Upload
vonhan
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN TEORI DAN KONSEP
1. Definisi lanjut usia / lansia
Lanjut usia ( lansia ) merupakan bagian dari proses tumbuh kembang manusia.
Manusia tidak secara tiba – tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi,
anak – anak, dewasa, dan akhirnya menjadi tua. Lansia merupakan suatu
proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan
mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia
yang terakhir. Dimasa seseorang pada umumnya akan mengalami kemunduran
fisik, mental dan sosial secara bertahap ( Azizah, 2011 ).
Lansia bukanlah suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu
proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stress lingkungan ( Pudjiastuti, dkk, 2009).
a. Batasan Lanjut usia
Batasan lanjut usia yaitu umur yang dijadikan patokan sebagai lanjut
usia berbeda – beda, umumnya berkisar antara 60 – 65 tahun. Berikut
dikemukakan beberapa pendapat para ahli mengenai batasan umur :
1) Menurut organisasi kesehatan dunia WHO ada 4 tahap yakni :
a) Usia pertengahan (Middle ag ) ( 45 – 59 tahun)
b) Lanjut usia (elderly) (60 – 74 tahun)
c) Lanjut usia tua (old) (75 – 90 tahun )
d) Usia sangat tua (Very old ) (diatas 90 tahun)
9
b. Teori – Teori Proses Menua
Teori penuaan secara umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu teori
penuaan secara biologi dan teori penuaan psikososial (Bandiyah, S,
2009)
1) Teori Biologi
a) Teori genetic dan Mutasi (Somatic Mutatie Theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetic untuk
spesises-spesies tertentu.Menua terjadi sebagai akibat dari
perubahan biokimia yang di program oleh molekul-molekul /
DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami
mutasi.Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel-sel
kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel)
b) Pemakaian dan rusak kelebihan usaha dan stress menyebabkan
sel-sel tubuh lelah (terpakai)
c) Pengumpulan dari pigmen atau lemak dalam tubuh yang
disebut teori akumulasi dari produk sisa.Sebagai contoh adanya
Pigmen Lipofuchine di sel otot jantung yang mengakibatkan
mengganggu fungsi sel itu sendiri.
d) Peningkatan jumlah Kolagen dalam Jaringan.
e) Tidak ada perlindungan terhadap radiasi,penyakit dan
kekurangan gizi.
f) Reaksi dari kekebalan sendiri (Auto Immune Theory)
Di dalam proses Metabolisme tubuh,suatu saat diproduksi suatu
zat khusus.Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan
terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah
10
dan sakit.sebagai contoh ialah tambahan kelenjar timus yang
ada pada usia dewasa berinvolusi dan semenjak itu terjadilah
kelainan autoimun.
g) Teori Immunology Slow Virus (Immunology Slow Virus
Theory )
Sistem Immun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan
masuknya virus ke dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan
organ tubuh.
h) Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan
sel - sel tubuh lelah terpakai.
i) Teori Radikal bebas
Radikal Bebas dapat terbentuk di dalam bebas,tidak
stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan
oksidasi oksigen bahan-bahan organic seperti karbohidrat dan
protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat
regenerasi.
j) Teori Rantai Silang
Sel-sel yang tua atau using,reaksi kimianya menyebabkan
ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen, ikatan ini
menyebabkan kurangnya elastic, kekacauan dan hilangnya
fungsi.
11
k) Teori Program
Kemampuan Organisme untuk menetapkan jumlah sel yang
membelah setelah sel - sel tersebut mati (Bandiyah, 2009)
2) Teori Psikososial
a) Aktivitas atau kegiatan (activity Theory)
(a) Ketentuan akan mengingatnya pada penurunan jumlah
kegiatan secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa pada
lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut
banyak dalam kegiatan sosial.
(b) Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup
dari lanjut usia.
(c) Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan
individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut
usia.
b) Kepribadian berlanjut (Countinuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut
usia. Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori
ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seiring
lanjut usia dipengaruhi oleh tipe personality yang dimilikinya.
c) Teori Pembebasan (Didengagement Theory)
Putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan
kemunduran individu oleh Cummning dan Henry 1961. Teori
ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang
secara berangsur – angsur mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan
12
sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut
usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga
sering terjadi kehilangan ganda (Triple Loos), yakni :
(a) Kehilangan peran (Loos of Role)
(b) Hambatan kontak sosial (Restrastion of Contacts and
Relation Ship)
(c) Berkurangnya komitmen (Reuced commitment to Social
Mores and Values)
c. Perubahan – perubahan yang terjadi pada lanjut usia
1) Sel
a) Lebih sedikit jumlahnya.
b) Lebih besar ukuranya.
c) Berkurangngnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan
intraseluler.
d) Menurunya proporsi protein di otak, otot, ginjal dan darah dan
hati.
e) Jumlah sel otak menurun.
f) Terganggunya mekanisme perbaikan sel.
g) Otak menjadi atrofis beratnya berkurang 5 – 10 %
2) Sistem pernafasan
a) Berat otak menurun 10 – 20 % (setiap orang berkurang sel saraf
otaknya dalam setiap harinya)
b) Cepatnya menurun hubungan persyarafan.
c) Lambat dalam respon dna waktu untuk bereaksi, khususnya
dengan stress.
13
d) Mengecilnya saraf panca indra.
e) Mengurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran,
mengecilnya syaraf pencium dan perasa, lebih sensitif
terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan
terhadap dingin.
3) Sistem pendengaran
a) Presbiakusis (gangguan pada pendengaran). Hilangnya
kemampuan ( daya ) pendengaran pada telinga dalam terutama
terhadap bunyi atau suara – suara atau nada – tinggi, suara
yang tidak jelas, sulit mengerti kata – kata 50 % terjadi pada
usia di atas umur 65 tahun.
b) Membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.
c) Terjadinya pengumpulan cerumen dapat mengeras karena
meningkatnya kratin.
d) Pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang
mengalami ketegangan jiwa / stress.
4) Sistem Penglihatan
a) Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap
sinar.
b) Kornea lebih berbentuk sferis (bola)
c) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak,
jelas menyebabkan gangguan penglihatan.
d) Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi
terhadap kegelapan lebih lambat, dan sudah melihat dalam
cahaya gelap.
14
e) Hilangnya daya akomodasi.
f) Menurunnya lapangan pandang.
g) Menurunya daya membedakan warna biru atau hijau pada
skala.
5) Sistem kardiovaskuler
a) Elastisitas, dinding aorta menurun.
b) Katup jantung menebal dan menjadi kaku.
c) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1 % setiap
tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan
menurunnya kontraksi dan volumennya.
d) Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi.
e) Tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya
resistensi dari pembuluh darah perifer.
6) Sistem respirasi
a) Otot – otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku.
b) Menurunya aktivitas dari silia.
c) Paru – paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat,
menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum
menurun, dan kedalaman bernafas menurun.
d) Alveoli ukurannya melebar dari biasa dan jumlahnya
berkurang.
e) Kemampuan untuk batuk berkurang.
f) Kemampuan pegas, dinding, dada, dan kekuatan otot
pernafasan akan menurun seiring dengan pertambahan usia.
15
7) Sistem kulit ( Integumentary System )
a) Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak.
b) Permukaan kulit kasar dan bersisik ( karena kehilangan proses
keratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk – bentuk sel
epidermis.
c) Mekanisme proteksi kulit menurun : Produksi serum menurun ,
penurunan produksi VTD, gangguan permegtansi kulit.
d) Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu.
e) Berkurangnya elastisitas akibat dari menurunnya cairan dan
vaskularisasi.
f) Kuku jari menjadi keras dan rapuh.
g) Kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk
(Bandiyah, 2009).
2. Reumatoid Arthritis
a. Pengertian
Istilah Rheumatismos berasal dari bahasa Yunani, Rheumatismos yang
berarti mucus, suatu cairan yang dianggap jahat mengalir dari otak kesendi
dan struktur lain tubuh sehingga menimbulkan rasa nyeri dan kata lain,
setiap kondisi yang disertai kondisi nyeri dan kaku pada sistem
muskoleskeletal disebut rheumatoid arthritis termasuk penyakit jaringan
ikat (Ismayadi, 2004).
Rheumatoid arthritis termasuk dalam penyakit reumatologi yang
menunjukan suatu kondisi nyeri dan kaku yang menyerang anggota gerak
dan sistem musculoskeletal, yaitu sendi, otot tulang, maupun jaringan
disekitar sendi (Hembing, 2006).
16
Penyakit rheumatoid arthritis merupakan kelompok terbesar gangguan otot
dan persendian pada lansia karena frekuensinya yang tinggi. Memang
kadang keluhan ini tersamarkan oleh keluhan yang tidak jelas, penyakit
penyerta yang tidak berhubungan dengan sistem otot dan persendian, serta
sering terjadi bersamaan dengan penurunan fungsi beberapa sistem organ
(Broto, 2007).
Rheumatoid arthritis adalah suatu bentuk nyeri sendi ( peradangan sendi
yang biasanya menyerang jari – jari kaki, terutama ibu jari kaki ). Bisa
juga menyerang lutut, tumit, pergelangan kaki, pergelangan tangan, jari –
jari tangan dan siku.
b. Jenis – Jenis Rheumatoid Arthritis
Ditinjau dari lokasi patologik maka jenis rheumatoid arthritis tersebut
dapat dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu arthritis artikuler dan
arthritis non artikuler. Arthritis artikuler (radang sendi) merupakan
gangguan arthritis yang berlokasi pada persendiaan, diantaranya meliputi
arthritis rheumatoid, osteoarthritis dan gout arthritis. Arthritis non artikuler
atau ekstra artikuler yaitu gangguan arthritis yang disebabkan oleh proses
diluar persendian, diantaranya bursitis, fibrositis dan sciatica (Hembing,
2006)
1) Arthritis artikuler
a) Osteoarthritis
Penyakit ini merupakan penyakit kerusakan tulang rawan sendi
yang berkembang lambat dan berhubungan dengan usia lanjut.
Secara klinis ditandai dengan nyeri, deformitas, pembesaran sendi
dan hambatan gerak pada sendi – sendi tangan dan sendi besar
17
yang menanggung beban. Osteoarthritis adalah penyakit
peradangan sendi yang sering muncul pada usia lanjut. Jarang
dijumpai pada usia dibawah 40 tahun dan lebih sering dijumpai
pada usia diatas 60 tahun.
b) Arthritis rematoid
Arthritis rematoid merupakan radang sendi yang umumnya
menyerang pada sendi tangan dan kaki, yang semakin lama
semakin bertambah berat sakitnya.
c) Gout arthritis
Gout arthritis adalah suatu bentuk arthritis (peradangan sendi yang
biasanya menyerang jari – jari kaki, terutama ibu jari – jari kaki).
Bisa juga menyerang lutut, tumit, pergelangan kaki, pergelangan
tangan, jari – jaritangan dan siku. Gout biasanya diturunkan dalam
keluarga. Hanya saja pada pria sering timbul tanpa gejala awal
sekitar umur 45 tahun. Bila dicetuskan oleh cedera ringan seperti
memakai sepatu yang tidak sesuai ukuranya, terlalu banyak makan
– makanan yang mengandung jeroan.
2) Arthritis non artikuler
a) Bursitis
Merupakan peradangan bursa yang menimbulkan rasa sakit pada
satu atau lebih kantong yang berisi cairan penutup dan pelindung
ujung tulang. Bursa berfungsi sebagai bantalan antara tulang, otot
dan tali otot. Daerah yang biasanya terserang bursitis meliputi
bagian bawah otot bahu, siku, sendi pinggul, tempurung lutut dan
18
tumit. Bursitis terjadi pada usia menengah dan mungkin
seranganya tidak berlangsung lama.
b) Fibrositis
Merupakan suatu kondisi yang disebabkan inflamasi atau
peradangan jaringan ikat fibrous, terutama pada daerah leher, bahu
dan punggung bagian atas. Hal ini terjadi karena berbagai hal.
Umumnya, fibrositis disebabkan rasa sakit pada leher dan tulang
belakang akibat salah urat atau cedera ringan, serta adanya yang
mengalami degenerasi pada tulang rawan. Selain itu dapat juga
disebabkan karena kelelahan, kecemasan dan faktor kejiwaan
maupun psikis. Gangguan ini ditandai dengan rasa sakit, sensitive,
dan otot kaku. Fibrositis sering dijumpai pada usia lanjut, terutama
wanita.
c) Sciatica
Merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh rasa sakit yang
menjalar kebawah dari punggung bagian bawah atau bokong
hingga tunkai bawah sepanjang daerah saraf sciatic yaitu saraf
terbesar tubuh yang terletak disepanjang kaki. Umumnya penyakit
ini disebabkan tekanan pada saraf oleh invertebralis yang robek
dan menonjol keluar dari sumsum tulang belakang atau ruas tulang
punggung yang bergeser.
19
c. Patofisiologi
Pemahaman mengenai anatomi normal dan fisiologis persendian
diartrodial atau synovial merupakan kunci untuk memahami
patofisiologis penyakit nyeri sendi. Fungsi persendian sinovial adalah
gerakan. Setiap sendi synovial memiliki kisaran gerak tertentu kendati
masing – masing orang tidak mempunyai kisaran gerak yang sama
pada sendi – sendi yang digerakan. Pada sendi synovial yang normal
kartigo artikuler membungkus ujung tulang pada sendi dan
menghasilkan permukaan yang licin serta ulet untuk gerakan.
Membrane synovial melapisi dinding dalam kapsula fibrosa dan
mensekresikan cairan kedalam ruang antara tulang.
Cairan sinovial ini berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorber )
dan pelumass yang memungkinkan sendi untuk bergerak secara bebas
dalam arah yang tepat. Sendi merupakan bagian tubuh yang sering
terkena inflamasi dan degenerasi yang terlihat pada penyakit nyeri
sendi. Meskipun memiliki keaneka ragaman mulai dari kelainan yang
terbatas pada satu sendi sehingga kelainan multi sistem yang sistemik,
semua penyakit rheumatoid meliputi inflamasi dan degenerasi dalam
derajat tertentu yang terbiasa terjadi sekaligus. Inflasi akan terlihat
pada persendian yang mengalami pembengkakan. Pada penyakit
rematoid inflamtori, inflamasi merupakan proses primer dan
degenerasi yang merupakan proses sekunder yang timbul akibat
pembentukan pannus (proliferasi jaringan synovial). inflamasi
merupakan akibat dari respon imun.
20
Sebaliknya pada penyakit nyeri sendi degenerative dapat terjadi proses
inflamasi yang sekunder. Pembengkakan ini biasanya lebih ringan
serta menggambarkan suatu proses reaktif dan lebih besar
kemungkinanya untuk terlihat pada penyakit yang lanjut.
Pembengkakan dapat berhubungan dengan pelepasan proteoglikan
tulang rawan yang bebas dari kartilago artikuler yang mengalami
degenerasi kendati faktor – faktor imunologi dapat pula terlibat
(Brunner & Sudarth, 2002 ).
d. Faktor – faktor yang mempengaruhi rheumatoid arthritis
Faktor yangt mempengaruhi munculnya arthritis tergantung pada jenis
arthritis. Serangan pada jenis arthritis yang saytu dipengaruhi oleh
faktor yang berbeda dengan arthritis lainya. Berikut beberapa hal yang
mempengaruhi timbulnya serangan arthritis :
1) Faktor usia
Arthritis juga dipicu oleh faktor pertambahan usi. Setiap
persendian tulang memiliki lapisan pelindung sendi yang
menghalangi terjadinya gesekan antar tulang. Dan didalam sendi
terdapat cairan yang berfungsi sebagai pelumas sehingga tulang
dapat digerakan secara leluasa.pada mereka yang sudah berusia
lanjut, lapisan pelindung persendian mulai menipis dan cairan
tulang mulai mengental, menyebabkan tubuh menjadi kaku dan
sakit saat digerakan. Biasanya lebih banyak menyerang usia diatas
60 tahun.
21
2) Jenis kelamin
Wanita lebih sering terkena arthritis lutut dan sendi, dan pria lebih
sering terkena arthritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara
keseluruhan dibawah 45 tahun frekuensi arthritis kurang lebih sama
pada pria dan wanita tetapi diatas 50 tahun ferekuensi arthritis lebih
banyak pada wanita dari pada pria hal ini adanya peran hormonal
pada pathogenesis arthritis.
3) Pekerjaan
Sikap badan yang salah dalam melakukan pekerjaan sehari – hari
memudahkan timbulnya arthritis non artikular. Mengangkat beban
berat dari lantai dengan badan membungkuk dapat mengakibatkan
sakit pinggang.
4) Infeksi
Arthritis rheumatoid pada persendian dapat disebabkan karena
infeksi virus atau bakteri. Hal ini dapat mengakibatkan rasa sakit
yang mendadak. Tanda – tandanya berupa demam, nyeri pada
persendian tulang danm otot, disertai dengan peradangan (seperti
bengkak, panas, dan bercak – bercak merah pada kulit) (Sutanto,
2008).
e. Pengobatan rheumatoid arthritis
1) Terapi farmakologis
Terapi secara farmakologis pad nyeri inflamasi yang utama
adalah OAINS, coxib, analgetika opioid atau non opioid. Nyeri
akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang
berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat
22
menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat
mentolerir efek samping obat dari pada nyerinya. Pada
penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping
obat (Adnan, 2008).
Pengobatan dengan medikmentosa ini dibagi atas beberapa
kelompok :
a) Pengobatan secara simptomatik
Pada pengobatan secra simptomatik hanya bertujuan untuk
mengurangi rasa sakit, sedangkan progresivitas penyakitnya
akan berjalan terus. Obat – obat simptomatik ini sering kali
dipakai sampai berbulan – bulan sambil menunggu sampai
obat remitif cukup tinggi kadar yang diperlukannya didalam
darah untuk memberikan efek pengobatan. Oleh sebab itu
memilih obata yang aman dan menilai keadaan darah dan
alat – alat badan yang lai n secra laboratories pada waktu –
waktu tertentu amat penting guna melihatadnya efek
samping sedini mungkin.
Pemakaian obat – obatan simptomatik golongan stroid
secara sistemik tidak dianjurkan karena dapat mengalami
ketergantungan. Sedangkan pemakaiannya dalam jangka
waktu yang lama akan lebih banyak merugikan penderita.
Juga akan timbul moonface, tulang – tulang semakin
menjadi perotik, iritasi terhadap lambung makin hebat. Dan
bila pemakaian steroid dihentikan, obatanalgetika jenis
23
apapun tak akan akan mampu menghilangkan rasa sakit
pada sendi – sendinya.
b) Pengobatan secara remitif
Cara kerja pengobatan remitif ini menghambat faktor RA
menjadi negative, sehingga perjalanan penyakitnya ikut
dihambat dan dalam waktu yang lama penderita akan
sembuh penuh. Golongan obat remitif ini memang lebih
bermanfaat bagi penderita, namun tergolong jenis obat yang
lambat bekerjanya.
Penicillamine adalah merupakan hasil pemecahan produk
degradasi dari penicillin sebagai antibiotika. Dengan
dipecahnya mikroglobulin ini, maka faktor RA jadi
negative dan dengan demikian perjalanan penyakitnya ikut
dihambat dan bila ini berlangsung dalam jangka waktu yang
diperlukan, maka penderita akan sampai pada stadium
remisi yang sempurna (complete remission) efek
sampingnya adalah urticaria, nausea, muntah, diare,
proteinuria, hilangnya rasa kecap terutama terhadap manis
dan asin (Adnan, 2008).
2) Pengobatan Non Farmakologis
a) Pengobatan fisioterapi
Fisioterapi perlu dalam menangani kasus RA, yakni
mencegah kerusakan sendi, mencegah kehilangan fungsi
sendi, mengurangi nyeri, dan mencapai remisi secepat
mungkin. Sendi yang meradang harus dilatih secara lembut
24
dan perlahan sehingga tidak terjadi kekakuan atau cedera.
Setelah peradangan mereda, bisa dilakukan latihan yang
lebih aktif secara rutin, tetapi jangan sampai berlebihan
supaya tidak terlalu lelah (Junaidi, 2006). Pada pengobatan
fisioterapi pembidaian sering dilakukan untuk meregangkan
sendi secara perlahan (Adnan, 2008). Penderita yang
menjadi cacat karena RA dapat menggunakan alat bantu
untuk dapat melaksanakan tugasnya sehari-hari, contoh
sepatu ortopedik khusus atau sepatu atletik khusus.
b) Pengobatan pembedahan
Bila berbagai cara pengobatan sudah dilakukan namun
belum berhasil juga dan alasan untuk tindakan operatif
cukup kuat, maka dilakukanlah pembedahan. Berbagai jenis
pembedahan ini pada penderita RA umumnya bersifat
ortopedik misalnya: synovectomia, arthrodese (Junaidi,
2006).
c) Pengobatan psikoterapi
Peranan ahli psikologi dan petugas sosial medis (social
worker) diperlukan untuk menangani mental penderita agar
tetap gigih dan sabar dalam pengobatan serta tidak merasa
rendah diri sehingga penderita mampu melakukan tugas
sehari-hari terutama untuk mengurus dirinya sendiri. Juga
petugas sosial medis yang ikut membuat penilaian terhadap
suasana lingkungan, penilaian kamampuan penderita
(Adnan, 2008).
25
d) Panas atau dingin
Pada prinsipnya cara kerja terapi panas pada RA
meningkatkan aliran darah ke daerah sendi yang terserang
sehingga proses inflamasi berkurang (Junaidi, 2006). Selain
itu terapi panas akan melancarkan sirkulasi darah,
meningkatkan kelenturan jaringan sehingga mengurangi
rasa nyeri serta memungkinkan hasil terapi didapat secara
optimal (Kusumaastuti, 2008).
Terapi panas dapat menggunakan lilin paraffin, microwave,
ultrasound, atau air panas. Cara menggunakan air panas
bisa dengan handuk hangat atau kantong panas yang
ditempelkan pada sendi yang meradang atau dapat juga
dengan mandi atau berendam dalam air yang panas. Terapi
dingin bertujuan untuk membuat baal bagian yang terkena
RA sehingga mengurangi nyeri, peradangan, serta kaku
atau kejang otot. Cara terapi dingin adalah dengan
menggunakan kantong dingin, atau minyak yang
mendinginkan kulit dan sendi (Junaidi, 2006).
e) Terapi diet
Prinsip dasar pola diet untuk mendapatkan berat badan yang
ideal dengan menerapkan pola makan secukupnya sesuai
dengan energi yang diperlukan dalam menjalani aktivitas
sehari-hari. Pola makan pada pasien RA adalah sayur
dengan porsi yang lebih banyak, buah, rendah lemak, dan
kolesterol (Junaidi, 2006).
26
3. Konsep nyeri
1. Pengertian nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sensorik multidimensi yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan. Kelompok studi nyeri
perdossi ( 2000) menerjemahkan definisi nyeri yang dibuat IASP
(International Association The Study Of Pain) yang berbunyi “nyeri
adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan, baik actual maupun potensial atau yang
digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut”. Nyeri merupakan
masalah kesehatan yang kompleks dan merupakan salah satu alasan
utama seseorang datang untuk mencari pertolongan medis. Nyeri dapat
mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras,
status sosial dan pekerjaan.
M. caffery mendefinisikan nyeri sebagai keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan keberadaanya diketahui jika seseorang pernah
mengalaminya. Nyeri akan membantu individu untuk tetap hidup dan
melakukan kegiatan secara fungsional. Pada kasus – kasus gangguan
sensasi nyeri maka dapat terjadi kerusakan jaringan yang hebat
(Tamsuri, 2006).
Kozier & Erb menegaskan bahwa nyeri merupakan suatu sensasi
ketidak nyamanan akibat persepsi jiwa yang nyata, ancaman dan
fantasi luka. Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks dan
merupakan salah satu alasan utama seseorang datang untuk mencari
pertolongan medis. Nyeri dapat mengenai semua orang, tanpa
27
memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial dan pekerjaan
(Tamsuri, 2006).
2. Klasifikasi nyeri
1) Klasifikasi berdasarkan awitan
Berdasarkan waktu kejadiaan, nyeri dikelompokkan menjadi nyeri
akut dan kronis. Nyeri akut terjadi dalam waktu yang singkat dari 1
detik sampai kurang dari 6 bulan. Nyeri akut dibagi atas: Pertama
nyeri yang muncul, dimana sebelumnya tidak ada nyeri kronik.
Kedua, nyeri yang datang tiba-tiba, sebelumnya klien sudah
menderita nyeri kronik akan tetapi nyeri akut tidak berhubungan
dengan nyeri kronik. Ketiga, nyeri akut yang merupakan
eksaserbasi nyeri kronik yang selama ini diderita oleh pasien
(Tamsuri, 2008).
Nyeri akut umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut, atau pada
pembedahan dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang
bervariasi. Nyeri ini biasanya hilang dengan sendirinya dengan
atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan penyembuh. Nyeri
akut merupakan gejala dimana intensitas nyeri berkorelasi dengan
beratnya lesi atau stimulus. Cedera jaringan atau inflamasi akut
akan menyebabkan pengeluaran berbagai mediator inflamasi,
seperti: bradikinin, prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin,
dan sebagainya yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi
nosiseptor secara langsung atau tidak langsung. Sebagian dari
mediator inflamasi tersebut dapat langsung mengaktivasi
28
nosiseptor dan sebagian lainnya menyebabkan sensitisasi
nosiseptor yang menyebabkan hiperalgesia.
Nyeri kronis timbul tidak teratur, intermiten atau bahkan persisten.
Nyeri kronis dibagi 2 yakni nyeri kronik maligna dan nonmaligna.
Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat
diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan. Nyeri kronis
dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Klien yang
mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri.
Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik.
2) Klasifikasi berdasarkan lokasi
Potter & Perry (2005) ada beberapa macam klasifikasi nyeri
berdasarkan lokasi yakni:
LOKASI KARAKTERISTIKCONTOH-CONTOH
PENYEBAB
Nyeri superficial /kutaneus
Nyeri akibatstimulasi kulit.
Nyeri berlangsungsebentar danterlokalisasi. Nyeribiasanya terasa sebagaisensasi yang tajam.
Jarum suntik, lukapotong kecil atauterserasi.
Viseral dalam
Nyeri akibatstimulasi organ –organ internal.
Nyeri bersifat difus dandapat menyebar kebeberapa arah.
Durasi bervariasi tetapibiasanya berlangsunglebih lama daripada nyerisuperficial. Nyeri dapatterasa tajam, tumpul atauunik tergantung dariorgan yang terlibat.
Sensasi pukul, anginapectori, dan sensasiterbakar.
Nyeri alih
Terjadi pada nyerivisceral karenabanyak organ-organyang tidak punyareseptor nyeri.Jalan masuk neuronsensoris dan organ
Nyeri terasa dibagiantubuh yang terpisah darisumber nyeri dan dapatterasa dengan berbagaikarakteristik
Infark miokard, yangmenyebabkan nyeri alihke rahang, lengan kiri,dan bahu kiri, natuempedu, yang dapatmengalihkan nyerikeselangkangan.
29
yang terkenakedalam segmenmedulla spinalissebagai neuron daritempat asal nyeridirasakan, persepsinyeripada daerahyang tidak terkena.
Radiasi
Sensasi nyerimeluas dari tempatawal cedera kebagian tubuh yanglain.
Nyeri serasa akanmenyebar ke bagiantubuh bawah atausepanjang bagian tubuh.Nyeri dapat bersifatintermitten atau konstan.
Nyeri punggung bagiantubuh akibat diskusintravertebral yangrupture disertai nyeriyang meradiasisepanjang tungkai dariiritasi saraf skiatik.
Tabel 1.1 klasifikasi nyeri
menurut Potter & Perry (2005)
3. Respon klien terhadap nyeri
Respon seseorang terhadap nyeri bervariasi, ada yang sakit dan ada
yang tidak merasakan respon tingkah laku terhadap nyeri yang dialami.
1) Respon fisik
Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan
oleh medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf
otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa
dengan respon tubuh terhadap stres. Pada nyeri skala ringan sampai
moderat serta nyeri superficial, tubuh bereaksi membangkitkan
General Adaptation Syndrome (Reaksi Fight or Flight), dengan
merangsang sistem saraf simpatis sedangkan pada nyeri yang berat
dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ
viseral, akan mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis
(Tamsuri, 2006).
30
2) Respon perilaku
Respon prilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri
dapat bermacam-macam. Meinhart dan Mc. Caffery
menggambarkan 3 fase perilaku terhadap nyeri yaitu: antisipasi,
sensasi, dan fase pasca nyeri. Fase antisipasi merupakan fase yang
paling penting dan merupakan fase yang memungkinkan individu
untuk memahami nyeri. Individu belajar mengendalikan emosi
(kecemasan) sebelum nyeri muncul, karena kecemasan dapat
menyebabkan peringatan sensasi nyeri yang terjadi pada klien dan
atau tindakan ulang yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi
nyeri menjadi kurang efektif (Tamsuri, 2006).
Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang diungkapkan oleh
seseorang individu yang mengalami nyeri seperti menangis,
meringis, meringkukkan badan, menjerit, dan bahkan mungkin
berlari - lari. Pada fase pasca nyeri, individu biasa saja mengalami
trauma psikologis, takut, depresi, serta dapat juga menjadi
menggigil.
3) Respon psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien
terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi individu. Individu
yang mengartikan nyeri sebagai sesuatu yang negatif cenderung
memiliki suasana hati sedih, berduka, ketidak berdayaan, dan dapat
berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya pada individu
yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman positif akan
menerima nyeri yang dialaminya (Tamsuri, 2006).
31
4. Pengukuran nyeri rheumatoid arthritis
Potter & Perry (2005) untuk pengukuran nyeri perlu dilakukan
pengkajian karakteristik umum nyeri untuk membantu perawat
membentuk pengertian pola nyeri dan tipe nyeri. Perawat mengajukan
pertanyaan untuk menentukan awitan, durasi, rangkaian nyeri. Kapan
nyeri mulai dirasakan? Apakah nyeri yang dirasa terjadi pada waktu
yang sama setiap hari? Seberapa sering nyeri kambuh?
Kemudian perawat meminta klien untuk menunjukkan lokasi nyeri.
Alat pengkajian skala nyeri berupa numeris, deskriptif, analog visual.
Klien menetapkan suatu titik pada skala yang berhubungan dengan
persepsinya tentang tingkat keparahan nyeri pada waktu melakukan
pengkajian.
Adapun skala intensitas nyeri menurut Potter & Perry (2005) adalah
sebagai berikut:
Tidak nyeri Nyeri yang tidak
tertahankan
Gambar 2.1 Skala Analog Visual (VAS)
menurut Potter & Perry (2005)
32
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 2.2 Skala intensitas nyeri numeric 0-1
menurut Potter & Perry (2005)
Grafik Verbal Rating Scal
Tdk ada nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyeri sangat
hebat
Gambar 2.3 Skala intensitas nyeri deskriptif sederhana
menurut Potter & Perry (2005)
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 (Nyeri ringan) : Hilang tanpa pengobatan, tidak
mengganggu aktivitas sehari- hari.
4-6 (Nyeri sedang) : Nyeri yang menyebar ke perut bagian
bawah, mengganggu aktivitas sehari
hari, membutuhkan obat untuk
mengurangi nyerinya.
7-9 (Nyeri berat) : Nyeri disertai pusing, sakit kepala
berat,muntah, diare, sangat mengganggu
aktifitas sehari- hari.
10 (Nyeri tidak tertahankan) : Menangis, meringis, gelisah,
menghindari percakapan dan kontak
33
social, sesak nafas, immobilisasi,
menggigit bibir, penurunan rentan
kesadaran.
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila
klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan
lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji
tingkat keparahan nyeri, tapi juga mengevaluasi perubahan kondisi klien.
Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih
memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau
peningkatan (Perry dan Potter, 2005).
5. Aplikasi kompres hangat
a. Pengertian kompres hangat
1) Kompres hangat
Adalah memberikan rasa hangat pada daerah tertentu dengan
menggunakan kantung berisi air hangat yang menimbulkan rasa
hangat pada bagian tubuh yang memerlukan.
a) Kompres hangat dengan suhu 45°-50,5°C dapat dilakukan
dengan menempelkan kantung karet yang diisi air hangat ke
daerah tubuh yang nyeri.
b) Tujuan dari kompres hangat adalah pelunakan jaringan
fibrosa, membuat otot tubuh lebih rileks, menurunkan rasa
nyeri, dan mempelancar pasokan aliran darah dan
memberikan ketenangan pada klien (Kimin .A, 2009).
34
b.Tujuan kompres hangat
Tujuan dari kompres hangat adalah pelunakan jaringan fibrosa,
membuat otot tubuh lebih rileks, menurunkan rasa nyeri, dan
mempelancar pasokan aliran darah dan memberikan ketenangan
pada klien (Kimin .A, 2009). Kompres hangat yang digunakan
berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah, menstimulasi sirkulasi
darah, dan mengurangi kekakuan.Selain itu, kompres hangat juga
berfungsi menghilangkan sensasi rasa sakit. Untuk mendapatkan
hasil yang terbaik, terapi kompres hangat dilakukan selama 20
menit dengan 1 kali pemberian dan pengukuran intensitas nyeri
dilakukan dari menit ke 15-20 selama tindakan (Kusmiati .Y, 2009).
c. Prosedur pelaksanaan kompres hangat
Terapi kompres hangat merupakan tindakan dengan memberikan
kompres hangat untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman,
mengurangi atau membebaskan nyeri, mengurangi atau mencegah
terjadinya spasme otot, dan memberikan rasa hangat.
a) Persiapan alat dan bahan
(a) Buli – buli dan sarungnya atau botol dan sarungnya
(b) Perlak dan pengalas
(c) Termos dan air panas dengan suhu sesuai suhu tubuh.
b) Cara kerja
(a) Cuci tangan
(b) Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan
dilakukan
35
(c) Isi kantung karet dengan air hangat dengan suhu sesuai suhu
tubuh.
(d) Tutup kantung karet yang telah diisi air hangat kemudian
dikeringkan
(e) Masukkan kantung karet kedalam kain.
(f) Tempatkan kantung karet pada daerah pinggang dengan
posisi miring kanan atau miring kiri.
(g) Angkat kantung karet tersebut setelah 20 menit, kemudian
isi lagi kantung karet dengan air hangat lakukan kompres
ulang jika ibu menginginkan
(h) Catat perubahan yang terjadi selama kompres dilakukan
pada menit ke 15-20 OC
(i) Cuci tangan (Hidayat, Musrifatul, 2008)
Kompres hangat yang digunakan berfungsi untuk
melebarkan pembuluh darah, menstimulasi sirkulasi darah,
dan mengurangi kekakuan.Selain itu, kompres hangat juga
berfungsi menghilangkan sensasi rasa sakit. Untuk
mendapatkan hasil yang terbaik, terapi kompres hangat
dilakukan selama 20 menit dengan 1 kali pemberian dan
pengukuran intensitas nyeri dilakukan dari menit ke 15-20
selama tindakan (Kusmiati .Y, 2009).
Bagian tubuh yang sering didera keluhan nyeri saat bersalin
adalah perut, pinggang Selain obat dan terapi, untuk
pertolongan pertama bisa dilakukan kompres. Setiap
jenisnya, kompres dibagi menjadi dua, yakni hangat, yang
36
memiliki manfaat berikut: Kompres hangat dapat dilakukan
dengan menempelkan kantung karet yang diisi air hangat
atau handuk yang telah direndam di dalam air hangat, ke
bagian tubuh yang nyeri. Dampak fisiologis dari kompres
hangat adalah pelunakan jaringan fibrosa, membuat otot
tubuh lebih rileks, menurunkan atau menghilangkan rasa
nyeri, dan memperlancar pasokan aliran darah (Aisyah,
2006)
d. Fisiologi kompres hangat
Energi panas yang hilang atau masuk kedalam tubuh melalui
kulit dengan empat cara yaitu: secara konduksi, konveksi,
radiasi, dan evaporasi.
a. Konduksi
Konduksi adalah perpindahan panas akibat paparan
langsung kulit dengan benda-benda yang ada di sekitar
tubuh. Biasanya proses kehilangan panas dengan
mekanisme konduksi sangat kecil. Sentuhan dengan benda
umumnya memberi dampak kehilangan suhu yang kecil
karena dua mekanisme, yaitu kecenderungan tubuh untuk
terpapar langsung dengan benda relative jauh lebih kecil
dari pada paparan dengan udara, dan sifat isolator benda
menyebabkan proses perpindahan panas tidak dapat terjadi
secara efektif terus menerus.
37
b. Konveksi
Perpindahan panas berdasarkan gerakan fluida dalam
hal ini adalah udara, artinya panas tubuh dapat dihilangkan
bergantung pada aliran udara yang melintasi tubuh manusia.
Konveksi adalah transfer dari energi panas oleh arus udara
maupun air. Saat tubuh kehilangan panas melalui konduksi
dengan udara sekitar yang lebih dingin, udara yang
bersentuhan dengan kulit menjadi hangat. Karena udara
panas lebih ringan dibandngkan udara dingin, udara panas
berpindah ketika udara dingin bergerak ke kulit untuk
menggantikan udara panas.Pergerakan udara ini disebut
arus konveksi, membantu membawa panas dari tubuh.
Kombinasi dari proses konveksi dan konduksi guna
membawa pergi panas dari tubuh dibantu oleh pergerakan
paksa udara melintasi permukaan tubuh, seperti kipas
angin, angin, pergerakan tubuh saat menaiki sepeda dan
lain-lain.
c. Radiasi
Radiasi adalah mekanisme kehilangan panas tubuh
dalam bentuk gelombang panas inframerah. Gelombang
inframerah yang dipancarkan dari tubuh memiliki panjang
gelombang 5 – 20 mikrometer. Tubuh manusia
memancarkan gelombang panas ke segala penjuru tubuh.
Radiasi merupakan mekanisme kehilangan panas paling
38
besar pada kulit 60% atau 15% seluruh mekanisme
kehilangan panas.
Panas adalah energi kinetic pada gerakan molekul.
Sebagian besar energi pada gerakan ini dapat di pindahkan
ke udara bila suhu udara lebih dingin dari kulit. Sekali suhu
udara bersentuhan dengan kulit, suhu udara menjadi sama
dan tidak terjadi lagi pertukaran panas, yang terjadi hanya
proses pergerakan udara sehingga udara baru yang suhunya
lebih dingin dari suhu tubuh.
d. Evaporasi
Evaporasi (penguapan air dari kulit) dapat memfasilitasi
perpindahan panas tubuh. Setiap satu gram air yang
mengalami evaporasi akan menyebabkan kehilangan panas
tubuh sebesar 0,58 kilokalori. Pada kondisi individu tidak
berkeringat, mekanisme evaporasi berlangsung sekitar 450
– 600 ml/hari.
Hal ini menyebabkan kehilangan panas terus menerus
dengan kecepatan 12 – 16 kalori per jam. Evaporasi ini
tidak dapat dikendalikan karena evaporasi terjadi akibat
difusi molekul air secara terus menerus melalui kulit dan
sistem pernafasan.
Menurut Perry & Potter (2005), Kompres hangat
dilakukan dengan memprgunakan buli-buli panas yang
dibungkus kain yaitu secara konduksi dimana terjadi
pemindahan panas dari buli-buli ke dalam tubuh sehingga
39
akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan
terjadi penurunan ketegangan otot sehingga nyeri yang
dirasakan akan berkurang atau hilang.