Upload
adesambora
View
64
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Dengan makin meningkatnya derajat kesehatan di Indonesia maka
perhatian terhadap penyakit infeksi tidak hanya dipusatkan kepada penyakit-
penyakit infeksi yang menimbulkan angka kematian bayi yang tinggi misalnya
gastroenteritis serta infeksi saluran nafas. Hepatitis Virus yang merupakan
penyakit yang tidak banyak menimbulkan kematian bayi makin mendapat
perhatian, apalagi karena infeksi oleh beberapa jenis Hepatitis Virus ternyata dapat
mengurang angka harapan hidup dan dapat pula mengurangi kualitas hidup serta
produktivitas. Namun perhatian tersebut relatif lambat dibandingkan dengan
negara-negara maju sebab dalam menghadapi hepatitis Virus kita banyak menemui
kesulitan diagnostik, karena untuk menegakkan diagnosis hepatitis Virus
diperlukan pemeriksaan laboratorium yang relatif mahal, dan belum menjangkau
daerah-daerahjerifer.
Sampai saat ini publikasi tentang hepatitis virus di Indonesia masih
sangat terbatas, dan kebanyakan berasal dari data-data rumah sakit.
Penyakit hepatitis virus yang telah dikenal sejak zaman Hipokrates
sampai saat ini masih terus berkembang, dengan kemajuan teknologi dalam
bidang kesehatan dengan ditemukannya reagen-reagen baru untuk mendeteksi jenis
virus hepatisis maka seperti yang kita ketahui sekarang bahwa jenis virus hepatitis
sudah jauh berkembang yang semula kita kenal hepatitis seperti alphabet dari A
sampai G, dengan ditemukan varian-varian baru dari tranfusion transmitted virus,
tidak mustahil jenis virus hepatitis akan terus bertambah.
Hepatitis virus merupakan permasalahan besar di Indonesia, terutama
hepatitis virus A, B, dan C. ketiga hepatitis virus ini potensial untuk menimbulkan
dampak rnorbiditas, mortalitas, serta dampak psiko-sosial-ekonomi.
1
Hepatitis virus A (HVA) pada dasarnya merupakan suatu self limiting
disease tetapi dapat menimbulkan berbagai dampak epidemiologis dan klinis. Di
Indonesia, infeksi banyak mengenai anak berusia kurang dari 5 tahun. Anak-
anak ini lah yang merupakan reservoir infeksi bagi anak besar dan orang dewasa
di sekitarnya dengan resiko morbiditas dan resiko mortalitas yang lebih berat.
Indonesia juga merupakan daerah endemis hepatitis virus B (VHB).
Infeksi VHB pada awal kehidupan, terkait resiko kronisitas sampai dengan
90%. Imunisasi universal terhadap bayi baru lahir terbukti berhasil
menurunkan prevelens HVB dan KHS. Sedangkan terapi antivirus selum
menunjukkan hasil yang memuaskan.
Hepatitis virus C (HVC) juga menimbulkan banyak permasalahan
karena sampai dengan 85% akan berlanjut menjadi kronis dengan berbagai
komplikasinya. Akibat tingginya laju mutasi virus, sampai saat ini, belum
tersedia vaksin hepatitis C. di lain pihak, keberhasilan terapi anti virus
terhadap HVC lebih rendah dibandingkan keberhasilannya pada HVB.
Oieh karena itu, prinsip umum tatalksana hepatitis virus adalah (1)
diagnosis dini, (2), terapi suportif dan pemantauan, (3) deteksi dini komplikasi
fulminan atau kronisitas, (4) mencegah penyebaran, serta (5) memberikan
terapi antivirus terhadap anak dengan hepatitis kronik (sesuai indikasi).
2
BAB II
DEFINISI DAN ETIOLOGI
2.1 DEFINISI
Hepatitis virus dapat didefinisikan sebagai suatu infeksi sistemik yang
menimbulkan peradangan dan nekrosis sel hati; yang mengakibatkan terjadinya
serangkaian kelainan klinik, biokimiawi, imunoserologik dan morfologik. Sebagi
penyebabnya saat ini diketahui ada 5 jenis virus hepatotropik, masing-masing
dengan ciri imunoserologik khusus dan sifat epidemiologik yang khas. Kelima
jenis virus hepatitis tersebut adalah :
1. Hepatitis virus A (HAV)
2. Hepatitis virus B (HBV)
3. Hepatitis C (HCV; d/h "posttransfuision/parenteral" Non A Non B hepatitis)
4. Hepatitis D (HDV)
5. Hepatitis E (HEV: d/h "epidemic/enteral/enterically-transmitted" Non A Non
B hepatitis)
Identifikasi serologic yang spesifik telah dikenal untuk hepatitis A,
hepatitis B dan hepatitis D, dan sejak beberapa waktu yang lalu juga tersedia
pemeriksaan serologic yang spesifik untuk hepatitis C (Chiron/Ortho, Chiron
Abbott, USA), sedangkan untuk identifikasi hepatitis S masih sedang dikembangkan.
Sejak ditemukannya HBsAg (d/h: Australia antigen) oleh Blumberg dkk
tahun 1965. terungkap berbagai peristiwa penting yang berkaitan dengan infeksi
virus hepatitis B (HBV).
Namun semula dari apa yang sekarang kita kenal sebagai "hepatitis B
surface antigen" (HBsAg), ialah "Australia antigen", seperti yang tercantum dalam
deretan kronologi mengenai peristiwa-peristiwa penting hepatitis B, di atas.
3
Antigen ini untuk pertama kali ditemukan dalam darah yang diperoleh dari
seorang pribumi Australia untuk kepentingan eksperimental. Demikian asal mula
Australia antigen, yang saat ini belum diketahui maknanya, ataupun kaitannya
dengan hepatitis B.
Penemuan di atas telah diakui sebagai kejadian bersejarah, karena sejak
saat itu berlangsung kemajuan yang amat pesat dalam hal pengertian kita tentang
hepatitis B. Identifikasi virus HB struktur, mekanisme replikasi, seroepidemologi
serta kejadian-kejadian dibidang biologi molekuler, sampai keberhasilan
produksi vaksin untuk pencegahan terhadap hepatitis B. hanya dalam jangka
waktu kl. 15 tahun sejak ditemukan Australia antigen, sudah dapat tersedia
vaksin hepatitis B, yang mungkin juga merupakan vaksin pencegah kanker hati
yang pertama.
A. Hepatitis A (HAV) adalah virus yang mengandung RNA dan termasuk
keluarga picarnovirus, infeksi biasa ditularkan melalui fecal-oral dan
kontaminasi pada minuman dan makanan dapat menimbulkan ledakan
wabah(l). Masa yang paling infektif adalah selama 2 mtnggu sebelum timbul
gejala periode viremia yang pendek, penyakit ini dapat ditularkan melalui
produk darah.
B. Hepatitis B (HVB) adalah virus yang mengandung DNA kompleks dan
termasuk dalam keluarga hepadnavirus. Tubuh virus yang komplit atau
partikel Dane, terdiri dari sebuah protein selubung luar virus (yang
mengandung antigen permukaan hepatitis B atau HBsAg) yang membungkus
nucleocapsid viral (yang mengandung antigen inti hepatitis B atau
HBcAg).Antigen permukaan hepatitis B terdeteksi dalam serum hampir
semua kasus infeksi HBV akut dan kronis. HBcAg tidak beredar bebas di
sirkulasi darah namun dapat dideteksi dalam sel hati bila di sana terdapat
replikasi virus yang aktif). Antigen hapitis Be (HBcAg) rupanya adalah
komponen HBcAg, antigen hepatitis Be itu biasanya dapat
4
dideteksi dalam serum bila terdapat replikasi virus secara aktif. Antibodi-antibodi
yang beredar dalam darah terhadap berbagai jenis virus terbentuk sebagai tanggapan
terhadap infeksi dan antibody-antibodi ini dapat dengan mudah terdeteksi dengan
menggunakan radio immunoassay atau enzym immunoassay yang tersedia di
pasaran. Antibodi terhadap antigen permukaan hepatitis B (anti HBs) dapat dideteksi
dalam dua fraksi : anti-HBclgM dan anti-HBc total. Anti-HBclgM biasanya muncul
pada infeksi akut namun kadang-kadang dapat dideteksi selama masa replikasi
viral yang hebat pada penyakit khronis. Anti HBc total meliputi fraksi IgM dan IgG
dan positif pada penyakit akut (karena adanya IgM) dan khronis (terutama oleh
fraksi IgG). Infeksi dengan HBV biasanya menyebar melalui penularan parenteral
baik yang nyata (misalnya saliva, semen), yang dapat pula menularkan infeksi
HBsAg jarang terdapat pada feces dan urine. Para pasien dengan infeksi HBV
hendaknya menghindari kontak yang intim (menggunakan pisau cukur bersama,
sikat gigi, dsb) dengan anggota rumah tangga yang lain karena pasien-pasien itu
infeksius hingga terjadi serokonversi(1) atau hingga anggota rumah tangga yang lain
telah divaksinasi komplit.
C. Hepatitis C (HCV) mempunyai masa inkubasi yang dapat berlangsung hanya
selama 2 minggu, namun biasanya 6 minggu hingga 6 bulan. Satu-satunya
pemeriksaan serologic yang tersedia kini adalah antibody hepatitis C (HCVAb)
Adanya HCVAb menunjukkan infeksi khronis dengan HCV, dan antibodik tidak
memberikan kekebalan. HCVAb dan bisa memerlukan waktu hingga 12 bulan untuk
menjadi positif setelah infeksi akut. Antibodi tersebut bisa positif pada 60-80% dari
para pasien dengan infeksi khronis(2). Sistem pengujian untuk konfirmasi dan deteksi
antigen/antibody tambahan sedang diteliti. Rute penularan utama yang telah
diketahui adalah melalui darah (misalnya tranfusi, penggunaan obat-obat intravena),
namun hingga 60% dari para pasien tidak mempunyai riwayat kontak.
5
Data tentang penularan secara seksual saling bertentangan namun ada petunjuk
bahwa HCV dapat ditularkan secara seksual meskipun dengan frekuensi yang
jauh lebih rendah daripada HBV(3). Penularan perinatal belum pernah dapat
ditunjukkan secara jelas, meskipun HCV Ab (suatu antibody IgG) dapat
menembus placenta. Karena itu pedoman-pedoman isolasi bersifat
kontroversial; sekurang-kurang darah dan cairan tubuh supaya dianggap
infeksius.
D. Hepatitis D (dulu virus Delta) adalah virus tak sempurna yang mengandung
RNA. Agar infeksi dan replikasi virus ini dapat terjadi, diperlukan kehadiran
HBV(I). Kehadiran HBV merupakan prasyarat bagi infeksi virus hepatitis D. Jadi
infeksi delta hanya dapat terjadi apabila seorang pembawa HBsAg kemudian
terpapar pada virus delta atau bila seseorang terinfeksi secara simultan oleh
HBV dan virus hepatitis D. infeksi hepatitis D tersebar luas di seluruh dunia,
namun demikian infeksi ini bersifat endemic di daerah seluruh laut tengah dan
di daerah-daerah tertentu di Timur Tengah dan Amerika Selatan. Di luar daerah
endemic, infeksi terjadi paling sering pada para pecandu obat bius dan pada
orang-orang yang mendapatkan tranfusi darah beruiang-ulang. Penyakit bentuk
fulminal lebih sering dijumpai pada HDV dan penyakit khronis berjangkit pada
kebanyakan pasien.(1) HDV akut didiagnosis dari adanya HDV Ag dan anti HDV
IgM dalam serum.
E. Hepatitis E (HEV) mempunyai masa inkubasi 3-6 minggu. Penularan sangat
mirip HAV-HEV telah diperkirakan ikut terlibat dalam epidemi di daerah-daerah
tertentu seperti misalnya India, Asia Tenggara, Afrika dan Meksiko. Di Amerika
Serikat kasus-kasus yang pernah dilaporkan hanya terbatas pada orang-orang
yang pernah berkunjung ke daerah endemic. Metoda-metoda uji diagnostik
sedang diteliti. Pada wanita hamil HEV mempunyai angka fatalitas yang tinggi.
6
F. Non A, Non B (NANB) merupakan kategori pengecualian bagi virus
hepatotrophic yang menunjukkan hasil pemeriksaan serologic negatif untuk
jenis-jenis virus hepatotrophiv lainnya. Dahulu HVV termasuk dalam golongan
ini dalam proporsi yang bermakna. NANB berjangkit secara sporadic setelah
pemaparan melalui darah. Rekomendasi-rekomendasi untuk mencegah penularan
dan untuk isolasi mirip dengan rekomendasi-rekomendasi untuk HCV.
2.2. GAMBARAN KLINIK HEPATITIS VIRUS
Gambaran klinik hepatitis virus akut yang disebabkan oleh virus hepatotrop
seringkali hampir sama karena sukar sekali dibedakan. Yang bisa membedakan
hanyalah gambaran minor gejala klikin masa inkubasi dan riwayat epidemiolgiknya.
Diagnosis pastinya memerlukan pemeriksaan serologic.
Rasa lemah dan capai bisa menetap untuk beberapa hari dan kumat ringan
dengan kenaikan transsaminase serum atau bilirubin pada 1 - 5 % penderita.
Kadang-kadang kekambuhan disebabkan karena bekerja atau terlalu banyak olah raga.
Pada permulaan masa konvalesen keinginan bekerja kadang-kadang masih kurang dan
sering juga terjadi depresi.
2.2.1. Tanda fisik
Tanda-tanda fisik biasanya sedikit. Pada pemeriksaan fisik yang tampak
adalah ikterus, sakit dihati, hepatomegali, splenomegali (5 - 10%) dan pada beberapa
penderita ada limphadenopati. Pada kasus yang ringan ikterus hanya mengenai sclera.
Ikterus biasanya berkurang dalam waktu beberapa hari sampai 2 minggu tetapi bisa
menetap untuk 6 minggu. Hati biasanya tidak terlalu membesar, tetapi pada
kebanyakan penderita hati sering terasa sakit. Sering teraba limfa, permukaan rata
dan tidak sakit. Pada hepatitis fulminan keluhan dan tanda-tanda akan lebih berat.
Mungkin juga terdapat goresan kulit. Pada hepatitis B akut anak bisa ditemukan
popular erythematosa pada
7
lengan, kaki dan muka. Pada kebanyakan anak muda dan dewasa tanda ikterik, tidak
disertai dengan gejala hanyalah ada rasa sedikit capai. Pada penderita-penderita ini
tidak ditemukan kelainan fisik hanya didapat kenaikan amino transferase serum dan
antibody sero conversion yang positif. Pada hepatitis B akut tanpa komplikasi tidak
ditemukan tanda-tanda hipertensi portal seperti asites, pelebaran vena abdomen,
perdarahan varises usophagus, ginekomasti, erytema palmaris dan udema perifir.
2.2.2. Hepatitis Fulminan
Hepatitis virus fulminan, akibat nekrosis sel-sel hepar yang banyak
menyebabkan ensefalopati hepatic, ikterus berat asites dan udema dan biasanya disertai
perdarahan akibat dari kaogulopati.
Timbul gangguan kesadaran yang merupakan gabungan dari koma
hepatikum, hipoglikemia dan udema serebri. Bisa timbul gangguan fungsi ginjal
yang disebut sindroma hepatorenal. Penangangan komplikasi ini seperti ini
penanganan gagal hati pada penyakit hati kronik. Tetapi pada hepatitis fulminal
hepar bisa kembalinormal apabila hepatitis fulminan bisa diatasi. Paling baik cara
mengatasinya adalah dengan transplantasi. Apabila penderita sampai pada koma
stadium IV, maka kemungkinan sembuhnya 20% atau kurang jika tanpa transplantasi.
2.2.3. Gejala Phase preikterik
- Badan terasa tidak enak, capai, lesu, kurang tenaga, lemah
- Tidak ada nafsu makan, mual, muntah, yang kadang-kadang karena makanan
yang berlemak.
- Tidak enak merokok
- Abdomen kanan atas nyeri
- Diare atau sembelit
- Nyeri menyeluruh (terutama pada otot)
8
- Demam (sering pada hepatitis S)
- Sakit kepala diatas mata (sering pada hepatitis A)
Ikterus
Gejala-gejala tersebut bisa diikuti oleh warna urine yang gelap dan kuning.
Beberapa penderita ada yang menjadi kuning tanpa didahului oleh keluhan-keluhan,
Ciri khas ialah begitu tampak kuning beberapa keluhan menghilang. Warna kuning
menjadi bertambah dalam waktu 5-10 hari dan nafsu makan menjadi hilang dan rasa
menjadi makin capai. Berat badan menurun hepatitis C akut umumnya kurang berat
dibandingkan hepatitis A atau B. kebanyakan penderita tidak tampak kuning.
Penyembuhan
Mual hilang dan nafsu makan kembali lagi. Bila ikterus bertambah lama dan
bertambah kuning biasanya timbul gatal pada kulit.
9
BAB III
EPIDEMIOLOGI
3.1. VIRUS HEPATITIS A
Di Negara-negara yang telah maju secara kontras terlihat bahwa
insidens infeksi virus hepatitis A telah menurun dalam beberapa tahun akhir-
akhir ini dan telah beralih kepada usia yang lebih tua. Hal ini disebabkan
perbaikan kondisi sosial dan ekonomi yang diikuti dengan perbaikan hygiene
dan sanitasi.
Dari data yang dikemukakan oleh para ahli kondisi hidup di bawah
standard dan keadaan hygiene dan sanitasi yang buruk lebih dari 75% anak-
anak di berbagai benua seperti Asia, Afrika, India dan beberapa negara
Mediterania dan Amerika Slatan sudah memiliki antibody HAV pada usia 5
tahun seperti yang dikemukakan oleh Pagan & William pada tahun 1987.
Menurut Prince tahun 1985 sebagian besar infeksi VHA didapat pada usia
awal kehidupan dan kebanyakan bersifat asimptomatik atau sekurangnya
bersifat anikterik.
Di Indonesia hepatitis A merupakan masalah kesehatan seperti pada
negara berkembang umumnya, dimana masa krisis yang berkepanjangan
menyebabkan sebagian besar rakyat Indonesia kondisi hidupnya di bawah
standar, begitu pula hygiene dan sanitasi untuk daerah padat masih buruk,
Pada kenyataannya di Irian Jaya dilaporkan Sanjaya, tahun 1980 anak-
anak kurang dari 5 tahun hampir semua sudah terinfeksi hepatitis A tanpa
disadari, gejala keluhan tidak nyata yaitu dengan ditemukannya hasil
pemeriksaan anti HAV positif.
Akbar, tahun 1994 melaporkan bahwa hubungan status sosial dan
ekonomi rendah terlihat nyata pada kelompok dengan anti HAV positif 34,8%
dan pada kelompok dengan anti HAV negatif 15,1%.
Gambaran sero epidemilologi hepatitis A di beberapa tempat di
Indonesia memperlihatkan variasi gambaran endemisitas yang tinggi sampai
menengah.
Hasil penelitian lain, yaitu di RSAB Harapan Kita, dan Lab Klinik
Swasta di Jakarta, tampak bahwa strata kelompok umur pada anak dan dewasa
10
muda adalah kelompok yang masih rentan terhadap infeksi hepatitis A, makin
bertambah usia makin tinggi kemungkinan memiliki antibody alamiah, setelah
terinfeksi dengan bergejala maupun asimptomatik, tentu hal ini tidak merata
karena setiap daerah akan mempunyai angka yang berbeda tergantung pada
kondisi sosial dan ekonomi dan lingkungan setempat.
Gambaran sero-epidemiologi juga diturunkan dari ibu kepada anak
seperti yang diiaporkan oleh R. Vranchx & ali Syahbana pada tahun 1987 -
1988 pada neonatus dan anak-anak di Indonesia yaitu pengamatan pada 150
bayi saat lahir yang kemudian diikuti usia 1,2,12, 14,24,26,48,60 dan 62 bulan,
hasil pengamatan adalah saat bayi lahir 96,8% anti-HAV positif, usia 1 tahun
anti HAV menghilang, usia 2 tahun timbul kembali 4,7% usia 3 tahun 11
Agustus,4%, usia 4 tahun 28,3% dan usia 5 tahun 36,4% ini menunjukkan
antibody HAV positif karena infeksi alamiah (natural antibody).
Di Indonesia hasil pengamatan terakhir tercatat tahun 1998 (Januari)
diiaporkan terjadi KLB hepatitis di Kabupaten Bogor dengan jumlah kasus 74
orang (AR = 1,4%) dan golongan umur terbanyak 19-25 tahun (AR = 3,4%)
dan terjadi hampir seluruh kasus pada mahasiswa IPB (laporan FETP, 1998),
yang diperkirakan penularannya pada makanan di waning yang tercemar.
3.2. VIRUS HEPATITIS B
Di dunia saat ini diperkirakan terdapat 350 juta orang pengidap virus
hepatitis B, dimana hampir 78% diantaranya tinggal di Asia Tenggara.
Angka prevelensi hepatitis B di Indonesia dengan geografis yang
sangat luas, dengan perilaku dan budaya yang beraneka ragam dn termasuk ke
dalam pola prevelensi sedang dan tinggi dengan rata-rata 9,4% (rintangan,
2,5%-36,16%). Makin kedaerah timur makin meningkat.
Suparyatmo melaporkan pada tahun 1993 telah meneliti prevalensi
HBsAg dan HBeAg pada 9875 wanita hamil dan melaporkan dengan hasil sbb :
HBsAg positif 3,6% (rintangan 2,1% - 5,2%) dan dari HBsAg positif
dilanjutkan dengan pemeriksaan HBeAg positif 45,7% (rintangan 18,2% -
66,6%).
11
3.3. HEPATITIS C
Di Indonesia hepatitis C ditemukan sangat bervariasi mengingat
geografis yang luas, selain itu juga terdapat variasi dari hasil beberapa peneliti
sehubungan dengan kelompok yang diteliti yang berlainan.
Hasil penelitian pendahuluan anti-HCV pada donor darah di beberapa
tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensinya adalah diantara 3,1% -
4%.
Sulaiman (1993) melaporkan hasil pemeriksaan anti-HCV pada donor
darah di 24 PUTD Palang Merah Indonesia prevalensi berkisar diantara 0,5% -
3,37%.
Hasil survey di RSCM dan sebuah Rumah Sakit Swasta di Jakarta
pada 84% penggunaan Narkoba dengan cara menyuntik (IVDU) ditemukan
positif pengidap Hepatitis C sebesar 84%. Dimana ditemukan 75,3%
penggunaan alat suntik bergantian.
Faktor resiko dan insidens infeksi VHC pada anak masih belum jelas.
Pada populasi anak, prevalens VHC pada anak sehat berkisar dari 0% di
Jepang, sampai 14% di Cameroon.
Transufi berulang darah atau produk darah merupakan faktor resiko
tinggi hepatitis virus C. Sejumlah 85-90% hepatitis pasca transfusi disebabkan
oleh VHC. Prevalens infeksi VHC pada multitransfusi kira-kira 59-80%,
sedangkan pada hemofdia lebih tinggi lagi, yaitu 83%-100%. Prevalens anti
VHC pada talesemia di beberapa negara bervariasi antara 30%-60%.
Timan dkk, pada tahun 1993 telah meneliti angka kejadian infeksi
VHC pada 31 penderita talasemia di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM
dengan hasil 67,7%. Prevalens anti VHC pada kelompok multitransfusi lain
seperti hemodialisis pada gagal ginjal kronik adalah sekitar 3-5% di Australia
dan New Zealand, dan 30-40% di Jepang, Taiwan, Saudi Arabia dan Turki.
Sebelum diiakukan uji tapis terhadap daerah donor, anti VHC terdapat
pada 80-90% pasien hepatitis pasca transufi. Perjalanan hepatitis C yang
cenderung menjadi sirosis dan KHS membuat uji tapis darah donor sangat
12
berarti karena dapat menurunkan kejadian hepatitis C 50-80%. Sejumlah 85%
pasien dengan infeksi VHC akut akan mengalami infeksi kronis.
Penelitian hepatitis C di Indonesia baru dimulai sejak tahun 1990
melalui pemeriksaan anti VHC generasi pertama (C 100-NS4). Anti VHC
ditemukan pada 2,5-4,1 donor darah. Pada hepatitis akut, prevalens hepatitis C
berkisar antara 9,5-15,5%. Rendahnya kejadian hepatitis C ini mungkin
disebabkan pengambilan serum yang diiakukan pada awal minggu terjadinya
infeksi sedangkan pada hepatitis kronis, anti VHC ditemukan pada 30,8-73,9%
kasus dengan sirosis hati dan 21,1-7% kasus karsinoma hepatoseluler.
13
BAB IV
MANIFESTASI KLINIS
4.1. GEJALA KLINIS
Umumnya pada bayi dan anak kecil asimtomatik. Sedangkan pada
anak besar dan remaja dapat terjadi gejala prodromal infeksi viral sistematik
seperti anoreksia, nausea, vomiting fotigue, malaise, atralgia, mialgia, nyeir
kepala, fotofobia, faringitis, batuk, dan koriza dapat mendahului timbulnya
ikterus selama 1-2 minggu. Apabila hepar sudah membesar pasien dapat
mengeluh nyeri perut kanan atas (perut "begah").
Demam, dengan suhu sekitar 38°C-39°C lebih sering ditemukan pada
hepatitis A. Kadang-kadang dapat mencapai 40°C. Urin berwarna gelap
(seperti air the) dan feses berwarna tanah (clay-colored). Dengan timbulnya
gejala kuning/ikterus maka biasanya gejala prodromal menghilang.
Hepotomegali dapat disertai nyeri tekan. Splenomegali dapat ditemukan pada
10-20% pasien.
4.1.1. Hepatitis A
Pada hepatitis A di bedakan menjadi 4 stadium yaitu masa inkubasi,
pra-ikterik (prodromal), ikterik, dan fase penyembahan. Masa inkubasi
berlangsung selama 18-50 hari, dengan rata-rata kurang lebih 28 hari. Masa
prodromal terjadi selama 4 hari sampai 1 minggu atau lebih.
Pada prodromal, gejalanya adalah fatigue, malaise, nafsu makan
berkurang, mual, muntah, rasa tidak nyaman didaerah kanan atas, demam
(biasanya <39°C), merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti flu, nasal
discharge, sakit tenggorok, dan batuk. Gejala yang jarang penurunan badan
ringan, artralgia, atau mononeuritis cranial atau ferifer. Tanda yang ditemukan
biasanya hepatomegali ringan yang nyeri tekan (70%), manifestasi ekstrahepatik
lain pada kulit, sendi, atau splenomegali (5-20%).
Fase ikterik dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti teh,
atau gelap, diikuti oleh feses yang berwarna seperti dempul (clay-coloured
faeces) kemudian warna sclera dan kulit perlahan-lahan menjadi kuning.
Gejala anoreksia, lesu, lelah, mual, dan muntah bertambah berat untuk
14
sementara waktu. Dengan bertambah berat ikterus gejala tersebut berkurang
dan timbul pruritus bersamaan dengan timbulnya ikterus atau hanya beberapa
hari sesudahnya.
Penyakit ini bisanya sembuh sendiri. Ikterik menghilang dan warna
feses kembali normal dalam 4 minggu setelah onset. Komplikasi yang sering
terjadi pada sebagian kecil pasien adalah hepatitis yang sangat berat atau
fulminan (<1%), kolestasis yang memanjang (prolonged acute cholestasis),
4.1.2. Hepatitis B
Masa inkubasinya 6-8 minggu. Lamanya masa inkubasi ini tergantung
dari faktor pejamu. Gejala infeksi VHB akut sangat jarang ditemukan pada
masa anak, hanya terjadi pada 5% bayi, dan 5-15% anak berusia 1-5 tahun.
Sedangkan pada anak yang lebih besar dan dewasa 33-50%. Pada kasus yang
simtornatik akut, umumnya ditemukan malaise, anoreksia, rasa tidak enak di
perut yang biasanya mendahului timbulnya ikterus, dan timbulnya dalam
beberapa minggu sampai bulan setelah terpapar virus. HbsAf mulai terdeteksi
dalam fase ini. Pada pemeriksaan fisik, umumnya hanya ditemukan
hepatomegali. Gejala artralgia dan kemerahan pada kulit yang kadang-kadang
timbul, dipikirkan behubungan dengan pembentukan kompleks HbsAg-anti
HBs. Hal diatas timbul sebelum terjadi peningkatan kadar SGPT dan manifestasi
lain yang menunjukkan keterlibatan hati.
4.1.3. Hepatitis C
Gejala yang timbul dapat berat atau asimtomatik dan tidak terduga.
Infeksi C akut cenderung menjadi hepatitis kronis. Hepatitis C kronis dapat
ringan, asimtomatik selama berpuluh-puluh tahun dan tidak progresif, sehingga
dapat tidak terdeteksi kecuali dilakukan pemeriksaan penyaring terhadap
hepatitis C. dapat pula terjadi infeksi persisten seumur hidup yang menjadi
hepatitis kronis aktif, sirosis, hipertensi porta, dan karsinoma hepatoseluler.
Masa inkubasi hepatitis C sekitar 7 minggu (3-20 minggu). Manifestasi
klinisnya tidak berbeda dari infeksi hepatitis virus, biasanya subklinis. Hanya
25% pasien yang mengalami ikterik. Gejala pertama kali mungkin timbul
Relaps dan manifestasi ekstrahepatik seperti viskulitis kutaneus dan arthritis.
15
berpuluh-puluh tahun kemudian dengan sekuele seperti sirosis atau karsinoma
hepatoseluler. Bila penyakit ini timbul, ansetnya perlahan (insidious) dengan
gejala yang tidak spesifik atau tanpa gejala. Malaise, anoreksta, mual, dan
kadang-kadang nyeri di kuadran kanan atas perut dapat terjadi. Ikterik dapat
berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan. Dapat pula timbul pruritas,
steatore, dan penurunan berat badan ringan (2-5kg).tanda fisik hepatitis C akut
juga tidak jelas. Hanya pada sebagian kecil pasien dapat ditemukan
hepatomegali dan splenomegali.
Pada pasien hepatitis C kronis yang sistomatik, fatigue merupakan
keluhan yang paling sering. Banyak pasien yang tidak memiliki riwayat
hepatitis akut atau ikterus. Hasil pemeriksaan fisik biasanya ringan dan
bervariasi, terapi mungkin tidak ditemukan kelainan. Pada keadaan yang berat,
dapat ditemukan spider angiomata dan hepatosplenomegali. Kurang lebih 20%
paien hepatitis C kronis akan menjadi sirosis dalam 10 tahun.
4.2. DIAGNOSA BANDING
Diagnosa bandingnya adalah infeksi virus: mononucleosis infeksiosa,
sitomegavirus, herpes simpleks, coxsackie virus, dan toksoplasmosis, drug-
indeced hepatitis; hepatitis aktif kronis; hepatitis alkoholik; kolesistitis akut;
kolestasis; gagal jantung kanan dengan longest! hepar; kanker metastasis; dan
penyakit hati genetik/metabolic (penyakit Wilson, defisiensi alfa-1 antitripsin).
4.3. KOMPLIKASI
Dapat terjadi komplikasi ringan, misalnya kolestasis berkepanjangan,
relapsing hepatitis, atau hepatitis kronis persisten dengan gejala asimtomatik
dan AST fluktuatif. Komplikasi berat yang dapat terjadi adalah hepatitis kronis
aktif, sironis hati, hepatitis fulminan atau karsinoma hepatoselular. Selain itu,
dapat pula terjadi anemia aplatik, glomerulonefritis, mecrotizing vasculitis,
atau mixed cryoglobulinemia.
4.4. PROGNOSIS
Dengan berkembangnya alternatif pengobatan maka diharapkan
prognosis hepatitis menjadi lebih baik. Hepatitis A biasanya mempunyai
16
prognosis baik kecuali yang fulminan, sedangkan hepatitis B prognosisnya
semakin buruk bila infeksi terjadi semakin dini.
4.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Terdapat dua pemeriksaan penting untuk mendiagnosis hepatitis, yaitu
tes awal untuk mengkonfirmasi adanya peradangan akut pada hati dan tes yang
bertujuan untuk mengetahui etiologi dari peradangan akut tersebut.
Diagnosis hepatitis bisanya ditegakkan dengan pemeriksaan tes fungsi
hati, khususnya alanin amino transferase (ALT=SGPT), aspartat amino
transferase (AST^SGOT). Bila perlu ditambah dengan pemeriksaan bilirubin.
Alkali fosfatase kurang bermakna karena kadarnya meningkat pada anak yang
sedang mengalami pertumbuhan.
Kadar trasaminase (SGOT/SGPT) mulai meningkat pada masa
prodromal dan mencapai puncak pada saat timbulnya ikterus. Peninggian
kadar SGOT dan SGPT yang menunjukkan adanya kerusakan sel-sel hati
adalah 50-2.000 lU/ml. Terjadi peningkatan bilirubon total serum (berkisar
antara 5-20 mg/dL). Tinja akolis mungkin dijumpai sebelum timbul ikterus.
Penurunan aktivitas transaminase diikuti penurunan kadar bilirubin. Bilirubinuria
dapat negatif sebelum bilirubin darah normal. Kadar alkali fosfatase mungkin
hanya sedikit meningkat. Gamma GT dapat meningkat pada hepatitis dengan
kolestasis.
Jenis virus penyebab hepatitis akut didiagnosis dengan petanda virus
yaitu IgM anti HAV, IgmM anti HBc dan dapat dilengkapi dengan HbsAg.
Bila terdapat riwayat transfusi darah, pemakaian obat-obatan narkoba, atau ada
resiko infeksi vertikal dapat dilakukan pemeriksaan anti-HCV. IgM anti-HDV
diperiksa pada kasus hepatitis B kronik.
17
BABV
PENATALAKSANAAN
5.1.HEPATITIS A
5.1.1. Upaya Preventif umum
Kebijakan ini mencakup upaya perbaikan hygiene-sanitasi yang
tampak sederhana, tetapi sering terlupakan. Namun demikian, upaya ini
memberikan dampak epidemiologis yang positif karena terbukti sangat efektif
dalam memotong rantai penularan.
1. Perbaikan hygiene makanan-minuman. Bertitik tolak dari sifat virus yang
tahan panas. Upaya ini mencakup memasak air dan makanan sampai
mendidih selama minimal 10 menit, mencuci dan mengupas kulit makanan
terutama yang tidak dimasak, serta meminum air dalam kemasan
(kaleng/botol) bila kualitas air minum non kemasan tidak meyakinkan.
2. Perbaikan hygiene-sanitasi lingkungan-pribadi. Berlandaskan pada peran
transmisi fekal-oral HVA. Faktor hygiene-sanitasi lingkungan yang
berperan adalah perumahan, kepadatan, kualitas air minum, sistem limbah
tinja, dan semua aspek hygiene lingkungan secara keseluruhan. Mencuci
tangan dengan bersih (sesudah defekasi, sebelum makan, sesudah
memegang popok-celana), sangat berperan dalam mencegah transmisi
VHA.
3. Isoiasi pasien. Mengacu pada peran transmisi kontrak era antar individu.
Pasien diisolasi segera setelah dinyatakan terinfeksi HVA. Anak dilarang
datang ke sekolah atau ke tempat penitipan anak, sampai dengan dua
minggu sesudah timbul gejala. Namun demikian, upaya ini sering tidak
banyak menolong karena virus sudah menyebar jauh sebelum yang
bersangkutan jatuh sakit.
18
5.1.2. Upaya Preventif Khusus
Upaya preventif khusus terhadap HVA mencakup upaya
imuniksasi pasien dan aktif. Kebijakan preventif ini dipengaruhi oleh faktor
umur anak, tingkat sosial ekonomi yang bersangkutan, dan angka prevalensi
setempat.
Imunisasi pasif. Normal human immune globulin (NHIG) diberikan
pada keadaan pra dan pasca paparan (pre-post exposure). Pada kondisi
pra-pasca paparan tersebut NHIG dapat diberikan dengan atau tanpa vaksin
HVA. Baik pada pra-maupun pasca paparan, kadar tertinggi antibody akan
dicapai dalam waktu 48 - 72 jam sesudah pemberian NHIG.
Upaya profilaksis pasca paparan adalah upaya preventif (NHIG +/-
vaksin HVA), terhadap individu kontak serumah, kontak seksual, staf
institusi penitipan anak, pada epidemi.
Mekanisme kerja NHIG. Mekanisme netralisasi virus pada pemberian
HBIg disebabkan beberapa faktor berikut. Pertama, neutralizing antibody akan
mencegah perlekatan virus (attachment) di reseptor spesifik di
permukaan hepatosit. Kedua, kompelsk NHIG dengan virus akan
menyebabkan agregasi virus dan berkurangnya derajat infektivitas virus.
Ketiga, antibody yang berkaitan dengan kapasid akan mencegah proses
pelepasan (uncoating) selubung virus, yang merupakan tahap awal proses
invasi dan replikasi virus, satu atau lebih dari mekanisme tersebut akan
berperan terhadap efektivitas NHIG dalam mencegah infeksi HVA pada
kondisi pra paparan.
Pada pasca paparan, mekanisme kerja NHIG tidak begitu jelas,
meskipun tidak senantiasa berhasil mencegah infeksi, NHIG terbukti
efektif dalam memo-difikasi penyakit sehingga menjadi lebih
ringah/asimtomatis. Diperkirakan, NHIG akan mencegah viremia sekunder
dan mengurangi kemungkinan infeksi hati sekunder. NHIG hanya efektif
bila diberikan dalam waktu < 2 minggu setelah terpapar. Sesudah 2 minggu,
efektivitas NHIG akan sangat berkurang karena sudah terjadi viremia.
19
5.1.3. Imunisasi Aktif
Vaksin HVA yang saat ini beredar di Indonesia adalah vaksin
inaktivasi dengan nama dagang Havrix.
Tujuan imunisasi aktif. Upaya ini bertujuan melindungi anak terhadap infeksi
HVA dan terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi HVA (fulminant,
relapsing, prolong hepatitis) dan komplikasi gastro-intestinal yang berat. Upaya
ini juga berdampak positif terhadap lingkungan akibat berkurangnya
kemungkinan penyebaran infeksi terhadap penyebaran infeksi terhadap anak
besar, orang dewasa, serta populasi yang rentan HVA.
Pada penderita penyakit hati kronik (PHK) imunisasi hepatitis A
memberikan proteksi terhadap timbulnya hepatitis yang berat atau fulminan.
Sasaran imunisasi adalah kelompok resiko tinggi dan anak merupakan prioritas
utama. Pejbabaran berdasarkan prioritas seperti di bawah ini.
1. Sasaran utama kelompok resiko tinggi adalah anak dan idealnya diberikan
pada usia > 2 tahun. Bagi yang belum pernah memperoleh imunisasi diusia
tersebut dapat diberikan pada usia pra sekolah atau pada usia pra pubertas.
2. Sasaran kedua adalah kelompok resiko tinggi selain anak termasuk
penderita penyakit hati kronik (PHK)
3. Saran lainnya adalah kelompok rentan yaitu kelompok sosial ekonomi
tinggi dengan tingkat seroprevalens HVA yang rendah.
20
5.1.4. Upaya Kuratif
Upaya kuratif adalah upaya tatalaksana setelah yang bersangkutan
dinyatakan terkena HVA. Tujuan utamanya adalah memantau perjalanan
penyakit dan mengantisipasi timbulnya komplikasi. Berikut ini adalah panduan
tatalaksana kuratif terhadap penderita infeksi HVA
1 . Tidak ada terapi medikamentosa khusus bagi mereka yang terinfeksi
HVA
2. Pemeriksaan kadar SGOT-SGPT dan bilirubin terkonyugasi
untuk memantau aktivitas penyakit dan kemungkinan
timbulnya hepatitis fulminan. Pemeriksaan diulang pada
minggu ke-2 untuk melihat proses penyembuhan dan kembali
diulang pada bulan ke-3 untuk kemungkinan prolong atau
relapsing hepatitis
3. Pembatasan aktifitas fisik terutama yang bersifat kompetitif
selama kadar SGOT-SGPT masih > 3 kali batas atas nilai
normal.
4. Rawat inap hanya untuk kondisi tertentu. Pertama, dehidrasi berat
akibat gastro-enteritis hebat dengan kesulietan masukan pre-oral
Kedua, kadar SGOT-SGPT > 10 kali batas atas nilai normal
untuk mengantisipasi kemungkinan nekrosis sel hati yang
massif. Ketiga, perubahan perilaku atau penurunan kesadaran
akibat ensefalopati hepatitis fulminan. Keempat pada prolong
atau relapsing hepatitis, untuk elaborasi faktor penyertaan
lainnya.
5. Terapi suportif. Cairan intravena diberikan bila pasien dalam
keadaan dehidrasi berat atau muntah-muntah hebat dengan
masukan peroral yang sulit. Tidak ada upaya dietetic khusus.
Bila pasien mual, diberikan diet rendah lemak.
21
5.2. HEPATITIS B
Di Indonesia dan negara endemis HVB lainnya, transmisi infeksi
HVB pada usia dini menimbulkan dampai epidemiologis yang besar terhadap
rantai penularan HVB. Tujuan utama tatalaksana HVB adalah memotong jalur
transmisi pada usia dini karena hepatitis B kronik yang ditemukan pada masa
dewasa, umumnya berawal dari infeksi dini masa bayi.
5.2.1. Upaya Preventif
Titik berat upaya preventif adalah memotong rantai transmisi HVB
pada usia dini. Upaya ini dibahas berdasarkan dua pola transmisi HVB yaitu
transmisi vertikal dan transmisi horizontal, baik secara umum maupun khusus.
5.2.2. Upaya Preventif umum terhadap transmisi horizontal
Mekanisme kerja transmisi horizontal tidak begitu jelas, tetapi
tampaknya melibatkan kontrak fisik erat dimana HVB masuk melalui
permukaan mukosa atau kulit. Infeksi pada anak-anak tersebut merefleksikan
peran faktor kepadatan pada transmisi HVB. Berikut ini adalah beberapa upaya
preventif umum transmisi HVB.
1. Uji tapis donor darah dengan uji diagnostik yang sensitif.
2. Sterilisasi instrumen secara adekuat.
3. Tenaga medis senantiasa mempergunakan sarung tangan.
4. Mencegah kontak mikrolesi seperti yang dapat terjadi melalui
pemakaian sikat gigi dan sisir, atau gigitan anak pengidap HVB.
5.2.3. Upaya preventif umum terhadap transmisi vertikal
Kemungkinan terbesar preventif terjadi pada saat kelahiran pervaginam
akibat robekan plasenta dan kontaminasi darah ibu terhadap luka/mikrolesi
bayi. Idealnya, semua ibu hamil menjalani uji tapis HVB karena akan sangat
menentukan proses pengambilan keputusan dalam tatalaksana selanjutnya.
1. Skrining ibu hamil. Pemeriksaan dilakukan pada awal dan pada
trimester ketiga kehamilan, terutama pada ibu yang beresiko terinfeksi
HVB
22
2. Ibu ditangani secara multidisipliner yaitu oleh dokter ahli kandungan
dan ahli penyakit dalam.
Hepatitis Virus pada Anak3. Segera setelah bayi lahir diberikan
imunisasi hepatitis B.
4. Tidak ada indikasi kontra untuk menyusui.
5.2.4. Upaya Preventif Khusus
Upaya preventif khusus terhadap HVB dibahas dari 3 sudut pandang
yaitu upaya imunisasi aktif dengan vaksin hepatitis B rekombinan, imunisasi
pasir dengan Bhlg, serta penanganan terhadap bayi terlahir dari ibu pengidap
HVB.
5.2.5. Imunisasi Aktif
Vaksin hepatitis B rekombinan. Vaksin dibuat dengan mengekspresikan
antigen HBs pada sel ragi (saccharomyces cervisae atau Hansenula
polymorpha). Sel ragi akan memproduksi HBsAg yang identik dengan BhsAg
plasma pengidap HVB. Imunogenisitasnya sesuai dengan imunogenisitas
vaksin plasma.
Imunisasi HVB dengan vaksin yang mengandung HBsAg berdasarkan
pada peran genom HBs dalam menimbulkan prespons imun protektif terhadap
infeksi.
Tujuan imunisasi aktif HVB adalah memotong jalur transmisi HVB
melalui program imunisasi HVB terhadap bayi baru lahir dan kelompok resiko
tinggi tertular HVB. Imunisasi ini juga menurunkan resiko KHS akibat HVB.
Sasaran dan strategi imunisasi aktif HVB. Prioritas utama imunisasi
aktif HVB adalah bayi baru lahir secara universal kepada semua bayi, segera
setelah lahir, terintegrasi dengan program imunisasi lainnya. Selain memotong
transmisi dini HVB keuntungan lain adalah memperoleh imunisasi pada masa
bayi, harus diimunisasi secapatnya, paling lambat saat berusia 11 Agustus - 12
tahun.
23
5.2.6. Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif HVB adalah pemberian hepatitis B immune globulin
(HBIg) untuk proteksi cepat, jangka pendek. HBIg dibuat dari kumpulan
plasma donor yang mengandung nati - HBs liter tinggi serta bebas HIV dan
anti-HVC.
HBIg terindikasi pada keadaan paparan akut HVB dan harus diberikan segera
setelah seseoerang terpajang HVB. Paparan akut HVB yang dimaksud adalah
kontrak dengan darah yang maengandung HBsAG, baik melalui mekanisme
inokulasi, tertelan, atau terciprat ke mukosa atau ke mata. HBIg ibu
ditentukan berdasarkan status HBsAg ibu, sedangkan status HBeAg ibu
bukan merupakan faktor pertimbangan mutlak
24
5.2.7. Tatalaksana Umum
HVB akut Prinsip talaksana adalah suportif dan pemantauan perjalanan
penyakit. Pada awal periode simtomatik, dianjurkan tirah baring. Rawat inap
pada keadaan gastroenteritis dehidrasi, kesulitan masukan peroral, titer SGOT-
SGPT > 10 kali nilai batas atas normal, atau bila terdapat kecurigaan terhadap
hepatitis fulminan seperti koagulopati, ensefalopati. Untuk memastikan klirens
HbsAg, dilakukan pemantauan fungsi hati dan serologi HVB 6 bulan kemudian.
Bila pada saat itu HBsAg masih positif, anak dinyatakan sebagai pengidap HVB.
HVB kronik. Orang tua harus memiliki pemahaman mengenai penyakit
anak, serta resiko sirosik dan KHS yang ditimbulkannya. Di lain pihak, orang tua
harus sepenuhnya menyadari kebutuhan anak untuk tumbuh dan berkembang
sesuai dengan anak normal lainnya, berdasarkan pola hidup sehat serta aktivitas
fisik yang normal. Termasuk dalam pola hidup sehat ini adalah upaya imunisasi
rutin sesuai program imunisasi anak, termasuk imunisasi HVA. Hal lain yang
perlu ditekankan adalah pentingnya pemantauan perjalanan penyakit secara
berkala.
Dilakukan pemeriksaan tambahan HBeAg, IgG anti HBc, SFOT/PT,
USG hati. Pemantauan berkala seperti di bawah ini:
1. Setiap 6 bulan dilakukan pemeriksaan HBsAG, HBeAg, SGOT-SGPT,
USG hati.
2. Pemeriksaan HBVDNA tidak rutin, tetapi ideal bila dilakukan setiap 1-2
tahun. Bila terindikasi terapi anti virus, pemeriksaan ini merupakan
keharusan untuk memprediksi keberhasilan terapi dan untuk memantau
respons terapi.
3. Bila selama pemantauan, BhsAg tetap positif tetapi SGOT/PT senantiasa
dalam batas normal, anak dipantau secara berkala seperti pada butir I.
4. Bila BhsAg tetap positif dan SGOT/PT meningkat lebih dari 1,5 kali batas
atas normal pada > 3 kali pemeriksaan berturut-turut dengan
25
5.2.7. Terapi Anti Virus
Tujuan. Dasar mekanisme kerja obat antivirus pada HVB krinik dan
HVC adalah anti replikasi virus, imunomodulator, dan anti proliferasi.
Oleh karena itu, tujuan terapi anti virus adalah sebagai berikut:
1. Menekan replikasi virus sehingga mengurangi resiko transmisi HVB
2. Normalisasi aminotransferase dan perbaikan histologis hati
3. Mengurangi derajat infektivitas virus
4. Menghilangkan atau mengurangi gejala
5. Mencegah progresivitas, menurunkan insidens KHS memperbaiki
Indikasi pembedahan . Terdapat dua populasi penderita HVB yaitu pengidap
sehat dan HVB kronik. Pengidap sehat tidak menunjukkan gejala klinis dan
biokimiawi. Pada HVB kronik, terjadi peningkatan SGOT-SGPT yang
merupakan petunjuk respons imun pejamu yang lebih aktif. Populasi HVB
kronik inilah yang terindikasi terapi antivirus.
Keberhasilan terapi. Pada terapi antivirus kombinasi (interferon &
lamivudine), hanya 24-40% saja yang menunjukkan respons jangka panjang.
HBsAg dan HBVDNA akan kembali muncul setelah terapi dihentikan.
Kegagalan ini diperkirakan karena ketidak mampuan obat antivirus untuk
menghambat produk ekspresi_gensetelah DNA virus berintegrasi dengan DNA
pejamu. Selain itu, munculnya mutan sebagai mekanisme untuk
mempertahankan viremia, dapat mengubah perjalanan penyakit dan respons
terhadap antivirus.
Faktor prediksi keberhasilan terapi. Mengingat tingkat keberhasilan terapi
yang sangat rendah, berbagai efek samping dapat yang ditimbulkannya serta
harganya yang tinggi, diperlukan parameter penentuan kandidat terapi dan
prediksi keberhasilan terapi. Hasil prediksi tersebut akan sangat menentukan
arah kebijakan selanjutnya. Berikut ini adalah beberapa faktor predictor
keberhasilan terapi.
1. SGOT/PT meningkat > 1,5 kali normal, kadar HBVDNA serum rendah
2. Adanya riwayat hepatitis akut
3. lama sakit yang relatif pendek
4. Gambaran patologi sesuai hepatitis kronik aktif, tidak sirotik
5. Anti-HIV dan HDV (-)
6. Jenis kelamin perempuan, terinfeksi pada masa dewasa.
26
5.3. HEPATITIS C
Insiden dan faktor resiko HVC pada anak masih belum jelas. Sulit
menentukan insidens HVC pada anak karena umumnya asimtomatik.
Kelompok resiko tinggi HVC adalah anak dengan transiusi darah
berulang terutama dengan transfusi faktor koagulasi serta anak dengan
hemodialisis. Sedangkan resiko transmisi vertikal HVC tidak sebesar
resiko pada HVB.
5.3.1. Upaya Preventif
Kebijakan preventif memegang peranan penting dalam tatalaksana
HVC. Konsep utama upaya ini adalah mencegah transmisi HVC melalui
upaya (1) skrining kelompok resiko tinggi, serta (2) identifikasi kasus
HVC pada individu dengan kondisi klinis tertentu.
5.3.2. Upaya preventif Umum
Mengingat kesamaan pola transmisi HVC dengan HVB maka pada
dasarnya upaya preventif umum HVC sesuai dengan upaya preventif
umum HVB. Mengingat belum tersedianya vaksin HVC sebagai bentuk
preventif spesifik, maka upaya preventif dititik beratkan pada uji tapis
(skrining) donor darah dan kelompok resiko tinggi tertular HVC yang
sesuai dengan kelompok resiko tinggi tertular HVB.
27
5.3.3. Upaya Preventif Kfiusus
Pemeriksaan anti-HVC. Selama vaksin HVC belum tersedia, upaya
preventif difokuskan pada identifikasi kasus pengidap HVC. Pemeriksaan anti-
HVC terindikasi pada kelompok di bawah ini:
1. Bayi dari ibu pengidap HVC
2. Pasien dengan gejala hepatitis, pasien dengan hepatitis kronis, sirosis, dan
KHS, pasien dengan peningkatan SGOT-SGPT yang tidak diketahui
penyebabnya.
3. Pasien transfusi darah berulang, plasmaferesis, hemodialisis, koagulopati.
4. Kontak seks - pengidap HVC, pasangan seks berganti, prostitusi,
homoseksual,
5. Pengguna obat intrvena
6. Resipien transplantasi organ
7. Tenaga medis
5.3.4. Vaksin HVC
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin terhadap HVC. HVC tidak
menimbulkan imunitas protektif terhadap infeksi berulang baik infeksi ulang
dengan strain homolog maupun heterolog. Hal ini terbukti karena sebagian
penderita HVC mengalami beberapa episode hepatitis akut, suatu keadaan yang
meresahkan dipandang dari sisi pembuatan vaksin yang efektif. Selain itu,
tingkat kronisitas HVC yang tinggi mencerminkan kemampuanvirus untuk
mempertahankan viermia melalui mekanisme pembentukan mutan yang berhasil
lolos dari sistem imun pejamu. Tingginya laju mutasi virus juga merupakan
faktor penyebab sulitnya pembuatan vaksin HVC.
5.3.5. Upaya Kuratif umum dan Khusus
Upaya kuratif terhadap upaya tatalaksana terhadap anak dengan HVC
(+). Kebijakan umum mencakup upaya suportif, pola asuh hidup sehat, serta
pemantauan perjalanan penyakit. Kebijakan khusus adalah mengenai terapi
antivirus, khsusunya mengenai penentuan kandidat terapi dan faktor prediksi
keberhasilan terapi antivirus.
28
5.3.6. Upaya Kuratif Umum
HVC akut. Tidak mudah untuk mendeteksi HVC akut berdasarkan
pemeriksaan serologi anti -HVC karena pada dua pertiga kasus, anti-HVC baru
dapat dideteksi pada minggu ke-12. Bila anti-HVC negatir pada saat sakit < 12
minggu, pemeriksaan ini harus diulang. Dilain pihak, sebagian penderita 12
minggu, pemeriksaan ini harus diulang. Di lain pihak, sebagian penderita HVC
akut bersifat asimtomatik, terutama mereka yang ternyata akan mengalami
penyembahan. Sampai saat ini belum ada parameter imunodiagnostik
kesembuahn atau kekebalan.
HVC kronik. Upaya umum terhadap anak pengidap HVC kurang lebih
sama dengan upaya terhadap anak pengidap HVB. Anak tidak perlu memperoleh
perlakuan istimewa dan ditekankan pentingnya pola hidup sehat. Anak juga
harus memperoleh imunisasi secara lengkap termasuk imunisasi hepatitis A dan
B.
Pemantauan terhadap perjalanan penyakit perlu dilakukan secara berkala.
Berdasarkan patogenseis HVC dalam kaitannya dengan kejadian KHS dan
belum/tidak ditemukannya kejadian KHS pada anak akibat HVC, maka
pemeriksaan cc-feto protein pada anak dianggap tidak beralasan. Berikut ini adalah
upaya pemantauan terhadap anak pengidap HVC:
1. Pemeriksaan anti-HVC ulangan 6 bulan kemudian. Bila masih positif,
dilakukan pemeriksaan SGOTYPT, USG hati, HCVRNA (idealnya)
autoantibodi karena virus hepatitis C potensial untuk menimbulkan
kejadian autoimun.
2. Anti-HVC dan SGOT/PT diulang setiap 6 bulan. USG hati dilakukan 1
tahun sekali. Pemerisaan HCVRNA hanya diulang bila terindikasi terapi
antivirus.
29
BAB VI
KESIMPULAN
1. Indonesia adalah daerah endemis hepatitis virus A, B dan C dengan segala
permasalahan medis dan psiko-sosial yang dapat ditimbulkannya.
2. Upaya pencegahan memegang peran utama dalam tatalaksana ketiganya.
3. Pada HVA, upaya preventif umum mencakup perbaikan hygiene-sanitasi
pribadi dan lingkungan.
4. Pada HVB, upaya preventif umum mencakup skrining donor darah, ibu
hamil, kelompok resiko tinggi tertular HVB; perhatian terhadap kontak
erat dengan pengidap ; sterilisasi alat kedokteran. Upaya preventif khusus •
mencakup imunisasi pasif dan aktif berdasarkan status HBsAg ibu
5. Pada HVC upaya preventif umum memegang peran terpenting yaitu
skrining donor darah, kelompok resiko tinggi, ibu hamil, dan penderita
penyakit hati kronik yang belum diketahui penyebabnya. Belum ada
vaksin terhadap HVC.
6. Anak pengidap HVB dan HVC krinik perlu dipantau secara berkala untuk
mengetahui perjalanan penyakit dan deteksi dini komplikasi. Pemeriksaan
penunjang yang perlu dipantau adalah, uji fungsi hati, serologi HVB dan
HVC, a-feto protein (pada HVB), USG hati, autoantobodi (Pada HVC).
Pemeriksaan HBVDNA dan HCVRNA, atas indikasi.
7. Upaya kuratif pada HVB dan HVC adalah pemberian terapi antivirus
dengan tujuan menghentikan proses replikasi virus dan meningkatkan
respons imun pejamu. Penentuan kandidat terapi pada anak merupakan
masalah pelik karena umumnya anak asimtomatik dengan respons imun
yang tidak efektif, Dilain pihak keberhasilan terapi masih sangat rendah.
30