20
Gerak Niaga Maluku-Papua: Zona Ekonomi dan Kekuasaan Islam Wuri Handoko (Balai Arkeologi Ambon) Abstrak Maluku dan Papua, secara geografis berdekatan dan memiliki potensi sumberdaya alam yang bagus. Di Wilayah Maluku, berdiri pusat-pusat kekuasaan Islam yang terdiri dari Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo (Moluko Kie Raha). Sejarah mencatat, perluasan kekuasaan Islam dari salah satu kerajaan Islam itu hingga ke wilayah Papua. Data arkeologis juga membuktikan adanya pengaruh Islam di wilayah Papua. Perluasan Islam dari Maluku ke Papua, merupakan usaha yang jalin menjalin dengan kegiatan perniagaan. Dari wilayah Maluku hingga ke Papua, terbangun zona ekonomi untuk memperkuat formasi dan jejaring niaga, sekaligus sebagai upaya mempertahankan dan melebarkan sayap kekuasaan Islam. Kata kunci : ekonomi, perdagangan, jaringan, Islam, kekuasaan Abstract Moluccas and of Papua, geographically bunch up and have potency of good natural resource. In Region Moluccas, standing centers power of Islam which consist of Ternate, Tidore, Bacan and Jailolo ( Moluko Kie Raha). History note, extension of power of Islam from one of the empire of that Islam till to region of Papua. Archaeological data also prove the existence of influence of Islam in region of Papua. Extension of Moluccan Islam to Papua, representing the effort which braid to braid with activity of trading. Of Moluccas region till to Papua, woke up by economic zona to strengthen and formation of trade network, at the same time as effort maintain and widen power of Islam. Keyword: economic, trade, network, islam, power Pendahuluan Sejak dulu, Maluku dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi di pasaran dunia. Oleh sebab itu wilayah ini telah dikenal sebagai salah

Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

Gerak Niaga Maluku-Papua: Zona Ekonomi dan Kekuasaan Islam

Wuri Handoko(Balai Arkeologi Ambon)

Abstrak Maluku dan Papua, secara geografis berdekatan dan memiliki potensi sumberdaya alam yang bagus. Di Wilayah Maluku, berdiri pusat-pusat kekuasaan Islam yang terdiri dari Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo (Moluko Kie Raha). Sejarah mencatat, perluasan kekuasaan Islam dari salah satu kerajaan Islam itu hingga ke wilayah Papua. Data arkeologis juga membuktikan adanya pengaruh Islam di wilayah Papua. Perluasan Islam dari Maluku ke Papua, merupakan usaha yang jalin menjalin dengan kegiatan perniagaan. Dari wilayah Maluku hingga ke Papua, terbangun zona ekonomi untuk memperkuat formasi dan jejaring niaga, sekaligus sebagai upaya mempertahankan dan melebarkan sayap kekuasaan Islam.Kata kunci : ekonomi, perdagangan, jaringan, Islam, kekuasaan

AbstractMoluccas and of Papua, geographically bunch up and have potency of good natural resource. In Region Moluccas, standing centers power of Islam which consist of Ternate, Tidore, Bacan and Jailolo ( Moluko Kie Raha). History note, extension of power of Islam from one of the empire of that Islam till to region of Papua. Archaeological data also prove the existence of influence of Islam in region of Papua. Extension of Moluccan Islam to Papua, representing the effort which braid to braid with activity of trading. Of Moluccas region till to Papua, woke up by economic zona to strengthen and formation of trade network, at the same time as effort maintain and widen power of Islam.Keyword: economic, trade, network, islam, power

Pendahuluan

Sejak dulu, Maluku dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber komoditi yang

memiliki nilai ekonomi tinggi di pasaran dunia. Oleh sebab itu wilayah ini telah dikenal sebagai

salah satu pusat perdagangan dunia sekaligus jalur lintasan perdagangan internasional yang

menghubungkan berbagai negara untuk saling bertukar komoditi. Wilayah Maluku telah

memainkan peran penting bagi perkembangan peradaban di Nusantara, sebagai salah satu

wilayah yang menghubungkan berbagai negara di belahan dunia. Melalui wilayah ini pula,

nusantara dikenal seantero jagad.

Peran Maluku di dunia internasional tak dapat dipungkiri lagi, terbukti pada abad 10

Masehi, wilayah perairan ini terkenal sebagai salah satu lintasan Jalur Sutera. Pada abad X jalur

sutra merupakan jalur yang sangat penting untuk hubungan timbal balik, baik dalam segi

perdagangan, kebudayaan, agama maupun pengetahuan. Perdagangan ini tidak hanya

Page 2: Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

menawarkan komoditi sutera, tetapi juga komoditi lain terutama rempah-rempah yang sangat

dibutuhkan di Eropa. Justru karenanya belakangan orang menyebutnya sebagai jalur rempah-

rempah. Hal ini karena justru rempah-rempah kemudian menjadi komoditi utama perdagangan

dunia (Lapian, et.al. 2001: 39).

Wilayah Kepulauan Maluku atau terkenal dengan sebutan Spice Island oleh para ahli

dikatakan sebagai wilayah yang memiliki posisi strategis menyangkut eksistensinya dalam

kancah niaga dunia, sejak ribuan tahun lalu. Dari segi ekonomi, Maluku merupakan wilayah

penghasil rempah-rempah paling utama, yang antara lain menyebabkan wilayah tersebut menjadi

ajang potensial pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi, dan akhirnya bermuara pada

pertarungan politik dan militer (Meilink-Roelofsz, 1962:93-100; Ambary, 1998:150). Kiranya

kita bisa mengerti bahwa wilayah Maluku oleh karena kekayaan rempah-rempahnya, telah

menjadi perhatian dunia. Persaingan dunia yang kemudian juga melibatkan persaingan lokal

dalam hal penguasaan perdagangan. Tidak bisa dipungkiri, wilayah Maluku telah menjadi ajang

persaingan ekonomi dan perdagangan, sekaligus juga berhubungan dengan kekuasaan. Sudah

jelas, kekuatan ekonomi dan perdagangan telah menegaskan adanya kekuatan-kekuatan politik

atau kekuasaan dalam suatu wilayah untuk menguasai wilayah lainnya. Perdagangan dan

ekonomi adalah salah satu sumbu utama kekuatan untuk menguatkan kekuasaan. Telah banyak

diketahui bahwa wilayah Kepulauan Maluku, terutama di wilayah terdapat pusat-pusat

kekuasaan yakni kerajaan-kerajaan yang sangat mapan, sosial, budaya, eokonomi dan politik

yakni Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo (Moluko Kie Raha) serta Hitu dan Banda.

Terutama Ternate dan Tidore, adalah dua pilar kekuasaan yang banyak mengembangkan sayap

politik, kekuasaan dan ekonominya ke wilayah lain. Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-

kerajaan Islam dengan kota-kota niaga dan bandarnya yang penuh hiruk pikuk inilah yang

menandai puncak atau zaman keemasan perdagangan nusantara. Perdagangan adalah jembatan

utama dalam proses penguatan kekuasaan kerajaan-kerajaan di tanah rempah, Maluku.

Kekuataan perdagangan lainnya misalnya di wilayah Banda, meskipun bukan kerajaan namun

sebagai pusat eksportir pala dan Hitu sebagai pelabuhan transito utama dan juga penghasil

cengkeh, kemudian meluas hingga ke wilayah lain dengan perantara pelabuhan-pelabuhan yang

ramai seperti Sulawesi, Jawa dan Sumatra (Malaka).

Page 3: Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

Gerak Niaga dan Zona Ekonomi Kerajaan

Gerak niaga antara wilayah Kepulauan Maluku dan Papua, merupakan aktifitas

perdagangan yang sesungguhnya menghubungkan zona-zona kekuatan ekonomi antara wilayah

Kepulauan Maluku dan Papua. Dapat dikatakan wilayah-wilayah yang dilalui sebagai lintasan

perdagangan dari wilayah kerajaan terutama Ternate dan Tidore, merupakan sebuah formasi

yang sengaja dibangun untuk memperkokoh kekuatan ekonomi kedua kerajaan tersebut. Di

antara zona ekonomi ini dihubungkan melalui rantai pelabuhan yang menopang gerak atau laju

perdagangan kedua wilayah. Di wilayah Kepulauan Maluku, kota-kota niaga atau kota pelabuhan

terkenal seperti Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan, Hitu, Banda adalah wilayah-wilayah pelabuhan

yang saling berinteraksi jalur distribusi pertukaran produk dalam lintasan perniagaan lokal

(Handoko, 2007). Di beberapa wilayah itu menjalin gerak niaga yang lebih luas dengan daerah

lainnya baik ke wilayah barat maupun ke wilayah lebih ke timur seperti ke kota-kota pesisir di

wilayah Tanah Papua. Ternate, Tidore dan Bacan mungkin wilayah yang paling intensif

melakukan ekspansi dagang ke wilayah Papua.

Wilayah-wilayah terdekat dengan wilayah Papua seperti sisi timur Pulau Seram, seperti

Kepulauan Gorom memegang peran penting dan strategis, menghubungkan kedua wilayah itu.

Meskipun wilayah Kepulauan Gorom kecil, namun posisinya di tengah antara Pulau Seram

menuju Pulau Irian dan wilayah Maluku Tenggara. Maka, bisa diduga, pada masa lampau

wilayah ini cukup ramai dalam jalur lintasan budaya melalui perairan di wilayah timur ini.

Wilayah ini menjadi semacam jembatan yang menghubungkan antara Papua dengan Pulau

Seram (Maluku Tengah dan sekitarnya). Wilayah ini juga menghubungkan antara Maluku

Tenggara dengan Maluku Tengah dan Utara (Handoko, 2007a). Selanjutnya secara geografis

Pulau Gebe di Maluku Utara juga memiliki letak yang strategis yang dapat menghubungkan

antara wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan besar dengan wilayah Raja Ampat, Papua.

Di Kepulauan Gorom, Seram Bagian Timur, Pelabuhan Ondor biasa disebut sebagai

onderladen oleh masyarakat, yang diartikan sebagai pelabuhan tua. Pelabuhan ini telah

dimanfaatkan masyarakat sejak dulu. Menurut informasi masyarakat, pelabuhan ini sejak dulu

telah disinggahi kapal-kapal dari luar, baik dalam rangka dagang maupun urusan

kepemerintahan. Tersebut misalnya pedagang-padagang China, Arab serta Bugis Makassar, sejak

dulu telah berdagang ke wilayah ini. Kawasan pelabuhan merupakan salah satu dari kluster situs

Page 4: Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

Kerajaan Ondor. Berbagai temuan keramik asing periode Dinasti Ming (14-16) dan Ching (17-

20) ditemukan terkonsentrasi di areal dekat pelabuhan kuno ini. Selain itu kapal-kapal pada masa

ekspansi Kesultanan Tidore maupun masa Kolonial Portugis dan Belanda telah bersandar di

pelabuhan Gorom. Saat ini pelabuhan Gorom menjadi pelabuhan lokal yang menghubungkan

transportasi dari Ambon ibukota Propinsi Maluku maupun dari daerah terdekat lainnya, bahkan

dari Sorong dan Fak-Fak Propinsi Papua (ibid).

Letak Papua yang strategis menjadikan wilayah ini pada masa lampau menjadi perhatian

dunia Barat, maupun para pedagang lokal Indonesia sendiri. Daerah ini kaya akan barang galian

atau tambang yang tak ternilai harganya dan kekayaan rempah-rempah sehingga daerah ini

menjadi incaran para pedagang. Karena kandungan mineral dan kekayaan rempah-rempah maka

terjadi hubungan politik dan perdagangan antara kepulauan Raja Ampat dan Fak-fak dengan

pusat kerajaan di wilayah Maluku, terutama Ternate dan Tidore dan Bacan, sehingga banyak

pedagang datang untuk memburu dagangan di daerah tersebut.

Pada era perdagangan rempah di Asia Tenggara terbentuk jalur-jalur pelayaran yang

menghubungkan antara tempat produksi dan tempat-tempat untuk memasarkan. Tercatat dalam

sejarah pulau-pulau produsen rempah di kawasan Timur Nusantara seperti Ternate, Tidore,

Bacan dan Kepulauan Banda. Beberapa bandar yang membentuk jaringan pelayaran lokal. Di

daerah Maluku Tengah terdapat Hitu sebagai pusat bandar yang membawahi bandar-bandar kecil

lainnya seperti bandar pelabuhan di Gorom, Kei-Aru dan Tanimbar. Dari Hitu komoditi yang

dihasilkan dari pelabuhan kecil tersebut, kemudian dibawa ke pelabuhan seperti Gresik dan

Jepara. Di Maluku Utara, terdapat empat bandar besar seperti Ternate, Tidore , Bacan dan

Jailolo. Tidore membawahi bandar-bandar Halmahera Timur, Kepulauan Raja Empat dan Papua

Barat. Ternate membawahi bandar-bandar di Kepulauan Banggai, pesisir timur sampai utara

Sulawesi; Jailolo membawahi bandar-bandar di Halmahera Barat (Utomo, 2008;15-16). Pola

perdagangan seperti itu sesungguhnya dapat memberikan tentang gambaran pola penyesuaian

sosio ekonomi pada masa lalu seperti yang dituliskan oleh Miksic (1981). Menurutnya

kemungkinan besar, pola yang menghubungkan beberapa ekozone telah terbentuk, bahkan jauh

sebelum masa klasik. Untuk mempertajam gagasan ini dibutuhkan data terperinci mengenai jenis

dan jumlah komoditi yang ditukar tangan oleh para pihak penyalur komoditi, baik diwilayah

pesisir, dataran, pedalamann, wilayah pusat (raja) dan penghulu (Miksic, 1981: 12).

Page 5: Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

Catatan penting lainnya adalah sebagaimana yang diungkapkan Heriyanti Ongkodharma

Untoro, bahwa perdagangan merupakan bagian dari kegiatan ekonomi suatu masyarakat.

Perkembangan perdagangan dari satu masa ke masa berikutnya mengalami perubahan, dapat

dikatakan dari sistem yang sederhana menjadi sistem yang lebih kompleks. Akibatnya penjelasan

serta pengertian tentang perdagangan menjadi semakin beragam sesuai dengan periode

masyarakat pendukungnya (Untoro, 2007:13).

Dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca tahun 1364/65, disebutkan nama

Wawanin. Wawanin menurut para ahli Jawa Kuno adalah nama lain untuk daerah Onin (Yamin,

1953; Usmany, 2009), suatu daerah di wilayah Fak-fak yang pada masa lampau merupakan

pusat dagang di Papua dan memiliki hubungan sejarah migrasi penduduk dengan wilayah yang

terbentang dari Fak-fak hingga Namatota, dan dari Fak-fak hingga Seget dan berbagai pulau di

Raja Ampat dan Halmahera Selatan, Seram dan pulau-pulau Lease (Saparua, Haruku dan

Nusalaut) (Onim, 2006:47; ibid).

Selanjutnya, tercatat pula adanya hubungan antara Bacan dan Biak yang dilakukan

melalui Raja Ampat; dan karena letak geografisnya yang lebih ke Selatan maka jalur perlayaran

yang digunakan pada waktu itu adalah melalui Seram, Misol dan selanjutnya Raja Ampat. Jalur

pelayaran ini tidak terbatas antara Seram dan kepala burung saja, namun juga antara Seram,

Kepulauan Gorong dan Onin. (Lapian dan Masinambow, 1984:27; ibid). Kemungkinan, wilayah

Kepulauan Raja Ampat pada masa lampau menjadi semacam pintu gerbang yang memberikan

jalan lapang hubungan antara wilayah kerajaan di wilayah Maluku dengan wilayah-wilayah

daratan papua lainnya. Sebaliknya wilayah-wilayah di Kepualuan Maluku seperti Ternate,

Tidore, Ambon, Banda atau daerah yang lebih dekat dengan Papua, yakni Kepulauan Gorom di

Seram Bagian Timur, masuk ke wilayah daratan Papua melalui pintu kepulauan Raja Empat.

Wilayah kepualuan Raja Empat menjadi pintu keluar masuk yang menghubungkan wilayah ini

menuju jalur pelayaran Internasional yang menghubungkan Teluk Cendrawasih dan Maluku

sebagai pusat rempah-rempah dunia pada waktu itu yang menghubungkan Barat dan Timur. Oleh

karena itu penting, menelusuri kembali jejak-jejak sejarah perdagangan kedua wilayah (Maluku-

Papua) dengan dukungan bukti-bukti arkeologi yang dapat diamati baik fitur maupun artefaktual,

selain tentu saja penitng pula mengungkap bukti-bukti pertukaran komoditi antara kedua wilayah

yang kemungkinan masih berlangsung hingga saat ini.

Page 6: Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

Salah satu illustrasi misalnya tentang bentuk perahu Mansusu di wilayah Biak, nampak

dipengaruhi oleh bentuk perahu di Maluku Utara, terlihat dari bentuk haluan dan buritannya yang

sama. Dalam naskah portugis tentang Sejarah Maluku yang ditulis oleh Antonio Galvao kira-kira

tahun 1544 dan diterbitkan oleh H.Jacobs,S.J, Galvao mengungkapkan bahwa bentuk perahu

orang di Maluku Utara di tengah-tengah kapal menyerupai telur (he ovedo no meio) dan kedua

ujungnya melengkung ke atas. Dengan demikian kapal bisa berlayar maju maupun berlayar

mundur (Marwati DJ dan Notosusanto, 1993:112). Pengaruh ini mungkin disebabkan banyaknya

kunjungan orang Biak Numfor ke Maluku Utara dan terjalinnya hubungan baik antara orang

Biak Numfor dan kesultanan Tidore. Bahkan dimasa VOC, orang Biak Numfor menjadi salah

satu kekuatan armada laut bagi kerajaan Tidore (op.cit)

Gerak Niaga regional antara wilayah Maluku dan Papua, merupakan zona ekonomi

menjadi semacam rantai-rantai perdagangan yang menghubungkan wilayah-wilayah niaga di

Kepulauan Maluku dengan wilayah Papua. Hal ini karena kedua wilayah itu masing-masing

memiliki komiditi andalan untuk saling dipertukarkan. Wilayah yang secara geografis relatif

berdekatan, serta dihubungkan dengan wilayah-wilayah perairan yang merupakan jalur

perdagangan internasional sejak awal-awal masehi. Bagi wilayah Maluku, wilayah perairan dan

daratan Papua, sangat penting untuk menguatkan basis ekonomi kerajaan.

Jejaring Niaga dan Eksistensi kekuasaan Islam

Eksistensi kekuasaan Islam terutama di wilayah Maluku, tak bisa dilepaskan dari

kegiatan perdagangan, hal ini mengingat penyebaran pengaruh Islam salah satunya dimulai

melalui aktivitas niaga oleh para pedagang muslim, meskipun sebagian ahli berpendapat,

perdagangan tak bersangkut paut langsung dengan Islamisasi. Ricklefs (2008) menuliskan bahwa

antara Islam dan perdagangan tampaknya ada semacam kaitan, meskipun banyak pertanyaan-

pertanyaan yang belum terjawab, mengingat perdagangan oleh orang-orang muslim telah ada

beberapa abad sebelum masa pengislaman Nusantara yang baru terjadi pada abad XIII dan

terutama XIV dan XV (Ricklefs, 2008:37-38). Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa

proses perdagangan di wilayah Nusantara berlangsung jauh sebelum Islam berkembang,

sehingga jika Islamisasi berlangung sejak dimulainya era perdagangan oleh bangsa-bangsa

Page 7: Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

penyebar Islam, semestinya Islam tumbuh dan berkembang sejak masa itu. Namun, satu hal yang

tak dapat dipungkiri bahwa proses perdagangan yang berlangsung telah memperkuat eksistensi

Islam di Nusantara. Tjandrasamita memperkuat dengan penjelasan bahwa munculnya jalur

perdagangan sejak masa awal telah memicu terjalinnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan

serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan, dengan kota-kota bandarnya sejak abad 13-18 M

(Tjandrasamitha, 2009:39).

Di wilayah Kepulauan Maluku contohnya, tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam yang

besar dan semakin kuat eksistensi kekuasaannya, salah satu faktor utama yang berpengaruh

adalah karena kekuatan perdagangannya. Pada masa perkembangannya, munculnya rivalitas

kekuasaan, terutama Ternate dan Tidore, justru menciptakan simpul-simpul wilayah kekuasaan

sebagai bagian dari jejaring niaga untuk menguatkan eksistensi kekuasaan Islam. Ketika terjadi

perebutan pengaruh kekuasaan antara Ternate dan Tidore, Ternate melakukan ekspansi di

wilayah Pulau Seram (Maluku Tengah dan Ambon), sementara itu Tidore melebarkan sayap

kekuasaannya ke wilayah pesisir utara Pulau Seram dan wilayah paling timur Pulau Seram, yakni

Gorom dan Seram Laut hingga ke wilayah Kepulauan Raja Ampat Irian Jaya (Leirissa, 2001:8).

Dalam sejarah kekuasaan kerajaan di wilayah Maluku Utara, daerah Kepulauan Raja Empat

mungkin yang paling popular sebagai salah satu wilayah perluasan kekuasaan dari persaingan

kekuasan antara Ternate dan Tidore.

Dalam beberapa literatur sejarah menyebutkan bahwa persaingan kedua kerajaan besar

Ternate dan Tidore saling berebut pengaruh dan kekuasaan di wilayah itu. Pada intinya, secara

umum Tanah Papua, merupakan salah satu wilayah yang berperan sebagai penyangga terhadap

eksistensi kekuasaan kerajaan yang berkembang di wilayah Utara terutama Ternate, Tidore dan

Bacan yang merupakan 3 (tiga) dari 4 (empat) pilar utama kekuasaan kerajaan Islam yang

disebut Molukie Kie Raha. Untuk menyambungkan zona-zona ekonomi itulah, banyak wilayah

yang mengantarai antara wilayah Kerajaan Ternate dan Tidore ditaklukkan. Dari hasil penelitian

arkeologi dan didukung sumber sejarah serta diperkuat tradisi tutur, diperoleh penjelasan bahwa

wilayah Seram Timur termasuk Pulau Gorom dan Geser merupakan daerah ekspansi dari

kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Maluku Utara, yakni Tidore. Di wilayah Kepulauan

Gorom terdapat 3 (tiga) aliansi kerajaan kecil yakni Amarsekaru, Kataloka dan Ondor yang

mengakui sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Tidore (Handoko, 2007a). Kompleks makam

Page 8: Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

Raja Amarsekaru, tugu pelantikan raja dan masjid kuno dengan segala perlengkapannya,

seluruhnya mengarah pada pengaruh Kerajaan Tidore.

Ambary, dalam tulisannya yang dikutip oleh Halwany Michrob mengatakan bahwa

sejarah masuknya Islam di Sorong dan Fakfak terjadi melalui dua jalur, yakni:

a. Di daerah Sorong, perkembangannya di mulai sejak abad ke-15 ketika Raja-raja

Ternate dan Tidore mengadakan pelayaran ke timur untuk mencari burung kuning

yang berlokasi di Salawati

b. Perkembangan agama Islam di daerah Fakfak dikembangkan oleh pedagang-

pedagang suku Bugis melalui Banda yang diteruskan ke Fakfak melalui Seram Timur

oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi yang telah lama

menetap di Ambon. (Mene, 2009).

Proses Islamisasi di wilayah Fakfak dilakukan melalui jalur, salah satunya melalui jalur,

dilakukan ketika para pedagang datang kemudian mereka menetap di pemukiman masyarakat di

sekitar daerah pesisir pantai, selain berdagang mereka juga memperkenalkan agama Islam

dengan mengajarkan penduduk untuk melakukan shalat. (Onim, 2006;102-105;ibid).

Kedatangan pengaruh Islam ke Indonesia bagian Timur, yaitu ke daerah Fakfak tidak

terpisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat pelayaran internasional di

Malaka, Jawa dan Maluku. Proses masuknya agama Islam di Maluku, Ternate, Tidore serta

pulau Banda dan Seram karena dari sini Islam memasuki kepulauan Raja Ampat di Sorong, dan

Semenajung Onin di Kabupaten Fakfak (ibid,).

Secara geografis tanah Papua memiliki kedekatan relasi etnik dan kebudayaan dengan

Maluku. Dalam hal ini Fakfak memiliki kedekatan dengan Maluku Tengah, Tenggara dan

Selatan, sedangkan dengan Raja Ampat memiliki kedekatan dengan Maluku Utara. Oleh karena

itu, dalam membahas sejarah masuknya Islam ke Fakfak kedua alur komunikasi dan relasi ini

perlu ditelusuri mengingat warga masyarakat baik di Semenanjung Onim Fakfak maupun Raja

Ampat di Sorong, keduanya telah lama menjadi wilayah ajang perebutan pengaruh kekuasaan

antara dua buah kesultanan atau kerajaan besar di Maluku Utara (Kesultanan Ternate dan

Tidore). Nampaknya historiografi Papua memperlihatkan bahwa yang terakhir inilah (Kesultanan

Tidore) yang lebih besar dominasinya di pesisir pantai kepulauan Raja Ampat dan Semenajung

Page 9: Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

Onim Fakfak. Walaupun demikian tidak berarti bahwa Ternate tidak ada pengaruhnya, justru

yang kedua ini dalam banyak hal sangat berpengaruh. Dengan adanya pengaruh kedua

kesultanan Islam ini di Raja Ampat, Sorong dan Fakfak, maka telah dapat diduga (dipastikan)

bahwa Islam masuk ke Raja Ampat dan Semenanjung Onim Fakfak (dan pantai selatan daerah

Kepala Burung pada umumnya) dalam lingkup pengaruh kedua kesultanan itu (Onim 2006;

83;ibid)

Kajian masuknya Islam di Tanah Papua juga pernah dilakukan oleh Thomas W Arnold

seorang orientalis Inggris didasarkan atas sumber-sumber primer antara lain dari Portugis,

Spanyol, Belanda dan Inggris. Dalam bukunya yang berjudul The preaching of Islam yang

dikutip oleh Bagyo Prasetyo disebutkan bahwa pada awal abad ke-16, suku-suku di Papua serta

pulau-pulau di sebelah barat lautnya, seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati telah

tunduk kepada Sultan Bacan salah seorang raja di Maluku kemudian Sultan Bacan meluaskan

kekuasaannya sampai Semenanjung Onim (Fakfak), di barat laut Irian pada tahun 1606, melalui

pengaruhnya dan pedagang muslim maka para pemuka masyarakat pulau-pulau tadi memeluk

agama Islam meskipun masyarakat pedalaman masih menganut animisme, tetapi rakyat pesisir

adalah Islam. Beberapa kerajaan di kepulauan Maluku yang wilayah teritorialnya sampai di pulau Papua

menjadikan Islam masuk pula di pulau Cendrawasih ini. Namun, dibanding wilayah lain, perkembangan

Islam di pulau hitam ini bisa dibilang tak terlalu besar. WC Klein juga menjelaskan fakta kapan

kedatangan Islam di tanah Papua. Di sana dia menulis pada tahun 1569 pemimpin-pemimpin

Papua mengunjungi Kerajaan Bacan dimana dari kunjungan tersebut terbentuklah kerajaan-

kerajaan. Kerajaan-kerajaan yang dimaksud itu adalah: Kerajaan Raja Ampat, Kerajaan Raja

Rumbati, Kerajaan Atiati dan Kerajaan Fatagar. Sumber cerita rakyat mengisahkan bahwa

daerah Biak Numfor telah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Tidore sejak abad ke-

XV. Sejumlah tokoh lokal, bahkan diangkat oleh Sultan Tidore menjadi pemimpin-pemimpin di

Biak. Mereka diberi berbagai macam gelar, (www.hidayatulloh.com).

Dari beberapa legenda yang berkembang di Raja Ampat dan Maluku, tersirat adanya

hubungan antara Papua dan Maluku terutama dengan Bacan yang sudah terjalin berabad-abad

yang lalu dimana jauh sebelum kerajan Tidore dan Ternate berkembang, kerajaan Bacan telah

terlebih dahulu memiliki hubungan dengan Biak Numfor. Bacan telah dikenal sebagai pusat

cengkeh di Maluku sebelum Ternate dan Tidore dikenal. Bahkan pada abad ke-7 Masehi, Bacan

Page 10: Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

telah memiliki hubungan dagang dengan kerajaan Sriwijaya yang dilakukan melalui jalur

pelayaran kuno melewati pesisir pulau Jawa, Bali, NTB,NTT,Maluku Tenggara, hingga tiba di

Banda, Hitu dan Bacan. Dalam legenda penduduk Bacan nama Papua disebutkan bahwa

Bikusigara menemukan empat buah telur ular yang sesudah beberapa hari kemudian menetas.

Tiga laki-laki dan seorang wanita. Seorang menjadi raja Bacan, seorang menjadi raja Papua,

seorang menjadi raja Butung dan Banggai, sedangkan wanita menjadi istri Raja Loloda di

Halmahera Utara. Dalam Kroniek van het Rijk Bacan, telah diceriterakan bahwa sesudah

kejadian malapetaka (letusan gunung?) dua putera Sultan menghilang. Akhirnya mereka

diketemukan, yang satu telah menjadi raja Misol yang lain di Waigeo (Abdurrahman, 1984:325).

Temuan masjid-masjid kuno di Kabupaten Fakfak, dapat menjadi bukti pengaruh

masuknya Islam di wilayah itu. Selain itu ditemukan sejumlah data artefaktual diantaranya gong,

bedug mesjid, rebana yang digunakan pada saat upacara maulid, songkok raja, tongkat cis, tanda

raja dan adanya silsilah kerajaan dari kerajaan Ati-ati. Mesjid-mesjid kuno yang ditemukan

tersebut tersebar di beberapa tempat diantaranya mesjid Patimburak, mesjid Werpigan dan

mesjid Merapi. Di Kabupaten Fakfak pada masa awal masuknya agama Islam ada empat raja

yang berkuasa diantaranya Raja Ati-ati, Ugar, Kapiar dan Namatota (sekarang masuk dalam

wilayah kabupaten Kaimana). Masing-masing raja tersebut mendirikan mesjid dan mesjid

tersebut yang digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam. Akan tetapi mesjid

yang didirikan oleh raja Ati-ati pada saat itu pada umumnya terbuat dari kayu sehingga tidak

bisa lagi ditemukan wujud maupun sisa-sisanya. Satu-satunya mesjid yang ditunjukkan oleh

keturunan Raja Ati-ati adalah mesjid Werpigan yang dibangun pada tahun 1931 oleh Raja ke-9.

Mesjid tersebut telah mengalami renovasi, sehingga konstruksi aslinya telah hilang yang nampak

adalah mesjid yang baru ( Tim peneliti, 1999; op.cit). Selanjutnya adalah mesjid yang didirikan

oleh Raja Fatagar yaitu mesjid Merapi terletak di kampung Merapi, dalam mesjid terdapat bedug

yang terbuat dari batang kayu kelapa. Di dekat mesjid terdapat makam Raja Fatagar I dan II,

makam terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok yang berada di dalam pagar dan kelompok

yang berada di luar pagar. Selain itu bukti pengaruh masuknya Islam yaitu ditemukan rebana

yang digunakan pada saat upacara maulid, gong, tanda raja, tongkat cis, songkok raja dan adanya

silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di wilayah tersebut (op.cit).

Dengan demikian, baik catatan sejarah maupun bukti-bukti arkeologis menunjukkan

bahwa wilayah Kepulauan Maluku dan Papua merupakan dua wilayah yang sejak dulu telah

Page 11: Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

menjalin kontak. Pada masa keemasan ketika Islam berkuasa di wilayah Kepulauan Maluku,

Kerajaan-kerajaan pusat kekuasaan Islam, seperti Ternate dan Tidore, dan sebelumnya Bacan,

merupakan wilayah yang melakukan ekspansi ke Papua., terutama di Kepulauan Raja Empat,

Fakfak dan Biak melalui jejaring niaga. Demikian halnya menyangkut pembahasan tentang

gerak perniagaan di wilayah Maluku dengan wilayah Papua. Banyak hal yang kompleks yang

sesungguhnya masih perlu dikaji lebih dalam lagi. Sepanjang lintasan dari wilayah Maluku ke

Papua, terdapat wilayah-wilayah yang menjadi daerah ekspansi kekuasaan Ternate dan Tidore,

yang jalin menjalin hingga mencapai wilayah Papua. Wilayah-wilayah antara Maluku hingga

Papua, dapat dipahami sebagai wilayah-wilayah ekozone dalam upaya membangun jejaring

niaga antara wilayah pusat kekuasaan Islam dengan wilayah-wilayah sayap kekuasaanya.

Kesimpulan

Sesungguhnya tulisan ini bermaksud menegaskan adanya kontak-kontak perdagangan

pada masa keemasan zaman pengaruh Islam antara wilayah Kepulauan Maluku dan Papua. Tidak

hanya persoalan niaga, lebih jauh Maluku diwakili oleh Kerajaan Ternate dan Tidore, serta

Bacan, melakukan ekspansi ke Papua untuk menancapkan tongkat kekuasaan dan Islam.

Berbicara tentang niaga, tentu saja tidak hanya melibatkan kerajaan-kerajaan Islam itu saja,

wilayah lainnya seperti Banda, Seram dan wilayah di Maluku Tenggara juga telah jalin–menjalin

membangun jejaring niaga dengan wilayah Papua. Namun, pada intinya hal ini merupakan

formasi yang terbangun seiring agenda perluasan kekuasaan Islam oleh pusat-pusat kekuasaan

Islam di Maluku.

Bagi pusat kekuasaan Islam di Maluku Utara, tentu saja wilayah Papua dimaksudkan

sebagai zona ekonomi yang diharapkan dapat menopang eksistensi kekuasaan Kerajaan Islam

yang berhasil melebarkan sayap kekuasaannya di Papua. Potensi sumberdaya alam serta

komoditi lokal yang berharga tentu menjadi jaminan, sebuah wilayah dapat bertahan dalam

kondisi persaingan. Dengan demikian, membangun zona ekonomi di Papua, dimaksudkan untuk

memperkuat jejaring niaga dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan sekaligus penyebaran

Islam.

Page 12: Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

DAFTAR PUSTAKA

Ambary, H. M. 1996. Laporan Penelitian Arkeologi Islam di Pulau Bacan, Maluku Utara. Proyek Penelitian Arkeologi Maluku. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. (tidak terbit)

……........................,1998. Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu.Jakarta

Handoko, Wuri 2006 Periode Awal Kerajaan Hitu Hingga Masa Surutnya. Retrospeksi Arkeologi Sejarah. Kapata Arkeologi Vol. 2 Nomor 3 Tahun 2006. Balai Arkeologi Ambon.

…………………, 2007 Aktifitas Perdagangan Lokal Maluku: Tinjauan Awal Berdasarkan Data Keramik Asing dan Komoditi. Kapata Arkeologi. Vol. 3 Nomor 5. Balai Arkeologi Ambon

……………… 2007a Peran Strategis Wilayah Kepulauan Gorom dalam Kontak Awal Budaya, Perkembangan Perdagangan dan Budaya Islam di Maluku. Berita Penelitian Arkeologi (BPA) Vol. 2 Nomor 4 Tahun 2007. Balai Arkeologi Ambon.

Lapian, A.B 1984 Masalah Perbudakan Dalam Sejarah Indonesia: Hubungan Antara Maluku Dan Irian Jaya, dalam E.K.M.Masinambow, Maluku dan Irian Jaya. Jakarta. Buletin Leknas,Vol.III, No.1. LIPI

..……………2001. Ternate Sekitar Pertengahan Abad Ke-16. Dalam M.J. Abdulrahman, et.al. Ternate: Bandar Jalur Sutera, hal. 39-54. Ternate: LInTas (Lembaga Informasi dan Transformasi Sosial).

Leirissa, R.Z. 2001. Jalur Sutera: Integrasi Laut-Darat dan Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutera. Dalam M.J. Abdulrahman, et.al. Ternate: Bandar Jalur Sutera, Ternate: LinTas (Lembaga Informasi dan Transformasi Sosial).

Masinambow, F.K.M, Halmahera Dan Raja Ampat, Konsep dan Strategi Penelitian, Dalam Islam Dan Kristen Di Tanah Papua, Bandung: Jurnal Info Media, 2006

Marwati DJ dan Notosusanto N, 1993 Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta. Depdikbud

Paramita R. Abdurachman, 1984 Sumber-Sumber Sejarah Tentang Salawati, Raja Ampat dalam E.K.M.Masinambow (ed) Maluku dan Irian Jaya, Jakarta. Buletin Leknas Vol.III,No.1. LIPI

Ricklefs, M.C 2008 Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta. PT Serambi Ilmu Semesta.

Tjandrasasmita, Uka 2009 Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta. Kepustkaan Populer Gramedia (KPG).

Page 13: Gerak Niaga Regional antara Wilayah Maluku dan Papua1

Untoro, Heriyanti Ongkodharma, 2007 Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684. Kajian Arkeologi Ekonomi. Jakarta. Fakultas Imu Pengetahuan Budaya (FIB) Univeritas Indonesia.

Utomo, Bambang Budi 2008 Traditional Cruise Smart Tourism Berlatar Kesejarahan dan Budaya. Majalah Pesona, No.05/Tahun II- MingguII- Desember 2008. Depbudbar

Usmany, Desyy, 2009 Menapak Jejak Pelayaran Tradisional Orang Biak Numfor Abad 16 Hingga Awal Abad 20 Kajian Sejarah Maritim. Jayapura. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Jayapura.

www. hidayatulloh.com diakses pada tanggal 23 April 2010