Upload
duongdiep
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DAN AKTIVITAS BERMAIN DENGAN POTENSI ATLIT ANAK KELUARGA WANITA PEMETIK TEH DI KEBUN MALABAR DAN PURBASARI
PTPN VIII BANDUNG
FAHMI ABDUL HAMID
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis” Hubungan antara Status Gizi dan Aktivitas Bermain Dengan Potensi Atlit Anak Keluarga Wanita Pemetik Teh di Kebun Malabar dan Purbasari PTPN VIII Bandung ” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, 2008
Fahmi Abdul Hamid NIM : I051060061
ABSTRACT
FAHMI ABDUL HAMID. The Relationship of Nutritional Status and Playing Activities to Athletic Potency among the Children of the Women Tea-Pickers’ at the Tea Plantation of Malabar and Purbasari, PTPN VIII Bandung. Under the Supervision of FAISAL ANWAR, and EUIS SUNARTI.
The human body obtains nutrients for an optimum level of physical growth, brain development, working capacity and health. The objective of the study was to examine the effect of food consumption, health status, haemoglobin (Hb) status in the blood, nutritional status (BW/BH), and playing activities on the athletic potency among the children of 48-72 months old in the Tea Plantation of Malabar and Purbasari PTPN VIII. The design of the study is of a cross-sectional type. The sampling was carried out through a census method. The data used in the study was the part of the data collected by the NHF Project entitled ‘Profile or Description of Women Tea Pickers, Socio-economics, Family Security, Food Consumption, Growth and Development of Children.’ The data processing and analysis was through the computer programs; namely, Office Exel 2003, SPSS version 13 and Nutrisurvey WHO 2005. The food consumption was measured with the method of 24-hour recall for two days. The health status was determined by examining the frequency of diarrheas and upper respiratory infections (ISPA). The blood haemoglobin (Hb) was measured by the sahli method. The measurement of nutritional status (BW/BH) used a microtoise with the accuracy level of 0.1 cm and the digital weighing scale of Camry EB 710 Tanita with the accuracy level of 0.1 kg. The athletic potency tested involved cardiovascular endurance, speed, muscle endurance and strength after being modified. The results of analysis showed that there was a significant correlation between energy consumption and athletic potency (p<0.05), but no significant relationship between protein consumption and athletic potency. There was a significant correlation between health status and athletic potency (p<0.01), but no significant correlation between the nutritional status (BW/BH) and athletic potency (p<0.05). There was a significant correlation of the status of blood haemoglobin (Hb) and playing activities to the athletic potency (p<0.05). Keywords: nutrition, hemoglobin (HB), playing activities, athletics
RINGKASAN
FAHMI ABDUL HAMID. Hubungan antara Status Gizi dan Aktivitas Bermain dengan Potensi Atlit Anak Keluarga Wanita Pemetik Teh di Kebun Malabar dan Purbasari PTPN VIII Bandung. Dibimbing oleh: FAISAL ANWAR, dan EUIS SUNARTI.
Mencapai prestasi olahraga merupakan hal yang bersifat multikausal, oleh karena
banyak faktor mempengaruhinya. Secara umum potensi atlit dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi fisik, mental dan bakat. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan alam dan peralatan. Faktor internal bergantung potensi bawaan dan fisik sejak kecil yang berhubungan langsung dengan gizi. Hal tersebut terjadi jika tubuh memeperoleh cukup zat gizi untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan yang optimal.
Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan antara konsumsi pangan, status kesehatan, status haemoglobin (Hb), status gizi (BB/TB), aktivitas bermain dengan potensi atlit usia 48-72 bulan di kebun teh Malabar dan Purbasari PTPN VIII. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Cara pengambilan contoh dengan metode sensus. Jenis data dalam penelitian adalah data primer dan sekunder. Data primer meliputi potensi atlit, konsumsi pangan, status kesehatan, status gizi, status haemoglobin (Hb) dan aktivitas bermain. Data sekunder meliputi profil desa, karakteristik keluarga dan contoh diperoleh dari data proyek NHF 2008, dengan judul penelitian” Keragaan Pemetik Teh Wanita, Sosial Ekonomi, Ketahanan Keluarga, Konsumsi Pangan, Pertumbuhan dan Perkembangan Anak”(Sunarti 2008).
Pengukuran konsumsi pangan (energi, protein, vitamin A dan Besi) dengan metode recall 24 jam selama 2 hari yang dikonversikan ke dalam nilai gizi dengan DKBM. Pengukuran status kesehatan (frekuensi sakit diare dan ISPA) dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Pengukuran status haemoglobin (Hb) dengan metode sahli. Pengukuran status gizi (BB/TB) menggunakan microtoise tingkat ketelitian 0,1 cm dan timbangan digital Camry EB 710 merek Tanita tingkat ketelitian 0,1 kg. Pengukuran potensi atlit dengan pengujian kecepatan, ketahanan otot tanggan, kekuatan otot dan ketahanan kardiovaskuler. Pengolahan dan analisis data dari hasil pengukuran menggunakan komputer program office excel 2003, SPSS versi 13 dan nutrisurvey WHO 2005.
Karakteristik keluarga contoh menunjukan prosentase terbesar ibu (37.25%) berusia antara 29 sampai 37 tahun dan prosentase terbesar bapak (47.05%) berusia antara 38 sampai 64 tahun; prosentase terbesar ibu (56.9%) dan prosentase terbesar bapak (62.74%) berpendidikan antara 6 sampai 8 tahun; dan sebagian besar suami (82%) bekerja sebagai buruh tani 82.35%. Prosentase terbesar keluarga (50.98%) berukuran sedang (anggota keluarga 5-7 jiwa), sisanya (49.1%) memiliki keluarga ukuran kecil (≤ 4 jiwa). Prosentase terbesar contoh (54.90%) berpendapatan total/bulan berkisar antara Rp.200.000 sampai Rp.699.999.
Hasil pengukuran potensi atlit menunjukkan jumlah yang setara antara contoh yang memiliki potensi atlit dengan kategori sedang dan kategori kurang (masing-masing 41.17% dan 49.01%). Prosentase terbesar contoh (45%) memiliki aktivitas bermain dengan kategori baik. Masih terdapat 25.5 % contoh yang sering mengalami sakit diare dan 45.09% mengalami frekuensi sakit ISPA 1 sampai 2 kali per bulan. Tingkat
konsumsi energi rata rata adalah 76.78 %, tingkat konsumsi rata-rata protein 51.80%, tingkat konsumsi rata-rata Vitamin A adalah 39.55% %, sedangkan tingkat konsumsi rata-rata zat besi adalah 61.63%. Sebagian besar contoh (96%) memiliki status gizi (BB/TB) normal, namun terdapat 62.74% contoh mengalami anemia. Hasil analisis menunjukan terdapat hubungan nyata (p<0,05%) antara konsumsi energi, antara status haemoglobin (Hb), dan antara aktivitas bermain dengan potensi atlit; serta hubungan sangat nyata (p<0.01) antara status kesehatan dengan potensi atlit.
Kata kunci : gizi, haemoglobin (Hb), aktivitas bermain, atlit.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DAN AKTIVITAS BERMAIN DENGAN POTENSI ATLIT ANAK KELUARGA WANITA PEMETIK TEH DI MALABAR DAN PURBASARI
PTPN VIII BANDUNG
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S.
PRAKATA
Puji syukur penulis sampaikan Kehadirat Allah Subhanahu Wata’alah, yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini. Judul penelitian ini adalah Hubungan antara Status Gizi dan
Aktivitas Bermain dengan Potensi Atlit Anak Keluarga Wanita Pemetik Teh di
Kebun Malabar dan Purbasari PTPN VIII Bandung.
Dasar pengambilan judul penelitian adalah prestasi olahranga menunjukan
penurunan yang sangat signifikan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Penelitian
ini sebagai satu strategi pencarian calon atlit perpotensi di daerah memiliki letak
geografis yang kondusif melahirkan calon atlit seperti Malabar dan Purbasari
PTPN VIII, Kabupaten Bandung Jawa Barat.
Selama mempersiapkan dan melakukan penelitian sampai akhirnya dapat
menyelesaikan tesis ini, saya mendapat banyak bimbingan dari pembimbing saya,
Bapak Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, M.S. (ketua komisi) dan Ibu Dr. Ir. Euis Sunarti,
M.S. (anggota). Kebijaksanaan, kesabaran dan ketelatenan bapak/ibu pembimbing
sangat berguna serta dapat memberikan pelajaran yang berharga. Penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S.
selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan, saran dan
koreksi demi penyempurnaan penulisan tesis ini.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan secara langsung dan tidak langsung dalam penyelesaian tesis
ini diantaranya yaitu:
1. H. Abas Ismail, Hamid Tjaba, Nur Maksut, Ati H. Rivai adalah bapak dan ibu
saya yang penuh perhatian dan kasih sayang serta doa-doanya yang tulus.
Kasih sayangmu tidak mampu dibalas akan selalu tertanam di dalam hati
sampai kapan pun.
2. Sri Sultan Ternate Bapak Drs. H. Mudaffar Sjah, SmHk, yang telah
memberikan dorongan kepada saya dalam rangka pengembangan sumberdaya
manusia di Moloku Kie Raha.
3. Bapak Drs. H. Sidik D. Sikona, M.Pd, selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Kie Raha Ternate beserta
civitas akademik yang telah memberikan dorongan kepada saya sehingga saya
dapat menyelesaikan pendidikan ini.
4. Kepala administrasi kebun teh Malabar dan Purbasari yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk melakukan penelitian, penyediaan fasilitias
dan pelayanan sejak kami berada di lokasi penelitian.
5. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua, Pengajar, dan Pegawai
Administrasi Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB,
yang telah memberi perhatian, mengajar, dan memberikan pelayanan
administrasi dan akademik kepada saya selama kuliah di IPB.
6. Bapak H. Rivai Ismail, Ade Bangkola, Udin H. Rivai, SH, Husen H. Rivai,
Arif H. Rivai, Hamid Maksut, Amir Maksut, Ridwan Muhammad, Ibu Halima
Maksut, Wudyningsih Abaiyo, SKM, beserta sumai dan istrinya yang telah
membantu meringankan beban biaya pendidikan saya.
7. Kepada kakak dan adik-adik ku tercinta, Fadli Abas beserta istrinya, Liza
Ramadani dan Fahri Kurnia Hamid, yang telah memberikan kesempatan
kepada saya untuk melanjutkan pendidikan.
8. Teman-teman di Wisma Edelweis: Bapak Mardin SP, Laode Samsul, SE,
Ahmad Mansur, SP, Sanihu, SP, yang telah memberikan masukan lewat
diskusi sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud.
9. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Maluku Utara, yang telah
memberikan dorongan dan masukan.
10. Teman-teman di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga:
Ibu Nur Rahmi Amma, S.KM, Cica Yulia, S.Pd, Ibu Sri Darningsih, S.Pd,
Merynda Indriyani Syafutri, S.TP, Febrina Sulistyawati, S.TP, Rusman
Efendi, S.KM, Guspri Devi Artanti, S.Pd, Sri Catur lestari, SP, Nunung Cipta
Dainy, S.P, Nur Riska Tadjoedin, S.Pd, Mba Wiwik Widyawati, Nita
Yulianis, S.P, Arfiati, S.P, dan teman-teman lain yang tidak bisa sebutkan satu
persatu.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah mewarnai
hidup saya.
Mudah-mudahan karya tulis ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2008
Fahmi Abdul Hamid I051060061
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ternate pada tanggal 20 Pebruari 1983, dari pasangan
Bapak Hi. Abas Ismain dan ibu Nur Maksut. Penulis merupakan anak kedua dari
dua bersaudara. Penulis memasuki Sekolah Dasar Negeri Loto Tahun 1989 dan
lulus pada Tahun 1995. Penulis melanjutkan studi di Sekolah Menengah Pertama
Negeri (SMPN) 2 Ternate dan lulus pada Tahun 1998.
Penulis melanjutkan studi di Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Kota Ternate dan
lulus pada Tahun 2001. Penulis melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Masyarakat (STIK) Tamalatea Makassar, Jurusan Adminstrasi Kebijakan Kesehatan
dan lulus pada Tahun 2005, dengan gelar Sarjana Kesehatan masyarakat (SKM).
Penulis melanjutkan studi Program Magister Sains (S2) pada Tahun 2006 di
Program Studi Pengelolaan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK)
pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL............................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................... 1 Rumusan Masalah ...................................................................................... 3 Hipotesis Penelitian.................................................................................... 4 Tujuan ........................................................................................................ 4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA Potensi atlit................................................................................................. 6 Konsumsi Pangan....................................................................................... 12 Diare........................................................................................................... 13 Infeksi ISPA............................................................................................... 15 Status Gizi .................................................................................................. 16 Status Anemia ............................................................................................ 19 Aktivitas Bermain ...................................................................................... 21 Karakteristik keluarga ................................................................................ 22
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................ 24
METODE PENELITIAN Desain Penelitan......................................................................................... 26 Tempat dan Waktu ..................................................................................... 26 Populasi dan Contoh .................................................................................. 26 Jenis dan Cara Pengumpulan Data............................................................. 27 Pengolahan dan Analisis Data.................................................................... 28 Definisi Operasional .................................................................................. 31
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadan Umum Lokasi Penelitian .............................................................. 33 Fasilitas Sosial dan Kesehatan ................................................................... 34 Karakteristik Keluarga Contoh .................................................................. 36 Potensi Atlit Contoh................................................................................... 42 Aktivitas Bermain Contoh.......................................................................... 51 Status Kesehatan Contoh ........................................................................... 54 Konsumsi Pangan contoh........................................................................... 56 Status Haemoglobin (Hb) Contoh............................................................. 59 Status Gizi Contoh ..................................................................................... 60 Hubungan Konsumsi Pangan dengan Potensi Atlit ................................... 64 Hubungan Status Kesehatan dengan Potensi Atlit Contoh. .............. 66 Hubungan Status Gizi (BB/TB) dengan Potensi Atlit Contoh.................. 69 Hubungan Status Haemoglobin (Hb) dengan Potensi Atlit Contoh........... 70
xi
Hubungan Aktivitas Bermain dengan Potensi Atlit contoh ....................... 72
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ................................................................................................... 75 Saran .......................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 77
LAMPIRAN..................................................................................................... 82
xii
DAFTAR TABEL
No. Halaman 1 Standar pengukuran ketahan kadiovaskuler................................................. 9 2 Standar pengukuran kecepatan gerakan tubuh............................................. 9 3 Standar pengukuran ketahan otot lengan dan bahu...................................... 9 4 Standar pengukuran ketahan dan kekuatan otot perut.................................. 10 5 Standar pengukuran tenaga eksplosif ........................................................... 10 6 Kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit untuk batas anemia
pada populasi................................................................................................ 20 7 Jenis, cara dan alat pengumpulan data ......................................................... 28 8 Satus kesehatan anak satu bulan terakhir . ................................................... 29
9 Status gizi contoh berdasarkan BB/TB. ....................................................... 29 10 Aktivitas bermain contoh ........................................................................... 30 11 Ukuran standar dan modifikasi dalam pengukuran potensi atlit contoh ... 31 12 Standar penilaian potensi atlit .................................................................... 31 13 Sebaran fasilitas pendidikan di Desa Banjarsari dan Wanasuka................. 34 14 Sebaran fasilitas kesehatan di Desa Banjarsari dan Wanasuka................... 35 15 Sebaran tempat penitipan anak (TPA) dan pengasuh. ................................ 36 16 Sebaran ibu dan bapak berdasarkan umur............................................... 37 17 Ibu dan bapak berdasarkan tingka pendidikan ..................................... 37 18 Sebaran ibu dan bapak berdasarkan lama mengikuti pendidikan formal. ......................................................................................................... 38 19 Sebaran bapak berdasarkan jenis pekerjaan................................................ 38 20 Sebaran anggota keluarga berdasarkan jumlah ........................................ 39 21 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar pendapatan total
keluarg/bulan ............................................................................................. 40
xiii
22 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan total /kapita/bulan ..... 40
23 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategorik miskin dan tidak miskin........................................................................................................ 41
24 Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin ............................... 42 25 Sebaran contoh berdasarkan pengujian lari cepat 100 meter .................... 42 26 Sebaran contoh berdasarkan pengujian gantung siku tekuk ..................... 44 27 Sebaran contoh berdasarkan pengujian sit-up .......................................... 45
28 Sebaran contoh berdasarkan pengujian lompat tegak ............................... 46 29 Sebaran contoh berdasarkan tes lari 300 meter......................................... 47
30 Sebaran contoh berdasarkan lima ukuran dan potensi atlit ........................ 49 31 Sebaran contoh berdasarkan potensi atlit dan jenis kelamin....................... 51
32 Sebaran contoh berdasarkan jenis permainan tradisional .......................... 52 33 Sebaran contoh berdasarkan akitivitas bermain . ...................................... 54
34 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas bermain dan jenis kelamin............. 54 35 sebaran contoh berdasarkan frekuensi diare dan ISPA ........................... 55 36 Sebaran tempat pengobatan bila sakit ........................................................ 56
37 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi zat gizi rata-rata
dan rasio kecukupan................................................................................... 56 38 Sebaran contoh berdasarkan status haemoglobin(Hb) ............................... 59
39 Sebaran contoh berdasarkan hemoglobin (Hb) dan jenis kelamin............. 60 40 sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/U ........................................... 61 41 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (BB/U) dan jenis kelamin. ........... 61 42 sebaran contoh berdasarkan status gizi TB/U ........................................... 62
43 Sebaran contoh berdasarkan status gizi TB/U dan jenis kelamin ............ 62 44 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/TB......................................... 63
xiv
45 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/TB dan jenis kelamin............ 63
46 Hubungan konsumsi pangan dengan potensi atlit contoh 48-72 ............ 64 47 Hubungan status kesehatan, status gizi, aktivitas bermain dengan
potensi atlit contoh 48-72 di kebun teh Malabar dan Purbasari............... 66
xv
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman 1 Gambar kerangka kosep penelitian ............................................................... 25 2 Gambar kerangka tehnik pengambilan contoh.............................................. 27
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman 1 Hasil pengukuran potensi atlit contoh........................................................... 82 2 Konsumsi rata-rata zat gizi dan rasio kecukupan contoh ............................ 83 3 Status biokimia (HB) dan status gizi (BB/TB) ............................................ 84 4 Hasil analisis hubungan korelasi (bivariate)................................................. 85 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dengan lima pengujian potensi
atlit mengunakan analisis cross-tab .............................................................. 86 6 Hasil analisis antara frekuensi diare dan ispa, status gizi, status biokimia, aktivitas bermain dan potensi atlit anak 48-72 bulan
menggunakan cross-tab. ............................................................................... 87 7 Sebaran hasil pengukuran gabungan potensi atlit kategori baik ................... 88
xvii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tertinggalnya prestasi olahraga nasional dengan negara-negara Asia lainnya
merupakan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Percepatan (acceleration)
prestasi olahraga kita lebih lambat, dibandingkan Cina, Jepang, Korea, Thailand
bahkan Vietnam. Catatan prestasi Indonesia secara mengesankan hanya terjadi
pada Asian Games ke-IV Tahun 1962 di Jakarta. Ketika itu, Indonesia berada di
peringkat raner up, satu peringkat dibawa Jepang dengan perolehan 11 medali
emas. Setelah itu perlahan peringkat kian menurun sampai saat ini. Prestasi
Indonesia di kejuaraan SEA Games Filipina Tahun 2005, Indonesia berada di
peringkat 5 dari 11 negara dan SEA Games 2007 di Thailand, Indonesia berada di
peringkat 4 dari 12 negara. Gambaran ini menunjukan prestasi semakin menurun
di seluruh cabang olahraga. Untuk mengembalikan prestasi yang hilang tersebut,
dilakukan secara menyeluruh, oleh karena faktor yang berpengaruh terhadap
prestasi olahraga bersifat multikausal sala satunya adalah faktor gizi.
Mencapai prestasi olahraga harus dilakukan secara multidimensi, oleh
karena prestasi dipengaruhi banyak faktor. Tangkudung (2007) mengemukakan
faktor yang mempengaruhi potensi atlit terdiri dari dua faktor. Faktor internal
meliputi fisik, mental dan bakat. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan
alam dan peralatan. Faktor internal sesungguhnya bersumber dari kualitas calon
atlit itu sendiri, dimana calon atlit berkualitas memiliki potensi bawaan dan fisik
sejak kecil sesuai tuntutan cabang olahraga yang menunjang mencapai prestasi
misalnya bola basket, voli, atletik yang mengutamakan ukuran antropometri.
Dasar mencapai prestasi olahraga yang harus dimiliki seseorang calon atlit
berkualitas yaitu ukuran antropometri dan kerja fisik maksimal yang berhubungan
dengan kesegaran jasmani. Hasil penelitan Kartini et al (1998) tentang kesegaran
jasmani anak SD usia 8-9 tahun di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah,
memiliki tingkat kesegaran jasmani rendah kategori kurang sampai sangat kurang
adalah 34.7% dan gizi kurang 26.10%. Hasil penelitian tersebut dapat
2
diasumsikan, sebagian besar anak-anak memiliki potensi kesegaran jasmani dan
status gizi indeks BB/TB baik.
Tubuh memperoleh cukup zat gizi digunakan secara efisien untuk
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan yang
optimal (Almatsier 2005). Gerakan jasmani manusia juga tergantung
tersediaannya zat gizi, oleh karena bentuk kerja fisik yang dilakukan sehari-hari
pada dasarnya adalah perubahan (tranformasi) tenaga kimia yang mungkin terjadi,
bila faktor pendukung tersedia secara memadai (Depkes 1993).
Almatsier (2005) mengemukakan, makanan sehari-hari yang dipilih dengan
baik akan memberikan zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh.
Sebaliknya, bila makan tidak dipilih dengan baik sehingga tidak memadai jumlah
dan mutunya, maka tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial
tertentu yang berdampak terhadap kesehatan. Pendekatan konsep Unicef Tahun
1998 dikutip dalam (WKNPG VIII 2004), faktor penyebab langsung yang
berpengaruh terhadap status gizi disebabkan oleh pengaruh asupan gizi dan
penyakit infeksi yang dialami anak. Meskipun anak memperoleh asupan gizi yang
baik namun sering mengalami diare dan ISPA, akan mengalami kekurangan gizi.
Penyakit infeksi pada anak, memiliki hubungan postif dengan status gizi, yang
berarti jika status gizi baik maka, peluang terkena penyakit infeksi akan semakin
rendah (Masithah et al 2005). Kurang gizi yang tinggi, dapat menyebabkan
kondisi kehidupan tidak sehat, status kesehatan memburuk akan meningkatkan
angka kematian bayi maupun anak prasekolah, terhambatnya pertumbuhan fisik
dan penyakit infeksi ( Izzaity 2005).
Bedasarkan data Ditjen PPM&PL 2004, terdapat kasus ISPA pada balita
diseluruh Indonesia sebesar 626.611 kasus yang merupakan penyebab utama
kematian balita. Sedangkan penyakit diare berada pada urutan ke dua dengan
jumlah kasus diare 596.050 tahun 2004. Data tersebut menunjukan kasus diare
mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun penurunan
tersebut tidak dapat kita sebutkan insiden diare menurun, tetapi cakupan laporan
pada tahun 2004 juga menurun (Profil Depkes. RI 2004).
Tuntutan hidup makin berat akibat desakan faktor ekonomi akan
mempengaruhi akses bahan pangan dan biaya kesehatan yang berdampak terhadap
3
masalah gizi anak. Masalah gizi yang ditimbulkan mengancam generasi penerus
bangsa secara fisik, mental maupun spiritual. Ancaman ini akan melahirkan
generasi Indonesia yang tidak berkualitas dari segi sumberdaya manusia.
Sedangkan setiap anak memiliki keistimewaan dan potensi yang berbeda-beda
pada setiap individu yang menjadi dasar bagi masa depannya. Keistimewaan yang
dimiliki secara alamiah sejak lahir dan didukung oleh lingkungan. Terjadi
kecenderungan, anak yang berada di daerah ketinggian mempunyai daya tahan
tubuh baik dibandingkan anak di dataran rendah. Sistem fisiologis yang
menyebabkan tubuh beradaptasi dengan lingkungan dengan kadar oksigen rendah
sehingga penggunaan oksigen digunakan secara efektif (Tangkudung 2006).
Daerah Pangalengan memiliki iklim yang mendukung melahirkan calon atlit
yang berpotensi, oleh karena letak geografis berada di dataran tinggi yang sangat
kondusif. Dengan demikian, anak-anak yang berada di kebun the Malabar dan
Purbasari PTPN VIII perlu dilakukan identifikasikan potensi atlit sejak dini,
sebagai satu strategi dalam pembinaan atlit usia dini, untuk melahirkan calon atlit
berpotensi yang mengembalikan prestasi olahraga Indonesia di masa akan datang.
Atlit Indonesia berprestasi seperti Taufik Hidayat dan Robidarwis
merupakan atlit yang lahir dan dibesarkan di daerah ketinggian. Potensi yang
dimiliki anak-anak bertempat tinggal di daerah ketinggian tersebut, perlu
dilakukan penelitian untuk mengidentifikasikan potensi atlit secara fisik, sehingga
dapat menujang keistimewaan yang dimiliki anak-anak tersebut. Potensi atlit
secara fisik, memiliki hubungan dengan konsumsi pangan, status kesehatan, status
gizi, haemoglobin (Hb) dan aktivitas bermain.
Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran pada latar belakang maka rumusan masalah
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat hubungan antara konsumsi pangan dengan potensi atlit ?
2. Apakah terdapat hubungan antara status kesehatan dengan potensi atlit ?
3. Apakah terdapat hubungan status gizi dengan potensi atlit ?
4. Apakah terdapat hubungan haemoglobin (Hb) dengan potensi atlit ?
5. Apakah terdapat hubungan aktivitas bermain dengan potensi atlit ?
4
Hipotesis Penelitian
1. Terdapat hubungan antara konsumsi pangan dengan potensi atlit.
2. Terdapat hubungan antara status kesehatan dengan potensi atlit.
3. Terdapat hubungan antara status gizi dengan potensi atlit.
4. Terdapat hubungan antara status haemoglobin (Hb) dengan potensi atlit.
5. Terdapat hubungan antara aktivitas bermain dengan potensi atlit.
Tujuan
Tujuan umum
Tujuan umum dalam penelitian adalah untuk melihat hubungan antara
konsumsi pangan, status kesehatan, status gizi, haemoglobin (Hb), aktivitas
bermain dengan potensi atlit usia 48-72 bulan anak pemetik teh di Malabar dan
Purbasari PTPN VIII Bandung.
Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi karakterisitik keluarga yaitu besar keluarga, pendidikan,
pekerjaan, pendapatan, konsumsi pangan contoh, status kesehatan, status
gizi, haemoglobin (Hb), aktivitas bermain dan potensi atlit.
2. Menganalisis hubungan antara konsumsi pangan dengan potensi atlit usia
48-72 bulan.
3. Menganalisis hubungan antara status kesehatan dengan potensi atlit usia
48-72 bulan.
4. Menganalisis hubungan antara status gizi dengan potensi atlit usia
48-72 bulan.
5. Menganalisis hubungan antara haemoglobin (Hb) dengan potensi atlit usia
48-72 bulan.
6. Menganalisis hubungan antara aktivitas bermain dengan potensi atlit usia
48-72 bulan.
5
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi dan masukan bagi
Pemerintah Kabupaten Bandung serta perusahan PTPN VIII sebagai bahan
pertimbangan pembinaan atlit usia dini, pada anak keluarga wanita pemetik teh
dalam rangka pengembangan prestasi bidang olahraga baik tingkat daerah,
nasional maupun internasional. Disamping itu sebagai bahan masukan bagi
penelitian berikutnya yang mengkaji gizi olahraga.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Atlit
Perkembangan fisiologis berkaitan dengan perkembangan fisik yang
mencakup, perkembangan otak dan susunan syaraf pusat. Sejalan dengan itu,
susunan syaraf pusat turut pula berkembang sehingga membuat anak mampu
mengfungsikan susunan syaraf pusat dalam melakukan berbagai kegiatan
perkembangannya. Perkembangan fisiologis menyangkut gerakan fisik yang
berkaitan gerakan motorik kasar seperti berdiri, berlari, melompat, mendorong
dan sebagainya. Perkembangan fisiologis menyangkut perkembangan kelenturan
koordinasi gerakan motorik dan visual, seperti mengkoordinasikan gerakkan mata
dan tangan pada waktu membaca atau menulis, melakukan berbagai kegiatan
akademik lainnya, serta pertambahan tinggi dan berat badan berkembang
berdasarkan siklus pertumbuhan dan perkembangan ( Papalia dan Olds 1995).
Pudjiadi (2005) mengemukakan, faktor herditas dan faktor lingkungan
menentukan pertumbuhan anak. Faktor herditas menetapkan berapa panjang
tulang akan tumbuh dan bentuk fisiknya. Faktor lingkungan diet dan kesehatan
merupakan faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan normal.
Pengembangan potensi atlit sejak dini akan lebih menguntungkan, oleh
karena: (1) Organ tubuh anak seperti jantung, paru-paru mengenai kemampuan
aerobik dan anaerobiknya sudah berkembang sejak dini; (2) Kelenturan dan
kekuatan ototnya lebih mudah dikembangkan sehingga kemampuan otot akan
menjadi lebih baik; (3) Indra dan syaraf sudah mulai dilatih dan dipacu sejak dini
sehingga lebih peka baik terhadap penglihatan, perasaan, rangsangan maupun
gerakan ; (4) Pertumbuhan dan perkembangan akan berjalan secara harmonis
(Tangkudung 2006). Kunst dan Florescu (1971) dikutip dalam (Anonim 2007)
mengemukakan, identifikasi potensi atlit usia dini secara umum dilakukan dengan
mempertimbangkan tiga hal mendasar yaitu: (1) Motor capacity; (2) Psycological
capacity dan (3) Biometric qualities.
Pusat pengembangan kualitas jasmani (2000), menyatakan bahwa seseorang
yang mempunyai potensi dasar untuk menjadi calon atlit harus memiliki
komponen-komponen yaitu:
7
a. Daya tahan kardiovaskuler.
Daya tahan kardiovaskuler adalah kemampuan jantung dan paru-paru untuk
menunjang system kerja otot. Kemampuan untuk terus-menerus dengan tetap
menjalani kerja fisik mencakup sejumlah besar otot dalam waktu tertentu
(Depkes 1987). Kemampuan sistem peredaran darah dan system pernafasan
untuk menyesuaikan diri terhadap efek seluruh beban kerja fisik. Daya tahan
jantung merupakan faktor utama dalam kesegaran jasmani (Pusegjas 2000).
Peradaran darah dapat mengsuplai oksigen yang cukup pada otot-otot
menjalankan fungsinya. Semakin baik ketahanan jantung dan peredaran darah,
otot-otot semakin dapat bertahan lebih lama menjalankan fungsinya. Untuk
memperbaiki ketahanan jantung dan peredaran darah, diperlukan latihan dan
olahraga secara terus-menerus dan teratur paling sedikit 20-30 menit
(Mangoenprasodjo 2005).
b. Daya tahan otot.
Ketahanan otot adalah kemampuan otot melakukan suatu pekerjaan yang
berulang-ulang atau berkontraksi pada waktu yang lama. Untuk memperbaiki
ketahanan otot, diperlukan latihan-latihan beban, dengan beban yang ringan
tetapi dilakukan terus-menerus (Mangoenprasodjo 2005).
c. Kekuatan otot.
Kekuatan otot adalah kemampuan otot yang bekerja berulang-ulang dengan
beban submaksimal atau kemampuan untuk melaksanakan kekuatan
dan mempertahankannya semaksimal mungkin. Latihan kekuatan akan
menghasilkan pembesaran pada otot dan peningkatan kekuatan. Kekuatan ini,
dapat diukur dengan melihat beban maksimal yang dapat diangkat dengan
gerakan khusus (Depkes 1994).
d. Kelenturan.
Kelenturan adalah kemampuan menggerakan sendi , menekuk, merengang dan
memutar dengan kata lain kelenturan adalah keluasaan gerak tubuh pada
persendian sangat dipengaruhi oleh elastisitas otot, tendon dan ligament
sekitar sendi dan sendi itu sendiri. Untuk memperbaiki kelenturan dan
memeliharnya maka diperlukan megerakan persendian pada daerah
gerakannya yang maksimal secara teratur (Mangoenprasodjo 2005).
8
e. Kecepatan gerak.
Kecepatan gerak adalah kemampuan atau laju gerakan yang dapat berlaku
untuk tubuh secara keseluruhan atau bagian tubuh tertentu
(Moeloe (1984) dikutip dalam (syukur 2004).
f. Kelicahan.
Kelincahan adalah kemampuan gabungan secara cepat arah tubuh atau bagian
tubuh tanpa gangguan keseimbangan, diperlukan tidak hanya dalam olahraga
tetapi jugas dalam kerja dan situasi reaksi. Kelincahan tergantung pada faktor
kekuatan, kecepatan, waktu reaksi keseimbangan dan koordinasi faktor-faktor
tersebut (Moeloe (1984) dikutip dalam (syukur 2004).
g. Keseimbangan.
Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan sikap tubuh yang
tepat pada saat melakukan gerakan. Bergantung pada kemampuan intergirtas
antara kerja indra penglihatan, pendengaran dan respon pada otot, yang
diperlukan tidak hanya pada olahraga tetapi juga pada kehidupan sehari-hari
(Moeloe (1984) dikutip dalam (syukur 2004).
h. Kecepatan reaksi.
Kecepatan reaksi adalah waktu tersingkat yang dibutuhkan untuk memberikan
reaksi setelah menerima rangsangan. Hal ini berhubungan dengan waktu
reflek, waktu gerakan dan waktu respon (Moeloe (1984) dikutip dalam
(syukur 2004).
i. Koordinasi.
Koordinasi menyatakan hubungan harmonis sebagai faktor yang terjadi pada
suatu gerakan ( Depkes, 1994). Pada gerakan yang tidak terkoordinasi baik,
akan mengakibatkan kerugian atau pengeluaran tenaga yang berlebihan,
menggangu keseimbangan, bahkan memungkinkan terjadinya cedera,
(Moeloe Moeloe (1984) dikutip dalam (syukur 2004).
Pusat pengembangan kualitas jasmani (2005), dalam menilai potensi
kesegaran jasmani pada anak terdapat lima tahap pengukuran yang dilakukan
memiliki standar baku terdiri dari:
9
a. Lari jarak menengah 300 meter merupakan kegiatan yang bertujuan dalam
menilai ketahanan kardiovaskuler. Standar yang digunakan dalam penilaian ini
disajikan pada tabel 1.
Tabel 1 Standar pengukuran ketahanan kardiovaskuler (menit/detik).
6-9 tahun Putera Satuan Putri Satuan
Skor
s.d.-5.5 5.6-6.1 6.2-6.9 7.0-8.6 8.7-dst.
Menit/detik Menit/detik Menit/detik Menit/detik Menit/detik
S.d.-5.8 5.9-6.6 6.7-7.8 7.9-9.2 9.3-dst.
Menit/detik Menit/detik Menit/detik Menit/detik Menit/detik
5 4 3 2 1
Sumber: Pusekjas (2005)
b. Lari cepat 100 meter merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menilai
kecepatan gerak tubuh. Standar yang digunakan disajikan pada tabel 2.
Tabel 2 Standar pengukuran kecepatan gerakan tubuh (menit/detik). 6-9 tahun
Putera Satuan Putri Satuan
Skor s.d.-2.39 2.40-3.00 3.01-3.45 3.46-4.48 4.49- dst.
Menit/detik Menit/detik Menit/detik Menit/detik Menit/detik
s.d.-2.53 2.54-3.23 3.24-4.08 4.09-5.03 5.04-dst.
Menit/detik Menit/detik Menit/detik Menit/detik Menit/detik
5 4 3 2 1
Sumber: Pusekjas (2005)
c. Menggantung dengan siku tekuk merupakan gerakan untuk menilai kekuatan
dan ketahanan otot lengan dan otot bahu. Gantung siku tekuk untuk semua
kelompok umur kecuali kelompok umur 13-15 tahun dan 16-19 tahun putera.
Gantung angkat tubuh khusus bagi putera kelompok umur 13-15 tahun dan
16-19 tahun pencatatan dilakukan selama 60 detik. Standari yang digunakan
disajikan pada tabel 3.
Tabel 3 Standar pengukuran ketahanan otot lengan dan bahu (menit/detik) 6-9 tahun
Putera Satuan Putri Satuan
Skor 40>
22-39 9-21 3-8 0-2
Detik Detik Detik Detik Detik
33> 18-32 9-17 3-8 0-2
Detik Detik Detik Detik Detik
5 4 3 2 1
Sumber: Pusekjas (2005)
10
d. Baring duduk atau sit-up merupakan gerakan untuk mengukur kekuatan dan
ketahanan otot perut. Waktu yang digunakan dalam penilaian ini adalah
kelompok umur 6-9 tahun 60 detik seperti tabel 4.
Tabel 4 Standar pengukuran ketahanan dan kekuatan otot perut (60 detik) 6-9 tahun
Putera Satuan Putri Satuan Skor
17> 13-16 7-12 2-6 0-1
Kali Kali Kali Kali Kali
15> 11-14 4-10 2-3 0-1
Kali Kali Kali Kali Kali
5 4 3 2 1
Sumber: Pusekjas (2005)
e. Loncat tegak merupakan gerakan untuk mengukur tenaga eksplosif. Hasil
Selisih rahian loncatan tertinggi dikurangi rahian tegak (sikap awal)
merupakan cara dalam menilai gerakan ini. Standar yang digunakan disajikan
pada tabel 5.
Tabel 5 Standar pengukuran tenaga eksplosif (cm). 6-9 tahun
Putera Satuan Putri Satuan
Skor 40>
22-39 9-21 3-8 0-2
cm cm cm cm cm
33> 18-32 9-17 3-8 0-2
Cm cm cm cm Cm
5 4 3 2 1
Sumber: Pusekjas (2005)
Kemampuan yang dihubungkan dengan sikap dan bentuk badan seseorang
yang digunakan dalam mengidentifikasi potensi dapat ditempuh dengan beberapa
langkah diantaranya: (1) Melakukan analisis lengkap dari fisik dan mental sesuai
dengan karakteristik cabang olahraga; (2) Melakukan seleksi pemanduan khusus
dengan menggunakan instrumen dari cabang olahraga yang bersangkutan; (3)
Melakukan seleksi berdasarkan karakteristik antropometrik dan kemampuan fisik,
serta disesuaikan dengan tahapan perkembangan fisik; (4) Mengevaluasi
berdasarkan data yang komprehensif dengan memperhatikan setiap anak terhadap
olahraga di dalam dan luar sekolah (Anonim, b 2007). Prestasi yang optimal
membutuhkan kriteria calon atlit yang optimal pula. Objektivitas dan kehandalan
11
kriteria seleksi telah menjadi perhatian beberapa ahli seperti; Radut, (1967),
Mazilu Focseneanu (1976) dan Dragan (1979), dikutip dalam (Anonim 2007)
Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sehat.
Sehat fisik merupakan hal yang paling penting bagi seorang yang
berpartisipasi dalam pelatihan, maka sebelum diterima dalam klub tertentu
setiap pemula harus mendapatkan pemeriksaan medis yang seksama. Dokter
dan pelatih harus sepakat untuk memilih individu yang paling sehat. Selama
pemeriksaan spesialis medis dan pengetesan harus mengetahui apakah anak
tersebut mempunyai cacat fisik. Untuk cabang olahraga dinamik
(hockey, bolabasket, track and field, swimming, tinju). Seseorang yang
memiliki cacat tubuh harus tidak dipilih, tetapi untuk cabang yang statis
seperti menembak, panahan, bowling kriterianya yang digunakan
lebih longgar.
b. Kualitas biometrik.
Kapasitas antropometri seseorang merupakan hal penting pada beberapa
cabang olahraga, maka dari itu menjadi pertimbangan utama pada kriteria
identifikasi potensi atlit. Tinggi dan berat atau panjang dari anggota badan
seringkali berperan penting dalam cabang olahraga tertentu dan tahap awal
identifikasi bakat pada cabang tertentu dilakukan pada umur 3-6 tahun.
c. Hereditas.
Fenomena biologis yang komplek seringkali memainkan peranan penting
dalam latihan. Anak-anak cenderung mewariskan karakteristik biologis dan
psikologis orang tuanya meskipun dengan pendidikan, pelatihan dan
pengkondisian sosial hal-hal yang diwarisi tersebut dapat sedikit diubah.
Radut (1976) mengemukakan, faktor keturunan mempunyai peran yang
penting, namun tidak mutlak dalam latihan. Klissouras et al (1973)
mengemukakan, kemampuan fisiologis akan sangat dibatasi oleh potensi
genetik calon atlet tersebut. Sistem dan fungsi ditentukan secara genetik,
terutama sistem asam laktat sampai 81.4%, heart rate, 85.9% dan VO2max
93.4%. Sedangkan proporsi antara serat otot merah dan putih pada manusia
12
sudah dibentuk secara genetik sebab fungsi metabolic dari kedua otot ini
berbeda.
d. Kemampuan spesialis.
Kemampuan spesialis atau pengetahuan dari seorang pelatih pada identifikasi
bakat serta pengujian, juga menentukan seleksi kandidat. Semakin banyak dan
rumit metode ilmiah digunakan untuk identifikasi bakat, semakin tinggi pula
kemungkinan menemukan bakat yang superior untuk cabang tertentu.
Konsumsi Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Oleh karena itu, pangan harus tetap
tersedia setiap saat dan tepat dengan mutu yang memadai. Pangan dengan nilai
gizi yang cukup seimbang, merupakan pilihan terbaik untuk konsumsi guna
mencapai status gizi dan kesehatan yang optimal.
Bagi tubuh, nilai suatu bahan pangan ditentukan oleh isi atau zat gizi apa
yang dikandungnya. Zat gizi yang terkandung dalam pangan digunakan sebagai
sumber energi oleh tubuh, untuk tumbuh dan memperbaiki jaringan-jaringan
tubuh yang telah rusak serta mengatur proses dalam tubuh. Maka dari itu, nilai
gizi pangan menyangkut ketersediaannya secara biologis atau dapat tidaknya zat
gizi tersebut digunakan tubuh. Pangan dengan kandungan gizi yang lengkap,
dalam jumlah yang proporsional mempunyai potensi besar untuk menjadi pangan
yang bergizi tinggi.
Tinggi rendahnya nilai gizi satu pangan merupakan kriteria yang dapat
digunakan untuk menilai mutu pangan tersebut. Selain nilai gizi, mutu pangan
juga ditentukan oleh keadaan fisik, mikrobiologis serta penerimaan secara indrawi
atau organoleptik (Rimbawan 1999).Konsumsi pangan adalah jumlah pangan
tungal atau beragam yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan
tujuan tertentu. Tujuan konsumsi pangan adalah untuk memperoleh zat gizi yang
diperlukan tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989).
Kebiasaan dalam mengkonsumsi pangan yang baik, akan menyebabkan
status gizi baik dan keadaan ini dapat terlaksana bila tercipta keseimbangan antara
13
banyaknya zat gizi dikonsumsi dengan banyak jenis zat gizi yang dibutuhkan
tubuh (Suhardjo 1990).
Hardiansyah dan Briawan (1992) mengemukakan, konsumsi pangan pada
tingkat individu atau rumah tangga dapat diterjemahkan ke dalam bentuk energi,
protein, lemak, vitamin dan mineral per orang per hari. Rasio energi dan gizi
lainnya terhadap kecukupan yang dianjurkan menggambarkan tingkat individu
atau rumah tangga, agar dapat hidup sehat dan sekaligus mempertahankan
kesehatan.
Manusia memerlukan zat gizi diperoleh melalui konsumsi pangan yang
harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan, pemeliharaan tubuh
dan pertumbuhan serta aktivitas sehari-hari. Untuk mencapai gizi yang optimal
pada anak usia diatas >3 tahun, baik kecukupan energi, protein, vitamin dan
mineral diharapakan pola makan anak selalu mengacu pada makan seimbang guna
menjamin berlangsungnya tumbuh kembang anak secara optimal (Moehyi 2008).
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang
dikonsumsi oleh seseorang atau kelompok pada waktu tertentu yang dipengaruhi
oleh faktor ekonomi dan harga serta sosial budaya ( Mudanijah et al 2006).
Supariyasa (2002) mengemukakan, tujuan dalam studi konsumsi pangan
adalah untuk mengetahu konsumsi pangan yang dimakan seseorang atau individu
yang dapat dipelajari dengan 5 metode yaitu: (1) Metode recall 24 jam; (2)
Metode esitiaited food record; (3) Motede penimbangan makan (food wighing);
(4) Metode dietary histori; (5) Metode frekuensi makanan (food frequency).
Status Kesehatan
Diare
Diare adalah buang air besar yang tidak normal, atau bentuk tinja yang encer
dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya atau lebih dari tiga kali pada anak
(Anonim c 2007). Penyebab diare terdiri dari: (1) Faktor infeksi. Infeksi saluran
pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi tersebut terdiri
dari infeksi enteral yaitu infeksi bakter (vibrio, E.ecoli, salmonella, shigella
campylo-bacter, yersinia, aeromonas dan sebagainya); Infeksi virus (Enterovirus,
14
Adenovirus, Rotavirus, dan sebagainya), dan parasit (cacing: Ascaris, Trichiuris,
Oxyuris, strongylodes; protozoa: Entamoba histolytica, Gradia lambidia, Tria-
chomonas hominis; jamur: (Candidaalbincans ); Infeksi parenteral yaitu infeksi
yang terjadi dibagian tubuh lain di luar alat pencernaan, seperti Otitis media akut
(OMA), Tonsilofaringitis, Bron-kopenumonia, Ensefalitas dan sebagainya; (2)
Faktor malabsorbsi yang terdiri dari malabsorbsi karbohidrat: disakarida
(intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intorerasiglukosa,
fruktosa dan galaktosa) terutama pada anak yang intoleransi laktosa serta
malabsorbsi lemak dan malabsorbsi protein; (3) Faktor makanan yaitu makanan
yang dimakan telah basih, beracun, alergi terhadap makanan; (4) Faktor
psikologis yaitu di sebabkan oleh rasa takut atau cemas, tapi jarang terjadi pada
anak
Mekanisme patogenesis dasar yang menyebabkan timbulnya diare pada anak
disebabkan oleh: (1) Gangguan osmotik yaitu akibat terdapatnya makanan atau
zat yang tidak dapat diserap, akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga
usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektorit ke dalam rongga usus.
Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk
mengeluarkannya sehingga menimbulkan diare; (2) Gangguan sekresi yaitu
akibat rangsangan tertentu (misalnya oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi
sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus, dan selanjutnya diare timbul
karena terdapat peningkatan isi rongga usus; (3) Gangguan mortilitas usus yaitu
terjadi hiperperstaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan yang timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun
akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan dapat menimbulkan diare pula
(Anonim 2007).
Jenis-jenis diare terdiri dari (1) Diare akut merupakan diare yang
disebabkan oleh virus yang disebut rotavirus yang ditandai dengan buang air
besar lembek/cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya biasanya 3 kali
atau lebih dalam sehari dan berlangsung kurang dari 14 hari. Diare rotavirus ini
merupakan virus usus patogen yang menduduki urutan pertama, sebagai penyebab
diare akut pada anak; (2) Diare bermasalah merupakan diare yang disebabkan
oleh infeksi virus, bakteri, parasit, intoleransi laktosa, alergi protein susu sapi.
15
Penularan terjadi secara fecal- oral, kontak dari orang ke orang atau kontak orang
dengan alat rumah tangga. Diare ini umumnya diawali dengan diare cair
kemudian pada hari kedua atau ketiga baru muncul darah maupun tanpa lendir
diikutsertakan sakit perut , panas disertai hilangnya nafsu makan dan badan terasa
lemah; (3) Diare persisten merupakan diare akut yang menetap, dimana titik
sentral patogenesis diare persisten adalah kerusakan mukosa usus. Penyebab diare
persisten sama dengan diare akut (Anonim 2007).
Infeksi ISPA
Penyakit pernafasan merupakan penyakit yang disebabkan oleh gangguan
akut fungsional dan menyebabkan gangguan kronis. Penyakit infeksi sistem
pernafasan sering menyerang anak-anak terutama usia dibawa 5 tahun. Penyakit
infeksi pernafasan akut berhubungan dengan gejala sistemik seperti anoreksia,
kelelahan dan tidak enak badan. Gejala tersebut jika dikombinasi dengan batuk
dan sesak napas akan mengakibatkan terganggunya intik makanan (Johnson Chin
dan Haponik (1999) dikutip dalam (Ingtyas 2004).
ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai dengan 14
hari. Berat dan ringannya penyakit ISPA tergantung lamanya sakit dan
tanda-tanda yang menyertainya. Penderita ISPA digolongkan ringan jika sakit
panas 2-3 hari dan ISPA sedang jika gejalanya ditambah frekuensi pernafasan
lebih dari 50 kali per menit atau panas tinggi dengan suhu tubuh >39 0C, sakit
telinga dan campak. Sedangkan ISPA berat jika ditambah gejala napas cuping
hidung, kejang, dehidrasi dan kesadaran menurun (Handayani 1997).
Kurangnya konsumsi pangan dan peningkatan proses metabolisme, dapat
menyebabkan keseimbangan nitrogen, karena proses katabolisme protein serta
gangguan fungsi kekebalan tubuh. Seseorang yang menderita ISPA juga akan
mengalami keseimbangan energi negatif.
Berbagai penelitian laboratorimum dan klinik menunjukan bahwa dampak
utama gizi kurang terhadap sistem pernafasan adalah struktur pernafasan dan daya
tahan tubuh (Johnson, Chin&Haponik (1999), dikutib dalam Ingtyas 2004).
Infeksi salauran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi yang
16
penularan melalui udara, sehingga lingkungan rumah yang buruk dan tidak
memenuhi syarat akan memudahkan terjadinya penularan penyakit infeksi
(Handayani 1997).
Status Gizi
Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok
orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan
(utilization) zat gizi (Riyadi 1995). Pertumbuhan merupakan perubahan kuantitatif
berupa perubahan ukuran dan struktur tubuh secara berurutan yang dinyatakan
dalam ukuran satuan tertentu seperti berat badan, tinggi badan dan sebagainya
(Hurlock 1995).
Caplin (2002) dikutip dalam (Desmita 2006) mengemukakan, pertumbuhan
merupakan suatu kenaikan badan dan ukuran dari bagian-bagian tubuh atau
organisme sebagai suatu keseluruhan. Aspek pertumbuhan pada anak biasanya
dinyatakan dalam status gizi, yang merupakan keadaan fisik dan kesehatan
seseorang diakibatkan oleh konsumsi makan dan zat gizi sebagai unsur penting
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Proses pertumbuhan seorang
manusia terdapat dua prinsip yaitu prinsip proxmodistal yaitu proses pertumbuhan
yang dimulai dari bagian pusat syaraf kebagian-bagian luar tubuh dan prinsip
cephallocaudal yaitu proses pertumbuhan dari organ kepala ke bagian tubuh yang
lain (Papalia & Feldeman (2004) dikutip dalam (Dariyo 2007).
Pertumbuhan yang terjadi pada seseorang tidak hanya meliputi apa yang
terlihat secara fisik, tetapi juga pada perkembangan aspek yang lain. Salah satu
faktor berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah terpenuhinya kebutuhan akan
zat gizi, namun kebutuhan zat gizi berbeda untuk tiap orang dipengaruhi oleh
umur, jenis kelamin, aktivitas fisik, ukuran tubuh, derajat pertumbuhan serta
kebutuhan energi untuk metabolisme dasar. Ukuran yang digunakan dalam
penilaian status gizi dilakukan dengan cara langsung dan tidak langsung
(Ahmad et al 2007).
Pendekatan yang digunakan dalam penilaian status gizi terdiri dari
bermacam-maca metode. Gibson (1990) mengemukakan, untuk menilai status gizi
17
terdapat pendekatan yang dapat digunakan yaitu: (1) Konsumsi makanan; (2)
Biokimia; (3) Antropometri dan (4) Klinis.
Indikator yang digunakan untuk mengukur kemajuan pertumbuhan yaitu
menggunakan berat dan tinggi badan, dilakukan secara priodik, teratur disertai
dengan pencatatan pengukuran. Pertumbuhan anak dapat dipantau dengan
menggunakan antropometri sebagai suatu pendekatan. Kumaidi (1998)
mengemukakan, jenis antropometri tinggi badan dan berat badan merupakan
pendekatan antropometri terhandal dan mudah dilakukan. Untuk membandingkan
hasil pengukuran, dapat digunakan standar baku yang dianjurkan oleh
WHO/NCHS dengan perkiraan maupun membedakan struktur tubuh proposional,
dengan mereka yang terlalu kurus atau terlalu gemuk, berdasarkan baku harvard
status gizi menurut WHO/NCHS.
Indikator Status Gizi
Indeks BB/U
Masa tubuh adalah ukuran yang sangat sensitif terhadap perubahan
mendadak diakibatkan oleh penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau
kurang konsumsi pangan. Berat badan merupakan antropometir yang sangat labil,
bila kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi kebutuhan zat gizi
terjamin, maka pertumbuhan normal berkembang mengikuti usia yang dimiliki.
Berdasarkan karakteristik berat badan yang labil maka, Indeks BB/U digunakan
untuk menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariyasa 2002).
Indikator antropometri dengan indeks BB/U memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan antropometri dengan indeks BB/U yaitu: (1) Lebih mudah
dan cepat dimengerit oleh masyarakat umum; (2) Baik untuk mengukur status
gizi kronis atau akut; (3) Berat badan dapat berflektuasi; (4) Sangat sensitif
terhadap perubahan kecil; (5) Dapat mendeteksi kegemukan. Sedangkan
kelemahan antropometri indeks BB/U yaitu: (1) Dapat menginterpertasi status gizi
yang keliru bila terdapat edema maupun asites; (2) Pada daerah pedesaan umur
sering sulit ditaksir karena pencatatan masih belum baik; (3) Memerlukan data
umur yang akurat terutama anak usia dibawah 5 tahun; (4) Sering terjadi
18
kesalahan dalam pengukuran terutama pakaian dan gerakan anak saat ditimbang;
(6) Secara sosial mengalami hambatan karena masalah sosial budaya
(Supariyasa 2002).
Indeks TB/U
Status gizi kurang diukur dengan pendekatan indeks TB/U dikategorikan
sebagai stunded, diterjemahkan sebagai ukuran tubuh pendek tidak sesuai umur.
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan selektal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Perubahan tinggi badan tidak seperti berat badan, lebih relatif
dan tidak sensitif terhadap kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Dengan
demikian Beaton & Begoa (1973) mengemukakan, indeks TB/U disamping
menggambarkan status gizi masa lampau, juga lebih erat dengan faktor status
sosial ekonomi (Supariyasa 2002).
Supariasa (2002) mengemukakan, indikator status gizi dengan indeks TB/U
memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan dari indikator menggunakan
indeks TB/U yaitu digunakan sebagai indikator dalam mengukur stauts gizi masa
lampau, murah dan mudah dibawah. Sedangkan kelemahan dari indikator status
gizi dengan indeks TB/U yaitu tinggi badan tidak cepat naik atau turun,
pengukuran relatif lebih sulit dilakukan, oleh karena anak harus berdiri tegak
sehingga memerlukan dua orang melakukannya dan ketepatan umur sulit
didapatkan pada masyarakat di pedesaan.
Indeks BB/TB
Berat badan mempunyai hubungan linier terhadap tinggi badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan seara pertumbuhan tinggi badan
dengan kecepatan tertentu. Jelliffe (1966), telah memperkenalkan indeks ini untuk
mengidentifikasi status gizi. Status gizi dengan indeks BB/TB sangat efektif
digunakan untuk mengukur status gizi saat kini (sekarang). Indeks BB/TB
memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan dari indeks BB/TB yaitu tidak
membutuhkan data umur dan dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal,
kurus). Sedangkan kelemahan dari indeks BB/TB yaitu tidak dapat
19
menggambarkan apakah anak itu pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan
tinggi badan menurut umur, oleh karena faktor umur tidak dipersoalkan.
Pengukuran relatif lebih lama dilakukan, membutukan dua orang untuk
melakukannya dan sering terjadi kesalahan dalam membaca hasil pengukuran
(Supariyasa 2002).
Status Anemia
Penilaian status gizi secara laboratorium atau biokimia digunakan untuk
mendeteksi tahap defisiensi subklinis untuk mengkonfirmasi diaknosa secara
klinis pada seseorang. Cari ini merupakan metode yang dinilai secara objektif,
oleh karena tidak melibatkan emosi dan faktor subjektif lainnya. Kekurangan zat
gizi dalam tubuh tidak terjadi secara langsung tetapi terjadi secara bertahap.
Untuk mengetahui seberapa besar kekurangan zat gizi yang dialami seseorang,
maka dilakukan dengan uji biokimia dalam cairan dan jaringan tubuh seseorang.
Metode yang digunakan dalam menilai seseorang mengalami anemia dilakukan
dengan pengukuran haemoglobin (Hb) (Gibson 2005).
Haemoglobin (Hb) adalah pigmen merah pembawa oksigen yang terdapat
dalam sel darah merah. Haemoglobin (Hb) merupakan suatu protein kaya akan zat
besi. Konsentrasi haemoglobin (Hb) normal pada manusia dewasa yaitu 14-16
g/dl darah atau rata-rata 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya
disebut ”100 persen” (Ganong 1983). Diduga terdapat kira-kira 750 gram
haemoglobin (Hb) d darah alam seluruh darah yang beredar.
Haemoglobin (Hb) sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, oleh
karena Haemoglobin (Hb) berfungsi membawa dan mengirim oksigen ke
jaringan-jaringan. Sekitar 400 juta molekul haemoglobin (Hb) berada dalam sel
darah merah yang meliputi 95% dari berat keringnya. Sedangkan sintesis
haemoglobin (Hb) dan proses destruksinya seimbang dalam kondisi fisiologis dan
terdapat gangguan dapat menimbulkan gangguan hematologis yang nyata (Tortora
dan Anagnostakos 1990).
Haemoglobin (Hb) mengandung senyawa protein berisi globin dan heme.
Setiap gram haemoglobin (Hb) berisi 3.34 mg zat besi dan membawa 1.34 ml
20
oksigen. Setiap molekul haemoglobin (Hb) berisi 4 unit heme dan masing-masing
bergabung dengan satu rangkaian globin yang mempunyai residu asam amino.
Haemoglobin (Hb) dilepaskan dalam bentuk bebas bila terjadi hemolisis
sedangkan batas antara haemoglobin (Hb) dan stroma sel darah merah mengalami
kerobekan yang disebabkan oleh agen penyebab hemolisis. Haemoglobin (Hb)
yang bebas dalam plasma amat cepat terbuang, dengan oksidasi menjadi bentuk
yang tak berguna dan hilang melalui ginja. Haemoglobin (Hb) dilepaskan dari sel
darah merah, dimusnahkan oleh ”macrophage”, kemudian dikatabolisme secara
bertahap. Sel darah merah hidup sekitar 120 hari. Sel darah merah mengalami
kerusakan, maka bagian porfirin haemoglobin (Hb) dipecahkan dan membentuk
pigmen empedu billiverdin dan billirubin, yang dibawa ke hati untuk disekresi ke
dalam usus melalui empedu (Tortora dan Anagnostakos 1990).
Anak-anak yang berumur 2-4 tahun mempunyai kadar haemoglobin (Hb)
rata-rata 12.5 -15.5 g/dl, dengan batas terendah 11.0 g/dl. Sedangkan pada umur
4-8 tahun mempunyai nilai rata-rata haemoglobin (Hb) 13.0 g/dl dengan batas
terendah 11.5 g/dl. Nilai-nilai ini merupakan standar normal bagi anak-anak dari
keluarga berkulit putih (caucasian family). Nilai haemoglobin (Hb) untuk bangsa
Asia dan Negro 0.5 g/dl lebih rendah nilai haemoglobin (Hb) untuk semua umur
kecuali pada masa prenatal. Perbedaan ini disebabkan oleh, adanya defisiensi zat
besi maupun dan perbedaan status sosial ekonomi (Piliang dan Djojosoebagio
2006). Kadar haemoglobin (Hb) yang dipergunakan untuk menentukan anemia
adalah dibawa batas yang ditetapkan WHO (2001). Batas tersebut adalah 110 g/L
untuk wanita hamil dan anak usia 6 bulan sampai 5 tahun 120 g/L, untuk wanita
tidak hamil dan 130 g/L untuk pria yang berusia di atas 15 tahun. Batas kadar
haemoglobin (Hb) dan hemotokrit disajikan pada tabel tabel 6.
Tabel 6 Kadar haemoglobin (Hb) dan hematokrit untuk batas anemia pada populasia
Haemoglobin (Hb) Haematokrit Kelompok umur dan Jenis kelamin g/l mmol/l l/l
Anak 6-59 bulan Anak 5-11 tahun Anak 12-14 tahun
110 115 120
6.83 7.13 7.45
0.33 0.34 0.36
a Faktor konversi yang umum dipergunakan: 100 g hemoglobin = 6,2 mmol hemoglobin = 0,30 l/l hematokrit. Sumber: WHO (2001)
21
Aktivitas Bermain
Bermain dan belajar anak merupakan suatu kesatuan dan proses yang terus
menerus terjadi dalam kehidupannya. Bermain merupakan tahap awal dari proses
belajar anak yang dialami hampir semua orang. Melalui kegiatan bermain yang
menyenangkan, seorang anak berusaha untuk menyelidiki dan mendapatkan
pengalaman yang banyak. Baik pengalaman dengan diri sendiri, orang lain
maupun dengan lingkungan disekitarnya. Melalui bermain anak dapat
mengorganisasikan berbagai pengalaman dan kemampuan motorik maupun
kongnitifnya (Sekartini 2006).
Dariyo (2007) mengemukakan, fungsi dan manfaat dalam bermain anak
yaitu: (1) Mengembangkan kreativitas anak; (2) Mengembangkan keterampilan
sosial anak; (3) mengembangkan psikomotorik anak; (4) Mengembangkan
kemampuan berbahasa; (5) Sebagai saran terapi untuk mengatasi masalah
psikologis, karena memurut Singmund Freud bermain mengatasi ketegangan-
ketegangan emosi anak. Upaya stimulasi yang diberikan pada anak, hendak
dilakukan dalam situasi yang menyenangkan. Dengan pendekatan pola bermain
anak diajak untuk berkolaborasi, menemukan dan memanfaatkan objek yang
dekat dengannya, sehingga kegiatan lebih bermakna (Sumantri 2005). Bermain
pada anak bukan sekedar mengisi waktu, tetapi merupakan kebutuhan, seperti
halnya makanan, perawatan, cinta kasih dan lain-lain. Anak memerlukan variasi
bermain untuk kesehatan, pertumbuhan fisik, mental dan perkembangan
emosinya. Melalui bermain anak tidak hanya mengstimulasi pertumbuhan otot-
ototnya, tetapi lebih dari itu. Anak tidak saja melompat, menendang, melempar
atau berlari, tetapi mereka bermain dengan menggunakan seluruh perasaan dan
pikirannya (Soetjiningsih 1995). Untuk menjaga kualitas bermain sehingga anak
dapat bermain dan memperoleh stimulasi cukup maka diperlukan: (1) Ekstra
energi; (2) Waktu bermain ; (3) Alat bermain; (4) Ruang untuk bermain; (5)
Pengetahuan cara bermain; (6) Teman bermain. Sedangkan anak yang aktif dalam
bermain memiliki keunggulan diperoleh dari permainan tersebut antara lain: (1)
Membuang ekstra energi; (2) Mengoptimalkan pertumbuhan seluruh bagian
tubuh, seperti tulang, otot tubuh dan organ-organ; (3) Aktivitas yang dilakukan
22
dapat meningkatkan nafsu makan; (4) Anak belajar mengontrol diri; (5)
Berkembangnya keterampilan yang akan berguna sepanjang hidup; (6)
Meningkatkan daya kreativitas; (7) Mendapatkan kesempatan menemukan arti
dari benda-benda yang ada disekitar anak; (8) Merupakan cara untuk mengatasi
kemarahan, kekuatiran, iri hati dan kedudukan; (9) Kemampuan belajar bergaul
dengan anak yang lain; (10) belajar untuk menjadi pihak yang kalah dan menang
dalam permainan; (11) Kesempatan belajar untuk mengikuti aturan-aturan; (12)
Dapat mengembang kemampuan intelektualnya (Soetjiningsih 1995).
Aktivitas bermain anak harus seimbang antar bermain aktif dan pasif yang
biasanya disebut sebagai hiburan. Permainan yang masuk dalam kategori aktif
yaitu bermain pengamatan atau penyelidikan, bermain konsentrasi, bermain drama
dan bermain bola atau bermain tali. Sedangkan bermain yang pasif yaitu
permainan dilakukan dengan melihat gambar-gambar dibuku, mendengar cerita
atau musik, menonton televisi dan sebagainya.
Karakteristik Keluarga
Pendidikan Orang Tua
Munandar (1992) mengemukakan, sikap orang tua dalam mendidik anak
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (1) Tingkat pendidikan dan status
sosial ekonomi orang tuanya. Bila tingkat pendidikan dan status ekonominya
rendah terjadi kecenderungan ke sikap menuruti; (2) Hubungan suami istri, jika
hubungan hangat dan baik maka sikap anak lebih menunjukan sikap lebih
perhatian dan toleran; (3) Jumlah anak dalam keluarga kecil cenderung lebih
memanjakan dan menuntut lebih banyak karena, anak merupakan tumpuan
harapan orang tua; (4) Kepribadian orang tua, sering orang tua bersikap otoriter,
demokrasi atau terlalu menuruti kemauan anak; (6) Pengalaman orang tua,
pengaruh sikap orang tua terhadap anaknya karena pengalaman hidupnya.
Pendapatan keluarga
Pendapatan keluarga dapat dinilai dengan melihat status ekonomi suatu
keluarga. Gerungan (1998) mengemukakan, keadaan ekonomi mempunyai peran
23
yang sangat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan anak yang memberikan
kesejahteraan kepada anggota keluarga. Keadaan perekonomian yang cukup pada
suatu keluarga, maka lingkungan material anak akan lebih luas serta memberikan
kesempatan pada anak untuk mengembangkan bermacam-macam kecakapan yang
tidak dapat dikembangkan bila tidak ada fasilitas dan dukungan yang dibutuhkan.
Gunasra & Gunarsa (2001) mengemukakan, kondisi ekonomi yang kurang
akan berpengaruh terhadap kondisi mental dan pisikis individu yang hidup dalam
keluarga, dan menentukan corak serta kualitas hubungan antara pribadi dalam
keluarga.
Besar keluarga
Keluarga yang memiliki banyak anggota keluarga akan berpengaruh
terhadap konsumsi pangan terutama pada keluarga tidak mampu. Suharjo (1989)
mengemukakan, ada hubungan yang sangat nyata dalam keluarga dengan kurang
gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar,
tanpa dibebani dengan peningkatan pendapatan akan menyebabkan
pendistribusian konsumsi pangan semakin tidak merata pada setiap anggota
keluarga. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup
untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Jumlah anak
menederita kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan
dengan keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga
beranggota banyak, lima kali lebih besar daripada keluarga beranggota keluarga
sedikit (Berg 1986).
Dalam keluarga kecil seorang anak tidak perlu memperjuangkan kasih
sayang dari orang tua, tetapi anak-anak dari keluarga besar harus berjuang untuk
mendapatkan kasih sayang. Apabila jumlah anak dalam keluarga bertambah maka
perhatian dan kehangatan pada anak-anak berkurang. Dengan kata lain bahwa
dengan semakin banyak anak maka curahan waktu , perhatian , tingkat keeratan
diberi orang tua pada anaknya akan terbagi pada sejumlah anak yang berhak untuk
mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sama sesama anak (Gunasa 1997).
24
KERANGKA PEMIKIRAN
Pembinaan dan pengembangan atlit sejak dini merupakan salah satu strategi
dalam pencarian bibit-bibit atlit berprestasi. Untuk memperoleh dan mencapai hal
tersebut merupakan satu langka yang tidak mudah dilakukan dan penuh dengan
tantangan baik itu eksternal maupun internal. Faktor utama berhubungan terhadap
pertumbuhan fisik atau potensi atlit pada anak usia 48-72 bulan adalah konsumsi
makan kurang memenuhi syarat gizi atau kebutuhan anak usia 48-72 bulan, yang
digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Sedangkan konsumsi pangan
itu sendiri dipengaruhi oleh status sosial ekonomi keluarga seperti jumlah anggota
keluarga, pekerjaan keluarga dan pendapatan keluarga. Konsumsi pangan yang
tidak beragam ditemukan pada masyarakat berpendapatan rendah, disebabkan
oleh ketidakmampuan daya beli bahan pangan, dalam memenuhi kebutuhan
keluarga terutama pemenuhan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Tidak
terpenuhinya kebutuhan zat gizi dapat berdampak pada rendahnya kadar
haemoglobin (Hb) pada anak dan akan menyebabkan terjadinya kurang gizi dan
gangguan kesehatan pada anak usia 48-72 bulan. Status gizi yang buruk pada anak
usia 48-72 bulan, berhubungan erat dengan terjadinya penyakit infeksi terutama
diare dan ISPA. Bila anak mengalami gizi kurang dan sering sakit akan
menyebabkan berkurangnya aktivitas bermain anak, berfungsi untuk merangsang
pertumbuhan fisik.
Keluarga yang status ekonomi rendah, orang tua selalu berkonsentrasi pada
pekerjaan untuk perbaikan ekonomi keluarga. Sedikit sekali waktu diberikan
kepada anak dalam bermain bersama dan bimbingan. Aktivitas bermain anak
bukan saja memberikan kesenangan dan kebahagiaan kepada anak tetapi juga
merangsang pertumbuhan fisik terutama gerakan otot, kecepatan, keseimbangan
dan terjadinya koordinasi antara indra dan gerakan fisik. Kombinasi dari aktivitas
bermain ini, akan melahirkan potensi atlit yang dimiliki oleh anak-anak usia
48-72 bulan terutama struktur tubuh yang ideal sebagai dasar menuju kedewasaan.
Melahirkan calon atlit yang berprestasi merupakan hal yang sangat
diharapkan dalam dunia olahraga, namun mencapai hal tersebut dipengaruhi oleh
banyak faktor. Dalam penelitian ini akan menguraikan faktor yang berhubungan
25
dengan potensi atlit. Berdasarkan pada dasar pemikiran ini maka kerangka konsep
yang disusun berdasarkan pada gambar 1.
Status kesehatan • Diare • ISPA
Aktivitas bermain
anak
Karakteristik keluarga • Pendidikan orang tua • Pendapatan keluarga • Pekerjaan orang tua • Besar keluarga
Konsumsi pangan Energ, Protein Vit. A dan Besi (Fe)
Kadar Haemoglobin
Gamb
Status gizi• BB/U • TB/U • BB/TB
ar 1 Kerangka Konsep
Potensi atlit • Kecepatan gerak fisik • Daya tahan otot • Kekuatan otot • Daya tahan • kardiovaskuler
Penelitian
26
METODE PENELITIAN
Desain Penelitan
Desain yang digunakan dalam penelitian adalah cross-sectional study
(Murti 1997). Pada contoh, peneliti melakukan pengamatan, pengukuran dalam
satu waktu bersamaan dan dilakukan satu kali terhadap karakterisitik sosial
ekonomi keluarga yang terdiri dari: Besar keluarga, pendidikan, pekerjaan,
pendapatan dan data karakteristik anak terdiri dari: Usia anak, jenis kelamin.
pengukuran potensi atlit, konsumsi pangan status kesehatan, sataus gizi serta
aktivitas bermain usia 48-72 bulan.
Tempat dan Waktu
Penelitian ini bertempat di kebun teh PTPN VIII Kabupaten Bandung yaitu
kebun teh Malabar dan Purbasari. Tempat penelitian ini dipilih secara purporsive
dengan mempertimbangkan luas wilayah, biaya penelitian dan waktu untuk
mempermudah proses penelitian yang akan dilakukan. Waktu pengumpulan data
dalam penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dimulai pada Maret 2008 dan
bagian dari penelitian NHF dengan judul penelitian” Peningkatan Ketahanan
Keluarga dan Kualitas Pengasuhan Untuk Peningkatan Gizi Anak Usia Dini”
(Sunarti 2008).
Populasi dan Contoh
Populasi penelitian adalah seluruh rumah tangga keluarga wanita pemetik
teh di kebun teh Malabar dan Purbasari PTPN VIII Bandung yang berjumlah 192
orang anak usia 0-72 bulan. Kerangka contoh dalam penelitian adalah anak
keluarga wanita pemetik teh usia 48-72 bulan. Cara pengambilan contoh dalam
penelitan ini dengan metode sensus, oleh karena jumlah populasi dalam penelitian
terbatas sehingga digunakan seluruh populasi sebagai unit analisis yaitu berjumlah
51 orang anak usia 48-72 bulan (Singarimbun & Effendi, 1987), yang disajikan
pada gambar 2.
27
Malabar n : 30
Purbasari n : 21
n : 51
Malabar N : 102 Purbasari N: 90
Gambar 2 Kerangkah pengambilan contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan metode wawancara, pengamatan
pemeriksaan serta pengukuran. Data karakteristik keluarga terdiri dari:
(Pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, besar keluarga dan pendapatan
keluarga). Data karakteristik anak terdiri dari: (Usia anak, jenis kelamin). Data
konsumsi pangan usia 48-72 diukur dengan menggunakan recall 24 jam selama 2
hari. Data status kesehatan diukur menggunakan kuesioner dan diwawancarai
secara langsung orang tua contoh. Data haemoglobin (Hb) dengan cara
pemeriksaan darah menggunakan metode sahli. Data aktivitas bermain anak
diukur menggunakan kuesioner dengan cara pengamatan dan diwawancarai orang
tua/pengasuh. Sedangkan data pengukuran status gizi terdiri dari ukuran
antropometri yaitu BB/U, TB/U dan BB/TB. Pengukuran tinggi badan
menggunakan microtoise, tingkat ketelitian 0,1 cm dan berat badan dilakukan
dengan penimbangan menggunakan timbangan digital Camry EB 710 merek
Tanita pada tingkat ketelitian 0,1 kg. Data potensi atlit diukur dengan pendekatan
pengukuran kesegaran jasmani Indonesia (TKJI 2005) khusus anak yang telah
dimodifikasi yang terdiri dari: Daya tahan kardiovaskuler, kecepatan, daya tahan
otot, kekuatan otot. Data sekunder meliputi profil daerah setempat. Data ini
bersumber dari pemerintah setempat, tempat penitipan anak (TPA) dan posyandu
di daerah tersebut.
28
Tabel 7 Jenis, cara dan alat pengumpulan data. Jenis Data Cara Pengumpulan Alat
Karakteristik keluarga dan anak.
Wawancara orang tua contoh menggunakan kuesioner. Kuesioner.
Konsumsi pangan anak. Wawancara orang tua contoh dan recall 24 jam
Daftar recall 24 jam.
Status kesehatan anak :Diare dan ISPA.
Wawancara oranga tua contoh menggunakan kuesioner. Kuesioner.
Haemoglobin (Hb). Analisis Sahli. Tabung sahli Pipet sahli HCL 0,1%
Aktivitas bermain anak. Wawancara pada ibu serta pengamatan terhadap aktivitas bermain anak.
Kuesioner.
Status Gizi dengan antropometri; BB/TB.
Mengukur dan mencatat berat badan dan tinggi badan anak usia 36-60 bulan.
Timbangan Camry EB 710 Tanita. Microtoise.
Potensi atlit. Kecepatan gerak fisik, daya tahan otot, kekuatan, otot dan daya tahan kardiovaskuler.
Arloji/Stop Watch. Kuesioner. Alat menggantung. Matras .
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dalam penelitian dengan cara dilakukan pengkodean, entri
data, edeting. Selanjutnya ditabulasi dalam satu tabel untuk memudahkan dan
mencegah terjadi kesalahan dalam mengolah data. Data karakteristik keluarga
yang terdiri dari: Lama mengikuti pendidikan formal menjadi lima kategorik yaitu
“0-2 tahun”, “3-5 tahun”,” 6-8 tahun”, “9-11 tahun” dan “≥ 12 tahun”. Data
pekerjaan bapak/suami terdiri dari 7 kategorik terdiri dari : (Tidak bekerja, petani,
pedagang, buru tani, buru non tani, PNS/ABRI/PORLI dan Pelayanan Jasa).
Besar keluarga berdasarkan kriteria BPS (2001) ”keluarga kecil” jika anggota
keluarga ≤ 4 orang, ”keluarga sedang” dengan jumlah anggota keluarga 5-7 orang
dan ”keluarga besar” dengan jumlah anggota lebih dari ≥7 orang. Pendapatan
keluarga dikategorikan berdasarkan indikator lokal yang diterbitkan oleh
Pemerintah Kabupaten Bandung yang dibagi menjadi dua kategorik yaitu
”miskin” ≤ Rp.144.000 dan ” tidak miskin ≥ Rp. 144.000. Data karakteristik anak
(usia, jenis kelamin) dalam bentuk kelompok dan dikategorikan. Data-data
29
tersebut dianalisis secara deskriptif mengunakan komputer program microsoct
office exel 2003. Data konsumsi pangan anak diperoleh dari hasil recall 24 jam
selama 2 hari. Data ini kemudian dikonversikan ke dalam bentuk jumlah zat gizi,
dengan menggunakan daftar komposisi bahan makanan atau DKBM (Hardinsyah
dan Briawan 1990). Konsumsi pangan dalam penelitian ini adalah konsumsi zat
gizi energi, protein, vitamin A dan besi (Fe) per individu. Selanjutnya data
konsumsi zat gizi aktual tersebut dibandingkan dengan angka kecukupan gizi
(AKG) per individu (WNPG 2004). Data konsumsi pangan yang digunakan untuk
melakukan pengujian statistik dalam penelitian yaitu zat gizi energi dan protein.
Data status kesehatan anak terdiri dari penyakit menular yaitu diare dan
ISPA yang diderita anak satu bulan terakhir dan saat penelitian. Riwayat penyakit
anak dengan melihat frekuensi sakit anak tersebut dalam satu bulan terakhir. Data
status kesehatan anak diolah menggunakan komputer program SPSS versi 13.
Data status kesehatan usia 48-72 bulan dikategorikan menjadi tiga kelompok
disajikan pada tabel 8.
Tabel 8 Satus kesehatan anak satu bulan terakhir berdasarkan frekuensi sakit.
Kategori Frekuensi sakit
Tidak pernah sakit Pernah sakit Sering sakit
0 1-2 ≥3
Penilaian status gizi dengan pendekatan Antropometri yaitu BB/TB untuk
mengukur status gizi. Data tersebut diolah menggunakan program nutri survey
WHO 2005 dan SPSS versi 13. Status gizi tersebut dibagi menjadi 4 kelompok
disajikan pada tabel 9.
Tabel 9 Status gizi anak usia 48-72 bulan berdasarkan BB/TB. Kategori Nilai Z-score
Sangat kurus Kurus Normal Gemuk
<-3 -3 s/d-2 -2 s/d 2
>2 Sumber: WHO (2005)
30
Status biokimia dengan pengukuran haemoglobin (Hb) pada anak dianalisis
dengan metode sahli. Hemoglobin darah anak dikategorikan berdasarkan pada
standar WHO (2001) yaitu usia 48-59 bulan dengan kadar haemoglobin (Hb)
110g/l dan usia 60-72 bulan dengan kadar haemoglobin (Hb) 115g/l.
Pengukuran aktivitas bermain usia 48-72 menggunakan 10 item pertanyaan
dan pengamatan terhadap aktivitas bermain. Setiap jawaban ”ya” di berikan skor
1 dan jawaban ”tidak” diberikan skor 0 serta dikelompokkan menjadi lima
kategori untuk menilai aktivitas bermain contoh. Data aktivitas bermain diolah
menggunakan komputer program microsoct office exel 2003 dan SPSS versi 13.
Aktivitas bermain anak usia 48-72 bulan dikelompokkan seperti disajikan pada
tabel 10.
Tabel 10 Aktivitas bermain usia 48-72 bulan. Kategori Skor
Sangat baik Baik Sedang Kurang Sangat kurang
9-10 7-8 5-6 3-4 1-2
Pengukuran potensi atlit usia 48-72 bulan, menggunakan standar
pengukuran kesegaran jasmani khusus untuk anak yang telah dimodifikasi yaitu
mengukur ketahanan kardiovasluler dengan pengujian lari jarak menengah dari
600 meter. Pengujian kecepatan gerakan fisik dengan lari cepat 100 meter.
Pengujian otot lengan dan bahu dengan cara menggantung siku tekuk selama 60
detik. Menguji ketahanan dan kekuatan otot perut dengan cara gerakan baring
duduk (si-up) serta mengukur tenaga eksplosif dengan cara lompat tegak.
Standar yang dimodifikasi atas dasar pertimbangan hasil uji fisik pada 5
orang anak usia 48-72 bulan di Desa Babakan, Kecamatan Dramaga tidak
mampuh menempuh jarak 600 meter dan menggantung dengan siku tekuk.
Sedangkan pada tes lari 100 meter, sit-up dan lompat tegak dapat dilakukan
dengan baik. Ukuran standar yang digunakan dan dimodifikasi disajikan
pada tabel 11.
31
Tabel 11 Ukuran standar dan dimodifikasi dalam pengukuran potensi atlit. Nama gerakan Standar Modifikasi
Lari cepat Menggantung Sit-Up Lompat tegak Lari jarak menengah
100 meter Siku tekuk (60) detik Sit-Up (60) Lompat tegak 600 meter
Tidak dimodifikasi Tanpa siku tekuk (60) detik Tidak dimodifikasi Tidak dimodifikasi 300 meter
Sebelum melakukan penilaian potensi atlit, contoh lebih dahulu diajarkan
gerakan-gerakan dasar yang akan dilakukan sehingga hasil pengukuran dilakukan
benar-benar dicapai. Hasil pengukuran dikonversikan ke dalam metode
perhitungan potensi kesegaran khusus anak. Potensi atlit usia 48-72 bulan dibagi
menjadi lima kategori disajikan pada tabel 12.
Tabel 12 Standar penilaian potensi atlit usia 48-72 bulan. Potensi atlit Skor
Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik
5-9 10-13 14-17 18-21 22-25
Sumber : Pusegjas (2005).
Definisi Operasional
1. Karakterisitik keluarga adalah ciri-ciri khas yang dimiliki oleh
masing-masing keluarga seperti umur orang tua, umur anak, pendidikan,
pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga.
2. Besar keluarga adalah banyaknya individu yang tinggal/ menetap bersama
dalam satu rumah/keluarga dan hidup dari penghasilan yang sama. yaitu
keluarga kecil” jika anggota keluarga ≤ 4 orang, ”keluarga sedang” dengan
jumlah anggota keluarga 5-7 orang dan ”keluarga besar” dengan jumlah
anggota lebih dari >7 orang BPS (2001).
3. Pendapatan keluarga adalah jumlah seluruh penghasilan yang diperoleh oleh
seluruh anggota keluarga dari status pekerjaan dan sumberdaya yang dimiliki.
32
yang dibagi menjadi 2 kategorik yaitu ”miskin” < Rp.144.000 dan ” tidak
miskin ≥ Rp. 144.000.
4. Pendidikan orang tua adalah lama waktu yang digunakan dalam mengikuti
pendidikan formal di sekolah.
5. Konsumsi pangan adalah nilai dari zat gizi energi, potein, vitamin A, dan
besi (Fe) dari jenis pangan yang dikonsumsi anak usia 48-72-72 bulan
diperoleh melalui recall 2 x 24 jam, dibandingkan dengan angka kecukupan
rata-rata per individu.
6. Status kesehantan adalah riwayat penyakit yang pernah di derita meliputi
diare dan ISPA pada saat satu bulan yang lalu dan saat penelitian berlangsung.
7. Diare adalah keadaan dimana frekuensi buang air besar (tinja) lebih sering
dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari dan disertai dengan perubahan
konsistensi dan bentuk tinja dan kadang kadang disertai dengan darah atau
lendir.
8. Infeksi saluran pernafasa adalah penyakit menular yang tranmisinya melalui
udara yang ditandai dengan gejala panas atau flu, batuk sesak nafas dan
kadang-kadang disertai dengan kejang atau hilang kesadaran.
9. Haemogobin (Hb) adalah cairan merah dalam darah berfungsi mengangkut
oksigen yang disebarkan ke seluruh tubuh.
10. Aktivitas bermain adalah aktivitas permainan usia 48-72 bulan melibatkan
kombinasi organ fisik yang merangsang pertumbuhan.
11. Staus gizi adalah keadaan gizi usia 48-72 bulan secara atropometri dengan
menggunakan indeks BB/TB.
12. Potensi Atlit adalah kompentensi gerakan fisik yang berhubungan kesegaran
jasmani yaitu: Kecepatan, daya tahan otot, kekuatan otot dan daya tahan
kardiovaskuler.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Letak Geografis.
Lokasi penelitian bertempat di kebun teh Malabar dan Purbasari PTPN VIII
Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung Jawa Barat. Secara administrasi
kebun teh Malabar dan Purbasari berada dibawah daerah administrasi
pemerintahan Desa Banjar Sari dan Wanasuka.
Desa Banjar Sari terletak diketinggian ±1.500 meter di atas permukaan air
laut, yang memiliki luas wilayah 2208,97 Ha. Bagian barat berbatasan dengan
Desa Margaluyu, bagian utara berbatasan dengan Desa Sukamanah, bagian selatan
berbatasan dengan Desa Wanasuka, dan bagian timur berbatasan dengan Desa
Tarumajaya Kertasari. Jumlah penduduk desa Banjar Sari adalah 5641 jiwa,
dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 2811 jiwa dan perempuan sebanyak 2830
jiwa. Jumlah keluarga di desa Banjar Sari adalah 314 kepala keluarga. Sedangkan
jumlah keluarga miskin di desa Banjar Sari adalah 733 kepala keluarga dengan
jumlah 2.164 jiwa.
Desa Wanasuka terletak diketinggian ±1550 di atas permukaan air laut yang
memiliki luas wilayah 4555,96 Ha. Bagian utara berbatasan dengan Desa
Margamukti, bagian selatan berbatasan dengan Desa Margaluyu, bagian timur
berbatasan dengan Desa Santosa, dan bagian barat berbatasan dengan Desa Banjar
Sari. Jumlah penduduk di Desa Wanasuka adalah 4880 jiwa, dengan jenis
kelamin laki-laki sebanyak 2393 jiwa dan perempuan sebanyak 2487 jiwa. Jumlah
kepala keluarga di Desa Wanasuka adalah 1548 kepala keluarga, dengan jumlah
keluarga miskin sebanyak 876 kepala keluarga.
Kebun teh Malabar merupakan peninggalan masa penjajahan Hindia
Belanda. Kebun ini merupakan kebun teh pertama dan tertua, yang dirintis oleh
seorang warga negara Belanda yaitu Karl Albert Rudolf Bossca pada tahun 1896.
Beliau merupakan utusan dari Firma John Peet dan Co. Setelah masa penjajahan
berakhir, kebun ini dikelola oleh masyarakat pribumi dalam bentuk BUMN dan
melakukan perluasan lahan menjadi beberapa kebun, sala satunya adalah kebun
34
teh Purbasari. Kebun teh Malabar memiliki luas wilayah 2022,14 Ha, yang terdiri
dari 4 afdeling yaitu afdeling malabar utara dengan luas kebun 444,41 Ha,
afdeling malabar selatan dengan luas kebun 624,72 Ha, afdeling sukaratu dengan
luas kebun 458,42 Ha, dan afdeling tanara dengan luas kenun 494,69 Ha. Jumlah
kepala keluarga yang berdomisili di kebun teh Malabar adalah sebagai berikut :
afdeling malabar utara berjumlah 69 kepala keluarga, afdeling malabar selatan
berjumlah 152 kepala keluarga, afdeling sukaratu berjumlah 190 kepala keluarga
dan afdeling tanara berjumlah 30 kepala keluarga.
Kebun teh Purbasari memiliki luas kebun 2115,97 Ha, yang terdiri 4
afdeling yaitu afdeling purbasari, afdeling kiararoa, afdeling Sri dan afdeling
Citawa. Kepala keluarga yang berdomisili di kebun teh Purbasari adalah sebagai
berikut : afdeling purbasari berjumlah 85 kepala keluarga, afdeling kiararoa
berjumlah 78 kepala keluarga, afdeling sri berjumlah 165 kepala keluarga, dan
afdeling citawa berjumlah 81 kepala keluarga.
Fasilitas Sosial dan Kesehatan
Untuk meningkatkan dan menciptakan kualitas kehidupan sosial di
masyarakat dalam upaya peningkatan sumberdaya manusia dan derajat kesehatan
masyarakat, pemerintah Kabupaten Bandung dan pihak PTPN VIII telah
menyediakan sarana dan prasarana dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat
di daerah tersebut. Salah satunya dengan menyediakan fasilitas pendidikan yang
disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran fasilitas pendidikan di kebun Desa Banjarsari dan Wanasuka
Lokasi Fasilitas Pendidikan Banjar Sari % Wanasuka %
TK SD
SLTP
3 4 1
37.5 50
12.5
2 4 0
33.33 66.66 0.00
Total 8 100 6 100 Sumber :Profil desa Banjar Sari dan Wanasuka 2007
Hasil analisis data profil Desa Banjar Sari dan Wanasuka Tahun 2007
menunjukkan bahwa fasilitas pendidikan terbayak adalah tingkat sekolah dasar
(SD), dengan persentase masing-masing adalah 50% untuk Desa Banjar dan
35
66.66% untuk Desa Wanasuka. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap
rumah tangga yang memiliki anak usia pra sekolah, diperoleh informasi bahwa
keluarga tersebut mengalami kesulitan dalam memberikan pendidikan usia dini
(TK) pada anaknya. Faktor penyebabnya yaitu jumlah fasilitas pendidikan tingkat
usia dini (TK) yang terbatas dan jarak antara fasilitas pendidikan dengan
pemukiman penduduk (terutama untuk Desa Wanasuka).
Hak memperoleh pendidikan bagi setiap individu merupakan tanggung
jawab pemerintah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 sehingga
harus dilaksanakan. Oleh karena itu diperlukan penambahan fasilitas
pembangunan fisik khususnya untuk pendidikan usia dini (TK) di wilayah Desa
Wanasuka, sebagai bentuk pemerataan pendidikan di masyarakat.
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui pelayanan kesehatan
masyarakat di tingkat dasar merupakan satu strategi menuju Indonesia sehat 2010
harus dilakukan secara sinergis. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten Bandung
dan PTPN VIII menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan di Desa Banjarsari dan
Wanasuka. Sebaran fasilitas pelayanan kesehatan di Desa Banjar Sari dan
Wanasuka tersebut disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran fasilitas pelayanan kesehatan di Desa Banjar Sari dan Wanasuka Desa Fasilitas kesehatan Banjar Sari % Wanasuka %
Balai pengobatan Tempat praktek bidan Posyandu Polindes
1 1 7 1
10.00 10.00 70.00 10.00
1 0 8 1
10.00 0.00 80.00 10.00
Total 10 100 10 100 Sumber :Profil desa Banjar Sari dan Wanasuka 2007.
Hasil analisis data profil Desa Banjar Sari dan Wanasuka Tahun 2007,
menunjukkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan sebagian besar adalah
posyandu, dengan persentase masing-masing adalah 70% untuk Desa Banjar Sari
dan 80% untuk Desa Wanasuka. Menurut Notoatmojo (2003), pelayanan
kesehatan merupakan faktor penentu yang ikut berpengaruh terhadap status
kesehatan individu, keluarga dan masyarakat.
Kegiatan posyandu di Desa Banjar Sari dan Wanasuka diantaranya adalah
dengan memberikan pelayanan kesehatan penimbangan, pemeriksaan ibu hamil
36
dan pemberian makanan tambahan pada anak balita, yang dilakukan secara rutin
setiap bulan. Keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan operasional
posyandu berjalan dengan baik. Proses pelayanan kesehatan tersebut dijalankan
oleh kader posyandu, meskipun fasilitas yang tersedia sangat terbatas.
Dalam upaya memenuhi permintaan konsumen, pihak PTPN VIII
diwajibkan meningkatkan produksi teh dengan cara meningkatkan produktivitas
kerja. Sebagian besar tenaga kerja pemetik teh adalah ibu rumah tangga, sehingga
pihak PTPN VIII menyediakan fasilitas tempat penitipan anak (TPA) dan
pengasuh di kebun teh Malabar dan Purbasari untuk tenaga kerja yang memiliki
anak usia dini. Sebaran tempat penitipan anak (TPA) dan pengasuh di kebun teh
Malabar dan Purbasari disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran tempat penitipan anak (TPA) dan pengasuh. Tempat Penitipan Anak (TPA) Lokasi Jumlah TPA % Pengasuh %
Malabar Purbasari
4 5
40 60
7 8
40 60
Total 9 100 15 100 Sumber :Laporan tahun 2007 kebun teh Malabar dan Purbasari.
Hasil analisis laporan data Tahun 2007 menunjukkan bahwa persentase
sebaran fasilitas tempat penitipan anak (TPA) di kebun teh Malabar yaitu sebesar
40% dan di kebun teh Purbasari sebesar 60%. Sedangkan persentase sebaran
pengasuh di kebun teh Malabar yaitu sebesar 40% dan di kebun teh Purbasari
sebesar 60%. Orang tua pengasuh yang bekerja di tempat penitipan anak (TPA)
merupakan karyawan PTPN VIII.
Karakteristik Keluarga
Karakterisitik keluarga dalam penelitian adalah ciri khas yang dimiliki oleh
masing-masing keluarga yang terdiri dari: umur orang tua, umur anak, jenis
kelamin anak, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua
dan jumlah anggota keluarga. Sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan umur
disajikan pada Tabel 16.
37
Tabel 16 Sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan umur. Ibu Ayah Umur n % n %
20-28 29-37 38-46 47-52
10 15 24 2
19.60 29.41 47.05 3.92
13 19 14 5
25.49 37.25 27.45 9.80
Total 51 100 51 100
Tabel 16 menunjukkan bahwa sebaran umur ibu di kebun teh Malabar dan
Purbasari terbanyak adalah berkisar antara 38 sampai 64 tahun atau sebesar
47.05%. Sedangkan sebaran umur bapak di kebun teh Malabar dan Purbasari
terbanyak adalah berkisar antara 29 sampai 37 tahun atau sebesar 37.25%.
Pasangan suami istri di dua kebun terseut merupakan pasangan keluarga muda
yang produktif.
Tingkat pendidikan adalah variabel penentu terhadap jenis pekerjan dan
pendapatan keluarga. Hasil analisis data sebaran ibu dan bapak contoh
berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan
Ibu Bapak Kategori n % n %
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD SD/Sederajat SLTP/ Sederajat SMA/Sederajat
4 14 29 3 1
7.84 27.45 56.86 5.88 1.96
3 10 29 9 0
5.88 19.60 56.86 17.64
0
Total 51 100 51 100
Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu dan bapak yang berada di
kebun teh Malabar dan Purbasari memiliki tingkat pendidikan SD/sederajat
dengan persentase masing-masing sebesar 56.86%. Rendahnya tingkat pendidikan
orang tua contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari disebabkan oleh biaya
pendidikan yang tinggi sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat pada saat itu.
Pendidikan orang tua memiliki hubungan terhadap pengetahuan praktek
kesehatan dan gizi anak. Orang tua yang berpendidikan tinggi, cenderung memilih
makanan yang lebih baik dan berkualitas dibandingkan dengan orang tua yang
38
berpendidikan rendah. Orang tua yang berpendidikan tinggi memiliki kesempatan
lebih luas dalam mendapatkan pengetahuan mengenai kesehatan dan gizi anak.
Pendidikan rendah dan kemiskinan merupakan faktor dasar masalah gizi dan
kesehatan, yang berdampak terhadap rendahnya sumberdaya manusia
(Syarif 1997). Pendidikan merupakan variabel penentu dalam memperoleh
pekerjaan dan pendapatan. Seseorang yang berpendidikan tinggi memiliki akses
kerja yang lebih luas dan akses pekerjaan yang lebih baik bila dibandingkan
dengan seseorang yang berpendidikan rendah. Sebaran ibu dan bapak berdasarkan
lama mengikuti pendidikan formal, serta sebaran bapak berdasarkan jenis
pekerjaan disajikan pada Tabel 18 dan 19.
Tabel 18 Sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan lama mengikuti pendidikan formal.
Ibu Ayah Tahun n % n %
0-2 3-5 6-8
9-11 12
8 10 29 3 1
17.64 19.60 56.86 5.88 1.96
7 4
32 8 0
13.72 7.84
62.74 15.68
0 Total 51 100 22 100
Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu dan bapak di kebun teh
Malabar dan Purbasari memiliki lama mengikuti pendidikan formal berkisar
antara 6 sampai 8 tahun, dengan persentase masing-masing sebesar 56.86% dan
62.74%. Lama mengikuti pendidikan formal menunjukkan tingkat pendidikan,
pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh seseorang.
Tabel 19 Sebaran bapak berdasarkan jenis pekerjaan. Bapak Pekerjaan n %
Tidak bekerja Petani Pedagang Buru tani Buru non tani PNS/ABRI/POLRI Pelayanan Jasa
5 0 1
42 3 0 0
9.80 0
1.96 82.35 5.88
0 0
Total 51 100
39
Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar bapak di kebun teh Malabar
dan Purbasari bekerja sebagai buruh tani, yaitu sebesar 82.35%. Kartasapoetra
dan Marsetoyo (2003) menyatakan bahwa jenis pekerjaan orang tua merupakan
indikator penentu besarnya pendapatan keluarga. Semakin besar penghasilan yang
diperoleh, maka konsumsi pangan keluarga semakin baik terutama yang
berhubungan dengan harga dan jenis pangan berkualitas.
Selain faktor harga, distribusi pangan dalam keluarga menjadi penyebab
masalah gizi kurang terutama keluarga besar. Jenis keluarga dan sebaran keluarga
contoh berdasarkan besar pendapatan total/bulan disajikan pada Tabel 20 dan 21.
Tabel 20 Sebaran jenis keluarga contoh.
Jenis keluarga Kategori n % Keluarga kecil ≤4 Keluarga sedang 5-7 Keluarga besar ≥8
25 26 0
49.01 50.98 0.00
Total 51 100
Tabel 20 menunjukkan bahwa jenis keluarga yang ada di kebun teh Malabar
dan Purbasari didominasi oleh keluarga sedang (jumlah anggota keluarga 5
sampai 7 jiwa) dan keluarga kecil (jumlah anggota keluarga ≤ 4 jiwa) dengan
persentase masing-masing sebesar 50.98% dan 49.01%. Besar keluarga
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap distribusi pangan, terutama
keluarga dengan pendapatan rendah. Jumlah keluarga yang besar dan tidak
didukung oleh pendapatan akan memiliki resiko kurang gizi yang tinggi, yang
disebabkan oleh konsumsi gizi yang rendah dan bahan makan yang tidak
berkualitas.
Berg (1986) menyatakan bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada
keluarga besar adalah empat kali lebih besar bila dibandingkan dengan keluarga
kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga yang beranggota
banyak adalah lima kali lebih besar daripada keluarga yang beranggota keluarga
sedikit.
40
Tabel 21 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar pendapatan total/bulan. Pendapatan/ bulan Kategori n %
Rp.200.000-699.999 Rp.700.000-1.199.999 Rp.1.200.000-1.699.999 Rp.1.700.000≥
28 11 10 2
54.90 21.56 19.60 3.92
Total 51 100
Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga (54.90%) di kebun
teh Malabar dan Purbasari memiliki pendapatan total/bulan berkisar antara
Rp.200.000 sampai Rp.699.999, dengan rata-rata pendapatan total/bulan sebesar
Rp.583.333. Rendahnya pendapatan keluarga disebabkan oleh sumber
pendapatan keluarga yang hanya mengandalkan upah kerja dan tidak terdapatnya
sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan.
Mudanijah et al (2006) menyatakan bahwa pendapatan berpengaruh
terhadap daya beli pangan keluarga. Keluarga yang memiliki pendapatan tinggi,
cenderung memilih bahan pangan yang berkualitas. Pendapatan total
keluarga/bulan bila didistribusi berdasarkan pendapatan perkapita/bulan dapat
dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan per kapita/bulan.
Pendapatan/kapita/bulan Kategori n %
Rp. 50.000-147.999 Rp.148.000-245.999 Rp.246.000-343.999 Rp.344.000≥
29 11 8 3
56.86 21.56 15.68 5.88
Total 51 100
Tabel 22 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh (56.86%) di
kebun teh Malabar dan Purbasari memiliki pendapatan total/kapita/bulan berkisar
antara Rp.50.000 sampai 147.999, dengan rata-rata pendapatan total/kapita/bulan
sebesar Rp.170.890. Rendahnya pendapatan keluarga disebabkan oleh, jenis
keluarga di kebun teh Malabar dan Purbasari sebagian besar adalah keluarga
sedang dengan jumlah anggota keluarga 5 sampai 7 jiwa, dan hal ini akan
berpengaruh terhadap distribusi pendapatan. Kecilnya pendapatan total/kapita
41
keluarga, disebabkan oleh sumber pendapatan yang masih mengandalkan orang
tua terutama pada keluarga ukuran sedang. Misalnya anak usia produktif (pada
keluarga sedang) yang belum bekerja, sehingga menyebabkan seluruh beban biaya
hidupnya ditanggung oleh orang tuanya. Bila pendapatan perkapita tersebut
dibandingkan dengan indikator kemiskinan Kabupaten Bandung, maka keluarga
contoh yang termasuk kategori tidak miskin dan miskin dapat dilihat
pada Tabel 23.
Tabel 23 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori miskin dan tidak miskin. Keluarga contoh Kategorik
n % Tidak miskin ≥Rp.144.000 Miskin <Rp. 144.000
29 22
56.86 43.14
Total 51 100
Berdasarkan indikator kemiskinan lokal yang ditentukan oleh pemerintah
Kabupaten Bandung maka 56.86% keluarga contoh di kebun teh Malabar dan
Purbasari dapat dikategorikan sebagai keluarga tidak miskin dan 43.14% dapat
dikategorikan sebagai keluarga miskin.
Menurut Suhardjo (1987), masalah kemiskinan yang dialami keluarga
merupakan faktor penyebab yang berhubungan dengan konsumsi pangan dan
buruknya status gizi anak. Syarif (1997) menambahkan bahwa kemiskinan akan
menyebabkan akses pangan dan kesehatan tidak memadai, dan berakibat terhadap
konsumsi pangan yang rendah serta angka kesakitan tinggi, sehingga akan
melahirkan anak kurang gizi dan sumberdaya manusia menjadi rendah.
Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin di kebun teh Malabar
dan Purbasari disajikan pada Tabel 24. Hasil analisis data sebaran contoh
berdasarkan umur dan jenis kelamin di kebun teh Malabar dan Purbasari sangat
bervariasi. Contoh laki-laki didominasi oleh umur berkisar antara 63 sampai 67
bulan atau sebesar 33.33%, sedangkan contoh perempuan didominasi oleh umur
berkisar antara 48 sampai 52 bulan atau sebesar 42.86%.
42
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin. Laki-laki Perempuan Total
Umur (bulan) n % n % n % 48-52 53-57 58-62 63-67 68-72
7 3 8
10 2
23.33 10.00 26.67 33.33 6.67
9 5 4 1 2
42.86 23.81 19.05 4.76 9.52
16 8
12 11 4
31.37 15.69 23.53 21.57 7.84
Total 30 100 21 100 51 100
Potensi Atlit Anak Usia 48-72 Bulan
Mengidentifikasi potensi atlit usia dini merupakan solusi terbaik dalam
pencarian atlit yang berbakat. Usia 48-72 bulan merupakan usia minimal yang
digunakan untuk menentukan potensi calon atlit usia dini. Potensi atlit usia dini
dalam penelitian adalah kompetensi gerakan fisik yang berhubungan dengan
kesegaran jasmani yang terdiri dari: kecepatan gerak , daya tahan otot, kekuatan
otot dan daya tahan kardiovaskuler.
Hasil pengukuran potensi atlit usia dini yang dilakukan pada anak keluarga
wanita pemetik teh di kebun teh Malabar dan Purbasari, secara umum diperoleh
nilai yang bervariasi yaitu berkisar antara skor 1 sampai 5. Hasil pengukuran
kecepatan gerak fisik yang dilakukan dengan metode lari cepat 100 meter
disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan lari cepat 100 meter. Lari 100 meter Kategori n %
Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik
4 26 18 3 0
7.8 51.0 35.3 5.9 0
Total 51 100
Tujuan pengukuran lari 100 meter berfungsi untuk menilai kecepatan gerak
fisik. Tabel 25 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 51.0% memiliki
kecepatan gerak fisik yang termasuk kategori kurang. Skor maksimum yang
diperoleh dalam pengukuran adalah 4 dan skor minimum adalah 1, dengan skor
43
pengukran rata-rata adalah 2.39±0.72. Pengukuran kecepatan gerak fisik contoh
dengan metode lari cepat 100 meter merupakan ukuran yang tidak dimodifikasi.
Tabel 25 juga menunjukkan bahwa sebanyak 5.9% contoh memiliki
kecepatan gerak fisik yang dikategorikan baik. Pencapaian hasil yang maksimal
disebabkan oleh hasil pengukuran yang mencapai skor 4 berdasarkan pengujian
kecepatan gerak fisik. Pada pengujian kecepatan gerak fisik diperoleh hasil bahwa
sebagian besar contoh dikategorikan kurang. Hal ini disebabkan oleh koordinasi
sistem motorik anak usia 48-72 bulan masih dalam tahap perkembangan. Menurut
Sumantri (2005), kecepatan gerak motorik atau fisik merupakan satu perpaduan
sistem syaraf dan sistem otot yang saling bekerja sama untuk melakukan suatu
gerakan tubuh.
Pengukuran kecepatan gerak fisik pada contoh laki-laki lebih baik bila
dibandingkan pada contoh perempuan. Pengukuran yang dilakukan pada 31
contoh laki-laki menunjukkan hasil bahwa 10% contoh memiliki potensi
kecepatan gerak fisik yang baik. Pada contoh perempuan diperoleh hasil bahwa
47.61% contoh memiliki kecepatan gerak fisik yang termasuk kategori kurang
(Lampiran 5). Hasil pengukuran yang cukup maksimal ini disebabkan oleh contoh
laki-laki cenderung melakukan permainan-permainan yang lebih banyak
melibatkan aktivitas fisik tinggi dibandingkan contoh perempuan sehingga
menunjang hasil pengukuran.
Hasil pengukuran kecepatan gerak fisik ini dibandingkan dengan hasil
penelitian yang dilakukan Sumantri (2005) dalam menguji motorik kasar 269 anak
laki-laki dan perempuan usia 3-6 tahun dengan tes lari cepat. Hasil pengujian
membuktikan bahwa anak laki-laki memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan
anak perempuan dan hasil yang sama ditemukan dalam penelitian ini. Untuk
mencapai hasil maksimal dalam pengukuran kecepatan gerak fisik, diperlukan
latihan yang dilakukan secara teratur dan terus-menerus, sehingga dapat
beradaptasi terhadap gerakan fisik terutama sistem syaraf dan otot yang lebih peka
dan sensitif terhadap stimulasi dari luar tubuh.
Pengukuran tes menggantung pada penelitian ini berfungsi untuk mengukur
ketahanan otot tangan secara menyeluruh. Ukuran yang digunakan dalam
pengujian ketahanan otot tangan adalah dengan metode menggantung,
44
dimodifikasi dari menggantung siku tekuk dirubah ke menggantung tanpa siku
tekuk. Menurut Dewi (2005), contoh yang berusia 48-72 bulan tidak dapat
melakukan gerakan menggantung dengan siku tekuk, disebabkan oleh
perkembangan motorik kasar terutama otot besar pada tangan belum mampu
melakukan gerakan tersebut. Hasil pengukuran tes menggantung pada contoh
disajikan pada Tabel 26.
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pengujian menggantung. Menggantung Kategori
n % Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik
0 5
27 17 2
0 9.8
52.9 33.3 3.9
Total 51 100
Tabel 26 menunjukkan bahwa 52.9% contoh memiliki ketahanan otot tangan
yang termasuk kategori sedang. Skor pengukuran maksimum adalah 5 dan skor
minimum 1, dengan skor rata-rata adalah 3.31±0.70. Analisis data juga ditemukan
ketahanan otot baik 33.33% dan sangat baik 3.9%. Hasil yang maksimal ini
disebabkan oleh anak usia 48-72 bulan memiliki perkembangan sistem motorik
halus yang sudah baik terutama kemampuan memegang dan menjepit jari tangan
(Soetjiningsih 1995).
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada contoh laki-laki didominasi
oleh ketahanan otot tangan yang dikategorikan sedang 46% dan baik 43.33%
(Lampiran 5). Sedangkan hasil pengukuran pada contoh perempuan menunjukkan
bahwa sebagian besar contoh 61.90% memiliki ketahanan otot tangan yang
dikategorikan sedang (Lampiran 5). Pengukuran yang dilakukan menunjukkan
bahwa seluruh contoh dapat melakukan gerakan menggantung, namun hasil
pengukuran ketahanan otot tangan secara menyeluruh belum dapat dilakukan
secara maksimal. Untuk mencapai hasil maksimal dalam pengukuran ketahanan
otot tangan, diperlukan latihan secara teratur dan terus menerus sehingga otot-
otot tangan dapat berkembang dan beradaptasi dengan gerakan yang dilakukan.
Gerakan menggantung dapat dilibatkan dalam permainan yang dilakukan contoh
sehari-hari.
45
Pengukuran tes baring duduk atau sit-up merupakan tes yang berfungsi
untuk mengukur kekuatan otot perut. Pengukuran kekuatan otot perut dengan
metode sit-up merupakan ukuran yang tidak dimodifikasi berdasarkan standar
TKJI tahun 2005 khusus anak yang dikeluarkan oleh Depatemen Pendidikan
Nasional. Hasil pengujian sit-up disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan pengujian sit-up. Sit-up Kategori
n % Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik
1 8
37 5 0
2.0 15.7 72.5 9.8 0
Total 51 100
Tabel 27 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 72.5% memiliki
potensi kekuatan otot perut yang dikategorikan sedang. Skor pengukuran
maksimum adalah 4 dan skor minimum adalah 1, dengan skor pengukuran
rata-rata adalah 2.90±0.57. Hasil pengukuran tersebut disebabkan oleh hasil
pengujian sebagian besar baru mencapai skor 3. Pada pengukuran kekuatan otot
perut dengan metode sit-up, juga ditemukan contoh yang memiliki potensi
kekuatan otot perut yang dapat dikategorikan baik yaitu sebesar 9.8% contoh.
Hasil yang maksimal ini disebabkan oleh skor hasil pengukuran kekuatan otot
perut sudah mencapai skor 4. Pada pengukuran berdasarkan jenis kelamin
diperoleh hasil bahwa 73.33% contoh laki-laki dan 71.42% contoh perempuan
dapat dikategorikan sedang (Lampiran 5). Pengukuran yang dilakukan pada
contoh laki-laki dan perempuan belum mendapatkan hasil yang maksimal, karena
pertumbuhan dan perkembangan otot perut contoh belum mencapai
kesempurnaan. Untuk mencapai hasil yang maksimal, gerakan-gerakan tersebut
perlu dilibatkan dalam pola bermain anak sehari-hari, sehingga gerakan tersebut
dapat dilakukan dengan mudah.
Pengukuran lompat tegak yang dilakukan berfungsi untuk mengukur tenaga
eksplosif. Ukuran yang digunakan dalam pengukuran tenaga eksplosif tidak
dimodifikasi dan menggunakan standar TKJI tahun 2005 khusus anak yang
46
dikeluarkan oleh Depatemen Pendidikan Nasional. Hasil pengukuran disajikan
pada Tabel 28.
Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan pengujian lompat tegak. Lompat tegak Kategori n %
Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik
0 15 33 3 0
0 29.4 64.7 5.9 0
Total 51 100
Tabel 28 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 64.7% memiliki tenaga
eksplosif yang dikategorikan sedang. Skor nilai maksimum dari pengukuran
tengan eksplosif adalah 4 dan skor minimum 1, dengan skor rata-rata adalah
2.76±0.55. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengukuran tenaga eksplosif
sebagian besar mencapai skor 3. Pada pengukuran tenaga eksplosif, juga
ditemukan 5.9% contoh yang memiliki tenaga eksplosif yang dikategorikan baik.
Hasil maksimal tersebut disebabkan oleh nilai pengukuran sudah mencapai skor 4.
Faktor yang diduga berhubungan dengan hasil yang maksimal ini adalah ukuran
tubuh yang besar terutama panjang tulang yang berpengaruh terhadap kecepatan,
sedangkan besar otot memiliki kekuatan tinggi dalam memberikan reaksi
(Tangkudung 2007).
Dewi (2005) menyatakan bahwa sistem motorik kasar pada anak usia 48-72
bulan, dengan gerakan melompat dan mengangkat tubuh baik dengan tumpuan
satu kaki ataupun bergantian dapat dilakukan berdasarkan teori perkembangan
anak. Namun berdasarkan hasil penelitian ini gerakan tersebut tidak dilatih
sehingga menghasilkan gerakan yang tidak sempurna berdasarkan pengukuran
potensi tenaga eksplosif. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pengukuran
tenaga eksplosif, diperlukan keseimbangan badan dan kekuatan otot kaki.
Pengukuran kekuatan eksplosif dengan metode lompat tegak berdasarkan
jenis kelamin menunjukkan hasil bahwa 705 anak laki-laki dan 57.14% anak
perempuan memiliki kekuatan eksplosif yang dikategorikan sedang (Lampiran 5).
Faktor yang menyebabkan hasil pengukuran tersebut adalah karena pengujian
kekuatan eksplosif merupakan pengujian untuk menghasilkan gerakan yang
47
berkualitas tinggi yang harus didukung oleh otot yang besar dan kematangan
sistem motorik kasar maupun halus. Sedangkan usia 48-72 bulan merupakan usia
dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan fisik. Untuk menghasilkan lompatan
yang berkualitas diperlukan latihan secara teratur dan terus-menerus sehingga
seluruh otot besar tumbuh berkembang dengan baik terutama otot kaki dan tubuh
yang berhubugan dengan gerakan lompat tegak yang dilakukan. Gerakan-gerakan
tersebut dapat dilibatkan dalam permainan sehari-hari, karena pada usia 48-72
bulan, anak-anak sering melakukan permainan yang berhubungan dengan gerakan
yang digunakan dalam pengujian potensi atlit.
Gerakan lari 300 meter berfungsi untuk mengukur ketahanan
kardiovaskuler. Ukuran yang digunakan dalam pengujian ketahanan
kardiovaskuler dengan metode lari 300 meter, merupakan ukuran yang
dimodifikasi dari lari 600 meter. Faktor yang menjadi pertimbangan dalam
modifikasi ukuran pengujian ketahanan kardiovaskuler yaitu umur, kekuatan dan
kemampuan fisik contoh. Hasil pengukuran gerakan lari 300 meter disajikan
pada Tabel 29.
Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan tes lari 300 meter. Lari 300 meter Kategori
n % Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik
17 28 6 0 0
33.3 54.9 11.8
0 0
Total 51 100
Tabel 29 menunjukan bahwa 54.9% contoh memiliki potensi ketahanan
kardiovaskuler yang dikategorikan kurang. Skor pengukuran maksimum adalah 3
dan skor minimum 1, dengan skor rata-rata adalah 1.78±0.64. Pengukuran
ketahanan kardiovaskuler memiliki nilai yang rendah karena sebagian besar
contoh baru mencapai skor 2. Tingkat pencapaian hasil pengukuran tersebut
menunjukan daya tahan kardiovaskuler contoh belum dapat beradaptasi dengan
baik saat melakukan aktivitas fisik tinggi, sehingga daya kerja jantung tidak
maksimal dan berpengaruh terhadap kelelahan yang terjadi secara cepat.
48
Hasil pengukuran ketahanan kardiovaskuler berdasarkan jenis kelamin
menunjukkan hasil bahwa 56.66% contoh laki-laki dan 52.38% contoh perempuan
dikategorikan kurang (Lampiran 5). Rendahnya hasil pengukuran ketahanan
kardiovaskuler diduga disebabkan oleh otot jantung yang belum mencapai
perkembangan maksimal, sehingga tidak dapat bekerja dan beradaptasi dengan
baik dalam sistem sirkulasi darah jantung. Aktivitas fisik seperti ini sangat
membutuhkan kerja jantung yang maksimal, karena jantung merupakan organ
tubuh vital yang berfungsi sebagai organ pemompa darah ke seluruh tubuh
melalui arteri dan vena (Evelyn 2006).
Faktor yang juga diduga berhubungan dengan rendahnya skor yang
diperoleh pada pengujian ketahanan kardiovaskuler dengan metode lari 300 meter
adalah daya kerja paru-paru dalam menampung oksigen. Pada usia 48-72 bulan,
ukuran paru-paru anak tidak seperti ukuran orang dewasa, sehingga tidak dapat
menampung oksigen yang dihirup melalui sistem saluran pernapasan dalam
jumlah besar. Rendahnya oksigen menyebabkan terjadinya kelelahan pada otot,
karena oksigen merupakan salah satu faktor yang membantu dalam proses
percepatan metabolisme energi terutama pada kegiatan fisik.
Mencapai ketahanan kardiovaskuler yang baik, dapat diperoleh melalui
latihan secara teratur dan terus-menerus, sehingga otot jantung dan paru-paru
dapat beradaptasi dengan aktivitas fisik yang tinggi. Bila tubuh dilatih dengan
gerakan-gerakan yang dapat memacu kerja jantung dan paru-paru secara
terus-menerus maka akan berdampak positif terhadap ketahanan kardiovaskuler.
Untuk meningkatkan ketahanan kardiovaskuler contoh, gerakan-gerakan yang
berhubungan (seperti gerakan lari 300 meter) dapat dilibatkan dalam aktivitas
bermain terutama dalam permainan-permainan yang aktif.
Penilaian pengujian kecepatan gerak tubuh dengan metode lari 100 meter,
ketahanan otot tangan dengan metode menggantung, kekuatan otot perut dengan
metode sit-up, kekuatan eksplosif dengan metode lompat tegak dan ketahanan
kardiovaskuler dengan metode lari 300 meter yang dimiliki contoh adalah
mengukur potensi atlit secara menyeluruh dan hasilnya disajikan pada Tabel 30.
49
Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan lima parameter dan potensi atlit. 1 2 3 4 5 Potensi atlit Kategori % % % % % n %
Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sagat baik
7.8 51.0 35.3 5.9 0
0 9.8
52.9 33.3 3.9
2.0 15.7 72.5 9.8 0
0 29.4 64.7 5.9 0
33.3 54.9 11.8
0 0
3 25 21 2 0
5.88 49.01 41.17 3.92
0 Total 100 100 100 100 100 51 100
Ket : 1 (lari 100 meter), 2 (mengantung), 3 (Sit-up), 4 (lompat tegak), 5 (lari 300 meter).
Tabel 30 menunjukkan bahwa 49.01 % contoh dikategorikan sebagai potensi
atlit kurang dan 41.17% contoh dikategorikan sebagai potensi atlit sedang. Skor
pengukuran maksimum adalah 18 dan skor minimum adalah 9, dengan skor rata-
rata adalah 13.15±1.98. Rendahnya potensi atlit contoh di kebun teh Malabar dan
Purbasari disebabkan oleh hasil pengukuran potensi atlit sebagian besar berkisar
antara skor 10 sampai 13, dan 14 sampai 17. Faktor yang diduga menyebabkan
rendahnya potensi atlit contoh yaitu otot besar dan kontrol terhadap motorik halus
seperti kontrol tangan, belum berkembang secara sempurna. Anak-anak belum
terampil dan tidak dapat melakukan gerakan tubuh yang rumit (Sumantri 2005).
Rendahnya potensi atlit contoh disebabkan oleh hasil pengukuran lima
parameter yang digunakan untuk mengukur dan menilai sebagian besar belum
maksimal. Hasil pengukuran lari 100 meter, didominasi oleh kecepatan gerak
fisik kategori kurang (51.0%) dengan skor rata-rata 2.39±0.72, pengukuran
menggantung didominasi ketahanan otot tangan kategori sedang (52.9%) dengan
skor rata-rata 3.31±0.70, pengukuran sit-up sebagian besar memiliki otot perut
kategori sedang 72.5% dengan skor rata-rata 2.90±0.57, sedangkan pengukuran
lompat tegak didominasi tenaga eksplosif kategori sedang 64.7% dengan skor
rata-rata 2.76±0.55, serta pengukuran lari 300 meter didominasi ketahanan
kardiovaskuler kategori kurang 54.9% dengan skor rata-rata 1.78±0.64. Nilai-nilai
tersebut berpengaruh terhadap potensi atlit yang rendah pada contoh dengan usia
48-72 bulan di kebun teh Malabar dan Purbasari.
Pada hasil pengukuran, juga ditemukan contoh yang memiliki potensi atlit
yang dapat dikategorikan baik yaitu sebesar 3.92%. Hasil yang maksimal
disebabkan oleh lima ukuran terutama kecepatan fisik, ketahanan otot, kekuatan
50
otot dan tenaga eksplosif sudah mencapai tingkat nilai maksimal. Pada
pengukuran lari 100 meter diperoleh kecepatan gerak fisik yang dikategorikan
baik yaitu sebesar 5.9%. Contoh yang memiliki kecepatan fisik yang baik,
diperlukan pembinaan sejak dini, oleh karena contoh memiliki kecepatan gerak
fisik yang maksimal. Jenis olahraga yang diarahkan adalah jenis olahraga atletik
dan sepak bola. Hasil pengukuran penggabungan antara kecepatan gerak fisik dan
tenaga eksplosif kategori baik adalah 11.8%, sehingga bisa diarahkan ke jenis
olahranga lari halang lintar dan bola voli. Sedangkan pada pengukuran
menggantung, juga ditemukan ketahanan otot kategori baik 33.3% dan sangat baik
3.9%. Contoh yang memiliki ketahanan otot yang baik dapat dibina sejak dini,
karena pada usia ini contoh telah memiliki kekuatan otot maksimal untuk
melahirkan calon atlit-atlit berprestasi. Jenis olahraga yang harus diarahkan yaitu
angkat besi, lempar lembing, lempar cakram, tolak peluru, tinju, panjat tebing dan
olahraga lainnya yang berhubungan dengan kekuatan otot tangan.
Hasil pengukuran sit-up, ditemukan contoh yang memiliki kekuatan otot
perut kategori baik 9.8%, sehingga diperlukan pembinaan sejak dini untuk
diarahkan ke jenis olahraga yang berhubungan dengan kekuatan otot perut seperti
tinju dan lain-lain. Pada pengukuran lompat tegak, juga ditemukan contoh yang
memiliki potensi tenaga eksplosif kategori baik 5.9%. Jenis olahraga yang
diarahkan yaitu lompat jauh, lompat tinggi, sepak bola dan olahraga yang
berhubungan dengan kekuatan kaki, karena pada usia ini contoh telah memiliki
tenaga eksplosif maksimal yang dapat dikembangkan.
Berdasarkan Lampiran 7, penggabungan nilai pengukuran kecepatan gerak
fisik dan kekuatan otot tangan kategorik baik dengan prosentasi 19.6%. pada
pengukuran kecepatan gerak fisik, kekuatan dan ketahanan otot kategori baik
dengan prosentase 16.33%. Sedangkan pengukuran kecepatan gerak fisik,
kekuatan otot tangan, ketahanan dan kekuatan eksplosif kategori baik dengan
prosentasi 13.72%. Pengukuran kecepatan gerak fisik, kekuatan, ketahanan otot,
tenaga eksplosif dan ketahanan kardiovaskuler karegori baik yaitu 10.98. Jenis olahraga
yang perlu diarahkan adalah bola voli dan basket, sepak bola, atletik dan olahraga
lainnya. Pengujian potensi atlit tersebut bila dibedakan berdasarkan jenis kelamin,
51
maka contoh laki-laki memiliki hasil lebih baik dibandingkan contoh perempuan.
Hasil pengujian disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31 Sebaran contoh usia 48-72 bulan berdasarkan potensi atlit dan jenis kelamin.
Laki-laki Perempuan Total Kategori n % n % n % Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik
0 14 14 2 0
0.00 46.67 46.67 6.66
0
7 11 3 0 0
33.33 52.38 14.29
0 0
3 25 17 2 0
13.73 49.02 33.33 3.92
0 Total 30 100 21 100 51 100
Tabel 31 menunjukkan bahwa 46.7% dari 30 contoh laki-laki memiliki
potensi atlit yang dikategorikan sedang dan kurang yaitu 46.7%, sedangkan 52.4%
dari 21 contoh perempuan memiliki potensi atlit yang dikategorikan kurang.
Rendahnya potensi atlit contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari dipengaruhi
oleh hasil pegukuran lima parameter berdasarkan jenis kelamin terutama
pengujian ketahanan kardiovaskuler dan kecepatan gerak yang memiliki hasil
yang rendah pada contoh perempuan. Hal ini menunjukan bahwa dari lima
parameter tes potensi atlit yang dilakukan, 6.6% dari 30 contoh laki-laki memiliki
potensi atlit yang mencapai hasil cukup maksimal. Faktor yang diduga
mempengaruhi perbedaan hasil pengukuran pada contoh laki-laki dan perempuan
adalah struktur fisik yang dimiliki. Anak laki-laki memiliki ketahanan fisik lebih
baik dibandingkan anak perempuan. Sumantri (2005) menyatakan bahwa anak
laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi dan besar dari anak perempuan. Faktor
tersebut diduga menyebabkan terdapatnya perbedaan kemampuan kerja fisik
contoh.
Aktivitas Bermain Anak Usia 48-72 Bulan
Bermain merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan, spontan dan
didorong oleh motivasi internal yang umumnya dilakukan oleh anak-anak
(Dariyo 2007). Aktivitas bermain dalam penelitian adalah aktivitas bermain usia
48-72 bulan yang melibatkan kombinasi organ fisik untuk merangsang
52
pertumbuhan. Pengukuran aktivitas bermain anak dalam penelitian menggunakan
10 item yang terdiri dari pertanyaan dan pengamatan yang dilakukan melalui
wawancara kepada responden serta pengamatan langsung kegiatan bermain
contoh. Hasil pengukuran disajikan pada Tabel 32 .
Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan jenis permainan tradisional. Ya Tidak Total Jenis permainan n % n % n %
Waktu bermain >3 Jam Bermain kejar-kejaran Bermain kucing-kucingan Bola tangan Bola kaki Lompat tali Mengelilingi lingkaran Melompat satu kaki Melompat dua kaki Permainan dilakukan dua minggu terakhir
48 51 50 6
27 40 51 47 44 51
94.11 100
98.03 11.76 52.94 78.43 100
92.15 86.27 100
3 0 1
45 23 11 0 4 7 0
5.89 0
1.07 88.24 47.06 21.57
0 7.85 13.73
0
51 51 51 51 51 51 51 51 51 51
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Dari hasil analisis, contoh memiliki waktu bermain di kebun teh Malabar
dan Purbasari >3 jam adalah sebesar 95.11%. Jenis permainan yang melatih
kecepatan yaitu bermain kejar-kejaran bermain kucing-kucingan di kebun teh
Malabar dan Purbasari adalah jenis yang sering dilakukan, dengan persentase
masing-masing 100% dan 98.03%. Permainan tradisional bola kasti untuk melatih
kekuatan tangan dan kecepatan adalah jenis permainan yang paling sering tidak
dilakukan (88.24%). Hal ini disebabkan oleh jenis permainan bola kasti tidak
diminati contoh terutama oleh contoh berjenis kelamin perempuan.
Sebanyak 52.94% contoh melakukan permainan tradisional bola kaki di
kebun teh Malabar dan Purbasari, terutama didominasi oleh contoh laki-laki.
Budaya saat ini masih beranggapan bahwa permainan sepak bola hanya
dikhususkan untuk laki-laki. Sebanyak 78.43% contoh melakukan permainan
lompat tali yang berfungsi mengasah kekuatan otot kaki. Permainan ini
merupakan permainan yang diminati oleh anak baik laki-laki maupun perempuan.
Sedangkan untuk permainan lari mengelilingi lingkaran untuk melatih kecepatan
dan keseimbangan tubuh, sebanyak 100% contoh baik laki-laki maupun
perempuan melakukan permaian tersebut.
53
Permainan yang melatih kekuatan otot dan kelincahan kaki dengan
melompat tumpuhan satu kaki dan saling berganti, sebagian besar contoh dapat
melakukan gerakan tersebut, yaitu 92.15% untuk satu kaki 92.15% dan 86.27%
untuk dua kaki. Dari gambaran deskriptif berdasarkan wawancara dan
pengamatan terhadap kegiatan bermain, diperoleh aktivitas bermain contoh di
kebun teh Malabar dan Purbasari yang disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan akitvitas bermain. Aktivitas bermain Kategori n %
Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik
0 1
10 23 17
0 1.96 19.60 45.09 33.33
Total 51 100
Tabel 33 menunjukkan bahwa 45.09% contoh memiliki aktivitas bermain
yang dikategorikan baik. Skor nilai maksimum adalah 10 dan skor minimum
adalah 5, dengan nilai rata-rata adalah 8.13±1.05. Tingginya aktivitas bermain
disebabkan seluruh contoh memiliki waktu bermain diatas >3 jam. Selain waktu
bermain, sebagian besar permainan tradisional seperti bermain kejar-kejaran,
kucing-kucingan, lompat tali, lari mengelilingi lingkaran, melompat dengan satu
kaki dan dua kaki dengan cara saling berganti sering dilakukan dalam aktivitas
bermain contoh sehari-hari.
Tingginya aktivitas bermain anak diduga disebabkan juga oleh faktor usia,
dimana usia 48-72 bulan merupakan usia aktif. Hampir seluruh waktu digunakan
untuk tidur dan bermain dengan teman-temannya. Permainan ini bukan hanya
mengasah ketangkasan organ motorik semata, tetapi juga perkembangan emosi
dan sosial (Dewi 2005).
Perkembangan ketrampilan motorik kasar dengan melakukan gerakan lari,
melompat dalam permainan kelihatannya sederhana, namun gerakan kaki, tangan
dan seluruh tubuh merupakan aktivitas otot yang cukup rumit. Ketrampilan yang
diasah melalui aktivitas bermain menuntut kematangan dalam koordinasi seluruh
gerakan otot. Akitivitas bermain berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada
Tabel 34.
54
Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas bermain dan jenis kelamin. Laki-laki Perempuan Total
Kategori n % n % n %
Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik
0 0 2
14 14
0 0
6.66 48.66 48.66
0 1 8 9 3
0 4.47 38.09 42.85 14.85
0 1
10 23 17
0 1.96 19.61 45.10 33.33
Total 30 100 21 100 51 100
Tabel 34 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh laki-laki 48.66% dari
30 orang contoh memiliki aktivitas bermain yang dikategorikan sangat baik dan
baik. Faktor yang menyebabkan tingginya aktivitas bermain pada contoh laki-laki
adalah waktu bermain dan jenis permainan tradisional yang sering dimainkan,
dimana seluruh jenis permainan tradisional yang diamati sering dimainkan sehari-
hari oleh contoh laki-laki. Jenis permainan yang dominan dilakukan oleh contoh
laki-laki adalah sepak bola dan bola kasti atau bola tangan. Nilai tersebut
mempengaruhi hasil pengukuran contoh laki-laki. Pada contoh perempuan,
sebagian besar 42.85% dari 21 orang contoh memiliki aktivitas bermain yang
dikategorikan baik. Hasil pengukuran aktivitas bermain contoh perempuan adalah
belum maksimal karena dua jenis permainan terutama bola kasti atau bola tangan
jarang dimainkan. Sedangkan permainan bola kaki tidak pernah dimainkan contoh
perempuan. Jenis permainan merupakan ciri budaya setempat yang ikut
berpengaruh dalam membatasi pemilihan permainan. Aktivitas bermain yang
melibatkan organ fisik cenderung dilakukan contoh laki-laki daripada perempuan.
Status Kesehatan
Status kesehatan menurut Undang-undang Kesehatan nomor 23 Tahun 1992
adalah suatu keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Status kesehatan dalam
penelitian adalah riwayat penyakit yang pernah diderita, meliputi diare dan ISPA
yang dialami contoh satu bulan yang lalu dan saat penelitian berlangsung. Hasil
analisis data status kesehatan contoh berdasarkan frekuensi sakit diare dan ISPA
disajikan pada Tabel 35.
55
Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi sakit diare dan ISPA. Diare ISPA Frekuensi sakit n % n %
Tidak pernah (0) Perna sakit(1-2) Sering sakit(≥3)
38 13 0
74.50 25.50
0
19 23 9
37.25 45.09 17.64
Total 51 100 51 100
Tabel 35 menunjukkan bahwa 74.50% contoh tidak pernah mengalami sakit
diare dengan frekuensi sakit rata-rata 0.31± 0.54 per bulan, dan 45.09% contoh
pernah mengalami sakit ISPA (1 sampai 2 kali per bulan) dengan frekuensi sakit
rata-rata 1.07±1.09 per bulan. Tingginya frekuensi sakit disebabkan contoh
mengalami frekuensi sakit berkisar 1 sampai 2 kali per bulan terutama penyakit
ISPA. Faktor yang diduga menyebabkan tingginya frekuensi sakit ISPA yaitu
keadaan sanitasi rumah masih belum memadai terutama jendela yang berfungsi
mengatur sirkulasi udara. Jumlah ventilasi udara belum dapat mengatur sirkulasi
udara secara maksimal. Syarat rumah sehat untuk ventilasi udara yaitu 20% dari
luas ruangan tidak dipenuhi, dan jumlah penghuni yang menempati rumah begitu
padat. Ventilasi udara dan padatnya penghuni menyebabkan tidak maksimalnya
sirkulasi udara sehingga mendukung terjadinya penularan ISPA.
Tabel 35 juga menunjukkan bahwa 25.40% contoh pernah mengalami sakit
diare (1 sampai 2 kali per bulan). Faktor yang diduga berhubungan dengan
frekuensi sakit diare yaitu air minum yang digunakan oleh keluarga contoh,
dimana air tersebut bersumber dari mata air dan air tanah, sehingga kurang
terjamin kebersihannya jika tidak ditangani dengan baik. Rendahnya frekuensi
sakit diare diderita contoh masih memiliki dampak yang cukup besar terhadap
kesehatan contoh.
Penyebab utama kematian anak di Indonesia saat ini disebabkan oleh
penyakit ISPA dan infeksi diare (Depkes 2004). Kedua penyakit tersebut
memiliki hubungan terhadap sanitasi lingkungan dan perilaku masyarakat. Blum
dalam Notoatmojo (2003) menyatakan bahwa status kesehatan baik individu
maupun masyarakat dipengaruhi oleh lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan
dan keturunan. Sebaran tempat pengobatan contoh yang mengalami sakit dilihat
pada Tabel 36.
56
Tabel 36 Sebaran tempat pengobatan bila contoh mengalami sakit. Tempat Pengobatan n % Tidak pernah Rumah sakit Dokter Puskesmas Beli obat di warung Pengobatan tanaman obat Pengobatan lain
4 1 7
26 7 5 1
7.84 1.96 13.73 50.98 13.73 9.80 1.96
Total 51 100
Berdasarkan Tabel 36, 50.98% contoh yang mengalami sakit berobat di
puskesmas. Tingginya kunjungan ke puskesmas disebabkan oleh akses ke
puskesmas yang ada di kebun teh Malabar dan Purbasari mudah dijangkau
masyarakat, serta biaya pelayanan kesehatan yang murah dengan pelayanan
kesehatan yang berkualitas. Tabel 36 juga menunjukkan bahwa 9.80% contoh
diberikan tanaman obat bila mengalami sakit, hal ini menggambarkan
kemandirinan orang tua dalam penanggulangan kesehatan anak. Selain itu ada
13.73% contoh yang diberikan obat yang dibeli dari warung bila mengalami
sakit. Hal ini terjadi dengan alasan bahwa orang tua contoh tidak memiliki biaya
untuk pergi ke tempat pelayanan kesehatan. Notoatmojo (2003) menyatakan
bahwa kemiskinan merupakan faktor penyebab rendahnya akses pelayanan
kesehatan.
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan dalam penelitian adalah nilai dari zat gizi energi, protein,
vitamin A dan zat besi (Fe), dari jenis pangan yang dikonsumsi anak usia 48-72
bulan yang diperoleh melalui recall 2 x 24 jam, selama 2 hari yang dibandingkan
dengan angka kecukupan rata-rata individu yang dianjurkan per orang per hari.
Hasil analisis data konsumsi zat gizi disajikan pada Tabel 37.
Tabel 37 Sebaran contoh usia 48-72 berdasarkan konsumsi zat gizi rata-rata dan rasio kecukupan.
Konsumsi zat gizi Kosumsi rata-rata zat gizi Rasio kecukupan rata-rata Energi (kkal) Protein (g) Vitamin A (RE) Zat besi (mg)
1215±1204.57 21,15±9,15
281,76±243.63 6,40±2.76
76,78±11,70% 51,80±20,54% 39,55±27,38% 61,63±17,64%
Rata-rata ±SD
57
Konsumsi energi rata-rata per orang per hari di kebun teh Malabar dan
Purbasari adalah 1215±1204,57 kkal dengan nilai konsumsi maksimum sebesar
1681,57 kkal dan nilai konsumsi minimum sebesar 808,73 kkal. Konsumsi energi
dari 51 contoh belum memenuhi angka kecukupan konsumsi energi yang
dianjurkan per orang per hari (1550 kkal), dengan rasio kecukupan energi sebesar
76.78±11.70%. Tingginya rasio kecukupan disebabkan oleh terdapatnya variasi
data konsumsi energi dari 51 contoh. Kebutuhan energi contoh telah terpenuhi,
karena rasio kecukupan energi sudah diatas 70%. Konsumsi energi contoh di
kebun teh Malabar dan Purbasari sebagian besar bersumber dari karbohidrat yaitu
nasi yang merupakan makanan pokok utama. Menurut Ahmad et al. (2007),
energi berasal dari bahan pangan yang dikonsumsi yang bersumber dari
karbohidrat, lemak dan protein.
Fungsi protein untuk tubuh manusia adalah sebagai berikut : 1) membangun
sel tubuh, 2) mengganti sel tubuh, 3) membuat air susu dan hormon, 4) membuat
protein darah, 5) menjaga asam-basa cairan tubuh, dan 6) pemberi kalori (Irianto
2007). Konsumsi protein contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari rata-rata per
orang per hari adalah 21,15±9,16 gram. Konsumsi protein maksimum adalah
45,16 gram dan minimum adalah 6,73 gram. Bila dibandingkan dengan angka
kecukupan protein yang dianjurkan (39 gram), maka rata-rata konsumsi protein
dari 51 contoh belum terpenuhi. Rasio kecukupan protein contoh adalah
51.80±20.54%, dan hal ini menggambarkan bahwa konsumsi protein contoh di
kebun teh Malabar dan Purbasari belum terpenuhi. Rendahnya konsumsi protein
contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari disebabkan oleh sumber protein yang
dikonsumsi contoh sebagian besar mengandalkan protein nabati yaitu tempe dan
tahu. Tempe dan tahu merupakan sumber protein nabati, namun konsumsi protein
nabati tersebut juga masih sangat rendah sehingga tidak memenuhi kecukupan
protein yang dianjurkan.
Konsumsi protein yang bersumber dari protein hewani seperti ikan dan telur
masih rendah. Almatsier (2005) menyatakan bahwa sumber kandungan protein
tertinggi terdapat pada bahan makanan hewani. Rendahnya konsumsi protein
diduga juga disebabkan oleh faktor kemiskinan, sehingga masyarakat belum
mampu menjangkau bahan pangan yang berkualitas. Menurut Mundanijah et al.
58
(2006), faktor ekonomi dan harga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
konsumsi pangan.
Konsumsi vitamin A yang cukup sangat baik untuk tubuh. Vitamin A
berfungsi dalam hal penglihatan, pertumbuhan dan perkembangan, diferensiasi
sel, reproduksi dan kekebalan tubuh (Ahmad et al 2007). Jenis makanan hewani
dan nabati yang kaya akan kandungan vitamin A yaitu hati, telur, wortel, sayur
berwarna hijau, produk susu dan keju (Irianto 2007). Konsumsi vitamin A contoh
di kebun teh Malabar dan Purbasari rata-rata adalah 281,76±243,63, dengan nilai
maksimum adalah 478 RE dan nilai minimum adalah 116 RE. Bila dibandingkan
dengan angka kecukupan vitamin A yang dianjurkan (450 RE), maka rata-rata
konsumsi vitamin A contoh termasuk kategori kurang atau belum terpenuhi,
dengan rasio kecukupan 39.55±27.38%. Rendahnya konsumsi vitamin A karena
rendahnya konsumsi sayur-sayuran dan pangan hewani contoh di kebun teh
Malabar dan Purbasari.
Rata-rata konsumsi zat gizi besi (Fe) contoh di kebun teh Malabar dan
Purbasari adalah 6,40±2,76, dengan nilai maksimum sebesar 16.32 mg dan nilai
minimum sebesar 2.78 mg. Bila dibandingkan dengan angka kecukupan zat besi
rata-rata yang dianjurkan (9 mg), maka rata-rata konsumsi zat gizi besi (Fe)
contoh belum memenuhi angka kecukupan yang dianjurkan. Bila dikonversikan
ke rasio kecukupan konsumsi besi (Fe), maka diperoleh rasio kecukupan zat gizi
besi (Fe) sebesar 61.63±17.64. Rendahnya kosumsi zat gizi besi (Fe) disebabkan
oleh masih rendahnya konsumsi pangan hewani dan sayuran. Bahan pangan kaya
akan zat gizi besi (Fe), dan sebagian besar tekandung pada bahan makanan
hewani. Untuk mendapatkan zat gizi yang berkulaitas dalam bahan makanan,
diperlukan konsumsi makanan yang beragam, karena seluruh zat gizi makro,
mikro, vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh tidak terdapat dalam satu jenis
bahan pangan. Tubuh memerlukan zat gizi dalam batas tertentu, bila konsumsi
melebihi kebutuhan tubuh, maka akan berdampak terhadap kesehatan. Konsumsi
zat gizi yang cukup digunakan sebagai sumber energi, zat pembangun, zat
pembentuk dan zat pengatur dalam menjalankan proses tubuh. Kebutuhan zat gizi
seseorang dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur aktivitas fisik, berat badan, tinggi
badan, genetik serta keadaan fisiologis seseorang (Karyadi dan Muhilal 1998).
59
Jumlah zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan normal juga tergantung
dari kualitas zat gizi yang dimakan seperti bagaimana zat gizi itu mudah dicerna
(digestibility) dan diserap (absorbability) (Pudjiadi 2005).
Status Anemia
Penilaian status gizi secara laboratorium atau biokimia digunakan untuk
mendeteksi tahap defisiensi subklinis dan untuk mengkonfirmasi diagnosa secara
klinis terhadap seseorang. Cara ini merupakan metode yang dinilai secara objektif,
karena tidak melibatkan emosi dan faktor subjektif lainnya. Untuk menilai apakah
seseorang mengalami anemia, dapat dilakukan dengan pengukuran haemoglobin
(Hb) (Gibson 2005). Haemoglobin (Hb) adalah cairan merah dalam darah yang
berfungsi mengangkut oksigen yang disebarkan ke seluruh tubuh. Metode yang
digunakan dalam penelitian adalah metode sahli. Metode ini digunakan sebagai
pengganti dari metode sianmethemoglobin, karena di tempat pelayanan kesehatan
masyarakat (puskesmas) di daerah penelitian tidak tersedia metode
sianmethemoglobin, dimana metode ini merupakan metode yang
direkomendasikan oleh WHO. Metode sahli akan lebih baik dilakukan bila
menggunakan tenaga ahli yang telah mengikuti pendidikan, pelatihan dan
berpengalaman (Muhilal & Saidin 1980). Untuk mencegah bias lebih besar, maka
dalam pengukuran haemoglobin (Hb), ujung jari anak-anak setelah terlebih
dahulu dibersihkan dengan alkohol, kemudian daerah tersebut dibersihkan lagi
dengan tisu untuk mencegah terjadi percampuran alkohol dan plasma darah.
Hasil pengukuran haemoglobin (Hb), yang dilakukan selama dua hari di
kebun teh Malabar dan Purbasari, menyatakan bahwa sebagian besar contoh
mengalami kekurangan haemoglobin (Hb) dalam darah atau anemia. Hasil
pengukuran status biokimia tersebut disajikan pada Tabel 38.
Tabel 38 Sebaran contoh berdasarkan haemoglobin (Hb). Haemoglobin (Hb) n %
Normal (≥110g/l atau 115g/l) Anemia (<110g/l atau 115g/l)
19 32
37.25 62.74
Total 51 100
60
Tabel 38 menunjukkan bahwa sebanyak 62.74% contoh di kebun teh
Malabar dan Purbasari mengalami status anemia dan 37.25% contoh memiliki
haemoglobin (Hb) normal yaitu, dengan nilai rata-rata 11.10±0.79. Rendahnya
haemoglobin (Hb) contoh karena masih rendahnya konsumsi zat gizi terutama zat
gizi besi (Fe) dan protein. Konsumsi zat gizi besi (Fe) rata-rata adalah 6,40±2,76
dan protein adalah 21,15±9,16 (Tabel 35). Kedua zat gizi tersebut merupakan
bahan yang dibutuhkan tubuh dalam pembentukan haemoglobin (Hb) darah.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia antara lain asupan zat gizi besi (Fe)
yang tidak memadai, terjadi peningkatan kebutuhan fisiologis dan kehilangan
banyak darah (Ahmad et al. 2007). Sebaran haemoglobin (Hb) berdasarkan jenis
kelamin disajikan pada Tabel 39.
Tabel 39 Sebaran contoh berdasarkan haemoglobin (Hb) dan jenis kelamin. Laki-laki Perempuan Total Haemoglobin (Hb)
n % n % n % Normal (≥110g/l atau 115g/l) Anemia (<110g/l atau 115g/l)
10 20
33.33 66.66
9 12
42.85 57.14
19 32
37.25 62.75
Total 30 100 21 100 51 100
Tabel 39 menunjukkan bahwa 66.66% (dari 31 contoh) contoh laki-laki dan
57.14% (dari 21 contoh) contoh perempuan memiliki status anemia. Rendahnya
kadar haemoglobin (Hb) diduga disebabkan oleh rendahnya konsumsi zat gizi
besi (Fe). Jika jumlah masukan zat gizi besi (Fe) melalui makanan sehari-hari
tidak dapat mencukupi, adanya kebutuhan fisiologis atau kehilangan zat gizi besi
(Fe) yang meninggi, mengakibatkan keadaan kekurangan zat gizi besi (Fe) dalam
tubuh. Anemia yang tinggi juga akan berdampak terhadap rendahnya produktifitas
tubuh, menurunnya kemampuan berpikir dan suplai oksigen yang tidak maksimal
ke seluruh jaringan tubuh (Pudjiadi 2005).
Status Gizi
Kumaidi (1998) menyatakan bahwa jenis antropometri tinggi badan dan
berat badan merupakan pendekatan antropometri yang terhandal dan mudah
dilakukan. Status gizi dalam penelitian ini adalah keadaan gizi anak usia 48-72
61
bulan secara antropometri dengan menggunakan indeks BB/U, TB/U, BB/TB
WHO/NCHS, yang dianalisis menggunakan program nutrisurvey 2005. Hasil
analisis data status gizi berdasarkan indeks BB/U disajikan pada Tabel 40.
Tabel 40 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/U. Status gizi Kategori n %
Buruk ( Z-score<-3) Kurang (Z-score -3 sd -2) Normal (Z-score -2 sd 2
2 16 33
3.92 31.37 64.70
Total 51 100
Tabel 40 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 64.70% memiliki
status gizi normal, dengan nilai rata-rata Z-score sebesar -1.66±0.80. Indikator
pengukuran status gizi dengan indeks BB/U mencerminkan keadaan status gizi
saat ini. Rendahnya nilai Z-score berdasarkan indeks BB/U merupakan indikator
kekurangan gizi kronis (Gibson 2005). Sebaran contoh berdasarkan indeks status
gizi BB/U dan jenis kelamin di kebun teh Malabar dan Purbasari disajikan pada
Tabel 41.
Tabel 41 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (BB/U) dan jenis kelamin.
Laki-laki Perempuan Total Status Gizi n % n % n % Buruk ( Z-score<-3) Kurang (Z-score -3 sd-2) Normal (Z-score -2 sd 2)
0 10 20
0,00 33.33 66.66
2 6
13
9.52 28.57 61.90
2 16 33
3.92 31.37 64.70
Total 30 100 21 100 51 100
Tabel 41 menunjukkan bahwa 64.70% contoh berjenis kelamin laki-laki dan
61.90% contoh berjenis kelamin perempuan memiliki status gizi normal
berdasarkan indeks BB/U. Tabel 41 juga menunjukkan bahwa masih terdapat
contoh berjenis kelamin perempuan yang mengalami status gizi buruk dan kurang,
yaitu masing-masing sebesar 9.52% dan 28.57%. Pengukuran status gizi
berdasarkan indeks TB/U pada contoh dikebun teh Malabar dan Purbasari
disajikan pada Tabel 42.
62
Tabel 42 Sebaran contoh berdasarkan status gizi TB/U. Status gizi Kategori n %
Kurang (Z-score <-2) Normal (Z-score -2 sd 2)
37 14
72.54 27.45
Total 51 100
Berdasarkan Tabel 42 di atas, 72.54% contoh yang berusia 48-72 bulan di
kebun teh Malabar dan Purbasari, memiliki status gizi kurang berdasarkan indeks
TB/U, dengan nilai rata-rata Z-score sebesar 2.40±0.96. Sebagian besar contoh
mengalami kurang gizi stunted atau pendek. Anak-anak yang mengalami kurang
gizi stunted atau pendek biasanya disebabkan oleh kualitas makanan yang
dikonsumsi tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi dan sering mengalami sakit
terutama penyakit infeksi (Allen dan Gillespie 2001). Stunted atau pendek masih
menjadi masalah besar bagi bangsa Indonesia. Dari berbagai survei yang
dilakukan antara tahun 1990 sampai 2001 menunjukkan hasil bahwa prevalensi
anak pra-sekolah yang stunted atau pendek masih sangat tinggi yaitu lebih dari
40%, dan cenderung tidak ada perubahan. Sehingga dapat diasumsikan bahwa
hampir separuh dari anak pra-anak sekolah dari berbagai survei tersebut telah
mengalami kurang gizi secara berulang sehingga mengakibatkan pertumbuhan
yang tidak optimal (Achadi 2008).
Supariasa (2002) menyatakan bahwa indikator status gizi berdasarkan indeks
TB/U digunakan sebagai indikator untuk mengukur status gizi masa lampau.
Dengan demikian contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari tersebut,mengalami
status gizi buruk dan kurang di masa lampau, sehingga mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan normal saat ini. Status gizi berdasarkan indeks
TB/U pada contoh berusia 48-72 bulan berdasarkan jenis kelamin disajikan pada
Tabel 43.
Tabel 43 Sebaran status gizi TB/U usia 48-72 bulan berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki Perempuan Total
Status Gizi n % n % n % Kurang (Z-score < -2) Normal (Z-score -2 sd 2)
23 7
79.31 24.13
14 7
63.63 31.81
37 14
Total 30 100 21 100 51 100
63
Tabel 43 menunjukkan bahwa status gizi berdasarkan indeks TB/U sebagian
besar contoh berusia 48-72 bulan adalah termasuk gizi kurang, dengan persentase
masing-masing sebesar 79.31% untuk contoh berjenis kelamin laki-laki dan
63.63% untuk contoh berjenis kelamin perempuan yang berada di kebun teh
Malabar dan Purbasari. Hasil pengukuran status gizi berdasarkan indeks BB/TB
disajikan pada Tabel 44.
Tabel 44 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/TB. Status gizi Kategori n %
Sangat kurus z-score <-3 Kurus z-score-3s/d-2 Normal z-score-2s/d2 Gemuk z-score>2
1 1
49 0
1.96 1.96 96.07
0 Total 51 100
Berdasarkan Tabel 44, status gizi sebagian besar contoh 96.07% berdasarkan
indeks BB/TB di kebun teh Malabar dan Purbasari adalah normal, dengan nilai
rata-rata Z-score sebesar 0.28±1.03. Status gizi berdasarkan indeks BB/TB adalah
indikator yang digunakan untuk mengukur status gizi saat ini Supariasa (2002).
Status gizi berdasarkan indeks BB/TB berdasarkan jenis kelamin disajikan pada
Tabel 45.
Tabel 45 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/TB dan jenis kelamin. Laki-laki Perempuan Total Status Gizi n % n % n %
Sangat kurus z-score <-3 Kurus z-score-3s/d-2 Normal z-score-2s/d2 Gemuk z-score>2
0 0
30 0
0. 0
100 0
1 1
19 0
4.76 4.76 90.47
0
1 1
49 0
1.96 1.96 96.08
0 Total 30 100 21 100 51 100
Tabel 45 di atas menunjukka bahwa 100% contoh berjenis kelamin laki-laki
dan 90.47% contoh berjenis kelamin perempuan yang berada di kebun teh
Malabar dan Purbasari memiliki status gizi normal. Selain itu juga masih
ditemukan contoh berjenis kelamin perempuan yang mengalami satus gizi
kategori kurus dan sangat kurus yaitu sebesar 4.76%.
64
Hubungan Antara Konsumsi Pangan Dengan Potensi Atlit
Konsumsi pangan yang digunakan sebagai parameter dalam pengujian
statistik dengan potensi atlit berusia 48-72 bulan adalah zat gizi energi dan
protein, karena kedua zat gizi makro tersebut digunakan sebagai parameter dalam
penilaian status gizi berdasarkan konsumsi pangan. Hasil analisis korelasi antara
konsumsi pangan dengan potensi atlit usia 48-72 bulan disajikan pada Tabel 46.
Tabel 46 Hubungan antara konsumsi energi, protein, vitamin A dan besi (Fe) dengan potensi atlit contoh.
Potensi atlit contoh Konsumsi pangan
Koefisien korelasi p
Energi 0.33* 0.01
Protein -0.04 0.74
Vitamin A -0.03 0.82
Besi (Fe) -0.05 0.75
Keterangan: * hubungan nyata (p<0.05)
Berdasarkan Tabel 46, dapat dilihat bahwa terdapat hubungan nyata
(p<0.05) antara konsumsi energi dengan potensi atlit usia 48-72 bulan. Hal ini
berarti bahwa terjadi peningkatan konsumsi energi contoh menuju angka
kecukupan yang dibutuhkan sehingga potensi atlit contoh juga akan meningkat.
Terdapatnya hubungan nyata antara konsumsi energi dengan potensi atlit usia
48-72 bulan karena nilai konsumsi energi rata-rata adalah sebesar 1215±1204,57
kkal (Tabel 37), dengan rasio kecukupan energi sebesar 76.78±11.70.
Konsumsi energi memberikan dampak terhadap potensi atlit. Gerakan fisik
yang dilakukan memerlukan energi yang diperoleh dari konsumsi zat gizi. Zat gizi
tersebut dicerna melalui saluran pencernaan dan diuraikan dalam tubuh untuk
digunakan sebagai sumber tenaga. Bila konsumsi melebihi kebutuhan tubuh,
maka akan tersimpan di hati dalam bentuk lemak serta glikogen otot yang
berperan sebagai cadangan energi tubuh (Suhardjo dan Kusharto 1992). Pengujian
potensi atlit yang dilakukan sepenuhnya melibatkan aktivitas kegiatan fisik yang
tinggi, sehingga tubuh membutuhkan energi yang cukup untuk digunakan.
65
Cadangan zat gizi utama yang digunakan untuk aktivitas fisik tinggi yaitu
glukosa dan glikogen otot yang tersimpan dalam tubuh, yang terlebih dahulu
diuraikan melalui proses glikolisis sehingga menghasilkan energi yang
dibutuhkan. energi yang dibutuhkan tubuh diperoleh melalui dua sistem energi
yaitu anaerobik dan aerobik. Proses perubahan zat gizi menjadi energi melalui
proses anaerobik dilakukan dalam waktu yang cepat. Poses perombakan zat gizi
menjadi energi ini, dapat menghasilkan asam laktat dan energi yang kecil yaitu
2-3 ATP. Asam laktat terkumpul dan terbentuk, sehingga sel menjadi asam akan
mempengaruhi efisiensi kerja otot, nyeri otot dan kelelahan. Sedangkan pada
proses aerobik, tubuh dapat menghasilkan energi lebih banyak dua puluh kali lipat
dari anaerobik yakni sejumlah 38-39 ATP (Irianto 2007). Proses aerobik ini
sangat ditentukan oleh aktivitas, bila tubuh melakukan kerja diatas dua menit
maka proses aerobik akan terjadi dengan bantuan oksigen. Bila kebutuhan energi
menuju angka keseimbangan tubuh, maka tubuh mengalami proses kerja yang
baik dan menyebabkan terjadi peningkatan potensi atlit atau kemampuan kerja
fisik. Kebutuhan energi tergantung oleh aktivitas fisik, bila aktivitas fisik rendah,
maka kebutuhan energi sedikit dan bila terjadi peningkatan aktivitas fisik
kebutuhan energi juga ikut meningkat sesuai aktivitas fisik yang dilakukan.
Pengujian fisik yang digunakan dalam penilaian potensi atlit merupakan pengujian
fisik dan memiliki durasi waktu yang tinggi, sehingga didukung oleh konsumsi zat
gizi seimbang sehingga dapat digunakan untuk sumber tenaga.
Ahmad et al. (2007) menyatakan bahwa kebutuhan energi yang diperoleh
dari bahan makanan diperlukan manusia untuk metabolisme basal, aktivitas fisik
dan efek makanan (Spesific Dynamic Action/SDA). Ketiga kebutuhan energi besar
digunakan untuk metabolisme basal, kurang lebih dua pertiga dari total energi
yang dikeluarkan seseorang. Anak-anak mengalami kekurangan energi dan
protein akibat dari konsumsi pangan yang tidak mencukupi sehingg akan
berdampak pada kesehatan dan perkembangan fisik secara normal, dan akan
beresiko tinggi terhadap kematian (Akner dan Cenderholem 2005). Berdasarkan
hasil penelitian Rusyantia et al. (2006), anak yang memiliki tingkat kecukupan
energi akan memiliki status gizi yang baik, sehingga konsumsi energi yang cukup
akan berpengaruh terhadap kerja fisik.
66
Hasil analisis data antara konsumsi protein dengan potensi atlit usia
48-72 bulan menunjukkan hubungan yang tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh
yerjadinya variasi data konsumsi protein pada contoh. Faktor yang diduga
menyebabkan tidak terdapat hubungan nyata antara konsumsi protein dengan
potensi atlit usia 48-72 bulan, yaitu energi yang digunakan dalam aktivitas fisik
masih bersumber dari cadangan zat gizi yang diperoleh dari karbohidrat yaitu
dalam bentuk glukosa dan glikogen otot. Protein dapat digunakan sebagai sumber
energi, bila seluruh cadangan energi yang tersimpan telah habis digunakan oleh
tubuh akibat kelaparan. Hal ini terjadi terutama pada anak-anak yang mengalami
kurang gizi. Proses perombakan protein menjadi ATP sangat sulit, karena terdapat
kandungan nitrogen. Namun dalam keadaan memaksa atau situasi kelaparan,
protein dapat dirombak menjadi ATP melalui deaminasi asam amino. Atom
nitrogen harus diuraikan melalui daur urea dan selanjutnya dibuang melalui urin,
tetapi memerlukan waktu lama (Irianto 2007).
Hubungan yang tidak nyata juga terdapat pada konsumsi vitamin A dan besi
(Fe). Faktor yang diduga tidak terdapat hubungan nyata, oleh karena sebaran data
konsumsi vitamin A dan besi (Fe) yang rendah.
Hubungan Status Kesehatan Dengan Potensi Atlit Usia 48-72 Bulan
Hasil analisis korelasi, hubungan antara status kesehatan (diare dan ISPA)
dengan potensi atlit usia 48-72 bulan disajikan pada Tabel 47.
Tabel 47 Hubungan antara status kesehatan, haemoglobin (Hb), status gizi, aktivitas bermain dengan potensi atlit contoh.
Potensi atlit contoh
Koefisien korelasi p
Status Kesehatan 0.62** 0.000
Status Gizi (BB/TB) -0.13 0.344
Status Biokimia 0.34* 0.014
Aktivitas Bermain 0.30* 0.030
Keterangan: ** hubungan sangat nyata pada p<0.01
* hubungan nyata pada p<0.05
67
Tabel 47 menunjukkan bahwa terdapat hubungan sangat nyata (p<0.01)
antara status kesehatan dengan potensi atlit usia 48-72 bulan. Hal ini berari bahwa
semakin rendah frekuensi sakit diare dan ISPA yang dialami contoh, sehingga
potensi atlit membaik. Tingkat hubugan sangat nyata antara status kesehatan diare
dan ISPA dengan potensi atlit anak usia 48-72 bulan di kebun teh Malabar dan
Purbasari disebabkan oleh rendahnya frekuensi diare yang dialami yaitu 25.50%,
(Tabel 33) dengan rata-rata 0.31±0.54 per bulan, dan sebaran contoh yang
mengalami frekuensi sakit ISPA yaitu 41.17% (Tabel 35) dengan rata-rata
1.07±1.09 per bulan.
Hasil analisis cross-tab antara frekuensi diare dengan potensi atlit
menunjukkan bahwa 48.65% contoh yang tidak mengalami sakit memiliki potensi
atlit kategori sedang, sedangkan 71.43% contoh yang mengalami sakit diare
(antara 1 sampai 2 kali per bulan) memiliki potensi atlit kategori kurang. Hasil
tersebut menggambarkan bahwa frekuensi sakit yang tinggi berdampak besar
terhadap potensi atlit yang dimiliki oleh contoh. Hasil analisis cross-tab juga
ditemukan bahwa 5.41% contoh yang tidak pernah sakit diare memiliki potensi
atlit kategori baik (Lampiran 6). Hasil maksimal yang diperoleh menunjukan
bahwa contoh yang tidak mengalami frekuensi diare akan berdampak positif
terhadap potensi atlit.
Anak-anak yang mengalami frekuensi diare tinggi akan kehilangan cairan
tubuh yang menyebabkan berkurang atau rendahnya cadangan air dalam tubuh
sehingga dapat mempengaruhi metabolisme energi, protein dan zat gizi lain (tidak
dapat dicerna dengan baik), hal ini disebabkan oleh fungsi air sebagai pelarut
dalam sistem metabolisme tubuh. Tidak efektifnya fungsi sistem pencernaan
menyebabkan rendahnya cadangan zat gizi yang tersimpan dalam tubuh yang
dapat digunakan sebagai sumber energi bila tubuh membutuhkan (terutama dalam
aktivitas fisik). Frekuensi diare pada contoh memberikan kontribusi besar
terhadap hilangnya cadangan air dan energi dalam tubuh yang berakhir dengan
kematian bila tidak diatasi.
Faktor yang diduga menyebabkan rendahnya potensi atlit yaitu kekurangan
cairan tubuh pada contoh yang mengalami frekuensi diare tinggi.
Doglas et al. (2005) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang tinggi akan
68
menyebabkan terjadinya kekurangan cairan tubuh dalam situasi tertentu yang
menggangu sistem metabolisme dalam tubuh, karena air merupakan zat pelarut
untuk metabolisme zat gizi. Kekurangan cairan ini disebabkan cadangan air dalam
tubuh mengalami penipisan akibat diare. Frekuensi diare tinggi juga menyebabkan
tubuh melakukan reaksi alami untuk menguraikan cadangan energi yang
tersimpan dalam hati, lemak dan glikogen otot sebagai sumber energi. Pada saat
melakukan aktivitas fisik, tubuh mengalami kekurangan energi, karena rendahnya
cadangan yang tersimpan dalam tubuh.
Hasil analisis menggunakan cross-tab antara frekuensi ISPA dengan potensi
atlit, menunjukkan bahwa 78.95% contoh yang tidak mengalami ISPA memiliki
potensi atlit kategori sedang. Selain itu, 60.87% dan 88.89% contoh yang
mengalami frekuensi ISPA dengan kisaran 1-2 kali dan ≥3 kali per bulan,
memiliki potensi atlit kategori kurang dan sangat kurang. Hasil ini menunjukkan
bahwa contoh yang memiliki frekuensi ISPA tinggi akan berakibat terhadap
rendahnya potensi atlit di kebun teh Malabar dan Purbasari. Hasil analisis
cross-tab juga menunjukkan bahwa 8.70% contoh yang mengalami frekuensi sakit
ISPA dengan kisaran 1-2 kali per bulan memiliki potensi atlit kategori baik. Hasil
yang maksimal tersebut dipengaruhi oleh distribusi dari lima pengukuran potensi
atlit terutama pengujian kekuatan otot dengan metode menggantung dan pengujian
tenaga eksplosif dengan metode lompat tegak.
Frekuensi ISPA yang tinggi akan berdampak terhadap kerja fisik, karena
aktivitas fisik yang tinggi memerlukan oksigen dalam proses pembakaran zat gizi
menjadi energi sebagai sumber tenaga. Contoh yang mengalami ISPA akan
mengalami gangguan proses sirkulasi oksigen yang dihirup melalui saluran
pernapasan dan akan berhubungan pada proses pembuangan karbon dioksida.
Anak-anak yang mengalami ISPA akan kesulitan bernapas, karena pada
saluran pernapasan terdapat cairan. Aktivitas fisik yang tinggi menyebabkan
kebutuhan oksigen meningkat, sedangkan suplai oksigen rendah akan menggangu
proses sirkulasi, sehingga oksigen yang ditampung oleh paru-paru yang diterima
dari luar tubuh melalui saluran pernapasan sangat terbatas. Sistem kerja paru-paru
menerima oksigen dari luar berbanding lurus dengan karbon dioksida yang
dibuang keluar tubuh (Pearce 2006).
69
Kebutuhan oksigen selama aktivitas fisik tinggi sehingga akan
meningkatkan kerja paru-paru dan oksigen tiga kali lipat dari aktivitas normal.
Peningkatan ini disebabkan oleh pembukaan sejumlah kapiler paru-paru yang
tidak aktif dan terjadinya dilatasi semua kapiler paru-paru yang terbuka, yang
menambah luas permukaan sehingga memerlukan oksigen yang banyak. Oleh
karena itu, selama gerakan fisik yang berat, oksigen darah ditingkatkan tidak
hanya pada sistem fentilasi alveulus, tetapi juga kapasitas membran respirasi
untuk menerima oksigen dari atmosfer yang dibawa oleh haemoglobin (Hb) darah
ke seluruh jaringan (Guyton 1996).
Hubungan Antara Status Gizi (BB/TB) Dengan Potensi Atlit
Berdasarkan analisis korelasi, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat
hubungan nyata antara status gizi berdasarkan indeks BB/TB dengan potensi atlit
(Tabel 47), karena status gizi 96.07% contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari
adalah normal (Tabel 44), dengan nilai rata-rata Z-score berdasarkan indeks
BB/TB yaitu 0.28±1.03. Variasi data dari kedua peubah yang diduga
menyebabkan tidak terjadinya hubungan yang nyata.
Hasil analisis cross-tab antara status gizi berdasarkan indeks BB/TB dengan
potensi atlit, menunjukkan bahwa 48.98% dan 40.82% contoh memiliki status gizi
dengan potensi atlit kategori kurang dan sedang (Lampiran 6). Hasil tersebut
dipegaruhi oleh hasil pengukuran potensi atlit yang lain. Hasil anlisis cross-tab
juga menunjukkan bahwa 4.08% contoh yang berstatus gizi normal memiliki
potensi atlit kategori baik (Lampiran 6). Hasil yang maksimal tersebut
menunjukan bahwa status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan
konstribusi besar terhadap potensi atlit, karena struktur fisik yang baik terutama
panjang tulang dan otot yang besar berpegaruh terhadap kecepatan gerak,
kekuatan dan ketahanan otot (Tangkudung 2007).
Tidak terdapat hubungan nyata antara status gizi berdasarkan indeks BB/TB
dengan potensi atlit, karena aktivitas fisik atau gerakan tubuh anak belum terlatih
atau kurang melakukan gerakan-gerakan yang digunakan dalam pengujian potensi
atlit. Meskipun dalam kegiatan bermain sebagian besar memiliki aktivitas baik,
70
namun waktu gerakan fisik dalam permainan yang berhubungan dengan
pengujian potensi atlit belum dapat diukur.
Tangkudung (2006) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang dilatih
terus-menerus akan memberikan efek positif terhadap daya tahan tubuh. Tubuh
dapat menggunakan energi dengan baik dalam menjaga keseimbangan kebutuhan
energi dibutuhkan. Faktor tersebut yang menyebabkan tidak terdapat hubugan
nyata dari kedua peubah. Aktivitas fisik yang dilatih terus-menerus akan
menghasilkan pembentukan otot-otot yang banyak menyimpan energi dimana
sewaktu-waktu energi tersebut dapat digunakan untuk melakukan aktivitas berat.
Dengan demikian, anak-anak yang memiliki status gizi baik namun tidak diikuti
dengan latihan fisik maka akan mempengaruhi ketahanan kardiovaskuler,
kekuatan otot, ketahanan otot dan kecepatan gerak fisik.
Hubungan Haemoglobin (Hb) Dengan Potensi Atlit
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubugan yang nyata
(p<0.05) antara haemoglobin (Hb) dengan potensi atlit usia 48-72 bulan pada
(Tabel 47). Hal ini berarti bahwa dengan haemoglobin (Hb) yang normal maka
potensi atlit juga akan membaik. Sebagian besar (62.74%) contoh mengalami
anemia (Tabel 38) dengan nilai rata-rata haemoglobin (Hb) sebesar 11.10±0.79.
Hasil analisis cross-tab antara haemoglobin (Hb) dengan potensi atlit
menunjukkan bahwa 47.37% contoh yang tidak mengalami anemia memiliki
potensi atlit kategori sedang (Lampiran 6), sedangkan 56.25% contoh yang
mengalami anemia memiliki potensi atlit kategori kurang (Lampiran 6). Hasil
tersebut menunjukan bahwa contoh yang mengalami anemia yang tinggi akan
berdampak terhadap renahnya potensi atlit. Hasil analisis cross-tab juga
menunjukkan bahwa 10.53% contoh yang tidak mengalami anemia memiliki
potensi atlit kategori baik (Lampiran 6). Hasil yang maksimal ini menunjukkan
bahwa contoh yang tidak mengalami anemia akan memberikan kontribusi
terhadap kemampuan kerja fisik yang berhubungan dengan potensi atlit.
Hasil analisis cross-tab juga menunjukkan bahwa 37.5% contoh yang
mengalami anemia memiliki potensi atlit kategori sedang. Hal ini diduga
71
disebabkan oleh transportasi oksigen yang diangkut oleh haemoglobin (Hb) pada
manusia terutama didataran tinggi (Guytion 1996). Analisis yang sama
menunjukkan bahwa 56.25% contoh yang kekurangan haemoglobin (Hb)
memiliki potensi atlit kategori kurang. Hasil ini menunjukkan bahwa haemoglobin
(Hb) memiliki peranan yang besar terhadap kekuatan fisik terutama dalam
mengsuplai oksigen, karena fungsi haemoglobin (Hb) adalah pembawa oksigen
untuk keperluan pembakaran di dalam sel tubuh (Piliang dan Djojosoebagio
2006).
Pengujian potensi atlit yang dilakukan merupakan pengujian fisik secara
total sangat membutuhkan oksigen yang cukup. Rendahnya haemoglobin (Hb)
dalam darah akan menyebabkan sedikitnya oksigen yang diangkut dari paru-paru
ke seluruh organ tubuh melalui darah untuk aktivitas kerja tubuh. Terjadinya
transport oksigen dalam darah melalui dua bentuk yaitu terlarut dalam plasma dan
terikat dengan haemoglobin (Hb) (Fikri dan Ganda 2005). Hal tersebut terjadi,
karena molekul oksigen bergabung secara longgar dan revelsibel dengan bagian
heme dari haemoglobin (Hb). Bila tekanan dalam kapiler paru-paru tinggi, maka
oksigen akan berikatan dengan hemoglobin (Hb), tetapi jika tekanan dalam kapiler
rendah maka jaringan oksigen dilepas dari haemoglobin (Hb). Jumlah maksimum
oksigen yang bergabung dengan haemogobin (Hb) darah orang normal
mengandung kira-kira 15 gram haemoglobin (Hb) dalam 100 ml darah, dan tiap
gram haemoglobin (Hb) dapat berikatan dengan maksimum kira-kira 1.34 ml
oksigen (Guyton 1996).
Haemoglobin (Hb) rendah dalam darah berpengaruh secara negatif terhadap
kelelahan dan ketahanan otot (Brutsaert 2004). Hal tersebut telah ditemukan pada
contoh yang memiliki haemoglobin (Hb) rendah saat pengujian potensi atlit
berlangsung. Contoh mudah mengalami kelelahan terutama pada pengujian lari
100 meter dan 300 meter, hal ini dipengaruhi oleh rendahnya konsumsi oksigen
dari luar yang membantu dalam penguraian asam laktat akibat dari pembentukan
energi yang terjadi secara anaerobik.
Oksigen memegang peranan penting dalam metabolisme energi terutama
aktivitas fisik berat dan waktu yang sangat lama. Metabolisme zat gizi menjadi
energi terjadi secara anaerobik dan aerobik (Irianto 2007). Pengujian potensi atlit
72
contoh dengan aktivitas fisik berat dan waktu yang lama, menybabkan kebutuhan
oksigen juga meningkat karena oksigen digunakan pada proses pembakaran zat
gizi yang tersimpan dalam tubuh terjadi secara aerobik.
Pengujian potensi atlit yang dilakukan dalam penelitian menggunakan
pengujian fisik. Oleh karena itu, contoh yang memiliki haemoglobin (Hb) rendah,
akan berdampak negatif terhadap kerja fisik. Kekurangan besi (Fe) terutama
terjadi pada masyarakat sosial ekonomi rendah (Silva et al. 2006). Hasil analisis
dalam penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat keluarga dengan status
ekonomi yang termasuk kategori miskin.
Hubungan Aktivitas Bermain Dengan Potensi Atlit
Aktivitas bermain anak merupakan kegiatan yang sering dan senang
dilakukan, terutama pada anak berusia 48-72 bulan. Aktivitas bermain anak dalam
penelitian adalah aktivitas bermain contoh yang melibatkan kombinasi organ fisik
yang merangsang pertumbuhan. Hasil analisis korelasi antara aktivitas bermain
dengan potensi atlit contoh dikebun teh Malabar dan Purbasari menunjukkan
bahwa terdapat hubungan nyata (p<0.05) (Tabel 47). Hal ini berarti bahwa
semakin sering contoh melakukan aktivitas bermain yang melibatkan organ fisik,
maka potensi atlit juga membaik. Faktor yang menyebabkan terdapat hubungan
yang nyata antara aktivitas bermain dengan potensi atlit adalah sebagian besar
45.09% contoh yang memiliki aktivitas bermain baik, dengan rata-rata 8.13±1.05.
Hasil analisis cross-tab antara aktivitas bermain dengan potensi atlit
menunjukkan bahwa 52.94% contoh dengan aktivitas bermain sangat baik,
memiliki potensi atlit kategori sedang (Lampiran 6), sedangkan 100% contoh
dengan aktivitas bermain kurang memiliki potensi atlit kategori sangat kurang
yaitu. Hasil analisis cross-tab juga menunjukkan bahwa 8.70% contoh dengan
aktivitas bermain baik memiliki potensi atlit kategori baik. Data ini menunjukkan
bahwa aktivitas bermain berdampak besar terhadap potensi atlit meskipun
hasilnya belum maksimal.
Tingginya aktivitas bermain contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari
disebabkan oleh waktu bermain contoh >3 jam dalam sehari. Contoh di kebun teh
73
Malabar dan Purbasari senang bermain kejar-kejaran, melompat, dan bermain
kucing-kucingan dimana jenis-jenis permainan tersebut merupakan permainan
tradisional yang dapat membantu merangsang pertumbuhan untuk menunjang
potensi atlit yang dimiliki contoh. Melalui kegiatan bermain anak yang melibatkan
kegiatan fisik seperti lari, melompat, memanjat, melempar dan permainan fisik
lainnya, maka akan melatih gerakan motorik kasar dan halus (Sumantri 2005).
Anak usia 4-5 tahun dapat melakukan gerakan motorik halus seperti
menggambar dan memotong atau menggantung. Sedangkan perkembangan
motorik kasar yang dapat dilakukan anak usia ini yaitu menendang bola dengan
baik, lari, melompat satu kaki, menggantung dan memanjat. Sedangkan anak usia
5-7 tahun dapat melakukan lompat jauh dan permainan keseimbangan badan
(Depkes 1997). Tahap-tahap perkembangan tersebut memberikan kontribusi besar
terhadap hasil pengujian potensi atlit yang dilakukan pada contoh, walaupun hasil
pengukuran belum maksimal.
Tingginya aktivitas bermain contoh disebabkan terdapatnya fasilitas bermain
yang disediakan oleh pihak PTPN wilayah VIII. Hurlock (1997) menyatakan
bahwa alat bermain dan aktivitas bermain ikut menentukan kelanjutan
perkembangan anak. Dengan bermain akan terjadi koordinasi antara gerakan
tubuh dan panca indra. Aktivitas bermain merupakan cara pembelajaran untuk
memperoleh ketrampilan yang menjadi dasar menuju kedewasaan (Johonson dan
Yawkey 1999 dalam Dariyo 2006).
Jenis permainan yang dimainkan contoh yaitu jenis permainan kelompok,
sehingga selain dapat mengasah organ motori, permainan ini juga dapat mengasah
kemampuan sosial. Kegiatan bermain akan memberikan manfaat positif untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak. Potensi tersebut adalah
kecerdasan, bakat, kreativitas, ketrampilan motorik (motoric skill), ketrampilan
bergaul (sosial skill) dan ketrampilan komunikasi (communication skill) pada anak
(Dariyo 2006). Tedjasaputra (2001) menyatakan bahwa dalam situasi bermain
anak dapat mengembangkan dan mengekspresikan potensi-potensi bakat,
kecerdasan yang dimiliki anak tersebut, kreativitas maupun dorongan untuk
bergaul dan berinteraksi yang dilakukan dalam situasi bermain dengan temannya.
Aktivitas bermain anak memiliki 12 keunggulan yang diperoleh dari aktivitas
74
bermain, salah satunya adalah dapat mengoptimalkan pertumbuhan seluruh bagian
tubuh, seperi tulang, otot dan organ-organ lain (Soetjinigsih 1995).
Simulasi dari lingkungan keluarga, berupa dukungan, pujian dan
kesempatan memberikan motovasi bagi anak untuk menggerakkan semua bagian
tubuh terutama menggerakan otot kaki dan tangan, akan semakin mempercepat
perkembangan motorik kasar (Dewi 2005). Permainan dan gerakan-gerakan
tersebut akan membantu dalam pertumbuhan dan perkembangan untuk menunjang
potensi atlit yang dimiliki contoh.
75
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Ukuran keluarga di kebun teh Malabar dan Purbasari didominasi oleh kategori
keluarga sedang. Lama mengikuti pendidikan formal ibu dan bapak di kebun
teh Malabar dan Purbasari sebagian besar berkisar antara 6 sampai 8 tahun.
Pekerjaan tetap bapak di kebun teh Malabar dan Purbasari sebagian besar
buru tani (82.35%), dengan pendapatan total/keluarga/bulan di kebun teh
Malabar dan Purbasari berkisar antara Rp.200.000 sampai Rp.699.999 dan
pendapatan perkapita/bulan berkisar antara Rp.50.000 sampai 147.000.
Konsumsi energi, protein, vitamin A dan zat gizi besi (Fe) masih rendah.
Frekuensi sakit contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari didominasi oleh
kategorik pernah sakit. Status gizi indeks BB/TB contoh di kebun teh
Malabar dan Purbasari sebagian besar kategorik normal. Haemoglobin (Hb)
contoh sebagian besar mengalami anemia. Aktivitas bermain contoh di kebun
teh Malabar dan Purbasari didominasi aktivitas bermain baik. Potensi atlit
contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari didominasi potensi atlit kurang.
2. Terdapat hubungan nyata antara konsumsi pangan energi dengan potensi atlit
usia 48-72 bulan dan tidak nyata pada konsumsi protein, vitamin A, besi (Fe).
3. Terdapat hubungan sangat nyata antara status kesehatan (diare dan ISPA)
dengan potensi atlit usia 48-72 bulan.
4. Tidak ada hubungan nyata antara status gizi (BB/TB) dengan potensi atlit usia
48-72 bulan.
5. Terdapat hubungan nyata antara haemoglobin (Hb), aktivitas bermain dengan
potensi atlit usia 48-72 bulan.
76
Saran
Saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
1. Diperlukan perbaikan pola konsumsi energi, protein, vitamin A dan zat gizi
besi (Fe) contoh untuk meningkatkan haemoglobin (Hb) dan status kesehatan
dengan cara meningkatkan pendapatan keluarga dan pengetahuan gizi orang
tua contoh.
2. Diperlukan keterlibatan instansi terkait terhadap tindakan preventif melaui
kegiatan penyehatan lingkungan dan pola hidup sehat dalam pencegahan diare
dan ISPA.
3. Penyediaan dan penambahan fasilitas yang berhubungan dengan aktivitas
bermain anak di tempat penitipan anak (TPA).
4. Anak yang memiliki potensi atlit kategori baik dan sangat baik, perlu
dilakukan pembinaan sejak dini.
5. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menyusun instrumen pengukuran dalam
penilaian potensi atlit usia 48-72 bulan, karena instrumen yang dimodifikasi
belum memperoleh hasil yang maksimal.
77
DAFTAR PUSTAKA
Achadi E. L. 2008. Konsekuensi Kurang Gizi Pada Usia Dini Terhadap Terjadi Penyakit Generatif. Makalah Yang Disampaikan Pada Pertemuan Satelit Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi ke XI. di DIKTI Jakarta (tanggal 23 Agustus 2008) 1:12.
Ahmad S, Setiarini, Utari, Acmadi, Khusharisupeni et al. 2007. Gizi dan
Kesehatan Masyarakat. FKM.UI: Jakarta. Rajagralindo Persada. Akner G, Cederholm T. 2005. Treatment of protein-energy malnutrition in chronic
nonmalignant disorders Ma J Clin Nutr. 42:6-23 [13 Juni 2008] Anwar F, Baliwati F.Y, Mandanijah, Khomsan A., Riyadi H, Setiawan B et al.
2006. Pengatar Pangan Dan Gizi.Jakarta :Penebar Swadaya. [Anonim]. 2007. http://www.litbang.depkes.go.id. Jangan Kalah Dengan Kurang
Darah, yang diakses tanggal 18 Juli, 2008. [Anonim]. 2007. Litbangda Provinsi Sulsel. Indetifikasikan Bakat Olahraga,
yang diakses tanggal 27 Desember, 2007. [Anonim]. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Buku Kuliah 1. Jakarta: Informedik
Jakarta. Allen L & S. Lillespie. 2001. What?. A revie of the efficasy and effeciveness of
Nutrition Intervention. ACC/SCN :Nutrition Policy Paper No.15:31-38 [13 Juni 2008].
Almatsier S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. Ateng, A.H. 2005. Rasia Latihan Sang Juara Menuju Prestasi Dunia. Jakarta:
Cerdas Jaya. Berg. 1986. Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Rajawali Brutsaert, D. Tom et al. 2004. Iron Supplementation Improves Progressive
Fatigue Resistance During Dynamic Knee Extensor Exercise In Iron-Depleted, Nonanemic Women: Am J Clin Nutr. 51: 441-448 [13 Juni 2008].
Casa J, Douglas et al. 2005. Roundtable on Hydration and Physical Activity:
Consensus Statements: American College Of Sports Medicine 4:116-112. [13 Juni 2008].
78
Dariyo, Agoes. 2007. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung Indonesia: Refika Aditama.
[Departemen Kesehatan RI]. 1987. Pentunjuk Teknis Kesehatan Olahragan: Bagian Perama jakarta.
1993. Pedoman Pengaturan Makanan Atlit. 1995. Pedoman Pengaturan Kesehatan Jasmani.
Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita. Direktorat
Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Kesehatan Keluarga
2006. Profil Kesehatan Indonesia 2004 Menuju Indonesia Sehat
2010. Jakarta: Depkes RI. Direktorat Jenderal PPM& PL 2007 Pedoman Pemberantasan
Penyakit Diare Edisi Ke-3. Jakarta.
[Departemen Pendidikan], 1996. Ketahuilah Tingkat Kesegaran Jasmani Anda, Pusat Pengembagan Kualitas Jasmani Jakarta.
2000. Ketahui Tingkat Kesegaran Jasmani Anda Pusat
Pengembangan Kualitas Jasmani. Jakarta. 2005. Tes Kesegaran Jasmani Indonesia (TKJI).
Setjen.depdignas.go.id/pusjas/tips.php?tid=MTA [18 maret 2008] Dewi, Rosmala 2005. Berbagai Masalah Anak Taman Kanak-Kanak.Departemen
Pedidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Pendidikan. Jakarta.
Fikri, Ganda I.J. 2005. Transpor Oksigen. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin/ RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar (134-139).
Fitriana. 2006 pola asuh, Status Gizi Dan Perkembangan Sosialanak Balita
Korban Gempa Dan Tsunamidi Provinis Nanggore Aceh Darussalam. [Tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ganong WF. 1983. Review of Medical Physiology. Ed ke-11. Los Altos.
California: Lange Medical Publications.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford University Press.
79
Gunara & Y. Gunasa. 1997. Dasar Dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: Gunung Mulia.
Gutyon, 1990. Human Psysiology and Mechanisms Of Disase. Jakarta: Buku
Kedokteran. Hardinsyah dan D Briawan. 1990. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.
Bogor: Jurusan Gizi masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB.
Hurlock. E. 1995. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Hidup. Jakarta : Erlangga. Ingtyas, Tresno F. 2004. Konsumsi Pangan, Status Gizi Dan Kesehatan Anak
Retardasi Mental Di Kota Medan: [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Petanian Bogor.
Irianto P.J. 2007. Panduan Gizi Lengkap, Keluarga Dan Olahragawan.
Yogjakarta: Andi Offset. Izzaty, E. R. 2005. Model Pengembangan Ketrampilan Motorik Anak Usia Dini
:Departemen Pedidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Pendidikan. Jakarta.
Kartini. P, Hertanto, Rahfiludi. Z. 1998. Kesegaran Jasmani Dan Status Gizi
Murid Sekolah Dasar Di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Jurnal Mediamedika,(volume 41) [terhubung berkala]. http://mediamedika.net/modules.php?name=Jurnal&file=index&a1=jurnal&a2=134&sort. [18 Maret 2008].
Kartasapoetra, Marsetoyo H. 2003. Ilmu gizi ‘’ korelasi gizi, kesehatan, dan
produktivitas.’’ Jakarta : Rineka Cipta. Linder, C. M. 2006. Biokimia Nutrisi Dan Metabolisme. Jakarta :Universitas
Indonesia Press. [LIPI], 2004. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan dalam Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi VIII Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi daerah dan Globalisasi. Jakarta.
Mangoenprasodjo, Setiono. 2005. Olahraga Tanpa Terpaksa Panduan Bagi
Pemula Yang Ingin Pelduli Kesehatan. Jakarta : Think Fresh. Masita T, Soekirman, Martianto T. 2005. Hubungan Pola Asuh Makan Dan
Kesehatan Dengan Status Gizi Anak Batita Di Desa Mulia Harja. Jurnal Media Gizi dan Keluarg, 29.(2): 29-38.
80
Muhilal. 1980. Gizi Biokimia. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Gizi. Depkes Kesehatan RI. Jakarta.
Moehya, Sjahmien. 2008. Bayi Sehat Dan Cerdas Melalui Makanan Pilihan.
Pedomanasupan Gizi Untuk Bayi Dan Balita. Jakarta: Pustaka Mina anggota IKPI.
Munandar U. 1992. Hubungan Istri, Suamidan Anak dalam Keluarga Dalam
Membina Keluarga Bahagia. Jakarta: Pustaka antara. Murti, Brisma. 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadja
Mada University Press. Nasir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Galia Indonesia. Notoatmojo S. 2002. Metode Penelitian Kesehatan. Edisi revisi. Jakarta : Rineka
Cipta.
2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Papalia E. D. & Olds W. S. 1995. Human Development: USA. McGraw Hill Book
Company. Piliang W, S Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume II. Penerbit Bogor:
IPB Press. Pudjiadi S. 2005. Ilmu Gizi Klinik Pada Anak. Edisi Ke-IV, Cetakan Ulang.
Jakarta: FKUI. Riyadi H. 1995. Prinsip dan Petunjuk Penilaian Status Gizi. Bogor: Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian IPB. Rusyantia A. et al. 2006. Kualitas Pengasuhan Dan Lingkungan Rumah Serta
Dengan Hubungan Kualitas Anak Taman Pendidikan Karakter Sutera Alam Di Desa Sukamantari Kabupaten Bogor. Jurnal Media Gizi dan Keluarg, 29.2: 9-17.
Santoso Y. S. & kk. 2005. Manusia Dan Olahraga. Seri Bahan Kuliah ITB.
Bandung : ITB. Sekartini R. 2007. Peran Bermain Dalam Proses Perkembangan Anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta. Silva, Angela et al. 2006. Iron supplementation improves iron status and reduces
morbidity in children with or without upper respiratory tract infections: a randomized controlled study in Colombo, Sri Lanka. The Ma J Clin Nutr. 63:234-241.
81
Singarimbun, M. Effendi F. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Soetjiningsih.1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : Buku Kedokteran (EGC). Suhardjo. 1989. Sosial Budaya Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi [IPB].
,Kusharto.C.1992. Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI).
Syarif H. 1997. Membanguna Sumberdaya Manusia Berkualitas. Suatu Telaaha Gizi Masyarkat Dan Sumberdaya Keluarga. Disampaikan Pada Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi Masyarkat Dan Sumber Daya Keluarga: (6 september 1997).
Sumantri. 2005. Model Pengembangan Ketrampilan Motorik Anak Usia Dini.
Departemen Pedidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Pendidikan. Jakarta.
Sunita. 2005. Psikologi Perkembangan Remaja Bandung: Rosdakarya Offset. Supariasa, Nyoma. 2002. Penilaian status gizi. Cetakan I. Buku Kedoktera ECG.
Jakarta: Buku Kedokteran. Tangkudung J. 2006. Kepelatihan Olahraga Pembinaan Prestasi Olahraga
Jakarta: Cerdas Jaya. Tortora GJ, Anagnostakos NP. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke-6.
New York: Harper & Row Publishers.
[World Health Organization].1995. Physical Status. The Use Interpretasion Of Anthropometry. Geneva: WHO.
2001. Iron Deficiency Anemia, Assessment, Prevention and
control: a guide for Programme Managers. Geneva: WHO.
32
yang dibagi menjadi 2 kategorik yaitu ”miskin” < Rp.144.000 dan ” tidak
miskin ≥ Rp. 144.000.
4. Pendidikan orang tua adalah lama waktu yang digunakan dalam mengikuti
pendidikan formal di sekolah.
5. Konsumsi pangan adalah nilai dari zat gizi energi, potein, vitamin A, dan
besi (Fe) dari jenis pangan yang dikonsumsi anak usia 48-72-72 bulan
diperoleh melalui recall 2 x 24 jam, dibandingkan dengan angka kecukupan
rata-rata per individu.
6. Status kesehantan adalah riwayat penyakit yang pernah di derita meliputi
diare dan ISPA pada saat satu bulan yang lalu dan saat penelitian berlangsung.
7. Diare adalah keadaan dimana frekuensi buang air besar (tinja) lebih sering
dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari dan disertai dengan perubahan
konsistensi dan bentuk tinja dan kadang kadang disertai dengan darah atau
lendir.
8. Infeksi saluran pernafasa adalah penyakit menular yang tranmisinya melalui
udara yang ditandai dengan gejala panas atau flu, batuk sesak nafas dan
kadang-kadang disertai dengan kejang atau hilang kesadaran.
9. Haemogobin (Hb) adalah cairan merah dalam darah berfungsi mengangkut
oksigen yang disebarkan ke seluruh tubuh.
10. Aktivitas bermain adalah aktivitas permainan usia 48-72 bulan melibatkan
kombinasi organ fisik yang merangsang pertumbuhan.
11. Staus gizi adalah keadaan gizi usia 48-72 bulan secara atropometri dengan
menggunakan indeks BB/TB.
12. Potensi Atlit adalah kompentensi gerakan fisik yang berhubungan kesegaran
jasmani yaitu: Kecepatan, daya tahan otot, kekuatan otot dan daya tahan
kardiovaskuler.
82Lampiran 1
Hasil pengujian potensi atlit contoh No Kores Lari 100
m Mengantung Sit-Up Lompat Tegak
Lari Jarak 300 m Skor Potensi atlit
1 101008 2 4 3 3 1 13 kurang 2 101012 1 4 4 3 1 13 kurang 3 101014 2 3 3 3 1 12 kurang 4 101017 2 3 3 3 1 12 kurang 5 101019 3 3 1 2 1 10 kurang 6 101020 3 4 3 2 3 15 sedang 7 101022 2 4 3 3 2 14 sedang 8 102023 3 2 3 4 2 14 sedang 9 102024 2 4 3 2 1 12 kurang
10 103030 2 4 3 3 2 14 sedang 11 103034 1 2 3 2 1 9 sangat kurang 12 103035 2 3 2 3 1 11 kurang 13 103036 2 4 3 4 2 15 sedang 14 104038 2 3 3 3 1 12 kurang 15 104044 2 4 4 3 2 15 sedang 16 105046 2 3 3 2 2 12 kurang 17 105047 3 4 3 3 2 15 sedang 18 105048 2 4 3 3 1 13 kurang 19 105050 2 4 3 3 1 13 kurang 20 106057 2 3 3 3 1 12 kurang 21 106059 1 3 2 2 1 9 sangat kurang 22 106064 2 3 3 2 2 12 kurang 23 209091 2 3 3 2 2 12 kurang 24 209095 2 3 3 3 2 13 kurang 25 209100 2 3 3 3 2 13 kurang 26 209104 3 3 3 3 2 14 sedang 27 209107 2 3 4 2 1 12 kurang 28 210114 3 4 3 3 3 16 sedang 29 210116 2 3 2 3 2 12 kurang 30 210119 3 2 3 3 3 14 sedang 31 210124 2 3 2 3 1 11 kurang 32 211133 3 3 3 3 2 14 sedang 33 211137 3 3 3 3 2 14 sedang 34 211144 3 2 3 2 2 12 kurang 35 212146 3 3 3 3 2 14 sedang 36 212147 3 3 3 3 2 14 sedang 37 212151 2 4 2 2 1 11 kurang 38 213155 2 3 2 3 2 12 kurang 39 213164 3 3 3 3 3 15 sedang 40 213165 1 2 2 3 1 9 sangat kurang 41 213167 3 4 3 3 2 15 sedang 42 213168 3 4 3 2 2 14 sedang 43 213169 4 5 4 3 2 18 baik 44 213170 4 5 3 4 2 18 baik 45 213173 2 3 4 3 2 14 sedang 46 214176 2 3 2 2 2 11 kurang 47 214177 4 3 3 3 2 15 sedang 48 214180 3 4 3 3 3 16 sedang 49 215181 3 4 3 2 3 15 sedang 50 215185 3 3 3 3 2 14 sedang 51 215188 2 3 3 2 2 12 kurang
83Lampiran 2
Rasio Konsumsi Zat Gizi Contoh Usia 48-72 BulanMalab ara dan Purbasari
No Kores Rasio Energi % Rasio Protein % Rasio Vitamin A % Rasio Besi (Fe) % 101008 79.47 92.36 32.94 139.30
2 101012 71.00 49.58 2.17 88.41 3 101014 64.32 52.78 4.18 65.76 4 101017 64.51 46.75 140.65 83.42 5 101019 59.02 42.47 52.10 83.27 6 101020 105.34 115.80 5.85 129.28 7 101022 68.82 86.96 27.18 139.14 8 102023 63.45 33.24 121.29 57.14 9 102024 83.90 68.66 44.81 43.53
10 103030 88.47 39.00 83.83 58.20 11 103034 83.19 41.43 28.27 62.56 12 103035 58.95 34.19 95.78 49.24 13 103036 92.87 40.39 20.14 45.97 14 104038 83.48 52.65 76.48 63.22 15 104044 71.80 55.04 27.14 43.94 16 105046 82.24 80.27 123.66 67.43 17 105047 96.59 111.57 47.22 120.47 18 105048 82.04 50.25 51.33 62.52 19 105050 91.95 39.47 44.15 57.90 20 106057 83.57 98.26 36.50 58.77 21 106059 52.18 59.80 23.67 55.86 22 106064 92.51 94.54 17.96 51.35 23 209091 77.50 30.96 18.66 83.34 24 209095 88.06 51.71 58.75 71.53 25 209100 77.79 41.24 49.19 58.49 26 209104 69.17 38.23 31.47 64.09 27 209107 63.62 42.91 31.31 53.50 28 210114 60.60 22.28 0.26 33.66 29 210116 66.04 48.91 51.85 56.73 30 210119 74.57 41.40 53.12 73.37 31 210124 59.82 27.41 89.80 69.61 32 211133 70.48 17.26 44.25 31.27 33 211137 79.28 27.01 12.60 53.67 34 211144 69.66 67.17 63.48 104.15 35 212146 83.37 24.11 133.87 32.01 36 212147 74.40 37.31 153.08 80.02 37 212151 85.25 75.90 78.47 124.89 38 213155 57.13 72.52 20.37 101.71 39 213164 79.62 32.69 0.37 55.04 40 213165 78.16 29.46 209.22 49.67 41 213167 99.18 64.66 34.19 54.39 42 213168 86.46 90.33 126.46 54.98 43 213169 90.73 47.06 21.50 61.01 44 213170 73.95 43.48 174.65 99.96 45 213173 86.29 49.00 68.93 57.96 46 214176 108.49 71.01 97.69 73.86 47 214177 93.72 44.30 14.40 30.90 48 214180 101.13 52.56 224.34 74.87 49 215181 82.16 49.78 10.58 65.26 50 215185 81.95 50.19 135.71 53.61 51 215188 62.42 89.57 77.42 181.38
84Lampiran 3
Hemoglobin dan Status Gizi Contoh Usia 48-72 Bulan di Kebun Teh Malabar dan Purbasari
No Kores Hemoglobin BB/U TB/U BB/TB 1 101008 12.9 -0.739 -1.581 0.36 2 101012 11.9 -1.224 -1.216 -0.744 3 101014 10 -2.449 -2.968 -0.885 4 101017 10.8 -2.835 -3.423 -1.163 5 101019 10.6 -3.999 -3.083 -3.368 6 101020 11.8 -0.353 -2.47 1.747 7 101022 11.6 -2.678 -3.331 -1.033 8 102023 11.2 -3.035 -2.092 -2.633 9 102024 12 -2.274 -3.173 -0.489
10 103030 11.2 -1.733 -2.367 -0.299 11 103034 10.2 -0.777 -1.438 0.164 12 103035 11.2 -0.735 -3.114 1.71 13 103036 11 -1.039 -2.188 0.532 14 104038 10 -1.027 -1.47 -0.188 15 104044 11 -1.59 -2.894 0.223 16 105046 10.2 -1.818 -2.885 0.011 17 105047 11.6 -1.064 -2.084 0.308 18 105048 10.2 -1.097 -3.649 1.809 19 105050 10.8 -1.445 -2.759 0.44 20 106057 11.8 -1.031 -2.112 0.425 21 106059 11.6 -3.278 -4.786 -0.231 22 106064 11.6 -0.852 -2.412 0.815 23 209091 11.2 -1.858 -4.227 1.001 24 209095 10 -0.827 -1.596 0.2 25 209100 10.8 -0.474 -0.6 -0.151 26 209104 12.2 -1.416 -1.682 -0.584 27 209107 11 -2.298 -1.868 -1.722 28 210114 11 -2.553 -3.232 -0.888 29 210116 11.5 -2.177 -3.118 -0.496 30 210119 9.8 -2.177 -3.118 -0.496 31 210124 9.9 -2.185 -3.801 0.278 32 211133 11.2 -1.523 -2.762 0.244 33 211137 11.1 -0.802 -1.79 0.473 34 211144 11.8 -1.967 -2.2 -0.926 35 212146 11 -1.968 -2.302 -0.748 36 212147 12 -1.561 -1.506 -0.962 37 212151 10.8 -2.047 -2.812 -0.482 38 213155 11 -2.105 -2.558 -0.922 39 213164 9.4 -1.333 -1.222 -0.954 40 213165 10.7 -0.922 -3.58 1.992 41 213167 11 0.195 0.166 0.052 42 213168 12.2 -1.7 -2.205 -0.416 43 213169 11.8 -1.186 -1.334 -0.417 44 213170 11.9 -2.576 -3.129 -1.013 45 213173 10.5 -0.706 -3.052 1.708 46 214176 10.7 -1.264 -2.133 0.209 47 214177 12 -0.687 -2.1 0.971 48 214180 13 -0.202 -0.648 0.299 49 215181 12 -1.463 -2.619 0.273 50 215185 12 -2.125 -2.128 -1.207 51 215188 10.3 -1.867 -3.102 0.048
85 Lampiran 4
Hasil Analisis Korelasi Hubungan antara konsumsi energi dan protein, Besi (Fe) dan vitamin A dengan potensi atlit
potensi
atlit konsumsi
energi konsumsi
protein konsumsi besi konsumsi vitamin
potensi atlit Pearson Correlation 1 .339(*) -.046 -.054 -.031
Sig. (2-tailed) .015 .748 .706 .829 N 51 51 51 51 51konsumsi energi Pearson
Correlation .339(*) 1 .333(*) -.054 .070
Sig. (2-tailed) .015 .017 .705 .624 N 51 51 51 51 51konsumsi protein Pearson
Correlation -.046 .333(*) 1 .599(**) -.126
Sig. (2-tailed) .748 .017 .000 .377 N 51 51 51 51 51konsumsi besi Pearson
Correlation -.054 -.054 .599(**) 1 .008
Sig. (2-tailed) .706 .705 .000 .958 N 51 51 51 51 51konsumsi vitamin Pearson
Correlation -.031 .070 -.126 .008 1
Sig. (2-tailed) .829 .624 .377 .958 N 51 51 51 51 51
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Hubungan antara satus kesehatan dengan potensi atlit
potensi atlit status kesehatan potensi atlit Pearson Correlation 1 .622(**) Sig. (2-tailed) .000 N 51 51status kesehatan Pearson Correlation .622(**) 1 Sig. (2-tailed) .000 N 51 51
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Hubungan antara satus gizi indeks BB/TB dengan potensi atlit
potensi atlit berat badan per
tinggi badan potensi atlit Pearson Correlation 1 -.137 Sig. (2-tailed) .344 N 51 50berat badan per tinggi badan
Pearson Correlation -.137 1
Sig. (2-tailed) .344 N 50 50
Hubungan antara sataus biokimia (Hb) dengan potensi atlit
potensi atlit hemohlobin potensi atlit Pearson Correlation 1 .341(*) Sig. (2-tailed) .014 N 51 51hemohlobin Pearson Correlation .341(*) 1 Sig. (2-tailed) .014 N 51 51
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
86 Hubungan antara aktivitas bermain dengan potensi atlit
potensi atlit aktivitas bermain potensi atlit Pearson Correlation 1 .304(*) Sig. (2-tailed) .030 N 51 51aktivitas bermain Pearson Correlation .304(*) 1 Sig. (2-tailed) .030 N 51 51
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Lampiran 5. Hasil Analsisi cross-tab antara Jenis Kelamin dengan Potensi Atlit contoh.
Kategori Laki-laki Perempuan Total Lari cepat 100 meter n % n % n % Sangat kurang 1 3.33 3 14.29 4 7.84 Kurang 16 53.33 10 47.62 26 50.98 Sedang 10 33.33 8 38.10 18 35.29 Baik 3 10.00 0 0.00 3 5.88 Sangat baik 0 0 0 0 0 0.00 Total 30 100 21 100 51 100 Menggantung Sangat Kurang 0 0 0 0 0 0.00 Kurang 1 3.33 4 19.05 5 9.80 sedang 14 46.67 13 61.90 27 52.94 Baik 13 43.33 4 19.05 17 33.33 Sangat baik 2 6.67 0 0.00 2 3.92 Total 30 100 21 100 51 100 Baring duduk atau sit-up Sangat Kurang 0 0.00 1 4.76 1 1.96 Kurang 5 16.67 3 14.29 8 15.69 sedang 22 73.33 15 71.43 37 72.55 Baik 3 10.00 2 9.52 5 9.80 Sangat baik 0 0 0 0 0 0.00 Total 30 100 21 100 51 100.00 Lompat tegak Sangat Kurang 0 0 0 0 0 0.00 Kurang 7 23.33 8 38.10 15 29.41 sedang 21 70.00 12 57.14 33 64.71 Baik 2 6.67 1 4.76 3 5.88 Sangat baik 0 0 0 0 0 0.00 Total 30 100 21 100 51 100 Lari 300 meter Sangat Kurang 8 26.67 9 42.86 17 33.33 Kurang 17 56.67 11 52.38 28 54.90 sedang 5 16.67 1 4.76 6 11.76 Baik 0 0 0 0 0 0.00 Sangat baik 0 0 0 0 0 0.00 Total 30 100 21 100 51 100.
87Lampiran 6.
Hasil Analsisi Cross-tab Antara Frekuensi Diare, ISPA, Status Gizi, Status Anemia, Aktivitas Bermain dengan Potensi Atlit Contoh.
Sebaran Contoh Berdasarkan Frekuensi Diare dengan Potensi Atlit.
Frekuesi Sakit Diare Potensi atlit Tidak sakit % 1-2 kali % >3 % Sangat baik 0 0 0 0 0 0 Baik 2 5.41 0 0.00 0 0 Sedang 18 48.65 3 21.43 0 0 Kurang 15 40.54 10 71.43 0 0 Sangkat kurang 2 5.41 1 7.14 0 0 Total 37 100. 14 100 100 0
Sebaran contoh berdasarkan frekuensi ispa dengan potensi atlit.
Frekuesi ISPA Potensi atlit Tidak sakit % 1-2 kali % >3 % Sangat baik 0 0 0 0 0 0 Baik 0 0.00 2 8.70 0 0.00 Sedang 15 78.95 6 26.09 0 0.00 Kurang 3 15.79 14 60.87 8 88.89 Sangkat kurang 1 5.26 1 4.35 1 11.11 Total 19 100 23 100.00 9 100
Sebaran contoh berdasarkan status gizi dengan potensi atlit.
Status Gizi (BB/TB) Potensi atlit z skor >-
3 % z skor-3 s/d -2 % normal z skor
-2 s/d 2 % Obes z skor 2> %
Sangat baik 0 0 0 0 0 0 0 0 Baik 0 0 0 0 2 4.08 0 0 Sedang 0 0 1 100 20 40.82 0 0 Kurang 1 100 0 0 24 48.98 0 0 Sangkat kurang 0 0 0 0 3 6.12 0 0 Total 1 100 1 100 49 100. 0 0
Sebaran contoh berdasarkan status haemoglobin (Hb) dengan potensi atlit.
Status biokimia (Hb) Potensi atlit Normal % Anemia %
Sangat baik 0 0 0 0 Baik 2 10.53 0 0 Sedang 9 47.37 12 37.5 Kurang 7 36.84 18 56.25 Sangkat kurang 1 5.26 2 6.25 Total 19 100.00 32 100
88Sebaran contoh berdasarkan aktivitas bermain dengan potensi atlit.
aktivitas bermain Potensi atlit Sangat
baik % Baik % Sedang % Kurang % Sangat kurang 0
Sangat baik 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Baik 0 0.00 2 8.70 0 0 0 0 0 0 Sedang 9 52.94 9 39.13 3 30 0 0 0 0 Kurang 8 47.06 12 52.17 5 50 0 0 0 0 Sangkat kurang 0 0.00 0 0.00 2 20 1 100 0 0 Total 17 100.00 23 100. 10 100 1 100 0 0
Lampiran 7 Sebaran hasil pengukuran gabungan potensi atlit kategori baik.
Pengujian potensi atlit Baik
Kecepatan gerak dan ketahanan otot 19.6%
Kecepatan gerak , ketahanan dan kekuatan otot 16.33%
Kecepatan gerak , ketahanan, kekuatan otot dan kekuatan eksplosif 13.72%
Kecepatan gerak , ketahanan, kekuatan otot, kekuatan eksplosif dan ketahanan kardiovaskuler 10.98%