Upload
truongminh
View
234
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
DETEKSI PARASIT DARAH Babesia sp. PADA SAPI BALI
DI KELURAHAN LALABATA RILAU KECAMATAN LALABATA
KABUPATEN SOPPENG
OLEH:
DARMA
O 111 10 135
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
SKRIPSI
DETEKSI PARASIT DARAH Babesia sp. PADA SAPI BALI
DI KELURAHAN LALABATA RILAU KECAMATAN LALABATA
KABUPATEN SOPPENG
DARMA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa
segalapernyataan dalam skripsi saya yang berjudulDeteksi Parasit Darah Babesia
sp. pada Sapi Bali Di Kelurahan Lalabata Rilau,Kecamatan Lalabata,Kabupaten
Soppengkarya saya sendiri dengan bimbingan drh. Fika Yuliza Purba, M. Sc dan
drh. Hadi Purnama Wirawanserta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir skripsi ini.
Makassar, Februari 2015
Darma
O11110135
INTISARI
DARMA. O11110135.Deteksi Parasit Darah Babesia sp. pada Sapi Bali di
Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng.Dibimbing
oleh FIKA YULIZA PURBA dan HADI PURNAMA WIRAWAN.
Penyakit yang ditimbulkan akibat dari infeksi parasit Babesia sp. adalah
babesiosis.Penyakit ini bersifat patogen dan zoonosis serta dapat menimbulkan
kerugian ekonomi yang tinggi.Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kejadian
infeksi parasit Babesia sp. pada sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan
Lalabata, Kabupaten Soppeng.Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 6 Januari
sampai 16 Januari 2015. Jumlah populasi sapi bali di Kelurahan Lalabata Rilau,
Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng sebanyak 771 ekor dan sampel darah
yang diambil yaitu sebanyak 21 sampel. Sampel dikumpulkan dengan
menggunakan metode Simple Random Sampling.Sediaan ulas darah dibuat di atas
gelas objek, difiksasi dalam metanol, diwarnai dengan Giemsa, dan diamati
dengan perbesaran 100 x menggunakan mikroskop.Analisis data yang digunakan
pada penelitian ini adalah analisis deskriptif.Hasil pengujian menunjukkan bahwa
seluruh sampel negatif yang artinya tidak terdeteksi adanya infeksi parasit darah
Babesia sp. pada sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata,
Kabupaten Soppeng.
Kata Kunci : Deteksi, Babesia sp., Sapi Bali, Lalabata Rilau, Soppeng
ABSTRACT
DARMA. O11110135. Detection Blood Parasite Babesia sp. on Bali Cattle In the
Lalabata Rilau Rural District, Lalabata Sub District, Soppeng District.
Suvervised by FIKA YULIZA PURBA and HADI PURNAMA WIRAWAN.
Disease caused by parasitic infection Babesia sp. called babesiosis.This disease
are pathogenic and zoonotic and can cause high economic losses. Theaim of this
study is to detect the incidence parasitic infection Babesia sp. in Bali cattle in the
Lalabata Rilau rural district, Lalabata subdistrict, Soppeng district. This study was
conducted from 6th January 2015 to 16 th January 2015. The population of Bali
cattle in the Lalabata Rilau rural district, Lalabata Sub District, Soppeng District
is 771 cattles, and the blood samples were taken as much as 21 samples. The
samples were collected by using simple random sampling method. The
preparation of blood pillowcase was made on a glass object, fixed in methanol,
stained with Giemsa, and observed with a magnifications of 100x by using a
microscope. Analysis of the data that using in this study is a descriptive analysis.
The results show that all of the negative samples, which means that undetectable
blood parasite infection Babesia sp. on Bali cattle in the Lalabata Rilau Rural
District, Lalabata Sub District, Soppeng District.
Keywords : Detection, Babesia, Bali Cattle, Lalabata Rilau, Soppeng
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Tajuncu pada tanggal 25Mei 1991,
merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara, dari pasangan
Muh. Ini dan Sanna.
Penulis memasuki pendidikan formal sekolah dasar di
SD Negeri No. 181 Pincenge Kecamatan Donri-Donri,
Kabupaten Soppeng pada tahun 1999 dan tamat pada tahun
2004. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan
di tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Donri-Donri
dan tamat pada tahun 2007, kemudian melanjutkan pendidikan
di sekolah SMK Mahardika Makassar dan tamat pada tahun 2010.
Pada tahun 2010 penulis mendapatkan kesempatanuntuk melanjutkan
pendidikan kejenjang perguruan tinggi di Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin.Selama menjadi mahasiswa di
Program Studi Kedokteran Hewan, penulis aktif pada organisasi internal maupun
eksternal kampus.Penulis menjabat sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa
Kedokteran Hewan (HIMAKAHA) selama dua periode (2010/2011 dan
2011/2012) pada devisi Kajian Strategis (Kastrat).Penulis juga aktif di berbagai
kegiatan kepanitiaan di dalam kampus.Selain itu, penulis juga pernah menjadi
asisten mata kuliah Parasitologi Veteriner.
.
KATA PENGANTAR
AssalamuAlaikumWarahmatullahi Wabarakaatuh
ALHAMDULILLAH, Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah
S.W.T karena atas berkat rahmat dan kehendak-Nya dalam memberikan hidayah
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Deteksi Parasit Darah Babesia sp. pada Sapi Bali di Kelurahan Lalabata
Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng”. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan/S.KH dalam program pendidikan strata satu Program Studi Kedokteran
Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terlaksana dengan baik
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis merasa
sangat bersyukur mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin,
2. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran
Hewan Universitas Hasanuddin,
3. Drh. Fika Yuliza Purba selaku pembimbing utama dan drh. Hadi Purnama
Wirawan selaku pembimbing anggota atas dedikasi ilmu, waktu, motivasi, dan
kesabarannya dalam membimbing mulai dari usulan penelitian, pelaksanaan
penelitian, dan penyusunan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan,
4. Drh. Meriam Sirupang dan drh. Dedy Rendrawan, MP selaku dosen penguji
atas motivasi, saran, dan kritiknya kepada penulis,
5. Dinas Peternakan Kabupaten Soppengbeserta staf yang telah memberikan
fasilitas dan bantuan selama penelitian,
6. Seluruh dosen beserta staf pengelola pendidikan Program Studi Kedokteran
Hewan yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses
pendidikan,
7. Drh. Fitri Amaliah, St. Aminah, dan seluruh staf Balai Besar Veteriner Maros
yang telah membantu proses penelitian serta memberikan dukungan selama
proses penelitian,
8. Paramedik dan rekan-rekan satu tim di lokasi penelitian yang senantiasa
meluangkan waktu, memberikan bantuan, dan atas kerja samanya selama
penelitian,
9. Masyarakat Kelurahan Lalabata Rilau khususnya para peternak yang telah
membantu pengumpulan data penelitian serta informasi-informasi penting
yang dibutuhkan peneliti dan dengan rasa kekeluargaan menerima dan
membantu penulis selama penelitian berlangsung,
10. Seluruh rekan mahasiswa(i) Angkatan 2010 yang telah memberikan semangat
dan motivasi kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Program Studi
Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddindan membantu penulis secara
langsung maupun tidak langsung dalam melaksanakan penelitian dan
penyusunan skripsi ini,
11. Sahabat yang selalu memberikan semangat, motivasi dan bantuannya, para
“Chebee”, Melasari, Lilis Suryani, Sri Rahayu-Yhuyhu, Dzul Haerah, dan Sri
Rahayu-Tanro. Para “Princess Four”, Wildana Kasman, Dewi Irawati Mirda,
dan Oktavianty. Para “Beppa KaKaeNg”, Nurwahyda, Andi Dewi
Permatasari, Navira Araya Tueka, St. Hatija, Ashar, Mohammad Farandy,
Muhammad Ramadhan. Para “Poki”, Satrya Adi Pratama, Degi Prasetya, Ade
Andrew Pinontoan, Indra Sebastian, Andi Aswan Salam, Christine Adytia,
serta sahabat yang selalu setia mendengarkan, memberikan masukan dan
kritikan,
12. Terkhusus kedua orang tua tercinta Ayahanda Muh. Ini dan Ibunda Sanna atas
cinta kasih dan untaian kasih sayang serta doa yang tidak pernah putus.
Demikian pula saudara(i)ku tercinta kak Surya, kak Yuliana, kak Miswan, kak
Ramlan, kak Ahmar, dan adikku yang paling ganteng Edi Santoso serta
keluarga besar atas segala dukungan dan bantuannya, baik secara spiritual,
moral, maupun material.
Sekali lagi terima kasih kepada semua pihak yang juga tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu atas segala bantuan dan kerja samanya. Harapan dan doa
penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Penulis menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena kemampuan penulis dan
sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan.Oleh karena itu,
penulis senantiasa mengharapkan tanggapan, kritik, dan saran yang konstruktif
sehingga penulis dapat berkarya dengan lebih baik lagi kedepannya. Aamiin
Makassar,Februari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN iii
PERNYATAAN iv
INTISARI v
ABSTRAK vi
RIWAYAT PENULIS vii
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.3.1 Tujuan Umum 2
1.3.2 Tujuan Khusus 2
1.4 Manfaat Penelitian 2
1.5 Hipotesis 2
1.6 Keaslian Penelitian 2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Daerah 4
2.1.1 Kondisi Geografi 4
2.1.2 Keadaan Iklim 4
2.2 Sapi Bali 4
2.3 Babesiosis 5
2.3.1 Etiologi 6
2.3.2 Epidemiologi 9
2.3.3 Cara Penularan 10
2.3.4 Gejala Klinis 10
2.3.5 Diagnosis 11
2.3.6 Diagnosa Banding 11
2.3.7 Kekebalan Parasit Darah Babesia sp. 12
2.3.8 Pencegahan dan Kontrol 12
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 13
3.2 Materi Penelitian 13
3.2.1 Sampel dan teknik Sampling 13
3.2.2 Bahan 13
3.2.3 Alat 14
3.1 Metode Penelitian 14
3.1.1 Desain Penelitian 14
3.1.2 Pengambilan Sampel Darah 14
3.1.3 Pemeriksaan Laboratorium 14
3.1.4 Analisis Data 14
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15
5. PENUTUP
5.1. Kesimpulan 20
5.2. Saran 20
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Struktur Babesia sp. pada Sapi 7
Gambar 2 : Morfologi (a) Babesia bovis (b) Babesia bigemia 7
Gambar 3 : Siklus Hidup Babesia sp. 8
Gambar 4 : Diagram Penilaian Pendidikan Terakhir Peternak 16
Gambar 5 : Diagram Pengalaman Beternak 16
Gambar 6 : Diagram Penilaian Pola Pemeliharaan 17
Gambar 7 : Diagram Penilaian Cara Merawat Sapi 17
Gambar 8 : Diagram Penilaian Kondisi Sapi 18
Gambar 9 : Diagram Penilaian Letak Kandang Sapi 18
Gambar 10: Diagram Penilaian Kondisi Kandang Sapi 19
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Informasi Dasar pada Peternak Sapi Bali terhadap
Parasit Darah Babesia sp. di Kelurahan Lalabata Rilau,
Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng.
Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Parasit Darah Babesia sp. di
Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner (BBV) Maros.
Lampiran 3. Dokumentasi Kegiatan Proses Pengambilan Sampel dan
Pemeriksaan Sampel di Laboratorium.
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa sapi asli Indonesia ini memiliki keunggulan berupa kemampuan
adaptasi dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan kualitas rendah dan tingkat
fertilitas yang tinggi (Sulistyowati, 2002).Oleh karena itu, tingginya impor daging
dan sapi bakalan untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, dapat
dijadikan pendorong untuk memperbaiki produktivitas dan pengelolaan sapi asli
Indonesia termasuk sapi Bali (Soeharsono, 2002).
Sapi Bali adalah plasma nutfah yang sangat potensial dan merupakan
komoditas andalan yang dapat menambah aset nasional, sekaligus menambah
pendapatan petani, perbaikan gizi masyarakat, dan memperoleh devisa negara
melalui peningkatan populasi dan produksi ternak (Suswono, 2012). Sapi Bali
merupakan ternak sapi yang mempunyai konstribusi yang cukup besar dalam
pemenuhan daging di Indonesia. Menurut data statistik dari peternakan di
Indonesia, populasi sapi Bali mempunyai konstribusi sebanyak 26,92 persen
dibanding bangsa sapi lainnya. Namun demikian, kinerja sapi Bali dalam
menghasilkan daging belum maksimal sehingga diperlukan berbagai upaya untuk
mengoptimalkannya (Ditjennak, 2009).Peningkatan mutu peternakan sapi Bali
terus diupayakan oleh pemerintah maupun pihak swasta.Tujuannya adalah
mencapai swasembada daging sapi sebagai tulang punggung ketahanan pangan
hewani nasional (Wirawan, 2011).Beberapa kendala yang dialami oleh peternak
dalam beternak sapi Bali, diantaranya permasalahan pakan dan nutrisi,
pencegahan dan pemberantasan penyakit serta penanggulangan limbah (Deptan,
2001).
Dalam upaya perkembangan populasi ternak terutama sapi, diperlukan
langkah pengendalian penyakit, yaitu tindakan pencegahan timbulnya patogenitas
dari agen penyakit ke inangnya (Bilgic et al., 2013). Salah satu penyakit ternak
yang cukup penting dan bersifat endemik adalah parasit darah karena penyakit
tersebut dapat menimbulkan kerugian berupa pertumbuhan terhambat, penurunan
berat badan, penurunan daya kerja, penurunan daya reproduksi (Nasution, 2007),
penurunan produksi susu, dan aborsi (Kocan et al., 2003). Kasus penyakit yang
disebabkan oleh parasit darah umumnya bersifat akut, namun terkadang dapat
menyebabkan kematian pada hewan yang terinfeksi (Soulsby, 1982).Jenis-jenis
penyakit parasit darah yang penting di Indonesia antara lain trypanosomiasis,
babesiosis, anaplasmosis, dan leucocytozoonosis (Solihat, 2002).Salah satu parasit
darah yang menginfeksi sapi adalah Babesia sp. Penyakit yang ditimbulkan akibat
dari infeksi parasit Babesia sp. adalah babesiosis (Oka, 2010). Menurut Sukamto
et al., (1988), rata-rata kejadian infeksi parasit Babesia sp. di Indonesia sekitar 95
% dari populasi ternak yang terdapat di daerah Aceh, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Sumba.
Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Soppeng,
kejadian penyakit Anaplasmosis pada ternak sapi mengalami peningkatan dalam
tiga tahun terakhir, yakni tahun 2011 sebanyak 5 kasus, tahun 2012 sebanyak 9
kasus, dan terakhir tahun 2013 sebanyak 17 kasus.Kejadian Anaplasmosis
tertinggi pada tahun 2013 terjadi di Kecamatan Lalabata.Laporan kejadian
2
Anaplasmosis tersebut berdasarkan gejala klinis yang ditampakkan sehingga tidak
menutup kemungkinan bisa mengarah pada kejadian parasit darah lainnya yang
memiliki gelaja klinis yang sama seperti Babesiosis.
Dari hasil laporan yang dihasilkan bahwa masih minim dilaporkan kasus
terkait kejadian parasit pada sapi Bali, terutama mengenai kejadian pada penyakit
Babesiosis dimana bersifat sangat patogen dan zoonosis (dapat menular ke
manusia) pada hospes yang memiliki ketahanan tubuh yang rendah (Susan, 2011),
sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. Hal ini disebabkan
karena kurangnya pengetahuan akan dampak mengenai kejadian pada penyakit
babesiosis sehingga masyarakat cenderung acuh terhadap kasus tersebut. Dengan
memperhatikan hal tersebut, maka perlu dilakukan pendeteksian parasit darah
Babesia sp. pada sapi Bali sehingga dapat diambil suatu langkah kebijaksanaan
terutama untuk penanggulangannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka umusan masalah pada penelitian
ini adalah apakah terdapat infeksi parasit darah Babesia sp. pada sapi Bali di
Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mendeteksi infeksi parasit darah Babesia sp. pada sapi Bali di
Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng.
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengidentifikasi parasit darah Babesia sp. pada sapi Bali di
Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
keberadaan kejadian parasit darah Babesia sp. pada peternak sapi Bali. Informasi
ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil
keputusan (Pemerintah Daerah, Balai Besar Veteriner Maros, dan peternak) dalam
upaya pencegahan dan pengendalian penyakit parasiter khususnya kejadian parasit
darah Babesia sp. di Kabupaten Soppeng.
3
1.5 Hipotesis
Ditemukan parasit darah Babesia sp. pada sapi Bali di Kelurahan Lalabata
Rilau, Kecamatan Lalabata,Kabupaten Soppeng.
1.6 Keaslian Penelitian
Penelitian tentang Deteksi Parasit Darah Babesia sp. pada Sapi Bali di
Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng belum
pernah dilaporkan. Penelitian terhadap keberadaan kejadian parasit darah Babesia
sp. di Indonesia telah banyak dilakukan, namun fokus, tujuan, dan lokasinya
berbeda, yakni Budiati (2002) melaporkan tingkat prevalensi parasit darah
(Babesia sp. dan Theileria sp.) pada ternak sapi rakyat di lima Kecamatan,
Kabupaten Lampung Tengah.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Daerah
2.1.1 Kondisi Geografi
Secara Geografis Kabupaten Soppeng terletak pada 4006
0 LS - 4
032
0 LS
dan antara 119047
018
0 BT - 120
006
013
0 BT, dengan batas wilayahnya sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Barru, Sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bone, Sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Sidenreng Rappang dan Kabupaten Wajo, Sebelah Selatan berbatasan
dengan Kabupaten Bone. Ibukota Kabupaten Soppeng adalah Watansoppeng yang
memiliki luas 1.500 Km2
yang terbagi dalam 8 Kecamatan yang terdiri dari 49
Desa, 21 Kelurahan, 124 Dusun dan 39 Lingkungan. Salah satu kecamatan di
Kabupaten Soppeng adalah Kecamatan Lalabata yang berbatasan dengan
Kecamatan Donri - Donri di Sebelah Utara, Kecamatan Liliriaja di Sebelah Timur,
Kabupaten Barru di Sebelah Barat, dan Kecamatan Marioriwawo di Sebelah
Selatan. Adapun luas wilayahnya yaitu 278 km2 yang luas wilayah tersebut
merupakan 18,53 persen dari total luas daratan Kabupaten Soppeng (BPS, 2010).
2.1.2 Keadaan Iklim
Kabupaten Soppeng merupakan daerah dataran dan perbukitan dengan luas
daratan 700 Km2berada pada ketinggian rata-rata kurang lebih 60 M di atas
permukaan laut dan perbukitan yang luasnya 800 Km2 berada pada ketinggian
rata-rata 200 M di atas permukaan laut. Temperatur udara di Kabupaten Soppeng
berada pada sekitar 240C – 30
0C.Keadaan angin berada pada kecepatan lemah
sampai sedang (BPS, 2010).Secara umum, Sulawesi Selatan memiliki dua musim
yaitu musim kemarau (Mei - Oktober) dan musim hujan (November - April),
namun secara khusus ada perbedaan periode musim yang dimiliki setiap
Kabupaten / Wilayah, setidaknya ada lima pembagian karakteristik periode musim
untuk Sulawesi Selatan, salah satunya adalah Kabupaten Soppeng yang termasuk
dalam wilayah Sulawesi bagian Tengah. Wilayah Sulawesi Selatan bagian tengah
memiliki kesamaan dengan wilayah Sulawesi Selatan bagian timur dimana musim
hujan terjadi ketika wilayah Sulawesi Selatan bagian barat atau selatan sudah
memasuki periode akhir dari musim hujan atau awal musim kemarau, sehingga
seolah - olah hujan bergeser dari wilayah barat menuju wilayah timur Sulawesi
Selatan. Periode musim hujannya terjadi pada bulan Maret - Juli dan puncaknya
terjadi pada bulan Mei, hanya saja wilayah bagian tengah ini memiliki curah hujan
yang cenderung merata dan stabil tiap bulannya yakni curah hujan tidak terlalu
tinggi dan rendah (Sujarwo, 2014).
2.2 Sapi Bali
Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan sapi Bali asli Indonesia yang diduga
sebagai hasil domestikasi (perjinakan) dari banteng liar.Sebagian ahli yakin
bahwa domestikasi tersebut berlangsung di Bali sehingga disebut sapi
5
Bali.Sebagai keturunan banteng, sapi Bali memiliki warna dan bentuk tubuh
persis seperti banteng liar (Guntoro, 2002). Secara taksonomi, sapi Bali dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Subordo : Ruminansia
Famili : Bovidae
Genus : Bos
Spesies : Bos sondaicus (Siregar, 2008)
Ciri khas sapi Bali adalah postur tubuh kecil, memiliki garis hitam pada
punggung yang sering disebut garis belut (sangat jelas pada pedet), bulu berwarna
coklat kekuningan (merah bata), pada jantan dewasa bulu akan berubah menjadi
coklat kehitaman, berwarna putih pada bagian tepi daun telinga bagian dalam,
kaki bagian bawah, bagian belakang pelvis, dan bibir bagian bawah (Feati, 2011).
Tanduk jantan dan betina berbeda ukuran besar maupun panjangnya dengan
bentuk yang bervariasi.Panjang tanduk jantan dapat mencapai 20-25 cm dan
bentuknya kokoh.Tanduk itu tumbuh mengarah latero-dorsal dan terus membelok
ke arah dorso-kranial.Sapi Bali betina mempunyai tanduk yang mengarah latero-
dorsal dan terus membelok ke arah dorso-medial (Siregar, 2008).
Sapi Bali telah tersebar hampir di seluruh daerah di Indonesia dengan
konsentrasi penyebaran terutama di Pulau Lombok, Sulawesi Selatan, Kalimantan,
Nusa Tenggara Timur, Sumbawa, dan Lampung. Sapi Bali mulai didatangkan ke
Sulawesi Selatan pada tahun 1923 dan sekarang ini Sulawesi Selatan sudah
merupakan salah satu daerah populasi sapi Bali terpadat di kawasan timur
Indonesia (Siregar, 2008). Sapi Bali berkembang cukup pesat di daerah karena
memiliki beberapa keunggulan.Sapi Bali mempunyai daya adaptasi yang baik
terhadap lingkungan yang buruk seperti daerah yang bersuhu tinggi, mutu pakan
yang rendah, dan lain-lain. Tingkat kesuburan (fertilitas) sapi Bali termasuk amat
tinggi dibandingkan dengan sapi lain, yaitu mencapai 83%, tanpa terpengaruh
oleh mutu pakan. Tingkat kesuburan (fertilitas) yang tinggi ini merupakan salah
satu keunikan sapi Bali (Guntoro, 2002).
2.3 Babesiosis
Babesiosis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh parasit protozoa
Babesia sp. dan terdistribusi di dalam sirkulasi darah.Penyakit ini tersebar luas di
seluruh dunia yang menyerang binatang liar dan ternak, terutama ternak sapi yang
dipelihara di daerah tropis dan subtropis (Aiello dan Moses, 2011).Babesiosis
ditularkan melalui gigitan caplak (Boophilus sp.) disebut juga tick fever atau
redwater (Lubis, 2006).
Penyebarannya dari berbagai generasi parasit mulai dari telur, larva, nimfa
hingga dewasa melalui perantara vektor caplak seperti Rhipicephalus microplus,
Rhipicephalus annulataus, Rhipichepalus decoloratus, Rhipichepalus geigyi dan
Rhipichepalus evertsi dari berbagai stadium (Bock et al. 2004). Vektor utama dari
B.bovis dan B. bigemina adalah Rhipicephalus spp. kutu dan ini tersebar luas di
6
negara-negara tropis dan subtropis.Vektor arthropoda utama B.divergens adalah
Ixodes ricinus.
Kasus Babesiosis juga dilaporkan menyerang pada manusia sehingga
dimasukkan ke dalam penyakit zoonosis. Morbiditas dan mortalitas bervariasi dan
dipengaruhi oleh perawatan yang dilakukan, paparan spesies sebelumnya / strain
parasit, dan status vaksinasi yang berlaku di suatu daerah. Penyakit babesiosis
yang ditularkan berbagai caplak dapat menyebabkan mortalitas 5-10 % meskipun
ternak telah diobati.Adapun jika tidak dilakukan pengobatan, mortalitas 80-90%
pada sapi dewasa dan 10-15% pada ternak muda umur satu sampai dua
tahun.Hewan yang terinfeksi Babesia sp.dalam jumlah besar dan sekaligus dapat
menyebabkan kematian hewan tersebut dan mortalitas dapat mencapai 50-100 %
pada kasus yang disebabkan B. bovis (CFED, 2008; Nasution, 2007).Infeksi yang
disebabkan oleh Babesia bovis, Babesia bigemina,dan Anaplasma marginale juga
sangat berpotensi menyebar pada sapi saat ekspor ke negara Asia bagian timur
dan selatan yang endemik Babesiosis (Bock dan Vos, 2001).Infestasi parasit ini
dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar berupa pertumbuhan terhambat,
penurunan berat badan, penurunan daya kerja dan reproduksi, termasuk biaya
pembelian desinfektan serta vaksin.
2.3.1 Etiologi
Filum : Sporozoa (Apicomplexa)
Kelas : Sporozoea
Subkelas : Coccidia
Superordo : Eucoccidea
Ordo : Haemosporidia
Subordo : Aconoidina
Famili : Piroplasmidae
Genus : Babesia (Bock et al., 2004)
Sejauh ini dilaporkan terdapat lebih dari 100 spesies Babesia didunia tetapi
yang mempunyai arti penting dalam dunia kesehatan hewan dan manusia antara
lain B. microti di Amerika Serikat, B. divergens dan B. bovis di Eropa. Adapun di
Indonesia, Babesia sp. yang banyak merugikan peternak sapi adalah B. bigemina,
B. divergens, dan B.bovis. Beberapa spesies Babesia, hanya ditemukan pada
hewan-hewan yang lain seperti B. mayor menginfeksi sapi, B. equi pada kuda, dan
B. canis pada anjing, B. felis pada tikus, dan B. microti pada binatang mengerat
(rodent), juga binatang menyusui kecil dan jenis kera, sedangkan B. divergens
pada tikus dan gerbil (sejenis tikus yang kaki belakang dan ekornya panjang)
(Lubis, 2006).
Morfologi
Morfologi Babesia sp. sangat khas, yaitu berbentuk seperti buah pir (the
pear shaped form) yang berada di dalam butir sel darah merah (intraerythrocytic)
inang yang terinfeksi (Aiello dan Moses, 2011).Secara umum, merozoit didalam
eritrosit berbentuk bermacam-macam (bulat, oval, piriform atau tidak teratur),
bentuk piriform secara khas berpasangan dengan sudut lancip, dengan pewarnaan
7
giemsa, plasma parasit terlihat biru dan intinya berwarna merah. Ada dua bentuk
Babesia yaitu bentuk yang besar (sudutnya kecil) misalnya Babesia bigemina
danBabesia motasi ; dan bentuk yang kecil (sudutnya lebih besar dari bentuk yang
besar) misalnya Babesia divergens danBabesia bovis. Pada Babesia bovis
ditemukan bentuk “cincin signet” bervakuol yang mempunyai merozoit berukuran
kira-kira 1,5-2,4 µm dan terletak di bagian tengah eritrosit sedangkan Babesia
bigeminadidalam eritrosit berbentuk piriform, bulat, oval atau tidak teratur.
Merozoit yang piriform ditemukan secara khas berpasang-pasangan dan berbentuk
bulat dengan diameter 2-3 µm, panjang 4-5 µm. Babesia sp. berkembang secara
aseksual di dalam eritrosit dengan pembelahan ganda atau skizogoni (pembelahan
berlipat ganda), dan seksual di dalam tubuh caplak (Oka, 2010).
Gambar 1. Struktur Babesia sp.pada Sapi (Soulsby, 1982)
(a) (b)
Gambar 2. Morfologi (a) Babesia bovis (b) Babesia bigemina di dalam eritrosit sapi
(Aiello dan Moses, 2011)
8
Siklus Hidup
Secara umum ada 3 tahap reproduksi yaitu (i) Gametogoni (formasi dan
fusi gamet di dalam usus caplak), (ii) Sporogoni (reproduksi aseksual dalam
kelenjar ludah), (iii) Merogoni (reproduksi aseksual pada inang vertebrata)
(Homer et al., 2000).
Siklus hidup Babesia sp. terdiri dari fase aseksual dan fase seksual
(Gambar.3), fase tersebut menentukan cara infeksi parasit tersebut menginfeksi
inangnya. Pada fase aseksual, Babesia sp. mengalami stadium merogoni yang
terjadi di dalam sel darah merah inang.Stadium merogoni diawali ketika caplak
berbagai tingkatan stadium yang mengandung sporozoit menginfeksi inang
melalui saliva akibat gigitan caplak.Sporozoit yang telah masuk ke dalam tubuh
inang kemudian akan melakukan penetrasi secara mekanik ke dalam pembuluh
darah. Dalam pembuluh darah sporozoitakan masuk ke dalam eritrosit dan
berubah menjadi tropozoit, selanjutnya mengalami pembelahan biner (bereplikasi
ganda) menjadi merozoit (Bock et al., 2004). Akibat pembelahan yang terus
menerus menyebabkan desakan mekanis sehingga terjadi ruptur eritrosit yang
mengeluarkan merozoit dan mencari eritrosit baru kemudian memenetrasinya
(Homer et al., 2000). Siklus ini akan terus berlanjut sampai infeksi yang terjadi
tidak terkontrol sehingga sapi mati. Ketika caplak menghisap darah inang yang
mengandung parasit, sebagian merozoitakan rusak di dalam saluran pencernaan
dan sebagian merozoit lain mengalami perubahan menjadi fase gametosit. Fase
inilah yang akan berperan dalam reproduksi seksual.
Gambar 3. Siklus Hidup Babesia sp. pada Sapi (Bock et al., 2004)
Fase seksual dimulai ketika fase pre-gametosit berubah menjadi fase
gametosit.Perubahan fase tersebut terjadi pada tubuh caplak yang menghisap
9
darah inang yang terinfeksi (stadium gametogoni). Dalam tubuh caplak gametosit
akan menghasilkan mikrogamet dan makrogamet yang nantinya akan berfusi
menjadi zigot, atau dikenal sebagai fase seksual. Selanjutnya zigot mengalami
perkembangan menjadi ookinet atau vermiculus (Uilenberg, 2006). Selanjutnya
ookinetakan mengalami diferensiasi menjadi kinet dan akan masuk ke dalam
kelenjar saliva caplak. Jenis caplak besar seperti B. canis dan B. Divergens
memiliki kemampuan untuk bereplikasi.Hal ini menyebabkan berbagai tingkatan
stadium hidup caplak dari mulai larva, nimfa, dan dewasa dapat terinfeksi
ookinetBabesia sp. atau sering disebut dengan transmisi infeksi transtadial
(Homer et al., 2000).Penyebaran ookinet melalui larva dapat terjadi secara
transovari atau secara transmisi vertikal, hal tersebut mengakibatkan ookinet
mampu berakumulasi dan bereplikasi di ovarium caplak.
Kelenjar saliva yang terinfeksi selanjutnya akan berkembang menjadi sel
multinuklear sporoblast. Dalam sporoblast tersebut mengandung 5.000‒10.000
sporozoit.Melalui gigitan caplak inilah sporozoit bisa masuk ke dalam tubuh
inang hewan vertebrata. Patogenesis dari penyakit ini biasanya berjalan kronis,
akan tetapi pada fase akut bisa menimbulkan anemia, hemoglobinuria, ikterus,
splenomegali, hingga demam (Taylor et al.,2007). Waktu yang diperlukan
Babesia sp.dari mulai menginfeksi sampai terlihat diperedaran darah adalah 7-10
hari (Schuster, 2002).
2.3.2 Epidemiologi
Babesiosis berasal dari nama Victor Babes yang pertama kali
mengidentifikasi protozoa pada butir eritrosit pada tahun 1888. Babes menemukan
protozoa di dalam eritrosit pada sapi yang mengalami haemoglobinuria pada
tahun 1893. Smith dan Killbourne pada tahun 1893 menemukan protozoa tersebut
ditularkan oleh caplak dan merupakan penyebab Texas cattle fever.Pada tahun
1957 terjadi kasus pertama Babesiosis pada manusia yaitu peternak sapi di
Yugoslovakia.Kasus pertama yang dilaporkan di Amerika yaitu di
Massachussettes tahun 1969 (Cunha dan Barnett, 2006), ditemukan infeksi
Babesia microti pada manusia di kepulauan Nantucket (Massachusetts, Amerika
Serikat).Kejadian Babesiosis di Amerika sesuai dengan tempat penyebaran caplak
(tick) yaitu arthropoda pengisap darah yang endemis di daerah tersebut, serta di
sebelah selatan Connecticutt, juga pernah dilaporkan dari Wisconsin dan
Minnessota. Caplak biasanya menghisap darah rusa, manusia atau hewan lain,
caplak ini menularkan parasit Babesia selanjutnya akan memasuki butir eritrosit
(intraerythrocytic protozoa) seperti parasit malaria (Lubis, 2006).
Kejadian di Indonesia, Babesia bigemina pertama kali ditemukan tahun
(1896) pada kerbau di Tegal (Jawa Tengah), sapi (1906) di Sumatera. Babesia
divergens ditemukan pada tahun (1918) pada ternak yang diimpor dari Australia,
sehingga daerah tertular dan tersangka tertular adalah Aceh, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Jambi, Riau, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah, Halmahera, Irian Jaya, Lombok, Bali dan
Jawa (Oka, 2010).
10
2.3.3 Cara Penularan
Babesiosis ditularkan melalui vektor caplak, caplak yang berinang satu
menularkan secara transovarial, sedangkan caplak berinang dua atau tiga
penularannya secara “stage to stage”.Parasit ini masuk ke dalam tubuh caplak
pada saat menghisap darah inang. Di dalam tubuh caplak, Babesia sp. akan
memperbanyak diri di dalam sel epitel saluran pencernaan, selanjutnya menyebar
ke seluruh tubuh dan melakukan invasi ke indung telur. Babesiaakan berada di
dalam telur caplak yang akan berkembang menjadi larva (transovarial
transmission) (Lubis, 2006).
Vektor yang mampu menularkan Babesia sp. pada ternak adalah
Boophilus microplus.Caplak ini dilaporkan menjadi vektor yang penting karena
terbukti mampu mentransmisikan Babesia bovis, Babesia bigemina termasuk
Anaplasma marginale (Jonsson et al., 2008). Adapun Boophilus annulatus dikenal
sebagai vektor Babesia bigemina di wilayah utara serta Boophilus calcaratus dan
Rhipichepalus bursa menjadi vektor Babesia bovis di wilayah Eropa, Rusia dan
Afrika. Caplak Haemaphysalis, Dermacentor, dan Rhipichephalus diketahui
menjadi vektor Babesia motasi yang menyerang domba dan kambing di Eropa,
Timur Tengah, Rusia, Indocina, dan Afrika.Babesia sp. juga dapat ditularkan
secara alamiah melalui gigitan caplak berkulit keras, yaitu Ixodes persucaltus dan
Ixodes ricinus.Manusia dapat tertular protozoa ini melalui transfusi darah atau
melalui caplak ketika berjalan diantara semak.Selain itu penularan juga bisa
terjadi secara mekanik melalui alat-alat kedokteran yang tidak steril pada saat
pengebirian, vaksinasi, pemotongan tanduk, dan sebagainya (Dirjen pertanian dan
keswan, 2012).
2.3.4 Gejala Klinis
Babesiosis sangat patogen terhadap sapi dewasa, tetapi patogenitasnya
banyak berkurang pada anak-anak sapi, anak sapi kurang dari setahun jarang
terserang hebat. Babesiosis dicirikan dengan fase akut yang menimbulkan anemia,
ikterus, hemoglobinuria, splenomegali, dan demam sampai 42ºC (Kaufmann,
1996; Rodostits et al., 2000; Saleh, 2009).Anemia terjadi karena adanya
kerusakan pada eritrosit yang tidak terinfeksi (non infected erytrocyte) yang
disebabkan oleh antibodi antieritrosit yang banyak ditemukan pada serum sapi
terinfeksi (Goes et al., 2007).Gejala lain yang nampak antara lain adalah bulu
kusam, lesu, tidak mau makan, ruminasinya terhenti, pernafasan cepat dan sesak,
kulit tipis, kadang-kadang teramati gejala syaraf (Oka, 2010).
Menurut Aiello dan Moses (2011), keterlibatan sistem saraf pusat (SSP)
karena adanya adhesi eritrosit yang terinfeksi di kapiler otak dapat terjadi dengan
infeksi B. bovis, adanya sembelit atau diare, sapi bunting yang jangka akhir
biasanya terjadi abortus, dan sapi jantan dapat mengalami kemandulan sementara
karena demam sementara. Dengan strain virulen B. bovis, sindrom syok hipotensi,
dikombinasikan dengan inflamasi nonspesifik, gangguan koagulasi, dan stasis
eritrosit di kapiler, berkontribusi terhadap patogenesis tersebut. Dengan sebagian
besar strain B.bigemina, efek patogen berhubungan lebih langsung kerusakan
eritrosit.
11
Menurut Susan (2013), Babesiosis pada tahap yang sudah kronis, maka
akan terjadi anemia yang hebat dan kerusakan eritrosit disertai dengan
hemoglobinuria. Membran mukosa pada penderita akan memiliki warna yang
pucat kemudian mengalami ikterus. Kematian yang terjadi, tidak hanya
disebabkan oleh kerusakan eritrosit yang kemudian diikuti oleh anemia, edema
dan ikterus, namun penyebab yang paling utama adalah penyumbatan pembuluh
darah oleh sel yang terinfeksi parasit dan oleh parasit bebas itu sendiri pada
pembuluh kapiler di berbagai organ. Penyumbatan ini akan berakibat degenerasi
sel endothelial pada pembuluh darah yang kecil, anoxia, akumulasi produk
metabolis yang bersifat toksik, melemahnya dinding kapiler, dan keluarnya
eritrosit dari perivaskular serta hemorhagi makroskopik.
Menurut Benavides dan Sacco (2007) terdapat tiga macam gejala klinis
pada induk semang sapi (Bos taurus) akibat infeksi Babesia bovis yaitu :
1. Hewan rentan (susceptible) yaitu hewan dengan gejala klinis dan membutuhkan
pengobatan untuk menghindari kematian, dengan frekuensi 45,4%.
2. Intermediate yaitu hewan dengan gejala klinis parasitaemia, penurunan packed
cell volume (PCV) ≥ 21.5% dan suhu tubuh meningkat, tidak dilakukan
pengobatan dan hewan dapat sembuh dengan sendirinya, dengan frekuensi
26,7%.
3. Resistant yaitu hewan tanpa gejala klinis tetapi terdapat B. bovis pada ulas
darahnya, penurunan PCV <21.5% dengan kenaikan suhu tubuh hanya sedikit
atau tidak terjadi dan tidak membutuhkan pengobatan Babesiosis dengan
frekuensi 27,9%.
2.3.5 Diagnosis
Pemeriksaaan terhadap Babesia sp. dapat menggunakan pemeriksaan
mikroskopis yaitu dengan preparat ulas darah tipis yang diambil dari ujung telinga
sapi kemudian difiksasi dengan methyl alkohol dan diwarnai dengan pewarnaan
giemsa selama 45 menit.Cuci dengan air kemudian keringkan pada suhu ruang.
Periksa dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x. Metode
lain yang dapat digunakan yaitu Indirect Immunoflourescent Antibody Assay
(ELISA) yang belakangan ini digunakan untuk pemeriksaan pada manusia (Sevinc
et al., 2001; Lubis, 2006).
Pemeriksaan Polymerase Chains Reaction (PCR) dilakukan untuk
diagnostik penyakit tetapi tidak dapat membedakan infeksi kronis atau akut.Enzim
Linked Immunosorbent Assay (ELISA), Immunoglobulin M (IgM), pemeriksaan
darah lengkap, fungsi hati, urinalisis, dan direct combs dilakukan untuk
membantu diagnosa (Hedayati, 2007).
2.3.6 Diagnosa Banding
Menurut Benavides dan Sacco (2007), Babesiosis merupakan penyakit
yang dapat menimbulkan demam dan anemia hemolitik.Diagnosa banding
Babesiosis meliputi anaplasmosis, trypanosomiasis, theileriosis, hemoglobinuria
basiler, leptospirosis, eperythrozoonosis, dan keracunan tembaga yang kronis.
Selain itu, penyakit rabies dan encephalitides juga mungkin menjadi pertimbangan
12
penyakit pada sapi karena dengan adanya gejala klinis yang hampir sama pada
Babesiosis yaitu terjadinya gangguan pada sistem saraf pusat.
2.3.7 Kekebalan Parasit Darah Babesia sp.
Anak sapi di daerah endemik mempunyai kekebalan terhadap infeksi
Babesia sp. sejak dilahirkan, karena antigen dapat melalui plasenta sehingga janin
bisa memproduksi antibodi fetal. Selain itu, ketahanan anak juga diperkuat oleh
antibodi maternal yang diperoleh melalui kolostrum induknya. Limpa memegang
peranan penting dalam mempertahankan kekebalan terhadap infeksi Babesia sp.,
kekebalan akan menurun bila dilakukan splenoctomi karena fungsi limpa sebagai
sumber antibodi dan menghancurkan eritrosit yang terinfeksi menjadi semakin
menurun. Kepekaan terhadap infeksi Babesia sp. berbanding lurus dengan umur,
semakin meningkat umur kepekaannya juga semakin meningkat. Kekebalan yang
terbentuk biasanya bersifat premunitas, dimana Babesia sp. masih dapat
ditemukan di dalam darah perifer, sehingga terjadi infeksi laten selama paling
sedikit setahun. Reinfeksi yang terjadi pada waktu kekebalan menurun
menghasilkan infeksi tanpa gejala, tetapi menaikkan tingkat parasitemia sehingga
menyebabkan hewan menjadi pembawa penyakit. Gejala klinis baru akan muncul
kalau hewan mengalami stres (Oka, 2010).
2.2.8 Pencegahan dan Kontrol
Kontrol terhadap Babesiosis yaitu dengan kombinasi antara kontrol
terhadap penyakit dan vektor caplak. Kontrol terhadap caplak dilakukan dengan
spray dan dipping yang banyak dilakukan di area endemik. Akarisida yang
digunakan seperti komponen pyrethoids, amitraz, dan beberapa
organophosphate.Dipping yang dilakukan pada area terinfeksi berat, pada periodik
4-6 minggu sekali.Pada area endemik caplak, peternak mengganti memelihara
bangsa sapi dengan Bos indicus karena jenis sapi ini lebih resisten terhadap
infeksi caplak.Vaksin terhadap Babesiosis juga dapat digunakan dan efektifitasnya
cukup tinggi (Anonim, 2000).Vaksinasi menggunakan parasit hidup yang
dilemahkan berhasil dilakukan pada beberapa negara seperti Argentina, Brazil,
Israel, Afrika Selatan, dan Uruguay (Tannesan, 2005).
Berbagai obat telah digunakan untuk mengobati Babesiosis di masa lalu,
tetapi hanya diminazene aceturate dan imidocarb dipropionat masih umum
digunakan.Obat ini tidak tersedia di semua negara endemik, atau penggunaannya
dapat dibatasi.Untuk mengobati ternak, diminazene diberikan secara IM dengan
dosis 3-5 mg / kg BB. Untuk pengobatan, imidocarb diberikan SC dengan dosis
1,3 mg / kg BB. Pada dosis 3,0 mg / kg BB, imidocarb memberikan perlindungan
dari Babesiosis untuk 4 minggu dan juga akan menghilangkan B. bovis dan B.
bigemina dari hewan pembawa. Long-acting tetrasiklin (20 mg / kg BB) dapat
mengurangi keparahan Babesiosis jika pengobatan dimulai sebelum atau segera
setelah infeksi.Terapi suportif disarankan, terutama pada ternak piaraan diberikan
penggunaan obat anti-Inflamasi, antioksidan, dan kortikosteroid (Aiello dan
Moses, 2011, 2011).
13
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2015.Pengambilan sampel
dilaksanakan di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten
Soppeng.Pemeriksaan darah dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Balai Besar
Veteriner (BBVET) Maros.
3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling
Populasi penelitian adalah semua sapi Bali yang terdapat di Kelurahan
Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng sebanyak 771 ekor
(Data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Soppeng, 2013).
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 21 ekor sapi Bali yang
tersebar di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng.
Berdasarkan formulasi deteksi keberadaan penyakit (Martin et al., 1987):
Keterangan :
n : Besaransampel yang digunakan
a : Tingkat kepercayaan
D : Jumlahhewansakitdalampopulasi
N : Jumlahpopulasi
n = [1 – (1- a)1/D
] [N – (D – 1)/2]
n = [1 – (1- 0,99)1/154
] [771 – (154 – 1)/2]
n = [1 – 0,970] [771 – 76,5]
n = 0,03 x 694,5
n = 20,835 = 21 ekor
DenganasumsitingkatprevalensiBabesiasp. diKabupaten Barrusebesar 20%
(Wirawan, 2011), tingkat kepercayaan 99%, dan besaran populasi 771 ekor (Data
DinasPeternakandanPerikananKabupatenSoppeng, 2013), sehingga diperoleh
besaran sampel sebesar 21 ekor.
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple Random
Sampling dengan mengambil sampel yang terdapat di Kelurahan Lalabata,
Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng.
3.2.2 Bahan
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sampel darah,
kapas, air, alkohol, methanol, cairan pewarnaan giemsa, dan minyak emersi.
n = [1 – (1- a)1/D
] [N – (D – 1)/2]
14
3.2.3 Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah mikroskop, obyek
glass, cover glass, tissue, jarum steril dan kamera digital.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif, yaitu suatu
jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian mengenai kejadian
Babesiosis pada sapi bali. Keberadaan parasit darah Babesia sp. dapat dideteksi
dengan metode ulas darah tipis.
3.3.2 Pengambilan Sampel Darah
Metode pengambilan sampel darah yang digunakan pada penelitian ini
dengan menggunakan metode preparat ulas darah tipis.
Adapun cara pembuatan preparat ulas darah tipis yaitu :
Pengambilan sampel darah dilakukan dengan melalui vena auricularis di
telinga sapi dengan terlebih dahulu telinga dibersihkan dengan menggunakan
alkohol sampai kering. Kemudian vena auricularis dibendung dan ditusuk dengan
menggunakan jarum suntik yang sudah disterilkan. Setelah darah keluar dari
pembuluh darah maka dibuatlah preparat ulas yang tipis pada gelas obyek dengan
cara meneteskan setetes darah pada ujung dari obyek glass, kemudian tempatkan
salah satu ujung cover glass dan membuat sudut 30°C kemudian sentuh setetes
darah tersebut sehingga darah mengalir mengikuti bagian bawah dari cover glass,
kemudian dorong agak cepat cover glass kearah depan di sepanjang permukaan
obyek glass. Lalu keringkan apusan darah tersebut.Preparat darah yang kering
kemudian difiksasi dengan metanol selama 3-5 menit. Setelah itu diberi label
berisi keterangan nama sapi, tanggal, waktu pengambilan dan catatan lain yang
dianggap perlu. Setelah kering simpanlah pada kotak preparat untuk dilakukan
pemeriksaan laboratorium.
3.3.3 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ini merupakan kelanjutan dari pengambilan
sampel darah dengan melakukan metode preparat ulas darah tipis.Preparat ulas
darah yang kering diambil kemudian diwarnai dengan Giemsa dan didiamkan
selama ±45 menit.Setelah itu preparat dibilas dengan air mengalir kemudian
preparat dikeringkan.Lalu preparat ditetesi dengan minyak emersi kemudian
diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 100 x.
Pengamatan dilakukan untuk mengidentifikasi parasit yang ada di preparat
tersebut.
3.3.4 Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif.
15
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya infeksi parasit Babesia
sp. pada sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten
Soppeng.Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 6 Januari sampai 16 Januari
2015.Jumlah seluruh populasi sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau Kecamatan
Lalabata Kabupaten Soppeng sebanyak 771 ekor dan sampel yang diambil yaitu
sebanyak 21 sampel.
Berdasarkan sampel yang telah diperiksa, menunjukkan bahwa seluruh
sampel darah sapi Bali sebanyak 21 sampel yang dikumpulkan dengan metode
Simple Random Sampling tidak ditemukan adanya infeksi parasit darah Babesia
sp. pada sampel yang telah diperiksa (Lampiran 2). Hasil ulas darah tipis yang
diperiksa secara mikroskopis menunjukkan bahwa sel darah merah yang terdapat
pada sapi Bali terlihat normal.
Sampel darah sapi Bali yang diteliti berjumlah 21 sampel yang diambil
dari seluruh populasi di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata,
Kabupaten Soppeng.Seluruh sampel ternak yang diambil kemudian dibuat
preparat ulas darah tipis di lokasi pengambilan sampel dan kemudian
diidentifikasi melalui pemeriksaan mikroskopis di Laboratorium Parasitologi,
Balai Besar Veteriner (BBV) Maros.Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa
seluruh sampel negatif yang artinya di dalam preparat ulas darah tipis tidak
ditemukan adanya parasit darah Babesia sp. didalam eritrosit.Ini menunjukkan
bahwa frekuensi kejadian parasit darah Babesia sp. di Kelurahan Lalabata Rilau,
Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng adalah 0%.
Menurut Aiello dan Moses (2011), secara umum morfologi parasit darah
Babesia sp. yang menunjukkan hasil positif yaitu bentuknya sangat khas seperti
buah pir (the pear shaped form) yang berada didalam butir sel darah merah
(intraerythrocytic) inang yang terinfeksi. Menurut Oka (2010), Babesia bovis
ditemukan bentuk “cincin signet” bervakuol yang mempunyai merozoit berukuran
kira-kira 1,5-2,4 µm dan terletak di bagian tengah eritrosit sedangkan Babesia
bigemina dalam eritrosit berbentuk piriform, bulat, oval atau tidak teratur.
Merozoit yang piriform ditemukan secara khas berpasang-pasangan dan berbentuk
bulat dengan diameter 2-3 µm, panjang 4-5 µm. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, seluruh sampel yang diidentifikasi seluruh sampel menunjukkan
eritrosit yang normal dan tidak menunjukkan adanya kelainan seperti yang
dikemukakan oleh Aiello dan Moses (2011) dan Oka (2010).
Berdasarkan hasil wawancara dari peternak dan pengamatan langsung
dilapangan, hal yang diduga memicu tidak timbulnya penyakit parasit tersebut
dikarenakan keadaan fisik ternak sapi yang baik, kondisi lingkungan ternak yang
kurang optimum bagi perkembangan dan ketahanan hidup vektor dan parasit, cara
pemeliharaan yang baik dan kondisi sapi yang berhubungan dengan kekebalan
tubuh sapi yang ada di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten
Soppeng.
Analisis univariate terhadap variabel kuesioner menunjukkan pendidikan
terakhir peternak sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata,
Kabupaten Soppeng (Gambar 4) didominasi oleh SMP (65%) dan SMA (35 %).
Rendahnya tingkat pendidikan peternak tidak selaras dengan pengalaman peternak
dalam beternak sapi Bali. Pengalaman beternak sapi Bali (Gambar 5) yang terbagi
16
atas peternak dengan pengalaman beternak sapi Bali lebih dari 5 tahun (95%) dan
peternak dengan pengalaman beternak sapi Bali kurang dari 5 tahun (5%).
Pengalaman beternak lebih dari 5 tahun selaras dengan penerapan prinsip
manajemen pemeliharaan yang baik, sehingga hal tersebut dapat menjadi faktor
yang diduga memicu tidak timbulnya kejadian infeksi parasit darah khususnya
Babesia sp. pada Sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata,
Kabupaten Soppeng.
Gambar 4.1 Diagram Penilaian Pendidikan Terakhir Peternak
Gambar 4.2 Diagram Penilaian Pengalaman Beternak
Pola pemeliharaan (Gambar 4.3)terbagi atas pola pemeliharaan ekstensif
(0%), semi intensif (100%), dan intensif (0%). Pola pemeliharan sapi Bali di
Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng didominasi
oleh pola pemeliharaan semi intensif (100%). Sapi Bali yang dipelihara dengan
pola pemeliharaan semi intensifakan mencegah kondisi cekaman terhadap sapi,
sapi yang di gembalakan juga diduga dapat menekan kejadian stres sehingga pola
tersebut lebih banyak dilakukan oleh peternak. Selain itu,sapi Bali mempunyai
daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk seperti daerah yang
bersuhu tinggi, mutu pakan yang rendah, dan lain-lain (Guntoro, 2002).
5%
95%
Pengalaman Beternak
< 5 Tahun
> 5 Tahun
17
Gambar 4.3 DiagramPenilaian Pola Pemeliharaan
Faktor penyebab lain yaitu cara merawat sapi yang dibagi atas 2 kategori,
yakni sapi yang sering dimandikan (100%; Gambar 4.4) dan sapi yang jarang
dimandikan (0% ;Gambar4.4). Cara merawat sapi didominasi oleh sapi yang
sering dimandikan. Perawatan sapi yang sering dimandikan akan mengurangi
timbulnya infeksi parasit darah khususnya Babesia sp..Hal ini mungkin terjadi
karena sapi yang sering dimandikan kurang atau tidak adanya ektoparasit yang
menempel di tubuh sapi.
Gambar 4.4 Diagram variabel Penilaian Cara Merawat Sapi
Secara keseluruhan dari total sampel menunjukkan kondisi sapi (gambar
4.5) yang terlihat sehat (95%) dan (5%) terlihat sakit. Penggolongan sapi kategori
sehat ataupun sakit dinilai dari kondisi tubuh, ada tidaknya luka terbuka dan
nafsu makan serta manifestasi ektoparasit.
100%
0%
Cara Merawat Sapi
Sapi Sering
Dimandikan
Sapi Jarang
Dimandikan
18
Gambar 4.5 Diagram variabel Penilaian Kondisi Sapi
Letak kandang didominasi oleh kandang dekat dengan kandang sapi lainnya
(100%; gambar 4.6).Letak kandang yang berdekatan dengan kandang sapi lainnya
merupakan faktor pemicu peningkatan manifestasi ektoparasit. Akan tetapi, pada
penelitian ini tidak ditemukan sampel yang terdapat manifestasi ektoparasit, hal ini
diduga karena sapi tersebut sering dimandikan sehingga mengurangi peluang kejadian
penyakit parasiter.
Gambar 4.6 Diagram variabel Penilaian Letak Kandang Sapi
Secara umum, kondisi kandang pemeliharaan ternak sapi Bali di
Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng dibagi atas 2
kategori, yakni kondisi kandang yang sering dibersihkan (80% : Gambar 4.6) dan
kondisi kandang yang jarang dibersihkan (20% ; Gambar 10). Pengaruh kondisi
kandang yang didominasi oleh kondisi kandang yang sering dibersihkan (80%)
diharapkan dapat menurunkan tingkat kejadian parasit khususnya Babesia sp.
pada sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten
Soppeng.
19
Gambar 4.7 Diagram variabel Penilaian Kondisi Kandang Sapi
Selain dari faktor faktor tersebut, faktor iklim dan curah hujan juga
mempengaruhi tidak timbulnya infeksi karena pada saat pengambilan sampel
dilakukan pada awal bulan januari, dimana kondisi iklim di Kabupaten Soppeng
masih relatif cerah dengan intensitas hujan yang rendah. Hal ini sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Sujarwo (2014), bahwa wilayah Sulawesi Selatan bagian
tengah memiliki kesamaan dengan wilayah Sulawesi Selatan bagian timur dimana
musim hujan terjadi ketika wilayah Sulawesi Selatan bagian barat atau selatan
sudah memasuki periode akhir dari musim hujan atau awal musim kemarau,
sehingga seolah - olah hujan bergeser dari wilayah barat menuju wilayah timur
Sulawesi Selatan. Periode musim hujannya terjadi pada bulan Maret - Juli dan
puncaknya terjadi pada bulan Mei, hanya saja wilayah bagian tengah ini memiliki
curah hujan yang cenderung merata dan stabil tiap bulannya yakni curah hujan
tidak terlalu tinggi dan rendah.
20
5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh
kesimpulan bahwa tidak ditemukan adanya kejadian infeksi parasit darah Babesia
sp. pada sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten
Soppeng.
5.2Saran
Infeksi parasit darah Babesia sp. yang tidak ditemukan pada kelurahan
lalabata rilau kecamatan lalabata kabupaten soppeng bukan berarti peternak bebas
dari ancaman penyakit.Berdasarkan hasil penelitian disarankan untuk perlu
dilakukan penelitian yang lebih luas terhadap kejadian parasit darah Babesia sp.
pada sapi Bali ditingkat Kecamatan / Kabupaten dengan menggunakan sampel
yang lebih banyak.
21
DAFTAR PUSTAKA
Aiello SE, Moses MA. 2011. Babesiosis. Di dalam: Jorgensen WK, editor. The
Merk Veterinary Manual.Ed ke-10[Internet]. [diunduh 2014 September
06].http://www.merckmanuals.com/vet/circulatory_system/blood_parasite
s/babesiosis.html.
Anonim. 2000. Tick Fever (Bovine Babesiosis) [Internet]. [diunduh 26 September
2014]. http://www.petalia.com.
Benavides MV, Sacco MS. 2007. Differential Bos Taurus cattle response to
Babesia bovis infection.Vet. Parasitology150:54-64.
Bock R, Jackson L, De Vos A, Jorge W. 2004.Babesiosis or cattle.Parasitology.
124: 247-269.
Bock R,Vos AD. 2001. Immunity following use of Australian tick fever vaccine:a
review of the evidence. Tick Fever Research Centre, Animal and Plant
Health Service.Queensland Departement of Primary Industries.
[CFED] Committee on Foreign and Emerging Diseases of the United States
Animal Health Association. 2008. Foreign Animal Diseases. Ed ke-7.
Canada: Boca Publication Group, Inc.
Cunha BA, Barnett B. 2006. Babesiosis.Emedicine from WebMDD.
Deptan. 2001. Beberapa Penyakit Pada Ternak Ruminansia “Pencegahan dan
Pengobatannya”. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. NTB
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Manual Penyakit Hewan
Mamalia.Subdit Pengamatan Penyakit Hewan.Dirjen pertanian dan
keswan Republik Indonesia. Jakarta.
Ditjennak. 2009. BPS Peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan,
Jakarta.
Feati.2011. Teknologi Penggemukan sapi Bali.-BPTP NTB it-2.pdf.
Goes TS, Goes VS, Ribeiro MFB, Gontijo CM. 2007. Bovine Babesiosis:
Antyerytrhrocyte Antibodies Purification from The Sera of Naturally
Infected Cattles. Vet. Immunology Immunopathology 116: 215-218.
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius. Yogyakarta.
Hedayati T. 2007. Babesiosis.eMedicine Web MD [Internet]. [diunduh 14
September 2014]. http://www.emedicine/com/med/topic 195.htm.
Homer MJ, Delfin IA, Telford III SR, Krause PJ, Persing DH. 2000.
Babesiosis.Clin.Microbiol. Rev.. 13(3):45.
Jonsson NN, Bock RE, Jorgensen WK. 2008. Productivity and health effects of
anaplasmosis and babesiosis on Bos indicus cattle and their crosses, and
the effect of differing intensity of tick control in Australia.Vet.Parasitology
03(022):1-9.
Kaufmann J. 1996. Parasitic Infections of Domestic Animals-A Diagnostic
Manual. Berlin (DE): Birkhauser.
Kaufmann J. 2001. Parasitic infections of domestic animals-a diagnostic manual.
Berlin (GR): Birkhauser.
Kocan KM, Fuente , uglielmone AA, Mele nde D. 2003. Antigens and
alternatives for control of Anaplasma marginaleinfection in cattle.J
Clin.Microbiol.Rev. 16:698-712.
22
Lubis FY. 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran 152:27-
29.
Martin SW, Meek AH, Willeberg P. 1987. Veterinary Epidemiology. USA: Iowa
State University Press.
Nasution AYA. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di Lima
Kecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Oka, Ibm.2010. Ilmu Penyakit Parasitic Protozoa.Udayan press. Bali
Rodostits OM, Gay CC, Blood DC, Hinchcliff KW. 2000.Veterinary Medicine.Ed
ke-8.New York (US): Baillier Tindall. hal303–311.
Saleh MA. 2009. Erythrocytic oxidative damage in crossbred cattle naturally
infected with Babesia bigemina. J Vet Sci. 86(1):43–48.
Schuster FL. 2002. Cultivation of Babesia and Babesia-Like Blood Parasites:
Agents of an Emerging Zoonotic Disease. Clin. Microbiol Rev 15(3): 365-
373.
Sevinc F, Sevinc M, Bindane FM, Altinoz F. 2001. Prevalence of Babesia
bigemina in Cattle.Revue Med. Vet. 152, 5;395-398.
Siregar SB. 2008. Penggemukan Sapi. Depok (ID): Penebar Swadaya.
Soeharsono. 2002. Sapi Bali [Internet]. [diunduh 27 Mei 2014].
http://www.kompas.com/kompas Cetak/0408/18/ilpeng/12078116.htm.
Solihat, Lilis. 2002. Temu Teknis Fungsional Non Peneliti Pemeriksaan Sampel
Penvakit-penyakit Parasit Darah di Laboratorium Parasitologi
Balitvet.
Soulsby, E. J. L. 1982. Helmints, Arthopods and Protozoa of Domesticated
Animals, 7rd
ed. Bailliere Tindal, England.
Sujarwo.2014. Berkah Periode Iklim yang Bervariasi Menjadikan Sulawesi
Selatan Sebagai Lumbung Padi Nasional. Kasubid Pelayanan Jasa BBMKG
Wilayah IV Makassar [internet]. [diunduh20 Januari 2015].
http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/Publikasi/Artikel/BERKAH_IKLIM_Y
ANG_BERVARIASI.bmkg.
Sukamto. I. P., R.C. Payne, S. Partoutomo, R. Agustini dan F. Politedy. 1988.
Babesia bovis di Indonesia. The Aplication of An Elisa to Determine the
Seroprevalence of Babesia bovis Antibodies in Cattle. Paper FAVA
CONGRESS the 6 th, Denpasar. Bali.
Sulityowati A. 2002. Upaya Mendongkrak Kembali Populasi Sapi Bali [Internet].
[diunduh].http://www.kompas.com/kompascetak/0606/16/ekor/2656300.ht
m.
Suswono. 2012. Kuota Impor Daging Sapi. Jakarta: Neraca Pertanian.
Tannesan. 2005. Dissertation Babesiosis in Africa. University of Preforia ets
[Internet]. [diunduh 16 November 2014].
http://upted.up.ac.za/thesis/available/etd.
Taylor MA, RL Coop, RL Wall. 2007. Veterinary Parasitology. 3th Edition.
Hongkong (HG): Graphicraft Limited.
Uilenberg G. 2006. Babesia Historical Overview.Veterinary Parasitology.
138:2‒10.
Wirawan PH. 2011. Data Hasil Uji Survey Internal dan Eksternal Parasit
(Kabupaten Bone, Kabupaten Barru – Sulawesi Selatan) : Balai Besar
Veteriner Maros.
23
Wirawan PH. 2011. Laporan kegiatan survey internal dan eksternal parasit
(Kabupaten Barru, Poso, Bone dan Sigi) [Laporan Penelitian]. Maros:
Balai Besar Veteriner Maros.
24
Lampiran 1. Kuesioner Informasi Dasar pada Peternak Sapi Bali terhadap
Parasit Darah Babesia sp. di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata,
Kabupaten Soppeng.
KUESIONER
DETEKSI PARASIT DARAH Babesia sp. PADA SAPI BALI DI
KELURAHAN LALABATA RILAU KECAMATAN LALABATA
KABUPATEN SOPPENG
I. INFORMASI DASAR
II. MANAJEMEN PEMELIHARAAN 1. Bagaimana anda memelihara ternak?
a. Sapi dilepas atau digembalakan terus menerus (intensif)
b. Sapi dilepas atau digembalakan pada siang hari dan dikandangkan malam
hari (semi intensif)
c. Sapi dikandangkan (ekstensif)
2. Bagaimana anda merawat sapi ?
a. Sapi dimandikan sekali dalam seminggu
b. Sapi dimandikan dua kali dalam sebulan
c. Tidak dimandikan atau dibiarkan.
3. Bagaimana kondisi sapi anda?
a. Sapi terlihat sehat, tidak terdapat tanda-tanda sapi sakit.
b. Sapi terlihat sakit
c. Sapi dikerumuni ektoparasit (lalat, kutu, caplak, dan lain-lain)
IV. KONDISI KANDANG
1. Bagaimana letak kandang sapi Anda?
a. Kandang sapi dekat dengan ladang penggembalaan
b. Kandang sapi dekat dengan kandang sapi lainnya
c. ………………………………………………
2. Bagaimana kondisi kandang sapi Anda?
a. Kandang selalu dibersihkan
b. Kandang jarang dibersihkan
c. ………………………………
V. PENGETAHUAN TENTANG PENYAKIT BABESIOSIS PADA SAPI 1. Apakah anda pernah mendengar penyakit Babesiosis pada sapi?
a. Ya.
b. Tidak
1.
Nomor Kuesioner
: …………………
Tanggal : ………………
2. Nama Enumerator :………………………................................
3. Nama Peternak/Pengelola : ……………...…………………..………...
a. Jenis kelamin : ( Pria ) ( Wanita )
b. Umur : ………………..Tahun
c. Pendidikan : ( SD/SR ) / ( SMP ) / ( SMA ) / ( PT )
d. Pengalaman Beternak Sapi : …………….Tahun
4. Alamat : ……………………………………………
Lampiran 2.Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Parasit Darah Babesia sp. di
Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner (BBV) Maros.
No. Kode
Hwn/Ras Umur ♂ ♀ Ulas
Darah Sampel
1. 01 Sapi Bali 2 Tahun
Negatif
2. 02 Sapi Bali 2 Tahun
Negatif
3. 03 Sapi Bali 3 Tahun
Negatif
4. 04 Sapi Bali 3 Tahun
Negatif
5. 05 Sapi Bali 1.5 Tahun
Negatif
6. 06 Sapi Bali 5 Tahun
Negatif
7. 07 Sapi Bali 5 Tahun
Negatif
8. 08 Sapi Bali 9 Tahun
Negatif
9. 09 Sapi Bali 4 Tahun
Negatif
10. 10 Sapi Bali 9 Tahun
Negatif
11. 11 Sapi Bali 5 Tahun
Negatif
12. 12 Sapi Bali 7 Tahun
Negatif
13. 13 Sapi Bali 8 Tahun
Negatif
14. 14 Sapi Bali 9 Tahun
Negatif
15. 15 Sapi Bali 7 Tahun
Negatif
16. 16 Sapi Bali 6 Tahun
Negatif
17. 17 Sapi Bali 7 Tahun
Negatif
18. 18 Sapi Bali 7 Tahun
Negatif
19. 19 Sapi Bali 1.5 Tahun
Negatif
20. 20 Sapi Bali 3 Tahun
Negatif
21. 21 Sapi Bali 2 Tahun Negatif
Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatan Proses Pengambilan Sampel dan Pemeriksaan
Sampel di Laboratorium.