Upload
wuri-handoko
View
150
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Gerak Niaga Maluku-Papua: Zona Ekonomi dan Kekuasaan Islam
Wuri Handoko(Balai Arkeologi Ambon)
Abstrak Maluku dan Papua, secara geografis berdekatan dan memiliki potensi sumberdaya alam yang bagus. Di Wilayah Maluku, berdiri pusat-pusat kekuasaan Islam yang terdiri dari Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo (Moluko Kie Raha). Sejarah mencatat, perluasan kekuasaan Islam dari salah satu kerajaan Islam itu hingga ke wilayah Papua. Data arkeologis juga membuktikan adanya pengaruh Islam di wilayah Papua. Perluasan Islam dari Maluku ke Papua, merupakan usaha yang jalin menjalin dengan kegiatan perniagaan. Dari wilayah Maluku hingga ke Papua, terbangun zona ekonomi untuk memperkuat formasi dan jejaring niaga, sekaligus sebagai upaya mempertahankan dan melebarkan sayap kekuasaan Islam.Kata kunci : ekonomi, perdagangan, jaringan, Islam, kekuasaan
AbstractMoluccas and of Papua, geographically bunch up and have potency of good natural resource. In Region Moluccas, standing centers power of Islam which consist of Ternate, Tidore, Bacan and Jailolo ( Moluko Kie Raha). History note, extension of power of Islam from one of the empire of that Islam till to region of Papua. Archaeological data also prove the existence of influence of Islam in region of Papua. Extension of Moluccan Islam to Papua, representing the effort which braid to braid with activity of trading. Of Moluccas region till to Papua, woke up by economic zona to strengthen and formation of trade network, at the same time as effort maintain and widen power of Islam.Keyword: economic, trade, network, islam, power
Pendahuluan
Sejak dulu, Maluku dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber komoditi yang
memiliki nilai ekonomi tinggi di pasaran dunia. Oleh sebab itu wilayah ini telah dikenal sebagai
salah satu pusat perdagangan dunia sekaligus jalur lintasan perdagangan internasional yang
menghubungkan berbagai negara untuk saling bertukar komoditi. Wilayah Maluku telah
memainkan peran penting bagi perkembangan peradaban di Nusantara, sebagai salah satu
wilayah yang menghubungkan berbagai negara di belahan dunia. Melalui wilayah ini pula,
nusantara dikenal seantero jagad.
Peran Maluku di dunia internasional tak dapat dipungkiri lagi, terbukti pada abad 10
Masehi, wilayah perairan ini terkenal sebagai salah satu lintasan Jalur Sutera. Pada abad X jalur
sutra merupakan jalur yang sangat penting untuk hubungan timbal balik, baik dalam segi
perdagangan, kebudayaan, agama maupun pengetahuan. Perdagangan ini tidak hanya
menawarkan komoditi sutera, tetapi juga komoditi lain terutama rempah-rempah yang sangat
dibutuhkan di Eropa. Justru karenanya belakangan orang menyebutnya sebagai jalur rempah-
rempah. Hal ini karena justru rempah-rempah kemudian menjadi komoditi utama perdagangan
dunia (Lapian, et.al. 2001: 39).
Wilayah Kepulauan Maluku atau terkenal dengan sebutan Spice Island oleh para ahli
dikatakan sebagai wilayah yang memiliki posisi strategis menyangkut eksistensinya dalam
kancah niaga dunia, sejak ribuan tahun lalu. Dari segi ekonomi, Maluku merupakan wilayah
penghasil rempah-rempah paling utama, yang antara lain menyebabkan wilayah tersebut menjadi
ajang potensial pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi, dan akhirnya bermuara pada
pertarungan politik dan militer (Meilink-Roelofsz, 1962:93-100; Ambary, 1998:150). Kiranya
kita bisa mengerti bahwa wilayah Maluku oleh karena kekayaan rempah-rempahnya, telah
menjadi perhatian dunia. Persaingan dunia yang kemudian juga melibatkan persaingan lokal
dalam hal penguasaan perdagangan. Tidak bisa dipungkiri, wilayah Maluku telah menjadi ajang
persaingan ekonomi dan perdagangan, sekaligus juga berhubungan dengan kekuasaan. Sudah
jelas, kekuatan ekonomi dan perdagangan telah menegaskan adanya kekuatan-kekuatan politik
atau kekuasaan dalam suatu wilayah untuk menguasai wilayah lainnya. Perdagangan dan
ekonomi adalah salah satu sumbu utama kekuatan untuk menguatkan kekuasaan. Telah banyak
diketahui bahwa wilayah Kepulauan Maluku, terutama di wilayah terdapat pusat-pusat
kekuasaan yakni kerajaan-kerajaan yang sangat mapan, sosial, budaya, eokonomi dan politik
yakni Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo (Moluko Kie Raha) serta Hitu dan Banda.
Terutama Ternate dan Tidore, adalah dua pilar kekuasaan yang banyak mengembangkan sayap
politik, kekuasaan dan ekonominya ke wilayah lain. Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-
kerajaan Islam dengan kota-kota niaga dan bandarnya yang penuh hiruk pikuk inilah yang
menandai puncak atau zaman keemasan perdagangan nusantara. Perdagangan adalah jembatan
utama dalam proses penguatan kekuasaan kerajaan-kerajaan di tanah rempah, Maluku.
Kekuataan perdagangan lainnya misalnya di wilayah Banda, meskipun bukan kerajaan namun
sebagai pusat eksportir pala dan Hitu sebagai pelabuhan transito utama dan juga penghasil
cengkeh, kemudian meluas hingga ke wilayah lain dengan perantara pelabuhan-pelabuhan yang
ramai seperti Sulawesi, Jawa dan Sumatra (Malaka).
Gerak Niaga dan Zona Ekonomi Kerajaan
Gerak niaga antara wilayah Kepulauan Maluku dan Papua, merupakan aktifitas
perdagangan yang sesungguhnya menghubungkan zona-zona kekuatan ekonomi antara wilayah
Kepulauan Maluku dan Papua. Dapat dikatakan wilayah-wilayah yang dilalui sebagai lintasan
perdagangan dari wilayah kerajaan terutama Ternate dan Tidore, merupakan sebuah formasi
yang sengaja dibangun untuk memperkokoh kekuatan ekonomi kedua kerajaan tersebut. Di
antara zona ekonomi ini dihubungkan melalui rantai pelabuhan yang menopang gerak atau laju
perdagangan kedua wilayah. Di wilayah Kepulauan Maluku, kota-kota niaga atau kota pelabuhan
terkenal seperti Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan, Hitu, Banda adalah wilayah-wilayah pelabuhan
yang saling berinteraksi jalur distribusi pertukaran produk dalam lintasan perniagaan lokal
(Handoko, 2007). Di beberapa wilayah itu menjalin gerak niaga yang lebih luas dengan daerah
lainnya baik ke wilayah barat maupun ke wilayah lebih ke timur seperti ke kota-kota pesisir di
wilayah Tanah Papua. Ternate, Tidore dan Bacan mungkin wilayah yang paling intensif
melakukan ekspansi dagang ke wilayah Papua.
Wilayah-wilayah terdekat dengan wilayah Papua seperti sisi timur Pulau Seram, seperti
Kepulauan Gorom memegang peran penting dan strategis, menghubungkan kedua wilayah itu.
Meskipun wilayah Kepulauan Gorom kecil, namun posisinya di tengah antara Pulau Seram
menuju Pulau Irian dan wilayah Maluku Tenggara. Maka, bisa diduga, pada masa lampau
wilayah ini cukup ramai dalam jalur lintasan budaya melalui perairan di wilayah timur ini.
Wilayah ini menjadi semacam jembatan yang menghubungkan antara Papua dengan Pulau
Seram (Maluku Tengah dan sekitarnya). Wilayah ini juga menghubungkan antara Maluku
Tenggara dengan Maluku Tengah dan Utara (Handoko, 2007a). Selanjutnya secara geografis
Pulau Gebe di Maluku Utara juga memiliki letak yang strategis yang dapat menghubungkan
antara wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan besar dengan wilayah Raja Ampat, Papua.
Di Kepulauan Gorom, Seram Bagian Timur, Pelabuhan Ondor biasa disebut sebagai
onderladen oleh masyarakat, yang diartikan sebagai pelabuhan tua. Pelabuhan ini telah
dimanfaatkan masyarakat sejak dulu. Menurut informasi masyarakat, pelabuhan ini sejak dulu
telah disinggahi kapal-kapal dari luar, baik dalam rangka dagang maupun urusan
kepemerintahan. Tersebut misalnya pedagang-padagang China, Arab serta Bugis Makassar, sejak
dulu telah berdagang ke wilayah ini. Kawasan pelabuhan merupakan salah satu dari kluster situs
Kerajaan Ondor. Berbagai temuan keramik asing periode Dinasti Ming (14-16) dan Ching (17-
20) ditemukan terkonsentrasi di areal dekat pelabuhan kuno ini. Selain itu kapal-kapal pada masa
ekspansi Kesultanan Tidore maupun masa Kolonial Portugis dan Belanda telah bersandar di
pelabuhan Gorom. Saat ini pelabuhan Gorom menjadi pelabuhan lokal yang menghubungkan
transportasi dari Ambon ibukota Propinsi Maluku maupun dari daerah terdekat lainnya, bahkan
dari Sorong dan Fak-Fak Propinsi Papua (ibid).
Letak Papua yang strategis menjadikan wilayah ini pada masa lampau menjadi perhatian
dunia Barat, maupun para pedagang lokal Indonesia sendiri. Daerah ini kaya akan barang galian
atau tambang yang tak ternilai harganya dan kekayaan rempah-rempah sehingga daerah ini
menjadi incaran para pedagang. Karena kandungan mineral dan kekayaan rempah-rempah maka
terjadi hubungan politik dan perdagangan antara kepulauan Raja Ampat dan Fak-fak dengan
pusat kerajaan di wilayah Maluku, terutama Ternate dan Tidore dan Bacan, sehingga banyak
pedagang datang untuk memburu dagangan di daerah tersebut.
Pada era perdagangan rempah di Asia Tenggara terbentuk jalur-jalur pelayaran yang
menghubungkan antara tempat produksi dan tempat-tempat untuk memasarkan. Tercatat dalam
sejarah pulau-pulau produsen rempah di kawasan Timur Nusantara seperti Ternate, Tidore,
Bacan dan Kepulauan Banda. Beberapa bandar yang membentuk jaringan pelayaran lokal. Di
daerah Maluku Tengah terdapat Hitu sebagai pusat bandar yang membawahi bandar-bandar kecil
lainnya seperti bandar pelabuhan di Gorom, Kei-Aru dan Tanimbar. Dari Hitu komoditi yang
dihasilkan dari pelabuhan kecil tersebut, kemudian dibawa ke pelabuhan seperti Gresik dan
Jepara. Di Maluku Utara, terdapat empat bandar besar seperti Ternate, Tidore , Bacan dan
Jailolo. Tidore membawahi bandar-bandar Halmahera Timur, Kepulauan Raja Empat dan Papua
Barat. Ternate membawahi bandar-bandar di Kepulauan Banggai, pesisir timur sampai utara
Sulawesi; Jailolo membawahi bandar-bandar di Halmahera Barat (Utomo, 2008;15-16). Pola
perdagangan seperti itu sesungguhnya dapat memberikan tentang gambaran pola penyesuaian
sosio ekonomi pada masa lalu seperti yang dituliskan oleh Miksic (1981). Menurutnya
kemungkinan besar, pola yang menghubungkan beberapa ekozone telah terbentuk, bahkan jauh
sebelum masa klasik. Untuk mempertajam gagasan ini dibutuhkan data terperinci mengenai jenis
dan jumlah komoditi yang ditukar tangan oleh para pihak penyalur komoditi, baik diwilayah
pesisir, dataran, pedalamann, wilayah pusat (raja) dan penghulu (Miksic, 1981: 12).
Catatan penting lainnya adalah sebagaimana yang diungkapkan Heriyanti Ongkodharma
Untoro, bahwa perdagangan merupakan bagian dari kegiatan ekonomi suatu masyarakat.
Perkembangan perdagangan dari satu masa ke masa berikutnya mengalami perubahan, dapat
dikatakan dari sistem yang sederhana menjadi sistem yang lebih kompleks. Akibatnya penjelasan
serta pengertian tentang perdagangan menjadi semakin beragam sesuai dengan periode
masyarakat pendukungnya (Untoro, 2007:13).
Dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca tahun 1364/65, disebutkan nama
Wawanin. Wawanin menurut para ahli Jawa Kuno adalah nama lain untuk daerah Onin (Yamin,
1953; Usmany, 2009), suatu daerah di wilayah Fak-fak yang pada masa lampau merupakan
pusat dagang di Papua dan memiliki hubungan sejarah migrasi penduduk dengan wilayah yang
terbentang dari Fak-fak hingga Namatota, dan dari Fak-fak hingga Seget dan berbagai pulau di
Raja Ampat dan Halmahera Selatan, Seram dan pulau-pulau Lease (Saparua, Haruku dan
Nusalaut) (Onim, 2006:47; ibid).
Selanjutnya, tercatat pula adanya hubungan antara Bacan dan Biak yang dilakukan
melalui Raja Ampat; dan karena letak geografisnya yang lebih ke Selatan maka jalur perlayaran
yang digunakan pada waktu itu adalah melalui Seram, Misol dan selanjutnya Raja Ampat. Jalur
pelayaran ini tidak terbatas antara Seram dan kepala burung saja, namun juga antara Seram,
Kepulauan Gorong dan Onin. (Lapian dan Masinambow, 1984:27; ibid). Kemungkinan, wilayah
Kepulauan Raja Ampat pada masa lampau menjadi semacam pintu gerbang yang memberikan
jalan lapang hubungan antara wilayah kerajaan di wilayah Maluku dengan wilayah-wilayah
daratan papua lainnya. Sebaliknya wilayah-wilayah di Kepualuan Maluku seperti Ternate,
Tidore, Ambon, Banda atau daerah yang lebih dekat dengan Papua, yakni Kepulauan Gorom di
Seram Bagian Timur, masuk ke wilayah daratan Papua melalui pintu kepulauan Raja Empat.
Wilayah kepualuan Raja Empat menjadi pintu keluar masuk yang menghubungkan wilayah ini
menuju jalur pelayaran Internasional yang menghubungkan Teluk Cendrawasih dan Maluku
sebagai pusat rempah-rempah dunia pada waktu itu yang menghubungkan Barat dan Timur. Oleh
karena itu penting, menelusuri kembali jejak-jejak sejarah perdagangan kedua wilayah (Maluku-
Papua) dengan dukungan bukti-bukti arkeologi yang dapat diamati baik fitur maupun artefaktual,
selain tentu saja penitng pula mengungkap bukti-bukti pertukaran komoditi antara kedua wilayah
yang kemungkinan masih berlangsung hingga saat ini.
Salah satu illustrasi misalnya tentang bentuk perahu Mansusu di wilayah Biak, nampak
dipengaruhi oleh bentuk perahu di Maluku Utara, terlihat dari bentuk haluan dan buritannya yang
sama. Dalam naskah portugis tentang Sejarah Maluku yang ditulis oleh Antonio Galvao kira-kira
tahun 1544 dan diterbitkan oleh H.Jacobs,S.J, Galvao mengungkapkan bahwa bentuk perahu
orang di Maluku Utara di tengah-tengah kapal menyerupai telur (he ovedo no meio) dan kedua
ujungnya melengkung ke atas. Dengan demikian kapal bisa berlayar maju maupun berlayar
mundur (Marwati DJ dan Notosusanto, 1993:112). Pengaruh ini mungkin disebabkan banyaknya
kunjungan orang Biak Numfor ke Maluku Utara dan terjalinnya hubungan baik antara orang
Biak Numfor dan kesultanan Tidore. Bahkan dimasa VOC, orang Biak Numfor menjadi salah
satu kekuatan armada laut bagi kerajaan Tidore (op.cit)
Gerak Niaga regional antara wilayah Maluku dan Papua, merupakan zona ekonomi
menjadi semacam rantai-rantai perdagangan yang menghubungkan wilayah-wilayah niaga di
Kepulauan Maluku dengan wilayah Papua. Hal ini karena kedua wilayah itu masing-masing
memiliki komiditi andalan untuk saling dipertukarkan. Wilayah yang secara geografis relatif
berdekatan, serta dihubungkan dengan wilayah-wilayah perairan yang merupakan jalur
perdagangan internasional sejak awal-awal masehi. Bagi wilayah Maluku, wilayah perairan dan
daratan Papua, sangat penting untuk menguatkan basis ekonomi kerajaan.
Jejaring Niaga dan Eksistensi kekuasaan Islam
Eksistensi kekuasaan Islam terutama di wilayah Maluku, tak bisa dilepaskan dari
kegiatan perdagangan, hal ini mengingat penyebaran pengaruh Islam salah satunya dimulai
melalui aktivitas niaga oleh para pedagang muslim, meskipun sebagian ahli berpendapat,
perdagangan tak bersangkut paut langsung dengan Islamisasi. Ricklefs (2008) menuliskan bahwa
antara Islam dan perdagangan tampaknya ada semacam kaitan, meskipun banyak pertanyaan-
pertanyaan yang belum terjawab, mengingat perdagangan oleh orang-orang muslim telah ada
beberapa abad sebelum masa pengislaman Nusantara yang baru terjadi pada abad XIII dan
terutama XIV dan XV (Ricklefs, 2008:37-38). Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa
proses perdagangan di wilayah Nusantara berlangsung jauh sebelum Islam berkembang,
sehingga jika Islamisasi berlangung sejak dimulainya era perdagangan oleh bangsa-bangsa
penyebar Islam, semestinya Islam tumbuh dan berkembang sejak masa itu. Namun, satu hal yang
tak dapat dipungkiri bahwa proses perdagangan yang berlangsung telah memperkuat eksistensi
Islam di Nusantara. Tjandrasamita memperkuat dengan penjelasan bahwa munculnya jalur
perdagangan sejak masa awal telah memicu terjalinnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan
serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan, dengan kota-kota bandarnya sejak abad 13-18 M
(Tjandrasamitha, 2009:39).
Di wilayah Kepulauan Maluku contohnya, tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam yang
besar dan semakin kuat eksistensi kekuasaannya, salah satu faktor utama yang berpengaruh
adalah karena kekuatan perdagangannya. Pada masa perkembangannya, munculnya rivalitas
kekuasaan, terutama Ternate dan Tidore, justru menciptakan simpul-simpul wilayah kekuasaan
sebagai bagian dari jejaring niaga untuk menguatkan eksistensi kekuasaan Islam. Ketika terjadi
perebutan pengaruh kekuasaan antara Ternate dan Tidore, Ternate melakukan ekspansi di
wilayah Pulau Seram (Maluku Tengah dan Ambon), sementara itu Tidore melebarkan sayap
kekuasaannya ke wilayah pesisir utara Pulau Seram dan wilayah paling timur Pulau Seram, yakni
Gorom dan Seram Laut hingga ke wilayah Kepulauan Raja Ampat Irian Jaya (Leirissa, 2001:8).
Dalam sejarah kekuasaan kerajaan di wilayah Maluku Utara, daerah Kepulauan Raja Empat
mungkin yang paling popular sebagai salah satu wilayah perluasan kekuasaan dari persaingan
kekuasan antara Ternate dan Tidore.
Dalam beberapa literatur sejarah menyebutkan bahwa persaingan kedua kerajaan besar
Ternate dan Tidore saling berebut pengaruh dan kekuasaan di wilayah itu. Pada intinya, secara
umum Tanah Papua, merupakan salah satu wilayah yang berperan sebagai penyangga terhadap
eksistensi kekuasaan kerajaan yang berkembang di wilayah Utara terutama Ternate, Tidore dan
Bacan yang merupakan 3 (tiga) dari 4 (empat) pilar utama kekuasaan kerajaan Islam yang
disebut Molukie Kie Raha. Untuk menyambungkan zona-zona ekonomi itulah, banyak wilayah
yang mengantarai antara wilayah Kerajaan Ternate dan Tidore ditaklukkan. Dari hasil penelitian
arkeologi dan didukung sumber sejarah serta diperkuat tradisi tutur, diperoleh penjelasan bahwa
wilayah Seram Timur termasuk Pulau Gorom dan Geser merupakan daerah ekspansi dari
kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Maluku Utara, yakni Tidore. Di wilayah Kepulauan
Gorom terdapat 3 (tiga) aliansi kerajaan kecil yakni Amarsekaru, Kataloka dan Ondor yang
mengakui sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Tidore (Handoko, 2007a). Kompleks makam
Raja Amarsekaru, tugu pelantikan raja dan masjid kuno dengan segala perlengkapannya,
seluruhnya mengarah pada pengaruh Kerajaan Tidore.
Ambary, dalam tulisannya yang dikutip oleh Halwany Michrob mengatakan bahwa
sejarah masuknya Islam di Sorong dan Fakfak terjadi melalui dua jalur, yakni:
a. Di daerah Sorong, perkembangannya di mulai sejak abad ke-15 ketika Raja-raja
Ternate dan Tidore mengadakan pelayaran ke timur untuk mencari burung kuning
yang berlokasi di Salawati
b. Perkembangan agama Islam di daerah Fakfak dikembangkan oleh pedagang-
pedagang suku Bugis melalui Banda yang diteruskan ke Fakfak melalui Seram Timur
oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi yang telah lama
menetap di Ambon. (Mene, 2009).
Proses Islamisasi di wilayah Fakfak dilakukan melalui jalur, salah satunya melalui jalur,
dilakukan ketika para pedagang datang kemudian mereka menetap di pemukiman masyarakat di
sekitar daerah pesisir pantai, selain berdagang mereka juga memperkenalkan agama Islam
dengan mengajarkan penduduk untuk melakukan shalat. (Onim, 2006;102-105;ibid).
Kedatangan pengaruh Islam ke Indonesia bagian Timur, yaitu ke daerah Fakfak tidak
terpisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat pelayaran internasional di
Malaka, Jawa dan Maluku. Proses masuknya agama Islam di Maluku, Ternate, Tidore serta
pulau Banda dan Seram karena dari sini Islam memasuki kepulauan Raja Ampat di Sorong, dan
Semenajung Onin di Kabupaten Fakfak (ibid,).
Secara geografis tanah Papua memiliki kedekatan relasi etnik dan kebudayaan dengan
Maluku. Dalam hal ini Fakfak memiliki kedekatan dengan Maluku Tengah, Tenggara dan
Selatan, sedangkan dengan Raja Ampat memiliki kedekatan dengan Maluku Utara. Oleh karena
itu, dalam membahas sejarah masuknya Islam ke Fakfak kedua alur komunikasi dan relasi ini
perlu ditelusuri mengingat warga masyarakat baik di Semenanjung Onim Fakfak maupun Raja
Ampat di Sorong, keduanya telah lama menjadi wilayah ajang perebutan pengaruh kekuasaan
antara dua buah kesultanan atau kerajaan besar di Maluku Utara (Kesultanan Ternate dan
Tidore). Nampaknya historiografi Papua memperlihatkan bahwa yang terakhir inilah (Kesultanan
Tidore) yang lebih besar dominasinya di pesisir pantai kepulauan Raja Ampat dan Semenajung
Onim Fakfak. Walaupun demikian tidak berarti bahwa Ternate tidak ada pengaruhnya, justru
yang kedua ini dalam banyak hal sangat berpengaruh. Dengan adanya pengaruh kedua
kesultanan Islam ini di Raja Ampat, Sorong dan Fakfak, maka telah dapat diduga (dipastikan)
bahwa Islam masuk ke Raja Ampat dan Semenanjung Onim Fakfak (dan pantai selatan daerah
Kepala Burung pada umumnya) dalam lingkup pengaruh kedua kesultanan itu (Onim 2006;
83;ibid)
Kajian masuknya Islam di Tanah Papua juga pernah dilakukan oleh Thomas W Arnold
seorang orientalis Inggris didasarkan atas sumber-sumber primer antara lain dari Portugis,
Spanyol, Belanda dan Inggris. Dalam bukunya yang berjudul The preaching of Islam yang
dikutip oleh Bagyo Prasetyo disebutkan bahwa pada awal abad ke-16, suku-suku di Papua serta
pulau-pulau di sebelah barat lautnya, seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati telah
tunduk kepada Sultan Bacan salah seorang raja di Maluku kemudian Sultan Bacan meluaskan
kekuasaannya sampai Semenanjung Onim (Fakfak), di barat laut Irian pada tahun 1606, melalui
pengaruhnya dan pedagang muslim maka para pemuka masyarakat pulau-pulau tadi memeluk
agama Islam meskipun masyarakat pedalaman masih menganut animisme, tetapi rakyat pesisir
adalah Islam. Beberapa kerajaan di kepulauan Maluku yang wilayah teritorialnya sampai di pulau Papua
menjadikan Islam masuk pula di pulau Cendrawasih ini. Namun, dibanding wilayah lain, perkembangan
Islam di pulau hitam ini bisa dibilang tak terlalu besar. WC Klein juga menjelaskan fakta kapan
kedatangan Islam di tanah Papua. Di sana dia menulis pada tahun 1569 pemimpin-pemimpin
Papua mengunjungi Kerajaan Bacan dimana dari kunjungan tersebut terbentuklah kerajaan-
kerajaan. Kerajaan-kerajaan yang dimaksud itu adalah: Kerajaan Raja Ampat, Kerajaan Raja
Rumbati, Kerajaan Atiati dan Kerajaan Fatagar. Sumber cerita rakyat mengisahkan bahwa
daerah Biak Numfor telah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Tidore sejak abad ke-
XV. Sejumlah tokoh lokal, bahkan diangkat oleh Sultan Tidore menjadi pemimpin-pemimpin di
Biak. Mereka diberi berbagai macam gelar, (www.hidayatulloh.com).
Dari beberapa legenda yang berkembang di Raja Ampat dan Maluku, tersirat adanya
hubungan antara Papua dan Maluku terutama dengan Bacan yang sudah terjalin berabad-abad
yang lalu dimana jauh sebelum kerajan Tidore dan Ternate berkembang, kerajaan Bacan telah
terlebih dahulu memiliki hubungan dengan Biak Numfor. Bacan telah dikenal sebagai pusat
cengkeh di Maluku sebelum Ternate dan Tidore dikenal. Bahkan pada abad ke-7 Masehi, Bacan
telah memiliki hubungan dagang dengan kerajaan Sriwijaya yang dilakukan melalui jalur
pelayaran kuno melewati pesisir pulau Jawa, Bali, NTB,NTT,Maluku Tenggara, hingga tiba di
Banda, Hitu dan Bacan. Dalam legenda penduduk Bacan nama Papua disebutkan bahwa
Bikusigara menemukan empat buah telur ular yang sesudah beberapa hari kemudian menetas.
Tiga laki-laki dan seorang wanita. Seorang menjadi raja Bacan, seorang menjadi raja Papua,
seorang menjadi raja Butung dan Banggai, sedangkan wanita menjadi istri Raja Loloda di
Halmahera Utara. Dalam Kroniek van het Rijk Bacan, telah diceriterakan bahwa sesudah
kejadian malapetaka (letusan gunung?) dua putera Sultan menghilang. Akhirnya mereka
diketemukan, yang satu telah menjadi raja Misol yang lain di Waigeo (Abdurrahman, 1984:325).
Temuan masjid-masjid kuno di Kabupaten Fakfak, dapat menjadi bukti pengaruh
masuknya Islam di wilayah itu. Selain itu ditemukan sejumlah data artefaktual diantaranya gong,
bedug mesjid, rebana yang digunakan pada saat upacara maulid, songkok raja, tongkat cis, tanda
raja dan adanya silsilah kerajaan dari kerajaan Ati-ati. Mesjid-mesjid kuno yang ditemukan
tersebut tersebar di beberapa tempat diantaranya mesjid Patimburak, mesjid Werpigan dan
mesjid Merapi. Di Kabupaten Fakfak pada masa awal masuknya agama Islam ada empat raja
yang berkuasa diantaranya Raja Ati-ati, Ugar, Kapiar dan Namatota (sekarang masuk dalam
wilayah kabupaten Kaimana). Masing-masing raja tersebut mendirikan mesjid dan mesjid
tersebut yang digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam. Akan tetapi mesjid
yang didirikan oleh raja Ati-ati pada saat itu pada umumnya terbuat dari kayu sehingga tidak
bisa lagi ditemukan wujud maupun sisa-sisanya. Satu-satunya mesjid yang ditunjukkan oleh
keturunan Raja Ati-ati adalah mesjid Werpigan yang dibangun pada tahun 1931 oleh Raja ke-9.
Mesjid tersebut telah mengalami renovasi, sehingga konstruksi aslinya telah hilang yang nampak
adalah mesjid yang baru ( Tim peneliti, 1999; op.cit). Selanjutnya adalah mesjid yang didirikan
oleh Raja Fatagar yaitu mesjid Merapi terletak di kampung Merapi, dalam mesjid terdapat bedug
yang terbuat dari batang kayu kelapa. Di dekat mesjid terdapat makam Raja Fatagar I dan II,
makam terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok yang berada di dalam pagar dan kelompok
yang berada di luar pagar. Selain itu bukti pengaruh masuknya Islam yaitu ditemukan rebana
yang digunakan pada saat upacara maulid, gong, tanda raja, tongkat cis, songkok raja dan adanya
silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di wilayah tersebut (op.cit).
Dengan demikian, baik catatan sejarah maupun bukti-bukti arkeologis menunjukkan
bahwa wilayah Kepulauan Maluku dan Papua merupakan dua wilayah yang sejak dulu telah
menjalin kontak. Pada masa keemasan ketika Islam berkuasa di wilayah Kepulauan Maluku,
Kerajaan-kerajaan pusat kekuasaan Islam, seperti Ternate dan Tidore, dan sebelumnya Bacan,
merupakan wilayah yang melakukan ekspansi ke Papua., terutama di Kepulauan Raja Empat,
Fakfak dan Biak melalui jejaring niaga. Demikian halnya menyangkut pembahasan tentang
gerak perniagaan di wilayah Maluku dengan wilayah Papua. Banyak hal yang kompleks yang
sesungguhnya masih perlu dikaji lebih dalam lagi. Sepanjang lintasan dari wilayah Maluku ke
Papua, terdapat wilayah-wilayah yang menjadi daerah ekspansi kekuasaan Ternate dan Tidore,
yang jalin menjalin hingga mencapai wilayah Papua. Wilayah-wilayah antara Maluku hingga
Papua, dapat dipahami sebagai wilayah-wilayah ekozone dalam upaya membangun jejaring
niaga antara wilayah pusat kekuasaan Islam dengan wilayah-wilayah sayap kekuasaanya.
Kesimpulan
Sesungguhnya tulisan ini bermaksud menegaskan adanya kontak-kontak perdagangan
pada masa keemasan zaman pengaruh Islam antara wilayah Kepulauan Maluku dan Papua. Tidak
hanya persoalan niaga, lebih jauh Maluku diwakili oleh Kerajaan Ternate dan Tidore, serta
Bacan, melakukan ekspansi ke Papua untuk menancapkan tongkat kekuasaan dan Islam.
Berbicara tentang niaga, tentu saja tidak hanya melibatkan kerajaan-kerajaan Islam itu saja,
wilayah lainnya seperti Banda, Seram dan wilayah di Maluku Tenggara juga telah jalin–menjalin
membangun jejaring niaga dengan wilayah Papua. Namun, pada intinya hal ini merupakan
formasi yang terbangun seiring agenda perluasan kekuasaan Islam oleh pusat-pusat kekuasaan
Islam di Maluku.
Bagi pusat kekuasaan Islam di Maluku Utara, tentu saja wilayah Papua dimaksudkan
sebagai zona ekonomi yang diharapkan dapat menopang eksistensi kekuasaan Kerajaan Islam
yang berhasil melebarkan sayap kekuasaannya di Papua. Potensi sumberdaya alam serta
komoditi lokal yang berharga tentu menjadi jaminan, sebuah wilayah dapat bertahan dalam
kondisi persaingan. Dengan demikian, membangun zona ekonomi di Papua, dimaksudkan untuk
memperkuat jejaring niaga dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan sekaligus penyebaran
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ambary, H. M. 1996. Laporan Penelitian Arkeologi Islam di Pulau Bacan, Maluku Utara. Proyek Penelitian Arkeologi Maluku. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. (tidak terbit)
……........................,1998. Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu.Jakarta
Handoko, Wuri 2006 Periode Awal Kerajaan Hitu Hingga Masa Surutnya. Retrospeksi Arkeologi Sejarah. Kapata Arkeologi Vol. 2 Nomor 3 Tahun 2006. Balai Arkeologi Ambon.
…………………, 2007 Aktifitas Perdagangan Lokal Maluku: Tinjauan Awal Berdasarkan Data Keramik Asing dan Komoditi. Kapata Arkeologi. Vol. 3 Nomor 5. Balai Arkeologi Ambon
……………… 2007a Peran Strategis Wilayah Kepulauan Gorom dalam Kontak Awal Budaya, Perkembangan Perdagangan dan Budaya Islam di Maluku. Berita Penelitian Arkeologi (BPA) Vol. 2 Nomor 4 Tahun 2007. Balai Arkeologi Ambon.
Lapian, A.B 1984 Masalah Perbudakan Dalam Sejarah Indonesia: Hubungan Antara Maluku Dan Irian Jaya, dalam E.K.M.Masinambow, Maluku dan Irian Jaya. Jakarta. Buletin Leknas,Vol.III, No.1. LIPI
..……………2001. Ternate Sekitar Pertengahan Abad Ke-16. Dalam M.J. Abdulrahman, et.al. Ternate: Bandar Jalur Sutera, hal. 39-54. Ternate: LInTas (Lembaga Informasi dan Transformasi Sosial).
Leirissa, R.Z. 2001. Jalur Sutera: Integrasi Laut-Darat dan Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutera. Dalam M.J. Abdulrahman, et.al. Ternate: Bandar Jalur Sutera, Ternate: LinTas (Lembaga Informasi dan Transformasi Sosial).
Masinambow, F.K.M, Halmahera Dan Raja Ampat, Konsep dan Strategi Penelitian, Dalam Islam Dan Kristen Di Tanah Papua, Bandung: Jurnal Info Media, 2006
Marwati DJ dan Notosusanto N, 1993 Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta. Depdikbud
Paramita R. Abdurachman, 1984 Sumber-Sumber Sejarah Tentang Salawati, Raja Ampat dalam E.K.M.Masinambow (ed) Maluku dan Irian Jaya, Jakarta. Buletin Leknas Vol.III,No.1. LIPI
Ricklefs, M.C 2008 Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta. PT Serambi Ilmu Semesta.
Tjandrasasmita, Uka 2009 Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta. Kepustkaan Populer Gramedia (KPG).
Untoro, Heriyanti Ongkodharma, 2007 Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684. Kajian Arkeologi Ekonomi. Jakarta. Fakultas Imu Pengetahuan Budaya (FIB) Univeritas Indonesia.
Utomo, Bambang Budi 2008 Traditional Cruise Smart Tourism Berlatar Kesejarahan dan Budaya. Majalah Pesona, No.05/Tahun II- MingguII- Desember 2008. Depbudbar
Usmany, Desyy, 2009 Menapak Jejak Pelayaran Tradisional Orang Biak Numfor Abad 16 Hingga Awal Abad 20 Kajian Sejarah Maritim. Jayapura. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Jayapura.
www. hidayatulloh.com diakses pada tanggal 23 April 2010