42
1 SKENARIO 2 REAKSI ALERGI Seorang perempuan berusia 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan demam dan sakit menelan sejak 2 minggu yang lalu. Dokter memberikan antibiotik golongan penicilin. Setelah minum antibiotik tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang hampir merata diseluruh tubuh, timbul bengkak pada kelopak mata dan bibir. Ia memutuskan untuk kembali  berobat ke dokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan angio edema di mata dan bibir, dan urtikaria di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan obat antihistamin dan kortikosteroid. Dokter memberikan saran agar selalu berhati-heti dalam meminum obat.

HIPERSENSIT

Embed Size (px)

Citation preview

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    1/42

    1

    SKENARIO 2

    REAKSI ALERGI

    Seorang perempuan berusia 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan demam dan sakit

    menelan sejak 2 minggu yang lalu. Dokter memberikan antibiotik golongan penicilin. Setelahminum antibiotik tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang hampir merata

    diseluruh tubuh, timbul bengkak pada kelopak mata dan bibir. Ia memutuskan untuk kembali

    berobat ke dokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan angioedema di mata dan bibir, dan

    urtikaria di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi

    (hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan obat antihistamin dan kortikosteroid.

    Dokter memberikan saran agar selalu berhati-heti dalam meminum obat.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    2/42

    2

    SASARAN BELAJAR

    LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas

    LO. 1.1 Definisi Hipersensitivitas

    LO. 1.2 Klasifikasi HipersensitivitasLO. 1.3 Pemeriksaan Hipersensitivitas

    LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I

    LO. 2.1 Definisi Hipersensitivitas Tipe I

    LO. 2.2 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe I

    LO. 2.3 Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe I

    LO. 2.4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe I

    LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II

    LO. 3.1 Definisi Hipersensitivitas Tipe II

    LO. 3.2 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe II

    LO. 3. 3 Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe II

    LO. 3.4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe II

    LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III

    LO. 4.1 Definisi Hipersensitivitas Tipe III

    LO. 4. 2 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe III

    LO. 4. 3 Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe III

    LO 4. 4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe III

    LI. 5. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV

    LO. 5. 1 Definisi Hipersensitivitas Tipe IV

    LO. 5. 2 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe IV

    LO. 5. 3 Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe IV

    LO. 5. 4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe IV

    LI. 6. Memahami dan Menjelaskan Antihistamin dan Kortikosteroid

    LO. 6.1 AntihistaminLO. 6.2 Kortikosteroid

    LI. 7. Memahami dan Menjelaskan Hukum Islam untuk Menentukan 2 Pilihan yang Terbaik

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    3/42

    3

    LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas

    LO. 1.1 Definisi Hipersensitivitas

    Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen

    yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atasberbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara.

    (Baratawidjaja, 2009)

    LO. 1.2 Klasifikasi Hipersensitivitas

    Menurut Waktu Timbulnya Reaksio Reaksi cepat

    - Terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam- Ikatan silang antara allergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi

    pelepasan mediator vasoaktif

    -Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis local

    o Reaksi intermediet- Terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam- Reaksi ini melibatkan pembentukkan kompleks imun IgG dan kerusakan

    jaringan melalui aktivasi komplemen dan sel NK/ADCC

    - Manifestasi klinis dapet berupa: Reaksi transfusi darah, eritoblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun Reaksi arthus local dan reaksi sistemik Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang

    disebabkan oleh sel NK atau sel netrofil

    o Reaksi lambat- Terlihat sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh

    aktivasi sel Th

    - Contoh: dermatitis kontak, reaksi tuberculosis.Menurut Gell dan Coombso Hipersensitivitas immediate (tipe I) respon imun dimediasi oleh sel TH2, antibodi

    IgE, dan sel mast; yang pada akhirnya akan mengeluarkan mediator inflamasi.

    o Hipersensitivitas antibody-mediated (tipe II) antibodi IgG dan IgM dapatmenginduksi inflamasi dengan mempromosikan fagositosis atau lisis terhadap luka

    pada sel. Antibodi juga mempengaruhi fungsi selular dan menyebabkan penyakit

    tanpatanpa ada luka jaringan.

    o Hipersensitivitas kompleks imun (tipe III) antibodi IgG dan IgM mengikat antigenyang biasanya ada di sirkulasi darah, dan kompleks antibodi-antigen mengendap di

    jaringan yang pada akhirnya akan menginduksi proses inflamasi.

    o Hipersensitivitas cell-mediated (tipe IV) luka seluler dan jaringan akanmenyebabkan tersintesisnya sel limfosit T (TH1, TH2, dan CTLs). Sel TH2

    menginduksi lesi yang termasuk kedalam hipersensitivitas tipe I, tidak termasuk

    hipersensitivitas tipe IV.

    Berdasarkan penemuan-penemuan dalam penelitian imunologi, telah dikembangkan

    beberapa modifikasi klasifikasi Gell dan Coombs yang membagi lagi tipe IV dalam

    beberapa subtype reaksi. Meskipun reaksi tipe I, II, dan III dianggap sebagai reaksi

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    4/42

    4

    humoral, sebetulnya reaksi-reaksi tersebut masih memerlukan bantuan sel T atau peran

    seluler. Oleh karena itu pembagian Gell dan Coombs telah dimodifikasi lebih lanjut

    seperti terlihat pada table dibawah ini.

    Klasifikasi Gell dan Coombs yang dimodifikasi (Tipe I-VI)

    Tipe/mekanisme Gejala Contoh

    I. IgE

    Anafilaksis, urtikaria,

    angioedema, mengi,

    hipotensi, nausea, muntah,

    sakit abdomen, diare

    Penisilin dan -laktam

    lainnya, enzim, antiserum,

    protamin, heparin antibodi

    monoklonal, ekstrak alergen,

    insulin

    II. sitotoksik (IgGdan IgM)

    Agranulositosis

    Anemia hemolitik

    Trombositopenia

    Metamizol, fenotiazin

    Penisilin, sefalosporin, -

    laktam, kinidin, metildopa

    Karbamazepin, fenotiazin,

    tiourasil, sulfonamid,

    antikonvulsan, kinin, kinidin,

    parasetol, sulfonamid, propil,

    tiourasil, preparat emas

    III. kompleks imun

    (IgG dan IgM)

    Panas, urtikaria, atralgia,

    limfadenopati

    Serum sickness

    -laktam, sulfonamid,

    fenotiazin, streptomisin

    serum xenogenik, penisilin,

    globulin anti-timosit

    IV. hipersensitivitas

    selular

    Eksim (juga sistemik)eritema, lepuh, pruritus

    Fotoalergi

    Fixed drug eruption

    Lesi makulopapular

    Penisilin, anestetik lokal,antihistamin topikal,

    neomisin, pengawet, eksipien

    (lanolin, paraben),

    desinfekstan

    Salislanilid (halogeneted),

    asam nalidilik

    Barbiturat, kinin

    Penisilin, emas, barbiturat, -

    blocker

    V. reaksi granuloma Granuloma Ekstrak alergen, kolagen larut

    VI. hipersensitivitas

    stimulasi

    (LE yang diinduksi obat)

    Resistensi insulin

    Hidralazin, prokainamidAntibodi terhadap insulin

    (IgG)

    LO. 1.3 Pemeriksaan Hipersensitivitas

    Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :

    1. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    5/42

    5

    Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya debu,

    tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini dilakukan di

    kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada kulit dengan

    menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka,

    berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit. Bila positif

    alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal.Syarat tes ini :

    - Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung antihistamin (obat

    anti alergi) selama 37 hari, tergantung jenis obatnya.

    - Umur yang di anjurkan 450 tahun.

    2. Patch Tes (Tes Tempel).Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit

    dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat

    dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul bercak

    kemerahan dan melenting pada kulit.

    Syarat tes ini :- Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat, mandi, posisi

    tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.

    - 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau antibengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.

    3. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini

    memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses

    dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam.

    Kelebihan dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.

    4. Skin Test (Tes kulit).Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan. Dilakukan

    di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes di lapisan bawah

    kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan

    timbul,bentol,merah,gatal.

    5. Tes Provokasi.

    Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan,

    dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup

    dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilekalergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman

    untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi

    bronkial dan tes provokasi makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE

    spesifik metode RAST.

    Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo Control)

    atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan secara

    bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 1530 menit. Dalam satu hari hanya

    boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu

    48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    6/42

    6

    LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I

    LO. 2.1 Definisi Hipersensitivitas Tipe I

    Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar

    antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Terpapar dengan cara ditelan, dihirup,

    disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan

    hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma.

    Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast

    Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of

    anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).

    1. Histamin

    Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin

    dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik

    serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam

    plasma adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah

    uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam

    beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos,

    serta peningkatan permeabilitas vaskular.

    Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan

    kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah

    reaksi gatal berupa wheal and flare,dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam

    lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu

    antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit,

    tetapi tidak pada bronkus.

    Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat

    (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak

    dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin

    membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulindan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi.

    Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi

    pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus

    mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek

    modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

    2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)

    Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi

    radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah

    terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu

    degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    7/42

    7

    Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang

    terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada

    penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil

    karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

    3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)

    NCF (neutrophyl chemotactic factor)dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru

    manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa

    menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau

    setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena

    mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer.

    Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat

    yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga

    bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

    Mediator yang terbentuk kemudian

    Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor

    aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari

    jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan

    produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi.

    1. Produk siklooksigenase

    Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan

    satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) sertatromboksan A2 (TxA2).

    Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya

    membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga

    dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di

    mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).

    Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat

    bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat

    menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas

    vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediatorsekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan

    yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.

    2. Produk lipoksigenase

    Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang

    membentukslow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A).Leukotrien LTB4

    merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4

    adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk

    lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari

    jaringan paru yang tersensitisasi.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    8/42

    8

    Mediator primer utama pada hipersensitivitas tipe I

    Mediator sekunder utama pada hipersensitivitas Tipe I

    Mediator Efek

    LTR (SRS-A) Peningkatan permeabilitas vascular,

    vasodilatasi, sekresi mucus, kontraksi otot

    polos paru, kemotaktik neutrofil

    PG Vasodilatasi, kontraksi otot polos paru,

    agregasi trombosit, kemotaktik neutrophil,

    potensiasi mediator lainnya.

    Bradikinin Peningkatan permeabilitas kapiler,

    vasodilatasi, kontraksi otot polos, stimulasi

    ujung saraf nyeriSitokin Bervariasi

    IL-1 dan TNF- Anafilaksis, peningkatan ekspresi CAM pada

    sel endotel venus

    IL-4 dan IL-13 Peningkatan produksi IgE

    IL-3, IL-5, IL-6, IL-10, TGF- dan

    GM-CSF

    Berbagai efek (dapat dilihat pada sitokin)

    IL4, PMN, demam TNF- Aktivasi monosit, eosinophil, demam

    FGF Fibrosis

    Inhibitor protease Mencegah kimase

    Lipoksin Bronkokonstriksi

    Leukotrin (LTC4 LTD4 LTE4) Kontraksi otot polos (jangka lama),meningkatkan permeabilitas, kemotaksis

    Mediator Efek

    Histamin H1: Permeabilitas vaskular meningkat,

    vasodilatasi, kontraksi otot polos

    H2: Sekresi mukosa gaster, aritmia jantungH3: SSP

    H4: Eosinofil

    ECF-A Kemotaksis eosinofil

    NCF-A Kemotaksis neutrofil

    Protease (Triptase, krimase) Sekresi mukus bronkial, degradasi, membran

    basal pembuluh darah, pembentukan produk

    pemecahan komplomen

    Eosinophil Chemotactic Factor Kemotaktik untuk eosinofil

    Neutrofil Chemotactic Factor Kemotaktik untuk neutrofil

    Hidrolase Asam Degradasi matriks ekstraseluler

    PAF Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi

    otot polos paru

    NCA Kemotaksis neutrofil

    BK-A Kalikrein: kininogenase

    Proteoglikan Heparin, kondrotin sulfat, sulfat dermatan:

    mencegah komplemen yang menimbulkan

    koagulasi

    Enzim Kimase, triptase, proteolisis

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    9/42

    9

    Leukotrin B4, 15-HETE Sekresi mucus

    PAF Kemotaksis, (terutama eosinophil),

    bronkospame

    LO. 2.2 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe I

    Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:

    1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampaidiikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil.

    2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigenyang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan

    reaksi.

    3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efekmediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik

    Pajanan dengan mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel

    plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel

    mast dan basofil (banyak molekul IgE dengan berbagai spesifisitas dapat diikat FceR1).

    Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yangdiikat sel mast, memacu penglepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari

    sel mast dan basofil. Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos,

    meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan

    anafilaksis.

    LO. 2.3 Manifestasi Klinik Hipersensitivitas Tipe I

    a. Reaksi lokal

    Reaksi hipersensitifitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang

    biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk. Kecenderungan untuk

    menunjukkan reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20%populasi menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma dan

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    10/42

    10

    dermatitis atopi. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel

    mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa

    minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi

    dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit,

    mata, hidung dan saluran nafas.

    b. Reaksi sistemikanafilaksis

    Anafilaksisi adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit

    saja. Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs Tipe 1 atau reaksi

    alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil

    merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai

    alergan seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan

    juga lateks, latihan jasmani dan bahan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat

    diidentifikasi.

    c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid

    Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan

    pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanisme

    pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini

    menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritis,

    tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi klinisnya sering serupa, sehingga

    kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk

    menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein,

    kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot.

    Jenis Alergi Alergen Umum Gambaran

    AnafilaksisObat, serum, kacang-

    kacangan

    Edema dengan peningkatan

    permeabilitas kapiler, okulasi trakea ,

    koleps sirkulasi yang dapat

    menyebabkan kematian

    Urtikaris akut Sengatan serangga Bentol, merah

    Rinitis alergi Polen, tungau debu rumah Edema dan iritasi mukosa nasal

    Asma Polen, tungau debu rumahKonstriksi bronkial, peningkatan

    produksi mukus, inflamasi saluran

    nafas

    MakananKerang, susu, telur, ikan,

    bahan asal gandum

    Urtikaria yang gatal dan potensial

    menjadi anafilaksis

    Ekzem atopiPolen, tungau debu runah,

    beberapa makanan

    Inflamasi pada kulit yang terasa gatal,

    biasanya merah dan ada kalanya

    vesikular

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    11/42

    11

    LO. 2.4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe I

    Usaha penanganan dan pengobatan apabila terserang reaksi hipersensitivitas tipe I adalah

    sebagai berikut :

    o Ringan :- Stop Alergen- Beri anti histamin

    o Sedang :- Sama dengan penatalaksanaan derajat ringan ditambah aminofilin atau injeksi

    adrenalin1/1000 0,3 ml SC/IM. Dapat diulang tiap 10-15menit sampai sembuh,

    maksimal 3 kali

    - Amankan jalan nafas, oksigenasio Berat (Syok) :

    - Sama dengan penatalaksanaan derajat sedang ditambahposisi terlentang, kakidiatas

    - Infus Nacl 0,9 %/ D5%- Hidrokortison 100 mg atau deksametason IV tiap 8 jam- Bila gatal : beri difenhidramin Hcl 60-80 mg IV secarapelan > 3 menit- Jika alergen adalah suntikan, pasang manset diatasbekas suntikan (dilepas setiap

    10-15 menit) dan beriadrenalin 0,1-0,5 ml IM pada bekas suntikan

    - Awasi tensi, nadi, suhu tiap 30 menit- Setelah semua upaya dilakukan, jika dalam 1 jam tidakada perbaikan rujuk ke

    RSUD

    Penanganan menurut gambaran klinik:

    1. Anafilatoksis local Menghindari allergen dan makanan yang dapat menyebabkan alergi. Bila allergen sulit dihindari (seperti pollen, debu, spora, dll) dapat digunakan

    antihistamin untuk menghambat pelepasan histamine dari sel matosit, seperti

    Chromolyn sodium menghambat degranulasi sel mast kemungkinan dengan

    menghambat influx Ca.

    Bila terjadi sesak nafas pengobatan dapat berupa bronkoditalor (leukotrienereceptor blockers. Seperti Singulair, Accolate) yang dapat merelaksasi otot bronkus

    dan ekspektoran yang dapat mengeluarkan mucus.

    2. Anafilatoksis sistemik Pengobatan harus dilakukan dengan cepat dengan menyuntikan epinefrin

    (meningkatkan tekanan darah) atau antihistamin (memblok pelepasan histamine)

    secara intravena.

    LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II

    LO. 3.1 Definisi Hipersensitivitas Tipe II

    Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi

    karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel

    pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yangmerupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    12/42

    12

    dan metabolisme sel dilibatkan. Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi

    disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang

    memiliki reseptor Fc-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan

    menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai

    manifestasi klinik.

    LO. 3.2 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe II

    Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit

    anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.

    Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :

    1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence

    2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk

    Fc

    3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen

    Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawanantigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Antigen tersebut

    dapat merupakan molekul intrinsic normal bagi membrane sel atau matriks ekstraseluler

    atau dapat merupakan antigen eksogen yang diabsorbsi (misalnya metabolit obat).

    Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yang di ikuti salah satu

    dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:

    1. Opsonisasi dan Fagositosis yang diperantarai Komplemen danFc ReceptorSel-sel yang menjadi target antibodi diopsonisasi oleh molekul-molekul yang

    mampu menarik fagosit, sehingga sel-sel tersebut mengalami deplesi. Saat antibodi(IgG/IgM) terikat pada permukaan sel, terjadi pengaktifan sistem komplemen. Aktivasi

    komplemen terutama menghasilkan C3b dan C4b, yang akan terikat pada permukaan sel.

    C3b dan C4b ini akan dikenali oleh fagosit yang mengekspresikan reseptor C3b dan C4b.

    Sebagai tambahan, sel-sel yang di-opsonisasi oleh antibodi IgG dikenali oleh fagosit

    reseptor Fc. Hasil akhirnya yaitu fagositosis dari sel yang di-opsonisasi, kemudian sel

    tersebut dihancurkan. Aktivasi komplemen juga menyebabkan terbentuknya membrane

    attack complex, yang mengganggu integritas membran dengan membuat lubang-lubang

    menembus lipid bilayer, sehingga terjadi lisis osmotik sel.

    Kerusakan sel yang dimediasi antibodi dapat terjadi melalui proses lain yaitu

    antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Bentuk jejas yang ditimbulkan tidak

    melibatkan fiksasi komplemen melainkan membutuhkan kerjasama leukosit. Sel yang diselubungi dengan IgG konsentrasi rendah lalu dibunuh oleh berbagai macam sel efektor

    yang berikatan pada sel target dengan reseptor untuk fragmen Fc dari IgG dan sel akan

    lisis tanpa mengalami fagositosis. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam

    leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipun secara khusus

    ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalam kasus tertentu (misalnya, pembunuhan

    parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE. Peran dari ADCC

    dalam hipersensitivitas masih belum dapat dipastikan.

    2. Inflamasi yang diperantarai Komplemen danFc ReceptorSaat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks),

    kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel.Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    13/42

    13

    menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga

    berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan

    perusak (enzim dan intermediate oksigen reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan

    jaringan. Reaksi ini berperan pada glomerulonefritis dan vascular rejectiondalam organ

    grafts.

    3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodyPada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel

    merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh

    karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam motor

    end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot.

    Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip dari reaksi

    hipersensitivitas tipe II adalah adanya mediasi dari antibodi untuk menyebabkan sitolitik

    pada sel terinfeksi melalui opsonisasi antigen yang menempel pada permukaan membran

    sel. Kasus pada pemicu akibat adanya pengaruh obat bisa menjadi reaksi hipersensitivitas

    tipe II melalui adanya pembentukan kompleks antigen-antibodi. Namun, hal tersebut

    sulit untuk dibuktikan karena efek reaksi obat yang begitu cepat lebih mengarah padaadanya anafilaktik obat yang merupakan manifestasi dari reaksi hipersensitivitas tipe I.

    LO. 3. 3 Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe IIManifestasi khas : reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik autoimun .

    Reaksi Transfusi

    a. Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai

    gen.

    b. Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi,

    karena antiB isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan

    kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravascular. Reaksi dapat cepat atau

    lambat .

    - Reaksi cepatDisebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam

    beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui

    ginjal dan menimbulkan hemaglobinuria. Beberapa hemaglobin diubah menjadi

    bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik.

    Gejala khas : Demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri

    pinggang bawah, dan hemoglobinuria.

    - Reaksi lambatTerjadi pada orang yang mendapat transfusi berulang dengan darah yang kompatibel

    ABO namun inkompatibel dengan golongan darah yang lain. Terjadi 2-6 hari setelah

    transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai

    antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan resus, Kidd, Kell, dan

    Duffy.

    Reaksi Antigen Rhesus

    Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi

    baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika

    anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepassebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    14/42

    14

    disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak

    yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat

    antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau

    lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor

    Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning,

    Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.

    Anemia Hemolitik autoimun

    Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig

    terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b,

    terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau

    dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.

    Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi

    nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks

    molekul hapten pembawa. Pada beberapa antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada

    SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.

    (Baratawidjaja, 2009)

    Reaksi Obat

    Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang

    menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat

    trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan

    menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan

    chloropromazin mengikat sel darah merah.

    LO. 3.4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe II

    Untuk penyakit akibat hipersensitivitas tipe II ini tidak ada obatnya, karenapatogenesisnya adalah antibodi tubuhnya sendiri. Usaha penanganan yang dilakukan

    untuk penderita reaksi hipersensitivitas tipe II hanya bertujuan mengendalikan gejala

    saja.

    LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III

    LO. 4.1 Definisi Hipersensitivitas Tipe III

    Hipersensitivitas tipe III adalah reaksi imun kompleks antigen-antibodi. Kompleks

    antigen-antibodi menstimulus inflamasi pada jaringan seperti dinding kapiler. Antigen-antibodi kompleks dapat merangsang respon inflamasi akut yang mengarah aktivasi

    komplemen dan leukosit PMN infiltrasi. Kompleks imun terbentuk baik oleh antigen

    eksogen seperti dari mikroba atau dengan antigen endogen seperti DNA. Mediasi imun

    kompleks dapat berupa sistemik atau lokal. Pada sistemik, antigen-antibodi kompleks

    diproduksi dalam sirkulasi, disimpan dalam jaringan, dan memulai peradangan. Imun

    kompleks disimpan dalam jaringan, komplemen adalah tetap, dan PMNs adalah tertarik

    ke situs. Enzim lisosomal dilepaskan, mengakibatkan cedera jaringan.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    15/42

    15

    LO. 4. 2 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe III

    Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleheritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks

    imun yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang

    menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imun kecil yang

    tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau

    jaringan.

    1. Kompleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah

    Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun

    sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat

    merusak jaringan. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan:

    o Agregasi trombosito Aktivasi makrofago Perubahan permeabilitas vaskulero Aktivasi sel masto Produksi dan pelepasan mediator inflamasio Pelepasan bahan kemotaksiso Influks neutrofil

    2. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan

    Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran

    kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat. Hal tersebut

    terjadi karena histamin yang dilepas oleh sel mast. Hipersensitifitas ini terjadi karena

    adanya reaksi antara antigen dan antibodi yang mengendap dalam jaringan yang dapat

    berkembang menjadi kerusakan pada jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen

    berada dalam bentuk larutan dan dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi

    patogenik kompleks imun tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan

    mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem fagosit

    mononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya cenderung diendapkan pada

    pembuluh darah. Di sana, terjadi dimulai kerusakan melalui ikatan reseptor Fc dan

    komponen komplemen pada permukaan endotel yang berakibat pada kerusakan dinding

    pembuluh darah. Contoh kasus reaksi tipe III ialah vaskulitis nekrotikans.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    16/42

    16

    Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti protein asingyang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika seseorang

    menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun). Penyakit yang

    dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat sistemik jika terbentuk di sirkulasi dan

    terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu seperti ginjal

    (glomerulonefritis), sendi (artritis) atau pembuluh darah kecil pada kulit. Reaksi

    hipersensitifitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit individu yang

    tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen pemicu

    sensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikan ke dalam individu tersebut, IgG yang

    telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa kompleks imun setempat.

    Komplek imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga

    mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu respon peradangansetempat disertai

    LO. 4. 3 Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe III

    Manifestasi khas : reaksi lokal seperti Arthus dan sistemik seperti serum sickness,

    vaskulitis dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES .

    A. Reaksi Lokal atau Fenomena Arthus

    Pada mulanya, Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di tempat

    yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem pada kelinci. Lalu

    setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat perdarahan dan nekrosis di tempat suntikan. Haltersebut adalah fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun.

    Antibodi yang ditemukan adalah presipitin. Reaksi Arthus dalam kilinis dapat berupa

    vaskulitis dengan nekrosis.

    Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut :

    1.Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan tempatkompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa pengumpulan cairan di

    jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai nekrosis.

    2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan permeabilitaspembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga bekerja sebagai

    faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke tempat reaksi.

    Neutrofil dan trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan obstruksi total aliran

    darah.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    17/42

    17

    3.Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan sepertiprotease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit sehingga akan

    menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.

    B. Reaksi Sistemik atau Serum Sickness

    Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanismesebagai berikut:

    1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yangmemacu sel mast dan basofil melepas histamin.

    2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang tinggidengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, plexus

    koroid, dan korpus silier mata)

    3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mkrotrombikemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut mengakibatkan

    vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan inflamasi.

    4.Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yangterperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetapmelepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak kerusakan

    jaringan.

    5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-mediatorantara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan

    Dari mekanisme diatas, beberapa hari minggu setelah pemberian serum asing akan

    mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di

    beberapa bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis

    sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi

    Pirquet dan Schick.

    Penyakit oleh kompleks imun

    Penyakit Spesifitas antibody Mekanisme Manifestasi

    klinopatologi

    Lupus eritematosus DNA, nucleoprotein Inflamasi diperantarai

    komlplemen dan

    reseptor Fc

    Nefritis, vaskulitis,

    arthritis

    Poliarteritis nodosa Antigen permukaan

    virus hepatitis B

    Inflamasi diperantarai

    komplemen dan

    reseptor Fc

    Vaskulitis

    Glomreulonefritis

    post-streptokokus

    Antigen dinding sel

    streptokokus

    Inflamasi diperantarai

    komplemen dan

    reseptor Fc

    Nefritis

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    18/42

    18

    LO 4. 4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe III

    Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :

    1. Obat anti-inflamasi\antihistamin

    2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap immunisasi dan

    antitoksin.

    LI. 5. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV

    LO. 5. 1 Definisi Hipersensitivitas Tipe IVReaksi hipersensitivitas type IV disebut juga reaksi hipersensitivitas type lambat yang

    diperantarai oleh sistem imun selular, yaitu melalui perantara sel T yang tersensitisasi

    secara khusus dan bukan diperantarai antibody. Reaksi hipersensitivitas type IV dibagi

    menjadi dua type dasar yaitu:

    1. Delayed type hypersensitivity (DTH) yang diinisiasi oleh sel T CD4+

    2. T cell mediated cytolysis / sitotoksitas sel langsung yang diperantarai oleh sel T CD8+

    Pada hipersensitivitas type lambat, sel T CD4+ type TH1 menyekresikan sitokinsehingga menyebabkan adanya perekrutan sel-sel lain, terutama makrofag, yang

    merupakan sel efektor yang utama. Sedangkan pada sitotoksitas selular, sel T CD8+

    sitotoksik menjalankan fungsi efektor.

    LO. 5. 2 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe IVDelayed Type Hypersensitivity Tipe IV :

    a. Fase sensitasiMembutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th diaktifkan

    oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans/SD pada kulit dan makrofag)

    menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan

    ke sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).

    b. Fase efektorPajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan

    melepas sitokin yang menyebabkan :

    - Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel inflamasi).Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.

    - Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke jaringansekitar.

    - Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi selTh1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.

    Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang teraktivasi.

    Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T Cell

    Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.

    Granuloma terbentuk pada : TB, Lepra, Skistosomiasis, Lesmaniasis dan Sarkoidasis .

    LO. 5. 3 Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe IV

    Manifestasi khas : Dermatitis kontak, Lesi tuberculosis dan penolakan tandur .

    - Dematitis kontakMerupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak

    berbahaya seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi DTH).

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    19/42

    19

    - Hipersensitivitas tuberkulin

    Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan Mycobacterium

    tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan menimbulkan reaksi ini

    berupa kemerahan dan indurasi pada tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu

    yang pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10

    pasca induksi. Reaksi ini diperantarai oleh sel CD4+.- Reaksi Jones Mote

    Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil yang

    mencolok pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai hipersensitivitas

    basofil kutan. Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein

    dalam jumlah kecil, tidak terjadi nekrosis jaringan. Reaksi ini disebabkan oleh suntikan

    antigen larut (ovalbumin) dengan ajuvan Freund.

    - Penyakit CD8+

    Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel

    sasaran. Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik,

    contoh pada infeksi virus hepatitis.

    LO. 5. 4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe IV

    Pengobatan menggunakan imunosupresan seperti syklosporin A atau FK-506

    (Tacrolimus) dilakukan untuk menahan reaksi penolakan pada proses transplantasi organ.

    Kedua obat ini menghalangi proliferasi dan diferensiasi limfosit T dengan menghambat

    proses transkripsi IL-2. Pengobatan dapat pula menggunakan kortikosteroid.

    LI. 6. Memahami dan Menjelaskan Antihistamin dan Kortikosteroid

    LO. 6.1 Antihistamin

    A.PengertianAntihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histaminterhadap tubuh dengan jalan memblok reseptorhistamin (penghambatan saingan). Pada

    awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis

    reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara farmakologi

    reseptor histamin dapat dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1 da reseptor-H2.

    Dahulu antihistamin dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok, tetapi kini

    digunakan penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni zat-

    zat generasi ke-1 dan ke-2.

    a. Obat generasi ke-1: prometazin, oksomemazin, tripelennamin, (klor) feniramin,difenhidramin, klemastin (Tavegil), siproheptadin (periactin), azelastin (Allergodil),

    sinarizin, meklozin, hidroksizin, ketotifen (Zaditen), dan oksatomida (Tinset).Obat-obat ini berkhasiat sedatif terhadap SSP dan kebanyakan memiliki efek

    antikolinergis

    b. Obat generasi ke-2: astemizol, terfenadin, dan fexofenadin, akrivastin (Semprex),setirizin, loratidin, levokabastin (Livocab) dan emedastin (Emadin). Zat- zat ini

    bersifat khasiat antihistamin hidrofil dan sukar mencapai CCS (Cairan Cerebrospinal),

    maka pada dosis terapeutis tidak bekerja sedative.

    Keuntungan lainnya adalah plasma t2-nya yang lebih panjang, sehingga dosisnya

    cukup dengan 1-2 kali sehari. Efek anti-alerginya selain berdasarkan, juga berkat

    dayanya menghambat sintesis mediator-radang, seperti prostaglandin, leukotrin dankinin.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    20/42

    20

    Berdasarkan penemuan ini, antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni

    antagonis reseptor-H1 (singkatnya disebut H1-blockers atau antihistaminika) dan

    antagonis reseptor H2 ( H2-blockers atau zat penghambat-asam):

    1. Antagonis Reseptor H1Mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di otot licin dari dinding

    pembuluh,bronchi dan saluran cerna,kandung kemih dan rahim. Begitu pula melawanefek histamine di kapiler dan ujung saraf (gatal, flare reaction). Efeknya adalah

    simtomatis, antihistmin tidak dapat menghindarkan timbulnya reaksi alergi.

    2. H2-blockers (Penghambat asma)Obat-obat ini menghambat secara efektif sekresi asam lambung yang meningkat

    akibat histamine, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H2 di lambung. Efeknya

    adalah berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan

    tekanan darah menurun. Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambug usus

    guna mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada

    terapi dengan kortikosteroida. Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator

    motilitas lambung (cisaprida) pada penderita reflux.Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah simetidin, ranitidine,

    famotidin, nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklis dari

    histamin.

    Menghilangkan gejala yang behubungan dengan alergi, termasuk rinithis, urtikaria

    dan angiodema, dan sebagai terapi adjuvant pada reaksi anafilaksis. Beberapa

    antihistamin digunakan untuk mengobati mabuk perjalanan (dimenhidrinat dan

    meklizin), insomnia (difenhidramin), reaksi serupa parkinson (difenhidramin), dan

    kondisi nonalergi lainnya.

    Lazimnya dengan antihistaminika selalu dimaksud H-1 blockers. Selain bersifat

    antihistamin, obat-obat ini juga memiliki berbagai khasiat lain, yakni daya

    antikolinergis,antiemetis dan daya menekan SSP (sedative),dan dapat menyebabkan

    konstipasi, mata kering, dan penglihatan kabur, sedangkan beberapa di antaranya

    memiliki efek antiserotonin dan local anestesi (lemah).

    Zat-zat ini berdaya antikolinergik dan sedative agak kuat.

    1. DERIVAT ETANOLAMIN (X=O)a. Difenhidramin : Benadryl

    Di samping daya antikolinergik dan sedative yang kuat, antihistamin ini juga bersifat

    spasmolitik, anti-emetik dan antivertigo (pusing-pusing). Berguna sebagai obat tambahan

    pada Penyakit Parkinson, juga digunakan sebagai obat anti-gatal pada urticaria akibat

    alergi (komb. Caladryl, P.D.)Dosis: oral 4 x sehari 25-50mg, i.v. 10-50mg.

    o 2-metildifenhidramin = orfenadrin (Disipal, G.B.)Dengan efek antikolinergik dan sedative ringan, lebih disukai sebagai obat tambahan

    Parkinson dan terhadap gejala-gejala ekstrapiramidal pada terapi dengan neuroleptika.

    Dosis: oral 3 x sehari 50mg.

    o 4-metildifenhidramin (Neo-Benodin)Lebih kuat sedikit dari zat induknya. Digunakan pada keadaan-keadaan alergi pula.

    Dosis: 3 x sehari 20-40mg

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    21/42

    21

    o Dimenhidrinat (Dramamine, Searle)Adalah senyawa klorteofilinat dari difenhidramin yang digunakan khusus pada mabuk

    perjalanan dan muntah-muntah sewaktu hamil.

    Dosis: oral 4 x sehari 50-100mg, i.m. 50mg

    o Klorfenoksamin (Systral, Astra)Adalah derivate klor dan metal, yang antara lain digunakan sebagai obat tambahan

    pada Penyakit Parkinson.

    Dosis: oral 2-3 x sehari 20-40mg (klorida), dalam krem 1,5%.

    o Karbinoksamin : (Polistin, Pharbil)Adalah derivat piridil dan klor yang digunakan pada hay fever.

    Dosis: oral 3-4 x sehari 4mg (maleat, bentuk,dll).

    b. Kiemastin: Tavegyl (Sandos)Memiliki struktur yang mirip klorfenoksamin, tetapi dengan substituent siklik

    (pirolidin). Daya antihistaminiknya amat kuat, mulai kerjanya pesat, dalam beberapamenit dan bertahan lebih dari 10 jam. Antara lain mengurangi permeabilitas dari kapiler

    dan efektif guna melawan pruritus alergis (gatal-gatal).

    Dosis: oral 2 x sehari 1mg a.c. (fumarat), i.m. 2 x 2mg.

    2. DERIVAT ETILENDIAMIN (X=N)Obat-obat dari kelompok ini umumnya memiliki data sedative yang lebih ringan.

    Antazolin : fenazolin, antistin (Ciba)Daya antihistaminiknya kurang kuat, tetapi tidak merangsang selaput lender. Maka layak

    digunakan untuk mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) sebagai

    preparat kombinasi dengan nafazolin (Antistin-Privine, Ciba).Dosis: oral 2-4 x sehari 50-100mg (sulfat).

    Tripelenamin (Tripel, Corsa-Azaron, Organon)kini hanya digunakan sebagai krem 2% pada gatal-gatal akibat reaksi alergi (terbakar

    sinar matahari, sengatan serangga, dan lain-lain).

    Mepirin (Piranisamin)Adalah derivate metoksi dari tripelenamin yang digunakan dalam kombinasi dengan

    feniramin dan fenilpropanolamin (Triaminic, Wander) pada hay fever.

    Dosis: 2-3 x sehari 25mg.

    Klemizol ( Allercur, Schering)Adalah derivate klor yang kini hanya digunakan dalam preparat kombinasi anti-selesma

    (Apracur, Schering) atau dalam salep/suppositoria anti wasir (Scheriproct, Ultraproct,

    Schering).

    3. DERIVAT PROPILAMIN (X=C)Obat-obat dari kelompok ini memiliki daya antihistamin kuat.

    a. Feniramin : Avil (Hoechst)Zat ini berdaya antihistamink baik dengan efek meredakan batuk yang cukup baik, maka

    digunakan pula dalam obat-obat batuk.

    Dosis: oral 3 x sehari 12,5-25mg (maleat) pada mala hari atau 1 x 50mg tablet retard; i.v.

    1-2 x sehari 50mg; krem 1,25%.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    22/42

    22

    o Klorfenamin (Klorfeniramin. Dl-, Methyrit, SKF)Adalah derivate klor dengan daya 10 kali lebih kuat, sedangkan derajat toksisitasnya

    praktis tidak berubah. Efek-efek sampingnya antara lain sifat sedatifnya ringan. Juga

    digunakan dalam obat batuk. Bentuk-dextronya adalah isomer aktif, maka dua kali lebih

    kuat daripada bentuk dl (rasemis)nya: dexklorfeniramin (Polaramin, Schering).Dosis: 3-4 x sehari 3-4mg (dl, maleat) atau 3-4 x sehari 2mg (bentuk-d).

    o Bromfeniramin (komb.Ilvico, Merck)Adalah derivate brom yang sama kuatnya dengan klorfenamin, padamana isomer-dextro

    juga aktif dan isomer-levo tidak. Juga digunakan sebagai obat batuk.

    Dosis: 3-4 x sehari 3mg (maleat).

    b. Tripolidin : Pro-ActidilDerivat dengan rantai sisi pirolidin ini berdaya agak kuat, mulai kerjanya pesat dan

    bertahan lama, sampai 24 jam (sebagai tablet retard).

    Dosis: oral 1 x sehari 10mg (klorida) pada malam hari berhubung efek sedatifnya.

    4. DERIVAT PIPERAZINObat-obat kelompok ini tidak memiliki inti etilamin, melainkan piperazin. Pada

    umumnya bersifat long-acting, lebih dari 10 jam.

    a.Siklizin : MarzineMulai kerjanya pesat dan bertahan 4-6 jam lamanya. Terutama digunakan sebagai anti-

    emetik dan pencegah mabuk jalan. Namun demikian obat-obat ini sebaiknya jangan

    diberikan pada wanita hamil pada trimester pertama.

    o Meklozin (Meklizin, Postafene/Suprimal)adalah derivat metilfenii dengan efek lebih panjang, tetapi mulai kerjanya baru sesudah

    1-2 jam. Khusus digunakan sebagai anti-emetik dan pencegah mabuk jalan.

    Dosis: oral 3 x sehari 12,5-25mg.

    o Buklizin (longifene, Syntex)Adalah derivate siklik dari klorsiklizin dengan long-acting dan mungkin efek

    antiserotonin. Disamping anti-emetik,juga digunakan sebagai obat anti pruritus dan

    untuk menstimulasi nafsu makan.

    Dosis: oral 1-2 x sehari 25-50mg.

    o Homoklorsiklizin (homoclomin, eisai)Berdaya antiserotonin dan dianjurkan pada pruritus yang bersifat alergi.Dosis: oral 1-3 x sehari 10mg.

    b. Sinarizin : Sturegon (J&J), Cinnipirine(KF)Derivat cinnamyl dari siklizin ini disamping kerja antihistaminnya juga berdaya

    vasodilatasi perifer. Sifat ini berkaitan dengan efek relaksasinya terhadap arteriol-arteriol

    perifer dan di otak (betis,kaki-tangan) yang disebabkan oleh penghambatan masuknya

    ion-Ca kedalam sel otot polos. Mulai kerjanya agak cepat dan bertahan 6-8 jam, efek

    sedatifnya ringan. Banyak digunakan sebagai obat pusing-pusing dan kuping berdengung

    (vertigo, tinnitus).

    Dosis: oral 2-3 x sehari 25-50mg.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    23/42

    23

    o Flunarizin (Sibelium, Jansen)Adalah derivat difluor dengan daya antihistamin lemah. Sebagai antagonis-kalsium daya

    vasorelaksasinya kuat. Digunakan pula pada vertigo dan sebagai pencegah migran.

    5. DERIVAT FENOTIAZINSenyawa- senyawa trisiklik yang memiliki daya antihistamin dan antikolinergik yangtidak begitu kuat dan seringkali berdaya sentral kuat dengan efek neuroleptik.

    a. Prometazin: (Phenergan (R.P.))Antihistamin tertua ini (1949) digunakan pada reaksi-reaksi alergi akibat serangga dan

    tumbuh-tumbuhan, sebagai anti-emetik untuk mencegah mual dan mabuk jalan. Selain

    itu juga pada pusing-pusing (vertigo) dan sebagai sedativum pada batuk-batuk dan sukar

    tidur, terutama pada anak-anak.

    Efek samping yang umum adalah kadang-kadang dapat terjadi hipotensi,hipotermia(suhu

    badan rendah), dan efek-efek darah (leucopenia, agranulocytosis)

    Dosis: oral 3 x sehari 25-50mg sebaiknya dimulai pada malam hari; i.m. 50mg.

    o Tiazinamium (Multergan, R.P.)Adalah derivat N-metil dengan efek antikolinergik kuat, dahulu sering digunakan pada

    terapi pemeliharaan terhadap asma.

    o Oksomemazin (Doxergan, R.P.)Adalah derivat di-oksi (pada atom-S) dengan kerja dan penggunaan sama dengan

    prometazin, antara lain dalam obat batuk.

    Dosis: oral 2-3 x sehari 10mg.

    o Alimemazin (Nedeltran)Adalah analog etil denagn efek antiserotonin dan daya neuroleptik cukup baik.

    Digunakan sebagai obat untuk menidurkan anak-anak, adakalanya juga pada psikosis

    ringan.

    Dosis: oral 3-4 x sehari 10mg.

    o Fonazin (Dimetiotiazin)Adalah derivat sulfonamida dengan efek antiserotonin kuat yang dianjurkan pada terapi

    interval migraine.

    Dosis: oral 3-4 x sehari 10mg.

    b. Isotipendil: Andantol (Homburg)Derivat aso-fenotiazin ini kerjanya pendek dari prometazin dengan efek sedatif lebihringan.

    Dosis: ora; 3-4 x sehari 4-8mg, i.m. atau i.v. 10mg.

    o Mequitazin (Mircol, ACP)Adalah derivat prometazin dengan rantai sisi heterosiklik yang mulai kerjanya cepat,

    efek-efek neurologinya lebih ringan. Digunakan pada hay fever, urticaria dan reaksi-

    reaksi alergi lainnya.

    Dosis: oral 2 x sehari 5mg.

    o Meltidazin (Ticaryl, M.J.)Adalah derivat heterosiklik pula (pirolidin) dengan efek antiserotonin kuat. Terutama

    dianjurkan pada urticaria.Dosis: oral 2 x sehari 8mg.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    24/42

    24

    Sewaktu diketahui bahwa histamine mempengaruhi banyak proses faalan dan

    patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamine. Epinefrin

    merupakan antagonis faalan pertama yang digunakan. Antara tahun 1937-1972, beratus-

    ratus antihistamin ditemukan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda.

    Antihistamin misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam

    dosis terapi efektif untuk mengobati udem, eritem dan pruritus terapi tidak dapatmelawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut di atas

    digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1). Pada umumnya

    antihistaminika diberikan oral 3 4 kali sehari 1 satuan dosis (tablet, kapsul). Hanya

    pada obat-obat yang memiliki kerja panjang (promethazin) cukup dengan 1 2 dosis

    sehari. Untuk feniramin dosisnya adalah lebih kecil, yaitu 34 kali sehari 24 mg.

    Farmakodinamik

    Antagonisme terhadap histamin, AH1 menghambat efek histamine pada pembuluh darah,

    bronkus, dan bermacam-macam otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati

    reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan histamine endogen

    berlebihan.

    - Otot polossecara umum AH1 efektif menghambat kerja histamine pada otot polos(usus,bronkus).

    - Permeabilitas kapiler peninggian permeabilitas kapiler dan udem akibat histamin,dapat dihambat dengan efektif oleh AH1

    - Reaksi anafilaksis dan alergi reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakterterhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamine saja yang berperan tetapi

    autakoid lain juga dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan reaksi hipersensitivitas

    berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.

    - Kelenjar eksokrin efek perangsangan histamine terhadap sekresi cairan lambungtidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresikelenjar eksokrin lain akibat histamin.

    - Susunan saraf pusat AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efekperangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah

    insomnia, gelisah dan eksitasi. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan

    penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan

    waktu reaksi yang lambat.

    Antihistamin yang relative baru misalnya terfenadin, astemizol, tidak atau sangat sedikit

    menembus sawar darah otak sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak

    menyebabkan kantuk, gangguan koordinasi atau efek lain pada SSP. AH1 juga efektif

    untuk mengobati mual dan muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain.

    - Anestesi local beberapa AH1 bersifat anestetik lokal dengan intensitas berbeda.AH1 yang baik sebagai anestesi lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi

    untuk menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi

    daripada sebagai antihistamin.

    - Antikolinergik banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untukterapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut

    kering, kesukaran miksi dan impotensi.

    - Sistem kardiovaskular dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yangberarti pada system kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti

    kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan sifat anestetik lokalnya.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    25/42

    25

    Farmakokinetik

    Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul

    15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1

    setelah pemberian dosis tunggal kira-kira 4-6 jam, untuk golongan klorsiklizin 8-12 jam.

    Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah

    setelah kira-kira 2 jam dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam berikutnya,kemudian dieliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam. Kadar tertinggi terdapat pada

    paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot dan kulit kadarnya lebih rendah.

    Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan

    ginjal. Tripelenamin mengalami hidroksilasi dan konjugasi sedangkan klorsiklizin dan

    siklizin terutama mengalami demetilasi. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam,

    terutama dalam bentuk metabolitnya.

    Efek Samping

    Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang

    bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang

    paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RSatau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang

    memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya

    kecelakaan. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat

    mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang

    menimbulkan sedasi.

    Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus,

    lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan

    tremor. Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan

    berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping

    ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan. Efek samping lain yang mungkin

    timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat

    dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergik tersebut kurang

    pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.AH1 bisa menimbulkan alergi pada

    pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan local berupa dermatitis

    alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi. Selain itu pemberian

    terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang mendapat ketokonazol,

    troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat memperpanjang interval QT dan

    mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel.

    Hal ini juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan

    pasien-pasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien

    hipokalemia). Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistaminnon sedative dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.

    Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat sebagai obat

    persediaan dalam rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena kecelakaan,

    sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah

    bersifat letal bagi anak.

    Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pda anak kecil efek yang

    dominan ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia,

    inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan

    pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol.

    Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis, kemerahan di muka

    dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolapskardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    26/42

    26

    keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya

    depresi SSP lebih lanjut.

    Pengobatan

    Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum

    spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh barbiturate.Pernapasan biasanya tidak mengalami gangguan yang berat dan tekanan darah dapat

    dipertahankan secara baik.

    Bila terjadi gagal napas, maka dilakukan napas buatan, tindakan ini lebih baik

    daripada memberikan analeptic yang justru akan mempermudah timbulnya konvulsi. Bila

    terjadi konvulsi, maka diberikan thiopental atau diazepam.

    Perhatian

    Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus

    diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada

    resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan alcohol,

    obat penenang atau hipnotik sedative.

    LO 2.2 Kortikosteroid

    Definisi

    Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian

    korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormonadrenokortikotropik (ACTH)

    yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem

    fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan

    tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar

    elektrolit darah, serta tingkah laku.

    Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla, sedangkan

    bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona

    fasikulata mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona

    fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.

    Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap

    penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan

    pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk

    golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alam.

    Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon, triamsinolon, dan

    betametason.

    Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadapkeseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesiK, sedangkan

    pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.Oleh karena

    itu mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip dari golongan ini

    adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat anti-

    inflamasi yang berarti, kecuali 9 -fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini tidak

    pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan

    elektrolit terlalu besar. Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua

    yaitu kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    27/42

    27

    Farmakologi

    Semua hormon steroid sama-sama mempunyai rumus bangun siklopentano

    perhidrofenantren 17-karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label A D. Modifikasi

    dari struktur cincin dan struktur luar akan mengakibatkan perubahan pada efektivitas dari

    steroid tersebut. Atom karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi 10 dan 13 atau

    sebagai rantai samping yang terikat pada C17. Semua steroid termasukglukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestrol dengan 3 cincin heksana

    dan 1 cincin pentana.

    Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal dari plasma.

    Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang kemudian dengan bantuan

    enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen

    lemah dengan 19 atom karbon. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk

    steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah

    pemberian ACTH.

    Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus

    menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah

    yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal.Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.

    Berikut adalah tabel yang menunjukkan kecepatan sekresi dan kadar plasma

    kortikosteroid terpenting pada manusia.

    Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu hari yaitu

    sebelum sarapan pagi hari, siang, sore hari dan pada malam hari sebelum tidur. Pada pagi

    hari kadar kortisol yang paling tinggi dibandingkan waktu lainnya yang membuat orang

    menjadi lebih semangat dalam menjalani aktivitasnya. Orang yang ssehat pengeluaran

    kortisol mengikuti kurva dimana dapat dibuat grafik mulai menurunnya kadar kortisol

    hingga kadar terendah yaitu pada pukul 11 malam dibuktikan dengan seseorang yang

    dapat beristirahat dengan cukup.

    Mekanisme Kerja

    Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul

    hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan

    target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan

    bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini

    menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini

    merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar,

    hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain,

    misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid merangsang sintesis protein yang

    sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efekkatabolik.

    Kecepatan sekresi

    dalam keadaaan

    optimal (mg/hari)

    Kadar plasma

    (g/100ml)

    Jam 08.00 Jam 16.00

    Kortisol 20 16 4

    Aldosteron 0,125 0,01 -

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    28/42

    28

    Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol

    (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi

    metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan

    sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap

    umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid

    eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap haritanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam

    kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-a2 (CBG/corticosteroid-binding

    globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk

    digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG

    menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid

    sintetis seperti dexametason terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan

    CBG.

    Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh

    dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam

    jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1%

    kortisol diekskresi tanpa perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisoldiubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid

    sebelum mencapai hati. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan

    absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan

    ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon

    bentuk aktifnya dalam tubuh.

    Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala

    inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik

    obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi

    kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat

    menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan

    fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya

    yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga

    disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi serta

    mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan

    penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang

    mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang

    komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang berada pada sel endotel dan

    dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan

    masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan

    eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut

    menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofiltersebut disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang

    dan penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah

    sel pada tempat inflamasi.

    Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab

    antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen

    diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi

    kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan

    tumor nekrosis factor-a, interleukin-1, metalloproteinase dan activator

    plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi

    reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin, leukotrien dan platelet-

    aktivating factor.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    29/42

    29

    Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran dasar

    dan sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam

    sel atau struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran klinis

    ; keratinosik (atropi epidermal, re-epitalisasi lambat), produksi fibrolas mengurangi

    kolagen dan bahan dasar (atropi dermal, striae), efek vaskuler kebanyakan berhubungan

    dengan jaringan konektif vaskuler(telangiektasis, purpura), dankerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan granulasi yang lambat). Khasiat

    glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti-proliferatif, dan imunosupresif.

    Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti sel-sel lesi, berikatan

    dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut mengalami perubahan.

    Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapat membentuk atau menggantikan

    sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif), bergantung pada

    jenis dan stadium proses radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan stabilisasi

    membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak

    dikeluarkan.

    Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering

    dipakai. Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid danpenetrasi. Potensi kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan

    vasokontriksi pada kulit hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan

    struktur kimiawi. Kortison, misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison di

    dalam tubuh mengalami transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak

    menjadi proses itu. Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi 1%. Sejak

    tahun 1958, molekul hidrokortison banyak mengalami perubahan. Pada umumnya

    molekul hidrokortison yang mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten.

    Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat

    tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty

    ointment (paling baik penetrasinya). Kortikosteroid hanya sedikit diabsorpsi setelah

    pemberian pada kulit normal, misalnya, kira-kira 1% dari dosis larutan hidrokortison

    yang diberikan pada lengan bawah ventral diabsorpsi. Dibandingkan absorpsi di daerah

    lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali yang melalui daerah telapak kaki, 0,83

    kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang melalui tengkorak kepala, 6 kali

    yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali melalui kulit scrotum. Penetrasi

    ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi dermatitis atopik ; dan pada

    penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya sedikit sawar untuk

    penetrasi.

    Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya. Mekanisme yang

    terlibat dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwa

    kortikosteroid bisa menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit. Hal ini bisamenjelaskan penggunaan kortikosteroid topikal pada terapi urtikaria pigmentosa.

    Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang dimengerti.

    Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya dengan

    menginhibisi pembentukan prostaglandin dan derivat lain pada jalur asam arakidonik.

    Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-inflamasi kortikosteroid adalah

    menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran lisosom dari sel-sel fagosit.

    Klasifikasi

    Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya

    potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi

    natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya.

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    30/42

    30

    Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan

    masa kerjanya, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid

    Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid

    Keterangan:

    * hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.

    S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam)

    I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam)

    L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)

    Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan

    deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan

    kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut

    kekuatan (potensi) dari yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason,

    betametason, dan deksametason mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat

    Kortikosteroid

    Potensi

    Lama kerja

    Dosis

    ekuivalen

    (mg)*Mineralkortikoid Glukokortikoid

    Glukokortikoid

    Kortisol

    (hidrokortison)

    1 1 S 20

    Kortison 0,8 0,8 S 25

    6--metilprednisolon 0,5 5 I 4

    Prednisone 0,8 4 I 5

    Prednisolon 0,8 4 I 5

    Triamsinolon 0 5 I 4

    Parametason 0 10 L 2

    Betametason 0 25 L 0,75

    Deksametason 0 25 L 0,75

    Mineralokortikoid

    Aldosteron 300 0.3 S -

    Fluorokortison 150 15.0 I 2.0

    Desoksikortikosteron

    asetat

    20 0.0 - -

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    31/42

    31

    yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat semakin kuat potensinya semakin besar efek

    samping yang terjadi.

    Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokonstriksi,

    antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi. Steroid topikal menyebabkan

    vasokontriksi pembuluh darah di bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi

    eritema. Kemampuan untuk menyebabkan vasokontriksi ini biasanya berhubungandengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu

    tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen. Kombinasi ini digunakan untuk

    membagi kortikosteroid topikal mejadi 7 golongan besar, diantaranya Golongan I yang

    paling kuat daya anti-inflamasi dan antimitotiknya (super poten). Sebaliknya golongan

    VII yang terlemah (potensi lemah).

    Berikut tabel penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis:

    Klasifikasi Nama Dagang Nama Generik

    Golongan 1: (super poten)

    Golongan II: (potensi

    tinggi)

    Diprolene ointment

    Diprolene AF cream

    Psorcon ointment

    Temovate ointment

    Temovate cream

    Olux foam

    Ultravate ointment

    Ultravate cream

    Cyclocort ointment

    Diprosone ointment

    Elocon ointment

    Florone ointment

    Halog ointment

    Halog cream

    Halog solution

    Lidex ointment

    Lidex cream

    Lidex gel

    0,05% betamethason

    dipropionate

    0,05% diflorasone diacetate

    0,05% clobetasol propionate

    0,05% halobetasol propionate

    0,1% amcinonide

    0,05% betamethasone

    dipropionate

    0,01% mometasone fuorate

    0,05% diflorasone diacetate

    0,01% halcinonide

    0,05% fluocinonide

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    32/42

    32

    Golongan III: (potensi

    tinggi)

    Golongan IV: (potensimedium)

    Lidex solution

    Maxiflor ointment

    Maxivate ointment

    Maxivate cream

    Topicort ointment

    Topicort cream

    Topicort gel

    Aristocort A ointment

    Cultivate ointment

    Cyclocort cream

    Cyclocort lotion

    Diprosone cream

    Flurone cream

    Lidex E cream

    Maxiflor cream

    Maxivate lotion

    Topicort LP cream

    Valisone ointment

    Aristocort ointment

    Cordran ointment

    Elocon cream

    Elocon lotion

    Kenalog ointment

    Kenalog cream

    Synalar ointment

    0,05% diflorasone diacetate

    0,05% betamethasone

    dipropionate

    0,25% desoximetasone

    0,05% desoximetasone

    0,1% triamcinolone acetonide

    0,005% fluticasone propionate

    0,1 amcinonide

    0,05% betamethasone

    dipropionate

    0,05% diflorosone diacetate

    0,05% fluocinonide

    0,05% diflorosone diacetate

    0,05% betamethasone

    dipropionate

    0,05% desoximetasone

    0,01% betamethasone valerate

    0,1% triamcinolone acetonide

    0,05% flurandrenolide

    0,1% mometasone furoate

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    33/42

    33

    Penggunaan Klinik

    Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan

    untuk suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal

    bersifatpaliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan

    kausal. Biasanya pada kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah

    contohnya pada anak-anak dan usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakankortikosteroid sedang contonya pada dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan

    dermatitis intertriginosa. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi

    kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis

    numular.

    Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai

    dengan harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar

    kandungan steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah

    lupus eritematousus diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika

    diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid,

    eksantema fikstum. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%.

    Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik,kortikosteroid diberikan secara sistemik.

    Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah

    prednison karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar

    digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon.

    Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralkortikoid jangan dipakai pada

    pemberian long term (lebih daripada sebulan). Pada penyakit berat dan sukar menelan,

    misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindrom Stevens-Jhonson harus diberikan

    kortikosteroid dengan dosis tinggi biasa secara intravena. Jika masa kritis telah diatasi

    dan penderita telah dapat menelan diganti dengan tablet prednison.

    Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-

    hati. Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek

    samping terhadap pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam

    jangka waktu yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang

    tinggi karena kulit bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang

    seutuhnya. Secara umum, kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih

    longgar, lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi

    serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada bayi prematur lebih berisiko

    karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat topikal sangat

    tinggi.2,11 Pada geriatrimemiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid topikal

    meningkat. Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi sekunder

    karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering,waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.

    Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan

    perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur,

    sering digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin (standar

    pelayanan). Percobaan pada hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit

    hewan hamil akan menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada

    hewan tidak ada kaitan dengan efek pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko

    apabila steroid yang mencukupi di absorbsi di kulit memasuki aliran darah wanita

    hamilterutama pada penggunaan dalam jumlah yang besar, jangka waktu lama dan

    steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan memperlihatkan hubungan yang

    kecil tetapi penting antara kehamilan terutama trisemester pertama dengan bimbingsumbing. Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lipatau cleft palate saat penggunaan

  • 5/26/2018 HIPERSENSIT

    34/42

    34

    steroid s