Click here to load reader
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 1/14
PRODUKSI HIDROLISAT PATI DAN SERAT PANGAN
DARI SINGKONG MELALUI HIDROLISIS DENGAN
α-AMILASE DAN ASAM KLORIDA
Oleh
WAWAN MARWAN SETIAWAN
F34101037
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 2/14
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 3/14
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PRODUKSI HIDROLISAT PATI DAN SERAT PANGAN
DARI SINGKONG MELALUI HIDROLISIS DENGAN
α-AMILASE DAN ASAM KLORIDA
JURNAL
Oleh
WAWAN MARWAN SETIAWAN
F34101037
Dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1982
di Majalengka
Tanggal lulus : 25 Februari 2006
Menyetujui,
Bogor, 1 Februari 2006
Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si.
Dosen Pembimbing
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 4/14
PRODUKSI HIDROLISAT PATI DAN SERAT PANGAN
DARI SINGKONG MELALUI HIDROLISIS DENGAN
α-AMILASE DAN ASAM KLORIDA
(Production of Starch Hydrolyzate and Dietary Fiber from Cassava
with Hydrolysis by α-Amylase and Hydrochloric Acid)
Titi Candra Sunarti1, Wawan Marwan Setiawan
2
Departement of Agroindustrial Technology, Bogor Agricultural University, Bogor
ABSTRACT
Conventionally, cassava processing yielded tapioca as main product while solid waste
(onggok) was produced during its process as by product. The process will yield solid waste for
about 75 % from raw cassava (Deptan, 2005) which may contain starch (± 47,1 % dry basis) and
crude fiber (± 43,1 % dry basis) (Raupp et al., 2004). Converting cassava to tapioca was still
ineffective. Direct hydrolysis of raw cassava may produce two derivative products mainly starch
hydrolyzate and dietary fiber. Direct hydrolysis can give a more effective and potential process because it eliminates some steps of tapioca processing such as starch extraction and drying and
also possible to reduce waste management.Acid hydrolysis with 3 level of different HCl addition composition (0,1 N, 0,3 N, and 0,5 N)
was conducted after enzymatic hydrolysis with bacterial α-amylase ( Bacillus licheniformis).
Enzymatic hydrolysis had yielded starch hydrolisate which contained maltodextrin with 3,49 of
DE, 31,45 of DP, 64,73 % T of clarity. Hydrolysis with 1 – 3 composition of acid had yield
hydrolyzate with 8,69-13,11 of DE, 11,94 - 7,71 of DP, 0,9328 – 1,6146 mg/ml of reducing sugar,
10,7581 – 12,2610 mg/ml of total sugar, and 85,204 – 61,9208 % T of clarity. Treatment 3 gave
the highest value for reducing sugar content, total sugar content, and DE value while the highest
DP value and clarity were obtained from treatment 1. The characteristic of fiber which has
obtained by acid hydrolysis were : 0,87-1,2 % (db) of fiber yield, 39,00-36,38 % of whiteness
degree, 640,93-545,73 % of water absorption, 0,20-0,24 % of solubility in water, 89,25-91,64 % of
total dietary fiber which consist 8,97 – 10,58 % of soluble dietary fiber and 82,67-78,67 %
insoluble dietary fiber. The other composition of fiber content assumed as material remainder
complex that occur during hydrolysis. Composition 3 gave the highest result for hydrolyzate
parameters while composition 1 gave the highest result for fiber parameters.
Key word : Cassava, hydrolysis, starch, α-amylase, maltodextrin, dietary fiber.
PENDAHULUAN
Singkong (Manihot esculenta Crantz )
merupakan salah satu komoditas pertanian
Indonesia yang keberadaanya cukup me-
limpah. Tanaman singkong dikenal karena
produktivitasnya yang tinggi sekalipun tum-
buh di lahan yang kritis. Singkong dapat
tumbuh di dataran rendah dengan curah hujan
yang tidak terlalu tinggi dan relatif tahan
terhadap hama.Produksi singkong terus mening-kat dari
tahun ke tahun.. Berdasarkan laporan United
Nation Industrial Development Orga-nization
(UNIDO), Indone-sia merupakan Negara
penghasil singkong terbesar ke-lima dunia
setelah Nigeria, Brazil, Thailand, dan Kongo.
1 Staf pengajar Departemen Teknologi Industri Pertanian2 Alumni Departemen Teknologi Industri Pertanian
Produksi tahunan singkong mengalami
pe-ningkatan seiring banyaknya kebutuhan
dan permintaan.
Tabel 1. Produksi beberapa hasil pertanian
sekunder di Indonesia (BPS, 2005)
* estimasi
Produksi (Ton)Tahun
Singkong Jagung Ubi Jalar
20012002
2003
2004
2005*
17.054.64816.913.104
18.523.810
19.424.707
19.196.849
9.347.1929.654.105
10.886.442
11.225.243
11.736.977
1.749.0701.771.642
1.991.478
1,901,802
1.799.775
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 5/14
Pemanfaatan singkong selain untuk ke-
perluan konsumsi (62 %) juga untuk industri
(35 %) dan sisanya untuk keperluan lain
(www.bi.go.id) Singkong banyak dimanfaat-
kan sebagai bahan baku pembuatan gaplek,
tepung singkong, tapioka, produk kimia se-
perti alkohol, gula cair, sorbitol, malto-dekstrin, edible coating , biodegradable plas-
tics, dan lain-lain.
Tabel 1. Komposisi kimia singkong per 100 g
Parameter Komposisi
Air (g)
Karbohidrat (g)
Serat (g)
Lemak (g)
Protein (g)
Abu (g)
59,40
38,10
0,60
0,20
0,70
1,00
Sumber : Balagopalan (1986)
Selama ini proses pengolahan singkongmenjadi produk turunannya masih belum
optimal. Pada pengolahan singkong menjadi
tapioka, selain dihasilkan tapioka sebagai
produk utama, hasil samping seperti onggok
dan limbah cair juga dihasilkan dalam jumlah
yang tidak sedikit. Onggok dapat menjadi
sumber pencemaran bagi lingkungan teruta-
ma di wilayah produksi apabila tidak di-
tangani dengan baik (Balitnak, 2002). Pati
dan serat kasar merupakan komponen karbo-
hidrat dalam onggok yang masih potensial
untuk dimanfaatkan. Kandungan sisa pati
yang terdapat pada onggok menunjukkan
bahwa proses masih belum efisien.Penanganan yang tepat pada proses
pengolahan singkong perlu dilakukan guna
memperbaiki sifat produk yang dihasilkan.
Singkong sangat potensial bila dikembangkandengan tepat sesuai dengan karakteristik
bahan yang dikandungnya. Pati singkong
dapat dikonversi atau dimodifikasi menjadi
berbagai macam produk turunan pati.
Hidrolisis langsung dapat dijadikan
sebagai proses alternatif pengolahan
singkong guna mengoptimalkan pemanfaatan
singkong. Melalui proses ini, sejumlah
tahapan proses seperti ekstraksi dan
pengeringan pati, serta penanganan onggok
atau limbah cairnya dapat dikurangi. Produk
hasil hidrolisis dapat berupa hidrolisat patidan serat pangan (dietary fiber). Hidrolisat
pati dapat dimanfaatkan untuk keperluan
industri-industri pembuatan sirup glukosa,
high fructose syrup, high glucose syrup, dan
lain-lain sementara serat pangan dapatdiaplikasikan di industri-industri pengolahan
pangan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
proses pengolahan singkong menjadi produk
hidrolisat dan serat pangan (dietary fiber)
melalui hidrolisis enzimatis dan asam. Hidro-
lisis enzimatis menggunakan α-amilase dan
hidrolisis asam menggunakan HCl. Parameter
analisis yang digunakan adalah karakteristikfisiko-kimia hidrolisat seperti kadar gula
pereduksi, total gula, DE (Dextrose Equi-
valent), DP (Degree of Polymerization),
tingkat kejernihan, serta sifat fungsional serat
pangan yang meliputi rendemen serat, derajat
putih, daya serap air, kelarutan, dan kadar
serat pangan.
METODOLOGI
Bahan dan Alat
Bahan baku utama yang digunakan ada-lah singkong Bogo (nama lokal) umur tanam
9 bulan. Bahan kimia yang digunakan untukhidrolisis enzim yaitu termamyl α-amilase
bakterial dari Bacillus licheniformis produksi
NOVO, buffer asetat 0,2 M, CaCl2 20 ppm,
dan akuades. Bahan kimia yang digunakan
untuk hidrolisis asam yaitu HCl teknis 37 %
food grade dengan tiga konsentrasi berbeda
yaitu 0,1 N, 0,3 N, dan 0,5 N. Bahan kimia
yang digunakan untuk analisis hidrolisat ada-
lah pereaksi DNS, fenol 5 %, H2SO4 96 %,
Pb-asetat setengah basa dan lain-lain. Bahan
kimia yang dipakai untuk analisis serat antara
lain petroleum eter, termamyl α-amilase,
NaOH, amilase pankreatin, HCl, etanol 95 %,
BaSO4, Na
2SO
3, akuades, dan lain-lain.
Peralatan yang digunakan dalam pene-
litian ini diantaranya waterbath shaker , oto-
klaf, spektrofotometer, sentrifuse, oven pe-
ngering, pH-meter, hammer mill , pompa va-
kum, timbangan analitik, dan lain-lain.
MetodologiPenelitian ini dapat dibagi ke dalam dua
tahap, yaitu:
1. Penelitian Pendahuluan
Tahap ini meliputi analisis komposisi ki-
mia penyusun singkong (proksimat) yang
meliputi kadar air, protin, lemak, abu, dan
karbohidrat (by difference).
2. Penelitian Utama
Bahan baku utama yang digunakan adalah
umbi singkong segar yang telah diparut.
a) Hidrolisis enzimatis dengan α-amilase
Slurry dibuat dengan mencampurkan
pati dalam air dengan perbandingan 35
: 100 (b/v). Sebanyak 1250 ml buffer
asetat 0,02 M ditambahkan untuk men-
jaga pH 5,2 dan CaCl2 20 ppm. α-
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 6/14
Amilase yang ditambahkan sebanyak 1
U/g pati. Gelatinisasi dilakukan sela-
ma ± 15 menit pada suhu 70 °C. Hidro-
lisis dilakukan pada waterbath shaker
pada suhu 95 °C selama 1 jam
(Wibisono, 2004). Hasil hidrolisis dipi-
sahkan dengan filtrasi untuk meng-hasilkan hidrolisat dan serat. Inakti-
vasi enzim dilakukan dengan penam-
bahan NaOH 0,1 N kemudian dinetral-
kan dengan HCl 0,1 N.
b) Hidrolisis asam dengan HCl
Bahan hidrolisis asam adalah residu
(serat) hasil filtrasi hidrolisis enzimatis.
Asam yang digunakan adalah HCl tek-
nis pada tiga konsentrasi (0,1 N; 0,3 N;
dan 0,5 N). Penambahan asam dilaku-
kan hingga pH 2,3 untuk mencapai
kondisi optimal hidrolisis. Hidrolisisdilakukan dalam autoklaf pada suhu
115 °C selama 1 jam. Hasil hidrolisisdipisahkan dengan filtrasi untuk meng-
hasilkan hidrolisat dan serat (residu).
Sebelum dianalisis, hidrolisat dinetral-
kan dengan NaOH 0,1 N.
Tabel 3. Komposisi larutan HCl
Taraf
Perlakuan
Konsentrasi
HCl (N)
Volume
HCl
(ml)
Volume
Air (ml)
12
3
0,10,3
0,5
350130
90
750750
750
Parameter hidrolisat meliputi kadar gula pereduksi, total gula, DE (Dextrose
Equivalent), DP (Degree of Poly-merisation),
dan kejernihan hidrolisat. Para-meter analisis
serat adalah rendemen, derajat putih, daya
serap air, kelarutan, kadar serat pangan.
Rancangan PercobaanFaktor percobaan adalah perlakuan
penambahan larutan HCl yang ditambahkan.
Terdapat tiga taraf yang digunakan, yaitu
perlakuan 1, perlakuan 2, dan perlakuan 3.
Rancangan percobaan yang digunakan
adalah rancangan percobaan faktor tunggal.
Model matematikanya adalah sebagai berikut
Y ij = µ + αi + εij
Yij = Nilai hasil pengamatan yang
dipengaruhi perbedaan perlakuan;
µ = Nilai rataan populasi;αi = Pengaruh perlakuan ke-i, (i = 1, 2, 3)
εij = Galat
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan Bahan
Singkong terdiri dari kulit luar berwarna
coklat, kulit dalam, daging umbi, dan
pembuluh/sumbu. Bagian daging umbi di-
manfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan baku industri sedangkan kulit luar dan kulit
dalam dibuang karena selain rasanya pahit
juga mengandung senyawa sianida yang
bersifat toksik.
Sebelum dianalisis, sebanyak 1000,00 g
singkong yang telah dikupas kulitnya dapat
dipisahkan menjadi 758,96 g daging umbi
dan 241,04 g kulitnya. Bagian singkong yang
digunakan sebagai bahan penelitian adalah
daging umbi singkong bersih.
Singkong sebagian besar tersusun oleh
komponen air dan karbohidrat sedangkankomponen lain seperti lemak, protein, dan
abu terdapat dalam jumlah relatif sedikit(Tabel 7). Air merupakan komponen utama
yang mencapai 59,88 % bahan (bb) semen-
tara karbohidrat sebesar 37,77 % (bb) dihi-
tung berdasarkan by difference. Nilai karbo-
hidrat hasil perhitungan termasuk di dalam-
nya komponen pati dan serat kasar. Kadar air
yang tinggi rentan terhadap kerusakan
terutama akibat mikroba. Menurut Winarno
(1995), batas minimum kadar air dimana
mikroba masih dapat tumbuh adalah 14–15
%. Jumlah kandungan air pada bahan hasil
pertanian akan mempengaruhi daya tahannya
terhadap serangan mikroba. Oleh karena itu,
setelah dipanen, singkong harus segera
diolah.
Tabel 4. Hasil analisis proksimat singkong
KomponenKomposisi
(% bk)
Air
Karbohidrata
Protein
Lemak
Abu
149,25
94,14
3,69
0,85
1,32a Dihitung berdasarkan by difference
Hidrolisis dengan α-AmilaseHidrolisis adalah pemecahan kimiawi
suatu molekul karena pengikatan air sehingga
menghasilkan molekul-molekul yang lebih
kecil Reaksi hidrolisis dapat dipercepat
dengan penambahan asam ataupun enzim
sebagai katalis.
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 7/14
Tabel 5. Karakteristik hidrolisat pati
Parameter Nilai
Rataan
Gula pereduksi (mg/ml)
Gula total (mg/ml)
DE (Dextrose Equivalent)
DP (Degree of Polymerization)Kejernihan hidrolisat (% T)
6,3558
181,8517
3,49
31,4564,73
Gula pereduksi mampu mereduksi agen
pengoksidasi pada analisis gula pereduksi.
Semua jenis monosakarida dan disakarida
kecuali sukrosa dapat berfungsi sebagai agen
pereduksi. α-Amilase akan memotong ikatan
(14) pati menjadi lebih pendek seperti
maltosa, maltotriosa, α-limit dekstrin dan
oligosakarida lainnya.
Oligosakarida yang terbentuk seperti
maltosa, maltotriosa, maltotetrosa, maltopen-
tosa, dan maltoheksosa bersifat reduktif
(Winarno, 1997). Karena jumlah malto-
oligosakarida lebih banyak dibandingkan mo-
nosakarida, maka gula-gula pereduksi seba-
gian besar diperoleh dari oligosakarida.
Nilai DE yang kecil menujukkan bahwa
hidrolisat pati sebagian besar tersusun oleh
komponen gula-gula dengan bobot molekul
masih relatif tinggi. Oligosakarida seperti
maltosa, maltotriosa, maltotetrosa, maltopen-
tosa, dan maltoheksosa yang bersifat reduktif
serta sejumlah dekstrin dihasilkan dari proses
hidrolisis enzimatis. Nilai DE 3,49 pada
hidrolisat pati yang dihasilkan menunjukkan
sifat maltodekstrin. Menurut Kennedy et al.
(1995) di dalam Kearsley dan Dziedzic(1995), maltodekstrin adalah hidro-lisat pati
yang mengandung α-D-glukosa yang
sebagian besar mempunyai ikatan (1 4)
glikosidik dengan DE kurang dari 20.
Maltodekstrin [(C6H10O5)n.H2O] memiliki
DE 3-20 dan tidak memberikan rasa manis.
Komposisi utama maltodekstrin yang di-
hasilkan merupakan campuran antara malto-
oligosakarida lurus dan malto-oligosakarida
bercabang. Jumlah malto-oligosakarida ber-cabang lebih besar karena berasal dari amilo-
pektin. Menurut Pomeranz (1991), pati sing-
kong mengandung sedikitnya 17 % amilosa
dan sisanya adalah amilopektin.Gula total menunjukkan jumlah karbo-
hidrat yang terkandung dalam hidrolisat.
Hasil pemotongan rantai molekul pati oleh α-
amilase mengakibatkan jumlah molekul oli-
gosakarida meningkat. Jumlah gula-gula
pereduksi maupun non-pereduksi dari oligo-
sakarida akan bertambah dan terbaca sebagai
gula total. Ketika pati dihidrolisis, makro-
molekulnya akan terdegradasi menjadi
molekul-molekul yeng lebih kecil dengan
rantai lebih pendek. Hal ini ditunjukkan pula
dengan menurunnya nilai derajat
polimerisasi. Nilai DP mengalami penurunan
karena unit glukosa dalam setiap molekulnya
telah berkurang. Menurut Wurzburg (1989),DP menunjukkan kisaran jumlah unit
monomer dalam suatu molekul.
Kejernihan hidrolisat pati berkaitan
dengan kandungan partikel yang larut. Warna
coklat pada hidrolisat dapat disebabkan oleh
reaksi antara gula pereduksi dengan senyawa
nitrogen (reaksi Maillard). Hasil reaksi
Maillard gula pentosa menghasilkan furfural
dan gula heksosa menghasilkan hidroksimetil
furfural yang berwarna coklat (Winarno,
1995). Hidrolisat berwarna kuning kecoklatan
mengindikasikan terdapatnya senyawa furfu-ral dan hidroksimetil furfural. Tjokroadi-
koesoemo (1986) menambahkan bahwa ke- jernihan dan kualitas warna sangat di-
pengaruhi oleh kandungan ISSP (Insoluble
Starch Particles) dalam pati. ISSP adalah
partikel-partikel pati yang tersusun atas seba-
gian besar amilosa yang saling bergandengan
membentuk rantai lurus (linear). Kandungan
ISSP di dalam pati selain tergantung pada
jenis tanaman penghasilnya, juga dapat
terbentuk selama proses liquefaction terutama
jika campuran antara α-amilase dan pati
mendapat pemanasan secara bertahap.
Liquefaction merupakan proses hidrolisis pati
sebagian yang ditandai dengan menurunnya
viskositas larutan.
Walaupun α-amilase bekerja dengan
memotong ikatan pati, namun diduga pati
tidak terhidrolisis seluruhnya. Sebagian kecil
pati dapat berupa resistant starch yang tidak
dapat dicerna oleh enzim pencernaan yang
disebabkan strukturnya berupa kristal tidak
larut air dan amilosa yang ter-retrogradasi
terutama akibat proses pada suhu tinggi
(Spiller, 2001).
Hidrolisis dengan HCl
Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan
katalis asam maupun enzim. Jika pati dipa-
naskan dengan asam akan terurai menjadi
molekul yang lebih kecil secara berurutan
dengan menghasilkan glukosa. Asam akan
menghidrolisis semua jenis polisakarida yang
mampu terhidrolisis (Radley, 1976).
Asam lebih cepat mengkatalis hidrolisis
komponen pati dibandingkan dengan poli-
sakarida non-pati lainnya. Ikatan α-1,4-
glikosidik pada pati bersifat lebih fleksibel
sedangkan ikatan β-1,4-glikosidik pada
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 8/14
selulosa berbentuk lurus dan lebih keras
(Pomeranz, 1991). Asam akan merusak dan
memutus ikatan polimer terutama bagian
amorf terlebih dahulu dan reaksi akan lebih
cepat pada suhu tinggi [Murphy (2000) di
dalam Phillips dan William (2000)].
Tabel 6. Nilai rataan karakteristik hidrolisat
asam
PerlakuanParameter Analisis
1 2 3
Gula pereduksi
(mg/ml)0,93 1,25 1,61
Gula total (mg/ml) 10,76 11,58 12,26
DE 8,69 10,75 13,11
DP 11,94 9,48 7,71
Kejernihan (% T) 85,20 75,36 61,92
Hidrolisis Asam dengan HCl
1. Hidrolisat Patia. Gula Pereduksi dan Gula Total
Hidrolisis pati dapat dilakukan
dengan bantuan asam maupun enzim.
Jika pati di-panaskan dengan asam akan
terurai menjadi molekul-molekul yang
lebih kecil secara ber-urutan dengan
hasil akhir glukosa (Gaman dan
Sherington, 1981). Asam akan meng-
hidrolisis semua jenis polisakarida yang
mampu terhidrolisis. Hidrolisis asam
mampu mendegradasi komponen pati
dan non-pati dalam suatu polisakarida
(Radley, 1976).
Gambar 2. Hidrolisat enzim dan asam
Secara umum, kandungan gula
pereduksi mengalami peningkatan
dengan berbedanya perlakuan penam-
bahan HCl. Perbedaan nilai gula pere-
duksi dapat disebabkan oleh perbedaan
konsentrasi substrat yang akan
dihidrolisis. Pada perlakuan 3, konsen-
trasi HCl yang ditambahkan lebih
banyak sehingga tingkat degradasi pati
selama hidrolisis lebih tinggi. Asam kuat
HCl akan merusak ikatan polisakarida
dalam bahan dengan memotong secara
acak molekul polisakarida menjadi
bagian yang lebih kecil. Akibatnya,
jumlah polisakarida yang terhidrolisis
lebih banyak dan jumlah gula pereduksi
serta gula total dalam hidrolisat lebih
tinggi. Komponen utama dalam bahansebagian besar adalah serat (selulosa,
hemiselulosa, pektin, dan lignin) se-
dangkan pati sebagian besar telah terhid-
rolisis pada proses sebelumnya. Gula-
gula yang dihasilkan terutama berasal
dari selulosa dan hemiselulosa, sedang-
kan lignin tersusun dari senyawa fenolik
bukan termasuk polisakarida. Baik gula
pereduksi maupun non-pereduksi terbaca
sebagai gula total.
b. Nilai DE dan DPKonsentrasi substrat yang digunakan
pada taraf ke-3 diduga mengakibatkanlebih tingginya nilai DE dibandingkan
taraf perlakuan lainnya. Konsentrasi HCl
yang ditambahkan lebih tinggi pada taraf
tersebut memungkinkan terjadinya pe-
mecahan polisakarida yang lebih besar
pada saat hidrolisis sehingga jumlah
glukosa yang mungkin terbentuk lebih
banyak. Glukosa sebagian besar dapat
dihasilkan dari hidrolisis selulosa dan
hemiselulosa. Dextrose Equivalent (DE)
menunjukkan jumlah gula pereduksi
yang dihitung sebagai persen dekstrosa
dalam bobot kering.
Derajat polimerisasi (DP) hidrolisat
pada taraf perlakuan 1 menunjukkan
nilai paling tinggi. Kondisi substrat
dimana konsentrasi HCl yang ditambah-
kan lebih kecil akan sedikit mende-
gradasi polisa-karida dibandingkan per-
lakuan 2 dan per-akuan 3. Di dalam
hidrolisat pada perlakuan 1, sebagian be-
sar molekulnya memi-liki rantai lebih
panjang dengan jumlah unit glukosa
setiap molekulnya lebih banyak. Nilai
DP hidrolisat menunjukkan kisaran
jumlah unit monomer glukosa dalam
suatu molekul. Kisaran nilai DP antara
7,71 – 11,94 dapat menggambarkan bah-
wa molekul sakarida yang dihasilkan
dapat berupa oligosakarida dengan rantai
glukosa 7 – 12 unit.
c. Kejernihan Hidrolisat
Perbedaan perlakuan penambahan
HCl menyebabkan perbedaan tingkat
kejernihan. Pada perlakuan 3, konsen-
trasi substrat lebih tinggi sehingga
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 9/14
kemungkinan tingkat degradasinya pa-
ling tinggi. Komponen polisakarida se-
perti selulosa, hemiselulosa, lignin, dan
yang lainnya akan terhidrolisis menjadi
unit-unit molekul sakarida yang lebih
kecil.
Karena asam dapat menghidrolisissemua jenis polisakarida, partikel-
partikel terlarut akan semakin banyak
yang menyebabkan tingkat kejernihan
menurun. Meskipun demikian, tingkat
kejernihan hidrolisat enzim relaif lebih
rendah dibandingkan hidrolisat asam,
karena kemungkinan pada hidrolisis
dengan asam dapat terjadi reaksi yang
lebih kompleks. Menurut Tegge (1984)
di dalam Dziedzic et al. (1984), hidro-
lisis dengan katalis asam biasa disertai
sejumlah reaksi samping yang meng-hasilkan produk dengan bobot molekul
lebih besar atau lebih kecil dari glukosa.Sebagai contoh, proses dehidrasi glukosa
akan terjadi menghasilkan 5-hidroksi-
metil furfural yang selanjutnya dapat
terdekomposisi menjadi levulinat dan
asam format. Proses ini diikuti dengan
reaksi kompleks yang menyebabkan
warna coklat yang disebut melanoidin.
Warna keruh pada hidrolisat diduga
karena terdapat hasil reaksi kompleks
tersebut.
2. Serat
a. Rendemen Serat
Konsentrasi asam yang tinggi akan
mengakibatkan tingkat degradasi yang
lebih tinggi sehingga menurunkan ren-
demen serat. Banyaknya polisakarida
yang terdegradasi mengakibatkan sema-
kin banyaknya komponen yang larut.
Rendemen serat yang diperoleh tergan-
tung dari proses yang dilakukan. Sebe-
lum hidrolisis dengan katalis asam,
bahan telah dihidrolisis dengan katalis
enzim pada tahap sebelumnya sehingga
memungkinkan terjadinya kehilangan
bobot yang cukup banyak selama proses.
Kehilangan bobot juga dapat disebabkan
sejumlah produk terbuang saat pencucian
dan penyaringan.
Rendemen serat yang diukur
menunjukkan bobot serat hasil hidrolisis
dibandingkan dengan bobot singkong
kering. Hasil pengamatan menunjukan
nilai Rendemen serat berkisar antara
2,1603 hingga 2,7914 % (bk) dimana
pada perlakuan 1 diperoleh rendemen
tertinggi (Gambar 3).
2,792,64
2,16
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
1 2 3
Perlakuan
R e n d e
m e n ( % b
k )
Gambar 2. Histogram rendemen serat
b. Daya Serap Air
Polisakarida adalah molekul hidro-
filik dengan sejumlah gugus hidroksil
bebas yang dapat membentuk ikatan hid-
rogen dengan air. Polisakarida larut
maupun tidak larut mempunyai kemam-
puan untuk mengikat air. Contoh ke-
mampuan polisakarida yang larut untuk
mengikat air adalah pada proses gela-
tinisasi (Spiller, 2001).
640,93
621,12
545,73
480
500
520
540
560
580
600
620
640
660
1 2 3
Perlakuan
D a y a S e r a p A i r ( %
Gambar 3. Histogram daya serap air
Polisakarida bersifat menyerap dan
mengikat air bahkan hingga melebihi
bobotnya. Asam yang digunakan dalam
hidrolisis akan mereduksi jumlah poli-
sakarida sehingga jumlah oligosakaridadan monosakarida meningkat. Kemam-
puan menyerap dan menahan air dipe-
ngaruhi oleh ukuran partikel dan dis-
tribusi serat. Menurut Grace et al. didalam Yuliani (2004), kemampuan serat
untuk mengikat air berkurang dengan
menurunnya ukuran partikel serat.
Semakin tinggi konsentrasi asam
semakin banyak partikel kecil terbentuk
sehingga daya serapnya turun.
Serat tidak larut air seperti selulosa
dan hemiselulosa mampu menyerap dan
mengikat air lebih banyak dibandingkan
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 10/14
dengan serat larut. Menurut Trowell et
al. (1985), secara alami polisakarida
dalam dinding sel tanaman bersifat
hidrofilik. Selulosa memiliki kapasitas
menyerap air sekitar 10-15 % bobotnya
sendiri. Kemampuan serat menyerap air
merupakan salah satu parameter fung-sional serat pangan dimana daya serap
air yang tinggi umumnya lebih di-
inginkan. Sifat ini dapat dilihat pada
kemampuan serat pangan yang dapat
menyerap air lebih banyak di dalam
sistem pencernaan manusia.
c. Derajat Putih Serat
Penurunan nilai derajat putih serat
dapat dikarenakan proses hidrolisis
dengan asam pada suhu tinggi
menyebabkan terjadinya reaksi pencok-latan (browning) non-enzimatis. Menurut
Winarno (1997), reaksi Maillard reaksi pencoklatan yang terjadi antara
karbohidrat khususnya gula pereduksi
dengan gugus amina primer. Hasil reaksi
tersebut menghasilkan bahan berwarna
coklat yang sering tidak dikehendaki
atau bahkan menjadi indikasi penurunan
mutu. Jumlah asam yang ditambahkan
pada perlakuan 1 relatif lebih sedikit
dibandingkan yang lainnya sehingga
kemungkinan terjadinya reaksi pencok-
latan lebih rendah. Selain itu, suhu tinggi
selama proses mengakibatkan penurunan
kualitas warna.
Tabel 7. Nilai derajat putih serat
PerlakuanDerajat Putih
(% BaSO4)
1 39,00
2 37,63
3 36,83
Gambar 4. Serat hasil hidrolisis
d. Kelarutan Serat dalam Air
Kelarutan dalam air menunjukkan
sifat daya larut partikel-partikel serat.
Peningkatan konsentrasi HCl yang
ditambahkan pada saat hidrolisis akan
meningkatkan degradasi molekul polisa-
karida menjadi partikel yang lebih kecilyang lebih mudah larut dalam air.
Menurut Vogel (1979) di dalam Yuliani
(2004), kelarutan tergantung pada suhu,
tekanan, konsentrasi bahan lain dalam
larutan dan komposisi kelarutannya.
Berdasarkan kelarutan dalam air, serat
pangan terbagi dua yaitu serat larut dan
tidak larut. Oakenfull di dalam Spiller
(2001) menambahkan struktur dominan
selulosa berupa kristal yang bersifat
sukar larut sedangkan bagian lain berupa
non-kristal yang lebih larut air.Southgate dan Englyst (1985) di dalam
Trowell et al. (1985) menambahkan bahwa sifat kelarutan dalam air kompo-
nen serat tergantung pada pH, semakin
tinggi pH semakin mudah larut air. Pada
pelakuan 3, konsentrasi HCl yang ditam-
bahkan lebih besar sehingga lebih kuat
menghidrolisis serat. Nilai kelarutan
serat juga dipengaruhi oleh jumlah kom-
ponen penyusun serat pangan yang larut.
Tabel 8. Kelarutan serat dalam air
Perlakuan Kelarutan
dalam Air (%)
1 0,2028
2 0,2251
3 0,2445
e. Komposisi Serat Pangan
Serat pangan adalah bagian dari
pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh
enzim-enzim pencernaan, meliputi :
selulosa, hemiselulosa, lignin, pentosan,
gum, dan senyawa pektik (Sulaeman et
al., 1993). Menurut Meuser et al. (1992)
serat pangan dapat dibedakan ke dalam
dua berdasarkan kelarutannya dalam air,
yaitu serat tidak larut air (selulosa,
lignin, xilan, xiloglukan, galaktoman-
nan) dan serat larut air (pektin, arabino-
galaktan, arabinoxilan, dan β-glukan).
Serat pangan dianalisis berdasarkan
bobot serat hasil hidrolisis. Hasil peng-
amatan menunjukkan kadar serat pangantotal (Total Dietary Fiber – TDF) meng-
alami penurunan dengan adanya per-
bedaan perlakuan penam-bahan HCl.
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 11/14
Nilai TDF berkisar antara 89,2510
hingga 91,6418 % (bk) dengan kan-
dungan TDF tertinggi diperoleh dari
perlakuan 3 (Gambar 14). Serat pangan
total merupakan jumlah serat pangan
larut dan serat pangan tidak larut.
8,97
82,67
8,36
9,15
81,46
9,39
10,58
78,67
10,75
0%
20%
40%
60%
80%
100%
K o m p o s i s i ( % )
1 2 3
Perlakuan
Komponen lain
Serat makanan
tak larutSerat makanan
larut
Gambar 5. Histogram komposisi serat hasilhidrolisis
Serat pangan larut mengalami pening-
katan dengan meningkatnya konsentrasi HCl
yang ditunjukkan dengan hasil hidrolisis
dengan perlakuan 3. Pada konsentrasi yang
tinggi, asam akan lebih banyak mendegradasi
komponen polisakarida serat menjadi mole-
kul yang lebih kecil dan bersifat lebih larut.
Secara alami selulosa bersifat tidak larut
dalam air, namun selulosa yang reaktifterhadap asam akan banyak terdegradasi
menjadi molekul lebih kecil sehingga lebih
larut. Serat larut merupakan bagian serat pangan yang dapat larut dalam air, termasuk
di dalamnya senyawa pektat, sebagian hemi-
selulosa, gum, dan mucilage [Southgate dan
Spiller (2001) di dalam Spiller (2001)].
Menurut Winarno (1997), selulosa mudah
larut dalam asam sedangkan hemiselulosa
lebih larut dalam basa. Hidrolisis pada suhu
tinggi akan mendegradasi komponen hemi-
selulosa terutama menghasilkan D-xilosa se-
dangkan hidrolisis selulosa menghasilkan D-
glukosa. Serat larut menempati tidak lebih
dari sepertiga bagian dari serat pangan total.
Komposisi serat pangan larut hasil hidrolisis
mencapai 9-10 % dari serat pangan totalnya. Nilai kadar serat pangan tidak larut
mengalami penurunan dengan perbedaan per-
lakuan penambahan HCl. Hal ini dikarenakan
pada perlakuan 3 dimana konsentrasi asam
yang ditambahkan lebih tinggi, banyak
komponen serat tidak larut yang ikutterdegradasi oleh asam dan ikut larut dalam
hidrolisis dan pada saat pencucian serat.
Selulosa lebih mudah bereaksi dalam asam
dibandingkan dengan komponen tidak larut
seperti hemiselulosa sehingga selulosa akan
lebih banyak terdegradasi (Winarno, 1997).
Beberapa komponen hemiselulosa yang
asalnya tidak larut dalam air tapi dapat larut
dalam alkali dapat larut pada saat ekstraksi
dengan asam (Southgate dan Englyst, 1985 didalam Trowell et al., 1985).
Hasil analisis menunjukkan bahwa selain
komponen serat pangan, komponen lain juga
terdapat dalam serat, jumlahnya berkisar
antara 8,36 hingga 10,75 % (bk) dari kom-
posisi total bahan penyusun serat. Komponen
tersebut diduga merupakan komponen anor-
ganik, garam-garam hasil penetralan, juga
produk-produk hasil reaksi samping antar
komponen selama hidrolisis seperti hasil
reaksi Maillard dengan lignin, tannin, kutin,
dan sebagainya. Hidrolisat asam pada per-lakuan 3 menunjukkan jumlah komponen
bukan serat serat paling tinggi dapat di-karenakan reaksi samping lebih banyak.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Singkong dapat diolah melalui hidrolisis
secara enzimatis menggunakan α-amilase dan
hidrolisis asam dengan HCl sebagai katalis
sehingga menghasilkan dua produk yang
berbeda yaitu hidrolisat pati dan serat pangan.
Hidrolisis singkong dengan α-amilase
menghasilkan hidrolisat dengan nilai DE
yang rendah yaitu 3,49, DP 31,45, dan tingkat
kejernihan 64,73 % Transmisi. Hasil
hidrolisis menggunakan katalis HCl pada
perlakuan penambahan HCl taraf 1 sampai 3
menghasilkan hidrolisat dengan karakteristik
yaitu : nilai DE (Dextrose Equivalent) pada
kisaran 8,69 - 13,11, nilai DP (Degree of
Polymerization) sekitar 7,71 - 11,94, gula
pereduksi antara 0,9328 - 1,6146 mg/ml, gula
total berkisar 10,7581 - 12,2610 mg/ml, dan
tingkat kejernihan pada kisaran 61,920 -
85,204 % Transmisi.
Serat yang dihasilkan mempunyai
rendemen berkisar antara 0,8667 - 1,1199 (%
bk) dari berat singkong awal, derajat putih
serat berkisar antara 36,38 - 39,00 %, daya
serap air antara 545,7273 - 640,9322 %, dan
kelarutan dalam air berkisar antara 0,2028 -
0,2445 %. Kandungan serat pangan total
yang terdapat dalam serat hasil hidrolisis
pada perlakuan 1 sampai 3 berkisar antara
89,2510 - 91,6418 %. Komponen serat tidak
larut memiliki proporsi yang lebih tinggi
dibandingkan serat larut dimana serat larut
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 12/14
berkisar antara 78,6743 - 82,6710 % dan serat
tidak larut berkisar antara 8,9708 - 10,5767 %
dari serat hasil hidrolisis, sedangkan sisanya
merupakan komponen lain sekitar 8,3582
hingga 10,7490.
Perbedaan perlakuan penambahan HCl
tidak memberikan pengaruh yang nyata padanilai gula pereduksi, total gula, DE, DP, dan
kejernihan hidrolisat. Pada produk serat,
perbedaan perlakuan penambahan HCl mem-
berikan pengaruh yang berbeda pada nilai
rendemen serat, dan daya serap air, se-
dangkan terhadap nilai kelarutan dalam air,
derajat putih, dan kandungan serat pangan
tidak berbeda nyata.
Berdasarkan karakteristik yang dianalisis,
secara umum hidrolisis dengan perlakuan 3
memberikan nilai tertinggi pada semua
parameter hidrolisat, sedangkan untuk meng-hasilkan produk serat pangan dengan mutu
terbaik diperoleh dari hasil hidrolisis dengan perlakuan 1.
Saran1. Proses pengolahan singkong melalui
hidrolisis dengan katalis enzim dan asam
dapat diaplikasikan pula untuk bahan
lain seperti onggok hasil pengolahan
tapioka.
2. Analisis komponen penyusun produk
hidrolisat seperti HPLC (High Performance Liquid Chromatography)
maupun produk serat yang dihasilkan
dapat dilakukan untuk mengetahui ka-
rakteristik bahan.
3. Hidrolisat pati dapat dimanfaatkan
sebagai maltodekstrin atau bahan pem-
buatan sirup glukosa/fruktosa melalui
pengolahan lebih lanjut.
4. Hidrolisat pati yang diperoleh dapat juga
dikombinasikan bersama serat pangan
menjadi suatu produk dengan sifat gel
yang lebih stabil.
PUSTAKA
Balagopalan, C, G. Padmaja, S. K. Nanda,
dan S. N. Moorthy. 1988. Cassava in
Food, Feed, and Industry. CRC Press,
Inc., Florida.
Balitbang Pertanian. 2002. Warta Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Vol. 24
No. 6 Tahun 2002. Balitbang Pertanian,
Jakarta. (http://www.pustaka-
deptan.go.id) [28 Juli 2005].
Belitz, H. D. dan W. Grosch. 1999. Food
Chemistry 2nd Edition. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg, Germany.
Birch, G. G., L. F. Green, dan C. B. Coulson.
1970. Glucose Syrups and Related
Carbohydrates. Elsevier Publishing Co.Ltd., London.
Birch, G. G. dan K. J. Parker. 1979. Sugar :
Science and Technology. Applied
Science Publishers, Ltd., London.
Biro Pusat Statistik. 2005. Production of
Secondary Food Crops in Indonesia. Biro
Pusat Statistik, Jakarta.
(http://www.bps.go.id) [16 Oktober
2005].
Dreher, M. L. 1989. Handbook of Dietary
Fiber. Marcel Dekker, Inc., New York.
Dziedzic, S. Z. Dan M. W. Kearsley. 1984.
Glucose Syrups : Science and
Technology. Elsevier Applied Science
Publishers, London.
Gaman, P. M., dan K. B. Sherrington. 1981.
Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Diterjemahkan
oleh Murdjiati Gardjito dkk. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta
Jackson, E. B. 1999. Sugar Confectionery
Manufacture 2nd
Edition. Blackie
Academic and Professional, Maryland.
Kearsley, M. W. dan S. Z. Dziedzic. 1995.
Handbook of Starch Hydrolysis Products
and their Derivatives. Blackie Academic
and Professional, Glasgow.
Kennedy, J. F. 1988. Carbohydrate
Chemistry. Oxford University Press,
New York.
Oakenfull, D. 2001. Phsycal Chemistry of
Dietary Fiber. Di dalam : Spiller, G. A.
2001. Dietary Fiber in Human Nutrition
3rd
Edition. CRC Press, London.
Raupp, Dorivaldo da Silva, D. A. Rosa, S.
Helena dan D. A. Banzatto. 2004.
Digestive and Functional Properties of a
Partially Hydrolyzed Cassava Solid
Waste with High Insoluble Fiber
Concentration. J. Sci. Agric. (Piracicaba,
Braz.) Vol.61 No.3 May/June 2004.
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 13/14
Spiller, G. A. 2001. Handbook of Dietary
Fiber in Human Nutrition 3rd Edition.
CRC Press, London.
Tjokroadikoesoemo, S. 1986. HFS dan
Industri Ubi Kayu Lainnya. PT.
Gramedia, Jakarta.
Trowell, H., D. Burkitt, dan K. Heaton. 1985.
Dietary Fiber, Fiber-Depleted Foods and
Disease. Academic Press, London.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi.
PT Gramedia, Jakarta.
Wibisono, G. 2004. Hidrolisis Enzimatis Pati
Umbi-Umbian Indonesia dengan α-
Amilase (Bacterial) dan Amilase
Pankreatin. Skripsi. Fateta IPB, Bogor
7/23/2019 F06wms
http://slidepdf.com/reader/full/f06wms 14/14
Lampiran 1. Diagram alir proses produksi hidrolisat pati dan serat pangan (dietary
fiber) dari singkong dengan hidrolisis enzim dan asam
Singkong Parut
Pembuatanslurry
singkong (pati 35 %)
- Amilase 1 U/g pati
Buffer asetat pH 5,2
CaCl2 20 ppm
Hidrolisis dalam
waterbath shaker
suhu 95 °C, 1 jam
Filtrasi dengan kain
kasa dan kertas saring
Hidrolisat Residu ( serat)
Pembuatan suspensi
serat pH 2,3
HCl
Akuades
Hidrolisis dalam
otoklaf
suhu 115 °C, 1 jam
Filtrasi dengan kain
kasa dan kertas saring
Pencucian Air cucian
Akuades
Hidrolisat Residu (serat)
Pengeringan dalam
oven suhu 50° C
Dietary Fiber
Penghalusan dan
penyaringan 40 mesh
Hidrolisis Enzimatis
Hidrolisis Asam
a