Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DISTRIBUSI KUANTITATIF RARU
(Cotylelobium melanoxylon) DI HUTAN ALAM BONALUMBAN,
KECAMATAN TUKKA, KABUPATEN TAPANULI TENGAH,
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
HOTMAN SIREGAR
141201055
DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
Universitas Sumatera Utara
DISTRIBUSI KUANTITATIF RARU
(Cotylelobium melanoxylon) DI HUTAN ALAM BONALUMBAN,
KECAMATAN TUKKA, KABUPATEN TAPANULI TENGAH,
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Oleh:
HOTMAN SIREGAR
141201055
DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
Universitas Sumatera Utara
DISTRIBUSI KUANTITATIF RARU
(Cotylelobium melanoxylon) DI HUTAN ALAM BONALUMBAN,
KECAMATAN TUKKA, KABUPATEN TAPANULI TENGAH,
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Oleh:
HOTMAN SIREGAR
141201055
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana di Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
Universitas Sumatera Utara
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Distribusi Kuantitatif Raru (Cotylelobium Melanoxylon) Di
Hutan Alam Bonalumban, Kecamatan Tukka, Kabupaten
Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Nama : Hotman Siregar
NIM : 141201055
Departemen : Budidaya Hutan
Universitas Sumatera Utara
i
ABSTRACT
HOTMAN SIREGAR. Quantitative distribution of Raru (Cotylelobium
melanoxylon) in Nature Forest Bonalumban, Sub-district Tukka, District Central
Tapanuli, North Sumatera. Supervised by Mrs. ARIDA SUSILOWATI and Mrs.
CUT RIZLANI KHOLIBRINA.
Raru is one of multifunctions trees as wood producer and non wood, an
ingredient for traditional bataknese drink (tuak) and as a traditional medicine.
The multipurpose utilization of raru causing high exploitation of this species and
listed Raru into endangered species according to IUCN 1998. We conducted study
to determine the vegetation structure of the species at seedling to tree stage at
Bona Lumban Forest - Central Tapanuli. We use purposive sampling technique by
making line transect to those of forest area determined by local people as having
naturally growing C. melanoxylon. Puposive sampling method was used in this
research to get information on important value index (IVI). While plants that
asociation was conducted by measurement and observation in field and followed
by Ochiai Index, Dice Index and Jackard Index analysis. The result showed that
there are two species of Raru in Bonalumban forest, those were raru dahanon
(Cotylelobium melanoxylon) and raru songal (Cotylelobium lanceolatum). The
highest IVI of raru on seedling, sapling, pole and tree stage were 26,27,
22,92,43,47, 42,42 respectively. The association analysis showed that raru have
strong association with rengas and red meranti.
Keyword: Cotylelobium melanoxylon, vegetation analysis, asosiation.
Universitas Sumatera Utara
ii
ABSTRAK
HOTMAN SIREGAR: Distribusi Kuantitatif Raru (Cotylelobium melanoxylon)
di Hutan Alam Bonalumban, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah,
Sumatera Utara. Dibimbing oleh ARIDA SUSILOWATI dan CUT RIZLANI
KHOLIBRINA.
Raru merupakan salah satu pohon yang memiliki beragam manfaat
sebagai produsen kayu dan non kayu, bahan untuk minuman tradisional batak
(tuak) dan sebagai obat tradisional. Pemanfaatan raru yang beragam menyebabkan
eksploitasi yang tinggi pada spesies ini dan membawa Raru masuk kedalam daftar
spesies yang terancam punah menurut IUCN 1998. Penelitian ini dilakukan untuk
menentukan struktur vegetasi dari spesies tersebut dari tingkat semai sampai
tingkat pohon di Hutan Bonalumban Tapanuli Tengah. Teknik yang digunakan
yaitu teknik purposive sampling dengan membuat garis transek ke area hutan yang
ditentukan oleh penduduk setempat karena memiliki C. melanoxylon yang tumbuh
secara alami. Metode puposive sampling digunakan dalam penelitian ini untuk
mendapatkan informasi tentang indeks nilai penting (INP). Sedangkan asosiasi
tanaman dilakukan dengan pengukuran dan pengamatan di lapangan dan diikuti
oleh Indeks Ochiai, Indeks Dice dan analisis Indeks Jackard. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat dua spesies Raru di hutan Bonalumban, yaitu raru
dahanon (Cotylelobium melanoxylon) dan raru songal (Cotylelobium
lanceolatum). INP raru tertinggi pada tahap semai, pancang, tiang dan pohon
masing-masing adalah 26,27, 22,92, 43,47, 42,42. Analisis asosiasi menunjukkan
bahwa raru memiliki hubungan yang kuat dengan rengas dan meranti merah.
Kata Kunci :Cotylelobium melanoxylon, analisis vegetasi, asosiasi.
Universitas Sumatera Utara
iii
RIWAYAT HIDUP
Hotman Siregar lahir di Desa Parimburan, Kecamatan Sei Kanan,
Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Provinsi Sumatera Utara pada 22 April 1996
dari pasangan Bapak Mara Tua Siregar, dan Ibu Siti Ramlah Daulay. Penulis
merupakan putra ketujuh dari sembilan bersaudara.
Pada Tahun 2008 penulis lulus dari SDS Al-Ikhsan Pijorkoling, Desa
Parimburan, Kecamatan Sei kanan, kabupaten Labuhan Batu Selatan. Penulis
kemudian melanjutkan studi ke MTS Pondok Pesantren Modern Daarul Muhsinin
Janji Manahan Kawat, Labuhan Batu dan lulus pada tahun 2011. Kemudian
penulis melanjutkan pendidikan di MA Pondok pesantren Darul Falah Langga
Payung, Labuhan Batu dan lulus pada tahun 2014 dan pada tahun yang sama
penulis melanjutkan kuliah di Universitas Sumatera Utara (USU) sebagai
Mahasiswa Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan melalui jalur Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga mengikuti Unit Kegiatan
Mahasiswa sebagai Anggota BKM Baitul Asyjaar Kehutanan USU tahun 2014-
2015, Anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada
tahun 2015, Anggota Rain Forest Kehutanan USU 2016-2017, dan sempat diberi
amanah sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Fakultas Kehutanan USU
pada tahun 2017-2018. Pada tahun 2016, penulis mengikuti kegiatan Praktik
Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Kawasan Hutan Mangrove Desa Sei
Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, selama 10 hari.
Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di IUPHHK-HA PT.
Mardhika Insan Mulia unit Tabalar, Kalimantan Timur pada tahun 2018.
Universitas Sumatera Utara
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian yang berjudul
“Distribusi Kuantitatif Raru (Cotylelobium melanoxylon) di Hutan Alam
Bonalumban, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara”.
ini dengan baik untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan studi pada Program
S1 Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
Penulis banyak menerima bimbingan, motivasi, saran, dan juga doa dari
berbagai pihak selama penulisan skripsi ini. Teristimewa untuk kedua orang tua
yang sangat penulis sayangi yaitu Ayahanda H. Mara Tua Siregar dan Ibunda
Hj. Siti Ramlah Daulay yang tidak pernah henti memberikan kasih sayang, doa,
dukungan, juga nasihat yang tulus sampai sekarang ini dan juga abangda saya
Saman Siregar, M.Ag, Raja Inal Siregar, S.Pd dan Hafizuddin Siregar, A.Md,
yang selalu membantu dan mendoakan saya selama proses penelitian hingga saat
ini.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Arida Susilowati, S.Hut., M.Si dan Cut Rizlani Kholibrina S.Hut., M.Si
selaku dosen pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk
membimbing dan memberikan ilmu, serta memberikan kritik dan saran
terhadap penulisan skripsi ini.
2. Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si dan Dr. Evalina Erawati, S.Hut., M.Si selaku
dosen penguji komprehensif.
Universitas Sumatera Utara
v
3. Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara.
4. Sahabat yang selalu memberi dukungan semangat terutama kepada teman-
teman Team Great One (TGO) yaitu Ida Mallia Ginting Suka, Mutya Kana
Purba, Yosie Syadza Kusuma dan Ami Ambarwati.
5. Tim PKL Berau, Kalimantan Timur, beserta seluruh teman-teman di Fakultas
Kehutanan USU dan para sahabat penulis yang namanya tidak dapat
dicantumkan satu persatu.
Penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca
karena penulis sadar penelitian ini tidaklah sempurna. Semoga penelitian ini akan
memberikan manfaat dan menyumbangkan kemajuan bagi ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang kehutanan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Oktober 2018
Penulis
Hotman Siregar
Universitas Sumatera Utara
vi
DAFTAR ISI
Hal.
ABSTRACT ................................................................................................. i
ABSTRAK ................................................................................................. ii
RIWAYAT HIDUP .................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
DAFTAR ISI .............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ...................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ....................................................................................... 2
Manfaat penelitian ...................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Raru (Cotylelobium melanoxylon) .......................................... 4
Potensi Kegunaan dan Sebaran ................................................................. 5
Asosiasi ..................................................................................................... 5 Analisis Vegetasi ...................................................................................... 6
Persepsi masyarakat .................................................................................. 8
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian ..................................................................... 10
Alat dan Bahan Penelitian .......................................................................... 10
Metode Pengambilan Data ......................................................................... 10
Analisis Vegetasi Raru ............................................................................... 11
Analisis Data .............................................................................................. 12
Studi Asosiasi ............................................................................................. 14
Penentuan Responden ............................................................................... 15
Gambaran Umum Lokasi dan data administrasi Penelitian ....................... 15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi dan Distribusi Raru di Hutan Bonalumban....... ............................ 18
Asosiasi Raru dengan Jenis Lain di Hutan Alam Bonalumban... .............. 22
Pemanfaatan Raru Oleh Masyarakat .......................................................... 25
Peta Lokasi dan Penyebaran Tumbuhan Raru ........................................... 27
Jenis-Jenis Raru .......................................................................................... 27
Persepsi masyarakat Sekitar Hutan ............................................................ 31
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ................................................................................................ 37
Universitas Sumatera Utara
vii
Saran ........................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 38
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Indeks asosiasi pada vegetasi............................................................. 14
2. Data kelerengan tanah desa Bonalumban Kecamatan Tukka............. 17
3. Hasil analisis vegetasi pada tingkat semai......................................... 18
4. Hasil analisis vegetasi padatingkat pancang....................................... 19
5. Hasil analisis vegetasi pada tingkat tiang........................................... 20
6. Hasil analisis vegetasi pada tingkat pohon......................................... 21
7. Asosiasi raru (Cotylelobium melanoxylon) tingkat semai................... 22
8. Asosiasi raru (Cotylelobium melanoxylon) tingkat pancang............... 23
9. Asosiasi raru (Cotylelobium melanoxylon) tingkat tiang.................... 23
10. Asosiasi raru (Cotylelobium melanoxylon) tingkat pohon.................. 24
11. Tabulasi tingkat pendidikan responden.............................................. 28
Universitas Sumatera Utara
viii
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Desain kombinasi metoda jalur dan metoda garis berpetak............... 11
2. Peta administratif Kecamatan Tukka................................................. 16
3. Lokasi penelitian dan penyebaran tumbuhan raru............................. 29
4. Pemanenan Kulit Raru 30
5. Perbedaankulit pohon raru dahanon dan raru songal.......................... 31
6. Pemanfaatan raru oleh masyarakat..................................................... 33
7. Persentase masyarakat yang memanfaatkan raru................................ 34
8. Persepsi masyarakat terkait populasi raru di hutan alam
Bonalumban........................................................................................
36
Universitas Sumatera Utara
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki hutan tropis seluas 126,8 juta hektar dan terluas ketiga
di dunia setelah Brazil dan Kongo, yang sangat kaya dengan keanekaragaman
hayati, dan dapat diperkirakan mempunyai lebih dari 25.000 jenis flora
(Statistik MenLHK, 2014). Kekayaan jenis flora yang melimpah tersebut belum
semuanya dimanfaatkan, terlebih lagi terdapat jenis-jenis yang belum dikenal
secara luas oleh masyarakat (lesser known species), salah satunya adalah
tumbuhan raru (Cotylelobium melanoxylon). Tumbuhan yang diberi nama raru ini
telah dikategorikan masuk daftar merah (red list) sebagai tumbuhan yang
terancam punah (endangered) yang ditetapkan oleh International Union for
Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 1998 (Ashton, 1998).
Bagi sebagian besar masyarakat batak, beberapa bagian raru dimanfaatkan
untuk keperluan obat tradisional. Seperti bagian kulit batang dan daun tumbuhan
digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti diare, malaria, dan
diabetes (Soerianegara & Lemmens, 1994). Hasil penelitian Matsuda dkk., (2009)
juga menemukan kulit batang raru mengandung senyawa yang terdiri dari
ampelopsin F, isoampelopsin F, ε-viniferin, vaticanol A, E, G, dan lyoniresinol
yang berguna sebagai obat anti diabetes. Bagi masyarakat Sumatera Utara,
keberadaan raru juga terkait dengan produksi tuak. Menurut Heyne (1989) kulit
raru digunakan sebagai campuran dalam minuman tuak yang berfungsi untuk
mengurangi busa tuak dan meningkatkan citarasa serta kadar alkohol.
Universitas Sumatera Utara
2
Sebagai jenis potensial keberadaan raru dialam mengalami tekanan yang
cukup berat. Pemanenan kulit kayu dengan cara debarking dan pengambilan kayu
secara ilegal tanpa diikuti kemampuan regenerasi menyebabkan potensi jenis ini
mengalami penurunan drastis. Konversi lahan untuk sawit dan perkebunan juga
menyebabkan populasinya diambang kepunahan. Masih terbatasnya data
mengenai potensi raru di Sumatera Utara, termasuk didaerah sebaran raru di
Tapanuli Tengah. Menunjukkan pentingnya penelitian mengenai distribusi
kuantitatif raru dalam rangka konservasi dan menghindarkan jenis dari
kepunahan.
Peranan masyarakat dalam mempertahankan keberadaan suatu jenis juga
sangat penting, salah satu upaya masyarakat yang dapat dilakukan adalah melalui
kearifan lokal. Seperti yang terdapat pada penelitian Sufia dkk., (2016)
menyatakan kearifan lokal berperan dalam melestarikan lingkungan hidup.
Tujuan Penelitan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan informasi mengenai penyebaran raru yang ada di Kelurahan
Bonalumban, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
2. Mendapatkan informasi mengenai jenis-jenis raru dan pemanfaatannya di
Hutan Alam Bonalumban.
Universitas Sumatera Utara
3
Manfaat Penelitian
Bagi penelitian kehutanan, diharapkan pengkajian data tersebut dapat
menjadi referensi atau rujukan terbaru terhadap potensi raru. Dibidang konservasi,
pengkajian data tersebut menjadi referensi bagi pihak terkait dalam upaya
kegiatan pengembangan dan pembudidayaan maupun upaya penyelamatan raru.
Bagi masyarakat pengkajian mengenai raru yang diperoleh dapat menambah
pengetahuan masyarakat mengenai penyebaran dan manfaat raru.
Universitas Sumatera Utara
4
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Raru (Cotylelobium melanoxylon)
Raru memiliki habitus berupa pohon dengan tinggi yang dapat mencapai
25 m dengan tinggi batang bebas cabang 15 m sedangkan diameter berkisar 30-50
cm. Pohon memiliki banir dengan percabangan yang jarang. Daun berbentuk oval
berkelompok pada bagian ranting. Kulit pohonnya beralur pendek yang berwarna
putih kehijauan. Tebal kulit berkisar 0,6-1 cm. kulit mudah dipisahkan dari bagian
batang. Warna kayu kuning kecoklatan. Antara kayu gubal dan kayu teras tidak
terdapat perbedaan warna yang jelas. Tekstur kayu halus dengan arah serat yang
lurus dan indah (Pasaribu, 2009).
Menurut Silk (2009), taksonomi dari raru adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malvales
Famili : Dipterocarpaceae
Genus : Cotylelobium
Species : Cotylelobium melanoxylon
Tanaman ini tumbuh di daerah tropis kawasan maritim Asia berupa
tanaman liar. Tumbuh berkelompok atau tersebar dalam hutan tropis dengan tipe
curah hujan A dan B, pada ketinggian sampai 400 m dpl. Sebagian besar tumbuh
di lereng bukit dan pegunungan, tetapi juga dapat tumbuh di sepanjang sungai dan
Universitas Sumatera Utara
5
di lembah. Sebagian besar pada berbatu untuk tanah berpasir. Di hutan sekunder
biasanya hadir sebagai pohon sisa pra-gangguan (Silk, 2009).
Potensi Kegunaan dan Sebaran
Tanaman ini tumbuh di daerah tropis kawasan maritim Asia (Malaysia,
Brunei, Thailand, Indonesia) berupa tanaman liar. Di Indonesia tersebar di
Sumatera, Kalimatan, Maluku, Papua. Di bagian Sumatera terdapat berbagai
daerah seperti Tapanuli Tengah, Simalungun, dan Tapanuli Utara (Pasaribu dkk.,
2007).
Raru merupakan tanaman kayu hutan yang kayu batangnya selama ini
telah lama digunakan masyarakat Tapanuli sebagai bahan bangunan. Lama
kelamaan kulit kayu raru digunakan sebagai bahan tambahan ke dalam minuman
yang dikenal dengan nama tuak, dan belakangan ini air rebusan daunnya diyakini
dapat mengobati luka yaitu dengan cara mencuci luka, sementara kulit batangnya
diyakini sebagai obat antidiabetik. Sebagian masyarakat juga mengenal raru
sebagai obat diabetes (Hembing, 2005).
Banyaknya manfaat yang dihasilkan dari kulit dan batang raru membuat
masyarakat mengambil kulit dan batang raru. Hal ini menyebabkan semakin
berkurangnya spesies raru yang ada di Indonesia. IUCN (1998) telah memasukkan
jenis ini sebagai jenis yang terancam punah dengan status “endangered”.
Asosiasi
Assosiasi antara jenis-jenis penyusun vegetasi dapat dipakai sebagai dasar
dalam melakukan klasifikasi vegetasi. Kershaw (1964) menyatakan bahwa ada
dua macam assosiasi, yaitu asosiasi positif dan asosiasi negatif. Apabila asosiasi
jenis tersebut positif berarti kejadian bersama antara jenis yang berassosiasi lebih
Universitas Sumatera Utara
6
besar dari yang diharapkan, sebaliknya berassosiasi negatif bila kejadian bersama
antara jenis yang berasosiasi lebih kecil dari yang diharapkan. Cole (1949)
menyatakan bahwa dalam suatu masyarakat tumbuhan beberapa spesies sering
menunjukkan adanya asosiasi positif dan negatif. Apabila terjadi asosiasi positif,
spesies yang berasosiasi mempunyai respon yang sama terhadap perbedaan
lingkungan dalam komunitas, dan apabila terjadi assosiasi negatif berarti spesies
yang berasosiasi mempunyai respon yang tidak sama terhadap adanya perubahan
lingkungan dalam komunitas.
Faktor-faktor yang menentukan kuat lemahnya suatu asosiasi adalah
jumlah jenis vegetasi yang ada, keadaan tempat dimana tumbuh-tumbuhan itu
berada, dan banyaknya kejadian bersama antara jenis-jenis yang berasosiasi,
sedang ukuran yang digunakan untuk menentukan kuat lemahnya suatu asosiasi
adalah koeffisien asosiasi (Cole, 1949) yang mempuyai nilai antara 0 sampai 1.
Apabila nilai koefisien sama dengan 1 berarti terjadi assosiasi maksimum dan
sebaliknya apabila nilai koefisien assosiasi sama dengan 0 maka terjadi asosiasi
minimum.
Analisis Vegetasi
Pengertian umum vegetasi adalah kumpulan beberapa tumbuhan, biasanya
terdiri dari beberapa jenis dan hidup bersama pada suatu tempat. Diantara
individu-individu tersebut terdapat interaksi yang erat antara tumbuh-tumbuhan
itu sendiri maupun dengan binatang-binatang yang hidup dalam vegetasi itu dan
fakto-faktor lingkungan (Marsono, 1977).
Masyarakat tumbuh-tumbuhan atau vegetasi merupakan suatu sistem yang
hidup dan tumbuh atau merupakan suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
7
tumbuh-tumbuhan terbentuk melalui beberapa tahap invasi tumbuh-tumbuhan,
yaitu adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat
tumbuh dan stabilitasi (Soerianegara, 1972). Untuk menuju ke suatu vegetasi yang
mantap diperlukan waktu sehingga dengan berjalannya waktu vegetasi akan
menuju ke keadaan yang stabil. Proses ini merupakan proses biologi yang dikenal
dengan istilah suksesi (Odum, 1972).
Menurut Marsono (1977) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
komposisi dan struktur vegetasi yaitu flora, habitat (iklim, tanah, dan lain-lain),
waktu dan kesempatan sehingga vegetasi di suatu tempat merupakan hasil
resultante dari banyak faktor baik sekarang maupun yang lampau. Sebaliknya
vegetasi dapat dipakai sebagai indikator suatu habitat baik pada saat sekarang
maupun sejarahnya. Pada penyebaran tumbuh-tumbuhan di dunia, faktor
lingkungan memegang peranan sangat penting. Tumbuh-tumbuhan yang hidup
pada suatu tempat akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik secara
morfologis maupun fisiologis. Menurut Samingan (1971) diantara faktor-faktor
yang berpengaruh, iklim merupakan yang terbesar pengaruhnya dalam
menentukan sifat / tipe hutan. Oleh karena itu dikenal adanya hubungan antar
bentuk morfologis tumbuhan dengan faktor lingkungan. Dengan demikian
wajarlah bahwa tiap daerah iklim dijumpai formasi khas untuk daerah iklim yang
bersangkutan yang disebut formasi klimak iklim. Disamping itu pada keadaan
tempat tumbuh yang khusus dijumpai formasi-formasi yang menyimpang dari
formasi klimak iklim (Soerianegara, 1972). Diantara formasi klimak iklim di
dunia dikenal adanya tipe vegetasi hutan tropis dataran rendah.
Universitas Sumatera Utara
8
Pengenalan terhadap vegetasi tertentu biasanya digunakan istilah-istilah
umum misalnya padang rumput, savana, hutan jati dan sebagainya. Pada saat
sekarang cara ini dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu ditambah cara
deskripsi yang lebih memadai. Kebutuhan untuk melukiskan suatu vegetasi
tergantung pada vegetasi yang bersangkutan, baik untuk maksud ilmiah maupun
keperluan praktis. Oleh karena vegetasi dapat bertindak sebagai indikator habitat,
maka dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan “Land use planning“. Jika
vegetasi ini dipetakan maka kesatuan-kesatuan vegetasi diperlukan di dalam
mengadakan diskripsi (Marsono, 1977).
Menurut Dauserau (1958) dalam Marsono (1977) deskripsi terhadap suatu
tipe vegetasi ini dapat didekati dengan berbagai cara, tergantung tujuan yang
hendak dicapai. Diantaranya deskripsi yang berdasarkan fisiognomi vegetasi,
yaitu deskripsi yang didasarkan atas kenampakan luar suatu vegetasi atau aspek-
aspek suatu komunitas tumbuh-tumbuhan. Sedangkan cara lain yang dapat
dikembangkan adalah deskripsi berdasarkan komposisi floristik vegetasi yaitu
dengan membuat daftar jenis suatu komunitas, cara ini disebut analisis vegetasi.
Untuk cara ini selain diperlukan pengetahuan taksonomi juga dipelajari tentang
dominansi dan penyebaran. Menurut Soerianegara (1972) pada dasarnya analisis
vegetasi adalah cara untuk mempelajari bagaimana susunan dan bentuk (struktur)
vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan.
Persepsi Masyarakat
Yenisyika (2003) menyatakan ketergantungan masyarakat terhadap hutan
pada tingkat nilai pemanfaatan hasil hutan masih sangat kecil jika dibandingkan
dengan nilai yang diperoleh masyarakat secara keseluruhan yang bukan berasal
Universitas Sumatera Utara
9
dari nilai pemanfaatan hasil hutan. Dalam hal ini pemanfaatan hasil hutan bukan
merupakan pekerjaan utama masyarakat tetapi merupakan pekerjaan sampingan.
Soekmadi (1987) menyatakan bahwa tingginya tingkat interaksi
masyarakat sekitar hutan terhadap hutan disebabkan karena tingkat pendapatan
masyarakat yang rendah, rendahnya tingkat pendidikan, pemilikan lahan yang
sempit, dan pesatnya laju pertumbuhan penduduk. Menurut Suhendang (2002)
Manfaat hutan dalam kelompok fungsi sosial budaya adalah barang dan jasa yang
dapat dihasilkan oleh hutan yang dapat memenuhi kepentingan umum, terutama
bagi masyarakat di sekitar hutan untuk berbagai kepentingan dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Termasuk ke dalam kelompok ini, misalnya penyediaan
lapangan pekerjaan, penyediaan lahan untuk bercocok tanam, penyediaan kayu
bakar, serta berbagai fungsi yang diperlukan dalam rangka penelitian, serta untuk
kegiatan budaya dan keragamaan.
Universitas Sumatera Utara
10
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 (empat) bulan mulai bulan Juli
sampai Oktober 2017. Di kawasan Hutan Alam Kelurahan Bonalumban, Tapanuli
Tengah, Sumatera Utara.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah meteran, GPS, kamera
digital, pita ukur, parang, tali rafia, pisau, gunting, kertas koran, kertas label,
sarung tangan, kompas, dan alat tulis. Adapun Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tally sheet, kantung plastik/stoples, kantung plastik
besar/keranjang, dan buku pengenalan raru (Cotilelobium melanoxylon) .
Metode Pengambilan Data
Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data vegetasi tumbuhan raru
di Hutan Bonalumban, Tapanuli Tengah adalah dengan teknik observasi. Teknik
observasi dilakukan dengan survei langsung ke lapangan dengan melihat langsung
ketersediaan raru dikawasan hutan dengan bantuan masyarakat yang ahli dan studi
pustaka dengan menggunakan buku identifikasi raru. Menurut Champbell (2004)
salah satu metode dalam analisis vegetasi tumbuhan yaitu dengan menggunakan
jalur transek. Untuk mempelajari suatu kelompok hutan yang belum diketahui
keadaan sebelumnya paling baik dilakukan dengan transek.
Data yang dikumpulkan di lapangan yaitu data primer seperti titik
koordinat, jumlah dan jenis raru, bagian yang dimanfaatkan, khasiat dan cara
Universitas Sumatera Utara
11
pemanfaatan yang dilakukan masyarakat sekitar hutan dan data sekunder seperti
data tentang keadaan umum daerah penelitian, data kuisioner masyarakat sekitar
Desa Bonalumban., dan data yang diperoleh dari sumber yang dapat dipercaya
seperti instansi terkait, baik lembaga pemerintahan maupun swasta dan lembaga
kemasyarakatan serta penelitian- penelitian yang mendukung.
Analisis Vegetasi Raru
Penelitian ini menggunakan metode survey. Penentuan plot dilakukan
secara sengaja (purposive sampling) dengan ukuran 20 x 20 m untuk tingkat
pohon, 10 x 10 m untuk tingkat tiang, 5 x 5 m untuk tingkat pancang, dan 2 x 2 m
untuk tingkat semai.
20 m
10 m
20 m
5 m
2m 10 m
2m 5m
Arah Rintis
Gambar 1. Desain kombinasi metoda jalur dan metoda garis berpetak
Universitas Sumatera Utara
12
Kriteria untuk menentukan tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai
digunakan kriteria secara umum Wyatt dan Smith, (1968) dalam Lamanimpa,
(2007). yaitu:
1. Pohon (Tree), yaitu pohon dewasa yang berdiameter > 20cm.
2. Tiang (Pole), yaitu berdiameter 10-20cm.
3. Pancang (Sapling), yaitu permudaan yang tinggi > 1,5m dengan
berdiameter sampai 10 cm.
4. Tumbuhan bawah atau semai (Seedling), yaitu permudaan pohon
berkecambah sampai setinggi 1,5 cm.
Data primer yang dikumpulkan pada setiap plot pengamatan ialah meliputi
semua jenis vegetasi, jenis-jenis raru, nama lokal, nama ilmiah, serta diameter
batang serta melakukan identifikasi spesimen di Herbarium Medanense
(MEDA) Lab Biologi Universitas Sumatera Utara. Data penunjang dalam
penelitian ini yang diperoleh dari kantor/instansi terkait yang meliputi letak, luas
wilayah, topografi, tanah, iklim, jumlah penduduk, agama, dan mata pencaharian
serta mengambil dari beberapa literatur-literatur penunjang dan laporan-laporan
yang berhubungan dengan penelitian ini.
Analisis Data
Data vegetasi dianalisis dengan menggunakan rumus (Soerianegara dan
Irawan, 1982).
a. Kerapatan suatu jenis (K) (ind/ha)
K = Σ individu suatu jenis
Luas petak contoh
Universitas Sumatera Utara
13
b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR) (%)
KR
=
K suatu jenis × 100%
K seluruh jenis
c. Frekuensi suatu jenis (F)
F = Σ Sub-petak ditemukannya suatu jenis
Σ Seluruh sub-petak contoh
d. Frekuensi relatif suatu jenis (FR) (%)
FR = F suatu jenis
× 100% F seluruh jenis
e. Dominansi suatu jenis (D) (m2/ha). D hanya dihitung untuk tingkat pohon.
D = Luas bidang dasar suatu jenis
Luas petak contoh
Luas bidang dasar (LBD) suatu pohon yang digunakan dalam menghitung
dominansi jenis didapatkan dengan rumus:
LBD = π * R
2 =
1 π *D
2
Σ Seluruh sub – petak contoh 4
dimana R adalah jari-jari lingkaran dari diameter batang; D adalah DBH. LBD
yang didapatkan kemudian dikonversi menjadi m2
f. Dominansi relatif suatu jenis (DR) (%)
DR = F suatu jenis
× 100% F seluruh jenis
g. Indeks Nilai Penting (INP) (%)
Untuk tingkat pohon adalah INP = KR + FR + DR
Untuk tingkat semai, pancang dan tumbuhan bawah adalah INP = KR + FR
Universitas Sumatera Utara
14
Studi Asosiasi
Studi asosiasi dilakukan untuk melihat apakah ada keterkaitan tumbuhan
raru dengan vegetasi tertentu di habitatnya. Pendekatan yang dilakukan adalah
dengan menggunakan indeks Ochiai. Untuk mengetahui tingkat asosiasi raru
dengan tumbuhan lainnya menggunakan indeks Ochiai, Indeks Dice dan Indeks
Jackard (Ludwig and Reynolds, 1988)
a. Indeks Ochiai (Oi)
(√ ) √
b. Indeks Dice (Di)
c. Indeks Jackard (Ji)
J
Keterangan :
a = Jumlah petak ditemukannya kedua jenis yang diasosiasikan (A dan B)
b = Jumlah petak ditemukannya jenis A tetapi tidak jenis B
c = Jumlah petak ditemukannya jenis B tetapi tidak jenis A
Nilai asosiasi terjadi pada selang 0 sampai 1. Hubungan kedekatan asosiasi
dapat diketahui dari selang indeks asosiasi dalam Tabel 2. Semakin mendekati
angka 1 berarti hubungan asosiasi akan semakin kuat.
Tabel. 1 Indeks Asosiasi pada Vegetasi
No Indeks Asosiasi
(Association Index)
Keterangan
1 1,00 - 0,75 Sangat Tinggi (ST)
2 0,74 - 0,49 Tinggi (T)
3 0,48 – 0,23 Rendah (R)
4 ≤ 0,23 Sangat Rendah (SR)
Universitas Sumatera Utara
15
Penentuan Responden
Responden dibagi menjadi 2 bagian yaitu responden umum dan responden kunci.
a. Responden umum pada penelitian ini adalah masyarakat di sekitar hutan alam
Kelurahan Bonalumban, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah,
Sumatera Utara, yang mengetahui tentang pohon raru dan memanfaatkan
secara langsung.
b. Responden kunci adalah kepala desa, kepala suku, toko agama dan tokoh
masyarakat lainnya. Penentuan responden kunci dilakukan dengan
menggunakan metode purposive sampling yang disesuaikan dengan tujuan
penelitian (Usman dan Purnomo, 2008) melalui wawancara dan kuisioner
secara langsung kepada masyarakat.
Jumlah responden yang dijadikan sampel adalah sebagai berikut :
1. Apabila jumlah penduduk < 100 kepala keluarga, maka di ambil seluruh
responden.
2. Apabila jumlah responden > 100 kepala keluarga, maka diambil 10% - 15%
dari jumlah kepala keluarga (Arikunto, 2006).
Gambaran Umum Lokasi dan Data Administrasi Penelitian
Kecamatan Tukka berada di Pantai Barat Sumatera dengan ketinggian
antara 0-800 m di atas permukaan laut. Terletak pada koordinat 01° 33’ LU dan
99° 08’ BT. Luas wilayah Kecamatan Tukka adalah 148,92 km2 dengan batas
wilayah sebelah utara yaitu Kecamatan Pandan, sebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Badiri, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pandan, dan
sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara. Bonalumban adalah
satu dari sembilan kelurahan yang terdapat di Kecamatan Tukka, dengan luas 6,80
Universitas Sumatera Utara
16
km2
. Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki rata-rata suhu udara sedang yaitu
26,580 C, dengan suhu udara maksimum adalah 32,16
0 C dan suhu udara
minimum adalah 22,100 C. Kelembaban rata-rata 82,58% dan curah hujan rata-
rata 15,67 mm pada tahun 2016 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli
Tengah, 2017). Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap (Undang Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Kawasan hutan
dengan fungsi sosial, ekonomi dan ekologi yang dimilikinya tidak terbatas pada
batas-batas administratif semata, namun kawasan hutan dengan fungsi ekologinya
hanya dapat dibatasi oleh batas-batas ekologis sehingga kawasan satu ekosistem
hutan terkadang terpapar luas melintasi batas-batas kabupaten, bahkan provinsi.
Hutan di Kecamatan Tukka dibagi menjadi dua kawasan, yaitu APL (Areal
Penggunaan Lain) dan HL (Hutan Lindung) dengan luasan masing-masing
5783,717658 km2 dan 6921,995595 km
2 .
Lokasi Penelitian tentang tumbuhan raru
Gambar 2. Peta Administratif Kecamatan Tukka
Sumber: SK 579 Menhut II Tahun 2014
Universitas Sumatera Utara
17
Data kelerengan tanah lokasi penelitian yang ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Kelerengan Tanah Desa Bonalumban Kecamatan Tukka Kelompok
tanah Jenis tanah Bahan induk Lereng
Keteranga
n
Aluvial Aluvial coklat Endapan liat dan pasir 15 % - 25 % Agak curam
Aluvial Aluvial coklat Endapan liat dan pasir 25 % - 40 % Curam
Aluvial Aluvial coklat kelabuan Endapan pasir dan liat 15 % - 25 % Agak curam
Aluvial Aluvial coklat kelabuan Endapan pasir dan liat 25 % - 40 % Curam
Aluvial Aluvial coklat kelabuan Endapan pasir dan liat 0 % - 8 % Datar
Aluvial Aluvial hidromart (daerah
kering) Endapan liat (marin) 25 % - 40 % Curam
Sumber: BPKH Wilayah I Medan
Universitas Sumatera Utara
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi dan Distribusi Raru di Hutan Bonalumban
Indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan pada suatu komunitas merupakan
salah satu parameter yang menunjukkan peranan jenis tumbuhan tersebut dalam
komunitasnya. Kehadiran suatu jenis tumbuhan pada suatu daerah menunjukkan
kemampuan adaptasi dengan habitat dan toleransi yang lebar terhadap kondisi
lingkungan. Semakin besar nilai INP suatu spesies semakin besar tingkat
penguasaan terhadap komunitas dan sebaliknya (Soegianto, 1994). Penguasaan
spesies tertentu dalam suatu komunitas apabila spesies yang bersangkutan berhasil
menempatkan sebagian besar sumberdaya yang ada dibandingkan dengan spesies
yang lainnya (Saharjo dan Cornelio, 2011).
Pada tingkat semai, ditemukan 14 jenis pada lokasi penelitian. Lima
spesies dengan INP tertinggi (Tabel 3) berturut-turut adalah Ficus consociata BI
(30.296), Gluta renghas (29,259), Madhuca curtisii (King & Gamble) Ridl
(27,333), Cotylelobium melanoxylon (26,370) dan Shorea leprosula (18,370).
Adapun jenis dengan nilai INP terendah adalah Durio zibethinus dan Knema
glomerata dengan nilai INP sebesar 2,741. Pada tingkatan ini, raru menduduki
peringkat keempat jenis dengan INP tertinggi.
Tabel 3. Hasil analisis vegetasi pada tingkat semai
No Nama Jenis KR FR INP
1. Ficus consociata BI. 16,296 14 30,296
2. Gluta renghas 19,259 10 29,259
3. Madhuca curtisii (King & Gamble) Ridl 13,333 14 27,333
4. Cotylelobium melanoxylon 10,37 16 26,370
5. Shorea leprosula 10,37 8 18,370
6. Memecylon gurcinioides BI. 5,926 6 11,926
7. Syzygium acuminassimum (BI.) DC 5,926 6 11,926
Universitas Sumatera Utara
19
Tabel 3. (Lanjutan)
No Nama Jenis KR FR INP
8. Koompossia malaccensis 2,963 6 8,963
9. Phoebe hunanensis 4,444 4 8,444
10. Koompassia excelsa (Becc.) Taub. 3,704 4 7,704
11. Eurycoma longifolia 3,704 4 7,704
12. Santalum album 2,222 4 6,222
13. Durio zibethinus 0,741 2 2,741
14. Knema glomerata (Blanco) Merr. 0,741 2 2,741
Total 100 100 200
Pada tingkat pancang, ditemukan 18 jenis di lokasi penelitian (Tabel 4).
Lima jenis dengan nilai INP tertinggi berturut-turut adalah, Shorea leprosula
(31,804), Madhuca curtisii (25,149), Cotylelobium melanoxylon (22,092),
Calophyllum soulauri (19,577) dan Gluta renghas (18,914). Adapun jenis dengan
nilai INP terendah adalah Dryobalanops aromatica (2,078). Pada tingkat pancang,
raru menduduki menduduki peringkat ketiga jenis dengan INP tertinggi.
Tabel 4. Hasil analisis vegetasi pada tingkat pancang
No Nama jenis KR FR INP
1. Shorea leprosula 20,961 10,843 31,804
2. Madhuca curtisii (King & Gamble) Ridl 13,100 12,048 25,149
3. Cotylelobium melanoxylon 10,043 12,048 22,092
4. Calophyllum soulauri 8,734 10,843 19,577
5. Gluta renghas 10,480 8,434 18,914
6. Ficus consociata BI. 4,803 7,229 12,032
7. Koompossia malaccensis 7,860 3,614 11,475
8. Memecylon consociata BI. 3,930 7,229 11,159
10. Koompassia excelsa (Becc.) Taub. 3,493 4,819 8,313
11. Eurycoma longifolia 3,057 4,819 7,876
12. Syzigium acuminatissimum (BI.) DC 3,930 3,614 7,545
13. Knema glomerata (Blanco) Merr. 2,620 3,614 6,235
14. Cotylelobium lanceolatum 1,747 2,410 4,156
15. Jackia ornate Wall 1,747 2,410 4,156
16. Cantleya corniculata Howard 1,310 2,410 3,720
17. Phoebe hunanensis 1,310 2,410 3,720
18. Dryobalanops aromatica 0,873 1,205 2,078
Total 100 100 200
Universitas Sumatera Utara
20
Pada tingkat tiang, ditemukan 20 jenis (Tabel 5). Lima jenis dengan nilai
INP terbesar berturut-turut adalah Cotylelobium melanoxylon (43,575), Gluta
renghas (26,590), Shorea leprosula (24,093), Calophylum soulauri (24,093) dan
Ficus consociata BI (19,511). Pada tingkat tiang, raru menduduki peringkat
pertama untuk perolehan nilai INP.
Tabel 5. Hasil analisis vegetasi pada tingkat Tiang No Nama Jenis FR KR DR INP
1. Cotylelobium melanoxylon 15,524 14,286 14,035 43,575
2. Gluta renghas 9,322 7,619 9,649 26,590
3. Shorea leprosula 7,627 8,571 7,895 24,093
4. Calophylum soulauri 7,627 8,571 7,895 24,093
5. Ficus consociata BI. 6,780 5,714 7,018 19,511
6. Memecylon garcinioides BI. 5,932 6,667 6,140 18,739
7. Cantleya corniculata Howard 5,932 6,667 6,140 18,739
8. Phoebe hunanensis 5,085 5,714 5,263 16,062
9. Eurycoma longifolia 5,085 5,714 4,386 15,185
10. Syzygium acuminatissimum (BI.) DC. 5,085 4,762 5,263 15,110
11. Dryobalanops aromatica 5,085 3,810 5,263 14,157
12. Madhuca curtisi (King & Gamble) Ridl. 4,237 4,762 4,386 13,385
13. Santalum album 4,237 4,762 3,509 12,508
14. Koompassia excelsa (Becc.) Taub. 3,390 2,857 3,509 9,756
15. Cotylelobium lanceolatum 2,542 2,857 2,632 8,031
16. Jackia ornate wall 1,695 1,905 1,754 5,354
17. Madhuca cuneata 1,695 1,905 1,754 5,354
18. Artocarpus elasticus 1,695 0,952 1,754 4,402
19. Durio zibethinus 0,847 0,952 0,877 2,677
20. Knema glomerata (Blanco) Merr. 0,847 0,952 0,877 2,677
Total 100 100 100 300
Pada tingkat pohon, ditemukan 18 jenis pohon dilokasi penelitian (Tabel 6).
Lima jenis dengan INP tertinggi berturut turut adalah Shorea leprosula (51,762),
Cotylelobium melanoxylon (42,419), Dryobalanops aromatica (34,925), Madhuca
curtisi (24,679), Artocarpus elasticus (20,325). Pada tingkatan pohon, raru
menduduki peringkat kedua, jenis dengan nilai INP tertinggi. Agak berbeda
dengan fase pertumbuhan pada tingkat tiang. Keanekaragaman jenis pada tingkat
Universitas Sumatera Utara
21
tumbuhan pohon pada penelitian lebih tinggi dibandingkan pada tingkatan semai,
namun lebih rendah dibandingkan tingkatan tiang.
Tabel 6. Hasil analisis vegetasi pada tingkat pohon No Nama Jenis FR KR DR INP
1. Shorea leprosula 16,901 22,581 12,280 51,762
2. Cotylelobium melanoxylon 15,493 13,441 13,485 42,419
3. Dryobalanops aromatica 13,380 12,366 9,179 34,925
4. Madhuca curtisi (King & Gamble ) Ridl 9,155 10,215 5,309 24,679
5. Artocarpus elasticus 5,634 2,151 12,540 20,325
6. Phoebe hunanensis 5,634 5,376 6,612 17,622
7. Koompasia excelsa (Becc.) Taub 6,338 4,839 6,373 17,550
8. Ficus consociata BI 5,634 5,376 6,510 17,520
9. Memecylon consociata BI 4,930 4,839 6,856 16,624
10. Gluta renghas 3,521 8,065 1,670 13,256
11. Cotylelobium lanceolatum 3,521 2,688 6,151 12,360
12. Syzigium acuminatissimum (BI.) DC 3,521 3,226 4,347 11,094
14. Cantleya corniculata howard 2,113 1,613 4,116 7,842
15. Calophyllum soulari 1,408 1,075 4,271 6,755
16. Jackia ornate wall 1,408 1,075 0,161 2,645
17. Vatica pauciflora Blume 0,704 0,538 0,077 1,319
18. Koompassia malaccensis 0,704 0,538 0,063 1,305
Total 100 100 100 300
Berdasarkan dari hasil analisis vegetasi, raru dahanon
(Cotylelobium melanoxylon), menduduki 5 jenis dengan nilai INP tertinggi pada
tingkat semai, pancang, tiang maupun pohon. Hal ini menunjukkan bahwa raru
merupakan jenis yang dominan di hutan alam Bonalumban dan cukup potensial
untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Namun, apabila pemanfaatan raru terus
dilakukan tanpa diiringi usaha untuk melakukan regenerasi, maka dikhawatirkan
akan menyebabkan kepunahan bagi spesies raru tersebut. Hal tersebut dapat
terlihat dengan fluktuasi ranking INP pada tingkatan pertumbuhan yang berbeda.
Pada tingkat semai raru menduduki peringkat keempat, lebih rendah
dibandingkan pada fase pancang, tiang dan pohon. Fluktuasi tersebut
menunjukkan adanya potensi permasalahan regenerasi alaminya. Rendahnya
Universitas Sumatera Utara
22
jumlah semai disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Ashton (1998) dan
Togatorop (2014) menurunnya populasi raru serta rendahnya jumlah semai yang
terdapat di habitat alaminya disebabkan oleh pemanenan yang berlebihan,
pengelolaan yang tidak benar, metode eksploitasi yang tidak berkelanjutan serta
pengerusakan habitat. Rendahnya kemampuan regenerasi alami raru juga turut
membawa jenis ini diambang kepunahan. menurunnya populasi raru serta
rendahnya populasi raru pada tingkat semai juga terjadi di hutan alam provinsi
Riau.
Asosiasi Raru dengan Jenis Lain di Hutan Alam Bonalumban
Raru dahanon merupakan salah satu jenis raru yang paling diminati
masyarakat Bonalumban yang memanfaatkan bagian kulit dan batang pohonnya.
Kulit raru dahanon yang berwarna putih bersih berfungsi untuk mengurangi rasa
pahit pada minuman tuak sehingga memiliki citarasa yang lebih nikmat.
Sedangkan untuk raru songal pemanfaatan kulitnya sama sekali tidak dilakukan,
melainkan pemanfaatan dari batang pohonnya. Batang pohon raru digunakan
sebagai bahan kontruksi bangunan. Tidak hanya itu, masyarakat juga
memanfaatkan batang pohon raru songal sebagai bahan untuk membuat bak truk
dan kandang hewan ternak seperti sapi dan kambing dikarenakan batang pohon
raru songal merupakan kayu yang memilki kelas kuat dan kelas awet yang bagus.
Hubungan asosiasi kedua jenis tumbuhan akan semakin kuat apabila
mendekati dan sama dengan angka 1. Sebaliknya semakin lemah hubungan
asosiasi kedua jenis apabila mendekati angka 0. Dari hasil yang diperoleh, kedua
jenis raru yaitu raru dahanon dan raru songal memiliki asosiasi yang berbeda-beda
Universitas Sumatera Utara
23
pada setiap tingkatan dan jenis. Asosiasi raru (Cotylelobium melanoxylon) pada
tingkat semai disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Asosiasi raru (Cotylelobium melanoxylon) tingkat semai
No Nama lokal Oi Di Ji
1 Gluta renghas 1 0,50 1
2 Memecylon gurcinioides BI 0,77 0,37 0,6
3 Phoebe hunanensis 0,70 0,33 0,5
4 Ficus consociata BI 0,70 0,33 0,5
5 Madhuca curtisi (King & Gamble ) Ridl 0,70 0,33 0,5
6 Calophyllum soulari 0,70 0,33 0,5
7 Cantleya corniculata Howard 0,70 0,33 0,5
8 Syzigium acuminatissimum (BI.) DC 0,70 0,33 0,5
9 Jackia ornate wall 0,63 0,25 0,4
10 Eurycoma longifolia 0,54 0,23 0,3
11 Koompasia excelsa (Becc.) Taub 0,54 0,23 0,3
12 Santalum album 0,44 0,16 0,2
13 Knema glomerata (Blanco) Merr. 0,44 0,16 0,2
14 Koompassia malacensis 0,31 0,09 0,1
15 Dryobalanobs aromatica 0,31 0,09 0,1
16 Shorea leprosula 0,31 0,09 0,1
17 Artocarpus elascitus 0,31 0,09 0,1
18 Vatica pauciflora Blume 0,31 0,09 0,1
Berdasarkan pada Tabel 7, dapat diketahui bahwa jenis yang berasosiasi
dengan tumbuhan raru dahanon pada tingkat semai yaitu sebanyak 18 jenis.
Diantara 18 jenis tersebut, jenis yang paling tinggi berasosiasi dengan tumbuhan
Cotylelobium melanoxylon yaitu jenis tumbuhan rengas Gluta renghas dengan
nilai Ochiai=1 Dice=0,5 dan Jaccard=1 pada jenis dan jenis Memecylon
gurcinioides BI dengan nilai Ochiai=0,77 Dice=0,37 dan Jaccard=0,6.
Tabel 8. Asosiasi raru (Cotylelobium melanoxylon) Tingkat Pancang
No Nama Jenis Oi Di Ji
1 Calophyllum soulari 0,77 0,37 0,6
2 Gluta renghas 0,70 0,33 0,5
3 Shorea leprosula 0,63 0,25 0,4
4 Memecylon gurcinioides BI 0,63 0,25 0,4
5 Syzigium acuminatissimum (BI.) DC 0,54 0,23 0,3
6 Madhuca curtisi (King & Gamble ) Ridl 0,54 0,23 0,3
7 Cantleya corniculata Howard 0,54 0,23 0,3
Universitas Sumatera Utara
24
8 Koompasia excelsa (Becc.) Taub 0,54 0,23 0,3
9 Phoebe hunanensis 0,54 0,23 0,3
10 Eurycoma longifolia 0,54 0,23 0,3
11 Cotylelobium lanceolatum 0,54 0,23 0,3
12 Jackia ornate wall 0,44 0,16 0,2
13 Ficus consociata BI 0,31 0,09 0,1
14 Knema glomerata (Blanco) Merr. 0,31 0,23 0,1
Pada Tabel 8, jenis tumbuhan yang paling tinggi berasosiasi dengan
Cotylelobium melanoxylon yaitu jenis Calophyllum soulari dengan niai Ochiai=0,77
Dice=0,37 dan Jaccard=0,6 serta jenis Gluta renghas dengan nilai Ochiai=0,70
Dice=0,33 dan Jaccard=0,5.
Tabel 9. Asosiasi raru (Cotylelobium melanoxylon) Tingkat Tiang
No Nama Jenis Oi Di Ji
1 Gluta renghas 0,94 0,47 0,9
2 Dryobalanobs aromatica 0,77 0,37 0,6
3 Eurycoma longifolia 0,77 0,37 0,6
4 Shorea leprosula 0,77 0,37 0,6
5 Ficus consociata BI 0,77 0,37 0,6
6 Calophyllum soulari 0,70 0,33 0,5
7 Syzigium acuminatissimum (BI.) DC 0,63 0,25 0,4
8 Phoebe hunanensis 0,63 0,25 0,4
9 Artocarpus elascitus 0,54 0,23 0,3
10 Cantleya corniculata Howard 0,54 0,23 0,3
11 Madhuca curtisi (King & Gamble ) Ridl 0,44 0,16 0,2
12 Memecylon gurcinioides BI 0,44 0,16 0,2
13 Koompasia excelsa (Becc.) Taub 0,44 0,16 0,2
14 Jackia ornate wall 0,44 0,16 0,2
15 Koompassia malacensis 0,31 0,09 0,1
Pada Tabel 9, dapat diketahui bahwa pada tingkat tiang berasosiasi dengan
Cotylelobium melanoxylon yaitu jenis Gluta renghas yang diketahui dari perolehan
nilai tertinggi yaitu Ochiai=0,94 Dice=0,23 dan Jaccard=0,9.
Tabel 10. Asosiasi Cotylelobium melanoxylon Tingkat Pohon
No Nama Jenis Oi Di Ji
1 Shorea leprosula 0,89 0,44 0,8
2 Gluta renghas 0,89 0,44 0,8
3 Dryobalanobs aromatica 0,83 0,41 0,7
4 Koompasia excelsa (Becc.) Taub 0,77 0,37 0,6
Universitas Sumatera Utara
25
5 Memecylon gurcinioides BI 0,63 0,25 0,4
6 Ficus consociata BI 0,63 0,25 0,4
7 Artocarpus elascitus 0,63 0,25 0,4
8 Cotylelobium lanceolatum 0,54 0,23 0,3
9 Phoebe hunanensis 0,44 0,16 0,2
10 Syzigium acuminatissimum (BI.) DC 0,44 0,16 0,2
11 Calophyllum soulari 0,44 0,16 0,2
12 Cantleya corniculata Howard 0,44 0,16 0,2
13 Koompassia malacensis 0,31 0,09 0,1
14 Madhuca curtisi (King & Gamble ) Ridl 0,31 0,09 0,1
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, Cotylelobium melanoxylon
berasosiasi kuat dengan tumbuhan rengas. Hal ini diketahui dari hasil pengamatan
di lapangan dan perhitungan yang telah dilakukan. Dimana raru yang ditemukan
selalu hidup berdampingan dengan tumbuhan rengas yang juga tumbuh dan
berkembang dekat dengan raru. Hasil perhitungan yang telah dilakukan juga
menunjukkan bahwa rengas memiliki nilai asosiasi tertinggi pada setiap tingkat
pertumbuhan raru dimana hasil yang diperoleh pada jenis rengas memiliki nilai 1
atau mendekati 1.
Tingginya tingkat asosiasi raru dengan rengas diduga karena memiliki
habitat dan tempat tumbuh yang sama. Sehingga raru dan rengas ditemukan selalu
hidup berdampingan karena mempunyai kesamaan kebutuhan hidup seperti
nutrisi, air, cahaya, hara dan faktor pendukung lainnya. Kedua jenis ini ditemukan
hidup dan berkembang pada daerah dekat dengan sungai. Tipe hidup yang
berkelompok juga diduga menjadi salah satu sebab raru dan rengas berasosiasi
sangat kuat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Heyne (1987) yang menyatakan
bahwa rengas dengan ciri tajuk hijau coklat yang biasanya jarang daunnya, dan
kulit batang yang licin (lancap), berwarna kelabu coklat kemerah-merahan dengan
bercak-bercak hitam legam dari getah yang telah mengering, tersebar diseluruh
Universitas Sumatera Utara
26
Nusantara, dengan ketinggian kurang dari 300 m diatas permukaan laut. Biasanya
tumbuh berkelompok (gezellig) terutama pada tumbuhan raru atau jenis
Cotylelobium dan tumbuh pada tanah yang lembab dan muara-muara sungai.
Rengas banyak ditemukan disepanjang sungai dan anak-anak sungai air tawar dan
menyukai tanah yang lembab dan sedikit tergenang air.
Selain berasosiasi dengan rengas, hasil pengamatan di lapangan serta
perhitungan yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa raru berasosiasi
dengan meranti merah. Hasil perhitungan asosiasi yaitu 0,8 pada jenis meranti
merah menunjukkan bahwa meranti merah dan raru memiliki hubungan yang
kuat. Meranti merah ditemukan hidup berdekatan dan menempel pada raru.
Asosiasi raru dengan meranti merah terjadi karena terdapat kesamaan tempat
tumbuh seperti halnya rengas. Habitat alami meranti merah yang tersebar di pulau
Sumatera dan hidup di tanah berpasir dan lembab serta tumbuh pada ketinggian
dibawah 700 mdpl (Newman, 1999) memiliki kesamaan dengan raru. Selain
faktor tempat tumbuh, tipe hidup meranti merah yang berkelompok juga
menyebabkan meranti merah berasosiasi dengan raru. Menurut penelitian Sari
dkk., (2013) meranti merah berasosiasi dengan berbagai jenis. Salah satu jenis
yang berasosiasi dengan meranti merah adalah rengas (Gluta spp.) dan rengas
berasosiasi kuat dengan raru. sehingga dapat diketahui bahwa rengas, meranti
merah dan raru hidup dalam kelompok yang sama pada suatu ekosistem seperti
halnya di Hutan Bonalumban.
Dari hasil asosiasi yang telah diperoleh, dapat diketahui bahwa keberadaan
tumbuhan yang berasosiasi dengan raru juga penting untuk dilestarikan mengingat
keberadaan tumbuhan yang berasosiasi seperti rengas dan meranti merah turut
Universitas Sumatera Utara
27
mempengaruhi pertumbuhan dan keberadaan raru di alam. Dari pengamatan yang
telah dilakukan di lapangan, tumbuhan rengas, meranti merah dan raru ditemukan
hidup secara menempel dan memberikan dampak positif bagi keduanya. Hal ini
dilihat dari pertumbuhan yang baik pada kedua jenis tersebut dalam posisi yang
saling menempel. Diduga, terjadi simbiosis mutualisme diantara keduanya
sehingga apabila salah satu jenis tersebut terganggu maka akan turut mengganggu
keberadaan jenis lainnya.
Secara keseluruhan, asosiasi yang terjadi antara raru dengan berbagai jenis
di hutan alam Bonalumban turut mempengaruhi keragaman jenis di ekosistem
hutan tersebut. Menurut Arsyad (2017), suatu komunitas tumbuhan yang terdiri
dari berbagai spesies memungkinkan terjadinya interaksi antar spesies pada
komunitas tersebut. Misalnya tumbuhan yang hidup bergantung dengan tumbuhan
lain untuk memperoleh nutrisi atau untuk naungan. Dari pernyataan tersebut dapat
diketahui bahwa keberadaan suatu jenis yang berasosiasi mempengaruhi
keberadaan jenis lainnya. Sehingga adanya asosiasi berpengaruh terhadap
keragaman jenis disuatu ekosistem. Apabila suatu jenis dalam asosiasi hilang,
maka dikhawatirkan akan menyebabkan suatu jenis dalam ekosistem tersebut
turut hilang. Sehingga akan menurunkan keragaman jenis di suatu ekosistem.
Pemanfaatan Raru Oleh Masyarakat
Pengetahuan masyarakat tentang tumbuhan raru di hutan Bonalumban
Kecamatan Tukka di perlukan untuk mendapatkan informasi mengenai
pentingnya manfaat maupun kelestarian raru bagi kehidupan masyarakat
Bonalumban. Selain itu, pengetahuan masyarakat juga dibutuhkan untuk menggali
informasi tentang potensi serta kelestarian raru di daerah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
28
Tabel 11. Tabulasi tingkat pendidikan responden
No Tingkat Pendidikan Jumlah Responden
(Orang) Persentase (%)
1 SD 6 7,5%
2 SMP 36 45%
3 SMA 29 36,25%
4 PERGURUAN
TINGGI 7 8,75%
5 TIDAK SEKOLAH 2 2,5%
TOTAL 80 100 %
Dalam penelitian ini, jumlah total responden yang diwawancari adalah
sebanyak 80 orang dengan cakupan usia 17 tahun keatas dan diambil secara acak
dan menyeluruh di kelurahan Bonalumban hal ini sesuai dengan pernyataan
Arikunto (2006) jumlah responden yang dijadikan sampel yaitu apabila jumlah
responden <100 kepala keluarga, maka diambil seluruh responden. Sedangkan
jumlah responden >100 kepala keluarga, maka diambil 10-15% dari jumlah
kepala keluarga. Berdasarkan Tabel 11, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan
responden yang paling banyak adalah SMP/Sederajat yaitu berjumlah 36 orang
dan responden yang memiliki pendidikan di perguruan tinggi sebanyak 7 orang.
Sedangkan responden yang tidak sekolah sebanyak 2 orang yang merupakan
penduduk asli Bonalumban, Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah.
Universitas Sumatera Utara
29
Peta Lokasi dan Penyebaran Tumbuhan Raru
Gambar 3. Lokasi penelitain dan penyebaran tumbuhan raru
Jenis-Jenis Raru
Dalam penelitian yang telah dilakukan di Kelurahan Bonalumban,
Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, diperoleh hasil
bahwa tumbuhan raru yaitu ditemukan sebanyak 2 jenis raru. Kedua jenis raru
tersebut adalah raru dahanon (Cotylelobium melanoxylon) dan raru songal
(Cotylelobium lanceolatum).
Raru dahanon merupakan raru yang sangat diminati oleh masyarakat
setempat. Hal ini dikarenakan raru dahanon memberikan citarasa yang nikmat
pada minuman tuak yang dicampurkan. Warna kulit raru dahanon yang putih
bersih seperti beras menjadikan masyarakat setempat menjuluki raru dahanon
sebagai raru beras. Bahkan, kata “dahanon” berasal dari bahasa batak yang berarti
beras. Selain memberikan citarasa yang nikmat pada minuman tuak, raru dahanon
juga memberikan warna yang menarik pada minuman tuak tersebut sehingga
menjadikan minuman tuak yang dicampur dengan raru dahanon memiliki
Universitas Sumatera Utara
30
penampilan yang menarik. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan
masyarakat, raru dahanon juga berfungsi untuk mengurangi rasa pahit pada
minuman tuak sehingga memiliki citarasa yang lebih nikmat.
Sebelum digunakan sebagai campuran minuman tuak, biasanya
masyarakat menjemur kulit raru dibawah sinar matahari selama kurang lebih 2
hari. Hal ini dilakukan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan cita rasa pada
tuak yang akan dicampur dengan raru tersebut. Cara yang dilakukan masyarakat
untuk memanen kulit raru adalah dengan mengupas kulit pohon raru dengan
bantuan benda tajam seperti parang. Pemanenan kulit raru dahanon disajikan pada
gambar 4.
Gambar 4. Pemanenan kulit raru.
Berbeda dengan raru dahanon, raru songal memiliki morfologi yang sangat
berbeda. Perbedaan yang sangat menonjol dapat dilihat dari kenampakan batang
Universitas Sumatera Utara
31
dan bentuk kulit raru tersebut. Raru songal memiliki kulit yang berwarna merah,
keras dan bergelombang sehingga masyarakat tidak memanfaatkan kulit raru
songal sebagai bahan campuran minuman tuak. Selain karena proses pemanenan
yang sulit dikarenakan kulitnya yang keras, raru songal juga tidak memberikan
citarasa yang nikmat serta warna yang gelap pada minuman tuak.
(a) (b)
Gambar 5. Perbedaan kulit pohon raru dahanon dan raru songal. (a) kulit
kayu raru dahanon. (b) kulit kayu raru songal
Karena kondisi kulit yang tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan
sebagai bahan pembuatan tuak, masyarakat lebih dominan memanfaatkan batang
pohon raru songal sebagai bahan konstruksi bangunan. Tidak hanya itu,
masyarakat juga memanfaatkan batang pohon raru songal sebagai bahan untuk
membuat bak truk dan kandang hewan ternak seperti sapi dan kambing
dikarenakan batang pohon raru songal merupakan kayu yang memiliki kelas kuat
dan kelas awet yang bagus.
Universitas Sumatera Utara
32
Kedua jenis raru yang ditemukan tumbuh dan berkembang pada
ketinggian kurang lebih 400 m diatas permukaan laut. Pada survey lapangan yang
dilakukan, raru kedua jenis ditemukan hidup berkelompok dan berdampingan
dengan tumbuhan lain. Selain ketinggian, suhu dan kelembaban udara juga
menjadi faktor pendukung raru untuk hidup dan berkembang di suatu daerah. Dari
hasil pengamatan dilapangan, suhu yang terdapat di hutan alam Bonalumban yaitu
25ºC sampai 29ºC. Sedangkan kelembaban yang terdapat di hutan Bonalumban
yaitu 45% dan kelembaban maksimum mencapai 70%. Dari hasil pengamatan
dilapangan, raru ditemukan hidup di tepi sungai dimana tanahnya mengandung
banyak air dan sedikit tergenang. Selain itu, tanah yang mengandung pasir
menjadi tempat tumbuh raru. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Silk, 2009) yang
menyatakan bahwa tumbuhan jenis Cotylelobium tumbuh pada ketinggian sampai
400 m di atas permukaan laut, sebagian besar tumbuh di lereng bukit dan
pegunungan, tetapi juga dapat tumbuh di sepanjang sungai dan di lembah.
Sebagian besar pada berbatu untuk tanah berpasir. Di hutan sekunder biasanya
hadir sebagai pohon sisa pra-gangguan.
Persepsi Masyarakat Sekitar Hutan
Persepsi masyarakat akan pemanfaatan raru di daerah kawasan hutan
Bonalumban sangat beragam. Hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan
bahwa tidak semua masyarakat memanfaatkan raru. Terdapat banyak faktor yang
menyebabkan sebagian masyarakat tidak memanfaatkan raru diantaranya harga
jual yang murah serta kesulitan untuk mendapatkan raru karena mengharuskan
masyarakat masuk kedalam hutan untuk melakukan pemanenan. Pemanfaatan raru
yang beragam disajikan dalam Gambar 6.
Universitas Sumatera Utara
33
Gambar 6. Pemanfaatan raru oleh masyarakat
Berdasarkan Gambar 6, sebanyak 95% responden yang memanfaatkan
tumbuhan raru dan 4% tidak. 75% responden memanfaatkan raru untuk ramuan
tuak, 5% untuk dijual, dan sebanyak 5% responden memanfaatkan kayu raru
untuk keperluan pribadi yang seperti bahan konstruksi bangunan dan sebagai
bahan pembuatan kandang hewan ternak sebanyak 11%.
Dari hasil wawancara yang dilakukan, beberapa masyarakat juga
memanfaatkan kulit raru sebagai obat diabetes. Selain sebagai penambah citarasa
pada minuman tuak, tuak yang dicampur dengan raru juga dipercaya masyarakat
sebagai obat penurun kadar gula darah (diabetes). Khasiat raru sebagai obat
diabetes juga dikemukakan oleh Hembing (2005) yang menyatakan bahwa raru
merupakan tanaman kayu hutan yang kayu batangnya selama ini telah lama
digunakan masyarakat Tapanuli sebagai bahan bangunan. Lama kelamaan kulit
kayu raru digunakan sebagai bahan tambahan ke dalam minuman yang dikenal
dengan nama tuak dan belakangan ini air rebusan daunnya diyakini dapat
mengobati luka yaitu dengan cara mencuci luka, dan kulit batangnya diyakini
sebagai obat antidiabetik. Sebagian masyarakat juga mengenal raru sebagai obat
5%
75%
11%
5% 4%
Untuk dijualRamuan tuakKandang hewanBahan bangunanTidak memanfaatkan
Universitas Sumatera Utara
34
diabetes (penurun kadar gula darah). Menurut salah satu responden yang berusia
70 tahun, raru telah lama dimanfaatkan sebagai obat diabetes. Pemanfaatan raru
telah dipercaya turun temurun sebagai obat antidiabet hingga saat ini.
Masyarakat sekitar hutan umumnya berinteraksi langsung dan
memanfaatkan sumberdaya yang berasal dari hutan. Oleh karena itu, sebagian
masyarakat yang tinggal dikawasan hutan menggantungkan hidup pada hasil
hutan. Dari hasil wawancara yang dilakukan, ditemukan bahwa tidak semua
masyarakat Bonalumban memanfaatkan raru sebagai matapencaharian utama.
Bahkan banyak masyarakat yang hanya memanfaatkan raru sebagai pekerjaan
sampingan dan bahkan adapula masyarakat yang sama sekali tidak memanfaatkan
raru. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat beranggapan bahwa
menggantungkan hidup pada raru tidak akan membuat hidup mereka berkembang
dikarenakan harga raru yang tergolong murah, pemanfaatan yang kurang variatif
serta populasi raru yang terus menurun. Persentase masyarakat yang
memanfaatkan raru tersaji pada (Gambar 7).
Gambar 7. Persentase masyarakat yang memanfaatkan raru.
Pada Gambar 7, jumlah masyarakat yang menjadikan tumbuhan raru
sebagai mata pencarian mereka yaitu sebanyak 35 responden (44% ), sedangkan
Ya
44%
Tidak
56%
Ya Tidak
Universitas Sumatera Utara
35
masyarakat yang tidak memanfaatkan raru yaitu berjumlah 45 responden (56%).
hal ini dikarenakan nilai pemanfaatan hutan yang kecil terhadap masyarakat
menjadikan sebagian masyarakat Bonalumban tidak memanfaatkan raru sebagai
matapencaharian. Hal ini didukung oleh Yenisyika (2003) yang menyatakan
bahwa ketergantungan masyarakat terhadap hutan pada tingkat nilai pemanfaatan
hasil hutan masih sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai yang diperoleh
masyarakat secara keseluruhan yang bukan berasal dari nilai pemanfaatan hasil
hutan.
Terdapat sebuah kearifan lokal terkait waktu dan cara pemanenan raru
didaerah tersebut. Pemanenan raru dilakukan masyarakat pada musim kemarau
dengan cara dipukul-pukul terlebih dahulu. Hal ini dipercaya masyarakat sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas raru yang dipanen.
Pemanenan raru yang terus berlangsung tanpa diikuti upaya
pembudidayaan dan penanaman kembali membuat jumlah raru di hutan alam
Bonalumban semakin berkurang. Dari hasil wawancara, sebagian besar
masyarakat tidak mengetahui adanya larangan pemanenan raru yang berlebihan di
hutan alam Bonalumban. Larangan akan pemanenan raru diatur oleh
pemerintahan daerah setempat sehingga aturan yang terbentuk masih lemah. Hal
ini menyebabkan masyarakat terus melakukan pemanenan tanpa
mempertimbangkan kelestarian raru tersebut.
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, anggapan masyarakat terkait
populasi raru dihutan alam sangat variatif. Pengetahuan masyarakat yang beragam
tentang populasi raru dihutan alam dapat menjadi salah satu aspek dalam
membuat suatu upaya pelestarian raru. Dengan banyaknya jumlah masyarakat
Universitas Sumatera Utara
36
yang mengatakan raru semakin berkurang, dapat mendorong masyarakat dan
meningkatkan minat masyarakat untuk melakukan upaya pelestarian dan
penanaman melalui sosialisasi yang diberikan pada masyarakat tersebut.
Dari hasil analisis vegetasi yang diperoleh, menunjukkan bahwa populasi
raru dialam masih cukup banyak. Hal ini dapat diketahui dari perhitungan analisis
vegetasi pada tingkat pohon yang didominasi oleh jenis raru. Namun masyarakat
beranggapan bahwa populasi raru di alam semakin berkurang. persepsi
masyarakat yang berbanding terbalik dengan keberadaan pohon raru dikarenakan
masyarakat melihat bahwa populasi semai raru di alam sangat sedikit. Sehingga
masyarakat beranggapan bahwa keberlangsungan raru di alam sudah terganggu.
Pengetahuan masyarakat tentang populasi raru dihutan alam Bonalumban
tersaji pada Gambar 8.
Gambar 8. Persepsi masyarakat terkait populasi raru dihutan alam Bonalumban
Pada Gambar 8, dapat diketahui bahwa 16% responden berasumsi bahwa
populasi raru di alam sangat berkurang. Sebanyak 31% menyatakan berkurang,
25% responden menyatakan biasa saja dan sebanyak 28% responden menyatakan
populasi raru masih banyak di alam.
16%
31% 25%
28%
Jumlah
Sangat berkurang Berkurang Biasa saja masih banyak
Universitas Sumatera Utara
37
Dengan adanya pemahaman masyarakat tentang pentingnya kelestarian
raru dihutan alam Bonalumban, dapat menjadi salah satu aspek yang mendukung
kelestarian raru. Peran serta masyarakat sekitar hutan merupakan suatu hal yang
sangat penting ditingkatkan untuk mendukung upaya pelestarian suatu jenis.
Jumlah populasi raru yang tersisa dihutan alam Bonalumban dapat
menjadi suatu pertimbangan dalam pemanfaatan yang dilakukan. Keberadaan
suatu jenis yang berasosiasi dengan raru juga menjadi salah satu hal yang perlu
diperhatikan karena keberadaan suatu jenis yang berasosiasi dengan raru tersebut
turut berperan dalam struktur vegetasi tumbuhan penyusun dihutan alam
bonalumban yang menjadi habitat asli dari raru. Sehingga apabila keberadaan
suatu jenis tumbuhan penyusun vegetasi tersebut terganggu, maka akan turut
mengganggu populasi raru yang terdapat di hutan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
38
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Raru yang berada di hutan alam Bonalumban tumbuh menyebar disepanjang
aliran sungai, tepi sungai, anak-anak sungai, dan tumbuh berkembang pada
ketinggian kurang lebih 400 m diatas permukaan laut dengan nilai INP
tertinggi tingkat semai, pancang, tiang, pohon adalah 26,27, 22,92, 43,47, dan
42,42. Analisis asosiasi menunjukkan bahwa raru memiliki hubungan yang
kuat dengan rengas dan meranti merah yang ditandai dengan perolehan nilai
asosiasi tertinggi pada kedua jenis tersebut.
2. Terdapat dua jenis raru yang ditemukan tumbuh di hutan alam Bonalumban
yaitu raru dahanon (Cotylelobium melanoxylon) dan raru songal
(Cotylelobium lanceolatum). Raru dahanon dimanfaatkan kulitnya oleh
masyarakat setempat sebagai bahan campuran tuak dan obat tradisional seperti
obat penurun kadar gula darah (antidiabet) sedangkan raru songal
dimanfaatkan kayunya oleh masyarakat untuk kandang hewan dan konstruksi
bangunan.
3. Persepsi masyarakat berbanding lurus dengan hasil analisis vegetasi yang
diperoleh yaitu masyarakat beranggapan bahwa populasi raru di hutan
Bonalumban semakin berkurang.
Universitas Sumatera Utara
39
Saran
Sebaiknya pemanfaatan raru di Kelurahan Bonalumban, Kecamatan Tukka
Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara diikuti dengan kegiatan penanaman
kembali agar kelestarian raru dapat terjaga dan dapat dimanfaatkan dalam jangka
waktu yang panjang. Serta sebaiknya peraturan tentang pemanfaatan raru lebih
dipertegas agar pemanfaatan raru di daerah tersebut dapat dikendalikan untuk
mencegah pemanfaatan yang berlebihan.
Universitas Sumatera Utara
40
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta.
Jakarta.
Arsyad, M. 2017. Asosiasi antar spesies famili palmae di kawasan air terjun
Bajuin Kabupaten Tanah Laut. Bioeksperimen 5(1):40-41.
Ashton, P. 1998. Cotylelobium melanoxylon. The IUCN Red List of Threatened
Species 1998. World Conservation Press. Cambridge.
Badan Pusat Statistik. 2017. Kabupaten Tapanuli Tengah Dalam Angka 2017.
BPS Kabupaten Tapanuli Tengah. Tapanuli Tengah.
Champbell. 2004. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta.
Cole, L.C. 1949. The mesurenment of interspesific association. Ecology (30):410-
424.
Hembing. 2005. Bebas Diabetes Melitus Ala Hembing. Penebar Swadaya. Depok.
Heyne, K. 1989. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kehutanan. Jakarta.
Indriyanto. 2012. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.
IUCN. 1998. IUCN Red List of Threatened Species. Cotylelobium melanoxylon
[internet]. United Kingdom: IUCN Global Spesies Programme Red List
United; 1998 [updated 1998 January 1; cited 2012 Dec 22]. Avaliable
from: http://www.iucnreddlist.org/details/33070/0.
Kershaw, K.A. 1964. Quantitative abd dynamic plant ecology. American Elsevier
P. Company. New York.
Lamanimpa, R. A. 2007. Komposisi Jenis Vegetasi Pada Habitat Kupu-Kupu di
Kawasan Cagar Alam Pangi Binangga Kabupaten Parigi Moutong.
Provinsi Sulawesi Tengah.
Ludwig, J.A. dan J.F. Reynolds. 1998. Statistical Ecology. Aprumer on Methods
and Computing. John Willey and Sons. New York.
Marsono. 1977. Diskripsi Vegetasi dan Tipe-tipe Vegetasi Tropika. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Matsuda, H., Aso, Y., Nakamura, S., Hamao, M., Sugimoto, S., Hongo, M.,
Pongpiriyadacha, Y., and Yoshikawa, M. 2009. Antidiabetogenic
constituents from the thai traditional medicine Cotylelobium melanoxylon.
Universitas Sumatera Utara
41
Newman, M.F., P.F. Burgese dan T.C. Whitmore. 1999. Pedoman Identifikasi
Pohon-Pohon Dipterocarpaceae Pulau Kalimantan. PROSEA Indonesia.
Bogor.
Odum, E. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono samingan dari
buku Fundamentals Ecology. Yogyakarta: UGM Press.
Odum, E.P. 1972. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunder Company
Philadelphia. London Toronto.
Pasaribu, G., Bonifasius S., dan Gustan P. 2007. Analisis Komponen Kimia
Empat Jenis Kayu Asal Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 25
(4): 327-333.
Pasaribu,G. 2009. Zat Ekstraktif Kayu Raru dan Pengaruhnya Terhadap Penurun
Kadar Gula Darah Secara In Vitro. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor
Pratiwi, Y.Y., A. Bintoro, dan M. Riniarti. 2013. Komposisi dan Struktur Tegakan
Zona Pemanfaatan Terbatas SPTN 1 Way kanan, Taman Nasional Way
Kambas. Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung.
Saharjo, B.H. dan C. Gago. 2011. Suksesi alami paska kebakaran pada hutan
sekunder di Desa Fatuquero, Kecamatan Railaco, Kabupaten Ermera-
Timor Leste. Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Samingan, T. 1971. Tipe-tipe Vegetasi (Pengantar Dendrologi). Bagian Ekologi
Tumbuh-tumbuhan Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Sari, N., Karmilasanti, dan R. Handayani. 2013. Kondisi Tempat Tumbuh
Tegakan Alam Shorea leprosula, Shorea johorensis dan Shorea smithiana.
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda.
Silk, J.W. F. 2009. Plants Of Southeast Asia. www.asianplant.net [diakses pada
tanggal 16 juli 2018].
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif : Metode analisis populasi dan komunitas.
Surabaya: Usaha Nasional.
Soekmadi, R. 1987. Kondisi sosial ekonomi masyarakat pencari kayu bakar di
Taman nasional Baluran. Bogor. Jurusan Konsevasi Sumberdaya Hutan.
IPB.
Soerianegara, I. dan A. Indrawan. 1982. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Soerianegara, I dan R.H.J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South-East Asia
No.5(1). Timber Trees: Minor Comercial Timbres. Prosea Foundation,
Bogor, Indonesia. Leiden: Backhuys.
Universitas Sumatera Utara
42
Soerianegara, I. 1972. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Management Hutan
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Statistik Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Diterbitkan oleh
Kementrian lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sufia, R., Sumarni., dan A. Amiruddin. 2016. Kearifan Lokal dalam Melestarikan
lingkungan Hidup (studi kasus masyarakat adat desa Kemiren Kecamatan
Glagah Kabupaten Banyuwangi). Jurnal Pendidikan. 1(4): 726-731.
Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan (YPFK).
Suyanto dan Hafizianor. 2007. Inventarisasi Komposisi Jenis dan Potensi
Tumbuhan Berkhasiat Obat dari Hutan Rawa di Proponsi Kalimantan
Selatan.
Togatorop, A. 2014. Resak Tembaga (Malaysia), Thiam. Thailand.
Usman dan Purnomo Setiady Akbar. 2008. Metedologi Penelitian Sosial. Bumi
Aksara. Jakarta.
Yenisyika, V. 2003. Kontribusi sumberdaya hutan terhadap pendapatan
masyarakat desa (studi kasus Di Desa Cibaliung, Kecamatan Cibaliung,
Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten). Bogor: Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor.
Universitas Sumatera Utara