Upload
adi-nugroho
View
57
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Permasalahan Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia
(dalam Perspektif Pelaku Bisnis)
Akbar Faisal (2013) - SID. 12/341221/PEK/17310
Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada
I . Pendahuluan
Indonesia sebagai negara terbesar keempat di dunia, memiliki peluang yang besar
dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Bedasarkan sensus penduduk di
tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia adalah 237,6
juta jiwa. Presentase laju pertumbuhan penduduk dari tahun 1990 – 2000 adalah
1,49 % dan diprediksikan setiap tahunnya penduduk Indonesia bertambah 354.024
jiwa. Banyaknya jumlah penduduk Indonesia, menjadi peluang bagi para pelaku
bisnis, khususnya industri, untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja di
perusahaan mereka.
Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi akan menimbulkan berbagai
masalah dan hambatan bagi upaya pembangunan nasional. Pertumbuhan
penduduk yang tinggi tersebut akan menyebabkan cepatnya laju pertambahan
jumlah angkatan kerja, sedangkan kemampuan negara sedang berkembang dalam
menciptakan kesempatan kerja baru sangatlah terbatas (Lincolin Arsyad, 2010).
Bedasarkan Berita Resmi Statistik BPS November 2012, jumlah penduduk
yang bekerja di Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 110,8 juta orang,
bertambah 1,1 juta orang dibanding keadaan Agustus 2011. Disisi lain, Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 6,14
persen, mengalami penurunan dibanding TPT Agustus 2011 sebesar 6,56 persen.
Secara angka, jumlah penyerapan tenaga kerja di Indonesia cukup baik
karena jumlah pengangguran menurun setiap tahunnya. Namun, muncul
permasalahan disini akan adanya ketidaksesuaian kebutuhan pencari kerja dengan
pemberi kerja. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar,
mengungkapkan ketidaksesuaian kompetensi yang dimiliki pencari kerja dengan
yang dibutuhkan pemberi kerja menyebabkan sekitar 10 persen peluang kerja di
bursa kerja tidak terisi (Plasa MSN, 2012). Untuk perusahaan besar level nasional
dan multinasional, pada umumnya para pemberi kerja lebih memilih merekrut
tenaga kerja asing dari luar negeri daripada mengkaryakan pekerja dari dalam
negeri.
Bedasarkan fenomena tersebut, muncul pemikiran mengenai pertimbangan
dari pemberi kerja dalam mencari pelamar sehingga dapat mengurangi tingkat
pengangguran di Indonesia.
II . Kendala Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia
Masalah pengangguran di negara yang sedang berkembang merupakan hal yang
sulit dipecahkan. Masalah pengangguran menyebabkan tingkat pendapatan
nasional dan tingkat kemakmuran yang tidak mencapai potensi maksimal.
Berbagai cara dilakukan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penyerapan
tenaga kerja, namun pada akhirnya hal tersebut kembali pada kemauan pihak
swasta sebagai pelaku bisnis untuk mempekerjakan masyarakat.
Dalam merekrut para karyawan baru, beberapa pertimbangan dilakukan
oleh para pemberi kerja dan pada akhirnya, penyerapan tenaga kerja tidak dapat
dilakukan secara maksimal. Banyak kendala yang terjadi dalam menyerap tenaga
kerja di Indonesia, antara lain:
1. Ketidaksesuaian Kompetensi
Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan oleh 13 asosiasi dunia usaha,
saat ini dibutuhkan 1,9 juta tenaga kerja, khususnya kaum muda. Di sisi
lain, tingkat pengangguran usia muda masih sangat tinggi, tiga kali lipat
dari rata-rata pengangguran nasional, yakni hampir 20% atau sekitar 4,1
juta orang. Kurang adanya link & match antara pengusaha dan pekerja
dikarenakan kesulitan menemukan tenaga kerja berkualitas atau yang
memiliki kompetensi di bidangnya. Di satu sisi dunia usaha membutuhkan
jutaan tenaga kerja, namun terdapat jutaan kaum pekerja yang kesulitan
mendapatkan pekerjaan (Investor Daily, 2012).
Karena ketidaksesuaian kompetensi, beberapa perusahaan
manufaktur, kini mulai bergeser dalam merekrut karyawan, dimana pada
era tahun 90an produksi dikerjakan oleh lulusan SD maupun SMP, kini
kualifikasi minimum pekerja adalah SMA. Hal ini dikarenakan adanya
kebijakan pemerintah terkait dengan Upah Minimum Regional/Kota
sehingga para pelaku bisnis lebih baik merekrut pelamar dengan
kualifikasi yang lebih tinggi dari kebutuhan daripada harus mengeluarkan
biaya upah dengan kualifikasi rendah.
Pergeseran permintaan tenaga kerja di bursa tenaga kerja juga
terjadi untuk level akademi dan universitas, khususnya di sektor
pelayanan. Ketika pada era tahun 1990 posisi Teller, Kasir, dan Pelayanan
Pelanggan pada umumnya diisi oleh lulusan SMA, kini diharuskan para
pelamar memiliki kualifikasi minimum akademi atau universitas. Berbeda
dengan problem sebelumnya, penurunan kualifikasi oleh pelamar
dikarenakan tidak adanya lapangan kerja yang sesuai (misal untuk
akademi/D3) sehingga mereka secara sukarela memilih pekerjaan yang
satu level dibawahnya daripada tidak bekerja.
2. Iklim Investasi yang tidak Pasti
Iklim investasi dapat berupa ketidakpastian hukum dan informasi dari
pemerintah. Tidak adanya sinkronansi antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah menjadi hambatan dalam berbisnis, yang dapat
menyerap tenaga kerja. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) Sofyan Wanandi menegaskan bahwa kalangan pengusaha sering
diperas oleh pejabat pemerintah karena tidak adanya kepastian hukum
dalam iklim investasi di Indonesia (Plasa MSN, 2013). Masalah-masalah
yang muncul dalam berinvestasi itu menjadi tanggung jawab dari pusat
sampai daerah. Kebijakan pemerintah yang bersifat overlaping. dapat
dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk mengeruk untung.
3. Kebijakan Ketenagakerjaan yang kurang Suportif
Kebijakan Pemerintah mengenai ketenagakerjaan yang diatur dalam UU
no 13 tahun 2003. Kebijakan tersebut mengatur mengenai bagaimana para
pemberi kerja mengelola para pekerjanya dari pengangkatan hingga
pemberhentian. Tuntutan pemerintah untuk melindungi para pekerja
bedasarkan Undang-undang tersebut dinilai kurang pro para pengusaha.
Banyaknya upah yang harus diberikan, tunjangan selama bekerja, dan
pemberhentian yang sedikit membuat rugi pemberi kerja, membuat para
pemberi kerja berpikir berkali-kali sebelum merekrut tenaga kerja baru.
III . Industri Apa yang Memiliki Peluang Besar?
Banyak pakar pembangunan menyimpulkan bahwa pembangunan ekonomi di
negara sedang berkembang perlu menitikberatkan pada promosi pertumbuhan
sekor industri perkotaan yang cepat. Sayangnya strategi industrialisasi yang cepat
di negara tersebut gagal membawa dampak yang diinginkan (Mudrajad Kuncoro,
2010).
Tabel 1.1Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja
Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2011-2012(juta orang)
Pendidikan Tertinggi yang
Ditamatkan
2011 2012Februari Agustus Februari Agustus
SD ke Bawah 9,27 9,14 9,15 9,01SMP 3,09 3,05 2,92 3,06SMA 2,81 2,81 2,88 2,98Diploma I/II/III dan Universitas
0,97 0,92 1,17 1,08
16,14 15,92 16,12 16,13Sumber data: Sakernas 2012
Edukasi berkaitan penting dengan jenis industri yang memiliki prospek
bagus di masa mendatang. Bedasarkan Tabel 1.1, dapat dilihat bahwa tingkat
edukasi masyarakat di Indonesia mayoritas adalah lulusan SD kebawah, sebesar
9,01 juta jiwa. Meskipun jumlahnya menurun daripada tahun 2011, namun
peningkatannya tidak terlalu banyak. Disisi lain, tingkat edukasi tingkat akademi
dan universitas menurun 0,09 juta jiwa, dari Februari 2012 ke Agustus 2012.
Bedasarkan kondisi pekerja Indonesia yang rata-rata memiliki edukasi
lulusan SD dan SMP, sektor-sektor industri potensial yang dapat dikembangkan
adalah industri berbasis agro. Industri ini meliputi industri kelapa sawit, karet dan
barang karet, kakao dan coklat, kopi, gula, tembakau, buah-buahan, kayu dan
barang kayu, perikanan dan laut, pulp dan kertas, dan pengolahan susu (Ketut
Nehen, 2012). Industri tersebut dapat menyerap banyak tenaga kerja dan tidak
memerlukan teknologi yang tinggi dalam pengelolaannya.
Sektor industri kedua yang sesuai dengan kondisi tenaga kerja di Indonesia
adalah Industri Manufaktur, khususnya Industri Tekstil dan Produk Tekstil. Jenis
industri ini pada umumnya menggunakan ketrampilan yang moderat, khususnya
untuk menjahit, namun tidak terlalu banyak alat teknologi yang digunakan.
Industri Kecil dan Menengah dan Industri Kreatif memang kini menjadi
sorotan bagi pemerintah Indonesia mengingat terbatasnya pembukaan bisnis baru
oleh pihak swasta secara besar. Namun industri ini kadang terkendala oleh
keberlanjutan usaha dimana tidak banyak usaha yang dapat bertahan dan skala nya
yang kecil tidak banyak menyerap tenaga kerja.
IV . Peran Pemerintah
Ada dua hal yang dapat dilakukan pemerintah dalam meningkatkan penyerapan
tenaga kerja di Indonesia, antara lain:
1. Memberikan stimulus untuk industri khusus penyerap tenaga kerja masal.
Industri padat karya hendaknya diberikan stimulus untuk meningkatkan
kapasitas dan kapabilitasnya agar dapat terus bersaing di lingkup nasional
maupun internasional. Stimulus tersebut dapat berupa pengurangan beban
fiskal maupun kemudahan dalam membuka usaha.
Stimulus juga dapat berupa peningkatan Iklim Investasi melalui
kebijakan yang mendukung keberlangsungan industri. Diharapkan pada
nantinya tidak hanya akan adanya perusahaan manufaktur baru yang
muncul, namun juga keberlangsungan industri tersebut dapat terjamin
sehingga dapat menjamin keamanan pekerja dari pemberhentian.
Sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah diperlukan agar tercipta
lingkungan industri yang kondusif dan tidak merugikan berbagai pihak.
2. Perbaikan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Pada umumnya, pendidikan merupakan investasi masa depan dimana
diharapkan pada era mendatang, para pengenyam pendidikan akan
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Oleh karena itu,
adalah memungkinkan untuk menyusun sistem pendidikan yang fleksibel,
sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Stimulus minat untuk Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) juga perlu diperhatikan agar masyarakat lebih
memilih SMK dimana lulusannya akan lebih siap bekerja daripada SMA.
V . Kesimpulan
Jumlah penduduk Indonesia yang meningkat setiap tahunnya, menjadi tantangan
bagi pemerintah untuk dapat mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Banyaknya penduduk Indonesia, menjadi peluang bagi para pelaku bisnis akan
ketersediaan tenaga kerja.
Berbagai permasalahan dialami oleh pelaku bisnis dalam merekrut para
pekerja di Indonesia, antara lain (1) ketidaksesuaian kompetensi dengan yang
dibutuhkan perusahaan, (2) permintaan dan penawaran tenaga kerja, (3) iklim
investasi yang tidak pasti, dan (4) kebijakan ketenagakerjaan yang kurang
suportif. Hal tersebut membuat para pelaku bisnis kurang memiliki gairah untuk
terus mencari tenaga kerja yang sesuai dengan keinginan mereka.
Jika ditelaah lebih lanjut, ada beberapa sektor industri potensial yang dapat
dikembangkan untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja, seperti industri
agrikultur dan manufaktur. Kedua industri tersebut sesuai dengan karakteristik
penduduk Indonesia secara mayoritas, dimana tidak membutuhkan ketrampilan
yang tinggi dan memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja secara masal.
Banyak peran yang dapat dilakukan pemerintah dalam meningkatkan
penyerapan tenaga kerja seperti: (1) Memberikan stimulus industri khusus, dan (2)
Perbaikan sistem pendidikan yang mendukung tenaga kerja. Perhatian khusus
pemerintah kepada industri padat karya, sangat diperlukan untuk mengurangi
tingkat pengangguran di Indonesia.
Referensi
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. UPP STIM YKPN : Yogyakarta
Berita Resmi Statistik. 2012. Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2012.
No.75/11/Th. XV, 5 November 2012. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Investor Daily. Penganggur Muda. 16 Mei 2012. Diunduh di
<http://www.investor.co.id/home/penganggur-muda/36276> pada 18
Februari 2013, 19.05 WIB
Kuncoro, Mudrajad. 2010. Dasar-dasar Ekonomika Pembangunan, Edisi 5. UPP
STIM YKPN : Yogyakarta.
Nehen, Ketut. 2012. Perekonomian Indonesia. Udayana University Press :
Denpasar.
Plasa MSN. Menakertrans: Sekitar 10 Persen Lowongan Tidak Terisi. 5 Oktober
2012. Diunduh di <http://berita.plasa.msn.com/article.aspx?cp-
documentid=250852517> pada 18 Februari 2013, 19.00 WIB.
Plasa MSN. Sofyan Wanandi : Pengusaha Diperas akibat Ketidakpastian. 31
Januari 2013. Diunduh di <http://berita.plasa.msn.com/bisnis/antara/sofyan-
wanandi-pengusaha-diperas-akibat-ketidakpastian> pada 18 Februari 2013,
19.05 WIB