20
S aat ini Acta Medica Indonesiana (AMI) satu-satunya jurnal kedokteran di Indonesia yang eksis terakreditasi interna- tional. Jurnal besutan dokter spesialis penyakit dalam ini bersanding dengan Lancet, BMJ, dan jurnal-jurnal internation- al lain. Dengan mengetik www.ncbi.nlm.nih.gov, para klinisi maupun peneliti dari berbagai belahan dunia dapat dengan mudah memperoleh informasi dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti Indonesia. Tak pelak, nama-nama pe- neliti dan penulis dalam negeri menambah panjang daftar peneliti dunia.”Memang dari awal kami berupaya membuat jurnal ini menjadi jurnal international, agar penelitian-peneli- tian kita dapat disebarluaskan dan menjadi referensi oleh ahli-ahli lain dari berbagai dunia,” ujar Editor in Chief AMI, DR.Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP. Untuk dapat mempertahankan akreditasi international bukan perkara mudah. Sebelumnya, di Indonesia ada bebe- rapa jurnal kedokteran lain, baik dari fakultas kedokteran maupun perhimpunan spesialis yang terindeks di database jurnal international seperti Pubmed. Sayangnya, hingga kini jurnal-jurnal tersebut sudah tidak terakreditasi international lagi. ”Penilaian jurnal international sangat ketat. Bila ada kesalahan, langsung turun,” kata Wakil Kementrian Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Fasli Jalal, SpGK, PhD ketika ditemui Halo Internis di sela-sela aktivitasnya di Departemen Pendidikan Nasional. (HI) Acta Medica Indonesiana: Go International Acta Medica Indonesiana: Go International Edisi 17 September 2010 3 4 9 12 16 Acta Medica Indonesiana: Jurnal Lokal, Kualitas International Acta Medica Indonesiana: Jalan Panjang Go International Prof. Dr. Teguh Santoso, SpPD, K-KV, SpJP, FINASIM, PhD, FACC, FESC: Teladan untuk Klinisi Indonesia TB Paru dan Ekstra Paru, Tips dan Triks untuk Internist Euthanasia dan Physician Assisted Suicide Acta Medica Indonesiana satu- satunya jurnal kedokteran di Indonesia yang eksis terakreditasi international. Susunan Redaksi: Penanggung Jawab: DR. Dr. Aru. W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP *Pemimpin Redaksi: Dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD, FINASIM *Bidang Materi dan Editing: Dr. lndra Marki, SpPD, FINASIM; Dr. Agasjtya Wisjnu Wardhana, SpPD, FINASIM; Dr. Alvin Tagor Harahap, SpPD; Dr. Nadia A. Mulansari, SpPD *Koresponden: Cabang Jakarta, Cabang Jawa Barat, Cabang Surabaya, Cabang Yogyakarta, Cabang Sumut, Cabang Semarang, Cabang Padang, Cabang Manado, Cabang Palembang/Sumbagsel, Cabang Makassar, Cabang Bali, Cabang Malang, Cabang Surakarta, Cabang Riau, Cabang Kaltim, Cabang Kalbar, Cabang Dista Aceh, Cabang Kalsel, Cabang Palu, Cabang Banten, Cabang Bogor, Cabang Purwokerto, Cabang Lampung, Cabang Kupang, Cabang Jambi, Cabang Kepulauan Riau, Cabang Gorontalo, Cabang Cirebon, Cabang Maluku, Cabang Papua, Cabang Maluku Utara, Cabang Bekasi, Cabang Nusa Tenggara Barat, Cabang Depok *Sekretariat: sdr. M. Muchtar, sdr. Husni, sdr. M. Yunus, sdri. Oke Fitia, sdri. Anindya Yustikasari *Alamat: PB PAPDI Lt.2 Departemen Penyakit Dalam, FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo JI. Diponegoro 71 Jakarta 10430 Telp. (021) 31931384 Faks. (021) 3148163 Email : [email protected]

Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

a

Citation preview

Page 1: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

S aat ini Acta Medica Indonesiana (AMI) satu-satunya jurnalkedokteran di Indonesia yang eksis terakreditasi interna-tional. Jurnal besutan dokter spesialis penyakit dalam ini

bersanding dengan Lancet, BMJ, dan jurnal-jurnal internation-al lain. Dengan mengetik www.ncbi.nlm.nih.gov, para klinisimaupun peneliti dari berbagai belahan dunia dapat denganmudah memperoleh informasi dari penelitian-penelitian yangdilakukan oleh peneliti Indonesia. Tak pelak, nama-nama pe-neliti dan penulis dalam negeri menambah panjang daftarpeneliti dunia.”Memang dari awal kami berupaya membuat jurnal ini menjadi jurnal international, agar penelitian-peneli-tian kita dapat disebarluaskan dan menjadi referensi oleh ahli-ahli lain dari berbagai dunia,” ujar Editor in Chief AMI,DR.Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP.

Untuk dapat mempertahankan akreditasi international bukan perkara mudah. Sebelumnya, di Indonesia ada bebe-rapa jurnal kedokteran lain, baik dari fakultas kedokteran maupun perhimpunan spesialis yang terindeks di databasejurnal international seperti Pubmed. Sayangnya, hingga kini jurnal-jurnal tersebut sudah tidak terakreditasi internationallagi. ”Penilaian jurnal international sangat ketat. Bila ada kesalahan, langsung turun,” kata Wakil Kementrian PendidikanNasional, Prof. Dr. Fasli Jalal, SpGK, PhD ketika ditemui Halo Internis di sela-sela aktivitasnya di Departemen PendidikanNasional. (HI)

Acta Medica Indonesiana:Go InternationalActa Medica Indonesiana:Go International

Edisi 17 September 2010

3

4

9

12

16

Acta Medica Indonesiana: JurnalLokal, Kualitas International

Acta Medica Indonesiana: Jalan Panjang Go International

Prof. Dr. Teguh Santoso, SpPD, K-KV,SpJP, FINASIM, PhD, FACC, FESC: Teladan untuk Klinisi Indonesia

TB Paru dan Ekstra Paru, Tips dan Triks untuk Internist

Euthanasia dan Physician Assisted Suicide

Acta Medica Indonesiana satu-satunya jurnal kedokteran

di Indonesia yang eksis terakreditasi international.

Susunan Redaksi: Penanggung Jawab: DR. Dr. Aru. W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP *Pemimpin Redaksi: Dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD, FINASIM *Bidang Materi dan Editing: Dr. lndra Marki, SpPD, FINASIM; Dr. Agasjtya Wisjnu Wardhana, SpPD,FINASIM; Dr. Alvin Tagor Harahap, SpPD; Dr. Nadia A. Mulansari, SpPD *Koresponden: Cabang Jakarta, Cabang Jawa Barat, Cabang Surabaya, Cabang Yogyakarta, Cabang Sumut, Cabang Semarang, Cabang Padang, Cabang Manado, CabangPalembang/Sumbagsel, Cabang Makassar, Cabang Bali, Cabang Malang, Cabang Surakarta, Cabang Riau, Cabang Kaltim, Cabang Kalbar, Cabang Dista Aceh, Cabang Kalsel, Cabang Palu, Cabang Banten, Cabang Bogor, Cabang Purwokerto, CabangLampung, Cabang Kupang, Cabang Jambi, Cabang Kepulauan Riau, Cabang Gorontalo, Cabang Cirebon, Cabang Maluku, Cabang Papua, Cabang Maluku Utara, Cabang Bekasi, Cabang Nusa Tenggara Barat, Cabang Depok *Sekretariat: sdr. M. Muchtar,sdr. Husni, sdr. M. Yunus, sdri. Oke Fitia, sdri. Anindya Yustikasari *Alamat: PB PAPDI Lt.2 Departemen Penyakit Dalam, FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo JI. Diponegoro 71 Jakarta 10430 Telp. (021) 31931384 Faks. (021) 3148163 Email : [email protected]

Page 2: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

Selamat berjumpa kembali dengan Halo Internis edisi kali ini yang memberi informasi,pengetahuan serta wawasan baru bagi kita semua terutama dalam menjembatanidunia praktik klinik dengan dunia publikasi ilmiah medik yang merupakan dasar dari

praktek berbasis evidence based medicine. Kita semua tentu sudah sering memakai acuan maupun dasar diagnostik serta ter-

api menggunakan jurnal ilmiah selain konsensus maupun guidelines yang ada. Sebagianbesar dari konsensus maupun guidelines dipublikasikan melalui jurnal ilmiahmedis/kedokteran yang jumlahnya mencapai ribuan. Kali ini Halo Internis akan mengu-las mengenai Jurnal Ilmiah Kita yang sudah masuk publikasi di Pubmed yang tentu mem-banggakan kita semua bisa tampil di pentas jurnal ilmiah Internasional.

Sebagai pendukung akan ada ulasan dari beberapa tokoh bidang pendidikan maupunpakar publikasi jurnal ilmiah kedokteran termasuk Wakil Menteri Kementrian PendidikanNasional RI Prof. DR.Dr. Fasli Jalal, SpGK, PhD.

Tak luput bila ada kekurangan dari tutur bahasa tabloid kita kami segenap TimRedaksi Halo Internis mengucapkan mohon maaf sebesar-besarnya dan selamat IdulFitri 1431 H.

Teriring salam hangat dari kami dan selamat membaca.

SEKAPUR SIRIH

OM INTERNIZ

2 Halo Internis Edisi 17 September 2010

BIDANGHUMASPUBLIKASIDANMEDIA

Page 3: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

Sepucuk surat diterima Pusat Infor-masi dan Penerbitan Bagian IlmuPenyakit Dalam FKU/RSCM, awalJuli 2004 silam. Secarik kertas itu

dikirim oleh Elizabet Frost, dari Natio-nal Library of Medicine, Bethesda MD,USA untuk DR. Dr. Aru W. Sudoyo,SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP, Editor inChief Acta Medica Indonesiana. Isinya,menyampaikan bahwa jurnal ActaMedica Indonesiana telah dinilai olehpihak komite Medline dan layak diin-deks di Pubmed. ”Medline memberiskor Acta Medica Indonesiana 3,5 –3,9 artinya very good,” ujar Dr. Aru,ketika ditemui Halo Internis, disela-sela kesibukannya di Departemen IlmuPenyakit Dalam, FKUI/RSCM.

Sejak itu, Acta Medica Indonesiana(AMI) berubah statusnya menjadi jurnaldengan kategori international. Cukupmengetik www.ncbi.nlm.nih.gov, paradokter dari berbagai belahan dunia da-pat dengan mudah memperoleh infor-masi dari penelitian-penelitian yang di-lakukan oleh peneliti Indonesia. ”Me-mang dari awal kami berupaya mem-buat jurnal ini (Acta Medica Indonesia-na-red) menjadi jurnal international,agar penelitian-penelitian kita dapat di-sebarluaskan dan menjadi referensioleh ahli-ahli lain dari berbagai dunia,”ujar Ketua Umum PB PAPDI ini.

Ketatnya KriteriaJurnal International

Dari penelusuran Halo Internis, AMIbukan satu-satunya jurnal kedokteranlokal yang masuk kategori internatio-nal. Ada beberapa jurnal kedokteranlain, baik dari fakultas kedokteran mau-pun perhimpunan spesialis yang ber-tengger di Pubmed. Sayangnya, jurnal-jurnal itu drop out dari Pubmed. Meskijurnalnya masih tercantum, tapi sebe-narnya pihak Pubmed telah mengeluar-kannya. ”Sampai saat ini Acta MedicaIndonesiana merupakan satu-satunyajurnal kedokteran di Indonesia yangmasih eksis di Pubmed. Jurnal-jurnalyang ada sebelumnya, sudah tidak la-gi,” tegas Konsultan Hematologi danOnkologi Medik ini.

Tak dipungkiri, Pubmed cukup ketatmenilai jurnal-jurnal yang telah terin-

deks disana. Menurut Prof. Dr. JeanneA. Pawitan, MS, PhD, Guru Besar FKUI,jurnal-jurnal international sangat meng-utamakan kualitas artikel yang dimuat-nya, disamping disiplin dalam penerbit-an. Untuk itu, ketersediaan naskahyang bermutu sangat mempengaruhipenerbiatan suatu jurnal. ”Kendalayang sering ditemui pengelola jurnal lo-kal ialah kurangnya sumber artikelyang bermutu, terutama original paper.Sehingga jurnal itu tertunda atau tidakkontinue terbitnya. Itu menjadi penye-bab jurnal-jurnal lokal sulit memperta-hankan kategori international,” tukaspakar histologi yang gemar menelitidan menulis ini.

Pendapat senada juga disampaikanWakil KementrianPendidikan Nasional,Prof. Dr. Fasli Jalal,SpGK, PhD. Menu-rutnya jurnal dengankategori internationalbila penerbitannyatidak konsisten de-ngan sendirinya akankeluar dalam daftarscopus, database jur-nal-jurnal internation-al. ”Bila janji terbitempat edisi setahun,

maka mesti terbit empat kali juga. Se-kali saja bolong maka langsung jatuh,”ujarnya mantan Dirjen Dikti ini.

Tidak terbitnya suatu jurnal, lanjutmantan Dirjen Dikti ini, umumnya dise-babkan kekurangan naskah yang baik.Seperti diketahui, iklim penelitian di In-donesia kurang kondusif untuk meng-hasilkan paper yang berkualitas. Kontri-busi ilmuwan lokal dalam khazanah pe-ngembangan ilmu pengetahuan di du-nia terbilang kecil, bila tak mau dikata-kan tidak ada. Menurut survei olehScientific American menunjukkan bah-wa sumbangan para ahli Indonesia se-tiap tahun hanya sekitar 0,012 persen(12 publikasi/100.000 ahli), yang jauhberada di bawah kalau dibandingkandengan USA yang besarnya lebih dari20 persen.

Doktor ilmu gizi Universitas Cornell,Amerika Serikat ini mengaku, kurang-nya publikasi di jurnal international di-sebabkan peneliti kurang percaya diri.Peneliti beranggapan penelitian mere-ka dilakukan dalam laboratorium daninstrumentasi yang belum sesuai de-ngan standar international.” Padahalsubstansi penelitian cukupbaik, namundatanya kurang akurasi,” ujarnya.

Alasannya lain, sambung Prof. Fasli,kurangnya penguasaan bahasa Inggris.Kendala keterbatasan bahasa kerapmenjadi catatan reviewer ketika menin-jau artikel dari penulis lokal. Begitu pu-la dengan penulis yang tidak mau me-nunggu lama-lama hasil review, danakhirnya mereka mengirim artikel ke

jurnal nasional. Terakhir, kejar tayang. Para penulis

lokal biasanya mengirim artikel ke jur-nal-jurnal dengan tujuan memenuhisyarat kenaikan pangkat. Mereka ber-harap artikelnya segera dipublikasikan.Sementara untuk jurnal-jurnal yangkredibel butuh waktu lama, dari mema-sukan artikel hingga dimuat dalam jur-nal. ”Mereka tidak sabar menunggu,dan akhirnya artikel ditarik kembali,dan dimasukkan dalam jurnal nasio-nal,” ungkap suami Dr. GusnawirtaTaib, S.Pd., M.Pd ini.

Minimnya ketersediaan naskah yangberkualitas berdampak pada penerbit-an jurnal. Apalagi bagi jurnal internatio-nal yang sarat dengan original paper, ti-dak tersedianya naskah yang baik akanberakibat pada tertundanya penerbit-an, bahkan tidak terbit pada edisi ter-sebut. Begitu pula bila mendahulukanjadwal penerbitan tanpa melihat kuali-tas artikel, akan menurunkan kredibili-tas jurnal, bahkan editorial board daribeberapa negera akan hengkang. ”Ten-tu para ahli itu tidak mau ikut terseretkredibilitasnya,” imbuh Prof. Fasli.

Sulitnya menjaga mutu jurnal jugadialami Dr. Aru dalam mengelola jur-nal. Namun ia mengakui tim ActaMedica Indonesiana punya kiattersendiri mengatasinya, yaitu mulaidari menerima penelitian para residenIlmu Penyakit Dalam, menjalin komu-nikasi dengan kolega-kolega dari luarnegeri hingga membangun electronicjournal dengan fasilitas online submis-sion system yang memungkinkan pen-gelola jurnal menerima naskah darimanca negara lewat website. ”Kinikami telah banyak menerima naskah.Kami pun beberapa kali menolakartikel karena tidak sesuai dengankualifikasi, walaupun itu artikel darisenior,” ujar Dr. Aru.

DukunganPemerintah

Jumlah jurnal dengan kategori inter-national serta banyaknya penulis yangmasuk dalam jurnal international men-cerminkan kemajuan ilmu pengetahuansuatu negara. Sementara untuk mela-kukan sutu penelitian dibutuhkan danayang tak sedikit. Oleh karena itu, De-partemen Pendidikan Nasional membe-ri dukungan biaya kepada para penelitiagar hasil penelitiannya dapat masukke jurnal international.

Prof. Fasli mengatakan, Depdiknasjuga telah mengalokasikan dana untukmembantu penerbitan. ”Saat ini kita te-lah menyiapkan dana untuk 300 jurnal.Untuk jurnal yang belum terakreditasinasional kita bantu Rp 50 juta perta-hun untuk meng upgrade jurnalnya se-lama tiga tahun berturut-turut. Untukjurnal nasional yang akan ditingkatkanmenjadi intenational mendapat biayaRp 150 juta per tahun selama tiga ta-hun. Dengan begitu jurnal itu diharap-kan dapat terdaftar dalam scopus,”ujarnya.

Tentu, masalah pengelolaan jurnalbukan sekadar persoalan dana sema-ta. Bagi pengelola, ketatnya penilaiansuatu jurnal international menjadi tan-tangan tersendiri untuk dapat memper-tahankan akreditas tersebut. Sejakberdirinya, Acta Medica Indonesianatelah mandiri dalam segi pendanaandan pengelolaannya. Bahkan jurnal pe-nyakit dalam ini meski sudah tembusPubmed tetap terakreditasi B oleh Dik-ti. ”Mengelola jurnal international tidakbisa sekenanya, perlu dokter-dokter”gila” yang hobby dalam penerbitan,”ujar Dr. Aru yang menjuluki tim AMIdengan dokter-dokter ”gila”.

(HI)

DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACPEditor in Chief Acta Medica Indonesiana.

Acta Medica Indonesiana:Jurnal Lokal, Kualitas International

Ketatnya penilaian jurnalinternational membuat penge-lola selektif menerima naskah.Kami tak segan-segan menolak

naskah yang tidak sesuai kriteria,meski itu dari senior.

SOROT UTAMA 3Halo Internis Edisi 17 September 2010

DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACPProf. Dr. Fasli Jalal, SpGK, PhD. DO

K.

HA

LO I

NT

ER

NIS

DO

K.

HA

LO I

NT

ER

NIS

Page 4: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

Membangun dan mengelola suatujurnal ilmiah penuh dengan di-namika. Banyak kendala yangmengganjal, mulai dari minim-

nya pendanaan, ketersediaan naskahyang kurang hingga managemen pener-bitan yang seadanya. Buntutnya, tem-po terbit, tempo tidak. Di Indonesia,ada banyak jurnal dari berbagai disiplinilmu yang telah dipublikasikan. Penge-lolanya pun beragam, baik dari univer-sitas, fakultas, maupun profesi. Na-mun tak banyak yang telah terakredita-si international. Di penerbitan jurnal ke-dokteran misalnya, hingga saat ini baruada satu jurnal yang eksis sebagai jur-nal international, yaitu Acta Medica In-donesiana, jurnal dokter spesialis ilmupenyakit dalam.

Lumrah. Mengelola jurnal, apalagijurnal international bukan perkara mu-dah. Acta Medica Indonesiana (AMI)atau Indonesia of Journal Internal Me-dicine (IJIM) dapat bertahan menjadijurnal international melalui proses pan-jang. Sejak berdirinya, tahun 1968,AMI juga kerap terbentur soal penerbit-an, bahkan sempat vakum dua tahun,pada 1998 – 2000. Dan dalam per-jalannya, sudah beberapa kali berubahrupa dan ukuran cetaknya. Penilaiandari Dikti pun tak pernah naik kelas,tetap teakreditasi “C”.

Ambil Alih PengelolaNasib AMI ditentukan oleh induk or-

ganisasi dokter spesialis penyakit da-lam, PB PAPDI. Pergantian pengurus diPB PAPDI, turut mengubah susunan pe-ngurus AMI. Kondisi vakum yang cukup

lama, membuat geram beberapa inter-nis yang mengelola jurnal ini. Mulai ta-hun 2000, pengurus baru berupayamengatasi persoalan-persoalan pener-bitan. “Ketika kami mengambil alih jur-nal ini, kami bertekad ingin menjadi jur-nal yang baik. Kami sama-sama belajarbagaimana membangun jurnal ini de-ngan baik, konsisten dalam penerbitandan penulisan, serta kontennya yangberkualitas,” kata Editor in Chief AMI,DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM,FINASIM, FACP.

Kerja bareng Dr. Aru beserta timmembuahkan hasil. AMI menunjukanbeberapa perbaikan, seperti terbit se-cara kontinu tanpa hilang satu edisipun, konten naskah yang bermutu cu-kup, baik berupa review paper maupunoriginal paper. Begitu juga dengan ma-nagemen yang aktif, meski di tengahkesibukan para editor yang juga ber-praktik dan mengajar. Rapor Dikti punnaik kelas dengan terakreditasi “B”.

Tak cukup sampai disitu, AMI ingin gointernational. Pengurus membakukanformat jurnal sekaligus menggunakanbahasa Inggris. Untuk menjaga mutuilmiah dari naskah yang dikirim penulis,

SOROT UTAMA4 Halo Internis Edisi 17 September 2010

AMI dilengkapi oleh reviewer asing.Pada 2004, pengurus mendaftarkan jur-nal ini ke Pubmed. Gayung pun bersam-but. Pihak Pubmed melakukan skriningterhadap AMI. Hasilnya, Pubmed mem-beri nilai “very good” dan layak masukdalam jajaran jurnal-jurnal internationallainnya.

Bangga Julukan“Dokter Gila”

Ketatnya penilaian Pubmed, mem-buat pengurus AMI kerja ekstra untukmempertahankan akreditasi interna-tional. Disamping konsisten dalam pe-

ACTA MEDICA INDONESIANA (THE INDONESIAN JOURNAL OF INTERNAL MEDICINE)

Dasar Hukum1. SK IDI → No. 366/PB/A.4/09/2003 tanggal 27 September 2003, mengenai

“Pengukuhan susunan dan personalia pengurus besar PAPDI”2. SKP IDI → No.834/PB/A.7/07/ 2006 tanggal 17 Juli 20063. Akreditasi Dirjen DIKTI → SK No.108/DIKTI/ KEP/2007 tanggal 23 Agustus 2007

(Terakreditasi ‘B’)4. Surat Pernyataan PB PAPDI → No. 514/PB PAPDI/Um/VIII/08 tanggal 10 Agustus 2008.

Visi: Pada tahun 2010, menjadi Jurnal ilmu penyakit dalam terkemuka di tingkat re-gional.

Misi: Menjadikan jurnal IJIM sebagai rujukan bagi mahasiswa maupun pakar di duniakedokteran sebagai upaya untuk mengembangkan ilmu kedokteran penyakit dalam ditanah air hingga di tingkat Asia Tenggara.

Tujuan Umum: Terwujudnya jurnal yang berkualitas dan menjadi panutan bagimahasiswa, pakar, maupun jurnal-jurnal kedokteran lainnya yang sedang berkembangdi Indonesia.

Tujuan Khusus :1. Terjaminnya kualitas isi makalah dan konsistensi format pada setiap jurnal yang diter-

bitkan 2. Dapat melibatkan pakar internasional untuk menulis dan menjadi mitra bestari jurnal

IJIM3. Tercapainya jurnal terakreditasi “A” oleh Dirjen Dikti4. Tersedianya sistem pengelolaan administrasi yang baik, transparan, dan akuntabel5. Terpublikasinya jurnal IJIM secara rutin dalam bentuk cetak, on line pada

PubMed/MEDLINE (Abstrak), dan situs tersendiri dalam bentuk full text/PDF.

Website IJIM → www.inaactamedica.orgJurnal diterbitkan dalam 2 (dua) bentuk, antara lain: versi cetakan dan versi online padawebsite (abstrak dan full text). Updating website diperbaharui setelah jurnal terbit (uploadsetiap 3 bulan sekali)

D idirikan pada tahun 1998 adalahsatu lembaga otonom dibawahnaungan Yayasan Memajukan Ilmu

Penyakit Dalam, Jakarta. Keinginan untuk berbagi ilmu mela-

lui publikasi ilmiah, meningkatkankreativitas dan produktivitas karya ilmi-ah sehingga bermanfaat bagi dunia ke-dokteran dan masyarakat 1. Menerbitan buku-buku kedokteran

yang bukan merupakan buku acarakegiatan simposium, seminar, ataupertemuan ilmiah

2. Belum tersedianya majalah kedok-teran awam yang diasuh oleh dokterahli khususnya dokter ahli penyakitdalam yang distribusinya menjang-kau masyarakat luas

VisiPada tahun 2010 menjadi pusat

penerbitan buku dan majalah ilmupenyakit dalam yang berkualitas ditingkat internasional

Misi1. Menghasilkan buku-buku ilmu kese-

hatan yang memenuhi standar na-

sional dan internasional2. Menghasilkan majalah ilmu penya-

kit dalam berskala nasional daninternasional yang berkualitas danterbit secara rutin dan teratur

3. Menghasilkan produk-produk mul-timedia yang berkualitas

BidangKegiatanMengolah dan mempublikasikan kar-ya ilmiah melalui bahan cetak danelektronik

Publikasi diterbitkan dalam bentuk:• Buku ilmiah kedokteran• Buku ilmiah populer untuk masyara-

kat awam• Jurnal Ilmiah kedokteran• Tulisan ilmiah dalam website

nerbitan, mutu naskah menjadi perhati-an utama pengurus. Peran aktif review-er baik dari dalam negeri maupun luarnegeri sangat membantu memperkuatkualitas jurnal. Dr. Aru mengakui hing-ga kini pengurus tidak khawatir keku-rangan naskah, bahkan hingga tahundepan naskah sudah mengantri. “Jadikami tak segan-segan menolak bilaartikel tidak sesuai dengan kriteria,walaupun itu punya senior. Kami ter-paksa mempertahankan mutu diban-ding kolegalitas,” ujarnya.

Keterlibatan internis mengelola AMIsemata-mata hobby. Mereka memangsenang dan sudah terbiasa bekerja dibidang penerbitan. Oleh karena itu, me-reka tak berharap ada ”upah” dari situ,apalagi mengingat jurnal ini didanai PBPAPDI dan diberikan gratis kepada ang-gota PAPDI. ”Staf AMI itu ”orang-oranggila” mau capek-capek mengurus ker-jaan yang ngak ada duitnya sementaramenuntut lebih mengambil waktu prak-tik dan istirahat dengan membawa pu-lang naskah-naskah. Kalau bukan kare-na hobby, mana mungkin mau,” imbuh-nya. (HI)

Acta Medica Indonesiana

Jalan Panjang Go International

Mengelola jurnal international bukan perkaramudah. Apalagi bagi internis yang waktunyasudah tersita praktik dan mengajar. Lewat ta-ngan ”orang-orang gila”itu Acta MedicaIndonesiana eksis menjadi jurnal international.

Page 5: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

Berbilang tahun berjalan, Dr. dr. Siti Setiati, SpPD, K-Ger, FINASIM semakinakrab dengan berbagai artikel penelitian yang dilakukan oleh dokter-dokterdari seluruh Indonesia. Tak hanya dalam negeri, tapi juga dari manca-negara, seperti Belanda dan Turki. Dan di tangan Dr. Setiati salah satunya,

penelitian-penelitian tersebut menemui nasibnya : berhasil masuk Acta MedicaIndonesiana (AMI), mengalami perbaikan oleh penulis dan tim reviewer, atau ma-suk kotak sekaligus dikembalikan kepada si pengirim.

Sebagai vice editor, memang sudah menjadi tugas Dr. Setiati untuk menyeleksinaskah-naskah tersebut. Bersama Chief in editor, DR. Dr. Aru Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP mereka saling bekerja sama dan berbagi tugas mengoreksiartikel.

Kualitas penelitian memang merupakan kata kunci untuk menyaring naskah-naskah tersebut. Kualitas itu pula yang membuat AMI tetap eksis di dunia Interna-sional melalui publikasi Pubmed. Tanpa mutu yang andal, sebuah jurnal mungkinhanya memiliki umur singkat. Dan ternyata, menjaga kualitas bukan pekerjaanyang mudah. Seberapakah yang layak dan yang tidak layak naik? “Fifty-fifty,” ujarkonsultan geriatri ini.

Ada sejumlah alasan mengapa keputusan berat untuk ‘membuang’ naskahtersebut diambil. “Metodologinya tidak benar, tidak sesuai dengan audiencekita, atau terlalu biomolekuler,” ujar Dr. Setiati. Ia mengatakan di sampingalasan-alasan tersebut tentunya ia akan memilih naskah yang bermanfaat dandapat diaplikasikan oleh internis.

Dr. Setiati mengatakan, AMI semakin lama semakin ketat menyeleksinaskah. “Kami sudah dikenal secara internasional, dan semakin banyak yangberminat memasukkan hasil penelitiannya kepada kami. Jadi wajar saja jikasemakin sulit untuk meloloskan tulisan tersebut.”

Dalam tim redaksi AMI, selain tim editor tetap, terdapat juga tim revieweryang menyeleksi naskah sesuai dengan bidang keahliannya. Artinya naskahmengenai subspesialis tertentu juga akan ditangani oleh reviewer dengan latarbelakang yang sesuai. Reviewer ini datang dari berbagai daerah di Indonesia,juga berasal dari luar negeri. Diakui Dr. Setiati, masih terdapat sejumlah kendalayang terkait dengan naskah dan tim reviewer ini. Umumnya reviewer adalah ahlidi bidangnya, yang tentunya juga memiliki waktu yang padat. “Yang paling susah,jika reviewer oke-oke saja terhadap sebuah naskah. Padahal, mungkin naskahtersebut masih banyak kekurangannya. At the end, kami juga yang menentukanapakah naskah layak muat atau tidak. Kami menjaga baik di depan atau diakhir,” katanya.

Istri seorang dokter obgyn ini mengakui, sulitnya untuk mengawal mutu. “Se-jujurnya kita belum bisa menjamin sepenuhnya , bahwa kualitas naskah itu baik.Sekitar 60-70 persen saya katakan baik. Namun ke depan, tidak boleh lagiseperti itu. Sebenarnya ada tim editor yang lebih profesional untuk menilai men-goreksi konten atau metodologinya, dan kemampuan itu ada pada kami. Tapi,alasan waktu lagi-lagi membuat proses tidak optimal. Harusnya kami memangmerekrut orang yang bisa bekerja day by day,” katanya.

Karena tingginya nilai cum dari pemuatan naskah ini, membuat si pengirimnaskah mencoba mendekati melewati jalur pribadi. Ini diakui oleh Dr. Setiati. “Me-mang bisa ada dorongan dari pihak-pihak tertentu, kalau itu masih layak masihbisa di-upgrade, masih dimungkinkan. Tapi intinya, kita lebih memprioritaskan kua-litas.” (HI)

Itu berlebihan, yangmenjaga mutu naskahadalah tim, bukansaya” ujar Dr. Nafrialdi,

SpPD, PhD mengomentarisoal dirinya yang berperandibalik kualitas naskahActa Medica Indonesiana(AMI). “Memang saya dim-inta untuk membaca arti-kel-artikel sebelum dimuat.Ada juga beberapa artikelyang telah di-review olehrekan-rekan, kemudian keti-ka dilewatkan ke saya ma-sih ditemukan kesalahan-kesalahan,” imbuh editori-al board AMI ini.

Dr. Nafrialdi yang jugaKepala Bagian Departemen

Farmakologi FKUI ini punyapengalaman soal penelitian. Menurutnya menilai suatu original paper secara cepatdapat dilihat dari abstrak dan metodelogi penelitian. Biasanya, bila penulisnyasudah baik dan pengalaman maka artikel-artikel yang ditulisnya sudah bagus. Disini, tugas editor atau reviewer pun ringan, tinggal menilai ulang apakah artikeltersebut telah sesuai standar yang ditetapkan. Tak sedikit artikel yang diterimaAMI secara substansi baik namun belum memenuhi cara-cara penulisan yang se-suai. Hal ini biasa terjadi pada penulis-penulis baru atau belum pengalaman. ”Per-tama dilihat adalah subtansinya, kalau punya value scientific, maka kita akan beru-paya membantu memperbaiki atau menyarankan analisa dan struktur yang digu-nakan,” imbuhnya.

Ada pula sebaliknya, dari sisi substansi kurang berbobot, namun si penulisdapat membungkus dengan baik. “Tapi jangan coba-coba memaksakan naskahyang tidak memiliki nilai tambah dan disusun dengan metodologi yang tidak shahih.Artikel ini jelas ditolak,” tegasnya.

Dr. Nafrialdi menjelaskan ada beberapa indikator suatu naskah penelitian itudinilai baik. Diantaranya, menampilkan sesuatu hal yang baru. Kemudian, bagaima-na manfaatnya atau dapat diaplikasikan. Hal ini mesti menjadi pegangan. Sebab,tak jarang editor mendapati naskah penelitian yang kurang bermutu, dengan men-gangkat tema-tema yang sebenarnya tanpa diteliti pun orang sudah menge-tahuinya. Atau suatu penelitian yang esensinya kurang bagus, tapi ditutupi analisastatistik yang rumit agar tampak berbobot. ”Itu keliru. sebenarnya fungsi statistikitu untuk menyederhanakan atau mempermudah persoalan. Penelitian yang tidakjelas kemudian dianalisa dengan statistik canggih, menunjukan paper itu kurangberkualitas.” imbuhnya. ”Sama halnya dengan penelitian sederhana namun untukmenambah bobot sengaja dicantumkan penelitian molekur yang dalam-dalam.Artikel ini kurang berbobot. Banyak orang terpukau dengan penelitian molekuleryang canggih-canggih.”

Di samping substansi, suatu naskah penelitian dinilai dari metodeloginya. Adaartikel yang esensinya sederhana namun dalam penelitian sengaja melibatkan sub-jek yang besar. Penelitian itu malah dipertanyakan, kenapa memakai subjek yangbesar padahal dengan subyek sedikit sudah bisa. ”Secara etik itu akan diper-tanyakan, kenapa dengan banyak orang yang dikorban, padahal dengan sedikit sub-jek sudah bisa terjawab,” jelasnya.

Dr. Nafrialdi menambahkan, seleksi artikel ini perlu dilakukan untuk memper-tahankan akreditasi international. Selain mempertahankan kualitas jurnal, naskahyang berkualitas akan mengundang banyak penulis menjadikan referensi atau me-ningkatkan sitasi. Oleh karena itu, tak heran bila kategori jurnal-jurnal internationaljuga dinilai dari seberapa besar penolakannya. Dikti sendiri mematok 60 persenangka penolakan untuk menjadi jurnal international.

Saat ini penelitian di Indonesia sudah cukup baik dan mendalam. Tinggal kebia-saan menulis, dan sarana medianya. “Syukurlah AMI sudah terindeks di Pubmed.Saat ini untuk tembus Pubmed luar biasa susahnya, dan sudah banyak yang meng-antri,” katanya menutup wawancara. (HI)

SOROT UTAMA 5Halo Internis Edisi 17 September 2010

Sulitnya Menjaga Mutu Artikel

Seleksi Ketat Untuk Naskah Berbobot

Kualitas naskahyang baik membuatAMI tetap eksis didunia Internasionalmelalui publikasiPubmed. Kami men-jaga baik di depanatau di akhir.

DR. Dr. Siti Setiati, SpPD, K-Ger, FINASIM Dr. Nafrialdi, SpPD, PhD

Dr. Nafrialdi, SpPD, PhD

Penelitian di Indonesia sudahcukup baik dan mendalam.Tinggal kebiasaan menulis,dan sarana medianya.

DO

K.

HA

LO I

NT

ER

NIS

DO

K.

HA

LO I

NT

ER

NIS

Page 6: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

SOROT UTAMA6 Halo Internis Edisi 17 September 2010

Meski telah beberapa kali suksesmeng-gol-kan karyanya ke be-berapa jurnal internasional,namun Prof. Dr. John MF Adam,

SpPD, K-EMD, mengaku masuk jurnalinternasional bukanlah obsesi utama-nya. “Saya memang senang meneliti,hasilnya apakah akan diterima di luarnegeri atau dalam negeri, itu tidak pen-ting bagi saya,” ujar Prof. John, begitubiasa disapa.

Barangkali karena bekerja tanpa be-ban inilah, upayanya menjadi lebih begi-tu mudah. Apalagi ditambah networkyang banyak berasal dari berbagai ne-gara, sehingga mempermudahnya me-lakukan penelitian bersama. Beberapapenelitian itu misalnya penelitian bersa-ma mengenai osteoporosis yang dimuatdi International Journal of Rheumatic Disease, penelitian LIFECARE yang dimu-at di World Heart Federation 2009, serta penelitian Obesity in Asian Collabora-tion yang dimuat di Diabetes Care 2007.

Bagi Prof. John Adam, meneliti bukan sekadar kewajiban, melainkan ibarathobby. Apalagi sebagai dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Hasannudin,Makassar, meneliti baginya menjadi suatu keharusan. “Jangan hanya mengajarsaja,” terangnya.

Meski mengaku tidak terlalu memburu publikasi di jurnal internasional,tetapi Prof. John menegaskan bahwa dirinya selalu mengupayakan untukmempublikasi karyanya. Sebab baginya, yang terpenting dari seorang penelitiadalah bukan memburu di mana karyanya akan dipublikasi, tapi lebih padahasil dari penelitiannya.

Prof. John Adam mengaku, untuk sebuah karya penelitian yang bermutu ten-tulah tidak mudah karena akan membutuhkan biaya. Dan itu merupakan salahsatu kendala baginya.

Ia juga mengaku pernah diminta menulis naskah lengkap oleh salah satu jur-nal international, setelah editor jurnal tersebut membaca dan menilai baikabstraknya. Namun, sayangnya saat itu waktu yang dimilikinya tidak memadaisehingga hingga tenggat waktu yang diberikan naskah belum rampung. Akhir-nya, naskah yang telah selesai ia kirim ke jurnal nasional.

Berbicara mengenai kriteria yang dibutuhkan oleh seorang penulis, menurutProf. John itu sulit karena setiap majalah memiliki kriteria tersendiri.

“Saya pikir yang utama adalah mengenai masalah yangakan ditulis serta cara menulis harus sesuai keinginan

mereka, terutama metodologinya.”

(HI)

Bagaimana tips dan triks menembus jurnalinternational? Pertanyaan ini tepat ditujukanProf. Dr. Jeanne Adiwinata, MS, PhD. Tentuhal ini tidak berlebihan. Lihat saja curricu-

lum vitae Guru Besar Departemen HistologiFakultas Kedokteran UI ini tak kurang dari seratuskarya ilmiah yang telah tersebar di berbagai jurnal,baik jurnal nasional maupun international. Bahkandiusianya yang tidak muda lagi, Prof. Jeanne, begi-tu biasa disapa, masih enerjik berkecimpung da-lam berbagai penelitian.

Tak sedikit karyanya telah sukses terpampangdi beberapa jurnal internasional. Bahkan kredibili-tas keilmuannya diakui banyak pihak di luar nege-ri. Tak heran bila ia kerap diminta mengisi artikeldan menjadi reviewer di jurnal-jurnal international. “Banyak permintaan call for paperdan reviewer di jurnal-jurnal international,” ujarnya

Namun di antara jurnal-jurnal itu, ia merasa senang dengan jurnal Histology yangmemuat artikelnya. “Saya orang histologi, jadi saya rasa kalau sampai tidak pernahpublikasi di jurnal histologi internasional, kok ya kebangetan,” ujar wanita kelahiranPontianak, 25 Juli 1954 ini menerangkan motivasinya.

Telah melanglang buana menembus beberapa jurnal internasional, memberi pen-galaman sendiri bagi Prof. Jeanne. Ia sangat memahami karakter dan gaya tiap-tiapredaksi di ditempat jurnal yang pernah memuat artikelnya. “Seperti Lancet, kalaumereka menolak jawabannya biasanya cepat dalam tiga hari sudah dibalas, tapimereka yang tak pernah memberi alasan masukan dan biasanya hanya bilang tidakada space yang tersedia,” tutur Prof. Jeanne.

Situasi tersebut menurutnya berbeda dengan British Medical Journal (BMJ) yangbiasanya memberi balasan dengan menyertakan saran dari reviewer. Komentar terse-but menurut Prof. Jeanne adalah kesempatan untuk bisa memperbaiki naskah terse-but lalu mengirimkannya lagi ke jurnal lain.

Menikmati aktivitas sebagai peneliti dan aktif memasukkannya ke jurnal-jurnalinternasional, diakui Prof. Jeanne memberi kesenangan tersendiri. Selain karenaakan mendapat dana dari DRPM DIKTI jika artikelnya dimuat, Prof. Jeanne juga me-rasa senang karena ada namanya yang bakal di pasang di jurnal tersebut. Jika arti-kelnya dipublikasi lalu dikutip orang, maka ia akan mendapat sebutan scientist.Meski demikian Prof. Jeanne juga merasakan dukanya. “Karena email kita juga dipa-sang di situ, akibatnya banyak spam yang masuk,” ujar peneliti yang artikelnya per-nah dipublikasikan dalam Acta Medica Indonesiana ini.

Prof. Jeanne pun kemudian berbagi kiat-kiat menembus jurnal internasional.

“Pasti harus bisa bahasa Inggris dan memahami dengan ke-inginan editorial, selain itu kalau ditolak jangan menyerah, coba-lah publikasikan ke jurnal yang lain, serta jangan bosan-bosan

membaca komentar dari reviewer,” ujar peneliti yang masih pro-duktif di usianya 56 tahun ini.

(HI)

Susananya ribet,” ujar Nia meng-gambarkan rapat redaksi untukmemutuskan apakah naskah da-pat dimuat atau tidak, atau jika

ada perbedaan di antara tim redaksi me-ngenai kelaikan sebuah naskah. “Seo-rang dokter mengatakan, bagus, semen-tara yang lain jelek.”

Bersama rekannya Dini, duo inilahyang memungkinkan roda-roda dalamsistem penerbitan Acta Medica Indone-siana (AMI) tetap bergerak. Nia, kini le-bih banyak mengurusi back office AMI,sementara Dini bertanggung jawab ter-hadap alur naskah.

Setiap naskah yang masuk akan di-catat oleh Dini ke dalam bank naskah,beserta data-data penulis. “Satu bulanrata-rata tujuh naskah,” kata Dini. Tanpawaktu panjang, dilakukan skrining admi-nistrasi naskah, untuk selanjutnya dibe-

rikan kepada penanggungjawab masing-masing naskah. Setelah itu, Dr. Setiatiakan menentukan reviewer yang cocokuntuk mengoreksi naskah tersebut.

Keterbatasan waktu, terutama waktureviewer, diakui oleh duo tim ini menjadihambatan dalam proses perjalanan se-buah naskah. “Kadangkala sebuah nas-kah terlalu lama ber-ada di reviewer. Ma-ka, kami juga memili-ki reviewer cadangandari redaksi,” kata Di-ni. Dari berbagai re-viewer, Dini menga-takan, reviewer yangberasal dari daerahatau luar negeri jus-tru paling cepat me-ngembalikan naskah.“Paling lama dua

minggu. Tidak pernah lebih,” kata Dini. Wanita yang tengah mengandung

anak pertama ini juga akan membuatlay out tulisan-tulisan tersebut. Selanjut-nya di tahap akhir, Dini akan berhu-bungan dengan pihak Pubmed untuk up-load abstrak. “Bagaimana membuatnaskah dalam format XML, atau upload

file,” ujar Dini menggambarkan tugas-nya. Ia juga mengurusi surat menyuratmengenai respon tulisan, serta terkaitreport dengan Pubmed.

Baik Dini maupun Nia mengakui, me-miliki suka duka dalam mengelola AMI.Terkadang, penulis tidak terima jika tu-lisan mereka dinyatakan tidak layakmuat atau harus berkali-kali dilakukanperbaikan. Dan protes tersebut, merekasampaikan pada Dini atau Nia, padahaltentu saja bukan Dini atau Nia yang me-nentukan nasib artikel tersebut. Tapi, un-tunglah mereka memaklumi ini bagiandari risiko kerja yang harus dihadapi.

Dini bahkan berharap agar jumlahedisi AMI dapat ditambah setiap tahun-nya. Namun, hal itu juga harus didukungdengan tim redaksi agar dapat mengiku-ti alur pengelolaan naskah yang telahdisepakati bersama. Ia juga memintaagar penulis yang ingin mengirim nas-kah, agar mensitasi sumber-sumber re-ferensi dari artikel yang sudah diterbit-kan sebelumnya. (HI)

Tangan-tangan di Balik Meja”

Prof. Dr. John MF Adam, SpPD, K-EMD, FINASIM

Tak Memburu Jurnal Internasional

Prof. Dr. Jeanne Adiwinata Pawitan, MS, PhD

Kalau Ditolak Kirim ke Jurnal Lain

DO

K.

HA

LO I

NT

ER

NIS

DO

K.

HA

LO I

NT

ER

NIS

DO

K.

HA

LO I

NT

ER

NIS

Page 7: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

SOROT UTAMA 7Halo Internis Edisi 17 September 2010

Di Indonesia, tradisi memasukan artikel ke jur-nal-jurnal masih sekadar memenuhi prasyarattertentu. Tak banyak kalangan ilmuwan, terma-

suk dokter yang rutin mengirim karya ilmiahnya.Begitu pula dengan Dr. Amaylia Oehadian, SpPD, K-HOM. Internis asal Bandung ini mengirim tulisan kejurnal lantaran memenuhi kredit untuk memperpan-jang surat tanda registrasi dan surat izin praktik.

Namun kondisi tersebut kini berbeda. Berawal darisekadar kewajiban, Dr. Amaylia, biasa disapa, malahketagihan mengirim karya ke Acta Medica Indonesiana(AMI). Beruntung tak banyak kendala yang dia hadapisampai naskah itu kemudian diterima dan diterbitkanoleh satu-satunya jurnal Indonesia yang telah terindekssebagai jurnal internasional di Pubmed ini. Bahkankemudian menyusul dua naskah original lainnya yangjuga ditampilkan di jurnal yang sama serta tiga naskahcase report sepanjang tahun 2006-2010.

Bagi dokter RS Dr. Hasan Sadikin Bandung ini, kesem-patan menampilkan tulisan di AMI juga berarti kesem-

patan untuk membagi ilmu dan pengalamannya ter-kait kasus-kasus yang jarang ditemukan. Meskidemikian dia merasakan sedikit kendala dalamproses persiapan naskah karena membutuhkanwaktu khusus untuk menyusun artikel. “Tapi kalaukendala dalam pengajuan ke jurnal sejauh ini tidakada ya,” terang Amaylia yang mengaku belum adanaskah yang dia kirim ini ditolak.

Dalam menyiapkan naskah yang hendak diakirim, Dr. Amaylia mengaku tidak terlalu ada krite-ria khusus. Baginya, selama penulis tersebutmampu menyusun makalah dalam bahasa inggris,maka tidak akan masalah baginya. Hanya saja diamenyarankan agar naskah itu gampang diterima diAMI, maka perlu kiranya kasus-kasus yangdikumpulkan adalah

kasus-kasus yang sulit dan menarikserta jarang didapatkan.

“Setelah itu carilah informasi dan datanya di lit-eratur, lalu susun sesuai petunjuk dari ActaMedica,” ujar konsultan onkologi medik RS HasanSadikin, Bandung ini.

(HI)

Masih minimnya publikasi ilmiahdari para dokter di Indonesiamembuat Prof. Dr. Ketut Suasti-

ka, SpPD, K-EMD prihatin. Kerena itu,dirinya menghimbau agar hasil-hasil pe-nelitian para peneliti tanah air dapatsegera dipublikasikan. Prof. Ketut men-gaku kerap mengirim artikel ke jurnalActa Medica Indonesiana (AMI), satu-satunya jurnal Indonesia yang saat initerindeks di Pubmed.

Ia termotivasi menulis di AMI karenajurnal ini telah menjadi salah satu jur-nal ilmiah terpenting di Indonesia.“Selain itu, sebagai anggota PAPDIwajib menyumbang pikiran dan mema-jukan jurnal ini ke arah mutu yang lebihbaik,” ujar Guru Besar Fakultas Ke-dokteran Unud/RS Sanglah, Bali ini.Hingga kini telah ada beberapa arti-kelnya yang dimuat baik sebagai authormaupun co-author dalam bentuk edito-rial, naskah khusus, dan ada juga yangoriginal paper.

Prof. Ketut mengatakan belum per-

nah naskahnya ditolak, merasatidak ada kendala berarti dalamproses pengajuan ke jurnal terse-but. Bahkan waktu yang 3-6 bulanyang ia habiskan sampai artikelitu diterima, menurutnya, adalahwajar mengingat proses editingdan review yang dibutuhkan. Halitu karena dia merasa sejak awaltelah menyiapkan naskah denganbaik serta memperhatikan saranreviewer dan segera memper-baikinya. Kalaupun ada, hanyakendala akibat aktifitas harianyang selama 4 tahun terakhir inidisibukkan sebagai Pembantu De-kan I dan Dekan FK Unud, sehing-ga sebagian waktunya lebih tersi-ta untuk keperluan institusi. “Ta-pi, sekarang saya sedang me-

nyiapkan 3 nasakah ilmiah sebagaico-author yang sedang saya usahakanuntuk publikasi internasional,” terang-nya.

Konsultan Endokrinologi Metabolikdan Diabetes RS Sanglah ini pun ber-bagi tips agar naskah dapat mudah ma-suk ke AMI.

“Pertama, baca dan pahamidengan benar petunjuk caramenulis naskah, lalu persiap-

kan naskah dengan baik.”

Khusus naskah original, Prof. Ketutmenilai kelemahan utama dari penulisyaitu metode penelitian. Oleh karenaitu, penulis hendaknya memperhatikansaran dari reviewer, dan berikan argu-mentasi bila tidak setuju atau ada alas-an lain di mana mungkin ada perbeda-an pendapat dengan reviewer. “Editingterakhir, mintalah bantuan kepada se-jawat yang bahasa Inggrisnya baik danbaku,” ujar Prof Ketut, menambahkankiatnya. (HI)

Menjadi bagian dari himpunandokter penyakit dalam ada-lah kebanggaan tersendiri

bagi Dr. Ibnu Purwanto, SpPD, K-HOM. Kebanggan itu juga dirasa-kannya dengan telah diakuinya jur-nal Acta Medica Indonesiana (AMI)yang merupakan jurnal besutanpara dokter penyakit dalam menja-di satu-satunya jurnal yang terin-deks hingga kini di Pubmed. Kon-disi ini membuat AMI menjadi jur-nal yang sangat mudah diaksesoleh banyak orang sehingga dapatmemberikan nilai lebih tidak hanyabagi penulisnya tapi juga pem-baca.

Kebanggan inipun ditempuh oleh Dr. Ibnu dengan membuat sebuahlangkah konkrit terlibat aktif dalam pengiriman naskah ke AMI. Dan hinggakini telah dua naskah originalnya sebagai author, serta beberapa naskahlainnya dalam kapasitasnya sebagai co-author yang dipublikasikan lewatAMI. “Saya melihat Acta Medica dari awal hingga sekarang telah melam-paui tahapan-tahapan yang baik, dengan reviewer serta pengelolanya ada-lah orang-orang yang kredibel dan diakui,” terang konsultan onkologi medikRS Sardjito, Yogyakarta ini.

Dr. Ibnu mengaku bersyukur bahwa sejauh ini tidak ada ada kendalaberarti yang dia rasakan dalam proses menulis maupun pengajuan naskahke redaksi. Kalaupun ada kendala hanya sebatas akibat kesibukannyayang tidak hanya bekerja sebagai peneliti tapi juga dokter klinisi.

Ia pun menilai syarat-syarat yang diajukan oleh redaksi relatif tidak ter-lalu rumit dan masih dalam koridor wajar. Begitupula dengan tenggat waktu6-9 bulan yang biasanya dia habiskan. Dan ia mengaku senang, hingga kinibelum ada naskahnya yang ditolak. Hal ini karena menurutnya, iamelakukan persiapan matang sebelum mengajukan.

Oleh karena itu, Dr. Ibnu mencoba membagi kiat-kiat bagi calon penulisyang ingin mengirim naskah ke jurnal internasional termasuk AMI.

“Pertama, topiknya harus menarik ya, kemudian aplikatifdan kasus yang diangkat adalah kasus yang banyak dite-

mui serta sifatnya terkini atau faktual.”

Dan dia kemudian menambahi bahwa penelitian itu juga harus mem-punyai nilai yang tinggi dan bisa dikembangkan dalam penelitian selan-jutnya. (HI)

Prof. DR. Dr. Ketut Suastika, SpPD, K-EMD, FINASIM

Cermati Saran ReviewerDr. Ibnu Purwanto, SpPD, K-HOM

Topiknya MestiAplikatif dan Faktual

Dr. Amaylia Oehadian, SpPD, K-HOM

Cari Kasus-Kasus Yang Sulit

DO

K.

HA

LO I

NT

ER

NIS

DO

K.

HA

LO I

NT

ER

NIS

DO

K.

HA

LO I

NT

ER

NIS

Page 8: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

Profesinya sebagai dokter memang menuntut Dr. Lula Kamaluntuk rajin mengakses jurnal-jurnal kedokteran. Apalagi dokteryang juga menggeluti dunia entertainment ini juga mengaku

banyak menerima tawaran job mengisi seminar kedokteran mau-pun kesehatan. “Saya juga mengasuh suatu rubrik tanya jawab ke-sehatan di suatu media,” ujar Lula.

Tak urung kebutuhan mengakses jurnal kedok-teran adalah suatu keharusan baginya untuk

menambah wawasan dan mendapatkan informasiup to date mengenai dunia kedokteran ataupun

kesehatan secara umum.

Namun tak hanya untuk semua kepentingan itu, membintangiiklan pun Lula juga merasa perlu membuka jurnal. Ini dilakukan Lu-la ketika dirinya diminta bintangi produk phytostem cell dari Multi-care. Sebelum menerima job tersebut dokter yang baru melahir-kan anak kembarnya ini memburu informasi mengenai produk ter-sebut di jurnal-jurnal.

“Saya lebih cenderung mengakses jurnal-jurnalyang menunjang bidang saya ya,” terang dokteryang pernah membintangi Film ”Berbagi Suami”ini. Untuk itu Lula tidak membeda-bedakan jurnallokal ataupun jurnal internasional, karena dirinya

mempercayai satu tema bisa saja ditulis olehorang yang berbeda dengan sudut pandangmasing-masing. Dan itu semua dia butuhkanuntuk pengayaan wawasannya. Kini denganaktifitas barunya sebagai ibu dari dua bayikembarnya, Lula mengaku akhir-akhir ini lebih

banyak membuka-buka jurnal yang kesehatandan perkembangan bayinya. (HI)

Mengakses jurnal kedokteran bukan saja menjadi hobi bagi Dr.Teuku Adifitrian atau yang dikenal dengan Tompi ini, melainkanmenjadi kebutuhan tetap mengingat profesinya sebagai dokter

yang kini juga tengah mendalami bidang bedah plastik. Tentu sajajurnal yang dia akses tak jauh-jauh dari spesialisasinya.

“Saya seringnya membuka jurnal internasionalPRS atau Plastic Reconstructive Surgery,

biasanya untuk keperluan mengupdate ilmu bedahplastik, sehubungan dengan teknik operasi dan

lain-lain,” ujar pelantun tembang ”Sedari Dulu” ini.

Karena sudah menjadi kebutuhan utama, maka Tompi mengakuhampir 2 sampai 3 kali seminggu dia mengakses jurnal tersebut.Tompi menilai, jurnal-jurnal kedokteran Indonesia akhir-akhir ini

sebenarnya sudah mulai banyak dan muat-annya juga bagus. Hanya saja dia menya-

yangkan tak semua jurnal tersebut dipub-likasi ke internasional. “Saya kira ada

baiknya lebih diperbanyak yang dipublikasisecara internasional,” ujar dokter kelahiran

Lhokseumawe, Aceh, ini. Dan Tompi merasa senang me-

ngetahui ada penulis dari bidang be-dah plastik Indonesia yang sudahberhasil artikelnya dipublikasi dijurnal internasional.

Sayangnya, Tompi mengaku ku-rang mengenal Acta Medica Indo-nesiana, salah satu jurnal kedok-

teran Indonesia yang telah ter-indeks di Pubmed. “Saya belum per-

nah melihat jurnalnya,” ujar Tompi.(HI)

SOROT UTAMA8 Halo Internis Edisi 17 September 2010

Dr. Lula Kamal

Bintangi Iklan Juga Buka Jurnal

Dr.Teuku ”Tompi” Adifitrian

Rutin Membuka Jurnal

Page 9: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

Sosok nomor satu di Internal Pub-lishing dikenal bersahaja. Tuturkatanya menjadi daya tarik sendi-ri bagi sejawat lain. Segudang

pengalaman di dunia medis telah dito-rehnya. Ia adalah Prof. Dr. Teguh San-toso, SpPD, K-KV, SpJP, FACC, FESC,salah satu sosok yang bertanggungja-wab terhadap kontinuitas dan mutuActa Medica Indonesiana.

Sebagai ‘Person in Charge’, ia ha-rus membagi waktunya yang tinggal se-cuil untuk jurnal kebanggan penyakitdalam ini. Kali ini, untuk rubrik ProfilHalo Internis, ia membagi kisah hidup-nya di sela jam praktiknya kepada kamiuntuk selanjutnya kami hadirkan kepa-da para pembaca.

Ia mengawali cerita tentang dirinyasaat belum mengangkat sumpah So-crates. Panjang berbincang dengannya,cukup membuat lawan bicaranya me-ngerti, bahwa ia adalah orang yang pe-nuh dengan rencana, dengan langkahyang matang dan penuh perhitungan.Menurutnya, menjadi dokter merupa-kan keinginan yang sudah diidamkandari dulu, yang tumbuh sejak Teguh ma-sih duduk di bangku SMP.

Keinginan itu bertambah kuat saatseorang paman mengajaknya ke Jakar-ta. Di ibukota, Teguh muda berkesem-patan mendokumentasikan gam-barnya di depan pelataran FKUI. Se-buah janji terpatri di hatinya: “Satuwaktu saya akan masuk ke sini.”

Selanjutnya, untaian cerita yang ber-jalan seperti menyesuaikan denganjanjinya yang terucap di Salemba.Studi di kota Purwokerto di-selesaikannya hingga se-lesai jenjang menengahpertama. Sekolah menen-gah atas ia tempuh diibukota, di SMAK PintuAir yang sekarang lebihdikenal dengan sebutanSMU Penabur, Senen,Jakarta Pusat.

Ia merampungkanstudi di SMA dengannilai terbaik. Bukan ha-nya di kalangan sesa-ma pelajar di SMAKPintu Air tapi untukseluruh pelajar SMAse-Jakarta. Ia dino-batkan menjadi lulus-an terbaik SMA se-Jakarta. Predikat bin-tang pelajar yangdisandangnya itu,membuatnya berpe-luang besar masuk kekampus yang diidam-idamkannya, FKUI.

Meski demikian, ma-sih tersisa hasrat menco-ba melamar ke kampus kedok-teran lainnya. Ia pun mengikuti

tes masuk di Fakultas kedokteran lain-nya, seperti Padjajaran, Gajah mada,Airlangga, juga mendaftar di Sipil ITB.Semuanya diterima, kecuali di Unair.Hal itu disebabkan Unair menerapkansistem rayon, sehingga hanya pelamardari Jawa Timur yang diprioritaskan un-tuk diterima.

Belajar di Kampus Salemba

Prof Teguh memutuskan untuk tetap‘teguh’ pada janjinya melanjutkan studidi FKUI, meski ia bisa saja beralih kekampus lain. Sebuah kebahagiaan luarbiasa baginya mengenakan jas putihsaat kuliah di FKUI. Ia pun masih ter-ingat nomor registrasi mahasiswanyakala itu, yaitu nomor urut 400, sebuahbilangan yang menurutnya cukup unik.

Kegemaran membaca terus berlan-jut hingga ia kuliah, yang merupakankunci keberhasilannya dalam studi. Iabisa berlama-lama menekuri satu bukuhingga lupa waktu. “Saya itu kutu bukudan terbiasa tidur jauh malam, kalau

l a m p uasrama sudahdimatikan karena malam, maka sayapindah ke perpustakaan UI yang lam-punya tak kunjung padam,” katanya.

Usai menamatkan pendidikan ke-dokteran di tahun 1961, ia dimintamemperkuat divisi penyakit dalam, danberhasil memperoleh gelar spesialispenyakit dalam pada 1975. Ketertarik-annya pada studi organ jantung mem-buatnya menekuni sub spesialis jan-tung yang menjadikannya kardiologispada tahun 1978.

Haus akan pengetahuan membuatsuami dari Dewi ini menekuni banyakjurnal dan mengikuti short course. Iasempat mengikuti program ThoraxCentre Erasmus University Rotterdamyang merupakan salah satu pusat kar-diologi terbaik di dunia. Ia kembalimembuktikan keunggulannya lewat pro-gram Sandwich yang dituntaskan de-ngan predikat magna cum Laude untukgelar PhD-nya di Rotterdam.

Menekuni jurnal, membuat publikasimedis, bertemu dengan banyak kardio-logi, merupakan kesempatan bagi Te-guh untuk mengasah keahlian di bi-dang jantung. Terlebih ketika diperke-nalkan metode Percutaneous CoronaryIntervention (PCI) yang menggunakanballoon untuk melebarkan penyempitanpada vena jantung. Metode PCI yangpertama kali digagas oleh AndreasGruentzig itu, makin berkembang hing-ga menggunakan cincin yang dikenaldengan nama stent. Metode PCI akanmenghindarkan bedah terbuka yangumum dilakukan untuk penanganan ke-lainan pada jantung dan juga akan me-nyingkat waktu perawatan bagi pasien.

Prof. Teguh merupakan klinisi yangawal dalam menekuni studi PCI untukkawasan Asia Pasifik. “Metode ini me-mang diawali oleh Andreas di negara-nya sendiri. Mula-mula tidak diterima.Tetapi penelitiannya selalu berhasil pa-da pasien, pertama, kedua, ketiga de-mikian terus pasien bisa bertahan hi-dup hingga paper yang menyebut kega-galan tindakannya barulah konsepnyadiperkenalkan kepada klinisi lainnya didunia,” ujarnya.

Kini keahlian di ranah PCI itu yangmembuat ayah tiga putri ini menjadi sa-ngat populer. Ia kerap diminta unjuk ke-bolehan dengan melakukan live demo

pemasangan stent dari satukota lain untuk diteruskan

ke kota lain. Seper tiyang pernah ia presen-tasikan dari kota KobeJepang, dalam sebuahkonferensi PCI interna-

sional. Audiens lain le-wat video streaming da-

pat berdiskusi mengenai tin-dakan yang dilakukan.

Integritas dalam dunia kedokter-an menjadikannya sebagai sumber bel-ajar yang mumpuni. Ia adalah salah se-orang tenaga pengajar di almamater-nya. Selain itu ia juga diminta memberikuliah di beberapa kota besar dunia.Jadwal mengajarnya sudah full bookeduntuk setahun ke depan.

“Ada jadwal rutin untuk memberi ku-liah di Jepang, Singapura, dan jugamenjadi pembicara dalam even interna-sional di beberapa kota baik di Asia,Eropa dan Amerika,” imbuhnya.

Di tengah kesibukan kerja, menulislebih dari 250 publikasi, mengobati pa-sien, memberi materi kuliah, ia meng-akui kurang waktu untuk berolahraga.“Saya kadang tidak ada waktu buatolahraga. Padahal, saya biasa menya-rankan pasien untuk olahraga biar jan-tung bagus dan sehat, tapi saya sendiritidak berolahraga,” ujarnya terkekeh.Tapi, ia kemudian menyebut olahragatreadmill yang masih sempat ia laku-kan di rumah. Olahraga lain yang kerapia lakukan adalah berenang, dengancucunya. Olahraga air ini sangat se-nang ia lakukan, terlebih jika ia sedangberada di sebuah tempat yaitu Bali.

Dengan seabrek kegiatannya, Prof.Teguh masih tetap sehat dan bugar diusianya kini, tanpa resep khusus untukmenjaga tubuhnya. “Syukurnya sayanggak punya keluhan berarti. Semuaparameter kesehatan lewat tes labmenunjukan kondisi badan saya baik-baik saja. Jadi saya nggak kuatir ini ituatau pantang ini dan itu. Semua berim-bang saja,” ujar pemegang penghar-gaan Satya Lencana Karya Setia ini.

Menekuni Studi Sel Punca

Belakangan namanya mencoronglagi lewat studi sel punca atau stemcell. Malah, ia adalah salah seorangpemegang sertifikat dari Texas HeartInstitute untuk dapat mengoperasikanNOGA, alat bantu pemetaan aplikasistem cell. NOGA sendiri berjumlah 60unit di seluruh dunia, dua diantaranyaada di Asia, satu di Indonesia dan satu-nya lagi di Hongkong.

“Saya mau mengajak tenaga dokter-dokter terutama yang muda untuk me-ngembangkan studi stem cell ini. Kare-na selain baru, teknik ini punya pros-

9Halo Internis Edisi 17 September 2010PROFIL

Disiplin dan jiwakemanusiaan adalah duaketeladanan yang patut

dicontoh dari ahli intervensijantung Indonesia,

Prof. Teguh Santoso.

Prof. Dr. Teguh Santoso, SpPD, K-KV, SpJP, FINASIM, PhD, FACC, FESC

Teladan untukKlinisi Indonesia

DO

K.

HA

LO I

NT

ER

NIS

Page 10: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

Ternyata lebih sulit membuat bukudiabetes untuk awam ketimbangmembuat diktat kuliah,” ujar Prof.DR. Dr. Sri Hartini Kariadi, SpPD,

KEMD saat peluncuran buku hasil karya-nya yang berjudul “Diabetes? Siapa Ta-kut!!”. Membuat buku dengan segmenpembaca masyarakat awam, membuatsi penulis harus menjelaskan istilah-is-tilah medis dengan bahasa yang mudahdipahami. Tapi, menurut Guru Besar Uni-versitas Padjadjaran ini, di situlah letakseni dalam penulisan.

“Saya melihat bahwa komunikasidokter dan pasien di klinik atau tempatpraktik sangat terbatas, sehingga ba-nyak sekali pertanyaan tentang diabe-tes yang belum terjawab, padahal pa-sien harus memahami penyakitnya su-paya mereka dapat mengendalikan pe-nyakit tersebut secara mandiri,” ujarProf. Sri menjelaskan alasannya menu-lis buku. “Keinginan pasien untuk men-cari informasi yang lengkap mengenaidiabetes juga terbentur dengan kurangtersedianya bahan bacaan yang mema-dai, seringkali tidak mudah dicerna, dantidak lengkap.”

Prof. Sri paham benar, bahwa bahwapara diabetisi (orang dengan diabetes)seharusnya mendapatkan edukasi yangcukup tentang pentingnya disiplin pe-ngendalian diabetes. Berpuluh tahunmenjalani profesi sebagai ahli medisyang bersentuhan dengan pasien dia-betes membuat ia peduli untuk selalumemberikan waktu dan perhatiannya

untuk penyakit ini.Perkenalannya dengan dunia endo-

krinologi dimulai tahun 1978. Ia masihingat, usai menyelesaikan pendidikaninternis, ia diminta Dr. Haznam (alm.)untuk membantu di Subbagian Endokri-nologi. Salah satu tugas utama di sub-bagian ini adalah menangani kasus dia-betes bik di klinik rawat jalan (poliklinik)maupun di bagian rawat inap.

“Berawal dari subbagian ini-lah, begitu banyak penga-

laman yang sudah saya dapat-kan. Ada yang menyedihkan,mengharukan, mengharukantetapi menyenangkan, men-jengkelkan, dan membuat

penasaran,” ujar puteri daritokoh pahlawan Dr. Kariadi ini.

Berbagai kondisi yang dialami pasiendengan diabetes menyentakkan hati Sri.Ia lantas giat melakukan berbagai ke-giatan yang mendukung pengendaliandiabetes. Ketua Perkeni Cabang Ban-dung ini aktif di bidang akademik danpengelolaan serta penyuluhan penyakityang sering disebut kencing manis ini. Iajuga tercatat sebagai salah seorangfounder Persatuan Diabetes Indonesia(Persadia) yang didirikan pada 1986 ini.Ia juga mengantarkan Persadi (sebelummenjadi Persadia) diterima sebagai ang-gota International Diabetes Federation(IDF) pada tahun 1994.

Meski sibuk dalam pekerjaannya

hingga menjadi pembicara di tingkat in-ternasional, istri dari Prof. Kudrat Soe-mintapoera, Ir, PhD (alm) ini tetap tidakmelupakan hobinya. Ia piawi memain-kan alat musik bas, bahkan sempatmembentuk Band Wanita Saptawati,yang merupakan band wanita pertamadi Indonesia, saat masih kuliah di Uni-versitas Padjajaran. Semasa mahasis-wa, ia juga menjadi pemain biola di or-kes simfoni Bandung. Ia sekarang tidaklagi aktif dalam bermain musik. “Seka-rang menjadi penikmat beberapa ma-cam musik: klasik ringan, jazz ringn,blues, pop/langgam, keroncong, dan se-dikit dangdut,” katanya. Mantan Presi-dent Rotary Club Bandung Utara (RCBU)ini mengaku sempat menjadi pegolfyang fanatik.

Hobi yang masih dilakukannya hinggakini adalah melukis. Mantan PembantuDekan Bidang Akademik Unpad ini bela-jar melukis dari pelukis Barli dan telahmengikuti beberapa kali pameran ber-sama. Motto hidupnya, tetap membuat-nya awet muda: Keep your heart freefrom hate, your mind from worry. Livesimply, expect little, give much. (HI)

Jangan terkecoh oleh nama. Itu yang harus diwaspadaiketika mendapati nama Dr. Sally Nasution, SpPD. Pa-salnya, nama itu berarti dua pribadi: Yang satu berjenis

kelamin wanita, cantik, mungil, dan tidak berewokan (ups..tentu saja). Sedangkan yang lain kebalikan dari ciri-ciri yangpertama: pria, tinggi besar, dan memiliki kumis dan janggutyang cukup lebat.

Akibat kesamaan nama dan ciri-ciri yang berbeda terse-but, seorang professor dari Jakarta pun terkecoh. Professoryang saat itu menjadi moderator pada sebuah seminar dibe-ritahu, bahwa yang akan menjadi co-moderator adalah Dr.Sally Nasution, SpPD. Ia pun celingukan mencari sosok Dr.Sally yang cantik dan mungil. Di kursi moderator, ia mendap-ati yang duduk di sana adalah seorang yang tinggi besar danberewokan. ”Anda melihat Dr. Sally?” tanyanya kepada orangtersebut. ”Loh, saya Dr. Sally, Prof,” jawab pria tersebut.

Seketika sang professor berseru, ”Dr. Sally kok bere-wokan?”. Usut punya usut, sang professor baru menyadaribahwa yang saat itu menjadi co-moderator-nya adalah Dr.Sally yang memang telah duduk di kursi moderator: Dr. SalliRosefi Nasution, SpPD, K-GH, FINASIM yang pria, tinggi be-sar, dan berewokan. Dia baru tahu, jika ada dua sosok yangmemiliki nama itu.

Kepada Halo Internis, Dr. Sally Nasution, SpPD (wanita)mengatakan, ”Tidak hanya sekali peristiwa tertukar itu terja-di. Kadang ada orang mencari-cari saya karena melihat namaSally terpampang di sebuah announcement.” Ia pun hanyatertawa-tawa dengan berbagai kekeliruan tersebut.

Nah, berikut foto dua Sally. Jadi, jangan pula mengira,jika siang yang tampil adalah ’Sally berewok’, namun ketikamalam menjelma menjadi ’Sally cantik jelita’. Hehehe...

(HI)

10 Halo Internis Edisi 17 September 2010 SOSOK

”Dr. Sally Kok Berewokan?”

Prof. DR. Dr. Sri Hartini Kariadi, SpPD,K-EMD, FINASIM

SumbanganBuku Diabetes

pek bagus dalam penanganan kelainanpenyakit yang kadang-kadang sudah ti-dak memiliki opsi lagi. Praktek stemcell ini juga menjadi keunggulan kita di-banding negara tetangga,” sambung-nya.

Keberhasilan stem cell telah diapli-kasikan pada pasien yang sudah tidakpunya harapan lagi karena keparahanpada jantungnya. Ia mencontohkan se-orang pasien yang menjadi tulang pung-gung keluarga harus terkapar tak ber-daya karena kelainan jantung yang su-dah tidak ada harapan lagi. Setelah di-lakukan tindakan dengan metode stemcell, si pasien dapat beraktivitas kem-bali, bahkan melakukan kegiatan yanglebih.

“Ini luar biasa dan saya katakan la-gi, stem cell adalah masa depan. Sayakerjakan bersama tim. Contoh ada pa-sien yang tidak punya harapan, dan diatulang punggung keluarga maka sayaupayakan. Meski harus merogoh darikocek sendiri. Ini memang tidak mu-rah,” katanya.

Di atas semua pencapaiannya itu, iamengatakan energi terbesarnya adalahcinta — pada Tuhan dan pada sesama.Ia merasa sudah ditakdirkan menjadidokter yang dapat berbuat banyak da-lam penyelamatan jiwa manusia.

Ia mengatakan keberhasilannyabaik di bidang PCI atau stem cell ada-lah bukan pencapaian tunggalnya se-orang. Ia menganggap bahwa hal ter-sebut adalah keberhasilan tim. Bahwaia yang menjadi tokoh sentral dalamtim, ia hanya menganalogikan dirinyaseperti Tenzin Norgay. Orang dari sukuSherpa Nepal yang berhasil memanduSir Edmund Hillary menjadi penaklukpertama puncak Everst.

“Saya ingin seperti Tenzin, ia cumaingin mencapai misinya mengantar SirHillary. Dan Sir Hillary pun sampai pa-da misinya yaitu menjadi penakluk per-tama Mount Everst. Dan, sesudah ituHilllary berbagi sifat filantropisnya ke-pada masyarakat Nepal dengan meng-usahakan kesejahteraan dan memba-ngun rumah sakit,” katanya.

Filantropi ada cerita lain yang men-jadi setting episode ketika ia berprak-tek di klinik di Taman Sari. Klinik ini me-nangani pasien yang kebanyakan ber-asal dari golongan tidak mampu. Teguhbiasa menggratiskan pelayanan mediskepada semua pasiennya di sini. Sam-pai-sampai ada tiga generasi yang ber-langganan padanya, kakeknya, ayah-nya dan anaknya dari satu keluarga.

Daerah Tamansari terimbas keru-suhan yang terjadi pada 1998. Banyakbangunan di daerah sana yang meng-alami kerusakan akibat kerusuhan. Te-tapi, syukurnya petaka tidak terjadi dibangunan klinik dan rumahnya. “Ru-mah saya bagian depannya itu dari ka-ca. Tetapi tidak satu batu pun menyen-tuh rumah saya. Mungkin karena pen-duduknya baik yang ikut menjaga ba-ngunan rumah saya. Karena ketika ke-jadian memang saya dan keluarga se-dang tidak ada di rumah,” ujarnyatakjub.

Karena keadaan dan kekhawatirankeluarga, praktek di Tamansari berang-sur-angsur ditinggalkan. Meski demi-kian ia masih membuka pintu untukmelayani pasien yang kurang mampu dikamar periksa di dua rumah sakit yangia masih aktif berpraktek, RSCM danRS Medistra.

(HI)

DO

K.

HA

LO I

NT

ER

NIS

DO

K.

HA

LO I

NT

ER

NIS

Page 11: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

KABAR PAPDI 11Halo Internis Edisi 17 September 2010

Perhimpunan Dokter Spesialis Penya-kit Dalam Indonesia merupakan per-himpunan dokter di bawah Ikatan

Dokter Indonesia yang memiliki jumlahanggota terbesar. Para internis tersebardari Sabang sampai Merauke.Kini, PAPDI telah memiliki 34 cabangdi seluruh Indonesia. Berikut nama-nama ketua cabang PAPDI. Dr. Krishna Wardana Sucipto, SpPD,

FINASIMProf. DR. Dr. Ketut Suastika, SpPD,

K-EMD, FINASIMDr. Muthalib Abdullah, SpPD,

FINASIMDr. Ahmar Abyadh Umar, SpPD,

FINASIM, M.Kes

Dr. Taolin Agustinus, SpPD Dr. H. Dedi Nuralamsyah, SpPD,FINASIM

Dr. H. Sugiyono Sanjoyo, SpPD,FINASIM Dr. Nur Albar, SpPD DR. Dr. Idrus Alwi, SpPD, K-KV,

FINASIM, FACC, FESC, FAPSICDr. Bambang Sutopo, SpPD,

FINASIM

Dr. Arto Yuwono Soeroto, SpPD, K-P,FINASIM, FCCP Dr. B.A. Marbun, SpPD, FINASIM Dr. H.A. Soefyani, SpPD, FINASIM Dr. Carta Agrawanto Gunawan, SpPD,

K-PTI, FINASIMDr. Soritua Sarumpaet, SpPD,

FINASIM Dr. Kamilus KD Karangora, SpPD

Dr. Fermizet Rudy, SpPD, FINASIM Prof. DR. Dr. H. Syamsu, SpPD,K-AI, FINASIM

Dr. Putu Moda Arsana, SpPD, K-EMD, FINASIM

Dr. Yusuf Huningkor, SpPD, FINASIM

Dr. Eko Sudarmo Dahad Prihanto,SpPD, FINASIM

Prof. Dr. Nelly Tendean Wenas, SpPD, K-GEH, FINASIM

Prof. DR. Dr. Harun Alrasyid, SpPD, SpGK, FINASIM

Dr. I Gede Palgunadi, SpPD, FINASIM

DR. Dr. Zulkhair Ali, SpPD, K-GH,FINASIM

Dr. H. Abdullah Ammarie, SpPD,FINASIM

DR. Dr. I Gede Arinton, SpPD, K-GEH, FINASIM Dr. Jazil Karimi, SpPD, FINASIM Dr. Tony Suhartono, SpPD, K-EMD,

FINASIM

Dr. Poernomo Boedi Setiawan, SpPD, K-GEH, FINASIM

Prof. DR. Dr. A. Guntur Hermawan,SpPD, K-PTI, FINASIM

Dr. Samuel Maripadang Baso, SpPD,FINASIM

Prof. Dr. H.A.H. Asdie, SpPD, K-EMD, FINASIM

Dr. Syaiful Azmi, SpPD, K-GH,FINASIM

Aceh Bali Banten Bekasi

Bogor Cirebon Depok Gorontalo Jakarta Raya Jambi

Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kep. Riau

Lampung Makassar Malang Maluku Maluku Utara Manado

Medan Nusa Tenggara Barat

Sumatera Selatan

Palu Purwokerto Riau Semarang

Surabaya Surakarta Tanah Papua YogyakartaSumatera Barat

Kupang

Ketua-ketua PAPDI Cabang(Periode 2009 – 2012)

Page 12: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

INFO MEDIS12 Halo Internis Edisi 17 September 2010

Tuberkulosis (TB) termasuk tiga penya-kit tersering di ruang perawatan penya-kit dalam, baik sebagai penyakit ter-sendiri atau sebagai komorbid. Semen-tara di poliklinik, TB termasuk lima be-

sar dengan kunjungan tersering. Penyakit TBmengenai multiorgan, namun sebagian besarmengenai paru. Sebagai internis sehari -harikita dihadapkan dengan berbagai kasusimunkompromis (geriatrik, diabetes, gagalginjal, jantung, hati, hematologi dan lain-lain),dengan komorbid TB serta komplikasi/efeksamping terapi yang juga mengenai multi-organ, tentu tatalaksananya memerlukan se-orang yang kompeten untuk masalah multi-organ tersebut.

Internis dengan kurikulum pendidikan spe-sialisasinya semestinya terlatih dan costefektif menangani masalah TB paru dan extraparu ini. Internis adalah ujung tombak pela-yanan TB dalam diagnosis maupun deteksidini terjadinya komplikasi yang bisa menge-nai multiorgan serta mengatasinya.

Program penanggulangan TB tidak mudahdilakukan, mengingat lamanya pengobatan,mahalnya biaya, kemiskinan, kurangnya pe-ngetahuan, banyaknya efek samping obat,dan meningkatnya insidensinya. Meningkat-nya kasus-kasus imun kompromis sepertiHIV terkadang menyulitkan dalam prak-tik/merawat pasien.

Standar diagnosis dan pengobatan TB da-ri tahun 1940 saat kemoterapi anti TB diper-kenalkan sudah beberapa kali mengalamiperubahan, maka beberapa ahli TB duniamencoba membuat suatu standar internasi-olan yang mudah/praktis dan memperhitung-kan berbagai aspek tatalaksana TB yang di-sebut ISTC (International Standard for Tuber-culosis Care). Dengan membaca sekilas kitapara internist sudah punya pegangan seder-hana/akurat dalam menangani kasus TBapapun yang datang ke praktik kita atau yangkita rawat.

Standar InternasionalPengobatan Tuberkulosis(ISTC 2)ISTC versi 2 terdiri dari 21 standar yaitu : 1. Standar untuk Diagnosis (1=6)2. Standar untuk Pengobatan (7-13)3. Standar untuk Penanganan TB dengan in-

feksi HIV dan Kondisi Komorbid lain4. Standar untuk Pelayanan Kesehatan Mas-

yarakat

Standar 1 Setiap orang dengan batuk produktif selama 2 – 3 minggu atau lebih yang tidak jelas penyebabnya,harus dievaluasi untuk TB.AddendumUntuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk evaluasi adalah berat badan yang sulit naik dalamwaktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk.

Standar 2 Semua pasien (dewasa, remaja dan anak-anak yang dapat mengeluarkan dahak) yang diduga menderita TBparu harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopis minimal 2 kali yang diperiksa di laboratorium yangkualitasnya terjamin. Jika mungkin paling tidak 1 spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.

Standar 3 Pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga menderita TB ekstra paru, spesimen daribagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasilitasdan sumber daya, dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi.AddendumSebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya TB paru dan TB mi-lier. Pemeriksaan dahak juga dilakukan, bila mungkin, pada anak.

Standar 4 Semua orang dengan temuan foto toraks diduga TB seharusnya menjalani pemeriksaan dahak secaramikrobiologi. (klinis bagus tapi pada check-up didapat kelainan foto torak)

Standar 5 Diagnosis TB Paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan kriteria berikut: minimal pemeriksaandahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari), temuan foto toraks sesuaiTB dan tidak ada respon terhadap pemberian antibiotik spektrum luas (Catatan: fluoroquinolon harusdihindari karena aktif terhadap Mycobakterium tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan per-baikan sesaat pada penderita tuberkulosis). Untuk pasien ini, jika tersedia fasilitas, biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien yang didugaterinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan.

Standar 6 Diagnosis TB intratoraks (yakni: paru, pleura, kelenjar getah bening hilus atau mediastinum) pada anakdengan gejala TB namun sediaan apus dahak negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi to-raks sesuai TB dan pajanan kepada kasus TB yang menular atau bukti tuberkulosis (uji kulit tuberkulinpositif atau interferron gamma release assay positif). Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasilitas,bahan dahak seharusnya diambil untuk biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung atau induksi dahak).AddendumUntuk penatalaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan kepada kasus tuberkulosisyang menular atau bukti infeksi tubrkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau interferon gamma releaseassay) dan kelainan radiografi toraks sesuai TB.

Standar 7 Setiap dokter yang mengobati pasien TB mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat yang pen-ting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini, dokter tidak hanya wajib memberikan paduan obat yangmemadai tapi juga harus mampu menilai kepatuhan pasien kepada pengobatan serta dapat menanganiketidakpatuhan bila terjadi. Dengan melakukan hal itu, penyelenggara kesehatan akan mampumeyakinkan kepatuhan kepada paduan sampai pengobatan selesai.

Standar 8 Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduanobat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang bioavailibilitasnya telahdiketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamide dan etambutol. Etambutol boleh dihilang-kan pada fase initial pengobatan untuk orang dewasa dan anak dengan sediaan hapus dahak negatif,tidak menderita tuberkulosis paru yang luas atau penyakit ekstraparu yang berat, serta telah diketahuiHIV negatif. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan Rifampisin yang diberikan selama 4 bulan. Isoniazid danEtambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan yang dapat dipakai jikakepatuhan pasien tidak dapat dinilai, akan tetapi hal ini berisiko tinggi untuk gagal dan kambuh, teruta-ma untuk pasien yang terinfeksi HIV. Dosis obat anti tuberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional.Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2 obat (isoniazid dan rifampisin), 3 obat ( isoniazid,rifampisin dan pirazinamide), dan 4 obat ( isoniazid, rifampisin, pirazinamide dan etambutol) sangatdirekomendasikan terutama jika menelan obat tidak diawasi.AddendumSecara umum terapi TB pada anak diberikan selama 6 bulan, namun pada keadaan tertentu ( meningi-tis TB, TB tulang< TB milier, dll) terapi TB diberikan lebih lama (9-12 bulan) dengan paduan OAT yanglebih lengkap sesuai derajat penyakitnya.

Standar 9 Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) kepada pengobatan, suatu pendekatan pemberianobat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan pasien dan rasa saling menghormati antarapasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dandukungan seharusnya sensitif terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk berbagai usia dan harusmemanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan serta layanan pendukung yangtersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien. Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah penggunaan cara-cara menilai danmengutamakan kepatuhan terhadap paduan obat dan menangani ketidakpatuhan, bila terjadi. Cara-cara ini seharusnya dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua belah pihakyaitu pasien dan penyelenggara pelayanan. Cara-cara ini dapat mencakup pengawasan langsung menelan obat (directly observed therapy-DOT) olehpengawas menelan obat yang dapat diterima dan dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan.

DR. Dr. Zulkifli Amin, SpPD, K-P, FINASIM, FCCP

Divisi Respirologi dan Perawatan Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM

TB Paru dan Ekstra Paru,Tips dan Triks untuk Internist

Page 13: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

Standar 10 Semua pasien harus dimonitor responnya terhadap terapi; penilaian terbaik pada pasien tuber-kulosis ialah pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (2 spesimen) paling tidak pada waktufase awal pengobatan selesai (2bulan), pada lima bulan, dan pada akhir pengobatan. Pasiendengan sediaan apus dahak positif pada pengobatan bulan kelima harus dianggap gagal peng-obatan dan pengobatan harus dimodifikasi secara tepat (lihat standard 14 dan 15). Pada pasien tuberkulosis ekstra paru dan pada anak, respon pengobatan terbaik dinilai seca-ra klinis. Pemeriksaan foto toraks umumnya tidak diperlukan dan dapat menyesatkan. AddendumRespons pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau TB paru BTA negatif dapatdinilai dengan foto toraks

Pemberian Oral Anti Tuberculosis (OAT) yang ade-kuat merupakan kunci keberhasilan pengobatan pen-derita TB Paru. Pemberiaan OAT ini sesuai denganyang dianjurkan oleh WHO, dimana panduan obatyang diberikan disesuaikan dengan kategori penyakit.

Walaupun panduan obat tersebut mampu menyem-buhkan penderita TB, ada beberapa faktor yang me-nyebabkan tidak terwujudnya kemampuan tersebutantara lain: keteraturan pengobatan, resistensi obat,timbulnya efek samping, gejala awal, adanya penyakitlain yang menyertai, umur, tingkat pendidikan danpekerjaan, pola konsumsi makanan, bahan toksik, pe-ngawas pengobatan, tingkat pengetahuan penderita,edukasi oleh petugas kesehatan, sikap petugas, ke-luhan awal, dan keterjangkauan fasilitas kesehatan.

Pemberian obat TB menimbulkan efek samping, halini harus dikenali oleh para internis dan disampaikanpada pasien kemungkinan terjadinya, sehingga me-ngurangi kemungkinan putus berobat. Beberapa masa-lah yang sering dihadapi internis dalam pengobatan TB,antara lain jika dugaan TB muncul pada penderita DM,maka pengobatan harus diberikan walau tanda-tandaklinis lain masih meragukan. Faktor pentingnya adalahmengontrol/mengendalikan gula darah penderita.

Tatalaksana TB pada DM tidak berbeda dengan carapenatalaksanaan non DM. Perlu menjadi perhatian bah-wa keadaan imunodepresi dapat menyulitkan pengo-batan, karena walau OAT masih sensitive tetapi bila gu-la darah tinggi tetap tidak efektif kerjanya. Karena itufaktor edukasi pada DM khususnya tentang diet harusbetul-betul dijalankan. Perlu diketahui bahwa rifampi-sisin dapat menurunkan metabolisme, termasuk obatantidiabetes (OAD), terutama pada dosis lebih dari 600mg/hari.

Hepatitis karena efek OAT tak sulit ditegakkan, diadapat menyerupai bentuk hepatitis virus. Relatif mudahmengungkap penyebabnya melalui anamnesa. Gejalaklinis, bila ada selain ikterus, dapat berupa gejala-geja-la hipersensitivitas seperti demam, arthritis, mialgia,eksantema, pruritus, konjungtivitis, nyeri kepala dansebagainya. Gambaran klinik sering tidak disertai ikte-rus dan kadang-kadang tidak disertai gejala subjektif.Gejala hepatitis toksik dapat didiagnosis dengan pe-ningkatan enzim SGOT/SGPT dan akan membaik sete-lah obat-obatan yang diminum sebelumnya dihentikan.

Konsensus penegakan diagnosis hepatitis toksikadalah:1. “Mungkin hepatitis toksik” bila waktu antara mu-

lai minum obat yang bersifat hepatotoksik sam-pai terjadinya reaksi antara 5-90 hari dan bila le-bih dari 90 hari berarti “compatible” untuk hepa-titis toksik.

2. “Sangat mungkin” jika reaksi setelah obat di-hentikan, tampak perbaikan kadar enzim hati tu-run separuhnya dalam 8 hari dan “mungkin” bilaperbaikan dicapai dalam 30 hari.

3. kepastian penyebab kelainan hati selain toksik(obat) adalah dengan pemeriksaan biopsi hati.

4. Respon posistif dengan dihentikannya obat, tam-pak berupa perbaikan minimal 2 jenis enzim hati.

Talaksana hepatitis karena oat adalah menghen-tikan sementara pemakaian obat yang bersifat hepa-totoksik sampai fungsi hati normal kembali. OAT yangbersifat hepatotoksik sebaiknya tidak diberikan lagibila terjadi hepatitis akibat pemberian obat tersebut,dan diganti dengan obat anti tuberkulosis yang lain.Beberapa senter menganjurkan pemberian obat yangsama setelah fungsi hati kembali membaik, obat-obattersebut diberikan dengan dosis kecil terlebih dahulu

kemudian dinaikkan secara bertahap sampai dicapaidosis terapi. Biasanya fungsi hati akan kembali nor-mal setelah 2-4 minggu penghentian obat.

Sebagaimana penatalaksanaan hepatitis akutkarena virus, terdapat 3 penatalaksanaan umum yangmeliputi tirah baring, diet, dan obat-obatan. Dianjur-kan istirahat di tempat tidur sampai ikterus minimaldan transaminase serum turun mendekati normal.Diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat bias diterap-kan. Bila nafsu makan telah pulih dianjurkan diet ting-gi protein untuk mempercepat penyembuhan.

Belum ada obat yang mempunyai khasiat khususmemperbaiki kerusakan sel hati. Obat- bersifat supor-tif dan simtomatik, membantu pulihnya gejala klinik/laboratorium dan memberikan rasa nyaman, sertadiikuti penurunan tes faal hati kearah normal.

Salah satu penanda keberhasilan penatalaksa-naan adalah pada perbaikan nilai SGOT dan SGPT.

Beberapa Kiat PentingBila ada kecurigaan adanya TB paru maka pemerik-

san dahak adalah satu keharusan. Pasien harus di-beritahu dengan baik dan pastikan betul pasien me-ngerti bahwa pengobatan perlu jangka waktu minimal6 bulan meskipun gejala-gejala cepat menghilang,penting berobat sampai tuntas. Kita harus berlakuramah dan simpatik, keluarganya harus diikutserta-kan sebagai pengawas minum obat, semua orangyang kontak serumah dengan pasien harus diperiksa,tunjukkan obat dan cara menelannya selengkapmungkin, beritahukan juga tentang kemungkinan kom-plikasi ringan sampai berat yang akan terjadi dan ke-siapan anda sebagai dokter untuk mudah dihubungi,(beritahu bahwa kencing akan berwarna merah, mualringan yg mungkin terjadi bisa dihindari dengan ma-kan obat saat akan tidur). Dibuatkan/isilah kartu ber-obat yang jelas dan pencatatan yang terstandarisasi.Pasien yang sudah dijanjikan berobat pada waktu ter-tentu dan tidak datang, harus kita usahakan ada pe-tugas yang mencari penyebab dengan mendatangi ru-mahnya. Bila terjadi alergi obat dan kita perlu melaku-kan desensitisasi maka mulailah dengan dosis 10%dari dosis standard kemudian dinaikkkan bertahap.

Pada sebagian besar penderita yang secara radiol-ogis torak tergolong TB moderate dan advance: adagejala penurunan berat badan, demam dan keringatmalam, batuk lebih dari 2 minggu, dan batuk berda-rah. Sedangkan gejala berikut biasanya bisa ada atutidak ada antara lain: rasa lelah, penurunan nafsumakan, sakit dinding dada, nafas pendek, wheezinglocal, influenza berulang.

Untuk memeriksa dahak terkadang kita ada kesu-litan mengumpulkan nya, beberapa kiat dibawah inipenting jadi catatan: wadah dahak dengan mulut yanglebar, kuat agar tak sampai rusak/pecah yang beraki-bat penyebaran kuman. Periksa minimal 2 kali pe-ngumpulan dahak yaitu dahak saat pertama bertemu,dahak kedua pagi hari sesudah bangun pagi. Perang-sangan dahak bisa dengan cara beri teh manis, iniakan membantu produksi dahak. Meminta pasien su-jud sambil ditepuk pelan-pelan punggungnya denganpersiapan batuk berdehem beberapa kali kemudiandilanjutkan batuk dalam dan keras sehingga dahakyang dikeluarkan berasal dari bronkus/bronkiolus dankemungkinan mendapatkan kuman lebih besar. Bisajuga dengan bantuan nebulizer yang diisi dengan NaCl3%. Bila perlu sekali bronkoskopi dengan bronkoal-veolar lavase juga membantu untuk mendapatkansputum yang representative (internist optional saat inidengan pelatihan 3 bulan sudah berkompeten untuk

melakukan bronkoskopi diagnostic di RSCM).Bila didapat cairan pleura maka aspirasi cairan bi-

sa dijadikan bahan untuk diagnostic, begitu juga biop-si pleura perkutan sampai biopsy paru. Aspirasi jarumhalus pada limfadenitis (colli. Axilla, inguinal) mudahdilakukan dengan jarum no. 21, 22, 23, kirim speci-men sesudah difiksasi dengan alkohol 96% (3 sedi-aan), formalin (3 sediaan) dan kering (3 sediaan).Lesi pleura tanpa adanya effusi hati2 sekali aspi-rasinya sebab proses granuloma pleura akan melebarbila ditusukdan me mudahkan terjadi pnumotorak.

Terkadang pada keadaan infeksi berat (organ apa-pun) berbagai antibiotic non spesifik sudah diberikan,pasien tetap panas, sedangkan tanda-tanda TB takdidapatkan, maka pemberian anti TB (dengan tujuandiagnostic efek terapi) pada sebagian kasus ternyatamember hasil baik.

Rontgen dada tak bisa jadi dasar diagnosis pastiparu ok ada beberapa penyakit lain dengan gambaransama (kanker, jamur, abses). Ada beberapa keadaanyang memberikan kesan kuat suatu tb paru antaralain: bercak atau nodul diapeks paru, adanya kavitasterutama bila lebih dari satu, adanya fibrosis yangmenandakan tb lama, adanya bayangan soliterberbentuk oval atau bundar. Adanya pembesarankelenjar limfe di hilus dan mediastinum, adanya titik-titik kecil yang tersebar.

PengobatanSebagai internis kita harus tahu betul tujuan peng-

obatan antara lain: menyembuhkan pasien dengankomplikasi seminimal, mencegah kematian pada yangsakit berat, mencegah kerusakan paru yang lebih luasdan komplikasinya yang terkait, mencegah kekam-buhan, mencegah resistensi, melindungi keluar-ga/orang-orang dekat dia terinfeksi.

Peran steroidPenting dalam penyembuhan tuberkusosis menin-

gitis, mengurangi pengeluaran cairan akibat prosesinflamasi pada TB pericardium, effuse pleura danperitoneal. Mengurangi pembentukan jaringan fibroticpada TB mata, laring dan ureter yang bila terlambatpemberiannya akan berakibat cacat. Pada keadaanTB paru yang berat sekali dan diperkirakan akan me-ninggal dalam beberapa hari maka proses inflamsiyang berat tersebut bisa diminimalkan sampai kemu-dian efek bakteriosidik dan static dari obat anti TBbisa bekerja. Terkadang kita mendapatkan TB adrenaldengan penampilannya yang khas (kulit gelap) dangambaran insuffisiensi sistemik dari hormone adre-nal tersebut. Penggantian dengan glucocorticoid disi-ni vital agar pasien tetap bertahan hidup.

Kejadian alergi karena obat-obatan anti TB jugasering kita dapatkan maka disamping penghentianobat dan anti alergi maka pada keadaan berat steroidmempunyai peran penting. Perlu diingat bahwa jangkapendek-sedang steroid bisa menimbulkan retensicairan, gangguan mental, perburukan ulkus pep-tic/duodenum dan ‘moon face’, pemberian berkisardari 2 minggu sampai 4 minggu. Dosis umunya 0,75mg-1 mg /kgbb. Penting diperhatikan bahwa rifamp-isin bersifat antagonis terhadap kerja prednisosonsehingga dosis prednisolon ini pada 2 minggu perta-ma penderita yang memakai rifampisin dosisnya ha-rus dinaikkkan 50 persen.

INFO MEDIS 13Halo Internis Edisi 17 September 2010

Page 14: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

INFO MEDIS14 Halo Internis Edisi 17 September 2010

Kata gout berasal dari kata gutta, yang berartitetesan, kartena pada jaman dahulu, gout di-anggap sebagai akibat adanya tetesan jahat ke-dalam persendian. Gout disebut juga sebagaithe king of diseases dan the disease of kings.

Hal ini dihubungkan dengan beberapa nama orangterkenal yang menderita penyakit tersebut, yaituAlexander the Great, Queen Anne, Leonardo da Vinci,Benyamin Franklin dan lain sebagainya.

Artritis Gout merupakan penyakit yang diakibatkanoleh deposisi kristal monosodium urat pada sendi ataudi jaringan yang akan menimbulkan 1 atau beberapakeadaan klinik berikut :• Serangan inflamasi sendi yang akut atau kronik beru-

lang yang disebut artritis gout• Akumulasi deposit kristal pada sendi, tulang, ja-

ringan lunak atau rawan sendi yang disebut tofus.• Gangguan fungsi ginjal yang disebut nefropati gout• Batu asam urat di saluran kemih.

Sedangkan hiperurisemia adalah peningkatan kadarasam urat pada laki-laki diatas 7 mg/dl dan pada wani-ta diatas 6 mg/dl. Pada laki-laki, akan terjadi pe-ningkatan kadar asam urat serum secara bertahap se-telah pubertas sampai mencapai 5,2 mg/dl. Pada wa-nita, tidak akan ada peningkatan kadar asam urat se-

rum sampai mencapai menopause. Pada prameno-pause, kadar asam urat serum rata-rata hanya 4 mg/dldan meningkat menjadi 4,7 mg/dl setelah menopause.

Insiden kejadian gout khususnya di Sulawesi Sela-tan cukup tinggi sekitar 10% pada laki-laki, dan 4% pa-da wanita. Kejadian ini tidak dapat dipisahkan dengankebiasaan orang di daerah ini mengkonsumsi makanantinggi purin (coto Makassar).

PenatalaksanaanFaktor gaya hidup (lifestyle)

Pengaruh diet terhadap asam urat darah sekitar10%, sehingga dengan pengaturan diet dan gaya hi-dup merupakan hal yang sangat penting dalam pena-talaksanaan gout. Obesitas merupakan faktor komor-bid yang berperan dalam pengaturan diet. Intake alko-hol yang tinggi (khususnya bir), fruktosa, daging danseafood meningkatkan resiko terjadinya gout.

Indeks massa tubuh yang rendah akan menguran-gi resiko. Vitamin C dan cherries akan menurunkansUA. Pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi makan-an rendah purin, jangan daging, seafood, dan sayuranyang kaya purin. Diet yang dianjurkan biasanya rendahkarbohidrat (40%) high protein (30%), dan lemak ti-dak jenuh (30%). Meskipun pengaturan diet tidak me-nurunkan sUA secara signifikan tetapi hal ini tetapmembantu dalam penatalaksanaan untuk mencegahserangan akut arthritis yang sering berulang.

Pengobatan Kondisi Akut GoutObat anti inflamasi non steroid

Tujuan terapi pada keadaan ini adalah untuk meng-hilangkan nyeri secara tepat dan aman. NSAIDs meru-pakan terapi pertama yang paling sering digunakanpada kondisi flare akut. Obat anti inflamasi non ste-roid (OAINS) segera diberikan, OAINS sebaiknya dihin-dari pada penyakit ulkus gastrointestinal, perdarahanatau perforasi, insufisiensi ginjal, gagal jantung, danyang sementara menggunakan anti koagulan. Efeksamping meningkat kejadiannya pada pasien usia lan-jut sehingga pemberian OAINS sebaiknya bersamadengan PPI.

KolkisinKolkisin merupakan suatu alkaloid, berasal dari

bunga Chalchicum autumnale, pertama kali diguna-kan pada abad keenam SM oleh Alexander of Tralles.Mekanisme kerja kolkisin memblok serangkaian mi-krotubulus pada neutrofil yang mengurangi fagosito-sis dan transport kristal MSU. Kolkisin juga berperandalam migrasi neutrofil pada sendi dengan mengu-rangi perlekatan molekul pada sel endotelial dan res-pon molekul terhadap IL-1 dan TNF-?. Yang terbaru di-ketahui bahwa kolkhisin juga mengurangi inflama-some NALP3 aktifasi caspase-1 yang akan menurun-kan pengantaran MSU. Pada artritis gout akut, kolki-sin diberikan 0,5 mg/ jam sampai tercapai perbaikannyeri dan inflamasi, atau timbul toksisitas gastroin-testinal, yaitu muntah dan diare, atau tercapai dosismaksimal perhari, yaitu 8 mg. Namun bila pasien di-lakukan rawat jalan maka dosis pemberian kolkisinyaitu empat kali 0,5 mg setiap hari. Pada gangguanfungsi hati dan ginjal, dosis kolkisin harus diturunkan.

Bila GFR kurang dari 50-60 ml/menit, diberikan kolki-sin dengan dosis setengah dari dosis normal.

KortikosteroidKortikosteroid bekerja pada reseptor glukokortikoid

sitisolik untuk ekspresi gen alter. Kortikosteroid jugamemiliki efek non genomik yang dimediasi oleh resep-tor glikokortikoid sitosolik permukaan yang mengelilin-gi reseptor glikokortikoid dan interaksi tambahan den-gan protein membran sel. Pada gout, kortikosteroiddapat diberikan sistemik, IV, IM, IA jika terjadi padasatu atau dua sendi yang terkena. Kortikosteroid meru-pakan salah satu pilihan bila NSAID dan kolkisin tidakdapat diberikan atau pada kasus refrakter.

IL-1 reseptor antagonisGolongan obat ini sementara dalam uji coba tahap

III. Dikenal dengan Rilanocept suatu reseptor antago-nis dari IL-1, merupakan terapi baru yang kini berkem-bang. Dasar dari terapi ini adalah berdasarkan bahwakristal MSU menstimulasi inflamasome yang menye-babkan sekresi IL-1?. IL-1 inhibitor mencegah sekresiIL-1 serta memblok sekresi IL-1 dengan makrofag me-lalui mekanisme TLR-dependent. Penghambatan IL-1juga memperlihatkan keberhasilan dalam penatalak-sanaan sindrom autoinflamasi herediter, dimana mu-tasi dari gen NALP3 menyebabkan aktifasi spontaninflamasome NALP3.

Pengobatan Gout KronikUrate Lowering Therapy (ULT) diindikasikan pada se-

rangan berulang, artropathy, tofi, UA batu ginjal, gam-baran radiologi dari gout. ULT dapat dibagi atas agenuricostatik yang menurunkan produksi asam urat, agenuricosurik yang meningkatkan ekskresi ginjal atau agenuricolitik yang memetabolisme asam urat.

Target terapi adalah mencegah terbentuknya kristalMSU sesuai rekomendasi EULAR yaitu≤0.30 mmol/Latau≤0.36 mmol/L. Meskipun demikian, target opti-mum asam urat belum diketahui dan masih bervariasipada tiap-tiap kelompok.

Profilaksis untuk saat serangan akut diberikan ber-sama ULT, baik NSAID ataupun kolkisin. Bila tanpa pro-filaksis, 77% pasien akan mendapat serangan akut da-lam 6 bulan pertama pada penggunaan allopurinol. Kol-kisin dosis rendah terbukti efektif sebagai profilaksis,dan efek samping diare didapatkan pada sedikit subjek.

Hasil dari RCT mengindikasikan pemberian kolkisin600 µg dua kali sehari dalam 3 hingga 6 bulan selamapenggunaan ULT, secara signifikan mengurangi frekuen-si dan keparahan dari suatu serangan akut gout.

Obat penurun asam urat dikenal dalam tiga kelom-

Penatalaksanaan TerbaruArtritis Gout

Dr. Faridin Pango, SpPD, K-R, FINASIMDivisi Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unhas / RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar

Page 15: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

pok yaitu uricostatic, uricosuric dan uricolitic. Termasukkelompok obat uricostatic adalah Allopurinol dan Fe-buxostat. Kelompok obat uricosuric Benzbromaron, Sul-finpirason, dan Probenesid. Sedangkan kelompok obaturicolytic adalah Rasburicase, Poly(ethylene) glycol uri-case (PEG-Uricase).

AllupurinolAllopurinol merupakan golongan uricostatic pada

keadaan gout kronik dan obat ini banyak digunakansebagai Urate lowering therapy (ULT). Terdapat hu-bungan antara dosis allopurinol dan asam urat se-rum. Allopurinol mengurangi asam urat serum denganmenghambat xantine oksidase (XO) yang akan mem-bentuk xantin, hasil dari metabolisme purin, yangakan berubah menjadi asam urat. Direkomendasikan100mg perhari dan dinaikkan 100mg tiap 1-2 minggudengan pengontrolan asam urat dan kreatinin klirens(dosis max 900mg). Efek samping berupa rash (2%),vaskulitis, eosinofilia, reaksi hipersensitivitas yangmengancam hidup, hepatitis, penurunan fungsi ginjaldan supresi sum-sum tulang. Dosis allopurinol harusditurunkan pada pasien dengan gangguan fungsi gin-jal, hal ini penting karena ekskresi dari allopuurinol.

Oxypurinol, metabolit dari allopurinol, merupakan al-ternatif padaindividu yang alergi terhadap allopurinol,tetapi hanya didapatkan 40% kemungkinan terjadireaksi silang.

FebuxostatFebuxostat merupakan obat baru sebagai ULT, se-

cara selektif menghambat XO tergantung dari statusredox dan tidak memberi efek pada jalur enzimatikmetabolisme purin/pirimidin. Febuxostat dimetabo-lisme dengan konjugasi melalui uridine diphosfat glu-koronyltransferase. Tidak ada penurunan dosis padakelainan ginjal sedang (kelainan hati sedang). Keun-tungan lain: tidak berinteraksi dengan warfarin dan pi-lihan untuk pasien alergi allopurinol. Efek samping be-rupa diare, pusing, mialgia, takikardi, joint – related /musculosceletal/connective tissue symptom. Trialfase 2 : Febuxostat dosis 40, 80, dan 120 mg mem-berikan efikasi sebesar 56,76, dan 94% dalam 28 ha-ri dengan sUA < 6mg/dl. Trial fase 3 : Febuxostat80mg dan 120 mg dengan allopurinol 300mg selama52 minggu, memperlihatkan penurunan sUA ter-banyak pada febuxostat 120mg (p<0,001).

UrikosurikObat ini meningkatkan klirens ginjal terhadap urat.

Digunakan < 15% pasien gout. Obat – obat yang masukdalam kelompok ini adalah Benzbromarone, sulphin-pyrazone dan probenesid bekerja menghambat URAT-1sehingga mengakibat reabsorpsi urat menurun. Kontraindikasi: neprofati urat, riwayat nefrolitiasis.

BenzbromaronDimetabolisme oleh sitokrom P450. Risiko hepato-

toksik 1 : 17.000 dari 4 kasus yang dilaporkan. Dosis :50-200 mg perhari, dapat ditoleransi, monitor fungsihati penting dilakukan. Suatu penelitian RCT : mem-bandingkan benzbromarone (200mg perhari) denganProbenesid (1g, dua kali sehari), pd pasien dengan kon-tra indikasi allopurinol atau gagal mencapai sUA<0.3.mmol/L, didapatkan 92% mencapai target sUA denganbenzbromarone dan 65% dengan probenesid.

ProbenezidEfektif bila pemakaian allopurinol tidak memberi

hasil yang baik, namun tidak efektif pada gangguanfungsi ginjal. Dosis yang dianjurkan adalah 0,5 – 2,0gram dengan dosis terbagi perharinya.

UrikolitikGen urikase manusia terdiri dari 2 mutasi yang se-

cara langsung menyebabkan pemisahan transkripsigen. Menyebabkan penurunan fungsi urikase, mening-katkan aktivitas antioksidan, peningkatan kemampuanmenahan garam. Urikase mengubah urat menjadi allan-toin, 10x lebih larut dan siap diekskresi.

Rasburicaze.Dikembangkan dengan teknik rekombinan DNA dari

strain Saccharomyces cerevisae. Prevensi dan terapidari Tumor Lisis Syndrom (TLS). Dosis : 0,2 mg/kgBBIV selama 5-7 hari. Digunakan sebagai terapi gout padapasien transplantasi ginjal. Penggunaan obat ini mem-perlihatkan penurunan sUA yang cukup bermakna.

PEG-UricasePoly(ethylene)glycol-uricase berbeda dengan pro-

tein PEGylated yg sering dipakai. Waktu paruh lebihpanjang dan penurunan antigenisitas. Waktu paruhPEG-urikase 12 minggu dibandingkan rasburicase 19jam. Trial fase 1, menunjukkan bahwa pemberian IVlebih baik dibandingkan SC, PEG-urikase menurunkanatau mengeliminasi ekskresi UA sehingga mengun-tungkan penderita nefrolitiasis urat. Trial fase 2, do-sis efektif 8mg tiap 2 minggu. Efek samping biasanyamencetuskan serangan akut, reaksi di tempat infus,mual, muntah, pusing, gejala respiratorik, mialgia danrash.

INFO MEDIS 15Halo Internis Edisi 17 September 2010

OKTOBER

Brain and HeartSymposium

BANDUNG

Divisi Kardiologi

AYU31934636

13-16 OKTOBER

ASPTH(Asia Pasific Society

of ThrombosisHemostasis)

BALI, NUSA DUA

Divis HematologiPTHI (PerhimpunanTrombosis Hemo-statis Indonesia)

ERNI/BERNARD392 6286 316 2497

5-7 NOVEMBER

PIN PAPDI

MALANG

PB. PAPDI

MUCHTAR31931384

NOVEMBER

JDM (JakartaDiabetes Meeting)

JAKARTA

MetabolikPsikosomatik

OLA/ANNA3907703

5-6 NOVEMBER

Simp. Psikosomatik

HOTEL SAHID JAYA

Divisi Psikosomatik

MURTI31930956

12-14 NOVEMBER

JACIN (JakartaAllergy & Clinical

lmmunologi)

BALI

Divisi Alergi lmunologi

ENAH/TINI3141160

TANGGAL

BULAN

NAMA

KEGIATAN

TEMPAT

SEKRETARIAT/

PJ ACARA

CONTACT

PERSON

Page 16: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

II. Physician Assisted Suicide(PAS)

Tindakan bunuh diri berbantuan (BDB) adalahtindakan bunuh diri yang dilakukan secara aktif olehpasien yang berada dalam tahap terminal dari sakit-nya,dimana dalam tindakan tersebut dibantu olehdokter dengan melakukan tindakan yang dapat diang-gap memberikan fasilitas pada pasien stadium termi-nal tadi untuk melakukan bunuh diri tersebut.Bantuan dokter tdapat melalui berbagai cara, seperti:menuliskan resep obat dengan dosis toxis, memban-tu mencarikan obat/zat yang beracun, menyediakanperalatan khusus yang dapat dipakai oleh pasiensebagai sarana untuk bu nuh diri, dsb.(1)

Adapun tindakan bunuh diri dari seorang pasienyang dilakukannya tanpa keterlibatan dokter, tidakdapat digolongkan dalam PAS atau euthanasia, seka-lipun tindakan tersebut menggunakan obat-obatanatau bahkan memakai peralatan medis. Tindakan ter-sebut termasuk dalam bunuh diri.

III. Euthanasia dan PhysicianAssisted Suicide Perde-batan Berkepanjangan

Baik ET maupun PAS keduanya sampai saat ini be-lum diterima dikebanyakan negara, dianggap sebagaipelanggaran etik berat, bahkan termasuk tindakan kri-minal. Dokter yang melakukan ET atau PAS, dapat di-anggap sebagai pembunuh, atau minimal terlibat da-lam rekayasa pembunuhan terhadap seseorang. Dita-hun 1985 Paus Yohanes Paulus II sebagai pemimpintertinggi umat katolik berpesan pada para ahli Aka-demi Pontifikal yang saat itu sedang membahas ten-tang euthanasia, Paus menegaskan bahwa tugas pa-ra dokter adalah menjadi pelayan kehidup an,bukanberperan sebagai tuan atau pemilik dari kehidupanitu. Euthanasia adalah sebuah tindak kriminal yangtidak beliau setujui dan tidak didukung.(2)

Dalam agama Islam pun terdapat doktrin bahwajiwa manusia adalah milik Allah swt, manusia tidakboleh sembarangan mencabut nyawa milik orang lainhanya karena pertimbangan dari manusia itu sendiri.Tindakan untuk menncabut jiwa orang lain,adalah do-sa besar yang harus dihindari. Begitu pula tindakanbunuh diri, juga adalah dosa besar dalam agamaIslam

Tetapi perdebatan masih berlanjut, walaupun padasaat ini mayoritas dokter, agamawan dan para pakarhukum masih belum dapat menerima eutanasia danphysician assisted suicide. Karena mereka yang setu-ju dengan ET dan PAS juga tidak kalah sengit berar-gumentasi. Mereka menanyakan apakah salah melak-sanakan sesuatu hal yang diinginkan oleh pasien?

INFO MEDIS16 Halo Internis Edisi 17 September 2010

Euthanasia (ET) dan Physician Assisted Suicide(PAS), adalah dua masalah etika medis danhukum yang selalu aktual, bukan hanya padasaat ini tetapi juga dimasa lalu, bahkan tidaktertutup kemungkinan masih akan diperde-

batkan dimasa mendatang. Pertikaian antara merekayang setuju dan yang kontra pada masalah ini, bersi-fat laten sehingga sewaktu-waktu dapat terjadi.

Pendapat dari mereka yang setuju pada tindakaneuthanasia dan physician assisted suicide yangdilakukan pada pasien yang berada dalam stadiumterminal dari sakitnya, akan selalu berseberangandengan pandangan norma, etika dan hukum, darikelompok main-stream yang tidak dapat menyetujuipada kedua tindakan tersebut. Tidak berlebihan kalauProf Bertens(1) menyatakan euthanasia sebagai perde-batan yang berkepanjangan, Sedang menurut Prof.Sugiri, dalam pro dan kontra euthanasia akan selaluberpolemik antara nalar, moral dan legal(6).

I. EuthanasiaKata euthanasia sendiri berasal dari bahasa

Yunani, yang merupakan gabungan dari dua sukukata, ialah Eu (= baik) dan thanatos (=kematian),Sehingga ketika dirangkai menjadi satu kata menjadiberarti sebagai ”mati yang baik”. Tetapi pengertiandari euthanasia yang dikenal umum pada saat ini,adalah suatu cara kematian dari seorang penderitayang berada dalam tahap terminal sakitnya, akibatdari tindakan aktif dokter yang memberikan obat ataumembiarkan secara sengaja kondisi tertentu padapasien tersebut sehingga berakibat timbulnya kemat-ian.

ET dapat dibagi kedalam siapa yang meminta ETdan cara bagaimana ET dilakukan(4,5):

A. Permintaan Dilakukan Euthanasia.1. Euthanasia Sukarela (voluntary euthanasia): apabi-

la tindakan itu dilakukan atas permintaan dari pa-sien yang bersangkutan,dilakukan berulang-ulang,dan dalam keadaan sadar.

2. Euthanasia Tidak Sukarela (non-voluntary euthana-sia): adalah ET yang permintaannya tidak berasaldari pasiennya sendiri. (pasien mungkin sudah da-lam keadaan tidak sadar). Biasanya keluarga pa-sien yang meminta tindakan tersebut. Termasuk di-dalam ET tidak sukarela adalah euthanasia yangtidak disadari (Involutary euthanasia); yaitu eutha-nasia yang dilakukan pada seorang pasien, sedangpasien yang bersangkutan tidak menyadari dilaku-kan euthanasia pada dirinya (bayi yang lahir de-ngan cacat yang sangat berat.)

B. Cara Melakukan Euthanasia

1. Euthanasia Aktif (ET-A): bila dokter secara aktifmelakukan intervensi medis secara aktif pada pa-sien yang berada dalam tahap terminal sakitnya,yang mengakibatkan kematian pasien. Dalam per-kembangannya ada dua macam ET Aktif ialah: ETAktif yang dilakukan secara langsung, dan ET-Ayang dilakukan secara tidak langsung. Disebutsebagai ET-A langsung bila tindakan medis yangsecara aktif dilakukan oleh dokter tersebutmemang diarahkan untuk pengakhiran hiduppasien itu. Contohnya adalah; pemberian obatyang toxis, K Cl dosis tinggi, dsb. Sedangkan yangdimaksud dengan ET- A tidak langsung, ialah tin-dakan meringankan penderitaan pasien dalam sta-dium terminal tersebut, tidak diarahkan untuk men-gakiri hidup pasien tersebut. Namun dokter menyadari kalau tindakan tersebut,

beresiko memperpendek usia penderita atau dapatmengakibatkan kematian pasiennya.

2. Euthanasia Pasif, letting die dan auto euthanasia.Adalah euthanasia dengan melakukan tindakan

penghentian atau pencabutan segala macam perala-tan bantu kehidupan pasien, sehingga akan menye-babkan pasien tersebut meninggal karena penyakityang dideritanya. Perlu diketahui kalau istilah ET Pasifpada saat ini sudah jarang digunakan lagi untukmenyebut tindakan tersebut diatas, dan sebagai gan-tinya digunakan istilah ”tindakan untuk membiarkanpasien meninggal” (letting-die). Namun pada saat inikeputusan dokter untuk melakukan letting die padaseorang pasien yang sudah berada dalam keadaanterminal,ada yang menganggap tidak termasuk dalamtindakan euthanasia.(1)

Masih terkait dengan euthanasia pasif ini adalahauto-euthanasia,yang terjadi bila seorang pasien sen-gaja menolak perawatan medis dan secara sadar iamengetahui kalau itu akan memperpendek atau men-gakhiri kehidupannya. Auto eutanasia dapat dianggapeuthanasia pasif atas permintaan.(4)

Dr. Bambang Subagyo, SpPD, SE, MM, FINASIM

Komite Etik dan Hukum RSUP Persahabatan, Jakarta

Euthanasia danPhysician Assisted Suicide

Page 17: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

Bukankah ini merupakan salah satu penghargaan ter-hadap hak otonomi dari pasien? Dan apakah menghi-langkan penderitaan pasien yang berada dalam tahapterminal dan sudah tidak ada harapan hidup lagi,bukan suatu tindakan maleficiale dari etika medis?Selain itu juga dipermasalahkan, bagaimana sikapetis dan tindakan dokter terhadap seorang pasienyang jelas telah berada dalam tahap terminal darisakitnya, dimana tidak ada obat yang dapat me-nyembuhkan, sedangkan keluarganya telah kehabis-an dana untuk membiayai perawatan pasien terse-but? Dimana akan terjadi perdebatan antara pertim-bangan rasio ekonomis, etika medis dan hukum posi-tif yang berlaku.

Bukti bahwa perdebatan euthanasia masih ber-langsung, adalah dalam waktu hampir 100 tahun Ing-gris (UK) merupakan negeri yang telah tiga kali men-coba memberlakukan Undang-Undang tentang Eutha-nasia, tetapi telah tiga kali pula rancangan undang-undang tersebut dibatalkan. Begitu pula negara ba-gian Northern Territory di Australia yang pada tahun1995 telah menyetujui Undang-undang yang mele-galkan Euthanasia, namun ternyata ditahun 1997 Un-dang-undang itu dicabut kembali oleh SenatAustralia.(3)

Negeri Belanda dan Belgia pada saat ini meru-pakan dua negara yang telah melegalkan euthanasiatetapi dengan mewajibkan beberapa persyaratan ke-tat yang harus dipenuhi terlebih dulu. Karena tanpadipenuhinya persyaratan tersebut, tindakan euthana-sia akan bertentangan dengan Kitab Undang undangHukum Pidana yang berlaku di Negeri Belanda, se-hingga merupakan perbuatan kriminal(1). Adapun sya-rat-syarat tersebut adalah(3):1. Pasien harus menghadapi sesuatu yang tidak ter-

tahankan lagi dan, tak dapat dicegah.2. Permintaan mati harus diajukan secara sukarela

dan pasien berada dalam kesadaran penuh.3. Dokter dan pasien harus telah yakin memang tidak

ada solusi yang lain.4. Harus ada second medical opinion, dan pengakhir-

an kehidupan harus secara medis.Negara Swiss dan Oregon adalah tempat yang te-

lah melegalkan PAS. Negara bagian Oregon di Ameri-ka Serikat sejak 1997 telah mengizinkan PAS denganpersyaratan yang amat ketat. Walaupun begitu di-negara bagian Oregon tetap tidak mengizinkan dila-kukan Euthanasia.

IV. Bagaimana Di Indonesia?Walaupun tidak menyebutkan secara implisit sesu-

atu sebagai tindakan euthanasia, namun KUH-Pidanakita(7), melarang tindakan yang dapat dikategorikansebagai ET dan PAS. Baik ET aktif maupun pasif se-muanya termasuk kedalam perbuatan melawan hu-kum. Dan bagi mereka yang dengan sengaja melang-gar larangan tersebut, diancam dengan hukuman pi-dana penjara. Adapun pasal-pasal KUH-Pidana (7)yang berkaitan dengan hal ini adalah:a. Larangan pada tindakan yang mirip dengan eutha-

nasia pasif, yang bila penderitanya meninggal kare-na tindakan tadi, diancam hukuman penjara sem-bilan tahun. (pasal: 304, 306)

b. Sedang untuk hal-hal yang dapat digolongkan padaeuthanasia aktif sukarela, larangannya diaturdalam KUHP pasal 344, dengan ancaman penjaraselama-lamanya 12 tahun.

c. Untuk assisted suicide bila ternyata kemudian be-nar-benar terjadi kematian pada penderitanya, me-nurut KUHP pasal 345, diancam penjara selamalamanya empat tahun.Namun berdasarkan pasal 340 KUHP, bagi mereka

yang sengaja terlibat dalam perencanaan untuk meng-hilangkan nyawa orang lain, dapat diancam dengan

hukuman mati atau seumur hidupatau dihukum selama 20 tahun,tergantung peran dan bobotpelanggaran hukumannya.

Dalam KUHP juga tidak diba-has secara khusus tentangeuthanasia yang inisiatifnyadatang dari keluarga pasien.Logikanya jika niat mengakhirikehidupan tadi datang dari kelu-arga, dapat dianggap sebagaisuatu konspirasi untukmelakukan pembunuhan.Sekalipun dalam hal ini pihakkeluarga telah membuat suratpernyataan diatas meterai danada saksi-saksi untuk hal itu.Disini dokter tetap berpotensidianggap ikut merencanakan per-buatan untuk menghilangkan nya-wa orang lain. Dokter akan ter-bebas dari jeratan hukum, hanyajika dokter tersebut dapat mem-buktikan bahwa tindakannya itu

terjadi karena ada kekuasaan (paksaan) yang tidakdapat dihindarkan olehnya (pasal 48 KUHP).

Hukum Indonesia masih melarang tindakan eutha-nasia dan physician assisted suicide, bahkan dalamKUH Pidana Republik Indonesia sudah sejak lamaterdapat pasal-pasal dan ancaman hukuman bagiyang sengaja melakukan perbuatan tersebut. Namununtuk pasien yang telah dipastikan telah mengalamikematian batang otak atau kehilangan fungsi otak

sama sekali, sekalipun jantungnya masih berdenyut,dimungkinkan dilakukan penghentian tindakan tera-petik, dan ini bukan suatu euthanasia bila dilakukandengan prosedur khusus.(3,6) Yaitu keputusan peng-hentian tindakan teraupetik tersebut harus dilakukanoleh suatu tim dokter. Dan hendaknya dalam pengam-bilan keputusan itu, ikut dipertimbangkan juga hal-halyang menjadi keinginan dari pasien, keluarganya, ser-ta bagaimana kualitas hidup terbaik yang masih dapatdiharapkan dari pasien tersebut(4).

V. KesimpulanSekalipun euthanasia dan physician assisted sui-

cide karena alasan etis dan hukum, tidak dibenarkanuntuk dilakukan nyaris diseluruh negara didunia. Na-mun ada beberapa negara yang telah mengizinkaneuthanasia aktif dan physician assisted suicide, seka-lipun dengan persyaratan yang sangat ketat.

Masalah euthanasia bukan suatu hal yang seder-hana, karena termasuk dalam pelanggaran hukumyang cukup berat ancaman pidananya. Ironisnya seo-rang dokter dapat saja tidak sadar telah terjebakmelakukan suatu tindakan yang tergolong padaeuthanasia atau physician assisted suicide. Padahaltidak ada niat sedikitpun dari dokter itu untuk melaku-kan perbuatan tersebut. Walaupun begitu dalam kon-disi khusus ketika seorang pasien sudah dalam kea-daan mati batang otak, ada prosedur khusus yangdapat dilakukan dokter supaya tidak digolongkan pa-da tindakan euthanasia.

Karena itu menjadi kewajiban bagi kita semuauntuk memahami dengan benar, tentang apa yangdimaksudkan dengan euthanasia dan physicianassisted suicide, termasuk ancaman pidana dari per-buatan itu. Agar kita tidak terjebak dalam situasi sulityang semestinya dapat dihindari. Juga jangan sampaidikemudian hari seorang dokter dituntut oleh keluargapasien, karena dianggap telah melakukan penghi-langan nyawa secara paksa, Atau justru digugat kare-na dianggap melakukan tindakan sia-sia pada seseo-rang pasien yang sebenarnya sudah meninggal, se-hingga membebani keluarganya secara moral danmateriel.

Daftar PustakaDaftar Pustaka ada pada Redaksi.

INFO MEDIS 17Halo Internis Edisi 17 September 2010

Page 18: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

18 BERITA CABANG

Musibah kembali melanda bumipertiwi. Kali ini, luapan banjirbandang melanda bumi di bela-han pulau Sulawesi, tepatnya di

Kabupaten Gorontalo pada bulan Juni2010. Banjir kali ini merupakan akibatdari hujan deras tak henti yang turunselama beberapa hari. Akibatnya, lu-beran air kian tak terbendung sehinggabanjir bandang pun mengancam.

Meski banjir memang kerap terjadidi Gorontalo, namun tak dapat dipung-kiri banjir kala itu adalah banjir terbe-sar dalam sejarah Gorontalo. Ratusankeluarga terpaksa mengungsi untukmenyelamatkan diri. Tentu saja, kon-disi di pemukiman sangat memprihatin-kan, tak senyaman tinggal di kediamanpribadi. Kurangnya bahan makanan, airbersih serta pakaian, serta lingkunganyang kotor mengundang banyak penya-kit. Tak heran para pengungsi terancamberbagai penyakit.

Melihat kondisi ini, nurani para ja-jaran dokter di Perhimpunan Dokter Pe-nyakit Dalam Indonesia (PAPDI) CabangGorontalo pun turut tersentuh. Merekaikut terjun untuk memberi bantuan kepa-da korban banjir. Karena korban ter-parah terjadi di dua kecamatan, yakni diKecamatan Bongomeme dan Tibawa,Mereka pun memutuskan memilih turunke kedua wilayah tersebut Rabu, 23 Juni2010. Ada tiga orang anggota PAPDIyang turun, yaitu ketua PAPDI Gorontalo,salah seorang anggota lainnya, Dr AlexCoeliangan, SpPD, serta seorang

anggota istimewa, Dr. Titin Payuhi. Bantuan bagi korban banjir ini meru-

pakan bantuan kemanusiaan untukkorban banjir pertama yang dilakukanoleh PAPDI Cabang Gorontalo di Kabu-paten tersebut sejak Perhimpunan inidiresmikan pada Februari 2010 lalu.“Kami berharap bantuan ini dapat me-ringankan beban yang dirasakan olehpara korban meski mungkin jumlahnyatak seberapa,” ujar Dr. Nur Albar,SpPD, ketua PAPDI Cabang Gorontalo.

Pada kesempatan tersebut, PAPDIGorontalo memberi bantuan untuk 140keluarga yang mengungsi. Mereka me-nyumbangkan mie instan sekitar 100karton, sekarung beras seberat 60 kg,air mineral dalam gelas dan biskuit se-banyak 10 karton, juga baju wanita(daster) 160 potong kepada para kor-ban. Dengan latar belakang kedokteranmereka, PAPDI Gorontalo juga bantuanmedis gratis pada para korban. “Ya se-perti korban banjir pada umumnya, me-reka kebanyakan datang dengan keluh-an penyakit ISPA, gatal, diare, dan se-jenisnya,” terang Nur Albar.

PAPDI Gorontalo tidak sendiri, mere-ka juga mendapat bantuan dari pihakswasta dan dimediasi oleh Dinas Ke-sehatan Kab, Gorontalo dan RumahSakit MM Dunda. Hadir dalam kesem-patan tersebut Kepala RS. Aloe Saboe,Dr. Zein Suweleh, SpTHT, serta sejum-lah dokter internis, seperti Dr. ChandraLasimpala, Dr. Zarman Hadati, dan ju-ga Dr. Erna Lasabuda. (HI)

Isu tentang kian maraknya dokter war-ga negara asing yang berpraktik diIndonesia, akhir-akhir ini menjadi per-hatian khalayak, termasuk profesi

kedokteran. Ada yang menganggapnyasebagai problema. Tak jarang juga yangjusteru menyambutnya sebagai suatukemajuan sekaligus tantangan bagi la-yanan kesehatan di negeri ini. Sepertiyang dirasakan oleh kalangan dokterdari Perhimpunan Dokter Penyakit Da-lam Indonesia (PAPDI) cabang Makas-sar. “Keadaan ini justeru kian menan-tang kita sehingga termotivasi untuk le-bih maju dan memberpaiki kualitas la-yanan kedokteran di sini,” ujar Prof.DR. Dr. Syamsu, SpPD, K-AI, KetuaPAPDI Cabang Makassar.

Meski demikian, Prof. Syamsumenggarisbawahi agar kalangan dokterjuga perlu mewaspadai adanya dokterasing baik yang sebenaranya malah ku-rang berkualitas. Bahkan ada pula dok-ter gadungan yang memanfaatkan sifatsebagian masyarakat Indonesia yangmemiliki pola pikir luar negeri minded.

Tantangan yang muncul tidak sajadari sisi dokter asing saja, namun jugamerebaknya beberapa jenis jenis ru-mah sakit yang menyatakan bertarafinternasional. Menurut Prof. Syamsu,kondisi ini menciptakan tantangan bagidunia rumah sakit di Indonesia untukterpacu pula mendirikan rumah sakitsemacam itu namun dengan menam-bahkan nilai lebih, citarasa lokal.

Artinya menurut Direktur RS Pendi-dikan Univesitas Hasanuddin (Unhas)ini, rumah sakit tersebut disebut ber-taraf internasional karena semua per-alatan diagnostik dan penunjang terapimedisnya tergolong canggih dan masihharus didatangkan dari luar negeri. “La-lu saya sebut bercitarasa lokal, karenasebagian besar tenaga paramedis mau-pun medis berasal dari dalam negeriyang di samping itu sarana komunikasi-nya kemungkinan juga masih menggu-nakan bahasa Indonesia yang mungkindiperkaya dengan bahasa daerah se-tempat,” papar Prof. Syamsu.

Tantangan semacam itu menurutSyamsu juga berlaku pada pemberi la-yanan kesehatan di tingkat lokal, padarumah sakit-rumah sakit yang menggu-nakan nama daerah ataupun tokoh se-tempat. Sebab pada benak sebagianbesar masyarakat, kata internasionalmemberi nilai lebih yang seakan mem-beri jaminan mutu untuk mendapatkanpelayanan yang prima. Karena hal inipulalah, pengurus PAPDI Cab. Makas-sar periode 2009-2012 dalam 2 tahunterakhir terdorong untuk membuat ber-bagai kegiatan guna meningkatkan pro-fessionalisme dokter baik anggotamaupun bukan anggota PAPDI.

PAPDI Cabang Makassar dan dimo-tori oleh koordinator P2KB Dr. Idar Map-pangara, SpPD, membuat beberapa ke-

giatan workshop bulanan dengan temasesuai subdivisi yang berbeda. SubdivisiTropis Infeksi misalnya mengadakanworkshop dengan tema “Diagnosis dinidan Penatalaksanaan Dengue SyokSyndrom serta Penatalaksanaan Mala-ria Berat/Cerebral”.

Beberapa workshop lain juga pernahdibuat oleh PAPDI Cabang Makassar di-antaranya adalah workshop pembuatanApusan Darah Tepi, DDR, apusan hasilBMP, workshop endokrin metabolik,workshop pengisian borang P2KB ma-nual dan online, juga Workshop IMELS.Workshop pengisian borang P2KB man-ual dan online mengikutkan digelar duakali, yakni untuk generasi baru dangenerasi tua PAPDI Cab. Makassar. Se-dang pada workshop IMELS, pesertaterlihat begitu antusias sehingga mele-bihi dari kapasitas ruangan yang di-siapkan.

Tak hanya workshop, PAPDI CabangMakassar juga menyelenggarakan kur-sus untuk meningkatkan keahlian paratenaga medis di Makassar. Diantara-nya adalah kursus USG Tahap I bagianggota PAPDI Cab. Makassar danPPDS Ilmu Penyakit Dalam FK-UNHAS.

(HI)

Halo Internis Edisi 17 September 2010

Kiprah PAPDI Cabang Gorontalo

Peduli KorbanBanjir Gorontalo

Geliat PAPDI Cabang Makassar

BertarafInternasionaldenganCitarasa Lokal

Ketua PAPDI menyerahkan bantuan secarasimbolis kepada kepala desa Bongomeme.

Selain pembagian bantuan, para dokter ahli sempatmelakukan pengobatan gratis bagi warga korban banjir.

PAPDI bersama wargamasyarakat Bongomeme.

PAPDI bersama wargamasyarakat Tibawa.

Suasana Workshop pembuatan Apusan Darah Tepi,DDR, apusan hasil BMP

Kursus USG Tahap I bagi anggota PAPDI CabangMakassar dan PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK-UNHAS

Kegiatan workshop pengisian borang P2KB manualdan online

Suasana Workshop IMELS dengan peserta yangbegitu antusias.

Page 19: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

19ALBUM PAPDI Halo Internis Edisi 17 September 2010

PAPDI Forum

Indomedica Expo 2010

PIT Ilmu Penyakit Dalam 2010

Rakernas PB PAPDI dan Cabang

Bidang Humas dan Media PB PAPDI menyelenggarakan PAPDI Forum dengan tema “Ibadah Berkua-litas Selama Puasa Tanpa Gangguan Penyakit”, di Gedung Graha Purna Wira pada 7 Agustus 2010.Simposium ini dihadiri oleh perwakilan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan , dokter-dokter dariSudin Kesehatan dan masyarakat dari kader diabetes. Tampak Dr. Ari fahrial Syam, SpPD, K-GEH,FINASIM, MMB mewakili PB PAPDI memberikan plakat kepada perwakilan Sudin Kes Jaksel. Acaraini merupakan wujud partisipasi PAPDI merespon persoalan-persoalan kesehatan di masyarakat.

PB PAPDI turut berpartisipasi dalam Indomedica Expo III di Jakarta Convention Center, 27-30 Mei2010. Acara tahun PB IDI ini selain menampilkan stand-stand dari institusi kedokteran dan farmasi,juga menyuguhkan seminar kedokteran. Tampak stand PB PAPDI dikunjungi Ketua PP PERKI Dr.Anna Ulfah Raharjoe, SpJP (K) FIHA, yang didampingi Ketua Umum PB PAPDI, DR.Dr.Aru W. Sudoyo,SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP, Wakil Sekjen Dr. Sally A. Nasution, SpPD, FINASIM dan Humas Dr.Agasjtya Wisjnu Wardhana, SpPD, FINASIM.

PB PAPDI berpartisipasi pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2010, di Hotel Sahid,22-25 Juli 2010. Acara yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM inimenyuguhkan simposium dengan tema-tema mutakhir seputar ilmu penyakit dalam. Stand PB PAPDImenyajikan informasi seputar organisasi dokter spesialis penyakit dalam dalam bentuk booklet danprofil video. Tampak Ketua Umum PB PAPDI bersama pengunjung di stand.

Bidang Humas, Publikasi dan Media PB PAPDI kembali berpartisipasi pada Pertemuan IlmiahTahunan Ilmu Penyakit Dalam 2010, di Hotel Sahid, 22-25 Juli 2010. Tampak Ketua Bidang HumasDr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD, FINASIM dan staf sekteriat PB PAPDI berfoto bersama di standPAPDI. Stand ramai dikunjungi peserta yang ingin mengetahui informasi terbaru seputar organisasidokter spesialis penyakit dalam.

Suasana stand PB PAPDI pada Indomedica Expo III di Jakarta Convention Center, 27-30 Mei 2010.Stand PAPDI menyuguhkan booklet PAPDI, tabloid halo Internis, serta memutar video profil PBPAPDI bagi pengunjung yang ingin mendapatkan informasi tentang seputar organisasi dokter spe-sialis penyakit dalam. Tampak staf sekretariat PB PAPDI sedang menyapa ramah pengunjung.

Para pembicara dan moderator: Dr. Agasjtya Wisjnu Wardhana, SpPD, FINASIM (moderator) dan Dr.Tri Juli Edi tarigan, SpPD, Dr. Nina Kemala Sari, SpPD, K-Ger, FINASIM, Dr. Ari Fahrial Syam, SpPD,K-GEH, FINASIM, MMB, dan DR.Dr. Imam Effendi, SpPD, K-GH, dalam sessi tanya jawab pada acaraPAPDI Forum. Acara yang dipandu Dr. Nadia A. Mulansari, SpPD ini juga dilengkapi pemeriksaangula darah gratis dari Prodia.

Rakernas PB PAPDI dan semua cabang PAPDI berlangsung selama dua hari, 1-2 Mei 2010 di HotelBorobudur, Jakarta. Tampak perwakilan dari seluruh cabang PAPDI sedang melakukan prosesi pem-bukaan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars PAPDI.

Rakernas PAPDI dihadiri seluruh pengurus PB PAPDI dan perwakilan dari 34 Cabang PAPDI se Indone-sia. Seusai acara, pengurus PB PAPDI serta perwakilan cabang foto bersama. Musyawarah kerja sela-ma dua hari ini membahas program kerja, persoalan-persoalan di cabang dan memutuskan kebijakan-kebijakan PAPDI terkait dengan perubahan kebijakan para stakeholder kedokteran di Indonesia.

Page 20: Halo Internis Edisi 17; Acta Medica Indonesiana_ GO INTERNATIONAL.!!_4

20 ALBUM PAPDIHalo Internis Edisi 17 September 2010

Pelantikan PAPDI Cirebon

Penandatanganan naskah pelantikan PAPDI Cabang Cirebon oleh Ketua Umum PB PAPDI,DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP dan Ketua PAPDI Cabang Cirebon,Dr. H. Dedi Nuralamsyah, SpPD, FINASIM, yang disaksikan oleh perwakilan IDI CabangCirebon, Dr. H. Edi Sugiarto, M.Kes dan beberapa pengurus PAPDI Cabang Cirebonmaupun dari pengurus PB PAPDI, pada 19 Juni 2010 di Hotel Santika.

Foto bersama pengurus PAPDI Cab. Cirebon beserta pengurus PB PAPDI, seusai pelantikan pengurusPAPDI Cab. Cirebon. Tampak jajaran PB PAPDI, diantaranya Ketua PB PAPDI, Sekretaris Jenderal, Dr.Chairul Rajab Nasution, SpPD, K-GEH, FINASIM dan Wakil Sekretaris Jenderal, Dr. Sally, Aman Nasution,SpPD, FINASIM, Ketua Bidang Advokasi dan Dr. Ari Fahrial Syam, SpPD, K-GEH, MMB, FINASIM KetuaBidang Advokasi dan Bidang Humas Publikasi dan Media Dr. Indra Marki, SpPD, FINASIM. Sedangan daripengurus Cab. Cirebon diantaranya Ketua PAPDI Cab. Cirebon dan Sekretaris PAPDI Cab. Cirebon Dr. H.Wizhar Syamsuri, SpPD. Prosesi pelantikan berlangsung khidmat dengan suasana penuh kekeluargaan.

Pelantikan PAPDI Kalimantan Timur

Pelantikan pengurus PAPDI Cab. Kalimantan Timur oleh Ketua Umum PB PAPDI, DR. Dr.Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP pada 5 Juni 2010, di Hotel Grand Victoria.Tampak Ketua Umum PB PAPDI sedng menyematkan PIN PAPDI kepada pengurus PAPDICab. Kaltim. Acara pelantikan yang disaksikan oleh perwakilan IDI Wilayah Kaltim Dr.Panuturi Ratih E.T.S berlangsung sukses.

Suasana dialog penuh keakraban dan kekeluargaan antara pengurus PB PAPDI denganpengurus PAPDI Cab. Kaltim seusai pelantikan pengurus cabang. Tampak KetuaUmum PB PAPDI dan Wakil Sekretaris Jenderal PB PAPDI, beberapa pengurus cabang,diantaranya Dr. Andi Baji, SpPD dan DR.Dr. Latif Choibar Caropeboka, SpPD,K-EMD.

Pelantikan PAPDI Purwokerto

Pelantikan pengurus PAPDI Cab. Purwokerto oleh Ketua Umum PB PAPDI DR. Dr. Aru W. Sudoyo,SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP pada 8 Mei 2010 di Hotel Dinasti. Ketua Umum PB PAPDI menye-matkan PIN PAPDI kepada pengurus cabang. Acara yang dihadiri perwakilan IDI Wilayah CabBanyumas, Dr. L. Budhi Setiawan berlangsung khidmat.

Usai upacara pelantikan pengurus PAPDI Cab. Purwokerto, jajaran pengurus cabang berkesem-patan foto bersama dengan Ketua Umum PB PAPDI. Tampak Dr. Aru didampingi Ketua PAPDI Cab.Purwokerto DR.Dr. I Gede Arinton, SpPD, K-GEH, FINASIM, Sekretaris cabang Dr. BambangPoernomo, SpPD, FINASIM dan jajaran pengurus cabang lainnya. Pada kesempatan ini jugadiadakan Simposium Nasional Hepatologi.

Pelantikan PAPDI Jaya

Penandatanganan naskah pelantikan PAPDI Jaya oleh Ketua Umum PB PAPDI, DR. Dr. Aru W.Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP dan Ketua PAPDI Jaya DR. Dr. Idrus Alwi, SpPD, K-KV,FINASIM, FACC, FESC yang disaksikan oleh perwakilan IDI Jaya Dr. Endah Sulastiana, MARS danberapa perwakilan baik dari pengurus PAPDI JAYA maupun dari pengurus PB PAPDI, pada 24 Juli2010 di Hotel Sahid Jaya, Jakarta.

Usai upacara pelantikan pengurus PAPDI Jaya, jajaran pengurus cabang berkesempatan fotobersama dengan Ketua Umum PB PAPDI. Tampak Dr. Aru didampingi Ketua PAPDI Jaya, perwakilanIDI Jaya, serta jajaran pengurus cabang lainnya.