22

Download Flamma Review 46

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Download Flamma Review 46
Page 2: Download Flamma Review 46

RedaksiPenanggung jawab/Pemimpin Umum

Sunaji Zamroni

Wakil Pemimpin Umum

Sg.Yulianto

Pemimpin Redaksi

Titok Hariyanto

Wakil Pemimpin Redaksi

Machmud NA

Redaktur Pelaksana

Hesti Rinandari

Reviewer

Suharko

Editor

Anang Zakaria

Penulis

Fajar Sudarwo, Rajif Dri Angga, Sg. Yulianto,

Krisdyatmiko, Sunaji Zamroni,

Nurma Fitrianingrum, Ema Yulianti

Setting dan layout

Ipank Suparmo

Distribusi

Riana Dhaniati

Ema Yulianti

Keuangan

Rika Sri Wardani

Mulyanti Eka Wahyuni

Triyanto

Pembantu Umum

Tri Yuwono

Riyanto

Alamat Redaksi

INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT

Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5 Dusun Tegalrejo RT 01/RW 09 Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta 55581

Telp. 0274-867686, 7482091 email: [email protected]: www.ireyogya.org

Pertanyaan atau informasi bisa disampaikan melalui email kami di

[email protected]

Pengantar Redaksi

Aset Agraria untuk Kesejahteraan Desa

Jika kita menelusuri jejak-jejak pembangunan di Indonesia, akan terlihat dengan jelas bahwa selama ini program-program pembangunan yang diusung pemerintah cenderung meminggirkan desa. Bahkan dalam

banyak kasus desa kerap menjadi korban pembangunan. Demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi lahan pertanian di desa sekarang ini banyak yang telah berubah menjadi pabrik, kawasan industri, mall, hotel, terminal, ruko, dll., yang prosesnya selalu menggusur mata pencaharian peduduk desa.

Akibatnya, desa yang dulu adalah kawasan yang menjanjikan kesejahteraan bagi warganya lambat laun menjadi semakin merosot nilai ekonominya dan tidak lagi menjadi tempat yang menjanjikan bagi masa depan mereka yang membutuhkan pekerjaan layak. Sektor pertanian yang dulu menjadi andalan penduduk desa mengalami kemerosotan sangat tajam sehingga tidak bernilai lagi. Akhirnya, kemiskinan menjadi problem akut yang menjangkiti desa. Involusi yang terjadi di sektor pertanian itulah yang selama ini ditengarai sebagai sebab terjadinya kemiskinan di pedesaan.

Secara umum kondisi seperti itulah yang pada akhirnya memaksa orang desa hijrah ke kota-kota besar demi untuk mendapatkan remah-remah kue pembangunan. Pilihan tersebut tentu bukan tanpa resiko. Rendahnya tingkat pendidikan, minimnya ketrampilan dan pengalaman kerja di sektor-sektor yang tersedia di kota membuat mereka pada akhirnya tidak bisa menempati posisi pekerjaan menengah ke atas. Kebanyakan mereka akhirnya menjadi buruh-buruh industri, buruh bangunan, pelayan toko, restoran, juru parkir, pedagang kaki lima, dan pekerjaan-pekerjaan di sektor informal lainnya.

Meskipun sebenarnya mereka tidak bisa beranjak dari problem kemiskinan, namun setidaknya di kota peluang untuk mendapatan pekerjaan jauh lebih baik daripada ketika mereka berada di desa.

Upaya untuk menjadikan desa sebagai sentral aktivitas ekonomi sudah pernah dilakukan oleh pemerintah daerah dan provinsi. Salah satunya adalah gerakan bali ndeso mbangun ndeso (pulang ke desa membangun desa) yang pernah dicanangkan pemerintah Jawa Tengah di era kepemimpinan Bibit Waluyo. Secara konsep, program tersebut seperti memberikan harapan. Namun faktanya sulit mengajak orang desa yang sudah terlanjur pindah ke kota kembali ke desa. Selama orang desa tidak memiliki aset produksi untuk meningkatkan kesejahteraan, ajakan tersebut mustahil disambut dengan suka cita.

Mensejahterakan desa adalah soal bagaimana aset desa dikembalikan lagi pengelolaannya kepada orang-orang desa. Mustahil desa bisa keluar dari derita kemiskinan jika aset yang ada di desa masih dikuasai oleh orang-orang dari luar desa. Dengan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa peluang untuk mengembalikan pengelolaan aset desa kepada desa, sangat terbuka.

ARTIKEL LEPASDAFTAR ISI

ARTIKEL UTAMAReforma Agraria dan UU Desa .... 2Peka Lingkungan Mengelola Aset Desa ................................ 4Mewujudkan Tata Ruang yang Partisipatif dan Inklusif .............. 6

Petani Perempuan Tersingkir Teknologi ................................. 8Menghidupkan kembali Demokrasi Lokal ....................... 10Musdes Tanpa Musyawarah Hanya Akomodir Aspirasi Elite Desa ................................ 14RESENSI BUKUSuara Dari Desa Menuju Revitalisasi PKK ....................... 16

Page 3: Download Flamma Review 46

2 FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

ARTIKEL UTAMA

Rajif DAPeneliti IRE

Konflik penguasaan sumber agraria terus berlanjut. Data Konsorsium Pembaruan Agraria

(KPA) menunjukkan dalam kurun waktu sebelas tahun terakhir (2004-2015) terjadi 1.772 kasus dengan luas wilayah 6.942.381 hektar dan melibatkan 1.085.817 keluarga. Jika dirata-rata maka ada satu konflik tiap dua hari di Indonesia.

Sementara negara belum memiliki desain pembaruan (reforma) agraria, inisiati f lokal yang mengubah ketimpangan penguasaan lahan bermunculan di negeri ini. Bentuknya pendudukan (okupasi), penggarapan (kultivasi), dan perebutan kembali (reclaiming) lahan sebagai basis produksi petani (agrarian reform by leverage).

Sejatinya, negara perlu mem-fasilitasi reforma agraria dari bawah itu. Implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Desa bisa menjadi peluang petani mendapat keadilan atas penguasaan sumber agraria di desa. Tulisan ini berusaha memotret sejauh mana langkah reforma agraria dari bawah bertautan dengan peran institusi desa yang menguat pasca implementasi UU Desa.

Tuntutan Demi Tuntutan Reforma Agraria Dari Bawah

Ada banyak kisah sukses perjuangan organisasi petani lokal dalam menuntut akses sumber agraria. Baru-baru ini petani penggarap lahan bekas Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Tratak Kabupaten Batang, Jawa

Tengah memperoleh hak kepemilikan tanah 79,84 hektar melalui kebijakan redistribusi. 425 kepala keluarga Desa Tumbrep Kecamatan Bandar memperoleh sertifikat hak milik setelah 19 tahun berjuang menggarap lahan.

Meski demikian, keberhasilan itu masih jauh dari ideal. Rata-rata tiap petani menerima lahan kurang dari dua hektar, di bawah syarat minimal ketentuan UU Pokok Agraria. Selain itu, petani juga dilarang menjual atau menyewakan tanah hasil redistribusi hingga 10 tahun mendatang.

Cerita tentang redistribusi lahan juga terjadi di Jawa Barat. Petani Badega Kabupaten Garut menerima 383 hektar setelah 33 tahun menggarap lahan di bawah ancaman dan tanpa ketidakpastian (Kompas 2016).

Adapun di Jawa Timur, petani Dusun Ku l onbambang Desa Sumberurip Kecamatan Doko, Blitar menerima 255 hektar lahan eks PT. Sari Bumi Kawi. Sebelumnya, petani menggarap lahan itu selama 12 tahun, sejak hak guna usaha perusahaan perkebunan itu berakhir pada 1998. Kini di lahan itu petani menanam cengkeh. Kaum muda dan komunitas perempuan juga berhasil mendirikan pembangkit listrik tenaga mikrohidro dan mengembangkan credit union.

Di Blitar, cerita redistribusi lahan bekas perkebunan juga terjadi di Kecamatan Gandusari. Petani Desa Gadungan yang tergabung dalam Paguyuban Petani Kelud Makmur kini sedang menanti kebijakan redistribusi dari pemerintah atas 150 hektar

lahan bekas PT. Rotorejo Kruwuk. Keberhasilan tuntutan dari bawah itu sangat dipengaruhi oleh kebijakan negara.

Peluang petani tunakisma dan buruh tani untuk memiliki lahan sebenarnya terbuka lebar dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penertiban Tanah Ter lantar. Tanah yang diidentifikasi sebagai tanah terlantar dapat diberikan pada masyarakat. Regulasi tersebut semestinya menjadi bagian dari politik pertanahan untuk mendorong terbukanya asset reform bagi petani tak bertanah.

Di sejumlah daerah, petani tak bertanah menduduki dan menggarap lahan bekas perkebunan yang telah habis masa hak gunanya. Gerakan petani ini biasanya bersifat sporadis, diorganisasi oleh komunitas dan lembaga non-pemerintah, serta biasanya berada di luar pemerintahan desa. Kebanyakan pemerintah desa justru mengambil posisi berhadapan dengan masyarakat, a l ih-al ih memediasi dan mencarikan alternatif penyelesaian. Tak dapat dipungkiri, sejak era kolonial mereka menjadi kepanjangtanganan birokrasi pribumi untuk memastikan ekstraksi sumber daya desa. Termasuk menyediakan tanah bagi pengoperasian modal perkebunan.

Kita tak bisa menutup mata pada persoalan ketidakberpihakan elit desa ini. Namun implementasi UU Desa yang baru dua tahun berselang semestinya menjadi ruang eksperimentasi bagi agenda reforma agraria dari bawah yang menyasar pengelolaan aset dan

Reforma Agraria dan UU Desa

Page 4: Download Flamma Review 46

FLAMMA Review Edisi 46 April 2016 3

ARTIKEL UTAMA

dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) maupun lembaga ekonomi lokal lainnya menjadi penting untuk menopang keberlanjutannya.

Ketiga, pemerintah desa perlu memperkuat organisasi tani. Sebagai bagian dari lembaga kemasyarakatan desa, organisasi tani berperan mendemokratisasikan desa. Organisasi tani di desa mesti terlibat dalam proses politik seperti musyawarah dan perebutan ruang demokrasi di desa. Di samping itu, perlu dipikirkan penguatan simpul modal sosial dan ikatan solidaritas yang telah terbangun. Tak bisa dipungkiri, salah satu keberhasilan gerakan petani menuntut reforma tanah adalah pengorganisasian petani yang kuat dan pendampingan oleh lembaga non-pemerintah di tingkat lokal. Kolektivitas perjuangan yang terbentuk perlu disemai terus menerus meski tuntutan asset reform tercapai. Aktivitas yang mengarah pada access reform seperti pelatihan dan pengembangan usaha produktif perlu terus diwadahi dan digerakkan, baik oleh organisasi tani maupun pemerintah desa.

manfaatnya bagi masyarakat. Kalau demikian, bagaimana hal itu bekerja?

Dorongan UU Desa Pengorganisasian petani dalam

gerakan reforma agraria biasanya bertumpu pada solidaritas dan modal sosial komunitas berdasarkan tujuan bersama. Organisasi petani memang harus mampu meningkatkan posisi tawar saat berhadapan dengan negara dan perusahaan melalui kekuatan ekonomi dan politiknya (Powelson & Stock, 1990:4).

Tapi ketika perjuangan mereka tercapai dan redistribusi berhasil, ikatan sosial di antara mereka melemah. Masing-masing individu memfokuskan diri pada sumber penghidupan baru. Berikutnya, aset rentan lepas dan kuasa modal masuk kembali. Lazim terjadi di mana-mana, tak berselang lama lahan yang dikuasai dari kebijakan redistribusi kembali ke tangan pihak lain.

UU Desa sebenarnya menempatkan institusi desa berperan lebih strategis. Pertama, UU Desa memberikan kepastian bagi desa untuk mengelola asetnya. Penataan aset bukan sekadar kerja teknis-administratif. Rumitnya

mengelola aset di desa berkaitan dengan kepentingan ekonomi politik di dalamnya, baik yang melibatkan aktor intra maupun supra desa. Pengakuan kuasa desa atas aset mesti dibarengi dengan penataan relasi struktural atas sumber daya, terutama sumber agraria di desa. Cek kosong yang diberikan UU Desa harus diisi dengan langkah strategis pembaruan agraria agar desa berdaulat atas asetnya.

Kedua, desa perlu menyiapkan desain dan strategi pengembangan ekonomi pertanian berbasis aset lahan redistribusi. Lahan tersebut dikembangkan menjadi aset yang produktif dan memberikan manfaat bagi perekonomian warga. Lepasnya lahan paska redistribusi banyak terjadi karena disinsentif petani dalam pemanfaatan lahan dan tekanan ekonomi. Pemerintah desa perlu mencari solusi alternatif agar lahan itu menjadi basis produksi pertanian, infrastruktur pengolahan, dan membuka pasar bagi produk yang dihasilkan. Ini semua perlu dukungan kebijakan yang berpihak pada petani -yang marjinal sekalipun- dari pemerintah pusat dan kabupaten. Kelembagaan ekonomi lokal baik

RAJI

F D

A/IR

E

Page 5: Download Flamma Review 46

4 FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

ARTIKEL UTAMA

Sg. YuliantoPeneliti IRE

Peka Lingkungan Mengelola Aset Desa

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mendorong perubahan mendasar pada tata

kelola desa. Desa memiliki kewenangan besar mengurus dirinya sendiri. Salah satunya, kewenangan dalam mengelola aset-aset yang dimiliki, baik sumber daya alam, manusia, dan lainnya. Hal itu untuk mewujudkan kesejahteraan, kemandirian, dan kedaulatan desa. Namun selama dua tahun implementasi UU Desa, belum banyak desa mampu menangkap peluang itu dengan baik.

Beberapa kasus yang dialami desa-desa di Kalimantan dapat menjadi contoh. Desa Kerta Buana Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara misalnya, lahan sawahnya semakin habis karena terkonversi menjadi areal tambang batu bara. Lahan pertanian yang tinggal 80 hektar itu telah dikelilingi konsesi tambang. Wilayah bagian timur dan selatan desa telah menjadi konsesi tambang aktif. Sementara wilayah barat dan utara desa jadi rusak, sebagai lahan kritis paska penambangan dan tak bisa

diolah jadi sumber penghidupan bagi warga (Greenpeace Indonesia, 2016).

Kasus serupa juga terjadi di Desa Tanjung Benanak dan Lampisi, dua desa di Kecamatan Merlung Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Karena alih fungsi lahan menjadi kebun sawit, warga justru menghadapi banyak kesulitan hidup. Lahan yang mulanya subur menghasilkan bahan pangan dan menjaga kelangsungan sumber air bersih sepanjang tahun, kini menjadi kebun sawit yang manfaatnya dinikmati orang luar -investors (para pemodal). Akibatnya warga harus mendatangkan bahan pangan dari luar dan menghadapi krisis air pada musim kemarau. Penderitaan yang tak pernah terjadi sebelum ada alih fungsi lahan (Kompas, 16/03/2016).

Ironi yang mudah ditemukan di banyak desa di Nusantara ini memberikan pelajaran berharga. Desa tidak sepatutnya menyerahkan hak pengelolaan aset pada pihak luar begitu saja. Terutama pada para pemodal yang cenderung

mementingkan keuntungan ekonomi semata tanpa memedulikan dampak ekologis. Sedangkan porsi manfaat yang diperoleh desa dan warganya -sebagai pemilik- biasanya jauh lebih kecil. Pada banyak kasus bahkan merugikan. Umumnya, keuntungan yang mereka dapatkan tak sebanding dengan penderitaan akibat kerusakan ekologis yang ditimbulkan, baik jangka pendek maupun panjang.

Sementara itu, praktik sebaliknya, banyak contoh desa berhasi l mengelola asetnya secara mandiri dan berkelanjutan. Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya. Warga desa tak menjual kekayaan alam berupa “gunung batu” secara fisik material. Mereka menjual dalam bentuk “eksotisme” bongkahan batu raksasa yang menurut Santosa (2015) merupakan volcanic neck dan dike (inti gunung api) sisa zaman tersier kala miosen. Usaha itu sudah terbukti meningkatkan kesejahteraan desa secara signifikan.

Area Persawahan di Desa Nglanggeran Gunungkidul

ARTIKEL UTAMA

Page 6: Download Flamma Review 46

FLAMMA Review Edisi 46 April 2016 5

ARTIKEL UTAMA

FOTO

FO

TO D

OK

IR

E

Pada tahun 2015, Nglanggeran dikunjungi 25.5917 wisatawan (domestik dan mancanegara) dengan devisa lebih dari Rp 1,5 miliar untuk desa dan Rp 369 juta retribusi untuk Pemerintah Kabupaten Gunungkidul (Handoko, 2016).

Karena yang dijual Nglanggeran adalah keindahan, desa itu mudah menjaga kelestarian sumber daya alam. Ini akan berbeda jika mereka menjual kekayaan alam dalam bentuk pecahan batu sebagai bahan bangunan, peralatan masak, atau produk seni seperti patung dan hiasan rumah. Model eksploitasi seperti itu tidak menjamin kelestarian sumber daya alam. Hasilnya pun belum tentu sebanyak keuntungan paket wisata.

Model serupa bisa kita temukan di Desa Wulungsari Kecamatan Selomerto Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Desa yang mengandalkan sektor pertanian ini berhasil mengelola sumber air bersih Teluk Sewu Sampang. Mata air tersebut dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan warga desa, baik untuk air minum maupun irigasi. Mata air itu tak pernah kering meski kemarau dan terbukti menjadi penghidupan warga.

Bukan tanpa godaan. Investor dari luar berkali-kali datang ke Wulungsari. Mereka bern iat menanamkan modal untuk mengelola sumber air dan mendirikan bisnis air mineral kemasan. Namun pihak desa didukung warga selalu menolak tawaran yang menjanjikan keuntungan instan itu. Mereka bersiteguh untuk menjaga warisan leluhur agar tidak dikuasai pemodal dan tetap dikuasai desa dan warga (Irwan, 2015). Model ini tentu saja juga berkelanjutan dan jauh lebih bermanfaat bagi warga desa dibanding jika pengelolaan sumber air bersih itu diserahkan pada investor.

Pengelolaan aset desa yang ramah lingkungan dan berbasis komunitas bisa mendorong terwujudnya desa sebagai sumber penghidupan bagi warga. Desa menjadi mandiri bak magnet yang mencegah urbanisasi dan menarik kembali warga yang merantau

di kota. Contoh dua desa di atas sudah membuktikan prinsip itu.

Praktik buruk dan baik dapat menjadi pembelajaran bagi desa-desa yang sebenarnya mempunyai a s e t p o t en s i a l t a p i b e l um mendayagunakannya secara inovatif. Sesuai dengan spirit pembaruan UU Desa, peluang desa mandiri dan sejahtera berdasarkan kreativitas dalam memanfaatkan asetnya sangat terbuka. Situasi zaman juga sudah menghendakinya. Di tengah makin masifnya kerusakan ekologis, pembaruan tata kelola sumber daya desa menjadi tak terhindarkan.

Tantangannya, tidak semua aparatur desa dan warga peka dan berkomitmen pada pelestarian sumber daya alam. Banyak mereka belum memahami isu kelestarian lingkungan. Sebagian lagi malah bersikap pragmatis. Mereka mengutamakan keuntungan ekonomi jangka pendek dalam memanfaatkan sumber daya alam. Terbukti tak sedikit kasus aset desa justru ditambang sembarangan oleh warga sendiri. Keterbatasan pengetahuan, kelemahan kontrol supra desa, dan ketiadaan sumber penghidupan alternatif membuat mereka pragmatis.

Karenanya, perlu peran banyak pihak untuk membantu desa dalam

mengubah mindset (pola pikir) warga. Selain dukungan regulasi yang relevan, warga desa juga perlu meningkatkan kapasitas di bidang pengembangan ekonomi ramah lingkungan, berbasis komunitas, dan pendayagunaan aset. Pemerintah supra desa, akademisi, masyarakat sipil, dan pihak swasta semes t i nya memban tu desa meningkatkan kemampuan di bidang ekonomi lokal sehingga melahirkan pejuang desa (individual champion).

Selain itu, kelembagaan demokrasi seperti diatur dalam UU Desa, misalnya Musyawarah Desa (Musdes), harus dijalankan sebagaimana esensinya. Forum tertinggi dalam pengambilan keputusan strategis di level desa itu harus mampu menjamin aspirasi seluruh elemen desa, termasuk kelompok rentan. Musdes harus mampu mencegah pembajakan kepentingan bersama oleh segelintir elit desa dan para pemburu rente yang merugikan desa. Dengan begitu, pemanfaatan aset desa benar-benar mendorong kesejahteraan, kemandirian, dan kedaulatan desa. Dengan cara itu sumber penghidupan di desa tercapai. Bukan malah dibajak kelompok tertentu yang dapat mendatangkan bencana ekologis bagi desa.

Page 7: Download Flamma Review 46

6 FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

ARTIKEL UTAMA

KrisdyatmikoPeneliti IRE

Tata Ruang yang Partisipatif dan Inklusif

Lahan merupakan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat desa, baik kesejahteraan

material maupun non-material. Lahan menjadi sumber penghidupan masyarakat desa melaui usaha di bidang pertanian, peterrnakan, UMKM dan usaha lain yang memanfaatkan tanah sebagai modalnya. Nilai sosial tanah menyebabkan sistem produksi di desa mengutamakan kerja kolektif antarwarga sehingga sebidang tanah bisa membawa kesejahteraan bagi banyak keluarga.

Tetapi, lahan di pedesaan terus menerus mengalami tekanan akibat pertumbuhan alami penduduk dan perkembangan kota. Tekanan kota inilah yang paling dahsyat mengubah tata ruang desa. Perkembangan kota berakibat pada pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke daerah pinggiran kota (urban fringe) yang ditandai dengan perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar (urban sprawl). Akibat lanjutannya, masyarakat pedesaan mengalami tekanan sosial-budaya atas masuknya budaya, pola relasi, pola produksi ala kota ke desa. Ketidaksiapan menerima perubahan akan menimbulkan permasalahan sosial di desa.

Secara ekonomis, alih fungsi lahan berdampak pada hilangnya sumber-sumber pendapatan bagi warga, khususnya para petani, di daerah urban fringe dan pedesaan. Daya tarik gaya hidup kota bisa berakibat para petani berpikiran pragmatis dengan berani menjual lahannya untuk

dibelikan barang-barang yang menjadi ciri masyarakat modern. Di sisi lain, mereka tidak siap masuk ke sektor non-pertanian sehingga lambat laun terjadi proses pemiskinan karena tidak mampu mengakses sumber-sumber produksi sebagai basis penghasilan keluarga.

Perencanaan tata ruang merupakan hal yang mendesak untuk men-cegah permasalahan tersebut semakin berlarut-larut dan meluas. Meskipun saat ini telah ada UU Desa, perbincangan tentang tata ruang desa masih sangat terbatas. Pembahasan pengembangan desa banyak berkaitan dengan tata kelola pemerintahan, pembangunan, dan keuangan desa. Padahal, tata ruang desa sudah selayaknya menjadi bagian dalam pembangunan desa. Dengan kata lain, menyusun perencanaan pembangunan desa tidak boleh terlepas dari perencanaan tata ruang desa, pemanfaatan lahan yang ditujukan untuk menjamin kesejahteraan warga desa.

Hirarkhi kebijakan penataan ruang dapat ditelusuri dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kecamatan. Di tingkat pusat, terdapat UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR). Dalam UU ini dijelaskan hirarkhi perencanaan tata ruang sejak nasional sampai dengan kabupaten/kota. Rencana Tata Ruang Wilayah tingkat nasional dijadikan pedoman penataan ruang wilayah provinsi, yang selanjutnya dijadikan pedoman bagi penataan ruang wilayah

kabupaten/kota.Seperti diatur dalam UUPR,

penataan ruang terdiri dari tiga kegiatan: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengen-dalian pemanfaatan ruang. Penyusunan rencana tata ruang merupakan upaya menentukan arah pengembangan wi layah ser ta mengendal ikan pemanfaatan untuk dapat digunakan sebagai dasar pemanfaatan ruang dan mampu mengakomodasi perkembangan masyarakat.

Di tingkat provinsi, sebagai contoh di DIY, telah memiliki Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009 - 2029. Perlindungan fungsi ruang merupakan salah satu tujuan RTRW DIY untuk mengatur pola pemanfaatan ruang agar dapat mewujudkan kesejahteraan warga secara berkelanjutan.

RTRW di t ingkat prov ins i ditindaklanjuti oleh masing-masing kabupaten/kota dengan menyusun RTRW kabupaten/kota. Sebagai contoh, Kabupaten Sleman, memiliki Perda Kabupaten Sleman Nomor 12 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011 - 2031. Sleman merupakan wilayah yang sangat pesat alih fungsi lahannya akibat tekanan perkembangan Kota Yogyakarta. Dalam durasi tahun 2000 - 2012, lahan sawah di Sleman telah berkurang 636 Ha, atau 53 Ha per tahun.

Page 8: Download Flamma Review 46

FLAMMA Review Edisi 46 April 2016 7

ARTIKEL UTAMA

Alih fungsi lahan pertanian tidak hanya terjadi di Sleman, tetapi telah menjadi permasalahan tingkat nasional. Data BPS mencatat alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan lainnya selama 2002 - 2010 rata-rata 56.000 - 60.000 Ha per tahun. Kondisi ini yang menjadi landasan pemerintah menyusun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Salah satu alasan keberadaan UU ini bahwa makin meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan, sehingga mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Di DIY, UU No. 41/2009 telah ditindaklanjuti dengan pengesahan Perda Nomor 10 tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Regulasi tentang tata ruang telah ada di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Bagaimana dengan desa? Desa belum menempatkan tata ruang sebagai bagian penting dalam pengelolaannnya. Bahkan, desa masih menjadi obyek dalam penyusunan tata ruang, mengikuti RTRW kabupaten. Partisipasi desa dalam proses penyusunan RTRW masih sangat rendah.

Pada umumnya , Bappeda merupakan organ kabupaten yang menjadi penyusun RTRW, bermitra

dengan konsultan dalam menjaring aspirasi masyarakat. Mitra ini melaku-kan kajian secara akademis, menyu-sun draf RTRW dan melakukan pembahasan dengan Bappeda. Se-telah dibahas, draf RTRW ini disusun menjadi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang diserahkan ke DPRD untuk dibahas. DPRD membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang ditugasi untuk membahas Raperda RTRW. Pansus melakukan pencermatan dan pembahasan dengan melibatkan berbagai pihak, salah satunya lakukan public hearing dengan LSM dan organisasi masyarakat sipil lainnya.

Proses tersebut seolah-olah bersifat bottom up, namun sebenarnya keterlibatan desa dan masyarakat masih sangat terbatas. Keterbatasan ini terjadi dalam dua aspek: pertama, mitra Bappeda yang melakukan penelitian di desa hanya melibatkan pemerintahan desa sebagai sumber informasi untuk menggali data. Pembahasan lebih lanjut hasil penelitian sampai perumusan Raperda RTRW hanya dilakukan oleh mitra dengan Bappeda, desa tidak lagi dilibatkan. Draf RTRW/Raperda tersebut memang dibahas di desa, tetapi forum pembahasan lebih bersifat sosialisasi dengan durasi waktu pembahasan yang minimalis.

Kedua , warga desa t idak memperoleh ruang partisipasi dalam penyusunan RTRW. Padahal, mereka memiliki pengetahuan lokal tentang tata ruang desa yang telah dipelihara secara turun temurun. Pengetahuan lokal ini lambat laun menghilang karena

regulasi di berbagai tingkatan tidak mewadahinya. Di sisi lain, tekanan pertumbuhan kota yang merembet ke desa, mengakibatkan warga berpikiran pragmatis dengan memandang tanah sebagai komoditas ekonomi. Bagi petani misalnya, menjual sawah dipandang lebih menguntungkan daripada mengusahakannya dengan hasil yang tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Ancaman terhadap keberlangsungan hidup dalam jangka panjang tertutup oleh kesejahteraan semu sesaat dari uang hasil penjualan sawah.

RTRW Desa merupakan kebutuhan yang mendesak untuk diwujudkan sebagai salah satu dokumen strategis di desa. RTRW akan mampu melindungi warga desa dari kehilangan asetnya, sekaligus sebagai alat negosiasi agar desa tidak lagi menjadi obyek penataan ruang oleh supra desa. Payung regulasi secara nasional telah ada dalam UU Desa dan UU Penataan Ruang. UUPR sebagai RTRW tingkat nasional mengamanatkan untuk dijadikan pedoman penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Sebagai pedoman, proses penyusunannya harus dimulai dari bawah sehingga tata ruang di Indonesia dimulai dari desa. Banyak pihak dengan beraneka kepentingan yang ada di desa. Aspirasi mereka harus diakomodasi, dengan prioritas pada keberlanjutan lingkungan dan perlindungan terhadap kelompok marginal. Proses yang partisipatif dan memperhatikan kepentingan berbagai pihak (inklusif) merupakan keharusan dalam penataan ruang. IR

E/IP

AN

K

Page 9: Download Flamma Review 46

8 FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

ARTIKEL LEPAS

Tersisih Karena Teknologi

IRE/

IPA

NK

Dua puluh tahun lalu di sebuah desa di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, musim

panen padi adalah waktu meng-gembirakan. Setelah memetik padi di sawah, kaum perempuan berkumpul di satu rumah. Tua dan muda bersama-sama. Mereka ngiles padi beramai-ramai sampai malam. Bahkan tak jarang hingga dini hari.

Semua itu berubah sejak sepuluh tahun lalu. Proses panen dilakukan sendiri oleh pemilik sawah dengan bantuan segelintir buruh. Selebihnya mesin bekerja. Tak ada lagi kisah kaum perempuan menyambut musin panen padi.

Ini ironi. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk petani, peran kaum perempuan Indonesia di bidang pertanian terus tersingkir. Pada 2013,

Badan Pusat Statistik mencatat 31,7 persen warga Indonesia adalah petani. 23,16 persennya (7,43 juta orang) adalah perempuan.

Perempuan berperan penting dalam produksi pertanian. Bahkan lebih besar dibanding laki-laki. Contohnya dalam proses tanam padi (tandur), perempuan bekerja lebih lama. Demikian juga saat panen tiba, kaum perempuan masih terlibat memetik, memisahkan bulir padi (ngiles), menjemur, dan menggiling padi.

Sayangnya, Revolusi Hijau yang dimulai sejak 1970 mengubah segalanya. Kaum perempuan terus tersingkir dari produksi. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di bidang pertanian berubah. Tatanan sosial dan ekonomi petani desa pun berubah.

Pemerintah Abaikan Peran Perempuan

Di Indonesia, rezim Orde Baru memperkenalkan agenda Revolusi Hijau seperti modernisasi mesin pembajak sawah, penggiling padi, dan obat penangkal hama secara masif.

Tanpa sadar, kehadiran teknologi baru itu menggeser kaum perempuan di bidang pertanian. Dengan alasan lebih praktis, proses menumbuk padi diganti dengan mesin penggiling. Semula kaum perempuanlah yang bertugas menumbuk padi. Akibatnya, mereka kehilangan 12 jam kerja dan sumber penghasilan (Citation Aho 79\| 1033).

Teknologi pertanian memang membuat produksi semakin efektif. Proses kerja berlangsung lebih cepat. Tapi dampaknya, produktivitas perempuan merosot. Istiqomah, seorang guru SD di Kubu Raya, Kalimantan Barat yang juga mengolah sawah di lahan transmigrasi, mengatakan mesin penanam padi yang dibawa Presiden Joko Widodo beberapa tahun lalu telah mengubah tatanan produksi petani di daerahnya.

“Ibu-ibu di sini mengeluh,” katanya. Dulu, lanjut dia, kaum perempuan bisa mendapat penghasilan tambahan Rp 150 ribu per hari dari menjadi buruh tanam padi. Selain pulang membawa uang, mereka juga berhak atas seperlima hingga seperenam dari hasil produksi ketika ikut ngiles padi. “Sekarang pakai mesin tidak dapat penghasilan lagi.”

Nurma FitrianingrumPeneliti IRE

Page 10: Download Flamma Review 46

FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

ARTIKEL LEPAS

9

Teknologi yang ada pun dianggap tak ramah perempuan. Mesin pertanian terlanjur identik dengan maskulinitas. Traktor dan mesin lainnya menjadi kekuasaan laki-laki. Jarang sekali kaum perempuan mengoperasikan mesin penanam dan penggiling padi. Mereka cenderung dipersepsikan sebagai kaum yang lemah secara fisik sehingga tak layak mengoperasikannya.

Jika ada perempuan yang bertahan, biasanya mereka hanya mengerjakan tugas pelengkap. Misalnya menyiangi rumput dan memetik padi dengan alat sederhana (ani-ani). Waktu kerja mereka mungkin lebih lama dibanding laki-laki. Tapi ketimpangan akses terhadap teknologi mengakibatkan perempuan kehilangan kontrol terhadap hasil pertanian (Citation Aho 79\|1033).

Dampak berikutnya, perempuan kian terdomestifikasi. Tergusur oleh mesin dan kehilangan penghasilan, perempuan pun kembali ke ranah kerja domestik. Mereka menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga. Ujungnya, mereka kehilangan peluang bersosialisasi.

Modernisasi teknologi tak peduli dengan keadilan gender dalam dunia pertanian. Pemerintah tak memiliki perhatian serius meski fenomena itu terjadi sejak puluhan tahun lalu. Semestinya, pemerintah mempertimbangkan aksesibilitas perempuan sebelum mengadopsi dan mendistribusikan teknologi pertanian secara massal. Negara bisa menyusun regulasi agar teknologi pertanian menjadi ramah bagi perempuan. Bukan semata efisiensi produksi.

“S e m e s t i n y a , p e m e r i n t a h mempertimbangkan a k s e s i b i l i t a s perempuan sebelum mengadopsi dan mendistribusikan teknologi pertanian secara massal.

Page 11: Download Flamma Review 46

10 FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

ARTIKEL LEPAS

Sunaji Zamroni

Peneliti IRE

Menghidupkan kembali Demokrasi Lokal

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa angin segar dalam

kehidupan masyarakat desa. Puluhan tahun menjadi korban kebrutalan sistem negara kini posisi desa lebih mulia. Melalui undang-undang itu negara mengakui kedudukan desa berdasarkan asal-usul dan berhak memiliki wewenang lokal. Perubahan revolusioner ini membawa harapan pada masa depan desa yang kuat, mandiri, dan demokratis.

Ironisnya, korporasi negara pada era sebelumnya telah merontokkan sistem di desa secara sempurna (Zakaria, 2000; Antlov, 2003; Mas’oed, 2003). Tapi UU Desa menyediakan panduan pemulihan.

Sebelum memperbincangkan peta jalan (road map) pemulihan, mari mengenali perubahan mendasar tentang desa dalam regulasi baru ini.

Pertama, kedudukan desa. Jika sebelumnya desa hanya “pesuruh” pemerintah kabupaten atau kota kini negara mengakui dan menghormatinya sebagai komunitas asli. Kedudukannya tak lagi bergantung dari “budi baik” sang bupati atau walikota.

Kedua, kewenangan desa. Pada masa lalu desa tak berdaya dalan relasi supra desa. Tapi kini dan masa mendatang desa menjadi lebih mandiri. Kewenangan berdasarkan hak asal usul dan lokal menjadi demarkasi kekuasaan desa mengurus pemerintahan, pembangunan, sosial

masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat.

Ketiga, demokrasi desa. Pengakuan dan penghormatan negara atas desa bukan sekadar pada aspek sejarah, organisasi, dan kemampuannya. Negara sekaligus mengakui dan menghormati tata nilai yang menjadi jati diri masyarakat desa (tata krama, tata susila, dan tata cara). Sejatinya tatanan itu merupakan nilai demokrasi paling asli di tingkat lokal.

Istilah lokal dalam pengertian institusi, merujuk pada Uphoff (1986), dapat dipahami dalam tiga level, yaitu localities, communities, dan groups. Ketiganya merupakan sekumpulan masyarakat yang memiliki ciri saling berinteraksi atau berkomunikasi. Dengan demikian, demokrasi lokal bisa dimaknai sebagai tata nilai yang mengakar kuat di masyarakat yang saling berinteraksi atau berkomunikasi. Ciri masyarakat seperti ini masih ada di desa. Sehingga Musyawarah Desa (Musdes) yang diamanatkan UU Desa adalah pemadatan demokrasi lokal. Bukan demokrasi impor.

Keempat, pembangunan desa. Desa kini menjadi subyek pembangunan. Mantra desa membangun adalah pembalikan atas perlakuan negara yang selama ini menempatkannya sebagai pasar dan proyek supra desa. Satu desa satu perencanaan. Artinya, siapa pun pihak di luar desa harus menghormati dan mematuhi dokumen perencanaan desa. IR

E/IP

AN

K

Page 12: Download Flamma Review 46

FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

ARTIKEL LEPAS

11

Kelima, keuangan dan aset desa. UU Desa mengamanatkan pendekatan satu pintu anggaran (consolidated budget) untuk mengganti banyak pintu anggaran (fragmented budget). Uang yang masuk ke desa terkonsolidasi melalui Dana Desa (APBN), Alokasi Dana Desa (APBD kabupaten/kota), bantuan keuangan (APBD propinsi dan kabupaten/kota), serta bagi hasil pajak dan retribusi (APBD kabupaten/kota). Proyek-proyek pemerintah pusat dan daerah tak bisa lagi menyelonong sembarangan ke desa. Selain itu, aset desa harus diinventarisir menjadi hak milik desa dan menjadi modal kemandirian desa.

Keenam, ekonomi desa. UU Desa ingin menghadirkan struktur negara yang berpihak pada perekonomian rakyat. Ketika uang dan aset menjadi otoritas desa maka ekonomi yang tidak ramah pada rakyat harus dihindari dan diabaikan.

Enam aspek fundamental di atas menjadi fokus utama pengaturan UU Desa. Tapi ihwal demokrasi desa adalah mandat paling revolusioner. Pasal 54 dengan tegas menempatkan Musdes sebagai forum permusyawaratan tertinggi bagi pembahasan masalah strategis desa.

Musdes wujud dari konsep demok ras i pe rmusyawa ra tan (deliberative democracy). Model demokrasi ini memiliki akar kuat dalam kehidupan masyarakat desa di Indonesia. Terbukti masyarakat lokal telah mempraktikkannya sejak lama. Mereka melembagakan tatanan yang lahir dari proses dialog itu dalam tiga bentuk; tata krama (fatsoen), tata susila (etika), dan tata cara (rule of law).

Mungkin saat i tu moyang masyarakat lokal belum mengenal baik terminologi demokrasi. Tapi esensi ketiga tatanan itu sangat mencerminkan nilai demokrasi. Tata krama terwujud dalam budaya toleransi, keterbukaan, kesetaraan, mutual trust, tanggung jawab, kepedulian, dan kompetensi politik. Artinya, mereka telah mewariskan

demokrasi pada tingkat kultural. Pada tingkat prosedural pun moyang mereka telah melembagakan tata cara mengambil keputusan, memilih pemimpin, dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat (IRE, 2003).

Peta Jalan Gagasan menghidupkan kembali

demokrasi lokal yang berwatak deliberatif dan bersendikan tradisi komunitarian relevan pada saat ini. Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta merupakan komunitas yang pernah mengusung gagasan itu pada awal era tahun 2000. Kala itu, transisi demokrasi sedang bergelora di republik ini. Lalu kini UU Desa menghadirkan momentum untuk memunculkan gagasan itu kembali.

Dalam diskursus demokrasi, model demokrasi deliberatif masuk dalam kategori demokrasi komunitarian (IRE, 2003). Demokrasi komunitarian menjadi kr i t ik atas hegemoni demokrasi liberal yang menyeragamkan demokrasi prosedural ke penjuru dunia. Kaum komunitarian mengkritik nalar individualisme yang menjadi pijakan masyarakat liberal. Mereka meyakini

demokrasi adalah seni bergaul yang ditempuh secara bersama dalam satu ikatan kolektif.

Penganut demokrasi komunitarian Barber (1983) dan Walzer (1984) melontarkan kritik bahwa watak ind iv idua l i sme yang d iusung kaum liberal cenderung merusak kewarganegaraan. Bahkan watak itu tak mampu menjamin kebebasan dan kesetaraan dalam kehidupan sosial. Kaum komunitarian percaya warga selalu terikat dalam kolektivitas komunitas. Maka nalar komunitarian pun tak sepakat dengan demokrasi perwakilan. Demokrasi ala kaum liberal itu hanya akan mengasingkan partisipasi warga dan menyisihkan hak dasar mereka. Di sinilah urgensi mengembangkan demokrasi deliberatif (UU Desa menyebutnya sebagai Musdes) menemukan relevansinya.

Regulasi sebelumnya, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyediakan roadmap demokrasi perwakilan di desa. Bentuknya, Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Institusi itu menjadi tumpuan politik representatif dan demokrasi perwakilan di desa. UU Desa mempertahankan kedudukan IR

E/IP

AN

K

Page 13: Download Flamma Review 46

12 FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

ARTIKEL LEPAS

BPD. Tapi mandat utamanya untuk melembagakan model demokrasi deliberatif bagi penentuan isu strategis di desa.

Ada tujuh isu strategis yang harus diputuskan dengan model demokrasi deliberatif. (a) Penataan desa, (b) perencanaan desa, (c) kerja sama desa, (d) rencana investasi yang masuk ke desa, (e) pembentukan Badan Usaha Milik Desa, (f) penambahan dan pelepasan aset desa, serta (g) kejadian luar biasa. Selain itu, demokrasi deliberatif ala Musdes ini juga harus diterapkan untuk memutuskan kewenangan, perencanaan, dan anggaran desa.

Uraian di atas menunjukkan relevansi konteks kesejarahan masyarakat lokal dengan model demokrasi deliberatif kehendak UU Desa. Masalahnya, demokrasi semacam ini tak tersemai lagi di lahan subur. Demokrasi di desa kini dihuni kaum elit yang -sangat mungkin-

hegemonik, dominan, manipulatif, dan anti demokrasi. Di sisi lain, demokrasi perwakilan dan prosedural justru menuai banyak bermasalah. Selain tak sesuai dengan mandat UU Desa, demokrasi model ini terbukti gagal lantaran dibajak elit politik. Maka ketika demokrasi deliberatif ala Musdes bisa dikelola dengan baik, bangsa ini akan berprestasi melahirkan arus balik demokrasi. Demokrasi lokal pun bisa menjadi koreksi atas demokrasi liberal yang gagal mengantarkan kesejahteraan bagi masyarakat desa.

Ada dua rumusan pertanyaan untuk menjawab tantangan itu. Apakah demokrasi deliberatif ala Musdes bisa terwujud secara ideal dan mampu mengantarkan kesejahteraan? Kalau pun bisa, bagaimana peta jalannya?

Berpijak pada dua pertanyaan itu agenda menghidupkan kembali demokrasi lokal melalui Musdes menjadi penting dan menarik. Harapannya, gagasan itu bisa

berkontribusi untuk melembagakan prosedur dan kultur demokrasi deliberatif menuju desa yang kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Tekad ini akan tercapai melalui beberapa perubahan dan kegiatan yang relevan dengan kebutuhan.

Pertama, perubahan pada diri warga dan masyarakat desa. Perubahan ini akan tercapai ketika warga memiliki pengetahuan, keterampilan, dan komitmen mengembangkan demokrasi deliberatif. Karena merekalah aktor utama sistem demokrasi ini. Mereka harus mulai mempraktikkan sikap saling menghargai dan mendengarkan orang lain, baik di dalam rumah tangga maupun forum warga. Kegiatan peningkatan kapasitas, pendampingan, pertukaran pengalaman, dan jambore warga juga bisa menjadi pilihan untuk memperkuat pengetahuan warga.

Kedua, perubahan dalam diri pemerintahan desa. Pembajakan Musdes oleh elit desa hanya bisa IR

E/IP

AN

K

Page 14: Download Flamma Review 46

FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

ARTIKEL LEPAS

13

terlembaga dengan menghidupkan kembali tata nilai yang selama ini hidup di masyarakat desa. Artinya, mekanisme dan praktik demokrasi di Musdes sebaiknya dibangun dari pengalaman masyarakat dalam berinteraksi dan menjalin relasi antar mereka. Bukan sebaliknya, Musdes berjalan dengan cara demokrasi yang bersumber dari luar tradisi.

“dikikis dengan mengubah watak dan karakter mereka. Maka elit pemerintahan desa wajib memahami nilai demokrasi deliberatif secara utuh. Mereka harus memiliki pengetahuan, keterampilan, dan komitmen yang memadai tentang demokrasi dan Musdes. Di antara caranya adalah menyediakan pendampingan bagi elit untuk menjadi pemimpin dan perangkat desa yang mau menghargai dan mendengar aspirasi warga.

Ketiga, perubahan dalam ruang deliberasi dan partisipasi desa. Musdes sebagai ruang deliberatif tertinggi di desa menjadi gerbang utama perumusan kebijakan strategis. Ketika warga yang aktif tidak terkonsolidasi dengan baik, ruang deliberatif itu sangat mungkin berlangsung formal-prosedural dan manipulatif. Elit desa

selalu mencari celah untuk memuaskan kepentingannya meski mereka telah diedukasi tentang demokrasi. Karena itu desa harus memiliki forum warga, komite warga, atau apapun namanya. Yang jelas, kelompok itu berfungsi sebagai ruang ekspresi warga dalam ikatan kolektif berbasis wilayah, sektor, dan profesi. Hanya dengan organisasi masyarakat sipil inilah Musdes yang berwatak demokrasi deliberatif tetap terjaga dan terawat.

Serangkaian kegiatan yang b i sa mewujudkannya ada lah pengorganisasian warga, gelar seni budaya warga desa, advokasi bertema strategis desa, dan lainnya. Berdasarkan nalar Pasal 54 UU Desa, bagan alur berikut bisa memberi gambaran bagi desa ketika menghadapi isu strategis berupa rencana investasi.

Bagan di atas memperlihatkan penyusunan kebijakan investasi di desa melalui Musdes. Ruang deliberasi bisa berkembang di Musdes. Bias dan kemungkinan pembajakan oleh elit, juga permainan ekonomi politik, bisa diantisipasi melalui forum warga berdaya serta kehadiran aktor Musdes yang terdidik tentang demokrasi desa.

Rute demokrasi lokal di Musdes

A p a k a h d e m o ­krasi del iberat i f ala Musdes bisa ter wujud secara ideal dan mampu m e n g a n t a r k a n kesejah teraan?

Page 15: Download Flamma Review 46

14 FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

ARTIKEL LEPAS

Musyawarah Desa masih menjadi alat untuk melegiti­masi kepentingan elit desa.

Rembug kurang dialogis dan tidak partisipatif. Kepala desa dan sekretarisnya berpidato, peserta sedikit berbasa­basi menanggapi, lalu musyawarah rampung. Akibatnya, kepentingan masyarakat terabaikan.

Kelompok paling rentan menjadi korban musyawarah salah kaprah ini perempuan dan anak miskin serta warga berkebutuhan khusus. Kebutuhan dan kepent ingan mereka tak terakomodir dalam hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa dan Musdes.

Pengalaman diskusi dengan p a m o n g D e s a K a r a n g w u n i Kecamatan Wates (12 Mei 2016) dan Desa Jatimulyo Kecamatan Girimulyo (15 Mei 2016), keduanya di Kabu­paten Kulonprogo, menunjukkan Musdes kurang memprioritaskan pembangunan desa yang bermanfaat bagi kelompok marjinal. Sebaliknya, Musdes justru menjadi alat untuk melegit imasi kepentingan eli t desa. Contohnya pembangunan jalan beraspal. Program ini hanya membawa keuntungan bagi pemilik kendaraan bermotor dan pengusaha transportasi.

Jika menil ik tradisi warga pedesaan, musyawarah adalah alat bagi kelompok marjinal untuk

menyampaikan aspirasi, kebutuhan, dan kepentingannya. Tradisi itu berlangsung sejak lama. Bahkan ka langan lembaga swadaya masyarakat telah mengaktualisasikan metode ini sejak tahun 1980an.

Ada empat fungs i u tama musyawarah dalam tradisi masya­rakat desa. Yang pertama sebagai metode untuk saling bertukar pendapat, pikiran, dan rasa dalam proses pemecahan masalah. Kedua, musyawarah juga menjadi alat untuk mengambil keputusan tentang

kebutuhan hidup bersama. Fungsi musyawarah yang ketiga

adalah wujud kedaulatan rakyat. Karena posisinya sebagai manifestasi kedaulatan maka musyawarah merupakan ajang bagi warga untuk mempertahankan sikap, pikiran, dan perilaku dalam pengelolaan potensi di lingkungan mereka.

Terakhir, musyawarah adalah falsafah negara. Ini jelas tercantum dalam sila keempat Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebi jaksanaan dalam

Dampak Musdes Tanpa Musyawarah

Fajar SudarwoPeneliti IRE

ILU

STR

ASI

DO

K IR

E

Page 16: Download Flamma Review 46

FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

ARTIKEL LEPAS

15

permusyawaratan/perwakilan”. Kata “permusyawaratan” terang mengungkapkan ihwal musyawarah.

Menurut Panduan Pendidikan Musyawarah (Dikmus) Bina Desa Tahun 1982, musyawarah (dialogue of life) dan karya bersama (gotong royong) adalah nilai manusiawi yang sejak lama ada dan mengakar kuat pada masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan. Mereka menggunakan musyawarah untuk mengambil keputusan. Karenanya, musyawarah adalah akar kehidupan demokrasi.

Bina Desa adalah lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Mereka telah menggelar pendidikan musyawarah sejak tahun 1980an. Lembaga ini mengembangkan model pendidikan yang dibangun di atas pondasi nilai yang ada di masyarakat. Pendidikan itu juga dibangun berdasar pengalaman kehidupan kaum marjinal. Tujuannya agar musyawarah tidak “direbut” kaum elit untuk melegitimasi kepentingannya dalam proses pengambilan keputusan di desa.

Bina Desa melihat musyawarah sebagai model pendidikan alternatif bagi kaum marjinal. Metodenya dialogis, tujuannya menumbuhkan sikap kritis, transformatif, dan demokratis. Model ini efektif bagi pendidikan politik rakyat yang membebaskan.

Selain itu, pendidikan musyawarah ini juga bisa memperkuat posisi kaum marjinal pada beberapa aspek. Penguatan kesadaran transformatif, organisasi, jaringan kerjasama, ekonomi, dan advokasi. Kelima aspek itu berkelindan saling berhubungan.

Undang­Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah menyediakan jalan lapang bagi kaum marjinal untuk menyuarakan kepentingannya. Posisi itu diperkuat oleh Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Musyawarah Desa. Tapi sekali lagi, tanpa musyawarah yang sebenar­benarnya musyawarah, Musdes hanya jadi stempel kekuasaan elit desa.

“Jika menilik tradisi warga pedesaan, musyawarah adalah alat bagi kelompok m a r j i n a l u n t u k m e n y a m p a i k a n aspirasi, kebutuhan, dan kepentingannya.

IRE/

IPA

NK

Page 17: Download Flamma Review 46

16 FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

RESENSI BUKU

Judul Buku: Suara Dari Desa Menuju Revitalisasi PKKPenulis : Ani W Soetjipto & Shelly Adelina Penerbit : Marjin Kiri Cetakan : Pertama, Maret 2013 Tebal : xliv + 222hlm, 14 x 20,3 cm

ini berpeluang besar dalam pem­berdayaan perempuan di seluruh penjuru negeri. “Kedekatannya dengan negara harus diakui telah memberi PKK jangkauan yang begitu luas dan masif hingga ke pelosok desa yang paling terpencil di Indonesia.”

Kuncinya? Revitalisasi. Revitalisasi merupakan proses

menghidupkan kembali berbagai program dan kegiatan. Seperti organisasi lainnya, PKK juga perlu merevitalisasi dirinya, baik dari sisi kelembagaan, kepemimpinan, dan organisasi.

Secara umum, organisasi ini memiliki perhatian pada dua persoalan perempuan; praktis dan strategis. Masalah praktis terkait

pemenuhan kebutuhan jangka pendek dan kebutuhan sehari­hari semisal sandang, pangan, dan papan. Adapun persoalan strategisnya sebagai penggerak kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Kedua penulis buku ini, Ani W Soetjipto dan Shelly Adelina, melakukan penelitian di empat kabupaten (Garut, Wonosobo, Sleman, dan Gunungkidul) untuk melihat relasi organisasi perempuan dengan isu gender di tingkat desa. Mereka menganalisa posisi organisasi perempuan, signifikansi gerakannya, hubungan antar organisasi, dan dampaknya pada kaum perempuan. Hasilnya, masing­masing perempuan di tiap daerah

Suara Dari Desa Menuju Revitalisasi PKK

“PKK selama ini lebih banyak d i ident ikkan dengan gerakan ibu­ibu bentukan

Orde Baru untuk mengekalkan ideologi patriarki dengan mereduksi peran perempuan hanya dalam ranah domestik.”

Kalimat yang lugas dan tepat untuk menggambarkan organi­sasi perempuan, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, itu ter­pampang di laman Marjin Kiri, penerbit kritis dan independen yang berkantor di Tangerang Selatan.

Pada satu masa ketika Presiden Soeharto berkuasa PKK memang berjaya. Tapi kini setelah rezim Orde Baru tumbang pamor PKK terus memudar. Meski dianggap sebagai penopang patriarkisme dan corong pemerintah, sejatinya organisasi

Page 18: Download Flamma Review 46

FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

RESENSI BUKU

17

memiliki persoalan berbeda. Di Garut misalnya, Pos Pelayanan

Keluarga Berencana­Kesehatan Terpadu (Posyandu) yang semestinya dimotori PKK justru tak terjadi. Padahal angka kematian ibu tinggi. PKK juga tak merespon positif ketika kaum ibu memprotes tingginya biaya pengurusan akta kelahiran (Rp 300 ribu) bagi anak mereka.

Proses pemberdayaan kaum perempuan di Garut juga lemah. Terbukti kabupaten ini menjadi salah satu daerah penyumbang angka buruh migran terbesar di Indonesia. Banyak perempuannya pergi ke luar negeri dan rawan menjadi korban perdagangan manusia. PKK, organisasi bentukan negara dan memiliki mandat menjalankan program pemerintah, semestinya bisa menjembatani pemecahan masalah itu.

Buku ini juga menampilkan kesejahteraan kader PKK yang masih rendah. Sebagai ujung tombak

program pemerintah, banyak kader PKK bekerja tanpa honor, kepastian jam kerja, serta perlindungan asuransi. Padahal tak jarang mereka bekerja melayani masyarakat dengan mempertaruhkan keselamatan diri. Toh, mereka dengan sukarela bekerja keras tanpa pamrih.

Menariknya, kondisi itu meng­akibatkan tak banyak perem­puan berpendidikan tinggi tertarik bergabung dalam tim penggerak PKK. Seorang narasumber bernama Ika, seperti tertulis pada halaman 152, mengatakan tidak mudah menarik perempuan berpendidikan menjadi penggerak PKK. Salah satu faktor utamanya adalah persoalan honor. Mereka kerap menanggung kerugian finansial gara­gara mengeluarkan uang pribadi untuk membiayai organisasi.

Kedua peneliti menawarkan perubahan fundamental bagi PKK. Karena kenyataannya, PKK hanya bertumpu pada 10 program pokok

dan tak mampu merespon isu gender secara maksimal. Saat ini, otonomi desa dan keterbukaan kerja dengan masyarakat dinilai berpeluang mengubah organisasi ini menjadi lebih baik. Revitalisasi semacam ini tidak mengubah posisi PKK sebagai bagian integral dari pelaksanaan program pembangunan.

Fokus perhatian PKK juga harus berkembang. Tak terbatas pada ranah domestik semata. Dengan koordinasi paralel antar PKK kabupaten dan desa, persoalan penting perempuan bisa teratasi.

Buku ini menarik di tengah meredupnya peran PKK. Tak hanya karena bahasanya yang lugas, buku setebal 222 halaman ini sekaligus menyediakan panduan bagi pegiat PKK dan aktivis perempuan. Kelebihan lainnya, buku ini menyuguhkan pengalaman para pegiat PKK secara naratif. Pengalaman mereka tentu berharga untuk memahami PKK secara utuh. Selamat membaca.

Ema Yulianti

IRE/

IPA

NK

Page 19: Download Flamma Review 46

18 FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

FOTOGRAFI

Page 20: Download Flamma Review 46

FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

FOTOGRAFI

19

Bedah Buku

Desa Mengembangkan Penghidupan Berkelanjutan

Page 21: Download Flamma Review 46

20 FLAMMA Review Edisi 46 April 2016

FOTOGRAFI

Buku ini mengingatkan kepada kita bahwa desa tidak boleh lagi dijadikan obyek program kementerian hingga

SKPD kabupaten. Desa adalah sumber produksi yang harus bisa dinikmati warga desa. Jika desa sudah bisa menjadi sumber penghidupan bagi warganya, maka arus kepergian warga desa usia produktif ke kota akan semakin berkurang. Buku ini wajib dibaca kader desa maupun pendamping desa sehingga memiliki visi yang sama untuk menjadikan desa sebagai sumber penghidupan berkelanjutan yang berguna bagi warga dan pemerintah desa.

Marwan Jafar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Page 22: Download Flamma Review 46