Upload
vanthu
View
223
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
2
3
HAK INFORMASI ATAS KESEHATAN BANK
Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH1
(Dipublikasikan dalam Jurnal “Negara dan Keadilan”, Program Pascasarjana Unisma
Malang, ISSN: 2302-7010, Vol. 6 No. 10, Pebruari 2017, h. 72-83)
Abstract
The right to information is one of human rights in a democratic state. Right to
information on the health of the banks is a control for the community, especially bank
customers, who entrust or save their money in a bank, in order to prevent the occurrence
of banking practices that harm the public interest. Unfortunately, the provision of the
right to information on the health of banks in Indonesia as stipulated in Article 29
paragraph (4) of the Banking Act is very inadequate and not in line with the application
of the principle of economic democracy adopted in the national banking system based
on Article 2 of the Banking Act.
Keywords: Right to Information, Health Bank
A. Pendahuluan
Krisis ekonomi-moneter yang pernah terjadi pada tahun 1997-1998 di Indonesia
sangat berpengaruh negatif bukan hanya terhadap kalangan dunia usaha, tetapi juga
berpengaruh terhadap sendi-sendi ekonomi rakyat secara keseluruhan. Bahkan sebagai
akibat dari krisis tersebut, banyak perusahaan yang secara faktual sudah bankrut
(pailit), meskipun secara legal-formal belum pernah dinyatakan bankrut, termasuk di
dalamnya perusahaan yang bergerak di sektor perbankan.
Dalam rangka menunjang dan menumbuhkan kembali gairah ekonomi rakyat
secara nasional, sektor perbankan mempunyai peran yang sangat strategis. Hal ini
terutama disebabkan oleh peran ganda dari fungsi utama bank, yaitu pertama sebagai
wahana dalam menghimpun dana-dana masyarakat, dan kedua menyalurkannya
kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat atau kalangan dunia usaha secara
efektif dan efisien untuk mendukung peningkatan pembangunan ekonomi rakyat.
Usaha perbankan yang demikian sejalan dengan asas demokrasi ekonomi yang dianut
dalam sistem perbankan modern saat ini.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (disingkat: UU
Perbankan) seperti dirumuskan pada pasal 2 menganut asas demokrasi ekonomi dalam
perbankan nasional. Asas demokrasi ekonomi mengandung arti bahwa setiap
kebijaksanaan dalam bidang ekonomi mensyaratkan adanya partisipasi publik dalam
pengambilan keputusan dan realisasinya serta adanya sarana kontrol berupa
transparansi informasi yang berkenaan dengan realisasi dari kebijaksanaan tersebut.
Khusus di bidang perbankan, dengan dianutnya asas tersebut berarti dalam
menjalankan sutau usaha bank wajib memberikan informasi yang transparan dan tidak
menyesatkan mengenai tingkat kesehatan keuangan bank kepada masyarakat, terutama
kepada para nasabah dan calon nasabah, supaya mereka dapat memilih dan
mempertimbangkan kondisi suatu bank. Sebelum memutuskan untuk berperan serta
dalam kegiatan ekonomi tersebut. Informasi yang demikian ini sangat diperlukan
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang
4
untuk memberikan perlindungan preventif kepada masyarakat yang ingin menyimpan
dana mereka kepada suatu bank. Keberadaan hak informasi atas kesehatan bank juga
sekaligus merupakan sarana kontrol bagi masyarakat untuk mencegah terjadinya
praktik-praktik perbankan yang merugikan kepentingan masyarakat luas.
B. Rumusan Masalah
Persoalan hukum yang dianalisis dalam penelitian ini adalah bagaimana
pengaturan mengenai hak nasabah bank untuk memperoleh informasi menurut UU
Perbankan?
Kajian terhadap persoalan ini sangat berguna bagi masyarakat luas, khususnya
bagi nasabah bank, sebagai salah satu langkah antisipatif dan preventif sebelum
mereka memutuskan untuk memilih suatu bank yang sehat, layak dan aman sebagai
mitra kerja dalam meningkatkan dan memperlancar kegiatan ekonomi masyarakat di
bidang penyimpanan dan penyaluran dana.
C. Pembahasan
1. Hak Informasi
Di Indonesia, pembahasan mengenai informasi kepada nasabah pernah menjadi
perdebatan yang serius pada saat pembahasan Rancangan Undang-undang Perbankan
(RUU Perbankan),2 khususnya tentang pengawasan dan pembinaan terhadap perbankan
sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (5) RUU Perbankan, yang menegaskan: “Bank
wajib memberi keterangan kepada nasabahnya mengenai transaksi yang mengandung
resiko kerugian bagi nasabahnya yang dilaksanakan melalui bank”.
Kalangan perbankan menolak ketentuan Pasal 25 ayat (5) RUU Perbankan
tersebut, karena ketentuan itu dianggap membahayakan pihak bank, sebagaimana yang
diutarakan oleh Rasjim Wiraatmadja sebagai berikut:
Ayat ini dinilai terlalu berbahaya bagi perbankan. Arti kata “transaksi yang
mengandung resiko kerugian bagi nasabahanya” dalam ayat tersebut sangat luas
sekali, sehingga nantinya akan menimbulkan berbagai penafsiran yang
memusingkan bank. Bisa saja bank digugat dan dituntut ganti rugi kerugian oleh
nasabahnya karena ia anggap bank yang bersangkutan belum/tidak memenuhi
kewajibannya memberi keterangan mengenai transaksi yang ia laksanakan
melalui bank yang bersangkutan yang mengakibatkan kerugian baginya. Oleh
sebab itu, saya sarankan sebaiknya ketentuan Pasal 25 ayat (5) dihapus saja.3
Ketentuan pasal 25 ayat (5) RUU Perbankan tersebut benar-benar telah berhasil
“dimentahkan” oleh kalangan perbankan dengan alasan bahwa perlindungan nasabah
dalam RUU itu dipandang berlebihan. Menurut mereka, ketentuan yang mewajibkan
kepada bank untuk “memberikan” informasi atau keterangan tersebut dinilai sangat
berat, sehingga dikhawatirkan tidak ada orang yang akan sanggup menjadi bankir. Oleh
karena itu, pada akhirnya ketentuan itu diubah seperti tersebut dalam Pasal 29 ayat (4)
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan terhadap Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disingkat: UU Perbankan), yang
menyatakan: “Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi
mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi
nasabah yang dilakukan melalui bank”.
2 RUU Perbankan yang dibuat sebelum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 3 Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah terhadap Produk Tabungan dan
Deposito, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. h. 43.
5
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan, itu berarti tidak ada
kewajiban bagi bank untuk “memberikan” informasi atau keterangan kepada nasabah
mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian terkait transaksi yang dilakukannya
kepada bank. Menurut pasal ini, bank hanya diwajibkan “menyediakan” informasi
tersebut untuk kepentingan nasabah. Jadi, menurut ketentuan ini bank tidak wajib
memberikan informasi kepada nasabah, bank hanya menyediakan informasi itu untuk
kepentingan nasabah.
Bagi bank sebenarnya ada atau tidaknya ketentuan tersebut tidak menutup
peluang untuk “bermain-main” dengan nasabah. Karena, sudah merupakan rahasia
umum bahwa bank sering melakukan rekayasa akutansi atau yang dikenal dengan
“window dressing”. Kalau hal ini dilakukan oleh bank, maka apapun yang dilaporkan
bank kepada nasabahnya tidak akan membuat “borok” mereka atas kesehatan bank
ketahuan, setidaknya bagi masyarakat awam mengenai neraca keuangan bank itu saja
sulit untuk mengetahui atau mengaksesnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
jika kemudian masyarakat (nasabah) menjadi korban atas ketertutupan informasi
mengenai kesehatan bank, baik disebabkan oleh keawamannya membaca laporan
keuangan maupun karena informasi yang diberikan bisa jadi malah menyesatkan.
Nasabah pun tak bisa berbuat apa-apa ketika bank mengalami collapse dan uang
mereka sulit diselamatkan, karena ketidaktahuan nasabah mengenai kesehatan
keuangan bank. Tragisnya, meski bank akhirnya dilikuidasi, kita tak pernah
mendengar informasi dari Bank Indonesia selaku lembaga pengawas eksternal
perbankan secara nasional, yang sejak tahun 2011 menjadi kewenangan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), itu melakukan black list terhadap seorang bankir yang nyata-nyata
telah menelantarkan dana milik nasabah.4
Mengacu pada ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan, untuk kepentingan
nasabah informasi itu “wajib disediakan” oleh bank. Informasi yang wajib disediakan
itu pun hanya sempit dan sangat terbatas ruang lingkupnya. Menurut penjelasan pasal
tersebut, informasi yang disediakan adalah informasi mengenai tingkat resiko dari
kegiatan yang menjadi sasaran penggunaan atau penempatan dana. Apabila informasi
telah disediakan, maka bank dianggap telah “memenuhi” kewajiban yang diatur dalam
UU Perbankan. Informasi tersebut perlu diberikan oleh bank dalam hal bank bertindak
sebagai perantara dalam melakukan penempatan dana dari nasabah atau
membeli/menjual surat berharga untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.
Apabila kita mengacu kepada penjelasan pasal tersebut maka teramat sempitlah
kewajiban bagi bank untuk memberikan informasi kepada nasabahnya. Karena
informasi itu hanya untuk pelayanan bank yang bertindak sebagai “perantara” dalam
melakukan penempatan dana dari nasabah, atau untuk membeli/menjual surat berharga
untuk kepentingan dan atas perintahnya saja. Keadaaan yang demikian ini kurang
memberikan penghargaan yang proporsional kepada nasabah sebagai pihak konsumen
jasa perbankan yang telah memberikan kepercayaan kepada bank yang bersangkutan.
Seharusnya bank berkewajiban memberikan informasi yang lengkap mengenai seluruh
jasa yang diberikan oleh bank terhadap nasabah yang menggunakan jasa tersebut, tidak
terbatas hanya memberikan informasi manakala bank bertindak selaku perantara saja.
Informasi sangat dibutuhkan dan memang merupakan hak nasabah, karena itu
sewajarnya bank memberikannya, kecuali yang berkenaan dengan rahasia bank. Dalam
hal ini, cukuplah bank memberikan informasi yang bisa (mudah) dipahami oleh
4 Suara Merdeka. 24 November 1992, h. 4.
6
nasabah sesuai dengan kemampuan intelektual nasabah tersebut, tidak perlu bersifat
teknis perbankan yang justru akan sulit dipahami.5
Hak atas informasi ini sangat diperlukan untuk mengimbangi hak yang dimiliki
oleh bank dalam melakukan analisis kredit yang mendetail terhadap bonafiditas calon
debitur dan mengharuskan mereka untuk menyediakan jaminan atas pinjaman yang
diminta. Sebaliknya, kalau masyarakat menyimpan dana di bank yang dipercayainya,
bank sama sekali tidak memberikan jaminan atas uang nasabah tersebut, misalnya
dalam bentuk asuransi deposito.6
Karena itulah wajar apabila nasabah atau masyarakat (calon) nasabah menuntut
adanya keterbukaan informasi mengenai kesehatan suatu bank dengan tujuan untuk
mencegah agar dana mereka tidak disalahgunakan oleh pihak pengelola perbankan
yang tidak fair dan tidak berhati-hati. Prinsip kehati-hatian (prudencial principle) di
dalam perbankan bertujuan agar bank dalam menjalankan atau mengelola usahanya
dalam keadaan sehat dan tidak bertindak ceroboh yang pada akhirnya merugikan para
nasabah penyimpan dana7 dan para kreditur bank lainnya.
2. Penilaian Terhadap Kesehatan Bank
Seorang nasabah harus cerdas memilih bank dalam menyimpan dananya.
Idealnya, sebelumnya menempatkan dananya di bank, nasabah perlu terlebih dahulu
mengetahui apakah bank tersebut sehat atau tidak. Meski dalam realitas tidak mudah
untuk mengetahui hal itu. Pentingnya kesehatan bank tidak hanya untuk kepentingan
nasabah, tetapi juga untuk kepentingan bank sebagai lembaga keuangan.8
Pentingnya lembaga keuangan, khususnya perbankan, dalam pencipataan sistem
keuangan yang sehat, menurut Anwar Nasution, mempunyai beberapa alasan, antara
lain:9
a. Keunikan karakteristik perbankan yang rentan terhadap serbuan masyarakat
yang menarik dana secara besar-besaran (bank runs) sehingga berpotensi
merugikan deposan dan kreditur bank;
b. Penyebaran kerugian di antara bank-bank sangat cepat melalui contagion
effect sehingga berpotensi menimbulkan sistem problem;
c. Proses penyelesaian bank-bank bermasalah membutuhkan dana dalam
jumlah yang tidak sedikit;
d. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sebagai lembaga
intermediasi akan menimbulkan tekanan-tekanan dalam sektor keuangan
(finacial distress); dan
e. Ketidakstabilan sektor keuangan akan berdampak pada kondisi
makroekonomi, khususnya dikaitkan dengan tidak efektifnya transmisi
kebijakan moneter.
5 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. 1993. h.
33. 6 Jawa Pos, 25 Agustus 1998. h. 1-2.
7 Sutan Remy Sjahdeini, Sudah Memadaikah Perlindungan Yang Diberikan Oleh Hukum
Kepada Nasabah Penyimpan Dana? Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis XL/Lustrum VIII,
Surabaya, 10 November 1994, h. 14. 8 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan: Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2012, h. 41.
9 Anwar Nasution, “Beberapa masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia”, Makalah
dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh BPHN – Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
7
Untuk menilai apakah bank itu sehat atau tidak, ada 3 (tiga) faktor yang harus
diperhatikan, yaitu:10
a. Keadaan keuangan bank, meliputi likuiditas, rentabilitas, dan solvabilitas;
b. Kualitas aktiva produktif, yakni kekayaan bank berupa penanaman dalam
berbagai aktiva yang diharapkan dapat memberi penghasilan pada bank;
c. Tata kerja kepatuhan bank terhadap peraturan perundang-undangan,
terutama yang berkaitan dengan bidang perpajakan.
Penilaian tingkat kesehatan bank di Indonesia sampai saat ini secara garis besar
didasarkan pada faktor CAMEL (Capital, Assets Quality, Management, Earning dan
Liquidity). Seiring dengan penerapan risk based supervision, penilaian tingkat
kesehatan juga memerlukan penyempurnaan sistem penilaian yang memperhitungkan
sensitivity to market risk atau risiko pasar. Dengan demikian faktor-faktor yang
diperhitungkan dalam system baru ini adalah didasarkan lima faktor CAMEL. Kelima
faktor tersebut merupakan faktor yang menentukan kondisi suatu bank. Apabila suatu
bank mengalami permasalahan pada salah satu faktor tersebut, apalagi menyangkut
lebih dari satu faktor, maka bank tersebut akan mengalami kesulitan.11
Suatu bank yang mengalami masalah likuiditas (meskipun bank tersebut
modalnya cukup, selalu untung, dikelola dengan baik, kualitas aktiva produktifnya
baik), apabila permasalahan tersebut tidak segera dapat diatasi maka bank tersebut akan
menjadi tidak sehat. Pada waktu terjadi krisis perbankan di Indonesia pada tahun
1997-1998 sebetulnya tidak semua bank dalam kondisi tidak sehat, tetapi karena terjadi
rush (pengambilan dana oleh para nasabah secara besar-besaran dalam waktu hampir
bersamaan) maka bank mengalami kesulitan likuiditas, akibatnya sejumlah bank yang
sebenarnya sehat menjadi tidak sehat.
Persoalannya adalah menurut ketentuan undang-undang siapa atau lembaga apa
yang memiliki otoritas untuk menilai kesehatan bank? Di Indonesia, ketentuan
mengenai kesehatan bank, antara lain diatur dalam Pasal 29 ayat (1), (2), (3), Pasal 30,
Pasal 31, dan Pasal 31A UU Perbankan:
Menurut Pasal 29 UU Perbankan:
(1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan
modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan
aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. (3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan
melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak
merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada
bank.
Berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (1) UU Perbankan, sebagaimana tersebut di
atas maka lembaga yang berwenang menilai apakah suatu bank sehat atau tidak adalah
Bank Indonesia selaku bank sentral. Namun, sejak dibentuknya Otoritas jasa Keuangan
(OJK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
10
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Cet. III, Grafiti, Jakarta, 2003, h.
98 11
Hernawa Rachmanto, “Analisis Tingkat Kesehatan Bank Syariah dengan Menggunakan
Metode Camel”, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2006, Lihat:
http://julmian-syah.blogspot.co.id/2012/04/kesehatan-bank-metode-camel.html
8
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253), maka kewenangan untuk menilai
kesehatan bank sudah bukan merupakan kewenangan Bank Indonesia, tetapi berubah
menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan.
OJK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 21 Tahun
2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK adalah
lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan.
OJK didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan
pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan, serta menggantikan peran Bank
Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank, serta untuk melindungi konsumen
industri jasa keuangan.
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan: (1) terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; (2) mampu
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan (3)
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Salah satu wewenang OJK
adalah menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan. Dengan
demikian, Bank Indonesia tidak lagi berwenang untuk menerbitkan peraturan dan
melakukan penilaian tentang atau yang terkait dengan kesehatan bank.
Ruang lingkup pengawasan mengenai kesehatan bank yang diatur oleh OJK
tidak jauh berbeda dengan pengaturan pengawasan yang dibuat oleh Bank Indonesia,
meliputi aspek likuiditas (kemampuan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek),
rentabilitas (kemampuan menghasilkan laba), solvabilitas (kemampuan untuk melunasi
seluruh utang dengan menggunakan seluruh aset yang dimiliki), kualitas aset, rasio
kecukupan modal, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap
simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan
kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing) dan standar
akuntansi publik.
Dalam rangka untuk melakukan pengawasan terhadap kesehatan bank yang
selama ini menjadi kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan, OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik
Indonesia Nomor 4 /POJK.03/2016 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Menurut Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 4/POJK.03/2016, Bank
wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara individu dengan
menggunakan pendekatan risiko (Risk-based Bank Rating) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3), dengan cakupan penilaian terhadap faktor-faktor: a. profil
risiko (risk profile); b. Good Corporate Governance (GCG); c. rentabilitas (earnings);
dan d. permodalan (capital).
Penilaian terhadap faktor profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf a merupakan penilaian terhadap risiko inheren dan kualitas penerapan
manajemen risiko dalam operasional Bank yang wajib dilakukan terhadap 8 (delapan)
risiko, yaitu: a. risiko kredit; b. risiko pasar; c. risiko likuiditas; d. risiko operasional; e.
risiko hukum; f. risiko stratejik; g. risiko kepatuhan; dan h. risiko reputasi.
Selanjutnya, terkait sistem penilaian atas kesehatan bank, Pasal 3 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan No. 4/POJK.03/2016 menentukan:
(1) Bank wajib melakukan penilaian sendiri (self-assessment) atas Tingkat Kesehatan
Bank sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3).
9
(2) Penilaian sendiri (self-assessment) Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dilakukan paling sedikit setiap semester untuk posisi akhir
bulan Juni dan akhir bulan Desember.
(3) Bank wajib melakukan pengkinian penilaian sendiri (self-assessment) Tingkat
Kesehatan Bank sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(4) Hasil penilaian sendiri (self-assessment) Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang telah mendapat persetujuan dari Direksi
wajib disampaikan kepada Dewan Komisaris.
(5) Bank wajib menyampaikan hasil penilaian sendiri (self-assessment) Tingkat
Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
Berdasarkan ketentuan pasal 3 Peraturan OJK tersebut diatas, OJK hanya
mengatur mengenai kewajiban bank untuk menyampaikan hasil self-assessment
mengenai tingkat kesehatan bank kepada OJK, tetapi sama sekali tidak mengatur
mengenai kewajiban bagi OJK untuk mengumumkan kepada publik mengenai hasil
penilaian atas kesehatan bank. Selanjutnya, peraturan OJK itu juga tidak mengatur
mengenai kewajiban bank untuk memberikan informasi mengenai kesehatan bank yang
bersangkutan kepada nasabahnya. Yang diatur hanyalah kewajiban bank untuk
menyampaikan hasil penilaian sendiri atas tingkat kesehatan banknya kepada OJK
selaku lembaga penilai tingkat kesehatan bank.
Ketentuan mengenai kewajiban bank untuk memberikan informasi atau
keterangan atau penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia selaku
pengawas bank terkait kesehatan bank sebelum digantikan oleh OJK, diatur pada Pasal
30 UU Perbankan, yang menentukan:
(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan
penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia. (2) Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi
pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib
memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari
segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang
bersangkutan. (3) Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia. Di samping berdasarkan ketentuan UU Perbankan tersebut di atas, dalam rangka
menjaga dan memberikan jaminan kepada masyarakat, khususnya nasabah kreditur,
mengenai kesehatan bank, Pasal 31 UU Perbankan menentukan bahwa: “Bank
Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap
waktu apabila diperlukan”. Untuk itu, menurut Pasal 31A UU Perbankan: “Bank
Indonesia dapat menugaskan Akuntan Publik untuk dan atas nama Bank Indonesia
melaksanakan pemeriksaan terhadap bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31”. Dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1), (2), (3) dan (4) dikemukakan bahwa
mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada
bank atas dasar kepercayaan, maka setiap bank perlu menjaga kesehatannya dan
memelihara kepercayaan masyarakat padanya. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia
diberi wewenang dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan
terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya, baik yang bersifat preventif dalam
bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk, nasehat, bimbingan dan pengarahan maupun
10
secara represif dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan
perbaikan.
Pengawasan bank merupakan suatu proses pemeriksaan dan monitoring untuk
menjamin pelaksanaan aturan mengenai pasar serta aturan prudencial industri
perbankan untuk memelihara kesehatan usahanya. Pemeriksaan itu dapat bersifat
administratif, yakni untuk sekedar memenuhi aturan formal. Sementara di lain pihak,
pemeriksaan juga bersifat antisipatif, yakni menganalisis kemungkinan kejadian di
masa depan, berdasarkan fakta yang tersedia hingga masa kini.
Pengawasan bank dapat dibedakan antara pengawasan internal dan eksternal.
Pengawasan internal dilakukan oleh: (a) pemilik bank, (b) pemimpin usaha bank, dan
(c) deposan. Pemiliki memiliki kepentingan untuk mencegah terjadinya erosi modal
investasi dan mengupayakan agar modal investasi tersebut memberikan balas jasa yang
sebesar-besarnya. Untuk mencegah deposito mereka, deposan menuntut kebenaran
dalam laporan keuangan bank. Sedang, pengawasan eksternal dilakukan oleh Bank
Indonesia sebagai bank sentral.
Selama ini, dalam persaingan yang semakin ketat telah merangsang bank untuk
melakukan ekspansi kegiatan yang seringkali mengandung resiko tinggi tanpa
mengindahkan asas kehati-hatian (prudencial principle) maupun kemungkinan
dampaknya terhadap kesehatan bank itu sendiri. Ekspansi kegiatan perbankan yang
sangat menonjol, setelah deregulasi perbankan (Paket Oktober/Pakto 1998), adalah
terutama pada ekspansi kredit dan transaksi dalam bentuk devisa. Margin trading
valutas asing telah menyebabkan krisis bank Duta tahun 1990, sehingga perlu
mendapatkan suntikan dana sekitar US$ 700 juta dari simpatisan pemiliknya, karena
dewasa ini bank-bank dilarang melakukan sendiri maupun menjalani kegiatan
transaksi surat-surat berharga,12
maka bank-bank nasional tidak melakukan margin
trading sekuritas. Kasus yang ada, seperti yang pernah dialami oleh Bank Pacifik,
Bank Yama dan Bank Artha Prima, adalah “endorsmen” commercial papers dalam
jumlah yang jauh lebih besar dari pada nilai modal serta aktiva bank.
Berbagai kasus yang menggambarkan adanya kelemahan pengawasan internal,
seperti kasus Bank Summa dan Bapindo, terutama disebabkan oleh lemahnya: a.
seleksi nasabah kredit; b. administrasi agunan kredit; c. pengawasan penggunaan kredit;
dan d. penagihan kembali kredit yang pernah dikucurkan. Kelemahan internal itu
mencerminkan bahwa tidak dipatuhinya “alat pengaman” berupa the four Cs, yaitu:
capital, character, collateral, dan capacity, dalam praktek perbankan sehari-harinya.
Ironisnya, dalam pemberian suatu kredit, terkadang mereka lebih percaya terhadap
“katabelece” seorang pejabat dari pada pengaman yang umumnya sudah diatur dalam
perundang-undangan. Akibatnya, banyak bank, khususnya bank pemerintah yang
kesehatannya terganggu, hanya karena banyaknya kredit macet (non performing loan)
atau kredit bermasalah.
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia bertanggung jawab untuk membantu
bank-bank bermasalah. Namun demikian, seperti halnya dengan informasi tentang
bank itu sendiri, tidak ada informasi yang rinci mengenai apa yang telah diperbuat oleh
Bank Indonesia dalam rangka pembinaan tersebut. Laporan statistik mingguan maupun
bulanan Bank Indonesia, misalnya, tidak memuat langkah pembinaan itu secara khusus.
Sementara itu, laporan tahunan Bank Indonesia hanya menyinggungnya secara samar
dan justru bersifat disinformatif dan menyesatkan.13
12
Penjelasan Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan 13
Newsletter, No. 30/VIII/September/1997, h. 22-24.
11
Di beberapa negara maju, kebutuhan informasi tentang kemampuan atau
kesehatan suatu bank sudah bisa dipenuhi oleh semacam lembaga penilai risiko
(Rating Agencies). Di negara-negara yang menganut keterbukaan informasi, bank-bank
yang bertaraf internasional sudah terbuka untuk dinilai oleh berbagai lembaga penilai
resiko dari berbagai negara. Hal ini merupakan suatu praktek perbankan global yang
juga menjadi tantangan dunia perbankan di Indonesia. Penilaian lembaga rating ini
meliputi kemampuan suatu bank untuk membayar utang berjangkanya, sesuai dengan
jadwal waktu yang sudah ditentukan dalam perjanjian. Perangkingan terhadap lembaga
bank yang dikaitkan dengan tingkat kesehatan bank secara teknis bisa dipaparkan
dalam bentuk huruf ataupun angka-angka sesuai dengan kebutuhan.
Saat ini di Indonesia, penilaian peringkat (rating) kesehatan bank umum diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan RI No. 4/POJK.03/2016, khususnya pasal 9,
yang menentukan bahwa:
(1) Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank ditetapkan berdasarkan analisis
secara komprehensif dan terstruktur terhadap peringkat setiap faktor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan
memperhatikan materialitas dan signifikansi masing-masing faktor.
(2) Peringkat Komposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan:
a. Peringkat Komposit 1 (PK-1);
b. Peringkat Komposit 2 (PK-2);
c. Peringkat Komposit 3 (PK-3);
d. Peringkat Komposit 4 (PK-4); dan
e. Peringkat Komposit 5 (PK-5).
(3) Peringkat Komposit 1 (PK-1) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sangat sehat sehingga dinilai
sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan
kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.
(4) Peringkat Komposit 2 (PK-2) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sehat sehingga dinilai mampu
menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan
faktor eksternal lainnya.
(5) Peringkat Komposit 3 (PK-3) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
mencerminkan kondisi Bank yang secara umum cukup sehat sehingga dinilai
cukup mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan
kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.
(6) Peringkat Komposit 4 (PK-4) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
mencerminkan kondisi Bank yang secara umum kurang sehat sehingga dinilai
kurang mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan
kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.
(7) Peringkat Komposit 5 (PK-5) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e
mencerminkan kondisi Bank yang secara umum tidak sehat sehingga dinilai tidak
mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi
bisnis dan faktor eksternal lainnya.
Informasi mengenai rating atau peringkat komposit suatu bank akan sangat
membantu pemakai jasa perbankan (nasabah) dan bank itu sendiri dalam menentukan
suku bunga dari suatu bank. Semakin rendah rating suatu bank, suku bunga yang harus
dibayar akan semakin tinggi. Sebab, jika tidak demikian maka jasa perbankan yang
ditawarkan tidak akan laku. Akan tetapi, jika tingkat suku bunganya semakin tinggi,
12
maka risiko akan terjadinya kerugian yang mungkin dialami oleh suatu bank juga akan
semakin tinggi. Dengan kata lain, suatu bank yang sehat biasanya memasang suku
bunga yang relatif rendah. Dengan adanya informasi mengenai kesehatan bank, tentu
diharapkan nasabah akan bisa menerima kenyataan yang ada apabila terjadi sesuatu
pada diri bank yang bersangkutan, karena sejak semula nasabah sudah mengetahui dan
telah mempertimbangkannya.
Di Indonesia, Bank Indonesia menerbitkan peraturan mengenai penilaian
terhadap kesehatan bank yang saat ini sudah diubah melalui Peraturan Ojk,
perangkingan bank secara samar-samar sebenarnya mulai ada. Munculnya istilah
“bank papan atas” dan “bank papan bawah”, sebenarnya menunjukkan bahwa upaya ke
arah perangkingan suatu bank sudah mulai ada atau mulai dilakukan. Bahkan, di
kalangan perbankan sendiri juga mengharapkan bahwa masing-masing bank akan
mengumumkan suku bunga sesuai dengan rating-nya.14
Upaya yang lebih konkrit
tampaknya sudah harus segera diwujdukan, mengingat kebutuhan akan informasi itu
sudah sangat mendesak.
Sebagaimana diketahui bahwa melalui Paket Kebijakan Februari 1991 atau
dikenal dengan sebutan “Paktri 91”, pemerintah telah menetapkan beberapa syarat
yang harus dipenuhi oleh bank untuk dapat diukur tingkat kesehatannya, termasuk di
dalamnya mengenai rasio kecukupan modal atau Capital Adequancy Ratio (CAR) dan
Loan to Deposits Ratio (LDR). CAR adalah perbandingan antara modal yang tersedia
dan hutang yang diberikan, sedang LDR adalah perbandingan antara jumlah dana
simpanan para nasabah yang berhasil dikerahkan oleh bank. Tujuan ditetapkannya
CAR dan LDR adalah agar bank di dalam memberikan pinjaman terhadap terhadap
nasabah debitur harus dibatasi, karena hal ini dikhawatirkan akan mendatangkan resiko
terhadap bank maupun nasabah penyimpan dana (nasabah kreditur). dengan nilai dan
bobotnya masing-masing pemenuhan persyaratan itu akan diukur oleh pemerintah
sejauh mana tingkat kesehatan bank yang bersangkutan.
Persoalannya adalah dapatkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan
informasi mengenai tingkat kesehatan suatu bank kepada masyarakat, khususnya
kepada nasabah?
Dalam hal ini, OJK terkendala oleh ketentuan dalam UU Perbankan yang
mengatur mengenai rahasia bank. Pemerintah, termasuk dalam hal ini OJK menurut
Pasal 30 ayat (3) UU Perbankan, dengan alasan apapun tidak dapat mengungkapkan
atau mengumumkan kepada masyarakat mengenai segala keterangan, dokumen, dan
penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan kepada Bank Indonesia
mengenai usahanya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) dan (2),
karena hal itu bersifat rahasia.
Pertimbangannya adalah meskipun penilaian itu sendiri belum tentu
mencerminkan keadaan sesungguhnya mengenai kondisi bank, diumumkannya secara
terbuka mengenai tingkat kesehatan bank tidak bisa diingkari akan mempengaruhi
prestise dan citra bank, serta image masyarakat terhadap bank yang bersangkutan.
Apabila pemberian peringkat terhadap tingkat kesehatan suatu bank oleh OJK
tidak diumumkan secara terbuka, maka sebagai gantinya perlu ada sebuah lembaga
penilai swasta independen terhadap kesehatan bank. Dalam hal ini, yang harus
diperhatikan adalah: pertama, kriterianya harus diketahui secara terbuka, dan kedua,
kriteria tersebut harus diukur secara kuantitatif berdasarkan cara perhitungan yang
14
Suara Merdeka, 21 Januari 1992, h. 4.
13
sama dan tidak mengandung unsur-unsur subyektif. Misalnya, penilaian menyangkut
Return on Asset (ROA), Return on Investment (ROI), LDR, dan sebagainya.
Idealnya, penilaian peringkat seperti ini lebih tepat dilakukan terhadap
bank-bank go public yang telah menjual sahamnya di pasar modal, kendati tidak
tertutup kemungkinan hal itu juga diterapkan terhadap bank yang belum go public.
Sebab, sebagai perusahaan publik, adalah hak seluruh masyarakat untuk mengetahui
mengenai posisi dan kondisi keuangan perusahaan yang bergerak di sektor perbankan.
Harus diakui cara ini tidak menutup peluang terjadinya konfik kepentingan (conflic of
interest) antara lembaga penilai dengan pihak yang dinilai. Namun, paling tidak
dengan penilaian ini dapat memberikan referensi (acuan) bagi masyarakat untuk tidak
sama sekali sprekulatif dalam menempatkan uangnya.
Tentunya, semakin banyak credit rating yang tersedia, maka semakin banyak
memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam menentukan dimana sebaiknya
mereka menyimpan uangnya. Sebab, selama ini dalam praktik perbankan di Indonesia
posisi nasabah dalam menyimpan uangnya di bank sama halnya dengan “membeli
seekor kucing dalam karung”, mereka sama sekali buta (blind), tidak mengetahui
mengenai kesehatan suatu bank, mereka biasanya hanya tertarik kepada bank karena
informasi mengenai tingkat suatu suku bunga yang ditawarkan atau karena adanya
berbagai “iming-iming” hadiah yang menggiurkan mereka.
Mestinya, dalam sistem perbankan nasional yang menganut asas demokrasi
ekonomi sebagaimana disebutkan pada pasal 2 UU Perbankan, masyarakat (khususnya
nasabah) mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang transparan atas kesehatan
bank dimana mereka menempatkan dananya. Hak untuk memperoleh informasi atas
kesehatan bank itu nyatanya terdistorsi atau bahkan terhalangi oleh ketentuan
mengenai rahasia bank. Jadi, apalah artinya masyarakat (khususnya nasabah)
berdasarkan UU Perbankan diberikan hak informasi atas kesehatan bank, kalau
ternyata berdasarkan UU Perbankan yang sama hak itu sulit diakses atau diperoleh
dengan dalih atau demi kerahasiaan bank? Itu sama artinya dengan adagium dalam
bahasa Arab “wujuduhu kaadamihi” (adanya sama dengan tidak adanya)!
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai hak
informasi atas kesehatan bank sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU
Perbankan sangat tidak memadai dan tidak sejalan dengan penerapan asas demokrasi
ekonomi yang dianut oleh sistem perbankan berdasarkan pasal 2 UU Perbankan,
khususnya dilihat dari kepentingan nasabah.
Pengaturan mengenai kewajiban bank dalam menyediakan informasi dan bukan
memberikan informasi, di samping tidak tegas juga sangat sempit materinya. Karena,
pertama, informasi itu diberikan hanya untuk pelayanan bank yang bertindak sebagai
perantara dalam melakukan penempatan dana dari nasabah atau untuk membeli/
menjual surat berharga untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya saja.
Seharusnya bank berkewajiban memberikan informasi yang lengkap mengenai seluruh
jasa yang diberikan oleh bank terhadap nasabah yang menggunakan jasa tersebut.
Kedua, nasabah bank tidak berhak untuk mendapatkan informasi mengenai kesehatan
bank, karena hal ini menyangkut rahasia bank yang tidak boleh diumumkan kepada
masyarakat (Pasal 30 ayat (3) UU Perbankan). Larangan untuk mempublikasikan
keterangan mengenai kesehatan bank ini tidak sesuai dengan norma-norma perbankan
internasional dalam rangka melindungi nasabah bank secara preventif.
14
E. Rekomendasi
Perlindungan hukum secara preventif kepada masyarakat, terutama nasabah
bank, melalui instrumen hukum yang antisipatif kiranya lebih baik daripada
perlindungan hukum secara represif setelah banknya dinyatakan tidak sehat, bankrut,
dan dilikuidasi. Oleh karena itu, perlu dilakuan perubahan atau revisi terhadap UU
Perbankan dan UU OJK, khususnya menyangkut pengaturan mengenai kesehatan bank,
pengawasan terhadap bank, perlindungan terhadap nasabah dan kreditur lainnya, serta
yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai hak atas informasi bagi nasabah atas
kesehatan bank, untuk mencegah terjadinya kemungkinan permainan “pat gulipat”
dalam dunia perbankan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Anwar Nasution, “Beberapa masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia”,
Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang
diselenggarakan oleh BPHN – Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
1993
Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah terhadap Produk
Tabungan dan Deposito, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan: Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2012
Sutan Remy Sjahdeini, Sudah Memadaikah Perlindungan yang Diberikan oleh Hukum
kepada Nasabah Penyimpan Dana? Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis
XL/Lustrum VIII, Surabaya, 10 November 1994
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Cet. III, Grafiti, Jakarta,
2003
Perundang-undangan:
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 4/POJK.03/2016 tentang Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum
Website:
Hernawa Rachmanto, “Analisis Tingkat Kesehatan Bank Syariah dengan
Menggunakan Metode Camel”, UII, Yogyakarta, 2006. Lihat:.
http://julmian-syah.blogspot.co.id/2012/04/kesehatan-bank-metode-camel.html
Majalah dan Harian:
Newsletter, No. 30/VIII/September/1997
Jawa Pos, 25 Agustus 1998
Suara Merdeka, 21 Januari 1992
Suara Merdeka. 24 November 1992