23
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas, menyebabkan supresi dan penggantian elemen sumsum normal. Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik dan leukemia mieloid (Guyton and Hall, 2007). Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML) merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk leukemia myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan chronic myelocytic leukemia. (I Made, 2006). Atul & Victor (2005) menambahkan bahwa CML yang merupakan gangguan mieloproliferatif klonal ini ditandai dengan peningkatan neutrofil dan prekusornya pada darah perifer dengan peningkatan 1

CML

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: CML

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Definisi

Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan

diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami

transformasi dan ganas, menyebabkan supresi dan penggantian elemen

sumsum normal. Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik

dan leukemia mieloid (Guyton and Hall, 2007).

Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia

(CML) merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-

lahan dan sel leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML

termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan

tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk

leukemia myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan chronic

myelocytic leukemia. (I Made, 2006).

Atul & Victor (2005) menambahkan bahwa CML yang merupakan

gangguan mieloproliferatif klonal ini ditandai dengan peningkatan neutrofil

dan prekusornya pada darah perifer dengan peningkatan selularitas sumsum

tulang akibat kelebihan prekusor granulosit.

1.2 Prevalensi

I Made (2006) dan Victor et al., (2005) mengungkapkan bahwa CML

merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang

paling sering di jumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat Leukemia

kronik lebih banyak dijumpai dalam bentuk CLL (Chronic Lymphocytic

Leukemia). Insiden CML di negara Barat sekitar 1-1,4/100.000/tahun.

Penyakit ini terjadi pada kedua jenis kelamin (rasio pria : wanita sebesar

1,4:1). Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan puncak pada

umur 40-50 tahun. Pada anak-anak dapat di jumpai bentuk juvenile CML.

1

Page 2: CML

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Etiologi

Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010)

Beberapa asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor

lingkungan, tetapi di kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di

identifikasikan.

Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang

menyebabkan CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik

(lingkungan).

a. Faktor Instrinsik

- Keturunan dan Kelainan Kromosom

Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor

predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat

pada saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada

suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson

(1982) yang menyatakan jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi

insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada saudara kandung anak-anak yang

terserang dengan insiden yang meningkat sampai 30 % pada kembar identik

(monozigot), (Agung ,2010).

Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan

fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah

kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter

dan sindrom turner.

- Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang

Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk

mengidentifikasi sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem

2

Page 3: CML

tersebut dapat menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya

berproliferasi hingga menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang

mungkin sebagai penyebab leukemia (Agung ,2010).

b. Faktor Ekstrinsik

- Faktor Radiasi

Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan

tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat

pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing

spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat terapi radiasi.

Diperkirakan 10 % penderita leukemia memiliki latar belakang

radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli radiologi

mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar. Penduduk

Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom atom tahun 1945

mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali lebih banyak.

Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis yang diobati dengan

sindar radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai insidensi LMA 14 kali

lebih banyak (Agung ,2010).

- Bahan Kimia dan Obat-obatan

Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan

dengan leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen

dalam jumlah besar dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia.

Penelitian Akroy et al (1976) telah membuktikan bahwa pekerja pabrik

sepatu di Turki yang kontak lama dengan benzen dosis tinggi banyak yang

menderita LMA . Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui menyebabkan

anemia aplastik berat, tidak jarang diketahui dikahiri dengan leukemia,

demikian juga dengan Arsen dan obat-obat imunosupresif (Agung ,2010).

- Infeksi Virus

3

Page 4: CML

Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di

laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih

dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah

Human T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang

mempunyai enzim RNA transkriptase yang bersifat karsinogenik

(Agung ,2010).

Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia

pada binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis

kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan

sinar radioaktif. Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa

penyebab leukemia pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada

beberapa hasil penelitian yang menyokong teori virus sebagai penyebab

leukemia, antara lain enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah

penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus

onkogenik seperti retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA yang

menyebabkan leukemia pada binatang (Agung ,2010).

2.2 Patogenesis

Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu

reciprocal translocation 9,22 (t9;22). Kromosom Philadelphia merupakan

kromosom 22 abnormal yang

disebabkan oleh translokasi

sebagian materi genetik pada

bagian lengan panjang (q)

kromosom 22 ke kromosom 9,

dan translokasi resiprokal

bagian kromosom 9, termasuk

onkogen ABL, ke region

klaster breakpoint (breakpoint cluster region, BCR) yang merupakan titik

pemisahan tempat putusnya kromosom yang secara spesifik terdapat pada

4

Page 5: CML

kromosom 22. Sebagai akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan

panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen

BCR pada lengan panjang kromosom 22. Titik putus pada ABL adalah

antara ekson 1 dan 2. Titik putus BCR adalah salah satu di antara dua titik di

region kelompok titik putus utama (M-BCR) pada CML atau pada beberapa

kasus ALL Ph+. Gen fusi (gen yang bersatu) ini akan mentranskripsikan

chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd).

Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama

melalui tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan

proliferasi pada sel-sel mieloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini

menyebabkan proliferasi pada seri mieloid (I Made, 2006; Atul & Victor,

2005; Victor et al., 2005).

2.3 Klasifikasi

Menurut Victor et al., (2005) leukemia myeloid kronik (CML) dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Leukemia myeloid kronik, Ph positif (CML, Ph+) (leukemia granulositik

kronik, CGL).

b. Leukemia mieloid kronik, Ph negative (CML, Ph-)

c. Leukemia myeloid kronik juvenilis

d. Leukemia netrofilik kronik

e. Leukemia eosinofilik

f. Leukemia mielomonositik kronik (CMML)

Tetapi, sebagian besar (>95%) CML tergolong sebagai CML, Ph+ (I

Made, 2006).

2.4 Fase Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010)

dibagi menjadi beberapa fase, yaitu:

1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel

premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini

ditandai dengan over produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil

5

Page 6: CML

segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan mempunyai respon baik

terhadap terapi konvensional.

2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif,

mempunyai lebih dari 5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase

ini leukosit bisa mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh

eosinofil dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan kromosom

lebih dari satu (selain Philadelphia kromosom).

3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari

30% sel blast pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah

menyebar ke jaringan lain dan organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini

penyakit ini berubah menjadi Leukemia Myeloblastik Akut atau

Leukemia Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al.,

(2005) tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :

a. Fase kronik terdiri atas :

1. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,

berkeringat pada malam hari.

2. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.

3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.

4. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh

hiperurikemia akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat

menimbulkan masalah.

5. Gangguan penglihatan dan priapismus.

6. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran

pucat, dispneu dan takikardi.

7. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat

check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.

b. Fase transformasi akut terdiri atas :

6

Page 7: CML

Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6

bulan, di sebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain :

demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons

terhadap kemoterapi menurun, lekositosis meningkat dan trombosit

menurun (trombosit menjadi abnormal sehingga timbul perdarahan di

berbagai tempat, antara lain epistaksis, menorhagia).

c. Fase Blast (Krisis Blast) :

Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak,

tanpa didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast

crisis). Tanpa pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2

bulan.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML,

yaitu :

a. Laboratorium

- Darah rutin :

- Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut

(fase transformasi akut), bersifat normokromik normositer.

- Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.

- Gambaran darah tepi :

- Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan

kemudian biasanya lebih dari 100.000/mm3.

- Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari

mieloblast sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah

segmen netrofil (hipersegmen) dan mielosit. Metamielosit,

promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel

darah merah bernukleus.

- Jumlah basofil dalam darah meningkat.

- Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal

lebih sering meningkat.

7

Page 8: CML

- Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu

rendah.

- Gambaran sumsum tulang

- Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya

mirip dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap

seri myeloid, dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan

mielosit. Sel blast kurang dari 30 %. Megakariosit pada fase

kronik normal atau meningkat.

- Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada

95 % kasus.

- Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.

- Kadar asam urat serum meningkat.

- Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat

mendeteksi adanya chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus (I

Made, 2006).

8

Gambar 2.1

Gambaran apusan darah tepi dengan perbesaran 400x menunjukkan hyperlekositosis.

Terdapat juga eosinophilia, basofilia, thrombocytosis.

Gambar 2.2

Gambaran apusan darah tepi dengan perbesaran 1000x menunjukkan promielosit, eosinofil,3 basofil, netrofil batang dan segmen.

Page 9: CML

c. Pemeriksaan Penunjang Lain

Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain

untuk penyakit CML, antara lain :

- Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 %

atau lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari

blast, dengan prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis

menurun.

9

Gambar 2.4

Gambaran apusan darah tepi, dengan perbesaran 1000x menunjukkan tahapan granulocytic termasuk eosinofil dan basofil.

Gambar 2.5

Gambaran Sumsum tulang yang hiperseluler. Dengan perbesaran 400x menunjukkan bahwa adanya peningkatan eosinofil dan megakariosit.

Gambar 2.3

Gambaran apusan darah tepi dengan perbesaran 400x menunjukkan berbagai tahap granulopoiesis termasuk promielosit, mielosit, metamielosit, dan netrofil batang serta segmen.

Page 10: CML

- Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat

keterlibatan.

- David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk

mendeteksi adanya kromosom Philadelphia.

2.7 Diagnosis Banding

Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi klinis

yang dapat menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien CML

kadang tidak ditemukan kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu standar

untuk menegakkan suatu diagnosis.

- Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :

1. Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum

tulang berinti.

2. Basofil darah tepi >20%.

3. Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan

dengan terapi, atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak responsif

terhadap terapi.

4. Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.

5. Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2006).

- Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :

1. Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang

berinti.

2. Proliferasi blast ekstrameduler.

3. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (I

Made,2006).

Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis esensial, pada

trombositosis ditemukan adanya fosfatase normal atau meningkat sedangkan

CML selalu rendah dan tidak ditemukannya Ph kromosom seperti halnya

yang selalu ditemukan Ph kromosom pada penderita CML. Untuk fase krisis

10

Page 11: CML

blast yaitu leukemia mieloid akut dan sindrom mielodislasia (Victor et al.,

2006).

Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu pada

kasus penderita yang menderita CML tipe juvenillis yang asering dijumpai

pada pasien berumur kurang dari 4 tahun. Cirinya tidak adanya Ph

kromosom, peningkatan Hb janin, trombositopenia, monositosis yang

menonjol, dan CML juvenillis jarang mengalami transformasi blastik dan

meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ akibat sebukan monosit dan

makrofag (Victor et al., 2006).

2.8 Penatalaksanaan

a. Medikamentosa

Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :

1. Fase Kronik

a. Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit

diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit

turun setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi

dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek smaping dapat

berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya

timbulnya leukemia akut (I Made, 2006).

b. Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna

mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi

biasanya perlu diberikan seumur hidup (Victor et al., 2005). Dosis

mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian diberikan

dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3.

Efek samping lebih sedikit (I Made, 2006).

c. Interferon α juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat

menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan hidup

menjadi 1-2 tahun (Atul & Victor, 2005). IFN-α biasanya digunakan

bila jumlah leukosit telah terkendali oleh hidroksiurea. IFN-α

merupakan terapi pilihan bagi kebanyakan penderita leukemia

11

Page 12: CML

Mielositik (CML) yang terlalu tua untuk transplantasi sumsum tulang

(BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang donor yang cocok.

Interferon alfa diberikan pada rata-rata 3-5 juta IU / d subkutan

(Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk mempertahankan jumlah

leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l). Hampir semua pasien

menderita gejala penyakit ”mirip flu” pada beberapa hari pertama

pengobatan. Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia, depresi,

dan sitopenia. Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin mencapai

remisi jangka panjang dengan hilangnya kromosom Ph pada analisis

sitogenik walaupun gen fusi BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui

PCR. (Victor et al., 2005).

d. STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang

sedang diteliti dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan

hasil yang menjanjikan. Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik

terhadap protein ABL yaitu tiroksin kinase sehingga dapat menekan

proliferasi seri myeloid. Gleevec mengontrol jumlah darah dan

menyebabkan sumsum tulang menjadi Ph negative pada sebagian

besar kasus. Obat ini mungkin menjadi lini pertama pada CML, baik

digunakan sendiri atau bersama dengan interferon atau obat lain (Atul

& Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victor et al., 2005; I Made, 2006)

e. Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation,

SCT) sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok

memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau

kurang pada fase akselerasi (Atul & Victor, 2005).

2. Fase Akselerasi dan Fase Blast

Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti

leukemia akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI 57I (Gleevec)

dapat diberikan. Apabila sudah memasuki kedua fase ini, sebagian besar

pengobatan yang dilakukan tidak dapat menyembuhkan hanya dapat

memperlambat perkembangan penyakit. (Atul & Victor, 2005; I Made,

2006).

12

Page 13: CML

b. Non-Medikamentosa

o Radiasi

Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar

tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan

gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum

transplantasi sumsum tulang (Atul & Victor, 2005).

2.9 Prognosis

        Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah

penyakitnya terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap

tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih

setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase

akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata setelah krisis

blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan

hidup sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).

13

Page 14: CML

BAB III

PENUTUP

Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML)

merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel

leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk

kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong

sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk leukemia

myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan chronic myelocytic

leukemia (I Made, 2006).

CML merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik

yang paling sering di jumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat

Leukemia kronik lebih banyak dijumpai dalam bentuk CLL (Chronic

Lymphocytic Leukemia). CML dapat terjadi karena adanya resiprokal

translokasi pada kromosom 22 dan kromosom 9 dengan ciri khas adanya

kromosom Philadelphia (Ph). Dibagi menjadi tiga fase dalam perjalan

penyakitnya dan juga digunakan untuk menentukan terapi yaitu fase kronik,

fase akselerasi, fase krisis blast (I Made, 2006; Atul & Victor, 2005).

CML dapat di terapi dengan berbagai cara seperti : pemberian busulfan,

pemberian hydroxyurea, pemberian Imatinib mesylate, pemberian Interferon

alpha, terapi dengan radiasi, dan dengan cara transplantasi sumsum tulang

(Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victor et al., 2005; I Made, 2006).

Prognosis pada CML, yaitu sekitar 20-30% penderita meninggal dalam

waktu 2 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25%

meninggal setiap tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4

tahun atau lebih setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya

meninggal pada fase akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata

setelah krisis blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa

memperpanjang harapan hidup sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).

14

Page 15: CML

15

Page 16: CML

16