Upload
suciramadhani13
View
59
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
spasme krikofaring/upper esophagus sphincter
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Disfungsi krikofaringeal merupakan salah satu penyebab disfagia servikal,
yaitu sebesar 5 – 25%. Disfagia sendiri mengacu kepada kesulitan dalam menelan
makanan sebagai akibat dari gangguan dalam proses menelan. Disfagia dapat
menjadi ancaman serius bagi kesehatan seseorang karena risiko pneumonia
aspirasi, malnutrisi, dehidrasi dan obstruksi jalan napas.
Sebagian besar disfungsi krikofaringeal atau disebut juga dengan akalasia
krikofaringeal terjadi karena kegagalan otot krikofaring atau sfingter atas esofagus
untuk berelaksasi, sehingga bolus makanan tidak dapat masuk ke esofagus.
Penyebab dari disfungsi krikofaringeal ini sebagian masih belum diketahui
(idiopatik), sabagian lagi merupakan disfungsi krikofaringeal sekunder yang pada
umumnya disebabkan oleh kelainan neurologis seperti stroke ataupun neuropati
perifer. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan usia lanjut karena fungsi
menelan yang menurun.
Oleh karena komplikasi yang dapat terjadi akibat dari disfagia, terutama
pneumonia aspirasi, perlu dilakukan penanganan segera terhadap penyebab
disfagia tersebut. Pada disfungsi krikofaringeal, dapat dilakukan terapi dengan
medikamtentosa ataupun tindakan pembedahan. Kedual hal tersebut dapat
memperbaiki prognosis dan juga menghindarkan pasien dari komplikasi
berbahaya disfagia yang disebabkan oleh disfungsi krikofaringeal.
1
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING
A. Anatomi Faring
Suatu saluran yang menghubungkan mulut dan hidung ke esofagus dan laring.
Faring juga berhubungan dengan telinga tengah melalui tuba Eustachius yang
berfungsi menyeimbangkan tekanan udara di liang telinga tengah. Faring
terbagi menjadi tiga bagian: a.orofaring; b.nasofaring; c. laringofaring
(hipofaring). Nasofaring dan laringofaring merupakan saluran pernapasan,
sedangkan orofaring merupakan gabungan dari saluran pencernaan dan
pernapasan.1
Gambar 1. Anatomi Tenggorok1
Permukaan eksterior faring berada di sebelah anterior vertebra servikal dan
tediri atas otot volunter yang dilapisi oleh fasia bucofaringeal. Tepat di atas
fasia bukofaringeal, terdapat pleksus vena faringeal dan pleksus nervus
faringeal. Nasofaring membuka ke arah hidung melalui koana posterior.
Adenoid terletak pada mukosa atap dari nasofaring. Di kedua sisi nasofaring,
2
merupakan muara tuba Eustachius yang berada di sebelah depan dari suatu
lekukan yang dinamakan fosa Rosenmuller. Otot tensor veli palatini
merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba Eustachius dan
berhubungan dengan faring melalui ruangan ini. Orofaring berhubungan
dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa
dinding lateral rongga mulut. Di depan tonsila, terdapat arkus faring anterior
yang disusun oleh otot palatoglosus, dan di belakang dari arkus faring posterior
disusun oleh otot palatofaring. Otot-otot ini membantu menutupnya orofaring
bagian posterior dan otot-otot tersebut dipersarafi oleh pleksus faring. Tonsila
disusun oleh jaringan limfoid yang diliputi oleh epitel skuamosa yang berisi
beberapa kripta.
Hipofaring atau laringofaring terbuka ke arah depan dan berhubungan
dengan introitus laring. Epiglotis dilekatkan pada dasar lidah oleh kedua
frenulum lateral dan satu frenulum di garis tengah. Hal ini menyebabkan
terbentuknya valekula di setiap sisi.2
Dinding eksterior faring terdiri dari empat otot utama: faring konstriktor
superior, faring kontriktor media, faring konstriktor inferior, dan stilofaring.
Muskulus faringeus konstriktor superior berorigo di rafe pterigomandibular,
pterygoid hamulus os.sfenoid, ujung posterior mandibula dan aspek lateral
lidah. Tepat di atasnya, terdapat fasia faringobasilar yang melekatkan faring ke
basis cranii.
Muskulus faring konstriktor media berada tepat dibawah m.faring
konstriktor superior. Berorigo pada ligamen stiloid. Serabut otot ini akan
bertumpang tindih dengan serabut m.faring kontriktor superior dan inferior.
Muskulus faring konstriktor inferior terdiri dari dua otot yang terpisah,
yaitu m.tirofaring dan m.krikofaring karena kedua otot tersbut memiliki origo,
insersi dan fungsi yang berbeda. M.tirofaring berorigo di kartilago tiroid dan
berinsersi di rafe faringeal, sedangkan m.krikofaringeus berorigo di permukaan
lateral dari kartilago dan tiroid dan tempat insersinya berada di serabut-serabut
sirkuler dari esofagus. Oleh karena itu, otot krikofaring berperan sebagai
sfingter esofagus superior.3
3
Gambar 2. Otot Dinding Faring3
Pleksus saraf faring memberi pasokan saraf eferen dan aferen faring dan
dibentuk oleh cabang dari nervus glosofaring (saraf kranial IX), nervus vagus
(saraf kranial X), dan serat simpatis dari rantai servikal. Selain muskulus
stilofaring, yang dipersarafi oleh saraf glosofaring, semua otot-otot faring
dipersarafi oleh nervus vagus.4
Semua otot-otot intrinsik laring dipersarafi oleh nervus laring, cabang
nervus vagus, kecuali untuk otot krikotiroid, yang menerima persarafan dari
cabang eksternal dari nervus laring superior, juga dari cabang nervus vagus.4
Pleksus faring menerima cabang-cabang nervus vagus dan glosofaring
untuk persarafan sensorik faring. Sepertiga lidah posterior, di orofaring,
menerima baik sensasi rasa dan sensasi somatik dari nervus glosofaring. Otot
krikofaring (UES) menerima persarafan parasimpatis untuk relaksasi dari
nervus vagus dan persarafan simpatis untuk kontraksi dari serabut post
ganglionik dari ganglion servikal superior.4
4
Gambar 3. Sirkulasi dan Inervasi Faring3
B. Fisiologi Menelan
Pada umumnya, menelan dapat dibagi menjadi: (1) tahap volunter, yang
mencetuskan proses menelan, (2) tahap faringeal, yang bersifat involunter dan
membantu jalannya makanan melalui faring ke dalam esofagus, dan (3) tahap
esofageal, fase involunter lain yang mengangkut makanan dari faring ke lambung.
Tahap volunter
Bila makanan sudah siap untuk ditelan, secara sadar makanan ditekan atau
digulung ke arah posterior ke dalam faring oleh tekanan lidah ke atas dan ke
belakang terhadap palatum. Dari sini, proses menelan menjadi seluruhnya
berlangsung secara otomatis dan umumnya tidak bisa dihentikan.
5
Tahap faringeal
Sewaktu bolus makanan memasuki bagian posterior mulut dan faring, bolus
merangsang daerah epitel reseptor menelan di sekeliling pintu faring, khususnya
pada tiang-tiang tonsil, dan sinyal-sinyal dari sini berjalan ke batang otak untuk
mencetuskan serangkaian kontraksi otot faringeal secara otomatis sebagai berikut:
1. Palatum mole tertarik ke atas untuk menutupi nares posterior, untuk mencegah
refluks makanan ke ronga hidung; 2. Lipatan palatofaringeal pada setiap sisi
faring tertarik ke arah medial untuk saling mendekat satu sama lain. Dengan cara
ini, lipatan-lipatan tersebut membentuk celah sagittal yang harus dilewati oleh
makanan untuk masuk ke dalam faring posterior. Celah ini melakukan kerja
selektif, sehingga makanan yang telah cukup dikunyah dapat lewat dengan
mudah. Karena tahap penelanan ini berlangsung kurang dari 1 detik, setiap benda
besar apapun biasanya sangat dihalangi untuk berjalan masuk ke esofagus; 3. Pita
suara laring menjadi sangat berdekatan, dan laring tertarik ke atas dan anterior
oleh kontraksi m.stilofaring, m.salfingofaring, m.hioid dan m.palatofaring5. Hal
ini, digabung dengan adanya ligamen yang mencegah pergerakan epiglotis ke
atas, menyebabkan epiglotis bergerak ke belakang di atas pembukaan laring.
Aditus laring tertutup oleh epiglottis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika
ariepiglotika, plika ventrikular dan plika vokal tertutup karena kontraksi
m.ariepiglotika dan m.aritenoid obligus; 4. Gerakan laring ke atas juga menarik
dan melebarkan pembukaan esofagus. Pada saat yang bersamaan 3-4 cm di atas
dinding otot esofagus, yang dinamakan sfingter esofagus atas (juga disebut
sfingter faringoesofageal atau otot krikofaring) berelaksasi, sehingga makanan
dapat bergerak dengan mudah dan bebas dari faring posterior ke dalam esofagus
bagian atas. Di antara penelanan, sfingter ini tetap berkontraksi dengan kuat,
sehingga mencegah udara masuk ke esofagus selama respirasi. Gerakan laring ke
atas juga mengangkat glotis keluar dari jalan utama makanan, sehingga makanan
terutama hanya melewati setiap sisi epiglotis dan bukan melintas di atas
permukaanya; hal ini menambah pencegahan terhadap masuknya makanan ke
dalam trakea; 5. Setelah laring terangkat dan sfingter krikofaring mengalami
relaksasi, seluruh otot dinding faring berkontraksi, mulai dari bagian superior
6
faring lalu menyebar ke bawah melintasi daerah faring media dan inferior, yang
mendorong makanan ke dalam esofagus melalui proses peristaltik.
Gambar 4. Proses menelan. Fase oral, Fase faringeal, dan Fase esofagal3
Tahap esofageal
Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan secara cepat
dari faring ke lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi
tersebut. Normalnya, esofagus memiliki dua gerakan peristaltik : peristaltik
primer dan peristaltik sekunder. Peristaltik primer hanya merupakan kelanjutan
dari gelombang peristaltik yang dimulai di faring dan menyebar ke esofagus
selama tahap faringeal dari proses menelan. Jika gelombang peristaltik primer
gagal mendorong semua makanan yang telah masuk ke esofagus ke dalam
lambung, terjadi gelombang peristaltik sekunder yang dihasilkan dari peregangan
esofagus oleh makanan yang tertahan, gelombang ini terus berlanjut sampai
semua makanan dikosongkan ke dalam lambung. Gelombang peristaltik sekunder
ini sebagian dimulai oleh sirkuit saraf intrinsik dalam sistem saraf mienterikus dan
7
sebagian oleh refleks - refleks yang dimulai pada faring lalu dihantarkan ke atas
melalui serabut-serabut aferen vagus ke medula dan kembali lagi ke esofagus
melalui serabut-serabut saraf eferen glosofaringeal dan vagus.6
Susunan otot dinding faring dan sepertiga bagian atas esofagus adalah otot
lurik. Karena itu, gelombang peristaltik di daerah ini diatur oleh sinyal saraf
rangka dari saraf glosofaringeal dan saraf vagus. Pada dua pertiga bagian bawah
esofagus, susunan ototnya merupakan otot polos, namun bagian esofagus ini juga
secara kuat diatur oleh saraf vagus yang bekerja melalui perhubungan dengan
system saraf mienterikus esofageal.5,6
8
BAB III
DISFUNGSI KRIKOFARINGEAL
A. Definisi
Disfungsi krikofaringeal adalah kegagalan dari otot krikofaringeus atau
sfingter atas esofagus untuk berelaksasi. Disfungsi krikofaringeal ini disebut juga
dengan akalasia krikofaringeus.7
B. Epidemiologi
Insidensi disfagia servikal yang disebabkan oleh disfungsi krikofaringeal
masih belum sepenuhnya diketahui. Kurangnya data epidemiologik ini
dikarenakan oleh adanya kontroversi dalam kriteria diagnostik disfungsi
krikofaringeal. Sebagian peneliti mendiagnosis disfungsi krikofaringeal cukup
dengan tanda dan gejala klinis saja, sedangkan di pihak lain, berpendapat bahwa
untuk mendiagnosis disfungsi krikofaringeal diperlukan pemeriksaan radiologik
lebih lanjut atau studi invasif lainnya. Walaupun insidensi pasti dari disfungsi
krikofaringeal masih belum diketahui, pada literatur dilaporkan bahwa akalasia
krikofaringeal merupakan penyebab primer atau kontributor utama disfagia, yaitu
sebesar 5 – 25%.8
C. Etiologi
Dalam keadaan normal, otot krikofaring berada dalam kondisi kontraksi
dan akan berelaksasi pada saat menelan untuk dilewati oleh bolus makanan. Pada
disfungsi krikofaringeal, terjadi kegagalan relaksasi otot krikofaring pada saat
menelan. Disfungsi krikofaringeal ini disebut juga dengan akalasia
krikofaringeal.7
Disfungsi krikofaringeal terbagi menjadi dua jenis berdasarkan
penyebabnya, yaitu disfungsi krikofaringeal primer dan sekunder. Pada disfungsi
9
krikofaringeal primer terjadi spasme atau kegagalan otot krikofaring untuk
berelaksasi tanpa adanya penyebab sistemik atau neurologis yang mendahului.
Grup primer ini kemudian dibagi lagi menjadi disfungsi krikofaringeal idiopatik
(tidak diketahui penyebabnya) dan disfungsi krikofaringeal yang disebabkan oleh
kelainan intrinsik otot krikofaring (misal: polimiositis, distrofi muskular,
hipotiroidisme).
Pada kasus lain, spasme otot krikofaring disebabkan oleh adanya suatu
kelainan neurologis, seperti polio, disfagia okulofaringeal, stroke, dan
amyotrophic lateral sclerosis (ALS). Penyakit saraf perifer seperti, neuropati
dibetikum, myastenia gravis dan neuropati perifer juga diketahui dapat
menyebabkan disfungsi krikofaringeal atau akalasia krikofaringeal.9
D. Patofisiologi
Dampak ketidak-normalan pada fase faringeal dalam proses menelan
adalah choking, coughing dan aspirasi. Hal ini terjadi bila : 1. Refleks menelan
gagal teraktivasi sehingga fase faring tidak berlangsung. Terjadi akibat gangguan
neurologi pada pusat proses menelan di medulla atau saraf kranial sehingga terjadi
ketidakstabilan saat menelan ludah dan timbul pengeluaran air liur (drooling)
serta penumpukan sekresi; 2. Refleks menelan terlambat, sehingga dapat terjadi
aspirasi sebelum proses menelan dimulai; 3. Sfingter krikofaring gagal
berelaksasi. Aspirasi dapat terjadi karena penumpukan bahan/makanan pada
sfingter yang tertutup sehingga dapat masuk ke jalan napas yang sedang terbuka.5
E. Diagnosis
Anamnesis
Tanda dan gejala yang muncul pada disfungsi krikofaringeal dapat
bervariasi. Gejala yang timbul antara lain : (a) Disfagia (makanan padat dan
cairan, terutama makanan padat), (b) perasaan makanan yang menyangkut di
tenggorok. Sebagian besar pasien mengeluh rasa menyangkut atau mengganjal di
leher sepertiga bawah. Pasien biasanya akan menunjuk di daerah krikoid saat
10
mendeskripsikan disfagia yang dialami. Selain itu, pasien juga dapat mengeluh
heartburn, rasa tercekik (choking) dan nyeri saat menelan. Tanda dan gejala lain
yang lebih jarang ditemukan antara lain, disfonia, globus sensation, dan rasa
tertekan di leher saat proses menelan makanan. Gejala-gejala ini dapat terjadi
selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.9
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan daerah leher dilakukan untuk melihat dan meraba adanya
massa tumor atau pembesaran kelenjar limfe yang dapat menekan esofagus.
Daerah rongga mulut perlu diteliti, apakah ada tanda-tanda peradangan orofaring
dan tonsil selain adanya massa tumor yang dapat menganggu proses menelan.
Selain itu, diteliti adanya kelumpuhan otot-otot lidah dan arkus faring yang
disebabkan oleh gangguan di pusat menelan maupun pada saraf kranial n.V, VII,
IX, X, dan XII. 5
Pemeriksaan Penunjang
Untuk diagnosis selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis kelainan disfagia antara lain :
Video Fluoroskopic Swallow Assessment (VFSA). Pemeriksaan ini yang
juga dikenal sebagai Modified Barium Swallow (BMS), adalah pemeriksaan yang
sering dilakukan untuk mengevaluasi disfagia dan aspirasi. Pemeriksaan ini
menggambarkan struktur dan fisiologi menelan pada rongga mulut, faring, laring
dan esofagus bagian atas. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan bolus
kecil dengan berbagai konsistensi yang dicampur dengan barium.5 Pada disfungsi
krikofaringeal ditemukan gambaran bar horizontal (cricopharyngeal bar) setinggi
kartilago krikoid. Hal ini menimbulkan indentasi atau lekukan posterior di saluran
yang dilewati barium selama proses menelan. VFSS juga dapat melihat ada atau
tidaknya suatu aspirasi nasofaringeal, luapan laringeal, aspirasi dan stasis
faringeal, dimana hal-hal tersebut biasa ditemukan pada disfungsi krikofaringeal.9
11
Gambar 4. Indentasi Faring pada Pencitraan Radiologik7
Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing (FEES). Pemeriksaan ini
dilakukan untuk mengevaluasi fungsi menelan dengan menggunakan
nafaringoskop serat lentur. Pasien diberikan berbagai jenis konsistensi makanan
dari jenis makanan cair sampai padat dan dinilai kemampuan pasien dalam proses
menelan. Dengan pemeriksaan FEES, dinilai lima proses fisilogi dasar, yaitu (a)
sensitivitas, pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat berperan dalam
terjadinya aspirasi; (b) Spillage (preswallowing leakage), masuknya makanan ke
dalam hipofaring sebelum refleks menelan dimulai sehingga mudah terjadi
aspirasi; (c) Residu, menumpuknya sisa makanan pada daerah valekula, sinus
piriformis, poskrikoid dan dinding faring posterior sehingga makanan tersebut
akan mudah masuk ke jalan napas pada saat proses menelan; (d) Penetrasi,
masuknya makanan ke vestibulum laring tetapi belum melewati pita suara; (e)
Aspirasi, masuknya makanan ke jalan napas melewati pita suara.5
Tes Manometri. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengevaluasi
perubahan tekanan yang terjadi saat proses menelan. Dalam prosesnyaa,
menggunakan kateter tipis dan fleksibel yang di masukan ke esofagus melalui
hidung atau mulut. Kateter yang digunakan memiliki suatu sensor tekanan yang
terpasang di lokasi spesifik tertentu. Sensor tekanan ini dapat menilai kekuatan
12
dan koordinasi dari gerakan peristaltik faring dan esofagus serta kekuatan
kontraksi dan relaksasi dari sfingter esofagus bagian atas dan bawah. Tetapi
pemeriksaan ini lebih sering digunakan untuk menilai kekuatan motorik dari
esofagus karena untuk menilai disfungsi dari sfingter esofagus atas diperlukan alat
khusus tambahan karena perubahan kecepatan tekanan faringeal pada proses
menelan melebihi kapasitas yang dimiliki oleh alat biasa yang digunakan untuk
manometri esofageal.10
Gambar 5. Tes Manomateri10
F. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Disfungsi krikofaringeal pada umumnya refrakter terhadap terapi
medikamentosa, termasuk terapi dengan muscle relaxant. Injeksi toksin botulinum
pada otot krikofaring diketahui sebagai intervensi terapeutik yang paling
memungkinkan. Teradapat dua manfaat yang didapatkan dari injeksi toksin
13
botulinum ini, yang pertama adalah pada pasien yang masih diragukan menderita
dasfagia yang disebabkan oleh disfungsi krikofaring, toksin botulinum dapat
digunakan sebagai terapi percobaan. Jika keluhan disfagia pasien membaik atau
menghilang setalah pemberian toksin botulinum, diagnosis disfungsi
krikofaringeal bisa ditegakkan dan tindakan pembedahan diperlukan lebih lanjut.
Manfaat kedua adalah, pada pasien yang tidak dapat menjalan tindakan bedah,
injeksi toksin botulinum merupakan terapi pilihan. Sayangnya, penyuntikan toksin
botulinum ke otot krikofaring cukup sulit dilakukan dan juga membuat pasien
tidak nyaman. Selain itu, efek dari toksin ini hanya sementara, sehingga
diperlukan penyuntikan berulang dan terus menerus untuk mempertahankan efek
terapeutik. Efek samping yang dapat terjadi bila penyuntikan tidak tepat di otot
krikofaring adalah paralisis sementara dari otot-otot laringeal, yang kemudian
menyebabkan disfonia atau aspirasi.9
Pembedahan
Pembedahan yang dilakukan pada disfungsi krikofaringeal yaitu eksternal
krikofaringeal miotomi. Dilakukan pemotongan pada otot krikofaring, dan
diperluas ke arah superior dan inferior untuk memastikan bahwa seluruh otot
terbebas, sehingga dapat dikatakan dilakukan miotomi sepanjang 4 – 5 cm.8
Gambar 6. a. Krikofaringeal Miotomi, b. Panjang Insisi Miotomi8
Akhir-akhir ini, beberapa ahli bedah sudah melakukan krikofaringeal
miotomi dengan pendekatan transoral endoskopik laser. Tehnik ini memiliki
14
beberapa keuntungan, antara lain tidak dilakukannya insisi eksternal pada leher
dan mengurangi resiko cedera pada jaringan sekitar. Komplikasi dari
krikofaringeal miotomi antara lain adalah pemotongan berlebih hingga memasuki
lumen esofagus (inadvertent esophagotomy), yang dapat menyebabkan fistula.
Komplikasi lainnya yaitu, cedera pada nervus laringeal rekuren yang akan
menyebabkan hoarsness atau suara parau.9
G. Prognosis
Secara umum, prognosis pada pasien disfagia yang tidak diobati adalah buruk.
Hanya sedikit pasien yang mengalami perbaikan secara spontan. Pasien yang tidak
diberi terapi biasanya dapat menimbulkan kematian oleh karena pneumonia
aspirasi. Dilaporkan bahwa angka kesuksesan dari cricopharyngeal myotomy
mencapai 75%. 8
BAB IV
RESUME
15
Proses menelan atau deglutisi terdiri dari 3 fase, yaitu fase oral, faringeal
dan esofageal. Disfagia atau sulit menelan dapat terjadi apabila terdapat gangguan
di salah satu fase deglutisi tersebut. Pada tahap akhir dari fase faringeal, terdapat
suatu proses peristaltik faring dan relaksasi sfingter atas esofagus atau yang
disebut juga dengan otot krikofaring. Relaksasi dari otot ini memungkinkan bolus
makanan masuk ke esofagus. Tetapi, pada disfungsi krikofaring, proses tersebut
tidak terjadi, sehingga pasien akan mengalami disfagia. Dengan gejala antara lain
rasa menyangkut di tenggorok, biasanya pasien sulit menelan makanan padat, bila
sudah semakin berat, pasien juga dapat mengalami kesulitan menelan air. Selain
itu pasien juga akan menunjuk ke sepertiga leher bagian bawah saat diminta untuk
mendeskripsikan disfagianya.
Disfungsi krikofaring terbagi menjadi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu
disfungsi krikofaring idiopatik/primer (penyebabnya tidak diketahui) dan
disfungsi krikofaring sekunder, yang biasanya disebabkan oleh kelainan saraf
seperti stroke, polio, parkinson’s disease, ataupun neuropati perifer.
Diagnosis pasti dari disfungsi krikofaring adalah dengan melakukan
pemeriksaan radiologi, yaitu videofluoroskopic swallow assessment (VFSS).
Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi faring dan esofagus. Akan terlihat
gambaran cricopharingeal bar setinggi kartilagi krikoid yang menimbulkan
lekukan pada saluran yang dilewati barium.
Disfagia yang tidak ditangani, dapat menimbulkan berbagai komplikasi,
yang paling sering dijumpai dan berbahaya adalah pneumonia aspirasi. Oleh
karena itu, pada pasien disfagia yang disebabkan oleh disfungsi krikofaringeal,
dapat diberikan terapi medikamentosa ataupun pembedahan. Terapi
medikamentosa yang paling efektif adalah injeksi toksin botulinum pada otot
krikofaring, tetapi terapi yang paling dianjurkan adalah dengan pembedahan.
Teknik bedah yang dilakukan yaitu eksternal miotomi krikofaring.
Dengan diberikannya terapi tersebut, dapat memperbaiki prognosis pasien
dengan menghindari terjadinya komplikasi dari disfagia.
16
DAFTAR PUSTAKA
17
1. Keeton WT. Human Digestive System. Encyclopaedia Brittanica. Diunduh
dari http://www.britannica.com/science/human-digestive-system/Pharynx.
2. Adams GL, Boeis L, Higler PA, et al. Embriologi, Antomi, dan Fisiologi
Rongga Mulut, Faring, Esofagus, dan Leher. Dalam Boeis Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2012.
3. Joshi AS. Pharynx Anatomy. Medscape. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview#a4.
4. Throat anatomy. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1899345-overview#showall.
5. Soepardi EA. Disfagia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta: FKUI. 2007. h. 276-302.
6. Guyton AC, Hall JE. Propulsi dan Pencampuran Makanan dalam Saluran
Pencernaan. Dalam Guyton and Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi 11. Jakarta: EGC, 2006. h: 821-831.
7. Cricopharyngeal Dysfunction. Bastian Medical Media for Laryngology.
Diunnduh dari http://bastianmedicalmedia.com/cricopharyngeal-
dysfunction/.
8. Bhattacharayya N. Cricophyaringeal Myotomy. Medscape. Diuunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/836966-overview.
9. Rao SM, Satischandra T, Murthy PSN. Case Report : Cricopharyngeal
Myotomy Revisited. International Journal of Phonosurgery and
Laryngology, July-December 2011; 1(2): 76 – 79.
10. Swallowing Disorder. Diunduh dari
http://www.hopkinsmedicine.org/gastroenterology_hepatology/_pdfs/esop
hagus_stomach/swallowing_disorders.pdf. 2015
18