Upload
vonguyet
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
GAMBARAN PELAKSANAAN
PELAYANAN FARMASI KLINIK DI RUMAH SAKIT X
TAHUN 2017
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (S.K.M.)
Oleh:
Erika Hidayanti
1112101000069
MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
iii
iv
iv
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
Skripsi, Februari 2017
Erika Hidayanti, NIM: 1112101000069
GAMBARAN PELAKSANAAN PELAYANAN FARMASI KLINIK DI
RUMAH SAKIT X TAHUN 2017
xii + 193 halaman, 11 tabel, 2 bagan, 6 lampiran
ABSTRAK
Standar pelayanan farmasi klinik di rumah sakit menentukan kualitas
pelayanan dan menjaga keselamatan pasien. Standar pelayanan farmasi klinik
rumah sakit di Indonesia mengacu pada standar nasional seperti SPM dan PMK.
Di Indonesia standar mengacu pada PMK nomor 58 tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam,
observasi, dan telaah dokumen terkait kegiatan farmasi klinik di RS X
berdasarkan pada PMK nomor 58 tahun 2014. Informan pada penelitian ini adalah
apoteker dan asisten apoteker yang terlibat kegiatan pelayanan farmasi klinik.
Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan mengambil sampel resep sebanyak 295
resep untuk dianalisis kelengkapannya.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pelayanan farmasi klinik di RS X
terdiri dari pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan
obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, pemantauan terapi obat,
monitoring efek samping obat, dan dispensing sediaan steril. Sedangkan yang
belum dilakukan adalah, konseling, visite, evaluasi penggunaan obat, dan
pemantauan kadar obat dalam darah. Dari 11 kegiatan RS X hanya melaksanakan
7 kegiatan saja. Kesalahan dalam kegiatan farmasi klinik di RS X yang sering
terjadi adalah pada saat pembacaan resep oleh tenaga kefarmasian karena tak
terbaca atau tak jelasnya tulisan dokter.
Maka dari itu RS X disarankan untuk berupaya membuat standar untuk
rumah sakit sesuai dengan kemampuannya, lalu untuk mengurangi kesalahan
pembacaan resep maka disarankan RS X untuk menggunakan sistem electronic
prescribing. Selain itu, dibuat aturan atau SOP yang jelas untuk petugas
kefarmasian agar tidak terjadi kesalahpahaman antar-petugas.
Kata Kunci: Pelayanan farmasi klinik, medication error, pengkajian resep
Daftar Bacaan: 64 (1994-2016)
v
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM HEALTH CARE MANAGEMENT DEPARTMENT Undergraduate Thesis, February 2017 Erika Hidayanti, NIM: 1112101000069
DESCRIPTION OF IMPLEMENTATION OF CLINICAL
PHARMACY IN X HOSPITAL, 2017 xii+193 pages, 11 tables, 2 charts, 6 attachments
ABSTRACT
Standard of clinical pharmacy services in hospitals are determine the
quality of service and maintain patient safety. Standard of clinical pharmacy
services in hospital in Indonesia based on national regulations such as SPM and
PMK. For clinical pharmacy services the standard refers to PMK number 58 in
2014 about Standards of Pharmaceutical Services at the Hospital.
This research use qualitative and quantitative approach. The qualitative
approach is done by in-depth interviews, observation, and documents study
related to clinical pharmacy activities in X Hospital based on the PMK number 58
in 2014. The informant in this study is a pharmacist and assistant pharmacists who
involved in clinical pharmacy service activities. Quantitative approaches is done
prescription samples analyzed of 295 recipes.
Based on the results, clinical pharmacy services in X Hospitals consists of
assessment and prescription services, search history of drug use, medication
reconciliation, drug information services, monitoring drug therapy, monitoring of
drug side effects, and dispensing sterile preparations. But this hospital not apllied
the counseling, visite, drug use evaluation, and monitoring of drug levels in blood.
From 11 activities, X Hospital only applied 7 activities. Errors event in clinical
pharmacy activities in X Hospital that often occurs when reading prescriptions by
pharmacy officers because of illegible recipes from the doctor.
Thus, X Hospital advisable to make its own policy or standar about
clinical pharmacy based on its own capability, and to reduce precribing errors in
X Hospital, it is advisable to use electronic prescribing systems. In addition, X
hospital also should make a clear rules for pharmacy officers to avoid
misunderstandings between them.
Keywords: clinical pharmacy services, medication errors, assessment recipe
Reading List: 64 (1994-2016)
vi
RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama lengkap : Erika Hidayanti
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Bandung, 2 Agustus 1994
Agama : Islam
Alamat tinggal : Jln. SD Inpres No.1001 Cireunde – Ciputat,
Tangerang Selatan
No. Hp/telpon : 087882387507
E-mail : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. 2000-2006 : SDN Citrasari Lembang – Bandung
2. 2006-2009 : SMPN 1 Lembang – Bandung
3. 2009-2012 : SMAN 1 Bandung
4. 2012- 2017 : Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta
PENGALAMAN ORGANISASI
1. Ketua Biro Humaas dan Media PAMI Nasional 2016-2017
2. Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut 2016
3. Pemimpin Litbang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut 2015
4. Wakil Ketua (Pergerakan Anggota Muda IAKMI) PAMI Jakarta Raya
2014-2015
5. Pemimpin Redaksi Himpunan Jurnalis Independen SMAN 1 Bandung
2010-2012
6. Redaksi Satu Gen SMAN 1 Bandung 2010-2011
7. Redaksi Majalah 357 SMPN 1 Lembang 2008-2009
8. Saung Sastra Lembang 2009-2010
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya kepada kita
semua sehingga saya dapat menyusun skripsi yang berjudul ―Gambaran
Pelaksanaan Standar Pelayan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X Tahun 2017‖.
Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk kelulusan untuk
mendapat gelar Sarjana Kesehatan Mayarakat (S.K.M.).
Sungguh Maha Sempurna itu adalah Allah SWT, kekurangan dan
kekhilafan terdapat pada penulis maka dari pada itu penulis menyadari bahwa
laporan ini tidak lebih dari ketidak sempurnaan. Kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan untuk kokohnya skripsi ini. Ucapan terimakasih
penulis tuturkan secara ikhlas dan penuh dengan kerendahan hati atas
terselasaikannya skripsi ini kepada :
1. Ibu, Bapak, Mas Erlangga, Tante Nana, Eyang Uti, dan seluruh
keluarga besar yang telah membantu kelancaran saya dalam
menyelesaikan skripsi ini mulai dari bantuan finansial hingga
semangat dan doa yang tiada henti
2. Ibu Fase Badriah, Ph.D selaku pembimbing I dan Ibu Lilis Muchlisoh,
SKM, MKM selaku pembimbing II yang selalu siap memberikan
bimbingan dan pengarahan membangun dalam proses pembuatan
skripsi ini.
3. Bapak Dr. Farid Hamzens, M.Si selaku pembimbing akademik penulis.
4. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Ibu Ida Yuliarsih, Apt. selaku pembimbing lapangan di RS X yang
memberikan banyak pengalaman dan kesempatan bagi penulis. Serta
viii
seluruh petugas kefarmasian RS X yang sudah membantu berjalan
lancarnya proses pengambilan data.
7. Dr. Risnita, Dr. Fitriyanti, dan seluruh petugas di Manajemen Risiko
yang membantu saya saat proses magang dan berbagi cerita di rumah
sakit serta tentang skripsi saya. Tak lupa, bagian Diklat RS X yang
membantu perizinan saya dalam melakukan penelitian di RS X.
8. Sahabat-sahabat saya sejak hampir 10 tahun, Delia, Dwi, Olga, Yosan,
Syauqina, dan Refy yang meski jauh tapi selalu memberi semangat dan
tempat berbagi segala cerita.
9. Sahabat-sahabat saya semasa kuliah Paramita, Nova, Farras, Dwi,
Arina, dan Atthina, juga Halida, Vira, Tantri, Ayu Fita, Nuril, Ica, dan
seluruh keluarga besar MPK 2012 dan Kesmas 2012 yang tak bisa
disebutkan satu per satu.
10. Tempat segala curahan suka dan duka yang menemani perjalanan
skripsi ini mulai dari penulisan, studi pendahuluan, hingga hasil,
Singgih A. Dani.
11. Sahabat-sahabat seperjuangan di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Institut, Maulia, Nur Hamidah, Syah Rizal, dan Thohirin yang sudah
susah senang bersama. Tak lupa seluruh Pengurus LPM Institut 2016,
yang membantu saya menyelesaikan tugas sebagai Pemimpin Umum
LPM Institut 2016 dan seluruh Keluarga Besar Institut (KBI).
12. Teman berbagi cerita yang sabar jadi pelampiasan cerita sedih dan
mengesalkan, sekaligus yang selalu mau diajak jalan-jalan, Fathra.
13. Teman-teman seperjuangan di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) UIN
Jakarta, PAMI Jakarta Raya, dan PAMI Nasional yang selalu kritis dan
kreatif.
14. Semua pihak yang membantu kelancaran skripsi ini yang tak bisa saya
sebut satu persatu.
Jakarta, Februari 2017
Erika Hidayanti
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................ iv
ABSTRACT .............................................................................................. v
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................ ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiv
BAB I .............................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 7
1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................................... 8
1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 9
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................... 9
1.4.2 Tujuan khusus ................................................................................... 9
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................. 10
1.5.1 Bagi Rumah Sakit ........................................................................... 10
1.5.2 Bagi Peneliti .................................................................................... 11
1.5.3 Bagi Institusi ................................................................................... 11
1.6 Ruang Lingkup ....................................................................................... 11
BAB II ............................................................................................ 12
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 12
2.1 Pelayanan Farmasi Klinik Rumah Sakit ...................................................... 12
2.1.1 Pengkajian dan pelayanan Resep .................................................... 13
2.1.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat.......................................... 17
2.1.3 Rekonsiliasi Obat ............................................................................ 19
2.1.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO) ..................................................... 22
2.1.5 Konseling ........................................................................................ 25
2.1.6 Visite ............................................................................................... 28
x
2.1.7 Pemantauan Terapi Obat (PTO) ...................................................... 32
2.1.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO) ....................................... 34
2.1.9 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) .................................................. 35
2.1.10 Dispensing Sediaan Steril ............................................................... 35
2.1.11 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).............................. 36
2.2 Medication Error ......................................................................................... 37
2.3 Pencegahan Medication Error .................................................................... 41
2.4 Kerangka Teori ....................................................................................... 42
BAB III ............................................................................................ 44
KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH .................................................. 44
3.1 Kerangka Pikir ........................................................................................ 44
3.2 Definisi Istilah ........................................................................................ 46
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................ 58
4.1 Desain Penelitian .................................................................................... 58
4.1.1 Substansi Kualitatif ......................................................................... 58
4.1.2 Variabel Kuantitatif ......................................................................... 59
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 59
4.3 Informan Penelitian ................................................................................ 59
4.4 Populasi dan Sampel .............................................................................. 60
4.5 Instrumen Penelitian ............................................................................... 61
4.6 Sumber Data ........................................................................................... 61
4.7 Pengumpulan Data ................................................................................. 62
4.7.1 Pengumpulan Data Kuaitatif ........................................................... 62
4.7.2 Pengumpulan Data Kuantitatif ........................................................ 62
4.8 Pengolahan Data ..................................................................................... 63
4.8.1 Pengolahan Data Kualitatif ............................................................. 63
4.8.2 Pengolahan Data Kuantitatif ........................................................... 64
4.9 Analisis Data .......................................................................................... 65
4.9.1 Analisis Data Kualitatif ................................................................... 65
4.9.2 Analisis Data Kuantitatif ................................................................. 65
4.10 Triangulasi Data ..................................................................................... 66
BAB V ............................................................................................ 68
xi
HASIL PENELITIAN ............................................................................................ 68
5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit X .......................................................... 68
5.1.1 Gambaran Sumber Daya Manusia Farmasi di Rumah Sakit X ....... 69
5.1.2 Gambaran Sarana Prasarana Farmasi di Rumah Sakit X ................ 72
5.1.3 Gambaran Kebijakan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X .
75
5.2 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X .. 76
5.2.1 Gambaran Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X ................... 77
5.2.2 Gambaran Rekonsiliasi Obat di RS X ............................................. 89
5.2.3 Gambaran Pelayanan Informasi Obat di RS X ............................... 92
5.2.4 Gambaran Konseling di RS X ......................................................... 96
5.2.5 Gambaran Visite di RS X ................................................................ 97
5.2.6 Gambaran Pemantauan Terapi Obat di RS X ................................. 98
5.2.7 Gambaran Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RS X ...... 100
5.2.8 Gambaran Dispensing Sedian Steril di RS X ................................ 101
5.3 Gambaran Pencapaian Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah
Sakit X ............................................................................................................. 105
BAB VI .......................................................................................... 107
PEMBAHASAN .......................................................................................... 107
6.1 Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 107
6.2 Analisis Input Pelayanan Farmasi Klinik ............................................. 107
6.3 Analisis Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X .... 108
6.3.1 Analisis Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X .................... 109
6.3.2 Analisis Rekonsiliasi Obat di RS X .............................................. 117
6.3.3 Analisis Pelayanan Informasi Obat di RS X ................................. 119
6.3.4 Analisis Konseling di RS X .......................................................... 122
6.3.5 Analisis Visite di RS X ................................................................. 124
6.3.6 Analisis Pemantauan Terapi Obat di RS X ................................... 127
6.3.7 Analisis Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RS X ......... 128
6.3.8 Analisis Dispensing Sediaan Steril di RS X ................................. 129
6.4 Analisis Pencapaian Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik .............. 130
BAB VII .......................................................................................... 134
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 134
xii
7.1 Simpulan ............................................................................................... 134
7.1 Saran ..................................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 138
LAMPIRAN.........................................................................................................144
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Istilah ...................................................................................... 46
Tabel 4.1 Informan Penelitian ...............................................................................46
Tabel 4.2 Validitas Data ........................................................................................ 66
Tabel 5.1 Ketenagakerjaan ....................................................................................54
Tabel 5.2 Ketenagakerjaan Famasi ....................................................................... 70
Tabel 5.3 Sarana dan Prasarana ............................................................................ 72
Tabel 5.4 Kelengkapan Administrasi Resep RS X ............................................... 85
Tabel 5.5 Kelengkapan Farmasetik Resep RS X .................................................. 86
Tabel 5.6 Kelengkapan Persyaratan Klinis Resep RS X ...................................... 87
Tabel 5.7 Sarana Prasarana Dispensing Sediaan Steril ....................................... 103
xiv
DAFTAR SINGKATAN
ACCP : American College of Clinical Pharmacy
ASHP : American Society of Health-System Pharmacists
Binfar : Bina Farmasi
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan
BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makananan
CDC : Centers for Disease Control and Prevention
EPO : Evaluasi Penggunaan Obat
IGD : Instalasi Gawat Darurat
Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan
KIE : Komunikasi, Informasi, Edukasi
MCNZ : Medical Council of New Zealand
MESO : Monitoring Efek Samping Obat
Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan
PIO : Pelayanan Informasi Obat
PMK : Peraturan Menteri Kesehatan
PTO : Pemantauan Terapi Obat
ROTD : Reakdi Obat yang Tidak Dikehendaki
SMF : Sekolah Menegah Farmasi
TTK : Tenaga Teknis Kefarmasian
UDD : Unit Dose Dispensing
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petugas farmasi
yang tidak hanya berorientasi kepada obat namun juga kepada pasien dan
bertujuan untuk meningkatkan kualitas terapi obat. Aktifitas farmasi klinik
terpusat kepada pasien, bekerjasama dan berkolaborasi antar profesi
dengan dokter dan perawat dalam tim pelayanan kesehatan (Hepler,
2004;Miller, 1981) dalam Restriyani (2016).
Farmasi klinik bertujuan mengidentifikasi, mencegah, dan
menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan masyarakat terkait
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit mengharuskan adanya perluasan
dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented)
menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented)
dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) (Prayitno,
2003).
Pelayanan farmasi klinik pun terbukti efektif dalam menangani terapi
pada pasien. Selain itu, pelayanan tersebut juga efektif untuk mengurangi
biaya pelayanan kesehatan dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Hal itu terutama diperoleh dengan melakukan pemantauan
resep dan pelaporan efek samping obat. Pelayanan ini terbukti dapat
menurunkan angka kematian di rumah sakit secara signifikan (Ikawati,
2010).
2
Beberapa studi menggambarkan sikap dokter terhadap peran
farmasi klinik. Di Sudan, dokter menjadi tidak nyaman dengan adanya
apoteker yang merekomendasikan peresepan obat untuk pasien meskipun
jenis pengobatan tersebut untuk penyakit minor. Sedangkan, di Jordan
terdapat 63% dokter mengharapkan apoteker untuk mengajari pasien
mereka mengenai keamanan dan ketepatan penggunaan obat. Di samping
itu, sebagian dokter menyetujui bahwa apoteker selalu dapat diandalkan
sebagai sumber informasi obat (Abu-Garbieh, et al., 2010).
Namun, sebanyak 48,2% dokter-dokter di Kuwait tetap kurang
nyaman dalam menyusun resep pasien bersama dengan apoteker. Di Libya
dan United Arab Emirates (UAE) diketahui sedikit sekali interaksi antara
dokter dan apoteker. Berdasarkan temuan dari salah satu penelitian
menunjukkan hampir 70- 60% dokter di Libya dan UAE berturut-turut
jarang atau tidak pernah melakukan diskusi dengan apoteker mengenai
terapi obat yang diperolah pasien. Selanjutnya terlihat kurangnya
kepercayaan dokter terhadap apoteker dalam memonitor tekanan darah dan
menyediakan terapi pengganti (Abu-Garbieh, et al., 2010).
Di sisi lain, pada farmasi klinik, apoteker didefinisikan terlibat dalam
merawat pasien pada semua fase perawatan kesehatan. Mereka harus
memiliki pengetahuan yang mendalam tentang obat yang terintegrasi
dengan pemahaman yang mendasar dari biomedis, farmasi, kehidupan
sosial, dan ilmu klinis. Apoteker klinis berpedoman pada bukti terapi, ilmu
3
berkembang, teknologi terbaru, dan prinsip-prinsip hukum, etika, sosial,
budaya, ekonomi, serta profesional yang relevan (ACCP, 2008)
Di Indonesia, Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Farmasi Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik merupakan
pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada pasien dalam rangka
meningkatkan efek terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek
samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin
Pelayanan farmasi klinik yang harus diselenggarakan menurut
PMK No.58 Tahun 2014 di antaranya adalah pengkajian dan pelayanan
resep, penelusuran riwayat obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi
obat, konseling, visite, pematauan terapi obat, monitoring efek samping
obat, evaluasi penggunaan obat, dan dispening sediaan steril.
Penelitian di beberapa RS di Yogyakarta dan sekitarnya
menujukkan bahwa rata-rata rumah sakit melaksanakan standar pelayanan
farmasi klinik sebesar 74,5%. Beberapa rumah sakit yang termasuk dalam
penelitian ini yang berpengaruh terhadap penyebab tidak terlaksananya
pelayanan farmasi klinik adalah kurangnya tenaga kerja, terutama tenaga
kerja yang berkompeten untuk melakukan kegiatan farmasi klinik.
Kurangnya sarana dan prasaran juga sangat berpengaruh terhadap
pelaksanaan pelayanan 44 farmasi klinik, contohnya dispensing sediaan
steril dan pemantuan kadar obat dalam darah (Indah dan Utami, 2016).
4
Studi yang berbeda menunjukan tentang pelayanan resep yang
termasuk dalam kegiatan farmasi klinik di RS Y di yang masih terdapat
kesalahan. Pada tahap prescibring potensi kesalahan terjadi karena tulisan
resep tidak terbaca 0,3%, nama obat berupa singkatan 12%, tidak ada dosis
pemberian 39%, tidak ada jumlah pemberian 18%, tidak ada aturan pakai
34%, tidak menuliskan satuan dosis 59%, tidak ada bentuk sediaan 84%,
tidak ada rute pemberian 49%, tidak ada tanggal permintaan resep 16%,
tidak lengkap identitas pasien (tidak ada nomor rekam medik 62%, usia
87%, berat badan 88%, tinggi badan 88%, jenis kelamin pasien 76%, dan
no kamar pasien 77%). Selain itu pada tahap transcribing potensi
kesalahan terjadi karena tidak ada dosis pemberian obat 89%, tidak ada
rute pemberian 21%, tidak ada bentuk sediaan 14%. Lalu, pada tahap
penyiapan (dispensing) kesalahan terjadi karena pemberian etiket yang
tidak lengkap 61% (Susanti, 2013).
Ada pun penelitian lain terkait standar pelayanan farmasi adalah
salah satunya rekonsiliasi obat. Penelitian yang dilakukan Eko Setiawan,
dkk, di Dinas Kesehatan Jawa Timur, pada tahun 2015 menunjukkan
bahwa kecenderungan petugas termasuk apoteker mau terlibat dalam
proses rekonsiliasi. Mereka pun menganggap penting proses rekonsiliasi
obat ini (Setiawan, et al. 2015).
Studi lain menunjukan kegiatan visite pada farmasi klinik berhasil
menurunkan angka kesalahan pengobatan. Kegiatan pendampingan
apoteker saat visite dokter efektif menurunkan 86% tingkat kesalahan
5
peresepan yang ditemukan (11,31%). Jumlah rekomendasi yang diberikan
oleh apoteker berpengaruh signifikan terhadap jumlah kesalahan peresepan
di ruang perawatan intensif (Turnodihardjo, Hakim, dan
Kartikawatiningsi, 2016).
Studi ini selaras dengan sebuah studi di Massachusetts General
Hospital, Boston, yang mengatakan partisipasi farmasis dalam kunjungan
ke bangsal perawatan ICU dapat mengurangi hingga 60% kejadian efek
samping obat yang disebabkan oleh kesalahan dalam perintah pengobatan
(Ikawati, 2010).
Seperti yang disebutkan dalam PMK 58 tahun 2014, kegiatan
farmasi klinik dilakukan untuk meningkatkan jaminan keselamatan pasien.
Berdasarkan Laporan Peta Nasional Insiden Keselamatan Pasien
(Konggres PERSI Sep 2007), kesalahan dalam pemberian obat menduduki
peringkat pertama (24.8%) dari 10 besar insiden yang dilaporkan. Jika
disimak lebih lanjut, dalam proses penggunaan obat yang meliputi
peresepan (prescibing), membaca resep (transcribing), penyiapan
(dispensing) dan administrasi (administration), penyiapan (dispensing)
menduduki peringkat pertama (Depkes, 2008).
Sedangkan berdasarkan Kepmenkes No.129 Tahun 2008 tetang
Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Rumah Sakit salah satu indikator
SPM adalah tidak adanya kesalahan pemberian obat dengan standar yang
harus dicapai sebesar 100%. Kesalahan pemberian obat itu meliputi salah
6
dalam memberikan jenis obat, salah dosis, salah jumlah, hingga salah
orang atau pasien. Standar pelayanan farmasi lainnya pun diatur dalam
SPM, seperti kepuasan pelanggan dengan standar ≥ 80%, penulisan sesuai
formalium 100%, waktu tunggu pelayanan obat jadi ≤30%, dan waktu
tunggu pelayanan obat racikan ≤60%.
Penyebab terjadinya kesalahan obat (medication error) di
antaranya karena informasi mengenai pasien yang tidak jelas, misalnya
tidak ada riwayat alergi yang diinformasikan. Lalu, tidak mendapat
penjelasan mengenai obat seperti apa cara pakai, frekuensi pemakaian, dan
lain sebaginya. Kemudian komunikasi yang buruk dalam peresepa seperti
dalam membaca resep, menulis resep, dan resep tidak terbaca. Setelah itu,
salah menuliskan etiket/label pada obat serta suasana lingkungan kerja
yang tidak nyaman dan kondusif (Badriah, 2015).
Sedangkan studi lain terhadap beberapa penelitian dan litelatur
mengenai faktor penyebab kesalahan obat (medication error) di antaranya
lingkungan pekerjaan perawat yang kurang mendukung, tingkat jabatan
perawat, usia pasien yang sudah tua, rekonsiliasi obat pra-masuk rumah
sakit, kurangnya pengetahuan tentang obat-obatan (dosis, mendeteksi
interaksi obat), pengkajian yang kurang lengkap tentang riwayat alergi dan
kurangnya pemantauan klinis terhadap pasien (Muladi, 2012).
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui
gambaran pelaksanaan standar pelayanan farmasi klinik di RS X. Standar
7
pelayanan farmasi klinik diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan
keselamatan pasien.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan studi litelatur yang dilakukan standar pelayan farmasi
klinik di rumah sakit menentukan kualitas pelayanan. Sehingga seharusnys
diterapkan dengan sebaik mungkin oleh rumah sakit demi menjaga
kualitas dan keselamatan pasien.
. Standar pelayanan farmasi di rumah sakit tentu harus mengacu
pada standar nasional seperti SPM dan PMK. Namun, pada kenyataannya
pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Indah dan Utami, 2016 dari 4
rumah sakit yang diteliti di Yogyakarta belum ada satu pun rumah sakit
yang mampu menerapkan seluruh kegiatan farmasi klinik sesuai PMK
No.58 Tahun 2014.
Di RS X sendiri penelitian dan evaluasi terkait pelayanan farmasi
klinik belum pernah dilakukan. Di samping itu, laporan kesalahan pengobatan
masih terjadi di RS X. Selain itu, menurut hasil wawancara belum sepenuhnya
kegiatan pelayanan farmasi klinik pada PMK No.58 Tahun 2014 dapat
dilakukan. Di antaranya yang belum dilakukan adalah konseling dan visite
bersama.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap pelayanan farmasi
klinik di RS X berdasarkan PMK nomor 58 tahun 2014 tentang standar
pelayanan farmasi di rumah sakit.
8
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran SDM pada pelayanan farmasi klinik di
RS X
2. Bagaimana gambaran sarana dan prasarana pada pelayanan
farmasi klinik di RS X
3. Bagaimana gambaran kebijakan pada pelayanan farmasi klinik
di RS X
4. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan pelayanan resep pada
pelayanan farmasi kilinik di RS X?
5. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan rekonsiliasi obat
pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?
6. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Pelayanan Informasi
Obat (PIO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?
7. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan konseling pada
pelayanan farmasi kilinik di RS X?
8. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan visite pada
pelayanan farmasi kilinik di RS X?
9. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Pemantauan Terapi
Obat (PTO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?
10. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Monitoring Efek
Samping Obat (MESO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS
X?
9
11. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Evaluasi Penggunaan
Obat (EPO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?
12. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan dispensing sediaan
steril pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?
13. Bagaimana gambaran pencapaian pelaksanaan pelayanan
farmasi klinik di RS X?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran pelaksanaan standar pelayanan farmasi
klinik di RS X sesuai dengan PMK No. 58 Tahun 2014.
1.4.2 Tujuan khusus
1. Diketahuinya gambaran SDM pada pelayanan farmasi klinik di
RS X
2. Diketahuinya gambaran sarana dan prasarana pada pelayanan
farmasi klinik di RS X
3. Diketahuinya gambaran kebijakan pada pelayanan farmasi
klinik di RS X
4. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan pelayanan resep
pada pelayanan farmasi klinik di RS X
5. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan rekonsiliasi obat
pada pelayanan farmasi klinik di RS X
10
6. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Pelayanan
Informasi Obat (PIO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X
7. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan konseling pada
pelayanan farmasi klinik di RS X
8. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan visite pada
pelayanan farmasi klinik di RS X
9. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Pemantauan Terapi
Obat (PTO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X
10. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Monitoring Efek
Samping Obat (MESO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X
11. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Evaluasi
Penggunaan Obat (EPO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X
12. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan dispensing sediaan
steril pada pelayanan farmasi klinik di RS X
13. Diketahuinya gambaran pencapaian pelaksanaan pelayanan
farmasi klinik di RS X
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Rumah Sakit
Dapat menjadi tambahan salah satu referensi bagi rumah sakit
untuk melakukan upaya peningkatan pelayanan farmasi klinik.
11
1.5.2 Bagi Peneliti
Dapat mengaplikasikan teori pelayanan pelaksanaan standar
farmasi klinis yang telah dipelajari ke kondisi sebenarnya.
1.5.3 Bagi Institusi
Hasil penelitian dapat dijadikan referensi yang dapat diteliti
lebih lanjut. Serta dapat dijadikan informasi dan dokumentasi
di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran
pelaksanaan standar pada pelayanan farmasi klinis di Rumah Sakit
X tahun 2017 yang akan diteliti oleh mahasiswa Kesehatan
Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada bulan Juli 2016-Januari 2017. Penelitian ini dilakukan untuk
di ketahuinya pelaksanaan standar pelayanan farmasi klinik di RS
X. Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu penelitian deskriptif
dengan menggunakan desain studi kasus dan metode pendekatan
sistem. Penelitian ini merupakan penelitian yang akan
mengeskplorasi permasalahan mengenai gambaran pelaksanaan
standar pada pelayanan farmasi di rumah sakit. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data primer
yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan telaah dokumen.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelayanan Farmasi Klinik Rumah Sakit
Farmasi klinik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang berorientasi pada pelayanan pasien.
Farmasi klinik bertujuan mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah
terkait obat. Tuntutan masyarakat terkait pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit
mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada
produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien
(patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
(Prayitno, 2003).
Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petugas farmasi yang
tidak hanya berorientasi kepada obat namun juga kepada pasien dan bertujuan
untuk meningkatkan kualitas terapi obat. Aktifitas farmasi klinik terpusat kepada
pasien, bekerjasama dan berkolaborasi antar profesi dengan dokter dan perawat
dalam tim pelayanan kesehatan (Hepler, 2004;Miller, 1981) dalam (Restriyani,
2016).
Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi
Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang
diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan
13
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life)
terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep;
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat;
3. Rekonsiliasi Obat;
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
5. Konseling;
6. Visite;
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
10. Dispensing Sediaan Steril; Dan
11. Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD)
2.1.1 Pengkajian dan pelayanan Resep
Dalam PMK No. 58 tahun 2014, pelayanan resep dimulai dari penerimaan,
pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan,
penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep
dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication
error).
Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila
ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis
14
resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan
administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien
rawat inap maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
a. nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien;
b. nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;
c. tanggal Resep; dan
d. ruangan/unit asal Resep.
Persyaratan farmasetik meliputi:
a. nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan;
b. dosis dan jumlah obat;
c. stabilitas yaitu derajat degradasi suatu obat dipandangdari segi
kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknyapenurunan
kadar selama penyimpanan; dan
d. aturan dan cara penggunaan.
Persyaratan klinis meliputi:
a. ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat;
b. duplikasi pengobatan;
c. alergi dan Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
d. kontraindikasi; dan
e. interaksi obat.
15
Penulisan resep sendiri memiliki standar yang berbeda di setiap
negara. Namun, yang terpenting resep yang ditulis harus jelas. Beberapa
resep masih ditulis dalam bahasa latin dibeberapa negara, meski bahasa
lokal lebih banyak ditemukan. Setidaknya dalam resep memuat informasi
ini maka kemungkinan kecil terjadi kesalahan (WHO, 1994):
a. Nama dan alamat prescriber, dengan nomor telepon (jika mungkin)
Hal ini biasanya pra-dicetak pada formulir. Jika apoteker memiliki
pertanyaan tentang resep ia dapat dengan mudah menghubungi prescriber
tersebut.
b. Tanggal resep
Di banyak negara validitas resep tidak memiliki batas waktu, tetapi
di beberapa negara apoteker tidak memberikan obat resep lebih dari tiga
sampai enam bulan. Maka tanggal resep penting untuk mengetahui
vaiditas obat yang disediakan itu sendiri.
c. Nama dan kekuatan obat
R/ (tidak Rx) berasal dari Resep (Latin untuk 'mengambil'). Setelah
R/ harus ditulis nama obat dan kekuatan. Sangat dianjurkan untuk
menggunakan nama generik obat. Hal ini menandakan penulis resep tdak
cenderung pada salah satu merk obat yang bisa saja mahal bagi pasien.
Namun, jika ada alasan khusus untuk meresepkan merek khusus, nama
dagang dapat dituliskan dalam resep.
16
Kekuatan obat menunjukkan berapa miligram kandungan obat
dalam setiap tablet, supositoria, atau mililiter cairan. Singkatan yang
diterima secara internasional harus digunakan: g untuk gram, ml untuk
mililiter. Cobalah untuk menghindari desimal dan, jika perlu, menulis
kata-kata penuh untuk menghindari kesalahpahaman. Misalnya, menulis
Levotiroksin 50 mikrogram, bukan 0.050 miligram atau 50 ug. Dalam
resep untuk obat yang diawasi atau yang berpotensi disalahgunakan lebih
aman untuk menulis kekuatan dan jumlah total dalam kata-kata, untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan. Instruksi penggunaan harus jelas
dan dosis harian maksimum disebutkan. Gunakan tinta tak terhapuskan.
d. Bentuk sediaan dan jumlah total
Hanya menggunakan singkatan standar yang akan diketahui
apoteker.
e. Informasi untuk label paket
S singkatan Signa (Latin untuk 'menulis'). Semua informasi berikut
S atau kata 'Label' harus disalin oleh apoteker ke label paket. Termasuk
berapa banyak obat yang harus diambil, seberapa sering, dan setiap
instruksi dan peringatan tertentu. Semuanya harus diberikan dalam bahasa
awam. Jangan gunakan singkatan atau pernyataan seperti 'seperti
sebelumnya' atau 'seperti yang diarahkan'.
f. Inisial atau tanda tangan prescriber
g. Nama dan alamat pasien; usia (untuk anak-anak dan orang tua)
17
2.1.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Dalam PMK No.58 Tahun 2014, penelusuran riwayat penggunaan obat
merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan
farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat
diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan obat
pasien. Adapun tahapan penelusuran riwayat penggunaan obat sebagai berikut:
a. Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam
medik/pencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan
informasi penggunaan obat;
b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh
tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika
diperlukan;
c. Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD);
d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat;
e. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan
obat;
f. Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan;
g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang
digunakan;
h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat;
i. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat;
18
j. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu
kepatuhan minum obat (concordance aids);
k. Mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa
sepengetahuan dokter; dan
l. Mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan
Informasi yang harus didapatkan menurut PMK No.58 Tahun 2014 dalam
penelusuran riwayat penggunaan obat di antaranya adalah nama obat (termasuk
obat non resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi penggunaan, indikasi dan lama
penggunaan obat; reaksi obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi; dan
kepatuhan terhadap regimen penggunaan obat (jumlah obat yang tersisa).
Riwayat penggunaan obat adalah hal yang penting dalam mencegah
kesalahan peresepan serta pengurangan risiko untuk pasien. Di samping itu,
riwayat penggunaan obat yang akurat juga berguna untuk mendeteksi hubungan
terapi obat atau perubahan tanda-tanda klinis yang mungkin akibat dari
penggunaan obat. Riwayat penggunaan obat uang baik harus mencakup semua
obat yang sedang dan telah diresepkan pada pasien, reaksi obat sebelumnya
termasuk kemungkinan reaksi hipersensitif, dan obat-obat yang tak menggunakan
resep, termasuk pengobatan herbal atau alternatif, serta kepatuhan terhadap terapi
(FitzGerald, 2009).
Bagian penting dari riwayat penggunaan obat sering tidak lengkap dan
tidak akurat. Penelitian menunjukan hal ini merupakan salah satu kebiasaan yang
terjadi di dunia. Apoteker bisa memainkan peran penting pada pencegahan
19
kesalahan ini dengan terlibat dalam memperoleh riwayat penggunaan obat setelah
adanya perpindahan pasien (FitzGerald, 2009).
Riwayat penggunaan obat yang hati-hati merupakan hal penting. Hal ini
dilakukan untuk menilai penyebab dari efek obat. Karena bisa berisi keterangan
alergi pasien sebelumnya (Ritter, et al, 2008).
2.1.3 Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan suatu proses yang menjamin informasi
terkait penggunaan obat yang akurat dan komprehensif dikomunikasikan secara
konsisten setiap kali terjadi perpindahan pemberian layanan kesehatan seorang
pasien. Pengertian rekonsiliasi obat tersebut menyiratkan beberapa elemen
penting yang mendasari keberhasilan implementasi program tersebut, yaitu: 1)
proses rekonsiliasi obat merupakan proses formal; 2) proses rekonsiliasi obat
merupakan proses dengan pendekatan multisiplin; 3) penyedia layanan kesehatan
harus dapat bekerja sama dengan pasien dan keluarga pasien/penjaga pasien.
Proses perpindahan pemberian layanan kesehatan dapat terjadi pada setting
berikut: 1) saat pasien Masuk Rumah Sakit (MRS); 2) pasien mengalami
perpindahan antar bangsal atau unit layanan dalam suatu instansi rumah sakit
yang sama (misalnya dari bangsal rawat inap menuju intensive care unit); 3)
perpindahan dari suatu instansi rumah sakit menuju: rumah, layanan kesehatan
primer (antara lain: puskesmas, praktek pribadi dokter yang bekerja sama dengan
apotek, atau klinik), atau rumah sakit lain (Setiawan, et al, 2015).
20
Dalam PMK No.58 Tahun 2014 rekonsiliasi obat merupakan proses
membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien.
Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication
error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat.
Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari
satu rumah sakit ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien
yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
Tujuan dilakukannya rekonsiliasi obat adalah:
a. Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan
pasien;
b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya
instruksi dokter; dan
c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi
dokter.
Sedangkan setelah itu diatur pula tahap proses rekonsiliasi obat yang
terdiri dari pengumpulan data, komparasi, melakukan konfirmasi kepada dokter
apabila terjadi kesalahan, dan komunikasi. Berikut penjelasan masing-masing
tahap:
a. Pengumpulan data
Mencatat data dan memverifikasi obat yang sedang dan akan
digunakan pasien, meliputi nama obat, dosis, frekuensi, rute, obat mulai
diberikan, diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek
21
samping obat yang pernah terjadi. khusus untuk data alergi dan efek samping
obat, dicatat tanggal kejadian, obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi
dan efek samping, efek yang terjadi, dan tingkat keparahan.
Data riwayat penggunaan obat didapatkan dari pasien, keluarga pasien,
daftar obat pasien, obat yang ada pada pasien, dan rekam medik/medication
chart. Data obat yang dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan
sebelumnya. Semua obat yang digunakan oleh pasien baik Resep maupun obat
bebas termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.
b. Komparasi
Petugas kesehatan membandingkan data obat yang pernah, sedang dan
akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana
ditemukan ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut.
Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada obat yang hilang, berbeda,
ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan yang didokumentasikan pada
rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja (intentional)
oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun tidak disengaja (unintentional)
dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat menuliskan Resep.
c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan
ketidaksesuaian dokumentasi.
Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi kurang dari 24
jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah menentukan bahwa
adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak disengaja;
22
mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti; dan
memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi
obat.
d. Komunikasi
Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau
perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung
jawab terhadap informasi obat yang diberikan.
2.1.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Rata-rata, 50% pasien tak menggunakan obat yang diresepkan dengan benar,
meminumnya tidak teratur, atau tidak sama sekali. Alasan yang paling umum
adalah karena gejala telah berhenti, efek samping yang terjadi, obat tidak
dianggap efektif, atau jadwal dosis rumit bagi pasien, terutama orang tua. Tidak
patuhnya pasien terhadap pengobatan mungkin tidak memiliki konsekuensi serius
bagi sebagian obat, namun pada sebagin lainnya, obat menjadi tidak efektif atau
beracun jika digunakan tidak teratur (WHO, 1994).
Kepatuhan pasien terhadap pengobatan dapat ditingkatkan dengan tiga cara
yaitu, pemilihan terapi obat yang baik. menciptakan hubungan dokter-pasien yang
baik, atau meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang diperlukan,
seperti petunjuk dan peringatan. Terapi obat yang baik terdiri dari sedikitnya obat
yang diresepkan, dengan tindakan cepat, sedikit efek samping sesedikit mungkin,
dalam bentuk sediaan yang tepat, jadwal dosis sederhana (satu atau dua kali
sehari), dan durasi pengobatan sesingkat mungkin (WHO, 1994).
23
Pelayanan Informasi Obat (PIO) adalah salah satu untuk mengurangi
ketidapatuhan tersebut. Pasien membutuhkan informasi, petunjuk dan peringatan
agar mereka memiliki pengetahuan untuk menerima dan mengikuti pengobatan
serta mendapat keterampilan yang diperlukan untuk menggunkaa obat dengan
tepat. Dalam beberapa studi, kurang dari 60% pasien telah memahami bagaimana
menggunakan obat yang mereka terima. Informasi harus diberikan yang jelas,
menggunakan bahasa umum dan meminta pasien untuk mengulang kata-kata yang
diucapkan petugas oleh dirinya sendiri terkait beberapa informasi inti, untuk
memastikan bahwa infromasi terlah dipahami (WHO, 1994).
Dalam memberikan infromasi terkait obat apoteker harus memberikan
informasi obat untuk pasien yang akurat dan komprehensif . Infromasi terrapi obat
juga diinformasikan untuk profesional kesehatan, pasien, dan perawat pasien yang
sesuai. Tanggapan terhadap permintaan informasi obat umum dan pasien-spesifik
harus disediakan secara akurat dan tepat waktu oleh apoteker, dan harus ada
penilaian untuk memastikan kualitas tanggapan yang diberikan (ASHP, 2013).
Apoteker juga harus menginformasikan pada staf dan penyedia layanan
kesehatan rumah sakit tentang penggunaan obat secara berkelanjutan melalui
publikasi yang tepat, presentasi, dan program terterntu. Apoteker harus
memastikan penyebaran informasi produk obat secara tepat waktu (misalnya,
ingat pemberitahuan, perubahan pelabelan, dan perubahan ketersediaan produk).
Infromasi pun dapat diberikan dengan komunikasi elektronik (misalnya, situs
web, newsletter email, intranet posting), cara ini lebih efektif dan lebih mudah
diakses (ASHP, 2013).
24
Menurut PMK No. 58 Tahun 2014 PIO merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias,
terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah
Sakit. PIO bertujuan untuk:
a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan
di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah sakit;
b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan
dengan obat/sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,
terutama bagi tim farmasi dan terapi;
c. Menunjang penggunaan obat yang rasional.
Kegiatan PIO berupa penyediaan dan pemberian informasi obat yang
bersifat aktif atau pasif. Pelayanan bersifat aktif apabila apoteker pelayanan
informasi obat memberikan informasi obat dengan tidak menunggu pertanyaan
melainkan secara aktif memberikan informasi obat, misalnya penerbitan buletin,
brosur, leaflet, seminar dan sebagainya. Pelayanan bersifat pasif apabila apoteker
pelayanan informasi obat mernberikan informasi obat sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diterima (Dirjen Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan, 2006).
Sedangkan dalam PMK No.58 Tahun 2014 kegiatan tersebut, meliputi :
a. Menjawab pertanyaan;
b. Menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter;
25
c. Menyediakan informasi bagi tim farmasi dan terapi sehubungan dengan
penyusunan formularium rumah sakit;
d. Bersama dengan tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap;
e. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya; dan
f. Melakukan penelitian.
2.1.5 Konseling
Konseling berasal dari kata counsel yang artinya memberikan saran,
melakukan diskusi dan pertukaran pendapat. Konseling adalah suatu kegiatan
bertemu dan berdiskusinya seseorang yang membutuhkan (klien) dan
seseorang yang memberikan (konselor) dukungan dan dorongan sedemikian
rupa sehingga klien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam
pemecahan masalah. Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan
dan elemen kunci dari pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang ini
tidak hanya melakukan kegiatan compounding dan dispensing saja, tetapi juga
harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya dimana
dijelaskan dalam konsep Pharmaceutical Care. Dapat disimpulkan bahwa
pelayanan konseling pasien adalah suatu pelayanan farmasi yang mempunyai
tanggung jawab etikal serta medikasi legal untuk memberikan informasi dan
edukasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan obat (Dirjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007).
26
Apoteker harus berpartisipasi dalam konseling pasien. Apoteker harus
membantu untuk memastikan bahwa semua pasien diberikan informasi yang
memadai tentang obat yang mereka terima untuk membantu pasien
berpartisipasi dalam keputusan perawatan kesehatan mereka sendiri dan
mendorong kepatuhan terhadap pengobatan. Kegiatan konseling pasien harus
dikoordinasikan dengan keperawatan, medis, dan staf klinis lainnya yang
diperlukan. Materi terkait obat yang dikembangkan oleh layanan lain dan
departemen serta sumber komersial harus ditinjau oleh staf farmasi (ASHP,
2013).
Konseling obat dalam PMK No.58 Tahun 2014 adalah suatu aktivitas
pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari apoteker (konselor)
kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan
maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif
apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian
konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga
terhadap apoteker.
Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil
terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan
meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan obat bagi pasien (patient safety).
Secara khusus konseling obat ditujukan untuk:
a. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dan pasien;
27
b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;
c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat;
d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan
obat dengan penyakitnya;
e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan;
f. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat;
g. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam
hal terapi;
h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan
i. Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga
dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu
pengobatan pasien.
Dalam PMK No.58 Tahun 2014 pun diatur mengenai kriteria pasien
yang harus diberikan konseling, di antaranya adalah pasien kondisi khusus
(pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui), pasien
dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan lain-
lain), pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus
(penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/off), pasien yang
menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin), pasien
yang menggunakan banyak obat (polifarmasi).
28
2.1.6 Visite
Visite dalam PMK No. 58 Tahun 2014 merupakan kegiatan kunjungan ke
pasien rawat inap yang dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim
tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan
mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan ROTD, meningkatkan
terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien
serta profesional kesehatan lainnya.
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah sakit
baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program rumah sakit yang
biasa disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care).
Sebelum melakukan kegiatan visite apoteker harus mempersiapkan diri dengan
mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi obat
dari rekam medik atau sumber lain.
Kegiatan visite dapat dilakukan oleh apoteker secara mandiri atau
kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan situasi dan kondisi.
Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing (lihat tabel) yang
perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan visite dan menetapkan rekomendasi
(Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).
Dalam pelaksanaan visite kolaborasi banyak kendala yang dialami
petugas. Beberapa studi menggambarkan sikap dokter terhadap peran farmasi
klinik khususnya pendampingan apoteker. Di Sudan, dokter menjadi tidak
nyaman dengan adanya apoteker yang merekomendasikan peresepan obat untuk
29
pasien meskipun jenis pengobatan tersebut untuk penyakit minor. Sedangkan, di
Jordan terdapat 63% dokter mengharapkan apoteker untuk mengajari pasien
mereka mengenai keamanan dan ketepatan penggunaan obat. Di samping itu,
sebagian dokter menyetujui bahwa apoteker selalu dapat diandalkan sebagai
sumber informasi obat (Abu-Garbieh, et al., 2010).
a. Visite Mandiri
Pada kegiatan visite mandiri, apoteker harus memperkenalkan diri kepada
pasien dan keluarganya agar timbul kepercayaan mereka terhadap profesi apoteker
sehingga mereka dapat bersikap terbuka dan kooperatif. Apoteker berkomunikasi
efektif secara aktif untuk menggali permasalahan pasien terkait penggunaan obat
(lihat informasi penggunaan obat di atas). Respon dapat berupa keluhan yang
disampaikan oleh pasien, misalnya: rasa nyeri menetap/bertambah, sulit buang air
besar; atau adanya keluhan baru, misalnya: gatal-gatal, mual, pusing. Apoteker
harus melakukan kajian untuk memastikan apakah keluhan tersebut terkait dengan
penggunaan obat yang telah diberitahukan sebelumnya, misalnya urin berwarna
merah karena penggunaan rifampisin; mual karena penggunaan siprofloksasin
atau metformin (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).
Setelah bertemu dengan pasien berdasarkan informasi penggunaan yang
diperoleh, apoteker dapat (i) menetapkan status masalah (aktual atau potensial),
dan (ii) mengidentifikasi adanya masalah baru. Pada visite mandiri, rekomendasi
lebih ditujukan kepada pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan
penggunaan obat dalam hal aturan pakai, cara pakai, dan hal-hal yang harus
30
diperhatikan selama menggunakan obat. Rekomendasi kepada pasien yang
dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan pendampingan cara
penggunaan obat. (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011)
Setelah pelaksanaan visite mandiri, apoteker dapat menyampaikan
rekomendasi kepada perawat tentang jadwal dan cara pemberian obat, misalnya:
obat diberikan pada waktu yang telah ditentukan (interval waktu pemberian yang
sama), pemberian obat sebelum/sesudah makan, selang waktu pemberian obat
untuk mencegah terjadinya interaksi, kecepatan infus, jenis pelarut yang
digunakan, stabilitas dan ketercampuran obat suntik. Rekomendasi kepada
perawat yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan
pendampingan cara penyiapan obat. Rekomendasi yang diberikan harus
berdasarkan pada bukti terbaik, terpercaya dan terkini agar diperoleh hasil terapi
yang optimal. Rekomendasi kepada apoteker lain dapat dilakukan dalam proses
penyiapan obat, misalnya: kalkulasi dan penyesuaian dosis, pengaturan jalur dan
laju infus. Rekomendasi kepada dokter yang merawat yang dilakukan oleh
apoteker dapat berupa diskusi pembahasan masalah dan kesepakatan keputusan
terapi. Apoteker juga harus memantau pelaksanaan rekomendasi kepada pasien,
perawat, atau dokter. Jika rekomendasi belum dilaksanakan maka apoteker harus
menelusuri penyebab tidak dilaksanakannya rekomendasi dan mengupayakan
penyelesaian masalah. (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).
31
b. Visite Kolaborasi
Pada kegiatan visite bersama dengan tenaga kesehatan lain, perkenalan
anggota tim kepada pasien dan keluarganya dilakukan oleh ketua tim visite. Pada
saat mengunjungi pasien, dokter yang merawat akan memaparkan perkembangan
kondisi klinis pasien berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan
wawancara dengan pasien; hal ini dapat dimanfaatkan apoteker untuk
memperbarui data pasien yang telah diperoleh sebelumnya atau mengkaji ulang
permasalahan baru yang timbul karena perubahan terapi. Apoteker harus
berpartisipasi aktif dalam menggali latar belakang permasalahan terkait
penggunaan obat (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011)
Sebelum memberikan rekomendasi, apoteker berdiskusi dengan anggota
tim secara aktif untuk saling mengklarifikasi, mengkonfirmasi, dan melengkapi
informasi penggunaan obat, Pada visite tim, rekomendasi lebih ditujukan kepada
dokter yang merawat dengan tujuan untuk meningkatkan hasil terapi, khususnya
dalam pemilihan terapi obat, misalnya pemilihan jenis dan rejimen antibiotika
untuk terapi demam tifoid, waktu penggantian antibiotika injeksi menjadi
antibiotika oral, lama penggunaan antibiotika sesuai pedoman terapi yang berlaku.
Rekomendasi yang diberikan harus berdasarkan informasi dari pasien,
pengalaman klinis (kepakaran) dokter dan bukti terbaik yang dapat diperoleh.
Rekomendasi tersebut merupakan kesepakatan penggunaan obat yang terbaik agar
diperoleh hasil terapi yang optimal. Pemberian rekomendasi kepada dokter yang
merawat dikomunikasikan secara efektif, misalnya: saran tertentu yang bersifat
32
sensitif (dapat menimbulkan kesalahpahaman) diberikan secara pribadi (tidak di
depan pasien/perawat (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).
Setelah rekomendasi disetujui dokter yang merawat untuk
diimplementasikan, apoteker harus memantau pelaksanaan rekomendasi
perubahan terapi pada rekam medik dan catatan pemberian obat. Jika rekomendasi
belum dilaksanakan maka apoteker harus menelusuri penyebabnya dan
mengupayakan penyelesaian masalah (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan,
2011).
2.1.7 Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) dalam PMK No.58 Tahun 2014
merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat
yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan
efektivitas terapi dan meminimalkan risiko ROTD. Pasien yang mendapatkan
terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas
penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual
meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan
perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi
dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.
Hasil meta-analisis yang dilakukan di Amerika Serikat pada pasien rawat
inap didapatkan hasil angka kejadian ROTD yang serius sebanyak 6,7% dan
ROTD yang fatal sebanyak 0,32%. Sementara penelitian yang dilakukan di rumah
sakit di Perancis menunjukkan : masalah terkait obat yang sering muncul antara
33
lain: pemberian obat yang kontraindikasi dengan kondisi pasien (21,3%), cara
pemberian yang tidak tepat (20,6%), pemberian dosis yang sub terapeutik
(19,2%), dan interaksi obat (12,6%).1 Data dari penelitian yang dilakukan di satu
rumah sakit di Indonesia menunjukkan 78,2% pasien geriatri selama menjalani
rawat inap mengalami masalah terkait obat. Beberapa masalah yang ditemukan
dalam praktek apoteker komunitas di Amerika Serikat, antara lain: efek samping
obat, interaksi obat, penggunaan obat yang tidak tepat.3 Sementara di Indonesia,
data yang dipublikasikan tentang praktek apoteker di komunitas masih terbatas
(Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).
Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah
munculnya masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim pelayanan
kesehatan memiliki peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjangdalam
melakukan PTO adalah patofisiologi penyakit; farmakoterapi; serta interpretasi
hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan
keterampilan berkomunikasi, kemampuan membina hubungan interpersonal, dan
menganalisis masalah. Proses PTO merupakan proses yang komprehensif mulai
dari seleksi pasien, pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat,
rekomendasi terapi, rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut. Proses
tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai
(Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).
Kegiatan dalam PTO menurut PMK No.58 Tahun 2014 meliputi:
34
a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi,
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan
c. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.
2.1.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim
yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek
Samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja
farmakologi.
Monitoring efek samping obat yang benar adalah dicatat pada lembar
MESO yang kemudian akan ditandatangani oleh dokter, kemudian akan
dikirimkan secara ke pusat MESO Indonesia, yaitu Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) di Jakarta (Purwantiastuti, 2015).
Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pascapemasaran
dilakukan untuk mengetahui efektifitas (efectiveness) dan keamanan penggunaan
obat pada kondisi kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya. Banyak
bukti menunjukkan bahwa sebenarnya Efek Samping Obat (ESO) dapat dicegah,
dengan pengetahuan yang bertambah, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan
aspek keamanan obat pasca pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan
istilah Farmakovigilans. Sehingga, kegiatan ini menjadi salah satu komponen
35
penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat
secara umum.
2.1.9 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) dalam PMK No. 58 Tahun 2014 merupakan
program evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara
kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan EPO yaitu:
j. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat;
k. Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu;
l. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat; dan
h. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.
2.1.10 Dispensing Sediaan Steril
Pencampuran sediaan steril harus dilakukan secara terpusat di instalasi
farmasi rumah sakit untuk menghindari infeksi nosokomial dan terjadinya
kesalahan pemberian obat. Pencampuran sediaan steril merupakan rangkaian
perubahan bentuk obat dari kondisi semula menjadi produk baru dengan proses
pelarutan atau penambahan bahan lain yang dilakukan secara aseptis oleh
apoteker di sarana pelayanan kesehatan (ASHP, 1985) dalam (Dirjen Bina
Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).
Aseptis berarti bebas mikroorganisme. Teknik aseptis didefinisikan
sebagai prosedur kerja yang meminimalisir kontaminan mikroorganisme dan
36
dapat mengurangi risiko paparan terhadap petugas. Kontaminan kemungkinan
terbawa ke dalam daerah aseptis dari alat kesehatan, sediaan obat, atau petugas
jadi penting untuk mengontrol faktor-faktor ini selama proses pengerjaan produk
aseptis.. Pencampuran sediaan steril harus memperhatikan perlindungan produk
dari kontaminasi mikroorganisme; sedangkan untuk penanganan sediaan
sitostatika selain kontaminasi juga memperhatikan perlindungan terhadap petugas,
produk dan lingkungan (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).
Sedangkan menurut PMK No. 58 Tahun 2014 dispensing sediaan steril
harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk
menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat
berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
Dispensing sediaan steril dalam PMK No.58 Tahun 2014 bertujuan:
a. Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang
dibutuhkan;
b. Menjamin sterilitas dan stabilitas produk;
c. Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
d. Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
2.1.11 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena
indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter. Kegiatan
PKOD meliputi:
37
a. Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan PKOD
b. Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan PKOD
c. Menganalisis hasil pemeriksaan kadar
2.2 Medication Error
Kesalahan obat (medication error) adalah setiap kejadian yang
sebenarnya dapat dicegah yang dapat menyebabkan atau membawa kepada
penggunaan obat yang tidak layak atau membahayakan pasien, ketika obat
dalam kontrol petugas kesehatan, pasien, atau konsumen (NCCMERP)
(Cahyono, 2008).
Kejadian kesalahan obat (medication error) merupakan salah satu
ukuran pencapaian keselamatan pasien. Medicaton error dapat terjadi pada
tahap peresepan (precribing), penyiapan (dispensing), dan pemberian obat
(drug administrastion) . Kesalahan pada salah satu tahap dapat
menimbulkan kesalahan pada tahap selanjutnya. Kejadian kesalahan obat
(medication error) terkait dengan praktisi, produk obat, prosedur,
lingkungan atau sistem yang melibatkan peresepan (prescibing) ,
penyiapan (dispensing), dan administrasi (administration) (Tajuddin, et
al. 2012)
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan
No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di
apotek, kesalahan obat (medication error) adalah kejadiaan yang
merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga
38
kesehatan yang sebenarnya dapat dicegah. Kesalahan pengobatan biasa
terjadi di rumah sakit dan kesalahan dapat terjadi pada setiap tahap dari
peresepan (dokter) melalui dispensing (apoteker atau staf dispensing)
untuk administrasi (keperawatan atau pasien sendiri) (Depkes, 2006).
Leape, et. Al (1995) mengidentifikasi penyebab kesalahan antara
lain 1) Kurangnya diseminasi pengetahuan, terutama para dokter yang
merupakan 22 % penyebab kesalahan, 2) Tidak cukupnya informasi, 14%
dari kesalahan mengenai pasien seperti halnya data uji laboratorium, 3)
Sebanyak 10% kesalahan dosis yang kemungkinan disebabkan oleh tidak
diikutinya SOP pengobatan, 4) 9% Lupa, 5) 9% kesalahan dalam
membaca resep seperti tulisan tidak terbaca, interprestasi perintah dalam
resep, dan singkatan dalam resep, 6) Salah mengerti perintah lisan, 7)
Pelabelan dan kemasan, 8) Stok dan penyimpanan obat yang tidak baik,
9) Masalah dengan standard an distribusi, 10) Assesment alat penyampai
obat yang tidak baik saat membeli dan penggunaan, 11) Stress di
lingkungan kerja, dan 12) Ketidaktahuan pasien.
Ada pun menurut Kepmenkes tahun 2004 tentang standa
pelayanan kefarmasian di apotek faktor-faktor lain yang berkontribusi
pada kesalahan obat (medication error) antara lain:
1. Komunikasi atau kegagalan berkomunikasi
Hal ini merupakan suber utama terjadinya kesalahan. Institusi pelayanan
kesehatan harus menghilangkan hambatan komunikai antar petugas
39
kesehatan dan membuat SOP bagiaman resep/penerimaan obat dan
informasi obat lainnya dikomunikasikan. Komunikasi baik antar apoteker
maupun dengan petugas kesehatan lainnya perlu dilakukan dengan jelas
untuk menghindari penafsiran ganda atau ketidaklengkapan informasi
dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat daftarsingkatan dan
penulisan dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai.
2. Kondisi lingkungan
Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi
linngkungan, area disepensing harus didesain dengan tepat dan sesuai
dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan pencahayaan
yang cukup dan temperatur yang nyaman. Selain itu, area kerja harus
bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya keslaahan. Obat untuk
setiap pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah.
3. Gangguan/interupsi saat bekerja
Gangguan/interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi
interupsi baik langsung maupun melalui telepon.
4. Beban kerja
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk
mengurangi stres dan beban kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan
kesalahan.
5. Edukasi staf
40
Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam
menurunkan insiden/kesalahan,tetapi mereka dapat memainkan peran
penting ketika dilibatka dalam sistem menurunkan insiden/kesalahan.
Sedangkan menurut American Hospital Association, kesalahan
obat (medication error) antara lain dapat terjadi pada situasi berikut:
1. Informasi pasien yang tidak lengkap, misalnya tidak ada informasi
tentang riwayat alergi dan penggunaan obat sebelumnya.
2. Tidak diberikan informasi obat yang layak, misalnya cara minum atau
menggunakan obat, frekuensi dan lama pemberian hingga peringatan jika
timbul efek samping.
3. Kesalahan komunikasi dalam peresepan, misalnya interpretasi apoteker
yang keliru dalam membaca resep dokter, kesalahan membaca nama obat
yang relatif mirip dengan obat lainnya, kesalahan membaca desimal,
pembacaan unit dosis hingga singkatan peresepan yang tidak jelas.
4. Pelabelan kemasan obat yang tidak jelas sehingga berisiko dibaca keliru
oleh pasien.
5. Faktor-faktor lingkungan, seperti ruang apotek/ruang obat yang tidak
terang, hingga suasana tempat kerja yang tidak nyaman yang dapat
mengakibatkan timbulnya medication error.
41
2.3 Pencegahan Medication Error
Dalam Pedoman Tanggung Jawab Apoteker terhadap Keselamatan Pasien,
maka upaya pencegahan kesalahan obat (medication error) adalah sebagai berikut
(Depkes, 2008):
1. Mendorong fungsi dan pembatasan (forcing function& constraints): suatu
upaya mendesain sistem yang mendorong seseorang melakukan hal yang
baik, contoh : sediaan potasium klorida siap pakai dalam konsentrasi 10%
Nacl 0.9%, karena sediaandi pasar dalam konsentrasi 20% (>10%) yang
mengakibatkan fatal (henti jantung dan nekrosis pada tempat injeksi)
2. Otomasi dan komputer (Computerized Prescribing Order Entry):
membuat statis/robotisasi pekerjaan berulang yang sudah pasti dengan
dukungan teknologi, contoh : komputerisasi proses penulisan resep oleh
dokter diikuti dengan ‖/tanda peringatan‖ jika di luar standar (ada penanda
otomatis ketika digoxin ditulis 0.5g)
3. Standard dan protokol, standarisasi prosedur: menetapkan standar
berdasarkan bukti ilmiah dan standarisasi prosedur (menetapkan standar
pelaporan insiden dengan prosedur baku). Kontribusi apoteker dalam
Panitia Farmasi dan Terapi serta pemenuhan sertifikasi/akreditasi
pelayanan memegang peranan penting.
4. Sistem daftar tilik dan cek ulang: alat kontrol berupa daftar tilik dan
penetapan cek ulang setiap langkah kritis dalam pelayanan. Untuk
mendukung efektifitas sistem ini diperlukan pemetaan analisis titik kritis
dalam sistem.
42
5. Peraturan dan Kebijakan : untuk mendukung keamanan proses manajemen
obat pasien. contoh : semua resep rawat inap harus melalui supervisi
apoteker
6. Pendidikan dan Informasi: penyediaan informasi setiap saat tentang obat,
pengobatan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang prosedur untuk
meningkatkan kompetensi dan mendukung kesulitan pengambilan
7. keputusan saat memerlukan informasi
8. Lebih hati-hati dan waspada:membangun lingkungan kondusif untuk
mencegah kesalahan, contoh : baca sekali lagi nama pasien sebelum
menyerahkan.
2.4 Kerangka Teori
Berdasarkan seluruh teori yang telah dipaparkan maka dapat disusun
kerangka teori yang menjelaskan mengenai sistem keselamatan pasien pada
pelayanan farmasi klinik di rumah sakit. Pada penelitian ini unsur sistem yang
digunakan tiga yaitu input, proses dan output.
Input, proses, dan output yang dalam pelayanan farmasi klinik di sini
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit yang mengacu pada PMK No.58
Tahun 2014 tentang standar pelayanan farmasi rumah sakit. Input terdiri dari
SDM, sarana dan prasarana, serta kebijakan. Proses terdiri dari pengkajian dan
pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat,
pelayanan informasi obat, konseling, visite,pemantauan terapi obat, monitoring
efek samping obat, evaluasi penggunaan obat, dispensing sediaan steril, dan
43
pemantauan kadar obat dalam darah. Sedangkan ouput adalah terlaksananya
pelayanan farmasi klinik sesuai dengan PMK No.58 Tahun 2014. Maka skema
kerangka teorinya adalah sebagai berikut:
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Sumber: (PMK No. 58 Tahun 2014, Kepmenkes 129 Tahun 2008)
Pelayanan farmasi klinik di
rumah sakit
PROSES INPUT:
1. SDM
2. Sarana dan Prasarana
3. Kebijakan/SOP
1. Pengkajian dan
Pelayanan resep
2. Penelusuran riwayat
penggunaan obat
3. Rekonsiliasi obat
4. Pelayanan informasi obat
5. Konseling
6. visite
7. Pemantauan terapi obat
8. Monitoring efek samping
obat
9. Evaluasi penggunaan
obat
10. Dispensing sediaan steril
11. Pemantauan kadar obat
dalam darah
OUTPUT :
Standar
pencapaian
pelayanan farmasi
klinik sesuai
dengan PMK 58
tahun 2014:
1. Jumlah
pelayanan
dilaksanakan
100%
2. Tidak adanya
kejadian
kesalahan
pemberian
obat 100%
44
BAB III
KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH
3.1 Kerangka Pikir
Berdasarkan kerangka teori sebelumnya maka kerangka konsep yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagan 3.1 Kerangka Pikir
Pada penelitian ini digunakan pendekatan sistem melalui input,
proses, dan output untuk mengetahui gambaran secara utuh pelaksanaan
pelayanannya. Pada penelitian ini unsur sistem yang paling
PROSES
Pelayanan pelayanan farmasi
klinik di rumah sakit
INPUT:
1. SDM
2. Sarana dan Prasarana
3. Kebijakan/SOP 1. Pengkajian dan Pelayanan
resep
2. Rekonsiliasi obat
3. Pelayanan informasi obat
4. Konseling
5. visite
6. Pemantauan terapi obat
7. Monitoring efek samping
obat
8. Evaluasi penggunaan obat
9. Dispensing sediaan steril
OUTPUT :
Standar
pencapaian
pelayanan
farmasi klinik
sesuai dengan
PMK 58 tahun
2014:
1. Jumlah
pelayanan
farmasi
klinik yang
dilaksanakan
2. Jumlah
kejadian
kesalahan
pemberian
obat 100%
45
menggambarkan fokus penelitian yaitu pada proses. Proses yang dalam
pelayanan farmasi klinik di RS X mengadopsi PMK No.58 Tahun 2014
tentang standar pelayanan farmasi rumah sakit. Proses tersebut terdiri dari
pengkajian dan pelayanan resep, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi
obat, konseling, visite,pemantauan terapi obat, monitoring efek samping
obat, evaluasi penggunaan obat, dan dispensing sediaan steril. Untuk
variabel penelusuran penggunaan obat tidak diteliti karena harus
melibatkan proses yang panjang dengan mengkaji rekam medis pasien
yang rahasia dan tidak bisa diteliti sembarang orang, serta pemantauan
kadar obat dalam darah pun tidak diteliti karena harus melibatkan proses
pemeriksaan darah yang panjang serta bantuan dan izin dari tenaga medis.
46
3.2 Definisi Istilah
Tabel 3.1 Definisi Istilah
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman
Hasil Ukur Utama Pendukung
SDM
Apoteker dan tenaga
kefarmasian yang
memiliki kemampuan
dan pengetahuan tentang
pelayanan farmasi
Wawancara
mendalam
dan tealaah
dokumen
Pedoman
wawancara,
pedoman
telaah
dokumen
Kepala
bagian
farmasi
Petugas bagian
pengelola
sumber daya
bagian farmasi
1. Informasi mengenai
jumlah tenaga kefarmasian
di RS X
2. Informasi mengenai latar
belakang petugas
pelayanan farmasi di RS X
3. Informasi mengenai
standar dan kebijakan
sebagai aopteker atau
petugas kefarmasian
lainnya di RS X
47
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman
Hasil Ukur Utama Pendukung
Sarana dan
Prasarana
Fasilitas dan ruang yang
memadai dalam hal
kualitas dan kuantitas
yang dapat menunjang
fungsi dan proses
pelayanan kefarmasian,
menjamin lingkungan
kerja yang aman untuk
petugas, dan
memudahkan sistem
komunikasi rumah sakit
Wawancara
mendalam,
observasi,
dan telaah
dokumen
Pedoman
wawancara,
ceklis
observasi,
dan
pedoman
telaah
dokumen
Kepala
bagian
farmasi
Petugas
pengelola
sarana dan
prasarana
farmasi
1. Informasi mengenai sarana
dan prasarana standar
kefarmasian di RS X
2. Infrormasi mengenai
perawatan sarana dan
prasarana kefarmasian di RS
X
3. Informasi mengenai
kelengkapan sarana dan
prasarana kefarmasian di RS
X
4. Informasi mengenai
kesesuaian penggunaan
sarana dan prasarana
kefarmasian di RS X
48
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman
Hasil Ukur Utama Pendukung
Kebijakan/SOP
Kebijaka atau aturan
yang digunakan rumah
sakit untuk menjalankan
kegiatan pelayanan
farmasi klinik
Wawancara
mendalam,
dan telaah
dokumen
Pedoman
wawancara,
dan
pedoman
telaah
dokumen
Kepala
bagian
farmasi
Petugas teknis
farmasi
1. Informasi mengenai
peraturan atau kebijakan
standar kefarmasian yag
digunakan rumah sakit di RS
X
2. Informasi mengenai
pelaksanaan kebijakan atau
peraturan yang telah dibuat
di RS X
3. Informasi mengenai
kesesuaian kebiajakan atau
peraturan rumah sakit
dengan perundang undangan
di RS X
Pengkajian dan
Pelayanan
resep
Pelayanan resep dimulai
dari penerimaan,
pemeriksaan
ketersediaan, pengkajian
resep, penyiapan sediaan
Wawancara
mendalam,
observasi,
dan telaah
dokumen
Pedoman
wawancara,
observasi,
dan
pedoman
Kepala
bagian
farmasi
1. Petugas
farmasi
penerima
resep
2. Petugas
1. Informasi mengenai
kelengkapan administrasi
resep di RS X
2. Informasi mengenai
persyaratan farmasetik
49
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman
Hasil Ukur Utama Pendukung
farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis
pakai termasuk
peracikan obat,
pemeriksaan,
penyerahan disertai
pemberian informasi
telaah
dokumen
peracik
obat
resep di RS X
3. Informasi mengenai
persyaratan klinis resep di
RS X
Rekonsiliasi
obat
Proses membandingkan
instruksi pengobatan
dengan obat yang telah
didapat pasien.
Pencegahan terjadinya
kesalahan obat
(medication error) yaitu
obat tidak diberikan,
duplikasi, kesalahan
dosis atau interaksi obat,
terutama pada
pemindahan pasien
Wawancara
mendalam
dan
observasi
Pedoman
wawancara,
dan
pedoman
observasi
Kepala
bagian
farmasi
1. Apoteker
petugas
distribusi
obat
1. Informasi mengenai
keakuratan obat yang
digunakan pasien di RS X
2. Informasi mengenai
ketidasesuaian obat akibat
tak terdokumentasinya
instruksi dokter di RS X
3. Informasi mengenai
ketidasesuaian pemberian
obat akibat tak terbacanya
instruksi dokter di RS X
50
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman
Hasil Ukur Utama Pendukung
antarrumah sakit, antar
ruang perawatan, serta
pada pasien yang keluar
dari rumah sakit ke
layanan kesehatan
primer dan sebaliknya.
Pelayanan
informasi obat
kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi,
rekomendasi obat yang
independen, akurat,
tidak bias, terkini dan
komprehensif yang
dilakukan oleh apoteker
kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi
kesehatan lainnya serta
pasien dan pihak lain di
luar rumah sakit
Wawancara
mendalam
dan
observasi
Pedoman
wawancara
dan
pedoman
observasi
Kepala
bagian
farmasi
Apoteker
yang
bertugas
memberikan
PIO
1. Informasi mengenai
sediaan informasi tentang
obat kepada pasien dan
tenaga kesehatan di
lingkungan RS dan pihak
lain luar RS di RS X
2. Infromasi mengenai
sediaan informasi untuk
membuat kebijakan yang
berhubungan dengan
obat di RS X
3. Informasi mengenai
penggunaan obat yag
51
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman
Hasil Ukur Utama Pendukung
rasional di RS X
Konseling
Aktivitas pemberian
nasihat atau saran terkait
terapi obat dari
Apoteker (konselor)
kepada pasien dan/atau
keluarganya.
Wawancara
mendalam
dan
observasi
Pedoman
wawancara
dan
pedoman
observasi
Kepala
bagian
farmasi
Apoteker yang
bertugas
sebagai
konselor
1. Informasi mengenai jenis
konseling yang
dilakukan RS di RS X
2. Informasi mengenai
komunikasi antar
apoteker dan pasien di
RS X
3. Informasi mengenai
teknik konseling
apoteker dengan pasien
di RS X
52
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman
Hasil Ukur Utama Pendukung
Visite
Kegiatan kunjungan ke
pasien rawat inap yang
dilakukan apoteker
secara mandiri atau
bersama tim tenaga
kesehatan untuk
mengamati kondisi
klinis pasien secara
langsung, dan mengkaji
masalah terkait obat,
memantau terapi obat
dan reaksi obat yang
tidak dikehendaki,
meningkatkan terapi
obat yang rasional, dan
menyajikan informasi
obat kepada dokter,
pasien serta profesional
kesehatan lainnya.
Wawancara
mendalam
dan
observasi
Pedoman
wawancara
dan
pedoman
observasi
1. Kepala
bagian
farmasi
2. Kepala
seksi
pelayana
n
farmasi
Apoteker
yang
bertugas
sebagai
visitor
1. Informasi mengenai
jenis visite yang ada di
RS di RS X
2. Informasi mengenai
jadwal visite apoteker di
RS X
3. Informasi mengenai cara
dan teknik visite yang
meliputi kegiatan
mengamati kondisi
klinis pasien, mengkaji
masalah terkait obat,
memantau terapi obat
dan reaksi obat yang
tidak dikehendaki,
meningkatkan terapi
obat yang rasional, dan
menyajikan informasi
obat kepada dokter,
53
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman
Hasil Ukur Utama Pendukung
pasien serta profesional
kesehatan lainnya. di RS
X
Pemantauan
terapi obat
Proses yang mencakup
kegiatan untuk
memastikan terapi obat
yang aman, efektif dan
rasional bagi pasien.
Wawancara
mendalam,
observasi,
dan telaah
dokumen
Pedoman
wawancara,
observasi,
dan
pedoman
telaah
dokumen
1. Kepala
bagian
farmasi
2. Kepala
seksi
pelayana
n farmasi
Apoteker yang
bertugas
sebagai PTO
1. Informasi mengenai
pengkajian pemilihan
Obat, dosis, cara
pemberian Obat,
respons terapi, Reaksi
Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD);
di RS X
2. Informasi mengenai
pemberian rekomendasi
penyelesaian masalah
terkait obat di RS X
3. Informasi mengenai
pemantauan efektivitas
dan efek samping terapi
54
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman
Hasil Ukur Utama Pendukung
obat di RS X
Monitoring
efek samping
obat
Kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap
obat yang tidak
dikehendaki, yang
terjadi pada dosis lazim
yang digunakan pada
manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosa dan
terapi.
Wawancara
mendalam,
observasi,
dan telaah
dokumen
Pedoman
wawancara,
observasi,
dan
pedoman
telaah
dokumen
1. Kepala
bagian
farmasi
2. Kepala
seksi
pelayana
n
farmasi
Apoteker yang
bertugas
sebagai MESO
1. Informasi mengenai efek
samping obat yang
ditemukan sedini
mungkin terutama untuk
yang berat, tak dikenal
dan jarang terjadi v
2. Informasi mengenai
frekuensi dan insidensi
efek samping obat yang
sudah dikenal dan baru
saja ditemukan di RS X
3. Informasi mengenai
faktor yang mungkin
dapat
menimbulkan/mempenga
ruhi angka kejadian dan
55
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman
Hasil Ukur Utama Pendukung
hebatnya efek samping
obat di RS X
4. Informasi mengenai
usaha untuk
meminimalkan risiko
kejadian reaksi obat yang
tak dikehendaki di RS X
5. Informasi mengenai
pencegahan terulangnya
kejadian reaksi obat yang
tak dikehendaki di RS X
Evaluasi
penggunaan
obat
Program evaluasi
penggunaan Obat yang
terstruktur dan
berkesinambungan
secara kualitatif dan
kuantitatif.
Wawancara
mendalam,
dan telaah
dokumen
Pedoman
wawancara,
dan
pedoman
telaah
dokumen
Kepala
bagian
farmasi
Kepala sesksi
pelayanan
farmasi
1. Informasi mengenai
gambaran saat ini atas
pola penggunaan obat di
RS X
2. Informasi mengenai pola
penggunaan obat pada
periode waktu tertentu di
RS X
56
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman
Hasil Ukur Utama Pendukung
3. Informasi mengenai
masukan atau saran yang
sudah terjad untuk
perbaikan penggunaan
obat di RS X
4. Informasi mengenai
penilaian pengaruh
intervensi atas pola
penggunaan obat di RS
X
Dispensing
sediaan steril
Kegiatan menjamin
sterilitas dan stabilitas
produk dan melindungi
petugas dari paparan zat
berbahaya serta
menghindari terjadinya
kesalahan pemberian
obat
Wawancara
mendalam,
dan
observasi
Pedoman
wawancara,
dan
observasi
Kepala
urusan
sterilisasi
Apoteker
petugas
dispensing
1. Informasi mengenai
jaminan pasien menerima
obat sesuai dosis yang
dibutuhkan di RS X
2. Informasi mengenai
jaminan sterilitas dan
stabilitas produk di RS X
3. Informasi mengenai
perlndungan petugas dari
57
Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman
Hasil Ukur Utama Pendukung
paparan zat berbahaya di
RS X
4. Informasi mengenai
pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian
obat di RS X
Pencapaian
pelayanan
farmasi klinik
Kegiatan yang
pelayanan farmasi klinik
yang telah dilaksanakan
di rumah sakit
Wawancara Pedoman
wawancara
Kepala
bagian
farmasi
Staf
keselamatan
pasien
1. Informasi mengenai
jumlah kegiatan farmasi
klinik dilaksanakan di
RS X
2. Informasi mengenai
jumlah kegiatan farmasi
klinik yang belum
dilaksanakan di RS X
3. Informasi mengenai ada
tidaknya kesalahan
pengobatan yang terjadi
di RS X
58
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatitf dan
kuantitatif. Pendekatan ini dipilih karena sesuai dengan pengertiannya yaitu secara
khusus berfungsi untuk menggali dan memahami makna yang berasal dari
individu dan kelompok terkait masalah sosial ataupun individu.
Model analisis penyebab masalah yang digunakan adalah pendekatan
sistem karena pada penelitian ini akan dieksplorasi permasalahan mengenai
gambaran kegiatan pelayanan farmasi klinik di RS X . Penelitian ini dibatasi oleh
waktu dan tempat serta individu yang diteliti. Yaitu akan diteliti pada Juni 2016-
Januari 2017 di Rumah Sakit X.
4.1.1 Substansi Kualitatif
Pada penelitian ini substansi yang diteliti secara kualitatif adalah
pada input (SDM, srana dan prasarana, dan kebijakan), proses pelayanan
farmasi klinik seperti pengkajian dan pelayanan resep, rekonsiliasi obat,
Pelayanan Informasi Obat (PIO), visite, konseling, Evaluasi Penggunaan
Obat (EPO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), dan dispensing
sediaan streril diteliti serta laporan kejadian kesalahan pengobatan
59
4.1.2 Variabel Kuantitatif
Pada penelitian ini variabel kelengkapan resep diteliti secara
kuantitatif, Dilakukan untuk mengetahuin presentase jumlah kelengkapan
persyaratan resep sesuai PMK No. 58 Tahun 2014
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada Juli 2016- Januari 2017 di Rumah Sakit
X.
4.3 Informan Penelitian
Informan pada penelitian ada sebanyak 7 orang ini terdiri dari kepala bagian
farmasi, kepala urusan rawat inap, koordinator rawat jalan, apoteker, asisten
apoteker, dan staf khusus patient safety. Metode pemilihan informan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik purposive sampling.
Purposive sampling merupakan teknik pemilihan sampel yang ditentukan oleh
peneliti berdasarkan pengetahuan yang dimiliki terkait judul penelitian atau
berdasarkan situasi masalah yang sedang difokuskan untuk diteliti (Lapau, 2013).
Oleh karena itu, informan yang telah disebukan sebelumnya diharapkan
memenuhi karakteristik sebagai berikut :
1. Apoteker yang terlibat dalam proses pelayanan farmasi klinik di RS X
2. Asisten apoteker yang terlibat dalam proses farmasi klinik di RS X
60
Tabel 4.1
Informan Penelitian
Usia Pendidikan
Terakhir
Lama
Bekerja Jabatan
33 tahun S1 Profesi 9 tahun Manajer Farmasi
27 tahun S1 Profesi 4 tahun Kepala Urusan Rawat
Inap
27 tahun SMK 8 tahun Asisten Apoteker
26 tahun S1 Profesi 2,5 tahun Apoteker
34 tahun D3 11 tahun Koordinator Outlet
Rawat Jalan
23 tahun D3 3 tahun Asisten Apoteker
49 tahun S1 Profesi 15 tahun Staf Khusus Patient
Safety
4.4 Populasi dan Sampel
Sebelum melakukan penelitian terhadap resep, peneliti melakukan
observasi selama 1 hari terkait pengkajian dan pelayanan resep, pada 10
Januari 2017. Dari hasil observasi tersebut didapatkan sejumlah resep per
hari di RS X adalah 884 resep. Selanjutnya penentuan penelitian
kuantitatif dilakukan dengan menggunakan rumus jumlah sampel untuk
estimasi rata-rata pada samppel acak (Lapau, 2013). Rumus yang
digunakan adalah perhitungan simple random sampling:
61
N (Populasi) = 884
P (Proporsi) = 0,5
d (Absolute precision) = 0,05
€ ( Relative presicision) = 0,1
Maka di dapatkan hasil perhitungan sampel sebanyak 268
ditambah sampel cadangan 10% menjadi 295 sampel resep.
4.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian kualitatif yang digunakan pada penelitian ini yaitu
pedoman wawancara sebagai acuan dalam melakukan wawancara mendalam.
Instrumen penelitian lainnya yang juga digunakan dalam pengumpulan data yaitu
ceklis observasi dan pedoman telaah dokumen. Peneliti juga menggunakan alat
bantu dalam mengumpulkan data seperti perekam suara dan alat tulis. Sedangkan,
standar yang digunakan sebagai acuan pembuatan instrumen ini berdasarkan PMK
No.58 tahun 2014.
Sedangkan instrumen penelitian kuantitatif yang digunakan pada
penelitian ini adalah lembar observasi kelengkapan resep (terlampir). Lembar
observasi dibuat berdasarkan standar syarat kelengkapan resep yang ada pada
PMK No. 58 Tahun 2014.
4.6 Sumber Data
Pada penelitian ini akan digunakan dua jenis sumber data untuk
mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Kedua jenis sumber data tersebut terdiri
dari :
62
1. Data primer merupakan data yang didapatkan langsung oleh peneliti
dari objek penelitiannya. Data primer didapatkan dari hasil melakukan
wawancara mendalam dan observasi di lapangan. Serta hasil dari
pengambilan sampel resep.
2. Data sekunder merupakan data yang tidak didapatkan secara langsung
oleh peneliti tetapi sudah ada dan merupakan data milik rumah sakit.
Bentuk dari data ini adalah dokumen-dokumen yang mendukung.
4.7 Pengumpulan Data
4.7.1 Pengumpulan Data Kuaitatif
Metode pengumpulan data kualitatif yang dilakukan pada
penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi, dan telaah
dokumen. Wawancara dilakukan pada informan untuk mengetahui secara
jelas dan lengkap sistem keselamatan pasien pada pelayanan farmasi klinik
di RS X. Data yang dikumpulkan berupa gambaran pelaksanaan standar
pada pelayanan farmasi klinik di RS X mulai dari input, proses, hingga
output.
4.7.2 Pengumpulan Data Kuantitatif
Sedangkan data kuantitatif dikumpulkan dengan cara menganalisis
sampel resep yang diambil. Sampel resep yang diambil diamati dan
dianalisis kesesuaian kelengkapan syarat resep seperti pada PMK No.58
Tahun 2014.
63
4.8 Pengolahan Data
4.8.1 Pengolahan Data Kualitatif
Sebelum dianalisis data kualitatif harus melewati beberapa macam
pengolahan seperti data mentah dari lapangan perlu dikembangankan dan diketik,
rekaman wawancara harus ditranskrip dan dikoreksi, dan foto-foto harus
didokumentasikan (Miles, Huberman and Saldana, 2014).
Dalam penelitian ini data kualitatif diolah dengan tiga tahap yaitu reduksi
data, penyajian data, dan menyimpulkan/verifikasi (Miles, Huberman and
Saldana 2014). Ada pun penjabarannya sebagai berikut:
1. Kondensasi Data
Kondensasi data sebenarnya adalah proses yang sama dengan reduksi
data, hanya istilahnya dignati agar peneliti tidak kehilangan sesuatu
data prosesnya (Miles, Huberman and Saldana, 2014). Pada penelitian
ini yaitu proses pemilihan dan pemusatan perhatian pada
penyederhanaan data mentah yang didapatkan di lapangan oleh
peneliti. Data mentah yang didapatkan dari hasil wawancara, observasi
maupun telaah dokumen akan pilih dan digolongkan sesuai kerangka
konsep yaitu menjadi hasil untuk output, proses, dan input. Data yang
tidak berhubungan dengan pelayanan farmasi klinik di RS X maka
dibuang dan dipisahkan.
2. Penyajian Data
Langkah selanjutnya adalah data yang sesuai kerangka konsep
penelitian, selanjutnya akan dijadikan uraian singkat dan disajikan
64
kedalam sebuah matriks. Matriks akan dibuat berdasarkan pertanyaan
penelitian. Data yang dapat menjawab pertanyaan penelitian akan
diuraikan berdasarkan metode pengumpulan data baik itu informan
kunci, informan pendukung, hasil observasi maupun hasil telaah
dokumen.
3. Menarikan Kesimpulan/Verifikasi
Pada tahapan ini peneliti akan menarik kesimpulan dari matriks yang
telah dibuat. Kesimpulan akan dibuat dengan cara meninjau kembali
gagasan yang sudah didapat dengan pemikiran ulang serta tinjauan
ulang pada catatan di lapangan. Gagasan kemudian ditinjau ulang dan
dinarasikan.. Pada tahap ini data yang dikumpulkan peneliti telah lebih
rapi dan terkategori.
4.8.2 Pengolahan Data Kuantitatif
Sedangkan untuk data kuantitaif dilakukan pengolahn dengan cara
berikut:
1. Peneliti melakukan pengkodingan data. Setiap sampel resep diberi
nomor dan untuk persyaratan kelengkapan resep yang diperiksa pun
diberi kode tersendiri.
2. Dilakukan penyuntingan data. Data yang sudah dikoding sebelumnya
kemudian dilihat lagi kesesuaiannya. Apakah semua resep telah
diperiksa semua kelengkapannya atau tidak, apakah ada yang terlewat
atau tidak
65
3. Setelah itu dilakukan entry data ke perangkat lunak SPSS untuk
nantinya dilakukan analisis univariat yang akan menggambarkan
distribusi frekuensi kelengkapan resep di RS X.
4.9 Analisis Data
4.9.1 Analisis Data Kualitatif
Metode analisis data kualitatif yang digunakan adalah content
analysis atau analisis isi. Dalam analisis ini menggunakan teknik mencari
dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara,
catatan lapangan hasil telaah dokumen, dan observasi. Sehingga dapat
lebih mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang
lain (Sugiyono, 2008). Analisis data ini dilakukan dengan langkah sebagai
berikut:
1. Menyusun hasil telaah dokumen
2. Menyusun hasil wawancara dan observasi
3. Mengkategorikan hasil wawnacara ke dalam matriks
waawancara
4. Menarik kesimpulan dari matriks wawancara
5. Menganalisa kesimpulan dari matriks wawancara dan
membandingkan dengan teori yang ada
4.9.2 Analisis Data Kuantitatif
Sedangkan teknik analisis data kuantitatif yang dilakukan adalah
analisis univariat atau analisis deskriptif. Analisis univariat bertujuan
untuk menjelaskan atau medeskripsiskan karakteristik setiap variabel
66
penelitian. Dalam analisis ini umumnya hanya menghasilkan distibusi
freskuaensi dan presentase dari tiap variabel penelitian (Notoatmodjo,
2010). Maka dalam penelitian ini dihasilkan data distribusi frekuensi dan
presetanse dari masing-masing syarat kelengkapan resep di RS X. Data
ini kemudian menjadi gambaran atau deskripsi kelengkapan resep di RS
X yang termasuk dalam kegiatan pengkajian dan pelayanan resep.
4.10 Triangulasi Data
Untuk mendapatkan data yang akurat, peneliti melakukan triangulasi.
Triangulasi adalah pengecekan data dari berbagai sumber informasi (informan)
dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Ada tiga tipe triangulasi, yaitu
triangulasi sumber, triangulasi metode, dan triangulasi data. Dalam penelitian ini
hanya menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi metode.
Triangluasi sumber yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan
menwawancarai tiga informan kunci yang memiliki jabatan berbeda, namun
ketiganya masih berhubungan dengaan variabel yang diteliti. Sedangkan
triangulasi metode dilakukan dengan membandingkan data hasil wawnacara,
observasi, dan telaah dokumen yang dilakukan oleh peneliti.
Tabel 4.2 Validitas Data
Variabel
Triangulasi Metode Triangulasi Sumber
Wawancara Observasi Telaah
Dokumen
Informan
Utama
Informan
pendukung
SDM
√ - √ √ √
Sarana dan
Prasarana √ √ √ √ √
67
Variabel
Triangulasi Metode Triangulasi Sumber
Wawancara Observasi Telaah
Dokumen
Informan
Utama
Informan
pendukung
Kebijakan/SOP √ - √ √ -
Pengkajian dan
Pelayanan
resep
√ √ √ √ √
Rekonsiliasi
obat
√ √ - √ √
Pelayanan
informasi obat
√ √ - √ √
Konseling
√ √ - √ √
Visite
√ √ - √ √
Pemantauan
terapi obat
√ √ √ √ √
Monitoring
efek samping
obat
√ √ √ √ √
Evaluasi
penggunaan
obat
√ √ √ √ √
Dispensing
sediaan steril √ √ - √ √
Pencapaian
pelayanan
farmasi klinik
√ - √ √ √
68
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit X
RS X merupakan salah satu rumah sakit swasta dengan tipe B di Jakarta.
RS X memberikan pelayanan mulai dari pelayanan gawat darurat, rawat jalan,
rawat inap, pemeriksaan penunjang, layanan kesehatan promotif, konsultasi,
klub kesehatan dan bimbingan kerohanian.
Seiring dengan perkembangannya, saat ini RS X telah memiliki Akreditasi
16 bidang pelayanan, lulus sertifikasi ISO 9001:2008 dan lulus sertifikasi
akreditasi KARS dengan tingkat paripurna.
Tabel 5.1 Ketenagakerjaan RS X
No Jenis Ketenagaan Jumlah
1 Tenaga Medis 118
2 Tenaga Keperawatan 294
3 Kefarmasian 63
4 Kesehatan Masyarakat 3
5 Gizi 4
6 Keteknisan Medis 41
5 Doktoral 7
6 Sarjana 25
7 Sarjana Muda 19
8 SMU Sederajat dan
Dibawahnya
249
Total 823
69
5.1.1 Gambaran Sumber Daya Manusia Farmasi di Rumah Sakit X
Alur penempatan pegawai di bagian farmasi RS X dimulai dari
proses rekuitment yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 51
tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, kemudian setelah masuk
dilakukan orientasi. Orientasi pertama itu tiga bulan untuk pelayanan dasar
farmasi setelah tiga bulan sudah bisa pelayanan dasar farmasi, seperti
menerima resep dan membaca resep di pindahtugaskan ke posisi yang
berbeda lagi, misalnya melaksanakan UDD di rawat inap.
Pemindahtugasan ini dilakukan berdasarkan kebutuhan, ada yang 6 bulan
ada yang satu tahun.
“Kita sesuai kebutuhan melakukan rolling tapi ada yang 6 bulan
ada yang satu tahun pokonknya per tahun pasti ada roling tapi
juga mempertimbbangkan kebutuhan dan keahlian petugas,” INF
1
Lalu, untuk penempatan posisi khusus harus mendapatkan
pelatiahn terllebih dahulu, misalnya untuk pencampuran obat suntik.
Petugas yang ditugaskan harus pelatihan terlebih dahulu.
Berikut daftar ketenagakerjaan bagian farmasi di RS X yang
didapatkan dari Bagian Sumber Daya Insani (SDI):
70
Tabel 5.2 Ketenagakerjaan Famasi
No Jabatan Jumlah
1 TTK/SMF 29
2 SMK Farmasi 17
3 Akademi Farmasi 9
4 S-1 Farmasi 1
5 Apoteker 7
Total 63
Tenaga di farmasi RS X kemudian tersebar dalam beberapa sub
unit pelayanan, yaitu sebagai berikut:
1. Outlet 1 pelayanan
Outlet ini buka selama 24 jam terbagi dalam tiga shift (jam
07:30 – 14.30/pagi, jam 14.00-21.00/sore, dan jam 21.00-
07.30/malam). Outlet 1 melayani resep rawat inap maupun
rawat jalan baik resep tunai maupun jaminan. Tenaga terdiri
dari apoteker, tenaga teknis kefarmasian, serta dibantu juru
racik.
2. Outlet Eksekutif
Outlet ini buka dibagi dalam dua shift (jam 07:30 – 14.30/pagi,
jam 14.00-21.00/sore). Outlet ini melayani resep rawat jalan
non-BPJS. Tenaga terdiri dari apoteker, tenaga teknis
kefarmasian, serta dibantu juru racik
3. Outlet Rawat Inap
Outlet ini buka dibagi dalam dua shift (jam 07:30 – 14.30/pagi,
jam 14.00-21.00/sore). Outlet ini melayani resep UDD dan
71
sediaan harian cairan dan kebutuhan alat kesehatan untuk rawat
inap. Tenaga terdiri dari apoteker, tenaga teknis kefarmasian,
serta dibantu juru racik
4. Depo IGD
Depo ini buka selama 24 jam terbagi dalam tiga shift (jam
07:30 – 14.30/pagi, jam 14.00-21.00/sore, dan jam 21.00-
07.30/malam). Depo ini khusus melayani pasien IGD baik tunai
maupun jaminan. Depo IGD selain melayani resep juga
melayani pemakaian obat dan alkes yang diperlukan pasien
untuk tindakan IGD. Dengan kondisi UGD saat ini kebutuhan
tenaga TTK di Depo IGD datu orang per shift.
5. Depo OK
Depo OK buka selama 24 jam terbagi dalam tiga shift (jam
07:30 – 14.30/pagi, jam 14.00-21.00/sore, dan jam 21.00-
07.30/malam). Depo ini khusus melayani pasien OK dan ICU.
Dengan kondisi saat ini kebutuhan tenaga TTK d Depo OK
satu orang per shift dan satu orang koordinator per shift.
Terkait pelatihan dan pendidikan lanjut bagi tenaga kefarmasian
RS X baru melakukan beberapa pelatihan yang sekiranya dibutuhkan
seperti pencampuran obat suntik dan pengetahuan untuk setiap obat baru.
Belum ada beasiswa bagi tenaga kerja untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi.
72
―Kalau dari rumah sakit sejauh ini ngga ya, paling dr internal
farmasi itu kaya sharing knowlegde, secara berkala temen temen
dilakukan refresh ilmu, baik dari internal maupun ekternal,
misalnya penggunaan obat baru gmn cara penggunaaannya,” INF
1
“Paling kalo dari rumah sakit itu KIE, pelatihan untuk obat baru,”
RJ 2
SDM di RS X masih dirasakan kurang, terutama untuk apoteker.
Selain itu cara petugas yang bekerja secara mobile juga dapat
menimbulkan risiko kesalahan lebih tinggi. Petugas kefarmasian pasa
menajalankan tugas sehari-harinya lebih baik fokus terhadap pekerjaan
tertentu saja.
5.1.2 Gambaran Sarana Prasarana Farmasi di Rumah Sakit X
Berdasarakan hasil observasi maka diketahui bahwa sarana dan
prasarana yang ada di pelayanan farmasi klinik RS X adalah sebagai
berikut:
Tabel 5.3 Sarana dan Prasarana
No Sarana dan Prasarana Ada Tidak Ada
1 Ruangan
1. Ruang kantor/administrasi √
2. Ruang penyimpanana
sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan
medis habis pakai
√
3. Ruang distribusi sediaan
farmasi √
4. Ruang √
73
No Sarana dan Prasarana Ada Tidak Ada
konsultasi/konseling obat
5. Ruang PIO √
6. Ruang produksi √
7. Ruang Aseptic Dispensing √
8. Laboratorium Farmasi √
9. Ruang tunggu pasien √
10. Ruang penyimpaan
dokumen √
11. Tempat penyimpanan obat
di ruang perawatan √
12. Fasilitas toilet, kamar
mandi untuk staf √
2 Peralatan
13. Peralatan penyimpanan √
14. Peralatan peracikan √
15. Peralatan pembuatan obat √
16. Peralatan kantor √
17. Lemari penyimpanan
khusus narkotika √
18. Lemari pendingin √
19. Pendingin ruangan untuk
ruang termolabil √
20. Penerangan, saran air,
ventilasi, dan sistem
pembuangan limbah
√
21. Alarm √
22. Peralatan sistem
komputerisasi √
23. Peralatan produksi √
3 Peralatan Aseptic Dispensing
24. Biological safety
cabinet/vertical laminar air
flow cabinet
√
25. Horizontal laminar air
flow cabinet √
26. Pass-box dengan pintu
berganda √
27. Barometer √
28. Termometer √
29. Wireless intercom √
4 Peralatan Pendistribusian √
5 Peralatan Konsultasi √
6 Peralatan Ruang Informasi
Obat √
74
No Sarana dan Prasarana Ada Tidak Ada
7 Peralatan Ruang Arsip √
RS X belum mempunyai laboratorium farmasi, ruang konseling,
serta ruang PIO tersendiri. Sedangkan, untuk ruang produksi saat ini
sedang direnovasi sehingga tidak dapat digunakan secara maksimal dan
tak boleh dimasuki oleh sembarang orang dan tidak bisa dilakukan
observasi.
Untuk ruang aseptik dispensing, RS X juga belum memenuhi kelas
100.000. Namun, LAF yang dimiliki sudah kelas 100 dengan perangkat
pendukung lainnya yang juga sesuai.
“Belum ruang bersih tapi dengan LAF kelas 100 sudah terpenuhi
syaratnya,” INF 1
Sistem komputerisasi di RS X juga belum termasuk ke dalam
eleltronik prescribing. Semua resep masih manual dari tulisan tangan
dokter. Sistem informasi hanya berupa untuk menentukan harga dan
melihat stok persediaan serta perencanaan pembeliaan sediaan farmasi.
Selain sistem komputerisasi yang belum sampai dengan tahap
peresepan. Di RS X pun masih beum terdapat ruang khusus PIO dan
konseling sehingga membuat kedua kegiatan tersebut sulit dilakukan.
75
5.1.3 Gambaran Kebijakan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah
Sakit X
Standar pelayanan farmasi klinik di RS X, berdasarkan hasil
wawancara dan telaah dokumen mengacu pada buku pedoman kebijakan
dan pembuatan perencanaan serta buku pedoman pelayanan farmasi.
Buku pedoman pelayanan farmasi klinik pun masih dari PMK No58 tahun
2014, sehingga harusnnya disesuaikan dengan kemampuan rumah sakit
Selain itu, terdapat 96 SPO di RS X yang menyangkut dengan
pelayanan farmasi. Namun, berdasarkan hasil wawancara masih ada
petugas yang tak patuh dengan SPO yang dijalankan. Pihak RS pun belum
melakukan evaluasi terkait peraturan yang berlaku di RS.
Berdasarkan hasil wawancara dengan dua informan, keduanya
menyatakan masih ada pelanggaran peraturan atau SOP terkait pelayanan
farmasi klinik.
“Masih ada beberapa pelanggaran SOP oleh petugas,” INF 1
“Ada saja petugas yang melanggar,” RN 1
Kebijakan yag menjadi standar rumah sakit terkait pelayanan
farmasi klinik masih mengadopsi PMK No.58 Tahun 2014. Rumah sakit
disarankan untuk membuat standar yang masih mengacu pada PMK No.
58 Tahun 2014, namun disesuaikan dengan kemampuan rumah sakit.
76
5.2 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X
Proses pelaksanaan pelayanan farmasi klinik di RS X sendiri terdiri dari
pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,
rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, pemantauan terapi obat, monitoring
efek samping obat, dan dispensing sediaan steril. Semua pelayanan ini mengacu
pada PMK No.58 tahun 2014.
Pelayanan farmasi klinik yang belum dilakukan oleh RS X adalah visite,
konseling, dan evaluasi penggunaan obat. Menurut Kepala Bagian Farmasi RS X
konseling tersebut belum dapat dilaksanakan maksimal karena kurangnya SDM
apoteker di RS X.
Sedangkan menurut informan lain konseling dan visite di rumah sakit
belum bisa dilakukan karena belum ada juga kerjasama antar dokter, perawat,
apoteker, dan tenaga lainnya.
Evaluasi penggunaan obat secara keseluruhan dan berkala juga belum
dilakukan karena pekerjaan lain yang lebih banyak dan lebih penting. Evaluasi
obat hanya jika ada obat yang menimbulkan efek samping dan pencatatan terkait
pembelian dan pengadaan. Sedangakan informasi tentang siklus penggunaan obat
memang belum dilaksanakan rumah sakit. Dana yang dialokasikan khusus untuk
kegiatan penelitian tersebut juga memang belum ada dari pihak rumah sakit.
Informasi lain mengenai proses pelayanan farmasi klinik di RS X
dilakukan juga melalui wawancara mendalam, observasi, dan telaah dokumen.
77
Penggalian informasi ini dilakukan pada 4 Januari 2017-13 Januari 2017. Berikut
hasil dari penelitian terhadap pelaksanaanya:
5.2.1 Gambaran Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X
Berdasarkan hasil observasi dan telaah dokumen pengkajian dan
pelayanan resep di RS X dibagi menjadi dua yaitu pelayanan rawat inap
dan pelayanan rawat jalan. Masing-masing dari pelayanan tersebut
memiliki apotik atau depo obat masing-masing.
Secara umum syarat dalam pengkajian dan pelayanan resep di RS
X meliputi:
1. Persyaratan Administrasi
a. Nama, umur, dan berat badan pasien
b. Nama, no.izin, alamat, dan paraf dokter
c. Tanggal resep
d. Ruangan atau poliklinik asal
e. SJP, protokol terap (jika perlu) untuk pasien askes
f. Nota kredit untuk pasien jaminan/asuransi
g. Pengantar berobat atau nota kredit untuk pasien
karyawan RS X
2. Persyaratan farmasetik
a. Bentuk dan kekuatan sediaan
b. Dosis, jumlah obat, dan lama pemakaian obat
c. Stabilitas dan inkompabilitas
78
d. Aturan, cara, dan teknik penggunaan
3. Persyaratan klinis
a. Ketepatan dosis dan penggunaan obat
b. Duplikasi pengobatan
c. Alergi, interaksi, dan efek samping obat
d. Kontraindikasi
e. Kondisi khusus lainnya
Sedangkan untuk alur proses pelayanan resep akan diulas satu per
satu sebagai berikut:
1. Pelayanan di Rawat Inap
Proses pelayanan resep panat unit rawat inap telah
menggunakan sistem Unit Dose Dispensing (UDD) kecuali untuk di
ruang perawatan anak dan perawatan kebidanan. Hal ini dikarenakan
pada dua ruangan tersebut banyak resep berupa obat racikan dan
injeksi sehingga agak repot jika menggunakan sistem UDD.
―Kalau untuk kedua ruangan itu ya kami masih kerepotan
kalau UDD karena banyak obat racikan, lagi pula waktu
pasien pulangnya lebih cepat dari ruangan lain biasanya,‖
INF 1
“Iya semua sudah UDD, florstock di ruangan hanya untuk
obat-obat emergency. Kaya ini semua dikasih obat per hari
untuk pasien terus untuk cairan juga begitu dari ruangan
79
kasih kebutuhan kita berapa cairan atau alat kesehatan yang
dibutuhkan hari itu,” AP
Proses UDD dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian
(TTK). Setiap TTK dalam setiap shift sudah diberi tanggung jawab
ruangan masing-masing. Pada awalnya, resep diterima oleh petugas
dari setiap ruangan, kemudian dibaca dan dilakukan entry. Jika, obat
yang diberikan lebih dari lima jenis obat maka dilakukan pengecekan
interaksi obat oleh apoteker. Setelah itu obat dikemas dan disiapkan.
Obat dikemas menggunakan plastik klip warna-warni. Setiap warna
menunjukan waku minum obat yang berbeda. Di antaranya warna
merah untuk diminum pagi hari, warna hijau ntuk siang, warna putih
untuk siang di bawah pukul 18.00 WIB sebelum makan dan setelah
makan, lalu yang terakhir warna biru untuk diminum di atas pukul
18.00 WIB.
Selain di entry untuk tagihan dan dokumentasi. Resep juga
ditulis oleh TTK pada file khusus. File tersebut tersedia untuk
masing-masing pasien. Setelah semua proses tersebut selesai,
kemudian dilakukan pengcekan oleh apoteker. Barulah obat diantar
ke ruangan oleh petugas UDD. Petugas yang menyiapkan dan
mengantar obat seharusnya berbeda agar dapat ada pengecekan
silang antar petugas. Namun, berdasarkan hasil observasi ada
ruangan yang disiapkan dan diantarkan oleh petugas yang sama. Hal
80
ini disebabkan banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan TTK dan
apoteker saat itu.
“Jadi yang mengantar dan menyiapkan itu berbeda agar
bisa saling cek,” INF 1
―Iya, di sini memang sudah ada tugasnya masing-masing
untuk UDD, tapi semuanya juga saling membantu kalau
ada temannya yang sedang kerepotan,‖ AP
“Kalau semua sudah dicek kita langsung antar ke ruangan,
ya di sini kerjanya mobile pokoknya kalau yang lagi kosong
saling bantu, tapi yang paling utama selesaika dulu
pekerjaan UDD ke ruangannya, baru bantu yang lain,” RN
2
Setelah itu petugas ke ruangan sambil membawa obat dan
file riwayat obat pasien. Di ruangan petugas UDD kemudian
mencocokan catatan mereka dengan catatan perawat atau disebut
form implementasi keperawatan dan penggunaan obat pasien.
Selain itu, petugas UDD juga menulis permintaan perawat terkait
obat yang ada di dalam file perawat. Ia juga mengecek apakah ada
obat yang harus ditambah dan dihentikan sesuai perintah dokter.
Petugas UDD akan melakukan konfirmasi kepada perawat
jika ada catatan yang berbeda. Berdasarkan hasil observasi,
komunikasi petugas UDD dan perawat berjalan dengan baik.
81
Mereka dapat bekerjasama ketika sedang dilakukan proses UDD.
TTK dengan aktif menanyakan hal yang terlihat tak jelas dalam
catatan perawat. Selesai mengecek, petugas UDD kemudian
menyimpan obat-obat itu di dalam kotak obat pasien yang sudah
tersedia di ruangan. Kotak tersebut sudah diberi label nama
masing-masing pasien, sehingga nantinya perawat tinggal
mengambil obat dari kotak tersebut dan memberikannya pada
pasien.
Sembari menyimpan obat, petugas juga melakukan
pemeriksaan apakah ada obat yang tersisa atau tidak, jika ada,
petugas akan mengambil obat yang tersisa itu. Obat sisa biasanya
merupakan obat pasien yang sudah pulang dan tak terapinya telah
dihentikan oleh dokter.
“Petugas UDD nanti yang akan melakukan serahan obat ke
ruangan, sekaian cek terapi obatnya dari file perawat sama
file dari farmasi dicocokan” INF i
“Petugas juga nanti mengecek apakah ada obat sisa atau
tambahan dari file yang ada di perawat,” AP
“Iya kaya gini saya cocokan, kalau obat sisa biasanya itu
pasiennya sudah pulang atau beli sendiri nanti disimpan di
sini oleh perawat,” RN 2
82
Proses UDD ini dibagi menjadi pagi dan sore. Hal ini
dikarenakan kurangnya petugas sehingga untuk menyiasatinya
proses UDD dibagi dua. Pada pagi hari UDD dilakukan di ruangan
kelas 1 dan 2 untuk laki-laki dan perempuan, lalu ruangan kelas 3
untuk perempuan. Sedangkan, UDD sore dilakukan untuk ruang
kelas 3 laki-laki, ruang utama, dan ruang VIP.
Sedangkan untuk obat berupa cairan, biasanya dilakukan
amprahan oleh perawat. Amprahan artinya perawat mencatat
kebutuhan cairn setiap pasien lalu diminta ke bagian farmasi untuk
disiapkan setiap harinya. Cairan kemudian akan diantar oleh
petugas UDD.
Berdasarkan hasil observasi dalam proses peresepan,
petugas mengaku sering menerima resep yang tidak lengkap dan
tidak jelas. Bila hal ini terjadi, maka petugas akan bertanya kepada
sesama temannya, jika tidak ada yang tahu baru dilakukan
kofirmasi kembali kepada dokter yang menulis resep.
‖Ya, setiap hari ada aja resep gak jelas, kita lakukan
langsung konfimasi ke dokter yang bersangkutan, kadang
kendalanya juga suka ada miskom sama petugas di
ruangan‖ AP
“Biasanya sih saya ngeceknya tanya dulu sama teman,
kalau gak ada yang tahu juga langsung telfon dokter,” RN
2
83
“Langsung konfirmasi dengan dokter, tapi kadang bisa
terkendala oleh perangkat yang tak berfungsi, misalnya
telfon yang tak berfungsi sehingga dokter tak bisa
dihubungi,” INF 1
2. Pelayanan di Rawat Jalan
Pelayanan resep di rawat jalan menerapkan sistem individual
prescribing. Resep dibawa ke farmasi oleh pasien kemudian diterima
petugas, setelah itu dilakukan billing lalu dilakukan assement
terhadap kelengkapan resep kalau tidak ada kendala langsung
dilakukan billing diminta persetujuan terhadap pasien terkait harga.
Jika pasien memiliki jaminan atau asuransi minta persetujuan pada
penjamin terkait obat yang ada di luar jaminan atau yang harganya
mahal. Jika, sudah dikonfirmasi langsung diberikan untuk dibayar ke
kasir atau langsung diterima jika semuanya ditanggung oleh
penjamin.
Setelah itu, resep akan diterima oleh petugas yang berada di
dalam outlet. Ia akan membaca resep dan mengecek kembali
kelengkapan resep. Setelah itu resep dibagi dua alur, yang langsung
kemas dan yang melalui racikan. Standar yang diterapkan dari pasien
memberikan resep sampai menerima obat di RS X adalah 20 menit.
“Harus maksimal 20 menit agar pasien tak emnunggu terlalu
lama, namun kadang kendalanya kalau resep tak jelas harus
dilakukan konfirmasi ulang kepada dokter,” RJ 1
84
“Pokoknya dalam 20 menit obat harus diserahkan ke pasien,
paling yang lama itu waktu diserahkan, kadang ada pasien
yang harus dipanggil berulang kali kalau sedang ramai,” RJ
2
Setelah selesai disiapkan dan diperiksa oleh apoteker, obat
kemudian diberikan kepada pasien. Pada proses pemberian obat
dilakukan pula penjelasan terkait dosis dan penggunaan obat. Pada
proses penyerahan diusahakan dilakukan oleh apoteker, namun,
berdasarkan hasil observasi di RS X jika sedang ramai, penyerahan
dan pemberian informasi obat juga bisa dilakukan oleh TTK demi
mengefisienkan waktu.
Sedangkan, rata-rata kegiatan paling padat dan banyak
dilakukan adalah saat penyerahan obat. TTK atau apoteker juga
memanggil pasien manual tanpa pengeras suara sehingga terkadang
ada pasien yang harus dipanggil berulang kali karena berisik dan
suara memanggil tidak jelas.
3. Kelengkapan resep
Kelengkapan resep di RS X dilihat dari sample yang
diambil sebanyak 295 resep. Sebelumnya penulis telah melakukan
observasi terhadap pengkajian dan pelayanan resep. Kemudian
menentukan sample dari resep yang diterima pada 10 Januari 2017.
Berikut gambaran secara umum kelengkapan resep di RS X
85
Tabel 3.4 Kelengkapan Administrasi Resep RS X
Persyaratan administrasi Kelengkapan
Jumlah Presentase
1. Nama pasien 294 99.66%
2. Umur pasien 199 67.46%
3. Jenis kelamin 287 97.29%
4. Berat badan 70 23.73%
5. Tinggi badan 76 25.94%
6. Nama dokter 254 86.10%
7. Nomor izin 230 77.97%
8. Alamat 295 100%
9. Paraf dokter 186 67.80 %
10. Tanggal resep 210 71.19 %
11. Ruang/unit asal
resep
199 67.46%
Rata-rata 71.33%
Dari hasil analisis pada 295 sample resep maka didapatkan
hasil seperti di atas. Secara umum persyaratan adimistrasi resep di
RS X sudah cukup. Untuk alamat semuanya terdapat alamat karena
yang dianalisis adalah resep dalam RS X sehingga alamat sudah
ada dalam form resep. Dari 295 sampel hanya ada satu sampel
yang nama pasiennya tertulis ―pasien‖ sehingga resep ini dihitung
tak memiliki nama pasien. Jenis kelamin dalam resep ditulis oleh
dokter dengan keterangan ―Ny‖, ―Nn‖, atau ―Tn‖. Rata-rata yang
tak memiliki keterangan itu adalah pasien anak-anak. Sedangkan
untuk nama dokter dan nomor izin dokter biasanya tertera dari
stempel yang diberikan dokter pada resep.
86
Keterangan tinggi badan dan berat badan pasien paling
rendah yaitu 25,94% dan 23,73%. Berdasarkan hasil analisis resep
yang menggunakan keterangan tinggi badan dan berat badan hanya
untuk pasien anak-anak.
Selain itu jumlah resep yang lengkap memuat umur pasien
hanya 67,46%, paraf dokter 67,80%, tanggal resep 71,19%, dan
asal ruangan juga hanya menunjukan 67,46%. Dari hasil analisis
resep yang memuat umur pasien hanya pada pasien dengan umur
tua dan anak-anak. Sedangkan tanggal resep dan asal ruangan
banyak yang luput dan tidak diisi terutama pada resep rawat jalan.
Tabel 5.5 Kelengkapan Farmasetik Resep RS X
Persyaratan Farmasetik Jumlah Presentase
1. Nama obat 295 100%
2. Bentuk obat 266 90.17%
3. Kekuatan sediaan 265 89.83%
4. Dosis 293 99.32%
5. Stabilitas - -
6. Jumlah obat 292 98.98%
7. Aturan dan cara
penggunaan
256 86.78%
Rata-rata 81%
Sedangkan untuk persyaratan farmasetik resep sudah baik
karena kelengkapan rata-rata di atas 80% meski yang diharapkan
adalah 100%. Dokter di RS X kebanyakan sudah menulis dengan
lengkap terkait terapi yang harus diberikan kepada pasien. Semua
87
dokter telah menulis nama obat, terlepas dari jelas atau tidaknya
tulisan. Sedangkan, pada persyaratan bentuk obat sirup, tablet, atau
puyer lengkap sebesar 90.17%, kekuatan sediaan 89,83%, dosis
hanya ada dua obat yang taj tertera sehingga kelengkapannya
99,32%, jumlah obat 98,98%, dan aturan serta cara penggunaan
hanya sebesar 87,78%, sebenarnya dalam semua resep sudah ada
persyaratan tersebut hanya terkadang dokter luput menuliskannya
pada beberapa jenis obat, misalnya di dalam resep ada 5 jenis obat,
lalu ada satu obat yang tak tertulis aturan atau cara penggunaannya.
Sedangkan untuk stabilitas obat memang tidak dibubuhkan
dalam resep. Stabilitas obat sudah menjadi hal yang umum dan
diketahui oleh dokter dan apoteker RS X. Masing-masing apoteker
RS X telah memiliki catatan tersendiri terkait stabilitas obat.
Tabel 5.6 Kelengkapan Persyaratan Klinis Resep RS X
Berdasarkan sampel yang diambil kelengkapan persyaratan
klinis pada resep di RS X masih kurang. Pencantuman reaksi alergi
Persyaratan klinis Jumlah Presentase
1. Indikasi 139 47.12%
2. Duplikasi pengobatan - -
3. Kontraindikasi - -
4. Waktu penggunaan 289 97.97%
5. Alergi dan Reaksi
Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD)
80 27.12%
Rata-rata 34.44%
88
hanya sebesar 27.12%, padahal sudah ada kolom dalam form resep
yang harus diisi oleh dokter terkait ada atau tidaknya alergi pada
pasien. Sedangkan untuk indikasi hanya sebesar 47,12%. Hanya
waktu penggunaan yang jumlahnya di atas 90% yakni 97.97%.
Sedangkan untuk duplikasi pengobatan diberikan
keterangan oleh apoteker ketika terjadi duplikasi obat sehingga
nantinya resep akan dikaji lagi dan dikonfirmasi ulang kepada
dokter. Lalu, keterangan indikasi dan kontraindikasi sebenarnya
dijelaskan oleh apoteker saat melakukan penyerahan obat. Pada
form resep juga telah terdapat daftar keterangan atau informasi obat
apa saja yang sudah diberikan dan diterima pasien termasuk
indikasi dan kontraindikasi obat. Namun, masih ada daftar
keterangan yang tidak diisi tetapi ditandatangan oleh pasien,
sehingga hal ini bias dan sulit diukur apakah benar pasien sudah
mendapatkan informasi terkait obat atau tidak.
Berdasarkan hasil wawancara apoteker dan petugas TTK
memberi keterangan bahwa mereka selalu memberikan informasi
terkait obat yang digunakan kepada pasien baik rawat jalan maupun
rawat inap.
“Petugas wajib memberikan keterangan terkait obat saat
penyerahan obat pada pasien,” INF 1
“Kalau untuk informasi obat kita beritahu cara penggunaan,
waktunya, dosisnya, indikasi, kontraindikasinya juga,” AP
89
“Setelah dikemas dan akan diserahkan pasien pasti diberi
dulu penjelasan terkait obat termasuk indikasi dan
kontraindikasinya juga,” RJ 1
Secara umum berdasakan hasil observasi pengkajian dan
pelayanan resep di RS X baik di rawat inap maupun rawat jalan
petugasnya mengaku bahwa sering kesulitan dalam membaca resep
dokter. Banyak resep yang tidak jelas penulisannya. Meski lengkap
tetapi tidak jelas instruksinya.
“Setiap hari ada aja yang kurang jelas kalau resep,” RJ 2
“Ada sih pasti yang tidak jelas, ya kita langsung telfon
dokternya atau perawatnya juga kan nyatet,” RN 2
Permasalahan yang terjadi pada proses pengkajian dan pelayana
resep adalah selalu ditemukan resep yang tak terbaca dengan jelas.
Selain itu, pada persyaratan administrsi resep pun tak ada satu pun
resep yang lengkap sesuai dengan sayarat yang ada pada PMK no.
58 tahun 2014.
5.2.2 Gambaran Rekonsiliasi Obat di RS X
Proses rekonsiliasi obat di RS X dilakukan dengan
membandingkan instruksi pengobatan dari dokter dan obat yang
telah didapat pasien oleh apoteker. Biasanya kegiatan ini dlakukan
saat proses UDD bagi pasien rawat inap dan sebelum penyerahan
obat kepada pasien bagi pasien rawat jalan.
90
Berdasarkan hasil observasi untuk pasien rawat inap apoteker
dan TTK akan mencocokan catatan dari resep yang diterima dalam
file pasien dengan catatan yang ditulis perawat. Hal ini juga
dilakukan kepada semua pasien, termasuk pasien yang pindah
ruangan dan pasien baru dari klinik atau rumah sakit lain.
“Kita selalu mencocokan dengan file pada perawat dan
rekam medis pasien ya, jadi kalau pasien baru juga kita pasti
lihat di rekam medis pasiennya, kalau catatan dokter itu gak
lengkap biasanya perawat lebih lengkap. Yang sulit memang
kalau pasien baru dateng belum ada dokter
penanggungjawabnya kita belum tahu rincian lengkap terapi
sebelumnya, tapi kalau sudah ada dokter penanggungjawab
itu nanti langsung dilengkapi catatan kita,” INF 1
―Kalau untuk penggunaan obat kan ada catatannya di rekam
medis ya, dan kita juga punya catatan terapi sendiri untuk
pasien, jadi kalau pindah ruangan ya tinggal dicocokan saja
catatannya,‖ AP
Apoteker juga akan mencatat jika ada alergi obat atau
reaksi dari efek samping obat. Hal itu kemudian akan dicatat dan
dilaporkan kepada kepala bagian farmasi nantinya. Namun, catatan
harian itu belum dikomentasikan dan direkap berkala. Catatan
masih berupa laporan harian yang dikumpulkan apoteker.
91
“Untuk catatan laporan ada, tapi gak berkala ya pokoknya
kalau ada kejadian dilaporkan per hati per kejadian,
biasanya langsung ditangani kok,” INF 1
―Kadang ada juuga sih alergi yang tidak kita ketahui dari
pasien, tapi itu jarang. Karena kami masih kesulitan kalau
mendeteksi alergi obat. Paling setelah ada alergi tentu kami
menyarankan ke dokter untuk distop atau diganti terapinya,‖
AP
Berdasarkkan hasil observasi, apoteker dibantu TTK juga
melakukan komparasi catatan jika ada ketidakcocokan data
penggunaan obat yang sedang dan akan digunakan, maka akan
dikonfirmasi ke dokter atau perawat terlebih dahulu. Berdasarkan
hasil observasi TTK langsung menanyakan begitu ada
ketidakcocokan kepada perawat. Saat itu, tidak dilakukan
konfirmasi ke dokter karena dianggap hanya kesalahan penulisan
dan perawat sudah tahu kebenerannya.
“Nanti kalau tidak cocok catatan kita dengan perawat atau
dokter ya langsung konfirmasi,” AP
“Iya, kalau tidak cocok kami konfirmasi, kan perawat juga
mencatat jadi ke perawat dulu, kalau memang ada yang
janggal baru ditanya ke dokter yang bersangkutan,” RN 2
Sedangkan, jika ada perubahan terapi obat maka hal tersebut akan
dijelaskan oleh apoteker bila perlu. Selain pasien, jika ada keluarga
92
pasien yang mendampingi maka keluarganya juga akan diberi
pengetahuan tentang obat tersebut.
“Kalau ada perubahan terapi, obat bawaan yang
diteruskan atau dihentikan pasti diberitahukan ke pasien,”
INF 1
―Kesulitannya kalau ada pasien yang susah diajak ngobrol
terus keluarganya tidak ada,‖ AP
Secara umum proses rekonsiliasi obat di RS X sudah berjalan baik
yaitu dengan membandingkan setiap catatan riwayat penggunaan
obat pasien. Namun, keseulitan yang sering ditemukan apoteker
adalah ketika catatan rekam medis tidak lengkap dan belum ada
dokter penanggungjawab untuk pasien yang baru saja masuk atau
dipindah dari rumah sakit lain.
5.2.3 Gambaran Pelayanan Informasi Obat di RS X
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat (PIO) yang dilakukan di
RS X meliputi menjawab setiap pertanyaan pasien terkait obat,
pemberian informasi obat pada pasien pulang untuk rawat inap,
penjelasan informasi obat pada pasien rawat jalan saat peyerahan
obat, pembuatan leaflet, dan pembuatan buku saku fomalium.
Berdasarkan hasil wawancara bagian farmasi RS X selalu
memberikan jawaban terkait obat yang ditanyakan oleh pasien, baik
rawat jalan maupun rawat inap.
93
“Kalau ada pasien atau keluarga pasien yang bertanya terkait
obat atau penggunaannya, biasanya perawat di ruangan akan
mengontak kami, lalu dari sini apoteker akan ke ruangan
untuk memberikan penjelasan,” RN 1
“Setiap pasien diberi penjelasan tentang obat saat melakukan
penyerahan, jika memang ada yang ingin ditanyakan di luar
itu kami juga akan menjawab,” RJ 1
“Kalau yang sudah di rumah ingin bertanya juga bisa melalui
telepon langsung menghubungi kami,” INF 1
Sedangkan media informasi tentang obat yang ada di RS X
baru berupa leaflet saja. Belum ada terbitan berupa buletin, poster,
maupun newsletter. Biasanya leaflet tersebut ditaruh di outlet-outlet
farmasi. Berdasarkan hasil observasi, penyediaan informasi ini baru
disediakan di depo farmasi rawat jalan 1 atau utama. Namun, pada
hari berikutnya ketika diadakan lagi observasi leaflet tersebut habis
dan kosong tak terisi lagi di outlet.
“Kami taruh di depo-depo farmasi, baru leaflet saja, yang lain
gak punya,” INF 1
“Baru ada di outlet depan (outlet 1), karena depo yang ini
kan baru jadi belum ada tempat untuk menyimpannya” RJ 1
Informasi obat di RS X juga terseda bagi tim farmasi dan
terapi. RS X menerbitkan formalium yang diperbaharui selama 2
94
tahun sekali. Dalam formalium tersebut tercantum semua jenis obat
yang ada dan dipaki oleh RS X. Jika ada tambahan maka akan
dibuat lagi lembar tambahan pelengkap formalium.
“Kalau untuk apoteker, TTK, itu kami ada formalium yang
dibuat dua tahun sekali,” INF 1
“Kita diberi formalium kalau terkait dengan obat yang
digunakan utuk terapi pada pasien,” RJ 1
“Terkait obat masing-masing apoteker memegang
formaliumnya,” AP
Di RS X ada pula kegiatan PIO yang dilakukan rutin yaitu
pemberian informasi kepada pasien rawat inap yang akan pulang.
Berdasarkan hasil observasi bagian depo farmasi rawat inap akan
dihubungi oleh perawat di ruangan jika akan ada pasien pulang.
Setelah menerima laporan tersebut, apoteker yang sedang bertugas
kemudia menyiapkan berkas pasien tersebut dan melihat riwayat
terapi obatnya. Apoteker kemudian menyiapkan obat-obat yang
harus dibawa oleh pasien. Selain itu, apoteker juga menuliskan
informasi terkait obat yang digunakan pasien di rumah pada formulir
PIO.
Jika sudah selesai disiapkan maka apoteker akan ke ruangan
sebelum pasien pulang. Apoteker langsung menjelaskan kepada
95
pasien terkait obat yang harus digunakan di rumah. Tak hanya pada
pasein, apoteker juga memberikan informasi kepada keluarga pasien.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, apoteker dapat
menyampaikan dengan baik terkait terapi obat yang diberikan.
Namun, berdasarkan hasil wawancara apoteker mengaku kendala
yang dialami selama PIO adalah jika pasien tidak bisa diajak bicara
dan sulit mengerti.
“Kalau informasi pasti diberikan tapi kami kadang kesulitan
kalau pasien sulit diajak bicara, biasanya nunggu
keluarganya,” RN 1
“Pasien kan beda-beda ya, susah kalau dia ga bisa diajak
bicara kita ga tau dia paham apa ngga, tapi kalau ada
keluarganya yang paham ya gak apa apa,” AP
Secara umum PIO yang dilakukan di RS X belum maksimal hal ini
dikarenakan waktu PIO yang hanya dilakukan pada saat pasien akan
pulang dan penyerahan obat yang waktunya terbatas. Pasien yang
mengantre mengambil obat biasanya banyak, sehingga PIO di rawat jalan
hanya bisa dilakukan sebentar. Selain itu, ruang PIO yang belum tersedia
juga belum adanya PIO berkala yang dilakukan bersama seluruh tenaga
kesehatan.
Apoteker juga sering menemukan kendala PIO ketika pasien di
rawat inap tidak didampingi oleh keluarganya dan sulit diajak bicara. Hal
96
ini yang menyebabkan sulit mengukur kepahaman pasien dengan keadaan
seperti itu.
5.2.4 Gambaran Konseling di RS X
Konseling obat merupakan aktivitas pemberian nasihat atau
saran terkait terapi obat dari apoteker kepada pasien. Berdasarkan
hasil wawancara di RS X konseling belum dilakukan secara rutin.
Konseling hanya akan dilakukan jika ada permintaan dari pasien atau
tenaga medis lain.
RS X sebenarnya memiliki pasien-pasien kondisi khusus
seperti gangguan ginjal dan ibu hamil serta menyusui. RS X juga
memiliki klinik diabetes yang bisa mendapat konseling. Namun,
konseling khusus bagi pasien-pasien ini pun hanya dilakukan jika
ada permintaan. Hal ini dikarenakan SDM dan sarana yang belum
cukup memadai.
“Kalau konseling kuta belum ada ya, baru by request saja,”
INF 1
“Konseling, di sini gak dilakukan sih,” RN 1
Konseling di RS X belum dilakukan. Hal ini dikarenakan
kekurangan SDM dan ruangan yang tak tersedia. Apoteker hanya akan
memberikan konseling bila dipanggil ke ruangan. Padahal, di RS X
memiliki pasien dengan obat jangka waktu panjang dan kompleks
97
sehingga akan lebih baik penggunaan obatnya jika didampingi dengan
konseling.
5.2.5 Gambaran Visite di RS X
Visite merupakan kegiatan kujungan ke pasien rawat inap
oleh apoteker mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan. Di RS X
kegiatan visite belum ada jadwal rutin, hanya saja setiap apoteker
diberi tanggung jawab satu ruangan untuk setiap hari memeriksa
kondisi terapi obat pasien. Namun, visite secara keseluruhan untuk
informasi obat ke pasien, dokter, serta profesional kesehatan lainnya
belum dilakukan. Visite kerjasama dengan tim tenaga kesehatan juga
belum dilakukan karena belum adanya kerjasama antar seluruh
tenaga kesehatan.
“Setiap apoteker ada tanggung jawab ruangannya, dia yang
mantau tapi kalau visite per pasien atau dengan tenaga
kesehatan lain belum ada,” INF 1
\“Visite sih kita belum ada ya, belum maksimal lah,” RN 1
“Jadi ya paling memang jika ada yang membutuhkan
informasi terkait obat kami siap di sini atau nanti dipanggil
ke ruangan. Karena memang belum ada pematauan atau vist
bersama dengan dokter, perawat atau gizi, belum ada.
Sisanya apoteker memberikan informasi obat pada pasien
98
pulang dan pemantauan sekali sehari, sesuai ruangan yang
sudah dibagi,‖ AP
Visite juga belum dilakukan di RS X. Apoteker memang
memiliki tanggung jawab ruangan. Namun, visite sendiri belum
dilakukan maksimal. Apalagi visite bersama tenaga kesehatan lain
tidak bisa dilakukan karena SDM yang kurang dan waktu antar-
petugas yang juga akan sulit untuk disamakan.
5.2.6 Gambaran Pemantauan Terapi Obat di RS X
Pemantauan terapi obat yang dilakukan RS X yaitu berupa
kegiatan kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif
dan rasional bagi pasien. PTO biasanya dilakukan apoteker dengan
melihat riwayat atau catatan terapi obat pasien dan resep yang
diberikan dokter. Apoteker biasanya memantau dan memeriksa
pasien yang diberi obat lima jenis atau lebih.
“Jadi kan sistem informasi kita belum bisa secara otomatis
kalau diketik obat ini dan ini akan muncul reaksi ini,
makanya hanya untuk obat di atas 5 item aja, kalau
semuanya kan repot makan waktu juga, sedangkan resep
yang datang aja sehari bisa 800 ,” INF 1
“Kalau pemantauan biasanya apoteker ngecek di resep ada
yang aneh atau nggak, kan tahu tuh kalau ada yang aneh
atau gak wajar,” RN 1
99
“Biasanya apoteker nanti melihat resep dan cacatan terapi
pasien, terus juga kan apoteker tau kira-kira ini dosisnya
wajar apa ngga, kalau ga wajar ya kita kontak dokternya,”
AP
Kegiatan pemantauan juga dilakukan pada perubahan efek
suatu obat karena obat lain atau interaksi obat. Kegiatan ini
dilakukan oleh apoteker dengan melakukan telusur pustaka obat
pasien melalui www.medscape.com dan www.drugs.com atau
buku-buku litelatur lain. Jadi, ketika apoteker menemukan
kecurigaan terhadap obat yang diberikan akan dicek terlebih
dahulu. Jika ditemukan adanya interaksi berbahaya maka apoteker
akan menghubungi dokter untuk melakukan tindakan berupa terapi
dohentikan, terapi ditunda, atau dosis dikurangi.
“Kita juga biasanya nanya perawat atau dokter kalau
misalnya ini benar interaksi atau bukan dicek bareng,” INF 1
“Kalau dikira ada yang mencurigakan dan tidak wajar dari
catatan resep atau catatan di file pasien maka dicek dulu ke
www.medscape.com dan www.dugs.com,” RN 1
“Dicek di litelatur gimana interkasi obatnya ada interaksi ga,
kalau ada diberitahukan ke dokternya langsung via telfon,”
AP
100
PTO di RS X terutama dilakukan hanya untuk pasien dengan terapi
lima obat atau lebih. Secara umum, PTO konsep ini sudah dilakukan
RS X, kecurigaan adanya efek samping juga akan langsung
dianalisis. Namun, untuk evaluasi efektifitas penggunaan satu terapi
belum pernah dilakukan pemantauan atau penelitiannya.
5.2.7 Gambaran Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RS X
Berdasarkan hasil wawancara, kegiatan monitoring efek
samping obat di RS X baru dilakukan ketika ada efek samping obat
terjadi pada pasien. Idetifikasi biasanya dilakukan jika apoteker atau
tenaga kesehatan lain menemukan kemungkinana efek samping obat.
Analisis kemudian dilakukan apoteker dan ditelusuri apakah benar
hal yang terjadi pada pasien ituu efek samping obat atau bukan.
Jika terbukti itu merupakan efek samping obat, maka
apoteker akan mengkomunikasikan pada dokter untuk melakukan
tindakan yaitu menghentikan permanen atau menghentikan
sementara terapi obat yang diberikan.
Meski begitu, RS X tetap secara rutin setiap bulan
melaporkan MESO ke Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM). Dalam laporannya RS X menlaporkan setiap kejadian yang
dicurigai sebagai efek samping, baik efek samping yang belum
diketahui hubungan sebabnya maupun yang sudah pasti.
Berdasarkan hasil observasi laporan MESO RS X mengikuti daftar
atau aturan dari BPOM tentang MESO oleh tenaga kesehatan.
101
”Kalau evaluasi berkala kita ga ada ya, lagi pula jarang, jadi
kalau ada kejadian saja petugas langsung menulis laporan
lalu kita analisis dan segera diberi tindakan yang tepat untuk
pasien, tapi setiap bulan kita lapor ke BPOM dan ke Sudin ya
itu terkait efek samping obat yang ada dan laporan obat
psikotropik dan narkotik,” INF 1
“Kalau monitoring efek samping obat ya oeh apoteker tadi
kalau menemukan kecurigaan misalnya ada yang alergi, nanti
diperiksa obatnya apa, terus bener ga itu efek samping obat,”
RN 1
“Jarang sih ada efek samping, jadi kalau terjadi ya kita
langsung laporkan analisis lalu beritahu ke dokter, biasanya
paling kalau ada juga alergi obat saja,” AP
Permasalahan pada MESO di RS X adalah belum dilakukan
secara aktif. Sehingga laporan efek samping obat hanya dibuat ketika
ada laporan atau kejadian. Seharusnya bisa ada monitoring aktif
terkait efek samping obat yang mungkin terjadi pada pasien.
5.2.8 Gambaran Dispensing Sedian Steril di RS X
Berdasarkan hasil wawancara dispensing sediaan steril di RS
X dilakukan dengan teknik aseptik di ruangan khusus untuk
menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas
dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan
102
pemberian obat. RS X telah mempunyai ruangan khusus untuk
kegiatan ini.
Kegiatan yang dilakukan untuk pencampuran obat suntik.
Hal ini disebabkan di RS X tak memiliki pasien kanker dengan
kebutuhan obat campur khusus.
Berdasarkan hasil observasi, belum banyak kegiatan di
ruangan dispensing sediaan steril. Hal ini dikarenakan di ruangan
tersebut memang tidak ada petugas khusus yang menjaga, petugas
yang akan mencampur obat suntik atau menyiapkan obat steril
lainnya dari outlet rawat inap baru akan pindah ke ruangan tersebut
ketika ada kegiatan pencampuran obat.
Berdasarkan hasil observasi, petugas melakukan
pencampuran dengan dosis yang telah diukur sebelumya. Cairan
dicampur perlahan dan selalu dilakukan swab dengan tisu steril
sebelum dan setelah pencampuran pada tempat cairan. Jika
pencampuran harus melalui biological safety cabinet, maka petugas
harus memakai APD lengkap yakni sarung tangan, masker, dan
pakaian steril.
Sebelum masuk ruang pencampuran, petugas akan melalui
ruang antara untuk ganti baju dan melakukan pembersihan diri
melalui HEPA Filter. Petugas masuk melalui pintu dengan pegangan
stainless steel sedangkan obatnya masuk ke dalam pass box. Setelah
103
masuk petugas mengambil cairan dari dalam pass box dan
melakukan pencampuran.
“Kalau mau melakukan pencampuran obat suntik, baru
petugas akan naik ke ruangan atas dan melakukan kegiatan,
karena untuk petugas khusus kami kekurangan tenaga,” RN
1
“Pencampuran obat suntik kami lakukan semua di ruang
steril di atas, sudah ada LAF juga,” AP
“Kalau campur obat suntuk ya harus di ruang steril kita juga
pakai sarung tangan dan masker, kalau dilakukan di sini
(outlet) itu salah,” RN 2
Berdasarkan hasil observasi ditemukan masih adanya
petugas yang melakukan pencampuran obat suntik di ruang outlet
rawat inap. Petugas yang melakukan pencampuran tersebut juga
tidak mengenakan APD seperti sarung tangan dan masker.
Berdasarkan hasil observasi, berikut merupakan daftar
sarana dan prasarana yang ada di ruang dispensing sediaan steril.
Tabel 5.7 Sarana Prasara Dispensing Sediaan Steril
No Syarat Ketersediaan Keterangan
Ada Tidak
ada
1 Ruang bersih kelas 10.000 √ Diganti dengan LAF
kelas 100
2 Ruang penyimpanan kelas 100.000 √
104
No Syarat Ketersediaan Keterangan
Ada Tidak
ada
3 Ruang antara kelas 100.000 √
4 Ruang ganti pakaian kelas 100.000 √
5 Lantai datar dan halus tanpa
sambungan, keras, serta resisten
terhadap zat kimia
√
6 Dinding rata dan halus, keras, serta
resiste terhadap zat kimia √
7 Sudt-sudut permukaan langit-langit
dengan dinding dibuat melengkung
dengan radius 20 – 30 mm
√
8 Colokan listrik datar dengan
permukaan dan kedap air serta dapat
dibersihkan
√
9 Penerangan, saluran, dan kabel
dibuat di atas plafon √
10 Rangka pintu terbuat dari stainles
stell √
11 Aliran udara menuju ruang bersih,
ruang peniapa, ruang ganti pakaian,
dan ruang antara harus melalui
HEPA filter dan memenuhi syarat
kelas 10.000
√
12 Tekanan udara ruang bersih adalah
15 pascal lebih rendah dari ruang
lainnnya
√ Ada alat pengukur
tekanan udara
13 Suhu udara di ruangan bersih dan
steril dipelihara pada suhu 16-25 C √ Ada alat pengukur
suhu dan pengecekan
oleh apoteker
14 Kelembaban relatif 45-55% √ Ada alat pengukur
kelembaban ruangan
105
Di RS X dalam kegiatan dispensing sediaan steril masih ditemukan
petugas yang mencampur oat suntik tidak pada ruangannya. Hal ini bisa berisiko
baik untuk petugas maupun pasien. Selain itu, RS X memang belum melakuakn
kegiatan dispensing sediaan steril lain karena tak ada pasien dengan obat
kebutuhan khusus seperti kanker. Ruang dispensing RS X sudah tersedia dan
dilengkap dengan LAF kelas 100 yang memenuhi standar dan pengecekan setiap
tahunnya.
5.3 Gambaran Pencapaian Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di
Rumah Sakit X
Dari 11 kegiatan pelayanan farmasi klinik, RS X hanya melaksanakan 7
kegiatan saja. Pelayanan farmasi klinik di RS X yang dilaksanakan terdiri dari
pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,
rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, pemantauan terapi obat, monitoring
efek samping obat, dan dispensing sediaan steril. Sedangkan yang belum
dilakukan adalah, konseling, visite, evaluasi penggunaan obat, dan pemantauan
kadar obat dalam darah.
Di sisi lain, berdasarkan hasil telaah dokumen dan wawancara, pelaporan
kesalahan kejadian obat dari tahun 2015 ke 2016 mengalami penurunan. Namun,
pada 2016 laporan yang masuk hanya sampai dengan bulan September sedangkan
Oktober, November, dan Desember tidak ada laporan yang masuk.
106
Berdasarkan hasil wawancara dengan lima informasn semuanya
menyatakan potensi kesalahan kejadian obat masih terjadi, namun pasti langsung
ditangani. Hal ini biasanya karena kesalahan saat entry atau membaca resep.
“Biasanya resep ada saja yang tidak jelas, kalau begitu kita langsung
konfirmasi ke dokternya,” RN 1
“Ada aja, sulit dihindati tapi kita langsung perbaiki kok,” MA
“Ada saja kalau resep yang tidak jelas atau tidak lengkap sih, itu
kadang yang bikin salah-salah,” RN 2
―Kadang kalau begitu kita ketahui salah langsung entry ulang dan
diperbaiki, jadi tidak ke pasien salahnya,‖ RJ 2
―Memang masih ada kesalahan di lapangan, kami sedang terus
mencari akar masalahnya,‖ PS
Pelaporan kesalahan obat masih terjadi di RS X. Meski begitu RS X telah
melakukan analisis dan investigasi untuk menurunkan angka kejadian kesalahan
obat yang terjadi. Karena di rumah sakit memang sulit untuk mendapat angka
kejadian kesalahan obat yang nihil.
107
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Pada saat penelitian ini dilakukan ditemukan keterbatasan peneliti
dalam melakukan penggalian informasi dan pencarian data. Di antaranya:
1. Peneliti tidak bisa melakukan observasi atau telaah dokumen rekam
medis sehingga tidak dapat mengamati variabel penelusuran riwayat
obat.
2. Keterbatasan waktu informan dalam memberikan informasi karena
waktu pekerjaan informan yang padat terutama pada apoteker dan
asisten apoteker di rawat jalan.
6.2 Analisis Input Pelayanan Farmasi Klinik
Pada umumnya untuk meningkatkan suatu pelayanan ada dua cara
yaitu dengan meningkatkan mutu dan kuantittas sumber daya, tenaga, biaya,
peralatan, perlengkapan, dan material yang diperlukan dengan menggunakan
teknologi atau dengan kata lain meningatkan input atau struktur serta
memperbaiki metode atau penerapan yang dipergunakan dalam kegiatan
pelayanan, hal ini memperbaiki proses pelayanan organisasi kesehatan
(Wijono dan Wijaya, 2012).
Input yang ada di RS X memang masih kurang terutama dalam
penerapan teknologi. Peresepan masih manual dan belum terkomputerisasi.
Sistem komputer baru ada pada billing harga dan cek persediaan serta
108
perencanaan pembelian. Hal ini membuat banyak resep tak jelas dan tak
terbaca oleh petugas. Hal lain yang belum mendukung adalah laboratorium
khusus farmasi yang belum tersedia.
Padahal penggunaan teknologi elektronik atau electronic prescribing
telah banyak disarankan digunakan di rumah sakit untuk menurunkan angka
kejadian keslaahan obat. Menurut American Family Physician tenaga
kesehatan harus dapat menggunakan perangkat lunak untuk mengatasi
kesalahn yang terjadi termasuk electronic prescribing dan pencarian litelatur
di internet secara internasional (Pollock, Bazaldua dan Dobbie, 2007).
Selain itu, jumlah apoteker di RS X hanya 7 orang. Tentu ini sangat
sedikit jika dibandingkan dengan resep yang masuk per hari bisa mencapai
800 hingga 900 resep. Total tenaga kefarmasian pun hanya 63 dengan
semuanya dibagi menjadi beberapa shift dan depo sehingga sulit untuk
memaksimalkan berbagai pekerjaan yang khusus.
SPO terkait farmasi klinik juga telah dimiliki RS X dan sudah ada 96
SPO. Namun, belum ada proses evaluasi penjalanan SPO tersebut karena di
lapangan pun masih ada petugas yang melanggar. Seharusnya RS X
melakukan evaluasi kefektifan peraturan yang diterapkan agar tidak ada
kejadian berulang terkait kesalahan obat.
6.3 Analisis Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X
Proses pelayanan farmasi klinik berdasarkan PMK No.58 tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik
109
di rumah sakit terdiri dari pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran
riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat,
konseling, visite, pemantauan terapi obat, monitoring efek samping obat,
evaluasi penggunaan obat, dispensing sediaan steril, dan pemantauan
kadar obat dalam darah. Namun yang dilaksanakan di RS X baru meliputi
pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,
rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, pemantauan terapi obat,
monitoring efek samping obat, dan dispensing sediaan steril.
Kegiatan pelayanan farmasi klinik yang belum dilakukan RS X adalah
konseling, visite, evaluasi penggunaan obat dan pemantauan kadar obat
dalam darah. Konseling belum dilakukan saat ini karena di RS X masih
kekurangan SDM. SDM yang ada sudah habis untuk pelayanan dan
pengkajian resep. Sedangkan untuk petugas konseling khusus belum ada.
Namun, RS X tetap terbuka dengan segala pertanyaan dari pasien.
6.3.1 Analisis Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X
Pengkajian dan pelayanan resep adalah hal yang paling pertama
yang harus dilakukan oleh apoteker dalam melakukan penerimaan resep
dari dokter. Pengkajian dan pelayanan resep dilakukan untuk mencegah
terjadinya kelalaian pencantuman informasi, penulisan resep yang buruk
dan penulisan resep yang tidak baik (Arhayani, 2007).
Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Farmasi Rumah Sakit, pengkajian dan pelayanan resep meliputi seleksi
110
persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis.
Di RS X persyaratan administrasi sudah kurang terutama pada penulisan
berat badan dan tinggi badan pasien, sedangkan untuk persyaratan
farmasetik baik, dan untuk persyaratan klinis masih kurang terutama
terkait informasi alergi obat.
Sedikit berbeda dengan PMK No. 58, persyaratan kelengkapan resep
dari WHO lebih sederhana. Berikut perbandingan syarat dari PMK No.58
dan WHO:
Tabel 6.1 Syarat Resep PMK No.58 dan WHO
Persyaratan Resep
PMK No. 58 Tahun 2014 WHO (1994)
1. Nama pasien 1. Nama pasien
2. Umur pasien 2. Umur pasien
3. Jenis kelamin 3. Alamat pasien
4. Berat badan 4. Tanggal resep
5. Tinggi badan 5. Nama dokter
6. Nama dokter 6. Alamat dokter
7. Nomor izin 7. Telepon dokter
8. Alamat 8. Paraf dokter atau inisial
9. Paraf dokter 9. Nama generik obat
10. Tanggal resep 10. Kekuatan sediaan
11. Ruang/unit asal resep 11. Dosis
12. Nama obat 12. Jumlah obat
13. Bentuk obat 13. Aturan pakai
14. Kekuatan sediaan 14. Peringatan
15. Dosis
16. Jumlah obat
17. Stabilitas
18. Aturan dan cara
penggunaan
19. Ketepatan indikasi,
dosis, dan waktu
penggunaan obat
20. Duplikasi pengobatan
21. ROTD
111
Persyaratan Resep
PMK No. 58 Tahun 2014 WHO (1994)
22. Kontraindikasi
23. Interaksi obat
Berikut pembahasan untuk masing-masing kelengkapan persyaratan
pada resep:
1. Kelengkapan Persyaratan Administrasi
Dari hasil analisis pada 295 sampel resep maka didapatkan
secara umum persyaratan adimistrasi resep di RS X sudah cukup.
Ada 96 resep yang tak memilki keterangan jenis kelamin, rata-rata
yang tak memiliki keterangan itu adalah pasien anak-anak. Peada
penelitian sebelumnya yang dilakukan di RS Fatmawati pada tahun
2013 juga ditemukan banyak yang tidak mencatumkan jenis kelamin
pasien yaitu sebanyak 249 resep dari 325 resep yang dianalisis atau
sekitar 96% (Susanti, 2015).
Keterangan tinggi badan dan berat badan pasien paling
rendah yaitu 25,94% dan 23,73%. Berdasarkan hasil analisis resep
yang menggunakan keterangan tinggi badan dan berat badan hanya
untuk pasien anak-anak. Hal ini juga sama dengan penelitian
sebelumnya yang menyebutkan tidak adanya keterangan berat badan
dan tinggi badan pasien pada 287 resep dari 325 resep yang diteliti
atau sekitar 88% (Susanti, 2015). Berdasarkan PMK No.58 Tahun
2014 memang tidak disebutkan secara jelas keterangan tinggi badan
dan berat badan digunakan untuk ketentuan pasien seperti apa.
112
Namun, berdasarkan saran WHO pada Guidliness to Good
Prescribing tidak disebutkan adanya berat badan dan tinggi badan
pasien pasien pada resep. Sedangkan menurut Medical Council of
New Zeland (MCNZ) keadaan disik pasien seperti berat badan dan
tinggi badan harus dicantumkan dalam resep untuk menghindari
kesalahan terapi (MCNZ, 2016).
Selain itu jumlah resep yang lengkap memuat umur pasien
hanya 67,46%. Dari hasil analisis resep yang memuat umur pasien
hanya pada pasien dengan umur tua dan anak-anak. Informasi terkait
umur memang menjadi standar dari PMK No.58 Tahun 2014 dan di
RS X sendiri, namun sebenarnya berdasarkan saran WHO pada
Guidliness to Good Prescribing, umur dicantumkan hanya terutama
bagi pasien anak-anak dan orang tua.
Menurut Guidelines for Good Prescribing in Primary Care
yang dikeluarkan oleh Lancashire Medicines Management Group di
Inggris keterangan umur, berat badan, dan tinggi pasien penting
dicantumkan memang hanya untuk pasien anak-anak karena
berhubungan dengan perhitungan dosis dan terapi (Davey, 2016)
Sedangkan tanggal resep dan asal ruangan banyak yang luput
dan tidak diisi terutama pada resep rawat jalan. Jumlah yang tidak
ada tanggal resep yaitu 85 resep dan yang tidak ada asal ruangan ada
96 resep. Berdasarkan penelitian sebelumnya di RS Fatmawati dari
325 resep ada 52 resep yang tak memiliki tanggap peresepan
113
(Susanti, 2013). Padahal menurut Guidelines for Good Prescribing in
Primary Care tanggal resep harus ditulis secara lengkap agar jelas
kapan dan dari mana datangnya resep jika diperiksa kemudian hari.
(Davey, 2016).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harjono dan Nuraini
Farida (1999) dalam Rahmawati (2002) menunjukkan adanya
berbagai penyimpangan dalam hal penulisan resep, misalnya
penulisan resep yang tidak lengkap (resep tanpa tanggal, tanpa paraf
dokter, tidak mencantumkan permintaan bentuk sediaan) serta
penulisan resep yang tidak jelas maupun sukar dibaca baik
menyangkut nama, kekuatan dan jumlah obat, bentuk, sediaan
maupun aturan pakai.
Menurut Michelle R. Colien kegagalan komunikasi dan salah
interpretasi antara petugas kesehatan merupakan salah satu faktor
penyebab timbulnya kesalahan obat (medication error) yang bisa
berakibat fatal bagi penderita (Cohen, 2007).
Hal ini juga dikemukan WHO, komunikasi antar penulis dan
pembaca resep haruslah baik. Jika ada yang tak jelas maka pembaca
resep wajib melakukan konfirmasi pada penulis resep, inilah
mengapa nama, alama, dan nomor telepon penulis resep menjadi
penting, agar petugas dapat melakukan konfirmasi dengan mudah.
Dalam kasus RS X asal ruangan juga menjadi salah satu
unsur penting dalam melakukan konfirmasi. Seharusnya RS X dapat
114
melakukan konfirmasi dengan mudah jika ada ketidakjelasan dengan
menelepon nomor ruangan atau langsung pada dokter. Di RS X pun
kode nomor telepon dokter sudah diatur dengan mudah dan
semuanya tersambung ke pusat informasi sehingga harusnya RS X
melakukan konfirmasi dengan mudah.
2. Kelengkapan Persyaratan Farmasetik
Sedangkan untuk persyaratan farmasetik resep sudah baik
karena kelengkapan rata-rata di atas 80% meski yang diharapkan
adalah 100%. Dokter di RS X kebanyakan sudah menulis dengan
lengkap terkait terapi yang harus diberikan kepada pasien. Semua
dokter telah menulis nama obat, terlepas dari jelas atau tidaknya
tulisan. Sedangkan, pada persyaratan bentuk obat sirup, tablet, atau
puyer lengkap sebesar 90.17%, kekuatan sediaan 89,83%, dosis
hanya ada dua obat yang taj tertera sehingga kelengkapannya
99,32%, jumlah obat 98,98%, dan aturan serta cara penggunaan
hanya sebesar 87,78%.
Tidak adanya bentuk sediaan obat ini merugikan pasien
karena pemilihan bentuk sedian disesuaikan dengan kondisi tubuh
pasien. Selain itu konsentrasi atau kekuatan obat yangtak tercantum
juga bisa berbahaya karena berpengaruh pada hasil terapi yang akan
dijalani, jika konsentrasi obat lebih kecil dari kebutuhan maka terapi
yang dijalani tidak tercapai, namun jika dosis obat yang diberikan
115
lebih tinggi maka sangat berbahaya bahkan bisa menimbulkan
kematian karena kesalahan pemberian (Susanti, 2013).
Sedangkan menurut WHO kekuatan obat menunjukkan
berapa miligram setiap tablet, supositoria, atau mililiter cairan harus
mengandung zat tertentu. Singkatan yang diterima secara
internasional adalah g untuk gram, ml untuk mililiter. Penulisan
angka desimal harus dihindari, jika perlu, menulis kata-kata penuh
untuk menghindari kesalahpahaman. Misalnya, menulis Levotiroksin
50 mikrogram, bukan 0.050 miligram atau 50 ug. Tulisan tangan
resep yang buruk dapat menyebabkan kesalahan (WHO, 1994).
Sedangkan untuk stabilitas obat memang tidak banyak diteliti
pada penelitian kelengkapan resep sebelumnya. Dalam buku panduan
WHO pun tak disebutkan adanya stabilitas obat dalam resep, namun
perlu diketahui oleh apoteker dan dokter demi memberikan terapi
yang tepat untuk pasien.
3. Kelengkapan Persyaratan Klinis
Berdasarkan sample yang diambil kelengkapan persyaratan klinis
pada resep di RS X masih kurang. Hanya waktu penggunaan yang
jumlahnya di atas 90% yakni 97.97%. Sedangkan untuk indikasi hanya
sebesar 47,12%. Begitu juga untuk reaksi alergi hanya sebesar 27.12%,
padahal sudah ada kolom dalam form resep yang harus diisi oleh dokter
terkait ada atau tidaknya alergi pada pasien.
116
Pertimbangan klinis dalam resep di antaranya adanya alergi, efek
samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain)/
Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif
seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan
(Hartini dan Sulasmono, 2007) dalam (Apriliani, 2010).
Persyaratan klinis yang menjadi pertimbangan tentang indikasi,
kontraindikasi, dan waktu penggunaan memang tak disebutkan secara
tegas harus ada dalam resep namun secara tegas harus diketahui oleh
pasien . Hal ini dikarenakan banyak pula pasien yang tak patuh
menjalankan terapi jika tak diberi peringatan terkait persyaratan klinis
tersebut, kebanyak terjadi pada pasien dengan keluhan tidak begitu serius
(WHO, 1994).
Kejadian kesalahan obat bisa terjadi pada tahap peresepan.
Medicaton error dapat terjadi pada tahap peresepan (precribing),
penyiapan (dispensing), dan pemberian obat (drug administrastion).
Kesalahan pada salah satu tahap dapat menimbulkan kesalahan pada
tahap selanjutnya. Kejadian kesalahan obat (medication error) terkait
dengan praktisi, produk obat, prosedur, lingkungan atau sistem yang
melibatkan peresepan (prescibing), penyiapan (dispensing), dan
administrasi (administration) (Tajuddin, et al. 2012).
Kesalahan meresepkan dan kesalahan resep merupakan masalah
utama di antara kesalahan pengobatan. Proses peresepan ini terjadi baik
117
di rumah sakit umum maupun di rumah sakit khusus, meski pun
kesalahan jarang terjadi fatal namun dapat mempengaruhi keselamatan
pasien dan kualitas kesehatan (Velo, 2009).
Kebanyakan yang sulit dilakukan dan sering keliru adalah
pembacaan resep. Petugas mengaku sering menerima resep tidak jelas.
Seharusnya ketika tidak jelas petugas langsung mengkonfirmasi ulang
pada dokter, namun berdasarkan hasil observasi banyak ditemukan
bahwa petugas hanya mengkonfirmasi dengan sesama petugas saja.
Selain itu, di outlet rawat inap dan rawat jalan semua petugas
TTK dan apoteker setiap harinya tidak memiliki pekerjaan yang tetap.
Semunya bergantiaan ssecara acak dan tidak ada yang fokus dengan satu
pekerjaan misalnya hanya mengemas obat, hanya melakukan entry resep.
Hal ini menyebabkan tempat di outlet rawat inap tak sesuai alur kerja.
6.3.2 Analisis Rekonsiliasi Obat di RS X
Pada penelitian sebelumnya pelaksanaan rekonsiliasi obat di
beberapa rumah sakit hampir sama dengan pelaksanaan penelusuran riwayat
penggunaan obat. Tujuan dari Rekonsiliasi obat adalah memastikan
informasi yang akurat tentang obat, mengidentifikasi ketidaksesuaian
informasi obat dari dokter. Tercatat dua rumah sakit yang diteliti melakukan
rekosnsiliasi obat telah sesuai dengan teori yang ada, yaitu dengan cara
menanyakan kepada pasien, apakah pasien membawa obat dari rumah
kemudian membandingkan dengan pengobatan di rumah sakit. Jika pasien
118
membawa obat dari rumah, maka obat-obatan tersebut diperiksa
kelayakannya, apakah telah sesuai dengan penyakit yang diderita pasien.
Jika terjadi ketidaksesuain maka Apoteker akan menghubungi dokter yang
menangani pasien tersebut. Sedangkan satu rumah sakit lainnya belum
melakuakan kegiatan ini dikarenakan kurangnya jumlah tenaga kerja yang
ada di rumah sakit (Indah dan Utami, 2016).
Berdasarkan Permenkes RI No.58 tahun 2014 rekonsiliasi obat
dilakukan dengan cara pengumpulan data, komparasi dan konfirmasi
informasi dari dokter. Sama halnya dengan penelitian sebelumya di RS X
pun proses rekonsiliasi obat hampir sama dengan penelusuran riwayat obat.
Proses rekonsiliasi obat di RS X dilakukan dengan membandingkan
instruksi pengobatan dari dokter dengan obat yang telah didapat pasien oleh
apoteker. Biasanya kegiatan ini dlakukan saat proses UDD dilakukan untuk
pasien rawat inap dan sebelum penyerahan obat kepada pasien untuk rawat
jalan.
Proses rekonsiliasi sudah berjalan sesuai standar yaitu dengan
pengumpulan data dari rekam medis, dokter penanggung jawab, serta
komunikasi langsung dengan pasien. Lalu semua data itu dikomparasikan.
Komunikasi yang dilakukan apoteker dengan tenaga kesehatan lain pun
sudah baik. Seperti yang ada pada PMK No.58 Tahun 2014, apoteker segera
melakukan konfirmasi jika ada yang tidak jelas pada proses komparasi data.
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatkan bahwa
apoteker cenderung mau melakukan rekonsiliasi obat. Apoteker mau bekerja
119
melakukan rekonsiliasi obat sesuai dengan aturan yang ada (Setiawan, et al.
2015)
Rekonsiliasi di RS X pun sudah berjalan cukup baik. Semua catatan
pasien didokumentasikan dan dicocokan, sehingga mudah ketika terjadi
pertukaran ruangan dan pertukaran RS.
6.3.3 Analisis Pelayanan Informasi Obat di RS X
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat (PIO) menurut PMK No.58
Tahun 2014 adalah kegiatan yang meliputi tanya jawab mengenai
informasi obat tidak hanya kepada pasien tetapi terhadap tenaga kesehatan
lainnya, menerbitkan bulletin, melakukan penelitian, memberikan
pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kerja kefarmasian ataupun tenaga
kesehatan lainnya.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah
dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini sekurang-
kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka
waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus
dihindari selama terapi (Dirjen Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan,
2006).
Kepatuhan pasien terhadap pengobatan dapat ditingkatkan dengan
tiga cara yaitu, pemilihan terapi obat yang baik. menciptakan hubungan
dokter-pasien yang baik, atau meluangkan waktu untuk memberikan
120
informasi yang diperlukan, seperti petunjuk dan peringatan. Terapi obat
yang baik terdiri dari sedikitnya obat yang diresepkan, dengan tindakan
cepat, sedikit efek samping sesedikit mungkin, dalam bentuk sediaan yang
tepat, jadwal dosis sederhana (satu atau dua kali sehari), dan durasi
pengobatan sesingkat mungkin (WHO, 1994).
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat (PIO) yang dilakukan di RS X
meliputi menjawab setiap pertanyaan pasien terkait obat, pemberian
informasi obat pada pasien pulang untuk rawat inap, penjelasan informasi
obat pada pasien rawat jalan saat peyerahan obat, pembuatan leaflet, dan
pembuatan buku saku fomalium.
Namun, RS X belum sepenuhnya melaksanakan PIO untuk tenaga
kesehatannya. Informasi obat di RS X hanya diberikan lewat formularium
dan beberapa tambahan dari kemasan obat. Apoteker belum secara berkala
melakukan PIO kepada tenaga kesehatan lain seperti perawat dan dokter.
Ruang lingkup penelitian dan memberikan pendidikan berkelanjutan bagi
tenaganya dalam PIO yang seharusnya dilakukan untuk menambah
informasi pun belum dilakukan oleh RS X. Pengetahuan tenaga kesehatan
hanya dilakukan jika RS X membutuhkan orang untuk dikirim ke sebuah
pelatihan tertentu untuk menguasai suatu skill.
Hal itu tak sesuai dengan kegiatan PIO yang seharusnya pada PMK
No. 58 Tahun 2014 serta ruang lingkup PIO pada Pedoman Informasi Obat
di Rumah Sakit yang telah terbit tahun 2006.
121
Pada penelitian sebelumnya beberapa rumah skait melakukan PIO
dengan beberapa cara, yang pertama yaitu pelayanan informasi obat yang
diberikan kepada pasien seperti KIE, yang kedua pelaksanaan informasi
kesehatan bagi masyarakat seperti penyulahan kepada masyarakat, di mana
apoteker terlibat dalam kegiatan penyuluhan (Indah dan Utami, 2016)
PIO di dua rumah sakit yang diteliti di lakukan pada saat penyerahan
obat kepada pasien, seperti cara penggunaan obat, lama penggunaan obat
serta penyimpanan obat. Dari keempat rumah sakit yang termasuk
kedalam penelitian, yang medekati dengan teori yang ada hanya satu
rumah sakit. Hal ini rata-rata disebabkan karena kurangnya SDM dalam
melakukan PIO (Indah dan Utami 2016). Begitu juga di RS X tidak
memiliki petugas PIO khusus serta sarana PIO seperti ruangan khusus pun
tidak ada.
Selama dilakukan PIO pada pasein di RS X komunikasi apoteker di
ruang rawat inap sudah cukup baik. Apoteker menjalesakan secara rinci
semua hal terkait obat kepada pasien. Pasien juga diberi lembar informasi
obat yang bisa dibaca ulang di rumah. Sedangkan untuk rawat jalan waktu
pemberitahuan tentang obat hanya sebentar, apalagi ketika sedang antri.
Pasien tidak sempat bertanya dan petugas menjadi terburu-buru
memberikan penjelasan. Hal ini karena yang melakukan PIO adalah
petugas yang menyerahkan obat kepada pasien.
122
PIO yang efektif pada pasien dapat mengurangi ketidapatuhan pasien
dalam menggunakan obat. Pasien membutuhkan informasi, petunjuk dan
peringatan agar mereka memiliki pengetahuan untuk menerima dan
mengikuti pengobatan serta mendapat keterampilan yang diperlukan untuk
menggunkaa obat dengan tepat. Dalam beberapa studi, kurang dari 60%
pasien telah memahami bagaimana menggunakan obat yang mereka
terima. Informasi harus diberikan yang jelas, menggunakan bahasa umum
dan meminta pasien untuk mengulang kata-kata yang diucapkan petugas
oleh dirinya sendiri terkait beberapa informasi inti, untuk memastikan
bahwa infromasi terlah dipahami (WHO, 1994).
6.3.4 Analisis Konseling di RS X
Konseling pada PMK No. 58 Tahun 2014 obat adalah suatu aktivitas
pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari apoteker (konselor)
kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan
maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas
inisitatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya.
Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien
dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling obat bertujuan
untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang
tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang
pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien
(patient safety).
123
Secara khusus konseling juga dapat mengurangi jumlah pasien yang
tidak patuh dalam terapi obat. Rata-rata, 50% pasien tidak menggunakan
obat yang diresepkan dengan benar, membawa meminumnya secara tidak
teratur, atau tidak sama sekali. Alasan yang paling umum adalah karena
gejala telah berhenti, efek samping yang terjadi, obat dianggap tidak
efektif, atau jadwal dosis rumit bagi pasien, terutama orang tua. Pasien
yang tidak patuh terhadap pengobatan mungkin tidak memiliki
konsekuensi serius. Misalnya, dosis teratur thiazide masih memberikan
hasil yang sama, sebagai obat memiliki paruh panjang dan kurva dosis-
respons yang datar. Tetapi obat dengan waktu paruh pendek (misalnya
fenytoin) atau margin terapeutik yang sempit (misalnya teofilin) dapat
menjadi tidak efektif atau beracun jika diminum secara tidak teratur
(WHO, 1994).
Namun, sayangnya konseling belum dilakukan dengan maksimal di
RS X hal ini disebabkan SDM yang kurang. Apoteker di RS X tak cukup
untuk memenuhi tugas jika harus ada konseling rutin. Maka, konseling
dilakukan hanya berdasarkan permintaan. Sedangkan, permintaan dari
pasien sendiri jarang terjadi karena pasien banyak yang tak mengetahui
akan harus adanya konseling dengan apoteker terkait terapi obat yang
sedang digunakan.
Pada penelitian sebelumnya dari 4 rumah sakit yang diteiti 3 di
antarnya melakukan konseling dengan cara apoteker memberikan
penejelasan bagaimana cara penggunaan obat. Apoteker memberikan
124
konsultasi kepada pasien dan didokumentasikan pada buku konsultasi
obat, tanpa blanko tertulis dari pasien. Sesuai PMK No.58 Tahun 2014
hasil konseling sebaiknya didokumentasikan pada buku konsultasi obat
agar tidak terjadi kesalahan pada pengobatan berikutnya. Konseling di
satu rumah lainnya belum dilakukan secara baik, konseling yang dilakukan
hanya memberikan informasi singkat mengenai cara penggunaan obat,
efek samping obat dan fungsi dari obat itu sendir dikarenakan jumlah dari
tenaga kerja di rumah sakit yang masih kurang. (Indah dan Utami 2016).
Kegiatan konseling memang seharusnya penting dilakukan terutama
untuk pasien dnegan penggunaaan obat berkelanjutan dan jangka panjang,
Hal ini tercantum pada PMK No.58 Tahun 2014. Konseling juga penting
untuk mengurangi angka risiko kesalahan pengobatan (WHO, 2014) dan (
(ASHP 2013). Hal ini disebabkan karena konseling dapat meningkatn
kepatuhan pasien dalam penggunaan obat (Muliawan, 2008).
6.3.5 Analisis Visite di RS X
Berdasarkan PMK No.58 Tahun 2014 visite merupakan kegiatan
kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan apoteker secara mandiri
atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien
secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat
dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD), meningkatkan terapi
obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien
serta profesional kesehatan lainnya.
125
Namun, di RS X visite belum dilakukan maksimal karena apoteker
baru mengunjungi ruangan sehari sekali tapa rutin memberi konsultasi
atau memantau per pasien langsung hanya dari catatan perawat.
Berdasarkan penelitian sebelumnya di Rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta visite hanya dilakukan di beberapa bangsal saja, belum
kesemua bangsal. Rumah sakit PKU Muhammadiya Gamping visite hanya
dilakukan pada pasien rawat inap yang membutuhkan perhatian khusus,
untuk memantau terapi penggunaan obat serta efek samping dari obat yang
diguanakan contohnya penggunaan antibiotik. Kegiatan masih sebatas
pemantauan terapi obat, sampai dengan menentukan obat yang sesuai
untuk pasien, dan hanya sekedar memberikan saran kepada pasien
mengenai obat yang sesuai untuk pasien (Indah dan Utami 2016).
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah
sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah
Sakit yang biasa disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home
Pharmacy Care). Sebelum melakukan kegiatan visite apoteker harus
mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi
pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medik atau sumber lain.
Dari hasil penelitian lain pun menunjukkan bahwa kesalahan
peresepan di ruang perawatan intensif masih banyak ditemukan sebelum
dilakukan pendampingan oleh apoteker saat visite dokter (78,89%).
Kegiatan pendampingan apoteker saat visite dokter efektif menurunkan
126
86% tingkat kesalahan peresepan yang ditemukan (11,31%). Jumlah
rekomendasi yang diberikan oleh apoteker berpengaruh signifikan
terhadap jumlah kesalahan peresepan di ruang perawatan intensif
(Turnodihardjo, Hakim, dan Kartikawatiningsi, 2016).
Visite apoteker bersama tenaga kesehatan lain sebenarnya sudah
menjadi kewajiban dalam kegiatan farmasi klinik. Namun, memang masih
banyak tenaga kesehatan yang tak bisa bekerjasama di lapangan, sehingga
kegiatan ini tak tercipta.
Beberapa studi menggambarkan sikap dokter terhadap peran
farmasi klinik khususnya pendampingan apoteker. Di Sudan, dokter
menjadi tidak nyaman dengan adanya apoteker yang merekomendasikan
peresepan obat untuk pasien meskipun jenis pengobatan tersebut untuk
penyakit minor. Sedangkan, di Jordan terdapat 63% dokter mengharapkan
apoteker untuk mengajari pasien mereka mengenai keamanan dan
ketepatan penggunaan obat. Di samping itu, sebagian dokter menyetujui
bahwa apoteker selalu dapat diandalkan sebagai sumber informasi obat
(Abu-Garbieh, et al., 2010).
Kegiatan ini memang tak dapat dilakukan RS X karena kurangnya
SDM. Namun, seharusnya RS X mampu menciptakan kerjasama antar
petugas kesehatan untuk melakukan kegiatan ini. Setidaknya, perlu ada
apoteker dan beberapa tenaga kesehatan lain yang rutin mengecek keadaan
127
terapi obat pasien terutama untuk pasien dengan obat jangka panjang dan
kompleks.
6.3.6 Analisis Pemantauan Terapi Obat di RS X
Pemantauan terapi obat merupakan salah satu kegiatan farmasi
klinik yang sudah banyak dilakukan di beberapa rumah sakit, hanya saja
pelaksanaan ini belum dilakukan secara sempurna dan belum sesuai
dengan aturan yang ada. Tatalaksana pemantauan terapi obat di Rumah
Sakit yang baik dan benar adalah dimulai dari seleksi pasien,
pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi
terapi dan rencana pemantauan (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan
2009).
Apoteker biasanya memantau dan memeriksa pasien yang diberi
obat lima jenis atau lebih. Namun pemantauan baru berupa vek interaksi
obat. Itu pun jika obat yang diberikan banyak, hal ini dikarenakan tak
cukup waktu untuk mengecek semua interaksi dalam resep.
Hal yang sama dilakukan pada penelitian sebelumnya yang
menyebutkan dari 4 rumah sakit kegiatan PTO hanya dilakukan pada
pasien tertentu dengan kebutuhan obat khusus seperti TB. Sedangkan
untuk keseluruhan pasien belum dilakukan (Dirjen Bina Farmasi dan Alat
Kesehatan, 2009). Sedangkan menurut PMK No.58 Tahun 2014,
pemantauan adalah termasuk kegiatan memantau efektivitas terapi yang
diberikan kepada pasien. Hal ini belum dilakukan maksimal dan berkala
128
secara khusus. Pemantauan terapi obat juga penting dilakukan untuk
melihat efektifitas obat yang diberikan.
Melakukan pemantauan terapi dapat mengurangi risiko tejadinya
kesalahan terapi (ASHP, 2013). Hal ini tentu akkan efktif menurunkan
angkat kejadian kesalahan obat bila PTO dapat dilakukan secara
komperhensif.
6.3.7 Analisis Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RS X
Monitoring efek samping obat yang benar adalah dicatat pada
lembar MESO yang kemudian akan ditandatangani oleh dokter, kemudian
akan dikirimkan secara ke pusat MESO Indonesia, yaitu Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) di Jakarta (Indah dan Utami, 2016).
Sedangkan kegiatan monitoring efek samping obat di RS X baru
dilakukan ketika ada efek samping obat terjadi pada pasien. Idetifikasi
biasanya dilakukan jika apoteker atau tenaga kesehatan lain menemukan
kemungkinana efek samping obat. Analisis kemudian dilakukan apoteker
dan ditelusuri apakah benar hal yang terjadi pada pasien itu efek samping
obat atau bukan.
Jika terbukti itu merupakan efek samping obat, maka apoteker akan
mengkomunikasikan pada dokter untuk melakukan tindakan yaitu
menghentikan permanen atau menghentikan sementara terapi obat yang
diberikan.
129
Padahal, banyak bukti menunjukkan bahwa sebenarnya efek
samping obat (ESO) dapat dicegah, dengan pengetahuan yang bertambah,
yang diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek keamanan obat pasca
pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah
farmakovigilans. Sehingga, kegiatan ini menjadi salah satu komponen
penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat
secara umum (BPOM RI, 2012)
Seharusnya rumah sakit melakukan kegiatan ini untuk dapat
mencegah sedini mungkin kemungkinan efek samping obat yang
ditimbulkan. Hal ini pun lebih baik dievaluasi berkala sehingga laporan
untuk BPOM nantinya akan lebih lengkap dan akurat.
6.3.8 Analisis Dispensing Sediaan Steril di RS X
Pencampuran sediaan steril merupakan rangkaian perubahan bentuk
obat dari kondisi semula menjadi produk baru dengan proses pelarutan atau
penambahan bahan lain yang dilakukan secara aseptis oleh apoteker di
sarana pelayanan kesehatan (ASHP, 1985) dalam (Dirjen Bina Farmasi dan
Alat Kesehatan, 2009).
Aseptis berarti bebas mikroorganisme. Teknik aseptis didefinisikan
sebagai prosedur kerja yang meminimalisir kontaminan mikroorganisme
dan dapat mengurangi risiko paparan terhadap petugas. Kontaminan
kemungkinan terbawa ke dalam daerah aseptis dari alat kesehatan, sediaan
obat, atau petugas jadi penting untuk mengontrol faktor-faktor ini selama
130
proses pengerjaan produk aseptis (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan
2009).
Ruang dispensing sediaan steril memang sudah tersedia di RS X
namun pemakaianya belum maksimal. Kendalanya ada pada petugas yang
kurang untuk berjaga di sana. Selain itu, masih ada petugas yang mencampu
obat suntik di dalam outlet rawat inap tidak di dalam ruang yang tersedia.
Padahal pencampuran sediaan steril harus memperhatikan
perlindungan produk dari kontaminasi mikroorganisme; sedangkan untuk
penanganan sediaan sitostatika selain kontaminasi juga memperhatikan
perlindungan terhadap petugas, produk dan lingkungan (Dirjen Bina
Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).
RS X pun telah memiliki SPO tersendiri terkait pencampuran obat
suntik. Sosialisasi dan pemberitahuan SPO juga sudah dilakukan. Namun,
masih ada petugas yang bandel karena ruang dispensing sediaan steril dan
depo rawat inap cukup jauh sehingga petugas yang terburu-buru waktu
mengambil jalan pintas. Hal ini sebenarnya sangat berbahaya jika dilakukan
terus menerus dan banyak petugas karena bisa menimbulkan infeksi
nosokomial. Harus ada supervisor tersendiri terkait dispensing sediaan steril
ini.
6.4 Analisis Pencapaian Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik
Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Farmasi Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan
langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan
131
outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena
Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup
pasien (quality of life) terjamin. Maka kejadian kesalahan obat menurut
Kepmenkes no. 129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM)
tidak boleh terjadi.
Di RS X laporan kejadian kesalahan obat memang masih ada, baik
untuk kejadian yang sudah terjadi ataupun potensi kejadian. Hal ini,
dilaporkan oleh petugas pada petugas keselamatan pasien. Rata-rata yang
laporan yang masuk adalah tak terbacanya resep dengan jelas. Berdasarkan
PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit,
pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of
life) terjamin. Maka kejadian kesalahan obat menurut Kepmenkes no. 129
tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) tidak boleh terjadi.
Sedangkan kegiatan pelayanan farmasi klinik yang belum dilakukan
RS X adalah konseling, visite, evaluasi penggunaan obat dan pemantauan
kadar obat dalam darah. Konseling belum dilakukan saat ini karena di RS X
masih kekurangan SDM. SDM yang ada sudah habis untuk pelayanan dan
pengkajian resep. Sedangkan untuk petugas konseling khusus belum ada.
Namun, RS X tetap terbuka dengan segala pertanyaan dari pasien.
132
Padahal, keberhasilan suatu pengobatan tidak hanya dipengaruhi oleh
kualitas pelayanan, tetapi dipengaruhi pula oleh perilaku pasien
(Muliawan,2008). Salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien
adalah dengan cara konseling (Depkes RI, 2008). Menurut PMK No.58 tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit, pun konseling perlu
dilakukan terutama bagi pasien denga kondisi khusus, pasien dengan
pengobatan jangka panjang, pasien yang menggunakan obat khusus serta
yang memakai banyak obat. Hal ini juga seharusnya sebagai salah satu usaha
dalam mencegah reaksi obat yang tidak diinginkan.
Visite juga belum diilakukan karena di RS X belum ada kerjasama
antar apoteker dan berbagai tenaga medis lain untuk melakukan penyuluhan
terkait obat kepada pasien. SDM di RS X juga kembali menjadi hambatan
untuk dilaksanakannya visite, karena saat ini apoteker hanya berfokus pad
apemberian informasi obat pada pasien. Meski begitu, sebenarnya setiap
apoteker sudah diberi tanggung jawab satu ruangan untuk dilakukan
pengecekan setiap ahri sekali untuk mencegah terjadinya efek samping obat
dan mencatat apakah terjadi interaksi atau efek samping pada terapi yang
diberikan. Visite memang pelayanan yag paling jarang dilakukan oleh rumah
sakit, dikarenakan kurangnya tenaga kerja yang berkompeten untuk melakukan
kegiatan ini di rumah sakit. Visite dapat dilakukan secara mandiri oleh apoteker
atau dilakukan secara tim dengan tenaga kesehatan lain (Kemenkes RI,2011).
RS X juga belum melakukan evaluasi penggunaan obat secara
keseluruhan, baerdasarkan hasil wawancara evaluasi penggunaan obat pernah
133
dilakukan hanya untuk obat-obat tertentu dan dilakukan biasanya oleh
mahasiswa yang sedang melakukan penelitian. Padahal menurut kemenkes
melakukan evaluasi penggunaan obat adalah untuk memastikan penggunaan obat
secara rasional pada pasien, terutama penggunaan antibiotik (Siregar,2014).
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya yang juga menyebutkan
evaluasi penggunaan obat belum dilakukan (Restriyani, 2016).
Pemantauan kadar obat dalam darah juga belum dilakukan di RS X
karena belum memiliki alat yang menunjang untuk melakukan kegiatan ini.
Padahal, pentingnya melakukan pemantauan kadar obat dalam darah adalah
untuk memastikan pemberian obat yang optimal berdasarkan konsentrasi
target, sehingga dengan demikian penyesuaian dosis dapat dilakukan
(Usman,2007).
134
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka didapatkan simpulan
bahwa RS X belum sepenuhnya menjalankan semua kegiatan farmasi
klinis yang terdapat pada PMK No.58 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Ada pun rinciannya berdasarkan
pendekatan sistem sebagai berikut:
1. Pada pelayanan farmasi klinis di RS X yang menjadi kendala
dalam input adalah SDM yang kurang memadai yaitu total jumlah
tenaga kefarmasian hanya 63 dengan jumlah apoteker 7 orang
sedangkan resep yang masuk per hari bisa 800-900 resep. Selain
itu, pada sarana RS X juga belum menerapkan sistem electronic
prescribing dalam meminimalisir kesalahan peresepan. Sedangkan
kebijakan di RS X sudah ada 96 SOP, namun masih ada beberapa
pelanggaran karena kurangnya monitoring.
2. Berdasarkan proses maka gambaran pelayanan farmasi klinis di RS
X adalah sebagai berikut:
a. Pada proses pengkajian dan pelayanan resep masih banyak
ditemukan resep yang tidak lengkap baik secara administrasi,
farmasetik, maupun klinis. Kelengkapan persyaratan
administrasi mencapai 71.33%, kelengkapan persyaratan
135
farmasetik 81%, dan kelengkapan persyaratan klinis 34.44% .
Permasalahan banyak terjadi saat pembacaan resep yang tidak
jelas dan tidak lengkap.
b. Kegiatan rekonsiliasi obat di RS X sudah berjalan dengan baik.
Apoteker selalu mencocokan dengan catatan pperawat dan
rekam medis pasien mengenai terapi obat.
c. Kegiatan Pelayanan Informasi Obat (PIO) di RS X baru sebatas
pada saat penyerahan obat kepada pasien rawat jalan dan rawat
inap pada saat pasien akan pulang. Media PIO ynag digunakan
baru leafleat. Sedangkan untuk informasi obat bagi pegawai
dibuat formalium RS X. Pada pemberian PIO sering kurang
maksimal saat penyerahan di rawat jalan karena waktu yang
singkat dan pasien yang banyak.
d. Kegiatan Pemantauan Terapi Obat (PTO) di RS X sudah
dilakukan namun baru dilakukan pada pasien dengan terapi
lebih dari lima obat. Karena jika dilakukan semua SDM yang
ada tidak cukup.
e. Kegiatan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) telah
dilakukan namun tidak berkala, baru bersifat responsif jika ada
kejadian. RS X belum proaktif melakukan MESO jika belum
ada kejadian pasien yang terkena efek samping obat.
f. Kegiatan dispensing sediaan steril di RS X hanya berupa
pencampuran obat suntik karena di RS X tidak memiliki alat
136
yang memadai untuk pencampuran obat khusus lainnya.
Ditemukan juga, masih ada pegawai yang melakukan
pencampuran steril tidak di ruang steril, sehingga ini
membahayakan.
3. Dari 11 kegiatan pelayanan farmasi klinik, RS X melaksanakan 7
kegiatan. Pelayanan farmasi klinik di RS X yang dilaksanakan
terdiri dari pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat
penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat,
pemantauan terapi obat, monitoring efek samping obat, dan
dispensing sediaan steril. Sedangkan yang belum dilakukan adalah,
konseling, visite, evaluasi penggunaan obat, dan pemantauan kadar
obat dalam darah.
7.1 Saran
1. Bagi Rumah Sakit
a. Melakukan upaya pemenuhan seluruh kegiatan farmasi
klinik sesuai PMK No. 58 tahun 2014. Dengan membuat
standar berupa petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan
sesuai dengan kemampuan rumah sakit.
b. Dikembangkannya kerjasama antar tenaga kesehatan
dengan membuat form yang harus diisi semua tenaga
kesehatan untuk memantau efektifitas terapi obat pasien
yang nantinya bisa dibaca baik oleh apoteker, dokter, dan
perawat.
137
c. Menyiapkan SDM untuk konseling dan PIO secara khusus
untuk pasien.
d. Dikembangkannya metode electronic prescribing untuk
mengurangi kesalahan pembacaan resep
e. Mengganti sistem pekerjaan yang awalnya TTK dan
apoteker mobile setiap harinya menjadi memiliki pekerjaan
tetap setiap harinya dan dilakukan rolling bisa dalam
seminggu sekali.
2. Bagi Penelitian Selanjutnya
a. Dilakukan penelitian lebih mendalam terkait hubungan
beban kerja apoteker di RS X dengan kemampuan dalam
melaksanakan semua kegiatan farmasi klinis sesuai dengan
PMK No.58 Tahun 2014
b. Dilakukan penelitian terkait analisis kebijakan PMK No. 58
Tahun 2014 di beberapa rumah sakit.
138
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Ghrabieh, Eman, Fahmy, Sahar, et al. 2010. ―Attitudes and Perceptions of
Healthcare Providers and Medical Students Toward Clinical Pharmacy
Services in United Arab Emirates,‖ Tropical Journal of Pharmaceutical
Research. 421-430
Aditama, T.Y.2002. Manajemen Administrasi Rumah Sakit (ed kedua). Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
American Collage of Clinical Pharmacy (ACCP). 2008. The Definition of Cliical
Pharmacy. Pharmacoteraphy. Vol.28. No.6
American Pharmaceutical Association.1995. Apha Princple of Practice for
Pharmaceutical Care. Washington DC : American Pharmaceutical
Association.
American Hospital Asociation. 2016. Improving Medication Safety. 12 Agustus.
http://www.aha.org/advocacy-issues/tools-resources/advisory/96-
06/991207-quality-adv.shtml.
ASHP. 2013. ―ASHP Guidelines: Minimum Standard for Pharmacies in
Hospitals.‖ In Practice Settings: Guidliness, 519-528. America: ASHP.
Arhayani. 2007. Perencanaan dan Penyiapan Pelayanan Konseling Obat Serta
Pengkajian Resep Bagi Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Imanuel
Bandung. http//www.ITBcentralibrary.ac.id . (diakses pada 5 Januari
2017)
Apriliani, Sandy Ria. 2010. Studi Kelengkapan Resep Obat Untuk Pasien Anak
di Apotek Wilayah Kecamatan Kartasura Bulan Oktober - Desember
2008. Surakarta: UMS
Aslam, M., Tan, C. K., Prayitno, A. 2003. Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy),
Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Badriah, Fase. 2015. Pengungkapan Kesalahan Medis: Disclossing Medical Error
fo Patient Safety Culture. Jakarta: UIN PRESS.
Bayang, Andi Thenry, Syahrir Pasinringi, and Sangkala. 2013. FAKTOR
PENYEBAB MEDICATION ERROR DI RSUD ANWAR MAKKATUTU
KABUPATEN BANTAENG. Makasar: FKM UNHAS.
139
BPOM. 2012. Pedoman Montoring Efek Samping Obat (MESO) Bagi Tenaga
Kesehatan. Jakarta: BPOM
Cahyono, Suharjo B. 2008. Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam
Praktik Kedokteran. Yogyakarta: Kanisisus.
CDC. 2016. CDC Guideline for Prescribing Opioids for Chronic Pain —
United States: CDC
Cohen, Michael. R. 2007. Medication Errors. Washington DC: American
Pharmacist Association
Colpaert, Kristen, Barbara Claus, Annemie Somers, Koenraad Vandewoude,
Hugo Robays, and Johan Decruyenaere. 2006. ―Impact of computerized
physician order entry on medication prescription errors in the intensive
care unit: a controlled cross-sectional trial.‖ Pubmed Central.
Cousins, David. 2011. Root Cuse Analysis In Context of WHO International
Calssification fo Patient Safety. UK: WHO.
Cousins, David, David Gerrett, and Bruce Warner. 2011. ―A review of medication
incidents reported to the National Reporting and Learning System in
England and Wales over 6 years (2005-2010).‖ British Journal of Clinical
Pharmacology 597-604.
David C. Classen, Roger Raesar, et all. 2011. ―Global Trigger Tool‖ shows That
Adverse Events in Hospitals Maybey Ten Times Greater Than Previously
Measured.‖ Heath Affairs 581-589.
Depkes RI. 2008. Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasein.
Jakarta: Depkes.
Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan. 2009. Pedoman Dasar Teknik Aseptis.
Jakarta: Depkes RI.
—. 2009. Pedoman Pemantauan Terapi Obat. Jakarta: Depkes RI.
—. 2011. Pedoman Vistie Apoteker. Jakarta: Kemenkes RI.
Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2007. Pedoman Konseling. Jakarta:
Depkes RI.
Dirjen Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan. 2006. Pedoman Pelayanan
Informasi Obat di Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.
Elfiansih, Satifah, Qurotul Aini, and Sabtanti Harimurti. 2014. STUDI KASUS
MEDICATION ERRORS DI RUANG RAWAT INAP RSI Ngk. Yogyakarta:
UMY.
140
Ekowati, Heny, Adi P., Tunggul, Trisnowati, & Rahardjo, Budi. 2006. Pengaruh
visitasi farmasis terhadap potensi interaksi obat pada pasien lanjut usia
rawat inap di Bangsal Dahlia RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo.
Majalah Farmasi Indonesia, Vol. 17. No.4
Elfiansih, S., Aini, Q., & Harimurti, S. 2014. STUDI KASUS MEDICATION
ERRORS DI RUANG RAWAT INAP RSI Ngk. Yogyakarta: UMY.
FitzGerald, Richard J. 2009. ―Medication errors: the importance of an accurate
drug history.‖ Bristish of Journal Clinical Pharmacology 671-675.
Hidayat, Zaenuri S., Pirwonunggroho, Tunggul Adi, & Vera, Vitis Vini. 2014.
Analisis Persepsi dan Harapan Dokter Terhadap Peran Apoteker di
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Suplemen Majalah
Kedokteran Andalah. Vol.37. No.1
Ikawati, Zullies. 2010. Farmaski Klinis Terbukti Tingkatkan Hasil Terapi pada
Pasien. (http://www.ugm.ac.id/id/berita/2133-
farmasi.klinis.terbukti.efektif.tingkatkan.hasil.terapi.pada.pasien diakses
pada 13 Januari 2017)
Indah, Wanti Nur, and Pinasti Utami. 2016. Profil Penerapan Farmasi Klinik di
Rumah Sakit Amal Usaha Milik Muhammadiyah di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta: UMY.
Iskandar, Heru, Halimi Maksum, and Nafsah. 2014. ―Faktor Penyebab Penurunan
Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien Rumah Sakit.‖ Jurnal Kedokteran
Brawijaya, Vol. 28 Suplemen No. 1.
Keputusan Menteri Kesehatan No.129 tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit(KKP-RS). 2008. Pedoman Pelaporan
Insiden Keselamatan Pasien (IKP). Jakarta: Persi.
Kroening, Helen L., Bronwyn Kerr, James Bruce, and Iain Yardley. 2015.
―Patient Complaints as Predictors of PAtient Safety Incidents.‖ Patient
Experience Journal 94-1001.
141
Lapau, Buchari. 2013. Metode Penelitian Kesehatan: Metode Ilmiah Penulisan
Skripsi, Tesis dan Disertasi. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Medical Council of New Zealand (MCNZ). 2016. Good Prescribing Pratice.
New Zealand: MCNZ
Muliawan, B. T. 2008. Pelayanan Konseling Akann Meningkatkan Kepatuhan
Pasien pada Terapi Obat.
http://www.binfar.depkes.go.id/def_menu.ph.(diakses pada 9 Januari
2017).
Miles, Mathews B., A. Michael Huberman, and Johnny Saldana. 2014.
Qualitative Data Analysis: A Method Sourcebook. London: SAGE
Publication.
Muladi, Amik. 2012. ―Faktor – Faktor Penyebab Medication Errors.‖ Akademi
Keperawatan Tujuhbelas Karanganyar.
Mulyana, Sri Dede. 2013. Analisis Penyebab Insiden Keselamatan Pasien Oleh
Perawat di Unit Rwat Inap Rumah Sakit X Jakarta. Depok: UI.
Mustikawati, Yully Harta. 2011. Analisis Determinan Kejadian Nyaris Cedera
dan kejadian Tidak Diharapkan di Unit Perawatan Rumah Sakit Pondok
Indah Jakarta. Depok: UI.
National Coordinating Council for Medication Error Repoting and Prevention.
2016. Medication Error. 2 Agustus. http://www.nccmerp.org/about-
medication-errors.
Notoatmodjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Oncology Times. 2014. Study: Hospital Medical Errors Reduced by 30 Percent
with Improved Patient Handoffs. oncology-times.com.
Peraturan Menteri Kesehatan No.58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit
Phillips, David P, Nicholas Christenfeld, and Laura M Glynn. 1998. ―Increase in
US medication-error deaths between 1983 and 1993.‖ The Lancet 643-
644.
Rahmawati, Fita dan Oetari, R.A.2002.Kajian Penulisan Resep: Tijauan Aspek
Legalitas dan Kelengkapan Resep di Apotek-Apotek Kotamadya
Yogyakarta. Yoyakarta: Majalah Farmasi Indonesia
Restriyani, Mustika, dan Maziyyah, Nurul. 2016. Persepsi Dokter Dan Perawat
142
Tentang Peran Apoteker Dalam Pelayanan Farmasi Klinik Di Rumah
Sakit Pku Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta: UMY
Ritter, James M, Lionel D Lewis, Timothy GK Mant, and Albert Ferro. 2008. A
Textbook of Clinical Pharmacology and Therapeutics, Fifth Edition.
London: Hodder Arnold.
Setiawan, Eko, Sylvi Irawati Irawati, Bobby Presley, and Susilo. 2015. ―Persepsi
dan Kecenderungan Keterlibatan Apoteker di Apotek pada Proses
Rekonsiliasi Obat.‖ Jurnal Sains Farmasi & Klinis 91-98.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif Dan R&D). Bandung : Alfabeta.
Sulistianti, Lany Aprili. 2015. Korelasi Budaya Keselamtan Pasien dengan
Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis Oleh Tenaga Kesehatan Sebagai
Upaya Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit X
dan Rumah Sakit Y Tahun 2015. Jakarta: UIN Jakarta.
Siregar, C.J.P., dan Kumolosari, E. (2006). Farmai Klinik Teori dan Penerapan,
Jakarta: EGC.
Susanti, Ika. 2013. Identifikasi Medication Error Pada Fase Prescribing,
Trascribing, dan Dispensing di RSUP Fatmawati Periode 2013. Jakarta:
UIN Jakarta.
Tajuddin, Rusmi Sari, Indrianty Sudirman, Maidin, and Alimin. 2012. ―FAKTOR
PENYEBAB MEDICATION ERROR DI INSTALASI RAWAT
DARURAT.‖ Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan 182-187.
Teixeira, Thalyta Cardoso Alux, and Silvia Helena De Bortoli Cassieani. 2010.
Root cause analysis: evaluation of medication errors at a university
hospital. Portugal: Rev Esc Enferm USP.
Turnodihardjo, Marlina A., Hakin, Lukman, Katikawatiningsih, Dewi. 2016.
"Pengaruh Pendampingan Apoteker Saat Visite Dokter terhadap
Kesalahan Peresepan di Ruang Perawatan Intensif." Jurnal Farmasi Klinis
Indonesia. 160-168
Utarini, Adi, and Hanevi Djasri. 2012. ―Keselamatan Pasien dan Mutu Pelayanan
Kesehatan: Menuju ke Mana?‖ Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
159-160.
Velo, Giampaolo, and Pietro Minuz. 2009. ―Medication errors: Prescribing faults
and prescription errors.‖ British Journal of Clinical Pharmacology
67(6):624-8.
143
WHO. 1994. Guide to Good Prescribing - A Practical Manual. Retrieved from
WHO:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jwhozip23e/5.4.html#Jwhozip23e.5
.4
—. 2008. Learning From Error. Switzerland: WHO.
—. 2014. Reporting and Learning SystemsFor Medication Error: The Role of
Pharmacovigilance Centres. Geneva: WHO Press.
— .2014. 10 Fact About Patient Safety. Retrieved from WHO:
http://www.who.int/features/factfiles/patient_safety/patient_safety_facts/e
n/index1.html
144
LAMPIRAN
145
Lampiran I
Frequency Table
Nama
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 1 .3 .3 .3
Lengkap 294 99.7 99.7 100.0
Total 295 100.0 100.0
Umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 96 32.5 32.5 32.5
Lengkap 199 67.5 67.5 100.0
Total 295 100.0 100.0
JK
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 8 2.7 2.7 2.7
Lengkap 287 97.3 97.3 100.0
Total 295 100.0 100.0
BB
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 225 76.3 76.3 76.3
146
Lengkap 70 23.7 23.7 100.0
Total 295 100.0 100.0
TB
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 219 74.2 74.2 74.2
Lengkap 76 25.8 25.8 100.0
Total 295 100.0 100.0
ND
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 41 13.9 13.9 13.9
Lengkap 254 86.1 86.1 100.0
Total 295 100.0 100.0
Izin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 65 22.0 22.0 22.0
Lengkap 230 78.0 78.0 100.0
Total 295 100.0 100.0
Alamat
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
147
Alamat
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Lengkap 295 100.0 100.0 100.0
PD
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 111 37.6 37.6 37.6
Lengkap 184 62.4 62.4 100.0
Total 295 100.0 100.0
TGL
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 84 28.5 28.5 28.5
Lengkap 211 71.5 71.5 100.0
Total 295 100.0 100.0
Asal
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 95 32.2 32.2 32.2
Lengkap 200 67.8 67.8 100.0
Total 295 100.0 100.0
N_obat
148
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Lengkap 295 100.0 100.0 100.0
Bentuk
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 29 9.8 9.8 9.8
Lengkap 266 90.2 90.2 100.0
Total 295 100.0 100.0
Kekuatan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid -1 1 .3 .3 .3
Tidak Lengkap 28 9.5 9.5 9.8
Lengkap 266 90.2 90.2 100.0
Total 295 100.0 100.0
Dosis
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 2 .7 .7 .7
Lengkap 293 99.3 99.3 100.0
Total 295 100.0 100.0
Jumlah
149
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 3 1.0 1.0 1.0
Lengkap 292 99.0 99.0 100.0
Total 295 100.0 100.0
Aturan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 39 13.2 13.2 13.2
Lengkap 256 86.8 86.8 100.0
Total 295 100.0 100.0
Indikasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 156 52.9 52.9 52.9
Lengkap 139 47.1 47.1 100.0
Total 295 100.0 100.0
Waktu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 6 2.0 2.0 2.0
Lengkap 289 98.0 98.0 100.0
Total 295 100.0 100.0
150
Alergi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 215 72.9 72.9 72.9
Lengkap 80 27.1 27.1 100.0
Total 295 100.0 100.0
152
Lampiran II
Matriks Wawancara, Observasi, Telaah Dokumen
Tabel 5.2 Matriks Wawancara, Observasi, dan Telaah Dokumen
Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan
INPUT
Sumber Daya Manusia
Bagaimana
proses/alur
penempatan
pegawai pada
bagian farmasi?
Sesuai dengan
dokumen
Sesuai dengan
dokumen
Melalui
rekuitment resmi
dari rumah sakit
lalu dilakukan
traning pelayanan
dasar pertama
selama satu bulan
setelah itu baru
rolling
penempatan
selama 6 bulan
atau satu tahun.
Untuk petugas-
petugas khusus
ditempatkan
Setiap petugas
farmasi di RS X
dtempatkan
melalui
serangkaian
tahap pelatihan
dasar dan
khusus bagi
petugas-petugas
khusus. Rolling
pegawai
diadakan 6
bulan atau satu
tahun sekali
sesuai
153
Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan
sesuai kebutuhan
rumah sakit dan
mereka yang
sudah memiliki
sertifikasi
pelatihan
kebutuhan
rumah sakit.
Bagaimana
pembagian
tugasnya?
Di bagi dua
menjadi bagian
manajerial dan
teknis dan salaing
membantu.
Semuanya mobile
dan saling
membantu.
Penempatan
pegawai
berdasarkan
kemampuan dan
pengalaman.
Tidak ada
pembagian tugas
khusus di depo
atau aoutlet
untuk terima
resep, racik,
kemas, dan
serah obat,
semuanya
mobile dan
saling
membantu.
Standar apa yang
digunakan rumah
Peraturan
Pemerintah (PP)
Peraturan
Pemerintah (PP)
Peraturan
Pemerintah (PP)
Peraturan
Pemerintah (PP)
154
Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan
sakit untuk
menerima pegawai
pada bagian
farmasi?
No. 51 tahun 2009
tentang Pekerjaan
Kefarmasian
No. 51 tahun 2009
tentang Pekerjaan
Kefarmasian
No. 51 tahun
2009 tentang
Pekerjaan
Kefarmasian
No. 51 tahun
2009 tentang
Pekerjaan
Kefarmasian
Bagaimana usaha
yang dilakukan
dalam
mengembangkan
SDM yang ada
pada bagian
farmasi?
Pelatihan dan sesi
sharing knowlegde.
Pelatihan dan sesi
sharing knowlegde.
Pengembangan
pengetahuan
SDM baru rrutin
dilakukan
internal bagian
farmasi,
harusnya rumah
sakit melakukan
berbagai
tindakan
pengembangan
keahlian rutin.
Apakah ada
pendidikan dan
pelatihan lanjutan
bagi para pegawai?
Pendidikan lanjut
tidak ada, pelatihan
ada.
Pendidikan lanjut
tidak ada, pelatihan
ada.
Tidak ada
bantuan
pendidikan
lanjut dari
rumah sakit.
Pelatihan
dilakukan
internal bagian
farmasi dan
155
Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan
beberapa
pelatihan terkait
obat baru serta
pelatiah ke luar
rumah sakit jika
dibutuhkan.
Sarana dan Prasarana
Bagaimana cara
perawatan sarana
dan prasarana pada
pelayanan farmasi?
Semua alat dicek,
kebutuhan alat-alat
khusus dilakukan
kalibrasi setahun
sekali
Dicek setiap hari,
yang rusak diganti,
dan dilakukan
kalibrasi.
Dilakukan
pengecekan
rutin untuk
setiap alat
farmasi.
Bagaimana
kesesuaian sarana
dan prasarana yang
ada dengan
kebutuhan rumah
sakit?
Sudah cukup Sudah cukup. (terlampir) Sarana dan
prasana yang
ada di RS X
sudah
memenuhi
syarat pelayan
dasar namun
masih banyak
yang harus
ditambah jika
ingin sesuai
dengan PMK
no.58 tahun
156
Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan
2014 seperti
laboratorium
farmasi,
kelengkapan
dispensing
sediaan steril,
ruang khusus
PIO dan
konseling, serta
alat untuk
PKOD
Bagaimana cara
peremajaan sarana
dan prasarana yang
ada?
Dicek rutin ada
yang setiap hari,
sebulan sekali,
setahun sekali,
kalau sudah tak
layak diganti.
Sesuai kebutuhan,
kalau tidak layak
segera diganti.
Peremajaan
dilakukan sesuai
dengan
kebutuhan dan
hasil dari cek
petugas.
Bagaimana
penggunaan
teknologi informasi
dan komunikasi
pada pelayanan
farmasi?
Sistem informasi
rumah sakit mulai
dari tahap
perencanaa,
pembelian, hingga
pengeluaran
barang. Etiket juga
dicetak.
Sistem informasi
rumah sakit mulai
dari tahap
perencanaa,
pembelian, hingga
pengeluaran
barang. Etiket juga
dicetak.
Belum ada
electronic
prescribing.
Teknologi
informasi sudah
dimulai sejak
tahap
perencanaan,
pembelian,
hingga
penggunaan.
157
Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan
Namun, tidak
ada sistem
peresepan
elektronik
Kebijakan/SOP
Adakah
kebijakan/SOP
tersendiri di rumah
sakit bagi
pelayanan farmasi
klinik?
Ada Ada Ada, tetrapi tidak
dijalankan
dengan baik dan
tidak dilakukan
evaluasi.
SOP di RS X
sudah cukup
banyak karena
ada 96 SOP,
namun SOP ini
hanya dibuat
untuk tuntutan
akreditasi dan
kurang dijalnkan
serta
dimonitoring
pelaksanaannya
Apa yang menjadi
dasar pembuatan
kebijakan tersebut?
Buku pedoman
pelayanan farmasi
rumah sakit dan
buku perencanaan
kebijakan farmasi
rumah sakit
- Kebijakan
dibuat
berdasarkan
pada peraturan
perundang
undangan serta
peraturan
lainnya yang
158
Pertanyaan INF 1 RN 1 Observasi Telaah dokumen Kesimpulan
mendukung.
Bagaimana
kesesuaian SOP
dan pelaksanaan
teknis menurut
Anda selama ini?
Banyak
pelanggaran
Masih banyak
pelanggaran.
Banyak petugas
yang lalai
menjalankan
SOP seperti
melakukan
pencampuran
obat suntik tidak
pada ruang steril
Apakah yang
paling menjadi
kendala dalam
pelaksanaan SOP
pelayanan farmasi
klinik?
Kepatuhan petugas
yang seringkali
lupa SOP sehingga
pelayanan tak
sesuai.
Kebiasaan petugas
untuk patuh masih
harus diterapkan
Petugas tidak
patuh SOP,
misalnya
pencampuran
obat suntik masih
ada yang di
ruangan biasa
Petugas perlu
dikontrol terus
agar patuh pada
SOP. Misalnya
dengan
mengadakan
evaluasi
mendadak dan
evaluasi rutin
petugas selama
satu bulan sekali
159
Pertanyaan INF 1 AP RN2 RJ2 Observasi Kesimpulan
PROSES
Pengkajian dan Pelayanan Resep
Bagaimana alur
pengecekan
kelengkapan
administrasi
resep?
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Resep
memang
dicek
petugas,
namun
terkadang
petugas
untuk
menerima
obat sampai
dengan serah
obat adalah
orang yang
sama
sehingga
hanya dicek
satu orang.
Ditemukan
juga kotak
ceklis
pemeriksaan
resep yang
harusnya di
Resep yang
seharusnya
dicek oleh
petugas
yang
berbeda-
beda
terkadang
hanya oleh
satu petugas
karena
sedang
sibuk atau
banyak
resep masuk
sehingga
butuh waktu
yang cepat.
Perlu ada
pembagian
tugas yang
jelas agar
terjadi
160
Pertanyaan INF 1 AP RN2 RJ2 Observasi Kesimpulan
paraf setiap
petugas
sering kali
kosong.Tidak
ada
pembagian
tugas TTK
yang jelas
karena
semuanya
saling
membantu.
ketertiban
administrasi.
Apa pernah ada
ketidaklengkapan
dalam resep?
Resep jarang
yang lengkap
Pernah Sering Sering Tidak ada
resep yang
benar-benar
lengkap
Tidak ada
resep yang
ditulis
lengkap
sesuai
dengan
PMK 58
Tahun 2014
Berapa
frekuensinya
dalam satu
bulan/satu tahun?
Sering Selalu ada Setiap hari ada Setiap hari ada Setiap resep Tidak ada
resep yang
ditulis
lengkap
sesuai
161
Pertanyaan INF 1 AP RN2 RJ2 Observasi Kesimpulan
dengan
PMK 58
Tahun 2014
Biasanya apa
yang tidak
lengkap dari
resep yang
ditemukan?
Beragam
mulai dari
tandatangan
dokter, umur,
breat badan,
sampai alamat
Persyaratan
adimnistrasinya
Persyaratan
adminitrasi,
kalau klinis
mungkin dosis
Persyaratan
adimnistrasinya
Paling
banyak
ditemukan
tidak
tercantum
berat badan
dan tinggi
badan serta
ceklis reaksi
alergi
Banyak
ditemukan
tidak
tercantum
berat badan
dan tinggi
badan serta
ceklis reaksi
alergi
Bagaimana cara
mengatasi jika
ada resep yang
tidak lengkap
atau tidak jelas
Konfirmasi
langsung ke
dokter
Bertanya ke
teman, senior,
jika masih tidak
jelas ke dokter
langsung
Bertanya ke
teman, senior,
jika masih tidak
jelas ke dokter
langsung
Bertanya ke
teman, senior,
jika masih tidak
jelas ke dokter
langsung
Tidak
langsung ke
dokter
dikonfirmasi
tapi bertanya
pada
apoteker
senior
terlebih
dahulu baru
ke dokter
Konfirmasi
seharusnya
langsung ke
dokter,
namun, jika
masih bisa
dijawab oleh
apoteker
senior maka
tak
dilakukan
konfirmasi
162
Pertanyaan INF 1 AP RN2 RJ2 Observasi Kesimpulan
kejelasan
lagi ke
dokter.
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan
Rekonsiliasi Obat
Bagaimana
teknik verifikasi
informasi obat
yang digunakan?
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Petugas farmasi
selalu mengecek
informasi atau
terapi obat
pasien dan
mencocokannya
dengan catatan
perawat
Verifikasi telah
dilakukan
komprehensif
mulai dari
membandingkan
dengan rekam
medis, catatan
perawat, hingga
petugas farmasi
Bagaimana
teknik komparasi
yang digunakan
petugas untuk
membandingkan
data obat pasien?
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Petugas UDD
membandingkan
catatn
kefarmasian
dengan catatn
perawat
sebelum
melakukan
Petugas sudah
menjalankan
metode
pencocokan
terapi dengan
catatn peawat.
Namun,
semuanya masih
163
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan
Rekonsiliasi Obat
penyerahan obat manual dan
belum dilakukan
dnegan sistem
informasi yang
terintegrasi
Bagaimana
proses
konfirmasi antar
apoteker dan
dokter bila ada
ketidakjelasan
resep?
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Petugas farmasi
atau apoteker
kebanyakn
menanyakan
dahulu ke
perawat di
ruangan untuk
kemudian
konfimasi ke
dokter. Kecuali
di rawat jalan,
sering langsung
menelepon
dokter
Apoteker
berkoordinasi
dengan dokter
dan perawat
melalui telepon
sudah cukup baik,
namun
seharusnya
konfirmasi
langsung
dilakukan ke
dokter tanpa
pihak ketiga
Bagaimana
proses pemastian
terapi yang
diberikan kepada
pasien ketika
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Proses
pemastian terapi
dengan
mencocokan
data sudah
Proses pemastian
sudah bagus dan
dilakukan
komprehentif
mulai dari rekam
164
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan
Rekonsiliasi Obat
terjadi
pemindahan
pasien antar-
ruangan atau
antar-rumah
sakit?
dilakukan
komprehensif
oleh apoteker
dan perawat,
kerjasam
keduanya juga
terlihat baik.
Setiap hari ada
apoteker ke
ruangan untuk
mencocokan
dan memeriksa
catatan dengan
perawat.
medis, catatan
perawat, dan
petugas farmasi
serta dokter
penanggungjawab
Bagaimana
petugas
memutuskan
tindakan ketika
terjadi
ketidaksesuaian
resep atau obat?
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Sesuai dengan
observasi
Melakuakn
konfirmasi
dengan dokter
untuk
melakukan
tidakan terapi
yang seharusnya
Apoteker
bekerjasama
dengan dokter
dan perawat
untuk melakukan
tindakan
selanjutnya pada
pasien
165
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan
Rekonsiliasi Obat
Bagaimana
petugas
menuliskan
laporan atau
dokumentasi atas
ketidaksesuaian
yang terjadi?
Ketika kejadian
langsung
dilaporkan
Ketika kejadian
langsung
dilaporkan
Ketika kejadian
langsung
dilaporkan
Ketika
kejadian
langsung
dilaporkan
Ketika kejadian
langsung
dilaporkan
Ditulis dalam
riwayat pasien
dan laporan
bulanan ke
manajer farmasi,
namun setiap
kejadian langsung
ditulisssaat terjadi
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Bagaimana cara
rumah sakit
menjawab
pertanyaan pasien
terkait obat atau
terapi yang
digunakan?
Langsung oleh
apoteker
Langsung oleh
apoteker
Langsung oleh
apoteker
Langsung oleh
apoteker
Langsung oleh
apoteker
Pertanyaan
pasien
langsung
dijawab dan
direspons
pihak RS X
melalui
apoteker dan
TTK.
166
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Adakah terbitan
mengenai
infromasi obat
yang dibuat
rumah sakit,
seperti buletin,
leaflet, poster,
atau newsletter?
Ada Ada Ada Ada Leaflet tak
selamanya
tersedia
terutama di
apotik rawat
jalan eksekutif
yang terhitung
apotik baru
Ada leaflet
namun tak
selau tersedia
di apotik,
seharusnya
informasi ini
selalu ada
Bagaimana cara
menyediakan
informasi bagi
tim farmasi dan
terapi terkait
penyusunan
formalium?
Diberikan
formalium
Diberikan
formalium
Diberikan
formalium
Diberikan
formalium
Formalium
sudah disusun
dengan baik
dan penuh
warna
sehingga
mudah dilihat
dan dipahami
petugas
RS menyusun
formalium
yang
diperbaharui
setiap dua
tahun untuk
seluruh
petugas
farmasinya.
Apakah ada
kegiatan
penyuluhan bagi
pasien baik rawat
inap maupun
rawat jalan
mengenai obat
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada PIO di rawat
inap sudah
tertib
dilakukan
apoteker.
Apoteker
menulis lembar
PO dilakukan
rutin oleh
apoteker pada
pasien rawat
inap yang akan
pulang
danrawat jalan
167
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
atau terapi yang
ada di rumah
sakit?
PIO yang
isinya obat
yang
dibutuhkan
pasien, dosis,
cara pakai,
sampai dengan
efek
sampungnya.
Di rawat jalan
PIO diberikan
pada pasien
secara lisan
saja saat
penyerahan
obat.
saat
mengambil
obat.
Apakah ada
pendidikan
berkelanjutan
bagi tenaga
farmasi di rumah
sakit?
Belum ada kalau
dari RS
Belum ada kalau
dari RS
Belum ada kalau
dari RS
Belum ada
kalau dari RS
Belum ada
kalau dari RS
168
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Apakah ada
penelitian yang
dilakukan rumah
sakit terkait
farmasi klinik
atau obat?
Belum pernah Belum pernah Belum ada Belum pernah - Belum pernah
dilakukan
penelitian oleh
mahasiswa
Apakah kendala
yang dirasakan
oleh pihak
farmasi terkait
PIO?
Antrean panjang Pasien sulit diajak
bicara
Pasien sulit
diajak bicara
Antrean
panjang
PIO di rawat
inap yang
dilakukan saat
pasien akan
pulang selalu
dilakukan oleh
apoteker,
kebanyakan
pasien hanya
diam dan
mendengarkan.
Sedangkan di
rawat jalan
PIO dilakukan
agak terburu-
buru karena
banyak pasien
yang
PIO di RS X
baru pada
pasien pulang
dan
penyerahan
obat untuk
pasien rawat
jalan, belum
ada
penyuluhan
khusus atau
PIO untk
tenaga
kesehatan. PIO
yang dilakukan
pun sulit
diukur
apoteker ketika
169
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
mengantre
sehingga hanya
seputar dosis
dan cara
penggunaan,
pasien pun
sulit bertanya
bila apotik
sedang ramai.
pasien hanya
diam saja. Di
rawat inap
pasien yang
dulit diajak
bicara juga
akan sulit
diberi
penjelasan
sedangkan di
rawat jalan
penumpukan
pasien
menyebabkan
PIO tidak
berjalan baik
dan
semestinya.
Konseling
Apakah ada
konseling terkait
terapi obat yang
diberikan rumah
sakit kepada
Belum ada Belum ada Belum ada Belum ada RS X tidak
memiliki ruang
konseling dan
petugas khusus
RS X belum
melakukan
konseling.
Seharusnya
konseling
170
Pertanyaan INF 1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
pasien? konseling dilakukan
terutama untuk
pasien dengan
pengobatan
janga panjang
serta obat-obat
khusus
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Bagaimana cara
pengkajian
pemilihan obat,
dosis, cara
pemberian obat,
respons terapi,
Reaksi Obat yang
Tidak Dikehendaki
(ROTD) ?
Melakukan cek
reaksi obat
kepada resep
yang memiliki
lima jenis obat
atau lebih
sekaligus
Melakukan
cek reaksi obat
kepada resep
yang memiliki
lima jenis obat
atau lebih
sekaligus
Melakukan cek
reaksi obat
kepada resep
yang memiliki
lima jenis obat
atau lebih
sekaligus
Melakukan
cek reaksi
obat kepada
resep yang
memiliki lima
jenis obat atau
lebih
sekaligus
Apoteker
melakukan cek
terhadap
kemungkinan
reaksi obat pada
pasien yang
menggunakan
lima jenis obat
atau lebih
sekaligus, di
situ apoteker
akan mengecek
RS X baru
melakukan
pengkajian dan
pengcekan pada
pasien dengan
terapi obat lima
jenis sekaligus
atau lebih. Hal ini
karena SDM
apoteker yang
kurang sehingga
tak cukup waktu
171
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
dosisi, cara
penggunaan,
dan kandungan
obatnya apakah
bisa
menimbulkan
reaksi atau tidak
untuk mengecek
dan memantau
semuanya
Bagaimana cara
pemberian
rekomendasi
penyelesaian
masalah terkait obat
?
Koordinasi
dengan dokter
untuk
melakukan
tidakan terapi
obat dihentikan
sementara,
dihentikan
terapi, atau
diganti terapi
Koordinasi
dengan dokter
untuk
melakukan
tidakan terapi
obat
dihentikan
sementara,
dihentikan
terapi, atau
diganti terapi
Koordinasi
dengan dokter
untuk
melakukan
tidakan terapi
obat dihentikan
sementara,
dihentikan
terapi, atau
diganti terapi
Koordinasi
dengan
dokter untuk
melakukan
tidakan terapi
obat
dihentikan
sementara,
dihentikan
terapi, atau
diganti terapi
Setelah apoteker
RS X
melakukan cek
kebenaran
adanya reaksi
obat setelah itu
berbicara pada
dokter untuk
melakukan
tidakan terapi
obat dihentikan
sementara,
dihentikan
terapi, atau
diganti terapi
Pemebrian
rekomendasi
terkait masalah
obat dilakukan
oleh apoteker
yang bekerjasama
langsung dengan
dokter, caranya
dicek kebenaran
adanya reaksi
obat setelah itu
berbicara pada
dokter untuk
melakukan
tidakan terapi
obat dihentikan
sementara,
dihentikan terapi,
172
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
atau diganti terapi
Bagaimana
pemantauan
efektivitas dan efek
samping terapi obat
yang dilakukan RS?
Belum ada
pematauan
secara khusus
untuk jenis obat
tertentu apa
efektif
digunakan
pasien atau
tidak.
Pencatatan
efek samping
dan efektivitas
obat dilakukan
ketika
memang ada
kejadian efek
samping obat
Mengecek resep
oleh apoteker
Pemantauan
dilakukan
apoteker jika
ada pasien
yang diduga
terkena efek
samping obat
Apoteker hanya
melakukan cek
melalui resep
dan catatannya
dengan catatan
perawat, belum
terlihat adanya
pemantauan
efektivitas
rerapi yang
digunakan pada
setiap pasien
Pemantauan
efektivitas belum
dilakukan
sepenuhnya oleh
RS X, apoteker
baru mengecek
resep dan catatan
terapi obat, tapi
belum terlihat
bagaimana
pengukuran
efektivtas terapi
dilakukan
apoteker
Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Bagaimana cara
rumah sakit
medeteksi adanya
kejadian reaksi obat
yang tidak
dikehendaki?
Cek terhadap
resep yang
memiliki lima
jenis obat
sekaligus
Cek terhadap
resep yang
memiliki lima
jenis obat
sekaligus
Cek terhadap
resep yang
memiliki lima
jenis obat
sekaligus
Cek terhadap
resep yang
memiliki lima
jenis obat
sekaligus
Baru dengan
melakukan cek
terhadap resep
yang memiliki
lima jenis obat
sekaligus
RS X melakukan
deteksi reaksi obat
baru dengan
melakukan cek
terhadap resep
yang memiliki
lima jenis obat
sekaligus
173
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Bagaimana cara
mengidentifikasi
obat-obatan dan
pasien yang
memiliki risiko
tinggi mengalami
efek samping obat?
Melihat di
catatan rekam
medis dan
catatan terapi
Melihat di
catatan rekam
medis dan
catatan terapi
Melihat di
catatan rekam
medis dan
catatan terapi
Melihat di
catatan rekam
medis dan
catatan terapi
Apoteker
melihat catatan
terapi pasien
dan
menganalisisnya
dengan resep
yang diberikan
Di RS X apoteker
melihat catatan
terapi pasien dan
menganalisisnya
dengan resep yang
diberikan
Bagaimana teknik
evaluasi laporan
efek samping obat
yang digunakan?
Dilakukan
laporan jika
terjadi efek
samping, jika
berulang
dilakukan
kajian terhadap
obatnya
Laporan saja
jika ada
kejadian efek
samping
Laporan saja
jika ada
kejadian efek
samping
Ketika ada
laporan efek
samping
langsung
ditindaklanjuti
- Laporan terkait
efek samping obat
baru dilakukan
saat kejadian
karena petugas
farmasi
menganggap
kejadian itu jarang
terjadi
Bagaimana cara
bagian farmasi dan
terapi dalam
mendiskusikan dan
mendokumentasikan
efek samping obat?
Hanya laporan
saat kejadian
pada manajer
direkap sebulan
sekali
Hanya laporan
saat kejadian
pada manajer
direkap
sebulan sekali
Hanya laporan
saat kejadian
pada manajer
direkap sebulan
sekali
Hanya
laporan saat
kejadian pada
manajer
direkap
sebulan sekali
- Tidak ada diskusi
hanya berupa
laporan yang
dikumpulkan dan
nanti diolah dan
direkap per bulan
untuk dilaporkan
kembali ke
BPOM dan Suku
174
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RJ 1 Observasi Kesimpulan
Dinas Kesehatan
Bagaimana laporan
yang dibuat terkait
efek samping obat
yang ditemukan?
Dibuat sesuai
dengan standar
dari BPOM
sebulan sekali
Dari ruangan
dicatat dan
dilaporkan
setiap ada
kejadian ke
manajer
Dari ruangan
dicatat dan
dilaporkan
setiap ada
kejadian ke
manajer
Dari ruangan
dicatat dan
dilaporkan
setiap ada
kejadian ke
manajer
- Dari ruangan
dicatat dan
dilaporkan setiap
ada kejadian ke
manajer lalu baru
dibuat lapoan
untuk BPOM
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan
Dispensing Sediaan Steril
Bagaimana proses
pencampuran obat
steril yang sesuai
dengan kebutuhan
pasien?
Hanya
pencampuran
obat suntik.
Sesuai dokumen
Hanya
pencampuran
obat suntik.
Sesuai dokumen
Hanya
pencampuran
obat suntik.
Sesuai dokumen
Hanya
pencampuran
obat suntik.
Sesuai
dokumen
Belum banyak
terlihat kegiatan
di ruang
dispensing
karena tidak ada
petugas yag
berjaga, petugas
farmasi baru ke
ruangan
dispensing
ketika akan
mencampur obat
Pencampuran
seharusnya
dilakukanpetugas
yang akan
melakukan
pencampuran
harus ke ruangan
khusus dispensing
sediaan streril
menggunakan
APD dan baru
melakukan proses
175
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan
suntik, selain itu
masih ditemukan
juga petugas
yang melakukan
proses
dispensing di
outlet
pencampuran di
dalam ruangan.
Pencampuran
disesuaikan
dengan
permintaan dari
ruangan yang
sudah mengukur
kebutuhan pasien
setiap harinya.
Namun, masih
ditemukan
petugas yang
melakukan
pencampuran di
outlet karena
alasan jarak ruang
dispensing yang
jauh
Bagaimana cara
petugas mengemas
obat?
Dilakukan
secara steril
Dilakukan
secara steril
Dilakukan
secara steril
Dilakukan
secara steril
Semua petugas
melakukan swab
steril saat
mengemas baik
petugas di ruang
dispensing
Semua petugas
sudah melakukan
swab steril saat
mengemas baik
petugas di ruang
dispensing
176
Pertanyaan INF1 AP RN 1 RN 2 Observasi Kesimpulan
maupun di outlet maupun di outlet
Bagaimana cara
petugas
membuang limbah
obat?
Ada tempat
sampah khusus
untuk limbah
medis
Ada tempat
sampah khusus
untuk limbah
medis
Ada tempat
sampah khusus
untuk limbah
medis
Ada tempat
sampah
khusus untuk
limbah
medis
Ada tempat
sampah khusus
untuk limbah
medis
Sudah ada tempat
sampah khusus
untuk limbah
medis
Apa saja Alat
Pelindung Diri
(APD) yang
digunakan petugas
dispensing?
Sarung tangan,
masker, dan baju
steril
Sarung tangan,
masker, dan
baju steril
Sarung tangan,
masker, dan
baju steril
Sarung
tangan,
masker, dan
baju steril
Sarung tangan,
masker, dan baju
steril
Sarung tangan,
masker, dan baju
steril
Apa kendala atau
masalah yang
mungkin
dihadapai dalam
dispensing sediaan
steril selama ini?
Kelalaian
petugas yang tak
menjalankan
dispensing
sediaan steril
sesuai SOP
Kelalaian
petugas yang
tak menjalankan
dispensing
sediaan steril
sesuai SOP
Tidak ada
petugas khusus
yang standby di
ruangan
sehingga
petugas mesti
bolak-balik
Jarak
ruangan
yang jauh
membuat
petugas
kerepotan
- Petugas menjadi
lalai dan abai
dengan SOP
karena tidak ada
petugas khusus
sehingga petugas
yang ada merasa
kerepotan
177
Lampiran III
INFORM CONCERN
Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayanan Farmasi Klinik
di Rumah Sakit X Tahun 2016
Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya Erika Hidayanti, mahasiswa semester 9 Peminatan Manajemen
Pelayanan Kesehatan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan
penelitian sebagai tugas akhir yang berjudul Gambaran Pelaksanaan Standar
Pelayanan Farmasi Klinikdi Rumah Sakit X Tahun 2017.
Dengan ini peneliti memohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini untuk menjadi informan yang memberikan
keterangan secara luas, bebas, mendalam, benar dan jujur. Hasil informasi dan
keterangan yang diberikan nantinya akan dijadikan bahan masukan untuk
pelayanan standar farmasi klinik dan sistem pencegahan kejadian medication
error di rumah sakit. Peneliti juga memohon untuk merekam pembicaraan selama
proses wawancara berlangsung dan peneliti akan menjamin kerahasiaan isi
informasi yang diberikan dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian.
Terima kasih atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu/Saudara/I yang telah
bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.
Wassalamu’alaikum Wr Wb
Peneliti,
Erika Hidayanti
178
IDENTITAS INFORMAN
Nama Informan :
No. Telepon :
Jenis Kelamin :
Umur :
Pendidikan :
Jabatan/Pekerjaan :
Lama Kerja :
Hari/Tanggal Wawancara :
Dengan ini saya bersedia untuk menjadi informan dalam penelitian yang berjudul
Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit
Islam X Tahun 2017
Jakarta, __________2016
(……………………………….)
179
Tata Cara Wawancara
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Menanyakan kesediaan untuk menjadi informan dengan meminta tanda tangan
pada persetujuan menjadi informan
3. Menanyakan nama informan
4. Meminta izin untuk merekam pembicaraan selama wawancara sedang
berlangsung
5. Memberikan pertanyaan dasar seperti umur, jabatan/pekerjaan, pendidikan
terakhir dan lama kerja
6. Mengajukan pertanyaan utama sesuai dengan pedoman wawancara
7. Mengucapkan terima kasih pada informan yang sudah berpartisipasi
8. Pemberian cindramata
Pedoman Wawancara
1. Sumber Daya Manusia (SDM)
Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Petugas Bagian Pengelola
SDM Farmasi
1. Berapa jumlah tenaga kerja yang ada pada pelayanan farmasi?
2. Bagaimana proses/alur penempatan pegawai pada bagian farmasi?
3. Bagaimana pembagian tugasnya?
4. Standar apa yang digunakan rumah sakit untuk menerima pegawai
pada bagian farmasi?
5. Bagaimana usaha yang dilakukan dalam mengembangkan SDM
yang ada pada bagian farmasi?
6. Apakah ada pendidikan dan pelatihan lanjutan bagi para pegawai?
2. Sarana dan Prasarana
180
Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Petugas Pengelola Sarana
Prasarana Farmasi
1. Apa saja sarana dan prasarana pelayanan farmasi yang dimiliki
rumah sakit?
2. Bagaimana cara perawatan saran dan prasarana pada pelayanan
farmasi?
3. Bagaimana kesesuaian sarana dan prasarana yang ada dnegan
kebutuhan rumah sakit?
4. Bagaimana cara peremajaan sarana dan prasarana yang ada?
5. Bagaimana penggunaan teknologi informasi dan komunikasi pada
pelayanan farmasi?
3. Kebijakan/SOP
Informan: Kepala Bagian Farmasi
1. Adakah kebijakan/SOP tersendiri di rumah sakit bagi
pelayanan farmasi klinik?
2. Apa yang menjadi dasar pembuatan kebijakan tersebut?
3. Bagaimana kesesuaian SOP dan pelaksanaan teknis menurut
Anda selama ini?
4. Apakah yang paling menjadi kendala dalam pelaksanaan SOP
pelayanan farmasi klinik?
4. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Informan: Kepala Bagian Farmasi
1. Bagaimana alur pengecekan kelengkapan administrasi resep?
2. Apa pernah ada ketidaklengkapan dalam resep?
3. Berapa frekuensinya dalam satu bulan/satu tahun?
4. Biasanya apa yang tidak lengkap dari resep yang ditemukan?
5. Bagaimana cara mengatasi jika ada resep yang tidak lengkap
atau tidak jelas?
Informan: Petugas farmasi penerima resep dan Petugas peracik obat
181
1. Bagaimana cara petugas memastikan resep yang diterima sudah
lengkap dan jelas?
2. Apakah pernah menerima resep yang tidak lengkap/tidak jelas?
Berepa frekuensinya?
3. Bagaimana cara mengatasi resep yang tidak lengkap atau tidak
jelas?
4. Bagaimana cara petugas menjaga ketepatan obat hingga stabilitas
obat?
5. Rekosiliasi Obat
Informan: Kepala Bagian Farmasi
a. Bagaimana teknik verifikasi informasi obat yang digunakan?
b. Bagaimana teknik komparasi yang digunakan petugas untuk
membandingkan data obat pasien?
c. Bagaimana proses konfirmasi antar apoteker dan dokter bila ada
ketidakjelasan resep?
d. Bagaimana proses pemastian terapi yang diberikan kepada pasien
ketika terjadi pemindahan pasien antar-ruangan atau antar-rumah
sakit?
e. Bagaimana cara komunikasi petugas dengan pasien?
Informan: Apoteker petugas distribusi obat
1. Bagaimana komunikasi yang dilakukan petugas dengan pasien saat
memberikan obat?
2. Bagaimana cara petugas mengkonfirmasi ketidakjelasan atau
ketidaksesuaian dokumen resep atau obat?
3. Bagaimana cara petugas menentukan adanya perbedaan
dokumentasi rsep atau obat yang berbeda itu disengaja atau tidak
disengaja?
182
4. Bagaimana petugas memutuskan tindakan ketika terjadi
ketidaksesuaian resep atau obat?
5. Bagaimana petugas menuliskan laporan atau dokumentasi atas
ketidaksesuaian yang terjadi?
6. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Apoteker yang bertugas
dalam PIO
1. Bagaimana cara rumah sakit menjawab pertanyaan pasien terkait
obat atau terapi yang digunakan?
2. Adakah terbitan mengenai infromasi obat yang dibuat rumah sakit,
seperti buletin, leaflet, poster, atau newsletter?
3. Bagaimana cara menyediakan informasi bagi tim farmasi dan
terapi terkait penyusunan formalium?
4. Apakah ada kegiatan penyuluhan bagi pasien baik rawat inap
maupun rawat jalan mengenai obat atau terapi yang ada di rumah
sakit?
5. Apakah ada pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi di rumah
sakit?
6. Apakah ada penelitian yang dilakukan rumah sakit terkait farmasi
klinik atau obat?
7. Apakah kendala yang dirasakan oleh pihak farmasi terkait PIO?
7. Konseling
Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Konselor
1. Apakah ada konseling terkait terapi obat yang diberikan rumah
sakit kepada pasien?
2. Siapa yang biasanya melakukan konseling?
3. Teknik apa yang digunakan dalam konseling?
183
4. Bagaimana komunikasi antar pasien dan apoteker yang biasanya
terjadi?
5. Bagaimana cara petugas mengidentifikasi pemahaman pasien
setelah konseling?
6. Bagaimana cara petugas mengeksplorasi masalah obat yang
dirasakan oleh pasien?
7. Bagaimana cara petugas memberikan penjelasan terhadap masalah
yang biasanya terjadi?
8. Apa saja kendala yang ada dalam koseling terapi obat di rumah
sakit?
8. Visite
Informan: Kepala Bagian Farmasi, Kepala Seksi Pelayanan
Farmasi, APoteker yang bertugas sebagai visitor
1. Apakah ada visite yang dilakukan oleh apoteker di rumah sakit?
2. Bagaimana teknik visite yang dilakukan?
3. Bagaimana pembagian jadwal dan petugasnya?
4. Apa saja yang dilakukan saat visite oleh petugas?
9. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Apoteker
1. Bagimana pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat,
respons terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) di
RS X?
2. Bagaimana cara pemberian rekomendasi penyelesaian masalah
terkait obat di RS X?
3. Bagaimana pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat
yang dilakukan RS?
10. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
184
Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Kepala Sesksi Pelayanan
Farmasi
1. Bagaimana cara rumah sakit medeteksi adanya kejadian reaksi obat
yang tidak dikehendaki?
2. Bagaimana cara mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang
memiliki risiko tinggi mengalami efek samping obat?
3. Bagaimana evaluasi laporan efek samping obat yang digunakan?
4. Bagaimana cara bagian farmasi dan terapi dalam mendiskusikan
dan mendokumentasikan efek samping obat?
5. Bagaimana laporan yang dibuat terkait efek samping obat yang
ditemukan?
Informan: Apoteke yang bertugas dalam MESO
1. Bagaimana cara petugas mengidentifikasi reaksi obat yang tak
dikendanki sedini mungkin?
2. Bagaimana cara petugas mengidentifikasi obat-obatan dan pasien
yang memiliki risiko tinggi mengalami efek samping obat?
3. Bagaimana cara petugas melaporkan kejadian efek smaping obat
yang ditemukan?
11. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Informan: Kepala Bagian Farmasi dan Kepala Seksi Pelayanan
Farmasi
1. Bagaimana teknik EPO yang digunakan?
2. Bagaimana gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat?
3. Bagaimana perbandingan pola penggunaan obat pada periode ini?
4. Bagaimana masukan atau saran yang terjadi selama evaluasi
dilakukan?
5. Bagaimana penilaian pengaruh intevensi atas pola penggunaan
obat?
185
12. Dispensing sediaan steril
Informan: Kepala Urusan Sterilisasi dan Apoteker petugas
dispensing
1. Bagaimana cara petugas memastikan jaminan dosis yang sesuai
untuk pasien?
2. Bagaimana proses pencampran obat steril yang sesuai dengan
kebutuhan pasien?
3. Bagaimana cara petugas melakukan penyiapan nutrisi parental?
4. Bagaimana petugas melakuakn perhitungan dosis yang akurat?
5. Bagaimana cara petugas melakukann pelarutan serta pencampuran
untuk obat kanker
6. Bagaimana cara petugas mengemas obat?
7. Bagaimana cara petugas membuang limbah obat?
8. Apa saja Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan petugas
dispensing?
9. Apa kendala atau masalah yang mungkin dihadapai dalam
dispensing sediaan steril selama ini?
186
Lampiran IV
Pedoman Observasi
1. Sarana dan Prasarana
No Sarana dan Prasarana Ada Tidak Ada Keterangan
1 Ruangan
- Ruang
kantor/administrasi
- Ruang penyimpanana
sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan
medis habis pakai
- Ruang distribusi sediaan
farmasi
- Ruang
konsultasi/konseling
obat
- Ruang PIO
- Ruang produksi
- Ruang Aseptic
Dispensing
- Laboratorium Farmasi
- Ruang tunggu pasien
- Ruang penyimpaan
dokumen
- Tempat penyimpanan
obat di ruang perawatan
- Fasilitas toilet, kamar
187
mandi untuk staf
2 Peralatan
- Peralatan penyimpanan
- Peralatan peracikan
- Peralatan pembuatan
obat
- Peralatan kantor
- Lemari penyimpanan
khusus narkotika
- Lemari pendingin
- Pendingin ruangan
untuk ruang termolabil
- Penerangan, saran air,
ventilasi, dan sistem
pembuangan limbah
- Alarm
- Peralatan sistem
komputerisasi
- Peralatan produksi
3 Peralatan Aseptic
Dispensing
- Biological safety
cabinet/vertical laminar
air flow cabinet
- Horizontal laminar air
flow cabinet
- Pass-box dengan pintu
berganda
- Barometer
- Termometer
188
- Wireless intercom
4 Peralatan Pendistribusian
5 Peralatan Konsultasi
6 Peralatan Ruang Informasi
Obat
7 Peralatan Ruang Arsip
1.1 Ruang Produksi
No Syarat Kesesuaian
Ya Tidak
1 Lokasi jauh dari pencemaran lingkungan
2 Terdapat saran perlindungan dari cuaca, banjir, rembesan air,
binatang dan serangga
3 Rancang bangun sesuai dengan alur kerja dan alur orang
4 Pengendalian lingkungan terhadap udara, permukaan langit-
langut, barang masuk, dan petugas yang di dalam
5 Luas ruangan minimal 2 kali daerah kerja dengan jarak tiap
peralatan 2,5 m
6 Di luar ruang produksi ada fasilitas untuk lalu lintas petugas
dan barang
7 Ruang terpisah antar obat jadi dan bahan baku
8 Ruang terpisah untuk setiap proses produksi
9 Ruang terpisah untuk produksi obat luar dan obat dalam
10 Permukaan lantai, dinding, langit-langut, dan pintu harus
kedap air, tidak terdapat sambungan, tidak menggunakan
media pertumbuhan mikroba, mudah dibersihkan dan tahan
terhadap pembersih/desinfektan
11 Daerah pengemasan dan oengolahan hindari bahan dari kayu
kecuali dilapisi cat epoxy/enamel
12 Ruang steril dan non steril harus diperhatikan ventilasi
189
ruangan, suhu, kelembaban, intensitas cahaya
1.2 Ruang Aseptic Dispensing
No Syarat Kesesuaian
Ya Tidak
1 Ruang bersih kelas 10.000
2 Ruang penyimpanan kelas 100.000
3 Ruang antara kelas 100.000
4 Ruang ganti pakaian kelas 100.000
5 Lantai datar dan halus tanpa sambungan, keras, serta resiste
terhadap zat kimia
6 Dinding rata dan halus, keras, serta resiste terhadap zat kimia
7 Sudt-sudut permukaan langit-langit dengan dinding dibuat
melengkung dengan radius 20 – 30 mm
8 Colokan listrik datar dengan permukaan dan kedap air serta
dapat dibersihkan
9 Penerangan, saluran, dan kabel dibuat di atas plafon
10 Rangka pintu terbuat dari stainles stell
11 Aliran udara menuju ruang bersih, ruang peniapa, ruang ganti
pakaian, dan ruang antara harus melalui HEPA filter dan
memenuhi syarat kelas 10.000
12 Tekanan udara ruang bersih adalah 15 pascal lebih rendah
dari ruang lainnnya
13 Suhu udara di ruangan bersih dan steril dipelihara pada suhu
16-25 C
14 Kelembaban relatif 45-55%
190
1.3 Laboratorium
No Syarat Kesesuaian
Ya Tidak
1 Lokasi terpisah dari ruang produksi
2 Konstruksi bangunan tahan asam, alkali, zat kimia, dan
pereaksi lain
3 Tata ruang sesuai alur kerja
4 Perlengkapan instalasi air dan listrik
5 Terdapat ruang produksi non steril
6 Terdapat ruang penanganan sediaan sitostatik
7 Terdapat ruang pencampuran/ pelarutan/pengemasan sediaan
yang tidak stabil
8 Terdapat ruang penyimpanan nutrisi parenteral
Pengkajian dan Pelayanan Resep
Persyaratan administrasi Ada Tidak ada Keterangan
- Nama pasien
- Umur pasien
- Jenis kelamin
- Berat badan
- Tinggi badan
- Nama dokter
- Nomor izin
- Alamat
- Paraf dokter
- Tanggal resep
- Ruang/unit asal
resep
191
Persyaratan Farmasetik
- Nama obat
- Bentuk obat
- Kekuatan sediaan
- Dosis
- Jumlah obat
- Stabilitas
- Aturan dan cara
penggunaan
Persyaratan klinis
- Ketepatan indikasi,
dosis, dan waktu
penggunaan obat
- Duplikasi
pengobatan
- ROTD
- Kontraindikasi
- Interaksi obat
192
Lampiran V
Resep WHO