1
KAMIS, 22 DESEMBER 2011 25 S O SOK I RAWATY H AWARI MELURUSKAN PERSEPSI EPILEPSI WENDY MEHARI UTAMI D I tempat praktiknya di kawasan Tebet, Ja- karta, kemarin siang, Irawaty Hawari me- nyambut Media Indonesia dengan penuh senyum. Dokter spesialis saraf ini memulai perbincangan di ruang kerja yang dipenuhi tumpukan rapi buku-buku. Saat ini Irawaty menjabat ketua Yayasan Epilepsi Indonesia. Se buah yayasan yang didiri- kan pada 1992 oleh Prof Mahar Mardjono--dikenal sebagai Bapak Epilepsi Indonesia. Irawaty bergabung di yayasan selepas lulus spesialisasi saraf pada 2006, lalu menjabat ketua sejak 2010, menggantikan dr Hadi Pranata yang dipercaya menjadi dokter kepresidenan. Minat Irawaty pada dunia epilepsi berawal saat melakukan praktik di bagian epilepsi semasa mengambil spesialisasi saraf. “Ketika di bagian epilepsi, hati saya miris melihat pasien-pasien epilepsi begitu-begitu saja peng- obatannya, tidak ada kemajuan berarti,” ujarnya lirih. Irawaty juga melihat tidak ada upaya yang bisa mencerahkan secara sosial. Kualitas hidup orang dengan epilepsi (ODE), kata dia, jadi menurun dan tidak produktif. Padahal, saat tidak mengalami serangan epilepsi, ODE ialah orang-orang normal. Dari situlah, untuk tesisnya, ia melakukan penelitian tentang kualitas hidup pasien epilepsi. Prioritas yang ia tentukan begi- tu menjabat ketua yayasan ialah mengedukasi masyarakat seka- ligus merangkul ODE beserta keluarga mereka. Salah satunya lewat pertemuan klub epilepsi yang diadakan tiga bulan sekali. Dalam wadah ini, para ODE dan keluarga dapat bertukar penga- laman, menerima saran, berkon- sultasi, sampai membeli obat. “Saya membuat brosur dan menyebarkannya, membuat bu- letin, website, e-mail, dan sebagai- nya. Alhamdulillah anggota klub bertambah dan semakin banyak masyarakat yang tahu tentang penyakit ini,” kata Irawaty sam- bil tersenyum. Saat ia menerima pucuk pim- pinan, yayasan memang tengah vakum. Menjadi ketua, buat Irawaty, berarti komitmen mem- bangkitkan yayasan kembali. “Alasan vakumnya sederhana, para pendiri awal sudah sepuh. Yang termuda berusia 60 tahun. Regenerasi menjadi hambatan utama,” jelasnya. Persepsi salah Edukasi tentang epilepsi ke- pada masyarakat menjadi satu prioritas Irawaty karena muncul- nya persepsi yang salah tentang penyakit ini. Orang sering menya- makan epilepsi dengan sakit jiwa. Tak jarang, ODE malah dibawa ke rumah sakit jiwa. Ia juga berkisah sembari ter- tawa, suaminya yang dokter di ru- mah sakit jiwa sering menemukan pasien yang sesungguhnya tidak mengalami gangguan jiwa, tetapi terserang epilepsi. “Jelas (keduanya) beda. Sakit ji- wa permanen, tapi epilepsi hanya saat serangan saja. Sakit jiwa itu gangguan psikologis, sedangkan epilepsi itu gangguan fungsional otak,” jelas Irawaty. Asalkan menjaga pola hidup dan terutama suasana hati, pasien ODE bisa berhenti mengonsumsi obat dan sembuh total. Dari berbagai kasus epilepsi yang pernah ia tangani, Irawaty mengakui memang banyak se- rangan epilepsi terdengar lucu, unik, aneh, atau memalukan, sehingga tak jarang orang menya- ma kannya dengan gangguan jiwa. Bentuk serangan beragam, ber- gantung pada bagian otak yang diserang. Dari kejang-kejang, kehilangan kesadaran, hingga air liur berbusa, atau sekadar bengong sampai-sampai tidak sadar. “Ada pasien yang ketika (mengalami) serangan, ia buka baju dan lari-lari berkeliling. Tak berapa lama, dia sadar kembali,” tuturnya. Namun dari segala bentuk serangan epilepsi, yang terberat dari penyakit menahun akibat aktivitas listrik otak yang abnor- mal ini, kata Irawaty, ialah stigma sosialnya. Itulah yang ingin ia luruskan lewat edukasi. Tidak menguntungkan Yayasan Epilepsi Indonesia sendiri, diakui Irawaty, tidak memiliki data pasti tentang jum- lah penyandang epilepsi di Indo- nesia. “Minimal 1,8 juta (orang). Itu belum termasuk yang tidak melapor, tidak pernah ditangani, atau yang tidak sadar bahwa ia menderita epilepsi,” tukasnya. Bertentangan dengan jumlah penyandangnya yang semakin banyak, bidang epilepsi sendiri, diakui Irawaty, sepertinya kurang diminati para dokter. Menjadi dokter epilepsi dira- sakan Irawaty kerap dipandang sebelah mata. Penelitian soal epi- lepsi pun relatif membutuhkan waktu panjang, sehingga keba- nyakan dokter mengambil pe- nyakit saraf lain seperti stroke. “Sejujurnya, secara finansial memang tidak menguntungkan. Diperlukan niat yang tulus un- tuk mau berdedikasi di dunia ini,” tambah Irawaty sambil ter- senyum. Ia pun mengaku sempat mera- sa ‘sendiri’ di jalur ini. “Kalau su- dah merasa begitu, saya kembali mengingat pasien dan tujuan sa- ya semula. Sekarang nyaris tidak pernah merasa sendiri lagi,” ucap putri Prof Dadang Hawari ini. Kini Irawaty dan timnya te- ngah menyiapkan pertemuan klub epilepsi yang jadwalnya diadakan Januari mendatang, dilanjutkan dengan edukasi media bersamaan dengan Purple Day atau hari peringatan epilepsi sedunia pada 26 Maret tahun depan. (*/M-1) [email protected] Lewat yayasan yang dia pimpin, Irawaty Hawari bertekad memperbaiki persepsi masyarakat yang salah tentang epilepsi, sehingga kualitas hidup penyandangnya menjadi lebih cerah. MI/RULLY FIRDAUS Biodata Nama: dr Irawaty Hawari SpS Tempat, tanggal lahir: Jakarta, 3 Desember 1968 Hobi: Membaca, jalan-jalan, main piano Pendidikan: Summer School of Epilepsy, Kiel, Jerman (2009) S-2 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, spesialis saraf (lulus 2006) S-1 Universitas Tarumanagara, kedokteran umum (lulus 1996) Jabatan sekarang: Ketua Yayasan Epilepsi Indonesia Moto: Dapat berguna bagi orang lain karena hidup adalah amanah Laman: www.ina-epsy.org

I RAWATY AWARI MELURUSKAN hidup penyandangnya … fileDari berbagai kasus epilepsi yang pernah ia tangani, Irawaty mengakui memang banyak se-rang an epilepsi terdengar lucu, unik,

  • Upload
    buidiep

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

KAMIS, 22 DESEMBER 2011 25SOSOKI R A W A T Y H A W A R I

MELURUSKAN PERSEPSI EPILEPSI

WENDY MEHARI UTAMI

DI tempat praktiknya di kawasan Tebet, Ja-karta, kemarin siang, Irawaty Hawari me-

nyambut Media Indonesia dengan penuh senyum. Dokter spesialis saraf ini memulai perbincangan di ruang kerja yang dipenuhi tumpukan rapi buku-buku.

Saat ini Irawaty menjabat ketua Yayasan Epilepsi Indonesia. Se buah yayasan yang didiri-kan pada 1992 oleh Prof Mahar Mardjono--dikenal sebagai Bapak Epilepsi Indonesia.

Irawaty bergabung di yayasan selepas lulus spesialisasi saraf pada 2006, lalu menjabat ketua sejak 2010, menggantikan dr Hadi Pranata yang dipercaya menjadi dokter kepresidenan.

Minat Irawaty pada dunia epi lepsi berawal saat melakukan praktik di bagian epilepsi semasa mengambil spesialisasi saraf.

“Ketika di bagian epilepsi, hati saya miris melihat pasien-pasien epilepsi begitu-begitu saja peng-obatannya, tidak ada kemajuan berarti,” ujarnya lirih.

Irawaty juga melihat tidak ada upaya yang bisa mencerahkan secara sosial. Kualitas hidup orang dengan epilepsi (ODE), kata dia, jadi menurun dan tidak produktif. Padahal, saat tidak mengalami serangan epilepsi, ODE ialah orang-orang normal.

Dari situlah, untuk tesisnya, ia melakukan penelitian tentang kualitas hidup pasien epilepsi.

Prioritas yang ia tentukan begi-tu menjabat ketua yayasan ialah mengedukasi masyarakat seka-ligus merangkul ODE beserta keluarga mereka. Salah satunya lewat pertemuan klub epilepsi yang diadakan tiga bulan sekali. Dalam wadah ini, para ODE dan keluarga dapat bertukar penga-laman, menerima saran, berkon-sultasi, sampai membeli obat.

“Saya membuat brosur dan me nyebarkannya, membuat bu-letin, website, e-mail, dan sebagai-nya. Alhamdulillah anggota klub bertambah dan semakin banyak masyarakat yang tahu tentang penyakit ini,” kata Irawaty sam-bil tersenyum.

Saat ia menerima pucuk pim-pin an, yayasan memang tengah vakum. Menjadi ketua, buat Irawaty, berarti komitmen mem-bangkitkan yayasan kembali.

“Alasan vakumnya sederhana,

para pendiri awal sudah sepuh. Yang termuda berusia 60 tahun. Regenerasi menjadi hambatan utama,” jelasnya.

Persepsi salahEdukasi tentang epilepsi ke-

pada masyarakat menjadi satu prioritas Irawaty karena muncul-nya persepsi yang salah tentang penyakit ini. Orang sering menya-makan epilepsi dengan sakit jiwa. Tak jarang, ODE malah dibawa ke rumah sakit jiwa.

Ia juga berkisah sembari ter-tawa, suaminya yang dokter di ru-mah sakit jiwa sering menemukan pasien yang sesungguhnya tidak mengalami gangguan jiwa, tetapi terserang epilepsi.

“Jelas (keduanya) beda. Sakit ji-wa permanen, tapi epilepsi hanya saat serangan saja. Sakit jiwa itu gangguan psikologis, sedangkan epilepsi itu gangguan fungsional otak,” jelas Irawaty.

Asalkan menjaga pola hidup dan terutama suasana hati, pasien ODE bisa berhenti mengonsumsi obat dan sembuh total.

Dari berbagai kasus epilepsi yang pernah ia tangani, Irawaty mengakui memang banyak se-rang an epilepsi terdengar lucu, unik, aneh, atau memalukan, se hing ga tak jarang orang menya-

ma kannya dengan gangguan jiwa.

Bentuk serangan beragam, ber-gan tung pada bagian otak yang diserang. Dari kejang-kejang, kehilangan kesadaran, hingga air liur berbusa, atau sekadar be ngong sampai-sampai tidak sadar.

“Ada pasien yang ketika (meng alami) serangan, ia buka b a ju dan lari-lari berkeliling. Tak be rapa lama, dia sadar kembali,” tu turnya.

Namun dari segala bentuk se rangan epilepsi, yang terberat dari penyakit menahun akibat aktivitas listrik otak yang abnor-mal ini, kata Irawaty, ialah stigma so sialnya. Itulah yang ingin ia luruskan lewat edukasi.

Tidak menguntungkanYayasan Epilepsi Indonesia

sendiri, diakui Irawaty, tidak memiliki data pasti tentang jum-lah penyandang epilepsi di Indo-nesia. “Minimal 1,8 juta (orang). Itu belum termasuk yang tidak melapor, tidak pernah ditangani, atau yang tidak sadar bahwa ia menderita epilepsi,” tukasnya.

Bertentangan dengan jumlah penyandangnya yang semakin banyak, bidang epilepsi sendiri, diakui Irawaty, sepertinya kurang diminati para dokter.

Menjadi dokter epilepsi dira-sakan Irawaty kerap dipandang sebelah mata. Penelitian soal epi-lepsi pun relatif membutuhkan waktu panjang, sehingga keba-nyakan dokter mengambil pe-nyakit saraf lain seperti stroke.

“Sejujurnya, secara finansial memang tidak menguntungkan. Diperlukan niat yang tulus un-tuk mau berdedikasi di dunia ini,” tambah Irawaty sambil ter-senyum.

Ia pun mengaku sempat mera-sa ‘sendiri’ di jalur ini. “Kalau su-dah merasa begitu, saya kembali mengingat pasien dan tujuan sa-ya semula. Sekarang nyaris tidak pernah merasa sendiri lagi,” ucap putri Prof Dadang Hawari ini.

Kini Irawaty dan timnya te-ngah menyiapkan pertemuan klub epilepsi yang jadwalnya diadakan Januari mendatang, dilanjutkan dengan edukasi media bersamaan dengan Purple Day atau hari peringatan epilepsi sedunia pada 26 Maret tahun depan. (*/M-1)

[email protected]

Lewat yayasan yang dia pimpin, Irawaty Hawari bertekad memperbaiki persepsi masyarakat yang salah tentang epilepsi, sehingga kualitas hidup penyandangnya menjadi lebih cerah.

MI/RULLY FIRDAUS

BiodataNama: dr Irawaty Hawari SpS

Tempat, tanggal lahir: Jakarta, 3 Desember 1968

Hobi: Membaca, jalan-jalan, main piano

Pendidikan: • Summer School of Epilepsy,

Kiel, Jerman (2009)• S-2 Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, spesialis saraf (lulus 2006)

• S-1 Universitas Tarumanagara, kedokteran umum (lulus 1996)

Jabatan sekarang: Ketua Yayasan Epilepsi Indonesia

Moto: Dapat berguna bagi orang lain karena hidup adalah amanah

Laman: www.ina-epsy.org