Demokrasi Informasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penggalan naskah makalah ini memuat penjelasan perihal pertautan antara demokrasi, keterbukaan informasi publik, "kebudayaan rekaman", dan kepustakawanan.

Citation preview

Demokrasi InformasiKetika membahas teori-teori tentang demokratisasi, Ingunn Hagen (1992) menyatakan bahwa ada 3 macam bentuk utama demokrasi. Pertama, demokrasi kompetitif (competitive democracy) yang ditandai oleh kompetisi bebas dan terbuka berbagai elemen masyarakat untuk menjadi dominan dalam politik sebuah negara. Kedua, demokrasi partisipatoris (participatory democracy) yang ditandai oleh prasyarat keterwakilan yang adil dari semua elemen masyarakat dan partisipasi yang seluas-luasnya di berbagai lapisan masyarakat. Ketiga, demokrasi dialogis (discourse or dialogue democracy) yang mensyaratkan semua anggota masyarakat memiliki hak dan kemampuan untuk berdialog dalam rangka mengelola kehidupan mereka bersama. Dari sisi pandang informasi, demokrasi kompetitif lebih menghasilkan dominasi teknokrat katimbang partisipasi meluas. Sedangkan demokrasi partisipatoris seringkali terseok-seok karena kemampuan berpartisipasi di kalangan masyarakat yang lemah atau dibuat lemah. Sebaliknya, prinsip-prinsip demokrasi dialogis lebih mengarah kepada pemberdayaan semua anggota masyarakat untuk tidak hanya memiliki akses ke informasi, tetapi juga menggunakan informasi tersebut dalam diskursus dan dialog tentang hal-hal yang mendasar dalam kehidupan mereka. Menarik untuk dilihat, bahwa bentuk demokrasi dalam klasifikasi Hagen di atas memiliki teknologi informasi yang berbeda. Ide tentang demokrasi kompetitif melahirkan teknologi yang informing (memberi informasi). Kelahiran dan pertumbuhan media massa cetak maupun elektronik sangat terbantu oleh ide tentang demokrasi kompetitif, sedemikian rupa sehingga setiap media berlomba-lomba menjadi yang paling cepat/segera dan paling banyak menyebarkan informasi untuk kepentingan publik. Pada dasarnya, informing technology ini ikut menyiptakan masyarakat yang menjadi konsumen informasi, bersikap lebih sebagai penerima informasi daripada peminta informasi. Sebaliknya, demokrasi partisipatoris memerlukan teknologi informasi yang tidak harus massal dan segera (instantenous), melainkan teknologi informasi yang lebih komunal mengikuti ciri-ciri khas dari setiap elemen dan kepetingan berbeda di dalam masyarakat yang dibiarkan majemuk. Sementara demokrasi dialogis mendorong kelahiran dan penggunaan teknologi yang memungkinkan interaksi langsung, sedemikian rupa sehingga media yang kemudian tumbuh pesat adalah media yang melibatkan (involving) dan bukan hanya memberi informasi (informing). Jejaring sosial seperti Facebook adalah salah satu contoh dari ketersediaan teknologi yang memungkinkan publik secara luas berpartisipasi dan berdialog. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini mungkin adalah gabungan dari ketiga jenis demokrasi, dan ketiganya sedang bertarung menjadi yang paling unggul. Di tengah pertarungan ini yang menjadi taruhan-nya adalah transparansi dan kebebasan memperoleh informasi. Secara lebih spesifik kita sebenarnya berbicara tentang informasi terekam, yang secara umum kita katakan sebagai dokumen. Sebuah dokumen pada dasarnya adalah sebuah rekaman. Ucapan-ucapan lisan seorang pedagang yang berhubungan dengan pejabat, percakapan antar pejabat maupun antara pejabat dan anggota masyarakat, bukanlah dokumen kalau belum terekam. Ide tentang demokrasi di masyarakat moderen dan kebebasan informasi sebagaimana telah kita ulas di atas akhirnya terkait langsung dengan kebudayaan rekaman sebagai lawan dari kebudayaan lisan . Apa yang kita maksud dengan demokrasi informasi dan kebebasan memperoleh informasi sebenarnya mengandung pemahaman bahwa seluruh peradaban moderen hanya dapat terwujud jika dilandasi oleh rekaman-rekaman yang teratur. Kita mempersoalkan 1

akontabilitas dan keterbukaan pemerintah karena kita mempersoalkan rekaman kegiatan mereka. Kita mempersoalkan akses ke kebijaksanaan penyelenggaraan kehidupan bernegara karena kita mempersoalkan rekaman-rekaman kebijaksanaan itu. Pengertian mendapat informasi yang cukup (well informed) sebenarnya dilandaskan pada asumsi bahwa informasi publik sudah direkam secara baik dan menyeluruh, sedemikian rupa sehingga proses pembuatan maupun produknya dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama dan bisa diambil kembali kapan pun diperlukan. Dalam praktiknya, sebuah dokumen tidaklah bermakna semata-mata karena merekam informasi. Dokumen itu harus mengandung di dalamnya otentitas yang menimbulkan kepercayaan (trust). Di dalam budaya rekaman kita akan kehilangan kontak langsung dengan pencipta informasi, sehingga nilai dari informasi yang ada di dalam dokumen sangat bergantung pada seberapa percaya kita pada otentitasnya. Tradisi kepustakawanan dan segala turunannya (dokumentasi, kearsipan, manajemen rekod) telah sejak awal melahirkan fungsi keperantaraan (intermediary). Fungsi dan profesi para perantara ini amat berbeda dari profesi penyebar informasi massal. Di dalam fungsi penyebaran informasi (misalnya sebagaimana dilakukan media-massa) masyarakat berharap agar mereka terinformasi secara cepat dan banyak, selain juga akurat. Bahkan kalaupun sekali waktu seorang jurnalis tidak akurat, masyarakat masih dapat memaafkan-nya, asalkan si jurnalis dengan cepat mencari data tambahan agar melengkapi akurasinya. Semua yang disampaikan jurnalis itu kemudian dengan cepat silih berganti, dalam jarak yang semakin pendek pula. Masyarakat menilai jurnalistik dari apa yang paling baru dan paling cepat disampaikannya (prinsip aktualitas). Kepustakawanan dalam konteks budaya rekaman ditandai bukan oleh banyak dan cepat, tetapi oleh ketelitian dan kemudahan-ditelusur (retraceable). Kepustakawanan melahirkan tradisi untuk secara cermat menyimpan apa yang sudah disampaikan dan diputuskan, agar setiap kali dapat diambil kembali untuk diperiksa. Pada kecermatan inilah nantinya publik akan menaruh kepercayaan mereka. Selain itu, pada dasarnya tradisi untuk menyimpan rekaman tak akan ada gunanya jika masyarakat tak memiliki kemampuan untuk melihat, membaca, mengetahui, dan mengerti informasi publik (terekam). Secara tegas kita ingin mengatakan bahwa akses, ketersediaan, dan ketersebaran informasi publik tidak cukup, jika akhirnya informasi itu tidak dapat dengan mudah dilihat, dibaca, diketahui, dan dimengerti isinya. Dari sinilah kita akhirnya dapat mengaitkan demokrasi informasi dengan kondisi masyarakat, khususnya dengan kondisi kemampuan masyarakat itu dalam mengakses dan memanfaatkan informasi. Dengan kata lain, demokrasi, transparansi dan kebebasan informasi ini berdiri di atas apa yang disebut keberaksaraan atau literasi (literacy) yang akan kita bahas di bagian berikut. ###

2

Artikel ini merupakan penggalan dari tulisan berjudul Menjadi Profesional di Bidang Informasi : menghadapi fenomena demokratisasi dan konvergensi teknologi yang ditulis oleh Putu Laxman Pendit, Labibah Zain, dan Imas Maesaroh. Tulisan tersebut merupakan makalah dalam seminar bertema Library & Information Education@the Crossroad yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) dan Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI), pada 17 November 2009, di Hotel Topas Galeria, Bandung. Makalah tersebut dapat diunduh di: http://isipii.or.id/menjadi-profesional-di-bidang-informasi-menghadapi-fenomenademokratisasi-dan-konvergensi-teknologi/

Untuk keperluan pengutipan silahkan gunakan bibliografi berikut ini: Pendit, Putu Laxman, Labibah Zain, dan Imas Maesaroh. 2009. Menjadi Profesional di Bidang Informasi : menghadapi fenomena demokratisasi dan konvergensi teknologi. Makalah dalam seminar Library & Information Education@the Crossroad yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) dan Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI), pada 16-18 November 2009, di Hotel Topas Galeria, Bandung.

3