36
HUKUM PIDANA Dosen : 1. Karjoso Kasimoen, S.H. 2. Lies Sulistiani, S.H., MH. 3. Somawidjaja, S.H. PENGERTIAN Ada 2 pandangan, yaitu : 1. Pandangan monistis/ monoistis (pandangan kuno), 2. Pandangan dualistis (pandangan modern). Ad l): Pandangan monistis/ monoistis (pandangan kuno) Aliran ini dipengaruhi oleh aliran klasik yang semata-mata menitikbcratkan pada perbuatan. Tokohnya: Mezger, dll. Hukum Pidana adalah aturan hukum yang mengikat pada pcrbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dengan akibat berupa pidana. Jadi inti dari pengertian monoistis di sini mengandung 2 hal pokok, yaitu: 1. Perbuatan (perbuatan orang) yang memenuhi syarat-syarat tertentu (yang memenuhi isi undang-undang). Jadi kesimpulan dari pokok pertama adalah adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, sedang orang yang melakukan dapat dijatuhi pidana. 2. Pidana dimaksudkan sebagai sanksi dalam Hukum Pidana. Dalam pidana modern, sanksi dalam Hukum Pidana dapat berupa 2 macam : a. Straf - pidana; dimaksudkan dengan nestapa/penderitaan. b. Maatzegel - tindakan; tidak menggambarkan nestapa melainkan semata- mata ditujukan untuk prevensi (pencegahan), oleh karena itu menurut pandangan monistis Hukum Pidana mengacu pada perbuatan. Kesan dari pandangan monistis ini adalah bahwa seakan-akan orang yang telah melakukan perbuatan, dalam hal ini tindakan pidana harus dipidana. Pandangan ini Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact – Hukum Pidana 1

CIC Hukum Pidana Sari Kuliah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Campus in Compac

Citation preview

  • HUKUM PIDANA

    Dosen :

    1. Karjoso Kasimoen, S.H.

    2. Lies Sulistiani, S.H., MH.

    3. Somawidjaja, S.H.

    PENGERTIAN

    Ada 2 pandangan, yaitu : 1. Pandangan monistis/ monoistis (pandangan kuno),

    2. Pandangan dualistis (pandangan modern).

    Ad l): Pandangan monistis/ monoistis (pandangan kuno)

    Aliran ini dipengaruhi oleh aliran klasik yang semata-mata menitikbcratkan pada perbuatan.

    Tokohnya: Mezger, dll. Hukum Pidana adalah aturan hukum yang mengikat pada pcrbuatan yang memenuhi

    syarat-syarat tertentu dengan akibat berupa pidana.

    Jadi inti dari pengertian monoistis di sini mengandung 2 hal pokok, yaitu: 1. Perbuatan (perbuatan orang) yang memenuhi syarat-syarat tertentu (yang

    memenuhi isi undang-undang).

    Jadi kesimpulan dari pokok pertama adalah adanya perbuatan yang dilarang dan

    diancam dengan pidana, sedang orang yang melakukan dapat dijatuhi pidana.

    2. Pidana dimaksudkan sebagai sanksi dalam Hukum Pidana.

    Dalam pidana modern, sanksi dalam Hukum Pidana dapat berupa 2 macam :

    a. Straf - pidana; dimaksudkan dengan nestapa/penderitaan.

    b. Maatzegel - tindakan; tidak menggambarkan nestapa melainkan semata-

    mata ditujukan untuk prevensi (pencegahan), oleh karena itu menurut

    pandangan monistis Hukum Pidana mengacu pada perbuatan.

    Kesan dari pandangan monistis ini adalah bahwa seakan-akan orang yang telah melakukan perbuatan, dalam hal ini tindakan pidana harus dipidana. Pandangan ini

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    1

  • menyatukan tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana dari orang yang

    melakukan tindakan.

    Ad 2): Pandangan dualistis (pandangan modern)

    Pandangan ini dipengaruhi oleh aliran neoklasik. Tokohnya: Pompe, Prof. Moeljatno, dll. Pandangan ini memisahkan tindak pidana di satu pihak dengan pertanggungjawaban

    di lain pihak. Adanya pemisahan ini mengandung konsekuensi bahwa untuk

    mempidana seseorang tidak cukup kalau orang tersebut hanya telah melakukan

    tindak pidana saja melainkan masih dibutuhkan satu syarat lagi yaitu apakah orang

    tersebut terbukti kesalahannya (ini menyangkut pertanggungjawaban pidana);

    mengandung asas kesalahan.

    OIeh karena itu pandangan ini menyatakan bahwa pidana mengacu pada orang tanpa melupakan perbuatannya, yang dianut saat ini dan yang akan datang.

    Pandangan dualistis nampak pada definisi Hukum Pidana menurut Moeljatno yaitu : Hukum Pidana adalah bagian dari hukum yang memberikan aturan-aturan dan

    dasar-dasar :

    1. Perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan dan dilarang. Kepada yang

    melanggar larangan dikenakan sanksi pidana. Berkenaan dengan perbuatan

    pidana.

    2. Kapan dan dalam hal apa pengenaan atau penjatuhan pidana dapat dikenakan

    kepada orang yang melanggar larangan tersebut. Bcrkenaan dengan

    pertanggungjawaban.

    Tegasnya bagian pertama definisi Moeljatno itu menyangkut tindak pidana

    (criminal act), bagian keduanya menyangkut pertanggungjawaban tindak pidana

    (responsibility).

    Bagian 1 dan 2 disebut Hukum Pidana materiil (substantie/criminal law).

    Jenis-jenis Hukum Pidana

    Antara lain :

    1. a. Hukum Pidana materiil,

    Isinya meliputi norma-norma dari perbuatan yang dapat dipidana.

    b. Hukum Pidana formil/Hukum Acara Pidana.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    2

  • Menggambarkan hak negara beserta aparat penegak hukum dalam melakukan

    penuntutan perkara pidana, menjatuhkan pidana, dan melakukan pidana.

    Di dalam bahasa latin ; Hukum Pidana materiil (ius poenale), Hukum Pidana

    formil (ius Poeniendi).

    2 a. Hukum Pidana umum,

    Berlaku untuk setiap orang, contoh : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    (KUHP). Sifatnya sudah dikodifikasi dan sekaligus diunifikasi.

    b. Hukum Pidana khusus.

    Berlaku untuk orang-orang tertentu, beserta yang dipersamakan, contoh KUHP

    Tentara, Hukum Pidana fiscal (pajak), Hukum Pidana ekonomi. Sifatnya juga

    sudah dikodifikasi.

    3. a. Hukum Pidana tertulis,

    Contoh: KUHP, KUHAP, UU Psikotropika, dll.

    b. Hukum Pidana tidak tertulis.

    Hukum Pidana Adat, masih diberlakukan untuk wilayah-wilayah tertentu saja

    seperti : Bali, Lombok, Makasar, berdasarkan UU Darurat No. l tahun 1951,

    sebagai pengganti Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat.

    4. a. Hukum Pidana yang berlaku untuk seluruh rakyat yang dibentuk oleh

    pembentuk undang-undang di pusat,

    b. Hukum Pidana lokal yang dibuat oleh Daerah Tingkat 1 dan Daerah Tingkat II.

    5. a. Hukum Pidana nasional,

    Karya murni dari bangsa yang sudah merdeka.

    b. Hukum Pidana internasional.

    Sumber Hukum

    Antara lain : (UU); KUHP, KUHAP, UU Korupsi, dsb., Hukum Pidana Adat, yurisprudensi.

    Tujuan Hukum Ptdana

    Meliputi: - Tujuan umum :

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    3

  • Seperti halnya ilmu hukum lainnya maka Hukum Pidana mempunyai tujuan

    umum yaitu menyelenggarakan tertib masyarakat.

    - Tujuan khusus :

    Menanggulangi kejahatan maupun mencegah terjadinya kejahatan dengan cara

    memberikan sanksi yang sifatnya keras dan tajam sebagai perlindungan

    terhadap kepentingan-kepentingan hukum yaitu orang (martabat, jiwa, harta,

    tubuh. dsb.), masyarakat dan negara.

    Hukum Pidana dengan sanksi yang keras dikatakan mempunyai fungsi yang subsider. Artinya apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakan

    Hukum Pidana, sering juga dikatakan Hukum Pidana itu merupakan ultimum

    remedium atau obat terakhir.

    Adakalanya sanksi Hukum Pidana merupakan hal yang tragis, singkatnya Hukum Pidana itu mengiris dagingnya sendiri. Ia merupakan pedang bermata dua, artinya

    bahwa Hukum Pidana yang melindungi kepentingan hukum apabila ternyata

    kepentingan hukum itu sendiri dilanggar maka sanksi pidana tidak pilih bulu.

    Ada yang mengatakan Hukum Pidana itu merupakan hukum sanksi (menurut Utrecht), artinya Hukum Pidana tidak mengadakan norma-norma baru melainkan

    norma-norma yang sudah ada pada hukum-hukum lainnya tetap dipertahankan

    dengan pemberian sanksi pidana. Sudarto ; contoh-contoh tadi dimasukkan dalam

    kelompok perundang-undangan lain dengan sanksi pidana.

    Pembaharuan Hukum Pidana

    Tokoh penting dalam pembaharuan hukum Pidana, diantaranya adalah Sudarto, Barda Nawawi.

    Nama asli KUHP yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie/WvSNI. Kodifikasi tahun 1915, unifikasi tahun 1918, tahun 1946 dengan UU No 1 berubah

    menjadi KUHP.

    Hal-hal yang bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka dihapuskan, seperti ; perbudakan, pengemisan dan gelandangan, dan perang tanding.

    Dengan UU No. 20 tahun 1946 pemerintah RI memasukan jenis pidana baru, yaitu pidana tutupan yang khusus ditetapkan bagi para politikus yang saat itu menentang

    pemerintahan dwi tunggal. Pidana ini hanya berlaku sampai tahun 1958 yaitu

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    4

  • berdasarkan UU No. 73 tahun 1958 tentang unifikasi Hukum Pidana materiil oleh

    karena saat itu di Indonesia ada 2 KUHP yaitu : KUHP untuk RI dengan ibukota

    Yogyakarta dan KUHP Federal dengan ibukota Batavia. Dualisme ini berakhir

    tahun 1958 dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 73 Tahun 1958 tersebut.

    Pada tahun 1960 muncul UU No. 1 Tahun 1960, 3 pasal kejahatan yaitu 359 dan 360 tentang menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan, dan pasal 180; dari

    1 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara, dari kurungan 9 bulan menjadi kurungan 1

    tahun. Dengan Perpu No. 16 tahun 1960, pidana denda dilipatgandakan.

    Ada 3 sasaran pembaharuan Hukum Pidana antara lain : 1. Hukum Pidana materiil (KUHP) belum tuntas karena belum memiliki apa yang

    disebut dengan hukum nasional.

    2. Hukum Pidana formil (KUHAP) sudah tuntas dengan keluarnya UU No. 8 tahun

    1981 tentang Hukum Acara Pidana.

    3. Hukum pelaksanaan pidana sudah tuntas dengan keluarnya UU No. 12 tahun

    1995 tentang Lapas (Lembaga Pemasyarakatan).

    Dari 3 sasaran tersebut menggambarkan bahwa pembaharuan tidak berjalan secara sistematis. Cara untuk melakukan pembaharuan biasanya dengan cara kriminalisasi

    yaitu menciptakan tindak pidana baru baik yang diselipkan dalam KUHP atau yang

    dibuat khusus dalam KUHP yang semula tidak ada dalam KUHP.

    Prof. Muladi menyatakan bahwa kriminalisasi sebagai cara pembaharuan Hukum Pidana bisa dilaksanakan melalui pilihan legislatif berupa evolusi dan kompromis.

    Evolusi yaitu menyelipkan pasal-pasal baru di dalam KUHP, contoh : dalam KUHP pasal 33 A (grasi), pasal 142 A, pasal 156 A, pasal 303 Bis, sedangkan yang dibuat

    di luar KUHP dengan UU misalnya: UU Korupsi, UU Tindak Pidana Ekonomi, UU

    Narkotika, UU Psikotropika, UU Senjata Api Gelap, dll. Kompromis yaitu

    menciptakan delik baru dalam KUHP dalam Bab baru tentang jenis kejahatan baru,

    yaitu Bab 31 A mengatur tentang kejahatan penerbangan dari pasal 479 A s/d 479 R

    AIasanalasan pembaharuan Hukum Pidana (menurut Sudarto): 1. Alasan politis,

    Jati diri negara merdeka dengan memiiiki KUHP nasional

    2. Alasan sosiologis,

    Memasukkan nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia ke dalam KUHP.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    5

  • 3. Alasan kebutuhan praktis,

    Kebutuhan untuk menunjang praktek, penafsiran/penerjemahan KUHP Belanda

    secara subjektif menghambat praktek.

    Batas-Batas Berlakunya

    Batas-batas berlakunya UU Pidana menurut waktu dan tempat : 1. Tempat terjadinya tindak pidana (lex locus delicti); pasal 2 s/d 9 KUHP.

    2. Waktu terjadinya tindak pidana (lex tempiis delicti); pasal 1 ayat (2) KUHP.

    (1) dan (2) ini penting bagi Hukum Acara Pidana dalam hal pembuatan surat dakwaan Jaksa, dalam surat dokumen dakwaan jaksa wajib dicantumkan (1) dan (2),

    apabila kedua hal ini tidak dicantumkan maka akibat hukumnya dakwaan batal demi

    hukum.

    Ad 1): Tempat terjadinya tindak pidana (lex locus delicti)

    Tempus delicti penting dipelajari karena berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan : 1. Apakah saat perbuatan dilakukan, UU-nya sudah ada apa belum?

    2. Apakah saat perbuatan dilakukan orang yang melakukan sudah dewasa atau

    masih di bawah umur?

    Ini penting karena berkaitan dengan badan peradilan mana yang berhak

    mengadili.

    3. Pada saat perbuatan dilakukan pelakunya dalam keadaan tertangkap tangan/

    tertangkap basah. Ini penting dalam hal menentukan penahanan sementara bagi

    orang tersebut.

    Dasar hukum tempus delicti diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang di dalamnya terkandung asas yang fundamental, yaitu asas legalitas (legaliteit beginsel/principle

    of legality); pasal 1 ayat (1) KUHP disebut nullum delictum nulla poena sine

    proevina lege poenali.

    KUHAP mengenal asas, yaitu Jaksa wajib menuntut seseorang apabila ada sangkaan kuat orang itu telah melakukan tindak pidana. Asas legalitas dalam hukum acara

    dikecualikan dengan adanya asas yang dimiliki oleh Jaksa Agung saja, yaitu asas

    oportunitas, artinya kewajiban untuk menuntut perkara pidana dapat dipeti-eskan

    apabila ini terjadi untuk kepentingan umum.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    6

  • Definisi pasal 1 KUHP tentang legalitas dapat disimpulkan dalam 2 bagian pokok, yaitu:

    1. Tindak pidana harus dirumuskan dan diatur dalam UU,

    Konsekuensinya suatu perbuatan yang belum diatur dalam UU berarti bukan

    tindak pidana.

    Pengecualian terhadap konsekuensi ini mengenai Hukum Adat yang sifatnya

    tidak tertulis yang berlaku hanya bagi daerah tertentu seperti: Bali, Makasar.

    NTB, berdasarkan UU No. 1 Drt/1951 pasal 5 ayat 3 (b), bisa diadili di

    Pengadilan Negeri sebagai pengganti dari Pengadilan Swapraja dan Pengadilan

    Adat.

    Terhadap pokok yang pertama Utrecht memberikan catatan :

    a. Asas legalitas lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan individu

    dan menelantarkan kepentingan kolektif.

    b. Bagi mereka yang mempunyai pandangan individualistis terhadap Hukum

    Pidana maka asas legalitas inilah menjadi jaminannya.

    c. Adanya asas legalitas tidak memberi keleluasaan bagi Hakim pidana untuk

    mengadili perkara yang sifatnya patut dipidana (bukan dapat dipidana).

    Patut dipidana: sirafwaardig

    Dapat dipidana: strafhaar

    2. Perundang-undangan harus ada sebelum pcrbuatan dilakukan;

    Dengan rasio/dasar pemikiran dari pembentuk Undang-undang;

    a. Untuk kepastian hukum dan mengantisipasi perbuatan sewenang-wenang

    dari penguasa,

    b. Adanya UU yang mencantumkan sanksi pidana dimaksudkan pula untuk

    mencegah terjadinya kejahatan.

    Ini berhubungan dengan teori An selm van Feuerbach (Jerman)/ teori

    paksaan psikis, dalam Moeljatno disebut pengereman batin. Ini pun

    berhubungan dengan politik Hukum Pidana pembentuk UU.

    Pasal 1 ayat 2 KUHP : Apabila terjadi perubahan perundang-undangan setelah terjadi perbuatan dilakukan

    maka terhadap terdakwa haruslah dikenakan ketentuan yang paling menguntungkan.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    7

  • Keuntungan di sini bisa UU yang lama atau bisa juga UU yang baru pada waktu ia diadili.

    Hal ini berhubungan dengan hukum transito/ hukum peralihan, karena dalam kasus tersebut UU yang lama lebih menguntungkan maka lalu dikatakan di sini berlaku

    retro aktif (berlaku surut/ mundur).

    Mengenai masalah pasal 1 ayat 2 KUHP ini ternyata tidak semua sarjana menyetujuinya, ada yang menentang dan ada pula yang menyarankan agar pasal 1

    ayat 2 KUHP tersebut ditiadakan saja karena dalam prakteknya menimbulkan

    ketidakadilan (menurut Hazeurinkel Suringa).

    Kalau dibandingkan ketentuan pasal 1 KUHP dengan Inggris, maka Inggris tidak mengenal rumusan seperti KUHP tersebut, sehingga kalau ada perubahan, maka UU

    yang dipakai adalah tetap yang lama dengan alasan demi kepastian hukum. Lain

    halnya dengan Swedia, kalau ada perubahan UU yang dipakai adalah yang baru

    dengan alasan UU baru sifatnya lebih baik daripada yang lama.

    Walaupun pasal 1 ayat 2 KUHP memunculkan banyak teori namun yang dipakai dalam prakteknya adalah teori yang lebih menguntungkan terdakwa, kecuali yaitu

    apabila suatu peraturan yang dibuat oleh pembentuk UU hanya berlaku untuk masa

    temporer saja maka di sini bukanlah perubahan perundang-undangan (perubahan

    UU yang bersifat temporer bukan termasuk pengertian perubahan dalam pasal 1

    ayat 2 KUHP).

    Ad 2): Waktu terjadinya tindak pidana (lex tempus delicti)

    Locus delicti diatur dalam pasal 2 s/d 9 KUHP, penting dipelajari karena berhubungan dengan hal-hal :

    1. Apakah perundang-undangan kita berlaku untuk warga negara Indonesia yang

    melakukan tindak pidana di luar negeri,

    2. Kejaksaan Negeri mana dan Pengadilan Negeri mana yang berhak menuntut dan

    mengadili seseorang.

    Dikenal adanya beberapa asas: 1. Asas territorial

    Artinya KUHP berlaku untuk setiap orang baik ia WNI maupun WNA yang

    melakukan tindak pidana di dalam wilayah teritorial RI.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    8

  • Pasal 2 KUHP : Untuk terjadinya tindak pidana di wilayah RI tidak perlu selalu

    pelaku ada di wilayah RI, bisa juga di wilayah asing tapi korban ada di wilayah

    RI, maka ia dinyatakan bersalah melakukan kejahatan di wilayah teritorial RI.

    Kemudian pasal 2 KUHP ini diperluas dengan adanya pasal 3 KUHP : Ini

    berlaku untuk WNA melakukan kejahatan di atas kapal RI (dulu kapal itu hanya

    di air sedangkan sekarang termasuk di udara).

    2. Asas personal/ asas nasional aktif

    Pasal 5 KUHP: KUHP Indonesia berlaku untuk warga negara yang melakukan

    kejahatan di luar negeri.

    Pasal 5 ini dibatasi oleh pasal 6 yang menyatakan perbuatan yang dilakukan

    menurut hukum Indonesia dinyatakan sebagai kejahatan sedangkan di luar

    negeri tempat perbuatan itu dilakukan dinyatakan sebagai dapat dipidana.

    3. Asas nasional pasif

    Asas ini disebut juga dengan asas perlindungan karena bukan saja melindungi

    kepentingan nasional RI tapi juga kepentingan negera asing.

    4. Asas universal

    Dalam asas universal ini terkandung pengertian menyelenggarakan tertib dunia.

    Locus delicti menganut pula beberapa teori, antara lain : 1. Teori perbuatan; dilakukannya aktivitas perbuatan,

    2. Teori perbuatan diluaskan dengan alat; di sini dilihat tempat alat bekerja,

    3. Teori akibat; tempat akibat itu terjadi.

    PERBUATAN PIDANA

    Ada 3 inti perbuatan pidana, antara lain: 1. Tindak pidana,

    2. Pertanggungjawaban,

    3. Pidana dan pemidanaan.

    Tindak Pidana (Strafbaar Feit)

    Pengertian dari tindak pidana menurut dualistis: Tindak pidana tidak mencakup pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang/tidak

    boleh dilakukan dan kepada yang melanggar dikenakan sanksi. Tindak pidana ini

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    9

  • merupakan pengertian yuridis sifatnya dapat dipidana. Beda dengan perbuatan

    jahat, kalau perbuatan jahat merupakan perbuatan dalam kriminologis sifatnya patut

    dipidana karena perbuatan tersebut belum diatur dalam UU tetapi masyarakat

    mencelanya.

    Yuridis : Undang-undang melarang, masyarakat mencela. Kriminologis : UU tidak melarang, masyarakat mencela.

    Tindak pidana (strafbaar feit) memiliki unsur-unsur : 1. Unsur objektif yaitu unsur yang tidak melekat pada diri pelakunya, bisa terdiri

    dari perbuatan, akibat sifat melawan hukum, syarat tambahan untuk mempidana

    seseorang hal yang memberatkan dari tindakan pidana.

    2. Unsur subjektif, yaitu unsur yang melekat pada diri orang yang berbuat,

    misalnya sengaja, niat, sepatutnya menduga (lalai), maksud, alpa, mengetahui.

    Tindak pidana dirumuskan dalam UU. Cara merumuskan UU: 1. Hanya menyebutkan norma-norma saja tanpa menyebutkan nama tindak pidana.

    2. Hanya menyatakan nama tindak pidananya saja tanpa unsur-unsur.

    Yang paling banyak dipakai adalah disamping mencantumkan unsur-unsur sekaligus kualifikasi (nama dari tindak pidana). Di luar KUHP dalam perundang-

    undangan pidana khusus, norma dan sanksi dipisah (tetap berlaku berdasarkan asas

    legalitas pasal 1 ayat 1).

    Tindak pidana memiliki unsur : 1. Perbuatan manusia,

    2. Perbuatan tersebut harus memenuhi rumusan delik,

    3. Bersifat melawan hukum: formil dan materil

    Ketiga ini merupakan bagian inti dari delik. Ada pula yang berpendapat bahwa

    perbuatan pidana memiliki unsur ke-4, yaitu tidak ada alasan pembenar.

    Ada 3 pandangan atas perbuatan pidana ini : 1. Prof. Moeljatno,

    Setiap perbuatan pidana harus ada sifat melawan hukum, sifat melawan hukum

    ini merupakan sifat yang mutlak harus ada, bila tak ada unsur ini maka

    putusannya berbunyi bebas. Jika tindak pidana terbukti, kesalahan/

    pertanggungjawaban tak ada maka putusannya adalah lepas.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    10

  • Tindak pidana (sifat melawan hukum) tak terbukti, maka jelas putusannya

    adalah bebas.

    2. Prof. Vrij.

    Apabila unsur-unsur itu/syarat dalam tindak pidana dirumuskan maka ini

    disebut bagian inti delik, dan apabila bagian inti delik ini tidak terbukti maka

    putusannya harus berbunyi dibebaskan. Sedangkan unsur-unsur yang tercantum

    di luar rumusan delik, misalnya asas-asas umum (masalah kesalahan) dan unsur

    ini tidak terbukti putusannya harus berbunyi dilepaskan.

    Menurut Prof. Vrij, terdapat :

    1). Inti (betendelen), bila ada dalam rumusan delik.

    2). Unsur (Elemen), bila tidak termuat dalam rumusan delik.

    Sedangkan yang dianut oleh kita bahwa (1) dan (2) menurut Prof. Vrij di atas

    adalah merupakan unsur delik.

    Bagian inti delik tidak terbukti, maka putusannya adalah bebas

    Sedangkan apabila sifat melawan hukum bukan merupakan inti delik karena

    tidak dirumuskan dalam delik, sedang sifat melawan hukum tersebut tidak

    terbukti maka putusannya adalah lepas, karena sifat melawan hukum di sini

    bukanlah inti delik. Hal ini sangat bertentangan dengan pandangan Prof.

    Moeljatno, bahwa sifat melawan hukum adalah mutlak, jadi putusan bebas

    diberikan apabila unsur sifat melawan hukum ini tak terbukti.

    3. Mahkamah Agung,

    Apabila seseorang yang melakukan tindak pidana tidak terbukti perbuatannya,

    artinya perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang dibenarkan secara

    melawan hukum, maka putusannya berbunyi dilepaskan. Sebaliknya apabila

    perbuatan tersebut terbukti sebagai tindak pidana namun perbuatan tersebut

    dapat dipertanggungjawabkan, artinya orang tersebut tidak mempunyai

    kesalahan maka putusannya berbunyi dibebaskan.

    Perbuatan (melawan hukum) terbukti, namun ada alasan pembenar, maka

    putusannya adalah lepas.

    Perbuatan terbukti, tapi tak mempunyai unsur kesalahan/ pertanggungjawaban,

    maka putusannya bebas.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    11

  • Hal ini bertentangan dengan pandangan Prof. Moeljatno, dimana putusan bebas

    hanya diberikan apabila tidak ada unsur sifat melawan hukum sedangkan

    menurut pandangan MA di atas bahwa perbuatan terbukti berarti sudah

    mengandung unsur sifat melawan hukum namun karena tidak mengandung

    kesalahan maka putusannya bebas.

    Dari 3 pandangan tersebut berpengaruh pada putusan : 1. Bebas (vrijsprach), Pasal l91(l)KUHAP.

    2. Lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rectuer volging).

    Pasal l91 (2) KUHAP.

    Sebagai subjek hukum tindak pidana, dalam KUHP menganut subjek hukum berupa orang/manusia sedangkan di luar KUHP menganut lebih dari satu objek hukum,

    tegasnya orang atau korporasi/badan hukum dalam KUHP pasal 59 mengatakan

    tentang badan hukum namun apa yang disebut dengan pasal tersebut hanya fictif

    saja seakan-akan badan hukum itu subjek saja, ini dapat dilihat lebih lanjut menurut

    pasal tersebut karena ternyata yang mempertanggungjawabkan adalah pengurus

    badan hukum tersebut. Dalam RUU KUHP temyata subjek Hukum Pidana di

    samping orang juga badan hukum.

    Dianutnya orang sebagai subjek hukum dalam KUHP dikarenakan Hukum Pidana masih menganut ajaran kesalahan pribadi seseorang artinya hanya orang yang

    bersangkutan saja yang harus mempertanggungjawabkan, karena itu di sini dalam

    pembuktiannya berlakulah ajaran kesalahan/ pertanggungjawaban.

    Jenis tindak pidana, antara lain : 1. Rechtsdelicten - mala perse (kejahatan), Sifat: Krimilogis.

    2. Wetsdelikten - mala qua prohibits (pelanggaran), Sifat: Yuridis.

    Konsep Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP tidak lagi membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran.

    Menurut dokrin perbedaan dari keduanya adalah : - Kuantitas (berat ringannya ancaman),

    - Kualitas (sifatnya).

    MvT (memorie van toelichting) tidak memberikan penjelasan tentang perbedaan antara kejahatan (buku II) dengan pelanggaran (buku III).

    Dalam RUU KUHP hanya ada 2 buku saja, yaitu: Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    12

  • 1. Buku I tentang Ketentuan Umum, dan

    2. Buku II tentang Tindak Pidana.

    Pelanggaran termuat dalam UU. Kejahatan ada yang termuat ada juga yang tidak termuat. Jenis tindak pidana lainnya adalah:

    1. Delik formil : esensinya adalah perbuatan (feit), menyangkut poging (ajaran

    percobaan).

    2. Delik materiil : esensinya adalah akibatnya, menyangkut causaliteit (ajaran

    hubungan sebab akibat).

    Dalam KUHP : Buku I. Ketentuan Umum (ps. 1 - ps 103),

    Buku II. Kejahatan (ps. 104 - ps 448),

    Buku III. Pelanggaran (ps. 489 - ps 569).

    Pasal 103 KUHP merupakan pasal yang sangat penting karena merupakan landasan hukum bagi terjadinya penyimpangan di luar KUHP.

    Pertanggungjawaban

    Hukum Pidana mengacu pada orang tanpa melupakan perbuatan. Pertanggungjawaban pidana dalam arti luas disebut kesalahan (ajaran kesalahan), ia

    mengacu pada satu asas pokok yang sifatnya tidak tertulis (karena tidak diatur

    dalam UU), yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).

    Jadi dalam peradilan pidana (Indonesia -Belanda) mengandung asas pokok penting yaitu :

    1. Unsur asas legalitas (legaliteit)\

    2 Unsur kesengajaan (opzet),

    3 Unsur alasan pembenar dan pemaaf.

    Ad 1): Unsur asas legalitas (legaliteit)

    Asas ini berlaku sebagai pegangan bagi Polisi dan Jaksa, sedangkan asas tiada pidana

    tanpa kesalahan dipegang oleh Hakim. Di dalam Hukum Pidana asas tidak tertulis ini

    dinyatakan dengan berbagai istilah hukum secara bervariasi :

    1. Geen straf zonder schuld,

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    13

  • 2 Nulla poena sine culpa,

    3 Kerine stafre sine schuld,

    4 Actus non facit reum russi mens sitrea,

    5 An act doesn't make a person guilty unless the mind is guilty.

    Walaupun sifatnya tidak tertulis namun eksistensinya dalam peradilan pidana diakui (pasal 6 ayat 2 UU No. 14 tahun 1970) tak ada suatu perbuatan pun yang dapat

    dipidana kecuali setelah hakim dalam persidangan meneliti bukti-bukti yang ada,

    berkeyakinan bersalah.

    Negeri Belanda sampai saat ini masih mengacu pada Hukum Pidana yang mengacu pada ajaran kesalahan (schuld strafrecht) baik itu untuk orang sebagai subjek

    hukum ataupun korporasi sebagai subjek hukum karena pada hakikatnya perbuatan

    korporasi ini dilakukan oleh orang.

    Berbeda dengan Indonesia, selagi subjeknya orang, ia menganut tiada pidana tanpa kesalahan.

    Apabila korporasi sebagai subjek hukum ia tidak menggunakan asas kesalahan melainkan berlakulah pertanggungjawaban secara langsung (strict liability), dasar

    pemikirannya untuk badan hukum sulit untuk dibuktikan kesalahannya sehingga

    cukup dilakukan pemidanaan pada perbuatan yang dilakukannya saja.

    Pertanggungjawaban pidana dalam arti seluas-luasnya tadi, ia mempunyai beberapa unsur atau syarat-syaratnya:

    1. Kemampuan bertanggung jawab,

    Jadi kemampuan bertanggung jawab itu bukan unsur tindak pidana melainkan

    hanya bagian saja dari pertanggungjawaban pidana.

    2. Adanya hubungan kausal antara pelaku dengan perbuatan yang dilakukan. Ini

    dapat berupa kesengajaan (intent, opzet, dolus) atau kealpaan (negligence.

    matatig. culpa).

    3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan/ tidak ada alasan pemaaf.

    Alasan pembenar : sifat melawan hukum hilang.

    Alasan pemaaf : kesalahan yang hilang.

    Kesamaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf adalah sama-sama

    menghapuskan pemidanaan.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    14

  • KUHP tidak mengatur penjelasannya yang ada hanya ketentuan tentang tidak

    mampu bertanggung jawab dalam pasal 44 KUHP, rumusan yang panjang ini

    dapat ditelaah dan disimpulkan dalam 2 hal :

    1. Yang disebut dengan deskriptif,

    2. Analitis: hakim menilai dari hasil descriptif ahli jiwa.

    Deskriptif menjadi tugas dari ahli jiwa, sedangkan hasil dari psikiater diberikan

    kepada hakim kemudian terjadilah penilaian oleh hakim bagaimana keadaan

    jiwa orang tersebut saat melakukan perbuatan (hakim menilai)

    Didalam praktek mengenai tidak mampu bertanggungjawab ada 2 pandangan ; 1. Apabila hakim ragu-ragu menentukan mampu bertanggung jawab atau tidaknya,

    orang tersebut tetap dipidana, dasar pemikirannya; kemampuan bertanggung

    jawab tetap ada kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

    2. Apabila ada keragu-raguan bagi hakim maka orang tersebut tidak dipidana,

    alasannya dalam hal ini hakim berpegang pada ketentuan yang sifatnya

    menguntungkan terdakwa (in dubio prorea).

    Masalah ketidakmampuan bertanggung jawab dalam kepustakaan Hukum Pidana berhubungan pula dengan ilmu kedokteran yang menyangkut penyakit jiwa.

    Seseorang pada dasarnya orang tersebut mampu bertanggung jawab namun dalam

    hal-hal tertentu yang menyangkut penyakit jiwanya menyebabkan orang tersebut

    tidak dipidana dengan perkataan lain, masalah ini yang dinamakan tidak mampu

    bertanggung jawab sebagian. Contoh:

    1. Kleptomania : secara insidentil ia mampu bertanggung jawab, ketika sembuh ia

    tidak dapat dipidana.

    2. Piromani ; kebiasaan seseorang melakukan pembakaran secara iseng.

    3. Klostropobi : ia punya penyakit jiwa dimana kalau masuk ruangan sempit ia

    akan mengamuk.

    4. Paranoid ; seorang yang merasa dikejar-kejar musuhnya dll.

    Ad 2): Unsur kesengajaan (opzet)

    Kesengajaan (intent) di dalam KUHP tidak ada pengakuannya, hal ini hanya dapat kita ketahui dalam rumusan yang diberikan oleh Memori Penjelasan (Memorie van

    Toelichting) dari KUHP, ia menjelaskan berbuat dengan sengaja adalah apabila ia

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    15

  • menghendaki dan mengetahui (willens en wetens),oleh karena itu dari rumusan MvT

    melahirkan dua teori kesengajaan :

    1. Teori kehendak (willens theorie),

    Yaitu inti kesengajaan adalah kehendak orang tersebut untuk melakukan apa

    yang dirumuskan dalam UU. Tokohnya; Von Hippel.

    2. Teori pengetahuan (wetens theorie),

    Yaitu inti kesengajaan adalah pengetahuan dari seseorang dengan

    membayangkan apa yang ia lakukan beserta akibatnya akan timbul. Tokohnya:

    Frank.

    Beda dari kedua teori ini dilihat dari sikap batin.

    Dari dua teori ini melahirkan pula 3 corak kesengajaan: 1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet ols oogmerk), contoh ; menempeleng orang

    supaya berkata jujur.

    2. Kesengajaan sebagai tujuan (nood zakelijkheid bewistzijn),contoh : menembak

    orang dengan terlebih dahulu merusak benda lain.

    3. Kesengajaan sebagai kemungkinan,

    Dari 3 corak kesengajaan tersebut melahirkan 2 pandangan tentang kesengajaan: 1. Kesengajaan berwarna (gekleurd),

    Mensyaratkan bahwa si pembuat atau si pelaku yang berbuat haruslah

    mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum.

    Dalam praktek sulit dibuktikan pembuktian bahwa si pembuat harus sadar

    perbuatannya bertentangan dengan hukum.

    2. Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos),

    Pelaku tidak usah mengetahui apakah perbuatan itu bersifat melawan hukum

    atau tidak, pokoknya ia menghendaki dilakukannya perbuatan tersebut. Si

    pembuat menghendaki perbuatan yang dilarang.

    Pandangan inilah yang dianut dalam prakteknya.

    Kealpaan (salah satu Jcnis kesengajaan): Alpa atau kulpa pada umumnya diartikan bahwa orang tersebut tidak melakukan penghati-hatian/ penduga-dugaan sehingga

    timbul akibat yang dilarang.

    Jenis-jenis Kulpa: 1. Kulpa lata (brat),

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    16

  • 2. Kulpa levis (ringan).

    Di dalam BW buku II KUHP pasal 188, 359, 360 tentang kejahatan alpa, maka kedua jenis kulpa menyatu dalam pasal-pasal tadi.

    Kulpa yang disadari : si pembuat dapat menyadari tentang apa yang dilakukannya beserta akibat tetapi ia berharap akibatnya itu tidak akan terjadi.

    Pada dolus eventualis tidak mengurungkan niatnya. Menurut ilmu pengetahuan (dokrin):

    a. Dolus premeditatus (Ps. 303, 340,342 KUHP); direncanakan dulu.

    b. Dolus directus; ditujukan pada perbuatan dan akibatnya.

    c. Dolus indirectus; perbuatan yang dilarang dilakukan dengan sengaja timbul

    akibat yang tidak diinginkan.

    d. Dolus determinatus dan indeterminatus; pendirian bahwa kesengajaan dapat

    lebih pasti/tidak.

    e. Dolus alternativus; menghendaki A atau B.

    f. Dolus generalis; harus ada hubungan kausal antara perbuatan terdakwa (pelaku)

    dan akibatnya.

    Ad 3): Unsur alasan pembenar dan pemaaf

    Alasan pemaaf diartikan sebagai alasan yang meniadakan alasan seseorang, contoh dalam Buku 1 KUHP: Pasal 44, 48 tentang daya paksa.

    Contoh : Pembelaan darurat melampaui batas (49 ayat 2 KUHP).

    Melaksanakan perintah atasan yang dianggap sah (pasal 51 ayat 2 KUHP).

    Putusan hakimnya adalah berbunyi dibebaskan.

    Mengenai pertanggungjawaban, maka dalam KUHP selain dikenal strict liability dikenal pula vicarious liability.

    Strict liability/ mutlak/ langsung, langsung dipidana tanpa memperhatikan kesalahan.

    Dasar hukum untuk strict liability : Pasal 37 KUHP : Seseorang hanya dipertanggungjawabkan jika orang tersebut

    melakukan tindak pidana karena sengaja/ kealpaan.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    17

  • Perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja

    kecuali peraturan perundang-undangan menentukan secara tegas bahwa suatu tindak

    pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana.

    Pasal 36 : UU dapat menentukan bahwa pelaku tindak pidana tertentu dapat

    dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana atas

    perbuatannya, tanpa memperhatikan lebih dahulu kesalahan dalam melakukan

    tindak pidana tersebut.

    Dasar hukum untuk vicarious liability: Pasal 35 KUHP : Suatu Undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat

    dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain kalau ada

    hubungan kerja. Misalnya antara buruh dan majikan.

    Pidana dan Pemidanaan

    Pemidanaan diartikan sebagai vonis/ penjatuhan sanksi pidana. Unsur dari pemidanaan ada 2 yaitu :

    1. Yang bersifat kemanusiaan,

    Unsur ini harus dapat menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang.

    2. Unsur edukatif,

    Unsur ini mampu membuat orang sadar sepenuhnya akan perbuatan yang telah

    dilakukan dan mampu menimbulkan nilai positif.

    Tujuan dari pemidanaan: tanpa melupakan teori absolut (teori pembalasan) dan teori relatif maka tujuan pemidanaan adalah berusaha :

    1. Menampung adanya perlindungan dalam masyarakat (social depense theory).

    2. Berusaha mencegah baik secara umum/ khusus terhadap timbulnya kejahatan

    (general and special prevention theory).

    3. Berusaha menyelesaikan konflik dalam masyarakat (conflict solution theory)

    Tujuan yang ke-3 ini sesuai dengan konsep Hukum Adat.

    4. Berusaha membebaskan rasa bersalah terpidana (teori pembebasan rasa

    bersalah).

    Pemidanaan/penjatuhan sanksi dengan vonis hakim, maka sanksi pidana di dalam Hukum Pidana modern berupa starf - pidana dan maatregel - tindakan.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    18

  • Pidana pada hakikatnya merupakan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat yang tidak menyenangkan yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang telah

    melakukan tindak pidana.

    Jenis-jenisnya diatur datam pasal 10 KUHP yang terdiri dari 2 bagian : Bagian Pertama ; mengatur tentang jenis-jenis pidana pokok yang terdiri dari:

    1. pidana mati,

    2. pidana penjara; seumur hidup dan sementara waktu paling lama 20 tahun,

    3. pidana kurungan; kurungan biasa dan kurungan pengganti denda,

    4. pidana denda

    Pada tahun 1946 dengan UU No. 20 tahun 1946 pernah dimasukkan pada pasal 10

    KUHP adanya jenis pokok pidana baru yaitu pidana tutupan yang hanya khusus

    ditetapkan bagi para pelaku tindak pidana politik. Ini hanya berlaku sampai tahun

    1958, sekarang dicabut oleh UU No. 73 Tahun 1958 tentang unifikasi Hukum

    Pidana di Indonesia.

    Bagian kedua : Pidana tambahan, ini terdiri dari :

    1. Pencabutan hak-hak tertentu,

    2. Perampasan barang-barang tertentu,

    3. Pengumuman putusan hakim

    merupakan peringatan yang diberikan terhadap diri seseorang terhadap pelaku

    kejahatan yang telah divonis, hal ini dilakukan untuk membuat masyarakat jera.

    Pidana pokok mempunyai beberapa sifat : 1. Mandiri - selalu harus dijatuhkan oleh hakim.

    2. Keharusan - imperatif.

    Sedangkan pidana tambahan mempunyai sifat; Tidak berdiri sendiri artinya hakim boleh memutuskan boleh juga tidak, atau disebut

    fakultatif. Sifat fakultatif dapat menjadi imperatif khusus terhadap delik pemalsuan

    uang.

    Jenis-jenis pidana pada pasal 10 KUHP diurut secara sengaja - dasar hukumnya adalah pasal 69. Di luar KUHP kita jumpai pula adanya perluasan terhadap pasal 10

    KUHP misal dalam delik ekonomi, korupsi, narkoba, yaitu dikenalnya jenis-jenis

    sanksi baru, misalnya terpidana wajib mengganti kerugian yang diderita negara.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    19

  • Dalam UU tindak pidana ekonomi mengenai sanksi administratif/sanksi organisatoir yaitu mengenai perusahaan terpidana dicabut izin usahanya, dsb. dan sanksi

    keperdataan misalnya perusahaan terpidana ditempatkan pada pengampuan (kuratel)

    yang berwajib (bisa kejaksaan atau bisa juga Pengadilan Negeri). Dicakupnya

    keuntungan dari perusahaan baik yang sudah nyata baik yang akan di terima itu

    dicabut.

    Dalam RUU KUHP mengenal jenis pidana pokok yang baru yang semula tidak ada yaitu pidana pengawasan, dimaksud sebagai pengganti dari pidana ringan yang

    semula akan dijatuhi hakim.

    Jenis pidana dalam KUHP disertai dengan sistem pemidanaan yang berbeda dengan sistem pemidanaan di luar KUHP. KUHP mengenal sistem alternatif, artinya hakim

    hanya diperkenankan memilih satu dari beberapa pidana pokok yang diancamkan.

    Kodenya "atau".

    Di luar KUHP ia memakai sistem yang bervariasi, pada umumnya dipakai sistem kumulatif dengan kode "dan", juga ada perkataan "dan/atau" disebut sistem

    kumulatif altematif, dimana hakim boleh memilih "dan" saja atau "atau'' saja.

    Ada juga sistem tunggal (terdapat dalam UU Pemilu), artinya hanya pidana penjara saja. Sedangkan masih ada sistem lagi di luar KUHP yang disebut double track

    system (sistem pemidanaan melalui 2 jalur), misalnya pada tindak pidana ekonomi,

    jalur pertama adalah kumulasi penjara dan denda, jalur kedua adalah diberikan

    tindakan berupa ijin perusahaan dicabut.

    Contoh-contoh dari tindakan pada pasal 45 KUHP, contoh : Hakim memerintahkan agar terdakwa ditempatkan di rumah sakit jiwa untuk direhabilitasi.

    Prof. Sudarto membedakan pidana dan tindakan dari 2 segi/sudut : 1. Sudut tradisional,

    Pidana merupakan pembalasan/ nestapa/ penderitaan/ akibat-akibat lain yang

    tidak menyenangkan dan diberikan kepada orang yang mampu bertanggung

    jawab sedangkan tindakan untuk prevensi untuk ketertiban dalam masyarakat

    dan pembinaan.

    2. Sudut dogmatis,

    Tindakan sebenarnya lebih tepat diberikan kepada orang yang tidak mampu

    bertanggungjawab (tak ada kesalahan).

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    20

  • Pada umumnya sebagian besar sarjana menyetujui bahwa pidana itu merupakan pembalasan/ nestapa/ penderitaan kecuali seorang sarjana Belanda, yaitu Hulsman,

    beliau tidak sependapat dengan pendapat pada umumnya, mengatakan bahwa

    hakikat pidana adalah menyerukan untuk tertib dengan 2 tujuannya :

    1. Mempengaruhi tingkah laku pelaku;

    2. Penyelesaian konflik (meminta maaf pada lingkungan adat);

    Di dalam praktek dengan mengacu pada KUHP maupun perundang-undangan di luar KUHP, seseorang yang telah divonis bersalah oleh hakim dapat akhimya tidak

    usah menjalani pidananya dalam LP. Ini dapat terjadi dengan melihat pada KUHP,

    bisa terjadi kalau terpidana tersebut :

    1. Meninggal dunia (84, 85 KUHP).

    2. Cara lain : memanfaatkan lembaga daluarsa (dengan sembunyi/ buron dalam

    waktu lama).

    3. Yang di luar KUHP yaitu dengan memanfaatkan UU No. 3 Tahun 1950 tentang

    grasi dengan syarat formal, yaitu ia harus menerima dahulu putusan hakim yang

    dijatuhkan lalu memohon grasi. Dengan grasi apabila dikabulkan maka hak

    untuk menjalankan pidana menjadi gugur, ini tidak berarti bahwa kesalahan

    terpidana juga hilang (apabila mengulangi lagi (residivis) pidananya + 1/3

    sebagai pemberatan).

    4. Cara lain dengan memanfaatkan UU No.11/Drt/ tahun 1954 tentang amnesti,

    dengan amnesti yang diberikan Presiden maka segala akibat Hukum Pidana dari

    orang tersebut hilang termasuk kesalahannya. Namun tidak semua terpidana

    bisa mengharapkan pemberian amnesti dari presiden.

    Perbedaan grasi dengan amnesty : - Grasi diberikan untuk semua tindak pidana, sedangkan amnesti hanya diberikan

    kepada pelaku-pelaku kejahatan politik saja.

    - Grasi diminta oleh terpidana, sedangkan amnesti diberikan oleh Presiden setelah

    mendapat saran dan pertimbangan dari MA dari sudut yuridisnya, sedangkan

    saran dari Menkopolkam dari sudut politik keamanan negara.

    - Grasi menghilangkan pelaksanaan pidana (kesalahan masih tetap ada) sedangkan

    amnesti menghilangkan segala akibat Hukum Pidana yang melekat pada diri

    orang tersebut termasuk kesalahannya.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    21

  • - Grasi menimbulkan residive dengan pemberatan pidana berupa penambahan 1/3

    sedangkan amnesti tidak menimbulkan residive karena vonis hakim menyatakan

    kesalahan seseorang turut hilang atau hapus.

    Menurut Sudarto : Pidana adalah pembalasan terhadap kesalahan, sedangkan tindakan adalah untuk

    perlindungan masyarakat dan pembinaan/perawatan pelaku.

    Hulsman : menyerukan ketertiban, hal ini menimbulkan disparitas (perbedaaan penjatuhan

    pidana).

    Konsep KUHP mengenai pemidanaan; bahwa tujuan pemidanaan meliputi keseimbangan 2 sasaran pokok, yaitu:

    1. Perlindungan masyarakat,

    2. Perlindungan/ pembinaan pelaku.

    Perlindungan kepentingan masyarakat : Mempertahankan jenis-jenis sanksi pidana yang baru (mati dan seumur hidup),

    pidana mati bukan pidana pokok, tapi pidana yang bersifat khusus/ pengecualian

    (harus selektif, hati-hati dan berorientasi pada perlindungan pelaku).

    Ada penundaan pelaksanaan pidana mati/pidana mati bersyarat (masa percobaan 10

    tahun).

    Pedoman pemidanaan : Umum : pengarahan mengenai hal-hal apa yang sepatutnya dipertimbangkan.

    Khusus : dalam menjatuhkan/ memilih jenis pidana.

    Dalam menerapkan sistem perumusan ancaman pidana yang digunakan dalam

    perumusan delik.

    Definisi pidana: Menurut Soedarto : Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang

    yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

    Roeslan Saleh : Pidana ialah reaksi atas delik yang berwujud nestapa yang sengaja

    ditimpakan negara pada pembuat delik itu.

    Ciri-ciri pidana: 1. Merupakan penderitaan/ nestapa atau nestapa/ akibat-akibat lain yang tidak

    menyenangkan.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    22

  • 2. Diberikan dengan sengaja oleh instansi/badan yang berwenang (hakim).

    3. Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana.

    Dari ketiga ciri ini dapat diambil dua buah inti : 1. Untuk memberikan penderitaan,

    2. Untuk menyerukan ketertiban

    Perbedaan antara pidana dan tindak (menurut H.L. Packer) : Tindakan:

    Tindakan (treatment) = maatregelen,

    Fokusnya pada tujuan, yaitu untuk memperbaiki orang yang bersangkutan/ untuk

    meningkatkan kesejahteraan.

    Pidana (punishment) = starf,

    Fokusnya pada perbuatan salah/tindak pidana si pelaku, yaitu:

    - Mencegah terjadinya tindak pidana,

    - Mengenakan penderitaan/ pembalasan yang layak kepada si pelaku.

    Gugurnya hak penuntut dan pelaksanaan pidana diatur dalam Buku I Bab VIII KUHP :

    - Tidak ada pengaduan pada delik-delik aduan,

    - Ne bis in idem (pasal 76),

    - Matinya terdakwa (pasa! 77),

    - Daluarsa (pasal78),

    - Lembaga afkoop (pasal 82),

    Afkoop (penebusan) : telah ada pembayaran denda maksimal kepada pejabat

    tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (hanya untuk

    perkara dengan ancaman denda).

    Di luar KUHP:

    - Abolisi,

    - Amnesti,

    Keduanya ini hanya dibcrikan bagi yang berjasa bagi bangsa dan negara.

    Tak hapusnya pelaksanaan pidana : Dalam KUHP:

    - Matinya terdakwa (pasal 83),

    - Daluarsa (pasal 84. 85).

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    23

  • Di luar KUHP :

    - Grasi (UU No. 2 Tahun 1950),

    - Amnesti (UU no 11 drt Tahun 1954).

    Dikenal pula kekeliruan/kesesatan (dwaling), yaitu ; - menyangkut peristiwa (feitelijke dwaling/ error facti non nocet),

    - menyangkut hukumnya (recht dwaling/ erroeiusris).

    In objekto : error iuris nocet (tidak menghapuskan pemidanaan). In Persona : kemiripan rupa. A berratioictus: (karena meleset)

    A menembak B tapi B mengelak dan kena C sehingga C mati. Kualifikasinya :

    Percobaan pembunuhan terhadap B, menyebabkan matinya C karena kelalaian.

    HUBUNGAN SUBJEK HUKUM DENGAN AJARAN PERCOBAAN,

    PENYERTAAN DAN PERBARENGAN

    Percobaan

    Pada umumnya suatu tindak pidana diselesaikan secara tuntas oleh si subjek, tidak timbul permasalahan dan dinyatakan sebagai tindak pidana/kejahatan. Namun sering

    terjadi dimana subjek tidak dapat tuntas menyesaikan tindak pidana yang

    diinginkan, masalah ini menyangkut ajaran percobaan (poging/attemp). Ini diatur

    dalam pasal 53 KUHP dengan unsur-unsurnya;

    1. ada niat,

    2. harus ada permulaan pelaksanaan,

    3. pelaksanaan tidak tuntas dikarenakan hal-hal diluar kemampuan si subjek.

    Ketiga unsur tersebut merupakan syarat untuk dipidananya pelaku percobaan.

    Mengenai unsur pertama yaitu niat, Moeljatno mengatakan niat dalam pasal 53 KUHP belum dapat dikatakan kesengajaan sebelum niat itu ditindaklanjuti.

    Yang dimaksud dengan hal-hal di luar kemampuan si pelaku (unsur ke-3), misal; saat ia melakukan perbuatan sudah terlanjur tertangkap basah/diteriaki orang.

    Maka di dalam dakwaan tcrgantung tindak pidananya, misal : Percobaan pencurian: pasal 53 jo 362 KUHP. Percobaan pembunuhan: pasal 53 jo

    338 KUHP.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    24

  • Maka untuk pelaku percobaan menurut pasal 53 KUHP, pidananya dikurangi 1/3, namun sering juga terjadi orang mempunyai niat, niat itu sudah ditindaklanjuti, pada

    saat mau melaksanakan timbul niat dalam pikirannya untuk tidak melanjutkannya/

    mengurungkan niatnya, maka di sini merupakan percobaan yang tidak dipidana.

    Kesimpulannya tidak terselesaikan tindak pidana ada kalanya pengaruh dari luar dan dalam diri orang itu sendiri.

    Dalam Buku II KUHP ada bentuk percobaan yang oleh pembentuk UU dinyatakan sebagai delik berdiri sendiri (delictum suigeneris), misalnya delik-delik makar

    (pasal 104 KUHP), hakikatnya adalah percobaan namun dinyatakan berdiri sendiri

    dikarenakan ancaman pidana dikurangai 1/3-nya. Kemudian pasal 54 KUHP,

    percobaan terhadap pelanggaran tindak pidana (dalam KUHP Pidana, maka

    percobaan hanya untuk kejahatan tidak untuk pelanggaran). Ketentuan ini

    dikecualikan oleh delik-delik di luar KUHP, misalnya delik ekonomi dimana

    percobaan terhadap pelanggaran justru dipidana (UU No. 7 drt /1955, percobaan

    terhadap tindak pidana ekonomi justru dipidana dan pidananya justru disamakan

    dengan pelaku), jadi pasal 53 dan 54 KUHP disimpangi oleh UU ini dan ini

    dibenarkan dengan/oleh pasal 103 KUHP : Adanya ketentuan yang umum

    menyimpangi yang khusus.

    Penyertaan

    Kemudian seperti kita ketahui bahwa suatu tindak pidana cukup diselesaikan oleh satu orang disebut pelaku dari tindak pidana, namun sering terjadi dimana tindak

    pidana tidak cukup dilakukan oleh satu orang melainkan melibatkan beberapa

    orang, ini menyangkut ajaran penyertaan (deelneming/complicity).

    Ini diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP (memuat bentuk-bentuk penyertaan) yaitu bentuk-bentuk penyertaan yang dikenai dalam pasal 55 KUHP tersebut ada 4

    bentuk:

    1. mereka yang melakukan (pleger),

    2. mereka yang menyuruh (doen pleger),

    3. mereka yang turut serta melakukan (mendeplegen),

    4. mereka yang sengaja menganjurkan/ membujuk (uitlokker).

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    25

  • Ini pidananya disamakan dengan alasan sama jahatnya, sedangkan pasal 56 KUHP mengatur bentuk yang ke-5 yaitu mereka yang membantu (medeplichtige),

    pidananya tidak disamakan dengan mereka dalam pasal 55 KUHP, tegasnya pidana

    untuk pembantu dengan melihat pasal 57 ada yang dikurangi 1/3, ada juga yang

    ditentukan 15 tahun.

    Yang sering terjadi dalam praktek misalnya yang menyangkut bentuk ke-3 harus dipenuhi syarat-syaratnya, menurut Langemeijer, yang dianut sampai saat ini dan

    dianggap yurisprudensi :

    1. Tidak semua orang yang terlihat harus melakukan perbuatan pelaksanaan cukup

    satu orang saja asal peserta yang lain menginsyafi bahwa perorangan cukup

    untuk menunjang terselesaikannya delik bersangkutan.

    2. Harus ada kerjasama yang erat diantara mereka meliputi:

    a. Kerjasama kesadaran

    Yaitu sebelum mereka berbuat, terlebih dahulu diantara mereka sudah

    melakukan pemufakatan/ perundingan untuk mengatur taktik dan strategi.

    b. Kerjasama fisik (physieke samenwerking),

    ini muncul saat mereka berbuat maupun setelah mereka berbuat.

    Misalnya : Penyertaan pencurian: pasal 55 jo 362 KUHP.

    Penyertaan perampokan: pasal 55 jo 365 KUHP.

    Penyertaan penganiayaan: pasal 55 jo 351 KUHP.

    Perangai pembantu tanpa syarat, sering terjadi dalam praktek yaitu ke-4, syaratnya : 1. Ada orang yang sengaja menganjurkan dan ada orang yang mau dibujuk;

    2. Cara melakukan penganjuran harus dengan insentif/ daya upaya (diatur dalam

    pasal 55 ayat 1 (2)).

    3. Orang yang dianjurkan harus mau melakukannya (kalau tak ada yang disebut

    penganjuran yang gagal (mislukte uitlokking) pasal 163 bis (1)).

    Contoh kasus: A menganjurkan kepada B untuk membakar rumah X, tapi B tidak melakukannya

    melainkan malah menyuruh C, dan C-Iah yang melakukan.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    26

  • Pasal 55 (l) jo

    187 KUHP

    (A) (B)

    Pasal 163 bis (l)

    Xjo l87 KUHP

    (C)

    Pasal 187 KUHP

    Putusan yang diberikan adalah bahwa pidana B dan C sama.

    Di dalam kepustakaan, penganjuran diartikan sebagai seseorang menghendaki

    sesuatu, tidak mau melakukannya sendiri, menggerakan orang lain agar yang

    digerakkan mau meakukan kehendak yang rnenggerakan. Rumusan ini maknanya

    luas, mungkin juga masuk pcngertian menyuruh melakukan, mungkin juga

    menghasut (dikatakan luas karena tidak dengan daya upaya).

    Perbarengan

    Adakalanya pada subjek hukum tak cukup hanya melakukan satu kejahatan saja melainkan banyak kejahatan, adakalanya dengan satu perbuatan adapula yang

    beberapa perbuatan yang tempat/ waklu berbeda, dengan kata lain seseorang

    melakukan kejahatan dengan satu perbuatan dengan beberapa perbuatan disebut:

    perbarengan (samenloop/ concursus).

    Pasal 63, 64, 66 dan 71 KUHP, apabila beberapa tindak pidana yang dilanggar hanya dengan satu perbuatan maka itu dinamakan concursus idealis/ eedaadre

    samenloop (satu perbuatan dalam tempat dan waktu yang sama menimbulkan

    beberapa tindak pidana), contoh klasik :

    Dengan satu tembakan mengakibatkan orang yang duduk dibelakang kaca mati.

    Maka perbuatan pidananya;

    1. merusak kaca (pasal 402 KUHP),

    2. pembunuhan (pasal 338 KUHP).

    maka hakim hanya menganibil satu ancaman pidana yang paling berat saja, ini

    namanya stelsel pemidanaan hisapan murni.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    27

  • Dalam praktek sering terjadi seorang perampok menembak si korban menembus 3 orang langsung A, B dan C, ini namanya concorsus idealis homogenius, perbedaan

    dengan idealis biasa adalah akibatnya yang tidak sama.

    Kemudian yang sering dipakai dimana seseorang melakukan beberapa perbuatan yang sifatnya berdiri sendiri, kita tahu berdiri sendin dilihat dari waktu dan tempat

    berbeda/beberapa tindak pidana dilakukan dalam waktu dan tempat berbeda

    (concursus realis), maka menurut pasal 65 KUHP hakim hanya akan mengambil

    satu kejahatan saja ditambah 1/3 dari hukuman maksimalnya: stelsel hisapan

    dipertajam.

    Contoh:

    Pada tanggal 1 September A mencopet di Terminal (pasal 362 KUHP), 5 September

    memperkosa di Station (pasal 285 KUHP), 7 september membunuh di Pasar (pasal

    338 KUHP). Maka hakim mengambil ancaman maksimal pidana terhadap

    pelanggaran pasal 338 + 1/3 dari hukuman maksimal pasal 338, ajaran concorsus

    ini meringankan.

    Aturan permainan di dalam concorsus realis, beberapa kejahatan harus dituntut sekaligus dalam waktu bersamaan.

    Namun dalam prakteknya aturan main tersebut sangatlah sulit, untuk mengatasi kendala tersebut maka dimungkinkan pengajuan perkara secara bertahap, pegangan

    hakim dalam menghadapi pengajuan perkara secara bertahap, ia harus berpegang

    pada pasal 71 KUHP.

    Agar tidak terjadi perkosaan terhadap hak asasi terdakwa yang menyangkut keadilannya, maka kewajiban Jaksa apabila mengajukan perkara tidak sekaligus

    maka Jaksa wajib memberikan catatan dalam berkas tentang tidak dapat diajuk-

    annya sekaligus dari sekian kejahatan yang dilakukan.

    SIFAT MELAWAN HUKUM

    Sifat melawan hukum: (penilaian objektif mengenai perbuatan). Dikatakan melawan hukum apabila orang tersebut melanggar UU yang ditetapkan

    oleh hukum.

    Tidak semua tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum karena ada alasan pembenar, berdasarkan pasal 50, 51 KUHP. Contoh;

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    28

  • Pasal 51 ayat (2) bila dihubungkan dengan pasal 338 tentang pembunuhan maka

    apabila seorang petugas menembak seorang penjahat dalam rangka tugas negara

    maka petugas tersebut tidak dikenai pidana.

    Sifat melawan hukum, meliputi : 1. Formil : harus diatur oleh UU (Simons, dll).

    2. Materiil : tidak selalu harus diatur UU tetapi juga dengan perasaan keadilan

    masyarakat (Von Liszt, Zu Dohna, Maycr, Zevenbcrgen, Van Hattum, dll.).

    Perbuatan melawan hukum dapat dibedakan: 1. Fungsi negatif,

    Mengakui kemungkinan adanya hal-hal di luar UU dapat menghapus sifat

    melawan hukum suatu perbuatan yang memenuhi rumusan UU (sebagai alasan

    penghapus sifat melawan hukum).

    2. Fungsi positif,

    Mengakui bahwa suatu perbuatan itu tetap merupakan tindak pidana meskipun

    tidak dinyatakan diancam pidana dalam UU, apabila bertentangan dengan

    hukum atau aturan-aturan yang ada di luar UU.

    Sifat melawan hukum untuk yang tercantum dalam UU secara tegas harus dibuktikan.

    Jika unsur sifat melawan hukum dianggap memiliki fungsi positif untuk suatu delik maka hal itu harus dibuktikan.

    Jika unsur sifat melawan hukum dianggap memiliki fungsi negatif maka hal itu tidak perlu dibuktikan.

    UNIFIKASI KUHP

    Unifikasi 1918 (berlaku bagi Indonesia dan Belanda) sebagai unifikasi pertama. Berdasarkan UU No. l Tahun 1946, pasal 1 tanggal 8 Maret 1942 : diberi nama

    WvSNI (Wetboek van Strafrecht Nedherland Indische).

    Kemudian berdasarkan pasal VI WvSNI ini diberi nama WvS (Wetboek van Strafrecht) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai KUHP (Kitab

    Undang-undang Hukum Pidana).

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    29

  • Berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958 (UU Unifikasi Pidana), pasal I : merupakan unifikasi KUHP ke-2. Dengan unifikasi ini maka terjadi dualisme Hukum Pidana,

    yaitu:

    1. KUHP yang berlaku bagi RI yang beribukota di Yogyakarta, dan

    2. KUHP yang berlaku bagi RIS yang beribukota di Batavia.

    Unifikasi ke-2 ini berlaku untuk Jawa dan Madura, selanjutnya untuk daerah lain

    ditetapkan oleh pemerintah melalui PP, contohnya : untuk Sumatera dengan PP 8

    tahun 1946.

    1918 - 1942 - 1945 dualisme sekarang

    UU No. 1 Tahun 1946 UU No. 73 Tahun 1958

    Pasal V UU No. 1 Tahun 1946 yang berbunyi: "Peraturan Hukum Pidana. yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat

    dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai

    negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau

    sebagian sementara tidak berlaku".

    memiliki fungsi sebagai batu penguji (toetsteen).

    Pasal V ini memuat pandangan : I. Restriktif (pandangan sempit), Prof. Soedarto :

    Pandangan ini berpendapat bahwa pasal V hanya bisa digunakan untuk

    ketentuan-ketentuan Hukum Pidana di luar KUHP saja karena perubahan-

    perubahannya sudah diatur sedemikian rupa (lihat pasal VIII UU No. 1 Tahun

    1946, berbunyi "Semua perubahan sudah dilakukan dalam buku ini").

    II. Ekstensif (pandangan luas), Prof. Moeljatno :

    Pandangan ini berpendapat bahwa pasal V ini dapat diterapkan baik dalam

    KUHP maupun di luar KUHP berhubung KUHP yang berlaku ini masih

    merupakan warisan kolonial.

    Eksistensi pasal V ini mempunyai arti bagi hukum bukan hanya menghapuskan sifat ancaman pidananya melainkan juga menghapuskan perbuatan pidananya

    (depenalisasi dan dekriminalisasi).

    Fungsi batu penguji memuat kriteria;

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    30

  • 1. seluruh/ sebagian,

    2. bertentangan,

    3. tak mempunyai arti lagi.

    Ketiga kriteria ini mempunyai akibat hukum: 1. Depenalisasi,

    Dulu merupakan tindak pidana, sekarang sudah bukan merupakan tindak pidana

    lagi, dimana sanksi pidananya dicabut tapi UU-nya belum dicabut, contoh: pasal

    283 KUHP (mengenai alat kontrasepsi).

    2. Dekriminalisasi,

    Dulu merupakan tindak pidana, namun karena perkembangan masyarakat maka

    tindak pidana tersebut tidak lagi merupakan tindak pidana dan UU-nya di cabut,

    contoh : pasal 523 KUHP (tentang pekerjaan rodi).

    Konsep KUHP 1997-1998

    Konsep ini berorientasi kepada perbuatan (daad) - pelaku (dader) - Hukum Pidana (starfrecht).

    Pasal 1 KUHP mengandung asas legalitas: Ayat (1): "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana

    dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan."

    Pasal 1 ayat (1) KUHP ini mengandung konsekuensi : 1. Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana atau dikenakan tindakan kecuali :

    a. Perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana menurut peraturan

    perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan tersebut dilakukan.

    b. Perbuatan yang tidak dilakukan merupakan tindak pidana menurut peraturan

    perundang-undangan yang berlaku pada saat tidak dilakukan perbuatan

    tersebut.

    2. Dalam mcnetapkan adanya tindak pidana di.larang menggunakan analogi.

    3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya

    hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seorang

    patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan

    perundang-undangan.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    31

  • Konsep ini memperluas daya berlakunya asas legalitas (materiil). Asas legalitas sekarang tidak berlaku mutlak. Asas legalitas mempunyai 3 arti :

    1. Menjamin kepastian hukum,

    2. Larangan menggunakan analogi,

    3. Tidak berlaku surut.

    Tindak pidana merupakan perbuatan melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang

    dilarang dan diancam dengan pidana.

    Ajaran Causaliteit (Hubungan sebab - akibat)

    Ajaran ini penting untuk menentukan sebab-akibat dan terjadinya tindak pidana. Ajaran ini penting dalam delik materiil, delik yang dikualifikasi oleh akibatnya

    seperti pada pasal 187, 188, 194 (2), 195 (2). 333 (2), 351 (2) KUHP ; terjadinya

    akibat sebagai "esentialia".

    Ajaran ini melahirkan Teori Conditio Sine Quanon (ekuivalensi): tiap syarat baik positif (sebab-sebab yang dekat/dominan) ataupun negatif (sebab-sebab jauh/kecil)

    mempunyai nilai sama sebagai sebab.

    Teori ini dibagi menjadi 2 teori: 1. Teori Individualisasi (Post Pactum}, tokohnya adalah Brikmayer.

    Teori ini melihat secara post pactum (setelah peristiwa-peristiwa itu terjadi) dari

    serangkaian penstiwa itu dipilih persoalan yang penting dan yang paling

    menentukan dari peristiwa tersebut, sedang faktor-faktor lainnya hanya

    merupakan syarat belaka. Penentuan mana yang paling penting dan menentukan

    ini dalam prakteknya sangat sulit.

    2. Teori Generalisasi (Ante Pactum)

    Teori ini menyebutkan bahwa dari serangkaian syarat itu ada perbuatan manusia

    yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut

    pengalaman hidup biasa (perhitungan hidup yang layak) orang yang tidak hati-

    hati akan menimbulkan akibat pelanggaran hukum.

    Teori ini melihat sebelum peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam menentukan

    sebab-sebab di luar akibat. Sehingga dapat dikatakan teori lebih objektif dan

    teori inilah yang dipakai dalam praktek.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    32

  • Untuk menentukan sebab-sebab yang pada umumnya dapat diterima, ada beberapa pendirian :

    1. Penentuan secara subjektif, menurut Von Kries ;

    Disini yang dianggap sebab ialah apa yang oleh pembuat dapat diperkirakan

    bahwa apa yang dilakukannya itu dapat menimbulkan akibat semacam itu.

    2. Penentuan objektif, menurut Rumellin :

    Dasar penentuannya ditentukan secara objektif kemudian diketahui atau pada

    umumnya layak dipertanggungjawabkan bahwa sebab tersebut memang sebagai

    akibatnya. Teori generalisasi dengan penentuan objektif ini disebut Teori

    Adequat.

    Ajaran causaliteit : 1. Teori Von Kries : mengandung/ menyangkut kesalahan; perbuatan (kausaliteit

    tidak murni, sedangkan yang murninya adalah teori Von Buri).

    2. Teori Rumellin : mengandung/ menyangkut pertanggungjawaban.

    Dalam delik formil tidak diajarkan ajaran Causaliteit. Ajaran causaliteit ini tidak mempunyai peranan penting terhadap delik formil karena

    di dalam delik formil yang dilarang dan diancam hanyalah serangkaian perbuatan

    tanpa mempersoalkan akibat dari perbuatan tersebut. Sebaliknya dalam delik

    materiil, akibat terjadinya kejahatan justru merupakan bagian esensial dari delik

    tersebut, sehingga dipersoalkan sebab-sebab terjadinya akibat tersebut.

    Oleh karena itu delik materiil mempunyai relevansi dengan ajaran causaliteit yang khusus mempersoalkan atau menentukan sebab-sebab timbulnya kejahatan.

    HUKUM PIDANA ADAT

    Dalam peristilahannya dikenal : 1. Hukum Adat Pidana, dimana norma-normanya merupakan norma adat,

    sedangkan sanksinya merupakan sanksi pidana.

    2. Hukum Pidana Adat.

    Hukum Pidana Adat

    Dasar berlakunya adalah UU No. 1 Drt/1951, pasal 5 ayat (3) sub b. Yang mana UU ini memuat syarat dan unsur :

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    33

  • 1. Perbuatan ini bertentangan dengan hukum tidak tertulis yang dianggap oleh

    masyarakat sebagai perbuatan pidana.

    2. Tidak ada bandingannya/ padanannya dengan KUHP.

    3. Berlaku untuk daerah dan orang-orang tertentu.

    Eksistensi dari Hukum Pidana Adat ini pada saat ini tidak berlaku secara universal namun dalam konsep dianggap sebagai perbuatan yang mempunyai fungsi positif

    artinya perbuatan-perbuatan yang tidak ada persamaannya dalam KUHP/ RUU

    KUHP dianggap sebagai tindak pidana.

    Jadi kesimpulannya bahwa Hukum Pidana Adat ini berlaku apabila tidak ada bandingannya dalam KUHP.

    DELIK ADUAN (KLACHT DELICT)

    Dibagi atas : 1. Delik aduan absolut,

    2. Delik aduan relatif.

    Ad 1): Delik aduan absolut

    Suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan dan yang diadukan hanyalah perbuatannya saja meskipun demikian

    apabila yang bersangkutan dalam perkara tersebut Iebih daripada satu orang dan

    yang diadukan hanya orang tertentu, bukan berarti orang lain lepas dari tuntutan

    hukum, oleh karena itu delik aduan absolut ini mempunyai akibat hukum dalam

    masalah penuntutan tidak boleh dipisah-pisahkan/ onsplitsbaar.

    Contoh : A dan B adalah sepasang suami istri. B selingkuh dcngan C dan D

    maka yang diadukan oleh B adalah A dan yang terlibat adalah C dan D.

    Yang diadukan ialah perbuatannya. Akibat hukumnya onsplitsbaar (tak dapat dipidah-pisahkan/ karena yang

    diadukan perbuatannya maka orang tersangkut harus diadukan pula).

    Ps. 284, 293, 294, 310-320 kecuali ps 316 KUHP (delik biasa). Ad 2): Delik aduan relatif

    Suatu delik yang semula merupakan delik biasa karena ada hubungan istimewa/ keluarga maka sifatnya berubah menjadi delik aduan, misalnya; pencurian

    dalam keluarga, penggelapan dalam keluarga, dalam hal ini yang diadukan

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    34

  • orangnya saja sehingga yang dilakukan penuntutan sebatas orang yang diadukan

    saja meskipun dalam perkara tersebut terlibat orang lain, agar orang lain itu

    dapat dituntut maka harus ada pengaduan kembali. Oleh karena itu dalam delik

    aduan relatif sifatnya dapat dipisah-pisahkan/splitsbaar. Contoh: A adalah orang

    tua dari B dan C adalah keponakan dari A. B dan C kerjasama untuk melakukan

    pencurian terhadap A. dalam perkara ini jika A hanya mengadukan C saja maka

    hanya hanya C sajalah yang dituntut sedangkan B tidak.

    Yang diadukan ialah masalah orangnya. Akibat hukumnya : splitsbaar (dapat dipisah-pisahkan). Ps. 370, 376, 394, 411 KUHP.

    Delik aduan sifatnya pribadi/privat memiliki syarat : Harus ada aduan dari pihak yang dirugikan, bila tak ada pengaduan maka "tuntutan"

    menjadi gugur. Lihat pasal 72 - 75 KUHP: bukan merupakan dasar hukum tapi

    merupakan dasar tata cara pengaduan. Kecuali perkosaan : mengandung unsur

    pemaksaan yang berakibat luas pada tindak pidana lain.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    35

  • REFERENSI

    Prof. Sudarto: Hukum Pidana I dan Hukum Pidana II, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Pembaharuan Hukum Pidana.

    Prof. Moeljatno : Asas-asas Hukum Pidana, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana, Delik-delik Percobaan, Delik-delik Penyertaan.

    Prof. Ruslan Saleh : Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan, Sel-sel Pidana di Indonesia, Kumpulan Putusan-putusan Perkara Pidana

    Prof. Muladi : Perspektif Hukum Pidana Materiil di Masa Mendatang

    Prof. Barda Nawawi : Teori-teori Kebijakan Pidana Dalam Hukum Pidana, Hukum Pidana I dan Hukum Pidana II.

    Prof. Satochid Kertanegara : Hukum Pidana Bagian I dan II

    Prof. Utrecht : Hukum Pidana I dan Hukum Pidana II

    Dll.

    Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact Hukum Pidana

    36

    Jenis-jenis Hukum PidanaPembaharuan Hukum PidanaUNIFIKASI KUHPHUKUM PIDANA ADAT