Click here to load reader
Upload
phungthu
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
I. PENDAHULUAN
Dalam istilah bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “Kawin”
yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami
atau beristeri. Perkawinan juga disebut pernikahan yang berasal dari kata
“Nikah” yang menurut bahasa artinya perjanjian antara laki-laki dan perempuan
untuk bersuami isteri.
Perkawinan yang dalam istilah agama Islam disebut “Nikah” adalah
melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-
laki dengan wanita unuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah
pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan
suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman dengan cara yang diridhoi Allah.1
Pelaksanaan perkawinan di Indonesia selalu beragam, diantaranya yaitu
perkawinan yang tidak dicatat. Perkawinan yang tidak dicatat adalah perkawinan
yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat saja dan tidak dicatat
melalui proses perundng-undangan yang berlaku. Berkembang perbedaan
pendapat masyarakat tentang perkawinan yang tidak dicatat ini, ada yang
berpendapat bahwa perkawinan tersebut sah, dan ada pula yang menyatakan tidak
sah.
1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.8
ii
Perkawinan yang tidak dicatat memang masih terjadi di Indonesia, meski
telah dibuat aturan tentang perkawinan dan pencatatannya, perkawinan yang tidak
dicatat ini sulit untuk diawasi oleh pihak yang berwenang. Ini karena perkawinan
itu dilakukan berdasarkan adat istiadat masyarakat setempat serta dilangsungkan
di hadapan tokoh agama sebagai penghulunya. Masalah pencatatan perkawinan
ini kurang diperhatikan oleh sebagian kalangan masyarakat, dikarenakan
kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat tentang arti pentingnya
suatu pencatatan perkawinan.
Perkawinan yang tidak dicatat ini memang menimbulkan perbedaan
pendapat di kalangan masyarakat. Persoalannya akan berakibat apabila terjadi
suatu permasalahan terutama dalam hal putusnya perkawinan, mereka akan
dihadapkan pada suatu kesulitan untuk membuktikan perkawinan yang telah
dilakukan itu, dan juga akan berakibat pada kedudukan perkawinan itu sendiri
serta akibat hukumnya baik terhadap suami, istri, anak, dan harta kekayaannya.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi adalah: 1. Bagaimana
keabsahan perkawinan yang tidak dicatat menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam?, 2. Bagaimana akibat hukum
perkawinan yang tidak dicatat terhadap kedudukan suami, istri, anak dan harta
kekayaannya menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam?
iii
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui keabsahan
perkawinan yang tidak dicatat menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam. 2. Untuk mengetahui akibat hukum perkawinan
yang tidak dicatat menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam. Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1.
Manfaat teoritis adalah Merupakan salah satu syarat untuk menyelesikan studi
pada Strata Satu (S1) program studi ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Mataram, Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan
kontribusi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan hukum perkawinan
pada khususnya serta dapat digunakan sebagai landasan penelitian selanjutnya
dalam bidang ilmu penelitian. 2. Manfaat praktis yaitu diharapkan dapat
memberikan masukan pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang
Hukum Perkawinan.
Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum
Normatif adalah penelitian yang menggunakan sumber bahan kepustakaan.
Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini
adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), Pendekatan
Konseptual (Conceptual Approach), dan Pendekatan Perbandingan (Comparative
Approach).
iv
II. PEMBAHASAN
A. Keabsahan Perkawinan Yang Tidak Dicatat Menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
Sebagaian besar masyarakat menganggap bahwa perkawinan yang tidak
dicatat itu tetap sah sepanjang perkawinan itu dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaan mereka dan telah terpenuhinya rukun serta syarat
perkawinan. Sesuai bunyi Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam.
Inilah yang menjadi dasar sebagian besar masyarakat dalam menganggap
sahnya suatu perkawinan, meski terdapat aturan yang menyebutkan tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi
aturan tersebut tidak serta-merta membuat perkawinan itu tidak sah, melainkan
aturan tersebut bertujuan untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat. Seperti yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum
Untuk mendapakan bukti perkawinan yang otentik agar mendapat
perlindungan hukum atas perkawinanyang tidak tercatat, maka upaya yang dapat
dilakukan oleh mereka yang melakukan perkawinan tersebut adalah dengan cara
mengajukan permohonan pengesahan perkawinan atau Itsbat Nikah ke
v
Pengadilan Agama, sesuai dengan bunyi Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum
Islam yaitu:
“Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama”
Dalam hal perkawinan yang tidak dicatat ini, dapat dilakukan Itsbat
Nikah, karena adanya keraguan tentang keabsahan suatu perkawinan. Setelah
dilangsungkan Itsbat Nikah tersebut, maka status perkawinan yang pernah
dilakukan menjadi perkawinan yang tercatat yang dibuktikan dengan akta nikah.
B. Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatat Terhadap Kedudukan
Suami, Istri, Anak Dan Harta Kekayaannya Menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
1. Kedudukan Suami ; Kedudukan suami isteri menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam telah dijelaskan secara
tegas bagaimana hak dan kewajiban antara suami dan isteri. Dalam Pasal 30
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa:
“Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
Sedangkan menurut Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
bahwa:
a) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat;
vi
b) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
c) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.d) Jika suami isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Sejak dilangsungkannya perkawinan, maka sejak saat itu menjadi
tetaplah kedudukan laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai isteri, dan
sejak saat itu pula suami dan isteri memperoleh hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tertentu dalam ikatan perkawinan.2
Meski akibat yang timbul dari perkawinan yang tidak dicatat terhadap
suami hampir tidak ada dampak yang mengkhawatirkan, akan tetapi hal itu
tidak melepaskan suami dari kedudukn dan tanggung jawabnya sebagai kepala
keluarga dalam rumah tangga. Dalam Islam seorang yang sudah menjadi
suami isteri yang sah, tetap memiliki hak dan kewajiban masing-masing.
Menurut hukum Islam suami dan isteri dalam membina keluarga/rumah tangga harus berlaku dengan cara yang baik (ma’ruf), sebagaimana Allah SWT berfirman: ‘Dan bergaullah dengan mereka (para isteri) dengan cara yang baik’, kemudian dalam Hadis Tarmizi, Rasulullah SAW mengatakan ‘orang mukmin yang lebih sempurna imannya adalah yang terbaik ahlaknya, dan sebaik-baiknya anda adalah yang sangat baik kepada isteri’. Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis itu, maka kewajiban utama suami dalam membina keluarga/rumah tangga adalah berbuat sebaik mungkin kepada isteri.3
2 Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, Bina Cipta, Yogyakarta, 1976, hlm. 55.3 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm.107
vii
Banyak dalil baik dari Al-Qur’an dan Hadis yang mempertegas posisi
suami dalam rumah tangga antara lain hak memimpin rumah tangga itu ada
ditangan suami. Adapun kedudukan suami dalam perkawinan yaitu menjadi
imam sekaligus pelindung dalam rumah tangga sebagaimana firman Allah
dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 34 yang artinya:
"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya”.
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menegaskan tentang kedudukan
masing-masing orang adalah penanggung jawab, sebagaimana sabda beliau
yang artinya:4
"Setiap dari kalian adalah penanggung jawab, dan masing-masing akan ditanya tentang tanggungjawabnya. Penguasa adalah penanggung jawab atas rakyatnya, dan akan ditanya tentangnya. Suami menjadi penanggung jawab dalam keluarganya, dan akan ditanya tentangnya. Isteri adalah penanggung jawab di rumah suaminya, dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Pembantu bertanggung jawab atas harta tuannya dan akan ditanya tentangnya," (Ibnu Umar berkata: dan saya kira Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berkata): "Dan anak adalah penanggung jawab atas harta bapaknya dan akan ditanya tentangnya, dan setiap kalian adalah penanggung jawab, dan masing-masing akan ditanya tentang tanggung jawabnya".
Syari’at Islam memberikan suami hak yang besar atas isterinya. Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya:5
4 HR. Al-Bukhari, No. 893, dan Muslim, No.48285 HR. Abu Dawud, No. 2142, At-Tirmidzi, No.1192, dan Ibnu Majah No.1925.
viii
"Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan para isteri untuk sujud kepada para suami mereka, karena besarnya hak yang Allah berikan kepada para suami atas mereka"
2. Kedudukan Isteri ; Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa
kedudukan isteri itu seimbang dengan suami sebagaimana dalam Pasal 31
Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 79 Ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan:
“Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.
Seorang isteri juga memiliki kewajiban, sesuai bunyi Pasal 83 Ayat (1)
dan Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, diantara kewajibannya yaitu:
(1) Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami didalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Mengenai kedudukan isteri, Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan
martabat kaum wanita, karena wanita yang paling berperan didalam
kehidupan rumah tangga, dan pada diri wanita mempunyai peran ganda dalam
kehidupan rumah tangga yaitu mengandung, melahirkan, mendidik, mengasuh
dan membesarkan. Sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam di
riwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya:
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah”
ix
Menurut syari’at Islam, isteri memiliki hak yang seimbang dengan
suami seperti firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 228
yang artinya:
“Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami, mempunyai kelebihan diatas mereka”.
Ayat ini menentukan adanya kedudukan yang seimbang antara suami
dengan isteri dalam hal hak dan kewajibannya, meskipun seorang suami
memiliki kelebihan diatas istrinya. Demikianlah Islam memandang tentang
seorang isteri.
3. Kedudukan Anak ; Menurut Riduan Syahrani dalam bukunya “Seluk-
beluk dan Asas-asas Hukum Perdata”, bahwa anak yang dilahirkan diluar
perkawinan yang sah adalah bukan anak yang sah, sehingga membawa
konsekuensi dalam bidang pewarisan. sebab anak yang dilahirkan diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.6
seperti yang dijelaskan dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
6 Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Cet II, Alumni, Bandung, 1989, hlm.100-101
x
“Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya”.
Akan tetapi, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010, yang memutuskan bahwa anak yang dilahirkan diluar
perkawinan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya jika
dapat dibuktikan secara medis dan teknologi.
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan diantaranya Pasal 43 Ayat
(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut:
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”,tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak
dengan seorang laki-laki sebagai bapaknya tidak semata-mata karena adanya
ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya
hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapaknya.
Dengan demikian, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum.
xi
4. Kedudukan Harta Kekayaan ;
Pengertian harta tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut: a. Harta Bersama ; Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh sesudah suami-istri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Dan harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga baik suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1) UUP). b. Harta Bawaan ; Harta Bawaan yaitu harta benda yang telah dimiliki masing-masing suami-istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Artinya, seorang istri atau suami berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (2) UUP). c. Harta Perolehan ; Harta perolehan adalah harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan (suami istri) setelah terjadinya perkawinan. Seperti halnya harta bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi masing-masing pasangan, baik suami maupun istri, sepanjang tidak ditentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan, harta ini berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya (Pasal 87 ayat 2 KHI).
Dalam hal penyelesaian sengketa harta, timbul suatu persoalan
hukum yaitu mengenai harta yang berasal dari perkawinan yang tidak dicatat,
jika terjadi sengketa harta dari perkawinan tersebut, maka para pihak yang
bersangkutan menemukan kesulitan dalam menentukan ketentuan hukum
mana yang berlaku terhadap penyelesaian sengketa harta dari perkawinan
yang tidak dicatat tersebut.
Senada dengan itu, Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
menyatakan bahwa:
Bila terjadi sengketa harta akibat putusnya suatu perkawinan, maka diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum masing-masing pihak, dalam hal ini ketentuan hukum agama, hukum adat, atau menurut hukum yang disepakati kedua belah pihak.
xii
III. PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka
dapat ditarik suatu kesimpulan, yaitu: 1. Bahwa keabsahan perkawinan yang
tidak dicatat ini tetap dikatakan perkawinan yang sah secara Hukum Islam
maupun Hukum Negara. Karena telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan,
sedangkan dari segi hukum Negara perkawinan itu telah memenuhi Pasal 2 Ayat
(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hanya saja perkawinan itu dianggap
tidak pernah terjadi karena tidak adanya bukti otentik yang menyatakan
perkawinan itu pernah terjadi. Tetapi terdapat upaya yang bisa dilakukan bagi
mereka yang melakukan perkawinan yang tidak dicatat ini untuk mendapatkan
bukti perkawinan yang mereka lakukan yaitu dengan cara mengajukan
permohonan pengesahan perkawinan atau Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama.
Sesuai dengan bunyi Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Maka dengan
upaya yang dilakukan tersebut, perkawinan yang pernah dilakukan menjadi
perkawinan yang tercatat. 2. Bahwa dalam perkawinan yang tidak dicatat ini
memang menimbulkan akibat hukum baik terhadap suami, isteri, anak dan harta
kekayaan mereka. Adapun akibat hukum dari perkawinan itu ialah tidak adanya
kepastian hukum dari perkawinan itu sendiri, perkawinan tersebut tidak diakui
olah Negara dan tidak berhak mendapat perlindungan hukum atas
perkawinannya itu. Namun setelah dilangsungkan Itsbat, maka status perkawinan
xiii
yang tidak dicatat tersebut sama dengan perkawinan yang tercatat. Sedangkan
menurut hukum Islam kedudukan mereka tetap diakui serta hak dan kewajiban
mereka tetap ada sepanjang perkawinan yang dilaksanakan telah memenuhi
rukun dan syarat nikah. Sedangkan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan
yang tidak dicatat ini, jika perkawinan tersebut putus baik karena perceraian
ataupun karena kematian, maka dalam hal penyelesaian sengketa harta tersebut
tidak dapat diselesaikan secara hukum Negara (litigasi), melainkan diselesaikan
sesuai dengan ketentuan hukum masing-masing pihak, dalam hal ini ketentuan
hukum agama, hukum adat, atau menurut hukum yang disepakati kedua belah
pihak. Sesuai dengan Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
Saran
Setelah memberikan kesimpulan, penyusun ingin mengajukan saran-
saran sebagai berikut: 1. Perlu menjadi perhatian dan pertimbangan khusus
bagi yang akan melakukan perkawinan, hendaknya sebelum melangsungkan
perkawinan terlebih dahulu memberitahukan keinginannya untuk
melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam hal ini
Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang Islam, dan Kantor Catatan Sipil bagi
yang Non-Islam. Karena jika perkawinan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan
prosedur perundang-undangan yang berlaku maka akan menimbulkan dampak
nigatif terhadap perkawinan tersebut. 2. Perlu dilakukan penyuluhan maupun
sosialisasi yang berlanjut terutama tentang kseadaran hukum masyarakat akan
pentingnya pencatatan perkawinan dan tentang dampak perkawinan yang tidak
xiv
dicatat. 3. Perlu dilakukan yudicial review (uji materi) oleh Pemerintah dan DPR
yang berkompeten dalam hal ini melakukan revisi terhadap Pasal-pasal dalam
Undang-Undang Perkawinan sehingga ditetapkan sebagai pedoman maupun
acuan dalam malakukan perkawinan.
xv
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan, Sabiq,2009.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm.107
Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di
Indonesia, Bina Cipta, Yogyakarta, 1976.
HR. Abu Dawud, No. 2142, At-Tirmidzi, No.1192, dan Ibnu Majah No.1925.
HR. Al-Bukhari, No. 893, dan Muslim, No.4828
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1999.
Syahrani, Riduan, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Cet II, Alumni, Bandung, 1989.