28
 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Trauma Kepala Trauma kepala didefinisikan sebagai pukulan atau guncangan terhadap kepala atau cedera yang menembus kepala yang mengganggu fungsi otak (CDC 2006 cit Ket et al.,2008). Menurut Brain Injury Assosiation of America, trauma kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. 2.2. Klasifikasi Trauma Kepala Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Menurut American College of Surgeon Committee on Trauma dikenal 3 klasifikasi utama yaitu  berdasarkan morfologi, mekanisme dan tingkat keparahan. 2.5.1. Berdasarkan Morfologi Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi fraktur tengkorak dan lesi inrakranial. Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak (Valandka BA et al). fraktur dapat berupa garis/linier, multiple dan menyebar dari satu titik dan fraktur terbuka yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak (Smith et al., 2005). Lesi intrakranial dapat  berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, hematoma subdural, kontusio, dan  perdarahan intraserebral), lesi difus ( konkusi ringan, konkusi klasik, dan cedera aksonal difus) dan terjadi secara bersamaan (Valandka BA et al). 2.5.2. Berdasarkan Mekanisme Berdasarkan mekanismenya cedera kepala berdasarkan adanya penetrasi duramater dibagi menjadi cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh, atau Ria AgustrianaFKUII07| 7 

Chapter3 BAB II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bab 2 trauma kepala,

Citation preview

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 1/28

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Trauma Kepala

Trauma kepala didefinisikan sebagai pukulan atau guncangan terhadap

kepala atau cedera yang menembus kepala yang mengganggu fungsi otak (CDC

2006 cit Ket et al.,2008). Menurut Brain Injury Assosiation of America, trauma

kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun

degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat

mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan

kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

2.2. Klasifikasi Trauma Kepala

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Menurut American

College of Surgeon Committee on Trauma dikenal 3 klasifikasi utama yaitu

berdasarkan morfologi, mekanisme dan tingkat keparahan.

2.5.1. Berdasarkan Morfologi

Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi fraktur

tengkorak dan lesi inrakranial. Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar

tengkorak (Valandka BA et al). fraktur dapat berupa garis/linier, multiple dan

menyebar dari satu titik dan fraktur terbuka yang memerlukan perlakuan untuk 

memperbaiki tulang tengkorak (Smith et al., 2005). Lesi intrakranial dapat

berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, hematoma subdural, kontusio, dan

perdarahan intraserebral), lesi difus ( konkusi ringan, konkusi klasik, dan cedera

aksonal difus) dan terjadi secara bersamaan (Valandka BA et al).

2.5.2. Berdasarkan Mekanisme

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala berdasarkan adanya penetrasi

duramater dibagi menjadi cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera

kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh, atau

Ria Agustriana‐FKUII07| 7 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 2/28

 

pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi

dengan cepat menyebabkan otak bergerak kedalam rongga cranial dan melakukan

kontak pada protuberans tulang tengkorak (Dunn et al, 2000). Cedera tembus,

disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan (Valandka BA et al). 

2.5.3. Berdasarkan Tingkat Keparahan

Penilaian derajat beratnya trauma kepala dapat dilakukan dengan

menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan

Teasdale pada tahun 1974. Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu suatu skala untuk 

menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis

yang terjadi. Ada 3 aspek yang di nilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening),

reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).

Tabel 2.1. Glasgow Coma Scale (GCS)

Membuka mata (eye opening)

Membuka mata spontan 4

Membuka mata terhadap perintah 3

Membuka mata terhadap nyeri 2

Tidak membuka mata 1

Respon Verbal (Verbal Response)

Orientasi baik dan mampu berkomunikasi 5

Bingung (mampu membentuk kalimat, tetapi arti keseluruhan

kacau)

4

Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat 3

Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang (groaning) 2

Tidak ada suara 1

Respon motorik ( Motoric Response) 

Menurut perintah 6

Mengetahui lokasi nyeri 5

Ria Agustriana‐FKUII07| 8 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 3/28

 

  Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak 4

Menjauhi rangsangan nyeri ( flexion) 3Ekstensi spontan 2

Tidak ada gerakan 1

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera trauma kepala dapat

diklasifikasikan menjadi:

a. Cedera kepala ringan (CKR), bila GCS 14-15

b. Cedera kepala sedang (CKS), bila GCS 9-13

c. Cedera kepala berat (CKB), bila GCS 3-8

2.3. Patofisiologi Trauma Kepala

Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala

(Markam et al., 1999). Lesi jaringan luar tejadi pada kulit kepala dan lesi bagian

dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri

(Hormeier, 2007). Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis

keadaan yaitu; 1. Kepala dalam dibentur oleh benda yang bergerak, 2. Kepala

yang bergerak membentur benda yang diam dan 3. Kepala yang tidak dapat

bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur oleh benda yang

bergerak (kepala tergencet).

Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala

diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak,pergeseran otak dan rotasi otak (Markam, 1999). Dalam mekanisme cedera kepala

dapat terjadi peristiwa coup dan contre coup pada cedera kepala dapat terjadi

kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala.

Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi

yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan

daerah benturan (Gerdes, 2007). Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada

keadaan.

Ria Agustriana‐FKUII07| 9 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 4/28

 

 

2.3.1. Rear end Impact

Keadaan ini terjadi kerika pengereman

mendadak pada mobil. Otak pertama kali

menghantam bagian depan dari tulang kepala

meskipun pada awalnya kepala bergerak 

kebelakang. Sehingga trauma terjadi pada otak 

bagian depan.

Gambar 2.1. Rear end Impact 

2.3.2. Backward/forward mention of head 

Karena pergerakan yang cepat dari kepala, sehingga pergerakan otak 

terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak menabrak tulang

tengkorak bagian depan. Pada keadaan ini terdapat daerah yang secara mendadak 

terjadi penurunan tekanan sehingga membuat ruangan otak antara dan tulang

tengkorak bagian belakang dan terbentuk gelembung udara. Pada saat otak 

bergerak kebelakang maka ruangan yang tadinya bertekanan rendah menjadi

bertekanan tinggi dan menekan gelembung udara tersebut. Terbentuknya dan

kolapsnya gelembung udara yang mendadak sangat berbahaya bagi pembuluh

darah otak karena terjadi penekanan, sehingga daerah yang memperoleh suplai

darah dari pembuluh tersebut dapat terjadi kematian sel-sel otak. Begitu pula jika

terjadi pergerakan ke depan.

Gambar 2.2. Backward mention of head  

Terlihat trauma terjadi pada otak bagian depan

dan terbentuk gelembung pada udara pada

bagian belakang kepala.

Ria Agustriana‐FKUII07| 10 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 5/28

 

Gambar 2.3. Forward mention of head  

Terlihat trauma terjadi pada otak bagian belakang

dan terbentuk gelembung udara pada bagian

depan kepala.

Berdasarkan patofisiologinya trauma kepala dibagi menjadi dua macam,

yaitu trauma primer dan trauma sekunder. Trauma primer merupakan akibat

langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang

menyebabkan gangguan pada jaringan. Trauma sekunder merupakan trauma yang

terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari

kerusakan otak primer. 

2.3.1. Trauma Primer

Trauma kepala primer dapat menyebabkan komosio serebri, kontusio

serebri, hematoma intrakranial, dan cedera axonal difus.

a.  Komusio Serebri

Komusio serebri atau gegar otak ialah keadaan pingsan yang

berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak 

disertai kerusakan jaringan otak. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala,

vertigo, muntah dan pucat. Vertigo dan muntah terjadi akibat gegar di

labirin atau terangsangnya pusat-pusat di dalam batang otak (Harsono,

2007).

b.  Kontusio Serebri

Kontusio serebri atau memar otak ialah perdarahan di parenkim

otak pada area yang heterogen dan dapat menyebabkan defisit neorologi

tergantung dari lokasi anatomi yang terkena. Bagian anterior dari lobus

Ria Agustriana‐FKUII07| 11 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 6/28

 

frontal dan lobus temporal khususnya sangat rentan dikarenakan kontur

yang kasar pada tengkorak pada regio ini. Kontusio serebri sering

dikaitkan dengan gangguan pada sawar darah otak dan diperberat oleh

perdarahan, formasi edema, atau kejang. Kontusio yang luas dapat

menyebabkan efek yang luas juga mengakibatkan peningkatan tekanan

intracranial atau herniasi otak (Frederic et al., 2002).

c.  Hematoma Intrakranial

Trauma kepala dapat menyebabkan perdarahan di dalam ruang

epidural, subdural, atau subaracnoid dan biasanya memerlukan operasi

untuk menghilangkan perdarahan tersebut. Hematoma intrakranial dibagi

menjadi tiga yaitu:

c.1 Hematoma epidural

Hematoma epidural terjadi karena laserasi pembuluh darah yang

ada di antara tengkorak dan durameter akibat benturan yang menyebabkan

fraktur tengkorak seperti kecelakaan kendaraan, atau tertimpa sesuatu.

Fraktur tengkorak karena benturan mengakibatkan laserasi (rusak) atau

robeknya arteri meningeal media, arteri ini berada diantara durameter dan

tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal

(Liebeskind,D.S, 2010).

Rusaknya pembuluh darah ini mengakibatkan darah memenuhi

ruangan epidural yang menyebabkan hematom epidural. Apabila

perdarahan ini terus berlangsung menimbulkan desakan duramater yang

akan menjauhkan duramater dari tulang tengkorak hal ini akan

memperluas hematom. Perluasan hematom ini akan menekan lobus

temporal ke dalam dan ke bawah. Tekanan ini menyebabkan isi otak 

mengalami herniasi. Adanya herniasi ini akan mengakibatkan penekanan

saraf yang ada di bawahnya seperti penekanan pada medulla oblongata

menyebabkan hilangnya kesadaran. Pada bagian juga terdapat nervus

okulomotor, yang mana penekanan pada saraf ini meyebabkan dilatasi

pupil dan ptosis. Perluasan atau membesarnya hematom akan

Ria Agustriana‐FKUII07| 12 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 7/28

 

mengakibatkan seluruh isi otak terdorong kearah yang berlawanan yang

mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (TIK)

sehingga terjadi penekanan saraf-saraf yang ada diotak (Harsono 2007 &

Liebeskind,D.S, 2010) 

c.2 Hematoma subdural

Hematoma subdural berasal dari vena. Perdarahan terjadi antara

duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena

 jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak 

dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea.

Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan

tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat

laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung

memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang

berangsur meningkat (Harsono, 2007).

Hematoma subdural dipilih tipe-tipe berbeda dalam simtomatologi

dan prognosis, yaitu: akut, subakut dan kronik.

a)  Hematoma subdural akut 

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik penting

dan serius dalam 24 jam sampai 48 jam setelah trauma. Sering kali

berkaitan dengan trauma kepala berat, hematoma ini juga mempunyai

mortalitas yang tinggi. Gangguan neurologik disebabkan oleh tekanan

pada jaringan otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini dengan cepat

menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut

nadi dan tekanan darah (Lombardo cit Price & Wilson, 1992). 

b)  Hematoma subdural subakut 

Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik yang

bermakna dalam waktu lebih dari 24 jam tetapi kurang dari dua minggu

setelah trauma. Adanya trauma kepala menyebabkan ketidaksadaran,

selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik secara perlahan. Namun,

setelah jangka waktu tertentu terdapat tanda-tanda status neurologik yang

Ria Agustriana‐FKUII07| 13 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 8/28

 

memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun dalam beberapa jam.

Dengan meningkatnya TIK dan pembesaran hematoma, penderita

mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon

terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Akumulasi darah

mengakibatkan peningkatan TIK (Lombardo cit Price & Wilson, 1992).

c)  Hematoma subdural kronik  

Pada hematoma subdural kronik, penyebab dapat sangat ringan

sehingga terlupakan. Timbul gejala pada umumnya tertunda beberapa

minggu, bulan, dan bahkan beberapa tahun setelah trauma pertama.

Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural.

Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh

fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik 

cairan kedalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam

hematoma (Lombardo cit Price & Wilson, 1992).

Hematoma subdural kronik sering disebut “peniru” karena tanda

dan gejala biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi, dan dapat

disebabkan oleh banyak proses lain. Beberapa penderita mengeluh sakit

kepala. Tanda dan gejala yang paling khas adalah perubahan progresif 

dalam tingkat kesadaran termasuk apati, latergi, dan kekurangan perhatian,

dan menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif 

yang lebih tinggi (Cohen et al. cit Price & Wilson 1992).

c.3 Hematoma subarachnoid

Hematoma subarachnoid adalah akumulasi darah dibawah

membrane arachnoid tetapi diatas pia meter. Ruang ini normalnya berisi

cairan serebro spinal (CSS). Hematoma subarachnoid biasanya terjadi

akibat pecahnya aneurisma intrakranial, hipertensi berat, malformasi

arteriovenosa, atau cedera kepala. Darah yang berakumulasi diatas atau

dibawah meninges menyebabkan peningkatan tekanan di jaringan otak 

dibawahnya (Corwin.E.J, 2009).

Ria Agustriana‐FKUII07| 14 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 9/28

 

 

d.  Cedera Axonal Difus

Rusaknya jaringan otak diikuti terganggunya proyeksi axon dari

saraf pada area putih diotak. Hal ini terjadi secara mikroskopik dan dapat

terjadi gangguan neurologi yang berat.

2.3.2. Trauma Sekunder

Merupakan proses lanjutan dari truma primer dan lebih disebabkan oleh

adanya kondisi yang menimbulkan stress metabolik pada jaringan otak yang

mengalami trauma baik akibat sistemik maupun intrakranial. Trauma sekunder

sebagian dimulai dari perubahan fisiologi yang terjadi beberapa menit, jam, atau

beberapa hari sesudah trauma primer. Proses terjadinya trauma sekunder yaitu

oleh sebab iskemia, hipoksia, dan pelepasan neurotransmitter  Excitatory Amino

 Acid (EAA).

a.  Iskemia dan Hipoksia

Menyebabkan jumlah ATP dalam sel berkurang mengganggu “ion pums” 

sehingga menimbulkan depolarisasi dinding sel menyebabkan ion kalium keluar

dan menumpuk di ekstraseluler. Sedangkan ion kalsium akan masuk ke dalam

sel. Penumpukan ion kalium merangsang penumpukan glutamate (neutransmiter

EAA) yang berasal dari sel neuron yang memproduksi neurotransmitter EAA

(Ghofir.A, 2007).

b.  Pelepasan neurotransmitter EAA

Terjadi dalam jumlah besar segera setelah trauma. Neurotransmitter EAA

ini akan menuju hipotalamus, bagian-bagian korteks. Reseptor EAA (reseptor

NMDA dan AMPA) ini berada pada dinding sel-sel neuron, jadi bila mereka

bertemu jadilah gangguan permeabilitas dinding sel. Gangguan permeabilitas

dinding sel ini menimbulkan influx ion natrium (Na), klorida (Cl), dan diikuti

air (H2O), sehingga dalam waktu cepat terjadi edem sel yang bisa menyebabkan

perlahan-lahan kadar ion dalam sel meningkat sehingga merangsang reaksi

Ria Agustriana‐FKUII07| 15 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 10/28

 

enzim-enzim yang menyebabkan disfungsi dan kematian sel neuron tersebut.

Reaksi ini terjadi lambat (delayed type). Efek lain peningkatan ion kalsium

menyebabkan “arachidonic cascade” menimbulkan pelepasan free radicals dan

akibat-akibatnya (Gofir.A, 2007).

2.4. Mekanisme Penyebab Trauma Kepala

Mekanisme trauma kepala dapat berasal dari trauma tumpul (blunt) atau

trauma tajam (penetrating). Trauma tumpul dapat berasal dari trauma benturan

dengan kecepatan tinggi seperti pada kecepatan rendah misalnya jatuh atau kasus

penyerangan. Trauma tajam berasal dari tembakan senjata api atau benda tajam.

Faktor-faktor resiko tinggi yang secara klinis penting dalam

mengakibatkan trauma otak setelah trauma kepala yang studi terbaru telah

mengusulkan kriteria berikut, yaitu: pejalan kaki yang ditabrak oleh kendaraan

bermotor, pengendara terlempar dari kendaraan bermotor, atau jauh dari

ketinggian lebih dari tiga kali atau lebih dari lima tangga (Nasional Colaborating

for Acute Care, 2007).

2.4.1. Kecelakaan Lalu Lintas (KLL)

Kecelakaan adalah serangkaian dari kejadian-kejadian yang tidak terduga

sebelumnya dan selalu mengakibatkan kerusakan pada benda, luka atau pun

kematian. Kecelakaan lalu lintas dibagi menjadi a motor-vehicle traffic accident  

dan non motor-vehicle traffic assident .  A motor-vehicle traffic accident adalah

setiap kecelakaan kendaraan bermotor di jalan raya dan non motor-vehicle traffic

assident  adalah setiap kecelakaan yang terjadi di jalan raya yang melibatkan

pemakai jalan untuk transportasi atau untuk mengadakan perjalanan dengan

menggunakan kendaraan yang bukan kendaraan bermotor. Berdasarkan peraturan

pelaksanaan undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan tahun 1993 bab XI

menyebutkan pasal 93 ayat (1), kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di

 jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak sengaja melibatkan kendaraan dengan

atau pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta

benda. Pasal 93 ayat (2), korban kecelakann lalu lintas sebagaimana dimasud

Ria Agustriana‐FKUII07| 16 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 11/28

 

dalam ayat (1), dapat berupa korban mati, korban luka berat dan korban luka

ringan (Muharsanto, 2008).

Lebih dari 154.000 orang tua terluka dalam KLL di Amerika Serikat tahun

2002. Mereka mempunyai surat izin mengemudi (SIM) hanya 14,4% pada 1999

tetapi hampir tercatat 17% yang meninggal dalam KLL. Pada tahun 2020, ahli

demografi menafsirkan pengemu diusia 55 tahun atau lebih memenuhi 30%

  jumlah pengemudi. Pada tahun 2050, proporsi ini akan naik hamper 40%. Jika

tidak dicegah, angka-angka orang dewasa yang meninggal atau terluka pada KLL

kemungkinan akan meningkat. Dalam beberapa hal, penyebab KLL adalah

keletihan pengendara mobil menjadi kategori yang paling tinggi dan korban

pejalan kaki berkisar 6%-28% (Abelson-Mitcghell,2007).

Nell dan Brown (1991, cit . Abelson-Mitchell, 2007) melaporkan

perbedaan bahwa orang-orang kulit putih yang mengalami trauma kepala

disebabkan oleh tabrakan kendaraan yaitu 63%, sedang 27% terjadi pada orang-

orang kulit hitam, hal ini karena masalah pemilikan mobil dan kehidupan kota

lebih tinggi pada orang kulit putih. Sebaiknya, trauma kepala karena kekerasan

menimpa 51% orang-orang kulit hitam dan 10% orang-orang kulit putih,

mencerminkan perbedan status sosial ekonomi di Selatan Afrika.

Faktor yang berhubungan dengan umur hampir bisa dipastikan menjadi

faktor penyebab KLL sebagai mekanisme trauma. Faktor resiko yang

meningkatkan angka kematian pejalan kaki dan pengemudi usia tua pada kasus

trauma dalam kejadian KLL meliputi permasalahan kelemahan pandangan, refleks

lebih lambat, osteoporosis, kelemahan fisik, pelemahan kognitif, dan penggunaan

obat-obatan dan alkohol (Binder et al. cit . Thompson et al., 2006). Trauma pada

pejalan kaki usia tua akan menjadi parah dibanding pejalan kaki usia muda karena

kecelakaan serupa. Untuk itu studi lebih lanjut diperlukan untuk menilai

hubungan atara umur, status kesehatan sebelum trauma, mekanisme trauma, dan

hasilnya. Mengemudi adalah suatu keterampilan penting untuk mengatur

kemandirian dan mobilitas pada orang tua, sebab mobil adalah alat transportasi

utama. Walaupun riset menyatakan bahwa orang tua mengatur sendiri perilaku

Ria Agustriana‐FKUII07| 17 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 12/28

 

mengemudi mereka disesuaikan dengan keterbatasan fungsional pada orang tua

(West et al. cit . Thompson et al., 2006).

2.4.2. Jatuh

Pada orang-orang tua yang mengalami insidensi jatuh lebih tinggi dan

lebih mungkin terjadi dibandingkan orang-orang yang menjadi korban pejalan

kaki dalam KKL, faktor pendukungnya adalah poliferasi dan efek samping

pengobatan, penglihatan yang lemah, respon yang lemah dan permasalahan

gerakan termasuk gangguan keseimbangan (Greenwald et al. cit  Abelson-

Mitchell, 2007).

Sekitar 8% para orang berusia lebih dari 64 tahun masuk IRD setiap

tahunnya karena trauma akibat jatuh. Seperempat yang masuk IRD ini

mengharuskan dirawat inap (Web-based Injury Statistic Query and Reporting

System cit. Thompson et al., 2006 ). Kira-kira 10% jatuh pad orang tua

mengakibatkan trauma, seperti traumatic brain injury (TBI), dan sebagai

konsekuensinya, jatuh adalah penyebab TBI paling umum pada orang tua. Pada

tahun 2002, keseluruhan jumlah yang dirawat di Amerika karena jatuh yang

berakibat TBI adalah 29,6 dari 100.000 jumlah penduduk. Yang berusia 65-74

tahun, angka ini hampir berlipat (58,6.100.000 jumlah penduduk), dan pada orang

tua berusia 75 tahun dan yang lebih tua, angkanya lebih dari tiga kali yaitu

203,9/100.000 (Anonim cit. Thompson et al, 2006).

2.4.3. Percobaan Bunuh Diri

Angka bunuh diri yang paling tinggi untuk semua kelompok umur

ditemukan pada orang tua usia 65 tahun atau lebih (Nasional Center gor Injury

Prevention and Control cit. Thompson et al., 2006) dan menjadi tiga penyebab

utama trauma pada orang tua usia 65 tahun atau lebih. Pada orang yang dikota

memilih lompat dari tempat tinggi sebagai metode usaha bunuh diri, biasanya

karena kemudahan akses mencapai daerah tinggi, jadi para pengembang

perumahan harus memperdulikan kemungkinan politrauma yang tinggi pada

pasien-pasien ini. Pada orang dewasa tua, faktor resiko untuk bunuh diri yang

Ria Agustriana‐FKUII07| 18 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 13/28

 

meliputi orang berkulit putih adalah riwayat depresi, sakit kronis, atau penyakit,

dam keterasingan sosial. Tujuh belas persen sampai 37% orang tua mengalami

gejala depresi ringan. Sebagai tambahan, 70% orang tua yang bunuh diri

sebelumnya telah menjumpai perawat mereka pada bulan sebelumnya (Thompson

et al., 2006), menandakan bahwa perawatan perawat kesehatan mereka tidak 

secara penuh menyadari kesempatan ini untuk melakukan invensi pada populasi

ini. Tingkat kasus fatal yang berhubungan dengan luka tembakan dan lompatan

dari tempat tinggi, memerlukan pencegahan primer sebagai cara penanggulangan

masalah ini.

2.5. Diagnosis Trauma Kepala

2.5.1. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan dilakukan dengan penerangan yang baik, mula-mula anggota

tubuh dan anggota gerak, kemudian kepala dan leher. Cium pernafasannya untuk 

mengetahui bau alkohol dan aseton. Pada pemeriksaan neurologik jika kesadaran

cukup baik, lakukan pengujian terhadap kekuatan motorik pada keempat anggota

gerak. Pemeriksaan mata pasien dengan rangsangan cahaya untuk mengetahui

ukuran dan kesamaan pupil pada kedua sisi dan adanya edem pupil yang

merupakan tanda pasti meningkatnya tekanan intrakranial, perdarahan

konjungtiva menunjukkan fraktur (biasanya pada lamina orbita pada tulang

frontal), jika; (1) menyebabkan edema konjungtiva, (2) sedemikian besar sehingga

tidak bisa melihat, batas posterior pada setiap posisi mata, dan (3) terjadi

pergeseran atau pembatasan pada pergerakan mata. Dilanjutkan pemeriksaan kulit

kepala diraba terdapat tepi fraktur depresi, pembengkakan lunak yang luas pada

kulit kepala, dan penebalan otot temporalis, maka semua ini merupakan tanda-

tanda fraktur tengkorak. Pemeriksaan di telinga dan hidung jika keluar darah

menunjukkan fraktur pada basis kranial. Juga periksa di tempat lain seperti leher

yang menunjukkan fraktur vertebra servikal. Nilai keadaan kesadaran pasien

menurut Glosgow Coma Scale (Crippen D,W., 2010).

Ria Agustriana‐FKUII07| 19 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 14/28

 

2.5.2. Sinar-X tulang Kepala

Pada penderita sadar tanpa defisit neurologis pasca trauma kepala,

pemeriksaan sinar-X atau foto polos tulang kepala digunakan untuk memprediksi

kemungkinan adanya lesi intrakranial. Sinar-X kepala diarahkan untuk 

pemeriksaan pemilihan terhadap semua penderita trauma kepala dewasa, bila

didapatkan gambaran fraktur, dilanjutkan pemeriksaan CT Scan. Penderita dengan

penurunan klinis yang progresif tanpa tanda focal neurologis. Sinar-X kepala

proyeksi frontal atau anteroposterior (AP) mungkin didapatkan gambaran

pergeseran kalsifikasi kelenjar pineal. Kurang lebih 20% film sinar-X kepala

emergensi menunjukkan pergeseran kelenjar pineal pada penderita dengan

hematoma subdural akut (Ghofir.A, 2007).

Sinar-X tulang kepala dilakukan pada posisi AP dan lateral pada basis

kranial untuk menduga adanya hematoma ekstradural (gangguan kesadaran

setelah interval lusid). Kebanyakan pasien dengan hematoma ekstradural

mengalami fraktur. Fraktur pada basis kranial sulit atau tidak mungkin dilihat

dengan foto sinar-X.

2.5.3. CT Scan Kepala

CT Scan kepala merupakan modalitas diagnosis terpilih bila diprediksi

pada lesi masa intrakranial pasca trauma, karena prosesnya cepat, dapat

memvisualisasi seluruh bagian selebral dan membedakannya dengan akurat

perluasan maupun batas-batas lesi intra maupun ekstraaksial (Ghofir.A, 2007).

Hematoma subdural tampak sebagai kumpulan hiperdens ekstraaksial,

bentuk biasanya, dengan kontraksitas iregular mengikuti permukaan serebtal.

Derajat beratnya efek masa dapat dinilai dengan derajat penekanan sistem

ventrikel ipsilateral, pergeseran atau pendorongan struktur garis tengah dengan

penyempitan sisterna basalis (Ghofir.A, 2007). Dengan CT Scan tanpa zat kontras

didapatkan empat tipe perdarahan intracranial post traumatic: hematoma epidural,

hematoma subdural, hematoma intraparenkimal, dan hematoma subarachnoid.

Ria Agustriana‐FKUII07| 20 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 15/28

 

2.5.4. Angiografi Otak

Sebelum adanya penggunaan CT Scan kepala secara umum, angiografi

serebral representatif menjadi prosedur diagnostik pilihan untuk menggambarkan

hematoma subdural. Angiografi cukup adekuat untuk untuk menggambarkan

hematoma subdural. Angiografi cukup adekuat untuk menggambarkan hematoma

subdural akut pada hampir semua lokasi kecuali kadang-kadang sulit untuk 

hematoma yang berlokasi di lobus frontal dan oksipital (Ghofir.A, 2007).

Angiografi otak dapat memperhatikan pola vaskular diagnosis pada kasus,

yaitu untuk menemukan dan menentukan sumber hematoma subaracnoid. Lesi

vaskular seperti hematoma subdural dan hematoma intraserebral dapat juga

diperlihatkan dengan mudah oleh angiografi, tetapi secara non-invasif terlihat oleh

CT Scan atau MRI.

2.5.5. Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)

MRI mempunyai kelebihan untuk identifikasi lesi subakut atau trauma

kronik termasuk hematoma intraserebral maupun ekstraaksial, terutama pada fosa

posterior atau batang otak. Namun dinilai terdapat keuntungan CT Scan

dibandingkan MRI pada produser trauma kepala akut:

1.  MRI tidak sesensitif CT Scan untuk diagnosa hematoma akut, sebab tidak 

tergambar dengan baik.

2.  Waktunya cepat dan pendek yang diperlukan untuk pelaksanaan

pemeriksaan CT Scan pada penderita trauma kepala.

3.  Sulit melakukan pengewasan penderitaan trauma akut pada pemeriksaan

MRI.

(Ghofir.A, 2007)

Dengan MRI, aliran darah di dalam arteri dan vena sedang dan besar dapat

dievakuasi secara langsung, tanpa perlu penyuntingan agen kontras ke dalam

vena. Hal ini menjadikan MRI khususnya berguna dalam penelitian vaskular otak 

  juga. Aliran darah yang cepat tidak menimbulkan sinyal, darah yang mengalir

lambat atau turbulen menimbulkan sinyal berintensitas tinggi.

Ria Agustriana‐FKUII07| 21 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 16/28

 

2.6. Penatalaksanaan Trauma Kepala 

Pada tiap pasien trauma harus dilakukan penilaian dimana pertolongan

akan dilakukan dan diprediksi apa yang mungkin terjadi. Penilaian Glasgow

Coma Scale digunakan terutama untuk trauma kepala. Pada prinsipnya tujuan

yang ingin dicapai memerlukan evaluasi:

1.  Evaluasi keadaan penderita secara cepat dan akurat.

2.  Resusitasi dan stabilisasi yang merupakan dasar utama dan pertolongan gawat

darurat.

3.  Nilai fasilitas apa yang diperlukan pasien gawat darurat pada kasus trauma.

4.  Transportasi antar rumah sakit harus dengan teknik yang akurat.

5.  Harus dilakukan pertolongan pada tiap langkah yang diambil terutama untuk 

 jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi (Rab, 2007).

Pada trauma kepala selain dari faktor mempertahankan fungsi airway,

breathing, circulation (ABC) dan menilai status neurologi (disability dan

exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi

iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian

oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relatif 

memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah. Selain itu perlu pula

dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang meninggi disebabkan oleh

edema serebri. Usaha untuk menurunkan tekanan intrakranial ini dapat juga

dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang

mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral.

Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi endotrakeal,

hiperventilasi, dan membuat intermittent iatrogenic paralysis (Rab, 2007).

2.6.1.  Penanganan pra Rumah Sakit 

a.  Penanganan di tempat kejadian

Prinsipnya adalah menangani A-B-C dengan tidak melakukan manipulasi

yang lebih memberatkan trauma kepala maupun trauma bagian tubuh yang lain

seperti leher, tulang punggung, ekstremitas, pelvis. Penanganan pertama

idealnya bila dilengkapi dengan peralatan suction, oksigen, infus dan Iain-lain,

Ria Agustriana‐FKUII07| 22 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 17/28

 

tetapi tanpa fasilitas itupun prinsip A-B-C ini bisa dilaksanakan cukup.

Umumnya pada menit-menit pertama, penderita mengalami “brain shock"

dengan reflek pembelaan tubuh yang sangat lemah, tampak sangat pucat, nafas

sangat lambat dan dangkal, nadi sangat lemah dan lambat, otot-otot flaksid, dan

tidak ada gerakan tubuh sedikitpun, bahkan kadang-kadang pupil midriasis.

Melakukan pertolongan harus selembut mungkin, segera jaga posisi

leher, perbaiki air way, buka mulut, bersihkan dari bahan yang bisa

menimbulkan obstruksi saluran nafas, kemudian perbaiki posisi supaya saluran

nafas lancar, dengan perbaikan posisi kepala ini diikuti dengan chin lift atau jaw

trust sambil merasakan hembusan nafas yang keluar melalui hidung (breathing).

Bila hembusan nafas tidak adekuat maka bantuan nafas mulut ke mulut (mouth

to mouth) adalah sangat bermanfaat, pertolongan nafas mulut ke mulut biasanya

tidak membutuhkan waktu lama hanya beberapa menit karena fase brain shock 

segera akan selesai, bila brain shock pulih maka penderita akan bernafas dengan

baik. Tetapi pertolongan air way dan breathing tadi sudah cukup mencegah sel-

sel otak mengalami hipoksia selama beberapa menit pertama. Sebaiknya kepala

dan tubuh agak dimiringkan kesalah satu sisi untuk mencegah terjadinya aspirasi

apabila penderita tiba-tiba muntah.

Muntah hampir selalu terjadi bila brain shock  ini sudah lewat, apalagi

bila penderita mulai bergerak-gerak dan menggerak-gerakkan kepalanya.

Pertolongan pertama pada Circulation dengan cara meletakkan kepala dalam

posisi datar dan segera hentikan perdarahan yang tampak mengalir dari luka-

luka. Pencegahan iskemia adalah tujuan utama sejak ditempat kejadian. Idealnya

A-B-C haras stabil, baru kemudian ditransport karena kejadian iskemik paling

sering terjadi pada tempat kejadian. Tetapi dengan situasi dan kondisi seperti di

negara kita sekarang ini hal itu sering tidak bisa dilaksanakan. Jadi secepatnya

diangkut ke Rumah Sakit terdekat untuk stabilisasi (Ghofir.A, 2007). Tetapi

minimal setiap orang harus diajarkan untuk mengusahakan:

1.    Air waybebas, posisi tidur datar, kepala dan badan dimiringkan untuk 

mencegah bahan muntah masuk saluran nafas.

2.  Immobilisasi kepala leher dan bagian tubuh yang fraktur.

Ria Agustriana‐FKUII07| 23 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 18/28

 

3.  Kontrol perdarahan

b.  Triase

Pada penentuan triase, hanya pasien yang A-B-Cnya tidak stabil yang

boleh dirujuk ke Rumah Sakit terdekat atau rumah sakit yang tidak ada fasilitas

CT Scan dan tindakan bedah saraf. Selain itu semua kasus trauma kepala dan

tulang leher serta tulang punggung harus segera dirujuk ke Rumah Sakit yang

ada fasilitas CT Scan dan tindakan bedah saraf. Prinsipnya adalah "to get a

definitive care in shortest time'" (Ghofir.A, 2007).

c.  Transportasi

Transportasi penderita trauma kepala terutama penderita dengan trauma

kepala sedang dan berat harus cepat dilakukan untuk mendapatkan tindakan

medis yang cepat, tepat dan aman (Dunn et al, 2000). Karena keterlambatan

sampai di Rumah Sakit, 10 % dari total penderita cedera kepala di Amerika

Serikat meninggal. Pada penderita cedera kepala berat dengan pendarahan

subdural sebaiknya interval waktu kejadian trauma dan tindakan yang dilakukan

kurang dari 4 jam, sedangkan pada penderita dengan interval waktu lebih dari 12

 jam prognosis buruk (Valdka BA et al). Penelitian yang dilakukan oleh Seelig et 

al, menyebutkan penderita dengan hematoma yang dievakuasi lebih kurang 4

  jam, angka kematiannya 30 % dan 65 % dengan prognosis baik. Sedangkan

penderita yang dievakuasi lebih dari 4 jam, angka kematiannya 90 % dan kurang

dari 10 % dengan prognosis baik (Seelig et al., cit Yuri, 2008).

Pemilihan alat transportasi tergantung adanya fasilitas, keamanan dan

cepatnya mencapai Rumah Sakit rujukan yang ditentukan. Selama di dalam

mobil transport maka A-B-C pasien tetap dijamin stabil dan bila perlu dilakukan

endotrakeal intubasi. Selama transportasi bisa terjadi berbagai keadaan seperti

shock, kejang, apnea, obstruksi nafas, dan gelisah.

Berdasarkan risiko tersebut perlu persiapan dan persyaratan untuk 

merujuk pasien trauma kepala dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain yaitu

tenaga medis, minimal perawat yang mampu menangani A-B-C, kemudian satu

set khusus untuk transportasi pasien tersiri dari ambu bag, mayo (orofaring) tube

(3 ukuran), suction, oksigen, infus set, RL, NaCl 0,9%, spuit disposable 5 cc,

Ria Agustriana‐FKUII07| 24 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 19/28

 

manitol, diazepam ampul, adrenalin ampul, klorpromazine ampul, dan

aquabidest 25 cc. Rumah Sakit bertanggungjawab bila terjadi sesuatu pada

pasien tersebut selama transportasi. Persyaratan mobil pengangkut pasien harus

tegas dibedakan dengan ambulan pengangkut jenazah (Ghofir.A, 2007).

2.6.2.  Rujukan

Kecepatan penanganan (diagnosa dan terapi) sangat menentukan

prognosis oleh karenanya rujukan pasien trauma kepala hanya boleh dirujuk ke

Rumah Sakit yang ada fasilitas diagnosa yaitu CT Scan yang bisa berfungsi

selama 24 jam dan ada fasilitas operasi (kamar operasi, alat dan dokter ahli

bedah saraf) serta fasilitas perawatan intensif untuk penderita bedah saraf.

Indikasi untuk melakukan rujukan ke Rumah Sakit yang ada fasilitas CT

Scan dan tindakan bedah saraf adalah pasien-pasien trauma kepala sedang dan

berat. Untuk trauma kepala ringan yang dirujuk adalah yang disertai salah satu

daii keadaan-keadaan berikut yaitu; gejala bradikardi, lateralisasi, kejang-kejang,

fraktur impresi tertutup atau terbuka, sakit kepala dan muntah-muntah yang

memberat, luka tembak, fraktur dasar tengkorak, cedera servikal/tulang

punggung. Pengertian ini perlu disebarluaskan dan harus menjadi kode etik bagi

setiap Rumah Sakit. Berbagai pertimbangan boleh saja diketengahkan misalnya

  jarak tempuh, dana, tetapi tanggungjawab moril dan profesi berada ditangani

dokter yang merawat dan direktur Rumah Sakit yang menerima pasien tersebut

(Ghofir.A, 2007).

2.6.3.  Tindakan operasi 

Tujuan utama terapi operasi adalah evakuasi efek masa mekanik, guna

menurunkan atau mencegah hipertensi intrakranial dan pergeseran struktur garis

tengah serebral. Secara rinci tujuan tindakan operasi adalah untuk dekompresi

serebral sedini mungkin, utamanya penderita yang baru saja jatuh dalam kondisi

koma dengan evakuasi semua hematoma, eksplorasi dan merawat sumber

perdarahan yang masih aktif serta melepas herniasi tentorial yang baru saja

terjadi. Guna mencapai target operasi tersebut, lapangan operasi harus dapat

Ria Agustriana‐FKUII07| 25 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 20/28

 

mengakses permukaan basal lobus frontalis, lobus temporalis, dasar fosa serebri

media, kedua drainase vena lobus frontalis menuju sinus sagitalis dan vena dari

labbe sebagai drainase dari lobus temporalis (Ghofir.A, 2007).

Pada hematoma epidural, pengobatannya adalah evakuasi bedah

hematoma dan mengatasi perdarahan dari arteri meningea media yang terkoyak.

Intervensi bedah harus dikerjakan dini dan sebelum tekanan serius pada jaringan

otak menimbulkan kerusakan. Mortalitas tetap tinggi meskipun diagnosis dan

pengobatan dilakukan dini, yaitu karena trauma dan sekuel berat yang

menyertainya (Cohen et al. cit.. Price & Wilson, 1992).

Penatalaksanaan hematoma subdural akut berupa tindakan pengangkatan

hematoma, dekompresi dengan mengangkat tempat-tempat pada tengkorak, dan

 jika perlu, bagian-bagian lobus frontalis atau lobus temporalis, serta melepaskan

kompresi dura. Bahkan pada diagnosis dini dan pembedahan dini sekalipun,

angka mortalitas tetap berkisar 60%, sebagian besar disebabkan oleh trauma otak 

berat dan kegagalan organ utama yang menyertai trauma berat (Lombardo cit.

Price & Wilson, 1992).

Seperti pada pengobatan hematoma subdural akut, pengobatan hematoma

subdural subakut dilakukan dengan mengangkat bekuan darah secepat dan

sesegera mungkin. Hal ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara tergantung

pada keadaan klinis penderita. Karena banyak bekuan darah ini bersifat bilateral,

maka kedua ruang di subdural harus dibersihkan dan bila ada indikasi lakukan

bedah eksplorasi (Schwartz cit. Price & Wilson, 1992).

Pada penderita dengan hematoma kecil tanpa tanda-tanda neurologik,

maka tindakan pengobatan yang terbaik mungkin hanyalah melakukan

pemantauan ketat. Bagi penderita dengan gangguan neurologik yang progresif 

dan gejala kelemahan, cara pengobatan yang paling baik adalah dengan

pembedahan untuk mengangkat bekuan, sebab bahaya terbesar pada hematoma

subdural kronik adalah terjadinya herniasi unkus temporal dan kematian

(Schwartz; Cohen et al, cit. Price & Wilson, 1992).

Pada kasus shunt  arteriovenosus, penatalaksanaan dengan metode

intervensional, seperti memasukkan balon ke dalam shunt melalui suatu kateter

Ria Agustriana‐FKUII07| 26 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 21/28

 

atau pembedahan, biasanya diperlukan untuk mengoreksi kelainan ini. Untuk 

kasus malformasi vaskular pada beberapa kasus, ukuran dari malformasi dapat

dikurangi dengan memasukkan emboli koagulatif (melalui kateter) ke dalam satu

atau lebih dari arteri yang memperdarahinya sebelum dilakukan pengobatan

bedah saraf (deGroot & Chusid, 1991).

2.6.4.  Perawatan konservatif Penderita Trauma Kepala Berat 

Bila tidak ada indikasi untuk tindakan intervensi operatif, penderita

dirawat secara konservatif, meliputi observasi perawatan diruangan:

a.  Observasi tingkat kesadaran

Observasi dilakukan dengan acuan Glasgow Coma Scale (GCS).

Bila selama observasi GCS meningkat berarti keadaan klinis membaik,

observasi diteruskan. Bila GCS menetap atau bahkan menurun harus dicari

kausanya. Bila ada kelainan ekstrakranial, kelainan tersebut dikoreksi dulu

dan observasi diteruskan. Bila setelah koreksi kelainan ekstrakranial

keadaan klinis tidak kembali membaik atau penurunan GCS tersebut bukan

disebabkan ekstrakranial sebelumnya, maka harus dilakukan diagnostik CT

Scan kepala ulang untuk memastikan apakah ada kelainan intrakranial

sebagai penyebab penurunan GCS (Ghofir.A, 2007).

b.  Status neurologis

Observasi tanda klinis penurunan status neurologis meliputi:

1.  Saraf kranialis

Pupil: ukuran, dilatasi satu sisi atau penurunan reflek cahaya.

2.  Status motorik 

Apakah ada parese atau paralise satu sisi.

3.  Reflek patologis atau fisiologis

Bila terjadi perubahan status neurologis, perlu diagnostik CT Scan

kepala ulangan.

c.  Tanda vital

1.  Menjaga agar perrusi jaringan otak tetap terjamin baik 

dengan mengusahakan sirkulasi yang stabil, level tekanan darali

Ria Agustriana‐FKUII07| 27 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 22/28

 

sistolik 100-120 mmHg diastolik 60-80 mmHg, dan tekanan darah

mean arterial/mean arterial pressure (MAP): 80-90 mmHg.

2.  Observasi respon cashing: hipertensi, bradikardi, perubahan pola

nafas disertai nyeri kepala bertambah, muntah vertigo harus curiga

adanya lesi masa intrakranial.

3.  Perawatan pernafasan memerlukan perhatian khusus, karena

merupakan faktor yang penting. Bila terjadi hipoksia akan sangat

mempengaruhi metabolisme otak. Ventilasi yang adekuat dengan

variabel PCO2: 25-35 mmHg, PO2: 80-110 mmHg dan saturasi lebih

dari 95%.

4.  Fisioterapi nafas, perawatan trakeostomi dan nebuliser secara teratur

dan periodik (Ghofir.A, 2007).

Sedangkan untuk penanganan defisit neurologis menurut Rab

(2007) pada prinsipnya adalah sebagai berikut:

1.  Kontrol MAP antara 90 dan 100 mmHg, pertahankan tekanan darah

sistol diatas 100 mmHg.

2.  Pertahankan PaCO2 antara 25 sampai 35 mmHg.

3.  Pertahankan PaO2 diatas 100 mmHg.

4.  Pertahankan pH antara 7,3 sampai 7,6.

5.  Kurangi kecepatan metabolisme serebral oksigen (CMRO2)

dengan imobilisasi pasien dengan sedatif dan paralitik.

6.  Pertahankan nilai darah sebagai berikut:

a.  Hematokrit, 30 % sampai 40 %.

b.  Elektrolit, dalam batas normal.

c.  Plasma koloid dengan tekanan osmotic diatas 15 mmHg.

d.  Albumin diatas 3 g/ 100 mL.

e.  Serum osmolalitas antara 280 sampai 315 mOsm/ L.

f.  Glukosa antara 100 sampai 300 mg/ 100 mL.

7.  Pertahankan normotermi atau sedikit hipotermi untuk interval waktu

yang pendek.

Ria Agustriana‐FKUII07| 28 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 23/28

 

8.  Monitor status susunan saraf pusat (CNS) dengan skala Glasgow

Coma Scale, EEG dan CT Scan. 

d.  Posisi penderita

1.  Posisi penderita dengan kepala dinaikkan 30 derajat akan

mernperbaiki drainasi darah vena dan cairan serebrospinal, tanpa

mengganggu aliran darah otak dan memfasilitasi penurunan

intrakranial.

2.  Perubahan posisi tubuh miring kanan dan kiri secara periodik setiap 2

 jam, untuk membantu fisioterapi nafas dan mencegah retensi sputum

dan dekubitus (Ghofir, 2007).

e.  Cairan, pemberian kalori, dan obat-obatan

1.  Penderita cedera otak dalam keadaan koma, pemberian cairan

elektrolit dan kalori untuk mencukupi kebutuhan metabolisme.

2.  Hari I dan II dapat diberikan cairan isotonis glukosa 5% ½ saline 1,5

cc/kg BB/jam.

3.  Mulai hari III bila retensi lambung kurang dari 100cc/24jam, mulai

diberikan cairan enteral glukosa 5% 6 x 50cc dengan selang

nasogastrik ukuran nomor 10, kemudian secara bertahap pelan-pelan

dinaikkan sampai mencapai kalori 2500 kalori/hari.

4.  Bila suhu tubuh terjadi kenaikan, maka setiap kenaikan 1 °C

kebutuhan cairan dinaikkan 10-15%

5.  Bila diprediksi pemberian cairan parenteral membutuhkan jangka

waktu yang lama, sejak awal dipikirkan pemasangan vena sentral

(Ghofir.A, 2007).

Penatalaksanaan untuk edema serebri traumatik menurut

Purwadianto dan Sampurna (2000) meliputi:

1.  Jika penderita tak sadar, perawatan dan tindakan seperti pada

penderita koma dengan memperhatikan intake cairan tidak boleh

melebihi 800 cc dalam 24 jam; pembatasan ini jangan melebihi

3-4 hari untuk menghindarkan terjadinya dehidrasi. Lakukan

Ria Agustriana‐FKUII07| 29 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 24/28

 

observasi yang ketat terhadap tanda-tanda vital, kesadaran dan

gejala-gejala lainnya.

2.  Pengobatan untuk mengurangi edem otak. Berikan kortikosteroid,

yaitu deksametason dengan dosis awal 10 mg intravena yang diikuti

dengan 5 mg tiap 6 jam untuk hari I dan II. Selanjutnya dosis

dikurangi secara berangsur yaitu pada hari III 5 mg iv tiap 8 jam, hari

ke IV 5 mg iv tiap 12 jam dan hari ke V 5 mg iv sekali saja. Dapat

 juga diberikan gliserin 3 x 60-75 cc/24 jam secara oral.

3.  Keluhan-keluhan lain diobati secara simtomatik.

Begitu juga penatalaksanaan di atas bagi kontusio serebri ditambah

dengan mengatasi suhu yang tinggi dengan pemberian antipiretik. Obat-

obat lain yang berguna untuk memperkuat dinding pembuluh darah

Pemberian cairan harus tidak menimbulkan peninggian tekanan

intrakranial. Cara lain untuk menurunkan tekanan intrakranial yakni

dengan pemberian diuretik manitol yang merupakan lanitan hiperosmolar

intravaskular yang efektif untuk trauma kepala terutama pada pasien-

pasien yang akan dioperasi dengan dosis 1 g/kg berat badan diberikan

secara cepat. Tidak dianjurkan pemberian furosemid. Pada prinsipnya tiap

kasus trauma kepala harus dilakukan usaha mempertahankan fungsi (A)

airway, (B) breathing, (C) circulation, dan (D) disability neurologis yang

kemungkinan terdapatnya fraktur kolumna servikalis dan (E) exposure

untuk melihat secara keseluruhan pada tubuh akibat trauma. Setelah

tindakan darurat ini dapat diatasi barulah diadakan pemeriksaan kausa

prima untuk mengetahui penyebab dari gawat darurat ini (Rab, 2007).

Pada hematoma subgaleal perlu diberi baut yang menekan dan bila

teraba lunak dapat dipungsi untuk mengeluarkan darah yang cair.

Penatalaksanaan komosio serebri bersifat simtomatis dengan mobilisasi

secepatnya setelah keluhan-keluhan menghilang, begitu juga terhadap

edema serebri traumatik yang hanya perlu istirahat dan pengobatan

simtomatis (Markam cit. Harsono, 2005).

Ria Agustriana‐FKUII07| 30 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 25/28

 

f.  Suhu tubuh

Suhu tubuh yang diukur adalah suhu rektal. Kenaikan suhu tubuh

akan meningkatkan metabolisme yang dapat disebabkan oleh beberapa hal:

1.  Hipovolemia atau dehidrasi.

2.  Infeksi: plebitis, pneumonia

3.  Kelainan intrakranial: kelainan hipotalamus, batang otak, hematoma

intraventrikel.

4.  Reaksi transfusi.

Terapi untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh meliputi: koreksi

kekurangan cairan, kompres es atau alkohol, antipiretik atau antibiotik 

yang memadai.

g.  Keadaan gelisah

Keadaan penderita gelisah dapat disebabkan kelainan intrakranial

atau akibat keadaan ekstrakranial. Kausa gelisah harus segera dicari dan

 jangan penderita dibiarkan dalam keadaan gelisah. Bila kelainan intrakranial

telah disingkirkan, penderita kemudian diberikan tranquiliser misalnya

injeksi klorpromasin intramuskular (Ghofir, 2007).

h.  Kejang

Serangan kejang terjadi karena iritasi atau kerusakan serebral.

Tetapi profilaksis anti kejang pada penderita trauma kepala jarang

digunakan di Eropa, tetapi secara rutin diberikan oleh pusat-pusat bedah

saraf Amerika. Obat yang sering digunakan adalah diazepam, phenitoin,

phenobarbital dan asam valproat (Ghofir.A, 2007).

i.  Miksi dan defekasi

Penderita trauma kepala berat secara rutin dilakukan pemasangan

kateter:

1.  Untuk memonitor keseimbangan cairan.

2.  Mencegah gelisah akibat retensi urin.

3.  Menjaga kebersihan kulit atau tempat tidur.

4.  Dengan pemberian terapi manitol akan menyebabkan diuresis

(Ghofir.A, 2007).

Ria Agustriana‐FKUII07| 31 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 26/28

 

 j.  Perawatan kulit dan mata

1.  Perawatan kulit bertujuan mencegah dekubitus dengan perubahan posisi

sacara periodik dan pemasangan bantalan air pada bagian tubuh yang

menahan beban berat tubuh.

2.  Penderita dekubitus rentan terjadi infeksi dan kehilangan serum

albumin.

3.  Perawatan mata pada penderita trauma kepala penting dilakukan,

karena sering disertai gangguan menutup mata yang menyebabkan

rentan terjadi keratitis.

4.  Diupayakan selalu memberikan salep antibiotik topikal mata, menutup

mata dengan kasa steril atau tarsoraphi (Ghofir.A, 2007).

k.  Monitor tekanan intrakranial (TIK)

1.  Monitor tekanan intrakranial dan tekanan darah secara kontinyu dengan

tujuan mempertahankan tekanan perfusi serebral diatas 60-70 mmHg

dan tekanan intrakranial kurang dari 20-25 mmHg.

2.  Monitor tekanan intrakranial dapat untuk fasilitasi deteksi awal lesi

masa intrakranial, tetapi rasional penurunan tekanan intrakranial dan

membantu untuk memprediksi prognosis penderita trauma kepala

(Ghofir.A, 2007).

2.7. Pencegahan Primer Trauma Kepala

Albenson-Mitchell (2007) memberikan focus utama untuk pencegahan

trauma kepala yaitu dengan pengetahuan epidemiologi trauma kepala

memungkinkan para perawat professional untuk mengidentifikasi faktor-faktor

resiko dan untuk merencanakan masyarakat dan rumah sakit yang berbasis strategi

pencegahan primer.

Laporan dari Denmark dan dari AS mengurai program pencegahan utama.

Program pencegahan utama ini memusatkan pada penceghan KLL, kecelakaan

olahraga, jatuh, yang terutama sekali pada orang-orang tua, mabuk, pengemudian,

dan tindak kekerasan dan pelecehan anak. Di UK, bentuk pencegahan kecelakaan

Ria Agustriana‐FKUII07| 32 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 27/28

 

utama merupakan bagian dari strategi untuk keselamatan hidup (Albenson-

Mitchell, 2007).

Basso (2001) menyatakan kampanye bagi negara berkembang dan negara

yang sedang berkembang untuk mengurangi insidensi, prevalensi dan mortalitas

trauma kepala. Mereka mendukung suatu kampanye diseluruh dunia untuk 

menyakini bahwa kebijakan pemerintah dapat mendorong kearah penurunan

morbilitas dan mortalitas (Albenson-Mitchell,2007).

Karena terjadinya trauma kepala bervariasi menurut jenis kelamin dan

umur, Kleiven (2003) menyatakan bahwa strategi pencegahan diperlukan untuk 

menunjuk kategori tertentu. Sebagai contoh, kecelakaan yang berhubungan

dengan alkohol terlebih sering pada akhir pekan,oleh karena itu, polisi perlu

meningkatkan aktivitas pencegahan mereka pada waktu ini (Albenson-Mitchell,

2007).

Beberapa penulis mengakui program pencegahan primer sudah

mendorong mengurangi trauma kepala pada KLL. Sebagai contoh, memakai helm

oleh pengendara sepeda motor dapat mengurangi resiko trauma kepala serius atau

kematian dalam suatu kecelakaan(Albenson-Mitchell, 2007). Pengguna helm

bermanfaat ketika bersepeda, mengendarai kuda, meluncur dan rollerblading

(Doster cit. Albenson-Mitchell, 2007).

Nekamura (2002) menyimpulkan bahwa faktor selain dari sabuk 

pengaman dan helm juga penting untuk mencegah kematian dalam kaitan dengan

KLL seperti taat pada rambu-rambu lalu lintas, dan sebagainya. Studi spesifik 

  juga menuntut untuk mengevakuasi efek perundang-undangan berhubungan

dengan keselamatan (Sallee et al., cit. Albenson-Mitchell, 2007).

Ria Agustriana‐FKUII07| 33 

5/13/2018 Chapter3 BAB II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter3-bab-ii 28/28

 

2.8. Kerangka Konsep Penelitian

Ria Agustriana‐FKUII07| 34 

Trauma Kepala

Outcome: 

•  Hidup

•  Meninggal

Faktor-faktor yang

mempengaruhi:

•  Jenis kelamin

•  Umur

•  Mekanisme penyebab

Gambaran klinis

 

2.9. Hipotesis

1.  Pada laki-laki lebih banyak mengalami trauma kepala dibandingkan dengan

wanita.

2.  Usia terbanyak mengalami trauma kepala pada usia produktif, yakni antara

15-40 tahun.

3.  Penyebab terbanyak terjadinya trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas

(KLL).

4.  Gambaran klinis terbanyak dalam trauma kepala adalah pusing.

5.  Diagnosis terbanyak dalam trauma kepala adalah cedera kepala ringan

(CKR).