22
MAKALAH EVALUASI GIZI DALAM PENGOLAHAN PENGARUH DETOKSIFIKASI DENGAN PEMANASAN DAN PENGASAMAN TERHADAP KANDUNGAN GIZI TEPUNG UMBI GADUNG (Dioscorea hispida Dennst.) Disusun Oleh: Linda Cahyaningrum Yuliana Safitri Rachmi Diah Mulandari

GADUNG.doc

Embed Size (px)

Citation preview

MAKALAH

EVALUASI GIZI DALAM PENGOLAHANPENGARUH DETOKSIFIKASI DENGAN PEMANASAN DAN PENGASAMAN TERHADAP KANDUNGAN GIZI TEPUNG UMBI GADUNG (Dioscorea hispida Dennst.)

Disusun Oleh:

Linda Cahyaningrum

Yuliana Safitri

Rachmi Diah MulandariILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2015BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDewasa ini, di Indonesia gandum telah menjadi sumber makanan pokok ke dua setelah beras. Berdasarkan data APTINDO, konsumsi tepung gandum di Indonesia mencapai 1,22 juta ton pada kuartal I/2012 meningkat sebesar 5,61%dibandingkan dengan kuartal I/2011 sebesar 1,15 juta ton. Tingginya kebutuhan gandum Indonesia ini menyebabkan perlunya pemanfaatan sumber pangan lokal yang lebih optimal untuk dapat mengurangi impor gandum. Sumber pangan lokal yang berpotensi untuk diangkat menjadi pangan pensubstitusi tepung terigu adalah umbi gadung yang dapat diolah menjadi tepung umbi gadung. Tanaman gadung adalah tanaman umbi-umbian yang termasuk kedalam golongan sumber pangan dan belum banyak dikenal oleh masyarakat luas. Masyarakat lebih mengenal gadung setelah diolah dalam bentuk keripik, padahal gadung sebagai salah satu komoditas mempunyai prospek cukup baik. Hal ini dikarenakan teknik budidaya gadung tidak memerlukan pemeliharaan yang rumit dan dapat tumbuh di mana saja. Gadung (Dioscore hispida dennst) mengandung karbohidrat yang cukup tinggi. Oleh karenanya, gadung sering dimanfaaatkan untuk diolah menjadi tepung sebagai bahan dasar pembuatan kerupuk. Sebagai sumber karbohidrat, produk olahan gadung sangat berpotensi untuk dikembangkan dan dikonsumsi. Pemanfaatan umbi gadung terkendala akan kandungan senyawa toksik berupa senyawa alkaloid (dioscorin) yang dapat menimbulkan keracunan pada manusia. Jadi, upaya pengembangan dan produksi tepung gadung perlu mereduksi senyawa toksik dalam umbi gadung. Melihat besarnya potensi kandungan karbohidrat pada umbi gadung, maka perlu dikembangkan teknologi produksi tepung gadung dengan mengurangi komponen senyawa toksik yang terkandung didalamnya melalui teknik ekstraksi yang sesuai. Salah satu upaya mereduksi senyawa dioscorin yang telah ada adalah metode rumphius. Namun demikian, metode konvensional ini hanya mampu mereduksi senyawa racun relatif rendah. Reduksi senyawa toksik untuk produksi tepung gadung juga telah dilakukan dengan menggunakan ekstraksi konvensional (Handayani, dkk., 2006). Akan tetapi, produk tepung gadung yang dihasilkan belum sepenuhnya terbebas dari senyawa dioscorin. Hal ini terjadi karena dioscorin merupakan zat terlarut yang dikelilingi oleh matriks bahan yang tidak terlarut, sehingga laju perpindahan massanya ke fasa pelarut relatif rendah. Selain itu, ekstraksi dengan pemanasan konvensional bergantung pada fenomena konveksi dan konduksi, akibatnya sebagian besar panas, hilang ke lingkungan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan cara pembuatan tepung gadung yang bebas dari senyawa racun ikutan sehingga tanaman gadung yang terdapat dalam jumlah banyak di Indonesia dapat dimanfaatkan secara maksimal dan tidak menimbulkan dampak negatif.1.2 Tujuan

1.3 Manfaat

BAB II

PEMBAHASAN2.1 Karakteristik GadungKlasifikasi tanaman gandum adalah sebagai berikut:Kerajaan

: Plantae

Divisi

: MagnoliophytaKelas

: LiliopsidaOrdo

: DioscorealesFamili

: DioscoreaceaeGenus

: DioscoreaSpesies

: D. hispidaNama binomial: Dioscorea hispida Dennst.Umbi gadung adalah golongan tanaman tropis, tersebar di berbagai negara terutama di dataran India sampai ke Asia Tenggara. Beberapa sumber menyatakan bahwa tanaman gadung berasal dari India dan China Selatan kemudian menyebar ke Asia Tenggara dan Papua New Guinea. Akibat penyebaran itu, maka di beberapa negara tanaman ini terdapat dalam jumlah signifikan dengan sebutan yang berbedabeda. Di Indonesia, tanaman ini juga memiliki beberapa sebutan, antara lain sikapa (Bali dan Sulawesi) dan undo (Ambon). Di Malaysia, gadung dikenal dengan ubi arak atau gadong mabok. Di Filipina, gadung dikenal dengan nami (Tagalok), gayos (umum) dan karot (Ilokana). Di Burma gadung disebut kywe dan di Thailand dikenal dengan nama kloi (Pambayun, 2007).

Suhu yang diperlukan untuk tumbuh dan menghasilkan umbi yang baik adalah diantara 20-30C. Diatas suhu 30C, gadung akan tumbuh merana apalagi ditambah dengan keadaan udara yang kering. Walaupun umumnya gadung tahan terhadap kekeringan tanaman ini membutuhkan kelembaban yang cukup selama masa pertumbuhan dan ada kolerasi positif antara curah hujan, perumbuhan merambat, dan hasil umbinya. Untuk mendapatkan panen yang optimum, kelembaban yang cukup pada umur 14-20 minggu setelah tanam adalah sangat penting. Daerah penghasil utama gadung biasanya memiliki musim kemarau selama 2-5 bulan dan bercurah hujan 1 150 mm/th atau lebih. Pada derah dengan curah hujan rendah di bawah 1 000 mm/th akan menghasilkan panen umbi yang sedikit dan tidak menghasilkan biji. Tahap kritis tanaman ini terjadi dari minggu ke 14 sampai ke 20 dan masa pertumbuhan ketika cadangan makanan hampir habis dan tajuk sedang mempercepat pertumbuhannya sebelum umbi terbentuk (Koswara, 2009).Gadung biasanya dibudidayakan pada dataran rendah dan sedang yaitu kurang dari 900 m dpl serta hutan tropis. Sedangkan keadaan tanah yang dikehendaki adalah tanah dengan drainase baik, remah, dalam, struktur liat berpasir dan tidak tahan terhadap penggenangan (water logging). Pada tanah-tanah yang berat atau mengandung liat banyak, umbi yang dihasilkan dapat menjadi cacat atau rusak seperti gada (mengeras). Sementara pada tanah yang gersang sistem perakaran tidak mampu mendapatkan cukup air atau zat-zat makanan untuk tumbuh secara normal.Gadung (Dioscorea hispida Dennst., suku gadung-gadungan atau Dioscoreaceae) tergolong tanaman umbi-umbian yang cukup populer walaupun kurang mendapat perhatian. Gadung menghasilkan umbi yang dapat dimakan, namun mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar pengolahannya. Gadung tumbuh baik di Indonesia dan banyak dimanfaatkan oleh penduduk untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan seperti keripik. Saat ini banyak dikembangkan teknologi untuk pemanfaatan gadung menjadi tepung sebagai substitusi gandum. Pada beberapa golongan umbiumbian seperti pada ubi kayu terdapat senyawa glukosida sianogenik yaitu linamarin, senyawa ini akan dirombak oleh enzim endogenus yaitu linamarase menjadi sianida bebas jika umbi mengalami perusakan jaringan. Pada umbi gadung terdapat juga senyawa glukosida sianogenik yang merupakan prekursor sianida dan beberapa golongan enzim endogenus seperti -glukosidase, liase, dan oxinitrilase. Enzim - glukosidase pada berbagai umbi-umbian mempunyai kisaran pH optimum pada pH 4 sampai 6 dan suhu antara 400C-500C. Apabila umbi gadung mengalami perusakan jaringan karena proses pengirisan atau penghancuran maka akan terjadi kontak antara substrat dengan enzim endogenus yang menyebabkan substrat mengalami perombakan menjadi senyawa sianida bebas yang mudah menguap dan larut dalam air (SyafiI, 2009).2.2 Kandungan dan Pemanfaatan Umbi GadungKandungan kimia yang terdapat pada umbi gadung tidak jauh berbeda dengan beberapa jenis umbi yang lain seperti ganyong, ubi jalar dan gembili. Menurut Sumunar (2015) umbi gadung merupakan salah satu sumber pangan berkarbohidrat tinggi. Gadung dapat memenuhi kebutuhan energi tubuh. Karbohidrat dalam gadung didominasi oleh pati. Selain memiliki kandungan karbohidrat juga mengandung racun sianida yang dapat menyebabkan keracunan dan mematikan. Sehingga perlu dilakukan beberapa proses untuk menghilangkan kandungan residu HCN atau meminimalkannya sehingga umbi gadung menjadi aman dan layak untuk dikonsumsi. Kandungan sianida 50 ppm bahan masih aman untuk dikonsumsi. Umbi gadung mengandung karbohidrat, lemak, serat kasar dan abu lebih rendah dibandingkan dengan ketela pohon. Kandungan air dan protein umbi gadung lebih tinggi dibandingkan ketela pohon. Umbi gadung mengandung phosphor (P2O5) sebanyak 0,09%, Kalsium (CaO) 0,07% dan Besi (Fe2O3) 0,003%. Umbi gadung mengandung alkaloid dioscorin yang bersifat racun dan dioscorin yang tidak beracun. Alkaloid juga dijumpai pada dioscorea lainnya. Di samping itu umbi gadung juga mengandung sejumlah saponin yang sebagian besar berupa dioscin yang bersifat racun. Umbi yang dibiarkan tua warnanya akan bberubah menjadi hijau dan kadar racunnya akan bertambah. Efek keracunan gadung mula-mula terasa tidak enak pada kerongkongan, pening, kemudian muntah darah, terasa tercekik dan kepayahan (Muchtadi, 2010).Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi gadung

KomponenPersen

Air78,00

Karbohidrat18,00

Lemak0,16

Protein1,81

Serat kasar0,93

Kadar abu0,69

Diosgenin1,20-0,70 (db)

Dioscorin0,044 (db)

Sumber: Muchtadi (2010)Tabel 2. Karakteristik Umbi Gadung

Sumber: aSuismono (1998) dan bSibuea (2002)Lembaga Biologi Nasional (1979) menyatakan, gadung dapat dikonsumsi sebagai makanan kecil, seperti keripik, yang banyak diperjualbelikan di daerah kuningan (Jawa Barat). Di beberapa daerah di Indonesia bagian timur, pada musim paceklik umbi gadung dimanfaatkan untuk bahan pangan. Selain sebagai makanan, umbi dapat digunakan untuk berburu yaitu sebagai umpan beracun bagi binatang buruan atau diambil racunnya (alkaloid dioscorine) untuk membunuh hewan tertentu seperti ikan atau dioleskan pada mata anak panah. Kegunaan lainnya di bidang pertanian adalah sebagai insektisida. Getah gadung dapat digunakan dalam proses pembuatan tali rami serta untuk memutihkan pakaian. Bunga gadung yang kuning berbau harum yang berpotensi sebagai bahan baku pembuatan parfum atau kosmetika. Masyarakat Bali biasa menggunakan bunga gadung untuk mengharumkan pakaian, rambut, dan kepala (Koswara, 2009).2.3 Metode Detoksifikasi Racun Umbi GadungAdanya racun dalam umbi gadung sudah sejak lama diketahui. Karena sifat tersebut umbi gadung banyak dipakai sebagai racun ikan, tikus dan insektisida alami. Sedangkan jika diolah sebagai bahan makanan umbi gadung dihilangkan dahulu racunnya. Dalam umbi gadung terkandung senyawa alkaloid dioskorin yang bersifat racun dan diosgenin yang tidak beracun. Juga dalam umbi gadung terkandung saponin berupa dioscin yang bersifat racun. Umbi yang tua jika dibiarkan terus akan berwarna menjadi hijau dan kadar racunnya meningkat. Disamping golongan alkaloid, dalam gadung juga terkandung senyawa sianida yang beracun. Gejala-gajala keracunan yang timbul akibat mengkonsumsi gadung malproses disebut keracunan gadung, antara lain adanya rasa tidak enak di kerongkongan kemudian dilanjutkan dengan pusing/pening, lemas dan muntah-muntah.Menurt Koswara (2009), karena gadung mengandung senyawa beracun, maka penghilangan racun mutlak diperlukan sebelum gandum diolah menjadi berbagai bahan pangan. Berikut ini diuraikan beberapa cara penghilangan racun gadung :

1. Gadung yang sudah tua dikupas kulitnya (kupas tebal), kemudian diiris kecil-kecil, tebalnya sekira 3 mm. Kemudian diberi abu gosok sampai semua gadung terbungkus abu gosok, remas-remas potongan gadung yang telah dilapisi abu gosok dan didiamkan selama 1 malam. Setelah itu, dijemur hingga kering (biasanya selama 2 hari). Kemudian direndam oleh air mengalir selama 2 3 hari atau dalam air tidak mengalir yang diganti tiap 6 jam dan dilakukan selama 3 hari. Cucu bersih, lalu jemur hingga kering lakukan penjemuran 1 hari sampai kering.2. Umbi gadung dikupas dengan pisau yang tajam ( jangan lupa pakai sarung tangan) setelah itu dipotong dan diris kecil-kecil dengan panjang kira-kira 5 cm. Kemudian dimasukkan kedalam wadah dan dilmuri garam yang banyak misalnya. 1 ember gadung dilumuri garam 2 kg. Didiamkan selama semalam atau 12 jam. Setelah itu ditempatkan pada air yang mengalir dalam wadah yang berongga agar airnya bias keluar. Sambil diinjak-injak sampai gadung berwarna putih dan kalau dipegang terasa lembek.Kemudian gadung dijemur seharian pada sinar matahari sampai kering. Gadung siap untuk dikonsumsi.3. Pemeraman dalam garam dengan cara meletakan garam, potongan gadung, garam dan potongan gadung, begitu seterusnya hingga ember penuh. Kemudian diperam selama 7 hari. Selanjutnya Cuci bersih, jemur hingga kering.4. Penduduk Bali menghilangkan racun gadung dengan cara sebagai berikut : Ubi gadung diiris tipis, kemudian dicampur dengan abu gosok dan dibiarkan selama 24 hari. Selanjutnya dicuci kemudian direndam dalam air laut selama beberapa hari, cuci dan dilakukan sekali lagi, kemudian dijemur hingga kering.5. Penduduk Maluku menghilangkan racun Gadung sebagai berikut : Umbi dipotong kecil-kecil, digosok dengan tangan atau kaki dalam air laut, direndam 2-3 hari dalam air laut, kemudian direndam kembali6. Pada pembuatan pati gadung : penghilangan racun gadung dilakukan dengan perendaman irisan umbi gadung dalam larutan garam 3 % selama 24 jam kemudian dilanjutkan dengan perendaman patinya dalam larutan garam 9% selama 24 jam.7. Perendaman umbi gadung yang telah dipotong kecil-kecil dalam latutan garam 15 % selama 5 7 hari dilanjutkan dengan pencucian dalam air mengalir. Selanjutnya dijemur sampai kering.2.4 Proses Pembuatan Tepung Umbi GadungProses detoksifikasi menggunakan metode pemanasaan dan pengesaman dilakukan sebelum gadung ditepung. Setelah gadung dibersihkan dan diparut, amaka dilakukan pengaturan pH menggunakan asam sitrat 50% (b/v). Setelah itu dilakukan pemanasan pada suhu 450C, dan dilakukan penetralan menggunakan Natrium Bikarbonat hingga pH menjadi 7. Setalah itu baru dilakukan pengeringan menggunakan oven pada suhu 600C dengan waktu 6 jam.

2.5 Proses Pemanasan dan PengasamanDidalam umbi gadung terdapat senyawa racun yaitu glukosida sianogenik yang senyawa ini bisa dihidrolisis oleh enzim -glukosidase menjadi glikon serta aglikon, reaksi selanjutnya aglikon dipecah melalui proses hidroksinitril oleh enzim liase akan menjadi asam sianida bebas dan senyawa aldehid atau keton (Syafii, 2009). Untuk memberikan kondisi yang tepat bagi enzim maupun reaksi-reaksi hidrolisis senyawa racun lain maka perlu dilakukan pengaturan pH dengan menambahkan larutan asam. Larutan asam yang ditambahkan sebaiknya yang relatif aman dan tidak menimbulkan efek buruk bagi kesehatan. Asam sitrat (C6H8O7) merupakan golongan asam yang aman bagi tubuh karena bias dimetabolisme oleh tubuh sehingga banyak digunakan dalam pengendalian pH pada makanan atau minuman ringan.1. Kadar Air

Gambar 1. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam tehadap Kadar AirKadar air tepung gadung semakin menurun dengan semakin meningkatnya lama pemanasan. Penurunan disebabkan selama pemanasan puree gadung berlangsung terjadi pelunakan tekstur sehingga diduga ikatan antar molekul air dengan berbagai komponen lainnya pada bahan menjadi lebih lemah atau lebih mudah putus. Akibatnya pada saat pengeringan, air dapat dengan mudah teruapkan. Winarno (2004) mengatakan bahwa semakin lama waktu pemanasan maka molekul-molekul air yang terdapat pada jaringan, membran, ataupun kapiler pada tanaman akan mudah keluar karena dinding jaringan akan mengalami perenggangan atau pengembangan sehingga kekuatan ikatan molekul air menurun.

2. Kadar SianidaKadar sianida terendah diperoleh pada perlakuan pH 5 dan lama pemanasan 5 jam (19,948 ppm) dan tertinggi (82,350 ppm) pada pH 4 dan lama pemanasan 1 jam. Penurunan kadar sianida diduga disebabkan kondisi pH 5 merupakan kondisi optimum enzim -glukosidase untuk merombak senyawa glikosida sianogenat menjadi senyawa asam sianida bebas melalui proses hidrolisis. Asam sianida bebas yang telah terbentuk mudah dihilangkan melalui proses pemerasan atau pengeringan karena dalam kondisi bebas asam sianida mudah larut dan menguap. Asam sianida merupakan senyawa racun yang mudah menguap, tidak berwarna dan sangat larut dalam air (Syafi,i, 2009).

Gambar 2. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam tehadap Kadar Sianida3. Kadar Pati

Gambar 3. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam tehadap Kadar PatiKadar pati tertinggi diperoleh pada perlakuan lama waktu pemanasan 1 jam dengan perlakuan pH 4, yaitu sebesar 70,46%. Kadar pati terendah diperoleh dari perlakuan lama pemanasan 3 jam dan pH 5 sebesar 65,3%. Penurunan kadar pati dengan semakin lama waktu pemanasan terjadi karena pada proses pemanasan terjadi transfer energi panas. Akibatnya ikatan antar glukosa dalam molekul pati akan merenggang dan dengan waktu yangsemakin lama terjadi pemecahan pati menjadi gula-gula sederhana seperti maltosa dan glukosa (Syafii, 2009). Menurut Winarno (2004), pemanasan berpengaruh pada pemecahan pati oleh beberapa enzim endogen seperti -amilase, -amilase, atau fosforilase. Semakin lama pemanasan maka semakin aktif pula enzim bekerja sehingga semakin banyak pati yang terombak menjadi senyawa monosakarida.4. Kadar Total GulaKadar total gula tertinggi (5,35 %) diperoleh pada perlakuan lama pemanasan 5 jam dengan pH bahan 5 dan terendah (4,66 %) pada perlakuan lama pemanasan 1 jam dan pH bahan 4. Kecenderungan kadar total gula tepung gadung semakin meningkat dengan semakin meningkatnya pH bahan dan lama pemanasan. Semakin lama pemanasan maka semakin banyak kandungan pati yang dirombak oleh enzim -amilase menjadi gula-gula sederhana (Syafii, 2009).

Gambar 4. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam tehadap Kadar Total Gula5. Kadar SeratKadar serat tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan pH 5 dan lama pemanasan 5 jam yaitu sebesar 1,85% dan terendah pada perlakuan pH 4 dan lama pemanasan 1 jam sebesar 1,73%. Kadar serat meningkat dengan semakin lamanya pemanasan dan meningkatnya pH bahan. Peningkatan yang terjadi diduga karena serat merupakan zat yang dapat menyerap air serta dapat larut dalam senyawa asam. Serat kasar mengandung sellulose, lignin dan zat-zat lain yang belum diidentifikasi secara pasti dan sebagian besar kandungan serat akan larut pada kondisi asam dibandingkan pada kondisi basa sehingga dalam proses akan mudah kehilangan serat pada kondisi asam (Suharto, 1991).

Gambar 5. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam tehadap Kadar Serat6. Kadar AbuKadar abu tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan pH 4 dan lama pemanasan 1 jam yaitu sebesar 3,78% dan terendah pada perlakuan pH 5 dan lama pemanasan 5 jam sebesar 3,66%. Penurunan kadar abu disebabkan pada perlakuan pemanasan puree umbi gadung menyebabkan air terbebaskan semakin banyak. Akibatnya mineralmineral larut bersama air. Menurut Suismono (1998), penurunan kadar abu dalam bahan berbasis tepung disebabkan oleh beberapa perlakuan selama pengolahan seperti pemerasan atau pengepresan yang menyebabkan mineral akan keluar bersama air perasan.

Gambar 6. Pengaruh Pemanasan dalam Suasana Asam tehadap Kadar AbuBAB IV

PENUTUPDAFTAR PUSTAKAKoswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Umbi-umbian. Bagian 3: Pengolahan Umbi Gadung. Southeast Asian Food And Agricultural Science and Technologyn (SEAFAST) Center. Bogor Agricultural UniversityMuchtadi, Tien R, Sugiyono dan Fitriyono Ayustaningwarno. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bandung: Penerbit AlfabetaPambayun, Ringgit. 2008. Kiat Sukses Teknologi Pengolahan Umbi Gadung. Yogyakarta: Ardana MediaSibuea, P. 2002. Pemanfaatan Umbi Gadung. (Online) (http://Gizi.Net/Tak-ada beras-makan-gadung.artikel) Tanggal akses 10 Mei 2015Suharto. 1991. Teknologi pengawetan Pangan. Jakarta: PT. Rineka CiptaSuismono. P.1998. Kajian teknologi pembuatan tepung gadung dan evaluasi sifat fisikokimianya. PATPI. PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta

Sumunar, Siwi Ratna dan Teti Estiasih. 2015. Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst.) Sebagai Bahan Pangan Mnegandung Senyawa Bioaktif: Kajian Pustaka. Universitas Brawijaya Malang. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No. 1: 108-112Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama