Upload
horasdia-saragih
View
156
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 165
PENUMBUHAN NANOCURCUMIN MENGGUNAKAN REAKTOR TABUNG MIKRO DAN PENGARUH
PENGGUNAAN POLIMER POLYVINYLPYRROLIDONE (PVP) SEBAGAI MATERIAL KAPSULASI
Horasdia Saragih*), Donn Richard Ricky dan Albert Manggading Hutapea
Laboratorium Sains Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Advent Indonesia
Jl. Kol. Masturi No. 228 Parongpong, Bandung 40559, INDONESIA Telp./Fax: +62 (022) 2700247
*)e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Curcumin berukuran nanometer (nanocurcumin) telah ditumbuhkan dengan menggunakan reaktor tabung mikro. Sifat unik pola campur bahan cair di dalam tabung mikro yang sirkulatif, telah dimanfaatkan. Polimer polyvinylpirrolidone (PVP) yang memiliki tingkat kelarutan yang tinggi di dalam air telah digunakan sebagai separator dan sekaligus sebagai material pengkapsulasi. Penumbuhan curcumin berukuran nanometer dan pengkapsulasiannya menggunakan polimer yang memiliki tingkat kelarutan yang tinggi di dalam air diperlukan untuk meningkatkan bioavailabilitas curcumin. Ragam konsentrasi PVP telah digunakan untuk memvariasi ukuran nanocurcumin yang tumbuh. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa menggunakan 1,5 g PVP/30 ml etanol, menghasilkan diameter rata-rata curcumin d1 = 290,4 nm; menggunakan 4,5 g PVP/30 ml etanol menghasilkan diameter rata-rata d2 = 89,0 nm dan menggunakan 7,5 g PVP/30 ml etanol menghasilkan diameter rata-rata d3 = 58,0 nm. Perekayasaan curcumin ke ukuran orde nanometer dan sekaligus pengkapsulasiannya dengan menggunakan PVP, tidak mengubah karakteristik utama curcumin. Selain memperkecil ukuran curcumin, penggunaan PVP pada konsentrasi yang lebih tinggi juga menghasilkan distribusi ukuran yang lebih sempit.
Kata kunci: Nanocurcumin, polyvinylpyrrolidone (PVP), reaktor tabung mikro.
ABSTRACT
Nanocurcumin (curcumin with nanometer size) has been grown by using the micrometer tube reactor. The circulative unique properties of flow of liquid in micrometer tube, have been utilized. Polyvinylpirrolidone (PVP) polymer which has a high solubility in water has been used as a separator as well as encapsulation material. Curcumin in nanometer size, in which encapsulated with polymers that have high solubility in water such as PVP, is necessary to improve its bioavailability. Various concentrations of PVP have been used to grow of nanocurcumin in various size. The results obtained show that, using 1.5 g PVP/30 ml of ethanol produces nanocurcumin with an average diameter of 290.4 nm, using 4.5 g PVP/30 ml of ethanol produces an average diameter of 89.0 nm and using 7.5 g PVP/30 ml of ethanol produces an average diameter of 58.0 nm. Miniaturization of curcumin and encapsulation with PVP polymer were not changed its main characteristics. Moreover, PVP polymer can also be used to narrowed size distribution of curcumin.
Keywords: Nanocurcumin, polyvinylpyrrolidone (PVP), mikro tube reactor.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
166 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
PENDAHULUAN
Curcumin [1,7-bis-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)-1,6-heptadien-3,5-dione] dan dua
curcuminoid pendampingnya, yaitu: demethoxycurcumin dan bisdemethoxycurcumin adalah
zat-zat aktif yang dapat diperoleh dari tanaman kunyit (Curcuma longa Linn) [1]. Dari
berbagai hasil penelitian, di antaranya menunjukkan bahwa curcumin ditemukan dapat
berperan sebagai anti kanker dan anti oksidan [2,3]; dapat menghambat pembentukan tumor
otak [4]; dan dapat mereduksi amyloid β pada penderita Alzheimer [5]. Karena kasiatnya
sangat baik dan banyak, maka curcumin sangat potensial untuk dikembangkan sebagai obat
herbal. Namun bioavailabiltas curcumin sangat rendah sehingga sulit menyasar organ-organ
di dalam tubuh pada dosis yang diperlukan [6]. Rendahnya bioavailabilitas ini disebabkan
oleh dua hal: (1) pada saat digunakan, ukuran partikel curcumin relatif besar sehingga sulit
menembus dinding sel; (2) tingkat kelarutan curcumin di dalam air sangat rendah. Akibatnya
penggunaannya tidak optimal.
Dua hal di atas menjadi masalah utama dalam pengembangan curcumin sebagai obat
herbal. Untuk mengatasinya para peneliti telah mencoba melakukan berbagai macam
pendekatan. Diantaranya, Zheng et al. [7] telah meminiaturisasi curcumin ke ukuran
nanometer (nanocurcumin). Nanocurcumin dengan beragam ukuran telah ditumbuhkan
berbantuan gelombang ultrasonik. Polyelektrolit digunakan sebagai material pengkapsulasi
untuk menstabilisasi ukuran nanocurcumin sehingga tidak bertumbuh menjadi lebih besar.
Yang terakhir, Tsai et al. [8] telah juga menumbuhkan nanocurcumin berbantuan polimer
poly(lactic-co-glycolic acid) (PLGA). Polimer PLGA digunakan sebagai material pembawa
untuk meningkatkan bioavailabilitas curcumin.
Penumbuhan nanopartikel, diantaranya termasuk nanocurcumin yang ditumbuhkan
oleh Zheng et al. [7] dan Tsai et al. [8], umumnya dilakukan di dalam ruang reaksi berukuran
makro (reaktor makro) seperti di dalam suatu gelas ukur misalnya. Penumbuhan nanopartikel
dengan menggunakan reaktor makro secara umum sangat boros, dimana persentasi
nanopartikel yang dihasilkan dengan ukuran yang diperlukan dan yang homogen, relatif
sangat kecil. Di samping itu, dengan menggunakan ruang makro, nanopartikel dalam ukuran
yang sangat kecil, yang memiliki distribusi ukuran yang sempit, sulit untuk dihasilkan. Dan
dalam proses pencampuran prekursornya, dibutuhkan suatu teknik dan peralatan tambahan
yang umumnya dilakukan dengan teknik mengaduk secara mekanik berupa pemutaran dan
atau berbantuan energi gelombang ultrasonik [9].
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 167
Berbeda dengan apabila menggunakan ruang reaksi berukuran mikrometer (reaktor
mikro), khususnya yang berbentuk tabung. Di dalam suatu tabung yang memiliki diameter
dalam orde mikrometer, suatu bahan cair prekursor dapat dialirkan dengan membentuk pola
alir internal yang sirkulatif. Oleh pola alir internal yang sirkulatif ini, suatu proses
pencampuran prekursor di dalam tabung akan terjadi dengan sendirinya. Sifat unik ini
menjadikan tabung berdiameter mikrometer menjadi suatu instrumen yang sangat potensial
dan efektif untuk menghasilkan suatu campuran bahan cair yang homogen dalam waktu
singkat dan potensial untuk digunakan memfabrikasi nanopartikel dalam jumlah yang besar
secara kontiniu [10,11]. Volume cairan yang mengalir di dalam tabung dapat direduksi ke
ukuran yang lebih kecil berkapasitas mikroliter yang memiliki bentuk yang seragam melalui
proses pemisahan berbantuan gas yang dialirkan secara periodik ke dalam tabung untuk
membentuk pasangan aliran cair-gas [12]. Namun penggunaan reaktor mikro dalam
menumbuhkan nanopertikel masih jarang dilakukan, dan khususnya untuk menumbuhkan
nanocurcumin belum ada dilaporkan. Pada paper ini penggunaan reaktor mikro berbentuk
tabung untuk menumbuhkan nanocurcumin yang terkapsulasi polimer PVP, akan dilaporkan.
Pengaruh ragam konsentrasi PVP untuk memvariasi ukuran nanocurcumin yang tumbuh, akan
diterangkan.
METODOLOGI
1. Reaktor Tabung Mikro
Reaktor tabung mikro dikonstruksi dengan menggunakan bahan gelas yang didisain
berdiameter 500 µm dan panjang 1 m. Pemilihan bentuk tabung diperlukan agar proses
pencampuran dan reaksi prekursor-prekursor yang digunakan dapat dilakukan dalam modus
alir di dalam tabung. Bahan gelas dipilih agar reaksi antara prekursor dengan material reaktor
tidak terjadi. Gambar 1a menunjukkan reaktor tabung gelas mikro yang dikonstruksi. Di
dalam tabung, prekursor-prekursor yang digunakan akan dicampur dan direaksikan. Untuk
melakukan proses pencampuran dan reaksi, larutan masing-masing prekursor dimasukkan
secara bersamaan melalui lubang-lubang masukan. Untuk mempercepat proses pencampuran
dan reaksi, larutan prekusor di dalam tabung dapat dipisahkan menjadi volume-volume kecil
berkapasitas mikroliter yang mengalir secara teratur dengan ukuran yang sama berbantuan
suatu gas atau udara yang diinjeksi ke dalam tabung secara periodik (gambar 1b). Ketika
mengalir, molekul-molekul prekursor yang terdapat di dalam volume-volume kecil ini akan
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
168 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
membentuk pola alir internal yang sirkulatif yang mempercepat proses pencampuran (lihat
gambar 2).
Gambar 1. (a) Reaktor tabung mikro yang dikonstruksi dari bahan gelas dengan jari-jari 500 µm dan panjang 1 m; (b) Teknik pencampuran bahan prekursor di dalam tabung melalui proses pemisahan berbantuan gas (udara) sehingga terbentuk volume-volume kecil campuran prekursor berkapasitas mikroliter yang mengalir secara teratur dengan ukuran yang sama.
Gambar 2. Pola sirkulasi internal molekul prekusor di dalam tabung ketika dalam keadaan mengalir.
Panjang segmen cair di dalam tabung dapat diperkecil dengan memperbesar frekuensi
injeksi gas (udara). Ketika segmen cair menjadi lebih kecil, panjang lintasan sirkulasi
molekul-molekul prekursor menjadi lebih pendek sehingga proses transfer massa, secara
radial maupun axial, terjadi lebih cepat yang akhirnya menghasilkan campuran dan reaksi
yang homogen dalam waktu yang singkat [12].
2. Penumbuhan Nanocurcumin
Nanocurcumin ditumbuhkan dengan menggunakan reaktor tabung mikro seperti
diterangkan di atas. Serbuk curcumin [1,7-bis-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)-1,6-heptadien-
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 169
3,5-dione] (C21H20O6) dengan kemurnian 97% (3% adalah curcuminoid pendampingnya,
yaitu: demethoxycurcumin dan bisdemethoxycurcumin) yang diproduksi oleh Merck, Jerman,
digunakan sebagai prekursor. Polimer polyvinylpyrrolidone (PVP) (K15, n=90; Merck)
digunakan sebagai separator sekaligus media pengkapsulasi nanocurcumin. Prekursor-
prekursor ini langsung digunakan tanpa proses pemurnian tambahan. Etanol (CH3CH2OH,
99,9%; Merck) digunakan sebagai pelarut.
Gambar 3. (a) Serbuk curcumin [1,7-bis-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)-1,6-heptadien-3,5-dione] (C21H20O6) dengan kemurnian 97% (3% adalah curcuminoid pendampingnya, yaitu: demethoxycurcumin dan bisdemethoxycurcumin) produksi Merck Jerman. (b) Proses sonikasi dalam rangka melarutkan serbuk curcumin ke dalam etanol.
Serbuk curcumin dilarutkan ke dalam pelarut etanol pada konsentrasi 1,5 g/30 ml
dengan berbentuan sonikator sehingga diperoleh larutan curcumin yang bening (lihat gambar
3). Hal yang sama dilakukan terhadap polimer PVP pada beragam konsentrasi, yaitu: 1,5 g;
4,5 g; dan 7,5 g per 30 ml etanol. Ragam konsentrasi ini diperlukan untuk melihat
pengaruhnya terhadap ukuran nanocurcumin yang dihasilkan. Kedua jenis larutan, larutan
curcumin dan larutan PVP, dialirkan secara bersamaan ke dalam tabung reaktor dengan
perbandingan 1:1 dengan cara sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1b. Gas (udara)
diinjeksi ke dalam tabung dengan frekuensi yang diperlukan untuk menghasilkan rangkaian
alir cair-gas sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2. Pada penelitian ini panjang segmen cair
campuran prekursor di dalam tabung diset berukuran 300 µm dan kecepatan alirnya menuju
ujung keluaran tabung diset sebesar sekitar 4,7 cm/dt. Di dalam tabung kedua jenis prekursor
akan bercampur dan bereaksi. Proses pencampuran sepenuhnya dikendalikan oleh pola
sirkulasi internal molekul-molekul prekursor. Proses pencampuran dan reaksi difasilitasi
sepanjang 1m panjang tabung. Setelah bercampur dan bereaksi, di ujung keluaran tabung
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
170 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
nanocurcumin terkapsulasi PVP akan dihasilkan. Ragam konsentrasi PVP, masing-masing:
1,5 g; 4,5 gr; dan 7,5 g per 30 ml etanol digunakan untuk melihat pengaruhnya terhadap
ukuran nanocurcumin yang dihasilkan.
3. Karakterisasi
Karakteristik nanocurcumin yang dihasilkan diinvestigasi secara optis dengan
mengukur absorpsi optiknya menggunakan alat UV-Vis Spectrophotometer BOECO S-26
Jerman dengan resolusi optikal 1 nm. Spektrum absorbans nanocurcumin direkam pada
rentang panjang gelombang 200-650 nm untuk melihat puncak-puncak absorpsi unik
curcumin. Pada saat pengukuran, koloid nanocurcumin (berpelarut di-water) dimasukkan ke
dalam cuvette yang terbuat dari quarzt dengan panjang lintasan 1 cm. Sebelum digunakan,
cuvette terlebih dahulu dibersihkan melalui proses sonikasi selama 5 menit di dalam media di-
water. Diameter rata-rata nanocurcumin yang dihasilkan dan distribusi ukurannya diukur pada
temperatur ruang dengan menggunakan alat Particle Size Analyzer (PSA) Delsa Nano C,
Beckman Coulter USA, dengan Size Range 0,6 nm sampai 7 µm. Sebelum diukur,
nanocurcumin didispersi ke dalam di-water yang memiliki indeks bias = 1,3328 dan
viskositas = 0,8878 centiPoise (cP) (1 cP = 0.001 kg/(m·s)).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang diperoleh dari penumbuhan sebagaimana diterangkan di atas adalah
nanocurcumin yang terkapsulasi PVP yang terdispersi di dalam pelarut etanol (koloida
nanocurcumin). Pelarut etanol kemudian dipisahkan melalui proses destilasi yang dilakukan
pada temperatur ruang untuk menghasilkan hanya nanocurcumin terkapsulasi. Selanjutnya
karakteristik nanocurcumin terkapsulasi ini, diinvestigasi.
Untuk melihat perubahan kelarutannya secara fenomenologis, nanocurcumin yang
dihasilkan dilarutkan ke dalam air (di-water). Gambar 4 menunjukkan larutan nanocurcumin
hasil penumbuhan yang dilarutkan di dalam di-water. Teramati adanya perbedaan yang
signifikan terhadap kelarutan curcumin berukuran nanometer terkapsulasi PVP dibandingkan
dengan serbuk curcumin biasa. Pada gambar 4a tidak teramati adanya agregat curcumin
sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4b. Hal ini menunjukkan bahwa nanocurcumin
terkapsulasi PVP yang dihasilkan telah dapat larut secara sempurna di dalam air.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 171
Gambar 4. Curcumin yang dilarutkan di dalam air (di-water): (a) larutan curcumin berukuran nanometer (nanocurcumin) yang dikapsulasi dengan PVP, (b) larutan curcumin biasa sebagaimana dibeli dari produsen (Merck).
Respon absorbans optik nanocurcumin terkapsulasi PVP yang ditumbuhkan
pada berbagai konsentrasi PVP, diukur di rentang panjang gelombang 200-650 nm pada
temperatur ruang dan pH netral. Spektrum absorbansnya ditunjukkan pada gambar 5.
Sebagaimana dilaporkan oleh Balasubramanian [13] bahwa curcumin memiliki dua
karakteristik puncak utama absorpsi optik pada rentang panjang gelombang 200-650 nm,
yaitu: yang terjadi pada panjang gelombang 242 nm dan yang terjadi pada panjang gelombang
antara 418-430 nm. Dengan menggunakan perhitungan yang didasarkan pada Hamiltonian
Pariser-Parr-Pople (Hamiltonian PPP), Balasubramanian [13] mengidentifikasi bahwa puncak
absorpsi yang terjadi pada panjang gelombang 242 nm terkait dengan transisi energi dari π →
π* yang besarnya sekitar 4,7417 eV, sementara puncak absorpsi yang terjadi pada rentang
panjang gelombang 418-430 nm terkait dengan transisi energi dari n → π* yang besarnya
sekitar 2,883 eV. Dikaitkan dengan hasil absorbans sebagaimana ditunjukkan pada gambar 5,
nanocurcumin yang terkapsulasi PVP yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan
karakteristik yang sama sebagaimana diperoleh oleh Balasubramanian [13] dimana puncak-
puncak utama juga terjadi pada panjang gelombang 242 nm dan pada panjang gelombang
antara 418-430 nm, yang artinya adalah bahwa kehadiran PVP yang bersifat inert dan
pereduksian ukuran curcumin ke orde nanometer tidak mengubah karakteristik utama
curcumin.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
172 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
Gambar 5. Spektrum absorbans optik nanocurcumin terkapsulasi PVP yang ditumbuhkan pada berbagai konsentrasi PVP yang diukur pada rentang panjang gelombang 200-650 nm pada temperatur ruang dan pH netral.
Gambar 6. Distribusi ukuran diameter nanocurcumin terkapsulasi PVP yang ditumbuhkan dengan menggunakan ragam konsentrasi PVP. (a) ditumbuhkan dengan menggunakan 1,5 g PVP/30 ml etanol, menghasilkan diameter rata-rata d1 = 290,4 nm dengan standar deviasi SD1 = 72,4; (b) ditumbuhkan dengan menggunakan 4,5 g PVP/30 ml etanol, menghasilkan diameter rata-rata d2 = 89,0 nm dengan standar deviasi SD2 = 25,5; (c) ditumbuhkan dengan menggunakan 7,5 g PVP/30 ml etanol, menghasilkan diameter rata-rata d3 = 58,0 nm dengan standar deviasi SD3 = 16,6.
Namun, sebagaimana diperlihatkan pada gambar 5 bahwa kehadiran polimer PVP
memunculkan puncak absorpsi baru di sekitar panjang gelombang 267 nm. Semakin tinggi
konsentrasi PVP yang digunakan pada proses penumbuhan semakin memperjelas kehadiran
puncak absorpsi 267 nm. Hadirnya puncak absorbsi pada panjang gelombang 267 nm ini
terkait erat dengan ikatan kompleks yang terjadi antara molekul curcumin dengan molekul
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 173
PVP. Sebagaimana dilaporkan oleh Tantishaiyakul et al. [14] bahwa molekul curcumin dapat
mengikat molekul polimer PVP melalui ikatan hidrogen. Setiap molekul curcumin dapat
mengikat satu molekul PVP melalui jembatan ikatan hidrogen. Hal ini sejalan dengan hasil
yang diperoleh pada penelitian ini dimana seperti ditunjukkan pada gambar 5 bahwa semakin
tinggi konsentrasi PVP yang digunakan saat penumbuhan, semakin tinggi puncak absorpsi
276 nm yang dihasilkan, yang artinya adalah semakin banyak ikatan curcumin-PVP yang
terbentuk.
Gambar 6 menunjukkan distribusi ukuran diameter nanocurcumin terkapsulasi PVP
yang dihasilkan yang ditumbuhkan dengan menggunakan ragam konsentrasi PVP. Terlihat
bahwa ada pengaruh signifikan konsentrasi PVP yang digunakan terhadap ukuran diameter
rata-rata nanocurcumin yang dihasilkan. Menggunakan konsentrasi PVP yang lebih rendah,
yaitu 1,5 g PVP/30 ml etanol, menghasilkan diameter rata-rata nanocurcumin yang lebih
besar, yaitu d1 = 290,4 nm; sementara menggunakan konsentrasi PVP yang lebih tinggi, yaitu
7,5 g PVP/30 ml etanol, menghasilkan diameter rata-rata nanocurcumin yang lebih kecil,
yaitu d3 = 58,0 nm. Selain itu, menggunakan konsentrasi PVP yang lebih tinggi menghasilkan
distribusi ukuran yang lebih kecil sebagaimana ditunjukkan oleh nilai standar deviasi yang
dihasilkan. Hal ini sesuai dengan apa yang ditunjukkan pada gambar 5 dimana bahwa
semakin tinggi konsentrasi polimer PVP yang digunakan saat proses penumbuhan, semakin
banyak ikatan curcumin-PVP yang terjadi sehingga pertumbuhan partikel curcumin dan
proses pelebaran distribusi ukuran diameternya menjadi terkurangi.
Hubungan karakteristik yang diperoleh sebagaimana ditunjukkan pada gambar 5 dan
gambar 6 dapat diterangkan sebagai berikut: nukleus-nukleus curcumin yang terbentuk saat
proses pencampuran prekursor di dalam tabung mikro akan berkompetisi untuk berikatan
dengan molekul PVP (curcumin-PVP) dan atau berikatan dengan nukleus curcumin yang lain
(curcumin-curcumin). Ketika yang terjadi adalah ikatan curcumin-curcumin maka ukuran
nukleus curcumin akan bertambah besar. Dan, ketika yang terjadi adalah ikatan curcumin-
PVP maka reaktifitas nukleus curcumin yang mengikat PVP tersebut menjadi berkurang
untuk mengikat nukleus curcumin yang lain karena molekul PVP yang terikat akan berperan
sebagai perintang (kapsulasi). Oleh kompetisi kedua jenis ikatan tersebut akan menghasilkan:
(1) pertumbuhan nukleus curcumin menjadi partikel yang lebih besar (nanocurcumin) dan (2)
sekaligus pengkapsulasiannya oleh molekul PVP. Peristiwa pengikatan, curcumin-curcumin
dan atau curcumin-PVP, akan terus terjadi secara probabilistik sampai dicapai keadaan
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
174 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
seimbang dimana pertumbuhan partikel curcumin dan pengikatan curcumin terhadap molekul
PVP mencapai titik jenuhnya yang pada akhirnya menghasilkan nanocurcumin yang
terkapsulasi PVP.
Dengan menggunakan reaktor berukuran mikro berbentuk tabung, sebagaimana
digunakan pada penelitian ini, jumlah molekul curcumin dan jumlah molekul PVP di dalam
tabung untuk direaksikan dapat direduksi secara signifikan dengan memperkecil volume
campuran sehingga dengan demikian proses pengikatan curcumin-curcumin dan atau
curcumin-PVP akan mencapai titik jenuhnya dalam waktu yang singkat sehingga ukuran
partikel curcumin yang tumbuh menjadi kecil. Dan oleh karena pola alirnya yang sirkulatif,
maka proses pencampuran untuk mencapai campuran yang homogen dapat cepat dicapai
untuk mengimbangi waktu dimana reaksi pertumbuhan nukleus curcumin terjadi sehingga
nanocurcumin yang dihasilkan menjadi homogen. Secara keseluruhan, dengan menggunakan
reaktor tabung mikro, partikel curcumin dengan ukuran yang kecil (nanocurcumin) dan
homogen, mudah untuk dihasilkan.
KESIMPULAN
Nanocurcumin telah ditumbuhkan dengan menggunakan reaktor tabung mikro.
Keunikan pola campur prekursor yang sirkulatif di dalam tabung mikro, telah dimanfaatkan
untuk menghasilkan campuran yang homogen dan nanocurcumin yang kecil dan homogen.
Polimer PVP telah digunakan untuk mengendalikan ukuran nanocurcumin yang tumbuh dan
sekaligus sebagai material pengkapsulasi. Kehadiran polimer PVP memberikan pengaruh
yang sangat signifikan dalam menentukan ukuran nanocurcumin yang tumbuh. Nanocurcumin
yang ditumbuhkan dengan menggunakan polimer PVP berkonsentrasi 1,5 g/30 ml etanol
menghasilkan diameter rata-rata d1 = 290,4 nm; menggunakan PVP berkonsentrasi 4,5 g/30
ml etanol menghasilkan diameter rata-rata d2 = 89,0 nm; dan menggunakan PVP
berkonsentrasi 7,5 g/30 ml etanol menghasilkan diameter rata-rata d3 = 58,0 nm. Perbedaan
penggunaan konsentrasi PVP juga mempengaruhi lebarnya distribusi ukuran diameter
nanocurcumin yang dihasilkan. Hal ini ditunjukkan oleh ragamnya besar standar deviasi
ukuran diameter yang diperoleh. Menggunakan PVP berkonsentrasi 1,5 g/30 ml etanol
menghasilkan standar deviasi SD1 = 72,4; menggunakan PVP berkonsentrasi 4,5 g/30 ml
etanol menghasilkan standar deviasi SD2 = 25,5; dan menggunakan PVP berkonsentrasi 7,5
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 175
g/30 ml etanol menghasilkan standar deviasi SD3 = 16,6. Penggunaan polimer PVP tidak
mengubah karakteristik curcumin.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Direktorat Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M) – DIKTI atas bantuan pendanaannya untuk
melaksanakan kegiatan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. H. Jiang, B.N. Timmermann dan D.R. Gang. Use of liquid chromatography-electrospray
ionization tandem mass spectrometry to identify diaryheptanoids in turmeric (Curcuma
longa L.) rhizome. Journal of Chromatography A, 1111(1) (2006) 21-31.
2. J.H. Naama, A.A. Al-Temimi dan A.A.H. Al-Amiery. Study the anticancer activities of
ethanolic curcumin extract. African Journal of Pure and Applied Chemistry, 4(5) (2010)
68-73.
3. A. Shehzad, F. Wahid dan Y.S. Lee. Curcumin in cancer chemoprevention: molecular
targets, pharmacokinetics, bioavailability, and clinical trials. Archiv der Pharmazie, 343
(2010) 489-499.
4. S. Purkayastha, A. Berliner, S.S. Fernando, B. Ranasinghe, I. Ray, H. Tariq dan P.
Banerjee. Curcumin blocks brain tumor formation. Brain Research, 1266 (2009) 130-138.
5. M. Garcia-Alloza, L.A. Borrelli, A. Rozkalne, B.T. Hyman dan B.J. Bacskai. Curcumin
labels amyloid pathology in vivo, disrupts existing plaques, and partially restores distorted
neuritis in an Alzheimer mouse model. Journal of Neurochemistry, 102(4) (2007) 1095-
1104.
6. P. Anand, A.B. Kunnumakkara, R.A. Newman dan B.B. Aggarwal. Bioavailability of
Curcumin: Problems and Promises. Molecular Pharmaceutics, 4(6) (2007) 807–818.
7. Z. Zheng, X. Zhang, D. Carbo, C. Clark, C.A. Nathan dan Y. Lvov. Sonication assisted
synthesis of polyelectrolyte coated curcumin nanoparticles. Langmuir, 26(11) (2010)
7679-7681.
8. Y.M. Tsai, C.F. Chien, L.C. Lin dan T.H. Tsai. Curcumin and its nano-formulation: The
kinetics of tissue distribution and blood-barrier penetration. International Journal of
Pharmaceutics, 416(1) (2011) 331–338.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
176 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
9. H. Cui, Y. Feng, W. Ren, T. Zeng, H. Lv dan Y. Pan. Strategies of large scale synthesis of
monodisperse nanoparticles. Recent Patents on Nanotechnology, 3 (2009) 32-41.
10. W. Tanthapanichakoon, N. Aoki, K. Matsuyama dan K. Mae. Design of mixing in
microfluidic liquid slugs based on a new dimensionless number for precise reaction and
mixing operations. Chemical Engineering Science, 61 (2006) 4220-4232.
11. J.M. Van Baten dan R. Krishna. CFD simulations of mass transfer from Taylor bubbles
rising in circular capillaries. Chemical Engineering Science, 59 (2004) 2535-2545.
12. B. Lertnuwat. The relation between the pressure gradient in a liquid slug and the radius of
the following Taylor bubble in capillary tubes. Thammasat International Journal of
Science and Technology, 12(3) (2007) 80-88.
13. K. Balasubramanian. Theoretical calculations on the transition energies of the UV-visible
spectra of curcumin pigment in turmeric. Indian Journal of Chemistry, 30A (1991) 61-65.
14. V. Tantishaiyakul, N. Kaewnopparat dan S. Ingkatawornwong. Properties of solid
dispersion of piroxicam in polyvinylpyrrolidone K-30. International Journal of
Pharmaceutics, 143(1) (1996) 59–66.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 177
MENURUNKAN KONSENTRASI SERUM GLUTAMATE PIRUVAT TRANSMINASE (SGPT) TIKUS WISTAR DIABETES DENGAN
MENGGUNAKAN NANOCURCUMIN
Besty Novita Haro*), Horasdia Saragih, Donn Richard Ricky, dan Albert Manggading Hutapea
Laboratorium Sains Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Advent Indonesia
Jl. Kolonel Masturi No. 288 Parongpong, Bandung 40559 Indonesia Telp/Fax: +62 (022) 2700247
*)e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Nanocurcumin telah digunakan untuk menurunkan konsentrasi serum glutamate piruvat transaminase (SGPT) pada tikus wistar diabetes. Salah satu dampak komplikasi naiknya kadar glukosa darah pada penderita diabetes adalah rusaknya fungsi hati sehingga meningkatkan konsentrasi SGPT. Dalam proses penggunaannya, curcumin telah direkayasa sehingga ukurannya berorde nanometer (nanocurcumin). Tiga ragam ukuran nanocurcumin telah digunakan, yang diberikan secara peroral pada beberapa kelompok tikus diabetes. Satu kelompok digunakan sebagai kontrol yang diberi curcumin yang tidak berukuran nanometer. Setelah tiga ragam ukuran nanocurcumin diberikan selama 11 hari, suatu penurunan konsentrasi SGPT yang signifikan pada darah tikus, dibandingkan dengan kelompok kontrol, teramati. Dari tiga ragam ukuran nanocurcumin yang digunakan diperoleh bahwa yang memiliki kemampuan menurunkan konsentrasi SGPT yang paling optimal adalah nanocurcumin berukuran 290,4 nm. Dari hasil ini menunjukkan bahwa perekayasaan curcumin ke ukuran 290,4 nm merupakan suatu solusi untuk mengatasi masalah rusaknya fungsi hati pada tikus diabetes.
Kata kunci: diabetes, nanocurcumin, SGPT.
ABSTRACT
Nanometer-sized curcumin has been used to reduce the concentration of serum glutamate pyruvate transaminase (SGPT) in diabetic mice. One of the effects of complications increased blood glucose levels in people with diabetes is damage to the liver function so that increasing concentrations of serum glutamate pyruvate transaminase. In the process of its use, curcumin engineered so that the order of nanometers in size (nanocurcumin). Three kinds of measures nanocurcumin been used, given orally in several groups of rats with diabetes. One group of diabetic mice used as controls were not fed curcumin nanometer size. After three different kinds of sizes nanocurcumin given for 11 days, a significant reduction in alanine aminotransferase concentrations in blood of rats compared with the control group, was observed. Of the three kinds of measures used nanocurcumin obtained that has the ability to reduce the concentrations of alanine aminotransferase was nanocurcumin optimal size of 294,4 nm. From these results suggest that curcumin engineering size of 294,4 nm is a solution to overcome the problem of liver damage in people with diabetes.
Keywords: diabetes, nanocurcumin, SGPT.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
178 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
PENDAHULUAN
Peningkatan konsentrasi serum glutamate piruvat transaminase (SGPT) merupakan
salah satu dampak komplikasi dari naiknya kadar glukosa darah pada penderita diabetes
karena terjadi kerusakan pada fungsi hati [1]. Peningkatan konsentrasi SGPT pada tikus
penderita diabetes telah banyak dilaporkan oleh para peneliti yang disebabkan oleh kurangnya
ketersediaan insulin yang memicu peningkatan ketersediaan asam amino dalam darah
sehingga terjadi peningkatan glukoneogenesis oleh otot [2,3,4].
Curcumin dapat menurunkan konsentrasi SGPT [5,6]. Curcumin adalah suatu
polifenol yang didapat dari ekstrak tanaman curcuma longa (kunyit), yang memiliki spektrum
efek biologis yang luas, oleh sebab itu akhir-akhir ini mendapat banyak perhatian dari para
peneliti [7,8,9,10]. Curcumin dapat berperan sebagai antiinflamsi dan antioksidan [7,11].
Hasil studi lain melaporkan bahwa curcumin dapat meningkatkan pembentukan insulin pada
penderita diabetes tipe-1, yang menunjukkan bahwa curcumin memiliki pengaruh pada
sekresi insulin [12]. Curcumin dapat secara efektif berperan sebagai antikanker [13].
Beberapa peneliti lain juga menemukan bahwa curcumin dapat memproteksi kerusakan hati
[14,15,16]. Curcumin juga berperan dalam menurunkan konsentrasi SGPT [8]. Hasil
penelitian terakhir melaporkan bahwa dengan mengkonsumsi 500 mg kapsul curcumin selama
15 hari dapat menurunkan konsentrasi SGPT [5].
Namun dalam pemanfaatannya, beberapa masalah masih belum dapat diatasi, seperti:
(1) curcumin sangat sukar larut di dalam air sehingga sulit untuk dihantarkan ke organ-organ
sasar dalam tubuh seperti yang dilaporkan Anand et al. [17]; (2) curcumin mengalami
metabolisme dalam waktu yang sangat cepat sehingga berumur pendek. Kedua hal ini
menyebabkan rendahnya bioavaibilitas curcumin [18].
Diduga dengan meningkatnya biavaibilitas curcumin, maka peningkatan konsentrasi
SGPT pada penderita diabetes seharusnya dapat teratasi. Oleh karena itu perlu dilakukan
investigasi ilmiah tentang penggunaan nanocurcumin terhadap kaitannya pada proses
penurunan konsentrasi SGPT.
Pada studi ini kami melaporkan solusi dalam penggunaan curcumin yang optimal dan
efisien, yaitu dengan menggunakan teknologi miniaturisasi yang dikenal dengan teknologi
nano. Ukuran partikel curcumin akan diminiaturisasi ke dalam orde nanometer dan
selanjutnya dikapsulisasi dengan menggunakan polimer biodegradable guna meningkatkan
bioavaibilitasnya seperti yang dilaporkan oleh para peneliti, diantaranya Sasaki et al. [19];
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 179
Anuradha dan Anukuru, [20]; Shaikh et al. [21]; Bisht et al. [22]; Aggarwal et al. [23] yang
telah berhasil mengkapsulisasi curcumin dengan polimer yang biodegradable guna
meningkatkan bioavaibilitasnya. Kami membuat tiga ragam ukuran curcumin berorde
nanometer yang selanjutnya akan diuji kepada tikus galur wistar penderita diabetes yang telah
diinduksi dengan aloksan yang selanjutnya akan dibandingkan dengan kontrol guna
menginvestigasi mekanisme dan ukuran nanocurcumin yang paling optimal dalam
menurunkan konsentrasi SGPT.
METODOLOGI
1. Hewan Uji
Pada penelitian ini tikus galur wistar jantan berumur tiga bulan dengan berat badan
150-250 g, digunakan sebagai hewan uji. Hewan uji ini diperoleh dari Laboratorium
Farmakologi Universitas Padjajaran, Bandung. Hewan uji ditempatkan di ruang bertemperatur
270C dengan kelembapan 45-56% dan siklus pencahayaan 12 jam terang dan 12 jam gelap
selama masa penelitian. Pelet, yang dicampur dengan dedak, diberikan sebagai makanan
harian. Pemeliharaan hewan uji dilakukan mengacu pada kode etik yang berlaku.
2. Menginduksi Hewan Uji dengan Aloksan
Hewan uji dipuasakan selama 16 jam kemudian diinduksi secara subkutan dengan
aloksan untuk menghasilkan kondisi hiperglikemik (diabetes). Aloksan yang digunakan
diproduksi oleh Sigma Aldrich Corp., St. Luis, MO, USA. Dosis yang digunakan adalah 125
mg/kg BB dengan aturan 2 g aloksan monohidrat dilarutkan ke dalam 20 mL NaCl.
3. Penumbuhan Nanocurcumin
Curcumin berukuran nanometer yang digunakan pada penelitian ini ditumbuhkan
dengan menggunakan reaktor tabung mikro. Curcumin berukuran nanometer diperlukan agar
dapat melintasi membrane sel dengan leluasa. Polimer polyvinylpirrolidone (PVP) digunakan
sebagai separator untuk menghindari pertumbuhan partikel nanocurcumin menjadi lebih
besar, sekaligus sebagai material pengkapsulasi dimana PVP memiliki tingkat kelarutan yang
tinggi di dalam air. Selengkapnya teknik penumbuhannya diterangkan pada referensi [24].
Tiga ragam ukuran nanocurcumin digunakan, yaitu: (58,0 ± 16,6) nm; (89,0 ± 25,5) nm; dan
(290,4 ± 72, 4) nm.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
180 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
4. Desain Eksperimental
Pada penelitian ini digunakan sebanyak 60 ekor hewan uji yang terkondisi diabetes.
Ke 60 hewan uji ini dibagi ke dalam 6 kelompok yang masing-masing terdiri dari 10 ekor.
Kelompok I: (kontrol positif) hanya diberi makan dan minum. Kelompok II: diberi makan dan
minum dan PVP berdosis 2,99 g/210 mL akuades secara peroral sebanyak 3 mL/hari.
Kelompok III: diberi makan dan minum dan serbuk curcumin biasa (yang tidak berukuran
nanometer) berdosis 0,75 g/210 mL akuades secara peroral sebanyak 3 ml/hari. Kelompok IV:
diberi makan dan minum dan diberi curcumin berukuran (58,0 ± 16,6) nm berdosis 0,75 g/210
mL akuades secara peroral sebanyak 3 ml/hari. Kelompok V: diberi makan dan minum dan
diberi curcumin berukuran (89,0 ± 25,5) nm berdosis 0,75 g/210 mL akuades secara peroral
sebanyak 3 ml/hari. Kelompok VI: diberi makan dan minum dan diberi curcumin berukuran
(290,4 ± 72,4) nm berdosis 0,75 g/210 mL akuades secara peroral sebanyak 3 ml/hari.
Perlakuan di atas diberikan selama 11 hari yang diawali pada saat setelah 72 jam
induksi aloksan. Setelah perlakuan, hewan uji dipuasakan selama 16 jam dan selanjutnya
dibius menggunakan phenthotal dengan dosis 0.5 mL yang dilarutkan ke dalam 20 mL
aquadest. Darah hewan uji yang bersumber dari jantung selanjutnya diambil untuk diukur
kandungan SGPT-nya.
5. Karakterisasi
5.1. Konsentrasi SGPT
Pada penelitian ini konsentrasi SGPT diukur dengan menggunakan alat Photometer
DTN-410 diproduksi oleh DiaLAB (Austria), yang bekerja pada panjang gelombang 340-
1000 nm. Darah tikus diambil dari jantung sebanyak 5 cc, selanjutnya disentrifugasi dengan
kecepatan 3000 rpm selama 20 menit untuk memperoleh serum darah. Serum darah yang
telah diperoleh digunakan sebagai sampel untuk pemeriksaan kadar SGPT. Pemeriksaan
konsentrasi SGPT ini menggunakan reagen alanin aminotransferase glutamate piruvate
transaminase (ALAT-GPT) FS* yang terdiri dari beberapa komponen yaitu, R1: tris (pH 7,
15) 140 mmol/L, l-alanine 700 mmol/L, ldh (lactate dehydrogenase) ≥ 2300 U/L, R2: 2-
oxoglurate 85 mmol/L, nadh 1 mmol/L, pyridoxal-5-phosphate FS: good's buffer (pH 9,6) 100
mmol/L, pyrodoxal-5-phosphate 13 mmol/L yang diproduksi oleh DiaSys Diagnostic Systems
GmbH, Holzheim, Germany. Dalam proses pengukuran SGPT digunakan campuran serum
darah sebanyak 100 µL dan 1000µL monoreagen (20 mL R1 dan 5 mL R2) yang sebelumnya
telah diinkubasi selama 5 menit pada temperature 37oC. Selanjutnya konsentrasi SGPT dari
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 181
campuran ini diukur dengan menggunakan alat Photometer DTN-410 pada panjang
gelombang 340 nm.
5.2. Absorbans Nanocurcumin
Karakteristik nanocurcumin yang digunakan pada penelitian ini dipelajari dari hasil
spektrum absorbans optiknya yang diukur dari panjang gelombang 200-650 nm dengan
menggunakan alat UV-VIS Spectrophotometer BOECO S-26 Jerman dengan resolusi optikal
1 nm. Puncak-puncak absorbsi nanocurcumin diidentifikasi. Dalam proses pengukurannya
nanocurcumin dilarutkan ke dalam air (di-water) yang selanjutnya dimasukkan ke dalam
cuvette yang terbuat daru quartz dengan panjang lintasan 1 cm.
5.3. Ukuran Nanocurcumin
Diameter rata-rata nanocurcumin dan distribusinya diukur dengan menggunakan alat
Particle Size Analyzer (PSA) Delsa Nano C, Beckman Coulter USA dengan size range 0,6 nm
sampai 7µm pada temperatur ruang. Sebelum diukur, nanocurcumin didispersi ke dalam di-
water yang memiliki indeks bias = 1,3328 dan viskositas = 0,8878 centiPoise (cP).
6. Analisis Statistik
Data hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan menggunakan perangkat lunak
SPSS versi 17. Data disajikan dalam bentuk angka-angka berupa nilai purata ± standar
deviasi. Statistik perbandingan ganda (multiple comparison) digunakan untuk menerangkan
lebih lanjut perbedaan purata yang terjadi pada setiap kelompok perlakuan yang dianalisis
melalui statistik analysis of variance (ANOVA). Dalam proses pengujian, tingkat
kepercayaan 95% (p≤ 0,05), digunakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nanocurcumin yang dikapsulisasi dengan Polimer PVP dikarakterisasi menggunakan
alat UV-Vis spectrophotometer pada panjang gelombang 200 sampai 650 nm. Tiga ragam
ukuran nanocurcumin digunakan. Ketiga ragam ukuran nanocurcumin ini ditumbuhkan
dengan menggunakan reaktor mikro yang didisain di Laboratorium Sains Terapan Universitas
Advent Indonesia berbantuan polimer polyvinylpirrolidone (PVP) pada berbagai ragam
konsentrasi. Spektrum absorbansnya ditunjukkan pada gambar 1. Hasil karakterisasi
menunjukkan bahwa nanocurcumin yang dikapsulisasi dengan PVP memiliki puncak-puncak
absorbans yang tidak berbeda dengan puncak-puncak absorbans curcumin biasa (tidak
diminiaturisasi ke ukuran nanometer). Puncak-puncak absorbans terjadi pada panjang
gelombang 242 nm dan pada panjang gelombang antara 418-430 nm [24,25,26].
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
182 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
Gambar 1. Spektrum absorban optik nanocurcumin terkapsulasi PVP yang ditumbuhkan pada berbagai konsentrasi PVP yang diukur pada rentang panjang gelombang 200-650 nm pada temperature ruang dan pH netral.
Diameter rata-rata nanocurcumin yang memiliki karakteristik optik sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 1 dan distribusinya diukur, dan hasilnya ditunjukkan pada gambar
2. Diperoleh bahwa nanocurcumin memiliki tiga ragam ukuran, yaitu: (1) diameter rata-rata
d1= 290,4 nm dengan standar deviasi SD1= 72,4; (2) diameter rata-rata d2= 89,0 nm dengan
standar deviasi SD2= 25,5; dan (3) diameter rata-rata d3= 58,0 dengan stndar deviasi SD3=
16,6. Keragaman ukuran ini terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi polimer PVP yang
digunakan pada saat penumbuhan. Konsentrasi PVP yang lebih tinggi menghasilkan ukuran
yang lebih kecil. Ketiga ragam ukuran nanocurcumin ini selanjutnya digunakan dalam
penelitian ini.
Penggunaan PVP sebagai kapsulisator curcumin memberikan pengaruh yang
signifikan pada ukuran curcumin. Kapsulisasi curcumin dengan menggunakan PVP
berkonsentrasi 1,5g/30 mL etanol menghasilkan diameter rata-rata 290,4 nm, menggunakan
PVP berkonsentrasi 4,5g/30mL etanol menghasilkan diameter rata-rata 89,0 nm, dan
menggunakan PVP berkonsentrasi 7,5g/30mL menghasilkan diameter rata-rata 290,4 nm. Dan
juga, perbedaan dalam penggunaan konsentrasi PVP juga mempengaruhi lebarnya distribusi
ukuran diameter nanocurcumin. Hal ini ditunjukkan dengan ragamnya standar deviasi dari
diameter nanocurcumin yang diperoleh. PVP yang berkonsentrasi 1,5g/30mL etanol
menghasilkan standar deviasi sebesar 72,4; PVP yang berkonsentrasi 4,5g/30mL etanol
menghasilkan standar deviasi sebesar 25,5; dan pengggunaan PVP dengan konsentrasi
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 183
7,5g/30mL menghasilkan standar deviasi sebesar 16,6.
Gambar 2. Distribusi ukuran diameter nanocurcumin terkapsulasi PVP: (a) diameter rata-rata d1= 290,4 nm dengan standar deviasi SD1= 72,4; (b) diameter rata-rata d2= 89,0 nm dengan standar deviasi SD2= 25,5; dan (c) diameter rata-rata d3= 58,0 dengan stndar deviasi SD3= 16,6.
Ketiga ragam ukuran nanocurcumin di atas diberikan ke pada tikus wistar diabetes
dengan aturan sebagaimana diterangkan pada disain eksperimental yang telah diterangkan
sebelumnya. Pengaruhnya terhadap konsentrasi SGPT pada darah tikus selanjutnya dilihat
dari hasil pengukuran konsentrasi SGPT-nya di akhir penelitian. Hasil nilai rata-rata dan
standar deviasi konsentrasi SGPT yang diperoleh untuk setiap perlakuan ditunjukkan pada
tabel 1. Histogramnya ditunjukkan pada gambar 3.
Tabel 1. Nilai rata-rata dan standar deviasi konsentrasi SGPT untuk setiap perlakuan.
Kelompok Konsentrasi SGPT (IU)
Rata-rata
Standar Deviasi
K1 132.31 45.853 K2 162.85 32.864 K3 84.305 17.303 K4 82.341 16.655 K5 113.64 39.362 K6 117.35 24.393
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
184 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
Gambar 3. Histogram pengaruh ukuran nanourcumin terhadap konsentrasi SGPT pada tikus wistar diabetes. K1 = kelompok kontrol positif, K2 = kelompok yang diberi PVP, K3= kelompok yang diberi curcumin yang tidak berukuran nanometer, K4 = kelompok yang diberi nanocurcumin berukuran 58,0 nm, K5 = kelompok yang diberi nanocurcumin berukuran 89,0 nm, K6 = kelompok yang diberi nanocurcumin berukuran 290,4 nm
Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan ANOVA dengan p≤0,005 diperoleh
bahwa: kelompok perlakuan K1 memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan kelompok
perlakuan lainya, kelompok perlakuan K2 juga didapati memiliki perbedaan yang signifikan
dengan kelompok perlakuan K1, K3, K4, K5 dan K6 serta untuk kelompok perlakuan K3, K4,
K5, K6 terdapat perbedaan tetapi tidak signifikan. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat
penurunan konsentrasi SGPT yang signifikan pada kelompok tikus diabetes yang diberi
curcumin berukuran nanometer dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang tidak diberi
nanocurcumin. Artinya, terjadi pemulihan sel β pada tikus wistar diabetes. Pada gambar 3
terlihat bahwa kelompok K1 memiliki konsentrasi SGPT yang lebih tinggi dibanding dengan
kelompok K3, K4 dan K6. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kelompok perlakuan ini tidak
terjadi pemulihan sel β sehingga penghasilan insulin tidak optimal dan glukoneogenesis masih
terjadi.
Kelompok perlakukan K2 menunjukkan hasil konsentrasi SGPT yang paling tinggi
dari yang lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan pemberian PVP tidak berpengaruh
pada pemulihan sel β sehingga konsentrasi SGPT tetap tinggi, proses glukoneogenesis masih
terus berlangsung. Kelompok yang mengalami penurunan konsentrasi SGPT yang palingbesar
ditemukan pada tikus kelompok K3 dan K4. Pada kedua kelompok ini terjadi proses
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 185
pemulihan sel β secara signifikan dan proses glukoneogenesis dapat tereduksi dengan baik.
Hal ini secara tidak langsung dapat disebabkan oleh meningkatnya bioavailabilitas
nanocurcumin. Pada gambar 3 ditunjukkan bahwa pemberian curcumin berukuran 290,4 nm
memberikan pengaruh penurunan konsentrasi SGPT yang terbaik sehingga dapat dikatakan
bahwa pemberian nanocurcumin berukuran 290,4 nm merupakan ukuran yang optimal untuk
menurunkan konsentrasi SGPT pada tikus diabetes.
Mekanisme curcumin dalam menurunkan SGPT dilakukan dengan menurunkan
glikoneogenesis dengan cara menghambat aktivitas enzim glukoneogenetik seperti glukosa-6-
fosfat dan phosphenol piruvat kinase [27]. Disamping itu mekanisme lain curcumin dalam
menurunkan SGPT adalah dengan merangsang sekresi insulin oleh sel β pankreas [12] dan
meningkatkan sensitivitas insulin sehingga pengambilan glukosa darah dapat ditingkatkan
[28].
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nanocurcumin berukuran 290,4 nm memiliki
kemampuan yang sangat potensial dan optimal dalam menurunkan konsentrasi SGPT pada
tikus wistar diabetes. Hal ini terjadi secara tidak langsung menyatakan bahwa nanocurcumin
yang diberikan dapat menurunkan konsentrasi SGPT dengan mengurangi terjadinya proses
glukoneogenesis dan merangsang sekrasi insulin oleh sel β pankreas sehingga konsentrasi
insulin cukup dalam tubuh dalam melakukan tugasnya untuk mengontrol kadar glukosa yang
seimbang dalam darah. Penggunaan nanocurcumin dalam pengobatan diabetes tipe I
merupakan solusi yang tepat digunakan sebagai alternatif penggunaan obat herbal.
DAFTAR PUSTAKA
1. A.I. Schmid, J. Szendroedi, M. Chmelik, M. Krssak, E. Moser dan M. Roden. Liver ATP
Synthesis is Lower and Relates to Insulin Sensitivity in Patients With Type 2 Diabetes.
Diabetes Care, 34(2) (2011) 448-453.
2. R. Thorat, N. Vyawahare, H. Velis dan S. Chaudhari. Antidiabetic Activity of HF on
Alloxan Induced Diabetic Rats. Pharmacologyonline, 2 (2010) 089-1099.
3. A. Doss, M. Palaniswamy, J. Angayarkanni, dan R. Dhanabalan.. Antidiabetic Activity of
Water Extract of Solanum trilobatum (Linn.) in Alloxan-Induced Diabates in Rats.
African Journal of Biotechnology, 8(20) (2009) 5562-5564.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
186 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
4. B.C. Semwal, K. Shah, N.S. Chauhan, R. Badhe dan K. Divakar. Anti-diabetic activity of
stem bark of Berberis aristata D.C. in alloxan induced diabetic rats. The Internet Journal
of Pharmacology, 6(1) (2008).
5. P. Ghandi, Z. Khan, dan N. Chakraverty. Soluble Curcumin: A Promising Oral
Supplement For Health Management. Journal of Applied Pharmaceutical Science, 02
(2011) 01-07.
6. N.H. Cho, H.C. Jang, S.H. Choi, H.R. Kim, H.K. Lee, J.C.N. Chan dan S. Lim. Abnormal
Liver Function Test Predicts Type 2 Diabetes. Diabetes Care, 30(10) (2007) 2566-2568.
7. P. Basnet dan N.S. Basnet. Curcumin: An anti-inflammatory Molecule from Acury Spice
on the Path to Cancer treatment. Molecules, 16 (2011) 4567-4598.
8. P. Rajesh, V. Balasubramaniam, N. Ramesh, V. Rajes dan A. Kannan. A Biochemical
Approach on Curcuma longa Linn. (Turmeric) against Alcoholic liver diseases by using
Swiss Albino mice and SDS-PAGE analysis. Int. J. Med. Res., 1 (2010) 6-17.
9. S. Purkayastha, A. Berliner, S.S. Fernando, B. Ranasinghe, I. Ray, H. Tariq dan P.
Benerjee. Curcumin Blocks Brain Tumor Formation. Brain Res., 1266 (2009) 130-138.
10. I. Chattopadhyay, K. Biswas, U. Bandyopadhyay, dn R.K. Banerjee. Turmeric and
curcumin: Biological and Medical applications. Current Science, 87(1) (2004) 44-53.
11. A. Shehzad, F. Wahid dan Y.S. Lee. Curcumin is cancer chemoprevention: molecular
targets, pharmacokinetics, bioavailability, and clinical trials. Arch. Pharm., 343 (2010)
489-499.
12. J. Wickenberg, S.L. Ingemansson dan J. Hlebowicz. Effects of curcuma longa (turmeric)
on postprandial plasma glucose and insulin in healthy subjects. Nutrition Jurnal, 9(43)
(2010) 1-5.
13. J.H. Naama, A.A. Al-Temimi dan A.A.H. Al-Amiery. Study the Anticancer Activities of
Ethanolic Curcumin Extract. African Journal of Pure and Applied Chemistry, 4(5) 2010
68-73.
14. T. Morimoto. The Dietary Compound Curcumin Inhibits p300 histone acetyltransferase
Activity and Prevents Heart Failure in Rats. J. Clin. Invest., 118 (2008) 868-878.
15. J.L. Frunk, J.N. Oyarzo, J.B. Frye, G. Chen, R.C. Lantz, S.D. Jolad, A.M. Solom, B.N.
Timmerman. Turmeric Extracts Containing Curcuminoids Prevent Experimental
Rheumatoid Arthritis. J. Nat. Prod., 69 (2006) 351-355.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 187
16. B.B. Aggarwal, A. Kumar dan A.C. Bharti. Anticancer Potential of Curcumin: Preclinical
and Clinical studies. Anticancer Res. 23(1A) (2003) 363–398.
17. P. Anand, A.B. Kunnumakkara, R.A. Newman dan B.B. Aggarwal. Bioavaibility of
Curcumin: Problems and Promises. Mol. Pharmaceutic, Vol. 4(5) (2007) 807-818.
18. S. Vareed, K.M. Kakarala, M.T. Ruffin, J.A. Crowell, D.P. Normolle, Z. Djuric, dan D.E.
Brenner. Pharmacokinetics of curcumin conjugate metabolites in healthy human subjects.
Cancer Epidemiol. Biomarker, 17(2008) 1411-1417.
19. H. Sasaki, Y. Sunagawa, K. Takahash, A. Imaizui, H. Fukuda, T. Hashimoto, H. Wada, Y.
Katanasaka, H. Kakaye, M. Fujita, K. Hasegawa dan T. Morimoto. Innovative
Preparationof Curcumin for Improved Oral Bioavailability. Biology Pharm. Bull., 34 (5)
(2011) 660-665.
20. C.A. Anuradha dan J. Aukunuru. Preparation, Characterisation and In vivo valuation of
Bisdemethoxy Curcumin Analogue (BDMCA) Nanoparticle. Tropical Journal of
Pharmaceutical Research. 9(1) (2010) 51-58.
21. J. Shaikh, D.D. Ankola, V. Beniwal, D. Singh, M.N. Kumar. Nanoparticle Encapsula-tion
Improves Oral Bioavailability of Curcuma by at least 9- fold when Compared to
Curcumin Administered with Piperine as Absorbtion Enhancer. Europe Journal Pharm.
Science. 37 (2009) 223-230.
22. S. Bisht, G. Feldmann, S. Soni, R. Ravi dan C. Karikar. Polymeric Nanoparticle-
encapsulated Curcumin (“nanocurcumin”): a novel strategy for human cancer therapy.
Mol. Pharmaceutics Journal of Nanobiotechnology, 5(3) (2007) 1477-3155.
23. B.B. Aggarwall, I.D. Bhatt, H. Ichikawa, S.A. Kwang, G. Sethi, S.K. Sandur, C.
Natarajan, N. Seeram dan S. Shishodia S. 10 Curcumin – Biological and Madicinal
Properties, 2006. 297-368.
24. H. Saragih, D.R. Ricky dan A.M. Hutapea. Penumbuhan Nanocurcumin Menggunakan
Reaktor TabungMikro dan Pengaruh Penggunaan Polimer Polyvinylpyrrolidone (PVP)
sebagai Material Kapsulasi. Simposium Fisika Nasional XXV, Himpunan Fisika Indonesia,
Palangkaraya Kalimantan 2012. (Submitted)
25. K. Balasubramanian. Theoretical calculations on the transition energies of the UV-visible
spectra of curcumin pigment in turmeric. Indian Journal of Chemistry, 30A (1991) 61-65.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
188 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
26. S. Chantepie, E. Malle, W. Sattler, M.J. Chapman dan A. Kontush. Distinct HDL
subclasses present similar intrinsic susceptibility to oxidation by HOCl. Arch Biochem
Biophys, 487 (2009) 28-35.
27. S. Sivabalan dan C.V. Anuradha. A Comparative Study on the Antioxidant and Glucose-
lowering Effect of Curcumin and Bisdemethoxycurcumin Analog through in vitro Assays.
International Journal of Pharmacology, 6(5) (2010) 664-669.
28. M. Khaled dan M. Mahfouz. Curcumin Irbesartan CombinationImproves Insulin
Sensitivity and Ameliorates Serum Pro-inflammatory Cytokines level in Diabetes Rat
model. Journal of American Science, 6(11) (2010) 1051-1059.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 189
NANOCURCUMIN SEBAGAI PENURUN KOLESTEROL PADA TIKUS WISTAR DIABETES
Hotlyna Nainggolan, Horasdia Saragih, Donn Richard Ricky dan Albert Manggading Hutapea
Laboratorium Sains Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Advent Indonesia
Jl. Kolonel Masturi No. 288 Parongpong, Bandung 40559 INDONESIA Telp./Fax:+62 (022)270047
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kandungan kolesterol pada penderita diabetes akan meningkat sebagai akibat dari tingginya kadar glukosa di dalam plasma darah. Hal ini dapat menyebabkan suatu masalah yang salah satunya adalah penyumbatan pembuluh darah. Pada paper ini pengaruh nanocurcumin dalam menurunkan kandungan kolesterol pada penderita diabetes, akan diuraikan. Tikus wistar yang diinduksi aloksan dijadikan sebagai subjek penelitian. Tiga ragam ukuran nanocurcumin (58,0 nm, 89,0 nm, dan 290,4 nm) digunakan untuk tiga kelompok perlakuan. Pengaruh masing-masing ukuran dalam hal menurunkan kandungan kolesterol, diinvestigasi. Satu kelompok tikus wistar diabetes yang hanya diberi curcumin yang berukuran makro dijadikan sebagai kelompok kontrol. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan curcumin yang berukuran nanometer memberikan pengaruh penurunan kandungan kolesterol yang lebih baik dibandingkan dengan curcumin yang berukuran makro (kelompok kontrol). Dari tiga ragam ukuran yang digunakan, nanocurcumin yang berukuran 58,0 nm memberikan pengaruh penurunan kolesterol yang paling besar. Dengan demikian proses pengecilan ukuran curcumin ke ukuran nanometer, terutama ke ukuran 58,0 nm, memberikan manfaat yang besar untuk memperbaiki pengaruhnya dalam menurunkan kandungan kolesterol pada tikus wistar diabetes.
Kata kunci : diabetes, kolesterol, nanocurcumin.
ABSTRACT
The content of cholesterol in people with diabetes will increase as a result of the high levels of glucose in the blood plasma. This can cause a problem, one of which is a blockage of blood vessels. In this paper nanocurcumin effect in lowering cholesterol content in diabetics, will be described. Alloxan induced wistar rats used as subjects. Three kinds nanocurcumin size (58,0 nm, 89,0 nm, and 294, 4 nm) was used for the three treatment groups. The effect of each measure in terms of reduced total cholesterol, investigated. One group of mice were given curcumin wistar macro-sized serve as a control group. From the results obtained show that the use of nanometer-sized curcumin decreased influence cholesterol content better than macro-sized curcumin (the control group). Of the three kinds of measures are used, the size of 58,0 nm nanocurcumin influence the greatest decline. Thus the process of size reduction to the nanometer size curcumin, especially the size of 58,0 nm, giving a great advantage to improve its influence in reducing the cholesterol content in diabetics.
Keywords: diabetic, cholesterol, nanocurcumin.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
190 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
PENDAHULUAN
Saat ini kebutuhan terhadap obat herbal semakin meningkat untuk dipergunakan
menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Salah satu obat herbal yang sangat bermanfaat
adalah yang berasal dari kunyit yang mengandung zat aktif bernama curcumin [1]. Aggarwal
et al. [2] melaporkan bahwa senyawa aktif curcumin dapat digunakan untuk mengatasi
berbagai masalah yang terjadi pada penyakit jantung dan juga bermanfaat sebagai anti kanker.
Selain itu curcumin ditemukan memiliki kemampuan sebagai antioksidan, hepatoprotektor,
cytoprotective dan juga mampu menurunkan kadar kolesterol [3].
Kemampuan curcumin dalam menurunkan kadar kolesterol telah banyak dilaporkan
oleh beberapa peneliti [4,5,6]. Kadar kolesterol yang tinggi di dalam plasma darah ditemukan
dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Oleh karena itu peningkatan kadar
kolesterol pada penderita diabetes berdampak pada terjadinya komplikasi yang
mengakibatkan penyakit jantung [7]. Untuk mengatasi masalah tingginya kadar kolesterol
tersebut, curcumin telah digunakan untuk menurunkannya [8,9]. Selain itu Kim dan Kim [10]
juga telah mencoba menggunakan curcumin untuk menurunkan kadar kolesterol.
Dalam pemanfaatannya curcumin memiliki bioavailibilitas yang sangat rendah karena
kelarutannya di dalam air sangat rendah sehingga sulit dapat sampai ke sel-sel target yang
dituju pada dosis yang dibutuhkan [11,12,13]. Rendahnya bioavailabilitas ini disebabkan oleh
dua hal: (1) pada saat digunakan, ukuran partikel curcumin relatif besar sehingga sulit
menembus dinding sel; (2) tingkat kelarutan curcumin di dalam air sangat rendah. Akibatnya
penggunaannya tidak optimal. Penggunaan nanoteknologi telah dilakukan untuk mengatasi
masalah di atas [14]. Dengan meminiaturisasi curcumin ke ukuran nanometer dan
mengkapsulasinya dengan polimer yang memiliki tingkat kelarutan yang tinggi di dalam air
serta bersifat biodegradable diharapkan dapat meningkatkan bioavailabilitasnya [15].
Pada penelitian ini curcumin telah diminiaturisasi ke ukuran nanometer
(nanocurcumin) dan dikapsulasi menggunakan polimer polyvinylpirrolidone (PVP) untuk
meningkatkan bioavailabilitasnya. Nanocurcumin hasil miniaturisasi ini diuji coba pada tikus
galur wistar diabetes untuk melihat pengaruhnya dalam menurunkan kadar kolesterol sebagai
salah satu dampak yang terjadi oleh karena diabetes.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 191
METODOLOGI PENELITIAN
1. Hewan Percobaan
Tikus galur wistar jantan yang berusia tiga bulan dengan berat badan 150-250 g
digunakan dalam penelitian ini. Hewan uji tikus galur wistar sehat diperoleh dari laboratorium
Universitas Padjajaran, Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Tikus dalam proses
pemeliharaan yang baik yang ditempatkan pada temperatur 270C dengan kelembapan relatif
dari 45% dan tidak melebihi dari 56%, proses pencahayaan selama 12 jam dan siklus gelap 12
jam dilakukan selama proses penelitian. Tikus dalam perawatan yang baik dengan pemberian
makanan pelet yang dicampur dengan dedak sebagai makanan harian dan air yang cukup.
Perawatan dan pemeliharaan hewan percobaan dilakukan mengacu pada kode etika yang
berlaku.
2. Menginduksi Hewan Percobaan dengan Aloksan
Pada penelitian ini, hewan percobaan dipuasakan selama 16 jam kemudian tikus
dibuat dalam keadaan diabetes dengan aloksan monohidrat yang diperoleh dari Sigma Aldrich
Corp., St Luis, MO, USA. Induksi diabetes untuk meningkatkan kadar kolesterol melalui
tahapan hiperglikemik diberi secara injeksi pada subkutan dengan aloksan sebanyak
125mg/kg BB [16]. Aloksan monohidrat 2g dilarutkan pada 20 ml NaCl. Keadaan
hiperkolesterolemia di investigasi melalui pengukuran kadar kolesterol pada plasma darah,
setelah puasa selama 16 jam dan 4 hari setelah induksi. Tikus dengan kadar kolesterol yang
meningkat setelah induksi dibandingkan dengan pengukuran sebelum induksi pada penelitian
ini, digunakan.
3. Penumbuhan Nanocurcumin
Curcumin berukuran nanometer yang digunakan pada penelitian ini ditumbuhkan
dengan menggunakan reaktor tabung mikro Curcumin berukuran nanometer diperlukan agar
dapat melintasi membran sel dengan leluasa. Polimer polyvinylpirrolidone (PVP) digunakan
sebagai separator untuk menghindari pertumbuhan partikel nanocurcumin menjadi lebih
besar, sekaligus sebagai material pengkapsulasi dimana PVP memiliki tingkat kelarutan yang
tinggi didalam air (Selengkapnya tehnik penumbuhannya diterangkan pada referensi [17]).
Tiga ragam ukuran curcumin digunakan, yaitu: (58,0,0 ± 16,6) nm; (89,0,0 ± 25,5) nm dan
(290,4 ± 72,4) nm.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
192 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
4. Desain Eksperimental
Pada eksperimen ini, jumlah sampel hewan uji tikus wistar yang terkondisi diabetes
sebanyak 60 ekor, digunakan. Tikus sampel 60 ini dibagi dalam 6 kelompok yang masing-
masing terdiri dari 10 ekor. Kelompok 1: tikus hanya diberi makan dan minum (kontrol
positif). Kelompok 2: selain diberi makan dan minum, tikus diberi polimer
polyvinylpirrolidon dengan dosis 2,99 g/210 ml aquades secara peroral sebanyak 3 ml/hari.
Kelompok 3: selain makan dan minum, tikus diberi serbuk curcumin biasa (yang tidak
berukuran nanometer) dengan dosis 0,75 g/210 ml aquades secara peroral sebanyak 3 ml/hari.
Kelompok 4: selain makan dan minum, tikus diberi nanocurcumin dengan ukuran (290,4 ±
72,4) nm dengan dosis 0,75 g/210 ml aquades secara peroral sebanyak 3 ml/hari. Kelompok
5: selain makan dan minum, tikus diberi nanocurcumin dengan ukuran (89,0,0 ± 25,5) nm
dengan dosis 0,75 g/210 ml aquades 3 ml/hari. Kelompok 6: selain makan dan minum, tikus
diberi nanocurcumin dengan ukuran (58,0,0 ± 16,6) nm dengan dosis 0,75 g/210 ml aquades
secara peroral sebanyak 3 ml/hari.
Perlakuan di atas diberikan selama jangka waktu 11 hari dimulai dari setelah 72 jam
induksi aloksan. Setelah perlakuan dan sebelum pengambilan sampel darah, hewan percobaan
dipuasakan selama 16 jam. Pada akhir eksperimen ini, tikus di bius dengan cara injeksi 5 ml
penthotal yang diproduksi oleh Abbott dalam 20 ml aquades. Selanjutnya tikus dibedah untuk
mengambil darah dari jantung sebanyak 5 ml yang digunakan untuk proses pengukuran kadar
kolesterol.
5. Karakterisasi
5.1. Kadar Kolesterol
Pada studi ini, kadar kolesterol diukur dengan menggunakan alat Photometer DTN-
410 produksi DiaLAB Austria, yang bekerja pada panjang gelombang 340-1000 nm.
Pengukuran kadar kolesterol dilakukan dengan metode CHOD-PAP enzymatic photometric
test menggunakan reagen Good’s buffer (pH 6,7) 50 mmol/L, Phenol 5 mmol/L, 4-
Aminoantipyrine 0,3 mmol/L, Cholesterol esterase (CHE) ≥ 200 U/L, Cholesterol oxidase
(CHO) ≥ 50 U/L, Peroxidase (POD) ≥ 3 kU/L yang diperoleh dari Diasys Diagnostic Systems
GmbH Holzheim, Germany. Proses pengukuran dimulai dengan mengambil sampel darah
tikus sebanyak 5 cc ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya sampel darah disentrifugasi selama
20 menit dengan laju 3000 rpm untuk mendapatkan serum darah. Sebanyak 10µL serum ini di
campur dengan 1000µL reagen, dan selanjutnya diinkubasi selama 20 menit pada temperatur
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 193
250C untuk digunakan mengukur kadar kolesterol. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan alat photometer pada panjang gelompang 500 nm. Untuk mengetahui hasil
penurunan kadar kolesterol, absorbansi reagen dihasilkan pada waktu 60 menit.
5.2. Absorbans Nanocurcumin
Karakteristik nanocurcumin yang digunakan dalam penelitian ini, dipelajari dari hasil
spektrum absorbans optiknya yang diukur dari panjang gelombang 200-650 nm dengan
menggunakan alat UV-Vis Spektrophotometer BOECO S-26 Jerman dengan resolusi optikal
1 nm. Puncak-puncak absorbsi curcumin diidentifikasi. Dalam proses pengukurannya
nanocurcumin dilarutkan kedalam air (di-water) yang selanjutnya dimasukkan ke dalam
cuvette yang terbuat dari quartz dengan panjang lintasan 1 cm.
5.3. Ukuran Nanocurcumin
Diameter rata-rata dan distribusinya diukur dengan menggunakan alat Particle Size
Analyzer (PSA) Delsa Nano C, Beckman Coulter USA, dengan Size Range 0,6 nm sampai 7
µm pada temperatur ruang. Sebelum diukur, nanocurcumin didispersi ke dalam di-water yang
memiliki indeks bias = 1,3328 dan viskositas = 0,8878 centiPoise (cP).
6. Analisis Statistik
Data yang diperoleh dari hasil eksperimen di olah secara statistik dengan
menggunakan perangkat lunak SPSS V.17. Data disajikan dalam bentuk angka-angka berupa
nilai purata ± standar deviasi. Perbedaan purata di uji menggunakan statistik perbandingan
ganda (multiple comparison) untuk menerangkan lebih lanjut purata yang diperoleh dari
setiap kelompok perlakuan yang dianalisis melalui statistik analysis of varians (ANOVA).
Dalam proses pengujian statistik tingkat kepercayaan 95% (p≤0,05), digunakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Uji Karakteristik Nanocurcumin
Uji karakteristik curcumin dilakukan untuk membuktikan bahwa curcumin yang
digunakan merupakan senyawa aktif yang tidak mengalami perubahan bentuk atau degradasi
menjadi senyawa turunan lain yang dapat saja terjadi sebagai akibat dari proses miniaturisasi
dan kapsulasi. Gambar 1 menunjukkan spektrum absorbans optik nanocurcumin yang dipakai,
yang dihasilkan dari suatu proses penumbuhan dengan menggunakan alat reaktor mikro
dengan menggunakan beragam konsentrasi polimer PVP untuk memvariasi ukurannya [17].
Dari hasil spektrum absorbans ini terlihat bahwa proses miniaturisasi dan kapsulasi dengan
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
194 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
menggunakan polimer PVP tidak mengubah karakteristik utama curcumin. Puncak-puncak
absorpsi pada panjang gelombang 240-270 nm dan pada panjang gelombang 418-430 nm
muncul sebagai puncak utama absorpsi curcumin [17,18,19].
Gambar 1. Spektrum absorbans optik nanocurcumin terkapsulisasi PVP yang ditumbuhkan pada berbagai konsentrasi PVP yang diukur pada rentang panjang gelombang 200-650 nm pada temperatur ruang dan pH netral.
2. Diameter Rata-rata Nanocurcumin dan Distribusinya
Gambar 2a,2b,2c menunjukkan sebaran diameter nanocurcumin yang dipakai, yang
diukur dengan menggunakan alat particle size analyzer (PSA). Ada tiga ragam diameter rata-
rata nanocurcumin yang dipakai, yaitu: (1) nanocurcumin berdiameter rata-rata d1 =290,4 nm
dengan standar deviasi SD1= 72,4; (2) nanocurcumin berdiameter rata-rata d2 =89,0 nm
dengan standar deviasi SD2= 25,5; dan (3) nanocurcumin berdiameter rata-rata d3 =58,0 nm
dengan standar deviasi SD3= 16,6. Tiga ragam nanocurcumin ini dilarutkan di dalam air
membentuk suatu koloida. Dalam wujud koloid dibuat agar lebih stabil dan tidak mengalami
sedimentasi [20,21].
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 195
Gambar 2. Distribusi ukuran diameter nanocurcumin terkapsulasi PVP: (a) diameter rata-rata d1 =290,4 nm dengan standar deviasi SD1= 72,4; (b) diameter rata-rata d2 =89,0 nm dengan standar deviasi SD2= 25,5; (c) diameter rata-rata d3 =58,0 nm dengan standar deviasi SD3= 16,6.
3. Kadar Kolesterol Pada Tiap Kelompok Perlakuan
Tabel 1 menunjukkan hasil pengukuran kadar kolesterol seluruh sampel percobaan.
Diperoleh bahwa untuk seluruh kelompok perlakuan, pemberian curcumin yang
diminiaturisasi (nanocurcumin) mengalami penurunan tingkat kadar kolesterol yang sangat
berarti. Penurunan yang sangat signifikan terlihat terjadi pada kelompok perlakuan 6 (K6).
Kelompok ini diberi perlakuan pemberian nanocurcumin berukuran diameter rata-rata 58,0
nm.
Tabel 1. Perbandingan penurunan kadar kolesterol tikus wistar diabetes pada awal
dan akhir perlakuan.
Kelompok Perlakuan
Kadar Kolesterol (mg/dL)
Penurunan (sesudah diabetes)
(%)
Sebelum Diabetes (Rata-Rata)
Sesudah Diabetes (Rata-Rata)
Awal Akhir K1 83.286 151.184 102.032 33 K2 75.903 97.515 69.097 29 K3 96.653 108.648 73.429 32 K4 61.4 87.761 61.937 29 K5 93.823 138.447 59.443 57 K6 75.442 148.573 57.277 61
Kadar kolesterol plasma tikus wistar meningkat pada keadaan diabetes setelah
diinduksi dengan aloksan 125 mg/dL dibandingkan hasil pengukuran kadar kolesterol pada
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
196 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
awal percobaan. Dari perhitungan akhir kadar kolesterol tikus wistar setelah diberi perlakuan,
baik kelompok kontrol maupun kelompok yang diberi curcumin yang diminiaturisasi, masing-
masing mengalami penurunan. Pada akhir perlakuan, kadar kolesterol kelompok 1 (K1),
kelompok 2 (K2), kelompok 3 (K3), kelompok 4 (K4) dan kelompok 5 (K5) lebih tinggi
dibanding kadar kolesterol pada kelompok 6 (K6).
Pada akhir perlakuan kelompok 1 (K1) mengalami penurunan kadar kolesterol sebesar 49,151
mg/dL, kelompok 2 (K2) mengalami penurunan kadar kolesterol sebesar 28,417 mg/dL,
kelompok 3 (K3) mengalami penurunan sebesar 35,218 mg/dL, kelompok 4 (K4) mengalami
penurunan kolesterol sebesar 25,824 mg/dL, kelompok 5 (K5) mengalami penurunan sebesar
79,003 mg/dL dan kelompok 6 (K6) mengalami penurunan kadar kolesterol sebesar 91,295
mg/dL. Penurunan kadar kolesterol tikus wistar yang paling signifikan terjadi pada kelompok
6 (K6) yang diberi nanocurcumin yang berukuran 58,0 nm dengan penurunan sebesar 91,295
mg/dL atau 61%.
Berdasarkan uji beda kadar kolesterol akhir setiap kelompok percobaan yang
dilakukan dengan menggunakan statistik ANOVA (p=0,004) dan dipertegas dengan
menggunakan uji perbandingan ganda (multiple comparison) diperoleh bahwa: kelompok 4
(K4), kelompok 5 (K5) dan kelompok 6 (K6) berbeda secara signifikan terhadap penurunan
kolesterol kelompok 1 (K1), kelompok 2 (K2) dan kelompok 3 (K3).
Terhadap kelompok perlakuan yang diberi nanocurcumin, penurunan kolesterol pada
kelompok 6 (K6) terjadi sangat signifikan (p=0,036) dibandingkan ke kelompok kontrol dan
juga ke kelompok lainnya. Tabel 2 menunjukkan perbandingan signifikansi penurunan kadar
kolesterol pada tiap kelompok dengan rata-rata dan standar deviasinya.
Tabel 2. Nilai rata-rata dan standar deviasi kadar kolesterol tikus wistar diabetes untuk setiap perlakuan.
Kelompok
Kadar Kolesterol (mg/dL)
Mean Standar Deviasi
K1 102.032 25.771 K2 69.097 12.176 K3 73.429 10.600 K4 61.937 8.975 K5 59.443 13.924 K6 57.277 7.831
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 197
Tingkat penurunan kadar kolesterol yang terdapat pada kelompok kontrol sangat kecil
dibanding dengan kelompok-kelompok yang diberi perlakuan. Penurunan kadar kolesterol
juga terjadi pada kelompok yang diberi hanya polimer PVP dan curcumin tanpa
diminiaturisasi, namun tidak signifikan.
Gambar 3. Pengaruh ukuran curcumin terhadap kadar kolesterol pada tikus wistar diabetes. K1= kelompok kontrol positif, K2= kelompok perlakuan yang diberi PVP, K3= kelompok perlakuan yang diberi curcumin yang bukan berukuran nanometer, K4= kelompok perlakuan yang diberi nanocurcumin 290,4 nm, K5= kelompok perlakuan yang diberi nanocurcumin 89,0 nm, K6= kelompok perlakuan yang diberi nanocurcumin 58,0 nm.
Gambar 3 menunjukkan histogram kadar kolesterol masing-masing kelompok
percobaan. Pada kelompok 6 (K6) yang diberi nanocurcumin berukuran 58,0 nm
menunjukkan penurunan yang paling besar dibanding dengan kelompok lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan meminiaturiasi curcumin ke ukuran yang sangat kecil dapat
meningkatkan bioavailabilitasnya [15]. Kemampuan untuk mencapai sel target untuk
menurunkan kadar kolesterol pada plasma darah menjadi lebih tinggi. Dengan memberikan
curcumin berukuran 58,0 nm secara peroral kepada tikus wistar diabetes selama 11 hari, pada
dosis 0,75g/210ml aquades, sebanyak 3ml/hari lebih efektif untuk menurunkan kadar
kolesterol di dalam plasma darah dibanding dengan memberikan curcumin berukuran 290,4
nm ataupun 89,0 nm.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
198 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat ditunjukkan bahwa curcumin pada pemanfaatannya
menurunkan kadar kolesterol tidak cukup dengan menggunakan curcumin biasa atau tanpa
rekayasa. Untuk mendapatkan hasil yang optimal diperlukan suatu rekayasa. Metode
nanopartikel digunakan untuk merekayasa curcumin dengan meminiaturisasi ukuran ke dalam
bentuk nanocurcumin. Dari hasil karakterisasi partikel nanocurcumin diperoleh tiga ragam
ukuran yaitu 290,4 ± 72, 4 nm, 89,0± 25,5 nm, 58,0 ± 16,6 nm. Nanocurcumin yang
digunakan dikarakterisasi dengan uji absorbansi untuk memastikan curcumin yang digunakan
adalah senyawa aktif yang berperan untuk menunjukkan aktivitas biologisnya dalam
menurunkan kadar kolesterol pada plasma darah. Dalam penelitan yang dilakukan, penurunan
kolesterol yang signifikan ditunjukkan oleh nanocurcumin pada ukuran 58,0 ±16,6 nm dengan
penurunan sebesar 61 %. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa rekayasa curcumin ke
dalam ukuran orde nanometer bermanfaat dalam penurunan kadar kolesterol plasma.
DAFTAR PUSTAKA
1. A. Pandey, R.G. Kumar dan R. Srivastava. Curcumin the Yellow Magic, Asian Journal of
Applied Sciences., 4(4) (2011) 343-354.
2. B.B. Aggarwal, I.D. Bhatt, H. Ichikawa, K.S. Ahn, G. Sethi, S.K. Sandur, C. Natarajan,
N. Seeram dan S. Shishodia. 10 Curcumin Biological and Medicinal Properties., (2006)
297-368
3. E.R.A. Shehri. 2012. The Impact of Four Potential Herbal Foods on Modifying Metabolic
Parameters in Hypercholesterolemic Rats Model, Australian Journal of Basic and Applied
Sciences., 6(3) (2012)700-708
4. P. Gandhi, Z. Khan dan N. Chakraverty. Soluble Curcumin A promising oral supplement
for health management, Journal of Applied pharmaceutical Science., 1(2) (2011) 01–07.
5. D. Feng, L. Ohlsson dan R.D. Duan. Curcumin inhibits cholesterol uptake in Caco2 cells
by down regulation of NPC1L1 expression, Research Lipids in Health and Disease., 9(40)
(2010) 01-05.
6. A. Ejaz, D. Wu, P. Kwan, M Meydani. Curcumin inhibits adipogenesis in 3T3-L1
adipocytes and angiogenesis and obesity in C57/BL Mice, Journal Nutrition., 139 (2009)
919-925
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 199
7. C. Li, E.S. Ford, J. Tsai, G. Zhao, L.S. Balluz dan S.S. Gidding. Serum Non high density
lipoprotein cholesterol concentration and risk of death from cardiovascular diseases
among U .S. adults with diagnosed diabetes: the Third National Health and Nutrition
Examination Survey linked mortality study, Cardiovascular Diabetology., 10(46) (2011)
01-12
8. P. Hasimun, E.Y. Sukandar, I.K. Adnyana dan D.H. Tjahjono. Synergistic Effect of
Curcumiinoid and S-methyl Cysteine in Regulation of Cholesterol Homeostasis,
International Journal of Pharmacology., (2011) 01-05
9. D. Peschel, R. Koerting dan N. Nass. Curcumin Induces Changes in Expression of Genes
Involved in Cholesterol Homeostasis., (2007) 01-07
10. M. Kim dan Y. Kim. Hypocholesterolemic Effects of Curcumin Via Upregulation of
Cholesterol 7a-hydroxylase in Rats Fed a High Fat Diet, Nutrition Research and Practise.,
4(3) (2010) 191-195
11. J. Wickenberg, L.I. Sandra dan J. Hlebowicz. Effects of Curcuma Longa (turmeric) on
postprandial plasma glucose and insulin in healthy subjects, Nutrition Journal., 9(43)
(2010) 02-05
12. S.K. Vareed, M. Kakarala, M.T. Ruffin, J.A. Crowell, D.P. Normolle, Z. Djuric, dan D.E.
Brenner. Pharmacokinetics of Curcumin Conjugate Metabolites in Healthy Human
Subjects, Cancer Epidemiology., 1 (2008) 1411-1417
13. S.C. Beevers dan S. Huang. Pharmacological and Clinical Properties of Curcumin.
Botanics: Targets and Therapy., 1 (2011) 5-18
14. H. Sasaki, Y. Sunagawa, K. Takahashi, A. Imaizui, H. Fukuda, T. Hashimoto, H. Wada,
Y. Katanasaka, H. Kakaye, M. Fujita, K. Hasegawa dan T. Morimoto. Innovative
Preparation of Curcumin for Improved Oral Bioavailability, Biology Pharm. Bull., 34(5)
(2011) 660-665
15. J. Shaikh, D.D. Ankola, V. Beniwal, D. Singh dan M.N. Kumar. Nanoparticle
Encapsulation Improves Oral Bioavailability of Curcuma by at Least 9- Fold When
Compared to Curcumin Administered With Piperine as Absorbtion Enhancer. Europe
Journal Pharm. Science., 37 (2009) 223-230
16. B.C. Semwal, K. Shah, N.S. Chauchan, R. Badhe dan K. Divakar. Antidiabetic Activity
of Stem Bark Berberis Aristata D. C. In Alloxan Induced Diabetic Rats, The
Internet Journal Pharmacological., 6(1) (2008)
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
200 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
17. H. Saragih, D.R. Ricky dan A.M. Hutapea. Penumbuhan Nanocurcumin Menggunakan
Reaktor Tabung Mikro dan Pengaruh Penggunaan Polimer Polyvinylpyrrolidone (PVP)
sebagai Material Kapsulasi. Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV, Himpunan Fisika
Indonesia, Palangkaraya Kalimantan., (2011) . (Submitted)
18. P.T. Ha, T.M.N. Tran, H.D. Pham, Q.H. Nguyen dan X.P. Nguyen. The synthesis of
poly(lactide)-vitamin E TPGS (PLA-TPGS) copolymer and its utilization to formulate a
curcumin nanocarrier, Advances in Natural Sciences: Nanoscience and Nanotechnology.,
1 (2010) 01-07
19. K. Balasubramanian. Theoretical calculations on the transition energies of the UV-visible
spectra of curcumin pigment in turmeric, Indian Journal of Chemistry., 30(A), (1991) 61-
65.
20. L. Chabib, R. Martien, H. Ismail. Formulation of Nanocurcumin Using Low Viscosity
Chitosan Polymer and Its Uptake Study In to T47D, Indonesian Journal Pharm., 23(1)
(2012) 27 – 35
21. A.S. Manmode, D. Sakarkar, N. Mahajan. Nanoparticles Tremendous Therapeutic
Potential: a Review, International Journal of PharmTech Research., 1(4) (2009) 1020-
1027.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 201
PENGARUH NANOCURCUMIN TERHADAP PENURUNAN KONSENTRASI MALONDIALDEHYDE PADA TIKUS WISTAR
DIABETES
Jeremia Raymond Masela, Horasdia Saragih, Donn Richard Ricky, dan Albert Manggading Hutapea
Laboratorium Sains Terapan, Universitas Advent Indonesia
Telp/Fax: +62 (022) 2700247 Jl. Kol. Masturi No. 228 Parongpong, Bandung 40559, INDONESIA
Email : [email protected]
ABSTRAK Ketika tikus diinduksi aloksan, lipid membran sel betanya akan mengalami kerusakan
melalui proses peroksidasi sehingga meningkatkan konsentrasi malondialdehyde (MDA). Rusaknya sel beta akan mengurangi produk insulin sehingga berdampak pada meningkatnya kadar gula pada plasma darah. Ketika kadar gula darah melebihi batas normal, tikus terkategori diabetes. Curcumin berukuran nanometer (nanocurcumin) telah digunakan untuk mengatasi meningkatnya konsentrasi MDA pada tikus wistar diabetes. Tiga ragam ukuran: 58,0 nm, 89,0 nm dan 290,4 nm telah diberikan secara peroral pada tiga kelompok tikus. Satu kelompok tikus digunakan sebagai kelompok kontrol yang diberi curcumin yang tidak berukuran nanometer. Setelah pemberian dilakukan selama 11 hari, konsentrasi MDA pada seluruh kelompok tikus coba, diukur. Rata-rata konsentrasi MDA tikus coba untuk semua kelompok, diperbandingkan. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan curcumin berukuran nanometer, dibandingkan dengan penggunaan curcumin yang bukan berukuran nanometer, memberikan dampak pengurangan konsentrasi MDA yang lebih tinggi. Dan, untuk tiga kelompok tikus coba yang mendapat perlakuan pemberian curcumin berukuran nanometer, curcumin berukuran 89 nm memberikan dampak pengurangan konsentrasi MDA yang lebih tinggi. Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan kemampuan curcumin dalam menurunkan konsentrasi MDA, ukuran curcumin harus direkayasa ke orde nanometer, dan ukuran yang paling optimal adalah 89 nm. Kata kunci: nanocurcumin, malondialdehyde, tikus wistar.
ABSTRACT When alloxan induced mice, cell beta membrane lipids will be damaged by
peroxidation process that increases the concentration of malondialdehyde (MDA). The destruction of beta cells will reduces insulin products that have an impact on the increased levels of sugar in the blood plasma. When blood sugar levels exceed normal limits, the rats had been categories diabetic rats. Curcumin at nanometer sized (nanocurcumin) have been used to cope with the increasing concentration of MDA in diabetic wistar rats. Three kinds of size: 58,0 nm, 89,0 nm and 290,4 nm has been administered orally to three groups of mice. One group of mice was used as a control group who were given no nanometer-sized curcumin. After giving conducted for 11 days, the concentration of MDA in all groups of mice trial, was measured. The average concentration of MDA rats for all groups compared. From the obtained results show that the use of nanocurcumin, compared with non-use of nanometer-sized curcumin, reduction impact of higher concentrations of MDA. And, for the
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
202 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
three groups of mice giving curcumin treated nanometer-sized, measuring 89 nm curcumin reduction impact of higher concentrations of MDA. From the obtained results in this study indicate that in order to enhance the ability of curcumin in reducing the concentration of MDA, a measure of curcumin should be engineered into the order of nanometers, and the optimal size is 89 nm. Keywords: nanocurcumin, malondialdehyde, wistar mice.
PENDAHULUAN
Kebutuhan akan obat-obatan yang digunakan untuk menjaga kesehatan maupun
menyembuhkan berbagai jenis penyakit, sangat diperlukan. Khususnya obat-obatan herbal
yang berasal dari tanaman karena memiliki harga yang murah dan tidak memiliki efek
samping. Curcuma longa (kunyit) adalah tanaman tropis yang banyak digunakan sebagai obat
herbal. Curcumin adalah zat aktif yang berasal dari ekstrak rimpang tanaman Curcuma longa
[1].
Saat ini penelitian ilmiah terhadap potensi yang dimiliki oleh tanaman Curcuma longa
sedang mendapat perhatian karena khasiat zat aktif curcumin yang terkandung dalam
tanaman Curcuma longa telah terbukti dapat dimanfaatkan sebagai salah satu obat herbal
untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Curcumin dapat bermanfaat sebagai
antioksidan, anti tumor, anti-inflamasi, antivirus, antibakteri dan anti jamur. Selain itu
curcumin juga berpotensi untuk digunakan dalam menyembuhan berbagi jenis penyakit
termasuk diabetes, asma, alergi, arthritis, aterosklerosis, dan kanker [2]. Beberapa hasil
penelitian lain melaporkan bahwa curcumin secara signifikan dapat menurunkan kadar
kolesterol [3] menghambat agregasi platelet [4], menurunkan regulasi berbagai ekspresi
sitokin pro-inflamasi seperti faktor tumor nekrosis (TNF-α), interleukin (IL-1, IL-2, IL-6, IL-
8, IL-12) dan kemokin [5], menurunkan aktivitas myleoperoksidase, mempercepat
penyembuhan luka, dan dapat meningkatkan status antioksidan pada sel β pankreas [6].
Mengacu pada hasil penelitian yang ada, curcumin terbukti sangat bermanfaat untuk
digunakan sebagai obat herbal.
Pada tikus galur wistar yang diinjeksi aloksan monohidrat secara subkutan dengan
dosis 125 mg/kgBB, akan menghasilkan kerusakan sel β pankreas. Kerusakan sel β terjadi
karena adanya proses peroksidasi lipid oleh oksidan-oksidan yang dihasilkan dari proses
glikasi protein. Reaksi peroksidasi lipid akan meningkatkan konsentrasi malondialdehyde
(MDA) di dalam plasma darah. Akumulasi konsentrasi malondialdehyde (MDA), dapat
digunakan sebagai indikator status kerusakan membran lipid akibat reaksi peroksidasi yang
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 203
terjadi [7].
Dalam pemanfaatan curcumin sebagai obat herbal, masih ditemukan permasalahan
yaitu bioavabilitas curcumin yang rendah. Bioavabilitas yang rendah terjadi karena curcumin
sulit larut dalam air, terdegradasi pada pH basa, dan sulit terserap ke dalam sel target jika
dikonsumsi melalui oral maupun vaskular [8]. Untuk mengatasi permasalahan bioavabilitas
curcumin yang rendah, dalam penelitian ini akan dilakukan perekayasaan curcumin ke dalam
ukuran nanometer sehingga bioavabilitas curcumin dapat meningkat. Perekayasaan curcumin
sangat penting agar molekul curcumin dapat melewati membran sel. Dalam hal ini faktor
ukuran akan mempengaruhi permeabilitas curcumin, sehingga mudah untuk terserap ke dalam
sel target. Bila bioavabilitas curcumin meningkat, maka proses peroksidasi lipid pada sel β
pankreas akan teratasi, sehingga masalah tingginya konsentrasi malondialdehyde (MDA)
pada penderita diabetes tidak perlu terjadi.
METODOLOGI
1. Hewan Uji
Hewan uji tikus galur wistar jantan berumur tiga bulan dan memiliki berat badan 150-
250 g, digunakan dalam penelitian ini. Hewan uji diperoleh dari Laboratorium Farmakologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung. Hewan uji dimasukkan ke dalam
kandang bertemperatur 270C dengan kelembapan 45-56% dan siklus pencahayaan cahaya 12
jam terang dan 12 jam gelap selama masa penelitian. Dalam hal makanannya, hewan uji
diberikan pelet yang dicampur dengan dedak dengan pola makan secara ad libitum.
Pemeliharaan hewan uji dilakukan mengacu pada kode etik yang berlaku.
2. Menginduksi Hewan Uji dengan Aloksan
Untuk menghasilkan keadaan hiperglikemik (diabetes), tikus-tikus percobaan
dipuasakan selama 16 jam, kemudian diinjeksi aloksan melalui teknik subkutan dengan
dosis 125 mg/kg BB. Aloksan yang digunakan dalam penelitian ini diproduksi oleh Sigma-
Aldrich Corp., St.Luis, MO, USA. Kondisi hiperglikemia ditunjukkan dengan adanya
peningkatan kadar glukosa dalam darah tikus, saat 72 jam setelah injeksi aloksan. Hewan uji
yang memiliki kadar glukosa darah lebih dari 200 mg dL-1 digunakan dalam percobaan ini.
3. Penumbuhan Nanocurcumin
Curcumin berukuran nanometer yang digunakan dalam penelitian ini ditumbuhkan
dengan menggunakan reaktor tabung mikro. Curcumin berukuran nanometer diperlukan agar
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
204 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
dapat melintasi membran sel dengan leluasa. Polimer polyvinylpyrrolidone (PVP) digunakan
sebagai separator untuk menghindari pertumbuhan partikel nanocurcumin menjadi lebih
besar, sekaligus sebagai material pengkapsulasi dimana PVP memiliki tingkat kelarutan yang
tinggi di dalam air (selengkapnya teknik penumbuhannya diterangkan pada referensi [9]).
Tiga ragam ukuran nanocurcumin digunakan, yaitu: (58,0 ± 16,6 ) nm; (89,0 ± 25,5) nm;
dan (290,4 ± 72,4) nm.
4. Disain Eksperimen
Dalam percobaan ini, digunakan 70 tikus (60 tikus diabetes, 10 tikus normal). Tikus-
tikus ini dibagi dalam 7 kelompok masing-masing 10 ekor tikus. Kelompok I: tikus diabetes
yang tidak diberi perlakuan (kontrol positif), hanya diberi makan dan minum. Kelompok II:
tikus diabetes yang diberikan polyvinylpyrrolidone berdosis 2,99 g/210 mL akuades sebanyak
3 mL/hari secara peroral dan diberi makan dan minum. Kelompok III: tikus diabetes yang
diberikan serbuk curcumin yang tidak direkayasa kedalam ukuran nanometer berdosis 0,75
g/210 mL akuades sebanyak 3 mL/hari secara peroral dan diberi makan dan minum.
Kelompok IV: tikus diabetes yang diberikan nanocurcumin berukuran (58,0 ± 16,6) nm
berdosis 0,75 g/210 mL akuades sebanyak 3 mL/hari secara peroral dan diberi makan dan
minum. Kelompok V: tikus diabetes yang diberikan nanocurcumin berukuran (89,0 ± 25,5)
nm berdosis 0,75 g/ 210 mL akuades sebanyak 3 mL/hari secara peroral dan diberi makan dan
minum. Kelompok VI: tikus diabetes yang diberikan nanocurcumin berukuran (290,4 ± 72,4)
nm berdosis 0,75 g/210 mL akuades sebanyak 3 mL/hari secara peroral dan diberi makan dan
minum. Kelompok VII: tikus normal yang diberi makan dan minum.
Perlakuan di atas diberikan selama 11 hari yang diawali pada saat setelah 72 jam
induksi aloksan. Setelah perlakuan, hewan uji dipuasakan selama 16 jam kemudian dibius
menggunakan 5 mL phenthotal yang dilarutkan ke dalam 20 mL akuades. Organ pankreas
dari hewan uji dibedah, untuk diukur konsentrasi malondialdehyde-nya.
5. Karakterisasi
5.1. Konsentrasi Malondialdehyde (MDA)
Pengukuran konsentrasi MDA dilakukan menggunakan alat UV-Vis
Spektrophotometer BOECO 260 Jerman yang bekerja pada panjang gelombang 532 nm.
Pankreas tikus diambil 0,75 g kemudian dilumatkan dengan cara digerus menggunakan
mortar berbantuan larutan NaCl 250 mL. Hasil gerusan disentrifugasi pada laju 3000 rpm
selama 10 menit untuk mendapatkan serum plasma pankreas. Butylated hydroxytluene (BHT)
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 205
sebanyak 50 µl, ethylenedinitrilo tetraacetic acid disodium salt dihydrate (EDTA) sebanyak
50 µl, asam asetat 1500 µL dan reagen thiobarbituric acid (TBA) 1500 µL dicampur ke
dalam 10 mL serum pankreas pada temperature 0°C. Kemudian campuran serum diaduk
dengan berbantuan alat pengaduk vorteks. Serum selanjutnya dipanaskan pada temperatur
100° C selama 1 jam di dalam bejana berisi air. Hasil pemanasan serum kemudian
didinginkan dalam bejana berisi es selama 15 menit. Setelah itu serum ini disentrifugasi pada
laju 2335 rpm selama 10 menit. Akhirnya hasil reaksi pada serum akan menghasilkan warna
merah muda yang akan diperiksa absorbansnya pada panjang gelombang 530-535 nm.
5.2. Absorbans Nanocurcumin
Karakteristik nanocurcumin yang digunakan pada penelitian ini dipelajari dari hasil
spektrum absorbans optiknya yang diukur dari panjang gelombang 200-650 nm dengan
menggunakan alat UV-Vis Spectrophotometer BOECO S- 26 Jerman dengan resolusi optikal
1 nm. Puncak-puncak absorbsi curcumin diidentifikasi. Dalam proses pengukurannya
nanocurcumin dilarutkan ke dalam air (di-water) yang selanjutnya dimasukkan ke dalam
cuvette yang terbuat dari quarzt dengan panjang lintasan 1 cm.
5.3. Ukuran Nanocurcumin
Diameter rata-rata nanocurcumin dan distribusinya diukur dengan menggunakan alat
particle size analyzer (PSA) Delsa Nano C, Beckman Coulter USA, dengan size range 0,6 nm
sampai 7 µm pada temperatur ruang. Sebelum diukur, nanocurcumin didispersi ke dalam di-
water yang memiliki indeks bias = 1,3328 dan viskositas = 0,8878 centiPoise.
6. Analisis Statistik
Data hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan menggunakan perangkat lunak
SPSS versi 17. Data disajikan dalam bentuk angka-angka berupa nilai purata ± standar
deviasi. Statistik perbandingan ganda (multiple comparison) digunakan untuk menerangkan
lebih lanjut perbedaan purata yang terjadi pada setiap kelompok perlakuan yang dianalisis
melalui statistik analysis of variance (ANOVA). Dalam proses pengujian statistik tingkat
kepercayaan 95% (p≤0,05), digunakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nanocurcumin yang dienkapsulasi dengan polimer PVP dikarakterisasi menggunakan
alat UV-Vis spectrophotometer pada panjang gelombang 200-650 nm. Hasilnya ditunjukkan
pada gambar 1. Nanocurcumin yang diperoleh ditumbuhkan dengan menggunakan reaktor
tabung mikro [9]. Polimer PVP pada berbagai konsentrasi digunakan sebagai separator pada
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
206 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
saat penumbuhan dan sebagai material pengkapsulasi untuk memvariasikan ukuran
nanocurcumin.
Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa nanocurcumin yang dienkapsulasi dengan
PVP memiliki puncak-puncak absorpsi pada panjang gelombang 242 nm dan pada panjang
gelombang 419 nm. Kedua puncak absorpsi ini adalah puncak absorpsi curcumin [9]. Adapun
puncak absorpsi tambahan pada panjang gelombang 267 nm adalah puncak absorpsi yang
disebabkan oleh ikatan kompleks nanocurcumin dan PVP yang dijembatani oleh ikatan
hidrogen [10]. Selanjutnya nanocurcumin hasil penumbuhan ini digunakan sebagai bahan
dalam penelitian ini.
Gambar 1. Spektrum absorbans optik nanocurcumin terkapsulasi PVP yang ditumbuhkan pada berbagai konsentrasi PVP yang diukur pada rentang panjang gelombang 200-650 nm pada temperatur ruang dan pH netral.
Besar diameter rata-rata nanocurcumin dengan karakteristik sebagaimana ditunjukkan
pada gambar 1dan distribusinya diukur dengan PSA. Hasilnya ditunjukkan pada gambar 2.
Diperoleh bahwa nanocurcumin yang ditumbuhkan menggunakan polimer PVP sebanyak 1,5
g yang dilarutkan dalam 30 mL etanol memiliki ukuran rata-rata 290,4±72,4 nm, kemudian
menggunakan polimer PVP sebanyak 4,5 g yang dilarutkan dalam 30 mL etanol memiliki
ukuran rata-rata 89±25,5 nm, dan menggunakan polimer PVP sebanyak 7,5 g yang dilarutkan
dalam 30 mL memiliki ukuran rata-rata 58±16,6 nm.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 207
Gambar 2. Distribusi ukuran diameter nanocurcumin terkapsulasi PVP: (a) diameter rata-rata d1 = 290,4 nm dengan standar deviasi SD1 = 72,4; (b) diameter rata-rata d2 = 89,0 nm dengan standar deviasi SD2 = 25,5; (c) diameter rata-rata d3 = 58,0 nm dengan standar deviasi SD3 = 16,6.
Pengaruh ukuran nanocurcumin terhadap konsentrasi malondialdehyde (MDA) pada
tikus diabetes diterangkan pada Tabel 1. Histogramnya ditunjukkan pada gambar 3. Pada
kelompok yang diberikan nanocurcumin menunjukkan efek penurunan konsentrasi
malondialdehyde yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diberikan
curcumin yang tidak direkayasa (p<0.005). Fakta ini memperkuat hasil yang diperoleh
peneliti lain [6] bahwa nanocurcumin memiliki aktivitas antioksidan yang potensial untuk
menurunkan konsentrasi MDA.
Tabel 1. Nilai rata-rata dan standar deviasi konsentrasi MDA tikus wistar diabetes untuk setiap kelompok setelah 11 hari perlakuan.
Kelompok tikus yang diberi nanocurcumin dengan berbagai ukuran memiliki efek
penurunan terhadap konsentrasi MDA yang berbeda-beda. Pada (p<0.005) terdapat perbedaan
yang signifikan terhadap penurunan konsentrasi MDA yang terjadi setelah pemberian
nanocurcumin beragam ukuran pada setiap kelompok tikus uji. Kelompok tikus uji yang
diberi perlakuan pemberian nanocurcumin ukuran 89 nm memiliki penurunan konsentrasi
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
208 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
MDA yang paling tinggi dibandingkan dengan pemberian nanocurcumin ukuran 290,4 nm
dan 58 nm (p<0.001).
Gambar 3. Pengaruh ukuran curcumin terhadap konsentrasi malondialdehyde (MDA) pada
tikus wistar diabetes setelah 11 hari perlakuan. K1 = kelompok kontrol positif, K2 = kelompok yang diberi PVP, K3= kelompok yang diberi curcumin yang tidak berukuran nanometer, K4 = kelompok yang diberi nanocurcumin berukuran 290,4 nm, K5 = kelompok yang diberi nanocurcumin berukuran 89 nm, K6 = kelompok yang diberi nanocurcumin berukuran 58 nm, K7 = kelompok tikus normal
Dari data hasil penelitian ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa curcumin
berukuran nanometer dapat meningkatkan bioavabilitasnya sehingga efek terapeutiknya lebih
baik. Didasarkan pada gambar 3 dapat disimpulkan bahwa nanocurcumin ukuran 89 nm
merupakan ukuran yang paling optimal untuk menurunkan konsentrasi MDA pada plasma
darah tikus diabetes.
Penghambatan peroksidasi lipid yang dilakukan oleh nanocurcumin dilakukan melalui
proses netralisasi radikal bebas yang terlibat dalam peroksidasi. Reaksi peroksidasi lipid dapat
terjadi akibat terjadinya peningkatan stres oksidatif yang dipengaruhi kondisi hiperglikemia
[11]. Pada keadaan normal, oksidan bermanfaat dalam mekanisme sistem pertahanan tubuh,
namun oksidan dalam konsentrasi tinggi justru dapat mengganggu fisiologi tubuh [12]. Stres
oksidatif terjadi ketika produksi radikal bebas melebihi kemampuan tubuh untuk
menetralisirnya. Ketidakseimbangan ini terjadi akibat: a) produksi antioksidan menurun,
atau, b) radikal bebas yang diproduksi berlebihan. Pada kondisi hiperglikemik terjadi
penurunan aktivitas enzim SOD (superoksida dismutase) dan CAT (catalase) [13] yang akan
berpengaruh terhadap konsentrasi radikal bebas berupa superoksida dan hidrogen peroksida
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 209
(HO-) dalam sistem tubuh, yang akan mengalami peningkatan dan membentuk radikal
hidroksil, selanjutnya radikal hidroksil akan menginisiasi proses peroksidasi lipid [14]. Reaksi
peroksidasi lipid yang dihasilkan oleh asam lemak tak jenuh ganda (poly unsaturated fatty
acid/PUFA) yang terdapat pada membran sel, akan membentuk produk akhir yaitu
malondialdehyde (MDA) yang bersifat toksik pada sel [15].
Mekanisme pertahanan yang dilakukan oleh antioksidan bertujuan untuk menurunkan
konsentrasi radikal bebas, sehingga dapat menghambat proses peroksidasi lipid.
Terhambatnya peroksidasi lipid dapat dibuktikan dengan penurunan konsentrasi MDA yang
signifikan pada kelompok eksperimen yang diberikan nanocurcumin ukuran 89 nm.
Fenomena penurunan konsentrasi MDA yang terjadi setelah pemberian nanocurcumin dapat
terjadi akibat adanya peningkatan aktivitas enzim SOD dan CAT [13]. Adanya peningkatan
aktivitas enzim SOD dan CAT menandakan adanya peningkatan status antioksidan pada tikus
diabetes setelah diberikan nanocurcumin ukuran 89 nm. Secara teoritik, curcumin memiliki
aktivitas antioksidan yang tinggi, namun akibat rendahnya bioavabilitas curcumin
menyebabkan diperlukannya metode baru dalam memanfaatkan curcumin sebagai obat herbal
untuk menyembuhkan penyakit diabetes. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pemberian curcumin berukuran nanometer memiliki manfaat yang lebih dalam hal
meningkatkan status antioksidan dalam tubuh dari pada pemberian curcumin yang tidak
direkayasa dalam ukuran nanometer.
Hasil penelitian ini menegaskan bahwa nanocurcumin berukuran 89 nm memiliki
aktivitas antioksidan yang potensial sehingga dapat menurunkan konsentrasi
malondialdehyde (MDA) pada penderita diabetes tipe-1. Pengobatan menggunakan
nanocurcumin dapat menjadi solusi permasalahan kurangnya sumber obat-obatan herbal yang
dimanfaatkan untuk menyembuhkan pasien penderita diabetes.
KESIMPULAN
Tingginya prevalensi penderita diabetes mellitus di Indonesia menyebabkan
diperlukannya obat-obatan herbal untuk mengatasi tantangan ini. Pada penderita diabetes
mellitus, terjadi peningkatan konsentrasi MDA akibat proses peroksidasi lipid pada
membrane sel β pancreas. Curcumin merupakan salah satu potensi yang ada untuk mengatasi
penyakit diabetes. Namun, dalam pemanfaatannya masih ditemukan hambatan yaitu,
bioavabilitasnya yang rendah. Curcumin telah direkayasa ke dalam ukuran nanometer
(nanocurcumin) dengan berbantuan polimer PVP untuk mengatasi rendahnya bioavabilitas.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
210 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
Tiga ragam ukuran nanocurcumin diinvestigasim khasiatnya sebagai salah satu antioksidan
yang paling potensial, yaitu: nanocurcumin berukuran: 290,4 nm, 89,0 nm dan 58,0 nm. Dari
hasil penelitian yang dilakukan, nanocurcumin berukuran 89,0 nm memiliki pengaruh yang
paling signifikan terhadap penuruan konsentrasi MDA pada plasma darah tikus diabetes
dibandingkan nanocurcumin ukuran lainnya. Hal ini merupakan sebuah terobosan baru,
mengingat kebutuhan obat herbal sedang meningkat akhir-akhir ini. Penggunaan
nanocurcumin dalam mengobati penyakit diabetes melitus merupakan babak baru dalam
dunia medis, sehingga permasalahan tingginya konsentrasi MDA pada penderita diabetes,
dapat teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. B.T. Kurien dan R.H. Scofield. Oral administration of heat-solubilized curcumin for
potentially increasing curcumin bioavailability in experimental animals. Int. J. Cancer.,
125 (2009) 1992–1993.
2. S.K. Sandur, H. Ichikawa, M.K. Pandey, A.B. Kunnumakkara, B. Sung, G. Sethi, B.B.
Aggarwal. Role of pro-oxidants and antioxidants in the anti-inflammatory and apoptotic
effects of curcumin (diferuloylmethane). Free Radic. Biol. Med., 43 (2007) 568–580.
3. S. Gupta, B. Kumar, dan T. Nag. Curcumin prevents experimental diabetic retinopathy in
rats through its hypoglycemic, antioxidant, and anti-inflammatory mechanisms. J. Ocul.
Pharmacol. Ther., 27 (2011) 123–130.
4. H. Zhou, C.S. Beevers dan S. Huang. The targets of curcumin. Curr. Drug Targets. 12
(2011) 332-337.
5. A. Strimpakos dan R. Sharma. Curcumin: preventive and therapeutic properties in
laboratory studies and clinical trials. Antioxid. Redox. Signal. 10 (2008) 511-545.
6. T. Morimoto. The dietary compound curcumin inhibits p300 histone acetyltransferase
activity and prevents heart failure in rats. J. Clin. Invest. 118 (2008) 868-878.
7. F. Locatelli. Oxidative stress in end-stage renal disease: an emerging threat to patient
outcome. Nephrology Dialysis Transplantation. 18 (2003) 1272-1280.
8. Y.M. Tsai, W.C. Jan, C.F.Chien, W.C. Lee, L.C. Lin dan T.H. Tsai. Optimised nano
formulation on the bioavailability of hydrophobic polyphenol, curcumin, in freely-moving
rats. Food Chem. 1 (2011) 59-64.
9. H. Saragih, D.R. Ricky dan A.M. Hutapea. Penumbuhan Nanocurcumin Menggunakan
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 211
Reaktor Tabung Mikro dan Pengaruh Penggunaan Polimer Polyvinylpyrrolidone (PVP)
sebagai Material Kapsulasi. Simposium Fisika Nasional XXV, Himpunan Fisika
Indonesia, Palangkaraya Kalimantan 2012. (Submitted).
10. K. Balasubramanian. Theoretical calculations on the transition energies of the UV-visible
spectra of curcumin pigment in turmeric. Indian Journal of Chemistry. 30 (1991) 61-65.
11. S. Chantepie., E. Malle., W. Sattler., M.J. Chapman., A. Kontush. Distinct HDL
subclasses present similar intrinsic susceptibility to oxidation by HOCl. Arch. Biochem.
Biophys. 487 (2009) 28-35.
12. N. Singhania., D. Puri., S.V. Madhu., dan S.B. Sharma. Assessment of oxidative stress
and endothelial dysfunction in Asian Indians with type 2 diabetes mellitus with and
without macroangiopathy. QJM. 101 (2008) 449 - 455.
13. U. Sharma, R. Sahu, A. Roy dan D. Golwala. In vivo antidiabetic and antioxidant
potential of Stephania hernandifolia in streptozotocin-induced-diabetic rats. J. Young
Phar. 2 (2010) 255-260.
14. A. Shehzad, F. Wahid dan Y.S. Lee. Curcumin in cancer chemoprevention: molecular
targets, pharmacokinetics, bioavailability, and clinical trials. Arch. Pharm. 343 (2010)
489–499.
15. S. Prabhakar, J. Starnes, S. Shi, B. Lonis dan R. Tran. Diabetic nephropathy is associated
with oxidative stress and decreased renal nitric oxide production. J. Am. Soc. Nephrol. 18
(2007) 2945–2952.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
212 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
NANOCURCUMIN SEBAGAI PENURUN KADAR GLUKOSA DARAH PADA TIKUS WISTAR DIABETES
Martha Sagala, Horasdia Saragih, Donn Richard Ricky, dan Albert Manggading Hutapea
Laboratorium Sains Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Advent Indonesia
Jl. Kol. Masturi No. 228 Parongpong, Bandung 40559, INDONESIA Telp./Fax: +62 (022) 2700247
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Meningkatnya kandungan glukosa di atas batas toleransi pada plasma darah penderita diabetes tipe-1 telah menimbulkan dampak komplikasi yang mematikan. Oleh karena itu berbagai usaha telah dicoba untuk mengatasinya. Penggunaan obat-obatan herbal seperti curcumin yang berasal dari ekstrak curcuma longa (kunyit) adalah salah satu yang telah dilakukan dan menunjukan hasil yang positif dan signifikan. Namun suatu masalah masih menghambat, yaitu bioavabilitasnya yang rendah karena kelarutannya di dalam air yang rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut, curcumin berukuran nanometer telah kami coba untuk digunakan. Hasilnya, suatu penurunan kadar glukosa darah yang signifikan, terjadi. Tiga ragam ukuran nanocurcumin, yaitu: 58,0 nm; 89,0 nm; dan 294,4 nm diberikan secara peroral kepada tiga kelompok tikus galur wistar diabetes. Satu kelompok tikus galur wistar diabetes yang diberi curcumin yang tidak berukuran nanometer, digunakan sebagai kelompok kontrol. Dibandingkan dengan kelompok kontrol, setelah 11 hari pemberian, kelompok tikus yang mengkonsumsi nanocurcumin memiliki tingkat kadar glukosa darah yang jauh lebih rendah dan mendekati keadaan normal. Diantara ketiga ukuran nanocurcumin yang digunakan, nanocurcumin berukuran 58,0 nm memberikan pengaruh penurunan yang lebih tinggi. Di dalam peper ini, teknik pemberian nanocurcumin dan analisis mekanisme selengkapnya dalam menurunkan kadar glukosa di dalam plasma darah, akan diuraikan.
Kata Kunci: diabetes, glukosa darah, nanocurcumin.
ABSTRACT
The increment of glucose that goes beyond tolerance which happens in the blood plasma would lead to a deadly complication to those who suffers type-1 of diabetes. Therefore many efforts have been attempted to overcome this problem. Herbal medicines such as curcumin from curcuma longa (turmeric) extracts was one that has been used and after carried out it showed a positive and significant result. But there is one problem to be aware of which is the low solubility in water that related to its low bioavability. To overcome this problem, we have tried to use nanometer-sized curcumin. And it result to a significant decrement of bloods glucose level. There were three kinds of nanocurcumin size which were 58,0 nm; 89,0 nm; dan 294,4 nm that was orally given to strain wistar diabetic rats. We kept aside one group of diabetic wistar strain rats that were not given nanometer-sized curcumin as the control group. Compared to the control group, after 11 days of treatment, the rats that was consuming nanocurcumin headed to a very low blood glucose level that nearly comes to normal. Among the three measurement of used nanocurcumin, the 58,0 nm sized
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 213
nanocurcumin gave the highest effect to the decline. In this paper, techniques and analysis mechanisms of nanocurcumin in order to lower glucose levels in the blood will be described.
Keywords: blood glucose, diabetes, nanocurcumin.
PENDAHULUAN
Curcumin adalah senyawa aktif yang terdapat pada kunyit (Curcuma longa Linn.).
Secara klinis, curcumin telah digunakan untuk mengurangi peradangan sebelum operasi,
memiliki antioksidan yang kuat, anti inflamasi dan anti tumor [1,2]. Banyak masyarakat
menggunakan tanaman tradisional sebagai pengobatan, hal ini karena obat herbal tidak
mempunyai efek samping atau sangat sedikit efek sampingnya dibandingkan dengan obat
modern [3,4].
Pada penderita diabetes, kadar gula di dalam darah meningkat yang disebabkan oleh
rusaknya sel β. Kondisi ini dapat dipulihkan oleh curcumin yang salah satu perannya adalah
meningkatkan pertumbuhan langerhans yang di dalamnya terdapat sel β [5]. Dalam
memanfaatkan curcumin sebagai obat, sebagaimana diterangkan di atas, masih mengalami
kendala, yaitu bioavailabilitasnya di dalam air yang sangat rendah. Curcumin sukar larut di
dalam air [6]. Telah terbukti bahwa curcumin memiliki bioavailabilitas yang kurang baik
karena penyerapan yang buruk dan metabolisme yang cepat. Pada dekade terakhir banyak
revolusi pengembangan obat terbaru yang memberikan solusi terhadap material yang
memiliki bioavabilitas yang kurang baik di dalam air, salah satunya adalah menggunakan
teknologi nanopartikel [7]. Merekayasa curcumin berukuran nanometer oleh karena itu
dianggap dapat mengatasi sulitnya material ini terserap ke dalam air.
Penggunaan teknik enkapsulasi dengan metode nanopartikel menggunakan suatu
polimer yang memiliki tingkat kelarutan yang baik di dalam air diusulkan untuk digunakan
agar meningkatkan kelarutan curcumin sehingga dapat larut dalam air dan mempermudah
proses penyerapannya. Teknologi ini juga dapat memperpanjang waktu paruh sehingga
menurunkan frekuensi pemberian [8,9,10,11]. Oleh karena itu di dalam paper ini, penggunaan
curcumin yang diminiaturisasi ke orde nanometer dan dikapsulasi menggunakan polimer
polyvinylpirrolidone (PVP) untuk menurunkan kadar glukosa pada tikus wistar diabetes,
diterangkan dan hasilnya akan dipaparkan.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
214 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
METODOLOGI
1. Hewan Uji
Hewan uji tikus wistar yang digunakan dalam penelitian ini berumur 12 minggu dan
memiliki berat badan 150-250 g berasal dari Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran, Bandung. Hewan uji ditempatkan di ruang bertemperatur 27oC dengan
kelembaban 45-46% dan siklus pencahayaan 12 jam terang 12 jam gelap selama masa
penelitian. Pelet, yang dicampur dengan dedak diberikan sebagai makanan harian.
Pemeliharaan hewan uji mengacu kepada kode etik yang berlaku.
2. Menginduksi Hewan Uji dengan Aloksan
Hewan uji dipuasakan selama 16 jam, kemudian diinduksi secara subkutan dengan
aloksan untuk menghasilkan kondisi hiperglikemia (diabetes). Aloksan yang digunakan
diproduksi oleh Sigma Aldrich Corp., St. Luis, MO,USA. Dosis yang digunakan adalah 125
mg/kg BB dengan aturan 2 g aloksan monohidrat dilarutkan kedalam 20 mL NaCl.
3. Penumbuhan Nanocurcumin
Curcumin berukuran nanometer yang digunakan pada penelitian ini ditumbuhkan
dengan menggunakan reaktor tabung mikro. Curcumin berukuran nanometer diperlukan agar
dapat melintasi membran sel dengan leluasa. Polimer polyvinylpirrolidone (PVP) digunakan
sebagai separator untuk menghindari pertumbuhan partikel nanocurcumin menjadi lebih
besar, sekaligus sebagai material pengkapsulasi dimana PVP memiliki tingkat kelarutan yang
tinggi di dalam air (selengkapnya teknik penumbuhannya diterangkan pada referensi [12]).
Tiga ragam ukuran curcumin digunakan, yaitu: (58,0 ± 16,6) nm; (89,0 ± 25,5) nm; (290,4 ±
72,4) nm.
4. Desain Eksperimental
Dalam percobaan ini, digunakan 60 ekor tikus wistar sebagai hewan uji yang
terkondisi diabetes. Ke 60 hewan uji dibagi ke dalam 6 kelompok yang masing-masing terdiri
dari 10 ekor. Kelompok I: hanya diberi makan dan minum (kontrol positif). Kelompok II:
diberi makan dan minum dan polimer polyvinylpyrrolidone berdosis 2,99 g/210 mL akuades
secara peroral sebanyak 3 mL/hari. Kelompok III: diberi makan dan minum dan serbuk
curcumin biasa (yang tidak berukuran nanometer) berdosis 0,75 g/210 mL akuades secara
peroral sebanyak 3 mL/hari. Kelompok IV: diberi makan dan minum dan curcumin berukuran
(290,4 ± 72,4) nm berdosis 0,75 g/210 mL akuades secara peroral sebanyak 3 mL/hari.
Kelompok V: diberi makan dan minum dan curcumin berukuran (89,0 ± 25,5) nm berdosis
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 215
0,75 g/210 mL akuades secara peroral sebanyak 3 mL/hari. Kelompok VI: diberi makan dan
minum dan curcumin berukuran (58,0 ± 16,6) nm berdosis 0,75 g/210 mL akuades secara
peroral sebanyak 3 mL/hari.
Perlakuan di atas diberikan selama 11 hari, yang diawali pada saat setelah 72 jam
induksi aloksan. Setelah perlakuan, hewan uji dipuasakan selama 16 jam dan selanjutnya
hewan uji dibius dengan menggunakan phenthotal dengan dosis 0,5 mL yang dilarutkan ke
dalam 20 mL akuades. Darah hewan uji yang bersumber dari jantung selanjutnya diambil
untuk diukur kadar glukosanya.
5. Karakterisasi
5.1. Kadar Glukosa
Pengukuran kadar glukosa dilakukan menggunakan alat Photometer DTN-410
produksi DiaLAB Austria yang bekerja pada panjang gelombang 340-1000 nm. Darah tikus
diambil dari jantung sebanyak 5 cc, kemudian disentrifugasi pada laju 3000 rpm selama 20
menit untuk mendapatkan serum darah. Serum darah sebanyak 10 µL dicampur dengan 1000
µL reagent (produksi Holzheim Germany) yang mengandung: Phosphate buffer (pH 7,5) 250
mmol/L; Phenol 5 mmol/L; 4-Aminoantipyrine 0,5 mmol/L; Glucose oxidase (GOD) ≥ 10
kU/L; dan Peroxidase (POD) ≥ 1 kU/L. Selanjutnya diinkubasi selama 20 menit pada
temperatur 25oC. Kadar glukosa darah diukur dari hasil campuran ini melalui proses
perhitungan yang mengacu pada intensitas absorbans optik campuran dengan menggunakan
alat Photometer DTN-410 pada panjang gelombang 500 nm.
5.2. Absorbans Nanocurcumin
Karakteristik nanocurcumin yang digunakan pada penelitian ini dipelajari dari hasil
spektrum absorbans optiknya yang diukur dari panjang gelombang 200-650 nm dengan
menggunakan alat UV-Vis Spektrophotometer BOECO S-26 Germany dengan resolusi
optikal 1 nm. Puncak-puncak absorbsi curcumin diidentifikasi. Dalam proses pengukurannya
nanocurcumin dilarutkan kedalam air (di-water) yang selanjutnya dimasukkan ke dalam
cuvette yang terbuat dari quarzt dengan panjang lintasan 1 cm.
5.3. Ukuran Nanocurcumin
Diameter rata-rata nanocurcumin dan distribusinya diukur dengan menggunakan alat
Particle Size Analyzer (PSA) Delsa Nano C, Beckman Coulter USA, dengan Size Range 0,6
nm sampai 7 µm pada temperatur ruang. Sebelum diukur, nanocurcumin didispersi ke dalam
di-water yang memiliki indeks bias = 1,3328 dan viskositas = 0,8878 centiPoise.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
216 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
6. Analisis Statistik
Data hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan menggunakan perangkat lunak
SPSS versi 17. Data disajikan dalam bentuk angka-angka berupa nilai purata ± standar
deviasi. Statistik perbandingan ganda (multiple comparison) digunakan untuk menerangkan
lebih lanjut perbedaan purata yang terjadi pada setiap kelompok perlakuan yang di analisis
melalui statistik analysis of variance (ANOVA). Dalam pengujian statistik tingkat
kepercayaan 95% (p≤0,5), digunakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karaterisrtik Curcumin
Pada uji karateristik curcumin ini digunakan curcumin murni yang berasal dari kunyit
untuk mengidentifikasi material yang digunakan pada penelitian. Curcumin yang diukur
adalah curcumin yang terlarut dengan PVP 7,5g/30ml etanol, curcumin dengan PVP
4,5g/30ml etanol, curcumin dengan PVP 1,5g/30ml etanol dan juga curcumin tanpa PVP.
Gambar.1 Spektrum absorbans optik nanocurcumin terkapsulasi PVP yang ditumbuhkan pada berbagai konsentrasi PVP yang diukur pada rentang panjang gelombang 200-650 nm pada temperatur rung dan pH netral.
Karateristik puncak curcumin ditunjukan pada panjang gelombang 242 nm, 267 nm,
419 nm. Uji ini dilakukan menggunakan spektofotometer dengan panjang gelombang 420–
430 nm. Hasil dari uji karateristik curcumin yang ditunjukan pada gambar 2 merupakan
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 217
senyawa aktif yang berpengaruh positif kepada penurunan kadar glukosa darah. Hal ini
mendukung bahwa penelitian ini menggunakan curcumin yang benar.
2. Distribusi Ukuran Nanocurcumin
Gambar 2. Distribusi ukuran diameter nanocurcumin terkapsulasi PVP: (a) diameter rata-rata
d1 =290,4 nm dengan standar deviasi SD1= 72,4; (b) diameter rata-rata d2 = 89,0 nm dengan standar deviasi SD2 = 25,2; (c) diameter rata-rata d3 = 58,0 nm dengan standar deviasi SD3= 16,6.
Pada gambar a, b, c diatas ditunjukan ukuran dan standar deviasi masing-masing
curcumin berorde nanometer. Semakin rendah ukuran curcumin maka akan semakin baik
dalam penurunan kadar glukosa. Distribusi ukuran partikel nanocurcumin dengan diameter
rata-rata 290,4 dengan Standar Deviasi 72,4 adalah nanocurcumin yang digunakan pada
kelompok perlakuan ke 4 untuk menurunkan kadar glukosa. Distribusi ukuran partikel
nanocurcumin dengan diameter rata-rata 89,0,0 dengan Standar Deviasi 25,5 adalah
nanocurcumin yang digunakan pada kelompok perlakuan ke 5 untuk menurunkan kadar
glukosa, sedangkan distribusi ukuran partikel nanocurcumin dengan diameter rata-rata 58,0
dengan Standar Deviasi 16,6 adalah nanocurcumin yang digunakan pada kelompok perlakuan
ke 6 untuk menurunkan kadar glukosa.
3. Statistik Pengukuran Penurunan Kadar Glukosa
Diperoleh hasil dari data kelompok perlakuan yang diberikan curcumin, yang
diberikan PVP, dan yang diberikan curcumin berorde nanometer untuk menurunkan kadar
glukosa pada Tabel 1. Perbandingan rata-rata dan standar deviasi yang dianalis berdasarkan
statistik menunjukan signifikansi penurunan kadar glukosa.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
218 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
Tabel.1 Nilai rata-rata dan standar deviasi kadar glukosa tikus wistar diabetes untuk setiap perlakuan.
Gambar 3. Pengaruh ukuran curcumin terhadap kadar glukosa pada tikus wistar diabetes.
Penurunan kadar glukosa dapat jelas terlihat pada gambar 3. Kelompok 1 memiliki
penurun yang sangat kecil dibandingkan dengan kelompok yang lain. Kelompok 6 mengalami
penurunan kadar glukosa yang besar setelah diberikan perlakuan, meskipun kelompok 2 dan 3
juga mengalami penurunan namun tidak seperti yang terlihat pada kelompok 6. Hal ini
menjelaskan bahwa pengaruh dari ukuran curcumin yang direkayasa ke orde nanometer
mempunyai efek yang signifikansi dibanding dengan kelompok perlakuan yang diberikan
PVP dan curcumin tanpa rekayasa ukuran.
Adanya bioavabilitas yang kurang baik mengakibatkan penurunan fungsi curcumin hal
ini ditunjukan pada hasil penelitian kelompok 2 yang menggunakan curcumin tanpa rekayasa
ukuran. Peningkatan bioavabilitas curcumin terdapat pada kelompok 4, 5, 6 yaitu curcumin
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 219
yang di rekayasa ke orde nanometer. Hal ini dibantu dengan adanya PVP sebagai penyalut
curcumin.
Mekanisme penurunan kadar glukosa pada penelitian ini berfokus pada bidang
teknologi dalam ukuran curcumin yang digunakan yaitu nanoteknologi. Ukuran yang
diperkecil dalam orde nano akan membantu dalam proses penyerapan. Distribusi ukuran
curcumin ini membantu untuk membandingkan ukuran mana yang terbaik dalam
penggunaannya.
KESIMPULAN
Pengaruh dari curcumin berukuran nanometer yang diberikan kepada kelompok 4, 5,
6, terlihat sangat signifikan dibandingkan dengan perlakuan kelompok 2 dan 3. Hasil akhir
yang didapat dari data penelitian dengan menggunakan statistik ANOVA adalah penurunan
kadar glukosa yang signifikan pada kelompok 6 dengan p = 0,05 dan terdapat perbedaan
penurunan yang sangat signifikan dari kelompok 1 dengan kelompok yang lain.
Aloksan yang telah menaikkan kadar gula darah pada semua tikus percobaan akan
merusak sel β (beta) pada pankreas sehingga kadar gula dalam darah akan meningkat hal ini
dikarenakan tidak adanya insulin yang dihasilkan oleh sel β. Curcumin berukuran nanometer
yang dikonsumsi akan meregenerasi sel β yang baru sehingga dapat menghasilkan insulin lagi
dan dapat menurunkan kadar gula dalam darah. Penelitian ini juga membandingkan ukuran
nanocurcumin yang digunakan sehingga mengetahui ukuran mana yang terbaik untuk
menurunkan kadar gula darah yang meningkat dalam darah. Pada gambar 5 terlihat
penurunan yang signifikan pada kelompok 6 yang menggunakan curcumin ukuran 58,0 nm
dibandingkan dengan kelompok 5 yang menggunakan curcumin ukuran 89,0 nm dan
kelompok 4 yang menggunakan curcumin ukuran 294,4 nm. Hasil yang ditemukan pada
penelitian ini adalah ukuran curcumin yang diminiaturisasi ke dalam orde nanometer
mempengaruhi penurunan kadar gula darah hal ini dikarenakan nanocurcumin dapat
mencapai sel target dengan mudah dan kemampuan penyerapan pada usus halus menjadi lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. I. Chattopadhyay, B. Kaushik, Bandyopadhyay Uday, dan Banerjee Ranajit K. Turmeric
and Curcumin: Biological Actions and Medicinal Applications, 87 (2004) 44-53.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
220 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
2. K. M. Vijendra, M. Ghulam, dan M. S. Kant. Downregulation of Telomerase Activity may
Enhanced by Nanoperticle Mediated Curcumin Delivery. Journal of Nanomaterials and
Biostructures, 3 (2008) 163 – 169.
3. J. A. S. Suryawanshi. Phytosome: An Emerging Trend in Herbal Drug Treatmant. Journal
of Medical Genetics and Genomics, 3 (2011) 109 – 114.
4. J. H. Naama, Al-Temimi Ali A, dan Al-Amiery Ahmed A. Hussain. Study The Anticancer
Activities of Ethanolic Curcumin Extract. African Journal of Pure and Applied Chemistry,
4 (2010) 68-73.
5. M.S.M. Chanpoo, M.S. H. Petchpiboonthai, B. Panyarachun PhD, dan Anupunpisit PhD
Vipavee. Effect of Curcumin in the Amelioration of Pancreatic Islets in Streptozotocin-
Induced Diabetic Mice. Journal Med Assoc Thai, 93 (2010) 152-159.
6. J. Wickenberg, L. I. Sandra, dan H. Joanna. Effect of Curcuma Longa (Turmeric) on
Postprandial Plasma Glucose and Insulin in Healthy Subjects. Nutrition Journal, 9 (2010)
1-43.
7. B. Savita, F. Georg, S. Sheetal, R. Rajani, K. Collins, M. Amarnath, dan Maitra Anirban.
Polymeric Nanoparticle-Encapsulated Curcumin (“Nanocurcumin”): a Novel Strategy for
Human Cancer Therapy. Journal of Nanobiotechnology, 10 (2007) 1186/1477-3155. 7
8. Li SD, dan Huang L. Pharmacokinetics and biodistribution of nanoparticles. Mol. Pharm, 5
(2008) 496-504.
9. P. Anand, H. Nair, B.Sung, A.B. Kunnumakkara, V.R. Yadav, R.R. Tekmal, B.B.
Aggarwal. Design of Curcumin-loaded PLGA nanoparticles formulation with enhanced
cellular uptake, and increased bioactivity in vitro a and superior bioavailability in vivo.
Biochem. Pharmacol, 79 (2010) 330–338.
10. Y.M. Tsai, W.C. Jan, C.F. Chien, W.C. Lee, L.C. Lin, dan T.H. Tsai. Optimised nano
formulation on the bioavailability of hydrophobic polyphenol, Curcumin, in freely-moving
rats. Food Chem, 1 (2011) 59-64.
11. N. Kaewnopparat, S. Kaewnopparat, A. Jangwang, D. Maneenaun, Thitima Chuchome,
dan Pharkphoom Panichayupakaranant. Increased Solubility, Dissolution and
Physicochemical Studies of Curcumin-Polyvinylpyrrolidone K-30 Solid Dispersions.
World Academy of Science, Engineering and Technology, 55 (2009) 229-234.
12. H. Saragih, D.R. Ricky dan A.M. Hutapea. Penumbuhan Nanocurcumin Menggunakan
Reaktor Tabung Mikro dan Pengaruh Penggunaan Polimer Polyvinylpyrrolidone (PVP)
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 221
sebagai Material Kapsulasi. Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV, Himpunan Fisika
Indonesia, Palangkaraya Kalimantan 2012. (Submitted)
13. K. Balasubramanian. Theoretical calculations on the transition energies of the UV-visible
spectra of Curcumin pigment in turmeric. Indian Journal of Chemistry, 30 (1991) 61-65.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
222 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
EFEK MEDAN LISTRIK BOLAK BALIK TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI KLEBSIELLA PNEUMONIAE
Mokhamad Tirono
Pusat Penelitian Biofisika-Jurusan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
ABSTRAK
Penghambatan pertumbuhan bakteri Klebsiella pneumoniai pada ikan kembung dengan medan listrik alternating current (AC) telah dilakukan. Medan Listrik AC yang digunakan divariasi dari 0,38 kV/cm sampai 5 kV/cm dengan frekwensi 50 Hz, sedangkan waktu paparan 10 menit.
Pada penelitian ini dilakukan penumbuhan bakteri Klebsiella pneumonia pada media NA selama 24 jam dan berikutnya ditumbuhkan pada medium NB dan ikan yang sudah disterilkan selama 24 jam. Bakteri yang sudah ditumbuhkan pada medium NB dan ikan kemudian dipapar dengan medan listrik AC dengan variasi kuat medan yaitu dari 0,38 kV/cm sampai 5 kV/cm dengan waktu paparan 10 menit. Sehabis dipapar bakteri ditumbuhkan pada medium NB selama 24 jam dan berikutnya diencerkan dengan aquades untuk dihitung jumlah koloninya.
Hasil uji menggunkan univariate analysis of variance didapatkan nilai signifisi 0,000 yang menunjukkan ada perbedaan yang signifikan untuk masing-masing kuat medan listrik. Menggunakan statistic post hoc test diperoleh bahwa dengan kuat medan 5 kV/cm mempunyai faktor hambat 0,99, sedangkan dengan kuat medan 0,38 kV/cm mempunyai faktor hambat 0,3. Terhambatnya pertumbuhan bakteri ini disebabkan oleh karena membran seluler bakteri rusak, sehingga menyebabkan keluarnya materi intraseluler. Kerusakan membran seluler disebabkan oleh terjadinya elektroporasi yang dapat meningkatkan potensial membran. Semakin tinggi medan listrik yang dikenakan, maka peningkatan tegangan transmembran semakin tinggi.
Key words : Medan listrik, pertumbuhan, Klebsiella pneumoniae, elektrode, faktor hambat
PENDAHULUAN
Ikan laut memiliki berbagai kandungan gizi yang sangat komplit dan sangat
dibutuhkan oleh tubuh. Salah satu kandungan gizi ikan laut yang sangat penting untuk
kesehatan adalah omega 3 (Domingo J. L., 2007). Namun yang menjadi masalah adalah daya
tahan ikan laut ketika sudah mati sangat pendek. Oleh karena itu penyimpanan dalam jangka
panjang perlu penanganan yang serius, terutama ikan dari famili scombroidae yang dapat
menghasilkan histamin dalam jumlah besar. Histamin adalah penyebab sejumlah peristiwa
keracunan makanan, terutama dari konsumsi jenis ikan tertentu (Gabernig E.R., et. al., 2009).
Keracunan yang disebabkan makanan yang terjadi ketika orang memakan ikan dimana bakteri
telah mengkonversi histidine menjadi histamin disebut Histamine fish poisoning (HFP)
(Taylor, 1986; Kanki M. et.al., 2004).
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 223
Histamin dihasilkan oleh mikroorganisme pembusuk tertentu melalui aksi dari enzim
histidine decarboxylase (hdc) yang mengubah asam amino histidin menjadi histamin (Butler
K. B., et. al., 2010). Beberapa jenis bakteri yang mampu menghasilkan enzim hdc adalah
termasuk kelompok Enterobacteriaceae, misalnya: Enterobacter agglomerans, Enterobacter
cloacae, Enterobacter intermedium, Hafnia alvei, Klebsiella pneumoniae, dan Morganella
morganii (Mangunwardoyo W. et.al, 2007). Oleh karena itu untuk menghambat produksi
histamin pada ikan dapat dilakukan dengan cara menghambat pembiakan bakteri penghasil
enzim hdc pada ikan tersebut.
Penghambatan pembiakan bakteri menggunakan bahan-bahan berbahaya seperti
pengawet, pewarna, dan penstabil masih sering ditemukan pada produk-produk pangan
termasuk perikanan (Dwiyitno dan Riyanto R., 2006). Penggunaan bahan berbahaya seperti
formalin masih marak dilakukan, seperti yang diberitakan oleh Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia (HKTI) tanggal 24 Februari 2012 dimana Kepala Dinas KP2K, Suhartini
menyatakan lebih baik 25 ton ikan berformalin yang ditangkap pihak karantina itu
dimusnahkan daripada dire-ekspor (hkti.org , 2012). Agar hal seperti ini tidak terjadi lagi,
perlu dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya, khususnya dengan biaya operasional yang
murah dan mudah dilakukan. Beberapa alternatif telah mulai diteliti, misalnya dengan cara
memapar medan listrik ac.
Penghambatan pembiakan bakteri menggunakan medan listrik ac didasarkan pada
terjadinya elektroporasi pada membran sel bakteri, sehingga menyebabkan pori irreversibel
dan reversibel tergantung dari intensitasnya (Palgan I, et. al., 2012). Elektroporasi terjadi
karena medan listrik menyebabkan pergeseran muatan pada sel bakteri, sehingga terpolarisasi.
Polarisasi muatan menyebabkan terbentuknya pori hidrofilik dan peningkatan tegangan
transmembran. When a high voltage is applied to a liquid containing microbial cells, a
transmembrane potential is induced across the membrane of the cell (Deeth H.C. dan Datta
N., 2011).Tingginya tegangan transmembran menyebabkan rusaknya membran sel dan
dengan adanya pori hidrofilik menyebabkan aliran materi intraseluler.
Penelitian pendahulu untuk menghambat pembiakan bakteri menggunakan medan
listrik berpulsa telah dilakukan oleh Geveke D.J. dan Kozempel M. F.(2003). Judul penelitian
adalah Pulsed Electric Field Effects On Bacteria And Yeast Cells. Sampel penelitian adalah
bakteri Candida stellata, Escherichia coli, Listeria innocua, dan Saccharomyces Cerevisiae.
Medan litrik berpulsa yang digunakan mempunyai tegangan puncak 2,5 kV, durasi pulsa 0,3
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
224 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
ms. Penelitian dilakukan dengan variasi jumlah pulsa yaitu dari 0 sampai 20 pulsa. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dengan lima pulsa bakteri Saccharomyces cerevisiae
berkurang 3.3±0.6 log cfu/mL dan Candida stellafa berkurang 3.5 ± 0.2 log cfu/mL. Dengan
20 pulsa bakteri Eschenchia coli berkurang 1.3±0.4 log cfu/mL dan Listeria innocua
berkurang 2,5 logs cfu/ml pada pH 6,6. Kelemahan dari penelitian ini adalah pengurangan
jumlah bakteri relatif kecil. Penelitian yang sama dilakukan oleh Bonetta S. et.al.(2010) ,
melakukan penelitian tentang A Pulsed Electric Field (PEF) bench static system to study
bacteria inactivation. Sampel penelitian adalah Bakteri E. Coli dan S. Aureus yang
ditumbuhkan pada medium kedelai. Uji E. Coli dengan medan listrik 25 kV/cm, durasi pulsa
1 µs, frekwensi pulsa 1 Hz, dan dipapar sebanyak 350 pulsa. Uji S. Aureus dengan kuat
medan listrik 30 kV/cm, durasi pulsa 1 µs, frekwensi pulsa 1 Hz, dipapar sampai 350 pulsa.
Penelitian dilakukan dengan variasi jumlah pulsa yaitu dari 0 sampai 350 pulsa. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa setelah dipapar sebanyak 350 pulsa jumlah bakteri E.Coli
yang tidak aktif adalah 5 logs, sedangkan jumlah bakteri S. Aureus yang tidak aktif adalah > 8
logs.
Kelemahan dari penelitian ini adalah belum adanya karakterisasi kuat medan listrik
yang digunakan sangat besar. Oleh karena itu untuk memperjelas penyebab terjadinya
kematian bakteri perlu adanya karakterisasi medan listrik. Oleh kasrena itu perlu dilakukan
upaya-upaya lanjutan untuk mendiskripsikan penghambatn pertumbuhan bakteri. Pada
penelitian ini dilakukan paparan medan listrik ac dan dilakukan karakterisasi medan listriknya
sebelum digunakan untuk melakukan paparan untuk menghambat pertumbuhan bakteri
Klebsiella pneumoniae.
METODOLOGI
Medan listrik dibangkitkan dengan menggunakan plat sejajar yang diberi beda
potensial 10 kV. Perubahan kuat medan listrik dilakukan dengan merubah jarak antar
elektrode yaitu dari 2 cm sampai dengan 26 cm dengan perubahan jarak masing-masing 2 cm.
Elektrode terbuat dari tembaga dengan tebal 2 mm. Karakterisasi medan listrik dilakukan
dengan mengukur beda potensial pada jarak elektrode 2 cm, 4 cm, 6 cm, 8 cm, 10 cm, 12 cm,
14 cm, 16 cm, 18 cm, 20 cm, 22 cm, 24 cm, dan 26 cm dengan bahan diantara elektrode
adalah udara bebas. Karakterisasi juga dilakukan dengan meletakkan cawan petri tebal 5 mm
diantara kedua elektrode.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 225
Bakteri Klebsiella pneumoniae didapat dari laboratorium mikrobiologi jurusan Biologi
UIN Maliki Malang. Penumbuhan Bakteri Klebsiella pneumonia dilakukan dengan cara
meremajakan bakteri Klebsiella pneumoniae pada medium NA miring.dan diinkubasi selama
24 jam pada suhu ruang. Selanjutnya Klebsiella pneumonia dimasukkan kedalam botol 20 cc
yang berisi medium NB+ikan steril sebanyak 1 oose kemudian diinkubasi pada shaker
incubator pada suhu 370C selama 24 jam.
Paparan medan listrik pada bakteri dilakukan dengan memberi beda tegangan pada
elektrode sebesar 10 kV. Perubahan kuat medan listrik dilakukan dengan merubah jarak antar
elektrode dari 2 cm, 4 cm, 6 cm, 8 cm, 10 cm, 12 cm, 14 cm, 16 cm, 18 cm, 20 cm, 22 cm, 24
cm, dan 26 cm dengan waktu konstan yaitu 10 menit. Paparan dilakukan dengan melektakkan
cawan petri yang sudah ditumbuhi bakteri pada posisi bidang cawan petri sejajar dengan
bidang elektrode.
Perhitungan jumlah bakteri dilakukan dengan mengambil 0,1 ml suspensi dari
tabung reaksi yang sudah dipapari medan listrik maupun sebagai control dan dimasukkan 0,1
suspensi ke dalam tabung reaksi steril yang berisi 9 ml aquades dan diberi tanda 10-1 .
Mengambil kembali 0,1 ml dari suspensi 10-1 yang sudah dihomogenkan kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml aquades sebagai pengenceran 10-2 . Dari
sampel hasil pengenceran 10-2 yang sudah dihomogenkan diambil 0,1 ml suspensi dan
memasukkan 0,1 suspensi ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml aquades untuk
menghasilkan pengenceran 10-3. Pengenceran dilanjutkan sampai diperoleh pengenceran 10-
10. Setelah media membeku, dimasukkan dalam inkubator dengan posisi terbalik dan di
inkubasi 24 jam dengan suhu ruang. Perhitungan jumlah bakteri dilakukan dengan plat count.
Faktor hambat dihitung dengan rumus :
Faktor hambat = ∑��������∑����� ��
∑�������
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi kuat medan listrik dilakukan dengan merubah jarak antar elektrode yaitu
dari 2 cm sampai 26 cm. Karakterisasi awal dilakukan dengan membiarkan udara bebas
berada diantara elektrode plat sejajar. Hasil menunjukkan bahwa semakin besar jarak antar
elektrode semakin kecil kuat medan listriknya dan pada jarak elektrode 26 cm kuat medan
listrik terukur sebasar 0,34 kV/cm. Grafik hubungan antara jarak antar elektrode dan kuat
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
226 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
medan listrik dengan medium diantaranya udara terlihat pada gambar 1. Kuat medan terukur
mempunyai nilai lebih kecil dari pada hasil perhitungan secara teori.
Gambar 1. Garfik hubungan antara jarak antar elektrode dengan kuat medan listrik dengan medium diantara elektrode udara bebas.
Karakterisasi kuat medan diantara dua plat sejajar juga dilakukan dengan memasukkan
cawan petri kedalam medium udara. Penambahan cawan petri kedalam medium menunjukkan
terjadi penurunan kuat medan listrik. Pada jarak antar elektrode 2 cm tanpa cawan petri kuat
medan listriknya 4,90 kV/cm dan dengan penambahan cawan petri berkurang menjadi 0,41
kV/cm. Sementara itu pada jarak elektrode 26 cm tanpa cawan petri kuat medan listriknya
0,34 kV/cm dan dengan cawan petri menjadi 0,31 kV/cm. Kondisi ini menunjukkan bahwa
gabungan cawan petri dan udara membuat konstanta dielektrik bahan diantara elektrode lebih
besar dari satu. Grafik hubungan antara jarak antar elektrode dan kuat medan listrik dengan
medium diantara elektrode udara bebas dan cawan petri terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Grafik hubungan antara jarak eketrode dan kuat medan listrik dengan medium diantara elektrode udara dan cawan petri tebal 5 mm.
Aplikasi medan listrik ac untuk menghambat pertumbuhan bakteri Klebsiella
pneumonia dilakukan dengan menumbuhkan bakteri pada cawan petri. Ketika bakteri tumbuh
dengan jumlah ≅ 109 CFU/ml dipapar dengan medan listrik. Paparan dilakukan dengan selama
0
2
4
6
0 5 10 15 20 25 30
Ku
at
me
da
n l
istr
ik
(kV
/cm
)
Jarak antar elektrode (cm)
0
1
2
3
4
5
0 5 10 15 20 25 30
Ku
at
me
da
n l
istr
ik
(kV
/cm
)
Jarak antar elektrode (cm)
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 227
10 menit dan tegangan antara antar elektrode sumber 10 kV. Paparan juga dilakukan dengan
memvariasi jarak antar elektrode yaitu dari 2 cm sampai 26 cm atau pada kuat medan listrik 5
kV/cm sampai 0,38 kV/cm secara hitungan. Hasil menunjukkan bahwa pada jarak elektrode 2
cm memiliki faktor hambat lebih besar yaitu 0,99 dibanding pada jarak elektrode yang lebih
besar. Sementara itu pada jarak elektrode 26 cm faktor hambatnya mengecil yaitu 0,3. Grafik
hubungan antara jarak elektrode dengan faktor hambat terlihat pada gambar 3.
Gambar 3. Grafik hubungan antara jarak elektrode dengan faktor hambat medan listrik pada bakteri Klebsiella pneumonia
Penurunan kuat medan listrik akibat bertambah jauhnya jarak antar elektrode terjadi,
karena kuat medan listrik berbanding terbalik dengan jarak antar dua muatan yang memenuhi
persamaan E = -∇V dan pada plat sejajar kuat medan listrik diantara plat memenuhi
persamaan � =�
�� bilamana medium diantaranya adalah ruang hampa. Apabila medium
diantara dua plat sejajar diberi cawan petri, maka konstanta dielektrik bahan diantara plat
akan naik dan akibatnya kuat medan listriknya akan menurun. Hal ini sesuai dengan
persamaan � =�
�=
�
��
Pemberian medan listrik E pada bakteri menyebabkan elektron-elektron pada bakteri
mengalami gaya yang arahnya berlawanan dengan arah medan E. Medan listrik akan
menyebabkan posisi muatan posistif dan negatif bergeser atau terpolarisasi. Akan tetapi pada
umumnya dengan menghilangkan medan listrik, maka posisi atom atau molekul akan kembali
ke keadaan normalnya atau reversible. Setiap molekul yang terpolarisasi akan
membangkitkan medannya sendiri. Kalau diambil pendekatan bahwa molekul berbentuk bola
dengan jari-jari R sama dengan setengah jarak muatan dalam dipole, maka kuat medan lokal
memenuhi persamaan :���� = � + �
��. Dengan demikian bilamana kuat medan lokal
tersebut terjadi pada membran sel bakteri, maka akan meningkatkan tegangan transmembran.
0,000
0,200
0,400
0,600
0,800
1,000
1,200
0 5 10 15 20 25 30
Fa
kto
r h
am
ba
t
Jarak antar elektrode (cm)
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
228 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
Hubungan antara medan E dengan peningkatan potensial transmembran secara empiris
(Lebovka, et.al. 2003) dirumuskan :
∆�� = 0,75��� cos "
Dan menurut Zudans (Zudans. et.al.,2007)
∆�# = $��% cos " (1 − )��
*+ )
Dimana ∆V adalah beda potensial transmembrans sel, r adalah radius sel, E medan listrik, θ
adalah sudut antara sisi membran terhadap arah medan, fs adalah faktor geometrik, dan τ
adalah konstanta waktu induksi. Peningkatan potensial transmembran, pada sel membran lipid
bilayer dan protein akan mempengaruhi tegangan membran yang menyebabkan porositas
(Pizzichemi et. al., 2007). Pada kondisi potensial transmembran meningkat dapat
menyebabkan kebocoran pada membran lipid bilayer. Pengaruh medan listrik juga
menyebabkan molekul lipid reorient, sehingga menghasilkan pori hidrofilik. Bocornya
membran lipid bilayer dan adanya pori hidrofilik menyebabkan keluarnya cairan intraseluler,
sehingga bakteri tidak aktif dan bahkan mati.
KESIMPULAN
Pemberian beda potensial 10 kV pada plat sejajar yang terbuat dari tembaga dapat
menghasilkan kuat medan listrik 4,9 kV/cm pada jarak antar elektrode 2 cm dan semakin
mengecil kuat medannya jika jarak antar elektrode semakin menjauh. Pada jarak elektrode 26
cm kuat medan listriknya menjadi 0,34 kV/cm. Pemberian cawan petri pada medium diantara
elektrode akan menurunkan kuat medan listrik yang dihasilkan yaitu menjadi 4,41 kV/cm
untuk jarak elektrode 2 cm dan 0,31 kV/cm untuk jarak elektrode 26 cm. Kuat medan listrik
ac apabila digunakan untuk menghambat pembiakan bakteri Klebsiella pneumonia, maka
pada jarak elektrode 2 cm memiliki faktor hambat 0,99, sedangkan untuk jarak elektrode 26
cm memiliki faktor hambat 0,30.
DAFTAR PUSTAKA
Bonettaa S, Bonettaa Si., Corteseb E. C. P, Dellacasab G., Mottaa R. G. F, Paganonic M. ,
Pizzichem M., 2010, A Pulsed Electric Field (PEF) bench static system to study bacteria
inactivation, 12th Topical Seminar on Innovative Particle and Radiation Detectors (IPRD10)
7 - 10 June 2010 Siena, Italy
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 229
Deeth H.C. dan Datta N., 2011, Non-Thermal Technologies: Pulsed Electric Field
Technology and Ultrasonication, Elsevier Ltd
Domingo J. L., Bocio A. Mart-Cid R., Llobet J. M., 2007, Benefits and risks of fish
consumption Part II. RIBEPEIX, a computer program to optimize the balance between
the intake of omega-3 fatty acids and chemical contaminants, Toxicology 230 : 227-
233
Dwiyitno dan Riyanto R., 2006, Studi penggunaan Asap Cair untuk Pengawetan Ikan
Kembung Segar, Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan perikanan I: 143-
146.
Gabernig E.R. Grossgut R, Bauer F., dan Paulsen P., 2009, Assessment of alimentary
histamine exposure of consumers in Austria and development of tolerable levels in
typical foods, Food Control 20 : 423–429
Geveke D.J dan. Kozempel M. F., 2003, Pulsed Electric Field Effects On Bacteria And Yeast
Cells, Journal Of Food Processing Preservation 27: 65-72
Kanki M., Yoda T., Ishibashi M., dan Tsukamoto T., 2004, Photobacterium phosphoreum
caused a histamine fish poisoning incident. International Journal of Food
Microbiology 92:79– 87
Lebovka N. I. Dan Vorobiev E,, 2003, On the origin of the deviation from the first order
kinetics in inactivation of microbial cells by pulsed electric fields, Physic/0306118V1/
14 Juni 2003
Mangunwardoyo W., Sophia R. A., Dan Heruwati E. S., 2007, Seleksi Dan Pengujian
Aktivitas Enzim L-Histidine Decarboxylase Dari Bakteri Pembentuk Histamin,
Makara, Sains, Vol. 11, No. 2 : 104-109
Palgan I., Muñoz A., Noci F., Whyte P., Morgan D. J., Cronin D. A., Lyng J.G., 2012,
Effectiveness of combined Pulsed Electric Field (PEF) and Manothermosonication
(MTS) for the control of Listeria innocua in a smoothie type beverage, Food Control
25 : 621-625
Pizzichemi, M. G. O., 2007, Application of Pulse Electric Field to Food Treatment, Nuclear
Physic B-172 314-316
www.hkti.org, 2012, Ikan BNM akan Dimusnahkan, 24 Pebruari 2012, diakses 6 maret 2012.
Zudans I., Agarwal A., Orwar W., dan Weber S. G., 2007, Numerical Calculations of Single-
Cell Electroporation with an Electrolyte-Filled Capillary , Biophysical Journal
Volume 92 : 3696–3705
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
230 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
PENGARUH LAMA PENYINARAN INFRA MERAH PADA BIJI CABA I RAWIT ( CAPSICUM FRUTESCENS L.) TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI RAWIT PADA FASE
VEGETATIF
Ni Nyoman Rupiasih1*, Hery Suyanto2, Lailatul Masrichah 1
1Biophysics Lab., 2 Applied Physics Lab., Dept. of Physics, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Udayana University, Denpasar, 80361, Indonesia, Telp.: (0361)701954,
Fax: (0361)701907 * E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh lama penyinaran infra merah dekat pada biji cabai rawit (Capsicum frutescens L.) terhadap laju pertumbuhan tanaman cabai rawit pada fase vegetatif. Intensitas yang digunakan sebesar 14000 lux dengan variasi lama penyinaran yaitu 5 menit, 10 menit, 25 menit, 35 menit, 45 menit, 60 menit, 1 ¼ jam, 1 ½ jam, dan 2 jam. Parameter pengamatan yang dilakukan adalah laju pertumbuhan dan persentase hidup tanaman pada fase vegetatif (umur tanaman 0-30 hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama penyinaran infra merah dekat pada biji cabai rawit berpengaruh besar terhadap laju pertumbuhan tanaman, dimana tanaman perlakuan memiliki laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan tanaman tanpa perlakuan (kontrol). Secara umum, persentase hidup tanaman cabai rawit dengan perlakuan lebih besar dibandingkan dengan tanaman kontrol.
Kata kunci: cabai rawit, infra merah dekat, intensitas dan lama penyinaran, laju pertumbuhan, persentase hidup.
ABSTRACT
A study on the effects of irradiation time of near infrared radiation on cayenne pepper seeds (Capsicum frutescens L.) to growth rate of chili plants in the vegetative phase has been done. The intensity of 14,000 lux was used with varieties of irradiation time e.g. 5 minutes, 10 minutes, 25 minutes, 35 minutes, 45 minutes, 60 minutes, 1 ¼ hours, 1 ½ hours, and 2 hours. Parameters observed were growth rate and life percentage of plants in the vegetative phase (0-30 days old plants). The results showed that irradiation time affect on plant growth, such as treated plants have greater growth rate than plants without treatment (control). In general, life percentage of plants with treated seeds greater than the control one.
Keywords: chili, near infra red, intensity and time of exposure, growth rate, life percentage.
PENDAHULUAN
Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu jenis tanaman sayuran
yang dikonsumsi oleh masyarakat luas dalam bentuk segar sebagai campuran bumbu
masakan, dikeringkan maupun produk olahan (seperti saus dan sambal). Tanaman cabai rawit
mempunyai kandungan vitamin A yang lebih tinggi dari pada jenis cabai lainnya. Beberapa
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 231
penelitian membuktikan bahwa buah cabai rawit dapat membantu menyembuhkan kejang
otot, rematik, sakit tenggorokan, alergi dan melancarkan sirkulasi darah dalam jantung [1].
Saat ini, cabai rawit banyak dibudidayakan oleh petani yang tersebar di berbagai
daerah di Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan cabai rawit baik dalam negeri maupun luar
negeri pada tiap tahunnya, perlu melakukan upaya peningkatan kuantitas maupun kualitas
cabai, yang salah satunya adalah pencarian varietas-varietas unggul. Pencarian varietas
unggul dilakukan dengan penggabungan antar varietas dari spesies yang sama atau pun
memberikan perlakuan pada biji atau benih. Dalam proses pencarian varietas unggul, tidak
terlepas dari proses penumbuhan biji atau benih sampai proses panen. Dalam proses
pertumbuhan tersebut diperlukan energi cahaya. Faktor utama dari cahaya, yang berpengaruh
dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah, intensitas, lama penyinaran dan
panjang gelombang. Dari banyaknya panjang gelombang yang dipancarkan oleh matahari,
hanya panjang gelombang tertentu yang dimanfaatkan tumbuhan dalam proses pertumbuhan
dan perkembangannya, yaitu pada kisaran cahaya tampak (400-700 nm), yang disebut PAR
(Photosinthetically Active Radiation) dan infra merah dekat atau NIR (Near Infra Red) (700-
1400 nm) [2,3].
Pengaruh radiasi cahaya merah (cahaya tampak) maupun infra merah dekat terhadap
biji tanaman telah banyak diteliti dan memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada tiap
jenis tanaman. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abriana (2009) bahwa
radiasi cahaya merah (panjang gelombang 680 nm) dengan intensitas 1750 lux memberikan
pengaruh dalam mempercepat laju pertumbuhan tanaman tomat pada masa pembibitan
tanaman [4]. Putri (2010) melaporkan bahwa penyinaran cahaya merah (panjang gelombang
680 nm) dengan intensitas 2000 lux dengan lama penyinaran 1 jam terhadap biji tomat
merupakan dosis yang optimal bagi benih, yang dapat merangsang pertumbuhan embrio pada
masa perkecambahan [5]. Borthwick (1957) melaporkan bahwa biji-biji pepper grass
(Lepidium virginicum L.) segera mengalami perkecambahan setelah beberapa menit diberikan
penyinaran dengan filamen lampu pijar tanpa filter, akan tetapi perkecambahannya dapat
terhambat setelah disinari lampu pijar yang ditutupi plastik biru (blue cellophane), yang
menghilangkan energi cahaya merah dan meninggalkan energi cahaya merah jauh (cahaya
infra merah dekat) [6]. Sebaliknya biji-biji Henbit (Lamium amplexicaule L.) mengalami
perkecambahan dalam kegelapan dan cahaya neon tanpa filter, akan tetapi perkecambahannya
terhambat dengan filamen lampu pijar tanpa filter. Chang (1968) yang dikutip oleh Syakur
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
232 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
(2002), menyatakan bahwa wilayah infra merah jauh sangat penting bagi periodisme,
perkecambahan biji, kontrol pembungaan dan warna buah [2]. Burdett (1972) melaporkan
bahwa, penyinaran cahaya jauh berintensitas rendah yaitu 2,5 x 10-5 J/s cm-2 untuk jangka
waktu cukup lama pada biji selada (Lactuca sativa L.) yang telah berimbibisi (menyerap air)
yang diberi perlakuan eksogen giberelin (memberikan giberelin pada jaringan di luar embrio)
menyebabkan hilangnya sensitivitas hormon giberelin karena efek radiasi pada permeabilitas
endosperma. Giberelin adalah hormon yang berperan dalam perkecambahan biji dengan
mempengaruhi pembentukan dan pengaktifan enzim serta mobilisasi cadangan makanan dari
endosperma ke embrio [7]. Ahola dan Leinonen (1999) melaporkan bahwa, penyinaran
cahaya merah/merah jauh dengan perbandingan intensitas yang bervariasi pada biji Betula
pendula Roth, Picea abies L. Karst., dan Pinus sylvestris L. pada empat suhu perkecambahan
yang berbeda (10, 13, 16, and 20°C) memberikan beberapa efek perkecambahan yang berbeda
pada tiap jenis biji. Perkecambahan biji Betula pendula Roth dihambat oleh cahaya merah dan
cahaya merah jauh yang rendah, pada biji Picea abies L. Karst perkecambahannya tidak
dihambat oleh rendahnya cahaya merah dan cahaya merah jauh pada suhu 13-20 °C.
Sedangkan biji Pinus sylvestris L. tidak memberi respon terhadap penyinaran cahaya merah
dan cahaya merah jauh yang rendah [8]. Sugahara dan Takaki (2003) juga melaporkan bahwa,
biji jambu biji (Psidium guajava L) mengalami perkecambahan dengan penyinaran cahaya
merah dan cahaya merah jauh satu jam per hari dengan perbandingan intensitas yang tinggi
dan dilanjutkan disinari cahaya merah redup (lebih banyak cahaya merah jauh dibandingkan
cahaya merah dengan intensitas rendah) [9].
Pada studi ini dilaporkan, pengaruh lama penyinaran cahaya infra merah dekat
(panjang gelombang 700-1400 nm) pada biji cabai rawit terhadap proses pertumbuhan
tanaman cabai rawit pada fase vegetative yaitu sampai umur tanaman 30 hari. Proses
penyinaran dilakukan dengan memvariasi lama penyinaran dari 0 – 2 jam, sebagai berikut: 0
(kontrol), 5 menit, 10 menit, 15 menit, 25 menit, 35 menit, 45 menit, 60 menit, 1¼ jam, 1½
jam, dan 2 jam.
METODOLOGI
Jenis cabai rawit yang digunakan adalah “Cabai Rawit Hibrida F1 SONAR Cap Kapal
Terbang”, yang diperoleh dari supplier atau toko khusus tempat penjualan benih. Media
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 233
tanam adalah media siap pakai merek Pubothan, yang ditempatkan dalam pot berdiameter 25
cm.
Perlakuan Sampel
Perlakuan pada biji cabai rawit adalah penyinaran infra merah dekat dengan intensitas
14000 lux, dengan lama penyinaran dari 5 menit – 2 jam, dan tanpa penyinaran (kontrol).
Variasi lama penyinaran yang dilakukan diantaranya: 5 menit, 10 menit, 15 menit, 25 menit,
35 menit, 45 menit, 60 menit, 1¼ jam, 1½ jam, dan 2 jam. Masing-masing kelompok sampel
disebut sebagai S0 (Sampel Kontrol), S1 (lama penyinaran biji 5 menit), S2 (lama penyinaran
biji 10 menit), S3 (lama penyinaran biji 15 menit), S4 (lama penyinaran biji 25 menit), S5
(lama penyinaran biji 35 menit), S6 (lama penyinaran biji 45 menit), S7 (lama penyinaran biji
60 menit), S8 (lama penyinaran biji 1¼ jam), S9 (lama penyinaran biji 1½ jam) dan S10 (lama
penyinaran biji 2 jam).
Pembibitan Tanaman
Proses pembibitan dilakukan secara standar, dimana semua biji direndam selama ± 8
jam menggunakan air kran, kemudian ditiriskan dan disemai pada media tanam. Penyemaian
dilakukan dengan mengatur jarak tanam antar biji ± 5 cm, untuk mempermudah pengamatan
dan pengukuran tinggi tanaman. Jumlah biji pada masing-masing sampel adalah 16 biji, yang
disemai dalam 3 pot yaitu 1 pot disemai 6 biji dan 2 pot, masing-masing disemai 5 biji.
Semua sampel termasuk kontrol diletakkan pada tempat yang teduh (green house) dari hari
ke-1 sampai tanaman berumur sekitar 30 hari.
Pengamatan Laju Pertumbuhan dan Persentase Hidup Tanaman
Pengamatan laju pertumbuhan tanaman cabai rawit pada fase vegetative dilakukan
dengan mengukur tinggi tanaman pada semua sampel (kontrol maupun dengan perlakuan)
setiap hari mulai dari hari ke-1 (24 jam setelah penyemaian) sampai hari ke-30. Dari data
tinggi tanaman dihitung tinggi rata-rata tanaman. Kemudian diplot grafik antara tinggi rata-
rata tanaman terhadap waktu pengamatan. Untuk menentukan laju pertumbuhan tanaman,
dilakukan regresi polinomial (pada fase vegetatif pertama) dan regresi linier (pada fase
vegetatif kedua) pada grafik tinggi rata-rata tanaman tersebut. Masing-masing diperoleh,
persamaan regresi polynomial:
y = ax2 + bx + c (1)
dan persamaan regresi linier:
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
234 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
y = dx + e (2)
Dimana, d adalah gradien dari garis, yang dalam hal ini adalah laju pertumbuhan tanaman
cabai rawit.
Selain itu, dilakukan pengamatan terhadap jumlah tanaman yang hidup pada semua
sampel (dari hari ke-1 sampai hari ke-30) dan dihitung persentase hidupnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Laju Pertumbuhan Tanaman
Laju pertumbuhan tanaman cabai rawit akibat pengaruh lama penyinaran infra merah
dekat dari 5 menit hingga 2 jam dapat ditentukan sebagai berikut. Diplot grafik antara tinggi
rata-rata tanaman sebagai fungsi waktu. Salah contoh perhitungan laju pertumbuhan tanaman
pada Sampel Kontrol (S0) seperti tampak pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik regresi polinomial dan regresi linier pada Sampel Kontrol (S0) pada fase vegetatif (masa pembibitan).
Dari Gambar 1 tampak bahwa, terdapat dua kecenderungan laju pertumbuhan tanaman
pada fase vegetatif, yaitu:
a. Fase vegetatif 1 (hari ke 6-15)
Metode yang tepat untuk menghitung laju pertumbuhan pada fase vegetatif 1 adalah
menggunakan regresi polinomial. Hasil regresi berupa persamaan: y = -0,019x2 + 0,567x –
1,769, dimana tinggi tanaman (y) adalah fungsi kuadrat dari waktu (x), dengan nilai
y = -0,019x2 + 0,567x - 1,769R² = 0,983
y = 0,029x + 1,949R² = 0,964
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
0 5 10 15 20 25 30 35
Tin
ggi r
ata-
rata
(cm
)
Hari ke-
Sampel kontrol
Fase vegetatif, hari ke 6-15
Fase vegetatif, hari ke 16-30
Poly. (Fase vegetatif, hari ke 6-15)
Linear (Fase vegetatif, hari ke 16-30)
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 235
perlambatan sebesar 0,019 cm/hari2. Sehingga kecepatan/laju pertumbuhan dapat dihitung
sebagai berikut:
∫∫ =⇒=⇒=x
x
v
v
dxadvdxadvdx
dva
00
(3)
Dimana:
a = percepatan tumbuh tanaman (cm/hari2) = -0,019 cm/hari2
v = kecepatan tumbuh tanaman (cm/hari)
x = waktu (hari)
Dengan menggunakan persamaan (3) dapat dihitung laju tumbuh tanaman adalah:
∫∫=
==
−=harix
harix
v
v
dxscmdv15
6
2
0 00
)/(019.0
v = 0,019 cm/hari2 (15 hari - 6 hari)
v = 0,171 cm/hari
Dari hasil perhitungan di atas diperoleh laju pertumbuhan tanaman sebesar 0,171
cm/hari. Dengan cara perhitungan yang sama, maka diperoleh laju pertumbuhan tanaman
pada fase vegetatif 1 pada masing-masing sampel adalah seperti pada Tabel 1.
b. Fase vegetatif 2 (hari ke 16-30)
Laju pertumbuhan tanaman pada fase vegetatif 2 diperoleh dengan menggunakan
regresi linier. Hasil regresi linier berupa persamaan garis y = 0,029x + 1,949, maka laju
pertumbuhan tanaman adalah 0,029 cm/hari. Dengan cara perhitungan yang sama, maka
diperoleh laju pertumbuhan tanaman pada fase vegetatif 2 pada masing-masing sampel adalah
seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Laju pertumbuhan tinggi tanaman pada fase vegetatif 1 dan 2 pada masing-masing sampel.
No. Sampel Laju pertumbuhan (cm/hari)
Fase vegetatif 1 Fase vegetatif 2 1 S0 (Konrol) 0.171 0.029 2 S1 (lama penyinaran 5 menit) 0.189 0.026 3 S2 (lama penyinaran 10 menit) 0.225 0.027 4 S3 (lama penyinaran 15 menit) 0.198 0.03 5 S4 (lama penyinaran 25 menit) 0.171 0.025 6 S5 (lama penyinaran 35 menit) 0.225 0.027 7 S6 (lama penyinaran 45 menit) 0.198 0.03 8 S7 (lama penyinaran 60 menit) 0.198 0.024 9 S8 (lama penyinaran 1 ¼ jam) 0.18 0.026 10 S9 (lama penyinaran 1 ½ jam) 0.198 0.028 11 S10 (lama penyinaran 2 jam) 0.207 0.025
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
236 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
Dari data Tabel 1 diplot grafik laju pertumbuhan tinggi tanaman pada fase vegetatif 1
dan 2 pada masing-masing sampel, seperti tampak pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik laju pertumbuhan tinggi tanaman cabai rawit masing-masing sampel pada tiap fase pertumbuhan.
Dari data Tabel 1 juga dihitung laju pertumbuhan rata-rata tanaman cabai rawit pada
tiap fase pertumbuhan, yaitu dengan cara menjumlahkan laju pertumbuhan tanaman pada
setiap perlakuan dibagi banyaknya perlakuan. Diperoleh laju pertumbuhan rata-rata tanaman
cabai rawit pada tiap fase pertumbuhan adalah:
Fase vegetatif 1 (hari ke 6-15) = 0,196 cm/hari
Fase vegetatif 2 (hari ke 16-30) = 0,027 cm/hari
Hasil di atas menunjukkan bahwa laju pertumbuhan tanaman cabai pada fase vegetatif 1 (hari
ke 6-15) jauh lebih besar, ~7 kali, dibandingkan dengan fase vegetatif 2 (hari ke 16-30). Pada
fase vegetatif 1, laju pertumbuhan tanaman cabai terbesar diperoleh pada S2 dan S5 yaitu
sebesar 0,225 cm/hari; diikuti oleh S10, S3 = S6 = S7 = S9 (dengan laju sama), S1, S8, dan
terkecil pada S4 dan S0 yaitu sebesar 0,171 cm/hari. Pada fase vegetatif 2, laju pertumbuhan
terbesar diperoleh pada S3 dan S6, sedangkan laju pertumbuhan terkecil pada S7.
Pada hari ke-6, biji-biji cabai rawit mulai menunjukkan pertumbuhannya. Saat itu biji-
biji cabai memerlukan energi yang cukup banyak untuk mengaktifkan embrio menjadi
kecambah. Perkecambahan biji ini dikontrol oleh pigmen penyerap cahaya yang disebut
phytochrome. Phytochrome pada biji terletak pada embrio (Pons, 2008). Phytochrome pada
biji kering bersifat sangat stabil dan memungkinkan untuk menentukan banyaknya cahaya
S0 S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S100
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
Laju
per
tum
buha
n (c
m/h
ari)
Sampel
Fase vegetatif 1 Fase vegetatif 2
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 237
yang diperlukan untuk berkecambah (Dechaine, 2008). Selain phytochrome, yang berperan
terhadap proses perkecambahan biji adalah hormon giberelin. Hormon giberelin adalah salah
satu hormon pertumbuhan yang dihasilkan biji, yang berperan dalam pembentukan dan
pengaktifan enzim serta mobilisasi cadangan makanan dari endosperma ke embrio. Pada
beberapa biji tanaman, perlakuan suhu rendah dan penyimpanan biji dalam keadaan kering,
akan meningkatkan sensitivitas biji terhadap aktivitas giberelin, baik pada tanaman mutan
maupun tanaman normal (Lakitan, 1996). Perlakuan lama penyinaran infra merah dekat pada
biji cabai rawit juga dimungkinkan dapat memberikan pengaruh pada hormon giberelin,
karena sumber cahaya infra merah dekat memancarkan energi dalam bentuk thermal energy
(energi panas) atau disebut juga radiasi panas, yang sangat diperlukan pada masa
perkecambahan. Saat perlakuan lama penyinaran infra merah dekat pada biji cabai rawit,
tercatat suhu yang diterima pada masing-masing sampel berbeda-beda seperti tertera pada
Tabel 2.
Tabel 2. Suhu yang diterima oleh masing-masing sampel dengan perlakuan penyinaran infra merah dekat.
Sampel Suhu (0C) S1 33 S2 34 S3 35 S4 37 S5 37 S6 37 S7 38 S8 38 S9 39 S10 39
* Catatan: suhu ruang adalah 29 ºC
Tabel 2 memperlihatkan bahwa suhu yang diterima masing-masing sampel perlakuan
mengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya waktu penyinaran infra merah dekat.
Dalam hal ini, sampel yang menerima suhu paling besar selama perlakuan penyinaran adalah
S9 dan S10, sedangkan suhu terrendah diterima oleh S1.
Umur tanaman pada rentang 6-15 hari (fase vegetatif 1), mengalami pertumbuhan
sangat
cepat yang ditandai dengan pertambahan tinggi batang yang cepat. Kemudian memasuki hari
ke 16-30 (fase vegetatif 2), tanaman mengalami pertumbuhan sangat lambat, yang ditandai
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
238 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012
dengan kecilnya pertambahan tinggi batang. Karena pada fase vegetatif 2, tanaman
menggumpulkan energi untuk membentuk daun baru yaitu daun ketiga.
Dari hasil pengamatan, secara umum dapat dikatakan bahwa biji cabai rawit yang
diberi perlakuan penyinaran infra merah dekat mengalami pertumbuhan/pertambahan tinggi
yang lebih besar dari pada biji cabai rawit yang tidak mendapat perlakuan.
Persentase Hidup Tanaman
Persentase hidup tanaman pada masing-masing sampel diamati dari awal pembibitan
hingga tanaman memasuki fase vegetatif 2. Persentase hidup tanaman dihitung dari jumlah
tanaman cabai rawit yang hidup/tumbuh pada masing-masing sampel dibagi dengan jumlah
biji yang disemai, dalam hal ini 16 biji. Diperoleh persentase hidup tanaman cabai rawit untuk
masing-masing sampel, seperti tampak pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil perhitungan persentase hidup tanaman cabai rawit pada masing-masing sampel. Sampel Persentase hidup (%)
S0 93.75 S1 87.5 S2 93.75 S3 100 S4 100 S5 87.5 S6 93.75 S7 100 S8 100 S9 100 S10 100
Tabel 3 memperlihatkan bahwa, persentase hidup tanaman cabai rawit terbesar
diperoleh pada kelompok sampel perlakuan penyinaran infra merah dekat, yaitu S3, S4, dan
S7-S10 dengan persentase sebesar 100 %.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh bahwa lama penyinaran infra
merah dekat pada biji cabai rawit berpengaruh besar terhadap laju pertumbuhan tanaman
cabai rawit pada fase vegetatif, khususnya fase vegetatif 1. Tanaman cabai rawit dengan
perlakuan pada biji, menunjukkan laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan dengan yang
tidak diberi perlakuan (kontrol (S0)). Juga memiliki persentase hidup yang lebih besar.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012 | 239
DAFTAR PUSTAKA
1. S. Tarigan dan Wahyu Wiryanta. Bertanam Cabai Hibrida Secara Intensif. Penerbit: Agro
Media Pustaka, Jakarta Selatan, 2003.
2. Abdul Syakur. 2002. Respon Tanaman Tomat Terhadap Radiasi Surya dan Suhu Pada
Penggunaan Plastik Berproteksi UV [tesis]: IPB.
3. Victor Sadras dan Daniel Calderini. Crop Physiology (Application for Genetic
Improvement and Agronomy). Penerbit: Academic Press imprints of Esener, USA, 2009.
4. Tri Lina Abriana. 2009. Pengaruh Intensitas Cahaya Merah 680 nm terhadap Kadar
Klorofil-a dan Laju Pertumbuhan pada Fase Pembibitan Tanaman Tomat [skripsi].
Denpasar (Jurusan Fisika, FMIPA): Universitas Udayana.
5. Ni Wayan Eka Putri. 2010. Pengaruh Lama Penyinaran Cahaya Merah 680 nm pada Biji
Tomat terhadap Laju Pertumbuhan dan Kadar Klorofil-a [skripsi]. Denpasar (Jurusan
Fisika, FMIPA): Universitas Udayana.
6. H.A. Borthwick. Light Effects on Tree Growth and Seed Germination, The Ohio Journal of
Science, 6 (57) (1957) 357-364, http://kb.osu.edu/dspace/bitstream/handle/1811/4486/
V57N06_357.pdf (diakses 15 Agustus 2011).
7. A. N. Burdett. Two Effects of Prolonged Far Red Light on the Response of Lettuce Seeds
to Exogenous Gibberellin. Plant Physiol., 49 (1972) 531-534, http://www.plantphysiol.org/
content/49/4/531.full.pdf (diakses 27 November 2011).
8. Vellamo Ahola dan Kari Leinonen. Responses of Betula pendula, Picea abies, and Pinus
sylvestris Seeds to Red/Far-Red Ratios as Affected by Moist Chilling and Germination
Temperature. Can. J. For. Res., 29 (1999) 1709-1717.
9. V.Y. Sugahara dan M. Takaki. Effect of Light and Temperature on Seed Germination of
Guava (Psidium guajava L.-Myrtaceae). Seed Sci. & Technol., 32 (2004) 759-764.
Prosiding Simposium Fisika Nasional XXV ISSN 1411-4771
240 | Palangkaraya, 19-20 Oktober 2012