27

Click here to load reader

Dermatofitosis 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jamur di kulit

Citation preview

Page 1: Dermatofitosis 1

Dermatofitosis

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya

stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan golongan jamur

dermatofita (Budimulja, 2005).

Dermatofita dibagi menjadi genera Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton

(Madani, 2000). Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Hingga kini

dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing dua spesies Epidermophyton, 17

spesies Microsporum dan 21 spesies Trichophyton (Budimulja, 2005).

Angka insidensi dermatofitosis pada tahun 1998 yang tercatat melalui Rumah Sakit

Pendidikan Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari prosentase terendah

sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga prosentase tertinggi sebesar 82,6 % (Surakarta) dari

seluruh kasus dermatomikosis (Adiguna, 2001).

Topikal berasal dari bahasa Yunani topikos yang artinya berkaitan dengan daerah

permukaan tertentu, seperti anti infeksi topikal yang dioleskan pada daerah tertentu di

kulit dan yang hanya mempengaruhi daerah yang dioles tersebut (Dorland, 1996).

Pengobatan topikal pada dermatofita menjadi hal penting untuk diketahui oleh tenaga

medis, sehingga memerlukan informasi terapi yang tepat tehadap setiap penyakit

dermatofita.

II. 1. Dermatofita

Menurut Madani (2000) golongan jamur dermatofita dapat menyebabkan beberapa

bentuk klinis yang khas. Satu jenis dermatofita dapat menghasilkan bentuk klinis yang

berbeda, tergantung letak lokasi anatominya.

A. Tinea Kapitis

Dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut ini umumnya menyerang anak prapubertas.

Jamur menyerang stratum korneum dan masuk ke folikel rambut yang selanjutnya akan

menyerang bagian luar atau sampai ke bagian dalam rambut, bergantung pada spesiesnya

(Daili, dkk., 2005).

Menurut Madani (2000) ada tiga bentuk klinis tinea kapitis, yaitu :

1. Grey patch ringworm

Page 2: Dermatofitosis 1

Bentuk ini terutama disebabkan oleh Microsporum audouinii (Mulyono, 1986). Bentuk

ini ditemukan pada anak-anak dan biasanya dimulai dengan timbulnya papula merah

kecil di sekitar folikel rambut. Papula ini kemudian melebar dan membentuk bercak

pucat karena adanya sisik. Penderita mengeluh gatal, warna rambut menjadi abu-abu,

tidak berkilat lagi. Rambut menjadi mudah patah dan juga mudah terlepas dari akarnya.

Pada daerah yang terserang oleh jamur terbentuk alopesia setempat dan terlihat sebagai

grey patch. Bercak abu-abu ini sulit terlihat batas-batasnya dengan pasti bila tidak

menggunakan lampu Wood. Pemeriksaan dengan lampu Wood memberikan fluoresensi

kehijau-hijauan sehingga batas-batas yang sakit dapat terlihat jelas.

2. Kerion

Merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Microsporum canis (Mulyono,

1986). Bentuk yang disertai dengan reaksi peradangan yang hebat. Lesi berupa

pembengkakan menyerupai sarang lebah, dengan sebukan radang di sekitarnya. Kelainan

ini menimbulkan jaringan parut yang menetap.

3. Black dot ringworm

Merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan

Trichophyton violaceum (Mulyono, 1986). Gambaran klinis berupa terbentuknya titik-

titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut yang terinfeksi tepat di muara

folikel. Ujung rambut yang patah dan penuh spora terlihat sebagai titik hitam.

Diagnosis banding pada tinea kapitis adalah alopesia areata, dermatitis seboroik dan

psoriasis (Siregar, 2005).

B. Tinea Favosa

Tinea favosa adalah infeksi jamur kronis, terutama oleh Trichophyton schoenleini,

Trichophyton violaceum dan Microsporum gypseum. Penyakit ini merupakan bentuk lain

tinea kapitis, yang ditandai oleh skutula berwarna kekuningan dan bau seperti tikus pada

kulit kepala. Biasanya, lesinya menjadi sikatrik alopesia permanen. Kadang kulit halus

dan kuku dapat terkena.

Gambaran klinis mulai dari gambaran ringan, berupa kemerahan pada kulit kepala dan

terkenanya folikel rambut tanpa kerontokan, hingga skutula dan kerontokan rambut, serta

lesi menjadi lebih merah dan lebih luas. Setelah itu, terjadi kerontokan rambut luas, kulit

mengalami atrofi dan sembuh dengan jaringan parut permanen.

Page 3: Dermatofitosis 1

Penegakan diagnosis tinea favosa berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis

langsung, dengan menemukan miselium, air bubbles yang bentuknya tidak teratur. Pada

pemeriksaan dengan lampu Wood tampak fluoresensi hijau pudar (dull green) (Madani,

2000).

C. Tinea Korporis

Tinea korporis atau tinea sirsinata adalah infeksi jamur golongan dermatofita (berbagai

spesies Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton) pada badan, tungkai dan

lengan dan mempunyai gambaran morfologi yang khas (Daili, dkk., 2005).

Menurut Madani (2000) penyebab tersering penyakit ini adalah Trichophyton rubrum dan

Trichophyton mentagrophytes.

Pasien merasa gatal dan kelainan umumnya berbentuk bulat, berbatas tegas, terdiri atas

macam-macam efloresensi kulit (polimorf) dengan bagian tepi lesi lebih jelas tanda

peradangannya daripada bagian tengah. Beberapa lesi dapat bergabung dan membentuk

gambaran polisiklis. Lesi dapat meluas dan memberi gambaran yang tidak khas terutama

pada pasien imunodefisiensi. Pada kasus dermatofitosis dengan gambaran klinis tidak

khas, diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan penunjang berupa

pemeriksaan kulit dengan larutan KOH 10-20 % (Daili, dkk., 2005).

Diagnosis banding tinea korporis adalah morbus hansen, pitiriasis rosea dan

neurodermatitis sirkumskripta (Siregar, 2005).

D. Tinea Imbrikata

Tinea imbrikata adalah dermatofitosis kronik rekuren disebabkan Trichophyton

concentricum. Di indonesia penyakit ini ditemukan endemis di wilayah tertentu, antara

lain Papua, Sulawesi, Sumatra dan pulau-pulau bagian tengah Indonesia Timur, terutama

pada masyarakat terasing. Kerentanan terhadap penyakit ini diduga diturunkan secara

genetik dengan pola penurunan autosomal resesif.

Gambaran klinis pada kulit berupa lingkaran-lingkaran konsentris terdiri atas lesi

papuloskuamosa, dengan stratum korneum yang lepas sisi bebasnya menghadap ke arah

dalam lesi, sehingga tampak tersusun seperti genting. Pada keadaan kronik rasa gatal

tidak menonjol (Daili, dkk., 2005).

E. Tinea Kruris

Tinea kruris adalah penyakit jamur dermatofita di daerah lipat paha, genitalia dan sekitar

Page 4: Dermatofitosis 1

anus yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah. Penyebabnya biasanya

adalah Epidermophyton floccosum, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh

Trichophyton rubrum.

Gambaran klinik biasanya adalah lesi simetris di lipat paha kanan dan kiri. Mula-mula

lesi ini berupa bercak eritematosa dan gatal, yang lama-kelamaan meluas sehingga dapat

meliputi skrotum, pubis, glutea bahkan sampai paha. Tepi lesi aktif, polisiklis, ditutupi

skuama dan kadang-kadang disertai dengan banyak vesikel kecil-kecil.

Diagnosis banding tinea kruris meliputi dermatitis seboroik, kandidosis kutis, eritrasma,

dermatitis kontak dan psoriasis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang

khas dan ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskop

langsung memakai larutan KOH 10-20 % (Madani, 2000; Siregar, 2005).

F. Tinea Manus dan Pedis

Tinea manus dan pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur

dermatofita di daerah kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari

tangan dan kaki, serta daerah interdigital. Penyebab tersering adalah Trichophyton

rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum.

Penyakit ini sering terjadi pada orang dewasa yang setiap hari harus memakai sepatu

tertutup dan pada orang yang sering bekerja di tempat yang basah, mencuci, di sawah dan

sebagainya. Keluhan penderita bervariasi mulai tanpa keluhan sampai mengeluh sangat

gatal dan nyeri karena terjadinya infeksi sekunder dan peradangan (Madani, 2000).

Menurut Madani (2000) dikenal tiga bentuk klinis tinea manus dan pedis yang sering

dijumpai, yakni :

1. Bentuk intertriginosa

Manifestasi kliniknya berupa maserasi, deskuamasi dan erosi pada sela jari. Tampak

warna keputihan basah dan dapat terjadi fisura yang terasa nyeri bila tersentuh. Infeksi

sekunder dapat menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit

jari. Pada kaki, lesi sering mulai dari sela jari III, IV dan V. Bentuk klinik ini dapat

berlangsung bertahun-tahun tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini

dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga terjadi limfangitis, selulitis dan

erisipelas yang disetai gejala-gejala umum.

Page 5: Dermatofitosis 1

2. Bentuk vesikular akut

Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikula-vesikula dan bula yang terletak agak dalam di

bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi yang tersering adalah telapak kaki bagian tengah

dan kemudian melebar serta vesikulanya memecah. Infeksi sekunder dapat memperburuk

keadaan ini.

3. Bentuk mocassin foot

Pada bentuk ini seluruh kaki dari telapak, tepi sampai punggung kaki, terlihat kulit

menebal dan berskuama. Eritem biasanya ringan, terutama terlihat pada bagian tepi lesi.

Diagnosis banding untuk tinea manus adalah dermatitis kontak alergika, dermatitis

dishidrotik dan dermatitis numularis. Diagnosis banding untuk tinea pedis adalah

kandidiasis, akrodermatitis perstans dan pustular bacterid (Siregar, 2005). Diagnosis

ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan

KOH 10-20 % yang menunjukkan elemen jamur (Madani, 2000).

G. Tinea Unguium

Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita.

Penyebab penyakit yang tersering adalah Trichophyton mentagrophytes dan

Trichophyton rubrum.

Penyakit ini biasanya menyertai tinea pedis atau tinea manus. Keluhan penderita berupa

kuku menjadi rusak dan warnanya menjadi suram. Bergantung penyebabnya, destruksi

kuku dapat mulai dari distal, lateral ataupun keseluruhan. Bila disertai paronikia, sekitar

kuku akan terasa nyeri dan gatal. Pada umumnya tinea unguium berlangsung kronik dan

sukar penyembuhannya (Madani, 2000).

Menurut Madani (2000) dikenal tiga bentuk gejala klinis tinea unguium, yakni :

1. Bentuk subungual distalis

Penyakit ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Penyakit akan menjalar ke

proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh.

2. Leukonikia trikofita atau leukonikia mikofita

Bentuk ini berupa bercak keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk

membuktikan adanya elemen jamur.

3. Bentuk subungual proksimal

Pada bentuk ini, kuku bagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Kuku

Page 6: Dermatofitosis 1

kaki lebih sering diserang daripada kuku tangan.

Diagnosis banding adalah onikodistrofi oleh karena kandida albikans, onikodistrofi akibat

trauma dan psoriasis pada kuku (Siregar, 2005). Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala

klinis dan pemeriksaan kerokan kuku dengan KOH 10-20 % atau dilakukan biakan untuk

menemukan elemen jamur (Madani, 2000).

II. 2. Pengobatan Topikal

Menurut Djuanda (1994) ada dua pedoman dalam pengobatan topikal, yaitu :

1. a. Basah dengan basah

Berarti jika dermatosis basah (eksudatif) diobati dengan kompres terbuka. Tetapi prinsip

ini tidak mutlak, kompres terbuka juga digunakan pada dermatosis dengan peradangan

hebat.

b. Kering dengan kering

Berarti jika dermatosis kering diobati dengan vehikulum yang kering, misalnya salep.

2. Makin akut suatu dermatosis, makin lemah bahan aktif yang dipakai

Berarti pada dermatosis yang akut jangan diberi terapi dengan bahan aktif yang kuat,

yakni dengan konsentrasi yang tinggi karena akan menghebat.

Menurut Hamzah (2005) prinsip obat topikal secara umum terdiri atas dua bagian yaitu

bahan dasar (vehikulum) dan bahan aktif dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Bahan dasar (vehikulum)

Memilih bahan dasar (vehikulum) obat topikal merupakan langkah awal dan terpenting

yang harus diambil pada pengobatan penyakit kulit. Pada umumnya sebagai pegangan

ialah pada keadaan yang membasah dipakai bahan dasar yang cair atau basah, misalnya

kompres; dan pada keadaan kering dipakai bahan dasar padat atau kering, misalnya salep.

Secara sederhana bahan dasar dibagi menjadi tiga yaitu cairan, bedak dan salep.

Disamping itu ada dua campuran atau lebih bahan dasar, yaitu bedak kocok (lotion),

krim, pasta dan linimen.

a. Cairan

Cairan terdiri atas solusio (larutan dalam air) dan tinctura (larutan dalam alkohol).

Solusio dibagi dalam kompres, rendam (bath) dan mandi (full bath). Prinsip pengobatan

cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari debris (pus, krusta dan sebagainya) dan

sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Disamping itu terjadi perlunakan atau

Page 7: Dermatofitosis 1

pecahnya vesikel, bula dan pustula. Hasil akhir pengobatan ialah keadaan yang

membasah menjadi kering, permukaan menjadi bersih sehingga mikroorganisme tidak

dapat tumbuh dan mulai terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna juga untuk

menghilangkan gejala, misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-

macam dermatosis. Harus diingat bahwa pengobatan dengan cairan dapat menyebabkan

kulit menjadi terlalu kering. Jadi pengobatan cairan harus dipantau secara teliti. Kalau

keadaan sudah mulai kering, maka pemakaiannya dikurangi dan kalau perlu dihentikan

untuk diganti dengan bentuk pengobatan lainnya. Cara kompres lebih disukai daripada

cara rendam dan mandi, karena pada kompres terdapat pendinginan dengan adanya

penguapan, sedangkan pada rendam dan mandi terjadi proses maserasi. Bahan aktif yang

dipakai dalam kompres ialah biasanya bersifat astringen dan antimikrobial. Astringen

mengurangi eksudat akibat presipitasi protein. Kompres terdiri dari dua macam, yaitu

kompres terbuka dan kompres tertutup. Kompres terbuka dasarnya adalah penguapan

cairan kompres disusul oleh absorbsi eksudat atau pus. Indikasinya meliputi dermatosis

madidans, infeksi kulit dengan eritem yang mencolok (misalnya erisipelas) dan ulkus

kotor yang mengandung pus dan krusta (Hamzah, 2005). Menurut Hardyanto (1990) cara

kompres bekerja pada radang akut melalui :

1) Penguapan air akan menarik kalor dari lesi, sehingga terjadi vasokonstriksi yang

mengakibatkan eritem berkurang.

2) Vasokonstriksi memperbaiki permeabilitas vaskuler, sehingga pengeluaran serum dan

udem berkurang.

3) Air melunakkan dan melarutkan krusta pada permukaan kulit, sehingga mudah

terangkat bersama kain kasa. Pembersihan krusta ini akan mengurangi sarang makanan

untuk bakteri dari cairan yang terperangkap di bawah krusta.

Kompres tertutup (kompres impermeabel) dasarnya adalah vasodilatasi, bukan untuk

penguapan. Indikasinya ialah kelainan yang dalam, misalnya limfogranuloma venereum

(Hamzah, 2005).

b. Bedak

Bedak yang dioleskan di atas kulit membuat lapisan tipis di kulit yang tidak melekat erat

sehingga penetresinya sedikit sekali. Efek bedak ialah mendinginkan, antiinflamasi

ringan karena ada sedikit efek vasokonstriksi, antipruritus lemah, mengurangi pergeseran

Page 8: Dermatofitosis 1

pada kulit yang berlipat (intertrigo) dan proteksi mekanis. Pengobatan dengan bedak yang

diharapkan terutama ialah efek fisis. Bahan dasarnya ialah talkum venetum. Bedak

biasanya dicampur dengan seng oksida, sebab zat ini bersifat mengabsorbsi air dan

sebum, astringen, antiseptik lemah dan antipruritus lemah. Indikasi pemberian bedak

ialah dermatosis yang kering dan superfisial, mempertahankan vesikel atau bula agar

tidak pecah. Kontraindikasinya adalah dermatitis yang basah, terutama bila disertai

dengan infeksi sekunder (Hamzah, 2005). Jika terjadi eksudat atau pus, maka campuran

bedak dengan eksudat merupakan adonan yang memudahkan terjadinya infeksi (Djuanda,

1994).

c. Salep

Salep ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi

seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak.

Indikasinya adalah dermatosis yang kering dan kronik, dermatosis yang dalam dan kronik

dan dermatosis yang bersisik dan berkrusta. Kontraindikasinya adalah dermatitis

madidans. Jika kelainan kulit terdapat pada bagian badan yang berambut, penggunaan

salep tidak dianjurkan dan salep jangan dipakai di seluruh tubuh (Hamzah, 2005).

d. Bedak kocok

Bedak kocok terdiri atas campuran air dan bedak yang biasanya ditambah dengan gliserin

sebagai bahan perekat, supaya bedak tidak terlalu kental dan cepat menjadi kering maka

jumlah zat padat maksimal 40 % dan jumlah gliserin 10 – 15 %. Hal ini berarti jika

beberapa zat aktif padat ditambahkan, maka prosentase tersebut jangan terlampaui.

Indikasi digunakan bedak kocok adalah dermatosis yang kering, superfisial dan agak

luas, serta dermatosis pada keadaan sub akut. Kontraindikasinya ialah dermatitis

madidans dan daerah badan yang berambut (Hamzah, 2005).

e. Krim

Krim adalah emulsi O/W (oil in water) atau W/O (water in oil). Kombinasi antara minyak

dengan air ditambah emulgator menghasilkan emulsi W/O atau O/W, bergantung pada

susunan komponen di atas. Krim W/O (cold cream) lebih cocok dipakai waktu malam

karena melengket lebih lama di kulit. Krim O/W (vanishing cream) lebih cocok dipakai

waktu siang karena lebih cair dan tidak lengket (Madani, 2000). Indikasi digunakan krim

ialah indikasi kosmetik, dermatosis yang subakut dan luas, dan boleh digunakan di daerah

Page 9: Dermatofitosis 1

yang berambut. Kontraindikasi untuk krim W/O ialah dermatitis madidans (Hamzah,

2005).

f. Pasta

Pasta ialah campuran homogen bedak dan vaselin. Pasta bersifat protektif dan

mengeringkan. Indikasi penggunaan pasta ialah dermatosis yang agak basah.

Kontraindikasinya ialah dermatosis yang eksudatif dan daerah yang berambut. Untuk

daerah genital eksterna dan lipatan-lipatan badan, pasta tidak dianjurkan karena terlalu

melekat (Hamzah, 2005). Sekarang pasta jarang dipakai karena pengolesan dan

pembersihannya lebih sulit (Madani, 2000).

g. Linimen

Linimen atau pasta pendingin ialah campuran cairan, bedak dan salep. Indikasi

penggunaanya yaitu pada dermatosis yang subakut. Kontraindikasinya yaitu dermatosis

madidans (Hamzah, 2005).

Menurut Hamzah (2005) ada vehikulum lain yaitu gel. Gel ialah sediaan hidrokoloid atau

hidrofilik berupa suspensi yang dibuat dari senyawa organik. Zat untuk membuat gel di

antaranya ialah karbomer, metilselulosa dan tragakan. Bila zat-zat tersebut dicampur

dengan air dengan perbandingan tertentu akan terbentuk gel. Karbomer akan membuat

gel menjadi sangat jernih dan halus. Gel segera mencair, jika berkontak dengan kulit dan

membentuk satu lapisan. Absorbsi per kutan lebih baik daripada krim.

2. Bahan aktif

Pemilihan obat topikal selain faktor vehikulum, juga faktor bahan aktif yang dimasukkan

ke dalam vehikulum, yang mempunyai khasiat tertentu yang sesuai untuk pengobatan

topikal. Khasiat bahan aktif topikal dipengaruhi oleh keadaan fisiko-kimia permukaan

kulit, di samping komposisi formulasi zat yang dipakai.

Penetrasi bahan aktif melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk

konsentrasi obat, kelarutannya dalam vehikulum, besar partikel, viskositas dan efek

vehikulum terhadap kulit.

Bahan-bahan aktif yang biasa digunakan pada penyakit kulit secara umum di antaranya

ialah alumunium asetat, asam asetat, asam benzoat, asam borat, asam salisilat, asam

undesilenat, asam vitamin A (tretionin, asam retinoat), benzokain, benzil benzoat,

camphora, kortikosteroid topikal, mentol, padofilin, selenium disulfid, sulfur, ter,

Page 10: Dermatofitosis 1

tiosulfas natrikus, urea, zat antiseptik, antibiotik dan antifungal (Djuanda, 1994; Hamzah,

2005).

II. 3. Obat Antijamur Topikal

Menurut Kuswadji dan Widaty (2001) obat antijamur topikal yang ideal adalah obat yang

aktif pada konsentrasi sangat rendah, mempunyai formula yang beragam, efek samping

minimal atau bahkan tidak ada, dengan formula yang spesifik (misalnya untuk kuku dan

mukosa) dan mempunyai manfaat tambahan untuk kelainan yang biasa menyertai infeksi

jamur (misalnya antiinflamasi, keratolitik dan antibakteri).

Obat topikal yang diperuntukkan pada infeksi dermatofita berdasarkan mekanisme

kerjanya meliputi :

1. Bahan kimia antiseptik

Mempunyai sifat antibakteri dan antijamur ringan serta bersifat mengeringkan, misalnya

Cestallani paint (solusio carbol fuchsin) dapat digunakan untuk kasus tinea kruris dan

kandidosis intertriginosa. Selain itu juga dapat dindikasikan untuk tinea unguium, tinea

imbrikata dan tinea korporis (Kuswadji dan Widaty, 2001; Siregar, 2005).

2. Bahan keratolitik

Yaitu bahan yang meningkatkan eksfoliasi stratum korneum. Misalnya salep Whitefield

mengandung asam salisilat 3 %, asam benzoat 6 % dalam petrolatum, dikatakan efektif

bagi tinea pedis dan asam undesilenat krim dan bedak 3 %. Asam salisilat pada

konsentrasi rendah (1 – 2 %) berefek keratoplastik, konsentrasi tinggi (3 – 20 %) berefek

keratolitik dan dipakai pada keadaan dermatosis yang hiperkeratotik dan pada konsentrasi

sangat tinggi (40 %) dipakai untuk kelainan-kelainan yang dalam. Asam salisilat

berkhasiat fungisid terhadap banyak fungi pada konsentrasi 3 – 6 % dalam salep, selain

itu berkhasiat bakteriostasis lemah. Asam salisilat tidak dapat dikombinasikan dengan

seng oksida karena akan terbentuk garam sengsalisilat yang tidak aktif. Asam benzoat

mempunyai sifat antiseptik terutama fungisidal. Salep Whitefield dapat juga berguna

untuk pengobatan topikal pada tinea kruris, tinea unguium dan tinea korporis. Asam

undesilenat dalam bentuk cairan dapat digunakan pada tinea unguium (Kuswadji dan

Widaty, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003; Hamzah, 2005; Siregar, 2005).

3. Golongan allilamin

Golongan ini bekerja dengan menghambat enzim epoksidase skualen pada proses

Page 11: Dermatofitosis 1

pembentukan ergosterol membran sel jamur. Allilamin memiliki efektivitas klinis yang

tinggi dengan angka kesembuhan berkisar 70 – 100 %. Naftitin merupakan obat

antijamur berspektrum luas dan derivat allilamin yang sintetis. Dapat menurunkan

ergosterol yang menghambat pertumbuhan sel jamur. Pada konsentrasi 1 % memiliki

daya antiinflamasi. Tersedia dalam bentuk krim, gel atau solusio 1 %. Penderita tinea

korporis dewasa maupun anak-anak cukup dioleskan 4 kali sehari pada sekitar lesi selama

2 minggu dalam bentuk krim 1 %. Tinea kruris 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam

bentuk krim 1 %. Tinea pedis dioleskan 4 kali sehari dalam bentuk krim 1 % atau 2 kali

sehari dalam bentuk gel 1 %. Terbinafin merupakan derivat allilamin yang sintetis yang

menghambat epoksidase skualen, sebuah enzim penting dalam biosintesis sterol pada

jamur yang menghasilkan defisiensi ergosterol, penyebab kematian sel jamur. Penelitian

menemukan bahwa obat ini efektif dan tertoleransi dengan baik oleh anak-anak.

Terbinafin dioleskan 4 kali sehari pada penderita tinea kruris dan tinea korporis baik

dewasa maupun anak-anak dalam waktu 1 – 4 minggu. Penderita tinea pedis dewasa dan

anak-anak (>12 tahun) diberikan olesan sebanyak 2 kali sehari dalam bentuk krim

(Cholis, 2001; Kuswadji dan Widaty, 2001; Lesher, 2004; Rubiez, 2004; Wiederkehr,

2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat

naftitin yaitu exoderil dan contoh nama merk dagang obat terbinafin yaitu interbi, lamisil

dan termisil (Evaria, 2005).

4. Golongan benzilamin

Butenafin merupakan obat anti jamur baru, termasuk golongan benzilamin yang bersifat

fungisidik terhadap dermatofit, seperti Trichophyton mentagrophytes, Microsporum canis

dan Trichophyton rubrum yang menyebabkan infeksi-infeksi tinea. Butenafin bekerja

pada stadium yang lebih dini dalam alur metabolisme sehingga menyebabkan terjadinya

akumulasi skualen dan kematian sel jamur. Sifat fungisidik butenafin menyebabkan masa

pengobatan yang pendek dengan angka kesembuhan yang tinggi dan angka kekambuhan

yang rendah. Penderita tinea korporis dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan

sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea kruris

dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu

dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak (> 12 tahun)

dioleskan sebanyak 2 kali sehari selama 1 minggu atau 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu

Page 12: Dermatofitosis 1

dalam bentuk krim 1 %. Contoh nama merk dagang obat butenafin adalah mentax

(Cholis, 2001; Lesher, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005).

5. Golongan imidazol

Umumnya senyawa imidazol ini berkhasiat fungistatis dan pada dosis tinggi bekerja

fungisid terhadap fungi tertentu. Imidazol memiliki efektivitas klinis yang tinggi dengan

angka kesembuhan berkisar 70 – 100 %. Mekanisme kerjanya dengan menghambat

sintesis ergosterol, suatu unsur penting untuk integritas membran sel (Gonzales, 1987 cit

Hardyanto, 1990; Cholis, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003). Golongan imidazol meliputi :

a. Mikonazol

Derivat mikonazol ini berkhasiat fungisid kuat dengan spektrum kerja lebar sekali. Lebih

aktif dan efektif terhadap dermatofit biasa dan kandida daripada fungistatika lainnya. Zat

juga bekerja bakterisid pada dosis terapi terhadap sejumlah kuman Gram positif kecuali

basil-basil Doderlein yang terdapat dalam vagina. Penderita tinea kruris dewasa dan

anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 2 %,

bedak kocok ataupun bedak. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak diberikan

sebanyak 2 kali sehari selama 2 – 6 minggu dalam bentuk krim 2 % atau bedak kocok.

Jika menggunakan bedak, maka cukup ditaburkan 2 kali sehari selama 2 – 4 minggu

(Tjay dan Rahardja, 2003; Rubeiz, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun

2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat mikonazol yaitu micoskin, mexoderm

dan daktarin (Evaria, 2005).

b. Klotrimazol

Derivat imidazol ini memiliki spektrum fungistatis yang relatif lebih sempit daripada

mikonazol. Pada konsentrasi tinggi, zat ini juga berdaya bakteriostatis terhadap kuman

Gram positif. Penderita tinea pedis dan tinea korporis dewasa diberikan sebanyak 2 kali

sehari selama 2 – 6 minggu dalam bentuk krim 1 % atau solusio, sedangkan pada anak-

anak tidak tersedia. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2

kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 %, solusio ataupun bedak kocok (Tjay

dan Rahardja, 2003; Rubeiz, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005

menyebutkan contoh nama merk dagang obat klotrimazol yaitu canesten, lotremin dan

fungiderm (Evaria, 2005).

c. Ketokonazol

Page 13: Dermatofitosis 1

Ketokonazol adalah fungistatikum imidazol pertama yang digunakan per oral (1981).

Spektrum kerjanya mirip dengan mikonazol dan meliputi banyak fungi patogen.

Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari

selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-

anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim

2 %. Penderita tinea korporis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari

selama 2 minggu dalam bentuk krim 2 % (Tjay dan Rahardja, 2003; Lesher, 2004;

Rubeiz, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh

nama merk dagang obat ketokonazol yaitu formyco, nizoral dan mycozid (Evaria, 2005).

d. Ekonazol

Ekonazol adalah derivat mikonazol, tetapi satu dari empat atom klor diganti oleh atom H.

Spektrum kerjanya lebih kurang sama, hanya lebih aktif terhadap Aspergillus. Obat ini

efektif untuk infeksi kutaneus. Titik tangkapnya berhubungan dengan metabolisme

sintesis RNA dan protein, mengganggu permeabilitas dinding sel jamur sehingga

menyebabkan kematian sel jamur. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan

sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita

tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari dalam

bentuk krim 1 %. Contoh nama merk dagang obat ekonazol adalah pevaryl (Tjay dan

Rahardja, 2003; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005).

e. Oksikonazol

Oksikonazol merupakan obat jamur yang memiliki spetrum luas. Titik tangkapnya yaitu

menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kematian sel jamur. Penderita

tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu

dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak

4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 % atau bedak kocok. Contoh

nama merk dagang obat oksikonazol adalah oxistat (Wiederkehr, 2004; Robins, 2005).

f. Sulkonazol

Sulkonazol merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu

menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel,

sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak

(> 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1

Page 14: Dermatofitosis 1

% atau solusio. Contoh nama merk dagang obat sulkonazol adalah exelderm

(Wiederkehr, 2004).

g. Sertakonazol

Bentuk krim sertakonazol nitrat merupakan antijamur yang aktif melawan Trichophyton

rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum. Diindikasikan

untuk tinea pedis dengan dioleskan 2 kali sehari baik dewasa maupun anak-anak (> 12

tahun). Contoh nama merk dagang obat sertakonazol adalah ertaczo (Rubeiz, 2004).

h. Bifonazol

Bifonazol merupakan derivat imidazol yang berkhasiat terhadap beberapa jenis jamur dan

ragi yang patogen terhadap manusia serta terhadap beberapa kuman Gram positif.

Bifonazol bermanfaat pada pengobatan tinea unguium dalam bentuk losio atau krim yang

dikombinasikan bersama urea 40 % dengan bebat (Madani, 2000; Tjay dan Rahardja,

2003). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat bifonazol yaitu

mycospor (Evaria, 2005).

6. Golongan lainnya

a. Siklopiroks

Senyawa hidroksipiridon ini berspektrum luas. Senyawa ini berkhasiat fungisid terhadap

Candida albican dan Trichophyton rubrum, fungistatis terhadap Malassezia furfur (panu),

lagi pula bekerja bakteriostatis lemah. Walaupun struktur kimianya berbeda dengan zat-

zat imidazol, tetapi mekanisme kerjanya diperkirakan sama, yaitu terhadap membran

plasma sel jamur. Mungkin juga mekanisme kerjanya berdasarkan perintah transpor dari

asam-asam amino dan ion-ion melalui membran sel. Daya kerjanya diperkuat bila dibuat

ester oalmin. Siklopiroks khusus digunakan secara dermal. Penderita tinea pedis dewasa

dan anak-anak (> 10 tahun) dioleskan sebanyak 2 kali sehari dalam bentuk krim 1 %, jika

tidak ada perbaikan setelah 4 minggu maka perlu dievaluasi lagi. Hal tersebut juga

berlaku pada penderita tinea kruris dan tinea kapitis. Solusio siklopiroks telah dilaporkan

dapat berpenetrasi melalui semua lapisan kuku pada kasus tinea unguium namun

memiliki efikasi yang rendah sehingga perlu kombinasi dengan obat antijamur oral. (Tjay

dan Rahardja, 2003; Lesher, 2004; Wiederkehr, 2004; Blumberg, 2005; Robins, 2005).

MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat siklopiroks yaitu

Page 15: Dermatofitosis 1

batrafen dan loprox nail lacquer (Evaria, 2005).

b. Tolnaftat

Tonaftat termasuk golongan tiokarbonat dan merupakan antijamur yang sangat efektif

terhadap dermatofitosis dan infeksi Pityrosporum orbiculare tetapi tidak terhadap

Candida. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat epoksidasi skualen pada

membran sel jamur. Biasanya digunakan 2 kali sehari selama 2 – 4 minggu dan

dilanjutkan 2 minggu setelah gejala klinis hilang. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-

anak dioleskan sebanyak 2 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1 %, solusio dan

bedak. Tolnaftat dapat diindikasikan pada pengobatan topikal untuk tinea korporis dan

tinea unguium. Contoh nama merk dagang obat tolnaftat adalah tinactin (Hardyanto,

1990; Wiederkehr, 2004, Siregar, 2005).

c. Haloprogin

Haloprogin berkhasiat fungisid terhadap Epidermophyton, Pityrosporum, Trichophyton

dan Candida. Kadang-kadang terjadi sensitasi dengan timbulnya gatal-gatal, perasaan

terbakar dan iritasi kulit. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak

3 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1 % dan solusio. Biasanya digunakan dalam

waktu 2 – 4 minggu. Contoh nama merk dagang obat haloprogin adalah halotex

(Kuswadji dan Widaty, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003; Wiederkehr, 2004).

Pengobatan pada tinea unguium sangat memerlukan kombinasi dengan obat antijamur

oral terutama generasi baru seperti itrakonazol dan terbinafin, karena jika hanya

mengandalkan obat topikal saja maka daya penetrasi terhadap kuku sangat terbatas

sehingga tidak efektif (Blumberg, 2005). Pengobatan tinea manus pada prinsipnya sama

dengan pengobatan yang dilakukan pada tinea pedis (Madani, 2000).

DAFTAR PUSTAKA

Adiguna, M.S., 2001, Epidemiologi Dermatomikosis Di Indonesia, dalam Budimulja, U.,

Kuswadji., Bramono, K., Menaldi, S.L., Dwihastuti, P. dan Widaty, S. (eds),

Page 16: Dermatofitosis 1

Dermatomikosis Superfisialis Pedoman Untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran, Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 1 – 6.

Anonim, 2003, Fungus Infections : Tinea, http://www.aocd.org/skin

Blumberg, M., 2005, Onychomycosis, http://www.emedicine.com/derm

Budimulja, U., 2005, Mikosis, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. (eds), Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta :

89 – 105.

Cholis, M., 2001, Penatalaksanaan Tinea Glabrosa Dan Perkembangan Obat Antijamur

baru, Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Brawidjaja, Malang : 21 – 24.

Daili, E.S.S., Menaldi S.L. dan Wisnu, I.M., 2005, Penyakit Kulit Yang Umum Di

Indonesia Sebuah Panduan Bergambar, PT Medical Multimedia Indonesia, Jakarta : 27 –

37.

Djuanda, A., 1994, Pengobatan Topikal Dalam Bidang Dermatologi, Yayasan Penerbitan

Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta.

Dorland, 1996, Kamus Kedokteran Dorland, dalam Harjono, R.M., Oswari, J., Ronardy,

D.H., Santoso, K., Setio, M., Soenarno, Widianto, G., Wijaya, C. dan Winata, I. (eds),

Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1937.

Evaria, 2005, MIMS Edisi Bahasa Indonesia, 6th vol, PT InfoMaster, Jakarta : 395 – 398.

Hamzah, M., 2005, Dermatoterapi, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. (eds),

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta: 340 - 350.

Hardyanto, 1990, Antijamur Dalam Dermatologi, dalam Ednawati dan Soedarmadi (eds),

Pengobatan Penyakit Kulit dan Kelamin, Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah mada, Yogyakarta : 41 – 58.

Kao, G.F., 2005, Tinea Capitis, http://www.emedicine.com/derm

Kuswadji dan Widaty, S., 2001, Obat Antijamur, dalam Budimulja, U., Kuswadji.,

Bramono, K., Menaldi, S.L., Dwihastuti, P. dan Widaty, S. (eds), Dermatomikosis

Superfisialis Pedoman Untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran, Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 99 – 107.

Lesher, J.L., 2004, Tinea Corporis, http://www.emedicine.com/derm

Page 17: Dermatofitosis 1

Madani, F., 2000, Infeksi Jamur Kulit, dalam Harahap, M. (ed), Ilmu Penyakit Kulit,

Penerbit Hipokrates, Jakarta : 73 – 87.

Mulyono, 1986, Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit Dan Kelamin, 1st ed, Meidian

Mulya Jaya, Jakarta : 5 – 21.

Robins, C.M., 2005, Tinea Pedis, http://www.emedicine.com/derm

Rubeiz, N., 2004, Tinea, http://www.emedicine.com/derm

Siregar, R.S., 2005, Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Penerbit Buku Kedokteran

EGC, Jakarta : 10 – 44.

Tjay, T.H. dan Rahardja, K., 2003, Obat-Obat Penting, 5th, Penerbit PT Elex Media

Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta: 91 – 104.

Wiederkehr, M., 2004, Tinea Cruris, http://www.emedicine.com/derm