Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN DALAM
PERUBAHAN KEBIJAKAN KONTRATERORISME
AMERIKA SERIKAT
DI AFGHANISTAN PADA MASA PEMERINTAHAN
PRESIDEN DONALD TRUMP
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)
oleh:
Muhammad Luqmanul Hakim
11151130000104
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN DALAM PERUBAHAN KEBIJAKAN
KONTRATERORISME AMERIKA SERIKAT DI AFGHANISTAN PADA
MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN DONALD TRUMP
1. Merupakan karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil menjiplak hasil karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi akademis yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
iv
v
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor determinan dalam perubahan
kebijakan kontraterorisme Amerika Serikat (AS) pada masa pemerintahan Presiden
Donald Trump (2017-2018). Pada periode pemerintahan Barack Obama yang kedua
(2013-2016), AS membuat kebijakan bahwa akan menarik seluruh pasukannya dari
Afghanistan secara bertahap. Namun, hingga masa pemerintahan Obama berakhir,
masih terdapat sejumlah pasukan AS di Afghanistan. Pemerintahan Donald Trump
kemudian mengambil kebijakan dengan menambah sejumlah pasukan di Afghanistan.
Tujuan skripsi ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian “Apa faktor
determinan yang memengaruhi perubahan kebijakan kontraterorisme Amerika Serikat
di Afghanistan pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump?”
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi adalah metode
kualitatif yang bersifat analitis deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan cara studi pustaka yang didapatkan dari buku, jurnal, artikel, dan dokumen
resmi. Selain itu, juga melakukan metode wawancara dalam pengumpulan data.
Dalam proses analisa, skripsi ini menggunakan Teori Kebijakan Luar Negeri dan
Konsep Kepentingan Nasional sebagai alat analisis. Dari hasil analisis dapat
disimpulkan bahwa bahwa terdapat 2 faktor yang mempengaruhi kebijakan AS, yakni
faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor dari dalam diri Trump
dan pengaruh orang sekitarnya serta struktur pemerintahan AS yang mempengaruhi
kebijakan. Sedangkan faktor eksternal adalah masalah instabilitas kawasan
Afghanistan.
Kata Kunci: Amerika Serikat, Afghanistan, Kontraterorisme, Perubahan
Kebijakan
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim,
Segala puji bagi Allah Swt. atas segala nikmat, rahmat dan karunia yang telah
dianugerahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas Skripsi ini.
Shalawat serta salam tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw.
keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis
menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini baik dari sisi tenaga, pikiran, hingga doa.
Berikut ini saya ucapkan terimakasih kepada:
1. Keluarga penulis, Ayah Baru Pramono dan Ibu Ulil Aidi, serta para adik
Rosyidatul Untsa dan Muhammad Ulil Himam yang telah memberikan doa,
cinta, nasehat, dan dukungan moril maupun materil hingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
2. Bapak Dr. Badrus Sholeh, MA., Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang
telah memberikan arahan, saran, dan ilmunya. Serta tak henti-hentinya
memberikan semangat kepada penulis hingga penulisan skripsi ini
terselesaikan dengan baik. Terimakasih atas kesabaran, perhatian, dan juga
waktu luang di tengah kesibukan.
vii
3. Bapak Ahmad Alfajri dan Ibu Khoirun Nisa, Ketua dan Sekretaris Prodi
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif
Hidayatullah. Terimakasih atas segala ilmu yang telah diberikan selama masa
perkuliahan.
5. Bapak Siswanto, Ahli Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dan Kepala
Bidang Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Penelitian Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selaku narasumber. Terimakasih
atas ketersediaan waktunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan guna
melengkapi data skripsi penulis.
6. Sahabat seperjuangan Skripsi, Ichsan Nur, Diaz, Musyfiq, Afafa, Hafid, dan
Ijmal yang saling memberikan semangat satu sama lain.
7. Keluarga Besar IRCEXTREME, Arqel, Anita, Afafa, Amel, Agoy, Asti, Alfi,
Bella, Citra, Denis, Diaz, Dila, Ebil, Farhan, Fira, Hafid, Ica, Ichsan, Ilham,
Iqbal, Kharisma, Mala, Muthia, Musyfiq, Nabil, Nabila, Nadim, Najma,
Nuzia, Reni, Ririn, Rifqi, Sarah, Syahnaz, dan Winda. Kelas paling solid dan
selalu heboh serta ceria.
8. Keluarga Mathaliul Falah (KMF) Jakarta, Pak Ketua Sidiq, Yai Iqbal, Mas
Uis, Ustadz Tio, Mas Boy, Syarif, Mas Bro Ahyar, dan semuanya yang tidak
bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih banyak atas suka dan dukanya.
viii
9. Teruntuk Neng Erina, yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi
kepada penulis.
10. Terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu. Semoga segala doa, dukungan dan bantuan kalian mendapat balasan
dari Allah SWT dan menjadi amal kebaikan.
Dengan segala kerendahan dan kekhilafan, penulis mohon maaf atas
kekurangan dan kesalahan dari penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
menerima selebar-lebarnya kritik dan saran demi perbaikan penelitian ini di masa
mendatang. Terimakasih.
Jakarta, 12 Juli 2019
Muhammad Luqmanul Hakim
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………………………...iv
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..v
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..viii
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………………......x
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………...xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Pernyataan Masalah…………………………………...............1
1.2. Pertanyaan Penelitian…………………………………………7
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………..................7
1.4. Tinjauan Pustaka……………………………………...............7
1.5. Kerangka Teoritis……………………………………………13
1.5.1. Teori Kebijakan Luar Negeri 13
1.5.2. Konsep Kepentingan Nasional 16
1.6. Metode Penelitian……………………………………………20
1.7. Sistematika Penulisan………………………………..............21
BAB II PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001 DAN KEBIJAKAN
GLOBAL WAR ON TERROR
2.1. Peristiwa 11 September……………………………………..23
2.2. Kebijakan Global War on Terror …………………………..26
2.2.1. The USA Patriot Act 30
2.2.2. Homeland Security Act 35
x
BAB III KEBIJAKAN KONTRA-TERORISME AMERIKA SERIKAT DI
AFGHANISTAN PERIODE PEMERINTAHAN OBAMA DAN
TRUMP
3.1. Kebijakan Kontra-Terorisme Periode Kedua Barack Obama di
Afghanistan………………………………………………………......38
3.1.1. Pergerakan Amerika Serikat Melawan Terorisme 38
3.1.2. Penarikan Pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan 43
3.1.3. Lahirnya Operasi Sentinel Freedom 46
3.2. Kebijakan Kontra-Terorisme Donald Trump di
Afghanistan…………………………………………………………..51
3.2.1. Kepemimpinan Amerika Serikat dalam Kancah
Internasional 51
3.2.2. Situasi Militer dan Keamanan Afghanistan 54
BAB IV FAKTOR DETERMINAN PENYEBAB PERUBAHAN
KEBIJAKAN KONTRATERORISME PERIODE DONALD
TRUMP DI AFGHANISTAN
4.1. Faktor Internal……………………………………………….59
4.1.1 Faktor Donald Trump dan Pengaruh orang sekitarnya 59
4.1.2. Struktur Pemerintahan Amerika Serikat 65
4.2. Faktor Eksternal………………………..
BAB V KESIMPULAN..................................................................................74
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………...............................xiii
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
DAFTAR SINGKATAN
ANSF Afghan National Security
AS Amerika Serikat
AUMF Authorization for Use of Military Force
BSA Bilateral Security Agreement
GWOT Global War on Terror
IIRO International Islamic Relief Organization
ISAF International Security Assistance Force
ISI Inter-Services Intelligence
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MAK Maktab al Khidmat lil Mujahidin al-Arab
NATO North Atlantic Organization
NCTC National Counter Terrorism Center
OEF Operation Enduring Freedom
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
SIGAR Special Inspector General for Afghanistan Reconstruction
TPP Trans-Pacific Partnership
xii
USCENTCOM United States Central Command
WTC World Trade Center
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Transkrip wawancara dengan Siswanto, Ahli Kebijakan Luar
Negeri Amerika Serikat dan Kepala Bidang Pengelolaan dan
Diseminasi Hasil Penelitian Pusat Penelitian Politik Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Pernyataan Masalah
Afghanistan telah menjadi pusat perhatian kebijakan luar negeri Amerika
Serikat (AS) sejak tragedi pemboman World Trade Center (WTC) di AS tahun 2001.
Pasca tragedi tersebut AS merasa keamanan nasionalnya telah terancam. Serangan
yang menghancurkan gedung WTC, mengakibatkan kerusakan dan banyak korban
jelas memicu reaksi keras dari Presiden George W. Bush yang kemudian
mendeklarasikan ‘Global War on Terror’ (GWOT)1 atau dikenal dengan Kontra-
Terorisme. Deklarasi tersebut berisi kesepakatan dan upaya bersama oleh pemerintah
untuk melawan segala tindakan terorisme yang telah menjadi perhatian dunia.2
Presiden Bush mengubah pola politik luar negeri AS terkait isu terorisme
dengan melindungi dan menciptakan rasa aman bagi seluruh warganya ,baik di dalam
maupun luar negeri. Pernyataan Presiden Bush di hadapan Kongres pada 20
September 2001, “either you are with us or you are with the terrorist”, secara hitam
putih menggambarkan dunia yang terbelah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan
baik dan kekuatan jahat. Bush juga mengatakan, “If you are not with us, you are
against us”. Pernyataan yang lebih dikenal dengan “Doktrin Bush” telah memaksa
1 Paul D. Williams, Security Studies an Introduction, Routledge, Abingdon. 2008, hlm. 171.
2 Paul D. Williams, Security Studies an Introduction, hlm. 376.
2
negara di dunia menentukan sikap dalam melawan terorisme.3 Hal inilah yang telah
menjadi legitimasi serangan AS ke Afghanistan dengan dalih menumpas terorisme.
Bush menganggap bahwa al-Qaeda yang paling bertanggung jawab atas tragedi
pemboman tersebut.
Pada tahun 2009 Barack Obama terpilih sebagai Presiden AS menggantikan
George W. Bush. Sejak awal kampanye, sebagai calon presiden, Obama telah
mengenalkan prinsip kebijakan luar negeri AS terhadap al-Qaeda yang berbeda
dengan periode sebelumnya. Hal ini dilihat dari pidato Barrack Obama di depan
Chicago Council on Global Affairs pada 23 April 2007. Obama menekankan, bahwa
salah satu pilar kebijakan luar negeri AS adalah perbaikan dan rekonstruksi sistem
aliansi serta kemitraan global guna menghadapi tantangan dan ancaman. Kebijakan
AS pada masa Obama lebih menekankan diplomasi atau lebih dikenal dengan smart
power, yaitu perpaduan antara hard power dan soft power.4
Pada 20 Januari 2017, Donald Trump menjadi Presiden AS ke-45,
menggantikan Obama. Dalam kampanyenya, Trump mengecam kebijakan perang
pemerintah AS dan berjanji akan menghentikan perang serta lebih fokus pada
penguatan ekonomi dalam negeri. Akan tetapi, tetap saja setelah terpilih, Trump
masih melanjutkan GWOT.5 Selain itu, juga tersebar luas slogan “Make America
3 Micahel Byers, “Terrorism: The Use of Force and International Law After 11 September”,
dalam International Relations Journal, Vol. 6. No. 2, Prentice Hall Inc., New York, 2002, hlm. 155. 4 Joseph S. Nye, Soft Power: the means to success in world politics, Public Affairs, New
York, 2004, hlm. 32. 5 Donald Trump, National Strategy for Counterterrorism of the United States of America, The
White House, Washington DC, 2018, hlm. 1-2.
3
Great Again” oleh Donald Trump yang dinilai sesuai visi dan misi
kepemimpinannya. Perbaikan sistem dalam negeri dan restorasi kekuatan hegemoni
Amerika Serikat merupakan kunci kampanye Trump untuk menarik banyak masa,
terutama warga Amerika konservatif yang memiliki kekhawatiran terhadap imigrasi
dan terorisme.
Isu-isu tersebut direspons langsung oleh Trump dan menyatakan posisinya
yang kontroversial. Banyak pidato Trump yang mengandung substansi kekerasan dan
rasisme. Pernyataannya mengenai isu terorisme dan Islam “radikal”, misalnya,
direspons negatif oleh kalangan muslim di Amerika Serikat dan dunia internasional.
Trump cenderung vokal terhadap isu Islam “radikal” dan terorisme, bahkan ia sampai
berjanji untuk tidak hanya membatasi, tetapi melarang masuknya imigran yang
berasal dari negara-negara Islam yang diduga menjadi asal terorisme.6
Skripsi ini akan membahas apa saja yang memengaruhi perubahan kebijakan
luar negeri AS di bawah Presiden Donald Trump dalam memerangi terorisme
internasional, khususnya di Afghanistan. Kebijakan Trump dinilai berbeda dengan
pendahulunya, Barack Obama, serta mengandung kontroversi di mata masyarakat
internasional terutama umat muslim.7 Misalnya, kebijakan Trump yang mengatur
perihal pelarangan masuknya imigran muslim ke wilayah AS yang oleh presiden
6 Russell Berman, Donald Trump’s Call to Ban Muslim Immigrants, diakses dari
http://www.theatlantic.com/ politics/archive/2015/12/ donald-trumps-call-to-ban-
muslimimmigrants/419298/, pada 25 Oktober 2018. 7 Clark Mindock, Travel Ban: What is Trump’s major immigration policy, and why is it called
a ‘Muslim ban’? All you need to know, Independent, diakses dari
http://www.independent.co.uk/news/world/americas/us-politics/travel-ban-trump-what-is-it-muslim-
countries-list-restrictions-latest-a8093821.html, pada 20 November 2018.
4
sebelumnya, Barack Obama, dianggap sangat beresiko. Pada era Obama, AS sangat
peduli dengan multikulturalisme. Trump menegaskan larangan ini diterapakan demi
menjaga keamanan nasional dengan merujuk pada serangan teroris di Paris, London,
Brussels dan Berlin.8
Kebijakan Trump lebih mengedepankan penggunaan militer atau dikenal
dengan hard power. Hal ini dibuktikan dengan keputusannya dalam peningkatan
invasi militer di Afghanistan.9 Presiden Trump mengirim sekitar 3.500 tentara lagi ke
Afghanistan dan membawa total pasukan AS di Afghanistan menjadi sekitar 14.500.10
Kebijakan tersebut tentu berbeda dengan Obama yang sempat menyerukan penarikan
pasukan AS dari Afghanistan.11
Meskipun pada akhirnya telah mengundang sejumlah
kritik karena dapat menimbulkan kekhawatiran bahwa itu adalah tanda bahwa
Washington telah menerima kekalahan, pada gilirannya akan memberikan Al-Qaeda
alat propaganda yang kuat.
Pada masa Obama, kebijakan luar negeri AS dikenal dengan istilah smart
power (perpaduan antara hard power dan soft power)12. Obama telah berkunjung ke
beberapa negara mayoritas muslim, seperti ke Turki dan Mesir pada Juni 2009 serta
8 “Kebijakan Larangan Trump Mulai Dirasakan Dampaknya.” BBC, diakses dari
http:/www.bbc.com/Indonesia/dunia-40453147/, pada 25 Oktober 2018. 9 Colin Robertson, America First: The Global Trump at Six Months, The School of Public
Policy, Calgary, 2017, hlm. 3. 10
Ellen Mitchell, U.S. to Send 3,500 More Troops to Afghanistan: Report, TheHill, diakses
dari http://thehill.com/policy/defense/349486-us-to-send-3500-more-troops-to-afghanistan-report, pada
19 Desember 2018. 11
Jake Tapper, “Obama Announces 34.000 Troops to Come Home”, CNN, diakses pada 28
Juli 2019 dari https://edition.cnn.com/2013/02/12/politics/obama-sotu-afghanistan-troops/index.html 12
Riefqi Muna, Paradigma Pertahanan dari Hard Power ke Soft Power, Pusat Studi
Pertahanan dan Perdamaian FISIP Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 86-87.
5
Indonesia pada November 2009. Selain itu, Obama juga menugaskan Hillary Clinton
untuk melakukan kunjungan ke wilayah Timur Tengah yang sedang dilanda konflik
berkepanjangan.13
Hal tersebut menunjukkan, bahwa AS pada saat itu mencoba merangkul dunia
muslim guna meyakinkan bahwa tujuan Obama adalah membawa misi perdamaian.
Keadaan tersebut tentu berbeda dengan era Trump dimana hanya memokuskan pada
hard power atau intervensi militer dan mengesampingkan upaya-upaya diplomasi
seperti dilakukan Obama. Sehingga AS kembali mendapatkan citra buruk di mata
dunia muslim seperti yang terjadi pada masa George W. Bush.
Trump pertama kali mengemukakan pendapat mengenai kebijakan luar negeri
ketika menghadiri undangan Center for the National Interest di Washington, April
2016, saat ia masih menjadi calon presiden. Trump memokuskan beberapa kebijakan
luar negeri yang menurutnya ideal bagi AS, sesuai dengan slogan kampanyenya yang
bertujuan untuk membuat As disegani di kancah percaturan politik internasional.
Trump juga menjelaskan, bahwa ia akan menggunakan “America First” dalam
kebijakan luar negerinya. “America First” yang dimaksudkan merupakan kebijakan
luar negeri yang dibuat dengan memprioritaskan warga Amerika Serikat. “America
13
Kunjungan Hillary Clinton ke Timteng, BBC, diakses pada 19 Desember 2018 dari
www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2009/09302.shtml
6
First” dinilai akan menjadi fokus utama dalam pemerintahan Trump dalam
memimpin AS.14
Faktor domestik dan internasional dapat mempengaruhi perumusan kebijakan
luar negeri, tetapi faktor domestik yang lebih diutamakan. Kondisi ekonomi, politik,
sosial serta pengaruh dari dari kelompok-kelompok kepentingan merupakan faktor
domestik, sedangkan faktor internasional adalah kondisi politik internasional yang
berlangsung saat itu. Beberapa faktor domestik dan internasional yang telah
dijelaskan di atas tentu menjadi pertimbangan penting oleh setiap negara untuk
merumuskan kebijakan luar negeri begitu pula dengan AS sebagai negara adikuasa
atau superpower. Sehingga, pada setiap pergantian presiden di AS, hal pertama kali
yang menjadi perhatian oleh negara-negara lainnya adalah bagaimana kebijakan luar
negerinya yang pasti akan berdampak pada dinamika politik internasional.
Oleh karena itu, dibutuhkan penjelasan lebih lanjut terkait faktor-faktor yang
telah disebutkan di atas. Melalui penjelasan secara komprehensif tentunya akan lebih
memudahkan pembaca untuk dapat memahami bahwa setiap perumusan kebijakan
luar negeri dalam suatu negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, tidak hanya
berdasarkan satu aktor, yaitu seorang presiden. Dalam analisis kebijakan luar negeri,
kita tidak hanya melihat dari sosok presiden tetapi harus melihat terlebih dahulu
mengenai siapa dan apa saja yang ada di belakangnya. Selain itu, juga harus melihat
kondisi politik domestik yang terjadi di negaranya. Karena dapat dikatakan bahwa
14
Jeremy Diamond dan Stephen Collinson, Donald Trump’s foreign policy: ‘America first’,
CNN, diakses pada 26 Oktober 2018 dari http:// edition.cnn.com/2016/04/27/politics/donald-trump-
foreign-policyspeech/>
7
keadaan politik dalam negeri merupakan cerminan dari kebijakan luar negeri suatu
negara.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pemaparan dalam pernyataan masalah tersebut, penulis membuat
pertanyaan masalah sebagai berikut :
Faktor-faktor determinan apa saja yang memengaruhi perubahan kebijakan
kontraterorisme Amerika Serikat di Afghanistan pada masa pemerintahan
Presiden Donald Trump?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui faktor-faktor determinan baik
faktor internal dan eksternal yang memengaruhi kebijakan kontraterorisme
Amerika Serikat di Afghanistan periode pemerintahan Presiden Donald
Trump.
2. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti lain yang
mempunyai minat dalam masalah ini.
1.4. Tinjauan Pustaka
Untuk menunjang informasi-informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan
skrispi ini, penulis menetapkan beberapa referensi yang berasal dari jurnal dan juga
Tesis. Dalam tinjauan pustaka yang pertama, terdapat jurnal yang berjudul
8
Afghanistan: Background and U.S. Policy In Brief. Jurnal ini ditulis oleh Clayton
Thomas, seorang analis timur tengah, dan diterbitkan oleh Congressional Research
Service pada 17 September 2018. Congressional Research Service merupakan badan
penelitian kebijakan publik dari Kongres AS.
Jurnal ini memberikan intisari tentang dinamika politik dan militer dengan
fokus pada strategi baru Trump untuk Afghanistan dan Asia Selatan, mitra koalisi
terkait operasi militer Afghanistan, dan perkembangan politik terbaru termasuk
pemilu di Afghanistan. Diawali dengan penjelasan awal terkait situasi politik terkini
di Afghansitan dan dilanjutkan pada analisis mengenai kendala dalam upaya
rekonsiliasi yang dilakukan oleh pemerintah AS dan Afghanistan dengan Taliban.
Clayton menjelaskan bahwa pada 2018, sejumlah perkembangan
menunjukkan potensi kemajuan menuju ke arah pembicaraan perdamaian. Preseiden
Ghani menawarkan pembicaraan atau pertemuan langsung dengan Taliban disertai
juga dengan usulan tindakan membangun kepercayaan seperti pertukaran tahanan.
Namun, secara tegas Taliban menolaknya. Selain itu, genjatan senjata selama 3 bulan
yang ditawarkan pemerintah Afghanistan juga gagal terwujud, mengingat
pertempuran masih berlanjut. Hal tersebut yang menurut Clayton merupakan faktor-
faktor yang menjadi kendala dalam menuju upaya rekonsiliasi.
Clayton juga menjelaskan bahwa AS telah meletakkan strategi baru untuk
Afghanistan, hal tersebut disampaikan oleh Trump melalui pidatonya pada Agustus
2017. Presiden Trump menegaskan bahwa penyelesaian politik sebagai hasil dari
upaya militer yang efektif, tetapi tidak merinci secara detail terkait batasan waktu
9
untuk keterlibatan tentara AS di Afghanistan. Calyton menambahkan mengenai
strategi baru yang akan mencakup pendekatan regional untuk Asia Selatan. AS akan
meningkatkan hubungan bilateral dengan India. Dalam penelitian Trump
mengemukakan bahwa AS akan mengambil sikap lebih tegas terhadap Pakistan
karena telah dianggap memberikan tempat berlindung para teroris.
Jurnal yang ditulis Clayton membantu penelitian skripsi ini untuk
menjelaskan kebijakan baru AS periode Trump terkait konflik Afghanistan. Hal ini
berguna untuk mengetahui secara komprehensif bagaimana kebijakan tersebut
dilakukan. Namun, perbedaannya adalah jurnal ini hanya membahas kebijakan baru
Trump diterapkan di Afghanistan dan Asia Selatan, tidak membahas faktor-faktor
yang mempengaruhi Trump dalam perumusan kebijakan baru tersebut yang
dibutuhkan dalam penelitian ini.
Tinjauan pustaka yang kedua adalah jurnal diterbitkan oleh The Georgetown
Security Studies Review pada Januari 2017. Jurnal ini ditulis oleh Bruce Hoffman
dengan judul The Evolving Terrorist Threat and Counterterrorism Options of the
Trump Administration. Bruce Hoffman merupakan seorang analis politik yang
mempunyai spesialisasi dalam studi terorisme dan kontraterorisme serta
pemberontakan dan kontra-pemberontakan. Dia adalah profesor tetap di Sekolah
Layanan Luar Negeri Edmund A. Walsh Universitas Georgetown.
Dalam jurnal ini, Hoffman menjelaskan mengenai ancaman terorisme seperti
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan Al Qaeda bagi pemerintahan Trump.
Singkatnya, periode kepemimpinan trump menghadapi situasi keamanan yang paling
10
berbahaya setelah peristiwa 11 September 2001. Hoffman juga menegaskan bahwa
Strategi Trump harus berjalan efektif jika ingin mengalahkan teroris. Efektivitas
strategi tersebut didasarkan pada kemampuan untuk menganalisa jaringan musuh dan
mengantisipasi bagaimana musuh dapat bertindak dalam berbagai situasi. ISIS
memang menimbulkan ancaman teroris dalam pada akhir-akhir ini, namun Al- Qaeda
telah diam-diam membangun dan mempersiapkan kembali sumber daya sejak lama
untuk menghidupkan kembali perang melawan AS.
Hasil jurnal ini menunjukkan bahwa penyebaran gerakan ISIS dan Al- Qaeda
begitu cepat. National Counter Terrorism Center (NCTC) menyebutkan bahwa
setahun sebelum AS meluncurkan kampanye untuk mengalahkan ISIS, gerakan
teroris ini sudah ada di tujuh negara seluruh dunia. Pada 2015 ketika strategi baru
Obama melawan terorisme diperkenalkan, ISIS sudah tersebar di empat belas negara.
Kemudian pada Agustus 2017, NCTC mencatat bahwa ISIS telah beroperasional di
delapan belas negara. Sementara itu, Al-Qaeda juga hadir di lebih banyak negara saat
ini. Menurut NCTC, pada 2017 Al-Qaeda telah hadir dan beroperasi di dua puluh
empat negara.
Jurnal Hoffman juga membantu penulisan skripsi ini untuk menjelaskan
pergerakan dan ancaman yang dilakukan ISIS dan Al-Qaeda. Dalam jurnal ini juga
ditemukan bahwa pada 2010 Al-Qaeda telah mengembangkan senjata biologi yang
terbuat dari biji jarak yang oleh FBI disebut zat paling beracun ketiga setelah
plutonium dan botulisme. Jika dibiarkan tentu akan berbahaya dan dapat mengancam
stabilitas keamanan global termasuk keamanan nasional AS juga merasa semakin
11
terancam. Menurut penulis, pergerakan Al-Qaeda secara masif dapat dikategorikan
sebagai salah satu faktor, yaitu faktor eksternal dalam mempengaruhi pembuatan
kebijakan baru AS periode sekarang. Namun, dalam skripsi ini penulis masih
membutuhkan beberapa faktor yang melatarbelakangi perumusan Kebijakan Kontra-
Terorisme pada periode Trump ini.
Selanjutnya, pada tinjauan pustaka yang ketiga adalah Tesis yang ditulis oleh
I Gde Armyn Gita yang berjudul Analisis Smart Power dalam Strategi Militer
Amerika Serikat Melawan Al-Qaeda (2009-2012). Program Studi Kajian Terorisme
dalam Keamanan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia. Pertanyaan yang diajukan Gita dalam skripsi tersebut adalah mengapa
pemerintah AS periode Barack Obama menerapkan strategi militer yang berlandaskan
prinsip smart power terhadap Al-Qaeda.
Pertanyaan penelitian difokuskan pada Al-Qaeda dan pendukungnya yang
berada di Afghanistan dan Pakistan. Sedangkan tujuan dari Tesis tersebut adalah
untuk menganalisa perubahan strategi militer yang dilakukan pemerintah AS sejak
periode presiden Barack Obama dalam melawan Al-Qaeda, kelompok afiliasi, dan
pendukungnya. Penelitian fokus pada dinamika faktor-faktor pengaruh dalam
perumusan strategi militer AS.
Tesis Gita membahas mengenai penerapan prinsip smart power di dalam
strategi militer AS terhadap Al-Qaeda, kelompok afiliasi, dan pendukungngnya di
Afghanistan dan Pakistan. Dalam tesis tersebut dijelaskan bahwa smart power dalam
perspektif strategi merupakan sebuah rencana aksi dengan yang mengkombinasikan
12
penggunaan sumber daya hard power dan soft power. Penerapan prinsip tersebut
yang selanjutnya diidentifikasikan dalam empat konteks yang saling bertautan
meliputi wilayah operasi yang lebih spesifik, penerapam strategi militer yang berbeda
di Afghanistan dan Pakistan, kombinasi strategi Counterinsurgency dan
Counterterrorism di Afghanistan, dan menghadirkan kekuatan militer AS melalui dua
jalur, Operation Enduring Freedom (OEF) dan North Atlantic Treaty Organization
(NATO).
Hasil Tesis Gita menemukan beberapa faktor terkait perumusan kebijakan
keamanan nasional yang mempengaruhi perubahan strategi militer AS terhadap Al-
Qaeda. Faktor-faktor tersebut meliputi; perkembangan sistem perumusan kebijakan
keamanan nasional AS, dinamika kekuatan nasional AS, sikap dan kondisi
pemerintah Afghanistan dan Pakistan, dan dukungan internasional.
Gita menjelaskan bahwa ancaman terorisme bagi pemerintah AS, di periode
Barack Obama, mengerucut pada Al-Qaeda, kelompok pendukung, dan pengikutnya.
Hal ini menegaskan target yang spesifik sekaligus fleksibel. Target jangka pendek
adalah Al-Qaeda, khususnya di Afghanistan dan Pakistan telah menjadi target
pelaksanaan strategi perlawanan terhadap terorisme. Sedangkan jangka panjang,
strategi perlawanan terhadap terorisme dapat diperluas kepada obyek apapun yang
dianggap sebagai pendukung maupun pengikut Al-Qaeda.
Tesis Gita membantu penulisan skripsi penulis dalam menjelaskan penerapan
strategi smart power di Afghanistan pada periode Presiden Obama. Penulis akan
membahas perbedaan terkait Kebijakan Kontra-Terorisme periode Obama dengan
13
Trump dalam satu bab di skripsi. Namun, perbedannya adalah Tesis ini membahas
penerapan prinsip smart power di dalam strategi militer AS terhadap Al-Qaeda,
kelompok afiliasi, dan pendukungngnya di Afghanistan dan Pakistan, sedangkan
skripsi ini lebih fokus pada pembahasan terkait faktor apa yang mempengaruhi
Kebijakan Kontra-Terorisme AS periode Trump beserta implementasinya.
1.5. Kerangka Teori
1.5.1. Teori Kebijakan Luar Negeri
Joshua Goldstein menjelaskan bahwa pengertian Kebijakan Luar Negeri
adalah strategi-strategi yang diambil oleh pemerintah dalam menentukan tindakan
mereka di dunia internasional.15 Sedangkan menurut K.J. Holsti, kebijakan luar negeri
merupakan tindakan atau gagasan yang dirancang untuk memecahkan masalah atau
membuat perubahan dalam politik.16 Berdasarkan definisi tersebut, kebijakan luar
negeri dapat dipahami sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh negara berupa
perilaku dan gagasan yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah serta dalam
rangka memenuhi kepentingan nasional suatu negara dalam politik internasional.
Setiap negara mempunyai tujuan berbeda terkait kebijakan luar negerinya.
Akan tetapi, negara mengeluarkan kebijakannya dalam rangka memenuhi dan
mencapai kepentingan pribadi maupun kolektifnya. Pada umumnya negara
15
Joshua Goldstein, International Relations, Longman, New York, 1999, hlm. 147. 16
K.J. Holsti, International Politics : A Framework for Analysis, Prentice-Hall, New Jersey,
1983, hlm. 107.
14
melaksanakan kebijakan luar negerinya agar dapat memberikan pengaruh terhadap
negara lain, menjaga keamanan nasional, memiliki prestise, serta keuntungan untuk
negaranya.
Menurut Rosenau, tujuan dari kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan
fungsi dari proses di mana tujuan negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh
sasaran yang dilihat dari masa lalu dan aspirasi untuk masa yang akan datang.17
Sedangkan menurut KJ. Holsti, dua tujuan yang dominan dalam negara melakukan
kebijakan luar negeri adalah, tujuan jangka menengah dan jangka panjang.
Tujuan jangka menengah yaitu meningkatkan prestise suatu negara dalam
sistem internasional, meningkatnya prestise dinilai berdasarkan industri, teknologi,
ekonomi, dan militer. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah tentang rencana,
impian serta pandangan mengenai ideologi dalam sistem internasional, ideologi
tersebut merupakan aturan yang mengatur tindakan negara dalam sistem
internasional.18 Bagi Rosenau tujuan jangka panjang negara melaksanakan kebijakan
luar negeri adalah untuk perdamaian, kekuasaan, dan keamanan.19
Formulasi kebijakan luar negeri harus meliputi kebutuhan politik dalam
negeri dan luar negeri. Selain itu juga melibatkan nilai-nilai sosial, kejadian-kejadian
penting, tingkat ancaman, konsekuensi yang telah diduga, elemen waktu atau tuntutan
17
James N. Rosenau, International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research and
Theory, The Free Press, New York, 1969, hlm. 167. 18
K. J. Holsti, , International Politics : A Framework for Analysis, Prentice-Hall, New Jersey,
1983., hlm. 146-147. 19
James N. Rosenau, International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research and
Theory, The Free Press, New York, 1969, hlm. 167.
15
pada situasi tertentu, keadaan pendapat umum, dan biaya mempersiapkan tindakan-
tindakan.20
Faktor eksternal dan internal dapat memengaruhi kebijakan luar negeri suatu
negara. Faktor eksternal meliputi: (1) Struktur sistem, pengambilan kebijakan luar
negeri suatu negara sangat dipengaruhi oleh struktur dan sistem internasional; (2)
Struktur ekonomi global; (3) Tujuan dan tindakan aktor lain, merupakan respon atas
tindakan aktor lain sehingga negara memiliki tujuan terarah demi mencapai
kepentingan nasionalnya; (4) Masalah regional, jika suatu negara mendapat masalah
dalam satu kawasan maka akan berdampak juga terhadap negara lain.21
Sedangkan faktor internal adalah: (1) Kebijakan sosial-ekonomi dan
keamanan, kebijakan luar negeri sangat bergantung kepada kondisi sosial, ekonomi,
dan keamanan domestik suatu negara; (2) Letak geografis, letak geografis
mempengaruhi citra suatu negara pada dunia internasional, hal ini berkaitan dengan
daya pikat negara tersebut; (3) Struktur pemerintahan, berkaitan dengan bagaimana
pihak pemerintah mengambil suatu kebijakan luarnegeri demi kepentingan
nasionalnya; (4) Birokrasi, berkaitan dengan proses pengambilan kebijakan luar
negeri yang diambil oleh suatu negara; (5) Atribut nasional, berkaitan dengan
20
Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, LP3ES,
Jakarta, 1990, hlm. 184. 21
K. J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, Prentice Hall. Inc,
Angelwood Clipps, New Jersey, 1997, hlm. 271-287.
16
karakteristik negara yang meliputi jumlah penduduk, perkembangan ekonomi serta
aktifitasnya dalam dunia internasional.22
Dalam penelitian ini penulis melihat faktor-faktor yang memengaruhi
kebijakan luar negeri AS periode Trump berubah dibandingkan periode Obama.
Penulis akan melihat dan menganalisa pada faktor-faktor yang dijelaskan oleh Holsti,
baik faktor internal maupun eksternal. Akan tetapi, dari semua faktor-faktor tersebut,
penulis hanya akan menganalisa beberapa faktor yang dianggap dominan dalam
memengerahi kebijakan luar negeri AS.
Faktor-faktor yang dimaksud adalah masalah regional/global, kebijakan
sosial-ekonomi/keamanan, struktur pemerintahan, dan birokrasi. Penulis menganggap
bahwa faktor-faktor tersebut paling berpengaruh karena kebijakan kontraterorisme
AS di Afghanistan pada awalnya dipengaruhi oleh peristiwa nine eleven pada periode
G. Bush dan berlanjut pada masifnya gerakan teror seperti yang dilakukan Al Qaeda
pada periode Obama dan Taliban pada periode sekarang. Hal tersebut mengakibatkan
pemerintah AS sekarang yang dipimpin oleh Trump merasa bahwa keamanan
nasional AS terancam.
1.5.2. Konsep Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional merupakan salah satu komponen penting dalam
hubungan internasional. Menurut Felix E. Oppenheim, kepentingan nasional
merupakan tujuan sebuah negara atau pemerintahan di tingkat internasional untuk
22
K. J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, hlm. 271-287.
17
mencapai kesejahteraan bagi warganya, seperti mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan wilayah negaranya.23 Kepentingan nasional tidak digambarkan sebagai
tujuan khusus saja, tetapi juga sama seperti kebijakan. Sebagai contoh, kebijakan
tentang perdagangan bebas termasuk dalam kepentingan nasional. Selain itu,
kepentingan nasional juga meliputi berbagai bidang selain ekonomi, seperti
keamanan contohnya.24
Beberapa ahli memang memiliki pandangan berbeda dalam mendefinisikan
kepentingan nasional. Hans J. Morgenthau menjelaskan bahwa kepentingan nasional
adalah alat untuk mengejar kekuasaan, karena melalui kekuasaan suatu negara dapat
mengontrol negara lain. Secara spesifik konsep kepentingan nasional merupakan
kemampuan negara untuk melindungi dan mempertahankan identitas fisik, politik,
dan kultur dari gangguan negara lain.25 Untuk mencapai kepentingan nasional,
kebijakan-kebijakan luar negeri guna mengatur negara menjadi lebih terarah dalam
mengadakan suatu hubungan internasional harus diatur secara benar oleh negara.
Aleksius Jemadu, mengutip Miroslav Nincic menjelaskan tentang tiga asumsi
dasar kepentingan nasional, yaitu pertama kepentingan tersebut bersifat esensial yang
dalam pencapaiannya harus menjadi prioritas utama pemerintah. Kedua kepentingan
nasional juga berkaitan dengan lingkungan atau keadaan internasional, jadi
23
Felix E. Oppenheim (1987), Political Theory: National Interest, Rationality, and Morality,
Vol. 15, No. 3, Sage Publications Inc, California, 1987 hlm. 369. 24
Miroslav Nincic, The review of Politics: The National Interest and Its Interpretation, Vol.
61, No. 1, Cambridge University Press, Cambridge, 1999, hlm. 29. 25
Hans Joachim Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace,
Alfred A Knopf Inc., 5, New York, 1985, hlm. 265.
18
pencapaian kepentingan tersebut berkaitan dengan lingkungan internasional saat itu.
Ketiga kepentingan nasional tidak boleh memihak kepada salah satu instansi atau
pihak manapun, melainkan harus mewakili seluruh aspirasi masyarakat.26
Kepentingan nasional secara tidak langsung berfungsi sebagai akses suatu
negara untuk melihat fenomena-fenomena antar batas lintas negara. Aktivitas negara
dalam hubungan internasional juga butuh diperhatikan karena setiap tindakan yang
dilakukan harus melihat kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh negara
tersebut. Kepentingan nasional memengaruhi suatu negara untuk mengambil
keputusan dalam menjalin suatu hubungan internasional.
Thomas W. Robinson mengklasifikasikan kepentingan nasional menjadi 6
kategori, yaitu: (1) Primary Interest, merupakan kepentingan nasional yang permanen
dan negara harus melindunginya dengan segenap tenaga dan tidak dapat
dikompromikan, seperti melindungi keamanan negara dan identitas nasional;
(2) Secondary Interest, muncul jika primary interest telah terpenuhi, misalnya
memastikan kekebalan diplomatik bagi staf diplomatik dan perlindungan warga
negara di luar negeri; (3) Permanent Interest, merujuk pada kepentingan nasional
yang bersifat konsisten dalam periode waktu tertentu; (4) Variable
Interest, kepentingan nasional yang dianggap penting pada suatu keadaan tertentu
berdasarkan opini publik dan keadaan politik dalam negeri; (5) General
Interest, merujuk pada kepentingan nasional yang berkaitan dengan perilaku positif
26
Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008,
hlm. 67.
19
berdasarkan luas dan letak geografis, jumlah populasi, serta beberapa aspek meliputi
perdagangan dan ekonomi; (6) Specific Interest, yaitu kepentingan yang spesifik
dalam suatu waktu dan tempat tertentu.27
Berdasarkan kategori klasifikasi kepentingan nasional tersebut, maka
kepentingan AS di Afghanistan mengacu pada tipe primary interest dan specific
interest. Primary interest dipahami bahwa masalah terorisme bagi AS merupakan
salah satu bagian dari masalah keamanan nasional, sementara specific interest
dimaksudkan bahwa Kebijakan Kontra-Terorisme AS di Afghanistan didasari atas
waktu dan tempat tertentu. Lebih lanjut kebijakan tersebut didasari atas keinginan AS
untuk melawan dan menghancurkan para teroris dalam hal ini Al Qaeda yang
bermarkas di Afghanistan.
Kepentingan nasional yang telah menjadi tujuan negara harus diaplikasikan
melalui sebuah kebijakan luar negeri. Dalam proses pembuatan sebuah kebijakan luar
negeri, harus melalui pengesahan terlebih dahulu yaitu oleh badan legislatif. Seperti
penyerangan AS ke Afghanistan yang dilakukan setelah Presiden Bush waktu itu
melakukan speech act di depan Kongres untuk memerangi terorisme karena dianggap
telah mengganggu stabilitas keamanan nasional dan mengancam kedaulatan AS.
Penyerangan tersebut telah mendapat dukungan dari Kongres AS.
Oleh karena itu, kepentingan nasional sangat berkaitan dengan kebijakan luar
negeri suatu negara, karena salah satu tujuan dari kebijakan luar negeri adalah untuk
27
W.Thomas Robinson, A National Interest Analysis Of Sino-Soviet Relations, University of
Arizona, Arizona, 1967, hlm. 183.
20
memberikan rasa aman terhadap warga negaranya, baik di dalam maupun luar negeri.
Dapat dibenarkan bahwa kepentingan nasional memerlukan sebuah kebijakan luar
negeri agar tujuan suatu negara dapat terealisasikan. Jadi kebijakan luar negeri
merupakan sebuah upaya atau cara untuk mencapai kepentingan nasional suatu
negara.28
1.6. Metode Penelitian
Menurut Mohtar Mas’oed, metode penelitian berbicara mengenai bagaiman
cara memperoleh, memahami data dan fakta yang ditempuh melalui pengamatan,
wawancara, penggunaan data dan bahan dokumen. Oleh sebab itu, untuk menguji
suatu penelitian diperlukan suatu metode penelitian.29
Penulis menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif analisis dalam
skripsi ini. Menurut Blaxter metode kualitatif adalah metode yang menganalisis
perilaku dan sikap politik yang tidak dapat untuk dikuantifikasikan.30 Sedangkan
dekriptif analisis yaitu dalam melakukan penelitian ini harus melihat dari
permasalahan yang ada kemudian menghubungkan dengan teori dalam Hubungan
Internasional.31
28
“Why Are National Interests Necessary?” diakses pada 28 Juli 2019 dari
https://mgimo.ru/about/news/experts/why-are-national-interests-necessary/ 29
Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, LP3ES, Jakarta,
1990, hlm. 180. 30
Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, Kencana prenada Media Grup, Jakarta, 2007,
hlm. 86. 31
Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, LP3ES, Jakarta,
1990, hlm. 223.
21
Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan Siswanto, Ahli
Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dan juga menjabat sebagai Kepala Bidang
Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Penelitian Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sedangkan data sekunder, penulis memperoleh dari
beberapa sumber seperti Perpustakaan Utama Universitas Islam (UIN) Syarif
Hidayatullah, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Ali Alatas Kemlu, jurnal
terakreditasi, dan artikel-artikel dari berbagai situs internet yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Setelah data terkumpul, penulis akan memahami, memaknai, kemudian
mengemukakan data tersebut. Selanjutnya penulis akan menggunakan data tersebut
untuk menjelaskan permasalahan yang akan diteliti dengan menggunakan teori-teori
yang relevan. Setelah itu penulis melakukan analisis yang sesuai untuk menjawab
pertanyaan penelitian terkait faktor determinan apa saja yang memengaruhi
perubahan kebijakan kontraterorisme AS di Afghanistan pada masa Presiden Donald
Trump.
1.7. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini penulis akan mengemukakan sistematika penulisan
sebagai berikut:
1. BAB I Pendahuluan.
2. BAB II Peristiwa 11 September dan Kebijakan Global War on Terror.
22
3. BAB III Kebijakan Kontraterorisme Amerika Serikat di Afghanistan Periode
Pemerintahan Obama dan Trump.
4. BAB IV Faktor Determinan Penyebab Perubahan Kebijakan Kontraterorisme
Amerika Serikat Periode Donald Trump di Afghanistan.
5. BAB V Kesimpulan.
23
BAB II
PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001 DAN KEBIJAKAN GLOBAL
WAR ON TERROR
2.1. Peristiwa Serangan 11 September 2001
Amerika Serikat (AS) mengalami sejarah kelam pada 11 September 2001.
Gedung World Trade Center (WTC) dan gedung Pentagon yang merupakan ikon
serta pusat kegiatan di AS runtuh karena serangan oleh kelompok yang disebut
sebagai teroris.32
Serangan tersebut berhasil menyebabkan ketakutan dan ancaman
bagi masyarakat AS dan memakan korban jiwa. Sebanyak 2.977 orang tewas di New
York , Washington, D.C. dan Pennsylvania.33
Peristiwa ini diawali serangkaian serangan yang dilakukan oleh teroris dengan
cara membajak pesawat American Airlines Flight 11 dan United Airlines Flight 175.
Pembajak kemudian menabrak gedung WTC menggunakan pesawat. Pesawat
tersebut diduga membawa bahan bakar penuh sekitar 20 ribu galon sehingga ketika
pesawat menabrak gedung WTC, menimbulkan ledakan besar dan lubang di lantai
80.34
Serangan tersebut dilakukan dalam dua kali tahapan. Serangan pertama dapat
32
Thomas H. Kean, The 9/11 Commission Report: Final Report of the National Commission
on Terrorist Attacks Upon the United States, 2002, Washington D.C. hlm. 285 33
“September 11 Terror Attacks Fast Facts”, CNN, diakses pada 25 Juli 2019 dari
https://edition.cnn.com/2013/07/27/us/september-11-anniversary-fast-facts/index.html 34
Abdul Manan, “Sejumlah Fakta Soal Peringatan Serangan 9/11”, diakses pada 25 Juli 2019
dari https://dunia.tempo.co/read/512516/sejumlah-fakta-soal-peringatan-serangan-911/full&view=ok
24
menghancurkan gedung di sisi sebelah kanan (utara) yang menyebabkan ratusan
jiwa meninggal dunia baik yang berada di pesawat maupun. Setelah itu, disusul oleh
serangan kedua dengan menabrak sisi gedung sebelah kiri (selatan). Serangan
ttersebut menimbulkan ledakan besar dan menyebabkan gedung lain serta jalan di
bawah gedung WTC dipenuhi puing bangunan.
Peristiwa di WTC menyebabkan 2.753 orang meninggal dunia.35
Sebagian
besar korban adalah penumpang pesawat termasuk pembajak dan para pegawai yang
bekerja serta para pengunjung. Kerusakan yang ditimbulkan atas serangan tersebut
sangatlah besar, gedung WTC yang menjadi ikon bagi AS dan gedung yang
dianggap kokoh serta kuat seketika hancur ketika dua pesawat komersil yang
dibajak para teroris menghantamnya.
Gedung Pentagon juga menjadi sasaran serangan terorisme. Pesawat
American Airlines Flight 77 dibajak yang kemudian menabrak gedung Departemen
Pertahanan AS di Pentagon. Serangan terorisme kedua diduga dilakukan oleh pelaku
yang sama dengan serangan terhadap gedung WTC. Hal tersebut didasarkan pada
pola serangan yang sama yaitu dengan cara menabrakkan pesawat ke arah gedung
yang telah ditargetkan. Sama halnya dengan gedung WTC yang dibangun dengan
kokoh pasca serangan tersebut gedung Pentagon juga mengalami kerusakan yang
cukup parah. Serangan yang dilakukan oleh para teroris di gedung Pentagon
35
Gabriella Borter dan Barbara Goldberg, For families of some 9/11 victims new DNA tools
reopen old wounds, diakses pada 25 Juli 2019 dari https://www.reuters.com/article/us-usa-sept11-
dna/for-families-of-some-9-11-victims-new-dna-tools-reopen-old-wounds-idUSKCN1LQ15P
25
menyebabkan korban meninggal dunia sekitar 184 orang.36
AS mengalami kerugian secara ekonomi sekitar US$ 123 miliar, perkiraan
kerugian selama 2-4 minggu pasca runtuhnya menara WTC di New York.
Kerusakan situs WTC, termasuk kerusakan bangunan sekitarnya dan infrastruktur
kereta bawah tanah yang ditaksir mencapai US$ 40 miliar. Pembersihan di Ground
Zero (bekas reruntuhan menara WTC) resmi berakhir pada 30 Mei 2002. Total
pembersihan tersebut memakan biaya sekitar US$ 750 juta.37
Presiden Bush dengan cepat membentuk kabinet perang pada 11 September,
termasuk Wakil Presiden Dick Cheney, Penasihat Keamanan Nasional Condoleezza
Rice, Kepala Staf Andy Card, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, dan Sekretaris
Negara Colin Powell. Target utama intelijen militer AS adalah mengidentifikasi dan
mengatasi sumber serangan. Upaya langsung George Tenet, direktur Central
Intelligence Agency (CIA), berhasil mengidentifikasi Al Qaeda, organisasi teroris
Islam militan, dan pemimpinnya, Osama bin Laden.38
Taliban, rezim Islam ekstremis yang mengendalikan Afghanistan,
menawarkan tempat perlindungan bin Laden, dan al Qaeda melatih ribuan teroris di
kamp-kamp yang berlokasi di negara itu. Sebagai imbalan atas perlindungan, Osama
menggunakan kekayaan pribadi yang luas untuk mendukung Taliban. Para teroris
36
The Washington Post, Remembering the Pentagon Victim, diakses pada 25 Juli 2019 dari
http://www.washingtonpost.com/wp-srv/metro/specials/attacked/victims/viclist.html 37
Abdul Manan, Sejumlah Fakta Soal Peringatan Serangan 9/11, diakses pada 25 Juli 2019
dari https://dunia.tempo.co/read/512516/sejumlah-fakta-soal-peringatan-serangan-911/full&view=ok 38
Gaetano Joe Ilardi, “The 9/11 Attacks – A Study of Al Qaeda’s Use of Intelligence and
Counterintelligence”, Journal Studies in Conflict and Terrorism, Vol. 32. Diakses pada 25 Juli 2019
dari https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10576100802670803
26
telah melakukan serangan pada serangan 11 September. CIA telah dioperasikan untuk
secara diam-diam menetralisir Osama sebelum peristiwa 11 September, tetapi tidak
pernah dilaksanakan karena tidak dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan
nasional AS.
Tragedi 11 September 2001 merupakan titik balik bagi politik luar negeri AS
terhadap Dunia Islam.39
Politik luar negeri AS menjadi sarana ampuh untuk
melancarkan perang melawan terorisme. Dalam rangka menanggulangi terorisme
yang melanda AS, mantan Presiden George W. Bush kemudian membentuk
kebijakan “War on Terror” sebagai respons terkait peristiwa 11 September.
Kebijakan yang dibentuk oleh George W. Bush diharapkan dapat memberikan rasa
aman bagi warga negara AS serta melindungi keamanan nasional.
2.2. Kebijakan War on Terror
Serangan teroris 11 September segera dalam hitungan jam dipahami oleh
pemerintahan Bush sebagai tindakan perang; konsepsi alternatif adalah memahami
tindakan tersebut sebagai kejahatan internasional terhadap kemanusiaan. Pemahaman
sebelumnya secara logis mengarah pada respons yang dipahami sebagai perang
melawan terorisme. Presiden Bush menyatakan, bahwa serangan yang disengaja dan
39
Simon Jenkins, What impact did 9/11 have on the world?, diakses pada 25 Juli 2019 dari
https://www.theguardian.com/commentisfree/2011/sep/05/9-11-impact-world-al-qaida
27
mematikan yang dilakukan kemarin terhadap negara AS lebih dari sekadar aksi teror,
itu merupakan tindakan perang.40
Konsepsi perang terhadap terorisme (Global War on Terror) yang dikeluarkan
oleh Presiden AS saat itu, George Walker Bush, merupakan pernyataan AS untuk
memimpin perang global melawan terorisme. Bush tersebut mengungkapkan pada 20
September 2001 melalui pernyataannya, “Every nation in every region now has a
decision to make. Either you are with us, or you are with terrorists” yang selanjutnya
dikenal dengan Doktrin Bush.41
Sehingga, jika tragedi 11 September telah mengubah
wajah AS dengan menelan korban sekitar 3000 jiwa, maka pada 20 September 2001
telah mengubah wajah dunia, yaitu menggambarkan dunia yang terbelah dalam
sebuah pertarungan antara kekuatan baik dan jahat.
Dalam National Security Strategy of United States dinyatakan, bahwa AS
sedang berperang melawan teroris skala global. Musuh bukanlah rezim politik
tunggal atau orang atau agama atau ideologi. Musuhnya adalah terorisme yang
direncanakan sebelumnya, kekerasan bermotivasi politik yang dilakukan terhadap
orang yang tidak bersalah.42
Perang melawan terorisme memiliki dua elemen
tambahan. Pertama, ancaman yang akan datang, terkait dengan ancaman proliferasi
dan potensi penggunaan senjata pemusnah massal, mungkin meningkatkan ancaman
40 George W Bush, Remarks by the President in Photo Opportunity with the National
Security Team, diakses pada 25 Juli dari http://www.whitehouse.gov/news/releases/2001/09/20010912-
4.html. 41
Michael Byers, “Terrorism: The Use of Force and International Law After 11 September”,
International Relations Journal, Vol. 6, No. 2, Prentice Hall Inc., New York, 2002. 42
National Security Council, The National Security Strategy of the United States , The White
House, diakses pada 26 Juli 2019 dari http://www.whitehouse.gov/nsc/nssall.html.,
28
ke status darurat, mungkin darurat tertinggi di mana keberadaan masyarakat adalah
beresiko, dan kedua dalam hal perjuangan antara yang baik dan jahat.43
Presiden Bush menyatakan, bahwa bahaya paling buruk bagi kebebasan
terletak pada persimpangan radikalisme dan teknologi yang berbahaya. Ketika
penyebaran senjata kimia dan biologi dan nuklir, bersama dengan teknologi rudal
balistik - ketika itu terjadi, bahkan negara-negara yang lemah dan kelompok-
kelompok kecil dapat mencapai kekuatan bencana untuk menyerang negara-negara
besar. Musuh kita telah menyatakan niat ini, dan telah ketahuan mencari senjata
mengerikan ini. Mereka menginginkan kemampuan untuk memeras kami, atau
melukai kami, atau melukai teman-teman kami dan kami akan menentang mereka
dengan semua kekuatan kami.44
Menargetkan pembunuhan kepada warga sipil tak bersalah untuk di mana-
mana merupakan perbuatan salah. Kebrutalan terhadap wanita juga merupakan
perbuatan salah. Tidak ada netralitas antara keadilan dan kekejaman, antara yang
tidak bersalah dan yang bersalah. Kita berada dalam konflik antara kebaikan dan
kejahatan, dan AS akan menyebut kejahatan dengan namanya. Dalam menghadapi
rezim jahat dan tanpa hukum, kami tidak menciptakan masalah, kami
mengungkapkan masalah dan kita akan memimpin dunia dalam menentangnya.45
43
David Hastings Dunn, “Bush, 11 September and the Conflicting Strategies of the War on
Terrorism”, Irish Studies in International Affairs, Vol. 16, hlm. 13. 44
George W Bush, Remarks by the President at 2002 Graduation Exercise of the United States MilitaryAcademy West Point, The White House, diakses pada 26 Juli 2019 dari http://www.whitehouse.gov/news/releases/2002/06/20020601-3.html.,
45 George W Bush, Remarks by the President at 2002 Graduation Exercise of the United
States MilitaryAcademy West Point.
29
Kombinasi persepsi dan konsepsi ini mengarahkan pemerintahan Bush ke
sebuah doktrin strategis baru yang sentral bagi pelaksanaan perang melawan
terorisme, yaitu tindakan pre-emtif. Mengingat sifat ancaman yang tersembunyi dan
tidak dapat diprediksi, sarana keamanan utama, dan mungkin hanya nyata, adalah
untuk menghilangkan ancaman pada sumbernya sebelum dieksekusi. Preemption
diberikan legitimasi khusus ketika keterkaitan antara terorisme dan proliferasi senjata
pemusnah masal diakui.46
Strategi Keamanan Nasional AS era Presiden Bush menyatakan, bahwa
sejarah akan menghakimi dengan keras mereka yang melihat bahaya ini datang tetapi
gagal bertindak. Pada dunia baru yang telah AS masuki, satu-satunya jalan menuju
perdamaian dan keamanan adalah jalan aksi. Pemerintah akan membela negara,
rakyat, dan kepentingan AS di dalam dan luar negeri dengan mengidentifikasi dan
menghancurkan ancaman sebelum mencapai perbatasan.47
Walaupun Amerika Serikat akan terus berupaya untuk mendapatkan
dukungan dari komunitas internasional, AS tidak ragu untuk bertindak sendiri, jika
diperlukan. AS akan menggunakan hak untuk membela diri dengan bertindak secara
pre-emtif terhadap para teroris semacam itu dan untuk mencegah mereka melakukan
kerusakan terhadap orang-orang dan negara AS sendiri.48
46
“U.S. National Securiry Strategy: Prevent Our Enemies From Threatening Us, Our Allies,
and Our Friends with Weapons of Mass Destruction”, U.S. Department of State, diakses pada 26 Juli
2019 dari https://2001-2009.state.gov/r/pa/ei/wh/15425.htm 47
“U.S. National Securiry Strategy: Prevent Our Enemies From Threatening Us, Our Allies,
and Our Friends with Weapons of Mass Destruction”, U.S. Department of State 48
“U.S. National Securiry Strategy: Prevent Our Enemies From Threatening Us, Our Allies,
and Our Friends with Weapons of Mass Destruction”, U.S. Department of State
30
Tersirat dalam strategi ini, bahwa hubungan yang sangat penting, yaitu musuh
yang diumumkan tidak hanya teroris tetapi juga siapa saja, termasuk negara yang
membantu mereka. Presiden Bush mengartikulasikan prinsip ini pada 11 September
malam, bahwa AS tidak akan membuat perbedaan antara para teroris yang melakukan
tindakan-tindakan ini dan siapa pun yang menyembunyikannya.49
Doktrin Bush tentang pre-emtif dapat dipahami setidaknya dalam dua cara:
pertama, doktrin itu sendiri merupakan perubahan mendasar dalam kebijakan luar
negeri Amerika - sebuah gerakan mendalam dari tradisi isolasionis tanpa intervensi,
yang mungkin paling mudah ditangkap oleh dictum. Kedua, ekspresi lanjutan dari
keterkaitan implisit antara demokrasi Amerika dan imperialisme.50
Namun, Doktrin
Bush tidak berdiri sendiri; ini terkait dengan perubahan besar dalam filosofi
hubungan internasional. Pada satu tingkat, ini adalah pergeseran dari filosofi
penahanan perang dingin ke filosofi pre-emtif pasca-terorisme. Pada tingkat yang
lebih dalam, ini adalah bagian dari strategi global baru kepemimpinan global AS.
2.2.1. The USA Patriot Act
Pada 26 Oktober 2001, Presiden George W. Bush menandatangani USA
Patriot Act yang merupakan kependekan dari Uniting and Strengthening America by
Providing Appropriate Tools required to Intercept and Obstruct Terrorism Act.
49
George W. Bush, Statement by the President in His Address to the Nation, diakses pada 26
Juli 2019 dari http://www.whitehouse.gov/news/releases/2001/09/20010911-16.html 50
Cornel West Democracy Matters: Winning the Fight Against Imperialism, Penguin Press,
New York, 2004.
31
Patriot Act disahkan dengan tergesa-gesa dalam keadaan ketakutan, kemarahan,
paranoia, kebencian, dan reaksi emosi yang dapat dipahami setelah peristiwa 11
September. Kongres memberikan suara pada Undang-Undang tersebut ketika keadaan
masih mencekam dan menakutkan. Sebagian besar anggota Kongres dan Senator
kemudian mengakui tidak membaca Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut
sebelum memberikan suaranya.51
Undang-Undang Patriot disahkan dengan suara bulat oleh Senat, dengan
sedikit perlawanan oleh Dewan (The House), dan diselesaikan oleh komite gabungan
rahasia sebelum ditandatangani dengan cepat ke dalam Undang-Undang (UU) oleh
Gedung Putih, UU mengarah ke panggung kejahatan baru, hukuman baru, prosedur
baru, korban baru dan mungkin yang paling penting, pola pikir baru dalam cara polisi
melakukan serta berpikir dan, secara luas, setiap orang yang dengan cara apa pun
memiliki hubungan dengan Amerika Serikat.52
Undang-Undang tersebut melakukan serangan frontal oleh kelompok
konservatif, dan elemen-elemen neokonservatif di dalamnya, terhadap hak-hak sipil
dan kebebasan pada umumnya, dan di sisi lain, penerapan UU yang setara untuk dan
di antara orang Amerika, seperti yang dibuktikan sebagian besar jelas oleh
pemerintah yang tidak terukur dan semakin fanatik mempertanyakan, menangkap,
menahan dan mendeportasi orang-orang yang semata-mata berdasarkan ras, agama,
51
David Cole dan James X. Dempsey, Terrorism and the Constitution, The New Press, New
York, 2002, hlm. 151. 52
Edward C. Liu dan Charles Doyle, “Government Collection of Private Information:
Background and Issues Related to the USA PATRIOT Act Reautharization in Brief”, Congressional
Research Service, hlm. 4.
32
suku bangsa, atau asal kebangsaan mereka, yaitu mereka adalah orang Arab-Amerika
atau Muslim Amerika.53
Meskipun sejumlah ketentuannya tidak kontroversial, Undang-Undang tetap
menonjol terkesan radikal dalam desainnya. Sampai tingkat yang belum pernah
terjadi sebelumnya, UU tersebut mengorbankan kebebasan politik AS atas nama
keamanan nasional dan membalikkan nilai-nilai demokrasi yang mendefinisikan AS.
Undang-undang ini mengkonsolidasikan kekuatan baru yang luas di cabang eksekutif
pemerintahan dengan meningkatkan kemampuan eksekutif untuk melakukan
pengawasan dan mengumpulkan intelijen, menempatkan serangkaian alat baru yang
dapat digunakan untuk penuntutan, termasuk kejahatan baru, hukuman yang
ditingkatkan, dan statuta pembatasan yang lebih lama.
Sangat meresahkan bahwa pemerintah tidak hanya menggunakan
kekuasaannya yang baru secara terlalu liberal tetapi juga menutupi
penyalahgunaannya dengan menolak memberikan informasi yang tidak rahasia di
bawah Freedom of Information Act (FOIA), seperti siapa yang menjadi sasaran
interogasi dan siapa yang ditahan. Penolakan semacam itu mencegah siapa pun,
termasuk warga negara AS, media, hakim federal, dan bahkan anggota Kongres,
53
“Imbalance of Powers: How Changes to U.S. Law & Policy Since 9/11 Erode Human
Rights and Civil Liberties”, diakses pada 27 Juli 2019 dari
http://www.lchr.org/us_law/loss/imbalance/imbalance.htm.
33
untuk mengetahui secara obyektif apakah kekuatan baru Administrasi efektif, atau
meminjamkan diri mereka dengan mudah untuk disalahgunakan.54
Peningkatan kerahasiaan yang dipaksakan oleh pemerintah, membuatnya
semakin penting bahwa Kongres mencabut kekuasaan yang tidak beralasan dan tidak
perlu tidak memberikan peningkatan marjinal keamanan sipil tetapi yang jelas
mengancam hak-hak sipil dan kebebasan.55
Laporan internal yang disusun oleh kantor
inspektur jenderal di Departemen Kehakiman AS mengidentifikasi lusinan kasus
selama enam bulan pertama tahun 2003. Lebih dari seribu pengaduan yang diterima
terkait dengan Patriot Act di mana karyawan Departemen Kehakiman telah dituduh
secara serius melanggar hak-hak sipil dan kebebasan sipil orang Arab dan Muslim
sehubungan dengan penegakan UU tersebut.56
Laporan inspektur jenderal mencakup klaim yang dapat dipercaya bahwa
imigran Arab dan Muslim yang ditahan di pusat-pusat penahanan federal yang
dikelola oleh Biro Penjara telah dipukuli. Satu laporan mengutip kesalahan
penanganan dan pelecehan verbal dan fisik oleh personel Federal Bureau of
54
Brett Stohs, Protecting the Homeland by Exemption: Why the Critical Infrastructure
Information Act of 2002 will Degrade the Freedom of Information Act, diakses pada 27 Juli 2019 dari
https://scholarship.law.duke.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=&httpsredir=1&article=1059&context=dr 55
“ACLU Presses for Full Disclosure on Government’s New Snoop Powers,” diakses pada 27
Juli 2019 dari www.aclu.org/NationalSecurity/NationalSecuritylist.cfm?c=107 56
Philip Shenon, “Accusations of Abuse in Report on USA Patriot Act”, New York Times,
diakses pada 27 Juli 2019 dari https://www.nytimes.com/2003/07/21/us/report-on-us-antiterrorism-
law-alleges-violations-of-civil
rights.html?mtrref=www.google.com&gwh=961C6693A54F3DE5AE4C633E1040C33A&gwt=pay
34
Investigation, the Drug Enforcement Administration and the erstwhile Immigration
and Naturalization Service.57
Laporan lain menemukan bahwa ratusan orang yang keluar dari status hukum
telah dianiaya setelah mereka ditahan setelah 11 September 2001. Seperti yang akan
terjadi pada mereka dalam tahanan rezim totaliter, banyak tahanan di penjara
Departemen Kehakiman mendekam dalam kondisi sangat sulit selama berbulan-
bulan. Sebagian karena pemerintah telah melakukan sedikit upaya untuk
membedakan tersangka teroris yang sah dari yang lain dijemput dalam kumpulan
orang-orang "secara teknis" dari status hukum. Laporan inspektur jenderal tidak
menarik kesimpulan luas tentang tingkat pelanggaran oleh karyawan Departemen
Kehakiman, meskipun laporan tersebut menunjukkan bahwa staf yang relatif kecil
dari kantor inspektur jenderal telah kewalahan oleh tuduhan pelecehan.58
Laporan lain menemukan bahwa ratusan orang yang keluar dari status hukum
telah dianiaya setelah mereka ditahan setelah 11 September 2001. Seperti yang
terjadi pada mereka dalam tahanan rezim totaliter, banyak tahanan di
penjaraDepartemen Kehakiman mendekam dalam kondisi yang sangat sulit selama
berbulan-bulan karena pemerintah telah melakukan sedikit upaya untuk membedakan
tersangka teroris yang sah dari yang lain. Laporan Inspektur Jenderal tidak menarik
kesimpulan luas tentang tingkat pelanggaran oleh karyawan Departemen Kehakiman,
57
“Report to Congress on Implementation of Section 1001 of the USA Patriot Act”, diakses
pada 27 Juli dari http://www.usdoj.gov/oig/special/03-07/. 58
Report to Congress on Implementation of Section 1001 of the USA Patriot Act
35
meskipun laporan tersebut menunjukkan bahwa staf yang relatif kecil dari kantor
inspektur jenderal telah kewalahan oleh tuduhan pelecehan.59
2.2.2. Homeland Security Act
Kebijakan Homeland Security Act juga merupakan serangkaian dari
penerapan kebijakan Global War on Terror seperti the USA patriot Act yang
dibentuk pada tahun 2001. Homeland Security Act atau undang-undang keamanan
Negara tahun 2002 untuk pertama kalinya secara resmi diperkenalkan kepada publik
Amerika Serikat pada tanggal 25 November 2002, dan didukung oleh 118 anggota
kongres dan ditandatangani oleh Presiden George W. Bush.60
Undang-undang ini dibentuk karena adanya kekhawatiran terhadap
keamanan dalam negeri Amerika Serikat pasca adanya serangan teroris terhadap
gedung World Trade Center yang menyebabkan hampir lebih dari 3000 orang
meninggal dan adanya serangkaian pengiriman paket yang mencurigakan dan
menimbulkan keresahan dalam masyarakat terhadap keamanan dalam negeri
Amerika Serikat.
Setelah disahkannya kebijakan Homeland Security Act, kemudian
dibentuklah departemen baru lengkap dengan jabatan menteri baru dalam kabinet
Amerika Serikat, yaitu United States Departement of Homeland Security dan
Secretary of Homeland Security. Tugas utama dari departemen tersebut adalah untuk
59
Report to Congress on Implementation of Section 1001 of the USA Patriot Act 60
Congress, Homeland Security Act of 2002, diakses pada 28 Juli 2019 dari
https://www.congress.gov/bill/107th-congress/house-bill/5005
36
mencegah terjadinya kembali serangan terorisme di AS, mengurangi dampak
kerusakan yang ditimbulkan dari adanya serangan terorisme serta memulihkan
kembali kondisi Amerika Serikat baik kondisi psikologis warga negaranya maupun
kondisi Amerika Serikat itu sendiri sebagai negara superpower.61
Homeland Security Act 2002 juga dianggap seperti The USA Patriot Act
2001 sebagai kebijakan yang kontroversional karena dalam penerapannya, kebijakan
tersebut sama-sama memberikan diskriminasi terhadap minoritas muslim di
Amerika Serikat serta mencengkram kebebasan individu serta membatasi gerak
masyarakat muslim baik muslim yang berada di negara-negara mayoritas muslim
maupun muslim yang berada di Amerika Serikat itu sendiri dalam menjalankan
kehidupan mereka.
Walaupun sebenarnya pembentukan kebijakan tersebut dimaksudkan untuk
melindungi warga negaranya serta melindungi keamanan nasional. Menurut Henry
Kissinger yang merupakan mantan menteri luar negeri Amerika Serikat menyatakan
bahwa National Interest suatu negara tidak bisa ditawar-tawar lagi posisinya, kita
bisa memahami bahwa Homeland Security Act tahun 2002 merupakan implementasi
dari keinginan Amerika Serikat untuk melawan terorisme global.62
Misi utama dari Homeland Security Act adalah untuk mencegah serangan
teroris di Amerika Serikat, mengurangi kerentanan Amerika Serikat terhadap
61
Congress, Homeland Security Act of 2002. 62
Steven E. Miller, After the 9/11 Disaster: Washington’s Struggle to Improve Homeland
Security, diakses pada 28 Juli 2019 dari https://www.belfercenter.org/publication/after-911-disaster-
washingtons-struggle-improve-homeland-security
37
terorisme, dan meminimalkan kerusakan dan membantu dalam pemulihan terkait
serangan teroris yang terjadi di AS. Homeland Security Act memberikan wewenang
kepada Menteri Keamanan Dalam Negeri untuk mengarahkan dan mengendalikan
investigasi yang memerlukan akses ke informasi yang diperlukan dalam rangka
menyelidiki dan mencegah terorisme.63
Otoritas ini dapat diartikan untuk memasukkan permintaan untuk Protected
Health Information (PHI) dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari pasien atau
wali hukum. Lebih lanjut dinyatakan bahwa PHI dilindungi dari pengungkapan yang
tidak sah dan akan ditangani dan digunakan hanya untuk pelaksanaan tugas resmi.
Oleh karena itu, pengungkapan kembali akan dibatasi untuk mereka yang perlu
mengetahui informasi untuk melakukan pekerjaan mereka, yang kompatibel dengan
aturan privasi Health Insurance Portability and Accountability Act (HIPAA).
63
Congress, Homeland Security Act of 2002.
38
BAB III
KEBIJAKAN KONTRATERORISME AMERIKA SERIKAT DI
AFGHANISTAN PERIODE PEMERINTAHAN OBAMA DAN
TRUMP
3.1. Kebijakan Kontraterorisme Periode Kedua Barack Obama di Afghanistan
3.1.1. Pergerakan Amerika Serikat Melawan Terorisme
Pada awal Mei 2012, saat peringatan 1 tahun kematian Osama bin Laden,
Presiden Barack Obama melakukan kunjungan mendadak ke Afghanistan untuk
menandatangani Bilateral Security Agreement (BSA) dengan Presiden Hamid Karzai
yang didirikan untuk mengatur hubungan Afghanistan-Amerika Serikat setelah
kepergian bertahap pasukan Amerika tahun 2014. Obama mengatakan dalam
wawancara salah satu televisi AS bahwa satu tahun yang lalu, dari sebuah pangkalan
di Afghanistan, pasukan AS meluncurkan operasi yang menewaskan Osama bin
Laden. Fokus Obama adalah untuk mengalahkan al-Qaeda, dan menghancurkan
segala kesempatan untuk membangun kembali jaringannya.64
Obama telah menekankan penarikan 33.000 tentara pada September 2014,
meninggalkan sekitar 68.000 tentara AS di sana bergabung dengan hampir 100.000
tentara NATO. Penekanan ini dilakukan untuk menstabilkan kebutuhan Afghanistan,
64
Mark Landler, Obama Signs Pact in Kabul, Turning Page in Afghan War. The New York
Times, diakses pada 1 Mei 2019 dari http://www.nytimes.com/2012/05/02/world/ asia/obama-lands-in-
kabul-on-unannounced-visit.html.
39
mengalahkan Taliban dan Al Qaeda, membuat kerjasama jangka panjang antara
kedua negara, dan untuk meletakkan dasar bagi Afghanistan untuk mencapai dua
misi keamanan, kontraterorisme dan pelatihan lanjutan.
Pada masa pemerintahan Presiden Obama, Afghanistan telah menjadi
prioritas utama militer dalam perang melawan al-Qaeda. Jumlah pasukan telah
meningkat, dan pemberontakan dan pembangunan bangsa telah menjadi strategi inti
awal. Tujuan utama Obama adalah untuk mempromosikan tata pemerintahan yang
baik dan legitimasi di mata populasi lokal.65
Kebijakan Obama berkaitan dengan penyangkalan tempat berlindung teroris
dengan melatih pasukan keamanan lokal untuk memegang wilayah sehingga teroris
tidak bisa kembali. Selain itu, juga membangun infrastruktur dan menghilangkan
korupsi politik, sehingga memenangkan hati dan pikiran masyarakat, adalah bagian
penting dari rencana awal. Pemerintah daerah harus memimpin strategi jangka
panjang, karena mereka memiliki lebih banyak legitimasi dan akrab dengan bahasa,
budaya, geografi, sejarah, dan peta politiknya.66
Daniel Benjamin dari Biro Kontraterorisme Departemen Luar Negeri AS,
dalam kesaksian di depan Sub-komite Urusan Luar Negeri Badan Legislatif tentang
Terorisme, Nonproliferasi, dan Perdagangan, menegaskan bahwa apa yang penting
bagi strategi kontraterorisme adalah membangun kapasitas mitra untuk membantu
negara mengembangkan penegakan hukum dan lembaga hukum mereka sendiri
65
Robert P Watson, The Obama Presidency. A Preliminary Assessment, New York, Sunny
Press, 2012, hlm. 266– 295. 66
Robert P Watson, The Obama Presidency. A Preliminary Assessment
40
sehingga dapat melakukan pekerjaan yang lebih baik dengan menangkap, menuntut,
dan memenjarakan teroris.67
Pemerintahan Obama mempersempit tujuannya di Afghanistan sampai
akhirnya dapat menyimpulkan bahwa AS telah mencapai tujuan terbatas dalam
perang yang tidak dapat dimenangkan. Setelah pemindahan 33.000 pasukan
tambahan yang awalnya diperintahkan Presiden Obama untuk menghancurkan
Taliban, pemerintah menyatakan bahwa pasukan tersebut telah menyelesaikan
misinya. Ini membalikkan momentum di medan perang dan secara dramatis
meningkatkan ukuran dan kemampuan Afghan National Security Force (ANSF)
asli, dan bagi Obama, ini dianggap sebagai tonggak penting bagi AS dalam
mencapai tujuannya di sana.
Apa yang tidak ingin dibicarakan pemerintah sebagai akibat dari
mempersempit tujuannya adalah menyerah pada banyak tujuan yang telah
dijanjikan Obama kepada Afghanistan: menjamin bahwa anak perempuan akan
pergi ke sekolah, mendapatkan pendidikan penuh, dan dilindungi dari intervensi apa
pun oleh Taliban; mengamankan semua wilayah dan provinsi negara, bukan hanya
daerah perkotaan utama seperti Kabul; dan merekonstruksi infrastruktur negara dan
seluruh sistem peradilan pemerintah untuk menghilangkan kecurangan dalam proses
tersebut. Sarah Chayes, mantan Asisten Khusus Ketua Kepala Staf Gabungan dari
2010 hingga 2011, menjelaskan bahwa AS tidak memiliki kebijakan apa pun untuk
67
Daniel Benjamin, Assessment of the U.S. Department of State’s Counterterrorism Strategy,
diakses pada 1 Mei 2019 pada http://london.usembassy. gov/terror031.html.
41
berhadapan dengan korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah
Afghanistan.68
Menurut Special Inspector General for Afghanistan Reconstruction (SIGAR),
dari tahun 2002 hingga 2013, pemerintah AS mengalokasikan $ 104 miliar untuk
upaya rekonstruksi Afghanistan. Sekitar $ 7 miliar dari $ 10,6 miliar dalam
pengeluaran untuk 2012-2013 diidentifikasi sebagai sampah, termasuk sekolah yang
jatuh, klinik yang tidak memiliki dokter, dan jalan yang berantakan. Ia menambahkan
bahwa temuan tersebut menggambarkan bahwa pemerintah AS menghabiskan banyak
uang terlalu cepat di negara terlalu kecil dengan pengawasan yang longgar.69
Robert Gates, mantan Sekretaris Pertahanan dalam pemerintahan Obama,
dalam tulisannya mempertanyakan komitmen Presiden Obama terhadap kebijakan
perang Afghanistannya, mengkritik bagaimana perhitungan politik memengaruhi
keputusan keamanan nasional, dan mengeluhkan ketidakpercayaan presiden terhadap
komando militer. Selama pertemuan Maret 2011, Obama menyarankan bahwa ia
mungkin sedang dipermainkan oleh militer. Menurut Gates, Obama tidak percaya
pada komandannya Jenderal David Petraeus, tidak tahan dengan Presiden
Afghanistan Hamid Karzai, dan tidak percaya pada strateginya sendiri. 70
Perang AS melawan al-Qaida menjadi perang melawan Taliban dan Pashtun,
suku-suku yang tinggal di Afghanistan dan Pakistan berhasil melawan musuh asing
68
Sarah Chayes, Robert Gates Failure of Duty, Los Angeles Times, diakses pada 1 Mei 2019
dari https://www.latimes.com/opinion/op-ed/la-oe-chayes-gates-book-20140112-story.html. 69
John Sopko, Report of Special Inspector General for Afghanistan Reconstruction, diakses
pada 1 Mei 2019 dari http://www.sigar.mil/pdf/quarterlyreports/2014-07-30qr.pdf. 70
Robert M. Gates, Duty: Memoirs of a Secretary of War, New York, Alfred A. Knopf, 2014.
42
selama beberapa abad. Tidak ada yang pernah secara efektif mengalahkan Pashtun
termasuk Inggris, Soviet, atau sekarang, Amerika. Pesan Presiden Obama kepada
warga Afghanistan adalah Washington tidak akan meninggalkan mereka seperti
sebelumnya setelah Soviet dikalahkan, meskipun pemberontakan yang dipimpin
Taliban dan afiliasinya Al-Qaeda menghadirkan tantangan jangka panjang.
Namun, kehadiran dan pengeluaran militer AS dan NATO menurun, akan ada
dampak langsung pada perekonomian Afganistan.. Masih sangat dipertanyakan
apakah pemerintah Afghanistan akan dapat mempertahankannya sendiri mengingat
berkurangnya dukungan Amerika, terutama karena pakta strategis tidak mengandung
komitmen dolar AS. Oleh karena itu, apa yang diperlukan adalah pengalokasian dana
tahunan dan otorisasi pendanaan dari Kongres AS.
Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa jumlah warga sipil yang
terbunuh atau terluka naik 23% pada tahun 2014 untuk mencapai tingkat tertinggi
dalam 5 tahun menjadi 10.548 korban sipil yang terdokumentasi, termasuk 3699
orang tewas dan 6849 orang yang terluka. Setelah 13 tahun perang yang menewaskan
lebih dari 30.000 jiwa, lebih dari dua pertiga dari mereka adalah warga sipil, dan
hampir $ 1 triliun dihabiskan untuk upaya yang tidak berhasil mengalahkan Taliban
dan al-Qaeda.71
Kontribusi tahunan dari AS ke ANSF setelah transisi sebesar $ 4 - $ 6 miliar,
tidak ada dukungan politik yang kuat di Kongres untuk memberikan bantuan militer
71
Rahim Faiez, Civilian Casualties in Afghanistan Topped 10,000 in 2014, diakses pada 3
Mei 2019 pada http://www.unama.unmissions.org.
43
Afghanistan pada tingkat berkelanjutan yang sangat penting untuk kelangsungannya.
Selain itu, $ 2 - $ 3 miliar diperlukan untuk bantuan ekonomi ke Afghanistan setiap
tahun, serta pemeliharaan untuk kehadiran penasihat dari AS, yang membutuhkan
biaya $ 8 - $ 12 miliar setahun. Komitmen ini masih jauh lebih kecil dari anggaran
100.000 lebih pasukan AS dan lebih dari $ 100 miliar dihabiskan pada 2011. Namun,
dukungan publik Amerika untuk misi militer Afghanistan telah terkikis dari lebih dari
70% pada Oktober 2001 menjadi kurang dari 50% pada akhir 2014.72
3.1.2. Penarikan Pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan
Perkiraan Intelijen Nasional AS, yang mencakup masukan dari 16 badan
intelijen negara, dilaporkan kepada Presiden Obama tahun 2013 dan mewakili
pertama kalinya komunitas intelijen yang secara resmi memperingatkan bahwa
pemerintah Afghanistan dapat menghadapi lebih serius serangan di Kabul dari
Taliban yang bangkit kembali dalam beberapa bulan setelah penarikan pasukan AS.
Laporan tersebut memprediksi bahwa Afghanistan akan mengalami kekacauan
dengan cepat jika Washington dan Kabul tidak menandatangani pakta keamanan yang
akan memastikan kehadiran militer internasional setelah 2014.73
72
Andrew Tilghman, “Afghanistan War officially ends,” Military Times, diakses pada 3 Mei
2019 pada http://www.militarytimes.com/story/military/pentagon/2014/12/29/afghanistan-war-
officially-ends/21004589/. 73
Ernesto Londono, Karen DeYoung dan Greg Miller, Afghanistan Gains will be Lost
Quickly After Drawdown, Washington Post, diakses pada 6 Mei 2019 dari.
http://www.washingtonpost.com/world/national security/afghanistan-gains-will-be-lost-quickly-after-
drawdownus-intelligence-estimate-warns/2013/12/28/ac609f90-6f32-11e3-aecc
85cb037b7236_story.html.
44
Penilaian intelijen juga menyimpulkan bahwa kondisi keamanan akan
memburuk terlepas dari apakah AS tetap mempertahankan pasukan Afganistan.
Komandan pasukan sekutu di Afghanistan, Korps Marinir Jenderal Joseph Dunford,
merekomendasikan menjaga 12.000 tentara di negara itu dengan AS menyumbang
8000 pasukan dan negara-negara sekutu lainnya memberikan kontribusi 4000
pasukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sekitar seperenam dari pasukan,
1800-2000 pasukan operasi khusus, akan secara eksklusif dicadangkan untuk operasi
kontraterorisme. Sisanya akan mendukung, melatih, dan memberi nasihat kepada
komandan Afghanistan dan melindungi fasilitas Amerika, termasuk yang ada di
Afghanistan timur yang merupakan basis drone dan nuklir.
Terdapat beberapa macam tanggapan di antara pejabat keamanan nasional
pemerintahan Obama terkait usulan Jenderal Dunford. Ada mereka yang bersedia
menerima usulan untuk menarik semua pasukan pada akhir 2014. Jika itu terjadi,
pangkalan drone CIA di negara itu harus ditutup karena mereka tidak dapat lagi
secara efektif dilindungi menurut pejabat pemerintahan. Susan Rice, penasihat
Keamanan Nasional Obama, lebih condong ke arah pendekatan Dunford.74
Bahkan sebelum pemilihan putaran kedua untuk menentukan pengganti
Presiden Karzai, Presiden Obama mengumumkan bahwa AS akan berusaha untuk
menjaga 9800 pasukan di Afghanistan pada tahun 2014. Keputusannya pada dasarnya
menegaskan kembali posisi yang diambil oleh komandan militer AS dan bergantung
74
Ernesto Londono, Karen DeYoung dan Greg Miller, Afghanistan Gains will be Lost
Quickly After Drawdown
45
pada Pemerintah Afghanistan menandatangani BSA setelah hasil pemilu ditentukan.
Strategi presiden adalah memaksa pemerintah Afghanistan untuk memikul tanggung
jawab penuh atas keamanannya sendiri setelah AS secara nyata mengurangi
kehadiran militernya di sana.
Selama tahun 2015, jumlah pasukan harus dikurangi setengahnya dan
kemudian dikonsolidasikan di ibukota Kabul dan di Lapangan Terbang Bagram,
pangkalan utama di Afghanistan. Sebagian besar pasukan yang tersisa akan ditarik
pada akhir 2016, meninggalkan kelompok kontingensi sekitar 1000 untuk staf kantor
keamanan di Kabul. Sebelum pengumumannya, Presiden Obama membahas
rencananya dan menerima dukungan dari para pemimpin Jerman, Inggris, dan Italia.
Sebuah batu sandungan bagi kelanjutan kehadiran militer AS di Afghanistan
adalah penolakan Presiden Karzai untuk menandatangani Perjanjian Keamanan
Bilateral yang telah dinegosiasikan kedua pihak untuk mengesahkan kehadiran
pasukan AS di Afghanistan. Dia membandingkan pakta dengan Perjanjian
Gandamak, perjanjian sepihak yang menyimpulkan pada tahun 1879 bahwa
menyerahkan tanah perbatasan kepada Pemerintahan Inggris di India dan
memberikannya kontrol diam-diam atas kebijakan luar negeri Afghanistan.
Tuan Karzai dengan teguh berpendapat bahwa ia tidak akan menandatangani
perjanjian kecuali Amerika membantu membawa Taliban ke meja perundingan untuk
pembicaraan damai. Dukungan untuk upaya perang di Kongres telah memburuk pada
awal masa jabatan kedua Obama. Satu hari setelah sumpah resmi Ashraf Ghani,
presiden terpilih kedua Afghanistan dalam sejarahnya, BSA ditandatangani, yang
46
kemudian menjawab setiap spekulasi tentang kelanjutan kehadiran Amerika dan
Pasukan NATO di Afghanistan setelah misi tempur internasional berakhir pada 2014.
75
Sekretaris Pertahanan pemerintahan Obama, Chuck Hagel, pada Desember
2014, mengumumkan bahwa sebanyak 1000 pasukan tambahan akan disimpan di
Afghanistan hingga awal 2015 untuk menjaga negara, termasuk lapangan terbang
Kandahar. Mulai 1 Januari 2015, pasukan residu dari 13.500 anggota, yang mana
11.000 berasal dari AS, akan dikhususkan untuk melatih dan mendukung 350.000
pasukan keamanan Afghanistan meskipun ada kekhawatiran terkait dengan dukungan
udara yang memadai, sistem evakuasi medis, dan intelijen. Strategi Obama adalah
untuk mengalihkan tanggung jawab pertahanan dan keamanan kepada pemerintah
Afghanistan dan untuk menjalin kemitraan yang berfokus pada penargetan teroris
sambil mendukung struktur pemerintahan Afghanistan yang berdaulat.76
3.1.3. Lahirnnya Operasi Sentinel Freedom
Pada upacara formal di Kabul yang menandai transisi pertempuran dari
pasukan tempur pimpinan AS ke pasukan keamanan Afghanistan pada akhir 2014,
Jenderal AS John Campbell, komandan International Security Assistance Force
(ISAF), memperingati terbunuhnya 3500 tentara internasional dan 2224 tentara
75
Stephen Biddle, Ending the War in Afghanistan. Foreign Affairs, diakses pada 6 Mei 2019
dari https://www.foreignaffairs.com/articles/afghanistan/2013-08-12/ending-war-afghanistan. 76
Stephen Biddle, Ending the War in Afghanistan. Foreign Affairs.
47
Amerika terbunuh dalam pertempuran di Afghanistan. Operasi Enduring Freedom
menjadi Operasi Sentinel Freedom pada 2015 di mana Pemerintahan Obama
mempertimbangkan misi kontraterorisme dua cabang yang baru. Misi itu melibatkan
pelatihan, memberi nasihat, membantu tentara Afghanistan, dan terus melancarkan
operasi kontraterorisme melawan sisa-sisa Al Qaeda untuk memastikan bahwa
Afghanistan tidak pernah lagi digunakan untuk melancarkan serangan terhadap.77
Sepanjang 2013 dan 2014, pejabat Departemen Pertahanan secara konsisten
memperingatkan bahwa militer Afghanistan mengizinkan Taliban untuk mendapatkan
kembali kekuatan di daerah-daerah kritis di negara itu. Kematian warga sipil, yang
telah menurun pada 2012, naik ke level tertinggi sepanjang masa pada akhir 2014,
dan jumlah orang terlantar di Afghanistan hampir dua kali lipat dari 352.000 pada
2010 menjadi lebih dari 630.000 pada 2013. Selain itu, pada akhir 2014, ekonomi
Afghanistan lumpuh karena pengangguran yang merajalela, kekurangan pendapatan
yang besar, pelarian modal, perluasan penanaman dan perdagangan opium ilegal,
penyelundupan endemik, dan berkurangnya investasi asing, termasuk pengurangan
bantuan yang diberikan oleh AS dan sekutunya NATO.
Sementara 327.000 anggota Pasukan Keamanan Nasional Afghanistan untuk
tampil lebih efektif, masih membutuhkan pekerjaan besar. Pasukan Afghanistan
menderita sejumlah masalah: gesekan, penyalahgunaan obat-obatan, buta huruf,
77
U.S. NATO mark end of 13 year war in Afghanistan, Military Times, diakses pada 8 Mei
2019 dari https://www.militarytimes.com/news/your-military/2014/12/28/u-s-nato-mark-end-of-13-
year-war-in-afghanistan/
48
kurangnya keterampilan manajemen dan logistik, kapasitas intelijen yang buruk, dan
kurang optimalnya kerja sama antara polisi dan militer. Investasi sebesar $ 60 miliar
hanya berkaitan dengan pasukan Afghanistan, yaitu untuk membangun, melatih, dan
mempertahankan mereka. Pada kunjungan resminya yang pertama ke AS, Presiden
Ghani, dalam pidatonya di Kongres, mengakui bahwa masih banyak pekerjaan untuk
memastikan keamanan negaranya dan penting bagi AS untuk melanjutkan
kehadirannya untuk memastikan bahwa Pasukan Keamanan Nasional Afghanistan
jauh lebih terlatih.78
Melakukan serangan terhadap teroris dengan membunuh atau menangkap
target yang bekerja dengan pasukan Afghanistan di daerah-daerah yang dikuasai
Taliban serta menggunakan kendaraan udara tak berawak untuk melakukan intelijen,
pengawasan, dan bantuan rekaman semuanya penting untuk pendekatan yang
diarahkan ini. Pasukan AS masih mengambil peran utama dalam serangan
kontraterorisme dan tidak hanya sebagai penasihat dalam beberapa operasi musim
dingin 2015.
Jenderal Campbell muncul di hadapan Komite Angkatan Bersenjata Senat
untuk mengadvokasi fleksibilitas yang lebih besar dalam seberapa cepat dia menarik
pasukan keluar dari Afghanistan dan di mana dia bisa menempatkan mereka di negara
itu dalam beberapa bulan mendatang. Pasukan akan secara efektif dipekerjakan untuk
78
Afghan President Ashraf Ghani addresses U.S. Congress, diakses pada 8 Mei 2019 dari
https://rs.nato.int/news-center/transcripts/afghan-president-ashraf-ghani-addresses-us-congress.aspx
49
melatih pasukan Afghanistan dan memberikan dukungan untuk lebih banyak misi
kontraterorisme.
Setelah dilantik sebagai Menteri Pertahanan AS, Ash Carter, dalam perjalanan
pertamanya ke Afghanistan pada Februari 2015, mengindikasikan bahwa Presiden
Obama memikirkan kembali langkah penarikan pasukan untuk tahun 2015 dan 2016
dan mengevaluasi kembali rincian misi kontraterorisme AS di Afghanistan.79
Presiden Ghani secara pribadi meminta perlambatan penghapusan kehadiran militer
AS di negaranya. Dia menginginkan lebih banyak fleksibilitas dalam penarikan
pasukan oleh pemerintahan Obama. Pemerintahan Ghani dan Ketua Eksekutif
Abdullah Abdullah menawarkan harapan baru untuk kemitraan yang jauh lebih
efektif dalam menstabilkan Afghanistan, namun terdapat banyak pertengkaran di
antara mereka
Pada kunjungan pertama Presiden Ghani ke Gedung Putih Maret 2015. Ghani
telah meminta pemerintahan Obama untuk memperlambat penarikan karena pasukan
keamanan Afghanistan bersiap menghadapi musim pertempuran musim semi yang
sulit. Dia menekankan bahwa kepergian 120.000 pasukan internasional tidak
membawa celah keamanan atau keruntuhan militer Afghanistan dan pasukan
keamanan yang sering diprediksi akan terjadi, terlepas dari kenyataan bahwa lebih
dari 2000 tentara Afghanistan, polisi, dan pejuang pro-pemerintah terbunuh dari
79
Joint Press Conference with Secretary Carter and President Ghani at Presidential Palace in
Kabul Afghanistan, U. S. Department of Defense, diakses pada 9 Mei 2019 dari
https://dod.defense.gov/News/Transcripts/Transcript-View/Article/607015/joint-press-conference-
with-secretary-carter-and-president-ghani-at-presidentia/
50
Januari hingga Juni 2015, lebih dari jumlah total tentara AS yang terbunuh sejak
invasi tahun 2001 pasca 9/11 oleh AS. 80
Sangat menarik untuk dicatat bahwa terlepas dari kenyataan bahwa Presiden
Obama berulang kali menggambarkan perang di Afghanistan berakhir dalam
pidatonya di depan umum, pesawat tak berawak dan pesawat tempur Amerika terus
menembakkan senjata ke gerilyawan yang beroperasi di dekat perbatasan, termasuk
mereka yang mendukung Islamic State of Iraq and Levant (ISIL). Seorang tahanan,
Muktar Yahya Najee al-Warafi, seorang Yaman yang dituduh sebagai pejuang
Taliban yang ditangkap oleh Aliansi Utara dan ditahan di Guantanamo sejak 2002,
membawa gugatan terhadap Presiden Obama dengan alasan bahwa ia tidak bisa lagi
ditahan oleh AS.
Sejak Obama menyatakan konflik bersenjata berakhir. Posisi hukum Warafi
adalah bahwa otoritas penahanan yang dimasukkan sebagai bagian dari Authorization
for Use of Military Force (AUMF) hanya diperpanjang sampai akhir konflik
bersenjata antara AS dan Taliban, dan tidak sampai akhir semua permusuhan,
sebagaimana didalilkan oleh pemerintahan Obama. Hakim Royce Lamberth dari
Pengadilan Distrik Federal untuk Distrik Columbia memutuskan bahwa akan terus
terjadi pertempuran antara AS dan Taliban, dan oleh karena itu, pemerintah memiliki
80
Remarks by President Obama and President Ghani of Afhanistan in Joint Press
Conference, diakses pada 9 Mei 2019 dari https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-
office/2015/03/24/remarks-president-obama-and-president-ghani-afghanistan-joint-press-conf
51
otoritas hukum untuk menahan pejuang musuh dan mencegah mereka kembali ke
pertempuran.81
3.2. Kebijakan Kontraterorisme Donald Trump di Afghanistan
3.2.1. Kepemimpinan Amerika Serikat dalam Kancah Internasional
Donald Trump dapat memenangkan kursi presiden salah satunya karena
pidato yang menyatakan bahwa AS telah menyebarkan kekuatannya dengan
melibatkan begitu banyak wilayah di seluruh dunia, sehingga sudah saatnya ia lebih
berfokus pada aspek dalam negeri. Pendekatannya adalah pendekatan isolasionis,
tetapi bukan pendekatan yang akan merusak pandangan keistimewaan negara. Hal ini
paling terlihat dalam wacananya terhadap NATO dimana Trump menawarkan
program berbeda dari sebelumnya yang tidak konvensional," Come Home,
America”.82
Beberapa hari sebelum pelantikannya, Donald Trump menggambarkan NATO
sebagai sesuatu yang usang,83
yang kemudian menghasilkan perdebatan tentang
posisi masa depan AS di dalam Aliansi, serta kekhawatiran di antara sekutu Eropa
mengenai apa yang akan dibantu AS di masa depan. Klaimnya bahwa NATO sudah
usang gagal untuk memperhatikan cara di mana NATO telah mengadaptasi instrumen
81
Royce C. Lamberth, Al Warafi v. Obama, diakses pada 9 Mei 2019 dari
https://casetext.com/case/mukhtar-yahia-naji-al-warafi-v-obama 82
Stephen Sestanovich, “The Brilliant Incoherence of Trump’s Foreign Policy”, The Atlantic,
diakses pada 12 Mei 2019 dari https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2017/05/thebrilliant-
incoherence-of-trumps-foreign-policy/521430/ 83
James Masters dan Katie Hunt, “Trump rattles NATO with 'obsolete' blast”, CNN Politics,
diakses pada 12 Mei 2019 dari https://edition.cnn.com/2017/01/16/politics/donaldtrump-times-bild-
interview-takeaways/index.html
52
dan kebijakannya untuk menanggapi ancaman yang paling beragam, dari terorisme
(pasca 11 September) hingga pertahanan dunia maya dan media sosial.84
Pandangan Trump tentang NATO juga sebelumnya telah diungkapkan
sebelum menerima pencalonannya menjadi calon presiden, ketika ia mengklaim
bahwa bantuan ASdalam NATO mungkin dikondisikan oleh sekutu NATO yang
mematuhi komitmen mereka kepada AS. Terlepas dari kekuatan pasal V Perjanjian
Washington dan fakta bahwa tidak ada pengaruh finansial pada partisipasi dan
dukungan yang diterima dalam NATO, Trump melangkah lebih jauh dan menyatakan
bahwa dukungan NATO di masa depan bergantung pada kemauan negara-negara
anggota membayar lebih untuk mendapatkan perlindungan Amerika.85
Tema terkait "Hutang NATO" juga dibahas dalam pertemuan pertama Trump
dengan sekutu Eropa yaitu Inggris dan Jerman. Trump mengatakan bahwa banyak
negara berhutang uang dalam jumlah besar dari tahun-tahun terakhir, dan itu sangat
tidak adil bagi Amerika Serikat, negara-negara tersebut harus membayar apa yang
harus mereka bayar.86
Dia gagal melihat inti dari aliansi, Pasal V Perjanjian
Washington terkait komitmen pertahanan timbal balik, yang melampaui aspek
keuangan. Perspektif Trump adalah bahwa sekutu AS harus membantu dengan
84
Stanley R. Sloan, “Policy Series: Donald Trump and NATO: Historic Alliance Meets
Ahistoric President”, The International Security Studies Forum, diakses pada 12 Mei 2019 dari
https://issforum.org/roundtables/policy/1-5am-nato 85
Joyce P. Kaufman, ”The US perspective on NATO under Trump: lessons of the past and
prospects for the future”, International Affairs, 2017, hlm. 263. 86
Stanley R. Sloan, “Policy Series: Donald Trump and NATO: Historic Alliance Meets
Ahistoric President”, The International Security Studies Forum, diakses pada 12 Mei 2019 dari
https://issforum.org/roundtables/policy/1-5am-nato
53
bertindak menuju penyelesaian konflik di wilayah mereka sendiri dan dengan
demikian memastikan bahwa AS terbebas dari beban intervensi.
Kebijakan "America First" dikenalkan oleh Trump dalam pidato
pengukuhannya - Trump melaju menuju kemenangan sebagai kandidat yang berjanji
untuk melakukan lebih banyak daripada Obama. Dia menambahkan bahwa terjadi
masalah dengan kebijakan luar negeri Amerika, dia menjanjian perbaikan dalam hal
tersebut melalui sebuah komitmen. Trump menegaskan bahwa masalah tersebut
adalah hasil dari sesuatu yang tidak menyenangkan: niat buruk teman dan musuh, dan
kesalahan moral para pemimpin kita sendiri. 87
Sementara Obama sedang mencari resep yang sempurna untuk
merekonstruksi citra negara itu di dalam arena internasional (rusak parah oleh
retorika dan pendirian pemerintahan Bush di Irak), wacana Trump tampaknya akan
melemahkan kepercayaan internasional pada kemampuan negara untuk menjadi pusat
kekuatan dan kekuasaan dalam masa-masa yang tidak pasti.88
Saat Trump merasakan
bahwa masyarakat menginginkan pembebasan dari beban kepemimpinan global tanpa
kehilangan penegasan diri sebagai nasionalis. AS dapat mengurangi investasinya
87
Stephen Sestanovich, “The Brilliant Incoherence of Trump’s Foreign Policy”, The Atlantic,
diakses pada 12 Mei 2019 dari https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2017/05/thebrilliant-
incoherence-of-trumps-foreign-policy/521430/ 88
Joyce P. Kaufman, ”The US perspective on NATO under Trump: lessons of the past and
prospects for the future”, International Affairs, 2017, hlm. 264.
54
dalam tatanan dunia tanpa menghiraukan kemunduran. Trump menyatakan bahwa
terdapat bermacam jenis gaya kepemimpinan AS. 89
Presiden Trump cenderung untuk mentransfer praktik dan cara dunia bisnis ke
kebijakan luar negeri. Kekagumannya terhadap para pemimpin yang kuat, terlepas
dari kebijakan mereka atau sejarah catatan hak asasi manusia, rupanya merupakan
produk dari pengalamannya di dunia bisnis.90
Kebijakan luar negeri tertentu yang saat
ini digunakan Presiden Trump mencakup sikap aneh terhadap Rusia dan Korea Utara.
Dia berkomitmen untuk terlibat dalam hubungan kerja dengan Rusia, mengabaikan
bahaya yang ditimbulkan oleh Rusia ke Eropa Timur.
Perspektif Trump tentang kepentingan dan kedaulatan nasional mirip dengan
yang ada di Moskow, dan kemungkinan akan memastikan penerimaannya dengan
pemimpin Moskow. Berbicara dengan bahasa politik yang sama dapat melunakkan
saluran diskusi di masa depan. Lebih jauh, Trump tampaknya tidak ingin membuat
marah Rusia melalui keterlibatannya di Suriah, karena presiden AS tampaknya
merenungkan Suriah dengan Assad di dalamnya dan ini akan menjadi rezim pro-
Rusia. 91
3.2.2. Situasi Militer dan Keamanan Afghanistan
89
Stephen Sestanovich, “The Brilliant Incoherence of Trump’s Foreign Policy”, The Atlantic,
diakses pada 12 Mei 2019 dari https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2017/05/thebrilliant-
incoherence-of-trumps-foreign-policy/521430/ 90
Stanley R. Sloan, “Policy Series: Donald Trump and NATO: Historic Alliance Meets
Ahistoric President”, The International Security Studies Forum, diakses pada 12 Mei 2019 dari
https://issforum.org/roundtables/policy/1-5am-nato 91
Flemming Splidsboel Hansen, Donald Trump and US -Russian Relations. Geopolitical
bromance or business-as-usual, DIIS Policy Brief, 2016, hlm. 3, diakses pada 12 Mei 2019 dari
http://pure.diis.dk/ws/files/691409/Geopolitical_bromance_for_business_as_usual_WEB.pdf
55
Pada awal 2018, Afghanistan telah menjadi upaya utama United States
Central Command (USCENTCOM) ketika operasi AS di Irak dan Suriah mereda.
Sementara para komandan AS telah menyatakan bahwa ANDSF berkinerja baik
meskipun memakan banyak korban, pasukan gerilyawan tetap bertahan, dan dengan
beberapa tindakan semakin meningkat, kemampuan mereka untuk bertarung dan
memegang wilayah dan untuk meluncurkan serangan tergolong tinggi. Taliban telah
membuat keuntungan di seluruh selatan, yang dianggap sebagai kubu kelompok itu,
sambil menunjukkan tanda-tanda kekuatan bahkan di luar basis operasi tradisional
mereka.92
Para pejabat AS sering menekankan kegagalan Taliban untuk merebut
kembali ibukota provinsi sejak keberhasilan perebutan mereka selama seminggu di
kota Kunduz di Afghanistan utara pada September 2015. Menteri Pertahanan James
Mattis menggambarkan serangan Taliban terhadap Ghazni, yang menewaskan ratusan
orang, sebagai kegagalan, dengan mengatakan bahwa setiap kali mereka mengambil
sesuatu mereka tidak dapat menahannya. 93
Jenderal John Nicholson, mantan
komandan AS di Afghanistan yang digantikan oleh Jenderal Austin Miller pada
92
Department of Defense Press Briefing By Major General Hecker via Teleconference from
Kabul, US Department of Defense, diakses pada 13 Mei 2019 dari
https://dod.defense.gov/News/Transcripts/Transcript-View/Article/1435192/department-of-defense-
press-briefing-by-major-general-hecker-via-teleconference/
93
Media Availability with Secretary Mattis en route to Bogota Colombia, US Department of
Defense, diakses pada 12 Mei 2019 dari https://dod.defense.gov/News/Transcripts/Transcript-
View/Article/1605986/media-availability-with-secretary-mattis-en-route-to-bogota-colombia/
56
Agustus 2018, mengatakan pada konferensi pers terakhirnya bulan itu bahwa strategi
tersebut berhasil, memungkinkan proses menuju rekonsiliasi.94
Penilaian dari luar umumnya lebih negatif; pada bulan Februari 2018, mantan
Sekretaris Pertahanan Chuck Hagel menyebut situasi di Afghanistan lebih buruk dari
yang pernah terjadi. pihak lain mempertanyakan alasan yang sangat rasional dari
kelanjutan keterlibatan militer Amerika; Karl Eikenbery, yang menjabat sebagai
komandan pasukan AS di Afghanistan dan kemudian sebagai duta besar AS,
mengatakan pada Agustus 2018 bahwa Amerika Serikat terus bertarung hanya karena
kami ada di sana.95
Penilaian yang bisa dibilang menyulitkan adalah bahwa situasi di Afghanistan
merupakan jalan buntu atau membaik, tingkat wilayah yang dikontrol atau
diperebutkan oleh Taliban telah terus tumbuh dalam beberapa tahun terakhir oleh
sebagian besar tindakan. Dalam laporannya pada 30 Juli 2018, Special Inspector
General for Afghanistan Reconstruction (SIGAR) melaporkan bahwa bagian daerah
di bawah kendali atau pengaruh pemerintah adalah 56%, dengan 14% di bawah
94
Dunford Encouraged by Afghan Coalition Efforts in Afghanistan, US Department of
Defense, diakses pada 12 Mei 2019 dari
https://dod.defense.gov/News/Article/Article/1474837/dunford-encouraged-by-afghan-coalition-
efforts-in-afghanistan/ 95
Aaron Mehta, Interview: Former Pentagon chief Chuck Hagel on Trump, Syria and N
Korea, diakses pada 12 Mei 2019 dari
https://www.defensenews.com/interviews/2018/02/02/interview-former-pentagon-chief-chuck-hagel-
on-trump-syria-and-korea/
57
kendali atau pengaruh pemberontak, dan sisanya 30% diperebutkan; angka-angka itu
tidak berubah dari dua laporan triwulanan SIGAR yang lalu.96
Sementara Taliban mempertahankan kemampuan untuk melakukan serangan
ke daerah perkotaan, mereka juga menunjukkan kemampuan taktis yang cukup besar.
Karena tingginya tingkat korban yang ditimbulkan oleh Taliban, Pemerintahan
Trump telah dilaporkan mendesak pasukan Afghanistan untuk menarik keluar dari
beberapa pos terpencil dan daerah pedesaan dalam strategi yang menyerupai
pendekatan yang diambil oleh pemerintahan sebelumnya.97
Pembunuhan pimpinan Taliban, Mullah Mansour, pada Mei 2016 oleh
serangan AS menunjukkan kerentanan Taliban terhadap kecerdasan dan kemampuan
tempur AS, meskipun itu tidak memiliki efek yang terukur pada efektivitas Taliban;
tidak jelas sampai sejauh mana pemimpin saat ini Haibatullah Akhundzada
melakukan kontrol yang efektif atas kelompok dan bagaimana ia dipandang dalam
jajarannya. Secara keseluruhan, jumlah amunisi AS yang digunakan di Afghanistan
telah meningkat, dengan 4.361 senjata dilepaskan pada 2017 (naik dari 1.337 di)
2016), angka tahunan tertinggi sejak 2011; 2018 berada di jalur untuk melampaui
2017 dengan selisih yang cukup besar.98
96
Mujib Mashal, “‘Time for This War in Afghanistan to End,’ Says Departing U.S.
Commander,” New York Times, diakses pada 12 Mei 2019 dari
https://www.nytimes.com/2018/09/02/world/asia/afghan-commander-us-john-nicholson.html 97
Thomas Gibbons-Neff and Helene Cooper, “Newest U.S. Strategy in Afghanistan Mirrors
Past Plans for Retreat,” New York Times, diakses pada 12 Mei 2019 dari
https://www.nytimes.com/2018/07/28/world/asia/trump-afghanistan-strategy-retreat.html 98
AFCENT Airpower Summary, diakses pada 12 Mei 2019 dari
https://www.af.mil/News/Article-Display/Article/1702304/afcent-publishes-october-airpower-
summary/
58
Bagian signifikan dari operasi AS ditujukan untuk afiliasi Islamic State (IS)
lokal, yang dikenal sebagai Islamic State Khorasan Province (ISKP, juga dikenal
sebagai ISIS-K). Kelompok ini tampaknya menjadi faktor yang berkembang dalam
perencanaan strategis AS dan Afghanistan, meskipun ada perdebatan mengenai
tingkat ancaman yang dimiliki kelompok tersebut. ISKP dan pasukan Taliban
kadang-kadang memperebutkan kontrol atas wilayah karena perbedaan politik. 99
Pada April 2018, serangan udara AS membunuh pemimpin ISKP di provinsi
Jowzjan utara, yang digambarkan NATO sebagai saluran utama untuk dukungan
eksternal dan pejuang asing dari negara-negara Asia Tengah ke Afghanistan. Pejabat
Amerika dilaporkan melacak upaya para pejuang IS untuk memasuki Afghanistan
dan menggunakan wilayah Afghanistan sebagai pangkalan untuk merencanakan dan
melakukan operasi internasional. ISKP juga mengklaim bertanggung jawab atas
sejumlah serangan skala besar, termasuk beberapa pemboman yang menargetkan
minoritas Syiah Afghanistan.100
99
Amira Jadoon, Nakissa Jahanbani, dan Charmaine Willis, “Challenging the ISK Brand in
Afghanistan-Pakistan: Rivalries and Divided Loyalties,” CTC Sentinel, Vol. 11, Issue 4, diakses pada
12 Mei 2019 dari https://ctc.usma.edu/challenging-isk-brand-afghanistan-pakistan-rivalries-divided-
loyalties/ 100
Helene Cooper, “U.S. Braces for Return of Terrorist Safe Havens to Afghanistan,” New
York Times, diakses pada 12 Mei 2019 dari
https://www.nytimes.com/2018/03/12/world/middleeast/military-safe-havens-afghanistan.html
59
BAB IV
FAKTOR DETERMINAN PENYEBAB PERUBAHAN
KEBIJAKAN KONTRATERORISME PERIODE DONALD
TRUMP DI AFGHANISTAN
4.1. Faktor Internal
4.1.1 Faktor Donald Trump dan Pengaruh Pejabat Pemerintah Sekitarnya
Presiden Donald Trump memfokuskan beberapa bentuk kebijakan luar negeri
yang menurutnya sesuai bagi Amerika Serikat (AS), sesuai slogan yang telah
dilontarkan saat kampanye yang bertujuan untuk menjadikan AS berjaya kembali di
kancah internasional. Slogan “America First” yang digaungkan oleh Trump adalah
untuk memberi prioritas warga AS beserta keamanannya terkait dengan kebijakan
luar negeri. Ahli Kebijakan Luar Negeri AS Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Siswanto, mengatakan bahwa warga AS menjadi prioritas utama dalam
setiap pengambilan kebijakan luar negeri AS. “America First” menjadi tema utama
dalam pemerintahan Trump. 101
Donald Trump yang merupakan seorang pengusaha membuat setiap kebijakan
luar negerinya berorientasi pada keuntungan sebanyak mungkin sebagai upayanya
untuk mewujudkan “Make America Great Again”. Di bawah pemerintahan Trump
101
Hasil wawancara dengan Siswanto, Ahli Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dan
menjabat sebagai Kepala Bidang Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Penelitian Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 1 Juli 2019.
60
Amerika Serikat lebih isolasionis dan proteksionis, berfokus pada pengetatan
pengawasan atas batas-batas negara, menghancurkan terorisme, menerapkan imigrasi
yang lebih selektif dan ketat, dan menempatkan prioritas pada ekonomi domestik.102
Amerika Serikat tidak pernah memiliki presiden seperti Donald Trump. Ia
berlatar belakang investor perkebunan, pengembang lapangan golf, pemilik kasino,
dan berkepribadian tanpa pengalaman sebelumnya dalam bidang pemerintahan. Ia
mencalonkan diri sebagai presiden dengan tiket Partai Republik. Banyak pengamat
mencirikan Trump sebagai populis yang berbicara atas nama warga yang
terpinggirkan, terutama mereka yang status ekonominya sangat parah terkikis selama
beberapa dekade deindustrialisasi dan kehilangan pekerjaan. 103
Banyak anggota kabinet yang diangkat Presiden Trump tidak pernah
mempunyai pengalaman di pemerintahan, termasuk Menteri Luar Negeri AS, Rex
Tillerson. Meskipun Tillerson dan lainnya memiliki pengalaman mendalam di sektor
korporasi dan bisnis internasional, pengambilan keputusan dalam pemerintahan
merupakan proses berbeda yang tidak dapat direduksi menjadi untung rugi seperti
dalam perusahaan. Presiden Trump juga telah menunjuk beberapa veteran perwira
militer menjadi bagian kabinetnya yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meskipun
102
Hasil wawancara dengan Siswanto, Ahli Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dan
menjabat sebagai Kepala Bidang Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Penelitian Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI 103
Michael Lind, Donald Trump is the Perfect Populist, diakses pada 13 Juni 2019 dari
https://www.politico.com/magazine/story/2016/03/donald-trump-the-perfect-populist-213697
61
semua memiliki karir militer yang menonjol, tidak ada di antara mereka yang
memiliki pengalaman eksekutif sebelumnya. 104
Siswanto menambahkan bahwa menurut studi yang membuat kategori
mengenai karakter para Presiden AS, Trump dikategorikan sebagai aktif negatif.
Trump tipikal orang pekerja keras, ulet, dan pantang menyerah, akan tetapi
kontroversi dan inskonsisten. Orang dengan tipikal aktif negatif cenderung menyukai
keramaian. Trump mengangkat lawan bisnisnya untuk menjadi salah satu penasehat
presiden, oleh karena itu pasti akan timbul gejolak. Kebijakan luar negeri AS juga
banyak dipengaruhi oleh orang di sekitar Trump, terutama Penasehat Keamanan AS,
John Bolton.105
Trump telah membangun sebuah kerajaan bisnis dan mengumpulkan banyak
kekayaan melalui publisitas, keberanian, dan kekuatan keinginan semata. Seperti
yang diamati dalam satu penilaian bahwa perusahaan Trump adalah perusahaan yang
relatif kecil dengan jangkauan besar. Perusahaannya adalah bisnis keluarga yang jelas
dibentengi dengan loyalis lama yang beroperasi lebih sedikit pada prosedur standar
dan lebih pada budaya Trump. Penasihat umum Organisasi Trump mengatakan
bahwa perusahaan tersebut bukan perusahaan publik dan mereka bekerja untuk
keluarga Trump.106
104
Philip Charter, Trump is surrounding himself by generals, diakses pada 13 Juni 2019 dari
https://www.washingtonpost.com/opinions/trump-is-surrounding-himself-with-generals-thats-
dangerous/2016/11/30/e6a0a972-b190-11e6-840f-e3ebab6bcdd3_story.html 105
Hasil wawancara dengan Siswanto, Pusat Penelitian Politik LIPI, 1 Juli 2019. 106
Megan Twohey, Russ Buettner, dan Steve Eder, Inside the Trump Organization the
Company That Has Run Trump’s Big World, diakses pada 13 Juni 2019 dari
https://www.nytimes.com/2016/12/25/us/politics/trump-organization-business.html
62
Para pendukung yang turut mensukseskan kampanye mempunyai andil besar
hingga Trump berhasil menjadi Presiden AS. Dalam kampanye pemilihan presiden
Amerika Serikat 2016 lalu, Donald Trump mengusung beberapa isu terkait imigran
ilegal yang memasuki wilayah AS dengan membuat tembok perbatasan, kemudian
isu mengenai imigran muslim yang juga dilarang masuk, hingga seruan Trump untuk
keluar dari keanggotaan Trans-Pacific Partnership (TPP). Isu-isu yang diutarakan
Trump tersebut cukup menarik perhatian masyarakat luas AS kala itu.
Isu imigran menjadi salah satu isu penting, Donald Trump menentang keras
adanya imigran memasuki wilayah AS bahkan mengancam akan mendeportasinya.
Trump menilai bahwa terorisme dapat masuk ke AS melalui jalur migrasi.107
Isu
imigran yang dibawa Trump ketika kampanye memang menarik banyak perhatian
publik, bukan hanya publik AS, tetapi negara lain pun turut mengomentari isu
tersebut.
Trump berencana membentuk satuan deportasi untuk mengusir warga asing
yang tertangkap kriminal, tanpa proses pengadilan. Selain itu, ia juga akan membatasi
akses warga asing yang bekerja di AS untuk mendapat kewarganegaraan. Trump juga
berjanji untuk membatalkan kebijakan Barack Obama yang memberikan izin kerja
kepada 800.000 imigran muda yang datang ke AS ketika berusia kecil. Bahkan
107
Todd Bensman, Notes on the Trump Administration’s Claim of 3.000-Plus Terrorist
Apprehensions at U.S. Borders, diakses pada 28 Juli 2019 dari https://cis.org/Bensman/Notes-Trump-
Administrations-Claim-3000Plus-Terrorist-Apprehensions-US-Borders
63
Trump mengatakan akan membangun penjara khusus bagi imigran yang melakukan
tindak kriminal dan tidak akan memberinya ampunan.108
Masuknya imigran sebenarnya turut membantu karena sebagian besar imigran
tersebut bekerja di AS dengan gaji yang relatif rendah dan pemerintah sudah bisa
menikmati hasil atas hal tersebut. Namun banyaknya imigran ilegal yang masuk ke
AS dapat merugikan dan berdampak kepada penduduk asli karena imigran tersebut
dianggap sebagai saingan dalam dunia kerja. Selain itu, dapat dipungkiri bahwa
terorisme dapat masuk ke AS melalui imigran. Setiap negara bagian di AS
mengalami masalah imigran dengan jumlah banyaknya imigran yang berbeda–beda.
Ketika kampanye, Trump telah mengatakan bahwa ia akan melarang masuk
imigran bahkan mendeportasi 11,3 juta imigran ilegal. Trump beranggapan bahwa
para imigran telah merebut pekerjaan penduduk asli AS, menghambat sumber daya
public, dan merupakan ancaman bagi keamanan nasional. Janji Trump saat kampanye
terbukti dapat mempengaruhi pilihan publik terkait pemilihan presiden AS pada 2017
lalu. Negara bagian dengan jumlah imigran banyak terbukti memilih Trump, seperti
Florida, Texas, Georgia, North Carolina, dan Michigan.109
Pada waktu kampanye, Trump juga menjanjikan akan membangun tembok
pembatas antara selatan AS dan Meksiko. Ia mengatakan bahwa tembok tersebut
108
Amy B Wang, Donald Trump plans to immediately deport 2 million to 3 million
undocumented immigrants, diakses pada 15 Juni 2019 dari https://www.washingtonpost.com/news/the-
fix/wp/2016/11/13/donald-trump-plans-to-immediately-deport-2-to-3-million-undocumented-
immigrants/?utm_term=.ebce2bb8e1ac 109
Tim Meko, Denise Lu, dan Lazaro Gamio, How Trump won the presidency with razor-
thin margins in swing states, diakses pada 15 Juni 2019 dari
https://www.washingtonpost.com/graphics/politics/2016-election/swing-state-margins/
64
bertujuan untuk mengurangi jumlah imigran ilegal yang masuk dari wilayah Amerika
Latin. Pembangunan tembok tersebut juga bertujuan untuk mencegah warga Meksiko
yang mencari pekerjaan musiman di AS. Penguatan kemanan di perbatasan AS-
Meksiko adalah salah satu kunci kemenangan kampanye Trump. 110
Meskipun rencana Trump sempat tidak disetujui oleh Kongres dalam sebuah
perundingan di Gedung Putih pada Januari 2019 lalu. Pasalnya Partai Demokrat yang
berada di Kongres menolak rencana Trump tersebut. Meskipun demikian, ia tetap
bersikeras memperjuangkan apa yang sudah dijanjikan tersebut hingga mengancam
akan memberlakukan keadaan darurat nasional untuk mendanai tembok perbatasan
tanpa persetujuan Kongres. Pada akhirnya, kongres telah mencapai kesepakatan untuk
membiayai pembangunan tembok di sepanjang perbatasan AS-Meksiko.111
Isu mengenai warga Muslim di AS selalu menarik untuk dibahas pada setiap
periode pemerintahan. Begitupun dilakukan oleh Donald Trump selama masa
kampanye. Isu tersebut menarik perhatian masyarakat luas AS. Trump
menyampaikan bahwa banyaknya kejadian teror salah satunya disebabkan oleh
banyaknya imigran masuk AS dengan pandangan muslim radikal. Oleh karena itu,
Trump menyampaikan akan melarang negara–negara yang memiliki sejarah terorisme
masuk ke AS. Ia berjanji saat terpilih menjadi presiden AS akan menggunakan hak
eksekutifnya untuk melindungi warga AS dari serangan teror.
110
Scott Bixby dan David Agren, Trump reveals plan to finance Mexico border wall with
threat to cut off funds, diakses pada 15 Juni 2019 dari https://www.theguardian.com/us-
news/2016/apr/05/donald-trump-mexico-border-wall-plan-remittances 111
Congressional Lawmakers Reach Deal on US-Mexico Border Wall Funding, diakses pada
15 Juni 2019 dari https://www.news18.com/news/world/congressional-lawmakers-reach-deal-on-us-
mexico-border-wall-funding-2033273.html
65
Pernyataan Trump ketika kampanye yang melarang imigran muslim masuk ke
AS menjawab kekhawatiran masyarakat Amerika yang menganggap Islam sebagai
teroris. Kekhawatiran penduduk AS terhadap muslim tersebut, pada akhirnya
membuat mereka menyematkan pilihan kepada Trump. Trump dinilai memilih isu
yang tepat saat kampanye karena situasi AS sedang panas kala itu dengan kasus yang
melibatkan muslim di dalamnya. Dalam survei terhadap isu penting dan populer di
AS, masyarakat Amerika sebanyak 80% memperhatikan isu terorisme sebagai isu
terpenting kedua, di mana terorisme di AS identik dengan Islam.112
Dari beberapa janji yang telah diucapkan Trump ketika kampanye yang
bertujuan menarik perhatian masyarakat AS agar ia terpilih, maka ketika terpilih
menjadi Presiden AS, hal yang kemudian dilakukan Trump ialah memenuhi janji–
janjinya seperti yang telah diucapkan. Trump tentu tidak ingin menjadi bumerang
terhadap janjinya sendiri di depan masyarakat AS. Hal tersebut yang kemudian
mendorong Trump menghancurkan terorisme sampai ke akarnya, agar memberi
kepuasan terutama kepada pemilihnya serta mencapai tujuan menuju Amerika Serikat
yang berjaya di mata internasional.
4.1.2. Struktur Pemerintahan Amerika Serikat
112
Statement of Steven Emerson to the National Commission on Terrorist Attacks Upon the
United States, diakses pada 18 Juni 2019 dari
https://govinfo.library.unt.edu/911/hearings/hearing3/witness_emerson.htm
66
Edward S. Corwin menulis, bahwa Konstitusi Amerika Serikat (AS) adalah
“an invitation to struggle for the privilege of directing American foreign policy.”113
Diktum Corwin menyoroti poin penting tentang hubungan eksekutif dan legislatif.
Baik presiden maupun Kongres memiliki kekuatan kebijakan luar negeri yang
signifikan. Kekuatan-kekuatan ini tumpang tindih di mana meletakkan landasan
terjadinya persaingan. 114 Kebanyakan orang AS saat ini dan sebagian besar anggota
Kongres, masih menerima gagasan bahwa presiden harus memimpin kebijakan luar
negeri. Akibatnya, Kongres biasanya bereaksi terhadap Gedung Putih jika
meluncurkan inisiatifnya sendiri.
Kongres memiliki tanggung jawab konstitusional untuk mengeluarkan
anggaran dan meninjau kembali cara lembaga federal beroperasi. Menegur Gedung
Putih terkait kebijakan luar negeri kadang-kadang bisa menjadi strategi pemilihan
yang menang, terutama ketika seorang presiden berasal dari pihak lawan. Bagi
beberapa anggota, kebijakan luar negeri adalah semangat utama dan alasan mereka
untuk mencari kursi di Kongres. 115
Kongres dapat menentukan kebijakan luar negeri dalam tiga cara utama.
Pertama, ia dapat mengeluarkan (atau memblokir) undang-undang yang menentukan
apa kebijakan luar negeri AS nantinya, seperti dengan siapa orang AS dapat
berdagang dengan atau senjata apa yang dapat dibeli Pentagon. Termasuk persetujuan
113
Edwin S. Corwin, The President: Office and Powers, 1787-1957, Edisi ke-5, New York
University Press, New York, 1984, hlm. 201. 114
Edwin S. Corwin, The President: Office and Powers, 1787-1957, hlm. 202. 115
Caulfield, The Role of Congress in the Formation of American Foreign Policy, diakses
pada 29 Juli 2019 dari https://www.albany.edu/honorcollege/files/Caulfieldthesis.doc.
67
National Strategy for Counterterrorism oleh Kongres, yaitu strategi baru AS dalam
melawan terorisme yang diumumkan Trump pada Oktober 2018.116
Kedua, ia
mengesahkan undang-undang yang menciptakan lembaga-lembaga cabang eksekutif
dan memperbaiki cara cabang eksekutif beroperasi. Di sini Kongres menghitung
bahwa mengubah siapa yang membuat keputusan dan bagaimana mereka dibuat akan
mengubah bagaiman keputusan itu dibuat. Ketiga, Kongres dapat berupaya mengubah
opini publik, dan dengan demikian berpotensi mengubah pilihan yang dibuat
presiden.117
Namun Kongres dapat berusaha untuk menegur presiden terkait dengan
kebijakan yang tidak relevan. Faktor-faktor mulai dari apakah partai presiden
mengontrol Kongres hingga kedalaman komitmen presiden terhadap kebijakan yang
dipertanyakan. Secara paling luas, Kongres kemungkinan besar akan berhasil dalam
memberikan tanda pada kebijakan luar negeri ketika berusaha membatasi tindakan
presiden dan Konstitusi mengharuskan presiden untuk mendapatkan persetujuan
kongres sebelum bertindak.
Kongres jauh lebih kecil kemungkinannya untuk membatasi presiden ketika
mereka bebas untuk bertindak kecuali dan sampai Kongres menghentikannya.
Kongres berada pada titik terlemahnya ketika mencoba memaksakan daripada
membatasi Gedung Putih. Presiden memiliki banyak cara untuk menggagalkan dan
116
Monica Jackson, Trump Issues New Strategy for Counterterrorism, diakses pada 29 Juli 2019 dari
https://www.executivegov.com/2018/10/trump-issues-new-strategy-for-counterterrorism/ 117
James M. Lindsay, The Domestic Sources of American Foreign Policy: Insights and
Evidence, Rowman and Littlefield, 2012,
hlm. 223.
68
mengabaikan seruan kongres untuk mengejar inisiatif baru atau berbeda, sebuah
realitas politik yang digambarkan oleh presiden Donald Trump secara khusus.118
Potensi presiden dan Kongres untuk memperjuangkan arah kebijakan luar negeri
memperumit hubungan eksekutif dan legislstif. Pada demokrasi parlementer, perdana
menteri dapat mengatur kebijakan pemerintah dengan percaya diri. Namun, dalam
sistem politik AS, Kongres dapat memblokir atau menolak presiden.
Dengan legislasi substantif, Kongres menentukan isi kebijakan luar negeri
Amerika Serikat. Kendaraan paling umum yang digunakan Kongres untuk
melakukannya adalah apropriasi. Dolar adalah kebijakan, dan presiden tidak dapat
membelanjakan uang kecuali Kongres menyetujuinya. Dengan demikian, dengan
mendanai beberapa program dan bukan yang lain, Kongres dapat memaksakan
preferensinya. Kongres juga dapat memengaruhi kebijakan luar negeri dengan
mengeluarkan atau menolak hukum yang menciptakan atau menghapus kantor dan
lembaga pemerintah dan yang menentukan prosedur yang digunakan cabang
eksekutif untuk membuat keputusan.
Upaya untuk meloloskan undang-undang prosedural semacam itu bertumpu
pada premis bahwa mengubah siapa yang membuat keputusan dan bagaimana
keputusan itu dicapai akan mengubah keputusan apa yang diambil. Cara ketiga
Kongres dapat memengaruhi kebijakan luar negeri adalah dengan mengubah opini
118
Brett M. Decker dan James Renne, Donald Trump can fund the border wall without
congressional approval, diakses pada 29 Juli 2019 dari
https://www.usatoday.com/story/opinion/2018/12/24/donald-trump-shutdown-congress-approval-
build-border-wall-spending-column/2402442002/
69
publik. Ketika opini publik berubah, kebijakan presidensial juga sering dilakukan. Di
sini Kongres, atau lebih tepatnya anggota individu Kongres, berupaya membentuk
kebijakan dengan menekan presiden untuk mengubah arah.
4.2. Faktor Eksternal
Faktor lain yang mempengaruhi perubahan kebijakan kontra-terorisme
periode Trump adalah alasan instabilitas kawasan di Afghanistan. Keadaan keamanan
yang tidak menentu akan memungkinkan terjadinya perang sipil di kawasan tersebut.
AS pertama kali memasuki Afghanistan pada masa Bush dengan menggulingkan
pemerintahan Taliban dan mengangkat pemerintah baru dengan dukungan negara
adidaya tersebut. Dr. Siswanto mengatakan bahwa saat ini Taliban semakin kuat
sehingga menjadikan rezim pemerintahan Afghanistan yang didukung AS semakin
terancam. Oleh karena itu, Trump melaksanakan kebijakan dengan menambahkan
pasukan di Afghanistan.119
Menurut Holsti, faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri
suatu Negara meliputi: (1) Struktur sistem, pengambilan kebijakan luar negeri suatu
negara sangat dipengaruhi oleh struktur dan sistem internasional; (2) Struktur
ekonomi global; (3) Tujuan dan tindakan aktor lain, merupakan respon atas tindakan
aktor lain sehingga negara memiliki tujuan terarah demi mencapai kepentingan
nasionalnya; (4) Masalah regional, jika suatu negara mendapat masalah dalam satu
119
Hasil wawancara dengan Siswanto, Ahli Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dan
menjabat sebagai Kepala Bidang Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Penelitian Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 1 Juli 2019.
70
kawasan maka akan berdampak juga terhadap negara lain.120
Jadi, AS melalui
pemerintahan Trump telah merespon tindakan aktor lain yaitu Taliban melalui
kebijakan luar negerinya.
Dinamika regional dan keterlibatan kekuatan luar juga merupakan pendorong
terjadinya konflik di Afghanistan. Negara tetangga yang secara luas dianggap paling
penting dalam hal ini adalah Pakistan, yang telah memainkan peran aktif dalam
urusan Afghanistan selama beberapa dekade. Presiden Trump secara langsung
menuduh Pakistan telah menampung teroris yang telah AS lawan.121
Para pemimpin
Afghanistan, bersama dengan komandan militer AS, mengaitkan banyak kekuatan
pemberontakan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Pakistan.
Para ahli memperdebatkan sejauh mana Pakistan berkomitmen untuk stabilitas
Afghanistan atau berusaha untuk melakukan kontrol di Afghanistan melalui
hubungan dengan kelompok-kelompok pemberontak, terutama Jaringan Haqqani,
sebuah Organisasi Teroris Asing yang telah menjadi komponen resmi atau semi-
otonom dari Taliban. Pejabat AS telah berulang kali mengidentifikasi tempat
perlindungan militan di Pakistan sebagai ancaman bagi keamanan Afghanistan,
meskipun beberapa pengamat mempertanyakan validitas tuduhan itu sehubungan
dengan meningkatnya kontrol wilayah Taliban di Afghanistan sendiri. 122
120
K. J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, Prentice Hall. Inc,
Angelwood Clipps, New Jersey, 1997, hlm. 271-287 121
Remarks by President Trump on the Strategy in Afghanistan and South Asia, diakses pada
18 Juni 2019 dari https://www.whitehouse.gov/briefings-statements/remarks-president-trump-strategy-
afghanistan-south-asia/ 122
Clayton Thomas, Al Qaeda and Islamic State Affiliates in Afghanistan, Congressional
Research Service, Washington D.C., 2018, hlm. 2.
71
Pakistan memandang Afghanistan yang lemah dan tidak stabil lebih disukai
daripada negara Afghanistan yang kuat dan bersatu (terutama yang dipimpin oleh
pemerintah yang didominasi Pashtun di Kabul; Pakistan memiliki minoritas Pashtun
yang besar). Namun, setidaknya beberapa pemimpin Pakistan telah menyatakan
bahwa ketidakstabilan di Afghanistan dapat pulih kembali sehingga tidak lagi
merugikan Pakistan; Pakistan telah berjuang dengan militan Islam asli sendiri.123
Hubungan Afghanistan-Pakistan semakin diperumit oleh populasi besar pengungsi
Afghanistan di Pakistan dan pertikaian perbatasan yang telah lama terjadi mengenai
kekerasan yang terjadi pada beberapa kesempatan.
Pakistan melihat Afghanistan berpotensi memberikan kedalaman strategis
terhadap India, tetapi juga dapat mengantisipasi bahwa peningkatan hubungan dengan
kepemimpinan Afghanistan dapat membatasi pengaruh India di Afghanistan.
Ketertarikan India pada Afghanistan sebagian besar berasal dari persaingan regional
India yang lebih luas dengan Pakistan, yang menghambat upaya India untuk
membangun hubungan komersial dan politik yang lebih kuat dan langsung dengan
Asia Tengah.
Dalam pidatonya pada Agustus 2017, Presiden Trump mengumumkan apa
yang dicirikannya sebagai pendekatan baru ke Pakistan, dengan mengatakan bahwa
AS tidak bisa lagi diam mengenai tempat perlindungan yang aman bagi organisasi
teroris, Taliban, dan kelompok-kelompok lain yang menimbulkan ancaman bagi
123
Jon Boone, Musharraf: Pakistan and India’s Backing for ‘Proxies’ in Afghanistan Must
Stop, diakses pada 18 Juni 2019 dari https://www.theguardian.com/world/2015/feb/13/pervez-
musharraf-pakistan-india-proxies-afghanistan-ghani-taliban
72
kawasan.124
Namun, ia juga memuji Pakistan sebagai mitra berharga terkait hubungan
militer AS-Pakistan yang erat.
Pada Januari 2018, pemerintahan Trump mengumumkan rencana untuk
menangguhkan bantuan keamanan ke Pakistan, sebuah keputusan yang telah
mempengaruhi miliaran dolar dalam bantuan.125
Pada Februari 2019, Komandan
CENTCOM. Jenderal Joseph Votel menyatakan bahwa Pakistan belum mengambil
tindakan konkrit terhadap tempat aman organisasi ekstremis brutal di dalam
perbatasannya, tetapi memuji Pakistan untuk beberapa langkah positif dalam
membantu upaya rekonsiliasi perwakilan Khalilzad.126
Afghanistan sebagian besar mempertahankan hubungan baik dengan tetangga-
tetangganya yang lain, termasuk negara-negara Asia Tengah pecahan Soviet,
meskipun beberapa memperingatkan bahwa ketidakstabilan yang meningkat di
Afghanistan dapat memperumit hubungan mereka. Dalam dua tahun terakhir, banyak
komandan AS telah memperingatkan Taliban terakit peningkatan tingkat bantuan dan
dukungan material dari Rusia dan Iran, keduanya mengutip kehadiran Islamic State di
Afghanistan untuk membenarkan kegiatan mereka.127
124
Remarks by President Trump on the Strategy in Afghanistan and South Asia, diakses pada
18 Juni 2019 dari https://www.whitehouse.gov/briefings-statements/remarks-president-trump-strategy-
afghanistan-south-asia/ 125
Mark Landler dan Gardiner Harris, “Trump, Citing Pakistan as a ‘Safe Heaven’ for
Terrorist, Freezes Aid, diakses pada 15 Juni 2019 dari
https://www.nytimes.com/2018/01/04/us/politics/trump-pakistan-aid.html 126
Statement of General Joseph L. Votel, Commander, U.S. Central Command before the
Senate Armed Services Committee on the Posture of U.S. Central Command, diakses pada 18 Juni
2019 dari https://docs.house.gov/meetings/AS/AS00/20180227/106870/HHRG-115-AS00-Wstate-
VotelJ-20180227.pdf 127
U.S. Department of the Treasury, Treasury and the Terrorist Financing Targeting Center
Partners Sanction Taliban Facilitators and their Iranian Supporters, diakses pada 19 Juni 2019 dari
73
Kedua negara menentang pemerintah Taliban pada akhir 1990-an, tetapi
dilaporkan melihat Taliban sebagai titik yang bermanfaat untuk meningkatkan vis-a-
vis Amerika Serikat. Presiden Trump tidak menyebut Iran atau Rusia dalam
pidatonya Agustus 2017, dan tidak jelas bagaimana, pendekatan AS terhadap mereka
mungkin telah berubah sebagai bagian dari strategi baru. Afghanistan juga dapat
mewakili prioritas yang semakin besar bagi Tiongkok dalam konteks aspirasi Cina
yang lebih luas di Asia dan global.128
Dalam pidatonya, Presiden Trump memang mendorong India untuk
memainkan peran yang lebih besar dalam pembangunan ekonomi Afghanistan;
bersama dengan pesan-pesan lainnya, telah menambah kekhawatiran Pakistan atas
aktivitas India di Afghanistan.129
India telah menjadi kontributor regional terbesar
untuk rekonstruksi Afghanistan, tetapi New Delhi belum menunjukkan
kecenderungan untuk mengejar hubungan pertahanan yang lebih dalam dengan
Kabul.
https://home.treasury.gov/news/featured-stories/treasury-and-the-terrorist-financing-targeting-center-
partners-sanction 128
Michael Martina, “Afghan Troops to Train in China, Ambassador Says”, diakses pada 19
Juni 2019 dari https://www.reuters.com/article/us-china-afghanistan/afghan-troops-to-train-in-china-
ambassador-says-idUSKCN1LM1MR 129
Gopal Misra, India’s increasing assertion in Afghanistan worries Pakistan, diakses pada
19 Juni 2019 dari http://tehelka.com/indias-increasing-assertion-in-afghanistan-worries-pakistan/
74
BAB V
KESIMPULAN
Perang Afghanistan merupakan perang terlama dalam sejarah Amerika Serikat
(AS). Afghanistan telah menjadi pusat perhatian kebijakan luar negeri AS sejak
tragedi nine eleven tahun 2001. Pada era kepemimpinan Barack Obama, Afghanistan
telah menjadi prioritas utama militer dengan berperang melawan Al Qaeda. Tujuan
utama Obama adalah untuk mengalahkan Al Qaeda dan menghancurkan segala
kesempatan untuk membangun kembali jaringannya serta mempromosikan tata
pemerintahan yang baik dan legitimasi di mata masyarakat lokal.
Kebijakan Obama berkaitan dengan penyangkalan tempat berlindung teroris
dengan melatih pasukan keamanan lokal untuk memegang wilayah sehingga teroris
tidak bisa kembali. Selain itu, juga membangun infrastruktur dan menghilangkan
korupsi politik, sehingga memenangkan hati dan pikiran masyarakat, adalah bagian
penting dari rencana awal. Pada akhirnya, Osama bin Laden terbunuh pada 2011 lalu
yang menjadikan eksistensi Al Qaeda semakin melemah.
Sedangkan Presiden Donald Trump memfokuskan beberapa bentuk kebijakan
luar negeri yang menurutnya sesuai bagi Amerika Serikat (AS), sesuai slogan yang
dilontarkan saat kampanye yaitu “America First” adalah untuk memberi prioritas
warga AS beserta keamanannya terkait dengan kebijakan luar negeri. Trump
75
menjadikan warga AS sebagai prioritas utama dalam setiap pengambilan kebijakan
luar negerinya. Di bawah pemerintahan Trump AS cenderung lebih isolasionis dan
proteksionis, berfokus pada pengetatan pengawasan batas-batas negara,
menghancurkan terorisme, menerapkan imigrasi yang lebih selektif dan ketat, dan
menempatkan prioritas pada ekonomi domestik.
Dari beberapa janji yang telah diucapkan Trump ketika kampanye yang
bertujuan menarik perhatian masyarakat AS agar ia terpilih, maka ketika terpilih
menjadi Presiden AS, hal yang dilakukan Trump adalah memenuhi janji–janjinya
seperti yang telah diucapkan. Hal tersebut yang mendorong Trump menghancurkan
terorisme sampai ke akarnya, agar memberi kepuasan terutama kepada pemilihnya
serta mencapai tujuan menuju Amerika Serikat yang berjaya di mata internasional.
Faktor internal, yaitu faktor dalam diri Trump dan pengaruh orang sekitarnya,
serta faktor eksternal instabilitas kawasan di Afghanistan merupakan faktor
determinan penyebab perubahan kebijakan kontraterorisme AS periode pemerintahan
Trump. AS pertama kali memasuki Afghanistan pada masa pemerintahan Bush
dengan menggulingkan pemerintahan Taliban dan mengangkat pemerintahan baru
dengan dukungan negara adidaya tersebut. Sedangkan pada periode pemerintahan
Trump, Taliban semakin kuat sehingga menjadikan rezim pemerintahan Afghanistan
yang didukung AS menjadi terancam. Oleh karena itu, pemerintahan Trump
melaksanakan kebijakan dengan menambah jumlah pasukan di Afghanistan.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Baldwin, David Allen. Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary Debate,
New York: Columbia University Press, New York, 1993.
Cole, David dan James X. Dempsey, Terrorism and the Constitution, New York: The
New Press, 2002.
Gates, Robert M. Duty: Memoirs of a Secretary of War, New York: Alfred A. Knopf,
2014.
Goldstein, Joshua. International Relations, New York: Longman, 1999.
Harrison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik, Jakarta: Kencana prenada Media Grup,
2007.
Holsti, Kalevi J. International Politics : A Framework for Analysis, New Jersey:
Prentice-Hall, 1983.
Jackson, Robert, dan Georg Sorensen. Introduction to International Relations, Fifth
Edition, Oxford: Oxford University Press, 2013.
Jemadu, Aleksius. Politik Global dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu,
2008.
Kagan, Frederick W. Kagan, 'A Case for Staying the Course', in Hy Rothstein and
John Arquilla (eds) 'Afghan Endgame: Strategy and Policy Choice for
xiv
America's Longest War, Washington DC: Georgetown University Press,
2013.
Kean, Thomas H., The 9/11 Commission Report: Final Report of the National
Commission on Terrorist Attacks Upon the United States, Washington D.C.
2002
Lamy, Steven. Contemporary Mainstream Approaches Neo-realism and Neo-
Liberalism, Oxford: Oxford University Press, 2001.
Mas’oed, Mochtar. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta:
LP3ES, 1990.
Morgenthau, Hans Joachim. Politics Among Nations: The Struggle for Power and
Peace, New York: Alfred A Knopf Inc, 1985.
Nye, Josph. Soft Power: the means to success in world politics, New York: Public
Affairs, 2004.
Peters, Gretchen. The Seeds of Terror: The Taliban, the ISI and the New Opium
Wars, New York: Hachette, 2009.
Rosenau, James N. International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research
and Theory, New York: The Free Press, 1969.
Watson, Robert P. The Obama Presidency. A Preliminary Assessment, New York:
Sunny Press, 2012.
West, Cornel. Democracy Matters: Winning the Fight Against Imperialism, New
York: Penguin Press, 2004.
Williams, Paul D. Security Studies an Introduction. Abingdon: Routledge, 2008.
xv
Sumber Jurnal
Bouchaib Silm, Osama and Azzarqawi: Rivals or Allies, 2004.
Byers, Michael. “Terrorism: The Use of Force and International Law After 11
September.” International Relations Journal, Vol. 6, No. 2, (Agustus 2002).
Dunn, David Hastings. “Bush, 11 September and the Conflicting Strategies of the
War on Terrorism”, Irish Studies in International Affairs, Vol. 16.
Grossman, March. “Seven Cities and Two Years: The Diplomatic Campaign in
Afghanistan and Pakistan.” Yale Journal of International Affairs, 2013.
Grover, Verinder. “Aghanistan: An Introduction.” Dalam Verinder Grover,
Government and politics of Asian Countries 1: Afghanistan, 2002.
Ilardi, Gaetano Joe, “The 9/11 Attacks – A Study of Al Qaeda’s Use of Intelligence
and Counterintelligence”, Journal Studies in Conflict and Terrorism, Vol.
32.
Livingston, Ian S. dan Michael O’Hanlon, Afghanistan Index, 2017, tersedia di
https://www.brookings.edu/afghanistan-index/
Muna, Riefqi. “Paradigma Pertahanan dari Hard Power ke Soft Power.” Jurnal
Pertahanan dan Perdamaian Vol. 5 No. 1, (April 2009).
Nincic, Miroslav. The review of Politics: The National Interest and Its Interpretation,
Vol. 61, No. 1, (Agustus 2009).
xvi
Oppenheim, Felix E. Political Theory: National Interest, Rationality, and Morality,
Vol. 15, No. 3, (Agustus 1987).
P. Kaufman, Joyce. ”The US perspective on NATO under Trump: lessons of the past
and prospects for the future.” International Affairs, (Maret 2017).
Robertson, Colin. America First: The Global Trump at Six Months, The School of
Public Policy, (Juli 2017).
Splidsboel Hansen, Flemming. “Donald Trump and US -Russian Relations.
Geopolitical bromance or business-as-usual.” DIIS Policy Brief, 2016,
tersedia di
http://pure.diis.dk/ws/files/691409/Geopolitical_bromance_for_business_as_
usual_WEB.pdf
Thomas, Clayton. Afghanistan: Background and US Policy in Brief, (September
2018).
Thomas, Clayton. Al Qaeda and Islamic State Affiliates in Afghanistan, (Agustus
2018).
Virginia Murr, The Power of Ideas: Sayyid Qutb and Islamism, 2004.
Dokumen Resmi Amerika Serikat
Congress, Homeland Security Act of 2002, tersedia di
https://www.congress.gov/bill/107th-congress/house-bill/5005 diakses pada
28 Juli 2019.
xvii
“Department of Defense Press Briefing By Major General Hecker via
Teleconference from Kabul.” Diakses dari
https://dod.defense.gov/News/Transcripts/Transcript-
View/Article/1435192/department-of-defense-press-briefing-by-major-
general-hecker-via-teleconference/
“Dunford Encouraged by Afghan Coalition Efforts in Afghanistan.” Diakses dari
https://dod.defense.gov/News/Article/Article/1474837/dunford-encouraged-
by-afghan-coalition-efforts-in-afghanistan/
“Joint Press Conference with Secretary Carter and President Ghani at Presidential
Palace in Kabul Afghanistan.” Diakses dari
https://dod.defense.gov/News/Transcripts/Transcript-
View/Article/607015/joint-press-conference-with-secretary-carter-and-
president-ghani-at-presidentia/
“Media Availability with Secretary Mattis en route to Bogota Colombia.” Diakses
dari https://dod.defense.gov/News/Transcripts/Transcript-
View/Article/1605986/media-availability-with-secretary-mattis-en-route-to-
bogota-colombia/
“National Strategy for Counterterrorism of the United States of America.” Diakses
dari https://www.whitehouse.gov/wp-content/uploads/2018/10/NSCT.pdf
“Remarks by President Obama and President Ghani of Afhanistan in Joint Press
Conference.” Diakses dari https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-
xviii
office/2015/03/24/remarks-president-obama-and-president-ghani-
afghanistan-joint-press-conf
“Remarks by President Trump on the Strategy in Afghanistan and South Asia.”
Diakses dari https://www.whitehouse.gov/briefings-statements/remarks-
president-trump-strategy-afghanistan-south-asia/
“Remarks by the President on the Way Forward in Afghanistan.” Diakses dari
https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-office/2011/06/22/remarks-
president-way-forward-afghanistan
“Statement by the President on the End of the Combat Mission in Afghanistan.”
Diakses dari https://www.whitehouse.gov/the-
pressoffice/2014/12/28/statement-president-end-combat-mission-afghanistan
“Statement of Steven Emerson to the National Commission on Terrorist Attacks
Upon the United States.” Diakses dari
https://govinfo.library.unt.edu/911/hearings/hearing3/witness_emerson.htm
“Treasury and the Terrorist Financing Targeting Center Partners Sanction Taliban
Facilitators and their Iranian Supporters, U.S. Department of the Treasury.”
Diakses dari https://home.treasury.gov/news/featured-stories/treasury-and-
the-terrorist-financing-targeting-center-partners-sanction
“U.S. National Securiry Strategy: Prevent Our Enemies From Threatening Us, Our
Allies, and Our Friends with Weapons of Mass Destruction”, U.S.
Department of State, tersedia di https://2001-
2009.state.gov/r/pa/ei/wh/15425.htm diakses pada 26 Juli 2019.
xix
“U.S. Relations with Afghanistan.” Diakses dari https://www.state.gov/u-s-relations-
with-afghanistan/
Benjamin, Daniel. “Assessment of the U.S. Department of State’s Counterterrorism
Strategy.” Diakses dari http://london.usembassy. gov/terror031.html.
Bush, George W. Remarks by the President in Photo Opportunity with the National
Security Team , tersedia di
http://www.whitehouse.gov/news/releases/2001/09/20010912-4.html.
diakses pada 25 Juli.
Sumber Artikel Internet
“2015 Revision of World Population Prospects.” United Nations, tersedia di
https://population.un.org/wpp/ diakses pada 18 Juni 2019.
“AFCENT Airpower Summary.” Tersedia di https://www.af.mil/News/Article-
Display/Article/1702304/afcent-publishes-october-airpower-summary/
diakses pada 12 Mei 2019.
“Afghan President Ashraf Ghani addresses U.S. Congress.” Tersedia di
https://rs.nato.int/news-center/transcripts/afghan-president-ashraf-ghani-
addresses-us-congress.aspx diakses pada 8 Mei 2019.
xx
“Afghanistan Opium Production Up 43 Percent – UN Drugs Watchdog.” BBC,
tersedia di http://www.bbc.com/news/world-asia-37743433 diakses pada 18
Juni 2019.
“Imbalance of Powers: How Changes to U.S. Law & Policy Since 9/11 Erode Human
Rights and Civil Liberties”, tersedia di
http://www.lchr.org/us_law/loss/imbalance/imbalance.htm. diakses pada 27
Juli 2019.
“Kebijakan Larangan Trump Mulai Dirasakan Dampaknya.” BBC, tersedia di
http:/www.bbc.com/Indonesia/dunia-40453147/ diakses pada 25 Oktober
2018
“Kunjungan Hillary Clinton ke Timteng.” BBC, tersedia di
www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2009/09302.shtml diakses pada 19
Desember 2018
“NATO-Afghanistan Relations.” Tersedia di
https://www.nato.int/nato_static_fl2014/assets/pdf/pdf_2017_11/20171106_
171101-Media-Backgrounder-Afghanistan_en.pdf diakses pada 26 Juni
2019.
“Remembering the Pentagon Victim”, The Washington Post, tersedia di
http://www.washingtonpost.com/wpsrv/metro/specials/attacked/victims/vicli
st.html diakses pada 25 Juli 2019.
xxi
“September 11 Terror Attacks Fast Facts”, CNN, tersedia di
https://edition.cnn.com/2013/07/27/us/september-11-anniversary-fast-
facts/index.html diakses pada 25 Juli 2019
“The State of the World’s Children 2016 Statistical Tables.” UNICEF, tersedia di
https://data.unicef.org/resources/state-worlds-children-2016-statistical-tables/
diakses pada 18 Juni 2019.
“U.S. NATO mark end of 13 year war in Afghanistan.” Military Times, tersedia di
https://www.militarytimes.com/news/your-military/2014/12/28/u-s-nato-
mark-end-of-13-year-war-in-afghanistan/ diakses pada 8 Mei 2019.
“Worldwide Governance Indicators.” World Bank, tersedia di
http://info.worldbank.org/governance/wgi/index.aspx#home diakses pada 18
Juni 2019.
Berman, Russell. “Donald Trump’s Call to Ban Muslim Immigrants.” The Atlantic,
tersedia di http://www.theatlantic.com/politics/archive/2015/12/donald-
trumps-call-to-ban muslimimmigrants/419298/ diakses pada 25 Oktober
2018
Biddle, Stephen. “Ending the War in Afghanistan.” Foreign Affairs, tersedia di
https://www.foreignaffairs.com/articles/afghanistan/2013-08-12/ending-war-
afghanistan diakses pada 6 Mei 2019.
Bixby, Scott dan David Agren, Trump reveals plan to finance Mexico border wall
with threat to cut off funds, tersedia di https://www.theguardian.com/us-
xxii
news/2016/apr/05/donald-trump-mexico-border-wall-plan-remittances
diakses pada 15 Juni 2019.
Boone, Jon. “Musharraf: Pakistan and India’s Backing for ‘Proxies’ in Afghanistan
Must Stop.” The Guardian, tersedia di
https://www.theguardian.com/world/2015/feb/13/pervez-musharraf-
pakistan-india-proxies-afghanistan-ghani-taliban diakses pada 15 Juni 2019.
Borter, Gabriella dan Barbara Goldberg, For families of some 9/11 victims new DNA
tools reopen old wounds, tersedia di https://www.reuters.com/article/us-usa-
sept11-dna/for-families-of-some-9-11-victims-new-dna-tools-reopen-old-
wounds-idUSKCN1LQ15P diakses pada 25 Juli 2019.
Brown, Velbab. “Forging an Enduring Partnership with Afghanistan.” Tersedia di
https://nationalinterest.org/feature/forging-enduring-partnership-afghanistan-
17708?page=0%2C3 diakses pada 23 Juni 2019.
Charter, Philip. Trump is surrounding himself by generals, tersedia di
https://www.washingtonpost.com/opinions/trump-is-surrounding-himself-
with-generals-thats-dangerous/2016/11/30/e6a0a972-b190-11e6-840f-
e3ebab6bcdd3_story.html diakses pada 13 Juni 2019.
Chayes, Sarah. “Robert Gates Failure of Duty.” Los Angeles Times, tersedia di
https://www.latimes.com/opinion/op-ed/la-oe-chayes-gates-book-20140112-
story.html diakses pada 1 Mei 2019.
Cooper, Helene. “U.S. Braces for Return of Terrorist Safe Havens to Afghanistan.”
New York Times, tersedia di
xxiii
https://www.nytimes.com/2018/03/12/world/middleeast/military-safe-
havens-afghanistan.html diakses pada 12 Mei 2019.
Copp, Tata. “Mattis Signs Orders to Send about 3.500 More US Troops to
Afghanistan.” Tersedia di https://www.militarytimes.com/news/your-
military/2017/09/11/mattis-signs-orders-to-send-about-3500-more-us-troops-
to-afghanistan/ diakses pada 29 Juni 2019.
Diamond, Jeremy dan Stephen Collinson, “Donald Trump’s foreign policy: ‘America
first’,.” CNN, tersedia di http:// edition.cnn.com/2016/04/27/politics/donald-
trump-foreign-policyspeech/> diakses pada 26 Oktober 2018
Faiez, Rahim. Civilian Casualties in Afghanistan Topped 10,000 in 2014, tersedia di
http://www.unama.unmissions.org diakses pada 3 Mei 2019 pada
Gibbons-Neff, Thomas dan Helene Cooper, “Newest U.S. Strategy in Afghanistan
Mirrors Past Plans for Retreat.” New York Times, tersedia di
https://www.nytimes.com/2018/07/28/world/asia/trump-afghanistan-
strategy-retreat.html diakses pada 12 Mei 2019.
Greenblatt, Alan. Trump’s Speech Short on Domestic Policy Specifics, tersedia di
https://www.governing.com/topics/politics/gov-trump-speech-states.html
diakses pada 23 Juni 2019.
Jenkins, Simon, What impact did 9/11 have on the world?, tersedia di
https://www.theguardian.com/commentisfree/2011/sep/05/9-11-impact-
world-al-qaida diakses pada 25 Juli 2019.
xxiv
Kaura, Vinay. US-Pakistan relations in the Trump era: Resetting the terms of
engagement in Afghanistan, tersedia di
https://www.orfonline.org/research/us-pakistan-relations-trump-era-
resetting-terms-engagement-afghanistan/ diakses pada 23 Juni 2019.
Landler, Mark. “Obama Signs Pact in Kabul, Turning Page in Afghan War.” The New
York Times, tersedia di http://www.nytimes.com/2012/05/02/world/
asia/obama-lands-in-kabul-on-unannounced-visit.html. diakses pada 1 Mei
2019.
Landler, Mark. “The Afghan War and the Evolution of Obama.” New York Times,
tersedia di https://www.nytimes.com/2017/01/01/world/asia/obama-
afghanistan-war.html diakses pada 2 Juli 2019.
Lind, Michael. “Donald Trump is the Perfect Populist.” Politico, tersedia di
https://www.politico.com/magazine/story/2016/03/donald-trump-the-perfect-
populist-213697 diakses pada 13 Juni 2019.
Londono, Ernesto, DeYoung, Karen, dan Greg Miller. “Afghanistan Gains will be
Lost Quickly After Drawdown.” Washington Post, tersedia di
http://www.washingtonpost.com/world/national security/afghanistan-gains-
will-be-lost-quickly-after-drawdownus-intelligence-estimate-
warns/2013/12/28/ac609f90-6f32-11e3-aecc 85cb037b7236_story.html
diakses pada 6 Mei 2019.
xxv
Mashal, Mujib. “Time for This War in Afghanistan to End,’ Says Departing U.S.
Commander.” New York Times, tersedia di
https://www.nytimes.com/2018/09/02/world/asia/afghan-commander-us-
john-nicholson.html diakses pada 12 Mei 2019.
Masters, James dan Katie Hunt, “Trump rattles NATO with 'obsolete' blast.” CNN
Politics, tersedia di
https://edition.cnn.com/2017/01/16/politics/donaldtrump-times-bild-
interview-takeaways/index.html diakses pada 12 Mei 2019.
Mehta, Aaron. Interview: Former Pentagon chief Chuck Hagel on Trump, Syria and
N Korea, tersedia di
https://www.defensenews.com/interviews/2018/02/02/interview-former-
pentagon-chief-chuck-hagel-on-trump-syria-and-korea/ diakses pada 12 Mei
2019.
Miller, Steven E. After the 9/11 Disaster: Washington’s Struggle to Improve
Homeland Security, tersedia di
https://www.belfercenter.org/publication/after-911-disaster-washingtons-
struggle-improve-homeland-security diakses pada 28 Juli 2019.
Mindock, Clark. “Travel Ban: What is Trump’s major immigration policy, and why is
it called a ‘Muslim ban’? All you need to know.” Independent, tersedia di
http://www.independent.co.uk/news/world/americas/us-politics/travel-ban-
trump-what-is-it-muslim-countries-list-restrictions-latest-a8093821.html
diakses pada 20 November 2018.
xxvi
Mitchell, Ellen. “U.S. to Send 3,500 More Troops to Afghanistan.” TheHill, tersedia
di http://thehill.com/policy/defense/349486-us-to-send-3500-more-troops-to-
afghanistan-report, diakses pada 19 Desember 2018.
Sestanovich, Stephen.“The Brilliant Incoherence of Trump’s Foreign Policy.” The
Atlantic, tersedia di
https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2017/05/thebrilliant-
incoherence-of-trumps-foreign-policy/521430/ diakses pada 12 Mei 2019.
Sloan, Stanley R. “Policy Series: Donald Trump and NATO: Historic Alliance Meets
Ahistoric President.” The International Security Studies Forum, tersedia di
https://issforum.org/roundtables/policy/1-5am-nato diakses pada 12 Mei
2019.
Sopko, John. Report of Special Inspector General for Afghanistan Reconstruction,
tersedia di http://www.sigar.mil/pdf/quarterlyreports/2014-07-30qr.pdf
diakses pada 1 Mei 2019.
Tilghman, Andrew. “Afghanistan War officially ends”. Military Times, tersedia di
http://www.militarytimes.com/story/military/pentagon/2014/12/29/afghanist
an-war-officially-ends/21004589/ diakses pada 3 Mei 2019.
Twohey, Megan, Buettner, Russ dan Steve Eder, Inside the Trump Organization the
Company That Has Run Trump’s Big World, tersedia di
https://www.nytimes.com/2016/12/25/us/politics/trump-organization-
business.html diakses pada 13 Juni 2019.
xxvii
Wang, Amy B. Donald Trump plans to immediately deport 2 million to 3 million
undocumented immigrants, tersedia di
https://www.washingtonpost.com/news/the-fix/wp/2016/11/13/donald-
trump-plans-to-immediately-deport-2-to-3-million-undocumented-
immigrants/?utm_term=.ebce2bb8e1ac diakses pada 15 Juni 2019.
Zawahiri, Ayman, Knights Under the Prophet's Banner, tersedia di
https://scholarship.tricolib.brynmawr.edu/bitstream/handle/10066/4690/ZA
W20011202.pdf?sequence=4 diakses pada 5 April 2019 dari
Wawancara
Wawancara dengan Siswanto, Ahli Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dan
Kepala Bidang Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Penelitian Pusat Penelitian
Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 1 Juli 2019.
xxviii
Lampiran 1
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama : Siswanto
Jabatan : Kepala Bidang Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Penelitian
Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Ahli
Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat.
Tempat dan Waktu : Gedung Widya Graha, Jl. Gatot Subroto Jakarta Selatan, 1
Juli 2019 Pukul 14.00 WIB
Pertanyaan Wawancara di LIPI:
1. Bagaimana pandangan bapak mengenai kebijakan kebijakan luar negeri
Amerika Serikat periode Trump dalam memerangi terorisme di
Afghanistan?
Jawab: Doktrin Bush merupakan awal mula AS melakukan serangan
Afghanistan, atas reaksi terhadap peristiwa nine eleven lalu AS membelah
dunia menjadi dua bagian ‘kami atau mereka’ kami adalah sekutunya dan
mereka adalah teroris.Antara Obama dengan Trump,kita lihat mereka
berangkat dari kedua partai yang berbeda. Obama mengeluarkan kebijakan
xxix
dengan menarik seluruh pasukan AS dari Afghanistan. Jika kebijakan tersebut
diterapkan, maka yang terjadi adalah instabilitas kawasan dan akan
memungkinkan terjadinya perang sipil di sana. AS masuk di Afghanistan pada
masa Bush dengan menggulingkan pemerintahan Taliban dan mengangkat
pemerintah yang didukung AS.
Jika melihat dari garis seorang Trump, sebenarnya ingin menarik seluruh
pasukan AS dari keterlibatan konflik negara lain. Karena dengan latar
belakang pebisnis, Trump mempertimbangkan untung dan rugi. Padahal di
sisi lain membutuhkan biaya untuk membangun ekonomi AS. Kemudian yg
terjadi jutru penambahan pasukan, dikarenakan masalah stabilitas kawasan.
Taliban semakin kuat, rezim pemerintah Afghanistan yg didukung AS
terancam. Jika itu terjadi, maka akan sia-sia operasi militer AS, oleh karena
itu diperlukan penambahan pasukan.
Pada dasarnya, kebijakan LN Trump lebih dipengaruhi oleh orang-orang
sekitarnya (penasehat) yg memberi masukan. Seperti penasehat keamanan,
John Bolton, Trump sangat mendengarkan masukannya. Bolton ini sangat
kuat pengaruhnya. Faktor-fakor yang mempengaruhi penambahan pasukan:
Pertimbangan keamanan dan stabilitas kawasan karena Taliban semakin kuat
dan pengaruh orang di sekitar Trump seperti Penasehat Keamanan AS, John
Bolton.
xxx
2. Bagaimana faktor dari dalam diri Trump mempengaruhi perumusan
Kebijakan LN AS?
Jawab: Terdapat sebuah studi di Amerika yg membuat kategori tentang
karakter para Presiden AS:
1. Aktif Positif
Karakter ini dimiliki oleh John F. Kenedy. Orang-orang yang berfikirnya
negarawan seperti John F. Kenedy, Woodrow Wilson. Ciri2 menghargai
orang lain, terbuka terhadap ide orang lain, kerja keras.
2. Aktif Negatif
Orangnya inkonsisten, tetapi pekerja keras, tempramen, sentimental.
3. Pasif Positif
Ambisi dengan power, Ronald Reagen. Bagusnya konsen dengan nilai-nilai
sosial, nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai kemanusiaan.
Trump ini saya kategorikan pada aktif negatif. Trump tipikal orang pekerja
keras, ulet,dan pantang menyerah, akan tetapi kontroversi dan inskonsisten.
Orang dengan tipikal aktif negatif cenderung menyukai keramaian. Trump
mengangkat lawan bisnisnya untuk menjadi salah satu penasehat presiden,
oleh karena itu pasti akan timbul gejolak. Trump di awal kepemimpinannya
memecat 35 Duta Besar yang tidak pernah terjadi pada periode presiden AS
xxxi
sebeumnya. Hal tersebut dapat terjadi karena Trump merupakan sosok
kontroversi.
Trump mengakui Yerussalem sebagai ibukota Israel, Obama tidak berani
melakukannya. Trump berani karena ia kontroversi. Pada saat kampanye,
Trump menemukan ibu dengan membawa anak yang menangis kemudian
Trump mengusirnya keluar. Hal seperti ini tidak pernah terjadi pasa masa
presiden sebelumnya.
Trump mengemukakan ‘America First’ ketika pidato pertamanya atau pidato
kemenangan menjadi Presiden, Hal tersebut dibuktikan Trump melalui
pembuatan tembok pembatas Meksiko dan perang dagang melawan China.
Selain itu, Trump juga mengemukakan slogan ‘Make America Great Again’
ketika berpidato di depan Kongres. Hal ini menunjukkan bahwa Trump ingin
membawa AS berjaya kembali di kancah internasional. Jadi, dalam politik
luar negeri Trump ingin menyampaikan 2 hal. Pertama, mengembangkan
kebijakan yang protektif seperti melindungi warga AS dari pekerja-pekerja
illegal dari perbatasan. Kedua, ingin membangun AS menjadi negara besar
3. Jadi dapat dikatakan bahwa Trump berhasil atau kuat dalam kebijakan
terkait ekonomi?
Jawab: Sebenarnya Trump tidak peduli apakah negara lain akan bermusuhan
dengan AS atau tidak. Permaslahannya adalah Trump menggunakan cara atau
xxxii
pengalamannya mengelola perusahaan dijadikan untuk mengelola negara. Ini
managernya tidak bisa bekerja ganti, ini menterinya tidak bisa ganti. Trump
memang gemar mengganti menteri seenaknya.
Dalam konteks politik luar negeri, kebijakan AS mengarah pada American
First terbukti dengan pembuatan tembok perbatasan meksiko, perang dagang
dengan China untuk melindungi ekonomi domestik AS. Kemudian Make
America Great Again yaitu masuk pada kebijakan terhadap Afghanistan,
Syuriah, kemudian bermusuhan dengan Korea Utara, diplomasi dengan Korea
Utara. Tapi saya tidak yakin jika Trump bersungguh-sungguh dalam
membangun perdamaian dengan Korea Utara. Karena itu sebenarnya hanya
permainan diplomasi AS, jiwa Trump bukan ke arah sana. Ia hanya ingin
menunjukkan kepada public AS jika ia telah melakukan diplomasi dengan
Korea Utara dalam rangka melaksanakan perdamaian. Politik Luar Negeri
merupakan salah satu indicator penting karena AS merupakan negara super
power. Jika politik luar negerinya kurang bagus, maka akan menjadi
pertimbangan jika mencalonkan kembali periode depan.
4. Jika dibandingkan dengan kebijakan kontra-terorisme periode Obama
di Afghanistan, manakah yang lebih efektif?
Jawab: Dapat saya katakan lebih efektif Obama karena ia berhasil membunuh
Osama bin Laden. Kunci pergerakan Al Qaeda berada pada Osama, jika
xxxiii
Osama telah tiada Al Qaeda semakin melemah. Kalau Trump berhasil
mengalahkan ISIS di Syuriah. Akan tetapi secara keseluruhan lebih berhasil
Obama. Taliban semakin kuat sekarang, itu menandakan bahwa Trump
lengah.
5. Faktor apa yang menjadikan Taliban semakin kuat?
Jawab: Karena sebelumnya Taliban kurang diperhatikan oleh Amerika Serikat
sehingga dapat mengkonsolidasikan kekuatan dan mengancam pemerintah
yang berkuasa. Seharusnya pasukan ditambah lagi, mau tidak mau supaya
tidak kehilangan pengaruh di sana. Akan tetapi untuk menambah pasukan
dibutuhkan cost yang banyak.