Gerakan Fleksi
3 Fleksi Abnormal Fleksi Abnormal
2 Gerakan Ekstensi Gerakan Ekstensi
1 Tidak ada respon Tidak ada respon Dikutip dari: Stock R.
6
6
Tabel 3. Skala Koma Glasgow pada Anak: Respon Suara
Nilai > 5 Tahun 2-5 Tahun 0-2 Tahun
5 Berkomunikasi dan berorientasi dengan baik
Berkata-kata yang sesuai
Bersuara yang sesuai
4 Berkomunikasi secara membingungka
n
Berkata-kata yang tidak sesuai
Hanya bersuara
3 Berkata-kata yang tidak sesuai
Hanya bersuara
Bersuara yang tidak sesuai
2 Hanya mengeluarkan suara
Mendengkur
mendengkur
1 Tidak ada
respon
Tidak ada
respon
Tidak ada
respon
Dikutip dari: Stock R.6
Pengelolaan jalan nafas merupakan hal yang sangat
penting dalam penanganan awal dari trauma kepala
pada anak, yang merupakan bagian dari ABCDE
neuroanestesi. Anak dengan kesadaran GCS diatas
10 dengan pernafasan yang adequat dan
hemodinamik yang stabil dapat dilakukan
pembebasan jalan nafas dengan cara sederhana
dengan jaw-thrust manuver dan pemasangan jalan nafas oro/naso airway bila GCS < 9 perlu dilakukan
intubasi trakhea.2
Semua obat intravena untuk induksi seperti
barbiturat, etomidat, propofol dapat digunakan
untuk memfasilitasi intubasi trakhea, berpotensi
terjadinya vasokonstriksi serebral, menurunkan
aliran darah otak dan CMRO2 dan dapat
menurunkan tekanan intrakranial.3-5,8 Opoid dan
benzodiazepam dapat diberikan untuk memfasilitasi
intubasi tetapi harus dengan dosis kecil. Lidokain
umumnya diberikan sebagai obat anestesi tambahan
untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh rangsangan laringoskop dan
intubasi trakheal.2-5,8 Semua obat inhalasi
menyebabkan vasodilatasi serebral. Tetapi
penggunaan sevofluran dengan konsentrasi kurang
dari 1 MAC tidak akan meningkatkan aliran darah
otak dibandingkan dengan anestetika inhalasi lain,
oleh sebab itu sevofluran lebih sering digunakan
dibandingkan dengan isofluran, desfluran atau
halotan pada trauma kepala anak.2,3 N2O dapat
meningkatkan tekanan intakranial Namun terpaksa
digunakan untuk mencampur oksigen bila dikamar operasi tidak tersedia udara tekan untuk mencegah
oksigen intoksikasi pada penggunaan oksigen 100%
dalam waktu lama.5,10,11 Obat pelumpuh otot sedikit
memberi efek pada sirkulasi otak. Jalan infus intravena harus adequat untuk memasukkan
kebutuhan cairan intravena. Pada anak hipovolemia
dapat terjadi pada trauma atau luka robek dikepala.
Cairan isotonik pada umumnya dapat digunakan
selama anestesi dan untuk resusitasi serebral, cairan
hipotonik harus dihindari dan cairan koloid masih
dalam perdebatan, hipertonik salin 0,1-1ml/kg berat
badan dapat digunakan untuk menurunkan tekanan
intrakranial dan meningkatkan tekanan perfusi otak.
Monitoring rutin seperti precordial stetoskop,
tekanan darah non invasif, laju nadi, temperatur, EKG, SpO2, ETCO2, kateter urine, dan bila perlu
dengan keadaan tertentu invasif monitoring harus
digunakan. Kontrol tekanan intrakanial harus
dilakukan sampai selesai operasi, pasien di
masukkan ke ICU kalau perlu pasien ditidurkan dan
kontrol ventilasi apabila ada indikasi.2,5,8
Pada hari ke-3 dimana pasien mengalami kejang
selain diberikan anti kejang yang umum juga
diberikan Hypertonic Lactate Solution 0,5 M
(Totilac) suatu diuretik osmotik dengan tujuan
untuk menarik cairan dari jaringan otak
(mengurangi edema otak). Pada hari-2 setelah ventilator dilepaskan masih diberikan fentanyl -
midazolam namun dengan dosis dikurangi bertahap
dan digantikan dengan analgetik non narkotik
dimana pasien tetap diawasi ICU.
IV. Simpulan
Penanganan anestesi pada cedera otak tramatika
anak mempunyai masalah khusus yang
membutuhkan pengetahuan tentang anatomi,
fisiologi dan psikososial dari anak. Pada kasus ini
telah dilakukan penanganan dengan berbagai kekurangan baik alat, obat dan fasilitas yang ada,
dengan hasil akhir pasien membaik dan dapat
dipulangkan dengan keadaan dapat berjalan.
Untuk penanganan pasien yang akan datang, agar
penangganannya lebih baik perlu didalami
pengetahuan dan penataan alat dan berbagai
fasilitas untuk keperluan penanganan trauma pada
anak, agar dapat diperoleh hasil yang lebih baik
lagi.
Daftar Pustaka
1. Gilder F, Turner JM. Principles of Paediatric Neuroanaesthesia. Dalam: Matta BF, Menon
DK, Turner JM, eds. Textbook of
Neuroanaesthesia and Critical Care, 1st ed.
London: Greenwich Medial Media LTP; 2000,
227-38.
7
2. Vavilala MS, Chestnut R. Anesthesia Considerations for Pediatric neuroanesthesia.
Dalam: Gupta AK, Gels AW, eds. Essential of
Neuroanesthesia and Neurointensive Care, 1th
ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008,192-
201
3. Hobbs AJ, Stirt JA. Pediatric Neuroanesthesia.
Dalam: Sperry RS, Stirt JA, Stone AJ, eds.
Manual of Neuroanesthesia, 1st ed.
Philadelphia: Pensyvania, 1989; 183-204
4. Newfield P, Field LH, Hamid RKA. Pediatric
neuroanesthesia. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed.
Philadelhia: Lippincot William & Wilkins;
2007, 256-77
5. Newfield P, Field LH, Hamid RKA. Pediatric
neuroanesthesia. Dalam: Newfield P, Cottrell
JE, Smith DS, eds. Anesthesia and
Neurosurgery, 4th ed, Philadelphia: Mosby;
2001, 501-29
6. Stock R. Pediatric Head Trauma. Dalam:
Corden TE, ed. Medscape reference, Updated;
November 1; 2011
7. Su F. Traumatic Brain Injury in Children. Dalam: Corden TE, ed. Medscape Reference;
updated November 2; 2011.
8. Soriano SG, McManus ML. Pediatric
neuroanesthesia and critical Care.
Dalam:Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell
and Young’s Neuroanesthesia, 5th ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, 327-42
9. Soriono SG, Eldred GE, Rockoff MA.
Pediatric Neuro Anesthesia. Anesthesiology
Clinic of North America 20 (2002), 389-404.
10. Hinz CP, Destch O, Hackher C, Kocks E. Coresponding minimum alveolar concentration
of isoflurane and isoflurane / nitrous oxide
have divergent effects on thalamic nociceptive
signaling. Br J Anaesthesia; February 2007 ; 98
(2), 228 – 35.
11. Smith EW, Karsli C, Luginbuehl l, Bissonnette
B. Effect of nitrous oxide on cerebrovacular
reactivity to carbon dioxida in children during
sevoflurane anaesthesia. Br. J Anaesth 2003 ;
91 (2):190-5.
PENANGANAN ANESTESI WANITA HAMIL UNTUK KRANIOTOMI
EMERGENSI HEMATOMA SUBDURAL
ANESTHETIC MANAGEMENT OF PREGNANT WOMAN FOR EMERGENCY
CRANIOTOMY SUBDURAL HEMATOMA
Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RS. Hasan Sadikin -Bandung
Abstract
Trauma during pregnancy, including head injury, is the leading cause of accidental maternal death and
morbidity, and complicates 6%-7% of all pregnancies which requires multidisciplinary patient’s management.
The anesthesiologist must understand the physiological changes of pregnancy, their implications, and the
specific risks of anesthesia during pregnancy, so that the best anesthetic approach can be performed. The unique
physiologic changes of pregnancy, particularly on the cardiovascular system, are both have advantage and
disadvantage after acute traumatic injury.
We reported a 28 years old parturient patient at 27-28 weeks of pregnancy who was admitted to emergency
department due to motorcycle accident with Glasgow Coma Scale (GCS) of E1M4Vt, Blood Pressure 130/70
mmHg, Heart Rate 72 x/minute, Respiratory Rate 16 x/minute.The patient was already intubated using an
endotracheal tube no.6.5, the pupils were equal, round and still reactive to light stimulation, fetal heart rate
(FHR) was 140-144 x/minute, and head computed tomography scan showed right temporoparietal subdural hematoma. Endotracheal anesthesia was given with isoflurane, oxygen/air, with implementation of standard
monitors and Doppler for FHR.
The main aim of a neurosurgical intervention in a pregnant woman is to preserve the viability of both the mother
and the infant. The main goal in the management of anesthesia for pregnant woman undergoing a non-obstetric
surgery is to maintain the uteroplacental perfusion. The role of a multidisciplinary team in the care of high risk
parturient patients cannot be avoided.
Key word: pregnant woman, neuroanesthesia, traumatic brain injury, subdural hematoma.
JNI 2102;1(3):170-177
Abstrak
Trauma selama kehamilan, termasuk cedera kepala, adalah penyebab morbiditas dan kematian ibu akibat
kecelakaan dan merupakan 6%-7% penyulit dari keseluruhan kehamilan dan pengelolaan pasien harus
multidisiplin. Spesialis anestesiologi harus memahami perubahan fisiologi pada wanita hamil, implikasinya, dan
risiko khusus pemberian anestesi selama kehamilan sehingga dapat dibuat perencaan penanganannya. Perubahan
fisiologi yang unik dari kehamilan, terutama sistem kardiovaskuler, mempunyai keuntungan dan kerugian
setelah trauma.
Kami melaporkan seorang pasien, umur 28 tahun, dengan umur kehamilam 27-28 minggu masuk ke departemen
emergensi akibat kecelakaan sepeda motor dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E1M4Vt, tekanan darah 130/70
mmHg, laju nadi 72 x/menit, laju nafas 16 x/menit, telah diintubasi dengan pipa endotrakhea no.6.5, pupil
isokor, refleks cahaya positif, laju jantung fetus 140-144 x/menit, dan hasil CT-scan menunjukkan adanya
subdural hematoma temporoparietal kanan. Anestesia endotrakheal dengan isofluran, oksigen/udara dengan monitor standar dan Doppler untuk memantau laju jantung fetus.
Tujuan utama intervensi bedah saraf pada wanita hamil adalah adalah untuk kelangsungan hidup ibu dan anak.
Sasaran utama penanganan anestesi untuk wanita hamil yang tidak dilakukan operasi obstetri adalah
mempertahankan perfusi uteroplasenta. Peranan tim multidisiplin dalam penanganan pasien parturien dengan
risiko tinggi tidak dapat diremehkan
Kata kunci: wanita hamil, neuroanestesi, cedera otak traumatik, hematoma subdura.
JNI 2102;1(3):170-177
I. Pendahuluan
Trauma selama kehamilan, termasuk cedera kepala,
adalah penyebab morbiditas dan kematian ibu
akibat kecelakaan, dan merupakan 6%-7% dari
penyulit keseluruhan kehamilan.1 Trauma di-
hubungkan dengan keguguran dalam trimester
pertama, kelahiran prematur, ruptur membran
prematur, abrupsio plasenta, ruptur uterus, dan
kelahiran mati. 2,3
Penyebab trauma pada kehamilan antara lain
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, penyerang-an, pembunuhan, kekerasan dirumah, dan luka
penetrasi. Kecelakaan kendaraan bermotor
merupakan kontributor terbanyak pada kematian
ibu dan janin akibat trauma. Fetal loss terjadi pada
0,03–0,09% kejadian trauma ibu. 3
Cedera otak traumatik pada wanita hamil mungkin
disertai trauma ditempat lain dan resusitasi dini
yang agresif pada ibu juga menghasilkan resusitasi
pada fetus. Bila ada indikasi intubasi endotrakheal
dan ventilasi, harus digunakan rapid sequence
induction (RSI) dengan pentotal atau propofol
dengan succinylcholin. Untuk menghindari kompresi vena cava, setelah 20 minggu kehamilan
harus dilakukan left lateral tilt dari keseluruhan
tubuh pasien, karena mengganjal panggul saja akan
mengakibatkan tidak stabilnya columna vertebralis. 1 Difficult intubation ditemukan pada 1 dalam 300
wanita hamil. Walaupun tidak ada konsensus
metode terbaik untuk pasien dengan cervical-spine
injury, teknik fiberoptik mungkin lebih
memungkinkan pada wanita hamil dengan cervical-
spine injury karena adanya tambahan kesulitan
yaitu adanya kehamilan dan tidak stabilnya leher.1
Pengelolaan optimal memerlukan pengertian
fisiologi maternal dan fetal, perubahan
farmakodinamik dan farmakokinetik obat, dan
pendekatan yang sensitif terhadap pasien. Penyebab
utama kematian fetal adalah akibat kematian ibu,
diikuti dengan abrupsio plasenta. Pengelolaan
pasien harus multidisiplin dan spesialis
anestesiologi harus memahami perubahan fisiologi
pada kehamilan, implikasinya, dan risiko spesifik
dari anestesia selama kehamilan, sehingga dapat
dirancang cara pengelolaan pasien yang baik.1,4
Perubahan fisiologik yang unik pada kehamilan, terutama pada susunan saraf pusat, sistim respirasi,
kardiovaskuler, hematologik, gastrointestinal dapat
mempengaruhi teknik dan obat anestesi yang biasa
diberikan pada pasien dengan cedera kepala.5 Pada
sistem kardiovaskuler, setelah kejadian cedera
trauma akut, perubahan fisiologik ini dapat
menguntungkan atau merugikan. Peningkatan
fisiologik dalam volume darah dapat memberikan
proteksi setelah cedera yang mana darah dialirkan
ke organ vital. Akan tetapi, perubahan dalam laju
jantung dan tekanan darah dapat membawa kearah
kegagalan atau salah penilaian luasnya cedera dan
kehilangan darah ketika dilakukan evaluasi awal
suatu trauma. 1
II. Kasus
Seorang wanita umur 28 tahun dengan G1P1A0,
umur kehamilan 27-28 minggu, perkiraan berat
badan 60 kg, masuk ke Departemen Emergensi karena kehilangan kesadaran dan 2 jam sebelum
masuk rumahsakit pasien mengalami kecelakaan
lalu lintas.
Pemeriksaan Fisik
GCS: E1M4Vt, tekanan darah 130/70 mmHg, laju
nadi 72 x/menit, laju nafas 16 x/menit, jalan nafas
bebas, terintubasi dengan pipa endotrakhea no.6.5,
pupil bulat iskor, refleks cahaya positif.
Status obstetricus: Uterus gravida: 27-28 minggu,
tinggi uterus: 24 cm, laju jantung fetal 140-144
x/menit, perkiraan berat fetal 1000 gr. Pada regio parietal dextra hematoma (+), pada regio abdomen
massa (+) pada level umbilical, pada regio lumbalis
sinistra bruised (+).
Pemeriksaan Lab
PT:11.9 dtk INR:0.96 APTT:25.9dtk Hb:10.3 mg/dl
Ht:30 % Leukosit:24.400/mm3, thrombosit
192.000/mm3, ureum:11 mg/dl, kreatinin: 0,44
mg/dl, glukosa darah:172 mg/dl, Na:135 meq/l,
K:3,3 meq/l, AGD: pH: 7,448, pCO2: 26,6, pO2:
101,9, HCO3: 18,5, TCO2: 19,3, BE: -5,6, Sat O2:
97,8.
Hasil CT-scan:
CT-scan kepala: subdural hematoma
temporoparietal kanan.
Kesan CT-scan: Subdural hematoma dengan mid-
line shift
Penanganan Anestesi
Pasien tiba di kamar operasi dengan GCS E1M4Vt,
tekanan darah 132/80 mmHg, laju nadi 92 x/menit,
laju nafas 16 x/menit dengan pipa endotrakhea no
6,5. Pasien diinduksi dengan propofol 100 mg,
fentanyl 125 µg, vecuronium 6 mg. Posisi head-up
untuk mengurangi tekanan intrakranial. Dipasang
alas pemanas untuk mempertahankan pasien dalam
normotermi atau sedikit hipotermi. Rumatan
anestesi dengan propofol infus 50-100 µg kg/menit,
0,6-0,8 MAC isoflurane dan 50% oxygen:50% udara tanpa N2O. Ventilasi kendali dengan volume
tidal 8 ml/kg dan nilai end tidal CO2 pada 30 - 35
mmHg. Lama operasi sekitar 2 jam.
Monitoring selama pembedahan dengan
pemantauan standar seperti EKG, SpO2, end tidal
CO2, suhu tubuh, diuresis. Fetal heart rate (FHR)
dimonitor dengan USG Doppler sebelum operasi
dan selama pembedahan berlangsung dan secara
periodik sampai 24 jam pascabedah.
Pada akhir pembedahan, blokade neuromuskuler di
reverse dan pasien dapat bernafas spontan. Tidak
dilakukan ekstubasi sampai pasien betul sadar untuk melindungi jalan nafas dari regurgitasi dan
aspirasi.
BJJ=bunyi jantung janin
Pascabedah
Kondisi pasien pascakraniotomi GCS: E1M4VT dengan tekanan darah 125/73 mmHg, laju nadi 109
x/menit dan laju jantung fetal 152-156 x/menit.
Keterangan: GCS=Glaggow Coma Scale
Keterangan: BJJ=bunyi jantung janin. HR=heart rate/laju jantung/laju nadi
III. Pembahasan
Pengelolaan Prabedah
Tindakan yang terkoordinir penting untuk
kelangsungan hidup ibu dan fetal. Fetus
dipengaruhi secara tidak langsung oleh hipotensi
ibu, vasokonstriksi arteri uterina, hipoksemia ibu, dan perubahan asam-basa ibu, tentu saja setiap
perubahan pada fisiologi ibu dapat menurunkan
perfusi uteroplasenta atau mempengaruhi pertu-
karan gas fetal. Tim emergensi yang melakukan
intubasi melakukan normoventilasi dan mempo-
sisikan ibu miring kekiri untuk mencegah sindroma
hipotensi supine.
Pasien dilakukan pemeriksaan CT-scan. Pemerik-
saan radiologik <5 rad tidak menyebabkan fetal
anomali atau keguguran. CT-scan <1rad, sehingga aman untuk fetus sepanjang periode kehamilannya
bila perlu dilakukan pemeriksaan CT-scan.2
Adaptasi fisiologik ibu terhadap kehilangan darah
sebagai berikut:
Tabel 2: Adaptasi Fisiologik Ibu Hamil terhadap
Kehilangan Darah
Kehilangan darah Ringan 20–25% dari volume darah (1.200 –1.500 mL)
Takikardia (95–105 kali per menit) Vasokonstriksi— ekstremitas dingin dan pucat Tekanan arteri rerata turun 10–
15% (70–75 mm Hg) Kehilangan darah Sedang 25–35% dari volume darah (1.500–2.000 mL)
Hipoksia jaringan Takikardia (105–120 kali per menit) Gelisah Tekanan arteri rerata turun 25–30% (50–60 mm Hg) Oliguria (kurang dari 0,5 mL/kg
BB)
Kehilangan darah Berat—lebih dari 30% volume darah atau lebih dari 2.000 mL
Syok hemoragik Hipoksia jaringan Takikardia (lebih dari 120 kali per menit) Hipotensi (Tekanan arteri rerata kurang dari 50 mm Hg) Perubahan kesadaran
Anuria Disseminated intravascular coagulation (DIC)
Dikutip dari: Brown HL.3
Pengelolaan kasus harus secara individual
disesuaikan dengan kebutuhan pembedahan dan
neuroanestesi serta umur kehamilan.
Pertimbangan anestesi selama kehamilan adalah
perubahan fisiologik. Wanita hamil berisiko tinggi
untuk terjadi aspirasi maka tindakan profilaksis
sangat penting sebelum dilakukan anestesi selama kehamilan, disebabkan karena wanita hamil mudah
mengalami regurgitasi simptomatik dan silent,
sebab wanita hamil selalu dalam kondisi lambung
penuh. Rapid sequence induction (RSI) dianjurkan
pada kehamilan trimester kedua untuk mengurangi
risiko aspirasi. Bila ingin melakukan RSI, harus
dipikirkan efeknya pada peningkatan tekanan
intrakranial. 6
Perubahan fisiologik pada jalan nafas menyebabkan
perlunya penilaian yang hati-hati pada jalan nafas
dan perancangan pengelolaan jalan nafas sangat
penting. 6 Sebagai akibat dari deposisi lemak dan edema jalan nafas bagian atas, wanita hamil
diprediksi lebih sulit dilakukan intubasi. Pipa endotrakheal dengan ukuran yang lebih kecil dari
yang biasa digunakan, harus siap untuk mengelola
jalan nafas yang sulit, dan awake fibreoptic
intubation harus dipertimbangkan bila diduga ada
jalan nafas yang sulit.5-8
Supine hypotension syndrome dapat dicegah dengan
posisi ibu miring kekiri sedikitnya 150 untuk
mengurangi kompresi aortocaval, hal ini diperlukan
pada kehamilan lebih dari 20 minggu. 5,9
Selama kehamilan kebutuhan oksigen meningkat
dan mekanik respirasi berubah disebabkan karena efek dari uterus yang gravid dan perubahan berat
badan ibu. Penurunan functional residual capacity
(FRC) dapat menyebabkan cepatnya terjadi
desaturasi ibu selama hipoventilasi dan apnoe.
Disebabkan karena tekanan oksigen arteri menurun
2 kali dibandingkan dengan wanita tidak hamil,
maka pemberian oksigen sebelum induksi anestesi
sangat penting. Pasien diberikan oksigen 3 menit
sebelum induksi anestesi melalui kanul binasal atau
3 kali narik nafas panjang. Pada pasien yang koma
akibat cedera otak traumatik, berikan oksigen
melalui sungkup muka. 5
Tabel 2. Adaptasi Ibu pada trauma berhubungan
dengan kehamilan
Kategori Adaptasi Konsekuensi Klinis
Sistim Kardiovaskuler
Curah jantung meningkat 30-50% Laju nadi meningkat 10-15 x/menit Tekanan darah
menurun
Adaptasi terhadap kehilangan darah
Sistim Hematologik
Volume plasma meningkat 40-50% Eritrosit meningkat 30%
Anemia dilusional Volume darah sirkulasi 6 Liter
Sistim Pulmonari
Ventilasi semenit meningkat 30-
40% FRC menurun 20%
Respiratori alkalosis normal Penurunan PCO2
Desaturasi cepat bila apneu atau supine
Uterus dan Plasenta
20-30% shunt Peningkatan ukuran uterus Aliran plasenta, aliran tinggi dan
tahanan rendah.
Kehilangan darah cepat Organ abdomen berpindah Hipotensi pada
posisi supine
Sistim Gastrointestinal
Pengosongan lambung lambat Organ berpindah tempat
Risiko aspirasi Tempat cedera mempengaruhi kerusakan organ
Dikutip dari: Harris CM. 10
Waktu dilakukan Pembedahan dan Metode
kelahiran
Bila kraniotomi selama kehamilan adalah
merupakan tindakan yang harus dilakukan, maka
pilihan ditentukan oleh umur gestational fetus, dengan umur gestational 32 minggu sebagai cuttoff.
Sebelum 32 minggu kehamilan diteruskan, tapi bila
lebih dari 32 minggu dilakukan seksio sesarea lalu
dilanjutkan dengan kraniotomi. Hal ini bukan saja
disebabkan karena kelangsungan hidup dimulai dari
32 minggu tapi disebabkan saat ini risiko kelahiran
preterm lebih kecil daripada risiko fetus yang
ibunya mendapat terapi untuk hipotensi kendali,
pemberian osmotik diuretik, dan hiperventilasi
mekanik.8
Bila operasi dilakukan pada kehamilan dini (umur kehamilan <24 minggu) pengelolaan fetalnya
berdasarkan pertimbangan spesialis kebidanan.
Spesialis anestesi mungkin menghadapi 3 skenario
yaitu: 1) bayi tidak dilahirkan dan hanya dilakukan
kraniotomi, dan 2) dilakukan seksio sesarea dulu
baru kraniotomi atau 3) kraniotomi dulu baru seksio
sesarea. Pada semua skenario tersebut, spesialis
anestesi harus mengerti perubahan fisiologi wanita
hamil, implikasinya, dan risiko khusus pemberian
anestesi pada wanita hamil.1 Pada kasus ini, wanita
dengan kehamilan 28 minggu, maka tidak
dilakukan seksio sesarea.
Pengelolaan Intraoperatif
Monitoring selama pembedahan dengan monitoring
standar EKG, SpO2, end tidal CO2, suhu tubuh,
diuresis selama pembedahan dan anestesi. FHR
dipantau dengan Doppler sebelum, selama, dan
pascabedah.
Pertimbangan Hemodinamik
Pemantauan tekanan darah invasif dianjurkan
sebelum induksi anestesi, sehingga perubahan
hemodinamik dapat dengan cepat diobservasi dan
diterapi. Untuk memelihara perfusi otak dan perfusi uteroplasenta, mempertahankan stabilitas hemo-
dinamik adalah penting, yang dapat dicapai dengan
pemberian cairan, hindari kompresi aortocaval,
profilaksis atau penggunaan segera obat vasopresor.
Posisi ibu harus efektif untuk memindahkan uterus
yang gravid kekiri. Bila memungkinkan untuk
dilakukan pembedahannya, pasien ditempatkan
pada posisi lateral untuk prosedur intrakranial yang
lama. Bila tidak dipakai monitor tekanan darah
invasif, bisa dengan monitor tekanan darah non-
invasif otomatis kontinyu.
Secara umum, tekanan darah harus diatur mendekati nilai awal. Bila tekanan darahnya dalam
rentang 140/90 sampai 160/110 (preeclampsia
ringan sampai berat), tekanan darah harus
diturunkan sampai kira-kira sampai 140/90 mmHg.
Pada operasi bedah saraf emergensi dimana tekanan
intrakranial meningkat, penurunan tekanan darah
tidak dianjurkan. Pasien ini tiba di kamar operasi
dengan GCS E1M4Vt, tekanan darah 132/80
mmHg, laju nadi 92 x/menit. Pasien diposisikan left
lateral untuk mencegah kompresi aortocaval dan
head up 30o untuk menurunkan tekanan intra-kranial. Tekanan darah ideal pada pasien ini adalah
sistolik 110-140 mmHg dan diastolik 60-70 mmHg.
Bila terjadi bradikardi fetal berat intraoperatif,
dilakukan tindakan untuk memper-baiki aliran
uteroplasenta dan oksigenasi fetal dengan
meningkatkan tekanan darah ibu, memastikan
bahwa posisi pasien left lateral, dan normo-
ventilasi.1
Pengelolaan Ventilasi
Pada wanita hamil, FRC menurun 20% dan
konsumsi O2 lebih tinggi daripada wanita yang tidak hamil. Hipokapnia dan hiperkapnia keduanya
mengurangi aliran darah uterus, menimbulkan
asidosis fetal dan depresi miokardium. Dengan
demikian, selama pembedahan kita bertujuan untuk
mempertahankan hipokapnia ringan untuk men-
cegah fetal stres, seraya menghindari hipoksia dan
melakukan normoventilasi.
Sebagai akibat dari peningkatan ventilasi selama
kehamilan, tekanan CO2 arteri normal pada steady-
state adalah 30-32 mmHg. Hiperventilasi kendali
untuk menurunkan tekanan intrakranial masih merupakan opsi pada kasus peningkatan tekanan
intrakranial akut. Walaupun efek klinis pada aliran
darah plasenta masih diperdebatkan, hiperventilasi
berat (PaCO2 25 mmHg) dapat menyebabkan
vasokonstriksi arteri uterina dan menurunkan curah
jantung ibu serta menurunkan pelepasan oksigen
pada bayi dengan shifting kurfe disosiasi
oxyhemoglobin ibu ke kiri. Hiperventilasi pro-
filaksis pada pasien cedera kepala dengan mencapai
PaCO2 25 mmHg mempunyai efek buruk pada
outcome pasien, karena itu, PaCO2 dipertahankan
dalam rentang 25-30 mmHg. 1
Monitoring Fetal Heart Rate (FHR) dan Fetus
Semua wanita hamil dengan umur kehamilan >20
minggu yang mengalami trauma harus dilakukan
pemantauan cardiotocographic minimal 6 jam.2
Monitoring FHR kontinyu mungkin dapat dilaku-
kan pada kehamilan 18 minggu tapi dibatasi
kesulitan bila dilakukan operasi abdomen atau ibu obesitas. FHR harus diekpertise oleh operator yang
berpengalaman yang mengerti perubahan yang
terjadi selama anestesi dan pembedahan. Bila
secara teknik memungkinkan, monitoring fetal
dapat menunjukkan kestabilan hemodinamik ibu
dan bukan indikator dari fetal well-being. 6
Variabilias FHR adalah indikator yang digunakan
untuk melihat kehidupan fetal (fetal well-being) dan
dapat dipantau dari kehamilan 25-27 minggu
kedepan. Anestetika mengurangi variabiltas dan
frekuensi FHR, jadi pembacaannya harus diinter-pretasi dalam konteks obat apa yang diberikan.
Fetus manusia dapat merespon stimuli luar seperti
kegaduhan, tekanan, nyeri, dan suhu dingin.
Noksious stimuli menimbulkan respons otonom dan
peningkatan stres hormon. Fetal bradikardi yang
menetap umumnya menunjukkan adanya fetal
distres. Neostigmin dapat menyebab-kan bradikardi
fetal bila diberikan bersama glikopirolate
disebabkan pengurangan transfer plasenta dari
glikopirolate.6
Nilai FHR intraoperatif yang terdeteksi segera,
menyebabkan dilakukan optimalisasi hemodinamik dan oksigenasi maternal dengan terapi cairan,
vasopresor, pemberian produk darah, hiperventilasi,
atau pengaturan posisi. 6
Monitoring fetal menolong spesialis anestesiologi
menilai adekuatnya perfusi bila terjadi hipotensi,
atau bila jumlah besar volume cairan dan darah
hilang. Pemantauan harus diteruskan dan evaluasi
selanjutnya dilakukan bila uterus berkontraksi,
perdarahan per vagina, iritabilitas uterus yang
signifikan, cedera pada ibu, ruptur membran
amnion.2 Monitor FHR dapat digunakan dengan Doppler.
Pasien ini dengan umur kehamilan 27-28 minggu
dan normal FHR adalah 120-160 kali per menit,
dan kita menggunakan monitor FHR dengan
Doppler pada periode prabedah, selama pembeda-
han, dan pascabedah di neurointensive care unit
selama 24 jam.
Fetus sangat berisiko pada susunan saraf pusat pada
umur kehamilan 8-15 minggu dan pertimbangan
dilakukan seksio sesarea bila umur kehamilam 24
minggu keatas. Ada beberapa indikasi untuk seksio
sesarea emergensi adalah kondisi ibu stabil dengan fetus dalam keadaan distress, ruptur uterine akibat
trauma, uterus gravid mengganggu operasi
intraabdominal ibu, dan bila ibu tidak akan selamat
bila fetus masih hidup. Kalau fetus hampir
meninggal atau sudah meninggal, pertolongan
difokuskan pada pengoptimalan kondisi ibu. Seksio
sesarea emergensi merupakan opsi untuk fetus
dengan umur 24 minggu kehamilan dengan ibu sudah meninggal. Pada kasus ini kondisi fetus dan
hemodinamik stabil, sehingga tidak ada alasan
untuk dilakukan seksio sesarea.2
Penggunaan monitor FHR selama operasi non-
obstetri masih kontroversial. Penurunan variabiltas
FHR dan penurunan nilai awal FHR dapat terlihat
pada bayi sehat dan ibunya diberikan anestesi
umum, agaknya, monitor FHR tetap berguna sebab
terjadinya perubahan dapat disebabkan karena
penurunan perfusi uteroplasenta seperti hipoksemia
dan hipotensi.8
Anestetika
Dilakukan anestesi umum, dengan induksi
intravena, dan rumatan anestesi dengan isofluran
dan propofol kontinyu. Fasilitas intubasi dengan
pelumpuh otot non-depolarisasi. Prinsip anestesi
adalah dengan ABCDE neuroanestesia.11,12
Pemberian reverse pelumpuh otot dilakukan secara
perlahan-lahan untuk mencegah peningkatan tibat-
tiba dari asetilkholin yang dapat memicu kontraksi
uterus. Polar molekul seperti obat pelumpuh otot
tidak menembus barier plasenta secara nyata dan
konsentrasi pelumpuh otot dalam darah fetal hanya 10-20% dari konsentrasi pelumpuh otot dalam
darah ibu. Anestetika inhalasi isofluran dipakai
dengan dosis dibawah 1,5 MAC untuk
mempertahankan autoregulasi otak ibu serta tidak
mengganggu reaktivitas pembuluh darah otak ibu
terhadap CO2.11,12
MAC anestetika inhalasi menurun 30% selama
kehamilan yang dimulai dari trimester pertama
kehamilan. Perubahan ini dipostulatkan akibat lebih
tingginya level endorphin dalam sirkulasi dan
peningkatan konsentrasi progesteron yaitu suatu hormon yang mempunyai efek sedatif. Sebagai
akibat dari wanita hamil lebih sensitif terhadap
anestetika inhalasi, konsentrasi inspirasi anestetika
inhalasi yang tidak menimbulkan depresi
kardiovaskuler untuk wanita tidak hamil, dapat
menimbulkan depresi kardiovaskuler pada ibu
hamil. 8
Pemberian N2O menujukkan adanya kejadian
abnormalitas struktur dan keguguran pada tikus dan
saat pemberian menentukan beratnya efek N2O,
efek ini pada permulaannya dipikirkan akibat
inhibisi enzim methionin synthetase dan sterusnya terjadi penurunan kadar methionin dan
tetrahidrofolat. Inhibisi maksimal aktivitas
methionin synthetase terjadi pada level pemaparan
anestetik yang tidak mempunyai efek teratogenik.
Bukti yang lebih baru menunjukkan bahwa efek
fetal dari N2O adalah dari stimulasi alpha
adrenergik dan selanjutnya menurunkan aliran
darah uterus. Efek ini dapat dilawan dengan anestetika inhalasi yang poten. 8
Pelumpuh otot tidak efek teratogenik pada dosis
klinis. Opioid juga tidak menunjukan efek
teratogenik baik pada penelitan hewan atau
manusia.7,8
Tabel: Induksi dan Rumatan anestesi untuk
Kraniotomi pada wanita hamil
Induksi anestesi Rumatan anestesi
Tiopental 5-7 mg/kg Fentanyl 3-5 ug/kg Lidokain 75 mg Rocuronium 0,9-1,2 mg/kg
Ventilasi dengan sungkup dengan cricroid pressure, Oksigen 10%
Fentanyl 1-2 ug/kg/jam Isofluran 0,5-1%/N2O Pelumpuh otot non depol
Tiopental 5-6 mg/kg/jam bila ―tight brain‖
Dikutip dari: Cottrell and Young’s.8
Karena di Indonesia tidak tersedia tiopental, maka
induksi intravena diganti dengan propofol dan
rumatan anestesia dengan propofol infus 50-100 µg
kg/menit, 0,6-0,8 MAC isoflurane and 50%
oksigen: 50% udara, tanpa N2O.
Mannitol dan Terapi Cairan
Berabagai cara untuk menegendalikan ICP, seperti posisi head-up, tidal voume rendah selamam
ventilasi tekanan positif, dan hindari muntah.
Mannitol yang diberikan pada wanita hamil secara
lambat diakumulasi di fetus, dan fetal
hiperosmolalitas akan menyebabkan perubahan
fidiologis seperti produksi cairan paru fetal
berkurang, penurunan aliran darah urinari,
meningkatkan konsentrasi sodium plasma. Pada
hewan coba, terjadi transfer cairan dari fetus ke ibu,
meningkatkan kemungkinan terjadinya fetal
dehidrasi. Akan tetapi, dalam satu laporan kasus,
telah digunakan mannitol dengan dosis 0,25-0,5 g/kg dan aman. Furosemid merupakan alternatif
lain tapi harus digunakan dengan hati-hati. Diuresis
harus dipantau setiap jam. Terapi cairan intravena
adalah yang bersifat isonatremik, isotonik, tidak
mengandung glukosa untuk mengurangi risiko
edema serebral dan hiperglikemia.1
Pasien ini diberikan cairan 1500 mL NaCl 0,9%
dan 500 mL ringer laktat. Penggantian cairan
berdasarkan indikator diuresis dan diberikan cairan
3/4 jumlah diuresis.
Terapi Antiemetik
Kebanyakan obat antiemetik aman bila digunakan
selamam kehamilan, dan dianjurkan penggunaan
metoclopramide, antihistamin, dan droperidol.
Serotonin 3 receptor (5-HT3) antagonist juga aman
berdasarkan penelitian hewan coba dan pengalaman klinis dan telah digunakan selama kehamilan.1
Pengelolaan Pascabedah
Managemen Nyeri
Setelah prosedur intrakranial, wanita hamil harus
dirawat di ICU untuk obsevasi dan terapi
selanjutnya. Walaupun secara umum rasa nyeri
setelah kraniotomi lebih ringan dari rasa nyeri
setelah operasi ekstrakranial, nyeri setelah
kraniotomi bersifat sedang sampai berat pada 50%
pasien. Analgesia pascabedah yang baik harus
diberikan untuk kenyamanan dan mobilitas pasien serta untuk mengurangi gejolak hemodinamik yang
tidak diinginkan.1
Analgesia lebih baik dengan pendekatan
multimodal kombinasi infiltrasi anestesi lokal, atau
scalp blok, opioid dan paracetamol. Penelitian yang
membandingkan morfin, kodein, dan tramadol
untuk pengelolaan nyeri pascakranitomi
menunjukkan bahwa morfin memeberikan efek
terbaik dengan beberapa efek samping. Tramadol
sangat terbatas penggunaannya disebabkan karena
walaupun tidak menyebabkan depresi nafas, tapi
menurunkan ambang kejang. Inhibitor cyclooxygenase 1 dan 2 ( inhibitor COX1 dan
COX2) umumnya dihindari disebabkan karena
efeknya pada fungsi platelet dan kemungkinan
perdarahan setelah operasi intrakranial, atau karena
kemungkinan komplikasi pada fetal (gagal ginjal,
necrotizing enterocolitis, dan persistent fetal
circulation after birth) khususnya bila diberikan
setelah kehamilan 32 minggu. COX2 inhibitor
seperti celexocib, parecoxib, dan valdecoxib tidak
mempunyai efek pada platelet tapi belum dievaluasi
efek pemberian selama kehamilan.1 Pada pasien in diberikan metamizole 2 gram.
IV. Simpulan
Operasi bedah saraf jarang dilakukan pada wanita
hamil, tapi diperlukan tim multidisiplin dan
pertimbangan hati-hati tentang waktu pembedahan
dan melahirkan bayi. Tujuan dari intervensi bedah
saraf pada wanita hamil adalah memelihara
kelangsungan hidup ibu dan fetal. Target utama
pengelolaan anestesi untuk wanita hamil tanpa
dilakukan operasi obstetrik adalah memelihara
perfusi uteroplasenta. Peranan tim multidisplin dalam mengelola pasien hamil dengan risiko tinggi
tidak dapat diremehkan.
Daftar Pustaka
1. Wang LP, Paech MJ. Neuroanesthesia for the
pregnant woman. Anesth Analg 2008;107:193–
200.
2. Barraco RD, Chiu WC, Clancy TV, Como JJ,
Ebert JB, Hess LW, et al. Practice management
guidelines for the diagnosis and management
of injury in the pregnant patient: the EAST Practice Management Guidelines Work Group.
The Eastern Association for the Surgery of
Trauma. 2005: 1-19.
3. Brown HL. Trauma in Pregnancy. Obstet
Gynecol 2009;114:147–60.
4. Mhuireachtaigh R, O’Gorman DA. Anesthesia
in pregnant patients for nonobstetric surgery.
Journal of Clinical Anesthesia 2006; 18: 60–
66.
5. Datta S. Obstetric Anesthesia Handbook, edisi
ke-4. USA: Springer;2006
6. Bisri DY, Bisri T. Strategi untuk mencegah
aspirasi isi lambung pada operasi cedera otak
traumatika emergensi. JNI 2012,1(1):51-58
7. Wlody DJ, Weems LD. Neurosurgery in the
pregnant patient. Dalam: Newfield P, Cottrell
JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia, edisi-4.
Philadelphia: Lippincott Willams & Wilkins;
2007, 278-95.
8. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for
neurosurgery in the pregnant patient. Dalam:
Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and
Young’s neuroanesthesia, edisi-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010,416-24.
9. Bisri DY, Redjeki IS, Himendra A. The
comparative of effect of bolus-infusion
oxytocin with infusion oxytocin on blood
pressure, heart rate, and uterine contraction of
women undergoing elective caesarean section
with general anesthesia N2O-sevoflurane.
InaJA 2010;1(1):1-9.
10. Harris CM. Trauma and pregnancy. Dalam:
Foley MR, Strong TH, Garite TJ, eds., edisi
ke-3. New York: Mc Graw Hill Medical; 2011, 213-21.
11. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi. Bandung:
Saga Olah Citra; 2011.
12. Bisri T. Penanganan Anestesia dan Critical
Care: Cedera Otak Traumatik. Bandung:
Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran;2012.
SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN PENYAKIT
JANTUNG HIPERTENSI
SUBDURAL HEMATOM IN PATIENT WITH ATRIAL FIBRILATION AND
HYPERTENSIVE HEART DISEASE
Agus Baratha Suyasa, *) Sudadi **)
*) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Kasih Ibu Hospital, Denpasar – Bali
**) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif FK Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito-Yogyakarta
Abstract Traumatic Brain Injury (TBI) is one of the serious life-threatening condition in trauma victim, and as the
major cause of disability and death in adult and children. Subdural hematoma is the most often focal
intracranial lesion found, with the incidence of 24% in close head injury cases. Approximatelly 6-24% of Atrial
Fibrilation (AF) contributes to ischemic stroke and sudden death because of heart failure.
We reported a 63 years old female, diagnosed with subdural hematoma of the right temporoparietal,
atrial fibrillation and hypertensive heart disease, who arrivde at the hospital with history of unconsciousness,
and severe headache due to motor vehicle accident, and undergone a craniotomy clot evacuation and reposition
fixation of the fractured bones. The procedure was performed under general anesthesia, using ETT No 7,5.,
controlled ventilation. NGT no 16 was inserted for gastric decompression. Two mg of Midazolam and 1,5
mg/KgBW of lidocain given intravenously 3 minutes prior to intubations was used as premedications, 100 μg
intravenou Fentanyl,was given as co induction. Induction anesthesia was performed using 100mg propofol and
0,1mg/KgBW vecuronium to facilitate intubations. Maintenance of anesthesia was obtained using O2, N2O, sevoflorane, continuous drip of 100 mg/hour propofol, 6mg/hour vecuronium,and 0,25mg/24hours of digoxin
continuous drip was given. The procedure was done in 4 hours. During the operation, haemodynamic remained
stable with SBP 130 – 150 mmHg, DBP 70-90 mmHg, HR 90-110 bpm irregular and SaO2 99-100 %. EtCO2
level was 30-33. The patient was not extubated by end of surgery, because ECG monitor showed VES bigemini
and rapid ventricular response of AF. The patient was directly transferred to the ICU after the procedure.
Decreased in brain tissue oxygenation is the physiological impact of body system. Hypertension,
arrhythmia, hyperglycemia, hyperthermia and hypernatremia can occur due to sympathetic storm. The most
common arrhythmias that could occur are bradycardia, ectopic beat, irregular beat, atrial fibrillation and
supraventricular tachycardia. Arrhythmias due to myocardial infarction or thromboemboli (AF and SVT) must
be treated immediately when considered as a life threatening condition which provokes a hemodynamic
instability and cerebral hypoxia Optimal pre-operative management including oxygenation, cardiorespiration stabilization, arrhythmia managemen and, adequate fluid status, will improve the outcome.
Keywords: Traumatic Brain Injury, Subdural Hematom, Atrial Fibrilation, Hypertensive Heart Disease.
JNI 2102;1(3):178-188
Abstrak
Cedera kepala traumatik merupakan salah satu kondisi yang mengancam jiwa secara serius pada korban
kecelakaan, dan merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian pada dewasa dan anak-anak. Subdural
hematom merupakan lesi fokal intrakranial yang paling sering dijumpai, sekitar 24% dari pasien yang
mengalami cedera kepala berat tertutup. Atrial Fibrilasi (AF) menyebabkan 6-24% kejadian stroke iskemik serta
dapat terjadi kematian secara tiba-tiba karena gagal jantung.
Seorang wanita 63 th dengan subdural hematom temporoparietal D, atrial fibrilasi dan penyakit jantung hipertensi, dengan riwayat jatuh dari motor, pingsan, mual dan nyeri kepala hebat. Rencana dilakukan
kraniotomi evakuasi clot dan reposisi fiksasi fraktur. Operasi dilakukan dengan anestesi umum, menggunakan
ETT No 7,5, ventilasi kendali. NGT no.16 dipasang untuk dekompresi. Premedikasi dengan midazolam 2 mg.
Lidocain 1,5 mg /KgBB 3 menit sebelum intubasi. Co induksi menggunakan fentanyl 100 μg, induksi dengan
propofol 100 mg. Fasilitas intubasi dengan vekuronium 0,1 mg / KgBB. Pemeliharaan anestesi menggunakan O2
+ N2O + Sevofluran. Propofol di berikan kontinyu 100 mg/jam, Vekuronium 6mg /jam, Digoksin drip
0,25mg/24 jam. Operasi dilakukan selama 4 jam. Selama operasi hemodinamik relatif stabil, tekanan darah
sistolik 130-150 mmHg, tekanan darah diastolik 70-90mmHg, laju nadi (HR) 90-110 x/mnt ireguler, SaO2 99-
100 %, EtCO2 30-33. Ekstubasi tidak dilakukan dikamar operasi karena terdapat VES bigemini dan rapid
ventricular respons terhadap AF, pasien kemudian dibawa ke ICU.
Penurunan oksigenasi jaringan otak merupakan akibat dari dampak fisiologis pada sistem tubuh. Hipertensi, aritmia, hiperglikemi, hipertermi dan hipernatremi dapat muncul akibat sympathetic storming.
Aritmia yang sering muncul adalah bradikardi, denyut ektopik, denyut ireguler, atrial fibrilasi dan
supraventrikuler takikardi. Aritmia harus segera ditangani jika mengancam kehidupan, dan menyebabkan
instabilitas hemodinamik serta hipoksia serebral, baik karena infark miokard maupun thromboemboli (AF dan
SVT). Persiapan yang baik sebelum pembedahan yaitu oksigenasi, stabilisasi respirasi dan kardiovaskuler
termasuk terapi aritmia, serta status cairan yang adekuat akan memberikan hasil yang lebih baik.
Kata Kunci : Cedera Otak Traumatik, Subdural Hematom, Atrial Fibrilasi, Penyakit Jantung Hipertensi.
JNI 2102;1(3):178-188
I. Pendahuluan
Cedera kepala traumatik merupakan salah satu
kondisi yang mengancam jiwa secara serius pada
korban kecelakaan, dan merupakan penyebab
utama kecacatan dan kematian pada dewasa dan
anak-anak. Diperkirakan 1,5 juta orang mengalami
cedera kepala traumatik setiap tahunnya di USA,
dan 50.000 orang diantaranya meninggal, serta
80.000 sisanya mengalami kecacatan permanen. Hematoma subdural merupakan lesi fokal
intrakranial yang paling sering dijumpai, sekitar
24% dari pasien yang mengalami cedera kepala
berat tertutup. Cedera kepala traumatik
memberikan efek yang besar pada kehidupan
individual dan keluarganya termasuk biaya rumah
sakit, rehabilitasi sosial serta perawatan jangka
panjang. Penanganan yang cepat dan tepat
diperlukan untuk mencapai outcome yang baik. 1,2
Atrial Fibrilasi (AF) merupakan kejadian aritmia
jantung yang paling sering ditemukan pada praktek
klinis dan merupakan sepertiga dari kasus gangguan irama jantung yang dirawat di rumah
sakit serta jumlahnya meningkat setiap tahunya.
Diperkirakan 2,2 juta orang di Amerika dan 4,5 juta
orang di Eropa mengalami AF. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa AF menyebabkan 6-24%
kejadian stroke iskemik, hal ini mungkin karena
pada AF terjadi pengumpulan darah pada atrium
kiri karena kontraksi yang tidak sinkron, sehingga
menyebabkan terbentuknya trombus yang dapat
menyumbat aliran darah di seluruh tubuh, seperti
pembuluh darah otak yang menyebabkan stroke iskemik. Jika pembuluh darah paru-paru yang
tersumbat, dapat terjadi kematian secara tiba-tiba
karena gagal jantung. Namun 3-11% AF
menunjukkan struktur jantung yang normal. 3,4
Keadaan ini saling memperberat, pada cedera
kepala traumatik terjadi peningkatan aktivitas
simpatis sebagai respon terhadap stress
(sympathetic storming). Hipertensi, aritmia,
hiperglikemi, hipertermi dan hipernatremi dapat
muncul akibat sympathetic storming. Aritmia yang
sering muncul adalah bradikardi, denyut ektopik,
denyut ireguler, atrial fibrilasi dan supraventrikuler
takikardi. Aritmia harus segera ditangani jika
mengancam kehidupan, dan menyebabkan
instabilitas hemodinamik baik karena infark
miokard maupun thromboemboli (AF dan SVT). 5,9
II. Kasus
Seorang wanita umur 63 tahun. BB 60 kg, masuk
RS dengan Diagnosis : Subdural Hematom temporoparietal D
Fraktur Rima Orbita Inferior D
Fraktur Os Zygoma D
Fraktur Os Temporalis D
Atrial Fibrilasi
Hipertensive Heart Disease
Prosedur : Craniotomi, Trepanasi, Evakuasi Clot
Reposisi fiksasi fraktur
Anamnesis
Seorang wanita 63 th, kiriman dari RS swasta
kabupaten dengan cedera kepala sedang dan subdural hematom. Keluhan Utama: Sakit kepala
hebat, setelah jatuh dari motor.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pada tanggal 17 Desember 2011 pukul 15.30
WITA, penderita terjatuh dari sepeda motor, karena
terserempet mobil. Pingsan (+), mual (+), muntah
(-)
Penderita dibawa ke RS swasta di Singaraja,
dilakukan CT-scan kepala. Kemudian penderita
dirujuk ke RS Kasih Ibu Denpasar.
Hasil CT-scan kepala menunjukkan perdarahan subdural regio temporoparietal kanan, fraktur rima
orbita inferior kanan, fraktur tulang zygoma kanan,
fraktur tulang temporalis kanan.
Riwayat Asthma (-), Allergi (-), Hipertensi (+),
Riwayat sakit jantung tidak jelas
Riwayat jantung sering berdebar (+), riwayat sesak
nafas (+)
61
SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN
PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: Sadar, tampak bengkak pada
wajah, hematom pada mata kanan
Survei Primer
Airway Bebas, oksigenasi 3 L/mnt O2 nasal
kanul
Breathing Nafas spontan 24 - 28 x/mnt,
gerakan dinding dada simetris (+)
Pola nafas Thorakoabdominal,
vesikuler (+/+), wheezing (-/-),
rhonki (-/-)
Circulation TD 180/90 mmHg, HR 90 x/mnt, irregular
Bising (-), sianosis (-), ekstremitas
hangat, temperatur : 36o C
Disability Tingkat kesadaran : GCS = E3 M6
V5 = 14
Pupil kiri bulat 3 mm. Reflek
cahaya (+). Pupil kanan tidak bisa
di evaluasi.
Motorik 5 / 5 / 5 / 5, Sensorik + /+
/ + / + Reflek fisiologis (+)
Defisit neurologis lain (-)
Survei Sekunder
Kepala TMD 5 cm. Brail hematom mata
kanan, wajah bengkak
Gerakan kepala bebas ke segala
arah
Leher JVP tidak meningkat
Thorak Bentuk dan gerakan dada
simetris, jejas (-)
Abdomen Supel, Bising Usus (+), jejas (-)
Ekrstremitas Deformitas (-),hangat (+),
Capilary refill <2 detik Motorik 5 / 5 Sensorik + / +
5 / 5 + / +
Pemeriksaan Laboratorium pre op (18 Desember
2011)
Haemoglobin 12,9 gr/ dL BUN 21,8 mg/dL Leukosit 13,5 / mm3 Creatinin 0,80 mg / dL
Eritrosit 4000 / mm3 Haematokrit 38,1 %
Trombosit 251 000 / mm3 CT/BT 2.00/13.15 Gula darah 159 mg / dL Natrium 139 mMol / L
Kalium 4,3 mMol / L Klorida 108 mMol / L
Foto Thorak
Paru : Corakan Bronchovaskular meningkat,
kedua sudut costofrenicus tajam
Jantung : Cardiomegali
CT- Scan Kepala (pre op)
subdural hematom regio temporoparietal kanan
fraktur rima orbita inferior kanan
fraktur tulang zygoma kanan
fraktur tulang temporalis kanan.
Gambaran EKG
Assessmen :
1. subdural hematom regio temporoparietal
kanan
2. fraktur rima orbita inferior kanan
3. fraktur tulang zygoma kanan
4. fraktur tulang temporalis kanan. 5. Atrial fibrilasi rapid ventricular respons
6. Hipertensive heart disease
Rencana Tindakan
1. Informed consent
2. Persiapan operasi, Infus NaCl 0,9% 24
tts/mnt
3. O2 2L/menit nasal
4. Stabilisasi irama jantung, digoksin drip
0,25 mg/ 24 jam 5. Phenitoin 500 mg drip dalam 100 mL
NaCl, habis dalam 1 jam
6. Operasi cito, kraniotomi evakuasi clot dan
kranioplasti
7. Post operasi pemantauan di ICU
Pengelolaan Anestesi
Teknik pengelolaan anestesi dilakukan dengan
anestesi umum, menggunakan ETT No 7,5,
ventilasi kendali. NGT no.16 dipasang untuk
dekompresi. Premedikasi dengan midazolam 2 mg.
Co induksi menggunakan fentanyl 100 μg, induksi
dengan propofol 100 mg. Lidokain 1,5 mg /KgBB
diberikan 3 menit sebelum intubasi. Fasilitas
intubasi dengan vekuronium 0,15 mg/KgBB.
Pemeliharaan anestesi dengan O2 + N2O +
Sevofluran. Propofol di berikan kontinyu 100
mg/jam, Vekuronium 6mg /jam, Digoksin drip 0,25mg / 24 jam.
Operasi dilakukan selama 4 jam, evakuasi clot di
regio temporoparietal kanan dan fiksasi fraktur
tulang zygoma kanan. Selama operasi
hemodinamik relatif stabil, tekanan darah sistolik
berkisar 130-150 mmHg, tekanan darah diastolik
70-90mmHg, laju nadi (HR) 90-110 x/mnt ireguler,
SaO2 99-100 %, etCO2 30-33. Pasca operasi pasien
masih tetap kontrol ventilasi karena adanya rapid
ventricular respons dan VES bigemini. Post operasi
dirawat di ICU.
Status Anestesi
63
SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI
CATATAN HARIAN PASIEN DI ICU
Tgl /jam Klinis Intake Lab/Penunjang Terapi Masalah Ket 18/12/2011 Hari 0 09.00 11.00
KU : tersedasi, masih terintubasi A : Clear, terpasang ETTno 7,5 B : Ventilator BIPAP 12 P 15 ASB 10 FiO2 80% Vesikuler +/+ , rhonki -/- C : TD 205 / 105 , N 122 X/mnt, ireguler SaO2 96%, VES bigemini EtCO2 33 D: GCS tdk dpt dinilai (DPO) Pupil kanan tidak dapat dinilai Pupil kiri 3mm, RC (+) Kepala : terdapat bekas craniotomi Mata kanan tampak
bengkak, hematom (+) Thx : vesikuler +/+, Rh -/-, whz -/- , suara jantung ireguler bising (-), gallop (-) Abd : Supel, NT (-), H / L ttb Ext : Sianosis (-), Pucat (-), oedem (-) Ass : 1. post craniotomi evakuasi clot e.c sub
dural hematom regio temporoparietal kanan
2. fraktur rima orbita inferior kanan 3. fraktur tulang zygoma kanan 4. Post cranioplasti fraktur tulang
temporalis kanan. 5. Atrial fibrilasi rapid ventricular
respon 6. Hipertensif heart disease 7. Congestif heart disease Ekstubasi KU : tersedasi, post ekstubasi A : Clear, NRM O2 6L/mnt B : Spontan, RR18-20 x/mnt Vesikuler +/+ , rhonki -/- C : TD 137 / 85 , N 92 X/mnt, ireguler SaO2 97%,VES jarang D: GCS, E3M6V5 = 14 Pupil kanan tidak dapat dinilai Pupil kiri 3mm, RC (+) Kepala : terdapat bekas craniotomi Mata kanan tampak
bengkak, hematom (+) Thx : vesikuler +/+, Rh -/-, whz -/- , suara jantung ireguler bising (-), gallop (-) Abd : Supel, NT (-), H / L ttb Ext : Sianosis (-), Pucat (-), edema (-)
NaCl 0,9% 1000mL Asering 500mL NaCl 0,9% 1000mL Asering 500mL
Hb : 12,5 L : 17,93 HCT : 38,7 RBC : 4,09 Plt : 237 AGD pH : 7,17 pCO2 : 67 pO2 : 73 HCO3 : 24,4 BE : -4,10 SO2 : 90%
Head up 30 0
Oksigenasi ventilator BIPAP12, P 15 ASB10 FiO2 80% Weaning bertahap Ceftazidime 2x1 gr iv Pantoprazole 1x 40 mg iv Fenitoin 3x100 mg iv Ondansetron 2x4 mg iv Analgetik drip fentanil 200μg+Tramadol 100 mg + Ketorolac 60 mg drip dlm 500 cc NaCl 0,9% , 40 cc/jam Digoxin drip 0,5mg / 24 jam Catapres 0,2 ug/kg/jam titrasi Amiodaron drip 900mg / 24jam Nifedipin 10 mg sublingual Nebuliser tiap 8 jam Lab DL, AGD Head up 30
0
Oksigenasi NRM 6L/mnt Ceftazidime 2x1 gr iv Pantoprazole 1x 40 mg iv Fenitoin 3x100 mg iv Ondansetron 2x4 mg iv
Analgetik drip fentanil 200μg+Tramadol 100 mg + Ketorolac 60 mg drip dlm 500 cc NaCl 0,9% , 40 cc/jam
Digoxin drip 0,5mg / 24 jam Catapres 0,2 ug/kg/jam titrasi Amiodaron drip 900mg / 24jam Nifedipin 10 mg sublingual Nebuliser tiap 8 jam Lab AGD ulang
Atrial fibrilasi Rapid ventrikular respon Hipertensi Respirasi belum adekuat Atrial fibrilasi Rapid ventrikular respon Hipertensi
Extubasi dilakukan jika TV cukup Monitoring ketat
Monitoring ketat
19/12/2011 Hari 1 08.00
KU : CM, sesak nafas (-),panas (-) A : Clear B : Spontan, RR 16-18 x/mnt Vesikuler +/+ , rhonki -/- C : TD 130/73 , N 82 X/mnt, SaO2 97-98% D: GCS = E4M6V5 = 15 Pupil kanan tidak dapat dinilai Pupil kiri 3mm, RC (+) Ass : 1. post craniotomi evakuasi clot e.c sub
dural hematom regio temporoparietal kanan
2. fraktur rima orbita inferior kanan 3. fraktur tulang zygoma kanan 4. Post cranioplasti fraktur tulang
temporalis kanan. 5. Atrial fibrilasi non rapid ventrikular
respon 6. Hipertensive heart disease 7. Congestive heart disease
NaCl 0,9% 1000mL Tutofusin OPS®
500mL
Head up 30 0
Oksigenasi nasal 3L/mnt Ceftazidime 2x1 gr iv Pantoprazole 1x 40 mg iv Fenitoin 3x100 mg iv Ondansetron 2x4 mg iv Analgetik Ketesse 3x1 amp iv Amiodaron tab 1x 200 mg Nebuliser K/P
Atrial Fibrilasi Awasi tanda tanda Rapid Ventrikuler Respons Awasi tanda gagal jantung Boleh Pindah ke Ruangan
P emantauan T ekanan D arah,MAP ,
L aju J antung , S pO2, etC O2 P as c abedah
102030405060708090
100110120130140150160170180190200210220
H 0-Int H 0-E xt H 1
S is tolik D ias tolikMAP D enyut J antungetC O 2 S pO 2
Grafik Perubahan Hemodinamik Pascabedah
Keterangan: H0-Int : Hari ke-0, intubasi H0-Ext : Hari ke-0, extubasi H1 : Hari ke-1
III. Pembahasan
A. Cedera Otak Traumatik
Cedera otak traumatik di klasifikasikan menjadi
cedera primer dan sekunder. Cedera otak primer
adalah ireversibel, yang terjadi pada saat terjadinya
benturan, aselerasi-deselerasi dan menimbulkan
kerusakan pada tulang tengkorak, jaringan otak dan jaringan saraf akibat axon yang putus (DAI).
Setelah kejadian cedera otak primer, cedera
sekunder muncul karena hipoksia, hiperkapnia,
hipotensi, gangguan biokimia dan hipertensi
intrakranial, dimana semuanya menyebabkan
iskemik serebral. Cedera otak sekunder dapat di
atasi maupun dicegah dengan intervensi medis yang
baik. Indikasi dilakukan pembedahan jika terjadi
kompresi pada sisterna basalis akibat karena resiko
terjadinya herniasi. 1,2
1. Patofisiologi
1.1. Efek Sistemik
Respon kardiovaskular seringkali terlihat pada
stadium awal cedera otak, seperti hipertensi,
takikardi dan peningkatan curah jantung. Pada
cedera otak yang berat, cedera sistemik multipel
dan kehilangan darah yang banyak, respon yang
muncul adalah hipotensi dan penurunan curah
jantung. Hipotensi (TDS < 90 mmHg) saat tiba di
rumah sakit meningkatkan mortalitas dan
morbiditas secara signifikan. Respon respirasi pada
cedera otak termasuk apnea, pola nafas abnormal, hiperventilasi, aspirasi karena muntahan dan
central neurogenic pulmonary edema. Regulasi
suhu tubuh juga terganggu, hipertermi dapat terjadi
dan memperberat cedera yang ada.2
1.2. Perubahan sirkulasi dan metabolisme
serebral
Pada daerah cedera fokal, CBF dan CMRO2
menurun pada pusat cedera dan penumbra, dengan
area hipoperfusi di sekitarnya. Jika TIK meningkat
maka akan semakin hipoperfusi dan
hipometabolisme.2
1.3. Pembengkakan Otak Akut dan Edema
Serebral
Pembengkakan otak akut di sebabkan oleh
penurunan tonus vasomotor serta peningkatan
volume pada jaringan pembuluh darah serebral.
Pada keadaan ini peningkatan tekanan darah dapat
dengan mudah menyebabkan pembengkakan otak
dan peningkatan TIK. Edema Serebral seringkali
vasogenik atau sitotoksik karena kerusakan sawar
darah otak (blood brain barrier) dan iskemia.
Kedua keadaan diatas dapat terjadi bersama dengan trauma kepala,jika keadaan tersebut tjd karena
adanya hematom intra serebral, maka TIK yang
terjadi akan menyebabkan penurunan CBF dan
iskemia. Jika tidak dilakukan penanganan segera
akan menyebabkan herniasi batang otak melalui
foramen magnum.2
65
SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN
PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI
1.4. Eksitotoksisitas, Inflamasi sitokin dan
mediator
Cedera kepala menyebabkan pelepasan glutamat
dari neuron dan sel glia, meningkatkan konsentrasi
glutamat pada CSF, sehingga meningkatkan
kalsium intraseluler. Keadaan ini mengaktivasi
phospolipase, protrein kinase, protease, NO
sintetase dan enzim lainya yang memacu
terbentuknya lipid peroksidase, proteolisis, radikal
bebas dan kereusakan DNA sehingga menyebabkan
kematian sel. Sitokin meningkat pada keadaan
iskemia serebral. Pasien dengan GCS < 8 memiliki kadar IL-6 yang lebih tinggi. Pelepasan sitokin
setelah TBI menstimulasi produksi radikal bebas,
asam arachidonat dan molekul adhesi yang
mengganggu mikrosirkulasi.2
Skema. 1. Patofisiologi pada Cedera Otak
Traumatik
Dikutip dari: Sakabe T et al.
2
Dikutip dari: Avelino AM, et al.10
B. Subdural Hematom (SDH)
Subdural hematom merupakan lesi fokal
intrakranial yang paling sering dijumpai, sekitar
24% dari pasien yang mengalami cedera kepala
berat tertutup. Subdural hematom disebabkan
karena robeknya bridging vein kortikal diantara
duramater dan piamater. Pada CT-scan tampak
seperti gambaran bulan sabit, dan paling sering
terjadi pada daerah lobus frontal inferior dan lobus
temporal anterior. SDH diklasifikasikan menjadi
(1) Akut, (2) Subakut, dan (3) Kronik. Outcome
yang buruk terjadi jika terjadi SDH bilateral atau terakumulasi secara cepat, atau penanganan operasi
ditunda lebih dari 4 jam. SDH akut berhubungan
dengan mortalitas yang tinggi. Laju mortalitas
(mortality rate) SDH sangat tinggi mencapai 50%.
Beberapa faktor mempengaruhi outcome pasien
pada SDH termasuk umur, waktu darti kejadian
cedera sampai penanganan, adanya pupil yang
abnormal, GCS motor skor saat masuk, koma, lucid
interval, gambaran CT scan (ketebalan hematom,
midline shift), TIK postoperatif dan tipe
pembedahan. Adanya kontusio serebral
memperburuk prognosis SDH. 1,2,3
SDH menyebabkan kerusakan otak dengan
meningkatkan TIK dan pergeseran struktur otak
(shifting). Terapi utama SDH adalah evakuasi
hematom dengan pembedahan, semakin lama
pembedahan tertunda (delay time) semakin buruk
kerusakan iskemik yang terjadi. Beberapa studi
menyatakan penurunan morbiditasdan mortalitas
pada pasien yang dilakukan evakuasi hematom
segera. 1,2,3
C. Manajemen Perioperatif pada Cedera
Kepala Traumatik
Manajemen perioperatif pada pasien cedera kepala
fokus pada stabilisasi dan mencegah cedera
sekunder karena sebab sistemik dan intrakranial.
Assessmen preanestesi mencakup (1) Airway dan
cervical spine, (2) Breathing: oksigenasi dan
ventilasi, (3) Circulatory Status, (4) Associated
Injury, (5) Status Neurologis (GCS), (6) Penyakit kronis penyerta, (7) Circumstances of injury: waktu
kejadian cedera, lamanya tidak sadar, riwayat
mengkonsumsi alkohol dan obat lain. 1,3,4
Langkah pertama adalah menjaga jalan nafas dan
ventilasi yang adekuat. Intubasi dan ventilasi
mekanik dilakukan jika diperlukan, namun harus
dijaga agar tidak terjadi kenaikan tekanan
intracranial. Setelah jalan nafas terkontrol, fokus
penanganan terhadap resusitasi kardiovaskuler.
Hipotensi sering terjadi pada cedera kepala
biasanya karena perdarahan. Keadaan ini harus
segera ditangani secara agresif dengan cairan, koloid, darah, inotropik maupun vasopresor bila
perlu. Hal yang harus diperhatikan dalam resusitasi
kardiovaskuler adalah terjadinya edema serebri.
Osmolalitas serum total merupakan kunci
terjadinya edema serebri. Ketika osmolalitas serum
menurun maka akan terjadi edema serebri karena
rusaknya sawar darah otak, sehingga cairan yang
hipoosmoler akan menyebabkan peningkatan kadar
air otak. Hipovolemia seringkali tidak tampak pada
tekanan darah yang relatif stabil karena
hiperaktivitas simpatis atau respon terhadap peningkatan TIK. Karenanya resusitasi cairan
seharusnya tidak berdasarkan pada tekanan darah
semata, namun juga pada produksi urine dan
tekanan vena sentral. Larutan kristaloid isotonis dan
hipertonis maupun koloid dapat diberikan untuk
mempertahankan volume intravaskuler. Darah dan
produk darah dapat diberikan jika kadar hematokrit
rendah (< 30%). Larutan yang mengandung glukosa
sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan
hiperglikemi dan perburukan outcome neurologis.
Jika tekanan darah dan curah jantung tidak dapat
dikembalikan dengan resusitasi cairan, maka inotropik dan vasopresor intravena dapat segera
diberikan.1,3,4
D. Manajemen peningkatan TIK
Penurunan TIK dan pemeliharaan tekanan darah
adalah hal yang krusial pada penanganan hipertensi
intrakranial. Hipertensi intrakranial dapat
mempresipitasi reflek hipertensi arterial dan
bradikardi (Trias Cushing).
(1) Hiperventilasi; jika ditemukan tanda herniasi
transtentorial pada pasien dengan cedera kepala
berat, hiperventilasi sampai PaCO2 30 mmHg harus
segera dilakukan karena hiperventilasi dapat secara
cepat dan efektif menurunkan TIK. (2) Terapi diuretik; manitol 0,25 – 1 g/KgBB infus selama 15
menit, dapat diulangi setiap 3-6 jam. (3) Posisi;
elevasi kepala 10-300 memfasilitasi drainase CSF
dan vena serebral, serta dapat menurunkan TIK. (4)
Barbiturat; barbiturat dikenal memiliki efek
proteksi serebral dan menurunkan TIK. Barbiturat
dosis tinggi dapat diberikan pada pasien dengan
cedera kepala berat yang tidak mampu di kontrol
dengan terapi medikal dan pembedahan. 1,3,4
E. Manajemen Anestesi
Tujuan utama manajemen anestesi adalah meningkatkan perfusi serebral dan oksigenasi,
mencegah kerusakan sekunder dan memberikan
kondisi yang optimal untuk pembedahan. Anestesi
umum menjadi pilihan untuk mengontrol fungsi
respirasi dan kardiosirkulasi. Induksi anestesi dapat menggunakan obat anestesi intravena. Pada
umumnya pemilihan obat anestesi berdasarkan
efeknya pada sistem kardiovaskuler, namun pada
kasus cedera kepala, harus dipikirkan efeknya
terhadap aliran darah otak, volume darah otak,
tekanan intra kranial cairan serebrospinal, auto
regulasi serta respon terhadap CO2. Obat anestesi
intravena yang dapat menurunkan TIK dan aliran
darah otak adalah tiopental, etomidate, propofol
dan midazolam. Untuk pemeliharaan anestesi dapat
menggunakan anestesi intravena maupun inhalasi. Obat yang ideal adalah obat yang mampu
menurunkan TIK, memelihara suplai oksigen ke
jaringan otak, dan menjaga otak dari iskemik akibat
metabolik. Barbiturat (pentotal), etomidat,
propofol, midazolam dan narkotik dapat menjadi
pilihan karena efeknya yang baik dalam hal
menurunkan CBF, TIK, dan CMRO2. Untuk
anestesi inhalasi, isofluran, sevofluran, dan
desfluran dapat menjadi pilihan. Vekuronium
merupakan pelumpuh otot pilihan karena efeknya
minimal terhadap TIK, tekanan darah dan denyut
nadi.1,3,4,7
Hipotensi intraoperatif karena perdarahan maupun
karena perlakuan anestesi harus dihindari, karena
dalam 24 jam pertama otak telah mengalami
hipoperfusi. Pembengkakan otak intraoperatif
ataupun herniasi dari tempat operasi dapat menjadi
komplikasi dekompresi hematom. Dapat disebab-
kan karena posisi pasien yang kurang baik, ICH
kontralateral, gangguan drainase vena, atau
hidrocephalus akut karena perdarahan
intraventrikuler harus segera ditangani.3,4
F. Proteksi Serebral
Menurunkan CMRO2 tampaknya adalah cara kerja
utama pharmakologi proteksi otak dan barbiturat memiliki efek tersebut. Barbiturat dosis tinggi
direkomendasikan untuk mengontrol peningkatan
TIK, dimana terapi medis dan pembedahan tidak
mampu mengatasi peningkatan TIK ini. Penurunan
suhu tubuh (hipotermia) 35-33oC dipercaya
memiliki efek proteksi serebral. Mekanisme
proteksi termasuk menurunkan kebutuhan
metabolik, eksitotoksisitas, menghambat
pembentukan radikal bebas dan edema.1,3,4,7
67
SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN
PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI
Tabel. 1. Terapi Hipertensi Intrakranial pada Cedera Kepala Traumatik Berat 4
Penatalaksanaan Hipertensi Intrakranial pada Cedera
Kepala Traumatik Berat (Glasgow Coma Scale ≤ 8)
1. Pasang ICP monitor
2. Pertahankan CPP 50-70 mmHg
First Tier Therapy
Drainase ventrikel (jika tersedia)
Manitol 0,25-1 gr/Kg iv (dapat diulang jika
osmolaritas serum < 320 mOsm/L dan euvolemik)
Hiperventilasi untuk mencapai PaCO2 30-35mmHg
Second Tier Therapy
Hiperventilasi sampai PaCO2 < 30 mmHg
(monitor SjVO2, AvDO2 dan CBF direkomendasikan)
Terapi barbiturat dosis tinggi (koma barbiturat)
Pertimbangkan Hipotermia
Pertimbangkan terapi hipertensi
Pertimbangkan kraniektomi dekompresi
Dikutip dari: Bendo AA.4
G. Atrial Fibrilasi (AF)
Atrial fibrilasi merupakan penyakit aritmia jantung
yang paling sering ditemukan. AF kadang muncul
tanpa gejala, namun seringkali berhubungan dengan
nyeri dada, kelelahan, atau penyakit jantung
kongestif (CHF). Angka kejadian AF meningkat
sesuai umur, 5% usia diatas 70 tahun mengalami
AF. AF sering terjadi pada penyakit jantung kongestif / CHF (40%), bypass koroner jantung
(25-50%), dan pada pasien kritis (15%). AF dapat
meningkatkan resiko stroke sampai tujuh kali lipat,
dan diperberat lagi jika terdapat hipertensi. 5,6
1. Gejala Klinis
Atrial fibrilasi biasanya ditandai dengan denyut
jantung yang cepat dan ireguler. Keadaan ini dapat
menyebabkan palpitasi, angina, gejala kongestif,
nafas yang pendek bahkan edema. Pada
kebanyakan kasus AF terjadi sekunder terhadap
penyakit yang lain. Adanya riwayat stroke, TIA, hipertensi, DM, gagal jantung dan demam rematik,
menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki AF
dengan komplikasi resiko tinggi.5,6
2. Penatalaksanaan AF
Tujuan utama penatalaksanaan AF adalah
mencegah instabilitas kardiosirkulasi dan stroke,
yaitu dengan cara mengontrol laju denyut ventrikel
(rate control), mengontrol irama jantung (rhytm
control) dan antikoagulant. Rate Control
menurunkan denyut jantung mendekati normal, 60-
100 x/menit tanpa mengubah irama jantung. Rhytm
Control mengembalikan irama jantung normal (cardioversi) dan menjaga irama dengan obat-
obatan.
Rate Control dapat dicapai dengan obat-obatan dengan meningkatkan derajat hambatan pada AV
node. Obat-obatan yang dapat digunakan adalah
golongan beta bloker (yang kardioselektif lebih
baik), non dihidropiridine Ca chanel bloker
(diltiazem, verapamil), dan glikosida jantung
(digoksin). Selain obat diatas, amiodaron juga
memiliki efek blokade AV node jika diberikan
secara intravena. 5,6
3. Ventricular Rate Control
Pada AF, sangat penting untuk mengontrol respon
ventrikel (laju denyut ventrikel), jika hemodinamik tidak stabil dengan respon ventrikel cepat (Rapid
Ventricular Respons), synchronized DC shock
harus segera diberikan. Jika hemodinamik stabil,
simtomatik dan fungsi ventrikel kiri normal,maka
cukup dengan obat-obatan saja. Beta bloker,
diltiazem, digoksin, magnesium, amiodaron atau
sotalol dapat diberikan. Pada AF kronik digoksin
sering menjadi pilihan, khususnya pada fungsi
ventrikel kiri yang tidak baik. Beta bloker sering
diberikan sebagai tambahan untuk meningkatkan
daya kerja digoksin. Amiodaron juga memiliki hasil
yang baik pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri. 5,6
Gambar.1. Gambaran EKG Atrial Fibrilasi
Dikutip dari: Prystowsky EN.6
H. Penyakit Jantung Hipertensi
Penyakit jantung hipertensi disebabkan karena
peningkatan tekanan darah yang kronis, namun
penyebab kenaikan tekanan darah bisa bermacam
macam. Hipertensi menyertai seperempat kasus
gagal jantung. Studi komunitas menunjukkan hipertensi 50-60% berperan terhadap terjadinya
gagal jantung. Hipertensi yang tidak terkontrol
menyebabkan perubahan struktur miokard dan
pembuluh koroner serta sistem konduksi jantung.
Perubahan ini dapat menyebabkan terjadinya LVH, CAD, penyakit gangguan konduksi jantung,
disfungsi sistolik dan diastolik miokard.
Komplikasi yang terjadi manifestasinya dapat
berupa angina, miokard infark, aritmia jantung
(khususnya atrial fibrilasi), dan CHF. Perubahan
pola makan, konsumsi obat antihipertensi yang
teratur, olah raga yang teratur serta pengaturan
berat badan yang ideal adalah hal yang perlu
dilakukan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut
dan perbaikan outcome. 8
I. Implementasi
Pada pasien ini prinsip penanganan praanestesi dan
prioperatif telah dilakukan terutama penanganan
airway, breathing, sirkulasi. Penanganan terhadap
atrial fibrilasi yang terjadi, diberikan digoksin drip
0,25 mg/jam untuk kontrol laju denyut jantung dan
kontrol terhadap tekanan darah. Pada pasien ini
obat pro koagulan tidak diberikan karena
memberikan efek kurang baik terhadap perdarahan
subdural yang terjadi pada pasien ini serta respon
ventrikel yang masih normal.
Memang terjadi keterlambatan (delayed time) lebih
dari 4 jam, sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien ini, namun jika melihat
kondisi klinis pasien, dimana GCS masih 14, tidak
ditemukan tanda TIK yg meningkat serta tanda-
tanda herniasi.
Pemilihan jenis cairan dan obat anestesi telah
dipilih yang memiliki efek yang baik terhadap otak
(proteksi serebral) yaitu larutan isotonis dan
hipertonis, obat anestesi intravena yang
menurunkan TIK dan aliran darah otak, propofol,
fentanil, lidokain, midazolam. Thiopental
sebenarnya merupakan pilihan utama karena efeknya menurunkan CMRO2, namun obat ini tidak
tersedia.
Pascabedah, terjadi respon cepat ventrikel terhadap
atrial fibrilasi, peningkatan tekanan darah serta
VES bigemini, sehingga diputuskan untuk menunda
ekstubasi di kamar operasi. Amiodaron dan
clonidin diberikan untuk mengontrol laju jantung,
irama jantung serta peningkatan tekanan darah.
IV. Simpulan
Semua keadaan ini saling memperberat, pada
cedera kepala traumatik terjadi peningkatan aktivitas simpatis sebagai respon terhadap stress
(sympathetic storming). Sympathetic storming
terjadi pada 24 jam pertama setelah cedera sampai
beberapa minggu kemudian. Jika sympathetic
storming tidak ditangani akan meningkatkan resiko
cedera otak sekunder. Penurunan oksigenasi
jaringan otak merupakan akibat dari dampak fisiologis pada sistem tubuh. Hipertensi, aritmia,
hiperglikemi, hipertermi dan hipernatremi dapat
muncul akibat sympathetic storming. Aritmia yang
sering muncul adalah bradikardi, denyut ektopik,
denyut ireguler, atrial fibrilasi dan supraventrikuler
takikardi. Aritmia harus segera ditangani jika
mengancam kehidupan, dan menyebabkan
instabilitas hemodinamik serta hipoksia serebral,
baik karena infark miokard maupun thromboemboli
(AF dan SVT). Persiapan yang baik sebelum
pembedahan yaitu oksigenasi, stabilisasi respirasi dan kardiovaskuler termasuk terapi aritmia, serta
status cairan yang adekuat akan memberikan hasil
yang lebih baik.
V. Daftar Pustaka
1. Yarham S, Absalom A. Anesthesia for patient with head injury. Dalam: Gupta, Gelb, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders. 2008 ;150-9.
2. Sakabe T and Bendo A. Anesthetic management of head trauma. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007 ; 91-110.
3. Gopinath SP, Robertson CS. Management of severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery. 4th ed. USA: Mosby. 2001; 663-91.
4. Bendo AA. Perioperative management of adult patient with severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Neuroanesthesia. 5th ed. USA: Mosby. 2010; 317-25.
5. Holt A. Management of cardiac arrhytmias. Dalam: Oh TE, Bersten AD, Soni N, eds. Intensive Care Manual. 5th ed. China: Butterworth-Heinemann;2003; 157-205.
6. Prystowsky EN. "Management of atrial fibrillation: therapeutic options and clinical decisions". Am J Cardiol 2000; 85 (10A): 3D–11D.
7. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Bandung: Saga Olahcitra; 2011.
8. Riaz K, Ali YS, Ahmed A. Hypertensive Heart Disease. Medscape. 2012.
9. Lemke DM. Sympathetic storming after severe traumatic brain injury. Clinical Article. Critical Care Nurse 2007; 27 : 30-37.
10. Avelino AM, Lam AM, Winn HR. Management of acute head injury. Dalam:
69
SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN
PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI
Albin MS, ed. Textbook of Neuroanesthesia with Neurosurgical and Neuroscience Perspective. USA : McGraw-Hill; 1997, 1137-69.
1
PERAN NEURO CRITICAL CARE PADA TATA LAKSANA PASIEN CEDERA
AKSONAL DIFUS
THE ROLE OF NEUROCRITICAL CARE ON DIFFUSE AXONAL INJURY
MANAGEMENT
Bambang Harijono, Siti Chasnak Saleh
Departemen Anestesiologi dan Reanimasi
RSUD dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya
Abstract
Diffuse Axonal Injury (DAI) is a state of long-time unconsciousness, more than 6 hours in severe traumatic brain
injury and without mass lesions of intracranial. According to how long the patient still in coma condition, DAI is
divided into 3 categories, grade I (mild), grade II (moderate), grade III (severe). If this condition not addressed
quickly and accurately, the patient may will get a permanent disability and still in a vegetative state condition.
The importance of Neuro-anesthesiologist and Critical Care is to take care of the patient, from the trauma site
until in the neurointensive care.
A woman, 18 years old, weight 50 kg, height 165 cm. She had a motorcycle accident and unconscious from the
trauma site until she got into the hospital. Intra Cranial Pressure (ICP) Monitoring and a treatment of traumatic
brain injury in general was performes. On the 4th day after trauma, the patient began to understand the
command that was given and the GOS (Glasgow Outcomes Scale) is 3 (severe disability). DAI occurs due to severe brain injury after trauma resulting in impairment of consciousness with the absence of
intracranial mass lesions and also ischemia. The various theories bring to the surface regarding the occurrence
of DAI. The management in DAI is nothing specials, it contains the treatment in traumatic brain injury in
general, the prevention of secondary injury and maintain ICP in normal condition is essentials. The prognosis is
depends on the type DAI that was occurs.
Keywords : anesthesia, diffuse axonal injury, traumatic brain injury.
JNI 2102;1(3):189-196
Abstrak
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury / DAI) adalah keadaan penderita dengan kehilangan kesadaran,
lebih dari 6 jam pada cedera otak traumatik berat dan tanpa lesi masa intrakranial. Berdasar lama kondisi koma
pada pasien, DAI dibagi menjadi 3 kategori, kelas I (ringan), kelas II (sedang), kelas III (berat). Bila tidak
ditangani dengan cepat dan tepat, kemungkinan pasien akan mengalami cacat permanen dan tetap dalam kondisi
vegetative. Peran Neuro Anestesi dan Critical Care adalah untuk menangani penderita, dimulai dari tempat
kejadian trauma hingga perawatan neurointensif.
Seorang wanita, umur 18 tahun, berat badan 50 kg, tinggi 165 cm. Mengalami kecelakaan sepeda motor,
kemudian penderita pingsan mulai dari tempat kejadian sampai dibawa ke rumah sakit. Dilakukan monitoring
tekanan intrakranial (ICP) dan perawatan cedera otak traumatik berat pada umumnya. Pada hari ke 4 setelah
trauma, penderita mulai sadar, dapat diperintah dan dengan nilai Glasgow Outcomes Scale (GOS): 3 (cacat
parah). DAI terjadi karena cedera otak berat setelah trauma sehingga menyebabkan penurunan kesadaran tanpa adanya
lesi masa intrakranial maupun iskemik. Bermacam-macam teori dikemukakan mengenai terjadinya DAI.
Penatalaksanaan DAI tidak ada yang khusus, dilaksanakan penanganan seperti pada cedera otak traumatik
umumnya, hanya diperlukan pencegahan cedera sekunder dan mempertahankan tekanan intrakranial (ICP) dalam
kondisi normal. Prognosa tergantung dari jenis DAI yang terjadi.
Kata kunci : anestesi, cedera difus aksonal, cedera otak traumatik.
JNI 2102;1(3):189-196
2
I. Pendahuluan
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury / DAI)
pertama kali diperkenalkan oleh Sabrina Strich,
yang dikemukakan pada tahun 1956 dengan nama
Diffuse Degeneratif of White Matter, yang
kemudian dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury.
Strich meneliti hubungan antara demensia dengan
trauma kepala dan di tahun 1956 menegaskan,
bahwa DAI mempunyai peran penting dalam
perkembangan akhir demensia yang disebabkan
oleh trauma kepala. Istilah Diffuse Axonal Injury
baru populer pada awal tahun 1980.1
Cedera aksonal difus adalah keadaan penderita
dengan kehilangan kesadaran dalam jangka waktu
lama, pada cedera otak berat yang disebabkan oleh
karena trauma, dimana tanpa lesi masa intrakranial.
Kehilangan kesadaran terjadi sejak saat cedera dan
berlanjut sampai lebih dari 6 jam.2 Akson adalah sel
saraf panjang yang membawa impuls elektrik dari
satu bagian sistem saraf ke bagian yang lain. Pada
otak dan medula spinalis terdapat miliaran akson
yang membawa informasi secara bolak-balik.3
Pada DAI terjadi lesi yang luas didalam saluran
white matter. Ini merupakan penyebab utama dari ketidaksadaran penderita dan dapat memburuk
menjadi persistant vegetative setelah trauma kepala
terjadi.1 Pada 90% pasien DAI berat yang
mengalami koma, tidak pernah sadar kembali.
Banyak penulis lain yang menyatakan bahwa DAI
dapat terjadi pada setiap derajat beratnya cedera
kepala, dari ringan, sedang hingga cedera kepala
berat.2 Dengan campur tangannya seorang neuro
critical care yang juga seorang neuro anestetist
maka diharapkan akan mendapatkan hasil yang
lebih baik dan penderita dapat beraktivitas normal kembali. DAI pada umumnya disebabkan karena
penderita jatuh, perkelahian dan paling sering
karena kecelakaan kendaraan bermotor dan juga
kekerasan pada anak yang disebut sebagai Shaken
Baby Syndrome.1
II. Kasus
Seorang wanita 18 tahun, berat badan 50 kg, tinggi
badan 165 cm. Masuk RSUD dr. Soetomo,
Surabaya bagian Instalasi Rawat Darurat tanggal 25 Februari 2012 jam 18.00.
Tanggal 25 Februari 2012 jam 14.00, penderita naik
sepeda motor dan menyeberang jalan kemudian
ditabrak dengan sepeda motor lain. Kejadian
tersebut tidak diketahui secara pasti. Penderita
langsung pingsan/tidak sadar ditempat kejadian dan
tetap tidak sadarkan diri sampai dibawa ke rumah
sakit terdekat. Dari hetero anamnesa, penderita
muntah dua kali dan penderita juga memakai helm pengaman. Penderita langsung dibawa ke RS
Anwar Medika Krian, diberikan pertolongan
dengan memasang infus dextrose 5%-0.45% NaCl,
diberikan oksigen masker 8 liter/menit, dipasang
neck collar, dilakukan foto dada dan cervical,
tercatat tekanan darah 80/40 mmHg, nadi 120
kali/menit. Karena alat CT-scan RS Anwar Medika
Krian rusak, pasien kemudian dirujuk ke RSUD dr.
Soetomo dengan diagnosa cedera otak berat (COB).
Setelah pasien tiba di RSUD dr. Soetomo (tanggal
25 Februari 2012, pukul 18.00) dilakukan pemeriksaan ulang diruang resusitasi, dengan hasil
sebagai berikut.
Pemeriksaan fisik
Hasil Primary Survey: Jalan nafas bebas, terpasang
neck collar. Nafas spontan, frekuensi 20 kali/menit,
gerak dada simetris, kedua paru terdengar vesicular,
tidak terdengar ronchi dan wheezing. Perfusi
hangat, kering, merah, capillary refill time (CRT)
normal, tekanan darah 125/87 mmHg, nadi 120
kali/menit. Respon terhadap rasa sakit/GCS 5
(1,1,3), reflek cahaya +/+, pupil bulat isokor 3/3,
lateralisasi (-), kejang (-), tanda fraktur basis cranii (-). Tanda-tanda ekstrimitas fraktur (-).
Tindakan terapi sementara di UGD (ruang
resusitasi)
- Diberikan oksigen masker 10 liter/menit, serta
dipersiapkan untuk intubasi setelah sebelumnya,
memberi penjelasan dan minta persetujuan
keluarga.
- Infus diganti dengan NaCl 0,9%
- Induksi dengan Midazolam 2 mg + 2 mg, Rocuronium 50 mg, ditambahkan Lidokain 60
mg secara intravena. Intubasi dengan ETT no. 7
diberi Cuff. Dilakukan kontrol ventilasi dengan
FiO2 50%.
- Dilakukan pemasangan naso gastric tube
- Pemeriksaan laboratorium lengkap dan CT-scan
ulang.
Hasil Secondary Survey: Jalan nafas bebas,
terintubasi, gerak dada simetris, suara nafas
vesikuler serta tidak terdengar ronchi juga
wheezing pada kedua paru. Perfusi dan capilary refill time normal, tekanan darah 125/87 mmHg,
nadi 105 kali/menit, tidak terdapat tanda-tanda
perdarahan aktif. Tersedasi, pupil bulat isokor 3/3,
reflek cahaya +/+, battle sign (-), panda sign (-).
Terpasang kateter, produksi urine 50 ml/jam,
kuning dan jernih. Abdomen supel, terpasang NGT.
Lainnya dalam batas normal.
3
Pemeriksaan laboratorium
Hb: 10.4 g/dL, Hct: 31.1 %, Leukosit: 16.100,
Thrombosit: 204.000, BUN: 4.5 mg/dL, Sr.
Creatinin: 0.39 mg/dL, Albumin: 4.29 g/dL, Gula
darah: 103 mg/dL, SGOT: 33 u/L, SGPT: 22 u/L,
APPT: 30.1/29.6 detik, PPT:13.8/11.5 detik, Na+:
135 mmol, K+: 2.88 mmol, Cl-: 108.9 mmol.
Analisa gas darah (FiO2 50%) pH: 7.37, PaCO2:
33 mm/Hg, PaO2: 293 mm/Hg, HCO3: 19.1
mmol/L, Tot. CO2: 20.1 mmol/L, BE: -6.2
mmol/L. Foto dada (gambar 1.1): dalam batas
normal. Foto leher (gambar 1.2): dalam batas normal. CT Scan (gambar 1.3 & 1.4): menunjukkan
adanya edema otak, tanpa midline shift.
Gambar 1. 1 Gambar 1. 2
Gambar 1. 3
Gambar 1. 4
Diagnosa akhir: pasien cedera otak berat (COB)
dan cedera aksonal difus (DAI). Rencana terapi
selanjutnya adalah: posisi head up 30°, ventilasi
dikendalikan, infus NaCl 0,9% 1500 ml/24 jam,
mannitol 4 x 100 ml/iv, antibiotik, dilakukan
pemasangan ICP monitoring dengan anestesi umum di ruang operasi.
Pengelolaan anestesi
Keadaan saat di kamar operasi (jam 21.45 WIB):
Jalan nafas bebas, terintubasi, nafas dikontrol,
gerak dada simetris, suara nafas vesikuler, ronchi
dan wheezing tidak terdengar di kedua paru. Perfusi
normal, CRT normal, tekanan darah 105/60 mmHg,
nadi 95 kali/menit. Tersedasi, reflek cahaya +/+,
pupil bulat isokor 3/3. Terpasang kateter, produksi
urine 100 ml/jam. Lainnya dalam batas normal.
Diberikan tambahan terapi dengan Propofol 50 mg, Vecuronium 4 mg. Untuk rumatan diberikan
Isofluran, O2 50% serta udara 50%. Selain itu, juga
diberikan Fentanyl 50 mcg/jam (1 mcg/kgBB/jam)
serta Vecuronium 2 mg/jam (0.04 mg/kgBB/jam)
dengan syringe pump. Selama operasi tekanan
darah berkisar, Sistolik 100–120 mmHg, Diastolik
60–80 mmHg, Nadi 80–90 kali/menit, SpO2 99-
100%.
Keseimbangan cairan sebelum operasi: (cairan
masuk) D5-0,45 NS: 1000 ml, NaCl 0.9%: 1000
ml, Mannitol: 200 ml, (cairan keluar) Urine: 400
ml.
Keseimbangan cairan selama operasi: (cairan
masuk) Koloid/voluven: 200 ml, NaCl 0.9%: 200
ml, (cairan keluar) Urine: 200 ml, Perdarahan: 150
ml.
Dilakukan boor hole untuk pemasangan ICP
Monitoring, mulai jam 21.45-23.45 (durasi operasi:
2 jam). Kemudian dilakukan pemasangan drain
intraventrikuler dengan menggunakan naso gastric
tube no. 8 dan dilakukan fiksasi. ICP terukur
berkisar 15 cmH2O, dan liquor jernih. Operasi
selesai.
Pascabedah
Hari ke 0 pascabedah (26/2/2012): Jalan nafas
bebas, terintubasi, kontrol ventilasi, FiO2: 50%
kemudian diturunkan menjadi 30%. Tidak
terdengar ronchi dan wheezing, suara nafas
vesikuler. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 70
kali/menit, suhu 37.2°C. Tersedasi, pupil bulat
isokor 3/3, reflek cahaya +/+, ICP: 15 cmH2O.
Terpasang kateter, produksi urine sekitar 50
ml/jam, kuning, jernih. Lainnya dalam batas
normal. Terapi yang diberikan: posisi head up 30°,
ventilasi dikendalikan dengan sedasi morphine dan midazolam, analgesik, H2 blocker, antibiotik,
mannitol 4 x 100 ml, infus NaCl 0,9% 1500 ml/24
jam, pirasetam, drip KCl: 25 meq/12 jam.
Hari ke I pascabedah (27/2/2012): Jalan nafas
bebas, terintubasi, ventilator mode: spontan, FiO2
4
30%. PS: 10, PEEP: 6, Trigger – 2, sehingga didapat TV: 390, RR 16 kali/menit, MV: 6.1. Suara
nafas vesikuler, tidak terdapat ronchi dan wheezing.
Perfusi hangat, kering, merah, CTR normal,
tekanan darah 109/80 mmHg, MAP: 80 mmHg,
nadi 88 kali/menit. GCS 2, X, 5, pupil bulat isokor
3/3, ICP: 13 cmH2O, reflek batuk (+), EVD 150 ml.
Terpasang kateter urine, dan lainnya dalam batas
normal. Terapi yang diberikan: Infus Ringer
dextrose 5% 1000 ml/24 jam, Sonde 6 x 250 ml
(sonde nutrisi), Antibiotik, Phenytoin, Pirasetam.
Hari ke II pascabedah (28/2/2012): Jalan nafas bebas, terintubasi, ventilator mode: spontan, PS: 6,
Trigger 2, PEEP 6, FiO2 30%. Sehingga
menghasilkan TV 380-450, MV 7-8.4, RR 18-20
kali/menit. SpO2 99-100%. Tekanan darah 118/84
mmHg, nadi 88 kali/menit. GCS 3, X, 5, pupil bulat
isokor 3/3, ICP : 8 cmH2O. Terpasang kateter urine
dan lainnya dalam batas normal. Terapi yang
diberikan; Infus Ringer dextrose 5% 1000 ml/24
jam, Sonde 6 x 250 ml (sonde nutrisi), Antibiotik,
Phenytoin, Pirasetam. Pada hari ini pula, kondisi
pasien membaik, dicoba nafas spontan, sehingga
ekstubasi dapat dilakukan.
Hari ke III pascabedah (29/2/2012): Jalan nafas
bebas, nafas spontan, RR 20 kali/menit, suara paru-
paru vesikuler, tidak terdapat ronchi dan wheezing.
Perfusi cukup, CRT normal, tekanan darah 128/84
mmHg, nadi 77 kali/menit. GCS 13 (3,4,6), reflek
cahaya +/+, pupil bulat isokor 3/3, dilakukan
pelepasan drain EVD. Terpasang kateter urine dan
lainnya dalam batas normal. Pada hari yang sama,
penderita pindah ruangan bedah saraf.
III. Pembahasan
A. Anatomi
Otak besar (cerebrum) terdiri atas beberapa bagian
antara lain, korteks cerebri (grey matter), white
matter (substansi alba). Korteks cerebri atau biasa
disebut grey matter adalah substansi grisia yang
terletak pada permukaan hemisphere cerebri. Tiap
hemisphere cerebri terdiri dari lobus frontalis,
lobus parietalis, lobus temporalis dan lobus
occipitalis. Secara makroskopik, bagian ini
mengandung badan sel saraf, dendrit dan ujung akson yang tidak bermielin.2
Sedangkan white matter (substansi alba) merupakan
bagian pusat dari hemisphere cerebri yang letaknya
dibawah korteks cerebri. Medulla serebri terdiri
dari substansi alba, ventrikulus lateralis dan
kelompok nuclei. Secara makroskopik, bagian ini
sebagian besar tersusun atas akson bermyelin.2
B. Definisi
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury/DAI)
merupakan bentuk cedera otak berat yang terjadi
pada penderita cedera otak traumatik (Traumatic
Brain Injury/TBI).2 Cedera aksonal difus (DAI)
terjadi karena cedera otak berat yang menyebabkan
penurunan kesadaran tanpa adanya lesi masa
intrakranial ataupun kerusakan iskemik. Cedera
otak (Head Injury) berdasarkan GCS di bagi
menjadi2 :
1. Cedera Kepala Ringan (Head Injury Grade I)
Penderita dengan cedera kepala ringan
memiliki skor GSC 13-15, bisa disertai dengan
disorientasi, amnesia, sakit kepala, mual dan
muntah.
2. Cedera Kepala Sedang (Head Injury Grade II)
Penderita dengan cedera kepala sedang
memiliki skor GCS 9-12 atau GCS bisa lebih
dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis focal.
Pada keadaan ini pasien masih bisa mengikuti
perintah sederhana yang diberikan. 3. Cedera Kepala Berat (Head Injury Grade III)
Penderita dengan cedera kepala berat memiliki
skor GCS ≤ 8, dengan atau tanpa disertai
dengan gangguan fungsi batang otak.
Penilaian derajat kesadaran ini dilakukan sesudah
stabilisasi pernafasan dan stabilisasi sirkulasi
penderita untuk memastikan bahwa defisit tersebut
diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh cedera
yang lain.2
Pada kasus yang dibicarakan didapatkan penderita
dengan GCS 5 (1,1,3), penilaian GCS ini diberikan
setelah dilakukan primer survey dan resusitasi dengan oksigenasi, pemasangan infus dan neck
collar, sehingga penderita tersebut termasuk dalam
cedera otak berat ( Head Injury Grade III).
C. Epidemiologi
Cedera otak karena trauma merupakan penyebab
kematian dan kecacatan di seluruh dunia, terutama
di negara berkembang termasuk Indonesia.
Kejadian cedera otak dari waktu ke waktu tidak
pernah berkurang. Faktor-faktor yang menyebabkan
cedera otak antara lain: meningkatnya kuantitas dan
kualitas sarana transportasi, sehingga mengakibatkan meningkatnya jumlah kecelakaan
lalu lintas. Meningkatnya kuantitas dan kualitas
industri, terutama kendaraan bermotor, juga
berpengaruh pada meningkatnya kecelakaan. Faktor
lain seperti disiplin lalu lintas, sarana pendukung
jalan yang relative tetap dan mudahnya untuk dapat
memiliki kendaraan bermotor, juga memicu
kecelakaan.2
5
Cedera otak lebih banyak dialami oleh kelompok dewasa muda antara 15–30 tahun, dari pada anak-
anak dan orang tua, dan lebih banyak terjadi pada
laki-laki dari pada wanita. Hal ini dikarenakan usia
dewasa muda dan laki-laki lebih sering beraktifitas
atau lebih banyak menggunakan kendaraan.
Sedangkan, pada kasus ini dialami oleh seorang
wanita dewasa muda karena kecelakaan lalu lintas
mengendarai sepeda motor.
D. Mekanisme Cedera Kepala
Mekanisme cedera kepala terbagi menjadi 3 macam
pergerakan yaitu linier, rotasional dan angular. Pada umumnya banyak cedera kepala melibatkan 3
pergerakan tersebut.1,2,3 Tidak seperti trauma otak
yang terjadi karena benturan langsung, kerusakan
dari otak pada DAI merupakan hasil dari
pergeseran yang terjadi ketika kepala bergerak
secara cepat dan paksa yang bisa terjadi pada
kecelakaan kendaraan, jatuh dan lainnya.1,2,3
Penyebab utama kerusakan pada DAI adalah
gangguan pada akson. Sedangkan akson tersebut
terlihat putih karena mengalami myelinisasi,
sehingga disebut sebagai white matter. Akselerasi
dan deselerasi pada kepala menyebabkan cedera pergeseran sehingga mengakibatkan kerusakan
yang ditimbulkan karena adanya gesekan antara
jaringan yang satu dengan jaringan yang lain.
Ketika otak mengalami akselerasi, bagian dari
komponen otak dapat bergeser/berotasi secara
simetris dan meregangkan akson yang
bersimpangan pada area yang berbeda, khususnya
pada area pertemuan antara white matter dan grey
matter. Dua per tiga dari lesi pada DAI terjadi pada
area dimana terdapat pertemuan antara white matter
dan grey matter.1,2
Selama cedera trauma kepala, banyak gaya tekan
yang terjadi pada otak. Tekanan/gaya inilah yang
dapat menyebabkan perputaran dan pergeseran
pada jaringan otak. Dengan perputaran dan
pergeseran pada jaringan otak, akson yang panjang
dapat meregang dan akhirnya putus sehingga
impuls elektrik yang normal tidak bisa dihantarkan
oleh akson. Disebut cedera aksonal difus karena
secara umum, menyebabkan akson pada banyak
area di otak dapat mengalami cedera secara
simultan (bersamaan). Karena cedera ini dapat
menyebar luas pada otak, bentuk dari cedera ini menjadi salah satu yang paling fatal dan
menyebabkan cacat neurologis secara permanen2,3,4.
E. Patofisiologi Cedera Aksonal Difus (DAI)
Lesi biasanya muncul pada white matter otak yang
cedera karena DAI. Lesi ini memiliki ukuran yang
bervariasi dari 1–15 mm dan dapat menyebar. DAI
biasanya mempengaruhi daerah white matter,
termasuk brain stem, corpus callosum dan cerebral hemisphere. Lobus otak yang biasanya cedera
adalah pada bagian frontal dan temporal. Lokasi
lainnya yang umum untuk DAI, termasuk white
matter pada korteks serebri, corpus callosum,
superior cerebral peduncle, basal ganglia,
thalamus dan deep hemispheric nuclei. Area-area
inilah yang mungkin lebih mudah rusak karena
adanya perbedaan kepadatan antara area tersebut
dengan area yang lain.1,4,5
DAI ditandai dengan adanya akson yang terpisah
karena putus akibat perenggangan secara tiba-tiba. Penyebab utama dari robeknya akson karena
tekanan mekanis selama terjadi trauma, tetapi dapat
juga akson tidak robek pada saat trauma, tetapi
akson robek karena reaksi biokimia sekunder.
Reaksi biokimia ini terjadi sebagai respon dari
cedera utama dan terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah cedera awal, sehingga
menjadi penyebab rusaknya akson.1,6
Proses yang terlibat di dalam cedera otak sekunder
masih sulit untuk dimengerti, namun kenyataannya
dapat diterima bahwa meregangnya akson selama
cedera akan menyebabkan gangguan fisik dan degradasi proteolitik dari sitoskeleton. Keadaan ini
juga membuka saluran Sodium (sodium channel)
pada axolemma, yang menyebabkan terbukanya
saluran Kalsium secara elektrik dan Kalsium masuk
dalam sel.1,4,6
Terdapatnya Kalsium dalam sel akan mengaktifkan
fosfolipase dan enzim proteolitik, yang akan
merusak mitokondria dan sitoskeleton sehingga
menyebabkan pemutusan akson dan kematian sel.
Akson secara normal berbentuk elastis, tetapi ketika
meregang dengan cepat, akson menjadi rapuh dan sitoskeleton pada akson dapat patah. Ketidak
selarasan komponen sitoskeleton setelah terjadi
peregangan dapat menyebabkan putusnya akson
dan matinya sel saraf. Transport yang dilakukan
akson tetap terjadi sehingga mencapai titik dimana
akson putus dan menyebabkan penumpukan materi
yang di transport, sehingga terjadi pembengkakan.
Ketika pembengkakan menjadi besar, dapat
memutuskan akson pada tempat dimana
sitoskeleton rusak dan membentuk sebuah benjolan.
Benjolan ini disebut bola retraksi, tanda dimana
terjadi DAI. Kejadian tersebut diatas membutuhkan waktu 1-2 hari setelah cedera.1,4
Meskipun terkadang hanya sitoskeleton yang
mengalami gangguan, biasanya aksolemma juga
terganggu, sehingga menyebabkan masuknya ion
Ca2+ kedalam sel dan menyebabkan berbagai proses
degradasi. Peningkatan kadar Ca2+ dan Na+ serta
penurunan kadar K+, ditemukan langsung pada
akson setelah cedera terjadi. Tingkat kadar Ca2+ di
6
dalam sel yang tinggi, merupakan penyebab utama kerusakan sel setelah cedera, sehingga
menghancurkan mitokondria. Hal ini akan memicu
fosfolipase dan enzim proteolitik yang merusak
saluran Na+ dan merusak susunan sitoskeleton dan
aksolemma. Kelebihan Ca2+ dapat juga
menyebabkan kerusakan blood brain barrier dan
pembengkakan otak. Salah satu protein yang aktif
dengan adanya Ca2+ dalam sel adalah Calpain, yang
merupakan Ca2+ dependent non lysosomal protease.
Sekitar 15-30 menit setelah cedera, sebuah proses
yang disebut calpain-mediated spectrin proteolisis (CMSP) terjadi. Calpain akan memecah molekul
yang disebut spectrin, sehingga menyebabkan
pembentukan blebs, memecah sitoskeleton dan
membrane, yang akan langsung menyebabkan
kematian sel.1,5
Pada umumnya setelah 1–6 jam setelah proses
cedera peregangan akson, munculnya Ca2+ dalam
sel, menjadi pertanda proses cedera sel yang
menyebabkan apoptosis atau kematian sel.
Mitokondria, dendrit dan bagian dari sitoskeleton
yang rusak pada saat cedera, memiliki kemampuan
terbatas untuk sembuh dan regenerasi, prosesnya membutuhkan waktu selama 2 minggu atau lebih.
Setelah cedera, astrocyte dapat mengecil sehingga
menyebabkan otak menjadi atropi.1,4
F. Klasifikasi
Berdasarkan studi mengenai neuro pathology,
Adam’s membagi dalam 3 gradasi.1,2
Grade I : DAI ditandai dengan aksonal
mikroskopik, tersebar luas dan
menyebabkan banyak kerusakan
pada lokasi tersebut.
Grade II : DAI tersebut diatas, ditambah
abnormalitas fokal pada corpus
callosum.
Grade III : DAI dengan lesi fokal pada rostral
brain stem.
DAI terdapat pada 50–60 % penderita cedera otak berat dan memiliki ciri khas lesi yang kecil
bilateral, tidak adanya perdarahan pada white
matter, corpus callosum dan batang otak bagian
atas. Sedangkan menurut lamanya koma, DAI
dibagi dalam 3 kategori:
Ringan : Koma selama 6 – 24 jam
Sedang : Koma > 24 jam, tanpa postur
decerebrate
Berat : Koma > 24 jam disertai dengan postur decerebrate
DAI dengan level sedang (moderate) merupakan
bentuk yang paling sering dan muncul pada 45%
dari semua pasien dengan DAI. DAI berat (severe)
muncul dengan prosentase 36% dari semua pasien DAI, dan pada umumya memberikan hasil yang
jelek, dengan mortalitas berkisar 50%.
DAI berat akan membuat pasien berada dalam
kondisi koma yang cukup dalam dan dengan jangka
waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda
dekortikasi atau deserebrasi dan sering disertai
cacat berat dan menetap bila penderita tidak mati.
Pasien sering menunjukkan disfungsi otonom
seperti : hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia.2
G. Diagnosis
Dasar diagnosa DAI dapat ditegakkan dengan gejala klinis, tingkat kesadaran dan deficit
neurologis. DAI sulit dideteksi dengan teknik CT
Scan atau teknik makroskopik lainnya, hanya dapat
dideteksi secara mikroskopik.
Terdapat ciri-ciri khas pada DAI yang mungkin
muncul pada CT Scan dan MRI, yaitu dengan
adanya perdarahan-perdarahan kecil yang terlihat
pada corpus callosum atau cerebral cortex.
Pemeriksaan MRI lebih berguna dan disenangi dari
pada CT Scan. Pemeriksaan terbaru yaitu dengan
Diffuse Tensor Imaging dapat menunjukkan derajat
cedera yang ada di white matter yang tidak terdeteksi oleh MRI1,6,7.
Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan tingkat
keparahan cedera, dengan cara: MRI, untuk
menunjukkan dengan rinci bagian-bagian dari otak,
pemeriksaan ini lebih dipilih untuk mendiagnosis
DAI. Sedangkan CT Scan tidak dapat diandalkan
untuk dapat memberikan hasil yang pasti. Dapat
juga dilakukan pemeriksaan Evoke potensial dan
EEG.4,6,7
H. Gejala DAI
Gejala utama dari DAI adalah tidak sadar (koma) yang dapat berlangsung hingga 6 jam atau lebih.
DAI sering diakibatkan karena cedera trauma
deselerasi dan sering menyebabkan status
vegetative persistence, terutama pada DAI berat.
Karena DAI bersifat difus, secara umum tidak
menyebabkan gejala neurologis fokal. Karena
akson pada system saraf sentral tidak dapat tumbuh
kembali, hal ini dapat menyebabkan cacat
neurologis jangka panjang yang menyebabkan
pasien dapat mengalami cedera lainnya.2,3,6
Pada kasus yang dibicarakan tersebut diatas,
penderita dengan COB dan dalam keadaan tidak sadar lebih dari 24 jam, dilakukan pemeriksaan CT
scan didapatkan odema serebri, tanpa lesi dan
iskemia otak dan tidak didapatkan postur
decerebrate, sehingga penderita pada kasus tersebut
didiagnosa sebagai DAI sedang.
7
I. Penatalaksanaan
DAI tidak memiliki perawatan yang spesifik.
Tindakan perawatan sangatlah komplek.
Pemantauan neurologis, tindakan bedah dan
tindakan kontrol ICP adalah perawatan yang
standar. Tidak ada pengobatan khusus untuk DAI,
yang dilakukan adalah pengobatan pasien cedera
otak traumatik secara umum. Perawatan pada
setiap pasien akan berbeda–beda disesuaikan kasus
per kasus.1,2,3,6
Tindakan segera dilakukan untuk mengurangi
pembengkaan di dalam otak, yang dapat menyebabkan kerusakan tambahan. Dalam
beberapa kasus pemberian steroid dan obat lain
yang diharapkan untuk mengurangi peradangan dan
pembengkaan dapat dipertimbangkan, dan
penderita tetap dalam pemantauan. Operasi bukan
pilihan bagi penderita DAI.2,6
Jika pasien menderita DAI ringan atau sedang,
maka fase rehabilitasi akan dilakukan setelah
penderita stabil dan sadar. Selama fase perawatan,
pasien dan keluarganya akan bekerja sama dengan
staf multidisiplin termasuk dokter, perawat, ahli
terapi fisik dan pekerjaan, dan spesialis lain untuk merancang program individual yang diharapkan
dapat mengembalikan pasien ke tingkat fungsi yang
maksimum. Tahap rehabilitasi meliputi: terapi
bicara, terapi fisik, terapi kerja, rekreasi terapi,
adaptasi dengan alat alat latihan dan konseling.2,6
Dalam penelitian pada tikus, pemberian
Polyethylen Glycol bekerja sebagai sealant dari
membran, sehingga mencegah terjadinya calsium
influks. Sehingga pada tikus yang diperiksa dengan
MRI tidak terjadi sitotoksik edema setelah 7 hari
DAI1.
Kasus yang dibicarakan termasuk dalam DAI
sedang, pada penderita tersebut diatas dilakukan
tindakan pemantauan tekanan intrakranial dengan
pemasangan drain intraventricular dan tindakan-
tindakan serta terapi obat-obatan untuk mencegah
kenaikan intrakranial, sehingga pada hari ke 3
perawatan dihasilkan peningkatan GCS, yang
kemudian dilakukan ekstubasi dan penderita bisa
alih rawat di bangsal.
J. Prognosis
Diperkirakan DAI dapat terjadi pada hampir setiap
tingkat dari keparahan trauma kepala, dengan gegar otak dianggap salah satu bentuk yang lebih ringan.
DAI dalam derajat ringan dan sedang, sangat
dimungkinkan dapat pulih kembali, dan sedikit
yang menimbulkan masalah jangka panjang.
Sekitar 90% penderita DAI berat, tetap dalam
keadaan vegetative persistence tanpa batas waktu,
dan 10% penderita yang sadar dengan defisit fungsional permanen yang luas.1,2,4,6
IV. Simpulan
DAI merupakan bagian dari cedera otak traumatik
yang berat, dimana masih banyak teori yang
mendasarinya. Perawatan secara umum pada cedera
otak traumatik dan mempertahankan ICP dalam
kondisi normal sangat dianjurkan, dan harus
dilakukan pencegahan terhadap terjadinya cedera
sekunder, sehingga penderita tidak bertambah
memburuk .
Peran Neuro Anestesia dan Neuro Critical Care
dalam mengelola penderita cedera otak traumatik
berat harus diawali ditempat kejadian, transportasi,
unit gawat darurat, neuroradiologi, kamar operasi
dan perawatan neurointensif.
Bila telah sadar penderita masih harus menjalani
latihan (Rehabilitasi medik) untuk memaksimalkan
fungsinya. Rehabilitasi medik meliputi: terapi
bicara, terapi fisik, terapi kerja, terapi rekreasi dan
masih banyak lagi, yang disesuaikan dengan
kebutuhan dari pasien per pasien. Semua itu
diharapkan dapat memaksimalkan hasil akhir penderita.
Dalam kasus ini, kondisi terakhir penderita dapat
dinyatakan dengan nilai GOS (Glasgow Outcomes
Scale) adalah 3. Dimana penderita sadar perintah,
namun belum mampu menjalankan aktifitas
hidupnya secara independen.
Daftar Pustaka
1. Iwata A, Stys PK, Wolf JA, Chen XH, Taylor AG, Meaney DF, Smith DH. Traumatic axonal
injury induces proteolytic cleavage of the
voltage-gated sodium channels modulated by
tetrodotoxin and protease inhibitors. The
Journal of Neuroscience 2004; 24 (19): 4605-
13.
2. Wahyu RH. Diffuse axonal injury 2011.
http://www.kotakmedis.com/2011/11/diffuse-
axonal-injury/. Diakses pada tanggal 14
Februari 2012.
3. Elliot J. Diffuse axonal injury 2008.
http://www.nervous-system-diseases.com/diffuse-axonal-injury.html.
Diakses pada tanggal 14 Februari 2012.
4. Shipley C. Traumatic brain injury and diffuse
axonal injury 2011.
http://www.trialimagestore.com/article_trauma
tic_brain_injury.html. Diakses pada tanggal 15
Februari 2012.
8
5. Douglas HS, David FM, et al. Diffuse axonal injury in head trauma. Dalam: Corrigan JD, ed.
The Journal of Head Trauma Rehabilitation
Knowledge Informing Care. Philadelphia:
Wolthers Kluwer Health, Lippincot Williams
& Wilkins;2012, 307-16.
6. Martin S. Diffuse axonal injury; 2011.
http://www.brainandspinalcord.org/traumatic-
brain-injury-types/diffuse axonal-
injury/index.html. Diakses pada tanggal 15
Februari 2012.
7. Titolo T. Diffuse axonal injury 2011. http://brainandspine.titololawoffice.com/2011/
10/articles/brain-injury/diffuse-axonal-injury/.
Diakses pada tanggal 14 Februari 2012.
PENATALAKSANAAN ANESTESIA PADA PASIEN CRETIN DENGAN
HIPOPITUITARISME SEKUNDER AKIBAT KRANIOFARINGIOMA
ANESTHESIA MANAGEMENT IN CRETIN PATIENT WITH HYPOPITUTARISM
SECONDARY OF CRANIOPHARYNGIOMA
Theresia Monica Rahardjo, Iwan Fuadi, Tatang Bisri
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
Abstract Craniopharyngioma is a sellar and parasellar tumor, which accounts to 6-10% of childhood brain tumors.
Common symptoms are signs of increase intracranial pressure, like headache, vomiting and visual dysfunction.
A significant endocrine dysfunction is an usual feature of craniopharyngioma due to the proximity of the tumor
to hypothalamus and pituitary gland. Short statue found in 50-86% patient with subnormal growth rates and
delayed puberty.
A male, 20 yrs cretin patient with hypopituitarism secondary of craniopharyngioma had a craniotomy tumor removal and placement of omaya shunt. He had a history of headache since 13 yrs ago accompanied by visual
disturbance, started from his left eye, now he is totally blind. He also suffered from growth failure and delayed
puberty, has a physic of a boy regardless his age as 20 yrs old adult, with height 140 cm and weight 40 kg. He
has an elevated TSHs but normal T3 and fT4, a decreased LH and FSH, a normal prolactin, a normal but low
growth hormon and a decreased cortisol. Anesthetic technique used was general anesthesia. Induction was done
with fentanyl, pentotal, lidocaine and vecuronium with a mixture of N2O/O2 and isoflurane. Anesthesia was
maintained with isoflurane and a mixture of O2/air. Patient was in controlled breathing with an incremental
dose of vecuronium to maintaine the relaxation. Mannitol and furosemide were given to reduce intracranial
pressure. The procedure took about 5 hours. After 5 days ICU stayed, the patient was referred back to his room
at Kemuning.
The problems in this patient are a raised of intracranial pressure, an endocrine dysfunction and a possibility of
airway difficulty related to his short statue. Corticosteroid as hormone replacement therapy was given before the operation. Based on his short statue, induction dose of anesthetic agents were adjusted and smaller
laryngoscope blade and endotracheal tube were used for intubation. Avoidance of nitrous oxide, low
concentration of volatile agent and dominant used of intravenous anesthetic agent were applied during the
operation. Post operative monitoring was done in ICU with specific concern of hormone complications like
diabetes insipidus and hyponatremia beside post operative pain control.
Patient with pituitary disease, in this case craniopharyngioma, accompanied by endocrine dysfunction and
abnormal growth, need a very careful treatment from preoperative, intraoperative to postoperative period. A
good management and cooperation between anesthesiologist, surgeon and endocrinologist can reduce the
morbidity and mortality in this kind of disease.
Key word : cretin, hypopituitarism, craniopharyngioma
JNI 2102;1(3):197-202
Abstrak Kraniofaringioma adalah tumor sela dan parasela, yang merupakan 6-10% tumor otak pada anak-anak. Gejala
umum merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala, muntah dan gangguan
penglihatan. Disfungsi endokrin yang nyata merupakan gambaran umum kraniofaringioma akibat lokasi tumor
terhadap kelenjar hipotalamus dan pituitari. Fisik pendek ditemukan pada 50-86% pasien dengan laju pertumbuhan subnormal dan pubertas yang terlambat.
Seorang laki-laki, umur 20 tahun, pasien kretin dengan hipopituitarisme sekunder menjalani craniotomy tumor
removal dan penempatan omaya shunt. Dia memiliki riwayat sakit kepala sejak 13 tahun yang lalu disertai
dengan gangguan penglihatan yang dimulai dari mata kiri dan saat ini dia buta. Dia juga menderita kegagalan
pertumbuhan dan pubertas yang terhambat, memiliki fisik seorang anak laki-laki, dengan tinggi badan 140 cm
dan berat badan 40 kg. Dia memiliki TSHs yang meningkat dengan T3 dan fT4 yang normal, LH dan FSH yang
menurun, prolaktin yang normal, hormon pertumbuhan yang normal rendah dan kortisol yang menurun. Teknik
anestesia yang digunakan adalah anestesia umum. Induksi dengan fentanyl, pentotal, lidocaine dan vecuronium dengan kombinasi N2O/O2 dan isoflurane. Rumatan anestesi dengan isoflurane dan kombinasi O2/udara.
Pernapasan pasien dikontrol dengan dosis inkremental vecuronium untuk mempertahankan relaksasi. Mannitol
dan furosemide diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Operasi berlangsung selama 5 jam. Setelah 5
hari di ICU, pasien dapat kembali keruangannya di Kemuning.
Masalah pasien ini adalah peningkatan tekanan intrakranial, disfungsi endokrin dan kemungkinan kesulitan jalan
napas akibat bentuk tubuh yang kecil. Kortikosteroid sebagai terapi penggantian hormonal diberikan sebelum
operasi. Dosis obat anestesi disesuaikan dengan berat badan. Intubasi menggunakan laryngoscope blade dan
endotracheal tube dengan ukuran lebih kecil. Selama operasi dihindari pemakaian nitrous oxide, digunakan
konsentrasi rendah anestesi inhalasi dan penggunaan dominan anestesi intravena. Pemantauan post operatif
dilakukan di ICU dengan memperhatikan kemungkinan komplikasi hormonal seperti diabetes insipidus dan
hiponatremia selain pengelolaan nyeri post operatif. Pasien dengan penyakit pituitari, dalam kasus ini kraniofaringioma, disertai dengan disfungsi endokrin dan
pertumbuhan abnormal, membutuhkan penatalaksanaan preoperatif, intraoperatif dan postoperatif yang sangat
teliti. Kerjasama yang baik antara bagian anestesi, bedah dan endokrinologi dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada penyakit ini.
Kata kunci: cretin, hypopituitarism, craniopharyngioma
JNI 2102;1(3):197-202
I. Pendahuluan
Kraniofaringioma merupakan tumor selar dan
paraselar dan merupakan 6-10% dari tumor pada
anak-anak. Tumor ini merupakan tumor ke tiga
tersering dari tumor intrakranial pada anak-anak dan paling sering dijumpai di daerah hipotalamus
dan pituitari pasien pediatrik. Kraniofaringioma
berasal dari sisa-sisa epitel skuamosa embrionik
kantung Rathke’s yang meluas ke daerah
hipotalamus dan tumor ini sering ditemukan di
daerah sela tursika serta jarang ditemukan di daerah
nasofaring.1
Gambar 1. Tumor kraniofaringioma yang telah mendesak dan
menggantikan seluruh kelenjar pituitari yang normal. Dikutip dari: O’Connor M.6
Kraniofaringioma merupakan tumor jinak dengan
pertumbuhan yang lambat dan terjadi terutama pada
dekade pertama kehidupan dengan puncak pada usia di antara 5 sampai 15 tahun. Sekitar 25% dari
tumor ini terdapat pada dekade ke tiga. Gejala dan
tanda klinis kraniofaringioma tidak jauh berbeda
dari tumor supraselar yang lain. Gejala umum
adalah peningkatan tekanan intrakranial seperti
sakit kepala, muntah dan gangguan penglihatan.
Gejala gangguan endokrin terdapat pada 80-90%
pasien. Defek lapang pandang disebabkan dari
kompresi kiasma optikus atau komponen lain dari
aparatus optikus seperti saraf optikus dan dapat menyebabkan atrofi optik. Edema papila saraf
optikus, yang disebabkan peningkatan tekanan
intrakranial, juga berperan dalam gangguan
penglihatan.1-3
Disfungsi endokrin yang nyata merupakan
gambaran umum kraniofaringioma disebabkan
letak tumor yang berdekatan dengan kelenjar
hipotalamus dan pituitari. Ukuran tubuh yang
pendek abnormal ditemukan pada 50-86% pasien
disertai dengan laju pertumbuhan subnormal dan
pubertas yang terlambat.1-3 Pasien kretin dengan hipopituitarisme sekunder
terhadap kraniofaringioma, merupakan tantangan
bagi ahli anestesi disebabkan peran penting kelenjar
pituitari dalam sistem endokrin, selain tubuh
pendek dan kemungkinan masalah jalan napas.
Tantangan dimulai selama penilaian preoperatif dan
berlanjut selama pembedahan sampai periode pasca
operasi. Keberhasilan penatalaksanaan anestesi dan
pembedahan pasien dengan penyakit kelenjar
pituitari, dalam hal ini kraniofaringioma,
membutuhkan pendekatan multi disiplin dan sangat
tergantung pada kualitas penatalaksanaan perioperatif.
Gambar 2.
Tanda dan gejala hipopituitarisme. Dikutip dari: Buja ML.7
II. Laporan Kasus Seorang laki-laki berusia 20 tahun dengan
diagnosis SOL at regio suprasellar ec suspect
craniopharyngioma dan direncanakan untuk
menjalani pengangkatan tumor kraniotomi dan
penempatan shunt omaya dikonsulkan ke Bagian
Anestesi pada tanggal 26 Maret 2010. Pasien ini
memiliki riwayat sakit kepala sejak 13 tahun yang lalu disertai dengan gangguan penglihatan yang
dimulai dari mata kiri kemudian berlanjut ke mata
kanan dan dia sudah buta pada saat datang ke
rumah sakit. Dia juga mengalami kegagalan
pertumbuhan dan pubertas yang terlambat. Dia
memiliki kondisi fisik seperti anak laki-laki pada
saat berusia 20 tahun dengan tinggi badan 140 cm
dan berat badan 40 kg. Pemeriksaan fisik
Tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 100 kali/menit,
respirasi 18 kali/menit dan suhu normal.
Pemeriksaan laboratorium (23 Maret 2010) memberikan hasil yang normal dan subnormal. Hb
11,5 g%, Ht 33%, lekosit 6.900, trombosit 251.000.
Parameter koagulasi dalam batas normal. Tidak
ditemukan ketidakseimbangan elektrolit yang berat,
Na 144 meq, K 4,6 meq, Ca 4,52 meq, Mg 2,80
meq, hipokalsemia dikoreksi dengan kalsium
glukonas 1 gr IV. Fungsi hati dan ginjal normal
dengan SGOT 38, SGPT 29, ureum 17 dan
kreatinin 0,71. Tidak ditemukan hiperglikemia
dengan GDS 97. Profil endokrin (12 Maret 2010)
menunjukkan peningkatan TSHs 4,8 ul/ml tetapi T3 dan fT4 normal yaitu 1,2 nmol/L dan 1,6 ng/dl.
Penurunan LH 0,19 mIU/ml dan FSH 0,8 mIU/ml.
Nilai prolaktin dan hormon pertumbuhan normal
yaitu 2,3 ng/ml dan 0,051 ng/ml, tetapi terjadi
penurunan kortisol 3,62 ug/dl. Pemeriksaan
radiologi (8 Maret 2010) memberikan hasil yang
normal. Tes fungsi paru (8 Maret 2010)
menunjukkan adanya restriksi berat, tetapi hal ini
berhubungan dengan tinggi dan berat badan
dibandingkan usia pasien. EKG (8 Maret 2010)
menunjukkan sinus takikardia dengan denyut jantung 101 kali/menit.
Gambar 3. Hasil CT Scan Pasien.
Gambar 4. Profil hormonal pasien.
Pengelolaan Anestesi:
Pemasangan jalur intravena dilakukan sebelum induksi. Teknik anestesi yang digunakan adalah
anestesi umum. Induksi dilakukan dengan fentanil,
pentotal, lidokain dan vekuronium dengan
campuran N2O/O2 dan isofluran. Rumatan anestesi
dengan isofluran dan campuran O2/udara.
Pernapasan pasien dikontrol selama operasi dengan
pemberian dosis inkremental vecuronium untuk
mempertahankan relaksasi. Manitol dan furosemid
diberikan untuk menurunkan tekanan dan volume
intrakranial. Operasi berlangsung selama 5 jam.
Setelah operasi selesai, pasien langsung
dipindahkan ke ICU, dan setelah 5 hari berada di ICU pasien dikembalikan ke ruangannya di
Kemuning.
Gambar 5. Profil hemodinamik pasien selama operasi.
Gambar 6. Kondisi pasien post operatif di ICU.
III Pembahasan
Hal utama yang harus diperhatikan pada pasien
kretin yang disebabkan hipopituitarisme sekunder
terhadap kraniofaringioma ini, adalah gangguan
endokrin akibat lokasi tumor yang mendesak
kelenjar pituitari, selain dari tubuh yang pendek dan
potensi masalah jalan napas selama laringoskopi
dan intubasi.
Penatalaksanaan Preoperatif
Selain penilaian dan pemeriksaan yang umumnya
dilakukan terhadap pasien saraf yang akann
menjalani pembedahan dengan anestesi umum,
penilaian dan pemeriksaan pasien yang akan
menjalani operasi kraniofaringioma harus meliputi
pemeriksaan tanda dan gejala peningkatan tekanan
intrakranial, profil endokrin, efek hiposekresi
hormon dan fungsi penglihatan.1,2
Terapi penggantian hormon preoperatif harus dilakukan selama periode preoperatif dan
dilanjutkan selama periode operatif. Defisiensi
ACTH dilaporkan terjadi pada 25–71% anak-anak
dengan kraniofaringioma dan dapat menyebabkan
hipotensi dan kematian selama stres seperti pada
saat operasi. Defisiensi ACTH dapat terjadi selama
pembedahan pada pasien yang tidak menunjukkan
tanda-tanda defisiensi preoperatif, sehingga semua
pasien dengan kraniofaringioma harus diberikan
stress doses glukokortikoid sebelum pembedahan.
Pasien yang telah menerima deksametason untuk
kepentingan pembedahan tidak membutuhkan dosis steroid tambahan karena dosis deksametason
umumnya jelas lebih besar dari dosis fisiologis
yang dibutuhkan.1,2,3
Pada pasien anak-anak dengan defisiensi ACTH,
dosis penggantian hidrokortison tergantung usia.
Pada anak-anak kecil, dosis penggantian sekitar 6
mg/m2 luas permukaan tubuh sedangkan untuk
anak-anak yang lebih besar dan remaja sekitar 9
mg/m2. Dosis pemeliharaan hidrokortison harus
disesuaikan seiring pertumbuhan dan peningkatan
berat badan anak. Dosis yang berlebihan atau kurang, walaupun sedikit, dapat menyebabkan efek
samping. Dosis yang berlebihan dapat
menyebabkan tanda dan gejala Cushing syndrome
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan
sedangkan dosis yang kurang dapat menyebabkan
insufisiensi adrenal. Hidrokortison diberikan 3
kali/hari dan lebih disukai pada anak-anak karena
efek restriksi pertumbuhan lebih ringan dan
merupakan preparat glukortikoid dengan durasi
kerja lama.1,2,3
Pasien ini mengalami penurunan kortisol dan telah
diberikan deksametason 8 mg/hari, yang bertujuan selain untuk menguragi edema di sekitar tumor,
juga untuk mengisi kekurangan kortisol yang ada.
Tidak diperlukan dosis tambahan steroid karena
dosis deksametason tersebut sudah mencukupi dan
melebihi dosis fisiologis yang diperlukan.
Penatalaksanaan Intraoperatif
Walaupun semua teknik anestesi dapat digunakan
untuk prosedur operasi intrakranial, keberadaan
peningkatan tekanan intrakranial membutuhkan
perhatian khusus. Pada kondisi ini, penggunaan anestesi intravena dan menghindari penggunaan
N2O telah direkomendasikan. Penggunaan obat-
obatan dengan durasi kerja pendek lebih dianjurkan
karena mempermudah dan mempercepat pemulihan
pada akhir pembedahan obat seperti propofol dan
sevofluran jelas masuk ke dalam kategori tersebut.
Selama pembedahan, ventilasi dengan target
normokapnia atau sedikit hipokapnia harus
dipertahankan. Opioid dengan durasi kerja pendek
diberikan secara titrasi untuk mempertahankan
stabilitas hemodinamik. Pemberian opioid dengan
durasi kerja panjang seperti morfin intravena atau kodein intramuskuler 20-30 menit sebelum
pembedahan berakhir dianjurkan supaya pasien
tidak bangun dalam kesakitan.1-5
Pada pasien ini, induksi dilakukan dengan fentanil,
pentotal, lidokain dan vekuronium dengan
campuran N2O/O2 dan isofluran. Rumatan anestesi
dengan isoflurane dan campuran O2/udara. Pasien
dikontrol pernapasannya dengan pemberian
inkremental vekuronium untuk mempertahankan
relaksasi. Manitol dan furosemid diberikan untuk mengurangi tekanan dan volume intrakranial.
Antibiotika profilaksis
Pemberian antibiotika masih menjadi perdebatan
sampai saat ini. Walaupun sebagian ahli bedah
tidak menggunakan profilaksis dan menyebutkan
tidak ada masalah, hampir semua unit di UK
mempertahankan pemberian antibiotika.
Antibiotika yang umumnya diberikan adalah
cefixime (cefuroxime 1.5 gr) saat induksi anestesi
dan setiap 3 jam selama operasi. Tidak ada
pemberian lebih lanjut pada periode post operatif untuk meminimalkan perkembangan organisme
resisten.2,4
Komplikasi operatif
Pasien ini dioperasi dengan pendekatan transkranial
karena ukuran tumor yang besar. Pembedahan
tumor pituitari transkranial memiliki resiko serupa
dengan prosedur intrakranial yang lain. Kerusakan
lobus frontal akibat iskemia karena traksi lama
dapat diminimalkan dengan hati-hati memasang
retraktor dan pelepasan berkala dari retraktor.
Trauma terhadap arteri karotis atau kiasma optikus
dapat terjadi. Insidensi kejang post operasi lebih tinggi pada pembedahan subfrontal dibandingkan
pendekatan lain. Beberapa ahli merekomendasikan
penggunaan terapi antikonvulsan tetapi hal ini
belum meyakinkan. Anosmia dapat juga terjadi
karena kerusakan pada traktus olfaktorius.2,4
Pemulihan dari anestesia
Pemulihan yang mulus dan cepat dari anestesia
setelah pembedahan otak memberikan kesempatan
untuk penilaian neurologis lebih awal dan
stabilisasi respirasi dan kardiovaskuler lebih baik.
Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan obat-obatan anestesi dengan durasi kerja yang cepat.
Ekstubasi harus dilakukan dengan tanpa atau
sesedikit mungkin menyebabkan gejolak
hemodinamik, selain harus memperhitungkan
syarat-syarat ekstubasi pada pasien dengan operasi
otak. Sebelum dilakukan ekstubasi segera post
operatif harus memperhatikan beberapa hal yang
penting seperti kesadaran pra bedah adekuat,
operasi otak terbatas, tidak ada laserasi otak yang
luas, bukan operasi fossa posterior yang luas yang
mengenai saraf IX dan XII, bukan reseksi AVM
yang besar, suhu normal, oksigenasi normal dan kardiovaskuler stabil. Ekstubasi pada pasien ini
dilakukan setelah semua kriteria di atas telah
terpenuhi.2,3,4
Penatalaksanaan post operatif
Penatalaksanaan post operatif meliputi
penataklaksanaan jalan napas yang baik, analgesia
post operatif yang memadai, pemberian cairan dan
hormon yang sesuai dan pemantauan ketat untuk komplikasi post operatif.2,4
Pasien ini dikirim langsung ke ICU setelah operasi
selesai untuk pemantauan ketat kondisi
hemodinamik dan pencegahan komplikasi
penyakitnya. Setelah 5 hari di ICU, pasien
dikembalikan ke ruangannya di Kemuning.
Analgesia post operatif
Kraniotomi merupakan prosedur bedah yang lebih
menyakitkan dibandingkan teknik transsphenoidal
dan analgesia yang kuat diperlukan. Opioid telah
menjadi analgesia post operatif utama pada pasien dengan operasi otak selama bertahun-tahun karena
efek analgesia yang kuat.2,3,4
Pasien ini mendapatkan morfin sebagai analgesia
post operatif selama di ICU dan dosis perlahan-
lahan diturunkan sesuai dengan kondisi pasien. Saat
pasien sudah mampu menerima nutrisi peroral,
pemberian morfin intravena diturunkan dan
digantikan dengan analgesia peroral.
Terapi penggantian hormon
Keamanan menjadi hal pokok sehingga semua
pasien diasumsikan membutuhkan penggantian
kortisol post operatif dalam jangka pendek. Penggantian harus diturunkan perlahan-lahan
menjadi dosis pemeliharaan dalam beberapa hari.
Regimen standar yang direkomendasikan adalah
hidrokortison 50 mg 2 kali/hari pada hari pertama
post operasi, 25 mg 2 kali/hari pada hari ke dua,
dan menjadi 20 mg saat pagi dan 10 mg saat sore
pada hari ke tiga. Pasien umumnya pulang dengan
dosis ini. Dosis sore diberikan antara pukul 17.00
dan 18.00. pasien dengan mikroadenoma yang
mensekresi prolaktin dapat lepas dari
hydrocortisone dengan aman dalam beberapa hari pertama bila ≥ 20% kelenjar pituitari disisakan.
Pada penyakit Cushing’s, kortikotrof normal sangat
disupresi dan penggantian dibutuhkan sampai
beberapa minggu atau bulan. Penggantian hormon
yang dilakukan pada periode preoperatif harus
dilanjutkan pada periode post operatif, sampai
evaluasi oleh ahli endokrin dilakukan.1-5
Pasien ini telah mendapatkan deksametason 8
mg/hari dan pemberian obat ini dilanjutkan sampai
periode post operatif di ICU. Pemberian
deksametason disertai dengan pemantauan kadar
glukosa darah berkala karena adanya resiko hiperglikemia pada pemberian obat tersebut.
Komplikasi hormon post operatif
Diabetes Insipidus
Umumnya terjadi dalam 24 jam pertama dan timbul
bila > 80% saraf yang mensintesis vasopresin rusak
atau menjadi tidak berfungsi untuk sementara
waktu. Hal ini harus diduga bila pasien
menghasilkan urine > 1 liter dalam 12 jam dengan
konsentrasi Na+ plasma > 143 mmol/l. Keluaran dan berat jenis urine harus diperiksa secara rutin
setelah operasi pituitari. Bila hal ini terjadi,
pemeriksaaan osmolaritas plasma dan urine yang
teratur harus dilakukan. Diagnosis diabetes
insipidus harus ditegakkan secara biokimiawi
sebelum terpai dilakukan. Kombinasi dari
peningkatan osmolaritas plasma (>295 mosmol/kg),
urine hipotoni (< 300 mosmol/kg) dan keluaran
urine yang banyak (> 2 ml/kg/h) merupakan kriteria
untuk menetapkan diagnosis. Diabetes insipidus
dapat diterapi dengan desmopressin acetate (DDAVP). Walaupun demikian, bila pasien sadar
dan memiliki mekanisme haus normal, lebih aman
untuk memberikan cairan seperti biasa
dibandingkan pemberian cairan intravena yang
berlebihan dan DDAVP. Penggunaan DDAVP
yang berlebihan dapat menimbulkan hiponatremia
yang akan menyebabkan kejang dan koma. Hampir
semua kasus borderline diabetes insipidus membaik
secara spontan dalam beberapa hari seiring dengan
kembali normalnya fungsi lobus posterior.
Pemberian DDAVP dibutuhkan pada pasien koma,
pasien tanpa respon haus dan pasien dengan keluaran urine yang sangat banyak. Dosis DDAVP
IM/IV yang direkomendasikan adalah 0.1 µg
diulang bilamana perlu. Pada fase akut, dosis 0.04
µg IV memberikan respon adekuat dengan durasi
yang lebih singkat. Pemantauan konsentrasi sodium
dan osmolaritas plasma harus dilakukan sampai
tercapai keseimbangan elektrolit dan cairan.1-5
Hiponatremia
Penyebab tersering hiponatremia setelah operasi
pituitari adalah penggunaan DDAVP yang
berlebihan. Hiponatremia juga dapat disebabkan, walaupun jarang, oleh SIADH karena pelepasan
ADH non spesifik dari terminal neurosekretori
pituitari posterior yang berdegenerasi. Hal ini
menyebabkan retensi air dan kehilangan Na+ urine
sekunder. Umumnya bersifat sementara dan
berlangsung sekitar 7 sampai 10 hari post operatif.
Kondisi ini diatasi dengan restriksi cairan dan
dipantau dengan pemeriksaan elektrolit berkala.
Selain itu, hiponatremia setelah pembedahan
intrakranial dapat disebabkan kecenderungan untuk
diuresis sehingga terjadi kontrksi nyata volume
sirkulasi dan ekstraseluler. Fenomena ini dikenal sebagai cerebral salt wasting syndrome (CSW) dan
dapat sulit dibedakan dari SIADH.1-5
Walaupun demikian, sangat penting untuk
membedakan ke 2 kondisi tersebut karena terapi
keduanya berbeda bahkan berlawanan. Pada
SIADH, masalah disebabkan karena ekspansi
volume ekstraseluler akibat retensi air sehingga
terapi terbaik adalah membatasi asupan air sekitar
500–1000 ml/hari tergantung konsentrasi Na+
plasma. Pada CSW, restriksi cairan tidak dapat mengkoreksi hiponatremia tetapi akan berbahaya
karena akan lebih menurunkan volume
intravaskuler. Larutan hipertonik digunakan untuk
mengkoreksi hiponatremia pada CSW. Koreksi
konsentrasi Na+ yang rendah harus dilakukan dalam
24-48 jam, dengan kecepatan peningkatan
konsentrasi Na+ plasma < 1 mmol/jam. Koreksi
yang terlalu cepat dapat menyebabkan mielinolisis
pontin sentral.1-5
IV. Simpulan Pasien dengan penyakit pituitari, dalam kasus ini
dengan kraniofaringioma yang disertai dengan
disfungsi endokrin dan pertumbuhan abnormal,
membutuhkan penatalaksanaan yang baik mulai
dari periode pre operatif, selama operasi sampai
periode post operatif. Peningkatan tekanan
intrakranial, disfungsi endokrin dan kemungkinan
kesulitan jalan napas yang berhubungan dengan
tubuh yang pendek dan kecil merupakan potensi
masalah pada pasien ini. Penatalaksanaan dan kerja
sama yang baik di antara ahli anestesi, ahli bedah
dan ahli endokrin sangat dibutuhkan dan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien-
pasien dengan penyakit dan kondisi seperti ini.
Daftar Pustaka
1. Halac I, Zimmerman D. Endocrine
manifestations of craniopharyngioma. Childs
Nerv Syst. 2005;21:640-8.
2. Nemergut EC, Dumont AS, Barry UT, Laws
ER. Perioperative management of patients
undergoing transphenoidal pituitary surgery.
Anesth Analg. 2005;101:1170-81.
3. Smith M, Hirsch NP. Pituitary disease and
anaesthesia. Br J Anaesth. 2000;85:3-14.
4. Jane JA, Laws ER. Surgical management of
pituitary adenomas. Singapore Med J. 2002;43(6):318-23.
5. Okafor UV, Onwuekwe IO, Ezegwui HU.
Management of pituitary adenoma with mass
effect in pregnancy: a case report. Cases
Journal. 2009;2:1-3.
6. O’Connor M. Acquired Hypopituitarism
[document on the internet]. Medpedia News &
Analysis - Medpedia [diunduh 18 Agustus 2012]. Tersedia dari: http://www.medpedia.
com/news_analysis/173-Cushings-Cancer/entri
es/51875-Acquired-Hypopituitarism.
7. Buja ML, Krueger GRF. Endocrine System.
Dalam: Netter’s Illustrated Human Pathology.
Edisi pertama. Philadelphia: Saunders Elsevier
Inc; 2004. 419.
1
PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PERDARAHAN INTRACEREBRAL YANG
DISEBABKAN STROKE HIPERTENSI
ANAESTHESIA MANAGEMENT IN INTRACEREBRAL BLEEDING
CAUSED BY HYPERTENSION STROKE
Muhammad AR*), Nazaruddin Umar*), Siti Chasnak Saleh**)
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU / RSUP. H. Adam Malik- Medan
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unair/RS Dr. Soetomo-Surabaya
Abstract Intracerebral hemorrhage (ICH) is primary in many cases are caused by the rupture of blood vessels due to
chronic hypertension called vasculopathy hypertensive hematoma due to intracerebral haemorrhage occurred
which resulted in an increase in intracranial pressure and pressure on surrounding brain tissue causing
neurological deficits. which if not treated quickly can result in death or disability, it is necessary fast and precise
handling.
A 56 year male 70 kg weight gain admission with a chief complaint of decreased consciousness occur suddenly,
before os os complain of headaches and a history of high blood pressure and uncontrolled for a long time. After
a physical examination and CT scan and an additional diagnosed with ICH with extensive Hemorrhage Stroke at
left hemisfer + right hemiplegi hypertension. Craniotomy surgical decompression externa, with the help of
general anesthesia, postoperative care of patients in ICU patients with a better awareness, improved general
condition, blood pressure under control, but the neurological deficit persists, the patient returned / moved to a
near by hospital for further treatment in the form of physiotherapy and hypertensive on day-to-22. ICH due to hemorrhagic stroke have a high mortality and high disability, neurological devisit difficult removed.
Surgery aims to reduce intracranial pressure and prevent death and disability is. So rapid and appropriate
action must be done immediately.
Key words: hemorrhagic stroke, ICH, craniotomy, hemiplegia
JNI 2102;1(3):203-208
Abstrak
Perdarahan intracerebral (ICH) secara primer pada banyak kasus disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
akibat hipertensi kronis yang disebut hipertensif vaskulopati. Akibat perdarahan terjadi hematoma intracerebral
yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dan penekanan pada jaringan otak sekitar yang menyebabkan terjadinya defisit neurologis yang bila tidak diatasi dengan cepat dapat mengakibatkan kematian
atau kecacatan, maka perlu penanganan yang cepat dan tepat.
Seorang laki-laki 56 tahun berat badan 70 Kg, datang ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran yang terjadi
tiba-tiba, sebelumnya paien mengeluh sakit kepala mempunyai riwayat penyakit darah tinggi, sejak lama dan
tidak terkontrol. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan tambahan serta CT Scan didiagnosa dengan Stroke
Hemorrhage dengan ICH luas di hemisfer kiri + hemiplegi kanan + hipertensi. Dilakukan operasi kraniotomi
dekompresi externa, dengan bantuan anestesi umum, post operasi pasien di rawat ICU kesadaran penderita
menjadi membaik, keadaan umum membaik, tekanan darah terkontrol, namun defisit neurologis masih tetap,
pasien pulang / pindah ke rumah sakit terdekat untuk perawatan lanjutan berupa fisioterapi dan kontrol
hipertensi pada hari ke-22.
ICH karena stroke hemorrhage mempunyai angka kematian dan kecacatan yang tinggi, defisit neurologis yang
sukar dihilangkan. Tindakan operasi bertujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial dan mencegah kematian dan kecacatan tersebut. Maka tindakan yang cepat dan tepat harus segera dilakukan.
Kata kunci: stroke hemorrhagic, ICH, kraniotomi, hemiplegi
JNI 2102;1(3):203-208
I. Pendahuluan
Perdarahan intrakranial dapat berupa perdarahan
subarachnoid ( Subarachnoid hemorrhage = SAH)
akibat pecahnya aneurisma serebral, perdarahan
dari pecahnya arteriovenous malformation (AVM),
dan perdarahan intraserebral (Intracerebral
2
Hemorrhage = ICH) yang disebabkan hipertensi kronis.1-4 Perdarahan intraserebral adalah
perdarahan spontan yang bukan disebabkan oleh
trauma, yang darahnya masuk parenhim otak
membentuk hematoma. ICH merupakan suatu
penyakit yang berat dengan angka kematian dan
kecacatan yang cukup tinggi.1,3,5,6 Kematian sangat
bergantung pada beratnya penyakit, makin berat
makin tinggi angka kematian.7 Beratnya penyakit
dapat ditentukan dengan suatu skoring yang disebut
Skor ICH, yang parameternya adalah tingkat
kesadaran sewaktu pertama diperiksa, volume dari hematoma yang ditentukan dari gambaran CT-scan,
lokasi dari hematoma apakah diatas atau dibawah
tentorium. Makin tinggi skor ICH maka makin
tinggi angka kematiannya.6,7 Di Amerika Serikat
mendekati 65.000 kasus penderita ICH per tahun
dengan angka kematian 50%. Duapuluh lima persen
dari ICH spontan fatal dalam 24 jam pertama dan
25% lainnya dalam 3 bulan.1,4,6 Penyakit hipertensi
merupakan salah satu penyakit yang paling
beresiko terjadinya perdarahan intraserebral.5,6
II. Kasus Seorang laki-laki, umur 56 tahun, berat badan 70
Kg, datang ke rumah sakit dengan penurunan
kesadaran. Penurunan kesadaran terjadi sejak pagi
hari, lebih kurang 12 jam sebelum datang ke rumah
sakit, terjadi secara tiba-tiba, sebelumnya pasien
mengeluh sakit kepala, mempunyai riwayat
penyakit darah tinggi sejak lama, namun berobat
tidak teratur. Awalnya dirawat dirumah sakit
terdekat, dilakukan CT-scan dan didiagnosa dengan
stroke hemorrhage kemudian penderita dirujuk ke
rumah sakit di Medan oleh teman sejawat ahli penyakit saraf. Terapi yang telah diberikan adalah
oksigen 2 Liter/menit selang hidung,infus manitol
20% diberikan 0,35 gr/kg berat badan (125
cc/6jam), infus ringer laktat 20 tetes/menit, citicolin
1 amp/ 6 jam, ranitidin 50 mg/ 8 jam, tablet
nipedipin 3 x 10 mg.
Pemeriksaan fisik
Nafas spontan, jalan nafas bebas, laju nafas
18x/mnt, reguler, suara tambahan dan gerak
tambahan tidak dijumpai, saturasi oksigen 98%.
Tekanan darah 190/110 mmHg, laju nadi 100x/mnt, pulsasi kuat, suara jantung satu dan dua tunggal,
suara tambahan tidak dijumpai. Kesadaran GCS 8,
pupil anisokor, diameter kiri 4mm/kanan 2mm,
reflek Cahaya +/+, hemiplegia kanan. Saluran
cerna dan saluran kemih dalam batas normal,
extremitas kanan hemiplegia.
Pemeriksaan laboratorium:
Hb 15,8 gr/dl, Ht 51 %, Leukosit 27.600, Trombosit 260000, Ureum 30 mg/dl, Creatinin 0,8 mg/dl,
Uric acid 7,4 mg/dl, gula darah 140 mg/dl,
Kolesterol 285 mg/dl < 200, Triglycerida 67 mg/ll
< 150, HDL 42 mg/dl ( < 40), LDL 229 mg/dl (
<150), Na 139 mmol/L (136-145), K 38 mmol/L
(3,6 – 5,5), Cl 105 mmol/L ( 96 - 106). CT Scan
kepala ICH luas di daerah parietal kiri dengan
midline shift lebih setengah centimeter. Foto
Rongen dada kesan pembesarn jantung kiri, EKG
hipertropfi ventrikel kiri.
Gambar : CT Scan
Diagnosa:
Stroke hemorrhage dengan ICH luas hemisphere
kiri + hemiplegia kanan + hipertensi. Dengan skor
ICH = 2 (Angka kematian 26%). Rencana:
kraniotomi dekompresi luar
Penatalaksanaan Anestesi
Persiapan: penjelasan ke keluarga tentang maksud
dan tujuan operasi, prognose dan kemungkinan
komplikasi serta cacat neurologis, pembuatan izin
operasi, persiapan kamar operasi: obat-obatan dan peralatan, ICU: peralatan, monitoring dan ventilator
Jalur intravena dipasang di dua tempat, lengan kiri
dengan abocath 18 G, diberikan NaCl 0,9%, lengan
kanan dipasang setelah penderita tidur dengan
abocath 18 G juga diberikan NaCl 0,9%. Dipasang
monitoring: tekanan darah non invasif, denyut
jantung, EKG, saturasi oksigen, End tidal CO2,
kateter urine. Induksi: diberi preoksigenasi dengan
O2 100 % selama 5 menit, midazolam 5 mg,
fentanyl 75 ug intravena. Diukur tekanan darah,
turun + 30 %, propofol 100 mg, rocuronium 50 mg, lidocain 2% 80 mg, diberikan ventilasi, intubasi
dengan pipa endotrakheal non kingking diameter
7,5 mm, lalu periksa suara pernafasan kanan sama
dengan kiri, cuff dikembangkan, fiksasi, lalu
pasang tampon.
Diberikan infus manitol 0,5 gr/kg BB.
Pemeliharaan anestesi dengan sevoflurane 0,5 – 1,5
volume % + O2 2 liter/menit + N2O 2 liter/menit.
3
Kontrol ventilasi dengan mempertahankan endtidal CO2 berkisar 30-35mmHg. Operasi berlangsung
selama 2 jam 45 menit dengan monitoring durante
operasi sebagai berikut:
Tekanan Darah: 130 – 160/80 – 90 mmHg (MAP:
97 – 111 mmHg)
Denyut Jantung: 80 – 100 x mnt
SpO2: 95 – 100 %
ETCO2: 30 – 35 mmHg
Gambar Monitoring Selama Operasi
Didapati hematoma + 150 ml
Tulang di simpan dibawah kulit.
Gambar Lapangan Operasi
Perawatan Post Operasi
Terlihat pada Tabel dibawah ini:
Hari Pemeriksaan Penilaian dan Perencanaan
I 03.50
Pupil anisokor, ki>ka, Reflek Cahaya +/+, Tensi Darah: 140 – 150/70 – 90`( MAP 95 – 110 ) mmHG, HR: 98x/mnt, Temp: 370C.Urine:
cukup
Tirah baring dengan posisi headup 300 Kontrol Ventilasi FiO2 40%, TV 550 ml, Frekuensi 14x /mnt I:E=1:2 :PEEP 5 cm H20 IVFD Ringer Solution
25 tetes / menit AB: Inj Meropenem 1 gr / 12 jam
I 13.30
23.00
Kesadaran: belum bisa dinilai TD:180 / 85 ( MAP 123 ) mmHg
HR: 86 x / mnt Temp: 37 C Urine: cukup Demam ( - ) Kesadaran belum
bisa dinilai Pupil Isokor, RC +/+, TD: 190/90 mmHG, HR: 90x / mnt, Tem: 370C Urine Cukup
Inj. Vit C 2 amp / 8jam Inj Alinamin F 1 amp / 12 jam Inj Fentanyl 300 ug +
midazolam 15 mg dalam NaCl 0,9 % sebanyak 50 ml → 3 – 4 ml / jam/ syringe pump Modus Ventilator SIMV 8 PS 10 FiO2
30% Inj Fentanyl 300 μg +
midazolam 15 mg dalam NaCl 0,9% sebanyak 50 ml → 2 ml / jam / syringe pump - IVFD R-Sol 20 gtt /
menit - Inj Ranitidin 50 mg /
8 jam / IV
- Manitol 125 ml / 8 jam
- Inj Fentanyl 3 cc, Kalau gelisah midazolam 5 mg / IV
- Adalat 10 mg 1x1 Aminofluid 15 tetes / menit
II 09.00
TD: 180 / 95 (MAP 123 ) mmHg H R: 80 x / mnt Temp 37 C Pupil: Isokor R C +/+
Temp: 37,40C, Sat O2 100%
Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt /
menit - Inj Ranitidin 50 mg /
8 jam / IV - Manitol 125 ml / 8
jam Inj Fentanyl 2 cc, Kalau gelisah midazolam 5 mg / IV Mulai fisioterapi Diet 2100 kcal/hari Lepas ventilator.
III 08.00
GCS 3x5, Pupil Isokor, Reflek Cahaya +/+, Hemiplegia kanan TD: 190 / 95 mmHg (MAP 126), HR:81x/mnt, Temp: 37,40C, Sat
Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt /
menit - Inj Ranitidin 50 mg /
8 jam / IV - Manitol 125 ml / 8
jam Inj Fentanyl 1 cc,
4
III 14.00
O2 100% Pupil Isokor, Reflek Cahaya +/+, Pupil isokor, Reflek Cahaya +/+, TD: 150-160 /80-90 mmHg (MAP =108)
HR: 70-80x/mnt Temp: 37,40C, Urine Cukup
Kalau gelisah midazolam 5 mg / IV Mulai fisioterapi Diet 2100 kcal/hari Terapi Tetap Seperti Jam 08.00
IV Kesadaran Meningkat Hemiplegia kanan, Pupil Isokor,
Reflek Cahaya +/+, TD: 160-180/80-90 ( MAP 113) mmHg, HR: 76 x/mnt, Temp 37,2 C Urine Cukup
Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt /
menit - Inj Ranitidin 50 mg /
8 jam / IV - Manitol 125 ml / 8
jam Inj Fentanyl 1 cc,
V 09.00
14.00
GCS 15 (Sadar Baik), Pupil Isokor,
Reflek Cahaya +/+, Hemiplegi kanan, TD: 150/90 (MAP110) mmHg, HR: 100x/mnt, urine cukup,
demam (-)
Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt /
menit - Inj Ranitidin 50 mg /
8 jam / IV - Manitol 125 ml / 8
jam Inj Fentanil stop Adalat 20 mg 1x1 Ektubasi
VI TD : 180/90 (MAP 120), HR: 76x/mnt, Hemiplegia kanan (+),
Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt /
menit - Inj Ranitidin 50 mg /
8 jam / IV - Manitol stop
VII Sadar baik, Afasia (+), Hemiplegia Kanan (+) TD: 170/85 (MAP 113) HR: 80x/mnt Temp: 370C
Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt /
menit - Inj Ranitidin 50 mg /
8 jam / IV Vit K Stop Vit C Teruskan
Perdipin 0,5 mg/kg BB (bila TD <120, obat stop)
VIII s/d X
Pindah Ruangan TD: 160/85 (MAP 110)mmHg, HR:94 x /mnt, RR: 20 x
/mnt, Temp: 37,50C
Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 10 gtt /
menit - Inj Ranitidin 50 mg /
8 jam / IV Vit C Teruskan Perdipin Teruskan
XI s/d XV
Hemiplegia kanan, Afasia(+) TD: 150/85 (MAP 106) mmHg, HR:96 x /mnt, Temp: 38,00C,
Obat ganti oral Perdipin stop Lasix 1 amp / 12 jam Inj Meropenem stop Cravit 500 mg / 12 jam Aff hecting
XVI s/d
XX
TD: 140/80 (MAP 103) mmHg, HR:
80x/mnt,
Terapi seperti hari ke-25
Lasix 1 amp / 24 jam
XXI
Pasien Pulang Cravit 500 mg/ 12 jam Adalat 20 mg
1 4 7 10 13 16 19
60
110
160 Sistol
Diastol
MAP
Grafik 1. Pemantauan Tekanan Darah setelah operasi
Gambar Pasien Post Operasi
III. Pembahasan
Perdarahan intraserebral (Intracerebral hemorrhage
/ICH) diklasifikasikan secara primer dengan
penyebab utama adalah rupturnya pembuluh darah
akibat injuri kronik pembuluh darah kecil serebral
disebabkan oleh hipertensi (hipertensive vasculopathy).1-7 Akibat perdarahan, darah masuk
ke dalam parensim otak membentuk hematoma
intracerebral, yang menyebabkan penekanan pada
jaringan otak sekitarnya, lokasi perdarahan bisa
diberbagai tempat di serebral mulai dari permukaan
sampai ke dalam ventrikel otak. Sel-sel darah yang
masuk mengalami kematian atau lisis yang
mengeluarkan toksin menyebabkan edema jaringan
dan kerusakan jaringan sekitar (injuri sekunder)
yang mengakibatkan defisit neurologis. Bila
jumlah darah bertambah banyak dalam parensim
Hari
5
otak yang membentuk bekuan yang lebih besar akan menambah massa intrakranial, yang akan
meningkatkan tekanan intrakranial dengan segala
akibatnya. Persentase kematian dari ICH dapat
ditentukan oleh suatu skor yang disebut SKOR
ICH, yang parameternya adalah tingkat kesadaran
(GCS) waktu ditentukan, volume dari hematoma,
ada tidaknya perdarahan di ventrikel, lokasi
hematoma di supra atau infratentorium, umur
penderita (lihat tabel di bawah ini ):7
Komponen Skor ICH Nilai
Skor GCS 2
3-4 2
5-12 1
13-15 0
Volume ICH, cm3
Ya 1
Tidak 0
ICH di Infratentorial
Ya 1
Tidak 0
Umur, Tahun
>80 1
<80 0
Total skor ICH 0-6
Skor mortalitas 30 hari
0 0%
1 13%
2 26%
3 72%
4 97%
5 100%
Sumber: Rost N, dkk 10
Perdarahan intraserebral merupakan suatu keadaan
darurat medis yang memerlukan penanganan yang
cepat dan tepat degan focus menstabilisasikan
kardiorespiratori (ABCDE neuroanestesi) dan
pencegahan/pengobatan komplikasi intrakranial.1-10
Tujuan penanganan pada ICH adalah difokuskan
pada penurunan tekanan intrakranial, menghentikan
perdarahan, dan mengeluarkan hematoma. Segera
setelah diagnosa ditegakkan lokasi dan besarnya
hematoma diketahui dilakukan penanganan yang
dapat berupa penanganan secara medikal atau pembedahan. Penanganan secara medical meliputi
pengendalian tekanan darah, pengendalian tekanan
intrakranial, pemberian anti perdarahan. Karena
hipertensi merupakan penyebab paling umum dari
ICH spontan, pengaturan tekanan darah cukup
penting, walaupun terdapat kontroversial dimana
ada yang berpendapat bahwa kemungkinan
terjadinya pemburukan jaringan yang rentan
terhadap iskemik jika tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba yang menyebabkan cedera
sekunder.4,5,6 Namun pendapat lain tidak menerima
pendapat tersebut, yang mengatakan pengaturan
tekanan darah tampak aman dilakukan.1,3,4,5,6,7
Perobahan autoregulasi pada penderita hipertensi
dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
Sumber: Manoach S. Dalam: Newfield P, Cottrell JE 6
Penanganan pada peningkatan ICP meliputi posisi
kepala ditinggikan 30 derajat, cegah batuk dan
mengedan, pemberian infus diuretik manitol dan
furosemid, hiperventilasi dengan mempertahankan
EtCO2 normokapnia. Beberapa tindakan
pembedahan kini dilakukan untuk menangani
penderita perdarahan intraserebral dengan tujuan
untuk menurunkan tekanan intrakranial, menghentikan perdarahan, mengangkat hematoma,
dan memperbaiki aliran cairan serebrospinalis.
Pembedahan dilakukan untuk evakuasi hematom
yang dapat dijangkau, tergantung lokasi hematoma
di intraserebral. Pertimbangan utama dalam
memilih obat anestesi atau kombinasi obat anestesi
adalah pengaruhnya terhadap tekanan intrakranial,
karena semua obat yang dapat menyebabkan
vasodilatasi serebral mungkin berakibat peninggian
tekanan intrakranial, pemakaiannya sedapat
mungkin harus diperhatikan mana yang lebih menguntungkan dalam neuroanesthesia. Semua
penderita yang dirawat dengan perdarahan
intracerebral di ICU harus mendapat perhatian
dalam hal evaluasi radiologik, menjaga adequatnya
respirasi dan sirkulasi, pengendalian tekanan darah,
pencegahan hiperglikemi, hipotensi dan demam,
pengendalian tekanan intrakranial, pengontrolan
terhadap neurosurgical dan pencegahan kejang
6
V. Simpulan
1. Penyebab utama dari perdarahan intraserebral
oleh karena hipertensi kronis merupakan suatu
kelainan pada pembuluh darah kecil yang
disebut Hipertensive Vasculophaty.
2. Pengendalian hipertensi sebelum terjadinya
perdarahan adalah suatu sangat penting.
3. Usaha pembedahan dan anestesi merupakan
suatu tindakan / upaya untuk menurunkan
tekanan intrakranial, dan menghilangkan atau
mengurangi efek penekanan dari hematoma.
4. Defisit neurologis yang sudah terjadi biasanya sulit dihilangkan
5. Pada kasus ini efek dari peningkatan
intrakranial dapat diatasi, terlihat dengan
membaiknya kesadaran umum dari pasien,
walaupun defisit neurologi berupa hemiparese
masih terlihat ada.
6. Perawatan selanjutnya adalah perlu dilakukan
fisioterapi secara teratur
Daftar Pustaka
1. Elliot G, Smith M. The acute management of
intracerebral hemorrhage; a clinical review. Anesth Analg 2010; 110 ;1419 - 27
2. Hasan AE, Zacharatos H, Qurcshi A. Acute
Hypertensive Response in Intracerebral
Hemorrhage. Dalam: Carhuapoma JR, Mayer
SA, Hanley DF, eds. Intracerebral Hemorrhage.
New York: Cambridge University Press; 2010;
159 - 64
3. Manoach S, Charchaflieh JG. Traumatic Brain
Injury, Stroke, and Brain death. Dalam:
Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of
Neuroanesthesia, 4th edition, Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins; 2007,414-40
4. Qureshi AI, Tuhrim S, Brodereek JP, et al.
Spontaneous intracerebral hemorrhage. N Eng
J Med, May 2010; 344; 19; 1450-60 .
5. Naval NS, Nyquist PA, Carhuapoma JR.
Medical Management of Intracerebral
Hemorrhage. Dalam: Carhuapoma JR, Mayer
SA, Hanley DF, eds. Intracerebral Hemorrhage.
New York: Cambridge University Press; 2010;
159-64
6. Qureshi AI, Anendelow AD, Hanley DF.
Intracerebral Hemorrhage. Lancet 2009; 373; 1632 - 44
7. Rost N, Rosand J. Intracerebral hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care,
1st ed, New York: Cambridge University Press;
2010, 143-59
8. Bruder N, Ravussin PA. Supratentorial Masses:
Anesthetic Considerations. Dalam: Cottrell JE,
Young WL, eds. Cottrell and Young’s
Neuroanesthesia, 5th ed, Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2010, 184-202.
9. Godsiff LS, Matta BF. Intensive care
management of intracranial haemorrhage.
Dalam: Matta BF, Menon DK, Turner JM, ed. Textbook of Neuro Anesthesia and Critical
Care, 1st ed, London: Greenwich Medical
Media; 2000,331-41
10. Petrozza PH, Prough DS. Post Operative and
Intensive Care. Dalam: Cottrell JE, Smith DS,
ed. Anesthesia and Neurosurgery, 4th ed,
Philadelphia: Mosby:623-61.
1
MEMBRAN SEL NEURON DAN SAWAR DARAH OTAK SEBAGAI STRUKTUR
PROTEKSI OTAK
MEMBRANE NEURONAL CELL AND BLOOD BRAIN BARRIERE AS STRUCTURE
BRAIN PROTECTION
Rose Mafiana*), Tatang Bisri**)
*) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSMH/ FK UNSRI Palembang
**) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSHS/ FK UNPAD Bandung
Abstract
The brain is the body's vital organs are susceptible to damage. Have a high oxygen demand, is highly
dependent on glucose, has a high metabolic rate, but have low adaptability of the injury and it is very
difficult to regeneration. Injury on brain cells (neurons) is a serious condition because of risk for
dysfunction and cells death.
The brain needs for oxygen and glycogen constanly to produce the body's energy in the form of adenosine-5'-triposphate (ATP) which is useful for maintaining life. Injury can interfere with the metabolism of these
cells, reducing the production of ATP, reducing ATP reserves and cause glycolysis process in the body and
the use of lactate as an energy source metabolisme.
This pathological condition for the occurrence of damage cell and trigger to cell death through necrosis
or apoptosis process. Therefore, the protective structure cell membran and cerebral vascular system such as
special, the vascular structure is blood brain barrier.
Keywords: brain, neurons, cell membrane, blood brain barrier
JNI 2012;1(3):209-216
Abstrak
Otak adalah organ vital tubuh yang rentan untuk rusak. Mempunyai kebutuhan oksigen yang tinggi, sangat tergantung terhadap glukosa, mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi, tetapi mempunyai daya adaptasi
yang rendah terhadap cedera serta sangat sulit beregenerasi. Cedara pada sel otak (neuron) adalah suatu kondisi
yang serius yang dapat menyebabkan disfungsi dan kematian sel otak.
Kebutuhan otak yang tinggi akan oksigen dan glikogen secara konstan adalah untuk memproduksi energi
tubuh berupa adenosine-5’-triposphate (ATP) yang berguna untuk mempertahankan kehidupannya. Injuri sel
dapat mengganggu metabolisme tersebut, mengurangi produksi ATP, menurunkan cadangan ATP dan
menyebabkan proses glikolisis dan penggunaan laktat tubuh sebagai sumber energi metabolisme. Kondisi
patologis ini memicu untuk terjadinya kerusakan sampai kematian sel melalui jalur nekrosis maupun apoptosis.
Oleh karena itu otak dilindungi oleh membran sel dan sistem pembuluh darah otak yang bersifat spesifik, yang
disebut sawar darah otak.
Kata kunci: otak, neuron, membran sel, sawar darah otak
JNI 2012;1(3):209-216
I. Pendahuluan
Otak sebagai salah satu organ vital tubuh, adalah
organ yang paling rentan untuk terjadi kerusakan.
Secara anatomis otak dilindungi oleh tulang
tengkorak yang rigid, proteksi metabolisme spesifik
yang ditunjang sistem pembuluh darah dan
membran sel yang istimewa. 1-3
Sel adalah unit terkecil dari tubuh yang dilapisi membran, terdapat dalam sitoplasma yang
mengandung melindungi organela-organela sel
yaitu nukleus, lisosome, badan golgi, mitokondria,
ribosom, dan retikulum endoplasmik. Organela-
organela inilah yang berfungsi untuk memelihara
kehidupan sel.4-6
Komposisi utama membran adalah fosfolipid,
kolesterol, protein dan rantai oligosakarida kovalen
yang melekat pada molekul fosfolipid dan protein.
Struktur komposisi lipid membran membuat
permukaannya cukup lentur dan mampu bersifat
sebagai partahanan yang selektif terhadap regulasi material yang keluar dan masuk sel, struktur
protein berfungsi memfasilitasi transport molekul
yang spesifik.5-6
2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
Fungsi otak sebagai pusat integrasi, kontrol tubuh dan penerus informasi memerlukan energi yang
tinggi untuk selalu dapat “berkomunikasi” yaitu
menerima signal, mengintegrasikan dan mengirim
informasi melalui impuls elektriknya. Energi itu
berasal dari ATP yang dihasilkan mitokondria
adidalam sel otak dengan bahan baku nutrisi dan
oksigen yang cukup. Injuri sel otak dapat
menyebabkan disfungsi pada sel sampai kematian
sel bila injuri tidak bersifat reversibel.1-2,4
II. Sel saraf
Sel adalah suatu unit terkecil tubuh. Sel saraf biasa disebut neuron. strukturnya terdiri dari komponen
nukleus, sitoplasma, sitoskeleton. Komponen ini
dibungkus oleh suatu membran sel yang
mempunyai struktur yang kompleks yang disebut
fluid mosaic model.4-5 Secara umum isi organela sel
saraf mirip dengan sel tubuh lain, tetapi lebih kaya
akan mitokondria. Sedangkan struktur neuron
berbeda, sesuai dengan fungsinya. Neuron
mempunyai badan sel beserta komponennya,
dendrit, akson dan terminal presinaptik.1,6
Gambar 1: Sel neuron. Dikutip dari : Sherwood L. 4
Sel untuk sistem saraf disebut neuron, dimana
tugasnya adalah sebagai pengintegrasi,
menstimulus dan mentransmisikan aksi potensial
melalui organisasi dari badan sel atau soma, dendrit sebagai penerima (input) dan axon sebagai
pemberi (output). Neuron juga diproteksi dan
disokong oleh neuroglia atau sel-sel glia.2,4,6
Didalam sel diproduksi bioenergi ATP oleh
organela-organela sel terutama mitokondria melalui
siklus The Citric Acid (Krebs) Cycle (siklus
TCA/Krebs). Sel otak membutuhkan banyak energi
untuk aktifitasnya, sehingga selnya sangat kaya
dengan mitokondria. Didalam sel terdapat nukleus
tempat deoxyribonucleic acid (DNA) bereplikasi
dan transkripsi. Organela lain yang terdapat dalam sel adalah badan golgi, ribosom, endoplasmik
retikulum, lisosom dan sitoplasma. Koordinasi
komponen ini berfungsi memelihara kehidupan sel.4,6
Gambar 2: Membran Sel. Dikutip dari: Sherwood L. 5
Membran sel, selain melindungi sitoplasma sel dan isinya, dan membatasi kompartemen intraseluler, membran sel juga berfungsi sebagai: 1) permeabilitas membran yaitu mengontrol substansi yang masuk dan keluar sel, yang mana hanya molekul dengan sifat tertentu yang bisa melalui membran sel dan mempunyai berat molekul < 500 Dalton,6 memelihara konsentrasi berbagai substansi substansi, 2) tempat melekatnya protein: dimana terjadi aktifitas enzim, transport protein, tempat melekat reseptor molekul dan marker, 3) tempat terjadinya transduksi sinyal: umumnya untuk hormon. 4) tempat komunikasi antar sel.5
Struktur membran sel terdiri dari dua lapisan dengan komponen penyusunnya adalah fosfolipid, kolesterol, protein dan rantai oligosakarida kovalen yang melekat pada fosfolipid dan molekul protein. Dibanding komponen membran yang lain fosfolipid adalah struktur yang paling stabil, terhadap pergerakan dinding membran yang mempunyai lapisan hidropobik dan hidrofilik. Fosfolipid pembentuk membran terutama adalah fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidilserine, fosfatidiletinolamin (sefalin) dan fosfatidilinositol. Pada membran sel fosfolipid selalu mengandung fatty acid (asam lemak), kepala fosfat pada fosfolipid bersifat hidrofilik dan ekor asam lemak bersifat hidrofobik. Kolesterol pada membran berfungsi menetralisir fosfolipid rantai panjang pada plasma membran menjadi lebih cair. Protein yang membentuk komponen membran adalah integral protein yang dapat melekat langsung pada kedua lapis membran lipid dan protein periferal yang melapisi permukaaan membran.5
3 Membran Sel Neuron dan Blood Brain Barrier
sebagai Struktur Proteksi Otak
Gambar 3: Sel membran. Dikutip dari: Sherwood L. 5
Neuron menerima pasokan substansi baik nutrisi
maupun oksigen melalui sawar darah otak (blood
brain barrier /BBB), yaitu suatu struktur spesifik
diantara pembuluh darah yang terdapat diotak. 2-
4,6,11-13.
Proses transport substansi yang melintasi membran
sel dan BBB bersifat spesifik. Umumnya proses transportasi tersebut melalui metode 2,4:
1. Difusi simpel ( pasif)
2. Difusi difasilitasi ( pasif)
3. Transport aktif ( aktif)
4. Kotransport
5. Eksositosis, endositosis dan transitosis
Simpel difusi (pasif)
Adalah metode transport melintasi membran
fosfolipid dari area yang mempunyai konsentrasi tinggi ke area yang lebih rendah konsentrasinya,
sampai dynamic equilibriumnya tercapai. Proses ini
tidak menggunakan energi, karena substansi hanya
bergerak berdasarkan konsentrasi gradien.
Substansi yang bergerak melintasi membran dengan
cara ini adalah oksigen dan karbondioksida.
Pergerakan air (H2O) melintasi membran juga
melalui cara simpel difusi, tetapi lazim disebut
osmosis. Tonisitas cairan adalah perbedaan
konsentrasi cairan yang melintasi membran semi
permeabel. Dikatakan isotonik bila kedua cairan mempunyai konsentrasi yang sama, hipotonik bila
konsentrasinya lebih rendah dan hipertonik bila
lebih tinggi.
Difusi difasilitasi ( pasif)
Adalah metode transport melintasi membran
melalui transport protein tanpa menggunakan
energi, karena substansi bergerak dari area dengan
konsentrasi gradien yang tinggi ke area yang lebih
rendah konsentrasinya. Contoh substansi yang
bergerak seperti ini adalah larutan glukosa yang
mempunyai konsentrasi tinggi masuk kedalam sel
yang mempunyai konsentrasi yang lebih rendah.
Transport aktif ( aktif)
Adalah suatu metode dimana suatu substansi
melintasi membran dari area dengan gradient
konsentrasi rendah ke area yang lebih tinggi
konsentrasinya dengan menggunakan transport
protein. Contohnya adalah transport ion Na+ dan K+
melintasi membran dengan menggunakan fasilitas
pompa aktif Na+ dan K+, yang merupakan pompa
protein. Energi pompa berasal dari ATP.
Cotransport
Adalah suatu metode transport suatu substansi
melintasi membran secara berpasangan, dimana satu substansi melintasi membran transport secara
aktif sedangkan substansi yang lain menyertainya
secara pasif. Contoh pergerakan ini terjadi pada sel
tanaman, dimana masuknya sukrose ke sitoplasma
sel dibarengi dengan satu gugus H+ yang dihasil-
kan oleh pompa proton.
Eksositosis, endositosis dan transitosis.
Adalah proses suatu partikel melintasi membran
dengan bantuan vesikel. Dikatakan exotoksis bila
vesikel mengeluarkan partikel keluar dari sel,
misalnya pada pelepasan neurotransmiter.
Endositosis adalah gerakan vesikel memasukkan partikel ke dalam sel. Transitosis adalah kombinasi
endositosis dan eksotosis.
Sawar Darah Otak
Sawar darah otak adalah suatu struktur khusus
pembuluh darah otak yang berguna untuk
melindungi kerusakan neuron, merupakan suatu
mekanisme proteksi tubuh terhadap neuron. 6-12
Dimulai dari penemuan Paul Enrich (1885),
seorang ahli bakteriologi ketika menyuntikkan
cairan pewarna melalui intravena untuk mewarnai
organ-organ binatang pada percobaannya, ternyata otak tidak ikut diwarnai. Disimpulkannya bahwa
otak adalah penerima pewarnaan yang buruk.
Kemudian Edwin Gilman menginjeksikan trypan
blue secara intravena, didapatkan pewarnaan
dipleksus koroidalis dan meningen, tetapi tidak
terdapat diotak. Tahun 1920 Stren and Gautier
menemukan blood-CSF barrier. Tahun 1960
diketahui bahwa suatu substansi memerlukan
fasilitas transport untuk melintasi BBB. Antara
tahun 1965-1967 para peneliti memperkenalkan
struktur BBB.6
4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
Gambar 4: Area BBB pada otak. Dikutip dari Nolte J. 13
Tabel 1: Gambaran BBB.
Ruang antara BBB dan sistem transportnya.
1. Area Darah-Otak: lokasi BBB pada sel endotel
kapiler.
Sistem transportasi substansi melintasi BBB
adalah dengan transport aktif, dengan pompa
Na + dan K+-ATP-ase pada permukaan membran endotel kapiler. Tight junction akan
menahan substansi yang hidrofilik dengan
berat molekul yang besar.
2. Area Darah – cairan serebrospinalis: lokasi
pada pleksus koroidalis
Sistem transportasi dengan ultrafiltrasi plasma
menyertai sekresi aktif cairan serebrospinalis,
dan proses ini membutuhkan energi tinggi dari
ATP, melalui komponen ATP-ase dan
karbonik anhidrase.
3. Area cairan serebrospinalis dan darah vena:
lokasi granulasi araknoid.
Granulasi araknoid mentransmisikan cairan
serebrospinalis kedalam sinus venosus serebri
berdasarkan perbedaan tekanan.
Untuk transportasi aktif, energi ATP sangat
dibutuhkan.
Dikutip: Weil RJ, et al. 8
a. Struktur anatomi sawar darah otak.
Pada potongan memanjang struktur BBB akan
terlihat sebagai berikut:
Gambar 5: Strukur potongan memanjang BBB.
Dikutip dari: Nimjee SM.3
Potongan melintang BBB juga berbeda dengan
pembuluh darah dari jaringan tubuh lain.
Blood brain barrier pembuluh darah somatik
Gambar 6: Beda pembuluh darah otak dan somatik. Dikutip dari: Schwartz JH.6
Secara anatomis pembuluh darah otak mempunyai:
1) sel endotelial yang utuh dan padat. 2) membran
basalis endotelial yang kuat dan mengandung
proteglikan, sulfat heparin, lamnin, entactin dan
kolagen. 3) tight junction interseluler rapat hampir
tanpa celah diantara sel membran yang
memungkinkan komunikasi diantara kompartemen.
Struktur tight junction ini bersifat kontinyu,
anastomosing dan mengandung komponen protein claudin, occludin, junction adhesion molecules dan
accessory proteins. Fungsi protein claudin dan
occludin ini pada tight junction adalah mengatur
regulasi protein dengan merubah permeabilitas
paraseluler, mengatur difusi secara selektif ion-ion
dan molekul hidrofilik. Fungsi junction adhesion
molecules adalah mengatur permeabilitas parseluler
dan migrasi leukosit, termasuk adesi antar sel dan
transmigrasi monosit melalui BBB, sirkulasi
leukosit, platelet dan organ limfoid. Junction
adhesion molecules memiliki superfamili imunoglobulin. Struktur endotelial mikrovaskuler
seperti ini disebut Brain Microvasculer Endothelial
Cell (BMEC) 4) kaya akan mitokondria 5) Perisit
dengan otot polos yang menyelimuti pembuluh
darah sebagai penyokong membran. Perisit bersifat
5 Membran Sel Neuron dan Blood Brain Barrier
sebagai Struktur Proteksi Otak
menunjang kapasitas vasodinamik pembuluh darah yang dilindunginya dan membuat struktur tersebut
lebih stabil, lebih resisten terhadap apoptosis dan
juga bersifat sebagai fagosit, 6) processus
Astroglia, yaitu ujung kaki astroglia yang
mempunyai kandungan lipid tinggi, melingkupi
85% permukaan BBB.6-12. Membran neuron lebih
bersifat lipofilik, lebih mudah dilintasi substansi
yang larut dalam lemak, sulit untuk substansi
kompleks atau yang mempunyai berat molekul
tinggi.6-11
Fungsi lain astrosit pada glia adalah sebagai penyokong biokimia terhadap BMEC, termasuk
mempengaruhi morfologis dan mengorganisasi
struktur dinding pembuluh darah dibawahnya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa astrosit
bertanggung jawab terhadap maturasi dan generasi
BBB. Astrosit juga berfungsi sebagai ko-regulasi
beberapa sekresi sitokin seperti Leukemia inhibiting
factor (LIF), Ca2+ dependent signal pada IP3
intraseluler dan gap junction dependent pathway
termasuk difusi ekstraseluler dari purigenic
messenger.6
Struktur pembuluh darah otak ini secara anatomis sangat berbeda dengan struktur pembuluh darah
jaringan tubuh yang lain. Struktur pembuluh darah
diluar otak cenderung berpori, tanpa perlindungan
berlapis, mudah dilintasi air dan tidak kaya
mitokondria.4-6,11-13.
Tabel 2: Perbedaan karakteristik BBB dan kapiler pembuluh darah lain.
Karakteristik
struktur
BBB Kapiler
Resistensi tight junction
5-10 ohm/sq.cm
2000 ohm/sq.cm
Pori tidak ada ada Vesikel pinositik kurang banyak Mitokondria banyak jarang Tight junction ++++++ +
Transport selektif ++++++ - Astroglia ++++++ -
Dikutip dari:
b. Fungsi Sawar Darah Otak
Secara anatomi pertahanan BBB ini akan
memproteksi otak terhadap substansi asing
didalam darah yang bersifat patogen dan dapat
menyebabkan injuri sel otak, juga memproteksi otak terhadap hormon dan neurotransmitter yang
didesain untuk bekerja dibagian tubuh yang lain
serta memelihara kondisi lingkungan neuron yang
sesuai karena otak termasuk organ yang rentan
terhadap kondisi kritis.6
Karakteristik substansi yang dapat melintasi BBB adalah substansi lemak yang mempunyai molekul
yang kecil dan mudah menembus fosfolipid
dengan ukuran kurang dari 500 dalton. Sebagai
contoh adalah H2O 18 Dalton, insulin 3000 Dalton,
virus berukuran jutaan Dalton sedangkan bakteri
berukuran lebih berat dari virus. Sebagian besar
dari obat-obat medis berukuran lebih dari 500
Dalton. 6-9
Karena karakteristik BBB ini maka jarang sekali
ada infeksi yang bisa menembus sawar otak, bila
infeksi itu terjadi maka akan sangat sulit untuk disembuhkan, karena antibodi terlalu besar
ukurannya untuk menembus BBB. 6
Beberapa metode untuk transport obat melintasi
BBB adalah melalui injeksi langsung pada
tempatnya, merubah sifat osmosis permeabilisasi
tight junction atau mengubah sifat secara biokimia
misalnya pada vasoactive compound histamin. Cara
lain yang sedang dikembangkan adalah dengan
meningkatkan transitosis yang akan meningkatkan
kemampuan endositosis membran pada sel otak
melalui tehnik nanotehnologi. 6-9,14.
Beberapa penyakit infeksi yang dapat terjadi diotak adalah: meningitis, yaitu penyakit inflamasi yang
dapat merusak BBB dan dapat meningkatkan
penetrasi beberapa substansi untuk masuk ke otak,
Multipel Sclerosis yaitu penyakit autoimun, Late-
stage neurological trypanosomiasis (sleeping
sickness) yang disebabkan protozoa dan
Progressive multifocal leukoencephalopathy
(PML).6-9
Secara normal transport substansi secara selektif
yang dapat melalui BBB secara difusi, yaitu
melintasi bilayer fosolipid (fosfolipid 2 lapis), adalah substansi yang bersifat lipofilik, termasuk
barbiturat, librium, opium, heroin, morfin, cocain,
nikotin, mariyuana, alkohol, amfetamin,
metamfetamin dan lain-lain serta beberapa obat
yang mampu mempengaruhi sistem saraf pusat
seperti obat pereda nyeri yang spesifik, penurun
panas, obat tidur dan sedasi, pencegah muntah,
pengurang nafsu makan dan beberapa obat yang
bersifat mengurangi ansietas dan obat yang
digunakan untuk terapi depresi, parkinson,
alzheimer, migren, epilepsi dsb.5-6,9
Fasilitas transport substansi yang difasilitasi oleh sistem carier, terutama untuk transportasi asam
amino yang bekerja untuk prekursor
neurotransmiter, glukosa, glisin dan beberapa
reseptor yang bekerja sebagai mediasi endositosis,
seperti leptin dan insulin. 4-6,11-13
6 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
Gambar 7: Sistem transportasi substansi melintasi BBB. Dikutip: Well RJ, et al. 8
Pada otak ada area dimana struktur BBB lebih
longgar dan memungkinkan beberapa substansi
dapat melintas lebih mudah dibandingkan pada area
dimana struktur BBB nya lebih rapat. Area ini dikenal sebagai organ sirkumventrikular. Area ini
diisolasi dari otak oleh sel ependimal khusus yang
disebut tanycytes yang berlokasi menutupi
sepanjang permukaan ventrikel sampai area
midline. 6-7
c. Organ sirkumverential
Organ sirkumventrikuler ini terdiri dari:
1. Pineal body
Adalah organ yang mensekresikan melatonin
dan peptida neuroaktif.
2. Neurohypophysis (pituitary posterior) Adalah organ yang melepaskan neurohormon
seperti oksitosin dan vasopresin.
3. Postrema area (area postrema)
Adalah organ pusat muntah
4. Subfornical organ-chemoreceptive
Adalah organ yang berperanan untuk
memonitor level angiotensin darah. Organ ini
penting pada regulasi cairan tubuh dan balans
elektrolit.
5. Organum vasculosum (organ vaskulosa) dari
lamina terminalis
Adalah organ Chemosensory untuk mendeteksi peptida dan molekul-molekul lain.
6. Median eminance
Adalah organ yang mengatur regulasi pituitari
anterior yang melepaskan neurohormon.
7. Pleksus koroidalis
Pleksus koroidalis adalah tempat dibentuknya
cairan serebrospinalis (CSF) dan tempat
konsentrasi molekul CSF diatur, untuk
didistribusikan ke ventrikel IV pada dasar otak
dan ventrikel lateralis yang terletak pada sisi
kanan dan kiri hemisperium serebri. Pleksus koroidalis mengandung banyak pembuluh
darah dan dipisahkan dari ruang subarachnoid oleh membran araknoid .
Fungsi area yang mengelilingi sirkumventrikular
organ ini lebih terbuka dibanding BBB adalah
untuk menerima respon terhadap faktor-faktor yang
terjadi pada pembuluh darah sistemik.8
Walaupun struktur BBB sangat spesifik dan ketat,
BBB dapat rusak karena berbagai sebab seperti:6,8
1) Hipertensi, tekanan darah yang tinggi
menyebabkan jaringan endotelial rusak dan membuka struktur BBB, 2) Hiperosmolaritas,
tingginya gradien suatu substansi dalam darah
dapat menyebabkan kerusakan pada struktur
pendukung BBB. Manitol dapat meningkatkan
permeabilitas BBB, tetapi bersifat sementara, 3)
Gelombang mikro dan radiasi, paparan gelombang
mikro dan radiasi dapat menyebabkan kerusakan
struktur BBB, 4) Infeksi, proses infeksi yang terjadi
pada jaringan otak atau meningen misalnya
meningitis, penyakit autoimun MS,
trypanosomiasis suatu infeksi yang disebabkan trypanosoma protozoa, 5) Trauma, iskemia dan
inflamasi, proses cedera sel baik secara langsung
ataupun tidak langsung akan merusak BBB.
Trauma kepala, inflamasi dan kaskade iskemia
merupakan salah satu rangkaian proses yang dapat
merusak BBB, 6) Genetik, disebabkan karena
perkembangan BBB yang tidak lengkap pada masa
pertumbuhan.11
Mekanisme neurotoksisitas, dapat terjadi secara
nonspesifik misalnya hipoksia: baik anoksia akibat
paralisis respiratori dan kegagalan hemoglobin
darah mengangkut oksigen, iskemia yang disebabkan hipotensi, perdarahan atau trombosis,
henti jantung atau proses sitoksis yang disebabkan
inhibisi oksidatif sitokrom, inhibisi metabolik dan
hipoksia yang berulang. Sedangkan neurotoksik
yang bersifat spesifik akan langsung menyerang
target misalnya akson, mielin dan sinap. 9
Tumor otak, kebanyakan tumor otak mempunyai
vaskularisasi yang abnormal yang merusak BBB,
menyebabkan akumulasi cairan interstitiel (edema
vasogenik), sedangkan pertumbuhan yang agresif
dari astrositoma menyebabkab BBB ditutupi oleh tumor tersebut dan merubah vascularisasinya.
Adanya mediator kimia yang dilepaskan sel tumor
seperti sitokin, mediator inflamasi, growth factor
menyebabkan kerusakan struktur BBB. Kejang
akan meningkatkan permeabilitas membran,
menyebabkan edema sitotoksik. 3,6,8-15.
Tabel 2. Beberapa kondisi yang merubah
permeabilitas BBB.
Penurunan Permeabilitas BBB
Peningkatan Permeabilitas BBB
7 Membran Sel Neuron dan Blood Brain Barrier
sebagai Struktur Proteksi Otak
Intraseluler ciklic AMP Steroid Adrenomedulin Noradrenalin Glial-drived
neurotrophic factor (GDNF)
Basic fibroblast growth
factor (bFGF) Polyunsaturated fatty
acids (PUFA) Transforming growth
factor-β (TGF- β)
Bradikinin Histamin Serotonin (5HT) Thrombin Glutamat Purine nucleotides: ATP, ADP, AMP Endothelin-1 Adenosine
Platelet-activating factor Phospholipase A2 Arachidonic acid Prostaglandin Leukotrins IL-1α, IL-1 β, IL-6, TNF-α Macrophage inhibitory protein: MIP-1 dan MIP-2
Complement polieptida, Radikal bebas, nitric oxida
Dikutip : Well RJ, et al. 8
Kerusakan BBB dapat meningkatkan permeabilitas
membran, menghilangkan proteksi terhadap
paparan substansi yang berbahaya bagi otak,
meningkatkan tekanan perfusi otak, menurunkan
aliran darah otak, menyebabkan iskemia sampai menyebabkan kematian sel. 6,8-9
IV. Simpulan
1. Otak adalah organ vital yang sangat rentan
terhadap kerusakan, sulit beregenerasi sehingga
sangat dilindungi oleh tubuh.
2. Otak terdapat dalam struktur yang rigid,
mempunyai struktur membran dan pembuluh
darah yang spesifik sebagai salah satu bentuk
proteksinya.
3. Struktur pembuluh darah otak itu disebut blood
brain barrier (BBB), fungsinya untuk
melindungi otak terhadap paparan substansi dan penyakit yang membahayakan kehidupan
neuron.
4. Meningkatnya permeabilitas BBB oleh sebab
apapun akan menyebabkan mudahnya
transportasi substansi cair masuk ke sel,
terjadinya perubahan koefisiens gradasi
membran dan mudah terjadi edema seluler.
Daftar Pustaka
1. Kass IS. Physiology and metabolisme of the
brain and spinal cord. Dalam: Newfield P,
Cottrell JE, eds. Handbook of neuroanesthesia. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins;
2007, 3-35.
2. Werner C, Kochs E, Hoffman WE. Cerebral
blood flow and metabolisme. Dalam: Albin
MS, eds. Texbook of neuroanesthesia with
neurosurgical and neuroscience perspective. New York: The McGraw & Hill; 1997, 21-52.
3. Nimjee SM, Grant GA, Winn HR, Janign D.
Blood brain barrier. Dalam: Winn HR, eds.
Youmans neurological surgery. Edisi ke-6.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011, 147-61.
4. Sheerwood L. Cell physiology. Dalam: Human
physiology, from cell to system. Edisi ke -7.
Australia: Brooks/ Cole; 2010, 20-51.
5. Sheerwood L. Plasma membran and membran
potensial. Dalam: Human physiology, from
cell to system. Edisi ke-7. Australia: Brooks/ Cole; 2010, 53-85.
6. Schwartz JH, Westbrook GL. The citology of
neurons. Dalam: Kendell ER, Schwartz JH,
Jessel TM, eds. Principles of neural science.
Edisi ke-4. New York: McGraw- Hill, 2000,
67-87.
7. Mendelov A, Crawford PJ. Primary and
secondary brain injury. Dalam: Reilly P,
Bullock R, eds. Head injury. London:
Chapman & Hall; 1997, 71-87
8. Weil RJ, Oldfield EH. Cerebral edema. Dalam:
Winn HR, eds. Youman neurological surgery. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2011, 162-68.
9. Laterra J, Goldstein GW. Ventricular
organization of cerebrospinal fluid: blood brain
barrier, brain edema and hydrocephalus.
Dalam: Kendell ER, Schwartz JH, Jessel TM,
eds. Principles of neural science. Edisi ke-4.
New York: McGraw-Hill; 2000. 1288-1301.
10. Bruder N, Ravussin PA. Supratentorial mass:
anesthetic consideration. Dalam: Cottrell JE,
Young WL, eds. Cotrell and Young’s neuroanesthesia. Edisi ke-5. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2011, 184-202.
11. Weyhenmeyer J, Gallman E. Vasculature.
Dalam: Rapid review neuroscience.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2007, 25-44.
12. Felten DL, Shetty AN. Neurons and their
properties. Dalam: Netter’s atlas of
neuroscience. Edisi ke-2. Philadelphia:
Elsevier saunders; 2010, 3-25.
13. Nolte J. Blood supply of the brain. Dalam:
Essential of human brain. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2010, 37-41.
14. Lange ECM, Ravenstijn PGM, Groenendal D,
Steeg TJ. Toward of prediction of CNS drug-
effect profiles in physiologyal and pathological
8 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
conditios using microdialysis and mechanism-based pharmacokinetic-pharmacodynamic
modeling. The AAPS Journ 2005;7(3)E532-43.
15. Pardrige WM. Blood brain barrier delivery.
Drug discovery today 2007;1/2(12): 54-61.
0
PENATALAKSANAAN ANESTESI UNTUK TUMOR NEUROENDOKRIN
ANESTHESIA MANAGEMENT FOR NEUROENDOCRINE TUMOR
Syafruddin Gaus*)
, Tatang Bisri**)
*)Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Hasanudin Makassar
**) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Padjadjaran Bandung
Abstract Neuroendocrine tumor is commonly in adult patient with incidence 10-15% in all of intracranial neoplasm and
highest at 4th-6th of life decade.
Patients with neuroendocrine tumor have an unique challange for anesthesiologist because the important role of
pituitary gland in endocrine system. The challange came during preoperative, intraoperative and postoperative
periode.
Many of anesthesia technique and anesthetics can use for neuroendocrine tumors surgery. The choice of
anesthetics depend on comorbid diseases and history of anesthesia previously. If needed fast emergens for
neurological evaluation, it can be use drug with fast elimination (ex propofol and remifentanil) or inhalation
anesthetic with low coefficient partition (ex sevoflurane) is rational choice.
The successful surgery and anesthesia management for neuroendocrine patient need multidisipline approach
and depend on the quality of postoperative care.
Key words: pitutary gland, endocrine system, neuroendocrine tumor, anesthesia technque.
JNI 2102;1(3):217-233
Abstrak
Tumor neuroendokrin sering ditemukan pada orang dewasa dengan angka kejadian 10%-15% dari seluruh
neoplasma intrakranial dan tertinggi pada dekade ke 4 sampai ke 6 kehidupan.
Penderita dengan tumor neuroendokrin mempunyai tantangan yang unik untuk dokter ahli anestesi karena
peranan yang penting kelenjar hipofise pada sistem endokrin.Tantangan ini mulai saat pemeriksaan prabedah dan
berlanjut selama operasi serta periode pascabedah.
Banyak teknik anestesi dan obat anestesi yang dapat diberikan pada pembedahan tumor neuroendokrin. Pemilihan obat anestesi tergantung pada penyakit komorbititas penderita dan riwayat anestesi sebelumnya.
Apabila diinginkan penderita cepat sadar untuk segera dilakukan pemeriksaan neurologik maka dapat digunakan
obat-obat yang cepat dieliminasi (misalnya propofol dan remifentanil) atau anestetika inhalasi dengan kelarutan
dalam darah yang rendah (misalnya sevofluran) merupakan pilihan yang rasional.
Keberhasilan pembedahan dan penatalaksaan anestesi pada penderita tumor neuroendokrin memerlukan
pendekatan multidisiplin dan sangat tergantung pada kualitas perawatan perioperatif.
Kata kunci: kelenjar hipofise, sistem endokrin, tumor neuroendokrin, teknik anestesi
JNI 2102;1(3):217-233
I. Pendahuluan
Prosedur pembedahan saraf baik elektif maupun
emergensi, melibatkan peredaran darah, cairan
serebrospinal, bersama dengan struktur tulang,
tengkorak, dan sumsum tulang belakang. Faktor
penting adalah mempertahankan tekanan perfusi
serebral dan memfasilitasi lapangan pembedahan
dengan meminimalkan kehilangan perdarahan dan
mencegah peningkatan volume dan edema jaringan
saraf. 1
Pemberian anestesi pada pasien yang akan
menjalani pembedahan hipofisis meliputi semua hal
pada pembedahan saraf intrakranial, juga
pengertian yang spesifik mengenai pembedahan
hipofisis. Pengetahuan mengenai anatomi dan
fisiologi tumor diperlukan karena hormon hipofisis
baik hiposekresi maupun hipersekresi dan akibat-
akibatnya, efek dari massa tumor, menyebabkan
masalah-masalah yang berkaitan dengan anestesi.2
Sebagai tambahan, beberapa perhatian telah
diberikan sehubungan dengan pendekatan
1
pembedahan, baik itu transsfenoid atau, lebih sering, transkranial.3
Tumor hipofisis terhitung 10-15% dari seluruh
neoplasma intrakranial, cenderung jinak dan
kadang-kadang ditemukan sebagai penemuan tidak
sengaja dalam pemeriksaan postmortem (10-25%
dari autopsi). Adenoma ini memiliki puncak insiden
pada usia menengah dan dapat berupa
mikroadenoma (< 1 cm) atau makroadenoma.4
Neuroanatomi dan neurofisiologi otak secara
umum
Aliran darah otak (CBF) dan autoregulasi otak Otak menerima sekitar 15% dari curah jantung
(sekitar 750ml/m pada orang dewasa) saat istirahat,
sekitar 50 ml/100 g/m, walaupun beratnya hanya
sekitar 2% dari total berat badan. 5,6 Metabolik
yang tinggi dari otak (20% dari konsumsi oksigen
basal dan 25% konsumsi glukosa basal)
memerlukan aliran darah otak (ADO) yang
terjamin.6
Umumnya, ADO lebih besar pada substansia grisea
dibandingkan substansia nigra, yakni sekitar 80
ml/100 g/m dan sekitar 20 ml/100g/m. ADO kurang
dari 20-25 ml/100 g/m dapat menyebabkan gejala neurologis yang terlihat dari melambatnya EEG,
ADO antara 15-20 ml/100g/m dapat menyebabkan
EEG isoelektrik yang reversibel, dan ADO antara
10-15 ml/100 g/m dapat menyebabkan kerusakan
otak yang ireversibel.7,8
Serupa dengan jantung dan ginjal, otak normalnya
mentoleransi perubahan pada tekanan darah dengan
sedikit perubahan pada aliran darah. Pada individu
yang normal, ADO tetap konstan pada tekanan
arteri rerata (MAP) antara 60-160 mmHg (gb.1). Di
luar batas ini, aliran darah bergantung pada tekanan. Tekanan di atas 150-160 mmHg dapat
mengganggu sawar darah otak dan menyebabkan
edema dan perdarahan otak. 9
ADO sangat tergantung pada tekanan perfusi
serebral dan resistensi pembuluh darah serebral.
Hubungan antara tekanan perfusi serebral dan ADO
diilustrasikan dengan persamaan berikut 6:
Kurva autoregulasi otak bergeser ke kanan pada pasien dengan hipertensi arteri yang kronik.
Beberapa penelitian menunjukkan terapi anti-
hipertensi jangka panjang dapat mengembalikan
batas autoregulasi otak ke normal (Gambar 1).7
Gambar 1. Autoregulasi aliran darah otak dalam keadaan normal. Dikutip dari: Morgan GE, et al. 7
Tekanan perfusi serebral (CPP) merupakan hasil
pengurangan antara tekanan arteri rerata (MAP)
dengan tekanan intrakranial (ICP). Di mana normal
CPP adalah 80-100 mmHg. Karena ICP nomalnya
kurang dari 10 mmHg, maka CPP utamanya
bergantung pada nilai MAP.7
Peningkatan ICP yang sedang sampai berat (>30
mmHg) dapat mempengaruhi CPP dan ADO secara
bermakna walaupun dalam MAP yang normal.
Pasien dengan CPP yang kurang dari 50 mmHg seringkali menunjukkan perlambatan EEG, di mana
pasien dengan CPP antara 25 dan 40 mmHg pada
umumnya memiliki EEG yang datar. Tekanan
perfusi yang menetap sampai kurang dari 25 mmHg
menghasilkan kerusakan otak yang ireversibel.7
Kompartemen intrakranial dan tekanan
intrakranial
Volume intrakranial sekitar 1700 ml dan dibagi
menjadi 3 kompartemen fisiologis, yaitu:
1. Parenkim otak, sekitar 1400 ml (80%, dengan
komposisi 10% adalah material padat dan 70%
berupa cairan); 2. Cerebral blood volume (CBV), sekitar 150 ml
(10%); dan
3. Cerebrospinal fluid (CSF), sekitar 150 ml
(10%).
Monro dan Kellie yang pertama kali menggam-
barkan hubungan antara volume dan tekanan dalam
tengkorak yang intak pada orang dewasa, yang
secara umum dikenal sebagai hukum Monro-Kellie,
bahwa peningkatan volume salah satu kompar-
temen intrakranial akan menyebabkan peningkatan
ICP, kecuali bila dapat dikompensasi dengan
pengurangan volume salah satu kompartemen yang
lain. Dalam hal ini, kompartemen CBV dan CSF
memiliki peranan yang penting dalam merespon
peningkatan volume intrakranial dengan mening-katkan aliran balik atau menurunkan ADO dan
mengurangi jumlah CSF intrakranial.10
ICP normal berkisar antara 5-15 mmHg, dan tidak
selalu konstan tergantung dari perubahan fisiologis
CBF = CPP / CVR CBF = MAP – ICP CVR CPP = MAP – ICP
2
seperti posisi, pulsasi arteri, respirasi, dan batuk. Bila ICP meningkat secara cepat, seperti yang
terlihat pada cedera kepala, maka akan terjadi
perubahan-perubahan sistemik, seperti hipertensi,
lesi pada jantung dan aritmia, hipoksemia arteri,
serta neurogenic pulmonary edema (NPE). Tahun
1901, Cushing menemukan adanya trias Cushing
yaitu hipertensi, bradikardi dan melambatnya
respirasi yang terjadi akibat peningkatan ICP.
Walaupun peningkatan tekanan darah untuk
mempertahankan ADO, namun dapat menyebabkan
bertambahnya kenaikan ICP. Bradikardi biasanya hanya terjadi sebentar dan yang paling sering
adalah terjadinya takikardi dan aritmia ventrikel.
Pada keadaan dimana ICP sangat tinggi, dapat
terjadi spasme arteri serebral yang dapat
menyebabkan iskemik dan infark serebral.11
Anatomi fisiologi hipotalamus dan hipofisis
Otak terdiri dari banyak bagian yang berfungsi
sebagai satu kesatuan. Bagian-bagian utama adalah
medulla, pons, dan otak tengah (secara kolektif
disebut batang otak), cerebellum, hipotalamus,
talamus, dan cerebrum.12
Hipotalamus berlokasi pada superior kelenjar hipofisis dan di bawah talamus, hipotalamus adalah
suatu daerah kecil dengan banyak fungsi.12
Kelenjar hipofisis berada pada dasar tengkorak di
sella tursika, suatu kavitas bertulang di dalam
tulang sfenoid, dan terbagi menjadi lobus anterior
(adenohipofisis) dan posterior (neurohipofisis).5
Kelenjar ini terdiri dari dua bagian yang terpisah
secara histologi: lobus anterior, yang besar, merah
muda, penuh vaskuler atau disebut adenohipofisis,
dan lobus posterior yang lebih kecil berwarna putih
keabu-abuan. Kelenjar ini terletak dalam fossa hipofisis atau sella tursica, berukuran sekitar
6x13x9 mm. Dinding dasar dan anterior sella
dibentuk oleh dasar udara sfenoid, dinding
posterior oleh clivus dan dinding lateral oleh sinus
kavernosa yang mengandung arteri karotis dan
nervus kranialis ke 3, 4, dan 6.2
Hipotalamus mengatur hormon yang dilepaskan
oleh hipofisis anterior melalui pangaturan peptida
(faktor pelepasan dan penghambatan hipotalamik)
yang menjangkau hipofisis anterior oleh sistem
vaskuler portal yang kompleks. Kontrol oleh
sekresi hipotalamus adalah kompleks dan terjadi dari pengaruh neuron dan kimiawi, termasuk
umpan balik dari hormon organ target. Kelenjar
hipofisis anterior yang lebih besar menghasilkan
setidaknya tujuh macam hormon. Kelenjar hipofisis
posterior yang lebih kecil menyimpan dan
menghasilkan dua macam hormon, yaitu hormon
antidiuretik (ADH) dan oksitosin, yang disintesa
dalam neuron hipotalamik khusus dan ditranspor sebagai granula dalam akson di bawah tangkai
hipofisis ke kelenjar hipofisis posterior.5
Gambar berikut (gb. 2 dan 3) memperlihatkan
neuroanatomi dan neurofisiologi sella tursika
hipofisis.13,14
Gambar 2. Neuroanatomi sella tursica hipofisis.
Dikutip dari: Netter FH, et al. 13
Gambar 3. Neurofisiologi sella tursica hipofisis.
Dikutip dari: Netter FH, et al. 14
Hormon-hormon yang dilepaskan oleh hipofisis
anterior dan posterior dapat dilihat pada tabel 1 di
bawah ini: 5
Tabel 1. Hormon-hormon yang dilepaskan oleh hipofisis anterior dan posterior.
Hipofisis anterior Hipofisis posterior
Hormon pertumbuhan (Growth
hormone)
Prolactin
Gonadotropin:
Follikel-stimulating hormon
Luteinizing hormon
Adrenocoticotropin (ACTH)
β- Lipoprotein
Thyrotropin (TSH)
Hormon antidiuretik
(ADH)
Oksitosin
Dikutip dari: Bendo AA, et al. 5
Sedangkan pengaturan hormon hipofisis-
hipotalamus dapat terlihat pada tabel berikut ini 15:
Tabel 2. Hipofisis anterior dan pengaturan hormon hipotalamus.
Hormon Pelepasan Inhibisi
ACTH* Corticotrophin –releasing factor (CRF)
----
GH* Growth hormone- Growth hormone
3
releasing factor (GRF) release-inhibiting hormone (GHRIH, somatostatin)
PRL* Prolactin-releasing factor (PRF)
Prolactin-inhibiting factor (PIF)
TSH! Thyrotropin-releasing
hormone (TRH)
Somatostatin
LH! Gonadotropin-releasing hormone (GnRH)
----
FSH! Gonadotropin-releasing hormone (GnRH)
----
*Polypeptida; Glycoprotein, dengan subunit alfa dan beta;
subunit alfa adalah penanda serum untuk diagnosis tumor dan
keberhasilan terapi.
Dikutip dari: Matjasko MJ. 15
Gambar 4. Ringkasan pelepasan hormon oleh kelenjar hipofisis
anterior dan posterior dikutip dari:
http://bio1152.nicerweb.com/Locked/media/ch45/adenohypophy
sis.html
Patologi Hipofisis
Tumor hipofisis dapat dibagi menjadi dua kategori
utama, yaitu ‘nonfunctioning’ dan hipersekresi atau ‘functioning’. Tumor hipofisis ‘nonfunctioning’
biasanya didiagnosa saat menjadi besar dan
menghasilkan gejala-gejala yang berhubungan
dengan efek massa yang mengenai struktur-struktur
yang berdekatan dengan tumor, seperti sakit kepala,
gangguan penglihatan, kelumpuhan saraf kranialis,
peningkatan TIK, dan hipopituitarisme. Pembesa-
ran tumor-tumor ini dapat menyebabkan gangguan
selektif ataupun global terhadap fungsi hipofisis
dengan penekanan pada kelenjar yang normal.
Suatu pembesaran hipofisis yang tiba-tiba yang
disebabkan oleh perdarahan spontan atau infark pada tumor memberikan gejala kompleks yang
dikenal sebagai ‘pituitary apoplexy’, suatu kondisi
yang mengancam jiwa yang ditandai oleh defisit
neurologi yang akut dan penurunan yang cepat oleh
fungsi hipofisis. Terapinya termasuk pemberian
kortikosteroid dan pembedahan dekompresi
emergensi.5
Tabel 3. Adenoma ‘functioning’: penyakit klinis dan terapi medikal.
Penyakit klinis
Hormon
yg
dihasilkan
tumor
Perkiraan
kejadian
(%)
Terapi medikal
Acromegali Growth
hormone
5-10 Somatostatin
analog
(octreotide)
Penghambat
reseptor GH
Penyakit
Cushing
ACTH 10-15 Ketokonazole
(blok sintesa
kortisol)
Gonadotrof FSH, LH 5 Tidak ada
Prolaktinoma Prolactin 20-30 Agonis dopamine
(bromocriptine,
cabergoline,
pergolide)
Null cell Tidak ada 20-25 Tidak ada
Thyrotropic TSH < 3 Somatostatin
analog (ocreotide)
Propylthiouracil
Lainnya
(termasuk
adenoma sel
campur)
Tidak ada 20 Tidak ada
ACTH=adrenocorticotropic hormone; FSH=follicle stimulating
hormone, LH=luteinizing hormone, TSH=thyroid stimulating
hormone.
Dikutip dari: Nemergut EC, et al.16
Gambar berikut ini (Gambar 5) memperlihatkan
hubungan antara massa tumor hipofisis dengan efek
sistemiknya.16
Adenoma hipofisis ‘functioning’ menghasilkan satu
atau lebih hormon hipofisis anterior yang
berlebihan, dan karenanya biasanya didiagnosa saat
tumor berukuran kecil. Paling sering adalah
prolaktinoma, diikuti oleh hormon pertumbuhan
dan adenoma adrenokortikotrofin. Adenoma yang disekresi oleh tirotrofin atau hormon follikel
stimulating dan luteinizing hormon adalah jarang.
Produksi berlebihan hormon pertumbuhan sebelum
pubertas menghasilkan gigantisme; setelah pubertas
menjadi akromegali. Penyakit Cushing
berkembang dari adenoma adrenokortikotrofin
yang menyebabkan hiperplasia adrenal bilateral.5
Prolaktinoma
Tumor prolaktin terhitung lebih dari setengah
tumor hipofisis ‘functioning’. Sebagian besar
mikroadenoma (< 1cm) dan 90% terjadi pada
wanita. Pada wanita dapat terjadi amenore sekunder dan galaktorea, di mana galaktorea tidak terjadi jika
konsentrasi estrogen rendah. Pria dengan tumor
prolaktin dapat memperlihatkan impotensi dan
penurunan jumlah sperma dan tumor dapat
didiagnosa selama pemeriksaan untuk fertilitas.
4
Gambar 5: Efek sistemik dan massa tumor pituitari. Suatu
tumor pituitari dapat memperlihatkan manifestasi sistemik
sekunder yang luas terhadap peranan sentral tumor pituitari dari
sistem endokrin. Juga, perluasan massa intrasellar apapun dapat
menghasilkan efek lokal sekunder terhadap penekanan pada
srtruktur terdekat di dalam otak. DI = diabetes insipidus, ICA =
Internal carotid artery.
Dikutip dari: Nemergut EC, et al.16
Prolaktin makroadenoma (> 1 cm) lebih sering pada
pria dan dapat memberikan defek lapangan
penglihatan sekunder akibat penekanan oleh massa
tumor dibandingkan dengan masalah pada fertilitas.2
Lebih dari 90% pasien berespon terhadap terapi
medikal dengan agonis dopamin seperti
bromokiptin, dan hanya beberapa yang dioperasi.
Diagnosis
MRI fossa hipofisis mengidentifikasi adanya tumor
dan peningkatan konsentrasi prolaktin plasma
menguatkan diagnosis. Batas atas normal untuk
sirkulasi prolaktin bervariasi tergantung pada
pemeriksaan, tetapi konsentrasi > 400 mU/ liter (20
ng/ ml) umumnya diterima sebagai peningkatan (2). Konsentrasi plasma berkorelasi dengan ukuran
tumor. Mikroadenoma prolaktin umumnya meng-
asilkan konsentrasi 1000-4000 mU/ liter, sedangkan
konsentrasi >6000 mU/ liter biasanya berhubungan
dengan makroadenoma. Tumor ‘non-functioning’
yang besar juga dapat meningkatkan konsentrasi
prolaktin melalui penekanan tangkai hipofisis
(infundibulum), tetapi kadar prolaktin jarang
melebihi 3000 mU/ liter.2
Terapi
Terapi utama prolaktinoma adalah dengan agonis dopamin, seperti bromokriptin.2 Bromokriptin
harus diberikan dalam dosis rendah (1mg) saat
makan dan ditingkatkan sampai 5-15 mg/hari
sampai kontrol optimal dicapai. Cabergoline
merupakan alternatif terhadap bromokriptin. Lebih
dari 90% pasien berespon terhadap terapi
medikal.17 Pembedahan adenoma diindikasikan
pada beberapa pasien yang tidak berespon terhadap agonis dopamin, atau pada kasus yang jarang, jika
efek samping obat (nausea, letargi, atau hidung
tersumbat) membatasi kegunaannya.2
Penatalaksanaan anestesi pada pasien ini berfokus
terutama pada massa prolaktinoma dan efeknya.16
Peningkatan hormon pertumbuhan: akromegali
Pasien akromegali merupakan tantangan yang
paling besar untuk ahli anestesi. Kondisi prabedah
pasien dan jalan napasnya dapat merupakan
masalah.18 Walaupun terapi pilihan adalah operasi 2, beberapa pasien dapat sedang dalam terapi medikal seperti agonis dopamin, somatostatin
analog (mis. Ocreotide) atau dengan pregvisomant,
suatu antagonis reseptor hormon pertumbuhan.
Terapi prabedah seperti ini pada umumnya
meningkatkan manifestasi akromegali.16
Kardiovaskuler
Penyakit jantung merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada pasien akromegali.19
Penyebab kematian tersering pada akromegali yang
tidak diterapi adalah kardiovaskuler, di mana 50%
pasien meninggal sebelum umur 50 tahun.
Hipertensi terjadi pada hampir 40% pasien akromegali.16 Dapat juga terjadi kardiomegali,
penyakit arteri koroner, penyakit katup mitral dan
aorta, kardiomiopati, gagal jantung kongestif, dan
aritmia.18 Pembesaran jantung kiri dapat terjadi
pada pasien dengan hipertensi sistemik, tetapi juga
dapat terjadi setidaknya pada 50% pasien
akromegali yang normotensi. Pemeriksaan
ekhokardiografi menunjukkan peningkatan pada
massa ventrikel kiri, stroke volume, curah jantung,
dan waktu relaksasi isovolemik. Perubahan-
perubahan ini tidak tergantung dari hipertensi sistemik. Disfungsi diastolik dapat merupakan
suatu tanda awal dari kardiomiopati akromegalik,
tetapi fungsi sistolik pada umumnya masih ada.18
Endokrin
Akromegali juga dapat berhubungan dengan
diabetes mellitus. Insulin ‘sliding scale’ dapat
diperlukan untuk menangani status endokrin yang
fluktuatif setelah operasi.18
Masalah jalan napas
Peningkatan hormon pertumbuhan menyebabkan
hipertrofi jaringan lunak pada mulut, hidung, lidah,
palatum mole, epiglottis, dan lipatan aryepiglottic. Suara serak harus diwaspadai oleh ahli anestesi
sebagai suatu kemungkinan adanya stenosis laring 18 atau trauma nervus laryngeal rekuren.16
Penebalan laring dan jaringan lunak faring
menyebabkan penyempitan pembukaan glottis,
hipertrofi lipatan periepiglottis, pengapuran laring,
5
dan trauma nervus laringeus rekuren yang semuanya dapat menyebabkan obstruksi jalan
napas.16
Sindrom obstruksi pernapasan didapatkan pada
25% pasien wanita dan pada 70% pasien pria.
‘Obstructive sleep apnea’ (OSA) sekunder terhadap
obstruksi jalan napas atas dapat berdampak sampai
70% pasien akromegali; namun depresi pernapasan
sentral oleh etiologi yang tidak diketahui juga dapat
terjadi.16 Suatu riwayat mendengkur yang keras,
periode ‘apnea’ dan mengantuk di siang hari harus
diperhatikan dan monitoring pascaoperasi harus dijaga. 2
Diagnosis
Diagnosis diperoleh dengan pemeriksaan
konsentrasi serum hormon pertumbuhan lebih dari
10 mU/ L (5 ng/ml), gagalnya penekanan serum
hormon pertumbuhan sampai kurang dari 2 mU/ L
(1 ng/ml) setelah pemberian 75 gr glukosa oral dan
peningkatan IGF-I. Suatu pengukuran konsentrasi
hormon pertumbuhan yang terisolasi dapat
menyesatkan karena pelepasan yang tiba-tiba dan
memiliki waktu paruh yang singkat. IGF-I, suatu
somatomedin memiliki waktu paruh yang lebih panjang dan karenanya merupakan pengukuran
yang berguna untuk aktivitas hormon pertumbuhan
rata-rata.2
Gejala dan tanda klinis yang sering terjadi
diperlihatkan dalam tabel 4 berikut 2:
Tabel 4. Gambaran klinis akromegali.
Area yang terkena
Gambaran klinis
Wajah
Tangan dan kaki Mulut/ lidah Jaringan lunak
Tulang Kardiovaskuler Endokrin Lainnya
Pembesaran ukuran tengkorak dan pemendekan supraorbital; pembesaran
rahang bawah (mandibula); penambahan jarak antara gigi/ maloklusi Bentuk sekop; sindrom ‘carpal-tunnel’ Makroglosia; penebalan faring dan jaringan lunak faring; OSA Penebalan kulit; perabaan ‘doughlike’
pada telapak tangan Pembesaran vertebra; osteoporosis; kifosis Hipertensi; kardiomegali; gangguan fungsi ventrikel kiri Gangguan toleransi glukosa; diabetes Artropati; miopati proksimal
Dikutip dari: Smith M, et al.2
Terapi
Terapi utama adalah pembedahan, dengan atau
tanpa tambahan radioterapi. Beberapa pasien
berespon terhadap agonis dopamine dan, pada beberapa kasus, konsentrasi hormon pertumbuhan
dan IGF-I dapat dinormalkan tanpa pembedahan. Somatostatin analog kerja panjang (seperti
ocreotide) dapat berguna pada pasien-pasien yang
tidak berespon terhadap agonis dopamin tetapi
pemberiannya secara parenteral dan angka kejadian
yang tinggi akan batu empedu membatasi
penggunaannya. Baru-baru ini, suatu penelitian
telah dilakukan terhadap preparat somatulin, suatu
preparat lepas lambat, yang diberikan secara injeksi
setiap 1-2 minggu.2
Peningkatan hormon adrenokortikotropik:
penyakit Cushing
Gambaran penyakit Cushing yang relevan dengan
anestesia adalah penyakit kardiovaskuler, diabetes
mellitus, imunosupresi dan infeksi sebelumnya,
kerapuhan kulit dengan mudah memar (menyulit-an
kanulasi vena), dan osteoporosis (yang meningkat-
an resiko fraktur selama pasien diposisikan). 18
Sebanyak 80% pasien Cushingoid memiliki
hipertensi sistemik dan 50% dari pasien yang tidak
terobati memiliki tekanan darah diastolik > 100
mmHg. Peningkatan kortikosteroid endogen
menyebabkan hipertensi sistemik dengan berbagai
mekanisme. Hidrokortison meningkatkan kardiak output sebagaimana produksi angiotensinogen
hepatik. Peningkatan angiotensinogen mengaktivasi
system renin-angiotensin, yang menyebabkan
peningkatan volume plasma. Peningkatan bermakna
glukokortikoid meningkatkan influx Na+ dalam sel
otot polos pembuluh darah dan inhibisi
glukokortikoid fosfolipase A2 menyebabkan
penurunan sintesa prostaglandin vasodilator.
Pasien dengan penyakit Cushing memiliki pening-
tan reseptor angiotensinogen II (tipe I) dan
menguatan produksi triofosfat inositol dalam sel otot polos vaskuler. Hal ini meningkatkan sensitivi-
as vasokonstriktor endogen seperti angiotensin II,
epinefrin, dan norepinefrin. Sensitivitas terhadap
katekolamin eksogen juga dapat meningkat.
Abnormalitas EKG juga umum terjadi pada
penyakit Cushing akibat hipertensi sistemik.
Gelombang kompleks QRS voltase tinggi dan T
inverse menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel
kiri dan kekakuan ventrikel kiri telah digambarkan.
Menarik untuk dicatat bahwa, setelah reseksi
adenoma berhasil, perubahan-perubahan ini biasa-
ya kembali ke normal kurang dari 1 tahun. Echokardiografi dapat menunjukkan hipertrofi
septum ventrikel yang tidak proporsional dan
mengurangi kemampuan sistolik dinding tengah
dan dengan disfungsi diastolik pada sekurangnya
40% pasien. 16
OSA juga umum terjadi pada penyakit Cushing.
Penelitian polosomnografik menunjukkan sebanyak
6
33% pasien dengan penyakit Cushing memiliki ‘sleep apnea’ ringan dan 18% yang berat. 16
Intoleransi glukosa terjadi sekurangnya pada 60%
pasien penyakit Cushing dengan adanya diabetes
mellitus pada lebih dari sepertiga dari keseluruhan
pasien (2). Penelitian terbaru menganjurkan pening-
atan kadar glukosa darah >180 mg/ dl (10,1
mmol/L) harus diterapi dengan insulin intravena. 16
Eksoftalmus sebagai akibat sekunder peningkatan
deposi lemak retro-orbital dapat terjadi pada
sepertiga pasien dengan penyakit Cushing. Ahli
anestesi dan bedah saraf harus menyadari adanya exoftalmus untuk menghindari terjadinya abrasi
kornea, sebagai contohnya, yang dapat meng-anggu
berhasilnya pembedahan. Hiperkortisolisme me-
nyebabkan penipisan kulit. Kanulasi vena
superfisial untuk akses intravena dapat menjadi
sangat sulit dan trauma yang minimal saja dapat
menghasilkan memar. 16 Apapun penyebab
peningkatan sirkulasi kortisol, sindrom Cushing
ditandai oleh berbagai aspek yang dipengaruhinya
(tabel 5).
Diagnosis
Diagnosis dapat kompleks dan harus dilakukan pada pusat spesialis. Konsentrasi kortisol bebas
pada urin, hilangnya kontrol kortisol diurnal dan
kurangnya respon terhadap supresi deksametason
semalaman merupakan prosedur skrining primer.
Tingginya konsentrasi sirkulasi ACTH diindikasi-
kan oleh kortisol urin > 275 nmol/ 24 jam dan
gagalnya supresi konsentrasi kortisol serum sampai
< 138 nmol/L setelah pemberian dosis oral 1mg
deksametason pada malam hari sebelum sampling
dilakukan. Jika ACTH tidak dapat dideteksi, maka
dinyatakan sebagai suatu tumor kelenjar adrenal; konsentrasi antara 10 dan 100 ng/ L dinyatakan
sebagai penyakit pituitary dependen, di mana
konsentrasi > 200 ng/ L dinyatakan sebagai suatu
sekresi ACTH ektopik. Seringkali, konsentrasi
kortisol tidak di bawah batas normal dan karenanya
memerlukan stimulasi atau tes supresi yang lain.
Tes supresi deksametason dosis tinggi meliputi
pemberian 2 mg deksametason setiap 6 jam selama
48 jam. Sindrom Cushing dependen hipofisis
biasanya berespon dengan turunnya konsentrasi
kortisol plasma dan urin pagi hari pada hari kedua.2
Tabel 5. Gambaran klinis sindrom Cushing.
Penampakan Redistribusi badan lemak; ‘moon face’; obesitas trunkal atau
‘buffalo’
Muskuloskeletal Miopati proksimal; osteoporosis; kolaps vertebra
Kulit Striae ungu pada abdomen, pantat, paha; kulit yang rapuh dan mudah memar; hirsutisme; jerawat
Endokrin Gangguan toleransi glukosa;
diabetes
Kardiovaskuler Hipertensi; abnormalitas EKG; hipertrofi ventrikel kiri
Metabolisme Hipernatremia; hipokalemia; alkalosis
Lainnya ‘Sleep apnea’; reflux gastrointestinal; batu ginjal;
maskulinisasi; gangguan mental Dikutip dari: Smith M, et al.
2
Terapi
Terapi primer adalah pembedahan, dan angka
kesembuhan pada <80% pasien. Medikasi prabedah
dengan metyrapone atau betaconazole melawan
efek samping peningkatan konsentrasi sirkulasi
kortisol, yang biasanya menyebabkan morbiditas
dan mortalitas perioperatif yang bermakna. Jika
pembedahan tidak mungkin dilakukan atau telah gagal, radioterapi merupakan pilihan kedua. Hal ini
dapat disertai dengan adrenalektomi bilateral dan
terapi penggantian mineralokortikoid dan
glukokortikoid. Namun, adrenalektomi
mengandung resiko terjadinya sindrom Nelson
(hiperpigmentasi sebagai hasil sekresi MSH dan
kompresi struktur parahipofisis) pada 20% pasien.
Radioterapi hipofisis dan adrenalektomi memiliki
efektivitas yang tinggi pada anak-anak. 2
Tumor sekresi glikopeptida (TSH, FSH dan LH)
Adenoma tirotropik (TSH-secreting pituitary) adalah sangat jarang dan terjadi tidak lebih dari
2,8% dari semua tumor hipofisis. Adenoma
tirotropik dapat menyebabkan hipofisis
hipertiroidisme. Tanda-tanda dan gejala
hipertiroidisme meliputi palpitasi, tremor,
menurunnya berat badan, sulit tidur, dan
berkeringat. Karena hipertirioidisme jarang
disebabkan oleh adenoma hipofisis, kebanyakan
pasien telah diterapi dengan penyebab
hipertiroidisme yang lain, seperti penyakit Grave,
sehingga tumor dapat berkembang dan menjadi
besar pada saat diagnosis dilakukan. Pasien seringkali memiliki gejala yang berhubungan
dengan efek lokal massa tumor. Hipertiroidisme
harus dikontrol sebelum pasien menjalani
pembedahan reseksi tumor. Medikasi antitiroid
seperti propiltiouracil dapat menurunkan produksi
hormon tiroid dan analog somatostatin seperti
ocreotide dapat menekan produksi TSH dan dapat
mengurangi ukuran tumor. 2
7
Adenoma gonadotrof biasanya terjadi sebagai adenoma inaktif tetapi kadang-kadang muncul
bersamaan dengan pubertas premature atau sebagai
perdarahan menstruasi pada wanita post
menopause. Peningkatan konsentrasi prolaktin
dapat terjadi < 80% adenoma endokrin inaktif
karena kompresi pada tangkai hipofisis.
Makroadenoma dapat terjadi karena penekanan
pada sella tursika dan hipopituitarisme sekunder.
Sekali lagi, terapi pillihan pertama adalah
pembedahan. 2
Tumor ‘non-function’: adenoma ‘nonfunction’,
kista rathke cleft, craniofaringioma
Adenoma ‘non-function’ (null cell) merupakan
tumor hipofisis tersering kedua, terhitung sekitar
20-25% adenoma hipofisis. Craniofaringioma dan
kista rathke cleft sangat jarang. Karena masing-
masing tumor ini tidak terpengaruh oleh
hipersekresi salah satu hormon, maka gejalanya
hampir selalu muncul akibat efek lokal massa
tumor. 16 Biasanya disadari jika ada gangguan
penglihatan sekunder akibat penekanan ke chiasma
atau sakit kepala akibat peningkatan tekanan
intrakranial. Pemeriksaan oftalmologi adalah wajib untuk semua tumor yang meluas ke daerah
suprasellar. Jika tidak terdapat gejala atau tandda
penekanan, pasien biasanya diperiksa dengan
pemeriksaan lapangan pandang dan MRI reguler.
Peningkatan ukuran tumor, menurunnya lapangan
penglihatan atau gejala-gejala lain yang memrlukan
dekompresi dengan pembedahan, biasanya
dikombinasi dengan radioterapi post operasi.
Pemeriksaan status kortisol harus dilakukan jika
ada tanda-tanda hipopituitarisme. 2 Karena itu,
pasien harus diskrining untuk hipopituitarisme yang berhubungan dengan hipotiroidisme dan
insufisisensi adrenal sebelum operasi. Disfungsi
hipofisis posterior dan diabetes insipidus juga dapat
terjadi, tetapi lebih kurang.16
Pemeriksaan prabedah
Pemeriksaan perioperatif pasien dengan tumor
hipofisis memerlukan pemeriksan fungsi endokrin
dan gangguan medis yang berhubungan dengannya.
Tes endokrin dilakukan pada status basal yang
diprovokasi oleh tes provokatif yang sesuai. Tes ini
mendiagnosa tumor hiperfunsi atau hipofungsi,
gangguan endokrin yang berlanjut, dan adekuatnya terapi. 5
Tabel berikut ini memperlihatkan pemeriksaan
endokrin prabedah untuk tumor-tumor hipofisis.15
Selama evaluasi anestesi, lokasi tumor, ukuran dan
efeknya terhadap dinamika intracranial harus
dipertimbangkan. Hipofisis mikroadenoma tidak
menyebabkan efek massa. Tumor hipofisis dengan perluasan ke suprasellar, kraniofaringioma, dan
tumor suprasellar yang lain mungkin saja
menimbulkan efek massa.
Tabel 6. Pemeriksaan endokrin prabedah untuk
tumor hipofisis.
Tes Fungsi Hipofisis anterior Tes Fungsi
Hipofisis posterior
- Level basal hormon pituitary:
GH, prolaktin, ACTH, TSH, FSH, LH
- Level serum: kortisol (pagi dan malam), tiroksin, testosterone, estradiol
- Level urin: 17-ketosteroid, 17-hidroksikortikosteroid, kortisol bebas, estrogen
- Tes provokatif dan supresi sesuai indikasi:
- Cadangan GH – stimulasi glukagon
- Supresi GH – supresi glukosa (akromegali)
- Cadangan Prolaktin – tes provokatif klorpromazin atau pelepasan hormon tirotropin
- Supresi deksametason dosis rendah dan tinggi (sindrom Cushing)
- Tes metirapon (sindrom Cushing)
- Cadangan ADH:
osmolalitas serum dan urin sebelum dan setelah 8-12 jam ‘pengurasan’ air
Dikutip dari: Bendo AA, et al.5
Pada pasien-pasien ini, CT Scan atau MRI dan
pemeriksaan neurologi dievaluasi untuk melihat
adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intra
cranial. Semua pasien yang akan menjalani
pembedahan hipofisis diberikan terapi
glukokortikoid kerja singkat prabedah. Karena
tumor melibatkan manipulasi atau pengangkatan
kelenjar hipofisis anterior, defisiensi
adrenokortipkotropin dan kortisol baik sementara
maupun permanen dapat terjadi. Untuk menilai
fungsi nervus optikus dan chiasma, dilakukan pemeriksaan penglihatan, termasuk pemeriksaan
lapangan penglihatan. Jika pembedahan
transsfenoidal direncanakan, suatu pemeriksaan
otolaringologi dari hidung dan nasofaring juga
dilakukan, dan kultur mukosa hidung diambil
sebagai panduan terapi antibiotik jika terjadi infeksi
pasca operasi.5
Pemeriksaan sistem jalan napas dan pernapasan
Pada pasien dengan akromegali, suatu penilaian
mallampati ‘grade’ 1 atau 2 dapat dipastikan
sebagai suatu prediksi palsu mudah intubasi. Penyakit ini dikenal sebagai penyebab sulit intubasi
dan pada beberapa kasus ventilasi dengan masker
8
juga dapat menjadi sulit. Peningkatan hormone pertumbuhan dapat menebalkan jaringan lunak
faring dan laring, makkroglosi, penyusutan rima
glottis dan hipertrofi fald ariepiglottis, palatum
molle dan epiglottis. Suara serak atau stridor dapat
menunjukkan suatu kelumpuhan nervus laryngeal
rekuren atau stenosis laryngeal dan sepertiga pasien
akromegali memiliki pembesaran tiroid yang dapat
menyebabkan penekanan trakea. Kifosis dan
‘buffalo hump’ terlihat pada penyakit Cushing juga
dapat menyulitkan penatalaksanaan jalan napas
pada pasien-pasien ini. Spirometri dan laringoskopi indirek mungkin dapat memberikan kekuntungan.
‘Sleep apnea obstruktif’ juga sering pada pasien
akromegali dan Cushingoid. Gejalanya seperti
disebutkan terdahulu yaitu mengorok, mengantuk
pada siang hari, sakit kepala, kesulitan konsentrasi
dan mengingat. Hal-hal ini haruslah diidentifikasi
dan dilakukan terapi pre-operatif untuk mengurangi
resiko obstruksi jalan napas sebelum operasi. 20
Pemeriksaan sistem kardiovaskuler
Pada semua pasien harus dilakukan pemeriksaan
rutin EKG. Abnormalitas gelombang seperti T
inverse dan kompleks QRS voltase tinggi sering ditemukan pada pasien dengan penyait Cushing.
Hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung, aritmia, dan
penyakit jantung iskemik merupakan situasi yang
sering terjadi dan menyebabkan mortalitas peri-
operasi yang tinggi. Ekhokardiogram dapat berguna
jika ada disfungsi kardiak. Hipertensi berpengaruh
pada 30% pasien dengan akromegali dan 85%
pasien dengan sindrom Cushing dan harus
dilakukan kontrol farmakologi sebelum
pembedahan elektif. 20
Pemeriksaan neurologi
Pemeriksaan nervus kranialis secara menyeluruh
harus dilakukan sebelum operasi dengan perhatian
pada pemeriksaan kemampuan dan lapangan
pandang penglihatan (nervus kranialis II). Tumor
dapat menekan chiasma optikus dan dapat
menyebabkan hemianopia bitemporal. Setelah
anestesi, diperlukan penilaian ulang fungsi nervus
kranialis untuk melihat apakah pembedahan
memberikan peningkatan atau perburukan. Juga
harus diperhatikan adanya tanda-tanda peningkatan
intrakranial sebelum operasi. 20
Pemeriksaan endokrin
Diabetes mellitus dapat terjadi pada 25% pasien
akromegali dan 60% pasien dengan sindrom
Cushing. Gangguan toleransi glukosa bahkan lebih
sering terjadi. Juga penting untuk menilai T4 dan
TSH dan menormalkan fungsi tiroid sebelum
pembedahan untuk menghindari aritmia dan
ketidakstabilan kardiak.20
Yang harus diingat. 20:
Riwayat
Harus diingat untuk menanyakan gejala yang
sering terjadi seperti penyakit jantung iskemik,
peningkatan tekanan intra cranial, fungsi tiroid
abnormal dan ‘sleep apnea’ obstruksi
Pemeriksaan
Penilaian jalan napas
Penilaian nervus kranialis
Pencitraan
MRI hipofisis (jika memungkinkan)
Laboratorium
Kalsium, glukosa darah , prolaktin basal
TSH dan T4
Kortisol serum-ingat untuk kover glukokortikoid
Lainnya
EKG
Echokardiogram
Laringoskopi indirek
Spirometri
Terapi penggantian hormon
Terapi penggantian hormon prabedah harus dilanjutkan sampai hari operasi. Secara umum,
hidrokortison 100 mg harus diberikan saat induksi
anestesi pada semua pasien yang akan menjalani
pembedahan hipofisis. 2 Diikuti dengan 50 mg dua
kali sehari pada pasca operasi hari pertama, 25 mg
dua kali sehari pada pasca operasi hari kedua, 20
mg saat pagi hari dan 10 mg pada sore hari pada
hari ketiga dan setelahnya sampai pasien
dipulangkan. Pasien dengan penyakit Cushing
dapat memerlukan tambahan penggantian
glukokortikoid untuk beberapa minggu sementara
pasien dengan tumor non-ACTH sekresi dapat dihentikan terapinya setelah beberapa hari. 2
Penggunaan hormon post-operatif berdasarkan
level kortisol:
<100 nmol/L: terapi rumatan dengan
hidrokortison 15-30 mg/ hari; tidak diperlukan
tes aksis hipotalamik-pituitari (HPA) selama
pasien adalah ACTH-defisiensi.
100-200 nmol/L: hidrokortison 10-20 mg dosis
tunggal di pagi hari, diperlukan pemeriksaan
HPA lebih lanjut
250-450 nmol/L: pasien-pasien ini hanya memerlukan penggantian glukokortikoid jika
stress dan harus dilakukan pemeriksaan HPA
9
>450 nmol/L: tidak diperlukan penggantian glukokortikooid dan tidak diperlukan tes lebih
lanjut. 18
Pendekatan pembedahan
Tujuan utama pembedahan adalah pengangkatan
tumor, yang dapat dicapai pada sebagian besar
kasus. Pada prakteknya, pengangkatan tumor yang
hampir total menyebabkan remisi endokrin dan
debulking menyebabkan dekompresi chiasma.
Biopsi tumor sendiri jarang diindikasikan. 2
Fossa hipofisis dapat dicapai dengan cara. 2:
- transsfenoid
- transethmoid atau
- transkranial
Tumor-tumor dengan diameter kurang dari 10 mm
biasanya dicapai dengan jalur transsfenoid (gb. 6),
sedangkan tumor yang lebih besar dari 20 mm dan
dengan perluasan ke suprasellar biasanya dicapai
dengan kraniotomi bifrontal. 7 Jalur transsfenoid sendiri dipilih untuk sebagian besar kasus,
merupakan pendekatan yang rasional untuk
mikroadenoma dan biasanya cukup untuk tumor
dengan perluasan ke suprasellar. 21
Dengan penggunaan antibioitik profilaksis,
morbiditas dan mortalitas berkurang secara
bermakna dengan pendekatan transsfenoid7,
keuntungan lain yaitu, akses midline ke sella
dengan resiko minimal trauma otak atau perdarahan
dan komplikasi pascabedah yang lebih rendah 2
seperti diabetes insipidus, sehingga mengurangi morbiditas dan mortalitas, mengurangi retraksi
lobus frontalis dan perlukaan eksternal; pembesaran
visualisasi dan pengangkatan tumor-tumor kecil
yang menyisakan jaringan normal; kurangnya
frekuensi transfusi darah; dan memungkinkan
pemulangan yang lebih cepat, waktu operasi yang
relatif singkat, terutama untuk kasus rekuren. 4,5,22
Peningkatan ketepatan dan invasi jaringan yang
lebih kurang diperoleh dengan penggunaan teknik
navigasi.
Operasi dilakukan dengan bantuan mikroskop
melalui suatu insisi pada mukosa gusi di bawaah bibir bagian atas. Ahli bedah memasuki kavitas
nasal, memotong melalui septum nasal, dan
akhirnya memasuki dasar sinus sfenoid untuk
masuk ke dasar sella tursika. 7
Gambar 6. Operasi endoskopi transsfenoid
Dikutip dari: http://drarunlnaik.com/acromegaly
Pengangkatan tumor yang lengkap dapat dicapai
pada sebagian besar kasus, tetapi tidak pada semua
pasien. Keberhasilan pembedahan ditentukan oleh pengalaman ahli bedah, besarnya ukuran adenoma,
dan derajat perluasan di atas sella tursika. Perluasan
tumor ke dalam sinus kavernosa hampir selalu
dihubungkan dengan pengangkatan yang tidak
lengkap. Rekurensi adenoma hipofisis setelah
pembedahan dilaporkan terjadi pada 10-25%
pasien, biasanya dalam 4 tahun pertama. Karena itu
perlu dilakukan pemeriksaan hormonal secara
berkala dan pemeriksaan pencitraan direkomendasi-
kan setiap tahun. MRI follow up biasanya dilakukan
3-4 bulan setelah pembedahan untuk memberikan
waktu penyembuhan dan bersihnya sisa-sisa operasi.23 Simpson menghubungkan angka
rekurensi dengan luasnya pengangkatan tumor dan
menemukan sistem grading berdasarkan luasnya
reseksi (tabel 7). 21
Pendekatan endoskopi endonasal pada umumnya
dilakukan dan berhubungan dengan komplikasi
yang lebih kurang pada kosmetik, gigi dan nasal.
Sebagai tambahan, diabetes insipidus (DI)
pascabedah dapat menjadi lebih kurang jika
prosedur dilakukan secara endoskopi. 16
Banyak ahli bedah saraf menempatkan kateter intratekal lumbal untuk membantu visualisasi
tumor. Kateter dapat digunakan untuk memani-
pulasi tekanan cairan serebrospinal dengan
menginjeksi salin atau dengan mengalirkan cairan
serebrospinal.16
Gambar 7 memperlihatkan posisi pasien, ahli bedah
dan ahli anestesi dalam pembedahan hipofisis
melalui transsfenoid. 16
Manajemen anestesi
Pemeriksaan prabedah
Penatalaksanaan anestesi pasien yang akan
menjalani pembedahan hipofisis pada dasarnya tidak berbeda dengan pasien-pasien yang akan
menjalani kraniotomi. Prinsip-prinsip dasar
10
neuroanestesi tetap diberlakukan baik digunakan pendekatan transsfenoid maupun transkranial. 5
Tabel 7. Angka rekurensi lima tahun untuk
meningioma berdasarkan luasnya reseksi.
Derajat Deskripsi Angka rekurensi 5 th
(%)
1 Pengangkatan lengkap tumor makroskopi dengan eksisi dura dan tulang yang terlibat
9
2 Pengangkatan lengkap tumor makroskopi dengan koagulasi dura/ tulang
19
3 Pengangkatan lelngkap tumor makroskopi tetapi tidak ada terapi terhadap dura dan tulang yang terlibat
29
4 Tumor intrakranial ditinggalkan in situ
44
5 Hanya dilakukan
dekompresi tumor
--
Dikutip dari: Stacey RJ, et al.21
Semua pasien memerlukan pemeriksaan
konsentrasi basal prolaktin, tes fungsi tiroid dan
MRI dengan kualitas tinggi.2 MRI lebih baik dalam
mengidentifikasi mikroadenoma, sedangkan CT
scan lebih baik dalam mendeteksi invasi ke tulang.4
Sebagai tambahan dalam pemeriksaan umum pre-
anestesi pada pasien bedah saraf, penilaian prabedah pasien yang akan menjalani pembedahan
hipofisis harus meliputi: fungsi penglihatan, tanda-
tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial,
pemeriksaan endokrin pasien, dan efek dari
hipersekresi hormon. 2 Perhatian khusus terutama
diberikan pada akromegali dan penyakit Cushing
karena memberikan tantangan unik pada ahli
anestesi.
Teknik anestesi yang digunakan haruslah dapat
memfasilitasi lapangan pembedahan, mempertahan-
kan perfusi serebral, menghindari hipertensi dan
memfasilitasi pemulihan yang cepat. Teknik dan agen anestesi yang digunakan haruslah berdasar
pada pemeriksaan prabedah yang seksama pada
setiap pasien dengan mempertimbangkan semua
komorbid yang ada. 2,20
Manajemen jalan napas
Beberapa hal terkait dengan jalan napas antara lain:
a. akromegali
b. penyakit Cushing
c. posisi intraoperatif
Gambar 7. Posisi pasien dan pendekatan pembedahan
transsfenoid ke hipofisis. AS=asisten ahli bedah (‘surgeon’), S=
ahli bedah (‘surgeon’), A=anesth (ahli anestesi).
Dikutip dari: Nemergut EC, et al. 16
Pemeriksaan prabedah yang seksama haruslah
diwaspadai ahli anestesi akan adanya kemungkinan
kesulitan manajemen jalan napas dan intubasi
trakea. Ventilasi dengan ‘bag’ dan masker pada
umumnya memang sulit dilakukan pada pasien
akromegali.
Ada empat tingkatan jalan napas yang terlibat pada pasien akromegali:
1. tidak ada kelainan jalan napas yang terlibat
2. hipertrofi mukosa nasal dan faringeal, tetapi
plika vokalis dan glottis masih normal
3. glottis teribat, termasuk stenosis glottis atau
parese plika vokalis
4. kombinasi tingkat 2 dan 3, seperti abnormalitas
glottis dan jaringan lunak.
Trakeostomi direkomendasikan untuk grade 3 dan
4, tetapi beberapa ahli berpendapat bahwa
laringoskopi fiberoptik merupakan alternatif yang
aman. 2
Intubasi dilakukan dengan pipa endotrakeal
standard dan harus memungkinkan ahli bedah
menyelesaikan prosedur; namun, beberapa ahli
bedah lebih memilih oral tube RAE (‘right angle
endotracheal’). 16 Tentu saja, intubasi nasal adalah
kontraindikasi. 24
Tantangan terbesar dalam menangani jalan napas
pasien akromegali adalah kesulitan intubasi trakea
yang tidak diprediksi. Dalam suatu penelitian
pasien akromegali oleh Schmitt, dkk menemukan
bahwa 20% pasien akromegali yang dinilai sebagai
Mallampati 1 dan 2 adalah sulit diintubasi. Karena
itu ahli anestesi haruslah menyiapkan peralatan
jalan napas yang bervariasi. Peralatan untuk
11
trakeostomi harus disiapkan jika perubahan jalan napas sangat bermakna. 2 Laringoskopi fiberoptik
fleksibel juga dapat lebih menyulitkan. Teknik
‘awake’ selalu memberikan batas keamanan yang
lebih besar.16
Penyakit Cushing berhubungan jelas dengan
kesulitan intubasi (mis. OSA, obesitas). Karena itu,
jalan napas harus diperhatikan dengan seksama.
Adanya diabetes juga harus dipertimbangkan
adanya penyakit reflux gastroesofageal dan
melambatnya pengosongan lambung dan
kemungkinan diperlukannya ‘rapid sequence induction’. 16
Setelah intubasi, mulut dan faring posterior harus di
‘pack’ sebelum operasi dimulai. Hal ini tidak hanya
mencegah perdarahan masuk ke daerah glottis
selama operasi, tetapi juga masuknya darah dan
secret ke dalam lambung yang akan merangsang
timbulnya muntah pasca operasi. Pipa endotrakeal
harus diposisikan untuk memungkinkan ahli bedah
saraf mengakses tempat insisi. 2
Persiapan mukosa nasal
Kebanyakan ahli bedah memilih injeksi agen
vasokonstriksi ke dalam tiap rongga hidung sebelum pembedahan transsfenoid.2 Injeksi
xylometazoline (suatu simpatomimetik amin kerja
panjang yang bekerja pada reseptor α) dengan atau
lidokain 1% dengan adrenalin 1:200.000 ke dalam
mukosa nasal menyebabkan vasokonstriksi yang
dapat berlangsung sampai 8 jam, dan mengurangi
perdarahan. 2,6,20
Posisi intra-operatif dan monitoring
Setelah induksi anestesi, pasien diposisikan untuk
pembedahan. Reseksi hipofisis transsfenoid pada
umumnya dilakukan dengan posisi head-up untuk mengurangi pelebaran vena. Kepala dapat diputar
sedikit untuk memfasilitasi lapangan pembedahan. 2
Posisi demikian menyebabkan emboli vena udara
merupakan suatu resiko. Karena itu dapat
dipertimbangkan monitoring precordial Doppler,
end-tidal CO2, dan end-tidal N2. 16
Tube endotrakeal dan mesin anestesi harus
ditempatkan berlawanan dengan lapangan pembe-
dahan. Karena pemeriksaan radiografi seringkali
diperlukan, suatu C-arm biasanya ditempatkan di
sebelah kiri lapangan bedah. Semua yang berada
dalam ruang pembedahan harus mengenakan proteksi yang memadai. 2
Monitoring selama pembedahan meliputi EKG,
SpO2, endtidal CO2, dan tekanan darah arteri
langsung. Adanya komorbid, terutama pada pasien
penyakit Cushing, dapat memerlukan tambahan
monitoring kardiovaskuler invasif. 2 Kateter arteri
harus dipertimbangkan pada pasien dengan toleransi bergiat yang rendah, pada pasien dengan
tanda dan gejala gagal jantung bendungan, pada
pasien dengan hipertensi yang sulit terkontrol, atau
pada pasien dengan kardiomiopati yang
terdokumentasikan. Adanya potensi terjadinya
hipertensi tiba-tiba selama pembedahan
transsfenoid menyebabkan ahli anestesi akan
menempatkan kateter arteri untuk diagnosis dan
terapi yang lebih awal. Harus diingat bahwa aliran
darah melalui arteri ulnaris dapat dikompromikan
sampai 50% pada pasien akromegali. Hal ini mirip dengan adanya atau riwayat sindrom ‘tunnel
carpal’. Pada pasien-pasien ini, aliran darah ke
tangan dapat sepenuhnya tergantung pada aliran
arteri radialis. Kateterisasi pada arteri radialis
berpotensi menghasilkan iskemia pada tangan,
sehingga tempat keteterisasi alternatif untuk
monitoring intraarterial (seperti femoralis) perlu
dipertimbangkan. 16
Rekaman ‘visual evoked potential (VEP)’ telah
direkomendasikan untuk pembedahan pada area
jalur penglihatan. 2
Proteksi pada bagian-bagian yang tertekan sangat penting karena operasi dapat memanjang. Mata
harus rutin dilindungi dengan bantalan.
Osteoporosis dan kulit yang tipis pada pasien
dengan penyakit Cushing memudahkan terjadinya
memar, fraktur patologis dan lecet pada daerah
penekanan, sehingga diperlukan perhatian yang
lebih pada pasien-pasien ini. 20
Pemilihan obat anestesi
Pemilihan obat anestesi bergantung pada komorbid
pasien yang bersangkutan dan riwayat anestesi
sebelumnya. Perlunya pemulihan yang cepat untuk memungkinkan pemeriksaan neurologis yang
segera menyebabkan penggunaan obat-obat dengan
klirens yang cepat, seperti propofol dan
remifentanil, atau anestesi inhalasi dengan
kelarutan darah yang rendah seperti sevofluran,
merupakan pilihan yang masuk akal. Anestesi
inhalasi dengan remifentanil dapat memberikan
hemodinamik yang lebih stabil dan pemeriksaan
neurologis yang lebih awal. Jika remifentanil
digunakan, penting untuk memberikan analgesia
peralihan dengan opioid yang lebih panjang masa
kerjanya, jika tidak pemulihan dapat berkomplikasi dengan nyerinya pasien. Blok neuromuskuler
dengan atrakurium atau vekuronium harus
dipertahankan selama pembedahan karena segala
pergerakan pasien dapat mengakibatkan kebocoran
cairan serebrospinal (LCS), trauma jalur
penglihatan, atau kerusakan vaskuler. Antiemetik
harus rutin diberikan untuk mengurangi tingginya
insiden mual dan muntah pasca operasi. 2,16,20
12
Pemeliharaan anestesi
Pembedahan hipofisis transsfenoid normalnya
‘minimal blood loss’, namun berpotensi terjadinya
perdarahan yang bermakna karena hipofisis
proksimal dari artri karotis interna. Sebenarnya,
trauma arteri karotis intraoperatif jarang terjadi,
tetapi berpotensi fatal, suatu komplikasi dari
pembedahan transsfenoid. Pada kasus trauma arteri
karotis yang tidak disengaja, hipotensi kendali
dapat meningkatkan visualisasi dan menolong
memfasilitasi perbaikan. Trauma seharusnya
dijahit; namun pada prakteknya, seringkali dihentikan dengan penekanan dan pengguanaan
obat hemostatik. Suatu balon kateter dapat
dikembangkan dan ditempatkan pada daerah yang
memerlukan tambahan tampon. 16
Perdarahan vena yang sedang dari sinus kavernosus
merupakan masalah yang paling sering pada
prakteknya dan cenderung terjadi lebih berat pada
pasien dengan tumor yang lebih besar dan
perluasan ke suprasellar. Ahli anestesi seharusnya
memiliki akses intravena di ekstremitas manakala
diperlukan. 16
Insersi drainase lumbal
Untuk tumor hipofisis dengan perluasan suprasellar
yang bermakna, ahli bedah biasanya meminta untuk
dipasang drain subarachnoid lumbal. Cara
termudah adalah dengan menggunakan kateter
standar epidural 16 G. Biasanya diinsersikan pada
L 3-4 dan dimasukkan 10 cm kateter dengan arah
cephalad. Injeksi 10 ml normal saline ke dalam
kateter (dengan teknik yang steril) menghasilkan
peningkatan sementara tekanan LCS dan dapat
menyebabkan tumor yang meluas ke suprasellar
bergerak ke dalam daerah operasi. Suatu drainase lumbal juga dapat berguna pasca operasi untuk
mengatasi kebocoran LCS. 20
Manajemen pasca operasi
Jalan napas
Resiko terjadinya obstruksi jalan napas pada pasien
dengan pembedahan hipofisis pada periode akut
pasca operasi. Ahli anestesi harus meyakinkan
bahwa ‘pack’ tenggorokan telah diambil pada akhir
pembedahan dan pasien harus diekstubasi dalam
keadaan sadar untuk mengurangi resiko aspirasi
darah. Tampon nasal seringkali ditinggalkan setelah
pembedahan selesai sehingga patensi jalan napas orofaringeal sangat penting. Pasien akromegali dan
pasien yang lain dengan riwayat obstruksi ‘sleep
apnea’ mungkin telah menggunakan CPAP saat
malam hari pada periode prabedah. Nasal CPAP
dapat tidak efektif jika masih terdapat tampon nasal
pasca operasi. Lebih lagi, adanya resiko masuknya
udara ke dalam kranium (pneumocephalus) melalui defek di sekitar dasar hipofisis. Walaupun
normalnya hal ini hanya menyebabkan sakit kepala,
jika udara tersebut tertekan, dapat terjadi tension
pneumocephalus yang dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dan menurunnya kesadaran. Resiko
utama pasien-pasien ini adalah hipoksemia, dan
karena itu harus berada dalam pengawasan
monitoring saturasi dan pemberian oksigen untuk
beberapa hari pasca operasi. 20
Penilaian neurologis
Pulih sadar dari anestesi idealnya ‘smooth’ dan memungkinkan ahli bedah untuk melakukan
penilaian dini dari fungsi nervus kranialis,
utamanya nervus kranialis II – VI yang sangat
dekat dengan lapangan pembedahan. Pemulihan
yang cepat dapat dicapai dengan menggunakan obat
anestesi kerja singkat dan cepat dimetabolisme. 20
Analgesia
Pasien biasanya mengeluhkan adanya sakit kepala
frontal setelah operasi. Kodein telah digunakan
untuk analgesia pasca operasi akibat efek
sampingnya yang disukai. Opioid yang lebih kuat
dapat digunakan bila perlu, terutama jika dilakukan pendekatan trans-kranial. 20 Dapat juga diberikan
obat-obat antisteroid seperti ketorolak, atau
acetaminophen. Sekali lagi, perhatian harus
diberikan jika memberikan opioid pada pasien-
pasien dengan riwayat OSA. 16
Mual dan muntah
Mual dan muntah merupakan komplikasi pasca
operasi yang paling sering pada prosedur bedah
saraf, dengan hampir 40% pasien dilaporkan terjadi
mual muntah. Untuk menghindari terjadinya efek
yang tidak diinginkan dari muntah seperti peningkatan tekanan intrakranial, profilaksis anti
emetik harus diberikan pada semua pasien. 16,20
Komplikasi pembedahan hipofisis
Pembedahan hipofisis dengan pendekatan
transsfenoid biasanya hanya berhubungan dengan
3,5% dari seluruh komplikasi, namun harus
diwaspadai oleh ahli anestesi terhadap komplikasi-
komplikasi berikut ini. 20:
1. Perdarahan
Perdarahan dari rusaknya arteri karotis interna
atau vena-vena dalam dinding sinus kavernosus
adalah komplikasi yang jarang. Tumor yang lebih besar dan penyebaran ke suprasellar lebih
cenderung berdarah. Perdarahan vena dapat
memerlukan ‘packing’, di mana perdarah arteri
dapat dikurangi dengan hipotensi kendali
dengan menggunakan obat-obatan intravena α
13
atau β bloker. Jika terjadi perdarahan arteri, pembedahan lebih lanjut harus ditunda dan
pasien ditransfer ke ruang perawatan intensif
secepatnya untuk monitoring, sedasi, dan
ventilasi. 20
2. Kebocoran LCS
Hal ini hanya dapat diidentifikasi ketika tampon
hidung dilepaskan. Pasien dapat mengeluh sakit
kepala, rhinorrhea, atau mengeluh adanya rasa
asin di mulut akibat tetesan/ post nasal drips.
Tes untuk mencurigai adanya LCS akan positif
dengan glukosa. Gejala-gejala seperti rasa nyeri, kaku kuduk, fotofobia dan demam harus
diwaspadai sebagai kemungkinan adanya
meningitis dan diperlukannya terapi antibiotik
yang sesuai. Kebocoran LCS yang menetap
biasanya dapat diatasi dengan menempatkan
drainase lumbal insitu selama 24 - 48 jam untuk
drainase LCS secara kontinyu. 20,21
3. Diabetes insipidus
Diabetes insipidus (DI) neurogenik disebabkan
adanya kerusakan sel sekresi ADH pada
hipofisis posterior atau hipotalamus, atau
pelepasan ADH yang lemah dari sel-sel ini. Karena fungsi ADH adalah menyebabkan
retensi air pada tubulus distal ginjal dan duktus
koledokus, maka DI ditandai oleh poliuri,
kehausan, peningkatan osmolalitas plasma dan
hipernatremia. Hal ini merupakan salah satu
komplikasi tersering pada pembedahan hipofisis
dan dapat berpengaruh sampai pada 50% pasien
dalam 24-48 jam pertama pasca operasi.
Untuk membedakan DI dari penyebab poliuri yang lain pasca operasi, dianjurkan untuk memeriksa berat jenis dan urin output secara rutin. Poliuri dengan berat jenis urin < 1,005 dan osmolaritas yang rendah, < 300 mosm merupakan gambaran diagnostik DI. Sekali diagnosa ditegakkan, akses cairan dan monitoring ketat elektrolit dan urin merupakan strategi menejemen lini pertama. Pada beberapa kasus, penggunaan desmopressin (DDAVP, suatu analog ADH sintetis) dapat diperlukan. Kondisi ini biasanya sementara, sampai sel-sel yang lain mengambil alih produksi dan sekresi ADH. 20
Pengobatan harus dipertimbangkan jika trjadi ketidaksesuaian antara cairan masuk dan keluar, peningkatan natrium serum (diatas 145 mEq/ L), dan jika keluaran urin bermakna saat tidur. Terapi dengan DDAVP biasanya cepat dan efektif tanpa peningkatan tekanan darah arteri. Pemberian oral biasanya efektif dan harus dipikirkan sebagai pilihan pertama. Dosis awal 0,1 mg DDAVP dapat diberikan biasanya
efektif. Jika pasien tidak dapat diberikan secara oral, maka dapat diberikan 1 µg DDAVP secara subkutan. Pemberian jalur intravena biasanya jarang diperlukan. Karena DI sebagian besar sementara (> 95%), maka pemberian dosis tunggal biasanya telah memadai. Diperlukan monitoring ketat keluaran urin dan elektrolit serum untuk menghindari hiponatremia berlebihan. 20
4. Sindrom inappropriate produksi hormon anti-
diuretik (SIADH).
Kondisi ini lebih jarang terjadi dibandingkan DI.
Ditandai oleh pelepasan ADH dari hipofisis
posterior yang rusak tanpa menghiraukan
osmolaritas plasma. Tanda-tanda klinis termasuk
osmolaritas plasma dan natrium serum yang
rendah dan tingginya osmolaritas urin (lebih besar dari osmolaritas plasma) pada pasien yang
euvolemik. Diagnosisnya dibuat eksklusi dan
penyebab lain hiponatremia seperti sindrom
Cushing, hipotiroidisme, diabetes mellitus,
NSAID dan opioid harus dipisahkan terlebih
dahulu. 20
SIADH biasanya terjadi sekitar satu minggu
setelah pembedahan yang mana penyebab lain
bisa terjadi lebih cepat. Kondisinya dapat diatasi
dengan restriksi cairan untuk mengembalikan
natrium serum ke normal. Pilihan yang lain
termasuk penggunaan hipertonik salin dengan hati-hati untuk menghindari mielinolisis pontin
yang berhubungan dengan pemberian natrium
yang cepat. 16,20
5. Emboli udara vena
Resiko terjadinya emboli sekitar 10% jika
lapangan operasi lebih tinggi dari jantung.
Namun, emboli udara vena yang bermakna
secara klinis sehubungan dengan morbiditas dan
mortalitas belum pernah dilaporkan pada
pembedahan hipofisis. 20
6. Hipopituitarisme
Setidaknya 27% pasien dengan hipopituitarisme
pre operatif akan mengalami normalisasi fungsi
setelah reseksi tumor. Kebanyakan pasien (90-
95%) dengan fungsi pre-operatif hipofisis yang
normal akan kembali pada pasca operasi;
namun, semua pasien harus diskrining untuk
tanda-tanda hipopituitarisme.
Beberapa pusat melanjutkan pemberian
kortikosteroid setelah pulang dengan evaluasi
aksis adrenal-hipotalamus-hipofisis pada hari
berikutnya. Pendekatan alternatif adalah dengan
cepat me’weaning’ pasien dari supplemen kortikosteroid setelah 24 jam dan pemeriksaan
14
kortisol pagi setiap hari. Dengan pendekatan ini, pasien hanya diberikan tambahan kortikosteroid
jika terjadi gejala-gejala insufisiensi adrenal.
Jika pasien merasa baik dan kortisol pagi >
10µg/dl, supplemen steroid tambahan biasanya
tidak diperlukan dan pasien dapat dipulangkan
tanpa penggantian steroid tambahan. Dengan
cara ini, kebanyakan pasien tidak memerlukan
tambahan supplemen kortikosteroid. 16
Tabel berikut ini memperlihatkan kejadian (insiden)
komplikasi dari pembedahan transsfenoid 16:
Tabel 8. Komplikasi pembedahan transsfenoid.
Komplikasi Insiden (%)
Mortalitas
Komplikasi mayor (kebocoran LCS,
meningitis, stroke iskemik, trauma
vascular, perdarahan intrakranial,
kelumpuhan nervus kranialis yang baru,
dan kehilangan penglihatan)
Komplikasi minor (penyakit sinus,
perforasi septi, epistaksis, luka infeksi,
dan hematom)
< 0,5
1,5
6,5
Dikutip dari: Nemergut EC, et al.16
Tabel 9. Perbedaan SIADH dengan DI.
SIADH DI
Penampakan
Volume plasma
(pasien sadar)
Serum
Natrium serum
Volume urin
Osmolaritas urin
Natrium urin
Terapi
Hiponatremia
Euvolemik (atau
sedikit
hipervolemik)
Hipotonik (<275
mOsm/ L)
Menurun (<135
mEq/ L)
Sedikit (tetapi tetap
ada)
Relatif tinggi (>100
mOsm/ L)
>20 mEq/ L
Restriksi cairan jika
Na <120 mEq/L,
pertimbangkan
hipertonik salin
untuk mengoreksi
Na (ttp kec.tdk
lebih 1 mEq/ L/
jam)
Urea intravena
Demeclocycline
Lithium (jarang
digunakan)
Polyuri
Euvolemik
Hipertonik (>310
mOsm/L)
Meningkat (>145
mEq/ L)
Banyak (4-18L/
hari)
Relatif rendah
(<200 mOsm/ L)
>20 mEq/ L
DDAVP suportif
(desmopressin)
Dikutip dari: Nemergut EC, et al.16
Gangguan keseimbangan air sebagai hasil dari
terganggunya sekresi ADH merupakan salah satu
komplikasi akut pascaoperatif. Tabel 9 di bawah ini
meringkaskan perbedaan antara DI dan SIADH. 16
Adalah penting untuk membedakan DI dengan
beberapa proses yang sering terjadi pada paien yang
telah menjalani pembedahan hipofisis (tabel 10).
Perlu diingat bahwa pasien akromegali memper-
lihatkan diuresis fisiologis setelah pembedahan
reseksi tumor yang berhasil dan pengobatan dini dengan DDAVP seharusnya dihindari. 16
Pemeriksaan spesifik pasca operasi
Akromegali
Pengurangan kadar hormon pertumbuhan
menghasilkan keringat yang cepat berhenti.
Diabetes mellitus dapat lebih mudah terkontrol dan
banyak pasien dapat ditangani hanya dengan diet
dan hipoglikemik oral. Pada hari kedua, penting
untuk dilakukan tes toleransi glukosa dengan kadar
GH (mis.sebelum pulang). GH akan turun sampai
di bawah 2 mlU/ l, dan idealnya di bawah 0,5 mlU/ l jika sembuh. Jika pasien belum ‘sembuh’, re-
eksplorasi dini biasanya bermanfaat.
Angka kesembuhan bervariasi antara 60-80%. Jika
pembedahan gagal, pasien perlu dikontrol sekresi
hormone pertumbuhannya dengan analog
somatostatin dan menjalani iradiasi hipofisis. 21
Tumor cushing
Pasien yang sembuh akan menjadi tidak tergantung
pada penggantian kortisol. Jika hidrokortison tidak
diberikan selama prosedur, kadar kortisol dapat
dicek pada hari berikutnya, sekitar 24 jam
berikutnya. Jika pembedahan berhasil, kadar kortisol akan turun di bawah 50, tetapi penggantian
harus segera dimulai. Kegagalan pembedahan
menuntut re-eksplorasi yangtepat, utamanya jika
ditemukan adenoma pada eksplorasi pertama.
Kebanyakan pengarang yang telah berpengalaman
melaporkan angka kesembuhan lebih dari 70%.
Gagalnya terapi pembedahan pada penyakit
Cushing memerlukan radioterapi. Akhir-akhir ini,
metode untuk adrenalektomi bilateral dapat
dikurangi dengan kontrol hipersekresi kortisol yang
lebih disukai dengan ketokonazol. 21
Prolaktinoma
Suatu operasi tunggal biasanya memadai untuk
prosedur ini. Pasien wanita dapat medapatkan
kembali siklus menstruasinya jika kadar prolaktin
tetap sedikit di atas normal. Angka kesembuhan
dari pembedahan bervariasi antara 50-70%. Angka
kesembuhan untuk tumor invasif lebih rendah dari
20%, dengan terapi obat dan radioterapi yang
biasanya diperlukan beberapa tahap setelah
pembedahan. 21
15
Gambar 8. Kelenjar hipofisis dan anatomi yang berhubungan.
ICA=internal carotid artery, AntComArt= anterior
communicating artery, ACA= anterior cerebral artery, MCA=
middle cerebral artery, CNIII= cranial nerve III (occulomotor),
CNV= cranial nerve V (trigeminal). Dikutip dari : Nemergut EC, et al.
16
Ringkasan
Tumor hipofisis dapat dibagi menjadi dua kategori
utama, yaitu ‘nonfunctioning’ dan hipersekresi atau
‘functioning’. Tumor hipofisis ‘nonfunctioning’
biasanya didiagnosa saat menjadi besar dan menghasilkan gejala-gejala yang berhubungan
dengan efek massa yang mengenai struktur-struktur
yang berdekatan dengan tumor, seperti sakit kepala,
gangguan penglihatan, kelumpuhan saraf kranialis,
peningkatan TIK, dan hipopituitarisme.
Manajemen intra operasi
Beberapa hal terkait dengan jalan napas antara lain:
a. akromegali
b. penyakit Cushing
c. posisi intraoperatif
Pemeriksaan pre-operatif yang seksama haruslah
diwaspadai ahli anestesi akan adanya kemungkinan
kesulitan manajemen jalan napas dan intubasi
trakea.
Pasien yang telah menjalani pembedahan lebih
meningkatkan resiko obstruksi jalan napas pada
periode pasca operasi, terutama pada pasien dengan
riwayat OSA. Antisipasi kesulitan intubasi dan
pertimbangan intubasi dengan fiber optic baik
‘sleep’ maupun ‘awake’ merupakan metode yang
paling aman untuk mengamankan jalan napas.
Anestesia untuk pembedahan hipofisis harus
memungkinkan pemulihan yang cepat, karena itu
pemilihan obat didasarkan pada cepatnya masa
kerja dan mudahnya obat dimetabolisme. Juga
bergantung pada komorbid pasien yang
bersangkutan dan riwayat anestesi sebelumnya.
Karena itu penggunaan obat-obat dengan klirens
yang cepat, seperti propofol dan remifentanil, atau
anestesi inhalasi dengan kelarutan darah yang rendah seperti sevofluran, merupakan pilihan.
Anestesi inhalasi dengan remifentanil dapat
memberikan hemodinamik yang lebih stabil dan
pemeriksaan neurologis yang lebih awal. Blok
neuromuskuler dengan atracurioum atau
vecuronium harus dipertahankan selama
pembedahan karena segala pergerakan pasien dapat
mengakibatkan kebocoran cairan serebrospinal,
trauma jalur penglihatan, atau kerusakan vaskuler.
Antiemetik harus rutin diberikan untuk mengurangi
tingginya insiden mual dan muntah pasca operasi.
Pendekatan pembedahan transsfenoid merupakan
metode yang paling sering digunakan untuk
mencapai daerah hipofisis, dan penggunaan
drainase lumbal dapat mengoptimalkan kondisi
pembedahan. 2,6,20
Manajemen pasca operasi:
Pada akhir operasi, ekstubasi dilakukan setelah
kembalinya napas spontan, pengisapan faringeal
dengan laringoskopi, dikeluarkannya pack dan
kembalinya refleks laryngeal. Semua pasien harus
diobservasi ketat setelah pembedahan sampai pulih
dengan sempurna (fully awake). Pasien harus dirawat di unit perawatan intensif atau ‘high-care
unit’ sekurangnya dalam 24 jam pasca operasi.2
Penggantian hormon dilakukan bertahap sampai
beberapa hari, direkomendasikan hidrokortison
50mg dua kali sehari pada hari pertama pasca
operasi, 25mg dua kali sehari pada hari kedua, dan
pada hari ketiga 20mg di pagi hari dan 10mg di
sore hari. 2
Komplikasi-komplikasi pasca operasi:
1. Perdarahan
2. Kebocoran LCS 3. Diabetes insipidus
4. SIADH
5. Emboli udara vena
6. Hipopituitarisme
Pasien-pasien yang akan menjalani pembedahan
karena tumor neuroendokrin, yaitu hipofisis dapat
memberikan tantangan kepada ahli anestesi. Ahli
neuro anestesi haruslah memiliki pemahaman
tentang penyakit hipofisis dan implikasinya pada saat kunjungan perioperatif. Pendekatan
transsfenoid berhubungan dengan beberapa
masalah spesifik yang harus diantisipasi dan
ditangani. Sangat diperlukan adanya kerjasama tim
dan komunikasi yang baik antara ahli bedah saraf,
ahli anestesi, perawat neuroendokrin, ahli patologi,
ahli radiologi, dokter residen dan staf perawat
terutama di ICU untuk keberhasilan penanganan
pasien yang menjalani pembedahan hipofisis.
16
Daftar Pustaka
1. Nathanson MH, Simpson PJ. Neurosurgical
anaesthesia. Dalam: Aitkenhead AR, Smith G,
Rowbotham DJ, eds. Textbook of anaesthesia.
5th ed. London: Elsevier; 2007, 688-702.
2. Smith M, Hirsch NP. Pituitary disease and
anaesthesia. Br J Anaesth. 2000;85(1):3-14.
3. Razis PA. Anesthesia for surgery of pituitary
tumors. Int Anesthesiol Clin. 1997;35(4):23-
34.
4. Adapa R, Gupta AK. Anesthesia for pituitary
surgery. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds.
Essentials of neuroanesthesia and
neurointensive care. 1st ed. Philadelphia:
Elsevier-Saunders; 2008, 141-9.
5. Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE.
Anesthesia for neurosurgery. Dalam: Barash
PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical
anesthesia. 4th ed. New York: Lippincott
Williams & Wilkins; 2001, 747-89.
6. Nortje J. Cerebral blood flow and its control. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials
of neuroanesthesia and neurointensive care.
Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2008, 21-5.
7. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.
Anesthesia for neurosurgery. Dalam: Morgan
GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical
anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-
Hill, Inc; 2006, 631-46.
8. Patel PM. Cerebral ischemia. Dalam: Gupta
AK, Gelb AW, eds. Essentials of
neuroanesthesia and neurointensive care.
Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2008, 36-8.
9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.
Neurophysiology and anesthesia. Dalam:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds.
Clinical anesthesiology. 4th ed. New York:
McGraw-Hill Company, Inc; 2006, 614-30.
10. Timoveev I. The intracranial compartment and
intracranial pressure. Dalam: Gupta AK, Gelb
AW, eds. Essentials of neuroanesthesia and
neurointensive care. Philadelphia: Elsevier -
Saunders; 2008, 26-35.
11. Bisri T. Neuroanestesi. Bandung: Saga Olah Citra; 1997, 21-78.
12. Scanlon VC, Sanders T. The nervous system.
Dalam: Scanlon VC, Sanders T, eds.
Essentials of anatomy and physiology. 5th ed.
Philadelphia: F.A. Davis Company; 2007,
176-84.
13. Netter FH, Craig JA, Perkins J. Neuroanatomy. Atlas of neuroanatomy and
neurophysiology. Texas: Icon Custom
Communication; 2002, 20.
14. Netter FH, Craig JA, Perkins J.
Neurophysiology. Atlas of neuroanatomy and
neurophysiology. Texas: Icon Custom
Communications; 2002, 60.
15. Matjasko MJ. Anesthetic considerations in
patients with neuroendocrine disease. Dalam:
Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and
neurosurgery. 3rd ed. Philadelphia: Mosby; 1994, 604-24.
16. Nemergut EC, Dumont AS, Barry UT, Laws
ER. Perioperative management of patients
undergoing transsphenoidal pituitary surgery.
Anesth Analg. 2005;101:1170-81.
17. Jones TH. The management of
hyperprolactinaemia. Br J Hosp Med. 1995
Apr 19-May 2;53(8):374-8.
18. Lim M, Williams D, Maartens N. Anaesthesia
for pituitary surgery. J Clin Neurosci. 2006
May;13(4):413-8.
19. Melmed S, Braunstein GD, Chang RJ, Becker DP. Pituitary tumors secreting growth
hormone and prolactin. Ann Intern Med. 1986
Aug;105(2):238-53.
20. Griffiths S, Perks A. The hypothalamic
pituitary axis part 2: anaesthesia for pituitary
surgery. Anaesthesia tutorial of the week.
2010;189.
21. Stacey RJ, Powell MP. Sellar and parasellar
tumors. Dalam: Moore AJ, Newell DW, eds.
Neurosurgery principles and practice. London:
Springer - Verlag; 2004, 203-20.
22. Schubert A, Lotto M. Awake craniotomy,
epilepsy, minimally invasive, and robotic
surgery. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds.
Cottrell and Young's neuroanesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2010, 296-309.
23. Arafah BM, Nasrallah MP. Pituitary tumors:
pathophysiology, clinical manifestations and
management. Endocrine-Related Cancer.
2001;8:287-305.
24. Paul M, Dueck M, Kampe S, Petzke F, Ladra
A. Intracranial placement of a nasotracheal
tube after transnasal trans-sphenoidal surgery. Br J Anaesth. 2003;91(4):601-4.
1
PENGGUNAAN DEXMEDETOMIDIN PADA NEUROTRAUMA
THE USE OF DEXMEDETOMIDINE ON NEUROTRAUMA
MM Rudi Prihatno*), Abdul Lian**), Nazarudin Umar**)
*)Lab. Anestesiologi & Terapi Intensif FK Unsoed-RSMS Purwokerto
**)Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK Universitas Diponegoro-Semarang
**) Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK Universitas Sumatra Utara-Medan
Abstract The use of dexmedetomidine in Neurotrauma still divided between the agree and disagree. Disagreement is the
issue of the assessment of patient awareness, while approving the provision of dexmedetomidine were more
likely to be used as a sedative and also its effect as a brain protector.
The problems mentioned above can be considered by an anesthesiologist in the management of Neurotrauma
while considering the physical condition and consciousness of the patient with the expectation that patient safety
is maintained properly and not worsen the patient's condition.
Keyword : dexmedetomidine, neurotrauma, brain protection
JNI 2012;1(3):234-240
Abstrak Penggunaan dexmedetomidin dalam neurotrauma masih terpecah antara yang setuju dan tidak setuju.
Permasalahan ketidaksetujuan adalah dari sisi penilaian terhadap kesadaran pasien, sedangkan yang menyetujui
pemberian dexmedetomidin lebih cenderung digunakan sebagai sedasi dan juga efeknya sebagai protektor otak.
Permasalahan tersebut diatas dapat dijadikan pertimbangan oleh ahli anestesi dalam penatalaksanaan
neurotrauma dengan tetap mempertimbangkan kondisi fisik dan kesadaran pasien dengan harapan agar
keselamatan pasien tetap terjaga dengan baik dan tidak memperburuk kondisi pasien.
Kata kunci : dexmedetomidin, neurotauma, proteksi otak
JNI 2012;1(3):234-240
I. Pendahuluan
Kegawatan saraf merupakan salah satu yang
terbesar di Indonesia. Kasus kecelakaan yang
mengakibatkan gangguan saraf atau mengalami
penurunan kesadaran, dengan derajat kesadaran
yang bervariasi hingga GCS < 6. Pada pasien
dengan GCS > 6 lebih sering gelisah dan tidak
kooperatif. Selain itu, kondisi pasien yang tetap
tersadar merupakan salah satu acuan penting dalam
monitoring dan penilaian derajat kesadaran pasien.
Permasalahan yang berkembang di ruang gawat
darurat adalah bagaimana cara menenangkan pasien dengan medikasi yang tidak memperburuk keadaan
atau kesadaran pasien hingga diberikan tindakan
definitif, baik operatif maupun non-operatif.
Maksud dengan memberikan penenang pada pasien
adalah untuk mencegah pasien berbuat diluar
kesadarannya yang dapat berakibat fatal pada
dirinya sendiri. Beberapa kasus yang pernah terjadi
antara lain pasien melepas semua jalur intravena
yang terpasang, terjatuh dari tempat tidur,
mengamuk yang mengakibatkan kegaduhan di
ruang gawat darurat yang berakibat gangguan pada
pelayanan dan menimbulkan ketidaknyamanan
pasien yang lain. Berdasarkan kejadian-kejadian
tersebut, maka beberapa RS menerapkan kebijakan
untuk penatalaksanaan pasien-pasien dengan
penurunan kesadaran dan cenderung kombatif
untuk diberikan sedasi.
II. Dexmedetomidin
Dexmedetomidin merupakan agonis α-2
adrenoseptor yang sangat selektif sekali. Pemberian
bila sesuai dengan dosis yang dibutuhkan dapat
menimbulkan sedasi, anxiolisis, dan analgesia tanpa
adanya depresi nafas. Pemberian obat-obatan agonis α-2 dapat mengurangi kebutuhan anestesi
dikarenakan komponen simpatolitik, mampu
menahan stabilitas hemodinamik selama operasi.1
Agonis α-2 adrenoseptor merupakan subgroup dari
reseptor noadrenergik yang terdistribusi luas di
dalam dan diluar susunan saraf pusat (SSP). Agonis
α-2 di otak terutama terkonsentrasi didalam pons
dan medulla, suatu area yang terlibat dalam
transmisi aktifasi sistem saraf simpatis dari pusat
otak ke perifer. Stimulasi presinaptik reseptor α-2
dapat mengurangi pelepasan norepinefrin dan
2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
aktifasi reseptor α-2 pasca sinap hiperpolarisasi membran neural.1
Dexmedetomidin menimbulkan efek sedatif dan
ansiolitik melalui aktifasi adrenoseptor α-2 di locus
ceruleus (LC), tempat terbesar inervasi
noradrenergik di SSP. LC berperan sebagai
modulator kunci untuk berbagai macam fungsi
kritis otak seperti gairah, tidur, kecemasan, dan
putus obat yang terkait dengan sindrom depresi
SSP, seperti opioid.1,2 Sedasi dihasilkan oleh agonis
α-2 adrenoseptor, tidak seperti yang dihasilkan oleh
obat-obatan sedatif tradisional, seperti benzodiazepine dan propofol, independen terutama
terhadap sistem GABA.1,2
Dexmedetomidin di Indonesia merupakan obat baru
yang mulai dikenal luas awal tahun 2000, walaupun
sebenarnya obat ini sudah lama diproduksi dan
diteliti mulai awal tahun 1990. Penggunaan
dexmedetomidin lebih banyak untuk sedasi pada
pasien-pasien di ICU dan juga digunakan untuk
pasien operasi bedah saraf, terutama awake
craniotomy.
Dexmedetomidin memiliki waktu paruh yang cepat
± 6 menit. Sembilan puluh empat persen dari dexmedetomidin merupakan protein terikat, dan
konsentrasi rasio antara seluruh darah dan plasma
adalah 0,66.3 Biotransformasi dengan konjugasi
(41%), n-metilasi (21%), atau hidroksilasi diikuti
oleh konjugasi dalam hati. Metabolit tidak aktif
diekskresikan dalam urin dan feses. Eliminasi
waktu paruh dexmedetomidin antara 2-3 jam,
dengan konteks-sensitif waktu paruh mulai dari 4
menit setelah infus selama 10 menit hingga 250
menit setelah infus selama 8 jam. Tidak ada
akumulasi setelah infus 12-24 jam.3
Adrenoseptor agonis α2 terbagi menjadi 3 subtipe,
yaitu α2a (didistribusikan di perifer), α2b dan α2c
(ada di otak dan tulang belakang). Mekanisme
umum dari adrenoseptor tersebut adalah:
Aktivasi presinaptik dari α2-adrenoseptor
menghambat pelepasan norepinefrin.
Aktivasi pascasinap dari adrenoseptor α2 dalam
sistem saraf pusat menghambat aktivitas
simpatik dan dapat menurunkan tekanan darah
dan denyut jantung.
Analgesia timbul melalui mekanisme pengikatan dexmedetomidin untuk α2-
adrenoseptor di sumsum tulang belakang.3
[Type text]
10-minute infusion to 250 minutes after an 8-hour infusion. No accumulation
after infusions 12-24 h.Pharmacokinetics similar in young adults and elderly.
Mechanism of actions A selective α2-adrenoceptor agonist. It’s action is unique and different.
Three subtypes of α2 adrenoreceptors have been described in humans: α2A,
α2B, and α2C ( Fig). The α2A
adrenoreceptors are primarily distributed in the periphery, whereas α2B and α2C
are in the brain and spinal cord.
• Presynaptic activation of alpha2-adrenoceptors inhibits the release of nor
epinephrine.
• Postsynaptic activation of alpha2-adrenoceptors in the central nervous
system inhibits sympathetic activity and can decrease blood pressure and
heart rate, so sedation and anxiolysis can result from this activity.
• Analgesia is provided through binding of Dexmedetomidine to alpha2-
adrenoceptors in the spinal cord.
The overall response to α2 adrenoreceptors agonists is related to the stimulation of
α2 adrenoreceptors located in the CNS and spinal cord. The α2 agonists produce
their sedative-hypnotic effect by an action on α2 receptors in the locus caeruleus
and an analgesic action at α2 receptors within the locus caeruleus and within the
spinal cord.
Gambar 1. Mekanisme agonis α-2 adrenoseptor
Dikutip dari: Kumar GK 3
Penggunaan dexmedetomidin sebagai agen sedasi memberikan efek yang lebih baik dibandingkan
propofol terhadap tingkat kecemasan pasien.3
Penelitian ini menitikberatkan pada monitoring
tekanan darah, nadi, SpO2, bispectral index (BIS),
faces anxiety scale (FAS). Hasil yang didapat
menyatakan bahwa, dexmedetomidin sedikit
menimbulkan depresi nafas bila dibandingkan
propofol. Efek sedasi dexmedetomidin tidaklah
sebaik propofol untuk mengatasi kecemasan
berdasarkan hasil dari penilaian FAS, dimana pada
pemberian propofol skor FAS menurun lebih cepat dibandingkan dexmedetomidin, akan tetapi
penilaian kesadaran dengan metode mental
aritmetika (MA) menunjukkan bahwa pasien masih
dapat berhitung pengurangan pada tingkat sedasi
ringan (BIS 75-85).4
Efek analgesi dari dexmedetomidin dapat menurun-
kan penggunaan opioid hingga 30%-50%, akan
tetapi potensinya tidak bisa menyamai kemampuan
opioid, akan tetapi untuk kasus-kasus yang opioid
tidak bisa maksimal, seperti nyeri neuropatik, maka
pemberian agonis α-2 akan lebih menguntungkan.1,5
Dexmedetomidin merupakan salah satu obat yang sangat berguna untuk penatalaksanaan kasus-kasus
yang memerlukan sedasi dan juga penatalaksanaan
nyeri. Mekanisme efek dalam mereduksi nyeri
merupakan akibat dari aktifasi adrenoseptor α-2.3,5
Mekanisme kerja dari dexmedetomidin dalam
mereduksi nyeri berhubungan dengan aktifitasnya
terhadap LC dan persarafan di tulang belakang
(spinal cord) dengan mengaktifasi adrenoseptor
α2c dengan cara melemahkan transmisi nosiseptik
ke SSP.
Penggunaan dexmedetomidin sudah sangat luas, tidak hanya untuk kasus-kasus bedah saraf saja,
akan tetapi telah digunakan sebagai salah satu
bagian dari penatalaksanaan sedasi di ruang terapi
intensif serta dapat sebagai bagian dari pengelolaan
anestesi pada pasien-pasien yang akan operasi non-
bedah saraf dengan kondisi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan operasi
3 Penggunaan Dexmedetomidine pada Neurotrauma
pembedahan dengan anestesi umum secara menyeluruh.
Ruang terapi intensif menggunakan
dexmedetomidin pada umumnya untuk kasus-kasus
yang memerlukan penanganan khusus serta untuk
pengendalian hemodinamik, nyeri, ataupun sedasi
ringan. Efek dari dexmedetomidin terhadap pasien-
pasien dengan kondisi kritis dalam beberapa hal
lebih menguntungkan.
Pemberian dexmedetomidin secara intravena
menghasilkan peningkatan sementara tekanan darah
arteri dan resistensi arteri perifer, kemudian akan diikuti oleh penurunan berkepanjangan. Pada sel
efektor simpatik, α2-agonis menghambat pelepasan
presinaptik norepinefrin, tetapi proses ini akan
ditahan dalam pembuluh oleh efek vasokonstriksi
langsung α2-agonis dalam sirkulasi.6,7
Penelitian yang pernah dilakukan pada kasus bedah
vaskuler, dengan anestesia, pasien yang tidak
diberikan dexmedetomidin menunjukkan
peningkatan kadar norepinefrin yang lebih tinggi 2-
3x lipat dibandingkan pasien yang diberikan
dexmedetomidin. Hal tersebut diketahui
berdasarkan peningkatan kadar normetanefrin yang tinggi dalam urin. Normetanefrin merupakan
derivat norepinefrin.7
Pasien yang mendapatkan dexmedetomidin, tidak
ada peningkatan kadar normetanefrin urin hingga
hari kedua pascaoperasi. Konsentrasi
dexmedetomidin plasma (antara 0,18-0,34 ng/ml)
akan mengurangi peningkatan denyut jantung dan
konsentrasi norepinefrin plasma selama tindakan
anestesi.7
Penggunaan dexmedetomidin dalam anestesi
umum, akan bekerja sinergi dengan agen inhalasi, opioid, serta obat-obatan pelumpuh otot. Peng-
gunaan dexmedetomidin sebagai ajuvan pada
pasien dengan anestesi umum yang menggunakan
agen inhalasi, dapat mengurangi kebutuhannya
hingga 90% dari MAC. Penggunaan isofluran
sendiri tidak terlalu mempengaruhi farmakokinetik
dexmedetomidin.8,9
Penggunaan opioid pada pemberian
dexmedetomidin dapat dikurangi, selain itu juga
dapat mengurangi rigiditas otot yang merupakan
salah satu efek samping dari pemberian opioid.8
Penelitian efek dexmedetomidin terhadap pelum-puh otot yang pernah dilakukan menemukan
beberapa kejadian setelah pemberian
dexmedetomidin dalam dosis klinis yang relevan,
konsentrasi pelumpuh otot dalam plasma meningkat
dan T1 (respon TOF-1) menurun. Selain itu, bila
dilakukan infus dexmedetomidin, maka akan terjadi
penurunan berkelanjutan dalam volume darah
jaringan dan peningkatan yang berkelanjutan tekanan darah sistemik, yang menunjukkan
vasokonstriksi berkelanjutan yang disebabkan oleh
dexmedetomidin di perifer.10
III. Dexmedetomidin dalam Neurotrauma
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah
dilakukan, ada 2 pendapat yang menyetujui
penggunaan dexmedetomidin dalam neurotrauma
dan ada pula yang sebaliknya. Pendapat yang
menyetujui adalah dengan pertimbangan derajat
kesadaran yang masih baik, hemodinamik yang
tinggi dan tidak stabil, serta untuk keperluan proteksi otak. Pendapat yang tidak menyetujui
adalah bila dexmedetomidin diberikan pada pasien
neurotrauma, akan mengakibatkan gangguan dalam
menilai kesadaran pasien. Pertimbangan-pertim-
bangan tersebut merupakan dasar yang diambil oleh
rumahsakit dalam mengambil kebijakan penatalak-
sanaan pasien dengan neurotrauma.
Kerusakan sel otak akibat trauma dapat
berlangsung cepat atau lambat. Perlu diketahui
bahwa kerusakan sel ada 3, yaitu apoptosis,
nekrosis dan autofagi. Pada kasus trauma, yang
paling sering terjadi adalah nekrosis dan biasanya akut. Nekrosis adalah hasil akhir dari kekacauan
bioenergi akibat deplesi ATP ke tingkat yang tidak
sesuai dengan kelangsungan hidup sel dan dapat
terjadi pada kasus keracunan atau kerusakan fisik.
Hal ini secara morfologi ditandai oleh vakuolasi
dari sitoplasma, pembengkakan mitokondria,
dilatasi endoplasmik retikulum (ER), dan kerusakan
pada membran plasma.12 Akibatnya, isi seluler
dibebaskan ke dalam ruang ekstraseluler dan dapat
merusak sel disebelahnya dan menimbulkan respon
inflamasi. Meskipun mekanisme molekuler yang menyebabkan kematian sel nekrotik tidak sepenuh-
nya dijelaskan, biasanya, neuron kehilangan kontrol
keseimbangan ion, penyerapan, dan lisis.
Eksitotoksisitas merupakan hasil dari pelepasan
neurotransmiter yang berlebihan dan melibatkan
reseptor membran sel dengan asam amino
eksitatorik seperti N-metil-D-aspartat (NMDA)
ionotropik, kainate, dan 2-amino-3-propionat
(AMPA). Asam amino eksitatorik memicu pening-
katan Ca2+ intrasel oleh pelepasan Ca2+ reticulum
endoplasma mengelompok dan atau memicu
transport Ca2+ ekstrasel melalui transporter membran plasma.12
Inhibisi pengambilan Ca2+ oleh mitokondria dapat
menekan kerusakan sel nekrotik. Nekrosis terlihat
seperti sistem proteolitik yang dependen, namun
pada kenyataannya pada kerusakan lisosom dan
pembebasan kalpain-katepsin merupakan
mekanisme aktif dalam jalur kematian ini.12
4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
Masih berkaitan dengan kejadian neurotrauma adalah terjadinya edema otak ataupun pembeng-
kakan otak. Edema adalah akumulasi abnormal
cairan dalam parenkim otak, melainkan dibagi ke
dalam jenis vasogenik dan sitotoksik. Edema
vasogenik didefinisikan sebagai cairan yang berasal
dari pembuluh darah dan terakumulasi di sekitar
sel. Edema sitotoksik didefinisikan sebagai cairan
yang terakumulasi dalam sel sebagai akibat dari
cedera sel. Edema sitotoksik sering terjadi pada
iskemia serebral. Edema neurotoksik adalah subtipe
dari edema sitotoksik yang disebabkan oleh tingginya kadar asam amino eksitatorik. Sampai
saat ini, edema pada cedera otak traumatis dianggap
sebagai "vasogenik", sekunder dari trauma terbuka
sawar darah otak. Namun, ketiga bentuk edema
dapat terjadi bersamaan, dan berkontribusi relatif
terhadap peningkatan tekanan intrakranial dan
pembengkakan otak yang belum teridentifikasi.13
Kasus neurotrauma tidak boleh dibiarkan terlalu
dalam tanpa ada penatalaksanaan yang tepat. Kasus
yang segera diberikan penatalaksanaan adalah
pasien dengan cedera kepala berat, dikarenakan
kerusakan sel-sel otak dapat berlangsung cepat, tergantung jenis trauma, lokasi atau posisi, dan
volume perdarahannya. Pasien dengan cedera
kepala ringan, biasanya cukup diberikan
penatalaksanaan konservatif bila GCS > 13.
Proses kerusakan sel neuron yang terjadi dan
bersifat ireversibel antara lain adalah nekrosis yang
cepat dan apoptosis lambat. Nekrosis cepat terjadi
pada fase akut dalam inti infark serebral.
Neurotransmitter disimpan dalam vesikel
presinaptik, dan, di otak yang utuh, melepaskan dan
menyerap energi terikat dan dikontrol dengan kuat. Gangguan pasokan darah/oksigen ke otak
mengakibatkan disfungsi saluran ion ATP-
dependent, menyebabkan depolarisasi sel dan
pelepasan neurotransmitter eksitatorik ekstraseluler.
Glutamat adalah neurotransmitter eksitatorik yang
paling banyak dan penting.14
Glutamat mengaktifkan NMDA subtipe reseptor
glutamaterik. Aktivasi reseptor NMDA
meningkatkan kalsium intraseluler dan natrium,
serta berkontribusi pada depolarisasi dan aktivasi
saraf. Kelebihan kalsium mendorong aktivasi jalur
yang mengganggu homeostasis ionik, sinyal oksida nitrat, fungsi sitoskeleton, kemunculan radikal
bebas, dan aktivasi lemak dan protease, yang
berakhir pada degenerasi dan kematian sel
membran eksitotoksik.12,13,14
Mekanisme apoptosis aktif sebagai respon terhadap
cedera otak iskemik, dapat terjadi dalam hitungan
hari sampai minggu setelah terjadinya iskemik,
terutama di area penumbra sekitar inti nekrotik.
Apoptosis dapat menjadi respon patologis, atau sarana eliminasi sel yang akan mati perlahan-lahan
setelah kejadian iskemik. Proses ini diduga
melibatkan pelepasan sitokrom C mitokondria dan
aktivasi kaspase dan faktor pro-apoptosis yang
lainnya. Tingkat kematian sel pada akhirnya
terletak pada keseimbangan sinyal pro-apoptosis
dan anti-apoptosis.14
Penggunaan atau aktifasi adrenoseptor agonis α2
oleh dexmedetomidin dalam rangkaian
neuroproteksi berkaitan dengan efeknya yang
menghambat aktifitas simpatis. Aktivasi
adrenoseptor agonis α2 di sumsum tulang belakang
berefek analgesi. Pengikatan ligan ekstraseluler
(hormon endogenous atau molekul eksogen seperti
dexmedetomidin) ke α2-reseptor berpasangan
dengan salah satu dari beberapa guanine-binding
protein (G-protein). Reseptor-reseptor α2
menghambat adenilatsiklase melalui penghambatan
protein Gi. Hal ini menyebabkan penurunan
pembentukan 3’5’-siklik adenosin monofosfat
(cAMP), yang sangat penting sebagai second
messenger untuk memerantarai kerja norepinefrin
dan sejumlah hormon lainnya. Aktivasi dari protein
Gi juga mengaktifkan saluran kalium terbuka-
keluar, sehingga mengakibatkan hiperpolariasi dari
membran sel neuron dan mengurangi pelepasan sel
eksitatorik dalam SSP. Melalui protein lain yang
disebut protein Go, reseptor α2 menghambat
masuknya kalsium ke dalam sel dan menghambat
aktivitas fosfolipase C. Penghambatan aktivitas
fosfolipase C berkontribusi pada pengurangan
aktivitas enzim, seperti protein kinase C, yang
antara lain, memiliki peran dalam stres oksidatif
dan apoptosis. Reseptor α2 berpasangan melalui
protein-Glain yang belum ditentukan untuk
percepatan pertukaran ion natrium hidrogen.14
Dexmedetomidin diberikan pascatrauma di ruang
perawatan gawat darurat, ketika pasien tersebut
pertama kali masuk, merupakan salah satu langkah
yang penting dalam penatalaksanaan kasus-kasus
dengan cedera kepala berat. Hal ini dapat dijadikan
pertimbangan. Pemberian dexmedetomidin
sebaiknya diikuti dengan evaluasi kontinyu
terhadap hemodinamik.
Penggunaan dexmedetomidin dapat dipertimbang-
kan dari beberapa aspek, antara lain adalah waktu
paruhnya yang cukup cepat bila dibandingkan
golongan Imidazole yang lain (Klonidin).
Walaupun keduanya memiliki rasio perbandingan
yang cukup tinggi antara α2 : α1, namun
dexmedetomidin lebih selektif, dengan perban-
dingan 1.600:1, sehingga dapat dikatakan sebagai
5 Penggunaan Dexmedetomidine pada Neurotrauma
agonis adrenoseptor α2 yang lengkap. 3,15 Selain itu,
waktu paruh dexmedetomidin lebih pendek bila
dibandingkan klonidin. Metabolit yang diekskresi-
kan melalui urin atau feses menunjukkan bahwa
dexmedetomidin masih cukup tinggi kadarnya,
yang berarti tidak terlalu banyak mengalami
perubahan.15 Beberapa penelitian, menguji efek
samping yang muncul akibat penggunaan
dexmedetomidin dibandingkan obat-obatan yang
memiliki efek sedasi yang sama sebagai plasebo
(tabel 1).
Tabel 1. Efek samping dexmedetomidin dibandingkan plasebo
Efek buruk Dexmedetomidin
(%)
Plasebo
(%)
Hipotensi
Hipertensi
Nausea
Bradikardi
Demam
Muntah
Atrial fibrilasi
Hipoksia
Takikardi
Perdarahan
Anemia
Mulut kering
Kaku
Agitasi
Hiperpireksia
Nyeri
Hiperglikemia
Asidosis
Pleural efusion
Oliguria
Haus
28
16
11
7
5
4
4
4
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
2
2
13
18
9
3
4
6
3
4
5
4
2
1
3
3
3
2
2
2
1
<1
<1
Dikutip dari: Abramov D. 16
Penelitian yang berbeda terhadap hewan coba yang
dilakukan tindakan anestesi, menyatakan bahwa
dengan pemberian dexmedetomidin dapat berefek
pada penurunan organ akan nutrien. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa dexmedetomidin
melindungi aliran ke organ paling vital (otak,
jantung, hati, ginjal) dengan mengorbankan organ
yang kurang penting dan mengalir melalui pintas
arteriovenosa. Aliran darah di organ vital jauh di atas rerata diketahui menyebabkan perfusi yang
kurang, yang berarti terjadi redistribusi curah
jantung. Penurunan aliran darah di organ dengan
ekstraksi oksigen rendah yang muncul dapat
sebagai kontributor penting untuk peningkatan
ekstraksi oksigen vena campuran.17
IV. Penatalaksanaan Pasien ICU
PascaNeurotrauma dengan Menggunakan
Dexmedetomidin
Penggunaan dexmedetomidin di ICU untuk pasien
pascatrauma dengan operasi ataupun yang
konservatif dengan GCS diatas 8 sangat
dimungkinkan sekali dan dapat membantu dalam
penatalaksanaan sedasi pada pasien yang gelisah.
Pada beberapa kasus yang terjadi di daerah,
penggunaan obat-obatan golongan benzodiazepin
pada pasien neurotrauma masih jadi salah satu
pilihan yang dianggap efektif, walaupun pada kenyataannya justru mempersulit dalam penilaian
kesadaran yang berakibat mempengaruhi rencana
tindakan atau intervensi terhadap pasien tersebut
dan tentunya akan merugikan pasien sendiri. Hal
tersebut akan diperburuk dengan fakta yang sering
terjadi di lapangan bahwa pemeriksaan penunjang
terkadang tidak langsung segera dilakukan, seperti
pemeriksaan CT-scan dan x-foto kranium, serta
pemeriksaan laboratorium.
Pasien yang direncanakan untuk dilakukan tindakan
operasi bedah saraf, akan tetapi kondisinya belum
memungkinkan untuk dilakukan operasi, biasanya diobservasi beberapa saat hingga pasien siap untuk
dilakukan tindakan operasi. Persiapan pasien dapat
dilakukan di ruang perawatan intensif atau bangsal
traumatologi yang dilengkapi dengan monitor
pasien.
Jurnal yang ada selama ini lebih banyak membahas
pemanfaatan dexmedetomidin untuk penatalak-
sanaan pasien di ruang perawatan intensif yang
diambil manfaat sedasinya, sedangkan penggunaan
dexmedetomidin pada kasus pasca neurotrauma di
ruang perawatan intensif masih jarang untuk dilakukan pembahasan secara lebih mendalam.
Penggunaan klonidin oral dan dexmedetomidin
intravena telah digunakan untuk memberikan sedasi
pra operasi dan anxiolitik pada pasien bedah.
Secara kuantitas, sedasi dari alpha2-agonis adalah
unik karena pasien dapat dengan mudah
dibangunkan tetapi kemudian kembali ke keadaan
tidur. Rumatan infus dexmedetomidin telah
didokumentasikan dengan menggunakan tes
Critical Flicker Fusion. yang dilakukan di Imperial
College of Medicine, Kensington dan Chelsea dan
Westminster Hospital, London dimana kinerja dalam tes psikomotor cukup terjaga dengan baik
selama sedasi dexmedetomidin. Oleh karena itu,
pasien dianestesi dengan alpha2-agonis akan lebih
kooperatif dan komunikatif dibandingkan pasien
yang disedasi dengan obat lain dalam pengaturan
terapi intensif.19
Selama lebih dari satu dekade, agonis α2 telah
6 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
digunakan untuk memberikan sedasi pra operasi dan ansiolisis dan untuk mengurangi kebutuhan
anestesi intraoperatif. Pasien yang diberikan
dexmedetomidin memerlukan propofol lebih sedikit
dibanding kelompok plasebo yang diberikan obat
untuk tingkat sedasi klinis yang sama; secara
kualitatif, tipe sedasi yang dihasilkan unik dimana
pasien bisa dibangunkan dengan mudah dan
kemudian kembali berubah menjadi keadaan
tidur.20
Efektivitas klonidin sebagai analgesik tambahan
pada pasien dengan injuri termal menjadi awal yang baik untuk studi obat sedatif di masa-masa
mendatang yang mencakup hingga saat ganti balut.
Indikasi pemberian sedasi dexmedetomidin untuk
pengobatan di ruang terapi intensif pasien
pascabedah hingga 24 jam adalah karena efek
simpatolitik dan vagomimetik, dengan
mempertimbangkan aspek kehati-hatian akan resiko
hipotensi, bradikardia, dan sinus arrest dan hanya
dapat digunakan dengan monitoring yang ketat.20
Karena target untuk tindakan sedasi dari agonis α2
diketahui dengan tepat, hal ini meningkatkan
kemungkinan bahwa strategi untuk menghentikan tindakan ini dapat dilakukan dengan mudah.
Sebuah penelitian melaporkan tentang kemampuan
atipamezole, antagonis selektif adrenoseptor α2,
untuk membalikkan sifat sedatif dari
dexmedetomidin pada sukarelawan. Kedua obat
penenang dan efek simpatolitik dari
dexmedetomidin intramuskular adalah dosis
ketergantungan antagonis oleh atipamezole
intravena, namun sensitivitas untuk pembalikan
keduanya mungkin memiliki respon yang berbeda.
Karena agonis dan antagonis memiliki waktu paruh eliminasi yang hampir sama, kemungkinan
kekambuhan dari efek klinis dexmedetomidin
setelah pembalikan (reversal) oleh atipamezole
kecil. Oleh karena itu, agonis α2 dapat diberikan
secara titrasi agar efek sedasi hipnotis dapat dibalik
dengan mudah.20
V. Simpulan
Berdasarkan beberpa penelitian yang pernah
dilakukan terhadap keuntungan dan kerugian dari
penggunaan dexmedetomidin, maka perlu dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa tidak ada
permasalahan apabila dexmedetomidin digunakan pada pasien neurotrauma sebagai bagian dari
penatalaksanaan sedasi pada pasien dengan
kesadaran yang menurun (15 > GCS > 8).
Penggunaan dexmedetomidin juga dapat
bermanfaat pada pasien dengan tekanan darah yang
tinggi.
Efek neuroproteksi dexmedetomidin dan analgesinya juga perlu dijadikan pertimbangan
dalam penatalaksanaan awal kegawatdaruratan
medik di instalasi gawat darurat, dengan catatan
bahwa pasien tersebut tetap dilakukan monitoring
hemodinamik secara kontinyu.
Daftar Pustaka
1. Bekker A, Sturaitis MK. Dexmedetomidine for
neurological surgery. J Neurosurgery.
2005[diunduh 10 April 2010];57 Suppl 1:1-10.
Tersedia dari: http://anesthesia.ucsf.edu/neuroanesthesia/resid
ents/respdf/Dexmedetomidin_neurosurgery.pdf
2. Nelson LE, Lu J, Guo T, Sappor CB, Franks
NP, Maze M. The α2-adrenoceptor agonist
dexmedetomidine convergeson an endogenous
sleep-promoting pathway to exert its sedative
effects. Anesthesiology.2003;98:428 –36.
3. Kumar GK. Dexmedetomidin [dokumen di
internet]. Madras Medical College[diunduh 20
Februari 2010]. Tersedia dari:http://www.isakanyakumari.com/docs/Dex
medetomidin%20text.pdf
4. Okawa K, Ichinohe T, Kaneko Y. A
comparison of propofol and dexmedetomidine
for intravenous sedation: a randomized,
crossover study of the effects on the central
and autonomic nervous systems. J Anesth
Analg. 2010;110(2):415-8.
5. Poree RL, Guo TZ, Kingery WS, Maze M. The analgesic potency of dexmedetomidine is
enhanced after nerve injury: A possible role for
peripheral α2-adrenoceptors. Anesth Analg.
1998;87:941-8.
6. McCallum JB, Boban N, Hogan Q, Schmelling
WT, Kampine JP, Bosnjak ZJ. The mechanism
of α2-adrenergic inhibition of sympathetic
ganglionic transmission. Anesth
Analg.1998;87:503-10.
7. Talke P, Chen R, Thomas B, Aggarwall A, Gottlieb A, Thorborg P, et al. The
hemodynamic and adrenergic effects of
perioperative dexmedetomidine infusion after
vascular surgery. Anesth Analg. 2000;
90(4):834-9.
7 Penggunaan Dexmedetomidine pada Neurotrauma
8. Arcangeli A, Alo CD, Gaspari R. Dexmedetomidine use in general anesthesia.
Current Drug Targets. 2009;10:687-95.
9. Aanta R, Jaakola ML, Kallio A, Kanto J.
Eduction of the MAC of isoflurane by
dexmedetomidine. J Anesth. 1997;86:1055-60
10. Weinger MB, Segal IS, Maze M.
Dexmedetomidine, acting through central α-2
adrenoceptors, prevent opiate-induced muscle
rigidity in the rat. J Anesth. 1989; 71:242-49.
11. Caldwell JE, Talke PO, Richardson CA,
Nielsen HK, Stafford M. The effects of
dexmedetomidine on neuromuscular blockade
in human volunteers. Anesth Analg
1999;88:633–9.
12. Repici M, Mariani J, Borsello T. Neuronal
death and neuroprotection: a review. Dalam:
Borsello T, ed. Neuroprotection methods and
protocol. New Jersey: Humana Press; 2007, 1-
14.
13. Marmarou A. The pathophysiology of brain
edema and elevated intracranial pressure. Clev
Clin J Med. 2004(71) Suppl 1:6-8.
14. Janke EL, Samra S. Dexmedetomidine and
neuroprotection. J Sem in Anesth, Periop Med
and Pain. 2006;25:71-6.
15. Tobias JD. Dexmedetomidine in trauma
anesthesiology and critical care. J Int Trauma Anesth and Crit Care. 2007[diunduh 21
November 2010](17)1:6-18. Tersedia dari
:http://www.itaccs.com
16. Abramov D. The role of dexmedetomidine in
the sedation of critically ill patients. J Pharm
Therapeutics. 2005(30)3:158-61.
17. Lawrence CJ, Prinzen FW, Lange S. The effect
of dexmedetomidine on nutrient organ blood
flow. Anesth Analg. 1996;83:1160-5.
18. Venn RM, Bradshaw CJ, Spencer R, et al.
Preliminary UK experience of
dexmedetomidine, a novel agent for
postoperative sedation in the intensive care
unit. Anaesthesia. 1999;54:1136-42.
19. Hall JE, Uhrich TD, Barney JA, et al. Sedative, amnestic, and analgesic properties of
dexmedetomidine infusions. Anesth Analg.
2000;90:699-705.
20. Kamibayashi T, Maze M. Clinical uses of α2-
adrenergic agonist. Anesthesiology. 2000;
93:1345–9
21. Shehabi Y, Botha JA, Ernest D, Freebairn RC,
Reade M, Roberts BL, Seppelt I, Weisbrodt L.
Clinical application, the use of dexmedetomidine in intensive care sedation.
Crit Care & Shock. 2010;13:40-50
22. Venn M, Newman J, Grounds M. A phase II
study to evaluate the efficacy of
dexmedetomidine for sedation in the medical
intensive care unit. Intensive Care Med
2003;29:201-7.