12
accelerated composting Composting Berdasarkan data dari berbagai Dinas Kebersihan seperti di Jakarta, Bandung dan lain-lain tempat, terdapat beberapa MOU yang telah ditandatangani oleh Pemda sedjak awal tahun 2000 dengan fihak swasta seperti pembuatan ethyl alkohol dengan teknologi pirolisa dan bio-oxidation, pembuatan kompos, pembuatan pupuk cair dan pupuk padat dengan teknologi fermentasi, konversi sampah menjadi enersi. Namun sampai saat ini, belum satupun terlihat realisasinya, karena berbagai alasan dan hambatan, baik teknis maupun birokrasi, khususnya finansial. Melihat komposisi sampah di Indonesia yang sebagian besar adalah sisa-sisa makanan, khususnya sampah dapur, maka sampah jenis ini akan cepat membusuk, atau terdegradasi oleh mikroorganisme yang berlimpah di alam ini. Cara inilah yang sebetulnya dikembangkan oleh manusia dalam bentuk pengomposan dan biogasifikasi. Di Indonesia, dengan kondisi kelembaban dan temperatur udara yang relatif tinggi, maka kecepatan mikroorganisme dalam ‘memakan’ sampah yang bersifat hayati ini akan lebih cepat pula. Pengomposan merupakan salah satu teknik pengolahan limbah organik yang mudah membusuk. Teknik ini sudah dikenal sejak lama di khususnya di daerah pedesaan. Pengomposan merupakan salah satu alternatif yang selalu dianjurkan untuk digunakan untuk menangani sampah kota. Tetapi permasalahan utamanya adalah belum adanya sinkronisasi antara pengelola pengomposan dengan program kebersihan yang dilakukan Pemerintah Daerah. Kementerian

Composting Berdasarkan data dari berbagai Dinas Kebersihan seperti di Jakarta.docx

Embed Size (px)

Citation preview

accelerated composting Composting Berdasarkan data dari berbagai Dinas Kebersihan seperti di Jakarta, Bandung dan lain-lain tempat, terdapat beberapa MOU yang telah ditandatangani oleh Pemda sedjak awal tahun 2000 dengan fihak swasta seperti pembuatan ethyl alkohol dengan teknologi pirolisa dan bio-oxidation, pembuatan kompos, pembuatan pupuk cair dan pupuk padat dengan teknologi fermentasi, konversi sampah menjadi enersi. Namun sampai saat ini, belum satupun terlihat realisasinya, karena berbagai alasan dan hambatan, baik teknis maupun birokrasi, khususnya finansial. Melihat komposisi sampah di Indonesia yang sebagian besar adalah sisa-sisa makanan, khususnya sampah dapur, maka sampah jenis ini akan cepat membusuk, atau terdegradasi oleh mikroorganisme yang berlimpah di alam ini. Cara inilah yang sebetulnya dikembangkan oleh manusia dalam bentuk pengomposan dan biogasifikasi. Di Indonesia, dengan kondisi kelembaban dan temperatur udara yang relatif tinggi, maka kecepatan mikroorganisme dalam memakan sampah yang bersifat hayati ini akan lebih cepat pula. Pengomposan merupakan salah satu teknik pengolahan limbah organik yang mudah membusuk. Teknik ini sudah dikenal sejak lama di khususnya di daerah pedesaan. Pengomposan merupakan salah satu alternatif yang selalu dianjurkan untuk digunakan untuk menangani sampah kota. Tetapi permasalahan utamanya adalah belum adanya sinkronisasi antara pengelola pengomposan dengan program kebersihan yang dilakukan Pemerintah Daerah. Kementerian Lingkungan Hidup dengan bantuan Bank Dunia sejak beberapa tahun yang lalu memperkenalkan subsidi kompos yang dihasilkan, untuk merangsang pertumbuhan penanganan sampah melalui pengomposan. Pengomposan yang sering dilakukan adalah secara aerobik (tersedia oksigen dalam prosesnya), karena berbagai kelebihan, seperti tidak menimbulkan bau, waktu lebih cepat, bertemperatur tinggi sehingga dapat membunuh bakteri patogen dan telur lalat sehingga kompos yang dihasilkan higienis. Pengomposan sampah kota bersasaran ganda, yaitu memusnahkan sampah kota dan sekaligus memperoleh bahan yang bermanfaat. Bila berbicara tentang kompos sampah kota, maka perlu mendapat perhatian: Sumber sampah : bila langsung dari rumah, atau dari sumber yang sejenis, maka akan jauh lebih mudah ditangani dibandingkan bila telah berada di TPS Upaya pemilahan : khususnya pemilahan antara bagian sampah yang biodegradabel dengan bagian sampah yang non-degradabel, juga antara bagian sampah biodegradabel yang kurang baik sebagai bahan kompos dengan bagian sampah yang mudah terdegradasi. Waktu menunggu pengangkutan : sampah yang sudah lebih dari 2-3 hari dibiarkan dan kekurangan udara segar, akan menghasilkan asam-asam organik yang menimbulkan bau. Pada kondisi ini, upaya pengomposan akan menghasilkan keluhan bagi masyarakat sekitar, bila tidak ditangani secara tepat untuk mengembalikan posisi pengomposan dalam kondisi yang sehat. Kualitas kompos : komposisi sampah kota sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain, dan dari waktu ke waktu, dsb maka sangat berlebihan bila mengharap kompos yang dihasilkan dari sampah kota akan mempunyai kualitas sebaik kompos dari sumber yang lebih homogen, seperti dari limbah pertanian. Berdasarkan hal tersebut, akan menimbulkan harapan yang berlebihan bila pengomposan sampah kota diposisikan sebagai penambah penghasilan pemerintah daerah. Pengomposan sampah kota hendaknya diposisikan sebagai upaya untuk menangani sampah kota agar lebih baik dari sekedar hanya dibuang di sebuah open dumping, dan bila dilakukan di hulu, akan mengurangi biaya transportasi pengelolaan persampahan. Produk kompos dihasilkan tetap bermanfaat, dan diposisikan sebagai nilai lebih dalam pengelolaan sampah kota. Pengomposan secara aerob melibatkan aktivitas mikroba aerobik. Pengomposan aerob ditandai dengan temperatur tinggi, relatif tidak menimbulkan bau dan lebih cepat dibanding anaerob. Guna mempercepat proses, dikenal pula pengomposan cepat (accelerated composting) yang banyak diterapkan di negara industri dalam bentuk highly mechanized composting, yaitu dengan cara mempercepat pembuatan kompos setengah matang, misalnya dengan suplai udara, kelembaban, pengaturan temperatur, dsb. Pengomposan yang diterapkan di Indonesia dapat dikatakan masih sederhana, seperti dengan cara diangin-angin (windrow), atau pembalikan tumpukan kompos secara manual. Beberapa upaya untuk mempengaruhi percepatan biodegradasi, seperti penambahan miro-organisme/enzym seperti EM (effective microorganisme), termasuk dengan memasukkan bakteri pengurai bau (seperti Acetobacter) banyak dilakukan. Tetapi pada dasarnya, alam sudah menyediakan mikrorganisme yang berlimpah pada sampah, dan bila proses pengomposan telah berjalan baik, sistem tersebut akan menyediakan secara terus menerus mikro-organisme yang dibutuhkan. Sampah juga merupakan sumber biomas sebagai pakan ternak atau sebagai pakan cacing. Sayur-sayuran, sisa buah-buahan dan sisa makanan lainnya sangat cocok untuk makanan cacing. Beberapa jenis cacing yang biasa digunakan adalah seperti halnya budidaya cacing, seperti dari jenis Lumbricus. Namun cacing sensitif terhadap faktor lingkungan, seperti pH, kelembaban dan predator lain yang mungkin tumbuh dalam sampah. Dari upaya ini akan dihasilkan vermi-kompos yang berasal dari casting-nya serta bioamassa cacing yang kaya akan protein untuk makanan ternak serta kegunaan lain. Yang menjadi sasaran dari pengomposanvermi adalah memusnahkan sampah, sehingga hasil yang diharapkan adalah kascing. Pengalaman ITB pada pembuatan vermi-kompos berkapasitas 20 m3/hari pada tahun 1999 dari sampah yang telah bercampur di TPS menyimpulkan : Metode rak merupakan metode paling cocok untuk dilaksanakan pada skala sebuah kawasan permukiman untuk penanganan sampah kota, karena memiliki daya tampung yang cukup besar, biaya relatif murah, dan mudah dilakukan pengontrolan. 1 m2 cara ini memiliki kapasitas cacing 7,5 kg. Kriteria tambahan untuk air yang digunakan : - Bila pH air > 8, perlu penurunan nilai tersebut, misalnya dengan penambahan asam lemah, atau mencampur dengan air hujan - Lindi dapat digunakan untuk kegiatan penyiraman sampah yang akan dilapukkan, atau dalam proses perendaman Komponen sampah yang dapat digunakan adalah semua sampah hayati, termasuk kulit jeruk, sisa daging, sisa ikan. Umur sampah tidak lebih dari 2 hari sejak dibuang. Suhu media perlu dipertahankan antara 20-25 oC. Untuk menjaga kestabilan suhu media, perlu dilakukan pembalikan dan penyiraman. Suhu media ini berpengaruh pada pengomposan vermi, sedang suhu lingkungan tidak banyak berpengaruh. Dalam vermi kultur (budi daya cacing), makanan yang diberikan pada cacing relatif terpilih sehingga pertumbuhan cacing sesuai dengan yang diharapkan. Sedang dalam pengomposan vermi dengan sampah, kuantitas serta kualitas cacing tidaklah sebaik dalam vermi-kultur karena makanan yang diberikan adalah sesuai dengan kualitas sampah yang ada Pertumbuhan cacing adalalah relatif kecil, yaitu 1,5 kali, dengan konsumsi sampah seberat 0,725 kg per berat cacing. Sedang dalam vermi-kultur, pertumbuhan bisa mencapai 4 sampai 20 kali dengan konsumsi berat sampah adalah 1 kg/kg cacing. Jenis cacing yang dapat digunakan adalah Lumbricus rubellus sp, Eisenia foetida, Pheretima asiatica sp dan Perionyx excavatus sp Sampah yang terbuang, sebetulnya menyimpan enersi yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan enersi sampah dapat dilakukan dengan cara:a) menangkap gasbio hasil proses degradasi secara anaerobik pada sebuah reaktor (digestor) atau b) menangkap gas bio yang terbentuk dari sebuah landfillc) menangkap panas yang keluar akibat pembakaran, misalnya melalui insinerasi, yang telah diterapkan di beberapa negara industri. Generasi terbaru dari teknologi ini dikenal sebagai waste-to-energy. Penelitian lain khususnya di negara industri seperti Amerika Serikat adalah pembuatan alkohol dari sampah organik ini. Produk akhir dari proses anaerob bila kondisinya menunjang adalah menuju pembentukan gas metan (CH4). Bila proses ini terjadi pada timbunan sampah di sebuah landfill, akan menyebabkan lindi (leachate) dari timbunan tersebut bercirikan COD atau BOD yang tinggi dengan pH yang rendah, serta penyebab timbulnya bau khas sampah yang membusuk. Bila tahap ini dipersingkat dengan mengkonversi segera asam-asam tersebut menjadi metan, maka beban organik dalam lindi akan menjadi berkurang. Konsep inilah yang digunakan dalam accelerated landfilling. Dari 1 m3 gas bio yang mengadung gas metan 50%, akan terkandung enersi sekitar 5500 Kcal, yang kira-kira ekuivalen dengan 0,58 liter bensin atau ekivalen dengan 5,80 kWH listrik. Dari digestor skala komersial di Valorga (Perancis) yaitu pilot metanisasi sampah kota skala industri, diperoleh produksi biogas sebesar 140 L/kg-kering sampah dengan 65% metan. Adanya gas metan tidak dapat dihindari dalam suatu proses biodegradasi secara anaerob, yang merupakan hasil akhir dari proses tersebut. Timbulnya gas tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bila tidak ditangani secara baik karena akan menimbulkan ledakan bila berada di udara terbuka dengan konsentrasi sekitar 15%. Dari pengalaman di negara industri, produksi gas bio pada landfill yaitu antara 20-25 ml/kg kering sampah/hari. Timbulnya gas metan dapat pula dianggap sebagai nilai tambah dari sebuah landfill, dengan memanfaatkan gas terbentuk sebagai sumber enersi. Upaya konversi CH4 menjadi CO2, karena CH4 dinilai mempunyai efek rumah kaca lebih dari 20 kali yang ditimbulkan CO2, merupakan salah satu subyek menarik dalam Clean Development Mechanism (CDM) sesuai dengan Kyoto Protocol, dan merupakan potensi besar bagi Indonesia dalam perdagangan CO2. Secara teoritis, potensi biogas dari timbunan sampah di Indonesia relatif cukup tinggi dibandingkan di negara industri yang umumnya terletak di daerah beriklim dingin. Potensi tersebut menonjol terutama bila dilihat dari sudut temperatur udara, komposisi sampah dan kelembaban. Tetapi permasalahan umum pada TPA di Indonesia adalah landfill tersebut umumnya dioperasikan secara open dumping atau paling jauh dengan cara controlled landfill, yang dapat mengakibatkan gas tidak terfokus menuju titik-titik pengumpul. Salah satu jenis pengolah sampah yang sering digunakan sebagai alternatif penanganan sampah adalah insinerator. Untuk sampah kota, sebuah insinerator akan dianggap layak bila selama pembakarannya tidak dibutuhkan subsidi enersi dari luar. Sampah tersebut harus terbakar dengan sendirinya. Sampah akan disebut layak untuk insinerator, bila mempunyai paling tidak nilai kalor sebesar 1500 Kcal/kg kering. Untuk sampah kota di Indonesia, angka ini umumnya merupakan ambang tertinggi. Sampah kota di Indonesia dikenal mempunyai kadar air yang tinggi (sekitar 60%), sehingga akan mempersulit agar terbakar dengan sendirinya. Hambatan utama penggunaan insinerator adalah kekhawatiran akan pencemaran udara. Insinerasi modular juga sering disebut-sebut sebagai alternatif dalam mengurangi massa sampah yang akan diangkut ke TPA. Biasanya insinerator jenis ini belum dilengkapi dengan sarana pengendali pencemaran udara yang timbul. Persoalan yang timbul adalah bagaimana mencari lokasi yang cocok, dan yang paling penting adalah mengoperasikan dengan temperatur yang sesuai serta bagaimana mengurangi dampak negatif dari pencemaran udara. Dari sekian banyak jenis pencemaran udara yang mungkin timbul, maka tampaknya yang paling dikhawatirkan adalah munculnya Dioxin.

BAHAN YANG DAPAT DIKOMPOSKANPada dasarnya semua bahan organik padat dapat dikomposkan, misalnya limbah organik rumah tangga, sampah-sampah organik pertanian, sampah-sampah organic kota, pasar, limbah/ kotoran peternakan, limbah pabrik kertas, pabrik gula, pabrik kelapa sawit, dan lain-lain. Bahan yang sulit dikomposkan antara lain tulang, tanduk, dan rambut.

TAHAPAN PROSES KOMPOSTINGKondisi eksisting tahapan proses komposting pada UPT Pengolahan Sampah dan Limbah Kota Probolinggo meliputi tahap pemilahan sampah organik dan anorganik, pencacahan sampah organik, penyusunan tumpukan, pembalikan tumpukan, penyiraman tumpukan, pematangan, pengeringan, penggilingan/pengayakan, dan pengemasan/penyimpanan. Proses disini merupakan proses aerobik, dimana mikroorganisme membutuhkan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik.1. PEMILAHAN SAMPAH ORGANIK DAN ANORGANIKSampah yang dikumpulkan di TPA pada umumnya masih bercampur antara bahan-bahan organic dan anorganik, sehingga pemilahan perlu dilakukan secara teliti untuk mendapatkan bahan organik yang dapat dikomposkan seperti daun-daunan, sisa makanan, sayur-sayuran dan buah-buahan. Proses ini membutuhkan waktu yang sangat lama. 2. PENCACAHAN SAMPAH ORGANIKSampah organik yang telah terkumpul dicacah dengan ukuran 3 4 cm. pencacahan dilakukan dengan menggunakan mesin pencacah sampah organik, dimana pencacahan bertujuan untuk mempercepat proses pembusukan, mikroorganisme akan bekerja secara efektif dalam proses fermentasi.3. PENYUSUNAN TUMPUKANSetelah proses pencacahan bahan organik, kemudian dilakukan penumpukan dengan ketentuan tinggi 1.5 m, lebar 1.75 m, dan panjang 2 m.Penumpukan dilakukan dengan model persegi panjang. Dalam tumpukan inilah terjadi proses fermentasi.4. PEMBALIKAN DAN PENYIRAMAN TUMPUKANPembalikan tumpukan dilakukan dengan tujuan antara lain untuk membuang panas yang berlebih, memasukkan udara segar kedalam tumpukan, meratakan pemberian air, serta membantu penghancuran sampah. Sedangkan penyiraman dilakukan untuk mempertahankan kelembaban minimal yang disyaratkan, yakni 50%, dan menjaga suhu tumpukan antara 400C sampai dengan 500C.5. PEMATANGANSetelah proses pencacahan sampai dengan penyiraman yang memakan waktu kurang lebih 30 sampai dengan 40 hari, tahap selanjutnya adalah tahap pematangan. Suhu tumpukan akan turun hingga menyamai suhu ruangan. Pematangan kompos ini ditandai dengan lapuknya tumpukan (berwarna coklat tua kehitaman). Waktu pematangan ini berlangsung kurang lebih selama dua minggu.6. PENGERINGANTumpukan yang sudah matang kemudian dibongkar dan dikeringkan/ dijemur selama kurang lebih satu minggu, hingga kadar air antara 20% sampai dengan 25%.7. PENGGILINGAN DAN PENGAYAKANProses selanjutnya adalah penggilingan terhadap kompos yang sudah kering. Sebelum kompos digiling, dilakukan pemilahan terhadap kompos tersebut, yakni bahan yang belum terkomposkan dikembalikan ke dalam tumpukan, sedangkan bahan Penyimpanan Komposyang tidak terkomposkan (kurang teliti pada saat pemilahan) dibuang sebagai residu. Penggilingan dilakukan untuk mendapatkan butiran kompos yang diinginkan (tidak lebih dari 0.5 cm).8. PENGEMASAN / PENYIMPANANProses terakhir yang dilaksanakan adalah pengemasan kompos dalam kantung sesuai dengan kebutuhan pemasaran. Kondisi eksisting yang ada, tempat penyimpanan alat, bahan, sera kompos yang sudah jadi masih bercampur (gambar 3.7.), karena belum tersedia gudang untuk tempat penyimpanan kompos.