Upload
fajar-ridalta-putra
View
43
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jjsksksl
Citation preview
Geo-Environment Scholars Championship 2012
Ekspresi Topografi (Topographic Expression)
Untuk Pemetaan Longsorlahan di Wilayah
Kabupaten Kulon Progo
Moh. Fadhih Al Wahidy, Nugroho Purwono
Fakultas Geografi UMS, Jl. A. Yani Pabelan Kartasura Tromol Pos I, Surakarta 57102
e-mail: [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Longsorlahan merupakan gejala fisik dari proses alam pada lereng perbukitan/ pegunungan, seperti
halnya yang terjadi di Pegunungan Menoreh, Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini bertujuan untuk
memetakan longsorlahan eksisting melalui interpretasi peta topografi berdasarkan ekspresi topografi dari
garis kontur. Garis kontur menunjukkan suatu pernyataan atau kesan morfologi bumi yaitu ekspresi
topografi tentang konfigurasi kelerengan seperti kemiringan lereng, bentuk lereng, panjang lereng dan
ketinggian. Lereng menjadi variabel utama terhadap kejadian longsorlahan. Metode penelitian yang
digunakan adalah interpretasi bentuk dan pola garis kontur untuk mengetahui kenampakan lereng yang
mengalami pelongsoran. Metode interpretasi digunakan untuk mengidentifikasi longsorlahan terhadap
bentuk dan pola dari garis kontur dengan mengamati perbedaan bentuk kontur “u”, bentuk “v”, dan
bentuk “n” sebagai indikator kejadian longsorlahan dari konfigurasi lereng berupa daerah lembah,
perbukitan, atau pegunungan. Pola merupakan tingkat kerapatan kontur yaitu rapat dan tidak rapat sebagai
indikator bentuk lereng landai seragam, curam, cembung, dan cekung, serta menunjukkan kemiringan,
panjang, dan ketinggian. Identifikasi longsorlahan dipertajam dengan metode visualisasi topografi 3D
berupa TIN (triangulated irregular network) dan pengetahuan longsorlahan lokal. Hasil penelitian
sementara berupa delineasi bentuk lereng menunjukkan bahwa perubahan bentuk kontur dari “n” yang
rapat menjadi bentuk “u” renggang merupakan lereng cekung yang diperkirakan terjadi longsorlahan.
Katakunci: ekspresi topografi, interpretasi peta topografi, longsorlahan.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Longsorlahan merupakan proses alam yang biasa terjadi pada musim penghujan di lereng-lereng
pegunungan/perbukitan sebagai perwujudan alam dalam mencari keseimbangan. Peristiwa longsor atau
dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya; sering terjadi pada lereng-lereng alam
dan/atau buatan hasil aktivitas manusia. Longsorlahan merupakan gerakan lereng yang tidak stabil;
dibedakan menjadi jatuhan, runtuhan, longsoran, sebaran, dan aliran (Varnes, 1978 dalam USGS, 2004).
Bencana longsor sering terjadi di Kabupaten Kulon Progo, terutama di empat kecamatan, yaitu
Samigaluh, Kalibawang, Girimulyo, dan Kokap. Berdasarkan data dari BNPB, pada tahun 2006 terjadi
longsor yang mengakibatkan 500 rumah rusak ringan. Data dari Kesbanglinmas dan BPBD Kabupaten
Kulon Progo, pada tahun 2007 terjadi longsor di Kecamatan Kokap yang mengakibatkan 6 rumah rusak
ringan. Di Kecamatan Girimulyo dan Kalibawang juga terjadi longsor yang merusak 4 rumah. Kerugian
dicapai sekitar Rp 10 juta, setiap rumah Rp 2 – 4 juta. Pada tahun 2010 dari BNPB, longsor terjadi di
Kecamatan Samigaluh yang menimbulkan 6 warga untuk mengungsi karena rumah mengalami
kerusakan; 2 rumah rusak ringan, 1 rumah rusak berat, juga material tanah menimbun ruas jalan dan
mengakibatkan beberapa pohon terjatuh/roboh. Pada tahun 2011, terdapat 1 orang yang meninggal dan 1
orang mengalami luka-luka akibat longsor.
Selama ini pemetaan kerawanan longsor banyak menggunakan teknik penginderaan jauh dengan
data citra resolusi spasial tinggi. Penggunaan data citra terbatas karena data tidak selalu up to date dan
sulit mencari data terbaru yang membutuhkan biaya yang cukup tinggi karena harganya yang relatif
mahal.
Alternatif untuk pemetaan longsor menggunakan ekspresi topografi dari peta topografi dapat dengan
mudah dimanfaatkan untuk pemetaan bahaya longsor (Rogers, 2004). Upaya untuk mengidentifikasi
longsorlahan dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan geomorfologi terhadap kelerengan yang
direpresentasikan pada peta topografi dengan mengenali fitur longsor secara spasial melalui ekpresi
topografi yaitu melakukan interpretasi peta topografi dengan melihat bentuk dan pola garis kontur.
Peta topografi merupakan salah satu jenis data sekunder yang sangat baik untuk digunakan dalam
studi kajian wilayah karena menyajikan unsur-unsur alami (natural features) dan unsur-unsur buatan
manusia (man made features) di atas muka bumi. Unsur-unsur alami seperti kondisi relief dan kelerengan
daerah diperlihatkan pada peta topografi melalui garis kontur. Garis kontur menunjukkan suatu
pernyataan atau kesan morfologi bumi yaitu ekspresi topografi tentang konfigurasi kelerengan seperti
kemiringan lereng, bentuk lereng, panjang lereng dan ketinggian. Berdasarkan ekspresi topografi
dilakukan identifikasi longsorlahan dengan metode interpretasi terhadap penyimpangan/perbedaan bentuk
kontur “n” menjadi bentuk “u” atau bentuk “v”, dan melalui pola kontur yaitu rapat atau renggang/jarang
yang menunjukkan tingkat kecuraman lereng berupa konfigurasi daerah lembah atau
perbukitan/pegunungan. Bentuk dan pola garis kontur menunjukkan bentuk lereng, antara lain: landai
seragam, cekung, dan cembung digunakan sebagai indikator untuk pemetaan longsorlahan. Metode
interpretasi dipertajam dengan metode visualisasi topografi 3D menggunakan TIN (Triangulated
Irregular Network) karena merepresentasikan permukaan bumi secara akurat, tidak hanya ketinggian
lokasi, tetapi juga kenampakan alami yaitu bentuk pada permukaan lereng/kelerengan seperti punggung
bukit, dan lembah aliran sungai (Zeiler, 1999).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu: (1)
bagaimanakah cara identifikasi longsorlahan berdasarkan ekspresi topografi di daerah penelitian? (2)
bagaimanakah pemetaan longsorlahan melalui pendekatan interpretasi ekspresi topografi di daerah
penelitian?
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menyusun kunci interpretasi berdasarkan ekspresi topografi untuk
mengidentifikasi longsorlahan di daerah penelitian; (2) memetakan longsorlahan eksisting dengan
interpretasi ekspresi topografi di daerah penelitian.
1.4 Penelitian Sebelumnya
Rogers and Doyle (2004) melakukan penelitian di zona seismik New Madrid, Missouri dan
Arkansas. Metode yang digunakan difokuskan pada identifikasi awal daerah yang terduga terjadi
longsoran menggunakan protokol topografi berdasarkan ekspresi topografi, pemeriksaan foto udara,
survei lapangan dan penampang geofisik. Pemetaan menggunakan kunci drainase dan topografi untuk
mengenali karakteristik situs anomali/penyimpangan khas dari garis kontur terhadap berbagai bentuk
longsor. Bentuk yang paling umum dari ekspresi topografi yaitu: perbedaan kontur, lekukan kurva kontur,
bentuk kurva lengkung pada batas bukit, bentuk kontur “n” yang terisolasi, punggung bukit yang
terisolasi, lereng bukit bergerak turun, pergeseran/perpindahan pola, dan kipas profil.
Fernandes et al (2004) melakukan penelitian di daerah lembah sungai wilayah Quitite dan Papagaio
di Meksiko, daerah aliran di sisi Barat pegunungan tinggi Tijuca (The Tijuca Massif) dengan luas wilayah
sekitar 2,13 - 2,22 km2 dan wilayah tersebut hampir sebanyak 100 kejadian longsor telah dipetakan tahun
1996. Metode yang digunakan adalah pemetaan kejadian longsor dan pemetaan lapangan menggunakan
DEM (Digital Elevation Model), menyelidiki karakteristik topografi (lereng, bentuk lereng perbukitan,
pertambahan area akibat kejadian longsor sebelumnya, dan arah hadap lereng), serta menggunakan
data/peta vegetasi yang dioverlay dengan peta bekas/kejadian longsor sebelumnya.
Priyono (2012) melakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik bentuklahan kejadian
longsorlahan di pegunungan Kulonprogo, serta tipologi pedogeomorfik wilayah rawan longsorlahan di
pegunungan Kulonprogo berdasarkan karakteristik bentuklahan dan tanahnya. Metode yang digunakan
adalah metode survei, perolehan data secara sampling dengan analisis gabungan kualitatif dan kuantitatif.
Kejadian longsorlahan yang ada dikaji secara geomorfik dan pedologis untuk mengetahui tipologi
pedogeomorfik kejadian longsorlahan mendatang.
2. DASAR TEORI
Interpretasi peta merupakan kegiatan melihat dan mengamati sebuah peta dan mencari penjelasan
terhadap pola dari objek tersebut (Muehrcke, 1978). Interpretasi peta topografi lebih menekankan pada
pengamatan terhadap garis kontur untuk menafsirkan medan atau konfigurasi relief dan kelerengan suatu
daerah.
Interpretasi garis kontur pada peta topografi juga dapat menunjukkan jenis atau bentuk lereng, yaitu
lereng landai seragam (gentle), lereng curam (steep), lereng cembung (convex), dan lereng cekung
(concave) (Aamli Kam, 2006; Department of The Army, 2001). Lereng landai dicirikan dengan garis
kontur berbentuk “u” yang seragam dan tampak lembut serta pola kontur yang tidak rapat (sedang).
Lereng curam dicirikan oleh garis kontur yang sangat rapat. Lereng cembung dicirikan dengan pola yang
sangat rapat pada kaki lereng, dan pada atas lereng memiliki pola renggang. Sebaliknya pada lereng
cekung sangat rapat garis konturnya pada atas lereng dan lebih renggang pada kaki lereng atau lereng
bawah (Department of The Army, 2001). Pola dan bentuk garis kontur pada topografi yang
mencerminkan konfigurasi relief dan lereng menunjukkan kesan kenampakan permukaan bumi yang
merupakan ekspresi topografi.
Lereng berbentuk cekung diperkirakan rawan terjadi longsorlahan karena air hujan mudah untuk
jatuh/masuk ke dalam tanah dengan bidang cekung yang lebih cepat mengalami jenuh air dan
menimbulkan gerakan geser di sekitar sumbu yang sejajar dengan permukaan tanah. Gerakan geser pada
lereng cekung dapat tergolong jenis longsor rotasi (rotational slide) atau slump karena dicirikan dengan
permukaan pecah dengan bidang cekung melengkung ke atas (Varnes, 1978 dalam USGS, 2004). Lereng
curam dapat diperkirakan rawan terjadi debris flow karena aliran air permukaan yang kuat oleh curah
hujan tinggi yang dapat mengikis dan memindahkan material tanah yang gembur atau batuan dengan
cepat karena bidang kecuraman lereng (Varnes, 1978 dalam USGS, 2004). Bentuk lereng curam/terjal
juga dapat menunjukkan terjadinya longsor jatuhan seperti tebing oleh adanya gravitasi, pelapukan dapat
melepaskan gerakan material massa tanah dan batu/batuan.
3. TATA KERJA
3.1 Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi ekspresi topografi yaitu mencari
penyimpangan dari bentuk dan pola garis kontur, melihat perbedaan garis konturnya yang berbentuk “n”
menjadi bentuk “u” atau sebaliknya dari “u” menjadi bentuk “n” berdasarkan posisi bukit dan lembahnya
atau ketinggian dengan menampilkan interval kontur (Ci). Menurut Rogers (2004) berbagai kombinasi
yang digunakan sebagai indikator ekspresi topografi untuk mengidentifikasi tipe atau jenis longsorlahan,
antara lain:
1. Divergent contours, kontur dimana terdapat kurva lereng atas dan kurva lereng bawah (kontur
berbentuk “n” dan kontur berbentuk “u”) yang menunjukkan anomali atau penyimpangan garis
kontur.
2. Crenulated contours, kontur yang menunjukkan pola gelombang atau lekukan pada kurva lereng atas
maupun kurva lereng bawah.
3. Arcuate headscarp evacuation areas, kontur berbentuk kurva lengkung pada batas bukit dari
longsorlahan yang dibentuk karena terjadi penghilangan atau perpindahan material longsoran ke
lereng bawah.
4. Isolated topographic benches, kontur dengan kurva lengkung atas (bentuk kontur “n”) yang
menunjukkan rotasi/putaran bidang luncur (slump) pada permukaan lereng atas.
5. Extended topographic ridges or isolated topographic knobs, kontur yang menunjukkan terjadi
gerakan perpindahan geser yang menarik massa material punggung bukit ke lereng bawah.
6. Sudden up- or down-slope turns in hillside contours, kontur dimana lereng bukit bergerak turun.
Sering disebabkan oleh gerakan lereng bawah dari bagian yang terisolasi atau terjadi pemisahan dari
lereng bukit.
7. Stepped topography, kontur yang menunjukkan penurunan lereng (retrogressive slump) atau sebaran
lateral lereng (lateral spreading) dengan periode yang berulang.
8. Fan profiles, kontur yang berbentuk kipas, seperti kenampakan geomorfologi berupa kipas aluvial,
yang kemungkinan besar adalah endapan cuping (depositional lobes) dapat berupa aliran runtuhan
(debris flows), aliran tanah (earth flows), atau sebaran lateral (lateral spreads).
Identifikasi longsorlahan dipertajam dengan visualisasi topografi 3D berupa pemodelan TIN
(triangulated irregular network). Bentuk lereng cekung, curam, dan tebing dapat diketahui secara jelas
sebagai indikator terhadap kejadian longsorlahan.
Kunci interpretasi ekspresi topografi untuk identifikasi longsor terletak pada bentuk dan pola garis
kontur yang menunjukkan penyimpangan atau perbedaan garis kontur dari bentuk “n” menjadi “u” atau
“v” dan sebaliknya. Hasil interpretasi ekspresi topografi secara keseluruhan berupa delineasi titik
longsorlahan eksisting di Kabupaten Kulon Progo sebagai kunci pemetaan.
Gambar 1.1. a) Kunci interpretasi ekspresi topografi untuk rotational slumps (Rogers, 2004)
b) Pemetaan rotational slumps daerah penelitian
3.2 Alur Kerja Penelitian
Gambar 1.2. Diagram alir alur kerja penelitian
a b
Peta Tentatif Longsorlahan Eksisting
dari Ekspresi Topografi Hasil
Interpretasi
Peta Tentatif Longsorlahan Eksisting dari
Ekspresi Topografi Hasil Visualisasi Topografi
3D dan Pengetahuan Lokal
Penentuan sampel
Reinterpretasi
Survei Lapangan
Peta Bahaya Longsorlahan Eksisting
dari Ekspresi Topografi Hasil
Interpretasi
Peta Bahaya Longsorlahan Eksisting dari Ekspresi
Topografi Hasil Visualisasi Topografi 3D
Kunci Interpretasi
(Tentatif)
Kunci
Interpretasi
Analisa dan Laporan
Peta Titik-titik Longsor
Interpretasi
Visualisasi Topografi 3D (TIN)
Pengetahuan lokal
bencana
Studi Literatur:
Karakteristik Longsorlahan
Eksisting
Identifikasi dan Pemetaan Longsorlahan Eksisting
Peta Topografi Digital skala 1: 25000:
Ekspresi Topografi dari Garis Kontur
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara geomorfologis, Kabupaten Kulon Progo yang memiliki topografi perbukitan/pegunungan
menjadi kajian penelitian terhadap longsorlahan, seperti perbukitan Menoreh meliputi Kecamatan
Girimulyo, Nanggulan, Kalibawang dan Samigaluh dengan ketinggian antara 500 - 1000 mdpal
menunjukkan kawasan rawan bencana longsorlahan.
Berdasarkan interpretasi bentuk dan pola kontur, daerah pelongsoran dicirikan oleh bentuk kontur
“n” dan rapat menunjukkan lereng yang curam, sedangkan daerah timbunan material pelongsoran
ditunjukkan oleh bentuk kontur “u” dan renggang. Daerah yang curam dicirikan oleh garis kontur yang
rapat. Pola kontur rapat menjadi indikator untuk interpretasi lereng. Lereng atas merupakan titik rawan
longsor yang dicirikan oleh bentuk kontur “u” setelah bentuk “o” atau di bawah garis kontur “o” (di
bawah puncak bukit). Lereng kaki yang berbentuk cekung juga merupakan titik rawan longsor yang
dicirikan oleh bentuk kontur “n” atau bentuk “u” terbalik dengan posisi ketinggian dari atas yang
ditunjukkan melalui interval kontur (Ci), juga dicirikan dengan pola garis kontur renggang pada kaki
lereng dan semakin ke atas lereng garis kontur semakin rapat.
Gambar 1.3. a) Indikator ekspresi topografi untuk slumps, (b) pemetaan slumps daerah penelitian
Gambar 1.4. a) Indikator ekspresi topografi untuk slumps, (b) pemetaan slumps (Rogers, 2004)
Hasil delineasi sementara di daerah penelitian diperoleh 158 titik yang diperkirakan rawan
longsorlahan. Delineasi menyebar di enam kecamatan yang dominan berada di Kecamatan Samigaluh,
Girimulyo, dan Kokap. Di Kecamatan Samigaluh didapat 56 titik. 37 titik di Kecamatan Girimulyo, dan
39 titik di Kecamatan Kokap. Titik longsor lain terdapat di Kecamatan Kalibawang sebanyak 15 titik, 10
titik di Kecamatan Pengasih, dan 1 titik di Kecamatan Temon.
Gambar 1.5. Hasil delineasi titik-titik longsor dari interpretasi ekspresi topografi
a b
a b
Identifikasi longsorlahan sementara menggunakan TIN diperoleh 88 titik yang diperkirakan sebagai
daerah rawan longsor. Titik longsor terdapat di lima kecamatan, yaitu Samigaluh, Girimulyo,
Kalibawang, Kokap, dan Pengasih. Di Kecamatan Samigaluh didapat 37 titik. 22 titik di Kecamatan
Girimulyo, di Kecamatan Kalibawang ada 11 titik, 16 titik di Kecamatan Kokap, dan 2 titik di Kecamatan
Pengasih. Titik longsor paling banyak terdapat di Kecamatan Samigaluh yang sama dengan perolehan
hasil identifikasi menggunakan interpretasi. Kecamatan Samigaluh menjadi daerah yang paling rawan
terhadap kejadian longsor karena menunjukkan banyak penyimpangan/perbedaan bentuk kontur dari “n”
menjadi “u” dengan pola kontur rapat dan secara topografi memiliki kemiringan lereng miring hingga
curam yang ditunjukkan dengan luas wilayah dominan berada pada kemiringan > 40% sebesar 39,69 km2.
Distribusi wilayah Kabupaten Kulon Progo menurut kemiringan lerengnya, antara lain: 207,91 km2
berada pada kemiringan 0 – 2%, 23,93 km2 berada pada kemiringan 3 – 8%, 23,17 km2 berada pada
kemiringan 9 – 15%, 171,32 km2 berada pada kemiringan 16 – 25%, 35,11 km2 berada pada kemiringan
26 – 40% dan 124,84 km2 berada pada kemiringan > 40%.
Tabel 1. Pembagian Wilayah Kecamatan Kabupaten Kulon Progo menurut Kemiringan Lereng
No. Kecamatan Luas
(km2)
Luas Kemiringan Lereng (km2) Luas
Total 0–2 % 3–8 % 9–15 % 16–25 % 26–40 % >40 %
1. Temon 3,629 36,06 - 0,88 - 0,02 - 36,96
2. Wates 3,200 29,22 - 0,25 2,50 - - 31,97
3. Panjatan 4,459 39,90 - - 4,06 - - 43,96
4. Galur 3,291 29,44 - 0,08 - - - 29,52
5. Lendah 3,559 18,15 - 0,80 17,72 0,27 - 36,94
6. Sentolo 5,265 12,83 0,45 4,18 34,75 0,77 0,29 53,27
7. Pengasih 6,167 16,66 0,73 7,18 23,66 0,79 12,46 61,48
8. Kokap 7,380 6,76 1,00 7,74 17,41 9,96 30,01 72,88
9. Nanggulan 3,961 10,36 3,19 0,77 21,16 - 0,93 36,41
10. Girimulyo 5,491 0,49 4,74 1,29 17,10 3,33 30,19 57,14
11. Samigaluh 6,929 - 0,33 - 13,16 14,36 39,69 67,54
12. Kalibawang 5,296 8,04 13,49 - 19,80 5,61 11,27 58,21
Total 586,28 207,91 23,93 23,17 171,32 35,11 124,84 586,28
Sumber: Analisa Data (2012)
Dilihat dari garis konturnya, Kecamatan Samigaluh juga memiliki relief yang cukup kompleks,
antara lain: lembah yang dicirikan dengan garis kontur berbentuk “u” atau berbentuk “v”. Ujung tertutup
dari bentuk kontur “u” atau “v” menunjukkan hulu atau daerah tinggi. Punggung bukit dicirikan dengan
garis kontur berbentuk “u” atau berbentuk “v” yang lebar dengan pola yang seragam atau teratur. Pelana
merupakan dataran tinggi diantara dua bukit yang dicirikan oleh adanya dua garis kontur yang berbentuk
membulat atau lingkaran konsentris. Alur sungai dicirikan dengan garis kontur berbentuk “n” menghadap
ke atas atau menunjuk ke daerah tinggi dan tampak seperti jari yang panjang atau ranting karena
berjumlah lebih dari satu. Taji dicirikan dengan garis kontur yang hampir sama dengan punggung bukit,
berbentuk “u” atau berbentuk “v” dengan pola seragam dan teratur.
Gambar 1.6. Konfigurasi relief pada peta topografi daerah penelitian
1 lembah 2 punggung bukit 3 pelana 4 alur sungai 5 taji
1
1
2
3
2
4
4
4 5
5
5
1
Longsorlahan dari metode interpretasi maupun metode visualisasi topografi 3D menunjukkan
longsorlahan eksisting, yaitu longsorlahan yang sudah terjadi di masa lampau dari kondisi aktual lereng
mengalami longsor. Lereng menjadi pendekatan utama sekaligus variabel terhadap kejadian longsor.
Konfigurasi lereng dari peta topografi merupakan ekspresi topografi untuk memetakan atau mengetahui
bahaya longsorlahan eksisting yang dicerminkan melalui garis kontur.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari penelitian ini:
(1) Kunci interpretasi ekspresi topografi menunjukkan bahwa daerah pelongsoran dicirikan oleh kontur
yang semula berbentuk memanjang atau sedikit melintang “u” menjadi bentuk “n” sebagai
indikator pergerakan/pergeseran bidang permukaan tanah, sedangkan daerah timbunan material
pelongsoran ditunjukkan oleh bentuk kontur “u” dan renggang.
(2) Kecamatan Samigaluh, Girimulyo, dan Kokap merupakan daerah yang rawan terjadi longsor
dibuktikan dengan hasil delineasi ekspresi topografi terbanyak di ketiga daerah tersebut. Hasil
delineasi dari interpretasi ekspresi topografi diperoleh 157 titik-titik longsorlahan eksisting, yang
didominasi berada di Kecamatan Samigaluh sebanyak 56 titik.
(3) Hasil pemetaan longsorlahan eksisting divalidasi dengan data titik-titik longsor (spotted of
landslide) hasil penelitian peneliti sebelumnya untuk mengetahui tingkat akurasi/kebenarannya.
(4) Pemetaan longsorlahan melalui ekspresi topografi memiliki keunggulan/keunikan: pertama, kajian
geomorfologi melalui pendekatan lereng yang dicerminkan oleh garis kontur; kedua, kajian
kartografi melalui interpretasi berdasarkan ekspresi topografi dan pemodelan TIN secara 3D.
5.2 Saran
Penelitian ini memiliki beberapa saran untuk dikembangkan:
(1) Untuk mendapatkan hasil pemetaan longsorlahan secara detil, dibutuhkan peta topografi skala besar
dengan interval kontur (Ci) lebih detil dari 12,5 meter.
(2) Perlu studi pustaka lebih lanjut untuk memetakan longsorlahan hingga pada jenis-jenis longsorlahan
yang spesifik (lihat Rogers, 2004).
(3) Untuk mengetahui tingkat akurasi hasil pemetaan longsorlahan, diperlukan survei lapangan dengan
pengukuran lereng (kemiringan, panjang, ketinggian), pengukuran ketebalan tanah, karena tanah
tebal rawan terjadi longsor; dan pengamatan kejadian longsor sebelumnya disertai wawancara
terhadap masyarakat setempat.
(4) Pemetaan longsorlahan berdasarkan ekspresi topografi yang dipertajam menggunakan TIN perlu
dikomparasi dengan pemodelan 3D lainnya untuk mengetahui tingkat ketelitian yang lebih akurat.
6. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Fakultas Geografi UMS atas dukungan penuh kepada tim. Penulis juga ucapkan
terimakasih kepada Aditya Saputra, S.Si, M.Sc. dan Drs.Yuli Priyana, M.Si. atas dukungan materiil dan
moriil. Penulis juga sampaikan terimakasih kepada Fakultas Geografi UGM atas terselenggaranya GEOS.
Tak ada gading yang retak, tulisan ini masih jauh dari sempurna. Penulis juga mengharap masukan yang
bersifat membangun. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan penulis kesempatan untuk maju lebih
jauh dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
7. DAFTAR PUSTAKA
Aamli Kam, J. M. 2006. Practical Work in Geography. India: NCERT.
BNPB. 2012. Data dan Informasi Bencana Indonesia. http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/simple_data.jsp.
Diakses pada tanggal 21 Oktober 2012.
Department of The Army. 2001. Map Reading and Land Navigation. Washington DC: The United States
Army.
Fernandes, et al. 2004. Topographic Controls of Landslides in Rio de Janeiro: Field Evidence and
Modeling. Catena: Elsevier.
Highland, Lynn. 2004. Landslide Types and Processes. USGS Fact Sheet 2004-3072. Virginia: USGS.
Muehrcke, P.C. 1978. Map Use: Reading, Analysis, and Interpretation. Madison: University of
Wisconsin.
Priyono, Kuswaji Dwi. 2012. Tipologi Pedogeomorfik Kejadian Longsorlahan di Pegunungan
Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta Indonesia. Ringkasan Disertasi. Promosi Doktor Ilmu
Geografi. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Rogers, J. D. and B. C. Doyle. 2004. Mapping of Seismically-Induced Landslippage in the Benton Hills
and Crowley’s Ridge, New Madrid Seismic Zone, Missouri and Arkansas. Department of
Geological Sciences & Engineering. University of Missouri-Rolla.
Zeiler, Michael. 1999. Modeling our World. The ESRI Guide to Geodatabase Design. New York:
Environmetal Systems Research Institute.
8. LAMPIRAN
Peta titik-titik longsorlahan hasil interpretasi ekspresi topografi daerah penelitian
Gambar 1.7 Peta titik-titik longsorlahan hasil interpretasi ekspresi topografi daerah penelitian.