9
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gaya hidup kota yang serba praktis memungkinkan masyarakat modern sulit untuk menghindar dari fast food. Fast food memiliki beberapa kelebihan antara lain penyajian yang cepat sehingga tidak menghabiskan waktu lama dan dapat dihidangkan kapan dan dimana saja, higienis dan dianggap sebagai makanan bergengsi dan makanan gaul (Irianto, 2007). Perubahan dari pola makan tradisional ke pola makan barat seperti fast food yang banyak mengandung kalori, lemak dan kolesterol, ditambah kehidupan yang disertai stress dan kurangnya aktivitas fisik, terutama di kota-kota besar mulai menunjukkan dampak dengan meningkatnya masalah gizi lebih (obesitas) dan penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi dan diabetes mellitus (Khasanah, 2012). Dengan adanya transisi ekonomi, juga berpengaruh terhadap pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat. Perubahan pola konsumsi mulai terjadi di kota-kota besar, yaitu dari pola makanan tradisional yang banyak mengandung karbohidrat, protein, serat, vitamin dan mineral bergeser ke pola makanan berat yang cenderung banyak mengandung lemak, protein, gula dan garam serta miskin serat, vitamin dan mineral sehingga mudah merangsang terjadinya penyakit-penyakit gangguan saluran pencernaan, penyakit jantung, obesitas dan kanker ( Elnovriza, 2008). Survei yang dilakukan oleh AC Nilsen bahwa 69% masyarakat kota di Indonesia mengonsumsi fast food yaitu 33% menyatakan makan siang sebagai waktu Universitas Sumatera Utara

Chapter I.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • BAB I PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang Masalah

    Gaya hidup kota yang serba praktis memungkinkan masyarakat modern sulit

    untuk menghindar dari fast food. Fast food memiliki beberapa kelebihan antara lain

    penyajian yang cepat sehingga tidak menghabiskan waktu lama dan dapat

    dihidangkan kapan dan dimana saja, higienis dan dianggap sebagai makanan

    bergengsi dan makanan gaul (Irianto, 2007). Perubahan dari pola makan tradisional

    ke pola makan barat seperti fast food yang banyak mengandung kalori, lemak dan

    kolesterol, ditambah kehidupan yang disertai stress dan kurangnya aktivitas fisik,

    terutama di kota-kota besar mulai menunjukkan dampak dengan meningkatnya

    masalah gizi lebih (obesitas) dan penyakit degeneratif seperti jantung koroner,

    hipertensi dan diabetes mellitus (Khasanah, 2012).

    Dengan adanya transisi ekonomi, juga berpengaruh terhadap pola konsumsi

    dan gaya hidup masyarakat. Perubahan pola konsumsi mulai terjadi di kota-kota

    besar, yaitu dari pola makanan tradisional yang banyak mengandung karbohidrat,

    protein, serat, vitamin dan mineral bergeser ke pola makanan berat yang cenderung

    banyak mengandung lemak, protein, gula dan garam serta miskin serat, vitamin dan

    mineral sehingga mudah merangsang terjadinya penyakit-penyakit gangguan saluran

    pencernaan, penyakit jantung, obesitas dan kanker ( Elnovriza, 2008).

    Survei yang dilakukan oleh AC Nilsen bahwa 69% masyarakat kota di

    Indonesia mengonsumsi fast food yaitu 33% menyatakan makan siang sebagai waktu

    Universitas Sumatera Utara

  • yang tepat untuk makan di restoran fast food, 25% untuk makan malam, 9%

    menyatakan sebagai makanan selingan dan 2% memilih untuk memilih untuk makan

    pagi (Nilsen, 2008). Hal tersebut diperkirakan akan semakin berkembang sesuai

    dengan meningkatnya tingkat konsumsi makanan fast food di Indonesia.

    Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Health Education Authority

    (2002), usia 15 34 tahun adalah konsumen terbanyak yang memilih menu fast food.

    Keadaan tersebut dapat dipakai sebagai cermin dalam tatanan masyarakat Indonesia,

    bahwa rentang usia tersebut adalah golongan pelajar dan pekerja muda. Data

    demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi yang besar dari

    penduduk dunia. Menurut WHO dalam Soetjiningsih (2007) sekitar seperlima dari

    penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun. Sekitar 900 juta berada di

    negara sedang berkembang. Data Depkes RI (2006), menunjukkan jumlah remaja

    umur 10-19 tahun di Indonesia sekitar 43 juta (19,61%) dari jumlah penduduk.

    Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2006

    menunjukkan bahwa jumlah penduduk propinsi Sumatra Utara sebanyak 12.643.494

    jiwa. Dari jumlah tersebut kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 1.431.092 jiwa dan

    kelompok umur 15-19 tahun sebanyak 1.409.386 jiwa (Dinkes Propsu, 2007). Dari

    data tersebut dapat dilihat penanganan terhadap kesehatan kelompok umur 15-19

    tahun harus mendapat perhatian yang lebih dari sektor kesehatan karena masalah

    remaja merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam pembangunan nasional di

    Indonesia. Hal ini berdasarkan target untuk mencapai keluarga berkualitas tahun 2015

    melalui peningkatan pengetahuan, kesadaran sikap dan perilaku remaja dan orangtua

    agar peduli dan bertanggungjawab dalam kehidupan berkeluarga, serta pemberian

    Universitas Sumatera Utara

  • pelayanan kepada remaja yang memiliki permasalahan kesehatan (BAPPENAS,

    2010).

    Perkembangan dari seorang anak menjadi dewasa pasti melalui fase remaja.

    Pada fase ini fisik seseorang terus berkembang, demikian aspek sosial dan

    psikologisnya. Perubahan ini membuat seorang remaja mengalami ragam gaya hidup,

    perilaku, tidak terkecuali pengalaman dalam menentukan makanan apa yang

    dikonsumsi. Hal terakhir inilah yang akan berpengaruh pada keadaan gizi seorang

    remaja ketika menginjak tahap independensi. Remaja bisa memilih makanan apa saja

    yang disukainya, bahkan tidak berselera lagi makan bersama keluarga di rumah.

    Aktivitas yang banyak dilakukan di luar rumah membuat seorang remaja sering

    dipengaruhi teman sebayanya. Pemilihan makanan tidak lagi didasarkan pada

    kandungan gizi tetapi sekadar bersosialisasi, untuk kesenangan dan supaya tidak

    kehilangan status (Khomsan, 2004).

    Masa remaja adalah masa yang sangat labil dan masa dimana mudah sekali

    terpengaruh oleh lingkungan dan orang-orang terdekat. Mudah mengikuti alur zaman

    seperti mode dan trend yang sedang berkembang di masyarakat khususnya dalam hal

    makanan modern (Thyana dalam Kristianti, 2009). Menurut Moehji (2003) kebiasaan

    makan yang kurang pada remaja berawal pada kebiasaan makan keluarga yang tidak

    baik yang sudah tertanam sejak kecil dan akan terus terjadi pada usia remaja mereka

    makan seadanya tanpa mengetahui kebutuhan akan zat-zat gizi dan dampak tidak

    terpenuhinya kebutuhan zat gizi tersebut terhadap kesehatan mereka. Kebiasaan

    makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase

    kehidupan selanjutnya (Arisman, 2009).

    Universitas Sumatera Utara

  • Kesukaan yang berlebihan terhadap makanan yang tertentu saja menyebabkan

    kebutuhan gizi tidak terpenuhi keadaan ini berkaitan dengan mode yang tengah

    marak di kalangan remaja seperti kebiasaan makan fast food dan makanan siap saji.

    Usia remaja merupakan usia yang sangat mudah terpengaruh oleh siapa saja teman

    pergaulan dan media masa terutama iklan yang menarik perhatian remaja tentang

    makanan yang baru dan harga yang terjangkau (Elnovriza, 2008).

    Pola makan remaja akan menentukan jumlah zat-zat gizi yang diperoleh untuk

    pertumbuhan dan perkembangannya. Selain itu remaja umumnya melakukan aktivitas

    fisik lebih tinggi dibanding usia lainnya, sehingga diperlukan zat gizi yang lebih

    banyak (Mitayani, 2010). Kesalahan dalam memilih makanan dan kurang cukupnya

    pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan timbulnya masalah gizi yang akhirnya

    memengaruhi status gizi. Status gizi yang baik hanya dapat tercapai dengan pola

    makan yang baik, yaitu pola makan yang didasarkan atas prinsip menu seimbang,

    alami dan sehat (Sediaoetama dalam Kristianti, 2009).

    Adanya kecenderungan perubahan pola makan pada remaja yang terjadi

    dewasa ini, tidak lepas dari pengaruh peningkatan sosial ekonomi dan banyaknya

    restoran. Restoran-restoran ini menjual berbagai makanan produk olahan dan dikenal

    sebagai makanan modern (fast food) ala Barat. Umumnya restoran ini menyediakan

    makanan-makanan impor seperti fried chicken, hamburger, pizza, spaghetti, dan

    sejenisnya dari berbagai merek dagang. Penelitian mengenai fast food yang dilakukan

    oleh Mudjianto dalam Heryanti (2009) seperti fried chicken dan french fries, sudah

    menjadi jenis makanan yang biasa dikonsumsi pada waktu makan siang atau makan

    malam remaja di enam kota besar di Indonesia seperti di Jakarta, Bandung,

    Universitas Sumatera Utara

  • Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar. Menurut penelitian tersebut 15-20%

    dari 471 remaja di Jakarta mengonsumsi fried chicken dan burger sebagai makan

    siang dan 1-6% mengonsumsi hotdog, pizza dan spaghetti. Bila makanan tersebut

    dikonsumsi secara terus-menerus dan berlebihan dapat mengakibatkan gizi lebih.

    Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, bahwa

    prevalensi gizi lebih pada anak sekolah dan remaja umur 15-17 tahun sebesar 8%

    (Depkes RI, 2004). Sedangkan menurut Virgianto dan Purwaningsih dalam Heryanti

    (2009), penelitiannya mengenai konsumsi fast food sebagai faktor resiko terjadinya

    obesitas pada remaja usia 15-17 tahun di SMUN 3 Semarang, menunjukkan siswa

    dengan 6% energinya berasal dari makanan siap saji (fast food). Semakin tinggi

    konsumsi makanan siap saji pada total energinya maka semakin tinggi terjadinya

    obesitas. Sari dalam Heryanti (2009) meneliti 176 siswa Sekolah Menengah Atas di

    Bogor didapatkan prevalensi obesitas sebesar 34,7% dan overweight sebesar 23,82%.

    Perubahan gaya hidup pada remaja memiliki pengaruh dalam pemilihan

    makanan yang akan dimakannya, mereka juga sering mencoba-coba makanan baru,

    salah satunya adalah fast food (Virgianto dan Purwaningsih, 2006). Remaja juga

    belum sepenuhnya matang baik secara fisik, kognitif maupun psikososial. Dalam

    tahapan pencarian identitas ini, remaja cepat sekali terpengaruh oleh lingkungan

    sekitarnya terutama dengan adanya arus kebudayaan barat yang masih terlalu sulit

    untuk dibendung, tidak terkecuali pengaruh terhadap pola konsumsi makan (WHO,

    2000). Kesalahan dalam memilih makanan dan kurang cukupnya pengetahuan

    tentang gizi akan mengakibatkan timbulnya masalah gizi yang akhirnya memengaruhi

    status gizi. Status gizi yang baik hanya dapat tercapai dengan pola makan yang baik,

    Universitas Sumatera Utara

  • yaitu pola makan yang didasarkan atas prinsip menu seimbang, alami dan sehat

    (Sediaoetama, 2000).

    Banyak faktor yang membuat para remaja lebih memilih mengkonsumsi fast

    food antara lain kesibukan orang tua khususnya ibu yang tidak sempat menyiapkan

    makanan di rumah sehingga remaja lebih memilih membeli makanan diluar (fast

    food), lingkungan sosial dan kondisi ekonomi yang mendukung dalam hal besarnya

    uang saku remaja. Selain itu, penyajian fast food yang cepat dan praktis tidak

    membutuhkan waktu lama, rasanya enak, sesuai selera dan seringnya mengkonsumsi

    fast food dapat menaikkan status sosial remaja, menaikkan gengsi dan tidak

    ketinggalan globalitas (Kristianti, 2009). Hasil penelitian di SMU Cendrawasih

    Makassar menunjukkan sebanyak 18,4% rata-rata remaja di sekolah tersebut memilih

    mengonsumsi energi yang berlebihan yaitu mencapai 2200 kkal/hari yang bersumber

    dari makanan fast food. Banyaknya konsumsi energi lebih tersebut menyebabkan

    remaja beresiko untuk mengalami obesitas (Misnadiarly, 2007).

    Berdasarkan data dari Riskesdas 2007 diketahui sekitar 35,7% orang

    Indonesia memiliki masalah hipertensi. Pada tahun 2011 hipertensi menjadi

    penyebab kematian ketiga di Indonesia setelah stroke dan tuberculosis yang dipicu

    oleh pola makan yang berlebihan terhadap makanan siap saji modern (fast food)

    (Anonim, 2012). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan pada remaja kelas II di

    SMU Negri 6 Makassar menunjukan bahwa pola makan fast food yang tinggi

    didapatkan pada remaja yang memiliki status gizi lebih (obesitas) yaitu 6,6%

    sedangkan yang pola makan fast food rendah didapatkan pada status gizi lebih hanya

    Universitas Sumatera Utara

  • 1,7%. Disini jelas bahwa remaja yang memiliki status gizi lebih, sering mengonsumsi

    fast food (Asmawati, 2005).

    SMA Swasta Cahaya Medan adalah salah satu sekolah swasta yang ada di

    Kota Medan. SMA ini letaknya sangat strategis dimana dekat dengan pusat

    perbelanjaan beberapa mall yang di dalamnya terdapat restoran-restoran fast food.

    Hal ini dikhawatirkan akan banyaknya siswa yang cenderung memilih fast food.

    Kecenderungan dalam mengonsumsi fast food yang terlalu sering dapat menimbulkan

    ketidakseimbangan gizi dalam hal ini status gizi lebih karena pada umumnya fast

    food miskin sayuran yang merupakan sumber serat dan terlalu tinggi protein untuk

    tiap porsinya (Siswono dalam Kristianti, 2009).

    Berdasarkan survei pendahuluan terhadap 11 orang siswa dan siswi SMA

    Swasta Cahaya Medan, 8 orang menyatakan alasan memilih makanan fast food

    karena lebih praktis, malas membawa bekal makanan, aksesnya dekat dari sekolah

    dan biasanya frekuensinya 2-3 kali dalam seminggu. Sedangkan 2 orang menyatakan

    dengan alasan karena selera dan rasanya sangat enak dan ketika siap les bimbingan

    langsung ke tempat restoran fast food dan 1 orang lagi menyatakan memilih fast food

    karena malas makan di rumah dan juga sering mengonsumsi fast food bersama

    keluarga. Dari hasil survei pendahuluan tersebut peneliti tertarik untuk mengadakan

    penelitian dengan judul Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pola Pemilihan Makanan

    Siap Saji Modern (Fast Food) Pada Pelajar di SMA Swasta Cahaya Medan Tahun

    2012. Penelitian ini akan dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan bulan Juli

    tahun 2012.

    Universitas Sumatera Utara

  • 1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan bahwa

    permasalahan penelitian adalah faktor-faktor yang memengaruhi pola pemilihan

    makanan siap saji modern (fast food) pada pelajar di SMA Swasta Cahaya Medan

    Tahun 2012.

    1.3. Tujuan Penelitian

    1.3.1. Tujuan Umum

    Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang

    memengaruhi pola pemilihan makanan siap saji modern (fast food) pada pelajar di

    SMA Swasta Cahaya Medan Tahun 2012.

    1.3.2. Tujuan Khusus

    Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

    1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik individu, sumber informasi, dukungan

    sosial, kondisi dan situasi, pengetahuan, sikap, niat, dan pemilihan konsumsi

    makanan siap saji modern (fast food).

    2. Untuk mengetahui hubungan karakteristik individu dan sumber informasi terhadap

    pengetahuan mengenai makanan siap saji modern (fast food).

    3. Untuk mengetahui hubungan dukungan sosial terhadap sikap mengenai makanan

    siap saji modern (fast food).

    4. Untuk mengetahui hubungan kondisi dan situasi terhadap niat mengenai makanan

    siap saji modern (fast food).

    5. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan niat terhadap

    pemilihan konsumsi makanan siap saji modern (fast food).

    Universitas Sumatera Utara

  • 1.4. Manfaat Penelitian

    Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mempunyai manfaat bagi beberapa

    pihak :

    1. Bagi Institusi

    Memberikan informasi bagi Dinas Kesehatan dan pihak sekolah tentang

    permasalahan pola konsumsi makanan siap saji modern pada remaja.

    2. Bagi Pelajar

    Memberikan informasi mengenai pengetahuan, sikap dan tindakan pelajar tentang

    bahaya kebiasaan konsumsi makanan siap saji modern (fast food) bagi kesehatan.

    3. Bagi Peneliti

    Sebagai bahan kepustakaan bagi peneliti lain yang akan meneliti tentang fast food.

    Universitas Sumatera Utara