14
1 GERAKAN POLITIK HTI BERBALUT DAKWAH MENUJU KHILAFAH ISLAMIYYAH 1 Oleh: Ahmad Ngisomudin, M. Ag. alias KH. Ahmad Ishomuddin 2 1. DEFINISI HIZBUT TAHRIR Hizbut Tahrir berasal dari bahasa Arab yang disusun dalam bentuk al-idlafah, hizb sebagai mudlaf (kata yang disandari) yang dalam bahasa Indonesia berarti partai 3 , dan al- tahrir sebagai mudlaf ilaihi (kata yang bersandar kepada mudlaf yang berarti pembebasan. 4 Sehingga Hizbut Tahrir dalam bahasa Indonesia berarti Partai (untuk) Pembebasan. Saya kutipkan definisi Hizbut Tahrir dari sebuah buku sangat tipis berbahasa Arab, karena bahasa resmi Hizbut Tahrir adalah Bahasa Arab, berjudul Hizb al-Tahrir yang terdiri dari 106 halaman terdapat definisi (al-ta’rif) dari Hizbut Tahrir sebagai berikut: مة ومعها لتتخذعمل بين اهو ي مبدؤه ومسسة عمله وام فالسياسسي مبدؤه ار هو حزب سيازب التحري حفةدة الخعا ليقودهام قضية لها وس ا وليساسيكتل سيحرير هو تد وحزب الت إلى الوجو بما أنزل والحكمريا خيكت ت تعليميا و علميا وكت ت روحيا وكت ت5 “Hizbut Tahrir adalah partai politik, ideologinya Islam, maka politik adalah aktivitasnya sedangkan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir selalu beraktivitas di antara umat dan bersamanya untuk menjadikan Islam sebagai petunjuk baginya dan agar menjadi penuntunnya untuk mengembalikan al-khilafah dan memutus dengan apa yang diiturunkan Allah kepada wujud. Dan Hizbut Tahrir adalah perhimpunan (organisasi) yang bersifat politik, bukan organisasi kerohanian, bukan organisasi ilmiah, bukan organisasi pendidikan dan bukan pula organisasi sosial.” 1 Tulisan ini dipresentasikan pada tanggal 15 Maret 2018 sebagai alat bukti persidangan di hadapan Majelis Hakim PTUN dalam perkara gugatan TUN yang diajukan oleh ex-HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) terhadap Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU- 30.AH.01.08 tahun 2017 tentang Pencabutan Kepuitusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-0028.60.10 Tahun 2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum HTI. 2 Sebagai Saksi Ahli. Ia adalah Rais Syuriah PBNU periode 2010-2015 dan 2015-2020 3 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 259 4 Ibid., hal. 252 5 Hizb al-Tahrir, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 1405/1985), Cetakan 1, halaman 4

GERAKAN POLITIK HTI BERBALUT DAKWAH MENUJU KHILAFAH ... · penuntunnya untuk mengembalikan al-khilafah dan memutus dengan apa yang diiturunkan Allah kepada wujud. Dan Hizbut Tahrir

  • Upload
    ngodan

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

GERAKAN POLITIK HTI BERBALUT DAKWAH MENUJU KHILAFAH

ISLAMIYYAH1

Oleh: Ahmad Ngisomudin, M. Ag. alias KH. Ahmad Ishomuddin2

1. DEFINISI HIZBUT TAHRIR

Hizbut Tahrir berasal dari bahasa Arab yang disusun dalam bentuk al-idlafah, hizb

sebagai mudlaf (kata yang disandari) yang dalam bahasa Indonesia berarti partai3, dan al-

tahrir sebagai mudlaf ilaihi (kata yang bersandar kepada mudlaf yang berarti

pembebasan.4 Sehingga Hizbut Tahrir dalam bahasa Indonesia berarti Partai (untuk)

Pembebasan.

Saya kutipkan definisi Hizbut Tahrir dari sebuah buku sangat tipis berbahasa Arab,

karena bahasa resmi Hizbut Tahrir adalah Bahasa Arab, berjudul Hizb al-Tahrir yang

terdiri dari 106 halaman terdapat definisi (al-ta’rif) dari Hizbut Tahrir sebagai berikut:

حزب التحرير هو حزب سياسي مبدؤه اإلسالم فالسياسة عمله واإلسالم مبدؤه وهو يعمل بين األمة ومعها لتتخذ

والحكم بما أنزل هللا إلى الوجود وحزب التحرير هو تكتل سياسي وليس اإلسالم قضية لها وليقودها إلعادة الخالفة

تكتال روحيا وال تكتال علميا وال تعليميا وال تكتال خيريا5

“Hizbut Tahrir adalah partai politik, ideologinya Islam, maka politik adalah aktivitasnya

sedangkan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir selalu beraktivitas di antara umat dan

bersamanya untuk menjadikan Islam sebagai petunjuk baginya dan agar menjadi

penuntunnya untuk mengembalikan al-khilafah dan memutus dengan apa yang

diiturunkan Allah kepada wujud. Dan Hizbut Tahrir adalah perhimpunan (organisasi)

yang bersifat politik, bukan organisasi kerohanian, bukan organisasi ilmiah, bukan

organisasi pendidikan dan bukan pula organisasi sosial.”

1 Tulisan ini dipresentasikan pada tanggal 15 Maret 2018 sebagai alat bukti persidangan di

hadapan Majelis Hakim PTUN dalam perkara gugatan TUN yang diajukan oleh ex-HTI (Hizbut

Tahrir Indonesia) terhadap Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-

30.AH.01.08 tahun 2017 tentang Pencabutan Kepuitusan Menteri Hukum dan HAM Nomor:

AHU-0028.60.10 Tahun 2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum HTI.

2 Sebagai Saksi Ahli. Ia adalah Rais Syuriah PBNU periode 2010-2015 dan 2015-2020

3 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 259

4 Ibid., hal. 252

5 Hizb al-Tahrir, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 1405/1985), Cetakan 1, halaman 4

2

Dalam buku berbahasa Arab yang berjudul Hizbut Tahrir tersebut dijelaskan tentang

aktivitas atau kegiatan Hizbut Tahrir keseluruhannya adalah aktivitas politik dengan

penjelasan sebagai berikut,

فعمل الحزب كله عمل سياسي سواء أكان خارج الحكم أم كان في الحكم وليس عمله تعليميا فهو ليس مدرسة كما أن

سالم وأحكامه ليعمل بها ولتحمل إليجادها في واقع عمله ليس وعظا و إرشادا بل عمله سياسي تعطى فيه أفكار اإل

الحياة والدولة 6

“Maka aktivias Hizbut Tahrir semuanya adalah aktivitas politik, baik aktivitas itu di luar

hukum atau di dalam hukum. Aktivitasnya bukan bersifat pendidikan, sehingga ia

bukanlah madrasah, sebagaimana bahwa aktivitasnya bukanlah memberikan petuah dan

bimbingan, namun aktivitasnya bersifat politik yang di dalamnya diberikan gagasan-

gagasan Islam dan hukum-hukumnya agar diamalkan dan diwujudkan dalam kehidupan

nyata dan negara (daulah islamiyah).”

Website resmi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)--yang merupakan bagian Hizbut Tahrir

(HT)--juga menyatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang

beridiologi Islam, bukan organisasi kerohanian, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga

pendidikan dan bukan pula lembaga sosial yang bermaksud membangun kembali Daulah

Khilafah Islamiyah di muka bumi.

Dalam buku berbahasa Inggris,The Method to Re-Estasblish the Khilafah and Resume the

Islamic Way of Life, yang dirilis oleh Hizbut Britain dinyatakan bahwa Hizbut Tahrir

sebagai partai dimaksudkan untuk bekerja ke arah pembentukan pemerintah, menerapkan

Islam secara komprehensif dan membawa pesannya ke seluruh dunia.7

Dari berbagai kutipan di atas cukup jelas bahwa HTI adalah partai politik yang

merupakan bagian dari Hizbut Tahrir yang juga partai politik, bahkan satu-satunya partai

politik Islam di dunia Internasional.

1. HTI MENYIMPANGKAN MAKNA KHALIFAH

Ditinjau dari sisi bahasa Arab, kata “khalifah ( خليفة (” adalah bentuk kata benda tunggal

yang berarti “orang yang mengatur urusan-urusan kaum muslim”, sedangkan bentuk

jamak (plural) nya adalah “khalaif ( خالئف ) .” Adapun kata “khulafa’ ( خلفاء) “

merupakan bentuk jamak dari kata “khalif ( خليف) ” tanpa huruf “ha’ ( الهاء) “ karena kata

ini bermakna al-fa’il (kata benda yang menunjukkan pelaku suatu perbuatan). Kata

“khalif” ini adalah asal kata dari “khalifah ( خليفة) .” Penambahan huruf “ha’ ( الهاء) ”

6 Ibid, halaman 22

7 Hizbut Tahrir Britain, The Method to Re-Estasblish the Khilafah and Resume the Islamic Way of

Life, (London: al-Khilafah Publication, 2000), halaman 88-100

3

padanya adalah mubalaghah (bentuk pernyataan yang dilebihkan/pleonastic) sehingga

menjadi sifat spesifik bagi orang tertentu.8

Menurut Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi (1283 H./1866 M.- 1332 H./1914 M.),

seorang ulama besar dari Syam (Syiria) menuliskan dalam tafsirnya, bahwa firman Allah

dalam Qs. al-Baqarah ayat 30:

كما قال تعالى وهو قرنا بعد قرن وإذ قال ربك للمالئكة إني جاعل في األرض خليفة أي قوما يخلف بعضهم بعضا

( 561: األنعام ) الذي جعلكم خالئف األرض 9

“Dan (ingatlah) ketika Tuhan Pemelihara kamu berfirman kepada para malaikat:

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan satu khalifah,” maksudnya (menjadikan) suatu

kaum menggantikan sebagian mereka dengan sebagian yang lain, satu generasi sesudah

generasi sebelumnya, sebagaimana firman Allah ta’ala: “Dan Dia-lah yang menjadikan

kamu para khalifah (di) bumi.” (Qs. al-An’am: 165)

Menurut al-Imam al-Qurthubi, kata “khalifah” itu bermakna fa’il (pelaku pekerjaan),

yaitu يخلف من كان قبله من المالئكة في األرض أو من كان قبله من غير المالئكة على ما روي yang

menggantikan orang yang sebelumnya berupa malaikat yang menetap di bumi atau orang

yang sebelumnya (yang tinggal di bumi) dari selain malaikat atas dasar suatu riwayat.

Makna “khalifah” dalam Qs. al-Baqarah ayat 30 ini menurut Ibnu Mas’ud, Ibn ‘Abbas

dan seluruh pakar tafsir adalah Nabi Adam ‘alaihi al-salam, demikian dikeluarkan oleh

al-Imam al-Thabari dalam tafsirnya10

. Nabi Adam adalah khalifatullah dalam

melaksanakan hukum-hukum-Nya dan perintah-perintah-Nya, karena ia adalah awwalu

rasulin (orang yang mula-mula diutus oleh Allah) ke bumi11

.

به الكلمة وتنفذ به أحكام الخليفة وال خالف مام وخليفة يسمع له ويطاع لتجتمعهذه األية أصل في نصب إ: لرابعة ا

عن الشريعة أصم وكذلك كل من قال بقولهال ما روي عن األصم حيث كان ب ذلك بين األمة وال بين األئمة إفي وجو

ن األمة متى أقاموا حجهم وجهادهم ين بل يسوغ ذلك وإنها غير واجبة في الدإ: واتبعه على رأيه و مذهبه قال

فيما بينهم وبذلوا الحق من أنفسهم وقسموا الغنائم والفيء والصدقات على أهلها وأقاموا الحدود على من وتناصفوا

!ماما يتولى ذلكم ذلك وال يجب عليهم أن ينصبوا إوجبت عليه أجزأه

8 Muhammad Ibrahim al-Khafnawi, Mu’jam Gharib al-Fiqh wa al-Ushul, (Kairo: Dar al-Hadits,

1430/2009), hal. 233

9 Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Tafsir al-Qasimi al-musamma Mahasin al-Ta’wil, (Kairo: Dar Ihya’

al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1376/1957), Juz 1, Cetakan ke-1, halaman 94

10 Al-Thabari, Jilid 1, halaman 479, 480

11 Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al-

Mubayyin li Ma Tadlammanahu min al-Sunnah wa Ayi al-Furqan, (Beirut: Muassasah al-Risalah,

1427/2006), Cetakan ke-1, Jilid 1, hal. 394, 395

4

( 66: ص )األرض انا جعلناك خليفة في يادوود : وقوله تعالى ني جاعل في األرض خليفة إ: ودليلنا قول هللا تعالى

يجعل منهم خلفاء إلى : أي ( 11: النور ) وعد هللا الذين ءامنوا وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في األرض : وقال

غير ذلك من اآلي12

Keempat: ayat ini (yakni penggalan firman Allah Qs. al-Baqarah ayat 30) adalah

landasan (dalil) dalam pengangkatan imam dan khalifah yang karenanya ia didengar dan

ditaati, yang dengannya supaya sepakat dalam satu kata dan dengannya hukum-hukum

dari khalifah dilaksanakan. Tidak ada perbedaan terkait kewajiban itu (mengangkat

pemimpin) di antara umat dan para imam, kecuali apa yang diriwayatkan oleh al-Asham

(yaitu ‘Abd al-Rahman bin Kaisan, Syaikh al-Mu’tazilah, wafat tahun 201 H.) di mana ia

tuli dari syari’ah, demikian juga setiap orang yang menyatakan, mengikuti pendapatnya

dan madzhabnya. Ia (al-Asham) berkata, “Sesungguhnya (mengangkat) khalifah itu

bukan kewajiban dalam agama, yang demikian itu hanyalah merupakan kebolehan.

Sesungguhnya apabila umat telah menunaikan haji, jihad mereka dan saling bersikap adil

dalam apa yang di antara mereka, memberikan hak dari diri mereka, mereka membagikan

ghanimah (harta rampasan perang), fai’ dan sedekah kepada yang pantas menerimanya,

mereka menegakkan al-hudud (sanksi pidana yang ditentukan oleh teks al-Qur’an)

kepada orang yang wajib menanggungnya, maka yang demikian itu sudah cukup dan

tidak wajib bagi mereka untuk mengangkat imam (pemimpin) untuk menangani semua

itu.”

Adapun dalil kami adalah firman Allah, “Sesungguhnya Aku hendak menciptakan satu

khalifah di bumi,” firman Allah, “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami telah

menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi,” (Qs. Shad: 26) dan firman Allah, “Allah

telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa

Dia pasti akan menjadikan mereka penguasa di bumi…” (Qs. al-Nur: 55), maknanya:

Allah akan menjadikan di antara mereka khulafa’ (para khalifah)

Mencermati penafsiran di atas, sangat jelas bahwa firman Allah dalam Qs.al-Baqarah

ayat 30 menyebut kata “khalifah” bukan dalam pengertian dan tidak pula berkonotasi

atau memberikan petunjuk yang jelas untuk menciptakan pemimpin (khilafah) politik,

sistem pemerintahan atau bentuk Negara dalam Islam.

Qs. al-Baqarah ayat 30 di atas dan Qs.Shad ayat 26 yakni firman Allah yang artinya, “Hai

Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi,

maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu

mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” adalah dua

ayat yang paling sering dipakai untuk melegitimasi sistem politik dalam Islam

sebagaimana dilakukan HTI dan para pegiat khilafah lainnya. Padahal Qs. al-Baqarah

ayat 30 yang menyebut kata “khalifah” bermakna sebagai khalifatullah (pengganti Allah)

dalam memakmurkan bumi melalui peran manusia dengan berbagai kesempurnaan yang

melekat padanya. Sedangkan Qs. Shad ayat 26 bermakna lebih menunjukkan kepada

tugas untuk memberikan keputusan hukum di antara manusia secara benar dan adil di

mana hal ini ditujukan kepada Nabi Daud ‘alaihissalam. Jadi, kedua ayat tersebut sama

sekali tidak menunjukkan makna “khalifah” sebagai entitas kepemimpinan politik untuk

12 Ibid.

5

menegakkan sistem khilafah islam yang bersifat internasional (al-khilafah al-islamiyyah

al-‘alamiyyah) sebagaimana ditafsirkan oleh HTI.

Hanya HTI saja yang mewajibkan penegakan sistem khilafah dengan kewajiban

mengangkat satu orang khalifah13

sedangkan di dunia ini hanya boleh ada satu

kekhilafahan saja. Dalam hal ini sebuah buku berbahasa Arab berjudul Ajhizat Daulat al-

Khilafah menjelaskan sebagai berikut,

يجب أن يكون المسلمون جميعا في دولة واحدة وأن يكون لهم خليفة واحد ال غير ويحرم شرعا أن يكون للمسلمين في

العالم أكثر من دولة واحدة وأكثر من خليفة واحد 14

“Semua orang muslim wajib berada di dalam satu negara dan (wajib) hanya memiliki

satu khalifah, tidak ada yang selainnya. Menurut syara’ haram bagi orang-orang muslim

memiliki lebih banyak dari satu negara di dunia ini dan (haram) memiliki lebih dari satu

khalifah.”

Padahal tidak ada seorang pun dari ulama madzhab Sunni dalam kitab-kitab mereka yang

mewajibkan hanya ada satu negara yang sah di dunia yang sangat luas ini yang wajib

berada dalam genggaman kekuasaan satu orang khalifah. Kitab-kitab fikih empat

madzhab hanyalah mewajibkan pengangkatan pemimpin (nashb al-imam) sebagaimana

kewajiban tersebut berdasarkan dalil al-Qur’an, al-Sunnah dan al-ijma’ (konsensus

ulama). Tidak ada satupun teks-teks fikih klasik itu menyebut kata “khilafah”

sebagaimana yang dimaksudkan oleh HTI. Bahkan, tidak ada satu pun dalil nash (teks al-

Qur’an dan al-Sunnah) yang secara sharih (jelas dan nyata) menyatakan wajib

mendirikan khilafah sebagaimana yang dimaksudkan oleh HTI.

Dalam hal ini HTI telah melakukan pengalihan makna kata khalifah yang disebut dalam

al-Qur’an dan yang tercantum dalam kitab-kitab fikih klasik kepada makna khilafah

sebagai sistem politik dan pemerintahan atau bentuk negara islami yang bersifat

internasional (al-khilafah al-islamiyyah al-‘alamiyyah), suatu makna yang sedikitpun

tidak dimaksudkan oleh para ulama pada masa lalu itu, lebih-lebih untuk konteks saat ini

di mana seluruh dunia telah terbagi-bagi menjadi negara bangsa (nation state).

Dengan demikian cukup jelas, bahwa HTI sengaja mengutip teks-teks baik berupa ayat

al-Qur’an yang menyebutkan kata khalifah dan derivasinya, mengutip penjelasan para

mufasir terkait ayat tersebut dan juga mengutip pendapat para ahli fikih tentang hukum

nasb al-imam (pengangkatan pemimpin) adalah sekedar klaim pembenar sepihak dan

(seluruh kutipan itu) pada hakikatnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan upaya

13 ‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzam al-hukmi fi al-Islam, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat,

2002/1422), halaman 43. Menurut ‘Abd al-Qadim Zallum, ia seorang pimpinan tertinggi Hizbut

Tahrir saat ini, bahwa hanya wajib mengangkat satu orang khalifah saja berdasarkan hadits

riwayat Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri dari Rasulullah SAW., beliau bersabda, “Apabila dua

khalifah dibaiat maka bunuhlah yang lain (salah satu) dari keduanya.”

14 Ajhizat Daulah al-Khilafah fi al-Hukmi wa al-Idarah, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat,

2005/1426), halaman 37

6

penegakan kembali khilafah sebagaimana yang dimaksudkan dan diperjuangkan oleh

HTI, yakni dalam makna sistem politik dan pemerintahan atau bentuk negara.

2. HTI MENGKHIANATI KONSENSUS KEBANGSAAN NKRI

Hizbut Tahrir (HT) yang didirikan oleh al-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pada 28

Jumada al-Tsaniah 1372 H. atau bertepatan dengan tanggal 14 Maret 1953 atau 1372 H.

di Al-Quds15

(Baitul Maqdis), Palestina dan baru memasuki Indonesia tahun 1980-an dan

kemudiaan diberi nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sama sekali tidak memiliki bukti

nyata turut andil dalam perjuangan mengusir penjajah dari bumi Indonesia,

memerdekakannya dari cengkeraman mereka, mempertahankan kemerdekaan dan HTI

sama sekali tidak terlibat dalam perintisan berdirinya NKRI, namun paling lantang

memperjuangkan tegaknya kembali sistem dan bentuk negara khilafah islamiyyah,

padahal HTI di Indonesia adalah satu-satunya organisasi Islam yang dikendalikan oleh

suatu kepemimpinan asing yang agendanya secara fundamental transnasional.

NKRI adalah hasil kesepakatan final bersama seluruh rakyat Indonesia dalam mendirikan

negara. Ide dan tujuan HTI yang berjuang untuk mendirikan negara berbentuk khilafah

islamiyyah adalah bentuk pengkhianatan atas konsensus kebangsaan (al-mu’ahadah al-

wathaniyyah) dan bukti nyata perlawanan terhadap kesepakatan final seluruh rakyat

Indonesia tentang bentuk negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu.

Sikap HTI jelas menentang sikap kebangsaan dan kenegaraan seluruh pendiri bangsa,

khususnya perjuangan mendirikan NKRI itu yang tidak bisa sama sekali dipisahkan dari

perjuangan para ulama/para kyai NU, para santri dan warga NU. Pernyataan ini bukanlah

omong kosong karena dapat dibuktikan oleh banyaknya tokoh NU yang bergelar sebagai

Pahlawan Nasional seperti Hadrat al-Syaikh Hasyim Asy’ari16

, KH. Abdul Wahid

Hasyim17

, KH. Zainul Mustofa18

dari Tasik Malaya, Jawa Barat, KH. Wahhab

Hasbullah19

, KH. Idham Chalid, dan KH. As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo, Jawa

Timur.

15 Hizb al-Tahrir, ( Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 1985/1405), halaman 17

16 Hadratusy-Syaikh Hasyim Asy’ari adalah pendiri sekaligus Rais Akbar NU yang pernah

mengeluarkan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945. Ditetapkan sebagai pahlawan

nasional pada 17 Nopember 1964 berkat jasanya yang besar bagi negara dengan melawan penjajah

dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

17 Beliau adalah salah seorang anggota Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

18 KH. Zainal Mustofa yang pernah menjadi Wakil Rais Syuriah NU secara terang-terangan

melawan para penjajah Belanda dan juga turut mengusir penjajah Jepang. Atas jasanya yang besar

bagi rakyat Indonesia itu beliau dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1972.

19 KH. Abdul Wahhab Hasbullah sejak tahun 1924 telah mengusulkan dibentuknya perhimpunan ulama

untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis. Selain sebagai salah seorang pendiri NU (dan pernah

menjabat posisi Rais Aam PBNU), sebelumnya beliau adalah pendiri Tashwirul Afkar, pendiri Nahdlatut

7

Oleh sebab itu, setelah Indonesia merdeka para ulama NU sepanjang masa berjuang keras

tak kenal lelah untuk mengisi kemerdekaan dengan membangun bangsa dan negara,

mempertahankan keutuhan dan kedaulatan NKRI. Hal ini sejalan dengan perintah dan

tujuan agama yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umum dan menghindarkannya dari

segala macam kemafsadatan. Dan yang terpenting adalah bahwa para ulama, tokoh NU

dan warganya selalu berada di barisan terdepan mengawal dan turut menjaga keutuhan

dan kedaulatan NKRI. Keutuhan dan kedaulatan NKRI sebagai warisan ulama NU dan

para pendiri bangsa selainnya untuk selamanya harus dijaga dari segala ancaman baik

yang muncul dari dalam maupun dari luar. Belajar kepada sejarah perjuangan dan

berdirinya NKRI kita perlu merujuk Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang pada intinya

menyatakan bahwa menurut hukum Islam menegakkan NKRI hukumnya wajib ‘ain

(kewajiban bagi setiap muslim) dan termasuk jihad fi sabilillah.

Menurut hukum Islam, NKRI adalah negara yang sah. Wilayah NKRI adalah wadah

besar untuk hidup bersama secara harmonis bagi seluruh rakyatnya yang memiliki

identitas sangat beragam. Di dalamnya dijamin kebebasan beragama. Setiap umat Islam

bisa dengan bebas mengamakan ajaran agamanya, bebas beribadah, bisa bertakwa

sesempurna mungkin dan tidak pula terhalang untuk berdakwah.

Mencita-citakan dan mengupayakan terbentuknya kembali sistem pemerintahan dan

bentuk negara khilafah islamiyyah di bumi Indonesia--meskipun dibungkus dengan

alasan dakwah sebagaimana dilakukan oleh HTI dan yang sejenisnya--untuk mengganti

NKRI tiada lain merupakan bentuk pengkhianatan yang nyata terhadap konsensus

nasional (al-mu’ahadah al-wathaniyyah) dari para pendirinya dan seluruh rakyat

Indonesia dan hanya dapat dilakukan dengan membubarkan NKRI terlebih dahulu. Visi

menghidupkan kembali al-khilafah al-islamiyyah di muka bumi Indonesia terkategori

sebagai perbedaan yang dilarang agama Islam karena menimbulkan bahaya besar

perpecahan20

dan bertentangan secara diametral dengan dasar negara dan ideologi bangsa

Indonesia, Pancasila.

Hizbut Tahrir (HT) menyatakan bahwa al-‘aqidah al-islamiyyah adalah dasar (azas)

negara…dan dalam waktu yang bersamaan adalah azas konstitusi dan perundang-

undangan yang bersifat syar’i21

di setiap zaman dan tempat 22

. Menurut HT pada negara

Tujjar, pendiri Madrasah Nahdlatul Wathan yang ketiganya adalah cikal bakal organisasi NU. Anugerah

sebagai Pahlawan Nasional ditetapkan pada tanggal 8 Nopember 2014.

20 Allah berfirman, (501: ال عمران )واعتصموا بحبل هللا جميعا وال تفرقوا “Dan berpeganglah kamu semua

kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai.” (Qs. Ali Imran: 103). Mengutip perkataan

Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan ayat ini, al-Qurthubi menulis, فإن هللا يأمر باأللفة وينهى عن الفرقة فإن

maka sesungguhnya Allah memerintahkan sikap lemah lembut dan“ الفرقة هلكة والجماعة نجاة

melarang perpecahan, sesungguhnya bercerai berai itu kerusakan sedangkan bersatu itu

keselamatan.” Syams al-Din al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Riyadl: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

[t.th.]), Jilid 4, halaman 159

21 Min Mansyurat Hizb al-Tahrir, Muqaddimah al-Dustur aw al-Asbab al-Mujibah lahu, (Beirut-

Lebanon: Dar al-Ummat, 2009/1430), halaman 4

22 Ibid, halaman 6

8

islam (al-daulah al-islamiyyah) tidak boleh ada ide, paham, hukum dan ukuran kecuali

yang bersumber pada al-‘aqidah al-islamiyyah.23

Dalam buku Muqaddimah al-Dustur

tertulis sebagai berikut,

فال تسمح بمفهوم غير منبثق عنها فال يسمح بمفهوم الديمقراطية أن يتبنى في الدولة ألنه غير منبثق عن العقيدة

لمنبثقة عنها اإلسالمية فضال عن مخالفته للمفاهيم ا

“Tidak boleh ada paham selain yang bersumber darinya (al-‘aqidah al-islamiyyah),

negara tidak diperkenankan mengadopsi paham demokrasi karena tidak bersumber dari

al-‘aqidah al-islamiyyah, lebih-lebih paham demokrasi itu bertentangan dengan paham-

paham yang bersumber darinya.”24

Kutipan di atas cukup membuktikan bahwa HTI selain anti terhadap platform bersama

yang mengikat seluruh warga negara dan bangsa Indonesia yaitu dasar negara dan

ideologi Pancasila dan juga anti kepada UUD 1945, UU dan peraturan-peraturan di

bawahnya, karena bukan digali dari al-‘aqidah al-islamiyyah, dan juga cukup

menjelaskan bahwa HTI juga tidak mengakui eksistensi demokrasi, padahal NKRI

ditegakkan berdasarkan demokrasi Pancasila.

Dengan demikian ide dan aktivitas HTI pada hakikatnya juga tidak menyetujui para

perumus Pancasila dan UUD 1945 yang di antara mereka adalah para ulama besar NU

yang mereka adalah anggota BPUPKI seperti KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur dan

lain-lain. Selanjutnya melalui Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Sukorejo,

Asembagus, Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 telah disepakati Deklarasi

Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam yang bunyinya antara lain, “Pancasila sebagai

dasar dan falsafah NKRI bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak

dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama....Penerimaan dan

pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya dari umat Islam untuk

menjalankan syari’at agamanya.”

3. BELAJAR KEPADA SEJARAH PEMBUBARAN DARUL ISLAM (DI/TII)

Kita tidak boleh melupakan sejarah dan tentulah wajib belajar darinya, bahwa sejak

menjelang kemerdekaan Indonesia tahun 1945 ide untuk mewujudkan Negara Islam

sudah mengancam keutuhan NKRI, sebagaimana ide untuk mendirikan Darul Islam (DI)

dengan diproklamirkannya Negara Islam Indonesia (NII) oleh imamnya, Sekarmadji

Maridjan Kartosoewiryo, dengan prinsip bahwa negara berdasarkan Islam, bentuk

pemerintahan Khilafah Islamiyah yang memberlakukan hukum Islam tertinggi, yaitu al-

Qur’an dan al-Sunnah, serta meyatakan bahwa negara berkewajiban untuk membuat

undang-undang berlandaskan syariat Islam, sedangkan orang-orang yang menolak cita-

cita atau ide tersebut mereka kafirkan dan karenanya mereka perangi.

23 ‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzam al-hukmi fi al-Islam, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 2002/1422)

halaman 19

24 Ibid, halaman 7

9

Bahkan DI/TII dalam rentang waktu yang relatif lama (1947-1962) juga memaklumkan

permusuhan, perlawanan dan pemberontakan terbesarnya di Jawa Barat, Jawa Tengah,

Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan Selatan terhadap pemerintahan RI yang baru saja

berdiri secara sah . Dalam kasus ini pemerintah RI bersama rakyat menumpas para

pemberontak DI/TII dan mengekskusi mati tokoh utamanya, Sekarmadji Maridjan

Kartosuwiryo, demi mengamankan dan menyelamatkan negara kita.

Sikap tegas pemerintah RI menumpas DI/TII tersebut sudah benar dan sejalan dengan

tuntunan ajaran Islam, karena beberapa alasan berikut: (1) menghindari cita-cita dan

sikap pengkhianatan terhadap konsensus bangsa Indonesia; (2) menghindari terjadinya

disintegrasi bangsa dalam wadah NKRI; (3) mencegah meluasnya saling benci dan

permusuhan, menghindari pertumpahan darah akibat perang saudara dan melindungi

segenap warga negara Republik Indonesia.

Menurut hukum Islam, NKRI adalah negara yang sah dan pemerintahannya juga

pemerintahan yang sah. Ajaran agama Islam melarang rakyatnya melakukan

pemberontakan kepada pemerintah yang sah. Ajaran Islam justru memberikan pernyataan

perlunya taat kepada makhluk, termasuk pemerintah yang sah, sepanjang tidak

diperintahkan untuk maksiat (durhaka) kepada Allah. Al-Imam al-Nawawi menegaskan

adanya ijma’ (konsensus) ulama, bahwa melakukan tindakan makar atau memberontak

terhadap pemerintahan yang sah adalah haram, meski pemerintahan fasik atau zalim.

ظالمين وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجمع المسلمين وإن كانوا فسقة 25

‘Adapun keluar dari ketaatan kepada pemerintah dan memeranginya maka hukumnya

haram berdasarkan ijma’al-muslimin, meskipun mereka fasik dan zalim.”

Keharaman melakukan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah tersebut disepakati

umat Islam karena menimbulkan berbagai fitnah, pertumpahan darah, menimbulkan

perselisihan antar kelompok dan akibat-akibat buruk lainnya.

4. HTI ANTI DEMOKRASI

Bahwa Hizbut Tahrir secara terang-terangan menyatakan dalam buku berbahasa Arab

yang dipublikasikannya, bahwa demokrasi adalah sistem kekafiran (nidzamu kufrin) yang

haram mengambilnya, menerapkannya dan haram pula menyeru kepadanya26

. Terkait

pandangannya tentang demokrasi salah seorang pucuk pimpinan Hizbut Tahrir, ‘Abd al-

Qadim Zallum, dalam bukunya menulis,

25 Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi,

1392), Jilid 12, halaman 229

26‘Abd al-Qadim Zallum, al-Dimoqratiyyah Yahrumu Akhdzuha aw Tathbiquha aw al-Da’wah

ilaiha, hal. 1

10

الديمقراطية التي سوقها الغرب الكافر إلى بالد المسلمين هي نظام كفر ال عالقة لها باإلسالم ال من قريب وال من بعيد

ي الجزئياتوهي تناقض مع أحكام اإلسالم تناقضا كليا في الكليات وف

“Demokrasi yang dipasarkan oleh Barat yang kafir ke negara-negara kaum muslim

adalah sistem kekafiran (nidzamu kufrin), Islam tidak ada hubungan dengannya, tidak

dari dekat dan tidak pula dari jauh. Demokrasi menentang hukum-hukum Islam dengan

penentangan yang bersifat menyeluruh, baik dalam perkara yang bersifat universal (al-

kulliyyat) dan perkara yang bersifat parsial (al-juz’iyyat).27

Penolakan terhadap demokrasi juga diungkapkan dalam buku berbahasa Arab yang

dijadikan sumber rujukan dan diadopsi oleh Hizbut Tahrir, Ajhizat Daulah al-Khilafah,

sebagai berikut,

والخالصة إن الديمقراطية نظام كفر ليس ألنها تقول بانتخاب الحاكم فليس هذا هو الموضوع األساس بل ألن األمر

إن الحكم إال هلل: قول األساس في الديمقراطية هو جعل التشريع للبشر وليس هلل رب العالمين وهللا سبحانه ي28

“Kesimpulannya, sesungguhnya demokrasi adalah aturan (system) kafir, bukan karena

demokrasi menyatakan voting dalam pemilihan pemimpin, maka bukan ini topik yang

mendasar, melainkan karena perkara yang pokok dalam demokrasi adalah menjadikan

perundang-undangan (dibuat) oleh manusia dan bukan oleh Allah Tuhan semesta Alam,

padahal Allah berfirman, “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.”

Penolakan HTI terhadap sistem demokrasi dalam konteks kehidupan berbangsa dan

bernegara di Indonesia—dengan demikian—membawa konsekwensi yang diwujudkan

oleh HTI dengan cara tidak melibatkan diri dalam setiap proses demokrasi, yakni tidak

mengikuti proses pemilihan umum presiden, pemilihan umum legislatif dan pemilihan

kepala daerah.

Penolakan HTI secara mutlak terhadap demokrasi sesungguhnya tidak sejalan dengan

ajaran Islam. Ada banyak nilai-nilai atau substansi demokrasi yang sejalan dan bahkan

terdapat dalam ajaran Islam, seperti demokrasi untuk melawan kesewenang-wenangan

para tiran jelas tidak bisa disebut sebagai kemungkaran apalagi kekafiran. Contoh

lainnya, bahwa Islam sepakat dengan demokrasi terkait pemilihan pemimpin. Dalil

terkuat untuk topik memilih pemimpin adalah bahwa Islam mengingkari seseorang yang

menjadi imam shalat atas para makmum yang membencinya, maka demikian pula

pandangan kita dalam masalah politik. Dan tentu ada banyak hal lain dalam demokrasi

yang tidak serta merta diberi stigma kufr (kekafiran) seperti pemilihan umum, meminta

fatwa, memenangkan suara terbanyak, multi partai, kebebasan pers, independensi hakim,

hak minoritas dan sebagainya.

27 Ibid, halaman 2

28 Ajhizah Daulat al-Khilafah fi al-Hukmi wa al-Idarah, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 2005/1426),

Cetakan ke-1, halaman 17

11

Sesungguhnya agama Islam tidak pernah melarang adopsi suatu gagasan dari non

muslim, sebagaimana Rasulullah menerima ide dari Persia untuk membuat parit pada

perang Khandaq, sebagaimana beliau memanfaatkan tawanan yang terdiri dari orang-

orang musyrik untuk mengajarkan baca tulis kepada umat Islam masa itu. Demikian

halnya beliau juga bisa menerima ide pemberian cap atau stampel pada surat-surat yang

dikirimkan kepada para raja. Dan juga Umar bin al-Khaththab bersedia menerima ide

administrasi perkantoran dan pengadministrasian jizyah (pajak).

Dari sini, tidaklah niscaya bahwa penerimaan terhadap demokrasi bermakna mengganti

hukum Allah, karena tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Demokrasi yang perlu

dibangun dan berlaku di negara-negara muslim adalah yang sejalan dan tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dalam hal politik seperti kewajiban memilih

pemimpin, pengakuan atas musyawarah untuk mufakat, nasehat, perintah untuk berbuat

kebajikan, pelarangan terhadap kemungkaran, melawan kezaliman dan sebagainya.

5. HTI MENGHARAMKAN KECINTAAN PADA TANAH AIR DAN

NASIONALISME

Selanjutnya HTI juga melarang kecintaan kepada tanah air (nasionalisme) dalam apa pun

istilahnya sebagaimana ditulis oleh ‘Abd al-Qadim Zallum dalam buku Nidzam al-Hukmi

fi al-Islam, sebuah buku yang mengulas lebih luas dan diadopsi dari Kitab Nidzam al-

hukmi fi al-Islam yang disusun oleh pendiri Hizbut Tahrir, Taqiy al-Din al-Nabhani

sebagai berikut,

وال يجوز أن يكون لمفهوم القومية أي اعتبار ألنه غير منبثق عن العقيدة اإلسالمية فضال عن أن المفاهيم المنبثقةعنها

ءت تذمه وتنهى عنه وتبين خطره وال يصح أن يكون لمفهوم الوطنية أي وجود ألنه غير منبثق عن هذه العقيدة جا29

“Tidak boleh ada paham kebangsaan apapun ungkapannya, karena hal itu tidak

bersumber dari al-‘aqidah al-islamiyyah, lebih-lebih konsep-konsep yang bersumber dari

al-‘aqidah al-islamiyyah mengecamnya, melarangnya dan menjelaskan bahayanya. Dan

(juga) tidak sah adanya paham nasionalisme apa pun wujudnya karena nasionalisme tidak

berasal dari akidah ini.”

Lahirnya negara-negara bangsa (nation state) di seluruh wilayah dunia dengan bentuknya

sesuai kesepakatan masing-masing para pendirinya merupakan kenyataan yang tidak bisa

diingkari oleh manusia yang berakal sehat. Sebagaimana senyatanya tidak dapat diingkari

bahwa tidak ada satu pun negara di dunia ini yang memiliki sistem pemerintahan dan

bentuk negara al-khilafah al-islamiyyah, apalagi yang bersifat al-‘alamiyyah

(internasional) di bawah komando satu khalifah untuk mengatur umat manusia sedunia.

6. PENEGAKAN KEMBALI KHILAFAH ISLAMIYAH MENGANCAM

KEUTUHAN NKRI

29 ‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 2002/1422),

halaman 19, 20

12

Menegakkan kembali al-khilafah al-islamiyyah pada saat semua negara di dunia ini telah

sepakat menjadi nation state (negara bangsa), sebagaimana NKRI, merupakan ilusi atau

kemungkinan yang sangat sulit dicapai karena beberapa alasan:

(1) Umat manusia, khususnya umat Islam yang senyatanya menganut berbagai madzhab

dan aliran yang sangat beragam, tidak akan menyepakati siapa khalifahnya dan

mustahil tunduk pada satu sistem pemerintahan al-khilafah al-islamiyyah

sebagaimana diperjuangkan oleh HTI dan yang sejenisnya.

(2) Terjadi perebutan kekuasaan, perubahan sistem pemerintahan dan bentuk negara

berpotensi besar menimbulkan sengketa, mengakibatkan perpecahan, konflik dan

pertumpahan darah, dan bahaya besar lainnya,

(3) Tidak akan ada sejengkal wilayah kekuasaan dan kedaulatan satu negara bangsa pun

yang diserahkan secara damai dan gratis kepada HTI dan yang semisalnya,

(4) Sangat tidak mungkin menyatukan berbagai negara dengan bentuk negara yang

sangat beragam itu (sedangkan nyata-nyata tidak satupun negara bangsa di dunia ini

yang berbentuk negara al-khilafah al-islamiyyah).

(5) Negara yang ada saat ini di seluruh penjuru dunia, khususnya NKRI, tidak dapat

dibubarkan dengan alasan membentuk ulang negara dengan sistem khilafah. UUD

1945 Pasal 37 ayat 5 menegaskan “Khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik

Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.”

7. KHILAFAH DALAM PERSPEKTIF NAHDLATUL ULAMA

Menimbang banyaknya laporan dari pengurus dan warga NU di berbagai wilayah

Indonesia terkait adanya penyebaran informasi dan gerakan politik pasca reformasi untuk

menegakkan kembali sistem khilafah yang berpotensi mengancam keutuhan dan

kedaulatan NKRI, maka PBNU pada tanggal 1-2 Nopember 2014 menggelar acara

Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) NU di Gedung PBNU, lantai 8, yang diikuti

oleh lebih dari 40 ulama yang terdiri dari para Rais Syuriah PBNU dan para Rais Syuriah

PWNU se-Indonesia.

Dalam Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Musyawarah Nasional Ulama NU tersebut

secara khusus dan serius membicarakan tema: “Khilafah dalam Perspektif Nahdlatul

Ulama.” Setelah melalui diskusi dan perdebatan yang cukup alot berjam-jam dari para

ulama akhirnya menyepakati 6 (enam) point penting yang resmi dan sah menjadi

keputusan Munas NU sebagai berikut:

1. Islam sebagai agama yang komprehensif (din syamil kamil) tidak mungkin

melewatkan masalah negara dan pemerintahan dari agenda pembahasannya, kendati

tidak dalam konsep yang utuh, namun dalam bentuk nilai-nilai dan prinsip-prinsip

dasar (mabadi’ asasiyyah). Dalam hal ini Islam telah memberikan panduan

(guidance) yang cukup bagi umatnya.

2. Mengangkat pemimpin (nashb al-imam) wajib hukumnya, karena kehidupan manusia

akan kacau (fawdla/chaos) tanpa adanya pemimpin. Hal ini diperkuat oleh

pernyataan para ulama terkemuka, antara lain:

a. Hujjat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din:

الدين والملك توأمان فالدين أصل والسلطان حارس فما ال أصل له فمهدوم وما ال حارس له فضائع

13

b. Syaikh al-Islam Taqiy al-Din Ibn Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah fi

Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah:

والية أمر الناس من أعظم واجبات الدين إذ ال قيام للدين إال بهاإن

“Sesungguhnya tugas mengatur dan mengelola urusan orang banyak (dalam

sebuah pemerintahan dan negara) adalah termasuk kewajiban agama yang paling

agung. Hal itu disebabkan oleh tidak mungkinnya agama dapat tegak dengan kokoh

tanpa adanya dukungan negara.”

3. Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem

pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk

mengatur dan merancang sistem pemerintahan sesuai dengan tuntutan perkembangan

kemajuan zaman dan tempat. Namun yang terpenting suatu pemerintahan harus bisa

melindungi dan menjamin warganya untuk mengamalkan dan menerapkan ajaran

agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan dan

keadilan.

4. Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah

dipraktikkan oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun. Al-Khilafah al-rasyidah adalah model

yang sesuai dengan eranya, yakni ketika kehidupan manusia belum berada di bawah

naungan negara-negara bangsa (nation states). Pada masa itu umat Islam sangat

dimungkinkan untuk hidup dalam sistem khilafah. Pada saat umat manusia bernaung

di bawah negara-negara bangsa (nation states) maka sistem khilafah bagi umat Islam

sedunia kehilangan relevansinya. Bahkan membangkitkan kembali ide khilafah pada

masa kita sekarang ini adalah sebuah utopia.

5. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah hasil perjanjian luhur kebangsaan di

antara anak bangsa pendiri negara ini. NKRI dibentuk guna mewadahi segenap

elemen bangsa yang sangat majemuk dalam hal suku, bahasa, budaya dan agama.

Sudah menjadi kewajiban elemen bangsa untuk mempertahakan dan memperkuat

keutuhan NKRI. Oleh karena itu, setiap jalan dan munculnya gerakan-gerakan yang

mengancam keutuhan NKRI wajib ditangkal. Sebab akan menimbulkan mafsadah

yang besar dan perpecahan umat.

6. Umat Islam tidak boleh terjebak dalam simbol-simbol dan formalitas nama yang

tampaknya islami, tetapi wajib berkomitmen pada substansi segala sesuatu. Dalam

adagium yang popular di kalangan para ulama dikatakan

العبرة بالجوهر ال بالمظهر

“Yang menjadi pegangan pokok adalah substansi, bukan simbol atau penampakan

lahiriah”.

سمالعبرة بالمسمى ال باال

“Yang menjadi pegangan pokok adalah sesuatu yang diberi nama, bukan nama itu

sendiri”

Dengan demikian, memperjuangkan nilai-nilai substantif ajaran Islam dalam sebuah

negara—apapun nama negara itu, Islam atau bukan—jauh lebih penting daripada

memperjuangkan tegaknya simbol-simbol negara Islam.

14