Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DETEKSI RESIDU ANTIBIOTIKA PADA KARKAS, ORGAN DAN KAKI AYAM
PEDAGING YANG DI PEROLEH DARI PASAR TRADISIONAL KABUPATEN TANGERANG
MARTALENI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
ABSTRAK
MARTALENI. Deteksi Residu Antibiotika pada Karkas, Organ dan Kaki Ayam Pedaging yang di peroleh dari Pasar Tradisional Kabupaten Tangerang. Dibimbing oleh ROCHMAN NAIM dan HADRI LATIF Kebutuhan produk pangan asal hewan terus meningkat disebabkan peningkatan pengetahuan dan pergeseran gaya hidup. Daging Ayam harus aman dan siap untuk dikonsumsi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging. 31 (tiga puluh satu ekor) sampel ayam pedaging yang diambil secara random dikumpulkan dari 6 pasar tradisional. Pengujian residu antibiotika dengan metoda kualitatif screening test menggunakan pengujian hambat agar. Bacillus subtillis (ATCC 6633), Bacillus cereus (ATCC 11778), Bacillus calidolactis (C-953 Nizo) and Micrococcus luteus (ATCC 9341) sebagai strain bakteri yang direferensi. Hasil pengujian terhadap karkas, organ dan kaki ayam pedaging di Laboratorium Kesmavet DKI tidak ditemukan residu antibiotika. Hal ini juga didukung data skunder pada tahun 2004-2005, sebanyak 431 sampel daging ayam yang diperiksa di Laboratorium Kesmavet DKI hanya 1 sampel (0,0023%) yang positif dan Laboratorium BPMPP sebanyak 226 sampel daging dan hati ayam hasilnya 6 sampel (0,027%) yang positif. Tidak ditemukannya residu antibiotika pada karkas, organ dan hati ayam pedaging dimungkinkan, Farmakokinetika obat yaitu, fase farmakokinetika berupa, absorpsi, transport, biotransformasi, distribusi dan ekskresi. Tuntutan konsumen akan produk ternak yang sehat, aman dan terbebas dari residu antibiotika telah mengajak ilmuwan untuk mencari alternatif zat tambahan pakan yang aman.
ABSTRACT MARTALENI. Detection of Antibiotic Residue on Carcas, Edible and Broiler Leg Chicken Obtained from Tangerang District Traditional Market. Under the direction of ROCHMAN NAIM and HADRI LATIF The need of food product from animal kept increasing, it was caused of the advance in and the transition of life style. Chicken meat must have been safe and suitable for human consumption. This research was to find out the existence of antibiotic residue on carkas, edible and broiler leg. A total of 31 samples were randomly collected from 6 (six) traditional markets. The samples were qualitatively screened for antibiotic residues using the agar inhibition test. Bacillus subtillis (ATCC 6633), Bacillus cereus (ATCC 11778), Bacillus calidolactis (C-953 Nizo) and Micrococcus luteus (ATCC 9341) as the reference bacterial strain. The test results of carcas, edible and broiler leg in Kesmavet laboratory of DKI Jakarta didn’t find the antibiotic residue. It was also supported by secondary data in the year of 2004-2005, as many as 431, chicken meat was samples which were examined in Kesmavet Laboratory of DKI Jakarta, there was only one sample (0,0023 % ) which was positive and BPMPP laboratory, there were as many as 226 meat and liver of chickens, the results were 6 samples (0,027%) which were positive. There was no finding antibiotic residue on carcas, edible and chicken liver of broiler which may possibly be caused of the Pharmacokinetics drug that was pharmacokinetic fase consist of the absorption, transportation, biotransformation, distribution and exretion. The demand of consumer for animal products which were healthy, safe and free of antibiotic residue had brought scientists to look for the alternatives of feed additive element that were safe.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
DETEKSI RESIDU ANTIBIOTIKA PADA KARKAS, ORGAN DAN KAKI AYAM PEDAGING YANG
DI PEROLEH DARI PASAR TRADISIONAL KABUPATEN TANGERANG
MARTALENI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2007
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
” DETEKSI RESIDU ANTIBIOTIKA PADA KARKAS, ORGAN, DAN
KAKI AYAM PEDAGING YANG DI PEROLEH DARI PASAR TRADISIONAL KABUPATEN TANGERANG ”
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan
informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Bogor, Juni 2007
Martaleni B551034144
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Aceh Timur pada tanggal 14 Nopember 1967 dari ibu
Hj. Anidar dan Bapak Bustami. Penulis merupakan putri keempat dari lima
bersaudara. Tahun 1986 penulis lulus dari SMA Negeri Aceh Timur dan pada
tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) melalui
jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SIPENMARU). Penulis memilih
Fakultas Kedokteran Hewan dan meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
tahun 1992 dan lulus Dokter Hewan di tahun 1993. Pada tahun 2004, penulis
diterima di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Sekolah
Pascasarjana IPB. Penulis bekerja sebagai Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah
Poskeswan Caringin di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang.
Judul Tesis : Deteksi Residu Antibiotika pada Karkas, Organ dan Kaki Ayam
Pedaging yang Diperoleh dari Pasar Tradisional Kabupaten Tangerang
Nama : Martaleni NIM : B551034144
Diketahui :
Tanggal Ujian : 21 Juni 2007 Tanggal Lulus : 1 Agustus 2007
Disetujui : Komisi Pembimbing
drh. Rochman Naim, Ph.D Ketua
drh. Hadri Latif, MSi. Anggota
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
i
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan
bimbingan dan inayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2005 ini
ialah Deteksi Residu Antibiotika pada Karkas, Organ, dan Kaki Ayam Pedaging
yang Di Peroleh dari Pasar Tradisional Kabupaten Tangerang.
Terima Kasih Penulis Ucapkan kepada bapak drh. Rochman Naim, PhD. dan
bapak drh. Hadri Latif, MSi. selaku pembimbing, bapak Dr. drh. Denny W.
Lukman, MSi, selaku ketua program studi atas bimbingan dan motivasinya serta
bapak Prof. Dr.drh. H. Fachrian Pasaribu selaku dosen penguji luar komisi.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada bapak drh. H. Didi Aswadi,
MM. Selaku Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang, atas
kesempatan yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan program studi ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, bapak, suami dan anak serta
seluruh keluarga dan teman-teman atas segala doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2007
Martaleni
ii
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA.................................................................................................... i DAFTAR ISI................................................................................................. ii DAFTAR TABEL......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv DAFTAR GRAFIK....................................................................................... v PENDAHULUAN
Latar belakang...................................................................................... 1 Rumusan Masalah ................................................................................ 4 Tujuan Penelitian ................................................................................. 4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 4 Hipotesis Penelitian ............................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA
Antibiotika ........................................................................................... 5 Mekanisme Kerja ................................................................................. 6 Penggunaan Antibiotika di Peternakan................................................ 9 Penggunaan Antibiotika dalam Pakan ................................................. 11 Penggunaan Antibiotika dalam Air Minum......................................... 17 Residu Antibiotika ............................................................................... 19
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 26 Sampel Penelitian................................................................................. 26 Alat dan Bahan..................................................................................... 26 Cara Pengujian Residu Antibiotika...................................................... 26
HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 36 KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................... 42 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 43
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Antibiotika Sebagai Imbuhan Pakan Ayam Pedaging ............................ 12
2. Jenis Antibiotika yang Sudah Terdaftar untuk Pengobatan .................... 18
3. Standar Penghitungan Cawan ................................................................ 31
4. Standar Penghitungan Cawan ................................................................. 31
5. Rata-rata Zona Hambat Residu Antibiotika (Penisillin) Antara Daging (Paha, Dada, Sayap), Organ (Hati, Ginjal) dan Kaki Ayam Pedaging ....................................................................................... 36
6. Hasil Pengujian Residu Antibiotika (Laboratorium BPMPP) Tahun 2004 – 2005 ................................................................................. 40
7. Hasil Pengujian Residu Antibiotika (Laboratorium Kesmavet DKI) Tahun 2004 – 2005....................................................................... 41
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Tahap Resistensi ..................................................................................... 24
2. Bagan Penghitungan Spora ..................................................................... 30
3. Distribusi Obat dalam Tubuh.................................................................. 39
v
DAFTAR GRAFIK
Gambar Halaman
1. Rataan Zona Hambat Residu Antibiotika Golongan Penisilin,
Tetrasiklin, Makrolida dan Aminoglikosida ......................................... 36
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan produk pangan asal hewan terus meningkat disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk, peningkatan pengetahuan, pergeseran gaya hidup dan
tingkat kesejahteraan masyarakat semakin membaik. Kontribusi terbesar dalam
penyediaan daging secara Nasional umumnya berasal dari ternak unggas dan sapi
potong. Produksi daging sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 rata-rata
sekitar 59,96% berasal dari ternak unggas dan 21,29% berasal dari ternak sapi
potong (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Berbagai penelitian telah dilakukan dalam rangka peningkatan efisiensi dan
produktifitas peternakan, salah satunya adalah penggunaan antibiotika untuk
pengobatan penyakit dan pemacu pertumbuhan. Kebutuhan antibiotika untuk
pakan dan pengobatan tahun 2001 sebesar 502,27 ton, kemudian meningkat
menjadi 5.574,16 ton pada tahun 2005 (Dirjenak, 2006). Dengan meningkatnya
penggunaan antibiotika tersebut, maka meningkat pula manfaat dan resiko yang
mungkin ditimbulkan. Resiko ini berupa residu antibiotika pada hasil-hasil ternak
(daging, susu dan telur) akibat penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dengan
dosis atau tidak memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time).
Penelitian Balai Penelitian Veteriner Bogor (Balitvet) terhadap residu
antibiotika, telah berhasil mendeteksi residu oksitetrasiklin, tetrasiklin dan
khlortetrasiklin pada daging ayam, telur dan susu dengan kadar melebihi batas
maksimum residu (Bahri et al., 1992 dan Darsono et al., 1996). Yuningsih et al.
(2005) melakukan penelitian tentang keberadaan residu antibiotika tilosin
(golongan makrolida) dalam daging ayam yang berasal dari daerah Sukabumi,
Bogor dan Tangerang, semua sampel daging ayam mengandung tilosin berkisar
antara 0,0006 – 0,0845 µg/g, angka tersebut masih berada dibawah nilai batas
maksimum residu.
Hasil pengujian residu antibiotika terhadap 20 sampel daging ayam yang
diperoleh dari pasar swalayan dan pasar tradisional di Kabupaten Tangerang
hanya satu sampel yang positif residu antibiotika golongan penisilin, tetrasiklin
dan makrolida (Distannak, 2005).
2
Penelitian di lapang terhadap 30 peternakan ayam di Kabupaten Tangerang
didapatkan bahwa hampir 50% antibiotika golongan tetrasiklin merupakan
sediaan yang ditambahkan ke dalam pakan, hal ini dibuktikan dengan melakukan
pemeriksaan terhadap pakan yang berasal dari peternakan ayam petelur dan
pedaging (Distannak, 2006).
Menurut Bahri et al. (2005) hampir semua pabrik pakan menambahkan
antibiotika ke dalam pakan komersial, sehingga sebagian besar pakan komersial
yang beredar di Indonesia mengandung antibiotika. Penggunaan antibiotika yang
kurang tepat ini dimungkinkan berkaitan dengan pola pemasaran obat hewan di
lapangan, dimana 30,80% peternak ayam pedaging skala kecil dan 33,30%
peternak ayam petelur skala kecil yang tidak mempunyai dokter hewan untuk
mengawasinya, mendapat obat langsung dari distributor sehingga dikhawatirkan
penggunaan obat-obatan tersebut tidak mengikuti aturan yang benar. Selain itu
peternak kurang memahami waktu henti suatu obat sehingga mengakibatkan
munculnya residu pada produk ternak (Peter et al., 2002 ; Bahri et al., 2005).
Antibiotika tidak boleh dicampur dalam pakan dan tidak boleh
dikombinasikan dengan vitamin, mineral dan asam amino yang dipakai melalui
air minum kecuali, sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor
806/Kpts/TN.260/12/94 tentang Klasifikasi obat hewan. Peraturan ini telah
beberapa kali ditambah dan disempurnakan, jenis antibiotika yang direkomendasi
sebagai bahan tambahan dalam pakan hewan yaitu, avilamisina, avoparsina,
bacitrasin zink, enramisina, flavomycin (bambermisin), kitasamisin, kolistin
sulfate, lasalosid, maduramisina, lincomisin HCl, monensin natrium, narasina,
salinomisin (Na), spiramisin (embonate), virginiamisin.
Keberadaan residu antibiotika dalam bahan pangan asal hewan, dari aspek
kesehatan masyarakat veteriner perlu mendapat perhatian, bahaya yang dapat
ditimbulkannya terhadap kesehatan konsumen, seperti reaksi hipersensitifitas
mulai dari yang ringan sampai parah, keracunan dan yang terpenting adalah
peningkatan resistensi beberapa mikroorganisme patogen yang akan menimbulkan
masalah besar dalam bidang kesehatan manusia maupun hewan (Phillips et al.,
2004).
3
Secara ekonomi dampak yang ditimbulkan dari adanya residu dalam pangan
asal hewan, menyebabkan kerugian ekonomi berupa penolakan produk terutama
bila produk tersebut di ekspor ke negara yang konsisten dan serius dalam
menerapkan sistem keamanan pangan (Crawford dan Franco, 1994).
Hasil penelitian Kadarwati et al. (1989) menunjukkan bahwa tiga jenis
bakteri kokus (Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Streptococcus
betahaemolyticus) yang diisolasi dari kelompok anak sehat dan sakit di wilayah
Jakarta Timur telah resisten antibiotika, terutama tetrasiklin (53,3%), hal tersebut
kemungkinan disebabkan tingginya tingkat terpaparnya tetrasiklin di masyarakat
seperti pengobatan yang selalu menggunakan tetrasiklin karena memiliki
spektrum yang luas.
Menurut hasil penelitian Hermawati (1997), pemakaian antibiotika kurang
dari 50 gram/ton pakan tidak menimbulkan problem residu pada jaringan hewan,
tetapi pemakaian tetrasiklin antara 200 – 1000 gram/ton pakan menghasilkan
residu di jaringan ayam, sedangkan pemakaian lebih dari 500 gram/ton pakan
menghasilkan residu dalam telur. Penggunaan klortetrasiklin pada pakan ayam
pedaging yang diberikan selama 11 hari dapat menimbulkan residu sebanyak 0,49
– 0,88 µg/ml dalam serum, 1,5 – 3,0 µg/g dalam hati, 0,68 – 1,30 µg/g dalam
daging dada dan 0,59 – 0,75 µg/g dalam jaringan lainnya.
Residu doksisiklin dalam daging dada, daging kaki, hati, ampela dan kulit
ayam broiler yang diberikan doksisiklin 200 ppm selama 5 hari melalui air minum
masih ditemukan berturut-turut sampai dengan hari ke 14, 13, 11 dan 10 setelah
pengobatan terakhir. Pemanasan 80' C dan 100' C masing-masing selama 10, 20
dan 30 menit tidak dapat menginaktivasi 100% doksisiklin (kadar 0,04 µg/l, 0,32
µg/l dan 0,64 µg/l) dalam larutan dapar (Lukman, 1994).
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan bahaya potensial yang
diakibatkan residu pada manusia adalah dengan melakukan pemasakan jaringan
hewan apabila hendak dikonsumsi. Hal ini akan menurunkan konsentrasi dari
beberapa antibiotika seperti penisilin dan tetrasiklin. Beberapa antibiotika seperti
kloramfenikol dan streptomisin bersifat lebih stabil terhadap panas (Crawford and
Franco, 1994).
4
Pola konsumsi dan kegemaran masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi
ayam pedaging, sehingga hampir semua bagian tubuh ayam pedaging dapat diolah
untuk dimakan. Hal ini disebabkan daging ayam bernilai gizi tinggi, relatif murah
dibanding harga daging yang lain, mudah didapat, dapat dimakan oleh pemeluk
agama apapun, disukai semua golongan, jarang dipantang, kandungan
kolesterolnya rendah dan di negara maju tergolong tingkat konsumsi protein
hewani yang tinggi.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dibuat suatu rumusan yaitu, terdapat residu antibiotika pada karkas, organ dan
kaki ayam pedaging.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya residu antibiotika pada
karkas, organ dan kaki ayam pedaging.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi ilmiah tentang
adanya residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging dan penentu
kebijakan dalam pengawasan keamanan pangan asal hewan yang dimulai dari
peternakan terutama berkaitan dengan residu antibiotika pada karkas, organ dan
kaki ayam pedaging.
1.5 Hipotesis
Tidak ditemukan residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam
pedaging.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Antibiotika
Antibiotika adalah senyawa berat dengan molekul rendah yang membunuh
atau menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagian besar antibiotika dihasilkan oleh
mikroorganisme, khususnya Streptomyces spp. dan jamur (Mutschler, 1999;
Salyers dan Whitt, 2005). Penggunaan antibiotika untuk terapi infeksi pada
manusia dan hewan harus memenuhi sejumlah kriteria.
Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dari antibiotika
tersebut ataupun berdasarkan target kerjanya pada sel yaitu, broad spektrum,
mempunyai kemampuan membunuh mikroorganisme dari berbagai spesies dan
narrow spectrum hanya mampu membunuh mikroorganisme secara spesifik
(Bezoen et al., 2000)
Terhadap sebagian besar penggunaan, antibiotika harus mempunyai aktivitas
spektrum yang luas (Martin, 1992; Tjay dan Raharja, 2005). Bahwa antibiotika
harus membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri dari tipe yang berbeda.
Antibiotika broad spektrum berguna karena adanya gejala (simptom) yang sama
yang disebabkan oleh bakteri dari spesies yang berbeda dan dari gejala yang
muncul tidak mungkin menunggu isolasi, identifikasi organisme penyebab
sebelum terapi dimulai (Nhiem, 2005; Salyers dan Whitt, 2005). Antibiotika
broad spektrum mempunyai kekurangan, tidak hanya menyerang bakteri patogen
tetapi juga mengurangi jumlah mikroflora usus (Focosi, 2005).
Setiap antibiotika harus mampu mencapai bagian tubuh dimana terjadinya
infeksi. Beberapa antibiotika tidak diabsorpsi oleh saluran pencernaan, sementara
masuk ke aliran darah tetapi tidak melintasi barrier darah otak dalam cairan spinal
dan tidak masuk dalam sel fagosit (Phillips et al., 2004; Focosi, 2005).
Munculnya fenomena resistensi antibiotika pada bakteri patogen sangat
berbahaya. Hal ini diduga dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan sifat
resistensi antibiotika bakteri dari ayam dan telur ke manusia dan lingkungan
(Kusumaningsih, 2007). Adanya resistensi antibiotika bakteri pada ternak dan
manusia dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan penyakit yang disebabkan
oleh bakteri (Phillips et al., 2004; Bahri et al., 2005)
6
2.2. Mekanisme kerja
Menurut Prescott dan Baggot (1997) dan Mutschler (1999), mekanisme
kerja antibitotika dibagi dalam empat kategori, yaitu: menghambat sintesa
dinding sel (antibiotika golongan beta-laktam, basitrasin dan vankomisin),
menghambat sintesa protein (aminoglikosida, linkosamida, makrolida,
pleuromutilin dan tetrasiklin), merusak fungsi membran sel (polimiksin dan
polyenes) dan menghambat fungsi asam nukleat (nitroimidazol, nitrofuran,
quinolon dan rifampin).
2.2.1. Antibiotika Beta- laktam
Menurut Salyers dan Whitt (2005), antibiotika beta-laktam diberi nama
berdasarkan 4 anggota cincin beta-laktam. Kelompok ini terdiri dari empat tipe
utama yaitu, penisilin, sefalosporin, karbapenem dan monobaktam. Antibiotika ini
tergolong yang paling besar digunakan. Masalah toksikologi utama golongan
beta-laktam ini yaitu reaksi alergi yang terjadi akibat terbentuknya beta-laktam/
serum protein konyugasi yang mendapatkan peradangan respon immun.
Seseorang yang alergi terhadap penisilin juga alergi terhadap sefalosporin dan
karbapenem (Adam, 2002).
Mekanisme kerja antibiotika beta-laktam menghambat tahap akhir sintesa
peptidoglikan, reaksi transpeptidase yang melintasi rantai tepi peptida sumber
kekuatan peptidoglikan polisakarida (Prescott dan Baggot, 1997). Antibiotika ini
juga mengikat dan menghambat aksi membran protein sitoplasmik lain yang
merupakan tugas dalam sintesa peptidoglikan. Enzim transpeptidase dan protein
lainnya dinamakan penisilin binding protein. Hasil dari beta-laktam terikat pada
protein adalah menstimulasi enzim endogen yang didegradasi peptidoglikan
(autolisin) (Focosi, 2005).
Secara normal katalisis enzim ini terjadi pada pergantian peptidoglikan
dilakukan bakteri pada saat tumbuh dan membelah. Antibiotika beta-laktam
melepaskan kontrol pada saat menyimpan enzim ini dan merangsang serangan
lain dari peptidoglikan. Penghancuran peptidoglikan dari dinding sel
menyebabkan bakteri lisis. Beta-laktam secara normal mempunyai sifat bakterisid
(Salyers dan Whitt, 2005).
7
Adakalanya, jika bakteri pada tekanan osmosis yang tinggi dalam tubuh
(ginjal) atau jika pH lingkungan mencegah aktifitas enzim autolitik, bakteri
terhindar dari pengaruh antibiotika bheta-laktam. Antibiotika ini berpengaruh
terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Adam, 2002). Pemberian secara
oral hanya 5-30% dari dosis yang diserap, tergantung pada stabilitas asam dan
ikatan pada makanan. Setelah penyerapan, penisillin tersebar luas dalam jaringan
dan cairan tubuh.
2.2.2. Antibiotika Glikopeptida
Kelompok lain yang menghambat sintesa peptidoglikan adalah glikopeptida,
ditunjukkan oleh vankomisin dan teikhoplanin. Antibiotika glikopeptida
menghambat dua tahap akhir sintesa peptidoglikan yaitu, transglikosilasi dan
transpeptidasi. Vankomisin terutama digunakan untuk pengobatan infeksi yang
disebabkan oleh bakteri gram positif dan vankomisin sangat tidak efektif untuk
bakteri gram negatif karena tidak mampu menembus bagian luar membran bakteri
gram negatif (Adam, 2002 dan Focosi, 2005).
Menurut Salyers dan Whitt (2005), meskipun vankomisin mempunyai
spektrum yang sempit, antibiotika ini diperlukan di klinik. Vankomisin penting
untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh strain Staphylococcus aureus
yang resisten dengan antibiotika lain.
2.2.3. Antibiotika Tetrasiklin
Klortetrasiklin, oksitetrasiklin, tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, adalah
senyawa kristal yang sedikit larut dalam air pada PH 7. Tetrasiklin seperti
aminoglikosida, target pada ribosom bakteri dan terikat pada 30S subunit.
Meskipun sebagian besar tetrasiklin tidak diragukan lagi kerjanya mengganggu
sintesa protein, beberapa kelompok baru yang ditemukan (selokardin) bekerja
dengan cara mengganggu membran bakteri bukan dengan menghentikan sintesa
protein. Tetrasiklin yang digunakan sebagai feed aditif untuk pemacu
pertumbuhan pada ternak telah menyebabkan terjadinya resistensi antibiotika
sehinggga penggunaan kelompok tetrasiklin dikurangi (Focosi, 2005).
8
2.2.4. Antibiotika Aminoglikosida
Menurut Jawetz (1996), aminoglikosida merupakan kelompok antibiotika
dengan sifat kimia, antimikrobial, farmakologi dan toksisitas yang sama serta
mempunyai polar basa organik. Kelompok ini terdiri dari streptomisin, kanamisin,
gentamisin, tobramisin, apramisin, amikasin, dihidrosterptomisin dan neomisin.
Target antibiotika ini pada ribosom bakteri, aksi aminoglikosida dengan
mengikat 30S subunit dari ribosom bakteri. Aminoglikosida bersifat bakterisid
menyebabkan akumulasi 30S subunit toksik pada sel, efektif untuk sejumlah
bakteri patogen. Penggunaan antibiotika ini dapat menghilangkan pendengaran
dan merusak fungsi ginjal (Salyers dan Whitt, 2005).
Menurut Adam (2002) Aminoglikosida sedikit sekali diserap di saluran
pencernaan, berikatan sangat rendah sampai ke protein plasma <25% dan
mempunyai batas kapasitas masuk ke dalam sel dan menembus barrir sel.
2.2.5. Antibiotika Makrolida dan Linkosamida
Kelompok makrolida ini memiliki sedikit efek samping dan menghambat
sintesa protein bakteri dengan mengikat sub unit 50S ribosom. Pengikatan ini
menghambat pemanjangan protein oleh peptidiltransferase dan atau mencegah
translokasi (Adam, 2002).
Makrolida bersifat bakteriostatik bagi kebanyakan bakteri tetapi bersifat
bakterisid bagi beberapa bakteri gram positif. Antibiotika ini seperti tetrasiklin
juga banyak digunakan pada hewan ternak. Penggunaan non klinik dari
antibiotika ini berperan dalam penyebaran resistensi bakteri (Salyers and Whitt,
2005). Sedangkan antibiotika linkosamida berbeda tipe struktur dengan makrolida
tetapi memiliki mekanisme kerja yang sama dengan makrolida dan kemungkinan
mengikat ribosom pada atau dekat dengan tepi yang sama dengan makrolida.
2.2.6. Antibiotika Quinolon
Menurut Salyers dan Whitt (2005), quinolon menghambat replikasi DNA
bakteri. Asam naliksik quinolon telah telah lama digunakan sebagai reagen
laboratorium untuk menghambat replikasi DNA bakteri, tetapi tidak dianjurkan
untuk keperluan klinik. Anggota dari quinolon yang baru (fluoroquinolon) ini
9
menarik pada penggunaan klinik karena aktifitas antibakterinya dan sifat
farmakologinya yang baik.
Quinolon bersifat bakterisid yang mengikat bheta sub unit DNA gyrase, ini
adalah enzim yang penting bagi replikasi DNA. Pengikatan antibiotika
menghambat aktifitas DNA gyrase. Antibiotika ini memiliki sedikit aktifitas
terhadap streptococci yang sebagian besar merupakan mikroflora pada mulut,
kolon dan traktus vaginalis. Kelompok ini sedikit mempengaruhi keberadaan
mikroflora dibanding antibiotika lain (Phillips et al., 2004).
2.3. Penggunaan Antibiotika di Peternakan
Antibiotika digunakan untuk hewan sebagaimana digunakan pada manusia
yaitu untuk mencegah dan mengobati infeksi. Manfaat pengobatan dengan
antibiotika antara lain membasmi agen penyakit (Butaye et al., 2003),
menyelamatkan hewan dari kematian, mengembalikan kondisi hewan untuk
berproduksi kembali dalam waktu yang relatif singkat, mengurangi/
menghilangkan penderitaan hewan dan mencegah penyebaran mikroorganisme ke
alam sekitarnya yang dapat mengancam kesehatan hewan dan manusia (Adam,
2002).
Penemuan antibiotika membawa dampak besar bagi kesehatan manusia dan
ternak. Seiring dengan berhasilnya pengobatan dengan menggunakan antibiotika,
maka produksinya semakin meningkat (Phillips et al., 2004). Pada industri
peternakan pemberian antibiotika selain untuk pencegahan dan pengobatan
penyakit, juga digunakan sebagai imbuhan pakan (feed additive) untuk memacu
pertumbuhan (growth promoter), meningkatkan produksi, dan meningkatkan
efisiensi penggunaan pakan (Bahri et al., 2005).
Di Eropa ada beberapa antibiotika yang diperbolehkan digunakan sebagai
imbuhan pakan seperti olaquinodik, basitrasin, flavomisin, monensin, salinomisin,
tilosin, virginiamisin, avoprasin, dan avilamisin. Sejak tahun 1999, antibiotika
olaquinodik, basitrasin, tilosin, dan virginiamisin sudah dilarang digunakan
sebagai imbuhan pakan (Butaye et al., 2003).
Berdasarkan Feed Additive Compendium, ada beberapa antibiotika yang
direkomendasikan digunakan sebagai imbuhan pakan pada pakan unggas dan
10
hewan lain, seperti penisilin, basitrasin, streptomisin, eritromisin, tilosin,
neomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin, linkomisin, spiramisin, dan
virginiamisin (Anonimus, 2002).
Pemanfaatan antibiotika sebagai imbuhan pakan ternak juga banyak
digunakan di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian
Veteriner (Balitvet) Bogor menunjukkan bahwa 71,43% (5/7) pabrik pakan di
Kabupaten Bogor, Cianjur, Tangerang, Bekasi dan Sukabumi memberikan
tambahan antibiotika golongan tetrasiklin dan sulfonamida pada produk pakan
ayam (Bahri et al., 2005).
Berdasarkan pengamatan di lapang, antibiotika yang lazim digunakan untuk
pencegahan dan pengobatan penyakit antara lain streptomisin, kloramfenikol,
doksisiklin, tetrasiklin, eritromisin, neomisin, tilosin, siprofloksasin,
enrofloksasin, dan golongan sulfonamida. Antibiotika ini diberikan dalam air
minum pada ayam-ayam yang menunjukkan gejala sakit atau setelah vaksinasi
(Kusumaningsih, 2007).
Beberapa peneliti melaporkan bahwa dibutuhkan antibiotika dalam jumlah
banyak untuk pengobatan, pencegahan, dan sebagai pemacu pertumbuhan pada
ternak penghasil daging. Pada tahun 2001 dilaporkan bahwa, di Amerika Serikat
setiap tahun membutuhkan sebanyak 900 ton antibiotika untuk pengobatan dan
sebanyak 11.200 ton antibiotika untuk non pengobatan pada hewan, sedangkan
antibiotika yang digunakan untuk pengobatan pada manusia hanya digunakan
1.300 ton (Phillips et al., 2004). Kebutuhan antibiotika untuk pakan dan
pengobatan tahun 2001 sebesar 502,27 ton, kemudian meningkat menjadi
5.574,16 ton pada tahun 2005 (Ditjenak, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan antibiotika dalam
dunia peternakan berkisar antara lain 80% digunakan untuk unggas, 75% pada
peternakan babi, 60% pada peternakan sapi potong dan 75% antibiotika
digunakan dalam peternakan sapi perah masyarakat (Crawford and Franco, 1994).
Dari kenyataan di lapang, dipastikan bahwa pemakaian antibiotika pada
peternakan ayam cenderung berlebihan dan kurang tepat. Beberapa peneliti
mengkhawatirkan bahwa penggunaan antibiotika secara terus-menerus dan dalam
waktu lama melalui air minum atau pakan dalam konsentrasi rendah akan memicu
11
terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotika pada ternak (Butaye et al.,
2003).
Menurut Barber et al. (2003) berdasarkan laporan World Health
Organization menunjukkan bahwa munculnya fenomena resistensi antimikroba
pada bakteri patogen disebabkan oleh pemakaian antimikroba yang salah pada
ternak dan pada saat ini resistensi antimikroba pada ternak dan hasil produksinya
(susu, daging dan telur) telah menjadi masalah global di seluruh dunia.
2.4. Penggunaan Antibiotika dalam Pakan
Amerika Serikat pada tahun 1940 melakukan penelitian, dimana pakan ayam
diberikan produk fermentasi tetrasiklin yang menghasilkan pertumbuhan sangat
cepat pada tubuh ayam dibandingkan dengan yang tidak diberikan produk
fermentasi tersebut, hal ini kemudian diikuti negara lainnya (Phillips et al., 2004
dan PIC, 2006).
Berbagai penelitian mengenai penggunaan antibiotika dalam pakan dengan
dosis subterapeutika yang berpengaruh terhadap penurunan biaya produksi
daging, telur dan susu. Anthony (1997) menyebutkan penggunaan antibiotika
pada dosis subterapeutika melalui pakan atau air minum berfungsi sebagai
pemacu pertumbuhan, mempengaruhi metabolisme seperti tetrasiklin
mempengaruhi ekskresi nitrogen dan air, effisiensi nutrisi dengan menekan
bakteri intestin yang bersaing dengan host menggunakan nutrisi dan mencegah
penyakit. Hewan yang diberikan antibiotika secara rutin, struktur dinding usus
lebih tipis dan lebih besar daya absorpsinya, ini yang mengakibatkan antibiotika
dapat memperbaiki dan meningkatkan produksi daging sapi, domba, unggas dan
babi.
Antibiotika yang digunakan dalam campuran pakan perlu dicermati karena
pakan memberikan kontribusi yang besar sekitar 60% dalam usaha pemeliharaan
ternak, pemberian dalam jumlah besar dan diberikan secara terus menerus akan
menyebabkan akumulasi dalam tubuh ternak tersebut (Teuber, 2001).
Jenis antibiotika, penggunaan dan tujuannya yang direkomendasikan oleh
pemerintah seperti tabel dibawah ini :
12
Tabel 1. Antibiotika sebagai Imbuhan Pakan Ayam Pedaging
No Jenis antibiotika /Ton Pakan Tujuan
1 Avilamisina 2,5g - 15g Perangsang pertumbuhan
2 Avoparsina 7,5g - 15g Perangsang pertumbuhan
3 Bacitrasin zink 50g Perangsang pertumbuhan
4 Enramisina 5g - 10g Perangsang pertumbuhan
5 Flavomycin (Bambermisin) 2,5g Perangsang pertumbuhan
6 Kitasamisin 5g - 15g Perangsang pertumbuhan
7 Kolistin sulfate 2g - 20g Perangsang pertumbuhan
8 Lasalosid 2g Koksidiostat
9 Maduramisina 5g Koksidiostat
10 Lincomisin HCl 2,2g - 4,4g Perangsang pertumbuhan
11 Monensin natrium 70g - 90g Koksidiostat
12 Narasina 60g - 80g Koksidiostat
13 Salinomisin (Na) 60g Koksidiostat
14 Spiramisin (embonate) 5g - 20g Perangsang pertumbuhan
15 Virginiamisin 5g - 15g Perangsang pertumbuhan
Sumber : SK Mentan, 1994.
2.4.1. Avilamisin
Avilamisin termasuk antibiotika kelompok oligosakarida dan hanya
digunakan untuk pemacu pertumbuhan. Avilamisin diproduksi oleh Streptomyces
viridochromogenes, antibitika ini merupakan campuran beberapa senyawa mayor
dan minor, aktif terutama terhadap bakteri gram positif (Adam, 2002).
Pemberian avilamisin secara oral 60 ppm diekskresikan hampir seluruhnya
pada feses, hanya sedikit residu ditemukan pada babi dan tikus. Jumlah organisme
Clostridium perfringens pada intestin ayam menurun dengan penambahan 10 ppm
avilamisin pada pakan. Avilamisin juga mencegah enteritis nekrotik yang
disebabkan Clostridium perfringens pada ayam broiler (Elwinger et al., 1998).
13
2.4.2. Basitrasin
Merupakan antibiotika polipeptida yang diproduksi oleh Bacillus
licheniformis, lebih stabil sebagai garam zink dan digunakan sebagai pemacu
pertumbuhan dan beberapa preparat topikal pada pengobatan manusia dan hewan.
Basitrasin terutama aktif terhadap gram positif. Spektrum antibiotika ini mirip
dengan kelompok penisilin (Cain et al., 1993 dan Adam, 2002).
Semua basitrasin menimbulkan nefrotoksik jika diberikan secara parenteral,
antibiotika ini diabsorpsi sangat sedikit atau tidak sama sekali dari intestin seperti,
yang diperlihatkan pada tikus, babi dan ayam, sehingga tidak ditemukan residu
pada daging jika antibiotuika ini diberikan secara oral (Phillips et al., 2004).
Penelitian menunjukkan penurunan jumlah enterococci jika basitrasin
ditambahkan pada pakan hewan, penurunan ini terutama disebabkan menurunnya
jumlah organisme Enterococci fecalis. Jumlah organisme Enterococci faecium
meningkat dibandingkan kelompok kontrol selama pemberian antibiotika yang
diperpanjang. Enteritis nekrotik yang disebabkan Clostridium perfringens pada
ayam dicegah dengan pemberian basitrasin dengan dosis 55-110 ppm dalam
pakan. Selain itu jumlah organisme Clostridium perfringens menurun dengan
penggunaan basitrasin (Chalker et al., 2000).
Pada uji lapang basitrasin terlihat menurunkan lesio intestinal adenomatosis
yang disebabkan oleh Lawsionia intracellularis porsin pada babi. Basitrasin
meningkatkan kolonisasi Salmonella enterica serotipe enteritidis pada caecum
ayam (Chia et al., 1995).
2.4.3. Bambermisin
Menurut Butaye et al. (2003) bambermisin (flavofosfolipol dan flavomisin)
merupakan antibiotika glikolipid yang diproduksi oleh speies streptomyces
termasuk Streptomyces bambergiensis, Streptomyces ghanaensis, Streptomyces
geysirensis dan Streptomyces ederensis. Bambermisin hanya digunakan sebagai
antibiotika pemacu pertumbuhan pada pakan hewan.
Mekanisme kerja, bambermisin menghambat sintesa peptidoglikan dengan
cara menghambat polimerase peptidoglikan merusak aktifitas transglikolase dari
protein pengikat penisilin (PBPs). Hambatan ini menghasilkan pada blok spesifik
14
pembentukan rantai muren polisakarida (Butaye et al., 2000). Aktifitas spektrum
bambermisin terutama aktif terhadap bakteri gram positif, juga menghambat
beberapa bakteri gram negatif seperti, pasteurella dan brucella. Aktifitas spektrum
terhadap streptococci dan stafilococci mirip dengan penisilin G dan makrolida dan
anggota enterobactericiae sedikit peka.
Prevalensi resistensi, beberapa publikasi membahas tentang uji kepekaan
bakteri untuk bambermisin, data yang ada hanya mengenai konsentrasi hambat
minimum untuk spesies enterococci, lactobacilli, staphylococcus dan clostridia.
Kasus resistensi belum dilaporkan dengan pasti walupun sebagian besar strain
Enterococci faecium sudah resisten menurut hasil penelitian di Denmark dan
Belanda (Focosi, 2003).
Bambermisin sangat sedikit diabsorpsi setelah pemberian oral pada beberapa
spesies. Absorpsi yang jelas dideteksi hanya ketika pemberian antibiotika ini
dengan dosis tinggi. Pemberian secara parenteral, bambermisin tetap tidak
berubah, dengan perlahan diekskresikan melalui urin. Pada ayam dosis oral 20
ppm tidak menghasilkan residu pada jaringan atau organ. Residu bambermisin
tidak dapat dideteksi pada saat pemberian feed aditive dosis tinggi.
2.4.4. Streptogramin
Streptogramin terdiri dari senyawa A dan senyawa B yang bekerja secara
sinergis. Antibiotika ini tergolong kelompok makrolida, linkosamida-
streptogramin. Sampai sekarang hanya tiga streptogramin yang dijual baik sebagai
terapi maupun pemacu pertumbuhan yaitu, virginiamisin, pristinamisin dan
quinupristin/dalfopristin (Salyers dan Whitt, 2005).
Virginiamisin telah digunakan baik pada preparat topikal untuk manusia dan
obat hewan juga sebagai pemacu pertumbuhan pada pakan hewan. Virginiamisin
diproduksi oleh Streptomyces virginiae sebagai campuran alami dua senyawa
yang berbeda secara kimiawi, virginiamisin M (senyawa streptogramin A) dan
virginiamisin S (senyawa streptogramin B) yang bekerja secara sinergis (Youssef
et al, 1983).
Antibiotika streptogramin memiliki aktifitas spektrum yang luas termasuk
bakteri gram positif (terutama staphylococci, streptococci dan enterococci) dan
15
beberapa cocci gram negatif. Kebanyakan bakteri gram negatif secara alami
resisten karena dinding selnya tidak permeabel (Chinali et al., 1988).
Pemberian virginiamisin secara oral tidak diabsorpsi di usus hewan, tidak
ada residu virginiamisin ditemukan pada ginjal, hati, daging ayam yang diberi
virginiamisin. Jumlah organisme Clostridium prefringens pada intestin ayam
menurun dengan penambahan 55 ppm virginiamisin pada pakan. Virginiamisin
mengurangi angka kematian dan keparahan enteritis nekrotik yang disebabkan
Clostridium perfringens. Tidak ada efek shedding salmonella pada ayam
(Revolledo et al., 2006).
2.4.5. Ionophore
Kebanyakan antibiotika ionophore diproduksi oleh Streptomyces spp.,
meskipun stroptopertisillium, nocardiopsis, nokardia dan actinomadura juga
dikenal untuk memproduksi antibiotika tersebut. Ionophore aktif terhadap parasit
termasuk coccidia (eimeria) dan plasmodium, juga terhadap organisme gram
positif dan mikoplasma. Antibiotika ini tidak digunakan pada terapi manusia, pada
hewan digunakan untuk pemacu pertumbuhan dan koksidiostat (Prescott dan
Baggot, 1997).
Monensin, lasalosid, salinomisin, narasin dan maduramisin digunakan di
Eropa, hanya monensin (sapi) dan salinomisin (babi) efektif terdaftar sebagai
pemacu pertumbuhan. Ionophore lain yang terdaftar dapat digunakan pada pakan
unggas sebagai koksidiostat. Mekanisme kerja, antibiotika polieter menganggu
sistem transpor ion natural pada sel prokariotik dan eukariotik (Phillips et al.,
2004).
Antibiotika ini diabsorpsi dengan baik pemberian secara oral, sehingga
antibiotika ini cukup toksik bagi mammalia dan unggas. Beberapa kejadian
dilaporkan mengenai overdosis ionophore pada mammalia kebanyak melibatkan
intoksikasi akut, meskipun adanya laporan mengenai intoksikasi kronis. Kuda dan
kelinci peka terhadap intoksikasi ionophore, kalkun, dan burung puyuh lebih peka
terhadap intoksikasi monensin daripada jenis burung lain (Butaye et al., 2003).
Beberapa penelitian menunjukkan efek antibiotika ionophore pada intestin.
Tidak ditemukan kemampuan kolonisasi salmonella pada caecum dan tidak ada
16
seleksi resistensi coliform dan streptococci ditemukan pada ayam. Antibiotika ini
menghambat Clostridium perfringens (tipe A dan C) pada ayam dan kalkun,
sehingga diperkirakan antibiotika dapat digunakan untuk mencegah enteritis
nekrotik. Narasin juga efektif dalam pengobatan dan pencegahan infeksi
Clostridium perfringens pada ayam. Pada babi salinomisin mengurangi lesio dan
keberadaan Lawsonia intracellularis yang menyebabkan proliferasi enteropati
pada usus babi (Butaye et al., 2003).
2.4.6. Quinoksalin
Karbadoks dan olakuidoks merupakan antibakteri sintetik yang bekerja
dengan menghambat sintesa DNA, antibiotika ini terutama aktif terhadap bakteri
gram negatif. Meskipun quinoksalin dianggap sebagai pemacu pertumbuhan,
antibiotika ini juga terutama digunakan dalam pencegahan disentri pada babi yang
disebabkan Brachyspira hyodysenteriae (Adam, 2002).
2.4.7. Efrotomisin
Merupakan sebagai antibiotika eflamisin, digunakan hanya sebagai pemacu
pertumbuhan, namun demikian penggunaannya sangat terbatas sampai sekarang.
Dengan alasan yang tidak diketahui produk ini belum dijual secara luas di Eropa.
Efrotomisin diproduksi oleh Nokardia laktamdurans, produk ini tidak aktif
terhadap bakteri gram negatif karena tidak dapat menembus sel. Spesies
streptococci relatif tidak sensitif. Efrotomisin tidak aktif terhadap staphylococci,
beberapa spesies lactobacillus, spesies enterococci tertentu dan beberapa spesies
bakteri tertentu (Prescott dan Baggot, 1997).
Efrotomisin diabsorpsi secara cepat melalui oral, tidak ada pengaruh terhadap
prevalensi tiphimurium serotipe Salmonella enteritica, sheding dan resistensi pada
babi. Antibiotika ini menurunkan jumlah organisme Clostridium perfringens pada
ileum ayam (Butaye et al., 2003).
Pakan memegang peranan penting dalam keamanan pangan asal hewan
karena mutu pakan akan tercermin dalam produk yang dihasilkan. Keamanan
pangan hewani berkaitan erat dengan pengawasan pakan atau bahan pakan.
Sehubungan dengan itu pemerintah menerbitkan berbagai kebijakan atau
17
peraturan yang berkaitan dengan pengawasan mutu pakan, seperti SK. Mentan
No.241/Kpts/OT.210/4/2003 dan SNI tentang pakan nomor 01-3930-1995.
Menurut Butaye et al. (2003), penggunaan antibiotika dalam pakan dapat
meningkatkan konversi pakan, pertumbuhan hewan, menurunkan angka sakit dan
kematian pada penyakit klinis dan subklinis. Rata-rata peningkatan pertumbuhan
berkisar antara 4 – 8% dan manfaat di pakan meningkat 2 – 5%. Mekanisme
bagaimana antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan belum secara pasti diketahui,
penelitian menggunakan germ- free chicken terlihat bahwa aksi growth promoter
dipengaruhi oleh antibiotika. Ada beberapa hipotesa yang dikemukakan untuk
menjelaskan hal tersebut yaitu; antibiotika dapat mengamankan nutrisi,
antibiotika secara selektif menghambat organisme yang menggunakan nutrisi,
penyerapan nutrisi meningkat disebabkan menipisnya barrier usus kecil,
antibiotika menurunkan produksi toksin oleh bakteri yang berada dalam usus dan
antibiotika menurunkan kejadian infeksi usus subklinis.
2.5. Penggunaan Antibiotika dalam Air Minum
Meningkatnya permintaan akan komoditi hewan telah menyebabkan
dilakukannya intensifikasi usaha peternakan yaitu dimana hewan dipelihara dalam
skala besar. Adanya kecendrungan untuk memilih cara beternak secara intensif
telah menyebabkan mudahnya penularan dari kelompok hewan yang satu ke
hewan yang lain. Sehingga semakin intensif usaha peternakan maka semakin
meningkat pula pemakaian antibiotika untuk mengatasi infeksi yang sering
timbul.
Pengobatan massal melalui air minum dalam peternakan unggas berskala
besar merupakan cara terapi yang paling baik, diharapkan pengobatan (terapi)
yang cepat dan efektif serta dapat diikuti dengan pemberian obat melalui pakan.
Hal ini disebabkan karena pengobatan melalui cara parenteral (intramuskuler, sub
kutan dan intra vena) tidak mungkin dilakukan untuk pengobatan massal dalam
peternakan berskala besar (Purvis, 2003 dan PIC, 2006).
Hasil pengamatan beberapa peneliti di lapangan menunjukkan bahwa
setelah dilakukan vaksinasi, akan diikuti dengan pemberian antibiotik melalui air
minum selama 3 - 4 hari. Apabila ayam-ayam tersebut menunjukkan tanda-tanda
18
sakit, pemberian antibiotika dilanjutkan sampai delapan hari, bahkan terkadang
sampai sembuh (Bahri et al., 2005).
Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan sangat bervariasi, ada yang
menggunakan satu jenis antibiotika, dua jenis antibiotika, konsentrasi dan
keefektifannya berbeda dalam satu merek dagang. Jenis antibiotika yang beredar
secara komersil dan mendapat sertifikasi dari Departemen Pertanian terlihat pada
tabel dibawah ini :
Tabel 2. Jenis Antibiotika yang Sudah Terdaftar untuk Pengobatan
No. Jenis Antibiotika Dosis
(air minum)
Lamanya
Pengobatan
1. Enrofloksasin 1 gr/2 liter 3 Hari
2. Ampisilin Trihidrat 1 gr/liter 3 - 5 Hari
3. Amoksilin Trihidrat 10 gr/10 liter 3 - 5 Hari
4. Amoksilin + Colistin 1 gr/2 liter 3 - 5 Hari
5. Eritromisin 2,5 gr/liter -
6. Norfloksasin 25-50 ml/100 liter 3 - 5 Hari
7. Norfloksasin + Colistin 1 gr/4 liter 3 - 5 Hari
8. Colistin Sulfat 0,5 ml/liter 3 - 4 Hari
9. Colistin Sulfat + Spriramisin 0,3-0,4 gr/liter 3 - 5 Hari
10. Ciprofloksasin 1 gr/2 liter 3 - 5 Hari
11. Sulfadiazin + Trimetorpim 1 ml/liter -
12. Eritromisin + Colistin Sulfat 1 gr/liter 3 - 5 Hari
13. Chlortetrasiklin 0,5 gr/liter 5 - 7 Hari
14. Ciprofloksasin 1 gr/2 liter 5 Hari
15. Doksisiklin + Colistin Sulfat 1 gr/liter 3 - 5 Hari
16. Neomisin S. + Oksitetrasiklin 10 gr/5 liter -
17. Sulfaquinoksalin 5 gr/liter 3 Hari
18. Spiramisin 1-2 gr/liter 3 Hari
19. Doksisiklin 1 gr/5 liter 3 - 5 Hari
20. Clindamisin 1 gr/2 liter 3 - 5 Hari
Sumber : Indeks Obat Hewan Indonesia (2005)
19
Beberapa negara berbagai jenis antibiotika, termasuk golongan tetrasiklin,
neomisin, basitrasin, dan preparat sulfa diizinkan untuk diberikan secara berkala
pada peternakan ayam. Pemberian gentamisin dan spektinomisin melalui injeksi
pada ayam bibit dapat mencegah infeksi Salmonella enteritidis dari induk ayam
ke telur yang akan ditetaskan (Kusumaningsih, 2007).
Menurut Lukman (1994) khlortetrasiklin, doksisiklin dan oksitetrasiklin
merupakan antibiotika yang paling banyak digunakan untuk pengobatan dan
golongan ini tidak diizinkan diberikan melalui pakan ternak di Indonesia.
Derivat penisilin (antibiotika beta-laktam) secara luas digunakan pada sapi,
babi dan unggas untuk mengobati infeksi dan ditambahkan ke dalam pakan atau
air minum untuk mencegah beberapa penyakit. Penisilin biasanya cepat hilang
dalam darah melalui ginjal dan keluar melalui urin (Nhiem, 2005).
2.6. Residu Antibiotika
Residu adalah senyawa asal dan atau metabolitnya yang terdapat dalam
jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari obat
tersebut. Semua cara pemberian antibiotika dapat menyebabkan terjadinya residu
dalam pangan asal hewan seperti, daging susu dan telur (Phillips et al., 2004).
Perhatian besar telah diperlihatkan selama 40 tahun mengenai adanya residu
antibiotika pada daging ayam di Amerika Serikat.
Menurut Adam (2002) residu antibiotika terjadi akibat penggunaan
antibiotika untuk kontrol atau mengobati penyakit infeksi tidak memperhatikan
waktu henti obat, penggunaan antibiotika yang melebihi dosis yang dianjurkan,
penggunaan antibiotika sebagai feed additive dalam pakan hewan.
Pada pangan asal hewan residu meliputi senyawa asal yang tidak berubah
(nonaltered parent drug), metabolit dan atau konyugat lain. Beberapa metabolit
obat diketahui bersifat kurang atau tidak toksik dibandingkan senyawa asalnya,
namun beberapa diketahui lebih toksik (Phillips, 2004 dan Bahri et al., 2005).
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh (fase
farmakokinetika) yaitu, perfusi darah melalui jaringan, kadar gradien, pH dan
ikatan zat dengan makromolekul, partisi ke dalam lemak, transpor aktif, barier
(sawar) dan ikatan obat dengan protein plasma atau jaringan (Anief, 1990 dan
20
Adam 2002). Secara umum fase farmakokinetik obat dipengaruhi oleh:
keragaman dalam satu spesies, perbedaan spesies, interaksi antar obat, faktor-
faktor biofarmasetik, keberadaan kinetika non linear dan penyakit.
Pakan yang mengandung antibiotika akan berinteraksi dengan jaringan
(organ) dalam tubuh ternak, meskipun dalam jumlah yang kecil pengaruh yang
ditimbulkan tidak secara langsung tetapi akan berefek kronis dan tetap berada
dalam tubuh ternak (Adam, 2002).
Senyawa induk dan metabolitnya sebagian akan dikeluarkan dari tubuh
melalui air seni dan feces, tetapi sebagian lagi akan tetap tersimpan di dalam
jaringan (organ tubuh) yang disebut sebagai residu. Jika pakan yang dicampur
antibiotika secara terus menerus, maka residu antibiotika tersebut akan
terakumulasi di dalam jaringan dengan konsentrasi yang bervariasi antara organ
tubuh (Bahri et al, 2005).
Antibiotika yang paling sering dideteksi dalam daging yaitu, penisilin
(termasuk ampisilin), tetrasiklin (termasuk khlortetrasiklin dan oksitetrasiklin),
sulfonamida (termasuk sulfadimethoksin, sulfamethazin dan sulfamethoksazol),
neomisin, gentamisin dan streptomisin (Phillips et al., 2004).
Residu dari semua jenis obat hewan paling tinggi terdapat dihati dan ginjal
dibandingkan pada jaringan otot. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar residu
beberapa antibiotika berbeda pada jaringan berbeda dalam tubuh ayam. Secara
farmakokinetik dapat dijelaskan mengenai metabolisme dan distribusi jenis obat
pada hewan yang berbeda, pada fase ini juga dapat diperkirakan waktu henti obat
untuk menghilangkan kadar obat pada jaringan yang berbeda (Adam, 2002).
Menurut Anthony (1997), dampak negatif keberadaan residu antibiotika
yaitu, reaksi alergi, toksisitas, mempengaruhi flora usus, respon immun, resistensi
terhadap mikroorganisme, pengaruh terhadap lingkungan dan ekonomi.
2.6.1. Reaksi Alergi
Alergi atau intoleransi adalah reaksi abnormal yang berhubungan dengan
substansi alami yang tidak membahayakan banyak individu. Reaksinya meliputi
urtikaria pada membran mukosa dan kulit, bintik ruam dan pengelupasan kulit
(Anthony, 1997).
21
Pada aspek alergi dengan melimpahnya antibiotika baik dikalangan medik
maupun ditoko-toko sampai kakilima tidak diragukan lagi menyebabkan
terjadinya perubahan respon terhadap suatu substansi tertentu. Perubahan tersebut
dapat berupa peningkatan kepekaan yang disebut hipersensitivitas.
Menurut Nhiem (2005) tidak ada bukti bahwa dengan terpapar residu
penisilin dalam pangan menyebabkan peka terhadap penisilin, tetapi ada beberapa
kasus pada manusia diketahui sensitif penisilin menderita reaksi alergi ketika
terekspos pangan yang mengandung residu penisilin. Dosis 10 IU (0,6 μg) dapat
menyebabkan reaksi alergi pada individu yang sensitive. Sedikit 0,01 IU/ml
penisilin dalam susu menyebabkan reaksi alergi pada individu yang sangat
sensitif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu penisilin dalam ginjal dan hati
(uji HPLC) kira-kira 100 kali lebih tinggi dibandingkan dalam otot. Reaksi alergi
menurut penelitian ini merupakan faktor yang menentukan untuk keamanan
evaluasi residu. Secara keseluruhan prevalensi alergi penisilin pada populasi yang
berbeda kira-kira 3 – 10% (Doyle, 2005).
Bagaimanapun perbedaan individu dan tipe pangan (pengaruh absorbsi obat),
beberapa reaksi dilaporkan akibat tercerna kurang dari 40 μg obat. Dua kasus
reaksi anaphilatik shok diselidiki pada orang yang diketahui hipersensitif
penisilin, setelah mengkonsumsi steak dan daging babi. Penelitian ini
memperkirakan bahwa jika terdapat residu dalam daging (hati dan ginjal) pada
batas maksimum residu (MRL) 0,05 ppm dan untuk susu 0,004 ppm, maksimum
sehari boleh makan benzilpenisilin dari residu total 29 μg (15 μg dari daging, 5 μg
hati, 3 μg ginjal dan 6 μg dari susu) (Doyle, 2005).
2.6.2. Toksisitas
Antibiotika dapat mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung antibiotika memiliki sifat toksik bagi
manusia, sebagai contoh khloramphenikol memiliki efek samping yang cukup
serius, yaitu penekanan aktivitas sumsum tulang yang berakibat gangguan
pembentukan sel-sel darah merah. Kondisi ini dapat menyebabkan aplastik
anemia yang secara potensial berakibat fatal (Naim, 2002).
22
Banyak antibitika yang digunakan sebagai agen terapeutik pada hewan
domestik dalam kenyataannya juga digunakan di manusia. Bahaya toksikologik
yang terjadi pada manusia akibat residu antibiotika terutama yang berasal dari
bahan pangan sangat erat hubungannya dengan dosis dan durasi keterpaparan
(Focosi, 2005).
2.6.3. Mempengaruhi Flora Usus
Sebagai hasil penggunaan antibiotika yang panjang, perkembangan yang
tidak menyenangkan bakteri dalam saluran pencernaan merupakan masalah pada
manusia dan hewan. Pada banyak kasus penggunaan neomisin melalui oral
meningkatkan pertumbuhan jamur dalam usus. Tetrasiklin menghasilkan iritasi
gastrointestinal pada banyak individu dan menyebabkan perubahan dalam flora
usus seperti, diare akibat infeksi (Anthony, 1997).
Penggunaan antibiotika tidak hanya menyebabkan resistensi pada bakteri
patogen yang sedang ditangani tetapi juga pada mikroorganisme lain yang ada
dalam saluran pencernaan. Kemungkinan lain adalah adanya gangguan terhadap
flora normal yang ada pada saluran pencernaan manusia karena adanya residu
antibiotika pada makanan (Mazell dan Davies, 1999; Boothe dan Arnold, 2003).
Semakin panjang waktu bakteri terpapar dengan antibiotika maka akan semakin
tinggi kesempatan terjadinya mutasi, sehingga menimbulkan strain yang kurang
sensitif terhadap antibiotika tersebut.
2.6.4. Respon Immun
Berbagai penelitian dilaporkan bahwa antibiotika tidak hanya bekerja
sebagai bakterisid tetapi juga mengatur fungsi dari sel immun. Pengaruh
antibiotika pada respon immun terjadi secara langsung pada sel imuno kompeten
atau secara tidak langsung dengan merubah struktur atau metabolit dari organisme
menyebabkan terjadinya konsentrasi hambat sub minimal terhadap bakteri
(subMIC) (Anthony, 1997).
23
2.6.5. Resistensi Terhadap Mikroorganisme
Menurut Naim (2002) masalah resistensi bakteri terhadap antibiotika telah
dapat dipecahkan dengan penemuan antibiotika golongan baru seperti,
aminoglikosida, makrolida dan glikopeptida, juga dengan modifikasi kimiawi dari
antibiotika yang sudah ada tetapi tidak ada jaminan pengembangan antibiotika
baru dapat mencegah kemampuan bakteri patogen untuk menjadi resisten.
Masalah resistensi mikroba terhadap antibiotika bukanlah masalah yang
baru, sejak tahun 1963, WHO telah mengadakan pertemuan tentang aspek
kesehatan masyarakat dari penggunaan antibiotika dalam makanan dan bahan
makanan. Penggunaan antibiotika pada pakan hewan sebagai pemacu
pertumbuhan telah mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap
antibiotika yang umum digunakan untuk terapi. Sebelum tahun 1984 di Eropa
Salmonella dublin masih peka terhadap antibiotika khloramfenikol.
Resistensi kolonisasi merupakan istilah yang menggambarkan imunitas alami
yang diperoleh manusia melalui keberadaan flora normal dalam saluran
pencernaan sehingga manusia akan terlindungi dari kolonisasi/infeksi oleh
mikroorganisme dari luar tubuh. Ini merupakan konsep penting bagi kesehatan
manusia karena pencegahan kolonisasi oleh mikroba patogen seperti salmonella
atau oleh mikroba resisten adalah kunci untuk meminimalkan resiko hidup dalam
lingkungan yang terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen (Naim, 2002;
Boothe dan Arnold, 2003).
Menurut Charles et al. (2001), antibiotika tidak digunakan pada seluruh
peternakan dan resistensi antibiotika terjadi di peternakan yang tidak
menggunakan antibiotika. Bahan baku protein yang berasal dari hewan yang
terkandung dalam pakan unggas berpotensi sebagai penyimpan sumber resistensi
bakteri terhadap antibiotika. Dari 165 sampel bahan baku protein berasal dari sapi,
ikan dan unggas yang diperoleh dari perusahaan pakan unggas, 55% sampel
tepung unggas dideteksi kadar bakteri gram negatif antara 40-10.440 CFU/g
sampel.
Resistensi diakibatkan oleh mikroba mensintesis enzim yaitu resistensi
mikroba terhadap penisilin. Dimana mikroba tersebut menghasilkan enzim
penisilinase yang mampu memecah cincin beta-laktam penisilin menjadi
24
penicilloic acid yang tidak aktif. Demikian pula pada sefalosporin yang
didegradasi oleh beta laktamase (Salyers dan Whitt, 2003). Banyak bakteri
mampu memproduksi beta-laktamase, seperti bakteri gram positif dan negatif,
dimana enzim ini mempunyai peranan yang besar dalam menyebabkan resistensi
bakteri gram positif terhadap penisilin dan sefalosporin.
Gambar 1. Tahap resistensi
STEPS FOR RESISTANCE TRANSFER
Antibiotic use in animals
Development of resistant animal bacterial strain
Survival through food processing/handling
Survival through food preparation
Resistance transfer to human
Colonization in human
Disease
Treatment failure
Hur
dles
for t
rans
fer
Hur
dles
for t
rans
fer
?
Sumber : Focosi (2005).
Menurut Doyle (2005) penelitian tentang resistensi bakteri akibat
penggunaan antibiotika yang diisolasi dari daging dari tahun 2000 sampai dengan
tahun 2005, dari laporan tersebut dilakukan percobaan untuk mengetahui jenis
antibiotika yang paling sering menimbulkan resistensi bakteri dari berbagai jenis
daging yaitu :
1. Daging sapi: tetrasiklin > streptomisin = sulfametoksazol > ampisillin >
klorampenikol > sephalotin
2. Daging babi: tetrasiklin > streptomisin = sulfametoksazol > ampisillin >
klorampenikol > gentamisin
3. Daging ayam : tetrasiklin > sulfa > streptomisin = sephalotin > ampisillin >
klorampenikol > gentamisin
4. Daging kalkun: sulfametoksazol > tetrasklin > streptomisin > ampisillin >sephalotin
> gentamisin
25
2.6.6. Pengaruh Terhadap Lingkungan
Pemberian antibiotika secara oral seperti, tetrasiklin yang tingkat
absorpsinya tidak sempurna dan sebagian besar diekskresi secara utuh. Pengaruh
resistensi terhadap organisme yang terdapat di lingkungan termasuk Escheria coli
sebagian besar tidak diketahui
2.6.7. Ekonomi
Adanya laporan mengenai residu antibiotika dalam susu menimbulkan
masalah di industri perusahaan susu. Residu antibiotika menghambat dan tidak
sempurnanya produksi asam oleh bakteri starter kultur yang digunakan untuk
menghasilkan produk seperti keju. Hal ini mengakibatkan kehilangan ekonomi
karena meningkatnya biaya penjualan susu dan masalah kesehatan bagi
konsumen. (Anthony, 1997).
Pada tahun 2001 terjadi penolakan udang yang berasal dari Asia karena
terdapat residu khloramfenikol. Residu antibiotika ini menyebabkan terjadinya
penekanan pada sumsum tulang sehingga mengganggu pembentukan sel darah
merah, hal ini menimbulkan aplastik anemi. Adanya residu antibiotika pada
produk pangan asal hewan sudah tentu menjadi masalah Internasional, oleh
karena dapat menimbulkan gangguan bagi kesehatan konsumen yang
mengkonsumsi produk hewan yang mengandung atau tercemar residu (Naim,
2002).
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner
(kesmavet) Bambu Apus DKI Jakarta, dimulai sejak bulan September 2005
sampai dengan bulan Januari 2006.
3.2. Sampel Penelitian
Materi penelitian sebanyak 31 (tiga puluh satu) ekor ayam pedaging
diperoleh dari 6 pasar tradisional di Wilayah Kabupaten Tangerang. Materi
tersebut diambil dari pasar tradisional selama 6 hari berturut-turut. Selanjutnya
seluruh sampel yang diperoleh dilakukan pengujian terhadap residu antibiotika di
laboratorium Kesmavet Bambu Apus DKI Jakarta.
3.3. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah, erlenmeyer, pipet volumetrik, mixer,
sentrifus, water bath, magnetik stirer, homogenizer/stomacher, autoclave,
refrigerator, freezer, kertas cakram dan stomacher plastik bags.
Bahan yang digunakan yaitu, bacto peptone, bacto agar, beef extract,
yeast extract, D(+) glucose, tryptone, spora bakteri Bacillus calidolactis, Bacillus
cereus, Bacillus subtilis dan Micrococcus luteus.
3.4. Cara Pengujian Residu Antibiotika
Pengujian antibiotika dilakukan dengan metode biologik yaitu, metode
Bio-Assay/Screening test menggunakan spora bakteri Bacillus calidolactis,
Bacillus cereus, Bacillus subtilis dan Micrococcus luteus. Laboratorium Kesmavet
Bambu Apus DKI Jakarta menggunakan metode ini untuk pengujian residu
antibiotika pada produk ternak seperti, daging, susu dan telur. Metode ini
diadopsi dari beberapa literatur dengan beberapa modifikasi.
27
3.4.1. Golongan Penisilin
Pembuatan Spora Bakteri Uji
Bakteri Bacillus calidolactis ditambahkan dalam agar miring dan
diinkubasi pada suhu 550 C selama 2 (dua) minggu. Kemudian bakteri yang
ditumbuhkan tersebut dipanen dan dimasukkan ke dalam larutan aquabides steril
20 ml, sebanyak 4 tabung sentrifuge, lalu dipanaskan dalam waterbath pada suhu
650C selama 30 menit. Selanjutnya suspensi dipusing 3000 rpm selama 10 menit
buang supernatan (lapisan atasnya).
Kedalam endapan tambahkan aquabides secukupnya, dikocok dan
dimasukkan kedalam refrigerator dengan suhu 40C selama 18-24 jam. Kemudian
larutan dipanaskan kembali dalam waterbath dengan suhu 650C selama 30 menit,
setelah itu dipusing dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit dan diambil
lapisan atasnya. Hasilnya disimpan dalam refrigerator sebagai spora.
Pembuatan Kultur Media Uji
Sebanyak 5 gr tryptone, 12 gr yeast extract, 1 gr dextrose dan 15-16 gr
bacto agar dilarutkan dalam 1000 ml aquades, kemudian diukur pada pH 5,7 ± 0,1
dan dididihkan. Media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15
menit.
Pembuatan Larutan Dapar Fosfat (Buffer)
Sebanyak 13,3 gr KH2PO4 dan 6,2 gr Na2HPO4 dilarutkan dalam 1000 ml
aquades, kemudian larutan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama
15 menit.
3.4.2. Golongan Tetrasiklin
Pembuatan Spora Bakteri Uji
Bakteri Bacillus cereus ditambahkan dalam agar miring dan diinkubasi
pada suhu 300 C selama 1 (satu) minggu. Kemudian bakteri yang ditumbuhkan
tersebut dipanen dan dimasukkan ke dalam larutan NaCl fisiologis steril 20 ml,
sebanyak 4 tabung sentrifus, lalu dipanaskan dalam waterbath pada suhu 650C
28
selama 18-24 jam. Selanjutnya suspensi dipusing 3000 rpm selama 10 menit
buang supernatan (lapisan atasnya).
Kedalam endapan tambahkan NaCl fisiologis secukupnya, dikocok dan
dimasukkan kedalam refrigerator dengan suhu 40C selama 18-24 jam. Kemudian
larutan dipanaskan kembali dalam waterbath dengan suhu 650C selama 30 menit,
setelah itu dipusing dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit dan diambil
lapisan atasnya. Hasilnya disimpan dalam refrigerator sebagai spora.
Pembuatan Kultur Media Uji
Sebanyak 6 gr peptone, 1,5 gr beef extract, 3 gr yeast extract, 1,35 gr
KH2PO4, dan 15-16 bacto agar dalam 1000 ml aquadest, kemudian diukur pada
pH 5,7 ± 0,1 dan dididihkan. Media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC
selama 15 menit.
Pembuatan Larutan Dapar Fosfat (Buffer)
Sebanyak 3,5 gr KH2PO4 dan 3 gr Na2HPO4 dilarutkan dalam 1000 ml
aquades, kemudian larutan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama
15 menit.
3.4.3. Golongan Makrolida
Pembuatan Spora Bakteri Uji
Bakteri Micrococcus luteus ditambahkan dalam agar miring dan
diinkubasi pada suhu 360 C selama 18-24 jam. Kemudian diambil 1 ose kuman
biakan Micrococcus luteus ke dalam 10 ml media Heart Infusion Broth (HIB).
Selanjutnya diinkubasikan selama 18-24 jam dalam inkubator suhu 360C. Kuman
siap digunakan untuk pengujian.
Pembuatan Kultur Media Uji
Sebanyak 6 gr peptone, 1,5 gr beef extract, 3 gr yeast extract, 1 gr
D(+)glukosa dan 15-16 gr bacto agar dilarutkan dalam 1000 ml aquades,
kemudian diukur pada pH 5,7 ± 0,1 dan dididihkan. Media disterilisasi dengan
autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit.
29
Pembuatan Larutan Dapar Fosfat (Buffer)
Sebanyak 7 gr KH2PO4 dan 6 gr Na2HPO4 dilarutkan dalam 1000 ml
aquades, kemudian larutan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C selama
15 menit.
3.4.4. Golongan Aminoglikosida
Pembuatan Spora Bakteri Uji
Bakteri Bacillus subtilis ditambahkan dalam agar miring dan diinkubasi pada suhu
360 C selama 1 (satu) minggu. Kemudian bakteri yang ditumbuhkan tersebut
dipanen dan dimasukkan ke dalam larutan aquabides 20ml, sebanyak 4 tabung
sentrifuge, lalu dipanaskan dalam waterbath pada suhu 650C selama 30 menit.
Selanjutnya suspensi dipusing 3000 rpm selama 10 menit dibuang supernatan
(lapisan atasnya).
Kedalam endapan tambahkan aquabides secukupnya, dikocok dan
dimasukkan kedalam refrigerator dengan suhu 40C selama 18-24 jam. Kemudian
larutan dipanaskan kembali dalam waterbath dengan suhu 650C selama 30 menit,
setelah itu dipusing dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit dan diambil
lapisan atasnya. Hasilnya disimpan dalam refrigerator sebagai spora.
Pembuatan Kultur Media Uji
Sebanyak 5 gr peptone, 3 gr beef extract, 3 gr yeast extract, dan 15-16 gr
bacto agar dilarutkan dalam 1000 ml aquades, kemudian diukur pada pH 5,7 ± 0,1
dan dididihkan. Media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15
menit.
Pembuatan Larutan Dapar Fosfat (Buffer)
Sebanyak 6,4 gr KH2PO4 dan 18,9 gr Na2HPO4 dilarutkan dalam 1000 ml
aquades, kemudian larutan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C selama
15 menit.
30
3.4.5. Kalibrasi Spora/Kuman
Media di panaskan dan simpan di dalam waterbath pada suhu 550C.
Kemudian di ambil sebanyak 100 ml, tambahkan spora yang akan diuji dan di
kocok hingga larutan media dan kuman tercampur rata. Di pipet kultur media
masing-masing sebanyak 8 ml (dilakukan 3 kali pengulangan) dan dibiarkan
memadat. Kertas cakram (paper disk) diletakkan diatas permukaan kultur media
dan ditetesi dengan larutan baku standar antibiotika. Sebelum diinkubasikan spora
dibiarkan pada suhu kamar selama 1 jam. Inkubasikan di dalam inkubator dengan
suhu sesuai dengan spora yang diuji, selama 18-24 jam. Hasil ditentukan dengan
mengukur diameter daerah hambatan dengan menggunakan jangka sorong/kaliper
3.4.6. Penghitungan Spora Bakteri
Dari contoh suspensi diatas dibuat pengenceran berseri sampai dengan 10-8 ,
setiap konsentrasi pengenceran ditu ang ke dalam cawan petri masing-masing 1
ml (dilakukan 2 kali pengulangan), kemudian di tambahkan media agar sebanyak
15-20 ml dan digoyang hingga merata dan ditunggu sampai memadat. Selanjutnya
cawan petri di inkubasi selama 18-24 jam pada masing-masing temperatur
tergantung jenis sporanya dan tiap cawan petri di hitung dan koloni yang di hitung
jumlahnya antara 25-250.
Gambar 2. Bagan Penghitungan Spora
1 ml SPORA 100
1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml
+ 9 ml + 9 ml + 9 ml + 9 ml + 9 ml + 9 ml + 9 ml + 9 ml
10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8
+ 1 ml + 1 ml + 1 ml + 1 ml + 1 ml + 1 ml + 1 ml
+ 1 ml
31
Masing-masing cawan petri diisi dengan 15-20 ml media agar dan 1 ml spora.
3.4.7. Cara Menyatakan Hasil
Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama di
depan koma dan angka kedua dibelakang koma. Jika angka yang ketiga sama
dengan atau lebih besar dari 5, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada
angka yang kedua.
Tabel 3. Standar Penghitungan Cawan
Jumlah Koloni
Per Pengenceran
Standar
Penghitungan Cawan Keterangan
10-1 10-2 10-3
200 23 1 20 x 10-4 23 dan 1 < 25
700 125 10 1,3 x 10-5 700>250 ; 10<25
Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan
jumlah antara 25 dan 250, dan perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah
dari kedua pengenceran tersebut lebih kecil dari atau sama dengan 2, tentukan
rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika
perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah lebih besar 2, yang dilaporkan
hanya hasil yang terkecil.
Tabel 4. Standar Penghitungan Cawan
Jumlah Koloni
Per Pengenceran
Standar
Penghitungan Cawan
Keterangan
10-2 10-3 10-4
250 41 4 4,1 x 10-4 Hitung rata-rata :
41000\25000=1,64 (<2)
140 32 2 1,4 x 10-4 Hitung rata-rata :
32000\14000=2,3 (>2)
32
3.4.8. Pembuatan Larutan Standar Kerja
Penisilin
Masing-masing standar baku ditimbang dengan memperhatikan potensi
standar Penisilin dengan larutan dapar sampai konsentrasi 0,1 µg/ml.
Larutan Stok Standar Konsentrasi 1000 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 100 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 10 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 1 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 0,1 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 0,01 µg/ml (sebagai larutan standar kerja)
Tetrasiklin
Masing-masing standar baku ditimbang dengan memperhatikan potensi
standar Tetrasiklin dengan larutan dapar sampai konsentrasi 1µg/ml.
33
Larutan Stok Standar Konsentrasi 1000 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 100 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 10 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 1 µg/ml (sebagai larutan standar kerja)
Aminoglikosida
Masing-masing standar baku ditimbang dengan memperhatikan potensi
standar Aminogliksida dengan larutan dapar sampai konsentrasi 1µg/ml.
Larutan Stok Standar Konsentrasi 1000 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 100 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 10 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 1 µg/ml (sebagai larutan standar kerja)
34
Makrolida
Masing-masing standar baku ditimbang dengan memperhatikan potensi
standar Makrolida dengan larutan dapar sampai konsentrasi 1µg/ml.
Larutan Stok Standar Konsentrasi 1000 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 100 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 10 µg/ml
Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar
Konsentrasi menjadi 1 µg/ml (sebagai larutan standar kerja)
3.4.9. Pengujian Sampel
Sebanyak 10 gram contoh masing-masing sampel (daging paha, sayap,
dada, hati, ginjal dan kaki bagian metatarsal) dimasukkan kedalam tabung
sentrifuge, ditambahkan 20 ml larutan dapar dihomogenkan, kemudian di
sentrifuge 3000 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan larutan supernatannya.
Sementara itu kultur media agar disiapkan untuk masing-masing kelompok
antibiotika. Selanjutnya kertas cakram steril diletakkan di atas permukaan kultur
media.
Tiap cawan petri berisi 5 buah kertas cakram, 4 buah kertas cakram ditetesi
dengan mikro pipet steril berisi larutan sampel dan 1 buah kertas cakram ditetesi
dengan larutan standar antibiotika. Selanjutnya kultur media diinkubasikan pada
suhu 300 C untuk golongan tetrasiklin 300C, untuk golongan makrolida dan
aminoglikosida pada suhu 360C sedangkan penisilin pada suhu 550C masing-
masing selama 16-18 jam. Pengujian sampel dilakukan sebanyak 2 kali
35
pengulangan. Setelah itu hasil uji ditentukan dengan menggunakan jangka
sorong/kaliper. Sampel yang terbentuk zona hambatan diplotkan pada kertas semi
logaritma kurva standar masing-masing antibiotika.
3.4.10. Pengukuran Hasil
Diamati dan diukur diameter zona hambat yang terbentuk di sekeliling
kertas cakram dengan menggunakan jangka sorong (kaliper). Sampel dinyatakan
positif mengandung antibiotik apabila zona hambat yang terbentuk ≥ 2 mm dari
tepi kertas cakram. Sampel dinyatakan negatif apabila zona hambat yang
terbentuk 0 – 2 mm. Karena zona hambat yang terbentuk < 2 mm dianggap akibat
adanya natural inhibitor. Kontrol positif harus membentuk zona hambat 15 – 30
mm, sedangkan kontrol negatif harus tidak membentuk zona hambat.
3.4.11. Pembuatan Standar Kurva Antibiotika
Kultur media disiapkan untuk masing-masing antibiotika. Kemudian di
encerkan larutan stock solution standar untuk masing-masing standar antibiotika
dengan komposisi konsentrasi bervariasi. Variasi konsentrasi untuk antibiotika
oksitetrasiklina, aminoglikosida dan makrolida adalah 0,25 ; 0,5 ; 1,0 ; 2,0 dan
4,0. Sedangkan variasi konsentrasi untuk antibiotika penisilina adalah 0,01 ; 0,1 ;
0,25 dan 1 µg/ ml. Selanjutnya kertas cakram steril diletakkan diatas permukaan
kultur media. Tiap cawan petri berisi 4 buah kertas cakram Sebelum di inkubasi,
kultur media dibiarkan pada suhu kamar selama 30-60 menit. Inkubasikan di
dalam inkubator, untuk oksitetrasiklin pada suhu 300C, makrolida dan tilosin pada
suhu 360C dan penisilin pada suhu 550C, masing-masing selama 18-24 jam. Hasil
uji ditentukan dengan menggunakan jangka sorong/kaliper dan dikonfirmasi pada
kurva standar masing-masing anti biotika.
0.25
0 0
1.55
0.990.79
00.20.40.60.8
11.21.41.6
Zon
a H
amba
t (m
m)
DagingPaha
DagingDada
DagingSayap
Hati Ginjal Kaki
Sampel
Penisilin
Tetrasiklin
Makrolida
Aminoglikosida
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian residu antibiotika terhadap sampel daging bagian paha, sayap,
dada, hati, ginjal dan kaki ayam pedaging menggunakan metode Bio-Assay atau
Screening Test yang mengacu pada SNI 01-6366-2000 tentang batas maksimum
residu dalam bahan pangan asal hewan. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 5. Rata-rata Zona Hambat Residu Antibiotika (Penisillin) Antara Daging (Paha, Dada, Sayap), Organ (Hati, Ginjal) dan Kaki Ayam Pedaging
Zona Hambat No. Sampel Jumlah
Penisilin Tetrasiklin Makrolida Aminoglikosida
1. Hati 31 1,55 ± 8,53 Negatif Negatif Negatif 2. Ginjal 31 0,99 ± 6,34 Negatif Negatif Negatif 3. Daging Paha 31 0,25 ± 1,85 Negatif Negatif Negatif 4. Kaki 31 0,79 ± 3,77 Negatif Negatif Negatif 5. Daging Dada 31 Negatif Negatif Negatif Negatif 6. Daging Sayap 31 Negatif Negatif Negatif Negatif
Berdasarkan tabel di atas terlihat golongan antibiotika tetrasiklin, makrolida
dan aminoglikosida tidak terbentuk zona hambat, sedangkan golongan penisilin
terbentuk zona hambat. Hasil rataan zona hambat pada daging paha, hati, ginjal
dan kaki ayam pedaging masih berada di bawah standard SNI 01-6366-2000.
Ilustrasi dari rata-rata zona hambat seperti grafik di bawah ini:
Grafik 1. Rataan Zona Hambat Residu Antibiotika Golongan Penisilin, Tetrasiklin, Makrolida dan Aminoglikosida
37
Organ hati mempunyai rataan zona hambat yang paling besar dibandingkan
dengan lima bagian lainnya, sedangkan bagian dada dan sayap tidak ada sebaran
rataan zona hambat karena nilainya adalah negatif.
Tidak ditemukannya residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam
pedaging, dimungkinkan karena farmakokinetika obat pada fase farmakokinetika
yaitu, absorpsi, transpor, biotransformasi, distribusi dan ekskresi.
a. Absorpsi
Antibiotika yang diberikan secara oral masuk ke dalam lambung, kemudian
di usus hancur menjadi molekul kecil dan menembus dinding usus halus.
Penyerapan obat dari usus ke sirkulasi darah melalui filtrasi, difusi atau transfor
aktif, kecepatan resorpsi tergantung pada pemberian, cara pemberian dan sifat
fisikokimiawi obat. Disini kecepatan larut partikel obat (dissolution rate)
mempunyai peranan yang penting, semakin halus obat semakin cepat larut dan
resorpsi obat. Contohnya sulfonamida dan khloramfenikol (Mutchler, 1999 dan
Phillips et al., 2004) .
Antibiotika yang digunakan sebagai growth promoter, daya absorbsi paling
kecil oleh usus artinya antibiotika ini bekerja hanya membunuh bakteri patogen,
sehingga jenis antibiotika tersebut sama sekali tidak ada resiko terakumulasi di
organ tubuh ternak. Dosis penggunaannya sangat kecil yaitu antara 1 – 2 ppm atau
1 – 2 kg/ton pakan, sifat antibiotika harus mudah terdegradasi oleh alam, sesuai
Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 806/Kpts/TN.260/12/94 tentang
klasifikasi obat hewan, bahwa antibiotika yang digunakan tidak memiliki waktu
paruh atau waktu henti (withdrawal time) obat (Anonimus, 1991).
b. Transpor
Agar transpor obat ke target sasaran tercapai dalam organ tubuh, zat aktif
diolah menjadi suatu bentuk pemberian. Bentuk utama transpor yaitu, secara lokal
(intranasal, intraokuler, intra vaginal, intrapulmonal dan kulit) dan sistemis (oral,
sublingual, injeksi, inplantasi subkutan dan rektal). Molekul zat kimia melintasi
membran semipermeabel berdasarkan adanya perbedaan konsentrasi seperti,
melintasi dinding pembuluh ke ruang antar jaringan (interstitium) (Adam, 2002).
Mekanisme transpor terbagi dua secara pasif dan aktif, transpor pasif tidak
memerlukan energi dan menggunakan cara filtrasi melalui pori-pori kecil dari
38
membran dan difusi zat larut dalam lapisan lemak dari membran sel. Sedangkan
transfor aktif memerlukan energi, tidak tergantung konsentrasi obat dan dilakukan
dengan mengikat zat hidrofil (makromolekul dan ion) pada suatu protein
pengangkut spesifik yang berada di membran sel (carrier), setelah membran
dilintasi obat dibebaskan kembali (Tjay dan Raharja, 2005).
c. Biotransformasi
Tubuh akan berupaya merombak obat yang masuk menjadi metabolit yang
tidak aktif dan bersifat lebih hidrofil agar memudahkan proses ekskresi di ginjal.
Di dalam hati metabolit yang tidak aktif lagi mengalami proses detoksifikasi atau
bioinaktivasi (first pass effect). Reaksi transformasi di dalam hati dilakukan oleh
enzim mikrosomal dengan reaksi biokimia yakni, reaksi oksidasi oleh enzim
oksidatif cytochrom P 450 dan reaksi reduksi. Kecepatan biotransformasi
bertambah bila konsentrasi obat meningkat, fungsi hati, umur, faktor genetis dan
penggunaan obat lain (Focosi, 2003; Tjay dan Raharja, 2005).
d. Distribusi
Melalui peredaran darah secara merata ke seluruh tubuh (kapiler dan cairan
ekstra sel) diangkut ke dalam sel (cairan intra sel) organ atau otot sasaran.
Distribusi obat juga dapat terjadi tidak merata akibat gangguan (rintangan) darah
ke otak (cerebro spinal barrier), terikatnya obat pada protein darah atau jaringan
lemak. Antibiotika seperti penisilin, khloramfenikol dan tetrasiklin dapat melintasi
rintangan ini dengan dosis besar, bila diberikan injeksi intra vena. Sebagian obat
di dalam darah diikat secara reversibel pada protein plasma. Zat bersifat asam
terikat pada albumin, zat basa mengikat diri pada glikoprotein asam seperti
globulin contoh, doksisiklin (Phillips et al., 2004).
e. Eskresi
Organ tubuh yang paling berperan dalam proses eliminasi obat adalah ginjal,
obat dikeluarkan dalam bentuk yang tidak berubah (parent drug) atau dalam
bentuk metabolit (setelah mengalami biotransformasi) dan kebiasaannya berupa
metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan utuh seperti, penisilin dan
terasiklin. Obat yang diekskresi secara aktif tidak terpengaruh oleh pengikatan,
seperti benzilpenisilin persentase pengikatan sampai 50% hampir diekskresi
seluruhnya dengan cepat. Selain itu obat dapat dieliminasi melalui sistem empedu
39
masuk ke dalam usus kecil dan dieliminasi melalui feces. Eliminasi melalui jalur
ini, obat atau metabolitnya masih dapat mengalami resorpsi (memasuki siklus
enterohepatik) (Prescott dan Baggot, 1997).
Kadar plasma obat dan lama pengaruhnya tergantung pada kecepatan
eliminasi obat yang dinyatakan dengan plasma half life eliminasi, masa paruh, t
½), yaitu jarak waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase eliminasi turun
sampai separuhnya. Kecepatan eliminasi obat dan plasma t ½ tergantung dari
kecepatan biotransformasi dan ekskresi. Obat dengan metabolisme cepat waktu
paruhnya juga pendek.
Gambar 3. Distribusi Obat dalam Tubuh
Waktu paruh plasma menggambarkan waktu henti obat (withdrawal time).
Tidak adanya residu dalam jaringan tubuh hewan sangat berkaitan positif dengan
waktu paruh eliminasi plasma (plasma elimination half life, t ½), volume
distribusi (apparent volume of distribution, Vd), body clearence (Clb), ikatan
dengan protein plasma dan biotransformasi (Tjay dan Raharja, 2005 dan Adam,
2002).
Waktu henti obat adalah kurun waktu dari saat pemberian obat terakhir
hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi. Ini merupakan
18
Pemakaian
Proses yang Terjadi dalam Organisme Setelah Pemberian Oral
Penghancuran sediaan obat, pelarutan bahan berkhasiat
Absorbsi
DistribusiFase
FarmakodinamikDeposit
Ekskresi Biotransformasi
Sumber = Mutschler, 1999
40
waktu yang cukup sampai konsentrasi obat dalam tubuh hewan menurun ke batas
toleransi. Waktu henti obat hewan sangat bervarisasi bergantung pada jenis obat,
spesies hewan, faktor genetika ternak, iklim setempat, cara pemberian, dosis obat,
status kesehatan hewan, batas toleransi residu obat dan formulasi obat (Bahri
et al., 2005).
Berdasarkan hasil pendataan, ayam pedaging yang dijual di pasar tradisional
65% berasal dari peternakan ayam pedaging diwilayah Kabupaten Tangerang,
20% dari Bogor dan 15% dari Sukabumi. Untuk itu dilakukan pengambilan data
skunder hasil pengujian residu antibiotika pada sampel daging dan hati ayam
mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2005.
Laboratorium Kesmavet Bambu Apus DKI Jakarta selama 2 tahun
melakukan pengujian residu antibiotika pada daging ayam sebanyak 431 sampel,
dari keseluruhan sampel tersebut hanya 1 (satu) sampel atau 0,0023% yang positif
residu antibiotika (golongan penisilin, makrolida dan tetrasiklin), data yang
diperoleh seperti tabel dibawah ini:
Tabel 6. Hasil Pengujian Residu Antibiotika (Laboratorium BPMPP)
Tahun 2004 – 2005
UJI RESIDU ANTIBIOTIKA N0 ASAL SAMPEL
JENIS SAMPEL JUMLAH
PC's ML's AG's TC's1 Jakarta Daging Ayam 184 5 0 0 0 2 Jakarta Hati Ayam 2 1 0 0 0 3 Bogor Daging Ayam 34 0 0 0 0 4 Bogor Hati Ayam 1 0 0 0 0 5 Tangerang Daging Ayam 3 0 0 0 0 6 Bekasi Daging Ayam 2 0 0 0 0
TOTAL 226 6 0 0 0 Sumber : Laporan tahunan BPMPP, 2005 Sedangkan data sekunder dari Laboratorium Balai Pengujian Mutu Produk
Pertanian (BPMPP) Bogor sebanyak 226 sampel, hanya 6 sampel atau 0,027%
positif residu antibiotika (golongan penisilin) seperti terlihat pada tabel di bawah
ini:
41
Tabel 7. Hasil Pengujian Residu Antibiotika (Laboratorium Kesmavet DKI) Tahun 2004 – 2005
UJI RESIDU ANTIBIOTIKA N0
ASAL SAMPEL
JENIS SAMPEL JUMLAH
PC's ML's AG's TC's1 Jakarta Daging Ayam 252 0 0 0 0 2 Bogor Daging Ayam 62 0 0 0 0 3 Tangerang Daging Ayam 94 1 1 0 1 4 Bekasi Daging Ayam 23 0 0 0 0
TOTAL 431 1 1 0 1 Sumber : Laporan tahunan Laboaratorium Kesmavet, 2005 Data yang diperoleh dari ke dua laboratorium tersebut selama 2 tahun, terlihat
bahwa adanya residu antibiotika pada sampel tersebut hanya sebanyak 7 sampel
atau 0,0293%, dari segi kesehatan masyarakat veteriner keberadaan residu
antibiotika dalam pangan asal hewan perlu mendapat perhatian, mengingat bahaya
yang ditimbulkannya terhadap konsumen.
Adanya residu antibiotika golongan penisilin, makrolida dan tetrasiklin dari
data skunder tersebut dimungkinkan karena, tingginya angka sakit dan kematian
pada unggas baik ayam petelur maupun pedaging pada akhir tahun 2003. Pada
awalnya peternak dan pemerintah belum mengetahui secara jelas jenis penyakit
yang banyak menimbulkan kerugian ekonomi tersebut, upaya yang dilakukan
peternak adalah mengobati ternaknya dengan menggunakan antibiotika, akibat
penggunaan antibiotika yang tidak rasional (diagnosa yang belum jelas) semua
golongan antibiotika digunakan tetapi penyakit tidak sembuh. Untuk mengurangi
kerugian yang lebih besar peternak menjual ternaknya walaupun masih dalam
masa pengobatan. Waktu henti obat yang seharusnya dilewati, baru setelah itu
hewan dipotong mereka abaikan. Pada tahun 2004 pemerintah mengumumkan
penyakit misterius itu adalah penyakit Avian influenza (flu burung) (Distannak,
2005).
Pemakaian antibiotika perlu memperhatikan waktu henti obat, setelah waktu
henti obat dapat dilewati diharapkan residu tidak ditemukan lagi atau telah berada
dibawah batas maksimum residu (BMR) sehingga produk ternak aman
dikonsumsi. Menurut Komisi Obat hewan Departemen Pertanian, pemerintah
memperbolehkan penggunaan antibiotika pada ternak dengan ketentuan,
antibiotika yang digunakan pada manusia tidak boleh digunakan pada ternak,
antibiotika yang digunakan harus aman bagi manusia, hewan, lingkungan,
42
memiliki efikasi yang bagus dan bermutu baik, khususnya untuk mencegah
resisitensi bakteri pada manusia.
Kebijakan pemerintah terhadap pangan asal hewan dalam bentuk
pengawasan dan pembinaan terhadap keamanan produk daging, susu dan telur
terus ditingkatkan. Dalam pelaksanaan operasionalnya pemberian sertifikat nomor
kontrol veteriner kepada unit usaha pangan asal hewan, penerapan Good Farming
Practise (GFP) dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), program
monitoring dan surveillance residu serta pengembangan pengawas kesmavet.
Sistem HACCP merupakan sistem jaminan yang berdasarkan pada kesadaran dan
perhatian bahwa bahaya dapat timbul pada berbagai titik atau tahapan produksi,
akan tetapi dapat dilakukan pengendalian pencegahan bahaya-bahaya tersebut
(Moerad, 2003).
Menurut Bahri et al. (2005) keamanan pangan berkaitan erat dengan rantai
penyedian pangan terutama proses pra produksi. Faktor pakan, penyakit hewan
dan penggunaan obat hewan memegang peranan penting. Untuk itu penerapan
HACCP pada setiap mata rantai peneyediaan pangan asal hewan akan dapat
menjamin keamanan produk yang dihasilkan.
Tuntutan konsumen terhadap pangan asal hewan yang sehat, aman dan
terbebas dari residu antibiotika semakin meningkat. Upaya yang dilakukan untuk
menghilangkan residu antibiotika antara lain penggunaan alternatif pengganti
antibiotika seperti, probiotik dan prebiotik, imunomodulator, asam-asam organik,
minyak essential, herbal dan enzim.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan bahaya potensial yang
diakibatkan residu pada manusia adalah dengan melakukan pemasakan jaringan
hewan apabila hendak dikonsumsi. Hal ini akan menurunkan konsentrasi dari
beberapa mikroba antara lain penisilin dan tetrasiklin. Beberapa antibiotika seperti
kloramfenikol dan streptomisin bersifat lebih stabil terhadap panas (Crawford dan
Franco, 1994).
Menurut Lukman (1994) kandungan residu doksisiklin dalam daging dada,
kaki, hati dan ampela dapat diinaktivasi dengan pemanasan 1000C selama 20
menit, 1000C selama 10 menit, 800C selama 20 menit, 800C selama 10 menit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pengujian yang dilakukan pada daging dada, sayap, paha, hati, ginjal dan kaki
(ceker) tidak ditemukan residu antibiotika pada 30 ekor sampel ayam pedaging yang
berasal dari 6 (enam) pasar tradisional di Wilayah Kabupaten Tangerang. Tidak
ditemukannya residu antibiotika pada contoh sampel tersebut dimungkinkan karena
farmakokinetika obat pada fase farmakokinetika seperti, absorpsi, transpor,
biotransformasi, distribusi dan ekskresi.
Saran
Perlu dilakukan penyuluhan mengenai penggunaan antibiotika yang rasional
dan tepat guna kepada peternak skala kecil sampai menengah dan industri pakan, serta
perlu adanya perbaikan peraturan dan ketegasan penggunaan antara obat hewan
dengan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Adam R. 2002. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. IOWA State
University Press/Ames. USA
Anief M. 1993. Farmasetika. Penerbit Gajah Mada University. Yogyakarta.
Anonimus.1991. Ringkasan Imbuhan Pakan (Feed Additive) untuk Hewan.
Edisi II. Direktorat Jenderal Peternakan.Departemen Pertanian. Jakarta
Anonimus. 2002. Feed Additive Compendium. Vol. 41. The Miller Publishing
Company. Minnoseta. USA.
Anthony T. 1997. Food Poisoning. Departement of Biochemistry Colorado Estate
University. New York.
Bahri S, Maryam R, Yuningsih, Murdiati TB. 1992. Residu Tetrasiklin,
Khlortetrasiklin dan Oksitetrasiklin pada Susu Segar Asal Beberapa DATI
II di Jawa Tengah.
Bahri S, Masbulan E dan Kusumaningsih A. 2005. Proses Praproduksi sebagai
Faktor Penting dalam Menghasilkan Produk Ternak yang Aman untuk
Manusia. Jurnal Litbang Pertanian 24 (1).
Barber DA, Miller GY, McNamara PE. 2003. Models of Antimicrobial Resistance
and Foodborne Illness: Examining Assumption and Practical Applications.
J. Food Prot. 66(4):700-709.
Benzoen A, Haren WV, Hanekamp JC. 2000. Emergence of a Debate : AGPs and
Public Health. Heidelberg Appleal Nederland Foundation. Amsterdam.
Pp:1-49, 110-153. http://Cmr.asm.org/ [2 Februari 2006].
Butaye P, Devriese A, Haesebrouck F. 2003. Antimicrobial Growth Promotors
Used in Animal Feed: Effects of Less Well Known Antibiotics 0n Gram-
Positive Bacteria. Clinical Microbiology Reviews. 16(2):175-188.
Cain BD, Norton PJ, Eubanks W, Nick HS, Allen CM. 1993. Amplifiation of The
bacA Gene Confers Bacitacin Reistance to Escherichia coli. J. Bacteriol.
175:3784-3789.
Chalker AF, Ingraham KA, Lunsford RD, Bryant AP, Bryant J, Wallis NG,
Broskey JP, Perason SC, Holmes DJ. 2000. The bacA Gene, Which
Determines Bacitracin Susceptibility in Streptocccus pneumonie and
45
Staphylococcus aureus, is also Required for Virulence. Microbiology.
146:1547-1553.
Chang CS, Tai TF, Li HP. 2000. Evaluating the Applicability of the Modified
Four-Plate Test on the Detection of Antimicrobial Agent Residues in Pork.
J.Food and Drug Analysis. 8(1): 25-34.
Charles LH, David GW, John JM, Cesar M, Christine L, Charlene H. 2001.
Characterization of Antibiotic-Resistant Bacteria in Rendered Animal
Products. Avian Diseases. 45:953-961.
Chia JK, Nakata M, Park SS, Lewis RP, McKee B. 1995. Use of Bacitracin
Theraphy for Infection due to Vancomycin-Resistant Enterococcus faecium.
Clin. Infect. Dis. 21:1520.
Chinali G, Nyssen E, Di Giambattista, Cocito C. 1998. Action of Erythromycin
and Virginiamycin S on Polypeptide Synthesis in Cell-Free System.
Biochim. Biophys. Acta. 951:42-52.
Crawford L dan Franco DA. 1994. Animal Drug and Human Health. Technomic
Publishing Co. Inc. USA.
Darsono R. 1996. Deteksi Residu Oksitetrasiklin dan Gambaran Patologi Anatomi
Hati dan Ginjal Ayam Kampung dan Ayam Broiler yang di Jual di Lima
Pasar di Kodya Surabaya. Media Kedokteran Hewan. 12 (No.3): 178-182.
[Dinas Pertanian dan Peternakan] Distannak. 2005. Laporan Tahunan 2005
Distannak Kabupaten Tangerang.
[Dinas Pertanian dan Peternakan] Distannak. 2006. Laporan Tahunan 2006
Distannak Kabupaten Tangerang.
[Direktorat Jenderal Peternakan] Ditjenak. 2006. Laporan Tahunan 2006 Ditjenak.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Doyle ME. 2006. Veterinary Drug Residues in Processed Meats – Potential
Health Risk. University of Wisconsin-Madison. http://wisc/edu/fri/ [10
Maret 2006].
Elwinger K, Berndtson KE, Engström B, Fossum O, Waldenstendt. 1998. Effect
of Antibiotic Growth Promoters and Anticoccidials on Growth of
Clostridium perfringens in The Caeca and on Perfomance of Broiler
Chicken. Acta Vet. Scand. 39:433-411.
46
Gaudin V, Maris P, Fuselier R, Ribouchon JL, Cadieu N, Rault A. 2004.
Validation of a microbiologicacl method: the STAR protocol, a five-plate
test, for the screening of antibiotic residues in milk. J. Food Additives and
Contaminants. 21(5):422-433.
Focosi D. 2005. Antimcrobial for Bacteria. http://focosi.altervista.org/ [2 Februari
2006].
Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 1996. Mikrobiologi. Edisi XVI. EGC
Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
Hermawati D. 1997. Tesis Residu Antibiotik Dalam Ayam Pedaging Yang Diberi
Dosis Pengobatan Spiramisina. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor
[Indeks Obat Hewan Indonesia] IOHI. 2005. Indeks Obat Hewan Indonesia.
Assosiasi Obat Hewan Indonesia dan Ditjen Bina Produksi Peternakan.
Jakarta.
Kadarwati U, Gitawati R, Uci R. 1989. Pola Resistensi Kuman Kokus terhadap
Enam Jenis Antibiotika di Wilayah Jakarta Timur. Cermin Dunia
Kedokteran 56: 45-48.
Kartasudjana R dan Suprijatna E. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Kusumaningsih A. 2007. Disertasi Profil dan Gen Resistensi Antimikroba
Salmonella enteritidis Asal Ayam, Telur dan Manusia. Program Pasca
Sarjana IPB. Bogor
Laporan Tahunan. 2005. Balai Pengujian Mutu Produk Ternak. Direktorat
Jenderal Bina Produksi Peternakan. Dinas Pertanian.
Laporan Tahunan. 2005. Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dinas
Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta.
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2005. Metoda Pengujian Residu
Antibiotika pada Daging, Susu dan Telur dengan Screening. (Tidak
Dipublikasikan).
Lukman, DW. 1994. Periode Residu Doksisiklin pada Daging dan Jeroan Broiler
serta Pengaruh Pemanasan terhadap Kandungan Residunya. Program Pasca
Sarjana IPB. Bogor.
47
Martin AR. 1992. Buku Teks Wilson dan Gisvold Kimia Farmasi dan Medisinal
Organik. JB Lippincott Company. Philladelphia.
Mazell D dan Davies J. 1999. Antibiotic Resistance in Microbes. Cell. Mol Life
Sci. 56:742-754.
Mitchell J, Griffiths MW, McEwen SA, McNabWB, Yee AJ. 1998.
Antimicrobial Drug Residues In Milk and Meat: Causes, Concerns,
Prevalence, Regulations, Tests, and Test Performance. J. Food Protection
61(6):742-56.
Mutchler E. 1999. Dinamika Obat. Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi Edisi
Ke-5. Penerbit ITB. Bandung.
Moerad B. 2003. Pencemaran Salmonella spp. Dalam Produk Pangan Asal Ternak
dan Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Masalah Keamanan Pangan.
Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Direktorat Jendral Produksi
Peternakan. Disampaikan pada Simposium Sehari Purna Bakti “Teknologi
Veteriner dalam Peningkatan Hewan dan Produknya”. Balitvet,
12 Maret 2003.
Naim R. 2002. Antibiotik dan Resistensi Mikroba. Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Nhiem DV. 2005. Analysis of Tetracycline Residues in Marketed Pork in Hanoi,
Vietnam. Master of Science in Veterinary Public Health. Chiang Mai
University and Freie University Berlin.
Nicholls TJ. 2000. Contamination of Food is A Public Health, Public Preception
and Trade Sigue. Aust .Vet. J. 78(1):32-33.
Peraturan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. 1997. Proyek
Penanganan Keswan Pengawasan Masyarakat Veteriner. Pemerintah
Propinsi Daerah. Jawa Barat.
Peter TL, Fulton RM, Roberson DK Dan Orth MW. 2002. Effect Of Antibiotics
On In Vitro And In Vivo Avian Cartilage Degradation. Avian Diseases
46:75-86.
Phillips I, Casewell M, Cox T, Groot B, Friis C, Jones R, Nightingale C, Preston
R and Waddell J. 2004. Does the Use of Antibiotics in Food Animals Pose
A Risk to Human Health?. Journal Of Antimicrobial Chemotherapy. 53;28-
52. http://www.oxfordjournals.org/faq [2 Februari 2006].
48
(PIC) Poultry Industry Council. 2006. Water Medications. Compendium Article
Series. http://poultryindustrycouncil/ [10 Maret 2006].
Prescott JF, Baggot JD. 1997. Antimicrobial Therapy in Veterinary Medicine.
IOWA State University Press/Ames. USA
Purvis A. 2003. Meat Bacteria Can Breed Deadly Superbugs In Humans.
http://www.rense.com/ [23 Juli 2006].
Revolledo L, Ferreira AJP, Mead GC. 2006. Prospects in Salmonella Control:
Competitive Exclusion, Probiotics, and Enhancement of Avian Intestinal
Immunity. J. Appl. Poult. Res. 15(2):341-351.
Salyers AA, Whitt DD. 2005. Bacterial Pathogenesis A Molecular. Approach.
ASM. Press. Wassington DC.
[Standard Nasional Indonesia] SNI. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba
Dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. SNI 01-
6366-2000. Dewan Standardisasi Nasional.
Tauchi T.1984. Technical Manual for Veterinary Drug Quality Control Vol 1.
Agricultural Development Cooperation Department Japan Internal
Cooperation Agency. Jepang.
Teuber M. 2001. Veterinary Use and Antibiotic Resistance in Microbiology.
Current Opinion in Microbiology. 4:493-499.
Tjay TH dan Raharja K. 2005. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-
efek Sampingnya. Edisi VII. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.
Youssef MH, Di Cuollo CJ, Free SM, Scott GC. 1983. The Influence of a Feed
Additive Level of Virginiamycin on The Course of an Experimentally
Induced Salmonella typhimurium Infection in Broilers. Poult. Sci. 62:30-37.
Yuningsih, TB. Murdiati S. Joariah. 2005. Keberadaan Residu Antibiotika Tilosin
(Golongan Makrolida) dalam Daging Ayam Asal Daerah Sukabumi, Bogor
dan Tangerang. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner.
Zhang R, Eggleston K, Rotimi V dan Zeckhauser RJ. 2006. Antibiotic Resistence
As A Global Theat : Evidence From China, Kuwait and United States.
http://www.pubmed.gov [7 Februari 2007].