32
CHAPTER REVIEW Sosializing intelegence 1. Pendahuluan Kurikulum merupakan salah satu bagian penting terjadinya suatu proses pendidikan. Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan diantaranya peningkatan kecerdasan (intelektualitas) peserta didik. Chapter ini menyajikan konsep kecerdasan dari sudut pandang beberapa ahli. Penulis mendefenisikan kecerdasan ditinjau dari beberapa aspek, sebagai berikut: Kecerdasan sebagai kemampuan mental individu Kecerdasan sebagai struktur untuk penalaran Kecerdasan sebagai akuisisi alat dan praktik budaya Kecerdasan sebagai kebiasaan belajar Kecerdasan sebagai konstruksi sosial Kecerdasan cendrung berfokus pada perbedaan individu. Untuk membedakan kecerdasan individu dengan yang maka ada yang namanya assessemen/pengukuran pada intelegensi. Tes intelegensi bertujuan untuk menginformasikan kepada kita mengenai apakah sesorang dapat lebih baik berpikir secara logis dibandingkan dengan individu lain yang mengikuti tes tersebut. Tes intelegensi pertama dikembangankan oleh Alfed Binet (1905). Page | 1

Chapter Review Sosializing Intelegent

Embed Size (px)

DESCRIPTION

membahas tentang kekurangan dan kelebihan chapter

Citation preview

CHAPTER REVIEWSosializing intelegence

1. Pendahuluan

Kurikulum merupakan salah satu bagian penting terjadinya suatu proses pendidikan. Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan diantaranya peningkatan kecerdasan (intelektualitas) peserta didik.

Chapter ini menyajikan konsep kecerdasan dari sudut pandang beberapa ahli. Penulis mendefenisikan kecerdasan ditinjau dari beberapa aspek, sebagai berikut:

Kecerdasan sebagai kemampuan mental individu

Kecerdasan sebagai struktur untuk penalaran

Kecerdasan sebagai akuisisi alat dan praktik budaya

Kecerdasan sebagai kebiasaan belajar

Kecerdasan sebagai konstruksi sosial

Kecerdasan cendrung berfokus pada perbedaan individu. Untuk membedakan kecerdasan individu dengan yang maka ada yang namanya assessemen/pengukuran pada intelegensi. Tes intelegensi bertujuan untuk menginformasikan kepada kita mengenai apakah sesorang dapat lebih baik berpikir secara logis dibandingkan dengan individu lain yang mengikuti tes tersebut. Tes intelegensi pertama dikembangankan oleh Alfed Binet (1905).

Berdasarkan pengertian tradisional kecerdasan identik dengan seberapa tinggi Intelligent Quotient (IQ) yang biasanya meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung. Hal ini sebagai jalur sempit ketrampilan kata dan angka yang menjadi fokus di dalam pendidikan formal (sekolah). Sehingga ketika seorang mengikuti tes IQ dan mendapatkan nilai yang tinggi akan dikatakan sebagai orang yang cerdas.Howard Garnerd mengemukakan bahwa skala kecerdasan yang dipakai secara umum yaitu IQ memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang karena IQ tidak boleh dianggap sebagai gambaran mutlak.Menurut Piaget, Intelegensi dapat diartikan dengan kecerdasan, yaitu seluruh kemampuan berpikir dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang kompleks seperti; berpikir, mempertimbangkan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan menyelesaikan persoalan-persoalan.Chapter ini sangat penting sebab chapter ini membahas tentang salah satu konsep terbesar dalam ilmu psikologi yaitu kecerdasan. Disini dijelaskan secara luas mengenai konsep kecerdasan menurut beberapa ahli. Dalam Chapter ini juga membahas desain kelembagaan untuk mensosialisasikan kecerdasan. Penulis mengkaji bagaimana sekolah dapat diselenggarakan dengan sengaja mensosialisasikan tujuan pembelajaran yang berorientasi pada anak-anak.

Banyak inti sari yang terkandung dalam chapter ini, penulis mengupas mengenai kecerdasan dengan menyajikan pendapat para ahli serta mengambil contoh pendidikan pada daerah maju seperti Amerika. Kecerdasan merupakan unsur yang sangat penting dalam pengembangan kognitif manusia. Bahkan ketika manusia masih didalam kandungan pun sudah diberikan stimulus untuk perkembangan kecerdasan (intelegen) nya. Ketika bayi lahir, tumbuh dan berkembang, orang tua senantiasa berusaha memberikan yang terbaik demi perkembangan kecerdasan (intelegen) si anak. Maka dari itu bahasan mengenai kecerdasan ini sangatlah penting untuk dikaji, melihat perkembangan zaman yang semakin modren dan maju, sehingga pentingnya faktor kecerdasan untuk di kembangkan dan di modivikasi agar di pahami dalam proses pembelajaran.

2. Terjemahan Chapter

Pensosialisasian KecerdasanPada konferensi perayaan kelahiran Piaget dan Vygotsky, kami ingin menggali konsepsi kecerdasan yang didasarkan pada sebagian teori-teori budaya dan perkembangan Vygotsky tetapi penjelasan yang lebih lengkap ditemukan hanya melalui usaha pendekatan terhadap penganut teori kontruktivisme epistimologi, yang berasal dari teori piaget. Kami berpendapat bahwa kecerdasan sebagai praktek sosial, merupakan konsepsi yang berasal dari teori-teori tentang perkembangan sosial dan kompetensi sosial sebagaimana ditemukan dalam teori perkembangan kognitif. Hal ini juga didasarkan pada upaya kita untuk memahami dan secara aktif berpartisipasi dalam program-program pendidikan yang bertujuan meningkatkan kompetensi kognitif dan kompetensi akademik secara keseluruhan dari populasi anak-anak yang kurang beruntung dalam mengenyam pendidikan di dalam system pendidikan formal kita.Argumen kami menjadi salah satu isu sentral dalam politik dan sosial sampai ke bidang keilmuan, menjadi perdebatan apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan kecerdasan, siapa yang memilikinya, dan bagaiman peranan institusi sosial dalam mempertahankan dan mengembangkan kecerdasan ini. Kecerdasan menjadi salah satu konsep terbesar dalam ilmu psikologi. Konsep tentang kecerdasan ini telah begitu banyak menyita perhatian dari para psikolog. Namun, setelah satu abad dilakukan penelitian tentang aplikasi dasar-dasar kecerdasan, tidak ada satupun defenisi dari persepsi tentang kecerdasan yang disepakati oleh para psikolog. Di Amerika setidaknya perdebatan tentang hal ini terus berlangsung dan berimplikasi terhadap perbedaan politik dan sosial dalam mengukur kecerdasan, tanpa memiliki perhatian yang cukup terhadap apa yang menjadi ukuran dari kecerdasan dan bagaimana kecerdasan sebetulnya berfungsi (Herrnstein dan Murray, 1994).Kami menyampaikan argumen kami ini dalam empat bagian. Pertama, kami berpendapat bahwa interpetasi terhadap kecerdasan merupakan bagian dari praktek sosial yang memerlukan pengembangan kritis dari defenisi sebuah konstrak yang bukan hanya meliputi kemampuan kognitif dan pengetahuan yang diyakini sebagai esensi dari sebuah kecerdasan, tetapi juga merupakan sekumpulan keahlian sosial seperti keahlian bertanya, memahami dan menguasai masalah baru dan mencari bantuan dalam memecahkan masalah. Seseorang yang terlibat dalam praktek sosial dari kecerdasan ini selanjutnya akan banyak memiliki konsep tentang hak, kewajiban dan kemampuannya dalam kapasitas kognitif. Untuk menyederhanakan bahasa ini kami mengumpamakan misalnya ketika kamu menanyakan sesuatu dan belajar hal yang baru pada saat bersamaan kamu akan bertanya sebanyak mungkin dan pasti akan tetap belajar keras.

Kedua, kami melihat bahwa perbedaan-perbedaan individu hadir ditengah-tengah kepercayaan masyarakat tentang kecerdasan dan kepercayaan ini berhubungan dengan kecenderungan masyarakat untuk terlibat dalam praktek-praktek sosial dari kecerdasan yang telah kita defenisikan dalam sesi pertama tadi. Perbedaan yang paling penting menurut kami adalah kemampuan dan usaha yang saling berkaitan dimana masyarakat percaya bahwa usaha dapat menciptakan kemampuan atau hanya sekedar menjadi kompensasi atas kemampuan diri yang terbatas. Ada juga beberapa perbedaan yang penting dalam jenis usaha apa yang masyarakat anggap sebagai tantangan, hal ini tergantung kepada besarnya kepercayaan mereka terhadap konsep kecerdasan itu sendiri. Ketiga, kami berpendapat bahwa kebiasaan dan kepercayaan yang membentuk praktek sosial kecerdasan dibutuhkan melalui proses yang saling berhubungan sebagaimana yang diyakini oleh para penganut teori perkembangan sebagai suatu sosialisasi dari pada sebagai perkembangan kognitif atau pembelajaran. Teori Vygotsky (1978) tentang perkembangan kognitif merupakan suatu proses internalisasi dari aksi sosial bersama dan menjadikan peranan bahasa untuk mampu mengktifkan perkembangan kognitif secara keseluruhan membentuk hubungan antara persepsi kita akan kecerdasan sebagai pandangan tradisional dan sosial dari kecerdasan merupakan kompetensi kognitif yang murni. Keempat, kami mencari informasi tentang bagaimana sekolah dan institusi pendidikan lainnya dalam hal mempromosikan perkembangan kemanusiaan yang mungkin berfungsi untuk mensosialisasikan kecerdasan sebagaimana yang kami defenisikan sebelumnya. Dibagian kesimpulan, kami mengajukan beberapa hipotesis yang berhubungan dengan perkembangan individu untuk menangkap konsep perubahan desain sosial dan mekanisme perubahan budaya.MENDEFENISIKAN KEMBALI KECERDASAN

Kita mulai bagian ini dengan singkat meninjau beberapa bagian utama teori dari psikologis tentang kecerdasan, dari perbedaan individu dan teori pengukuran mental oleh Piaget. Kami kemudian hadir menyajikan defenisi kami sendiri tentang kecerdasan sebagai praktek sosial, pandangan luas interpretasi Vygotsky mengenai pembelajaran dan pengetahuan pembangunan yang berhubungan erat dengan sosial dan didasarkan juga pada teori-teori sosial budaya baru.Kecerdasan Sebagai Kemampuan Mental Individu

Perbedaan psikologi individu dari Binet ke psikometri modren- dapat dibagi kedalam dua bagian. Pertama diluncurkan oleh Binet (Binet dan Simon, 1905) sendiri, mendefenisikan bahwa kecerdasan sangat luas dan pragmatis:beberapa orang tampaknya belajar lebih cepat dan berperilaku lebih adaptif daripada yang lain. Alih-alih mencoba untuk menentukan tepatnya mekanisme yang membuat kapasitas ini adaptif, Binet mengumpulkan banyak pertanyaan yang anak-anak mungkin diharapkan belajar untuk menjawab saat mereka tumbuh dewasa. Dia menggunakan koleksi secara keseluruhan, skala sesuai dengan harapan usia yang diperoleh secara empiris, untuk membandingkan kecerdasan relatif anak anak. Kriteria pengetahuan umum ini, mungkin mencerminkan kecepatan dan kemudahan belajar, dengan pensil dan kertas kecerdasan diuji oleh Terman (1916, 1919) dan lain-lain yang mengembangkan langkah-langkah kecerdasan umum, yang sebagian besar dikenal sebagai IQ.

Secara historis, IQ dipahami untuk menunjukkan perbedaan dalam kemampuan mental, tidak kompetensi sosial atau kinerja (meskipun banyak tes kecerdasan memang mengandung beberapa item yang menguji pengetahuan sesuai sosial tingkah laku). Hal itu juga dianggap sangat ditentukan secara genetik dan untuk menetapkan batas tegas pada seberapa banyak pembelajaran bisa diharapkan dari seorang individu. Pertanyaan kecerdasan sebagai pembatas pembelajaran adalah masalah yang kita kembali nanti. Untuk saat ini, penting untuk dicatat adalah bahwa pengukur kecerdasan umum pada dasarnya menyerah pada mendefinisikan kecerdasan, kecuali bersikeras bahwa itu adalah beberapa jenis kapasitas mental.Kelompok lain dengan aliran berbeda-misalnya, Thorndike (1926), Thurston (1938), Carroll (1966), Guilford (1967), Sternberg (1977) -kept mencari komponen yang berbeda dari kecerdasan, sering menggunakan teknik yang semakin canggih analisis faktor dan analisis cluster. untuk sebagian besar, penelitian ini difokuskan pada kemampuan kognitif murni, tetapi sudah ada upaya-upaya untuk memperluas konsep apa yang dianggap sebagai cerdas, seperti di (1993) konsep Howard Gardner dari 'multiple kecerdasan ', yang mencakup kemampuan seperti musik dan seni visual. Beberapa ahli teori juga telah memperluas istilah kecerdasan untuk menutupi kompetensi sosial yang lebih, misalnya, upaya Robert Sternberg untuk mendefinisikan, mengukur, dan bahkan mengajarkan 'kecerdasan praktis' (Sternberg dan Wagner, 1986). bahkan teori ini, namun, memperlakukan kecerdasan sebagai atribut individu, bukan sebagai seperangkat praktek yang individu beradaptasi dan menyesuaikan perilaku mereka dengan konteks langsung dari kinerja.

Kecerdasan Sebagai Struktur Untuk PenalaranPiaget tertarik pada kecerdasan manusia yang memiliki perbedaan pada tingkatan pengukuran mental. Ketidaktertarikan dalam perbedaan individu, dia memfokuskan pada penelitian yang berkelanjutan pada apa yang mendasari kapasitas mental yang adaptif dari spesies manusia (Piaget, 1960, 1970a, 1970b). Jawabannya, terkenal untuk peserta konferensi ini, bahwa manusia secara biologis dipersiapkan untuk mengembangkan struktur logicodeductive tertentu . Teori Piaget menyatakan bahwa setiap individu mengembangkan struktur ini, bersama dengan konsep dasar matematika dan ilmiah yang struktur logis sangat penting, melalui keterlibatan interaktif dengan dunia.Piaget tidak pernah terlalu terbuka dalam berinteraksi. Beberapa 'orang Jenewa ' (misalnya Doise dan Mugny, 1984; Perret-Clermont, 1980) berpendapat bahwa interaksi sosial, terutama konflik kognitif yang diciptakan oleh bentuk-bentuk tertentu dari perselisihan dengan rekan-rekan, adalah mesin penting dari perkembangan kecerdasan. Untuk sebagian besar dari teori ini, bagaimanapun, kecerdasan sendiri tetap merupakan dasarnya individu, biologis didirikan konstruksi.Kecerdasan Sebagai Akuisisi Alat dan Praktik Budaya

Vygotsky adalah teoritisi modern pertama dari perkembangan kognitif yang menempatkan interaksi sosial dalam hatinya. Bahkan, banyak juru penerjemah Vygotsky (misalnya Cole dan Scribner, 1974; Rogoff, 1990; Wertsch, 1985), bersama dengan teoretisi lain dari situasi kognitif (misalnya Lave, 1988; Suchman, 1992;. lihat juga Resnick et al, in press), berpendapat bahwa belajar dan perkembangan kognitif adalah masalah menyerap praktik budaya yang sesuai melalui (scaffolded) partisipasi dalam kegiatan penting dalam masyarakat.Vygotsky (1978, hal. 88) mengusulkan bahwa pengembangan fungsi mental manusia mengandaikan sifat sosial tertentu dan suatu proses dimana anak-anak tumbuh kemudian mencerdaskan kehidupan orang-orang di sekitar mereka. Dalam setiap konteks sosial budaya, anak-anak berpartisipasi dalam pertukaran instruksional baik formal dan informal yang membawa adaptif mereka berfungsi dalam konteks tersebut. Melalui proses timbal balik interaksi sosial, anak-anak mengembangkan sistem representasi kognitif sebagai kerangka interpretif dan membuat komitmen terhadap sistem nilai umum dan set norma perilaku dipromosikan dalam konteks sosial budaya mereka. Proses sosialisasi ini menggabungkan akuisisi dan penggunaan pengetahuan, cara mewakili pengetahuan itu, dan cara berpikir dan penalaran dengan pengetahuan itu. Sejalan dengan itu bahasa, adalah 'alat budaya' yang mungkin dikatakan merupakan kecerdasan.Kecerdasan sebagai Kebiasaan BelajarGagasan alat budaya untuk penalaran dan berpikir membawa kita menuju redefinisi kecerdasan yang kita cari. Kami ingin melangkah lebih jauh, meskipun, untuk menghubungkan praktek konsepsi budaya dengan gagasan kecerdasan umum sebagai kemampuan untuk belajar dengan baik dan mudah. Hal ini penting, kita percaya, karena budaya kita terutama pemberian pola-pola pembelajaran tertentu -yang terhubung dengan sukses di sekolah dan lembaga lainnya yang terkait erat -dan menyediakan tempat sosial dan ekonomi dalam masyarakat bagi mereka yang tidak terlibat dalam cara-cara yang disukai pembelajaran. Hal ini untuk keadilan sosial , serta harapan mengkonfirmasi teori apa yang membuat orang belajar lebih baik (yaitu 'pintar'), prospek mengajar intelijen telah mempesona banyak psikolog.Pakar kecerdasan yang lain mencoba mengajarkan keterampilan kognitif secara umum dalam teori mereka : keterampilan yang diuji langsung dengan tes IQ, seperti teknik untuk mengenali atau menghasilkan analogi (misalnya Pellegrino dan Glaser, 1982), struktur logis Piaget (misalnya Shayer dan Adey, 1981) dan strategi metakognitif (lihat Brown et al., 1983). Ada pola berulang dalam hasil eksperimen ini. Sebagian besar percobaan pelatihan berhasil dalam memproduksi keuntungan langsung dalam kinerja pada jenis tugas mengajar.Namun, dengan pengecualian baru-baru ini Shayer dan Adey bekerja (yang melibatkan intervensi yang jauh lebih luas dan ambisius daripada studi pelatihan laboratorium), subyek dalam studi berhenti menggunakan teknik kognitif di mana mereka telah dilatih segera setelah kondisi spesifik dari pelatihan telah dihapus. Dengan kata lain, mereka menjadi mampu melakukan keterampilan yang diajarkan, tetapi mereka tidak terbiasa menggunakannya dan tidak ada kapasitas untuk menilai sendiri saat itu berguna.Temuan berulang ini hanya apa yang diharapkan dari kecerdasan-sebagai-budaya-cara pandang. Aktivitas kognitif dan perilaku cerdas terjadi dalam lingkungan sosial yang diselenggarakan. Lingkungan budaya terorganisir menghasilkan kendala pada kemampuan apa yang dapat dimanfaatkan oleh siapapun dan kapanpun (Goodnow, 1990a, 1990b; Reed, 1993). Objek dan situasi yang dialami di lingkungan memberikan pengaruh karena mereka memiliki karakteristik atau sifat-sifat tertentu. Sifat - sifat tertentu ini tidak intrinsik; sebaliknya, mereka adalah sifat yang ada sehubungan dengan agen yang akan melihat atau memanfaatkan mereka. Reed (1993) mengamati kemampuanbelajar objek, peristiwa dan tempat-tempat membutuhkan latihan dan pengalaman yang biasanya diperoleh melalui dorongan yang konsisten dan bahkan instruksi dari orang lain.Subjek dalam percobaan pelatihan keterampilan kognitif belajar untuk terlibat dalam praktek tertentu (misalnya berlatih, membentuk mnemonik) dalam situasi lingkungan tertentu. Dalam situasi baru, prakter belajar tampaknya tidak memiliki relevansi. Praktek-praktek yang disesuaikan dengan kemampuan dan lingkungan tempat berlatih. Ketika kemampuan dan tekanan tidak dirasakan dalam situasi baru, praktik belajar menghilang.Analisis ini menunjukkan bahwa, jika kita ingin melihat kemampuan untuk belajar dengan mudah berkembang pada anak-anak, kami membutuhkan definisi kecerdasan yang sama memperhatikan kebiasaan kuat pikiran dan bagaimana mereka dipelihara karena spesifikasi proses atau struktur pengetahuan berpikir. Seperti yang kami tunjukkan di bagian berikutnya, ada alasan untuk percaya bahwa kebiasaan orang berpikir sangat dipengaruhi oleh keyakinan mereka tentang kecerdasan. Untuk saat ini, kami ingin mengusulkan definisi kerja intelijen yang akan menyusun sisa kertas kami.Kecerdasan Sebagai Konstruksi SosialKecerdasan yang kami defenisikan memperlakukan kecerdasan sebagai konstruksi sosial, sebanyak masalah bagaimana individu menafsirkan sendiri dan tindakan mereka di dunia sebagai keterampilan khusus yang mereka miliki pada saat tertentu. Orang yang cerdas dalam praktek: percaya bahwa mereka memiliki hak (dan kewajiban) untuk memahami hal-hal dan membuat suatu pekerjaan. Goodnow (1990a, 1990b) mengamati bahwa orang tidak hanya memperoleh pengetahuan, keterampilan kognitif dan strategi, atau belajar untuk menerapkan pengetahuan atau keterampilan dalam pemecahan masalah. Mereka juga belajar bahwa kita diharapkan untuk memperoleh beberapa bagian atau bentuk pengetahuan dan keterampilan dan bahwa beberapa pengetahuanasal atau keterampilan 'milik' lebih untuk beberapa orang daripada yang lain. Kecerdasan sebagai praktek budaya memuat pengetahuan dan keterampilan baru sebagai tanggung jawab masing-masing individu. percaya bahwa masalah dapat dianalisis, solusi sering datang dari analisis tersebut dan mereka mampu menganalisinya. Keyakinan dalam keberhasilan seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dihargai dan digunakan dalam memecahkan masalah serta disosialisasikan melalui pesan diam-diam tertanam dalam rutinitas praktek sehari-hari.

memiliki solusi untuk analisa masalah dan memiliki intuisi yang baik kapan harus menggunakannya. Ini mungkin keterampilan metakognitif, kemampuan penalaran analogis, keterampilan analisis kuantitatif atau sejumlah kemampuan lain dipelajari secara spesifik.

tahu bagaimana mengajukan pertanyaan, mencari bantuan dan mendapatkan informasi yang cukup untuk menyelesaikan masalah. Dalam definisi kecerdasan ini, memanfaatkan lingkungan sosial merupakan bagian dari proses pemahaman.

memiliki kebiasaan pikiran yang membuat mereka aktif menggunakan media keterampilan analisis dan berbagai strategi untuk memperoleh informasi. Tak satu pun dari keterampilan kognitif dan strategi sosial yang merupakan elemen dari kecerdasan dalam praktek fungsional kecuali individu secara rutin menggunakan mereka dan mencari kesempatan untuk menggunakannya.POLA KEPERCAYAAN DAN PERILAKU: TERKAIT UPAYA DAN KEMAMPUAN

Fokus kami pada bagian ini berkenaan dengan kebiasaan pikiran, kecenderungan untuk menggunakan media peraga dalam menganalisis keterampilan dan strategi seseorang untuk mengumpulkan informasi. Kita beralih ke sebuah badan penelitian yang telah meneliti faktor-faktor yang tampaknya membentuk kebiasaan ini, faktor-faktor yang telah banyak kaitannya dengan keyakinan masyarakat tentang hubungan antara usaha dan kemampuan. Manusia memiliki perbedaan pandangan, dan keyakinan terhadap jumlah dan semua jenis usaha yang mereka kerahkan dalam situasi belajar atau pemecahan masalah.

Kebanyakan penelitian tentang perbedaan-perbedaan ini telah dilakukan oleh ahli perkembangan sosial yang tertarik dengan orientasi tujuan prestasi. Berbagai jenis tujuan pencapaian dapat mempengaruhi tidak hanya berapa banyak usaha orang dimasukkan ke dalam tugas-tugas belajar tetapi juga jenis usaha. Beberapa kelas pencapaian tujuan telah diidentifikasi yang berkaitan dengan konsepsi yang berbeda dari keberhasilan dan kegagalan dan keyakinan yang berbeda tentang diri, tugas belajar dan tugas hasil (Ames, 1984; Dweck dan Leggett, 1988; Nicholls, 1979, 1984). dua kelas besar dari tujuan telah diidentifikasi: berorientasi pada kinerja dan pembelajaran yang berorientasi (ini istilah digunakan oleh Dweck dan rekan-rekannya; Nicholls menggunakan istilah ego-terlibat dan tugas-terlibat).Orang dengan tujuan kinerja sasaran berjuang untuk mendapatkan evaluasi positif dari kemampuan mereka dan menghindari memberikan bukti tidak memadai tentang kemampuan nya dibandingkan dengan orang lain. Tujuan kinerja berhubungan dengan kemampuan sebagai suatu entitas global yang tidak berubah yang ditampilkan dalam kinerja tugas, mengungkapkan individu baik untuk memiliki atau tidak memiliki kemampuan. Pandangan kemampuan atau bakat kadang-kadang disebut teori entitas kecerdasan.Sebaliknya, orang-orang dengan tujuan pembelajaran umumnya berusaha untuk mengembangkan kemampuan mereka sehubungan dengan tertentu tugas. Tujuan pembelajaran yang berkaitan dengan pandangan bakat sebagai sesuatu yang bisa berubah melalui usaha dan dikembangkan dengan mengambil sikap aktif terhadap pembelajaran dan penguasaan peluang. Tujuan pembelajaran yang terkait dengan kemampuan sebagai repertoar keterampilan terus diupgrade melalui upaya seseorang. Dengan demikian, pandangan bakatini telah diberi label teori tambahan kecerdasan (Dweck dan Leggett, 1988).

Orang-orang yang memegang teori tambahan kecerdasan cenderung menginvestasikan energi untuk belajar sesuatu yang baru atau meningkatkan pemahaman dan penguasaan tugas-tugas mereka. Tapi energi kasar saja tidak membedakan mereka dari orang-orang dengan teori entitas. Pakar Inkremental sangat mungkin untuk menerapkan self-regulatory, keterampilan metakognitif ketika mereka menghadapi kesulitan tugas, untuk fokus pada analisis tugas dan mencoba untuk menghasilkan dan melaksanakan strategi alternatif. Secara umum, mereka mencoba untuk mengumpulkan sumber daya untuk pemecahan masalah mana pun mereka bisa: dari toko mereka sendiri strategi pembelajaran kognitif dan dari orang lain yang memberikan bantuan strategi (Dweck, 1988; Nelson-Le Gall, 1990; Nelson-Le Gall dan Jones, 1990). Pada umumnya, individu individu ini memperlihatkan respon terhadap tingkat kesulitan dari tugas-tugas yang memiliki level kontinuitas yang tinggi. Demikian tujuan kinerja menempatkan upaya yang lebih besaruntuk menguasai tugas-tugas menantang dalam konflik dengan perlu dianggap sebagai sudah kompeten, sedangkan tujuan pembelajaran menyebabkan pola motivasi adaptif yang dapat menghasilkan kualitas keterlibatan tugas dan komitmen untuk belajar yang mendorong tingkat tinggi prestasi dari waktu ke waktu.

Tujuan prestasi yang ingin dicapai individu juga tampak mempengaruhi kesimpulan yang mereka buat tentang usaha dan kemampuan. Tujuan kinerja yang terkait dengan kesimpulan bahwa usaha dan kemampuan yang negatif berhubungan dalam menentukan hasil prestasi; sehingga upaya yang tinggi diambil sebagai tanda kemampuan rendah (Dweck dan Leggett, 1988). Tujuan pembelajaran, sebaliknya, berkaitan dengan kesimpulan bahwa usaha dan kemampuan yang terkait secara positif, sehingga upaya yang lebih besar menciptakan dan membuat jelas kemampuan lebih.

Tubuh penelitian pada pencapaian tujuan orientasi menunjukkan bahwa keyakinan dan kebiasaan pikiran yang kami telah definisikan sebagai praktik kecerdasan terkait. Ini menunjukkan, lebih jauh lagi, bahwa ada perbedaan individu dalam keyakinan tentang sifat kecerdasan dan, karenanya, dalam praktek terkait. Dari mana keyakinan ini berasal? Bagaimana kebiasaan praktek yang diperoleh? Kami membahas pertanyaan-pertanyaan ini di bagian berikutnya.

MEMPEROLEH KEBIASAAN PIKIRAN MELALUI SOSIALISASIKebiasaan gigih dan keyakinan mendalam tentang diri dan sifat manusia pada umumnya bukanlah sesuatu yang dipelajari oleh seseorang dari pengajaran langsung dan tentu saja tidak dari sekolah-pengajaran terorganisir. Mereka, sebaliknya, yang diperoleh melalui proses yang ahli perkembangan biasanya menyebutnya sosialisasi. Istilah sosialisasi mengacu pada penggabungan individu sebagai anggota masyarakat. Begitu seorang anak lahir, orang dewasa dan individu berpengetahuan lainnya mulai berkontribusi terhadap sosialisasi anak dengan mengatur lingkungan dan tugas-tugas yang dihadapi di dalamnya dan dengan membimbing perhatian anak ke dan partisipasi dalam praktek yang dihargai masyarakat. Sosialisasi adalah proses dimana anak-anak memperoleh standar, nilai-nilai dan pengetahuan masyarakat mereka.Sosialisasi menghasilkan tidak begitu banyak melalui instruksi formal individu muda maupun pemula, meskipun ada kasus di mana instruksi langsung atau bimbingan terjadi. Sebaliknya, itu berlangsung melalui interaksi sosial, melalui pengamatan dan pemodelan, partisipasi koperasi dan perancah. Itu tergantung, selanjutnya, pada negosiasi harapan bersama, yaitu, intersubjektivitas. Kami siap mengakui proses sosialisasi, fungsi dan produk informal, sehari-hari diluar sekolah pengaturan seperti keluarga. Tapi, dengan beberapa pengecualian, psikolog gagal untuk mengenali perannya dalam fungsi intelektual lebih dalam konteks yang lebih formal terorganisir seperti sekolah.

Perbedaan individu dalam keyakinan tentang usaha dan kemampuan, kita asumsikan, disosialisasikan oleh pola yang berbeda kepercayaan keluarga dan praktek. Namun ada juga perbedaan sosial yang luas. Di Amerika Serikat, kebanyakan orang dewasa mengenali kemampuan berhubungan erat dengan karakteristik individu yang stabil, yang didistribusikan secara tidak adil di antara populasi manusia dan tidak tunduk pada yang meningkat pengaruh pribadi atau lingkungan (Nicholls, 1984; Weiner, 1974). Kebanyakan juga cenderung untuk memegang pandangan bahwa usaha dan kemampuan yang berbeda, berhubungan negatif penyebab hasil prestasi. Dengan kata lain, norma budaya yang dominan di Amerika Serikat adalah teori entitas kecerdasan.

Asumsi tentang kemampuan dan usaha bersama seluruh masyarakat kita dan diumumkan oleh lembaga kemasyarakatan kami (Howard, 1991); tidak mengherankan, oleh karena itu, untuk melihat mereka dengan jelas diwujudkan dalam pengaturan pendidikan formal yang bersifat tradisional. Dalam kelas tersebut, perbandingan langsung dari salah satu siswa yang bekerja dan belajar diluar dengan yang lain adalah umum. Guru dan siswa merasa 'normal' bahwa beberapa siswa tidak belajar apa yang diajarkan dan tidak mencapai serta yang lain. Ketika penekanan dalam kelas atau sekolah adalah pada kemampuan relatif dan (dugaan terkait) kinerja hasil-hasil, dan ketika kebijakan dan praktik pembelajaran berusaha untuk mengurutkan siswa dengan bakat, mahasiswa dan guru sama-sama lebih mungkin untuk fokus pada kinerja dari pada tujuan pembelajaran.

Dalam budaya lain, namun, usaha dan kemampuan yang tidak dipandang sebagai dimensi independen. Itu sudah dilaporkan, misalnya, bahwa, di beberapa budaya Asia (misalnya Cina dan Jepang), orang biasanya disosialisasikan untuk mendukung dan bertindak pada keyakinan bahwa upaya yang tinggi dan ketekunan adalah kunci sukses kinerja; memang, ketekunan bahkan kewajiban moral. Orientasi positif terhadap kerja keras dan usaha yang disosialisasikan orang Jepang untuk mengadopsi menyampaikan keyakinan bersama bahwa kemampuan dapat diubah dan bahwa hal itu memurnikan dan meningkatkan diri (Holloway, 1988; Puncak, 1993; Stevenson dan Lee, 1990). Orang-orang dalam budaya seperti berperilaku seolah-olah mereka mengejar tujuan pembelajaran. Pandangan alternatif tentang hubungan usaha dan Kemampuan ini juga tercermin dalam filsafat pendidikan masyarakat tersebut dan diundangkan oleh lembaga pendidikan mereka.

Dalam studi banding mereka yang luasdari system pendidikan AS, Jepang dan Cina, Stevenson dan Stigler (1992) telah menggambarkan secara rinci substansial pola yang sangat berbeda dari keyakinan dan praktik di Cina dan sekolah Jepang daripada di kita. Perbedaan dalam organisasi, harapan dan praktek dapat terdeteksi sebagai awal prasekolah (Peak, 1986, 1993; Tobin, Wu, dan Davidson, 1989). Perbedaan-perbedaan dalam motivasi orientasi dan dukungan kelembagaan yang terkait mungkin memiliki banyak yang harus dilakukan dengan umumnya lebih tinggi prestasi akademik di negara-negara tersebut.

Di Jepang, kepercayaan rakyat lebih menekankan pada kompetensi sosial sebagai komponen kecerdasan daripada kasus pada awam di Amerika Serikat (Holloway, 1988). Menjadi seorang pembicara yang efektif dan pendengar, pandai bergaul dengan orang lain dan mengambil sudut pandang orang lain adalah semua aspek kompetensi sosial yang cenderung dipandang serta dikendalikan oleh individu. Penekanan pada kualitas interaksi dan hubungan antara individu dan lingkungan sosialnya memperkuat pengembangan rasa keterhubungan dan identitas kolektif yang penting, kegagalan dalam kinerja menjadi kegagalan bagi orang lain juga sebagai individu.

DESAIN KELEMBAGAAN UNTUK MENSOSIALISASIKAN KECERDASAN

Pada bagian akhir ini, kami mempertimbangkan bagaimana sekolah dapat diselenggarakan dengan sengaja mensosialisasikan tujuan pembelajaran yang berorientasi pada anak-anak. Kami memusatkan perhatian pada sekolah-sekolah di Amerika satu-satunya yang kita kenal baik, yang mana kami memiliki kesempatan untuk menguji hipotesis yang kami jelaskan di sini.Kemungkinan bahwa upaya benar-benar menciptakan kemampuan, agar orang-orang dapat menjadi pintar dengan bekerja keras serta belajar dengan baik, tidak pernah dianggap serius di Amerika (Resnick, 1995). Inisiatif pendidikan dan program tertentu telah dipakai beserta beberapa aspek desain motivasi belajar berorientasi, desain di mana praktek menganggap upaya yang terarah dapat menciptakan kemampuan dan bukan hanya mengungkapkan batas-batasnya. Sebagai contoh, Edmonds dan rekan-rekannya (1979) menjelaskan karakteristik sekolah yang miskin dan minoritas siswa yang berhasil melampaui harapan normal. Diantara fitur sekolah tersebut pengaturan dari harapan yang tinggi untuk berprestasi dan sering penilaian anak terhadap harapan-harapan ini. Jaime Escalante, seorang guru matematika di Los Angeles, berhasil mengajarkan penempatan kalkulus kepada beberapa mereka yang miskin dan, konon, siswa yang paling sulit untuk diajar di sekolah California (Escalante dan Dirmann, 1990).

Jaime Escalante, pendidik yang bekerja dalam gerakan Sekolah Efektif dan lain-lain yang telah berhasil meningkatkan tingkat pencapaian populasi siswa tradisional rendah, bekerja pada motivasi karakteristik belajar mengajar. Mereka melakukan ini dengan mengubah dasar normakelembagaan, harapan dan praktek (dalam kasus Escalante itu, dalam ruang kelas, di Sekolah Efektif, dalam seluruh sekolah). Bekerja dengan siswa dinilai oleh orang lain, dan sering sendiri, lemah atau bahkan calon untuk perbaikan (remedial), mereka menempatkan siswa dalam program kehormatan atau mengulurkan harapan untuk Prestasi diatas Normal. Meskipun penyelenggara program ini tidak berbicara secara eksplisit teori motivasi pribadi, mereka semua secara implisit tergantung pada perubahan dalam motivasi mediasi karakteristik siswa. Artinya, semakin besar tingkat upaya diinvestasikan oleh siswa di semua program, ketekunan mereka dalam kursus yang-setidaknya pada awalnya sulit bagi mereka, berikutnya belajar dan pencapaian yang mereka tunjukkan mungkin sebagian fungsi dari perubahan dalam orientasi motivasi mereka.

Masing-masing program dan lainnya seperti mereka, bagaimanapun, harus bekerja melawan keyakinan luas yang diselenggarakan di Masyarakat Amerika dan berpengaruh di lembaga-lembaga pendidikan : yaitu, bahwa apa yang dapat dipelajari individu dan apa sekolah dapat mengajar sangat ditentukan oleh kemampuan, dan kemampuan yang sebagian besar diubah dengan usaha atau kesempatan yang ditawarkan lingkungan (Howard, 1991, 1995). Adanya budaya yang muncul mempromosikan kecenderungan keseluruhan untuk belajar daripada kinerja menimbulkan pertanyaan mendasar untuk Sekolah di Amerika: mungkin kita, dengan sistematis mengubah beberapa praktek sekolah kami, menciptakan lebih banyak pembelajaran berorientasi pola motivasi dan, dengan demikian, prestasi yang lebih tinggi?

Peneliti Amerika biasanya telah mempelajari orientasi tujuan yang berbeda seolah-olah mereka masing-masing disposisi, sedangkan peran lingkungan sekolah sebagai pengaruh kontekstual pada tujuan pencapaian orientasi relatif wajar. Kita tahu bahwa tujuan pembelajaran menimbulkan dan membuat perbedaan menonjol oleh situasional atau instruksional tuntutan (e.g. Ames, 1992; Jagacinski dan Nicholls, 1984). Beberapa struktur lingkungan kelas telah ditemukan berdampak pada motivasi siswa dan sebagian besar dikuasai oleh guru (Rosenholtz dan Simpson, 1984). Di antaranya adalah desain tugas akademik dan kegiatan, praktik evaluasi yang digunakan dan pembagian kewenangan dan tanggung jawab di kelas (Ames dan Archer, 1988; Nelson-Le Gall, 1992, 1993; Resnick, 1995).

Keyakinan bahwa tuntutan kelembagaan dan manfaat dapat mengubah struktur keyakinan psikologis secara intuitif oleh banyak pendidik dan orang awam. Efek fitur kelembagaan seperti pada orientasi motivasi individu, namun, belum diperiksa secara langsung. Demikian pula, meskipun penelitian telah menunjukkan bahwa orientasi motivasi tertentu meningkatkan kinerja pada tugas-tugas tertentu, belum menunjukkan bahwa orientasi meningkatkan prestasi akademik secara keseluruhan. Bekerja sama dengan para pendidik di sejumlah sekolah yang telah memutuskan untuk mencoba menerapkan program sekolah secara keseluruhan yang mempromosikan tujuan orientasi pembelajaran dan melakukan usaha, bukan bakat, sebagai penentu utama hasil belajar, kami merencanakan program penelitian yang akan memeriksa empat hipotesis yang saling terkait yang berasal dari argumen yang kami kembangkan di sini.

Pertama, kami akan mencari bukti bahwa lingkungan pembelajaran dapat dibuat secara sistematis dan dengan cara berkelanjutan membangkitkan tujuan pembelajaran dan perilaku yang terkait. Lingkungan seperti itu, oleh hipotesis kami adalah orang-orang di mana ada tekanan terus-menerus untuk semua siswa agar terlibat dalam perilaku strategis belajar, seperti menguji pemahaman mereka sendiri, mengembangkan argumen dan penjelasan, menyediakan pembenaran dan mengikuti standar disiplin yang sesuai bukti dan penalaran. Selanjutnya, lingkungan pembelajaran yang membangkitkan tujuan pembelajaran mungkin menjadi salah satu di mana keyakinan kapasitas masing-masing siswa untuk terlibat dalam perilaku pembelajaran strategis yang dikomunikasikan baik secara eksplisit maupun implisit. Akhirnya, lingkungan yang membangkitkan dan mendukung tujuan pembelajaran mungkin menjadi salah satu di mana harapan prestasi yang jelas, siswa memahami kriteria evaluatif dan sering menilai karya mereka sendiri, dan ada umpan balik yang jelas kepada siswa tentang bagaimana mereka berkembang menuju standar umum prestasi. Bekerja sama dengan komite sekolah, kita akan membangun satu set alat untuk menganalisis sejauh mana fitur ini hadir di kelas di seluruh sekolah. alat-alat ini akan digunakan baik untuk menghasilkan data penelitian observasional terstruktur dan sebagai dasar untuk pelatihan guru dengan cara mengatur pekerjaan siswa mereka sendiri dan untuk memaksimalkan fitur ini.

Kedua, kami akan menguji hipotesis bahwa partisipasi jangka panjang dalam lingkungan akan membangkitkan tujuan pembelajaran juga berubah keyakinan siswa tentang apa yang diperlukan untuk berhasil secara akademis. Di sekolah berkolaborasi dan ruang kelas, kita akan mengukur keyakinan siswa dan orientasi motivasi pada beberapa waktu yang berbeda selama partisipasi mereka di kelas yang membuat tujuan pembelajaran yang menonjol. Ini berarti siswa berikut untuk setidaknya satu tahun seluruh sekolah dan lebih baik lagi. Hal ini juga membuat diinginkan untuk belajar sekolah di mana seluruh fakultas menciptakan lingkungan yang membuat tujuan pembelajaran yang menonjol. Siswa kemudian akan menghabiskan proporsi yang lebih besar dari waktu mereka dalam lingkungan seperti itu, dan itu akan menjadi lebih mungkin, karena itu, bahwa perubahan keyakinan mendasar akan terjadi.

Ketiga, kami menduga bahwa kapasitas guru untuk memulai dan mempertahankan lingkungan tambahan sebagian merupakan fungsi keyakinan mereka tentang kapasitas siswa mereka untuk belajar dan sekitar keberhasilan mereka sendiri sebagai guru. Menggunakan wawancara dan kuesioner, kita akan memeriksa keyakinan guru pada berbagai tahap mereka partisipasi dalam program kerjasama kami. Kami kemudian akan berhubungan keyakinan guru untuk diamati mereka Kegiatan pembelajaran dan interaksi dengan siswa dalam kelas mereka.

Keempat dan akhirnya, semua faktor ini motivasi yang menarik sebagai mediator prestasi siswa. Ini berarti bahwa kita harus memeriksa sejumlah indikator prestasi siswa (misalnya tes standar skor, penilaian kinerja, hasil portofolio, nilai guru) dan berhubungan perbedaan dan perubahan Indikator ini untuk semua data motivasi dan perilaku pada sekolah-sekolah, ruang kelas, guru dan anak murid.

Ini adalah bentuk penelitian yang ada garis tajam dapat ditarik antara pengembangan dan penelitian, antara kerja kolaborasi dengan staf sekolah dalam mengembangkan lingkungan sekolah yang baru dan kita bersama evaluasi efek mereka. Penelitian direncanakan sebagai rangkaian pembangunan dan studi siklus berulang di yang prinsip desain sosial dan kelembagaan secara aktif bergabung dengan teori psikologi dan empiris metode penelitian. Hanya dalam jangka panjang, eksperimen desain berbasis kelembagaan akan mungkin untuk mengevaluasi kemungkinan pemikiran ulang yang radikal dari sifat intelijen dan hubungannya dengan kepercayaan sosial dan praktek masyarakat kita.3. Kekuatan dan Kelemahan Chapter

A. Kekuatan ChapterChapter ini megulas tentang kecerdasan tidak hanya secara umum, disini kita temukan penjelasan mengenai kecerdasan itu dengan sangat mendetail dan spesifik mulai dari Kecerdasan sebagai kemampuan mental individu, Kecerdasan sebagai struktur untuk penalaran, Kecerdasan sebagai akuisisi alat dan praktik budaya, Kecerdasan sebagai kebiasaan belajar, serta Kecerdasan sebagai konstruksi sosial.Chapter ini menjelaskan konsep kecerdasan dengan begitu luas serta di dukung oleh hasil pemikiran beberapa ahli terdahulu untuk memperkuat hipotesis penulis. Penulis juga memberikan hipotesis-hipotesisnya mengenai desain lembaga seperti sekolah dalam mensosialisasikan kecerdasan itu, sehingga menambah pengetahuan kepada pembaca.B. Kelemahan ChapterChapter ini tidak membahas jenis-jenis kecerdasan yang dimiliki manusia. Dalam chapter Howard Garnerd mengemukakan bahwa skala kecerdasan yang dipakai secara umum yaitu IQ memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang karena IQ tidak boleh dianggap sebagai gambaran mutlak, tetapi penulis tidak menjelaskan jenis-jenis kecerdasan oleh Howard Gardner, yang menemukan bahwa sebenarnya manusia memiliki beberapa jenis kecerdasan yaitu kecerdasan majemuk atau multiple intelligence.C. RangkumanPenulis menyampaikan argumennya dalam chapter ini kedalam empat bagian. Pertama, penulis berpendapat bahwa interpetasi terhadap kecerdasan merupakan bagian dari praktek sosial yang memerlukan pengembangan kritis dari defenisi sebuah konstrak yang bukan hanya meliputi kemampuan kognitif dan pengetahuan yang diyakini sebagai esensi dari sebuah kecerdasan, tetapi juga merupakan sekumpulan keahlian sosial seperti keahlian bertanya, memahami dan menguasai masalah baru dan mencari bantuan dalam memecahkan masalah. Seseorang yang terlibat dalam praktek sosial dari kecerdasan ini selanjutnya akan banyak memiliki konsep tentang hak, kewajiban dan kemampuannya dalam kapasitas kognitif. Untuk menyederhanakan bahasa ini kami mengumpamakan misalnya ketika kamu menanyakan sesuatu dan belajar hal yang baru pada saat bersamaan kamu akan bertanya sebanyak mungkin dan pasti akan tetap belajar keras.

Kedua, penulis melihat bahwa perbedaan-perbedaan individu hadir ditengah-tengah kepercayaan masyarakat tentang kecerdasan dan kepercayaan ini berhubungan dengan kecenderungan masyarakat untuk terlibat dalam praktek-praktek sosial dari kecerdasan yang telah kita defenisikan dalam sesi pertama tadi. Perbedaan yang paling penting menurut kami adalah kemampuan dan usaha yang saling berkaitan dimana masyarakat percaya bahwa usaha dapat menciptakan kemampuan atau hanya sekedar menjadi kompensasi atas kemampuan diri yang terbatas. Ada juga beberapa perbedaan yang penting dalam jenis usaha apa yang masyarakat anggap sebagai tantangan, hal ini tergantung kepada besarnya kepercayaan mereka terhadap konsep kecerdasan itu sendiri.

Ketiga, penulis berpendapat bahwa kebiasaan dan kepercayaan yang membentuk praktek sosial kecerdasan dibutuhkan melalui proses yang saling berhubungan sebagaimana yang diyakini oleh para penganut teori perkembangan sebagai suatu sosialisasi dari pada sebagai perkembangan kognitif atau pembelajaran. Teori Vygotsky (1978) tentang perkembangan kognitif merupakan suatu proses internalisasi dari aksi sosial bersama dan menjadikan peranan bahasa untuk mampu mengktifkan perkembangan kognitif secara keseluruhan membentuk hubungan antara persepsi kita akan kecerdasan sebagai pandangan tradisional dan sosial dari kecerdasan merupakan kompetensi kognitif yang murni.

Keempat, mencari informasi tentang bagaimana sekolah dan institusi pendidikan lainnya dalam hal mempromosikan perkembangan kemanusiaan yang mungkin berfungsi untuk mensosialisasikan kecerdasan sebagaimana yang kami defenisikan sebelumnya. Dibagian kesimpulan, kami mengajukan beberapa hipotesis yang berhubungan dengan perkembangan individu untuk menangkap konsep perubahan desain sosial dan mekanisme perubahan budaya. Tuntutan kelembagaan dan manfaat dapat mengubah struktur keyakinan psikologis secara intuitif oleh banyak pendidik dan orang awam.4. Implikasi Materi dalam Penyelenggaaan Pendidikan / Kurikulum di Indonesia Pendidikan berperan penting bagi perkembangan dan perwujudan diri individu terutama dalam mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa dan negara. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Bab II pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi kecerdasan merupakan salah satu dari tujuan pendidikan.Sistem pendidikan Indonesia yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, membutuhkan sistem kurikulum yang sesuai dan tepat untuk mengantisipasi kebutuhan dunia pendidikan yang berorientasi masa depan. Maka dari itu kurikulum disusun dengan memperhatikan tingkat kecerdasan taupun pengetahuan berfikir peserta didik berdasarkan kelompok usiannya. Selanjutnya guru sebagai pengembang kurikulum juga harus memperhatikan metode pengajaran serta menguasai pengelolaan kelas guna menciptakan suasana pembelajaran menyenangkan yang berpengaruh terhadap tingkat penguasaan materi peserta didik dan meningkatkan kecerdasan peserta didik.Dengan penerapan teori-teori diatas baik dari Piaget maupun dari Vygotsky dan beberapa pakar lain yang menjelaskan tentang konsep kecerdasan maka diharapkan pelaksanaan pendidikan di Indonesia dapat berjalan optimal sehingga tercapai apa yang menjadi tujuan nasional pendidikan Indonesia.Page | 1