9
Geo-Environment Scholars Championship 2012 Ekspresi Topografi (Topographic Expression) Untuk Pemetaan Longsorlahan di Wilayah Kabupaten Kulon Progo Moh. Fadhih Al Wahidy, Nugroho Purwono Fakultas Geografi UMS, Jl. A. Yani Pabelan Kartasura Tromol Pos I, Surakarta 57102 e-mail: [email protected]; [email protected] ABSTRAK Longsorlahan merupakan gejala fisik dari proses alam pada lereng perbukitan/ pegunungan, seperti halnya yang terjadi di Pegunungan Menoreh, Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan longsorlahan eksisting melalui interpretasi peta topografi berdasarkan ekspresi topografi dari garis kontur. Garis kontur menunjukkan suatu pernyataan atau kesan morfologi bumi yaitu ekspresi topografi tentang konfigurasi kelerengan seperti kemiringan lereng, bentuk lereng, panjang lereng dan ketinggian. Lereng menjadi variabel utama terhadap kejadian longsorlahan. Metode penelitian yang digunakan adalah interpretasi bentuk dan pola garis kontur untuk mengetahui kenampakan lereng yang mengalami pelongsoran. Metode interpretasi digunakan untuk mengidentifikasi longsorlahan terhadap bentuk dan pola dari garis kontur dengan mengamati perbedaan bentuk kontur “u”, bentuk “v”, dan bentuk “n” sebagai indikator kejadian longsorlahan dari konfigurasi lereng berupa daerah lembah, perbukitan, atau pegunungan. Pola merupakan tingkat kerapatan kontur yaitu rapat dan tidak rapat sebagai indikator bentuk lereng landai seragam, curam, cembung, dan cekung, serta menunjukkan kemiringan, panjang, dan ketinggian. Identifikasi longsorlahan dipertajam dengan metode visualisasi topografi 3D berupa TIN (triangulated irregular network) dan pengetahuan longsorlahan lokal. Hasil penelitian sementara berupa delineasi bentuk lereng menunjukkan bahwa perubahan bentuk kontur dari “n” yang rapat menjadi bentuk “u” renggang merupakan lereng cekung yang diperkirakan terjadi longsorlahan. Katakunci: ekspresi topografi, interpretasi peta topografi, longsorlahan. 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Longsorlahan merupakan proses alam yang biasa terjadi pada musim penghujan di lereng-lereng pegunungan/perbukitan sebagai perwujudan alam dalam mencari keseimbangan. Peristiwa longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya; sering terjadi pada lereng-lereng alam dan/atau buatan hasil aktivitas manusia. Longsorlahan merupakan gerakan lereng yang tidak stabil; dibedakan menjadi jatuhan, runtuhan, longsoran, sebaran, dan aliran (Varnes, 1978 dalam USGS, 2004). Bencana longsor sering terjadi di Kabupaten Kulon Progo, terutama di empat kecamatan, yaitu Samigaluh, Kalibawang, Girimulyo, dan Kokap. Berdasarkan data dari BNPB, pada tahun 2006 terjadi longsor yang mengakibatkan 500 rumah rusak ringan. Data dari Kesbanglinmas dan BPBD Kabupaten Kulon Progo, pada tahun 2007 terjadi longsor di Kecamatan Kokap yang mengakibatkan 6 rumah rusak ringan. Di Kecamatan Girimulyo dan Kalibawang juga terjadi longsor yang merusak 4 rumah. Kerugian dicapai sekitar Rp 10 juta, setiap rumah Rp 2 4 juta. Pada tahun 2010 dari BNPB, longsor terjadi di Kecamatan Samigaluh yang menimbulkan 6 warga untuk mengungsi karena rumah mengalami kerusakan; 2 rumah rusak ringan, 1 rumah rusak berat, juga material tanah menimbun ruas jalan dan mengakibatkan beberapa pohon terjatuh/roboh. Pada tahun 2011, terdapat 1 orang yang meninggal dan 1 orang mengalami luka-luka akibat longsor. Selama ini pemetaan kerawanan longsor banyak menggunakan teknik penginderaan jauh dengan data citra resolusi spasial tinggi. Penggunaan data citra terbatas karena data tidak selalu up to date dan sulit mencari data terbaru yang membutuhkan biaya yang cukup tinggi karena harganya yang relatif mahal. Alternatif untuk pemetaan longsor menggunakan ekspresi topografi dari peta topografi dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk pemetaan bahaya longsor (Rogers, 2004). Upaya untuk mengidentifikasi longsorlahan dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan geomorfologi terhadap kelerengan yang

Full Paper Fadhih

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jjsksksl

Citation preview

Page 1: Full Paper Fadhih

Geo-Environment Scholars Championship 2012

Ekspresi Topografi (Topographic Expression)

Untuk Pemetaan Longsorlahan di Wilayah

Kabupaten Kulon Progo

Moh. Fadhih Al Wahidy, Nugroho Purwono

Fakultas Geografi UMS, Jl. A. Yani Pabelan Kartasura Tromol Pos I, Surakarta 57102

e-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Longsorlahan merupakan gejala fisik dari proses alam pada lereng perbukitan/ pegunungan, seperti

halnya yang terjadi di Pegunungan Menoreh, Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini bertujuan untuk

memetakan longsorlahan eksisting melalui interpretasi peta topografi berdasarkan ekspresi topografi dari

garis kontur. Garis kontur menunjukkan suatu pernyataan atau kesan morfologi bumi yaitu ekspresi

topografi tentang konfigurasi kelerengan seperti kemiringan lereng, bentuk lereng, panjang lereng dan

ketinggian. Lereng menjadi variabel utama terhadap kejadian longsorlahan. Metode penelitian yang

digunakan adalah interpretasi bentuk dan pola garis kontur untuk mengetahui kenampakan lereng yang

mengalami pelongsoran. Metode interpretasi digunakan untuk mengidentifikasi longsorlahan terhadap

bentuk dan pola dari garis kontur dengan mengamati perbedaan bentuk kontur “u”, bentuk “v”, dan

bentuk “n” sebagai indikator kejadian longsorlahan dari konfigurasi lereng berupa daerah lembah,

perbukitan, atau pegunungan. Pola merupakan tingkat kerapatan kontur yaitu rapat dan tidak rapat sebagai

indikator bentuk lereng landai seragam, curam, cembung, dan cekung, serta menunjukkan kemiringan,

panjang, dan ketinggian. Identifikasi longsorlahan dipertajam dengan metode visualisasi topografi 3D

berupa TIN (triangulated irregular network) dan pengetahuan longsorlahan lokal. Hasil penelitian

sementara berupa delineasi bentuk lereng menunjukkan bahwa perubahan bentuk kontur dari “n” yang

rapat menjadi bentuk “u” renggang merupakan lereng cekung yang diperkirakan terjadi longsorlahan.

Katakunci: ekspresi topografi, interpretasi peta topografi, longsorlahan.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Longsorlahan merupakan proses alam yang biasa terjadi pada musim penghujan di lereng-lereng

pegunungan/perbukitan sebagai perwujudan alam dalam mencari keseimbangan. Peristiwa longsor atau

dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya; sering terjadi pada lereng-lereng alam

dan/atau buatan hasil aktivitas manusia. Longsorlahan merupakan gerakan lereng yang tidak stabil;

dibedakan menjadi jatuhan, runtuhan, longsoran, sebaran, dan aliran (Varnes, 1978 dalam USGS, 2004).

Bencana longsor sering terjadi di Kabupaten Kulon Progo, terutama di empat kecamatan, yaitu

Samigaluh, Kalibawang, Girimulyo, dan Kokap. Berdasarkan data dari BNPB, pada tahun 2006 terjadi

longsor yang mengakibatkan 500 rumah rusak ringan. Data dari Kesbanglinmas dan BPBD Kabupaten

Kulon Progo, pada tahun 2007 terjadi longsor di Kecamatan Kokap yang mengakibatkan 6 rumah rusak

ringan. Di Kecamatan Girimulyo dan Kalibawang juga terjadi longsor yang merusak 4 rumah. Kerugian

dicapai sekitar Rp 10 juta, setiap rumah Rp 2 – 4 juta. Pada tahun 2010 dari BNPB, longsor terjadi di

Kecamatan Samigaluh yang menimbulkan 6 warga untuk mengungsi karena rumah mengalami

kerusakan; 2 rumah rusak ringan, 1 rumah rusak berat, juga material tanah menimbun ruas jalan dan

mengakibatkan beberapa pohon terjatuh/roboh. Pada tahun 2011, terdapat 1 orang yang meninggal dan 1

orang mengalami luka-luka akibat longsor.

Selama ini pemetaan kerawanan longsor banyak menggunakan teknik penginderaan jauh dengan

data citra resolusi spasial tinggi. Penggunaan data citra terbatas karena data tidak selalu up to date dan

sulit mencari data terbaru yang membutuhkan biaya yang cukup tinggi karena harganya yang relatif

mahal.

Alternatif untuk pemetaan longsor menggunakan ekspresi topografi dari peta topografi dapat dengan

mudah dimanfaatkan untuk pemetaan bahaya longsor (Rogers, 2004). Upaya untuk mengidentifikasi

longsorlahan dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan geomorfologi terhadap kelerengan yang

Page 2: Full Paper Fadhih

direpresentasikan pada peta topografi dengan mengenali fitur longsor secara spasial melalui ekpresi

topografi yaitu melakukan interpretasi peta topografi dengan melihat bentuk dan pola garis kontur.

Peta topografi merupakan salah satu jenis data sekunder yang sangat baik untuk digunakan dalam

studi kajian wilayah karena menyajikan unsur-unsur alami (natural features) dan unsur-unsur buatan

manusia (man made features) di atas muka bumi. Unsur-unsur alami seperti kondisi relief dan kelerengan

daerah diperlihatkan pada peta topografi melalui garis kontur. Garis kontur menunjukkan suatu

pernyataan atau kesan morfologi bumi yaitu ekspresi topografi tentang konfigurasi kelerengan seperti

kemiringan lereng, bentuk lereng, panjang lereng dan ketinggian. Berdasarkan ekspresi topografi

dilakukan identifikasi longsorlahan dengan metode interpretasi terhadap penyimpangan/perbedaan bentuk

kontur “n” menjadi bentuk “u” atau bentuk “v”, dan melalui pola kontur yaitu rapat atau renggang/jarang

yang menunjukkan tingkat kecuraman lereng berupa konfigurasi daerah lembah atau

perbukitan/pegunungan. Bentuk dan pola garis kontur menunjukkan bentuk lereng, antara lain: landai

seragam, cekung, dan cembung digunakan sebagai indikator untuk pemetaan longsorlahan. Metode

interpretasi dipertajam dengan metode visualisasi topografi 3D menggunakan TIN (Triangulated

Irregular Network) karena merepresentasikan permukaan bumi secara akurat, tidak hanya ketinggian

lokasi, tetapi juga kenampakan alami yaitu bentuk pada permukaan lereng/kelerengan seperti punggung

bukit, dan lembah aliran sungai (Zeiler, 1999).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu: (1)

bagaimanakah cara identifikasi longsorlahan berdasarkan ekspresi topografi di daerah penelitian? (2)

bagaimanakah pemetaan longsorlahan melalui pendekatan interpretasi ekspresi topografi di daerah

penelitian?

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menyusun kunci interpretasi berdasarkan ekspresi topografi untuk

mengidentifikasi longsorlahan di daerah penelitian; (2) memetakan longsorlahan eksisting dengan

interpretasi ekspresi topografi di daerah penelitian.

1.4 Penelitian Sebelumnya

Rogers and Doyle (2004) melakukan penelitian di zona seismik New Madrid, Missouri dan

Arkansas. Metode yang digunakan difokuskan pada identifikasi awal daerah yang terduga terjadi

longsoran menggunakan protokol topografi berdasarkan ekspresi topografi, pemeriksaan foto udara,

survei lapangan dan penampang geofisik. Pemetaan menggunakan kunci drainase dan topografi untuk

mengenali karakteristik situs anomali/penyimpangan khas dari garis kontur terhadap berbagai bentuk

longsor. Bentuk yang paling umum dari ekspresi topografi yaitu: perbedaan kontur, lekukan kurva kontur,

bentuk kurva lengkung pada batas bukit, bentuk kontur “n” yang terisolasi, punggung bukit yang

terisolasi, lereng bukit bergerak turun, pergeseran/perpindahan pola, dan kipas profil.

Fernandes et al (2004) melakukan penelitian di daerah lembah sungai wilayah Quitite dan Papagaio

di Meksiko, daerah aliran di sisi Barat pegunungan tinggi Tijuca (The Tijuca Massif) dengan luas wilayah

sekitar 2,13 - 2,22 km2 dan wilayah tersebut hampir sebanyak 100 kejadian longsor telah dipetakan tahun

1996. Metode yang digunakan adalah pemetaan kejadian longsor dan pemetaan lapangan menggunakan

DEM (Digital Elevation Model), menyelidiki karakteristik topografi (lereng, bentuk lereng perbukitan,

pertambahan area akibat kejadian longsor sebelumnya, dan arah hadap lereng), serta menggunakan

data/peta vegetasi yang dioverlay dengan peta bekas/kejadian longsor sebelumnya.

Priyono (2012) melakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik bentuklahan kejadian

longsorlahan di pegunungan Kulonprogo, serta tipologi pedogeomorfik wilayah rawan longsorlahan di

pegunungan Kulonprogo berdasarkan karakteristik bentuklahan dan tanahnya. Metode yang digunakan

adalah metode survei, perolehan data secara sampling dengan analisis gabungan kualitatif dan kuantitatif.

Kejadian longsorlahan yang ada dikaji secara geomorfik dan pedologis untuk mengetahui tipologi

pedogeomorfik kejadian longsorlahan mendatang.

2. DASAR TEORI

Interpretasi peta merupakan kegiatan melihat dan mengamati sebuah peta dan mencari penjelasan

terhadap pola dari objek tersebut (Muehrcke, 1978). Interpretasi peta topografi lebih menekankan pada

pengamatan terhadap garis kontur untuk menafsirkan medan atau konfigurasi relief dan kelerengan suatu

daerah.

Page 3: Full Paper Fadhih

Interpretasi garis kontur pada peta topografi juga dapat menunjukkan jenis atau bentuk lereng, yaitu

lereng landai seragam (gentle), lereng curam (steep), lereng cembung (convex), dan lereng cekung

(concave) (Aamli Kam, 2006; Department of The Army, 2001). Lereng landai dicirikan dengan garis

kontur berbentuk “u” yang seragam dan tampak lembut serta pola kontur yang tidak rapat (sedang).

Lereng curam dicirikan oleh garis kontur yang sangat rapat. Lereng cembung dicirikan dengan pola yang

sangat rapat pada kaki lereng, dan pada atas lereng memiliki pola renggang. Sebaliknya pada lereng

cekung sangat rapat garis konturnya pada atas lereng dan lebih renggang pada kaki lereng atau lereng

bawah (Department of The Army, 2001). Pola dan bentuk garis kontur pada topografi yang

mencerminkan konfigurasi relief dan lereng menunjukkan kesan kenampakan permukaan bumi yang

merupakan ekspresi topografi.

Lereng berbentuk cekung diperkirakan rawan terjadi longsorlahan karena air hujan mudah untuk

jatuh/masuk ke dalam tanah dengan bidang cekung yang lebih cepat mengalami jenuh air dan

menimbulkan gerakan geser di sekitar sumbu yang sejajar dengan permukaan tanah. Gerakan geser pada

lereng cekung dapat tergolong jenis longsor rotasi (rotational slide) atau slump karena dicirikan dengan

permukaan pecah dengan bidang cekung melengkung ke atas (Varnes, 1978 dalam USGS, 2004). Lereng

curam dapat diperkirakan rawan terjadi debris flow karena aliran air permukaan yang kuat oleh curah

hujan tinggi yang dapat mengikis dan memindahkan material tanah yang gembur atau batuan dengan

cepat karena bidang kecuraman lereng (Varnes, 1978 dalam USGS, 2004). Bentuk lereng curam/terjal

juga dapat menunjukkan terjadinya longsor jatuhan seperti tebing oleh adanya gravitasi, pelapukan dapat

melepaskan gerakan material massa tanah dan batu/batuan.

3. TATA KERJA

3.1 Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi ekspresi topografi yaitu mencari

penyimpangan dari bentuk dan pola garis kontur, melihat perbedaan garis konturnya yang berbentuk “n”

menjadi bentuk “u” atau sebaliknya dari “u” menjadi bentuk “n” berdasarkan posisi bukit dan lembahnya

atau ketinggian dengan menampilkan interval kontur (Ci). Menurut Rogers (2004) berbagai kombinasi

yang digunakan sebagai indikator ekspresi topografi untuk mengidentifikasi tipe atau jenis longsorlahan,

antara lain:

1. Divergent contours, kontur dimana terdapat kurva lereng atas dan kurva lereng bawah (kontur

berbentuk “n” dan kontur berbentuk “u”) yang menunjukkan anomali atau penyimpangan garis

kontur.

2. Crenulated contours, kontur yang menunjukkan pola gelombang atau lekukan pada kurva lereng atas

maupun kurva lereng bawah.

3. Arcuate headscarp evacuation areas, kontur berbentuk kurva lengkung pada batas bukit dari

longsorlahan yang dibentuk karena terjadi penghilangan atau perpindahan material longsoran ke

lereng bawah.

4. Isolated topographic benches, kontur dengan kurva lengkung atas (bentuk kontur “n”) yang

menunjukkan rotasi/putaran bidang luncur (slump) pada permukaan lereng atas.

5. Extended topographic ridges or isolated topographic knobs, kontur yang menunjukkan terjadi

gerakan perpindahan geser yang menarik massa material punggung bukit ke lereng bawah.

6. Sudden up- or down-slope turns in hillside contours, kontur dimana lereng bukit bergerak turun.

Sering disebabkan oleh gerakan lereng bawah dari bagian yang terisolasi atau terjadi pemisahan dari

lereng bukit.

7. Stepped topography, kontur yang menunjukkan penurunan lereng (retrogressive slump) atau sebaran

lateral lereng (lateral spreading) dengan periode yang berulang.

8. Fan profiles, kontur yang berbentuk kipas, seperti kenampakan geomorfologi berupa kipas aluvial,

yang kemungkinan besar adalah endapan cuping (depositional lobes) dapat berupa aliran runtuhan

(debris flows), aliran tanah (earth flows), atau sebaran lateral (lateral spreads).

Identifikasi longsorlahan dipertajam dengan visualisasi topografi 3D berupa pemodelan TIN

(triangulated irregular network). Bentuk lereng cekung, curam, dan tebing dapat diketahui secara jelas

sebagai indikator terhadap kejadian longsorlahan.

Page 4: Full Paper Fadhih

Kunci interpretasi ekspresi topografi untuk identifikasi longsor terletak pada bentuk dan pola garis

kontur yang menunjukkan penyimpangan atau perbedaan garis kontur dari bentuk “n” menjadi “u” atau

“v” dan sebaliknya. Hasil interpretasi ekspresi topografi secara keseluruhan berupa delineasi titik

longsorlahan eksisting di Kabupaten Kulon Progo sebagai kunci pemetaan.

Gambar 1.1. a) Kunci interpretasi ekspresi topografi untuk rotational slumps (Rogers, 2004)

b) Pemetaan rotational slumps daerah penelitian

3.2 Alur Kerja Penelitian

Gambar 1.2. Diagram alir alur kerja penelitian

a b

Peta Tentatif Longsorlahan Eksisting

dari Ekspresi Topografi Hasil

Interpretasi

Peta Tentatif Longsorlahan Eksisting dari

Ekspresi Topografi Hasil Visualisasi Topografi

3D dan Pengetahuan Lokal

Penentuan sampel

Reinterpretasi

Survei Lapangan

Peta Bahaya Longsorlahan Eksisting

dari Ekspresi Topografi Hasil

Interpretasi

Peta Bahaya Longsorlahan Eksisting dari Ekspresi

Topografi Hasil Visualisasi Topografi 3D

Kunci Interpretasi

(Tentatif)

Kunci

Interpretasi

Analisa dan Laporan

Peta Titik-titik Longsor

Interpretasi

Visualisasi Topografi 3D (TIN)

Pengetahuan lokal

bencana

Studi Literatur:

Karakteristik Longsorlahan

Eksisting

Identifikasi dan Pemetaan Longsorlahan Eksisting

Peta Topografi Digital skala 1: 25000:

Ekspresi Topografi dari Garis Kontur

Page 5: Full Paper Fadhih

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara geomorfologis, Kabupaten Kulon Progo yang memiliki topografi perbukitan/pegunungan

menjadi kajian penelitian terhadap longsorlahan, seperti perbukitan Menoreh meliputi Kecamatan

Girimulyo, Nanggulan, Kalibawang dan Samigaluh dengan ketinggian antara 500 - 1000 mdpal

menunjukkan kawasan rawan bencana longsorlahan.

Berdasarkan interpretasi bentuk dan pola kontur, daerah pelongsoran dicirikan oleh bentuk kontur

“n” dan rapat menunjukkan lereng yang curam, sedangkan daerah timbunan material pelongsoran

ditunjukkan oleh bentuk kontur “u” dan renggang. Daerah yang curam dicirikan oleh garis kontur yang

rapat. Pola kontur rapat menjadi indikator untuk interpretasi lereng. Lereng atas merupakan titik rawan

longsor yang dicirikan oleh bentuk kontur “u” setelah bentuk “o” atau di bawah garis kontur “o” (di

bawah puncak bukit). Lereng kaki yang berbentuk cekung juga merupakan titik rawan longsor yang

dicirikan oleh bentuk kontur “n” atau bentuk “u” terbalik dengan posisi ketinggian dari atas yang

ditunjukkan melalui interval kontur (Ci), juga dicirikan dengan pola garis kontur renggang pada kaki

lereng dan semakin ke atas lereng garis kontur semakin rapat.

Gambar 1.3. a) Indikator ekspresi topografi untuk slumps, (b) pemetaan slumps daerah penelitian

Gambar 1.4. a) Indikator ekspresi topografi untuk slumps, (b) pemetaan slumps (Rogers, 2004)

Hasil delineasi sementara di daerah penelitian diperoleh 158 titik yang diperkirakan rawan

longsorlahan. Delineasi menyebar di enam kecamatan yang dominan berada di Kecamatan Samigaluh,

Girimulyo, dan Kokap. Di Kecamatan Samigaluh didapat 56 titik. 37 titik di Kecamatan Girimulyo, dan

39 titik di Kecamatan Kokap. Titik longsor lain terdapat di Kecamatan Kalibawang sebanyak 15 titik, 10

titik di Kecamatan Pengasih, dan 1 titik di Kecamatan Temon.

Gambar 1.5. Hasil delineasi titik-titik longsor dari interpretasi ekspresi topografi

a b

a b

Page 6: Full Paper Fadhih

Identifikasi longsorlahan sementara menggunakan TIN diperoleh 88 titik yang diperkirakan sebagai

daerah rawan longsor. Titik longsor terdapat di lima kecamatan, yaitu Samigaluh, Girimulyo,

Kalibawang, Kokap, dan Pengasih. Di Kecamatan Samigaluh didapat 37 titik. 22 titik di Kecamatan

Girimulyo, di Kecamatan Kalibawang ada 11 titik, 16 titik di Kecamatan Kokap, dan 2 titik di Kecamatan

Pengasih. Titik longsor paling banyak terdapat di Kecamatan Samigaluh yang sama dengan perolehan

hasil identifikasi menggunakan interpretasi. Kecamatan Samigaluh menjadi daerah yang paling rawan

terhadap kejadian longsor karena menunjukkan banyak penyimpangan/perbedaan bentuk kontur dari “n”

menjadi “u” dengan pola kontur rapat dan secara topografi memiliki kemiringan lereng miring hingga

curam yang ditunjukkan dengan luas wilayah dominan berada pada kemiringan > 40% sebesar 39,69 km2.

Distribusi wilayah Kabupaten Kulon Progo menurut kemiringan lerengnya, antara lain: 207,91 km2

berada pada kemiringan 0 – 2%, 23,93 km2 berada pada kemiringan 3 – 8%, 23,17 km2 berada pada

kemiringan 9 – 15%, 171,32 km2 berada pada kemiringan 16 – 25%, 35,11 km2 berada pada kemiringan

26 – 40% dan 124,84 km2 berada pada kemiringan > 40%.

Tabel 1. Pembagian Wilayah Kecamatan Kabupaten Kulon Progo menurut Kemiringan Lereng

No. Kecamatan Luas

(km2)

Luas Kemiringan Lereng (km2) Luas

Total 0–2 % 3–8 % 9–15 % 16–25 % 26–40 % >40 %

1. Temon 3,629 36,06 - 0,88 - 0,02 - 36,96

2. Wates 3,200 29,22 - 0,25 2,50 - - 31,97

3. Panjatan 4,459 39,90 - - 4,06 - - 43,96

4. Galur 3,291 29,44 - 0,08 - - - 29,52

5. Lendah 3,559 18,15 - 0,80 17,72 0,27 - 36,94

6. Sentolo 5,265 12,83 0,45 4,18 34,75 0,77 0,29 53,27

7. Pengasih 6,167 16,66 0,73 7,18 23,66 0,79 12,46 61,48

8. Kokap 7,380 6,76 1,00 7,74 17,41 9,96 30,01 72,88

9. Nanggulan 3,961 10,36 3,19 0,77 21,16 - 0,93 36,41

10. Girimulyo 5,491 0,49 4,74 1,29 17,10 3,33 30,19 57,14

11. Samigaluh 6,929 - 0,33 - 13,16 14,36 39,69 67,54

12. Kalibawang 5,296 8,04 13,49 - 19,80 5,61 11,27 58,21

Total 586,28 207,91 23,93 23,17 171,32 35,11 124,84 586,28

Sumber: Analisa Data (2012)

Dilihat dari garis konturnya, Kecamatan Samigaluh juga memiliki relief yang cukup kompleks,

antara lain: lembah yang dicirikan dengan garis kontur berbentuk “u” atau berbentuk “v”. Ujung tertutup

dari bentuk kontur “u” atau “v” menunjukkan hulu atau daerah tinggi. Punggung bukit dicirikan dengan

garis kontur berbentuk “u” atau berbentuk “v” yang lebar dengan pola yang seragam atau teratur. Pelana

merupakan dataran tinggi diantara dua bukit yang dicirikan oleh adanya dua garis kontur yang berbentuk

membulat atau lingkaran konsentris. Alur sungai dicirikan dengan garis kontur berbentuk “n” menghadap

ke atas atau menunjuk ke daerah tinggi dan tampak seperti jari yang panjang atau ranting karena

berjumlah lebih dari satu. Taji dicirikan dengan garis kontur yang hampir sama dengan punggung bukit,

berbentuk “u” atau berbentuk “v” dengan pola seragam dan teratur.

Gambar 1.6. Konfigurasi relief pada peta topografi daerah penelitian

1 lembah 2 punggung bukit 3 pelana 4 alur sungai 5 taji

1

1

2

3

2

4

4

4 5

5

5

1

Page 7: Full Paper Fadhih

Longsorlahan dari metode interpretasi maupun metode visualisasi topografi 3D menunjukkan

longsorlahan eksisting, yaitu longsorlahan yang sudah terjadi di masa lampau dari kondisi aktual lereng

mengalami longsor. Lereng menjadi pendekatan utama sekaligus variabel terhadap kejadian longsor.

Konfigurasi lereng dari peta topografi merupakan ekspresi topografi untuk memetakan atau mengetahui

bahaya longsorlahan eksisting yang dicerminkan melalui garis kontur.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari penelitian ini:

(1) Kunci interpretasi ekspresi topografi menunjukkan bahwa daerah pelongsoran dicirikan oleh kontur

yang semula berbentuk memanjang atau sedikit melintang “u” menjadi bentuk “n” sebagai

indikator pergerakan/pergeseran bidang permukaan tanah, sedangkan daerah timbunan material

pelongsoran ditunjukkan oleh bentuk kontur “u” dan renggang.

(2) Kecamatan Samigaluh, Girimulyo, dan Kokap merupakan daerah yang rawan terjadi longsor

dibuktikan dengan hasil delineasi ekspresi topografi terbanyak di ketiga daerah tersebut. Hasil

delineasi dari interpretasi ekspresi topografi diperoleh 157 titik-titik longsorlahan eksisting, yang

didominasi berada di Kecamatan Samigaluh sebanyak 56 titik.

(3) Hasil pemetaan longsorlahan eksisting divalidasi dengan data titik-titik longsor (spotted of

landslide) hasil penelitian peneliti sebelumnya untuk mengetahui tingkat akurasi/kebenarannya.

(4) Pemetaan longsorlahan melalui ekspresi topografi memiliki keunggulan/keunikan: pertama, kajian

geomorfologi melalui pendekatan lereng yang dicerminkan oleh garis kontur; kedua, kajian

kartografi melalui interpretasi berdasarkan ekspresi topografi dan pemodelan TIN secara 3D.

5.2 Saran

Penelitian ini memiliki beberapa saran untuk dikembangkan:

(1) Untuk mendapatkan hasil pemetaan longsorlahan secara detil, dibutuhkan peta topografi skala besar

dengan interval kontur (Ci) lebih detil dari 12,5 meter.

(2) Perlu studi pustaka lebih lanjut untuk memetakan longsorlahan hingga pada jenis-jenis longsorlahan

yang spesifik (lihat Rogers, 2004).

(3) Untuk mengetahui tingkat akurasi hasil pemetaan longsorlahan, diperlukan survei lapangan dengan

pengukuran lereng (kemiringan, panjang, ketinggian), pengukuran ketebalan tanah, karena tanah

tebal rawan terjadi longsor; dan pengamatan kejadian longsor sebelumnya disertai wawancara

terhadap masyarakat setempat.

(4) Pemetaan longsorlahan berdasarkan ekspresi topografi yang dipertajam menggunakan TIN perlu

dikomparasi dengan pemodelan 3D lainnya untuk mengetahui tingkat ketelitian yang lebih akurat.

6. UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kepada Fakultas Geografi UMS atas dukungan penuh kepada tim. Penulis juga ucapkan

terimakasih kepada Aditya Saputra, S.Si, M.Sc. dan Drs.Yuli Priyana, M.Si. atas dukungan materiil dan

moriil. Penulis juga sampaikan terimakasih kepada Fakultas Geografi UGM atas terselenggaranya GEOS.

Tak ada gading yang retak, tulisan ini masih jauh dari sempurna. Penulis juga mengharap masukan yang

bersifat membangun. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan penulis kesempatan untuk maju lebih

jauh dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Page 8: Full Paper Fadhih

7. DAFTAR PUSTAKA

Aamli Kam, J. M. 2006. Practical Work in Geography. India: NCERT.

BNPB. 2012. Data dan Informasi Bencana Indonesia. http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/simple_data.jsp.

Diakses pada tanggal 21 Oktober 2012.

Department of The Army. 2001. Map Reading and Land Navigation. Washington DC: The United States

Army.

Fernandes, et al. 2004. Topographic Controls of Landslides in Rio de Janeiro: Field Evidence and

Modeling. Catena: Elsevier.

Highland, Lynn. 2004. Landslide Types and Processes. USGS Fact Sheet 2004-3072. Virginia: USGS.

Muehrcke, P.C. 1978. Map Use: Reading, Analysis, and Interpretation. Madison: University of

Wisconsin.

Priyono, Kuswaji Dwi. 2012. Tipologi Pedogeomorfik Kejadian Longsorlahan di Pegunungan

Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta Indonesia. Ringkasan Disertasi. Promosi Doktor Ilmu

Geografi. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Rogers, J. D. and B. C. Doyle. 2004. Mapping of Seismically-Induced Landslippage in the Benton Hills

and Crowley’s Ridge, New Madrid Seismic Zone, Missouri and Arkansas. Department of

Geological Sciences & Engineering. University of Missouri-Rolla.

Zeiler, Michael. 1999. Modeling our World. The ESRI Guide to Geodatabase Design. New York:

Environmetal Systems Research Institute.

Page 9: Full Paper Fadhih

8. LAMPIRAN

Peta titik-titik longsorlahan hasil interpretasi ekspresi topografi daerah penelitian

Gambar 1.7 Peta titik-titik longsorlahan hasil interpretasi ekspresi topografi daerah penelitian.