368
1 Cara Melakukan Pemeriksaan Trauma Oromaksilofasial dan Penanganan Kegawat-daruratan Trauma Oromaksilofasial Melva Sirait 160121120001 Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut Dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Abstrak : Trauma oromaksilofasial adalah trauma yang menyebabkan cedera pada jaringan lunak mulut, dentoalveolar, serta fraktur wajah. Cedera pada pada jaringan lunak dapat berupa abrasi, kontusio, laserasi dan luka bakar. Kasus trauma oromaksilofasial adalah kasus yang cukup banyak ditemukan di unit gawat darurat hampir sebagian besar rumah sakit. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa penyebab trauma oromaksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan korban tersebut ternyata lebih banyak dialami oleh laki-laki. Terapi yang dilakukan pada penderita pun bervariasi mulai dari hanya pemberian obat- obatan, penjahitan luka, pencabutan gigi, alveolektomi, serta reposisi dan fiksasi. Kelainan-kelainan seperti disebut di atas, mengharuskan kita untuk melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi kepada bagian lain yang terkait karena trauma maksilofasial dapat menjadi kasus yang kompleks dan mungkin diperlukan keterlibatan multispesialis dalam manajemennya. Kata kunci: Trauma oromaksilofasial, pemeriksaan trauma, penanganan trauma

Ilmu Bedah Mulut Traumatologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

oleh drg, Endang Syamsudin, Sp.BM

Citation preview

1

Cara Melakukan Pemeriksaan Trauma Oromaksilofasial dan Penanganan

Kegawat-daruratan Trauma Oromaksilofasial

Melva Sirait

160121120001

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis

Bedah Mulut Dan Maksilofasial

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Abstrak : Trauma oromaksilofasial adalah trauma yang menyebabkan cedera

pada jaringan lunak mulut, dentoalveolar, serta fraktur wajah. Cedera pada pada

jaringan lunak dapat berupa abrasi, kontusio, laserasi dan luka bakar. Kasus

trauma oromaksilofasial adalah kasus yang cukup banyak ditemukan di unit gawat

darurat hampir sebagian besar rumah sakit. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa

penyebab trauma oromaksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu

lintas dan korban tersebut ternyata lebih banyak dialami oleh laki-laki. Terapi

yang dilakukan pada penderita pun bervariasi mulai dari hanya pemberian obat-

obatan, penjahitan luka, pencabutan gigi, alveolektomi, serta reposisi dan fiksasi.

Kelainan-kelainan seperti disebut di atas, mengharuskan kita untuk

melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi kepada bagian lain yang

terkait karena trauma maksilofasial dapat menjadi kasus yang kompleks dan

mungkin diperlukan keterlibatan multispesialis dalam manajemennya.

Kata kunci: Trauma oromaksilofasial, pemeriksaan trauma, penanganan trauma

2

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma oromaksilofasial berhubungan dengan cedera apapun pada wajah

atau rahang yang disebabkan oleh kekuatan fisik, benda asing atau luka bakar.

Trauma oromaksilofasial termasuk cedera pada salah satu struktur tulang ataupun

kulit dan jaringan lunak pada wajah. Setiap bagian dari wajah mungkin dapat

terpengaruh. Gigi dapat lepas atau goyang. Mata dengan otot-ototnya, saraf dan

pembuluh darahnya mungkin mengalami cedera sehingga dapat menyebabkan

gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran posisi dari bola mata dan juga seperti

halnya rongga mata yang dapat retak oleh pukulan yang kuat. Kerusakan jaringan

lunak seperti edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi. Rahang bawah

(mandibula) dapat mengalami dislokasi. Meskipun dilengkapi oleh otot-otot yang

kuat untuk mengunyah, rahang termasuk tidak stabil bila dibandingkan dengan

tulang-tulang lainnya sehingga dengan mudah mengalami dislokasi dari sendi

temporomandibular yang menempel ke tengkorak.1

Kelainan-kelainan seperti disebut di atas, mengharuskan kita untuk

melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi kepada bagian lain yang

terkait karena trauma maksilofasial dapat menjadi kasus yang kompleks dan

mungkin diperlukan keterlibatan multispesialis dalam manajemennya.

Trauma oromaksilofasial merupakan salah satu tantangan terbesar untuk

pelayanan kesehatan masyarakat di seluruh dunia karena insidennya yang tinggi.

Dari penelitian dilaporkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab

utama dari traumamaksilofacial. Selain itu penyebab lainnya yang tersering ialah

kekerasan fisik, konsumsi alkohol yang dapat memicu terjadinya tindakan

kekerasan dan kecelakaan, serta trauma oromaksilofasial akibat olahraga.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi

Trauma oromaksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan

jaringan sekitarnya.2 Trauma pada jaringan oromaksilofasial dapat mencakup

jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah

adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang

dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari :1

1. Tulang hidung

2. Tulang arkus zigomatikus

3. Tulang mandibula

4. Tulang maksila

5. Tulang rongga mata

6. Gigi

7. Tulang alveolus

2.2 Etiologi 1,3,4,5,6

Penyebab trauma oromaksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,

kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan

lalu lintas adalah penyebab utama trauma oromaksilofasial yang dapat

membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah

usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia

21-30 tahun.

a. Fisik

Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama fisik terjadinya trauma

oromaksilofasial 1. Beberapa literatur mengungkapkan terdapat hubungan antara

4

posisi duduk pengemudi atau penggunaan sistem proteksi terhadap tingkat

keparahan cedera oromaksilofasial pada pasien kecelakaan lalu lintas.

Selain kecelakaan lalu lintas, etiologi fisik lainnya yang merupakan penyebab

trauma oromaksilofasial yaitu jatuh ketika bermain, kecelakaan kerja atau industri,

kecelakaan sewaktu berolahraga, gigitan binatang, perkelahian dan lain- lain.

b. Kimia

Trauma oromaksilofasial akibat bahan kimia biasanya mempunyai

manifestasi klinis berupa luka bakar di sekitar mulut dan wajah. Zat kimia seperti

kaporit, kalium perpangat, asam kromat, fenol dan fosfor putih dapat bersifat

oksidatif, juga larutan basa seperti kalium hidroksida menyebabkan denaturasi

protein. Asam sulfat merusak sel karena bersifat cepat menarik air. Gas yang

dipakai dalam peperangan menimbulkan luka bakar dan menyebabkan anoksia sel

bila berkontak dengan kulit atau mukosa. Trauma oromaksilofasial akibat bahan

kimia dapat terjadi akibat kelengahan, pertengkaran, kecelakaan kerja, kecelakaan

di industri, laboratorium dan juga akibat penggunaan gas beracun pada perang.

c. Elektrik

Kecelakaan yang disebabkan faktor elektrik terjadi karena arus listrik

mengaliri tubuh, hal ini biasa terjadi pada kecelekaan kerja petugas listrik atau

dapat juga akibat petir. Pada kecelakaan tersengat arus listrik didaerah kepala,

penderita dapat pingsan lama dan mengalami henti nafas, dapat juga terjadi oedem

otak.

d. Termis

Luka bakar yang terjadi pada wajah juga dikategorikan termasuk dalam

trauma oromaksilofasial, yang dapat disebabkan oleh karena benda panas,

gesekan, elektrik, radiasi, atau zat kimia.1 Trauma oromaksilofasial akibat termis

dapat terjadi akibat kelengahan seperti kebakaran rumah tangga akibat gas yang

meledak dan lain lain.

Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah

karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat

mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%

5

kematian oleh trauma oromaksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan

lalu lintas (automobile).

6

Berikut ini tabel etiologi trauma oromaksilofasial.7

Persentase (%)

Dewasa

Kecelakaan lalu lintas 40-45

Penganiayaan 10-15

Olah raga 5-10

Jatuh 5

Lain-lain 5-10

Anak-anak

Kecelakaan lalu lintas 10-15

Penganiayaan/berkelahi 5-10

Olah raga(termasuk naik sepeda) 50-65

Jatuh 5-10

2.3 Klasifikasi

Trauma oromaksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma

jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak

biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan

lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.8,9

2.3.1 Trauma jaringan lunak wajah 7,8

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma

dari luar.

Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:

1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab

Ekskoriasi

Luka sayat, luka robek , luka bacok.

Luka bakar

7

Luka tembak

2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan

3. Dikaitkan dengan unit estetik

Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.

(Gambar 1)

Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan

mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek.

B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer9

2.3.2 Trauma jaringan keras wajah 7,8,10,11

Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang

terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat

dari terminologinya (pengistilahan) :

I. Tipe fraktur

1. Fraktur simpel

• Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada

kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.

• Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk

greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan

jarang terjadi.

2. Fraktur kompoun

• Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak

8

• Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan

hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke

rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan

sobekan pada kulit.

3. Fraktur komunisi

• Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti

peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau

remuk.

• Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun

dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.

4. Fraktur patologis

• keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang,

seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang

sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

II. Perluasan tulang yang terlibat

1. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.

2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )

III. Konfigurasi ( garis fraktur )

1. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.

2. Oblique ( miring )

3. Spiral (berputar)

4. Komunisi (remuk)

IV. Hubungan antar Fragmen

1. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat

2. Undisplacement, bisa terjadi berupa :

• Angulasi / bersudut

9

• Distraksi

• Kontraksi

• Rotasi / berputar

• Impaksi / tertanam

Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah :

a. Dento alveolar

b. Prosesus kondiloideus

c. Prosesus koronoideus

d. Angulus mandibula

e. Ramus mandibula

f. Korpus mandibula

g. Midline / simfisis menti

h. Lateral ke midline dalam regio insisivus

Gambar 2. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus

E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis.10

V. Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan :

a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)

b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III

c. Fraktur segmental maksila

10

Gambar 3. (A). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan anterior)

(B). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan sagital) 11

11

BAB III

PEMBAHASAN

Gambar 4. Urutan kejadian trauma oromaksilofasial 9

3.1. Pemeriksaan Primary Survey (ABCDE) 7,8

Pendekatan awal terhadap pasien trauma oromaksilofasial akut sedikit

berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap

saluran pernapasan, adekuasi dari ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal.

Primary survey adalah penilaian terhadap keadaan penderita dan prioritas

terapi berdasarkan jenis luka, tanda- tanda vital dan mekanisme cedera. Selama

primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya

dilakukan saat itu juga.

12

Urutan Penanganan Penderita dalam Primary survey 7,8

A = Airway with C-Spine Protection

Pada kasus trauma oromaksilofasial, kita perlu dengan segera memperhatikan

kelancaran jalan nafas, apakah disana ada obstruksi atau tidak. Usaha untuk

membebaskan airway dilakukan dengan menjaga jalan nafas dan melindungi

vertebra servikal. Harus dilakukan segala usaha untuk menjaga jalan napas dan

memasang airway definitif bila diperlukan. Tidak kalah pentingnya adalah

mengenali kemungkinan gangguan airway yang dapat terjadikemudian, dan ini

hanya dapat dikenali dengan re-evaluasi berulang terhadap airway-ini.

Resusitasi:

1. Airway harus dijaga dengan baik pada semua penderita.

2. Jaw trust atau chin-lift dapat dipakai

3. Membersihkan airway dari benda asing

4. Memasang naso-pharingeal airway (pasien sadar) atau oro-pharingeal

airway (pada pasien tidak sadar)

5. Bila ada keraguan mengenai kemampuan menjaga airway, lebih baik

memasang airway definitif (intubasi oro atau nasotracheal atau surgical

crico-thyroidotomy).

6. Fiksasi leher dengan berbagai cara, setelah memasang airway.

B = Breathing / Ventilation / Oxygenation

Ini merupakan nilai keadaan oksigenasi dan ventilasi penderita.Ventilasi yang

baik meliputi fungsi yang baik dari paru,dinding dada dan diafragma. Setiap

komponen ini harus dievaluasi secara cepat. Luka yang mengakibatkan gangguan

ventilasi berat adalah tension pneumothorax, flail chest dengan contusio paru, dan

open pneumothorax.

Resusitasi

1. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi

2. Ventilasi dengan alat bag-valve-mask

3. Menghilangkan tension pneumothoraks

4. Menutup open pneumothoraks

13

5. Memasang pulse oximeter

14

C = Circulation & Stop Bleeding

Tahap selanjutnya untuk dinilai adalah keadaan hemodinamik pasien. Cari sumber

perdarahan, baik perdarahan eksternal maupun perdarahan internal. Suatu keadaan

hipotensi pada penderita trauma harus dianggap sebagai hipovolemia, sampai

terbukti sebaliknya.

‡ Tiga penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan

informasi keadaan hemodinamik pasien, yakni tingkat kesadaran, warna kulit dan

nadi.

‡ Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan (direct pressure) pada

luka. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan

menyebabkan iskemia distal, sehingga tourniquet hanya dipakai bila ada amputasi

traumatik.

Resusitasi :

1. Perdarahan eksternal dihentikan dengan tekanan langsung pada tempat

perdarahan.

2. Mengenal adanya perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah,

serta konsultasi bedah.

3. Memasang 2 chateter i.v ukuran besar, ambil sampel darah untuk

pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan, golongan darah,

cross match dan analisis gas darah, berikan cairan kristaloid yang

dihangatkan atau pemberian darah.

4. Memasang NG tube dan kateter urin jika tidak ada kontra indikasi.

D = Disability (Neurologic Status)

Hal yang penting selanjutnya adalah penilaian terhadap keadaan

neurologis secara cepat. Parameternya adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi

pupil tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat cedera spinal.

Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan atau

penurunan perfusi ke otak yang disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan

15

kesadaran menuntut dilakukannya re-evaluasi terhadap keadaan oksigenasi,

ventilasi, dan perfusi jaringan.

Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh alkohol dan obat-obatan.

Namun pada kebanyakan pasien dengan trauma oromaksilofasial, hipoksia atau

hipovolemia adalah penyebab utamanya.

Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale) scoring.

GCS merupakan suatu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran

pasien dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.

Rangsangan yang diberikan berbagai hal dengan memperhatikan 3 reaksi yang

terdiri dari reaksi membuka mata (Eye (E)), respon verbal (V) bicara dan gerakan

motorik.

Gamabar 5 : Eye (respon membuka mata)8

Respon membuka mata ini merupakan respon awal ketika kita bertemu

dengan pasien. Respon yang diharapkan ada pada pasien ialah bagaimana reflek

membuka matanya. Apakah ia akan spontan membuka mata tanpa harus dipanggil

namanya, disentuh atau diberikan cubitan. Untuk nilai dari respon ini kita nilai (4)

atau respon spontan. Apabila mata terbuka dengan rangsang suara, seperti kita

memanggil nama pasien, nilai respon E nya adalah nilai (3). Apabila pasien dapat

membuka mata ketika kita beri rangsang nyeri, (misalkan dengan menekan kuku

jari) maka nilai E pasien (2). Ketika tidak ada respon sama sekali, maka kita beri

nilai E (1), tidak ada respon.

16

Tabel 1 : Verbal (respon verbal)8

Setelah reflek membuka mata kita kaji, maka penilaian selanjutnya ialah

bagaimana kita menilai respon verbal pasien. Ketika pasien dapat mengetahui

dimana dia berada, siapa dirinya, kalimat yang diucapkan baik, orientasi baik,

maka kita nilai respon verbal dengan angka (5) . Apabila pasien bingung,

berbicara mengacau (sering bertanya berulang-ulang) disorientasi tempat dan

waktu, maka nilai respon verbal kita beri nilai (4) . Untuk nilai (3) kita beri ketika

pasien berbicara tidak patut seperti berbicara dengan kata-kata kasar dan makian.

Apabila pasien lebih banyak mengerang atau mengeluarkan suara tanpa arti, maka

kita nilai respon verbal pasien (2). Ketika masih saja tidak ada respon, maka kita

beri nilai verbal pasien (1).

Motor (respon motorik)

Respon motorik ini harus dibedakan dengan penilaian kekuatan otot.

Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien

dengan memantau respon motorik pasien. Ketika pasien diperintahkan untuk

melakukan apa yang kita inginkan, seperti memintanya untuk mengangkat tangan,

atau ketika kita datang kemudian kita memberikan tangan kita untuk berjabat

17

tangan dengannya. Kita bisa melihat adakah atau tidak respon pasien untuk

melakukan hal tersebut (menjabat tangan kita).

Tabel 2 : Motor (respon motorik)8

Gambar 6 : Respon motorik nilai 6 8

18

Apabila pasien mengikuti perintah yang kita berikan, maka kita nilai

respon motorik pasien (6)

Gambar 7 : respon motorik nilai 5 8

Kita bisa memberikan sebuah stimulus berupa rangsangan nyeri di daerah

N. Supraorbita dengan cara menggosokan kuku didaerah supraorbita groove

dengan tekanan yang makin kuat sampai pasien memberikan respon. Ketika

pasien mampu untuk melokalisir nyeri dengan cara menjauhkan stimulus saat

diberi rangsang nyeri, maka kita memberikan nilai (5). Namun jika pasien hanya

dapat menghindar terhadap stimulus nyeri maka kita beri nilai M (4).

Gambar 8 :Respon motorik nilai 3 8

Apabila pasien tidak dapat melokalisasi nyeri dari stimulus. Maka kita bisa

berikan stimulus nyeri di daerah kukunya dengan tekanan ujung pulpen atau

lainnya. Pasien akan memperlihatkan flexi siku yang bisa juga diikuti oleh flexi

pergelangan tangan, untuk kondisi ini kita berikan M (3).

19

Gambar 9 : Respon motorik nilai 2 8

Sedangkan untuk memberikan nilai M (2) didapatkan respon pasien

berupa extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan

jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). Namun ketika pasien

tidak ada respon apapun terhadap nyeri, maka untuk kondisi seperti ini kita nilai

M (1).

Penilaian GCS 8

1. Hasil pemeriksaan kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol

(EMV)

2. Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu

E4M6V5 dan terendah adalah 3 yaitu E1M1V1.

3. Menilai status kesadaran klien

GCS 14–15 = cidera kepala ringan

GCS 9–13 = cidera kepala sedang

GCS 3–8 = cidera kepala berat

< 3 = koma

E = Exposure/Environment/Body Temperature

Buka pakaian pasien untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Periksa

hal-hal yang mungkin terlewat pada pemeriksaan sebelumnya, seperti darah yang

keluar dari anus atau luka pada tubuh yang tertutup pakaian. Setelah pakaian

dilepas, pasien harus segera diselimuti untuk mencegah hipotermi.

20

3.2 Pemeriksaan Secondary Survey 7,8

Secondary survey adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe

examination), termasuk pemeriksaan tanda vital. Secondary survey baru

dilaksanakan setelah primary survey selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan ABC

pasien telah dipastikan membaik.

Pada secondary survey ini, dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap,

termasuk mencatat skor GCS bila belum dilaksanakan dalam primary survey.

Prosedur khusus seperti pemeriksaan radiologis, pemeriksaan laboratorium juga

dapat dikerjakan pada kesempatan ini.

Pemeriksaan pada secondary survey meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik

ekstra oral seperti kepala dan oromaksilofasial juga pemeriksaan intra oral yang

meliputi status lokalis gigi dan jaringan pendukung sekitarnya.

3.2.1 Anamnesis

Untuk menegakan diagnosis dan menentukan rencana perawatan,

diperlukan informasi yang memadai tentang riwayat trauma. Namun, pada pasien

yang mendapat cedera pada daerah kepala, biasanya sulit untuk diajak

berkomunikasi. Pada situasi ini, riwayat trauma dapat diperoleh dari petugas unit

gawat darurat, perawat, orang yang mendampingi yang pasien, atau siapapun yang

melihat dengan jelas bagaimana trauma terjadi. 7

Keadaan tidak sadar (koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan

hambatan yang sering terjadi dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Penting

untuk dicatat mengenai tanggal, waktu, tempat kejadian, dan peristiwa khusus.

Apabila cedera disebabkan karena kecelakaan motor, perlu dicatat bagaimana

kronologis kejadiannya, apakah korban bertindak sebagai pengemudi atau

penumpang, apakah ia memakai helm atau tidak, bagaimana jenis helmnya full

face atau half face, apakah ada riwayat pingsan, mual dan muntah, apakah ada

perdarahan dari hidung, mulut dan telinga, apakah pasien telah mendapatkan

pertolongan medis dan pemberian obat sebelumnya dan pertanyaan penting

lainnya.

21

Riwayat trauma yang akurat sebaiknya diperoleh dari pasien, keluarga

pasien dan orang yang menyertainya. Meliputi jawaban dari pertanyaan-

pertanyaan berikut (9)

:

1. WHO?

Jawabannya meliputi nama pasien, umur, alamat, nomor telepon, dan data

demografi lainnya.

2. HOW?

Sebagai contoh, seorang pengendara sepeda motor sedang dalam pengaruh

alkohol mengendarai motornya di cuaca hujan dan gelap gulita. Kemudian

ia tergelincir di tikungan dan turunan curam dengan keadaan terguling

sejauh 10 meter dengan kondisi wajah mengenai aspal. Motor dalam

keadaan rusak parah.

Jawaban kronologis tentang bagaimana kejadian terjadi mengindikasikan

keparahan cedera jaringan dan kemungkinan daerah-daerah mana saja dari

tubuh yang terkena trauma.

3. WHERE?

Pertanyaan ini penting untuk mengetahui kemungkinan adanya

kontaminasi luka. Sebagai contoh apabila pasien jatuh di daerah yang

berpasir maka penting untuk dilakukan debridemen sempurna sampai tidak

ada sama sekali pasir yang tertinggal di dalam luka.

4. WHEN?

Kapan trauma itu terjadi? Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan

penting untuk menentukan apakah suatu luka masih dalam golden period.

Jika ditemukan kasus avulsi gigi di dalam golden period maka prognosis

untuk reposisi semakin baik.

Selain itu riwayat medis yang penting untuk diketahui adalah tentang

riwayat alergi, ada tidaknya penyakit kelainan perdarahan, riwayat penyakit yang

pernah diderita, tanggal imunisasi tetanus terakhir. Perlu dicatat juga ada tidaknya

tanda-tanda kecanduan alkohol dan obat-obatan, karena tingkat kesadaran

22

dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi mengenai waktu makan dan

minum yang terakhir sangat penting apabila akan dilakukan anestesi umum.

3.2.2 Pemeriksaan Fisik 2,3,6

I. Ekstra Oral

a. Pemeriksaan Kepala

Pemeriksaan ini meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial

dan jaringan lunak disekitarnya. Pasien harus dibersihkan dari semua

darah dan benda asing secara hati-hati. Rangka kraniofasial terdiri dari

pertautan dan penonjolan tulang, maka pemeriksaannya harus meliputi

ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas, pergeseran, dan

hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-hati

terhadap kranium, sambungan daerah fronto-orbital, naso-orbital

kompleks, artikulasi zygomatik, dan mandibula.

b. Pemeriksaan Wajah Bagian Tengah

Evaluasi wajah bagian tengah dimulai dengan memperkirakan

adanya mobilitas dari maksila sebagai struktur maksila itu sendiri atau

hubungannya dengan zygoma atau tulang nasal. Untuk memeriksa

adanya mobilitas maksila, kepala pasien harus distabilisasikan dengan

cara menekan kening pasien cukup kuat dengan satu tangan. Dengan

ibu jari dan telunjuk tangan lainnya mencengkram maksila pada satu

sisi, dan digerakkan dengan tekanan yang stabil sehingga dapat

diperoleh kepastian ada atau tidaknya dapatkan mobilitas maksila.

23

Gambar 10 : Pemeriksaan mobilitas maksila. Gambar sebelah kanan menunjukkan

pemeriksaan bahwa cara ini juga dapat digunakan untuk evaluasi mobilitas tulang

nasal.9

Cara melakukan pemeriksaan manual atau digital adalah

dengan palpasi dimulai dari superior ke inferior. Pemeriksaan dimulai

dari aspek medial dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal

dan saluran nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri

(bidigital). Palpasi diteruskan ke arah lateral menyilang cincin

supraorbital menuju sutura zygomatikofrontalis. Jaringan lunak yang

menutupinya digeser dan sutura dipalpasi apakah terjadi kelainan atau

tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari medial ke lateral untuk

mengevaluasi sutura zygomatikomaksilaris. Bagian-bagian yang

mengalami nyeri tekan, dan baal juga dicatat, karena hal ini

menunjukkan adanya fraktur atau cedera pada saraf. Arcus

zygomatikus dipalpasi bilateral dan diamati apakah terdapat tanda-

tanda asimetri, dari aspek posterior atau superior. Vestibulum nasi juga

diperiksa karena bisa terjadi pergeseran septum, dan adanya

perdarahan atau cairan.

Pemeriksaan mata secara lengkap sebaiknya dilakukan terlebih

dahulu, karena trauma dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan.

Hampir 40% fraktur tengah wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan

yang akurat sulit dilakukan pada pasien yang mengalami cedera

24

neurologis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan

hitungan jari, deteksi gerakan, atau penggunaan sinar.

Hematoma aurikuler telinga harus segera didiagnosa dan

dilakukan terapi. Mastoid harus diperiksa dari kemungkinan adanya

ekimosis yang disertai dengan hemotimpanum dan otorrhea, karena

merupakan indikasi terjadinya fraktur basis tulang kranial. Adanya

laserasi dari daerah telinga bagian luar merupakan tanda waspada

terhadap kemungkinan cedera pada kondilus mandibula.

Kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus dicatat. Adanya

fraktur septum hidung dan hematoma dapat menyebabkan obstruksi

hidung. Hematoma septum hidung harus didiagnosa dan dievakuasi

segera untuk menghindari terjadinya nekrosis tulang rawan septum

hidung yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan bentuk

hidung. 3

Tiga saraf utama trigeminal harus diperiksa untuk

kemungkinan terjadinya anestesi atau parestesi. Saraf kranialis 3 ,4 ,5

,6 ,7 dites untuk mengetahui apakah terjadi palsi. Dapatkah pasien

mengangkat alis dan meretraksi sudut mulutnya, apakah bola mata bisa

bergerak bebas, dan apakah pupil bereaksi terhadap sinar dan

berakomodasi..

c. Pemeriksaan Mandibula

Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap

digaris tengah, atau terjadi pergeseran ke lateral dan inferior.

Pergerakan mandibula juga dievaluasi dengan jalan memerintahkan

pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu, dan apabila ada

penyimpangan juga dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah

dan jarak interinsisal dicatat. Apabila meatus akustikus eksternus

penuh dengan darah dan cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan dengan

telapak mengarah ke bawah dan ke depan untuk melakukan palpasi

endaural terhadap caput condilus pada saat istirahat dan bergerak. Pada

25

fraktur subcondilus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan atau

caput mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior

mandibula dipalpasi mulai dari prosesus kondilaris sampai ke

simphisis mandibula. Sekali lagi nyeri tekan atau baal, dan kelainan

kontinuitas harus dicatat.

Fraktur mandibula dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi

anatomi, yaitu kondilar, ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan

daerah prossessus koronoid. Selain itu fraktur mandibula juga dapat

diklasifikasikan berdasarkan tipe frakturnya, yaitu fraktur greenstick,

simpel, kominuted, dan kompoun.

26

Gambar 11. Distribusi anatomik dari fraktur mandibula.2

Gambar 12 : Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan tipe frakturnya:

Greenstick (A), Simple (B), Komminuted (C), Kompoun (D).2

II. Intra Oral 3,7

Pemeriksaan ini meliputi evaluasi oklusi dan penghitungan gigi

yang hilang. Adanya gigi yang terhisap dan tertelan dapat dilihat dengan

melakukan radiografi pada dada dan perut. Gigi tiruan yang lepas juga

dapat menyebabkan tersumbatnya jalan pernapasan. Adanya step dan

pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya fraktur dentoalveolar

ataupun fraktur rahang. Gigitan terbuka lateral (open bite lateral) juga

27

dapat mengindikasikan adanya fraktur mandibula atau gangguan TMJ.

Sedangkan gigitan terbuka anterior (open bite anterior) mengindikasikan

adanya fraktur Le Fort (I, II, ataupun III).

3.2.3 Pemeriksaan Radiografis

Untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma dentoalveolar hanya

diperlukan radiograf oklusal dan periapikal saja. Detail dari cedera gigi (luksasi

dan avulsi), dan sebagian besar fraktur prosessus alveolaris paling baik dirontgen

dengan cara ini. Sedangkan untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma

maksilofasial harus dilakukan foto panoramik dan schedel AP-Lat segera,

kemudian dapat dilakukan rontgen foto waters view dan jika memungkinkan dan

pasien mampu dapat dilakukan CT-Scan 3 dimensi. Meskipun demikian, tidak

dibenarkan untuk melakukan pembuatan radiografis untuk mengetahui adanya

fraktur bila bukti klinis kurang mendukung.

3.2.4 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan lab yang sering dilakukan pada kasus trauma

oromaksilofasial yaitu Hb, Leukosit, trombosit, BT CT, PT APTT, analisa gas

darah, GDS, ureum, kreatinin, elektrolit, albumin serum, dan differential sel.

Penatalaksanaan Fraktur Oromaksilofasial 2,3

1. Perawatan umum terhadap komplikasi yang menyertai

2. Penanganan Luka Jaringan Lunak

- Imobilisasi dan evaluasi bagian yang terluka untuk mengurangi rasa

nyeri dan edema.

- Debridement : membersihkan luka, membuang jaringan nekrotik dan

benda asing.

- Hemostasis

- Menghilangkan tegangan pada penutupan luka: undermining, jahitan

subkutis

- Antibiotika

28

3. Pemeriksaan klinis yang teliti dan interpretasi foto rontgen yang tepat

4. Menentukan tipe dan macam fraktur

5. Mencegah dan merawat infeksi

6. Memberikan imobilisasi sementara

7. Memilih cara pemberian anastesi yang tepat

8. Melakukan Reduksi, Fiksasi dan Imobilisasi fraktur

- Reduksi:

Mengembalikan fragmen pada posisi anatomisnya

Terdiri dari open dan closed reduction

- Fiksasi:

Mempertahankan fragmen yang telah direposisi tetap pada tempatnya

untuk menghasilkan penyembuhan.

- Imobilisasi :

Mempertahankan fiksasi, meniadakan rasa sakit, krepitasi dan funtio

laesa.

29

BAB IV

KESIMPULAN

Pendekatan awal terhadap pasien trauma oromaksilofasial akut sedikit

berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap

saluran pernapasan, adekuasi dari ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal.

Pemeriksaan fisik baru bisa dilakukan apabila keadaan umum pasien

stabil, pendarahan, serta jalan nafas telah di tangani. Pemeriksaan dilakukan

secara akurat dan menyeluruh pada pasien ini. Rangkaian pemeriksaan primary

survey dan secondary survey berupa anamnesis yang lengkap, pemeriksaan klinis

ekstra oral dan intra oral. Pemeriksaan radiografis dan pemeriksaan laboraturium

dilakukan untuk membantu klinisi menegakkan diagnosa dan rencana perawatan

yang tepat pada penderita trauma oromaksilofasial.

Pengetahuan tentang jenis trauma, anatomi oromaksilofasial, status

kegawatdaruratan serta skala prioritas penanganan cedera oromaksilofasial mutlak

dibutuhkan dalam penanganan kegawatdaruratan trauma oromaksilofasial.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedersen GW. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Penerjemah: Purwanto

dan Basoeseno. EGC. Jakarta

2. Fonseca, RJ,et al. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis:

Elsevier Saunders

3. Marciani RD, Carlson ER, Braun TW. 2009. Oral and Maxillofacial Surgery

Volume II. Ed. Ke-2. Saunders Elsevier. St. Louis

4. Yokoyoma T, Motozawa Y, Sasaki T, Hitosugi M. 2006. A Retrospective

Análisis of Oral and Maxillofacial Injuries in Motor Vehicle Accidents. J Oral

Maxillofac Surg 64:1731-1735

5. Jong WD.1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerjemah. R.Sjamsuhidayat. EGC.

Jakarta.

6. Andreasen JO. 1999. Essential of Traumatic Injuries to the Teeth.

Munksgaard

7. Juliani KI, Frekuensi-distribusi trauma oromaksilofasial dan

penatalaksanaannya di Rumah Sakit Umum Tangerang dalam kurun waktu 1

Oktober 1992 -30 September 1993.

http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-81816.pdf

8. Peterson Lj. 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery.4 th ed. St

Louis: Mosby.

9. http://en.wikipedia.org/wiki/Glasgow_Coma_Scale

10. Banks P. 1990. Fraktur mandibula ( Killeys Fractures of the mandible ). Alih

bahasa Lilian Yuwono. Hipokrates. Jakarta

11. London PS. 1991. The anatomy of injury and its surgical implication.

Butterworth-Heinemana Ltd. London

31

Penyembuhan Luka Jaringan Lunak Dan Saraf

Dian Maifara Putri

160121120007

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis

Bedah Mulut Dan Maksilofasial

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Abstrak : Luka adalah hilang atau rusaknya integritas jaringan tubuh, keadaan ini

dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,

ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.1 Penyembuhan luka dan jaringan saraf

merupakan hal yang penting untuk mengetahui tahapan luka, faktor-faktor yang

berpengaruh, dan komplikasi. Komplikasi dapat terjadi apabila tidak dilakukan

terapi dengan adekuat.

Kata kunci: penyembuhan jaringan lunak, infeksi

32

BAB I

PENDAHULUAN

Luka adalah hilang atau rusaknya suatu kesatuan atau komponen integritas

jaringan tubuh, keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul,

perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.1

Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ialah penyembuhan

luka yang dapat dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan

remodeling atau penyudahan yang merupakan pembentukan kembali dari

jaringan.1,2

Penyembuhan luka adalah proses kinetik dan metabolik yang kompleks

yang mengikutsertakan berbagai sel dan jaringan dalam usaha menutup tubuh dari

lingkungan luar dengan cara mengembalikan integritas jaringan. Maka pada setiap

perlukaan, baik luka itu bersih maupun luka yang kotor dan terinfeksi, tubuh akan

berusaha melakukan penyembuhan luka.

Komplikasi yang sering ditimbulkan pada tahap penyembuhan luka dapat

meliputi pembentukan kista implantasi, infeksi luka, nekrose atau gangren dari

jaringan, pembentukan jaringan parut, pembentukan keloid yaitu berupa tonjolan

jaringan parut, dan warna yang berbeda dari jaringan sekitarnya.1,2

33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

JENIS-JENIS LUKA

Luka terdiri dari: 2,3,4,5,7,8

1. Luka Tertutup

Gambar 1.Luka Memar 9

a. Luka memar ( contusio )

Terjadi akibat benturan dengan benda tumpul, biasanya terjadi di

daerah permukaan tubuh, darah keluar dari pembuluh dan terkumpul di

bawah kulit sehingga bisa terlihat dari luar berupa warna merah kebiruan

b. Hematoma (darah yang terkumpul di jaringan)

Prinsipnya sama dengan luka memar tetapi pembuluh darah yang

rusak berada jauh di bawah permukaan kulit dan biasanya besar, sehingga

yang terlihat adalah bengkak, biasanya besar dan kemerahan.

2. Luka terbuka yang disertai kehilangan jaringan maupun yang tidak disertai

kehilangan jaringan

a. Vulnus Abrasivum (luka lecet), terjadi karena gesekan antara suatu benda

dengan permukaan jaringan lunak.

34

Gambar 2. Vulnus Abrasivum 9

Gambar 3. Kedalaman Luka Lecet 10

b. Vulnus Scissum ( luka sayat ), terjadi karena tersayat pisau atau benda tajam

lainnya, pinggir luka tajam dan rata serta mempunyai dasar yang sempit.

Gambar 4. Luka Sayat 11

35

c. Vulnus Penetratum ( luka tembus ), adalah luka yang terjadi sampai

menembus organ tubuh lain yang lebih dalam.

Gambar 5. Luka Tembus 11

d. Vulnus laceratum ( luka compang camping ), adalah luka yang disebabkan

oleh benda tumpul yang bentuknya tidak teratur.

Gambar 6. Luka Laserasi 11

e. Vulnus Punctum ( luka tusuk ), luka yang terjadi karena tusukan benda-

benda yang runcing.

36

Gambar 7. Luka Tusuk 11

Gambar 8. Penampang Luka Tusuk 12

Gambar 9. A. Luka laserasi, B. Luka Tusuk 12

f. Vulnus Sclopectorum ( luka tembak), luka yang disebabkan oleh tembakan

senjata api

37

Gambar 10. Luka Tembak 13

g. Vulnus Mossum ( luka karena gigitan binatang).

Gambar 11. Luka Gigitan Binatang 11

h. Avulsi; yaitu hilangnya substansi jaringan lunak yang biasanya mengenai

kulit, walaupun mukosa, otot, dan tulang juga bisa terkena. Avulsi

biasanya menyertai luka-luka multipel pada wajah dan biasanya pada

korban kecelakaan sepeda motor atau luka karena peralatan

industri/pertanian. Luka ini ditandai dengan kulit yang terlepas/ hilang

sama sekali. 1,2,3

PENATALAKSANAAN LUKA

Prioritas dalam penatalaksanaan luka adalah mengatasi perdarahan

(hemostasis); mengeluarkan benda asing yang dapat bertindak sebagai fokus infeksi;

melepaskan jaringan yang mengalami devitalisasi; krusta yang tebal dan pus;

menyediakan temperatur, kelembaban, dan pH yang optimal untuk sel-sel yang

berperan dalam proses penyembuhan; meningkatkan pembentukan jaringan granulasi

dan epitelialisasi; dan melindungi luka dari trauma yang lebih lanjut serta terhadap

38

masuknya mikroorganisme patogen. tujuannya adalah untuk melindungi individu dari

kerusakan fisiologis lebih lanjut, untuk menyingkirkan penyebab aktual atau potensial

yang memperlambat penyembuhan dan untuk menciptakan lingkungan lokal yang

optimal untuk rekonstruksi dan epitelialisasi vaskular dan jaringan ikat.6

Luka harus dibersihkan dari kotoran atau debris. Pembersihan luka dapat

dilakukan dengan bahan pembersih luka, sabun atau bila perlu dengan disikat. Biasanya

dilakukan tindakan anestesi sebelumnya untuk mengurangi rasa sakit. Lalu dengan

menggunakan larutan saline dilakukan irigasi untuk menghilangkan semua partikel

yang tertinggal pada luka. Debridement dilakukan untuk menghilangkan jaringan yang

mengalami devitalisasi agar didapat penutupan luka yang baik. Sebelum luka ditutup,

hemostasis harus tercapai. Bila tidak, maka akan terjadi hematoma di dalam jaringan

yang dapat membuka kembali luka yang telah ditutup. Pembuluh darah dapat diklem,

diligatur atau dikauterisasi untuk mengurangi perdarahan yang terjadi akibat luka yang

terbuka. 6

Setelah luka dibersihkan, dilakukan debridement dan hemostasis tercapai, luka

ditutup dengan dijahit. Namun tidak semua luka membutuhkan penjahitan, luka kecil

dapat dibiarkan dan dapat sembuh tanpa penjahitan. Bila penjahitan dianggap perlu,

tujuan penjahitan adalah mengembalikan jaringan ke posisi semula, tergantung

kedalaman dan posisi luka tersebut. Luka pada gingiva atau mukosa alveolar dapat

ditutup dengan penjahitan 1 lapis, sedangkan luka pada lidah atau bibir yang

melibatkan otot harus dijahit lapisan otot terlebih dahulu dengan benang jahit yang

dapat teresorbsi, dan luka yang lebih dalam membutuhkan penjahitan 3 lapis. Setelah

penutupan luka, klinisi harus mempertimbangkan pemberian terapi suportif untuk

mempercepat penyembuhan seperti pemberian antibiotik dan anti tetanus. Kecuali

untuk luka superficial antibiotik tidak diindikasikan. 6

Protokol 1: Wound toilet dan debridement

Gunakan satu dari 2 antiseptik di bawah ini untuk luka:

- Larutan Povidone iodine 10% dua kali sehari

- Cetrimide 15% + chlorhexidine gluconate 1,5%

39

1. Bersihkan luka dengan sabun dan air matang selama 10 menit, kemudian

luka diirigasi dengan larutan salin

2. Debridement: membersihkan luka dari benda asing, jaringan mati dan

rusak secara mekanis. Kemudian irigasi luka kembali. Jika analgetik lokal

dibutuhkan gunakan lidokain 1% tanpa epinefrin.

3. Tutup luka dengan kasa steril dan kering. Ganti kasa minimal sekali

sehari.

Protokol 2: Manajemen luka dengan tetanus

1. Luka biasanya terinfeksi tetanus jika telah lebih dari 6 jam sebelum

pembersihan luka dan memperlihatkan tanda-tanda: tipe luka punctum,

terdapat jaringan mati dalam jumlah signifikan, tanda klinis sepsis,

kontaminasi bakteri tetanus, dan luka bakar.

2. Untuk pasien terkontaminasi tetanus, WHO merekomendasikan injeksi TT

(Tetanus Toksoid) atau Td (vaksin tetanus dan diphteri) dan TIG

(Immunoglobin tetanus)

3. Jika pemberian vaksin tetanus dan immunoglobin tetanus dalam satu

waktu, maka harus diberikan dengan syringe yang berbeda dan lokasi

pemberian yang berbeda pula.

Protokol 3: Antibiotik profilaksis dan antibiotik perawatan

Antibiotik profilaksis

Antibiotik profilaksis diindikasikan untuk luka yang mempunyai risiko

tinggi untuk terinfeksi seperti luka yang terkontaminasi, vulnus penetratum,

trauma abdominal, vulnus laseratum dengan ukuran lebih dari 5 cm, luka dengan

banyak jaringan nekrotik, tempat yang berisiko tinggi seperti pada ekstremitas.

Antibiotik profilaksis yang direkomendasikan adalah penisilin G dan

metronidazole dalam satu kali pemberian. Dosis dewasa 8-12 juta IU, dan anak-

anak 200.000 IU/kg BB dalam sekali pemberian.

40

Antibiotik perawatan

Jika infeksi telah terjadi, berikan antibiotik secara intravena, diberikan

Penisilin G dan metronidazole untuk 5-7 hari. Penisilin untuk dosis dewasa 1-5

MIU setiap 6 jam, dan berikan secara peroral 2 hari kemudian jika

memungkinkan. Penisilin untuk dosis anak-anak 100 mg/kg BB setiap hari dibagi

dalam beberapa dosis. Metronidazole dewasa 500 mg setiap 8 jam dan anak-anak

7,5 mg/kg setiap 8 jam secara intravena. 6

Langkah-langkah pengelolaan luka jaringan lunak terdiri atas:

I. Pengelolaan vulnus secara umum 7:

1. Pembersihan luka (debridement)

Adalah tindakan membersihkan daerah luka dari benda-benda

asing yang mengkontaminasi luka, dan jaringan nekrotik yang terdapat

pada luka.

Debridement terbagi atas 4 metode 14

:

a. Surgery: merupakan cara tercepat jika jaringan nekrotik luas

b. Enzimatic: enzim yang dapat mendegradasi jaringan nekrotik

c. Autolisis: proses yang normal terjadi pada luka dan tidak melukai

jaringan sehat di sekeliling luka

d. Mekanikal: dengan cara membilas/irigasi luka

Pembersihan luka dilakukan dengan cara:

- mencuci daerah luka untuk membersihkan debris atau benda asing

yang tertinggal. Dilakukan dengan menggunakan sikat halus steril/

kapas steril dengan larutan garam fisiologis.

- Dilanjutkan dengan membuang sisa jaringan nekrotik sehingga

didapat pinggiran jaringan yang linear. Pembuangan dilakukan

seminimal mungkin, hanya jaringan non vital yang dieksisi.

Persiapan wound toilet 15

:

- Jangan memakai sabun atau alkohol

- Gunakan salin steril

- Irigasi dengan tujuan menghilangkan benda asing

41

- Gunakan 50-100ml/cm salin dengan tekanan

Gambar 12: Enzymatic wound debridement 14

II. Pengelolaan hematoma dan kontusio

1. Kompres dingin untuk mengurangi sakit dan perdarahan

2 Beri analgetik dan antiinflamasi

3. Instruksikan pada pasien keesokan harinya jika masih lebam dapat

dikompres hangat sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah

menyebabkan vaskularisasi aktif agar PMN bergerak untuk

memfagositosis sisa-sisa debris fibril atau leukosit dan trombosit yang

mati. Tindakan ini dilakukan beberapa hari hingga sembuh.

Setelah semua tindakan di atas dilakukan, maka dapat diberikan terapi suportif:

pencegahan luka dari infeksi

1. Spesifik dengan anti tetanus

2. Non spesifik dengan pemberian antibiotika

LUKA BAKAR

I. Definisi

Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan suhu tinggi

seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi. Jenis luka dapat beraneka

ragam dan memiliki penanganan yang berbeda tergantung jenis jaringan yang

42

terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan komplikasi yang terjadi akibat luka

tersebut. Luka bakar dapat merusak jaringan otot,tulang, pembuluh darah dan

jaringan epidermal yang mengakibatkan kerusakan yang berada di tempat yang

lebih dalam dari akhir sistem persarafan. Seorang korban luka bakar dapat

mengalami berbagai macam komplikasi yang fatal termasuk diantaranya kondisi

shock, infeksi, ketidak seimbangan elektrolit (inbalance elektrolit) dan masalah

distress pernapasan. Selain komplikasi yang berbentuk fisik, luka bakar dapat juga

menyebabkan distress emosional (trauma) dan psikologis yang berat dikarenakan

cacat akibat luka bakar dan bekas luka (scar). 14

II. Beratnya Luka Bakar

Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh

kedalaman luka bakar. Walaupun demikian beratnya luka bergantung pada dalam,

luas dan daerah luka. Umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya akan

sangat mempengaruhi prognosis.14

III. Derajat Luka Bakar

Gambar 13. Dalamnya luka bakar 15

1. Luka bakar derajat 1 hanya mengenai epidermis serta belum terbentuk

lepuhan dan biasanya sembuh dalam 5-7 hari, misalnya tersengat matahari.

Luka tampak sebagai eritema dengan keluhan rasa nyeri atau

hipersensitivitas setempat.

43

2. Luka bakar derajat 2 mencapai kedalaman dermis tetapi masih ada elemen

epitel sehat yang tersisa. Elemen epitel tersebut misalnya sel epitel basal,

kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya sisa

sel epitel ini, luka dapat sembuh sendiri dalam 2 sampai 3 minggu. Gejala

yang timbul adalah nyeri, gelembung, atau bula berisi cairan eksudat yang

keluar dari pembuluh karena permeabilitas dindingnya meninggi.

3. Luka bakar derajat 3 meliputi seluruh kedalaman kulit dan mungkin

subkutis, atau organ yang lebih dalam. Tidak ada lagi elemen epitel hidup

yang tersisa yang memungkinkan penyembuhan dari dasar luka, karena itu

untuk mendapatkan kesembuhan harus dilakukan cangkok kulit. Kulit

tampak pucat abu-abu gelap atau hitam, dengan permukaan lebih rendah dari

jaringan sekeliling masih sehat.14

IV. Luas Luka Bakar

Luas luka bakar dinyatakan dalam persen (%) terhadap luas seluruh tubuh.

Pada orang dewasa digunakan rumus 9, yaitu luas kepala dan leher, dada,

punggung, perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas

kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri

masing-masing 9%, sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu

untuk menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar bagi orang dewasa.

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relative permukaan

kepala anak jauh lebih besar dan luas relative permukaan kaki lebih kecil.Karena

perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda. Untuk anak,

kepala dan leher 18%, badan depan dan belakang masin-masing 18 %, ekstremitas

atas kanan dan kiri masing-masing 9 %, ekstremitas bawah kanan dan kiri

masing-masing 14 %.14

44

Gambar 14. Luasnya luka bakar 16

V. Klasifikasi Luka Bakar Menurut Keparahannya

1. Berat/Kritis bila :

a. Derajat 2 dengan luas lebih dari 25 %.

b. Derajat 3 dengan luas lebih dari 10 %, atau terdapat di muka, kaki

dan tangan.

c. Luka bakar disertai trauma jalan napas atau jaringan lunak luas,

atau terdapat fraktur.

d. Luka bakar akibat listrik.

2. Sedang bila :

a. Derajat 2 dengan luas 15 - 25 %.

b. Derajat 3 dengan luas kuarang 10 %, kecuali terdapat di muka,

kaki dan tangan.

3. Ringan bila :

a. Derajat 2 dengan luas kurang dari 15 %.

b. Derajat 3 dengan kurang dari 2 %.2

45

VI. Penatalaksanaan Luka Bakar

Prinsip penanganan luka bakar adalah penutupan lesi sesegera mungkin,

pencegahan infeksi, mengurangi rasa sakit, pencegahan trauma mekanik pada

kulit yang vital dan elemen didalamnya, dan pembatasan pembentukan jaringan

parut.2

Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api misalnya dengan

menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk menghentikan pasokan

oksigen bagi api yang menyala. Korban dapat mengusahakanya dengan cepat

menjatuhkan diri dan berguling dan mencegah meluasnya bagian pakaian yang

terbakar. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri misalnya

dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menceburkan diri ke air dingin,

atau melepaskan baju yang tersiram air panas.

Pertolongan pertama setelah sumber panas dipadamkan, terdiri dari

merendam daerah luka bakar dalam air atau menyiraminya dengan air mengalir

selama sekurang-kurangnya 15 menit. Pada luka bakar ringan, prinsip

penanganan utama adalah mendinginkan daerah yang terbakar dengan air,

mencegah infeksi dan memberi kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk

berproliferasi dan menutup permukaan luka.

Pada luka bakar berat, selain penanganan umum seperti pada luka bakar

ringan, kalau perlu dilakukan resusitasi segera bila penderita menunjukkan gejala

syok. Bila penderita menunjukkan gejala terbakarnya jalan napas, diberikan

campuran udara lembab dan oksigen. Kalau terjadi oedem laring dipasang pipa

endotrakea atau dibuat trakeostomi. Trakeostomi berfungsi untuk membebaskan

jalan napas, mengurangi ruang mati dan memudahkan pembersihan jalan napas

dari lender atau kotoran. Bila ada dugaan keracunan CO2, diberikan O2 murni.

Perawatan lokal adalah mengoleskan luka dengan antiseptik. Kalau perlu

penderita dimandikan dahulu. Selanjutnya diberikan pencegahan tetanus berupa

ATS dan/atau toksoid. Analgesik diberikan bila penderita kesakitan.17

46

VII. Volume Sirkulasi

Penilaian volume sirkulasi sering sulit pada penderita luka bakar berat.

Tekanan darah sukar diukur dan hasilnya tidak dapat dipercaya. Untuk

mengetahui status sirkulasi dilakukan pengukuran produksi urine/jam dengan

catatan tidak ada osmotic dieresis. Oleh karena itu penderita luka bakar berat

harus dipasang kateter. Sebagai patokan mengetahui sirkulasi yang akurat ialah

bila penderita diberi infus cairan dalam jumlah yang menghasilkan urine 1cc/Kg

BB/ jam (untuk anak dengan BB ≤ 30 Kg) dan 30 – 50 cc / kg BB / jam (dewasa).

Pada 24 jam pertama penderita luka bakar berat derajat II dan III

memerlukan 2 – 4 cc cairan RL/ Kg BB/ % Luas luka bakar untuk

mempertahankan volume sirkulasi dan fungsi ginjal yang adequat. Pemberian

cairan dilakukan sebagai berikut : ½ dari volume terhitung diberikan 8 jam

pertama setelah trauma, ½ dari sisanya diberikan 16 jam berikutnya. Untuk

mempertahankan produksi urine 1 cc/ Kg BB/jam pada anak-anak dan BB ≤ 30

Kg, perlu dihitung dengan cermat dan perlu ditambahkan cairan glukosa untuk

maintenance.

Perlu diketahui bahwa rumus penghitungan cairan tersebut merupakan

perkiraan volume cairan yang diperlukan. Pemberian cairan disesuaikan dengan

respon individual penderita, misalnya dinilai produksi urinenya, tanda-tanda vital

dan keadaan umum.17

VIII. Luka Bakar Khusus

1. Luka Bakar Karena Bahan Kimia/Kimiawi

Luka bakar dapat disebakan oleh asam, alkali dan hasil-hasil pengolahan

minyak. Luka bakar alkali lebih berbahaya dari asam, sebab alkali lebih dalam

merusak jaringan. Segeralah bersihkan bahan kimia tersebut dari luka bakar.

Kerusakan jaringan akibat luka bakar bahan kimia dipengaruhi oleh

lamanya kontak, konsentrasi bahan kimia dan jumlahnya. Segera lakukan irigasi

dengan air sebanyak-banyaknya, bila mungkin gunakan penyemprot air. Lakukan

tindakan ini dalam waktu 20 – 30 menit. Untuk luka bakar alkali, diperlukan

47

waktu yang lebih lama. Bila bahan kimia merupakan bubuk, sikatlah terlebih

dahulu sebelum irigasi.

Jangan memberikan bahan-bahan penetral (neutralizing agent) sebab

reaksi kimia yang terjadi akibat pemberian bahan penetral dapat menimbulkan

panas dan akan memperberat kerusakan yang terjadi. Untuk luka bakar pada mata,

memerlukan irigasi terus menerus selama 8 jam pertama setelah luka bakar. Untuk

irigasi ini dapat digunakan kanula kecil yang dipasang pada sulkus palpebra.17

2. Luka Bakar Listrik

Luka bakar listrik terjadi karena tubuh terkena aliran listrik. Luka bakar

listrik sering menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih berat dari pada luka

bakar yang terlihat pada permukaannya. Tubuh merupakan penghantar tenaga

listrik, dan panas yang ditimbulkannya, menyebabkan luka bakar pada tubuh.

Perbedaan kecepatan hilangnya panas dari tubuh superfasial dengan jaringan

tubuh yang lebih dalam, menghasilkan keadaan dimana jaringan yang lebih

dalam akan bisa mengalami nekrosis, sedangkan kulit di atasnya relatif tampak

normal.

Penanganan harus segera dilakukan pada penderita dengan luka bakar

listrik meliputi perhatian terhadap jalan nafas, pernafasan, pemasangan infus,

ECG dan pemasangan kateter. Apabila urine berwarna gelap mungkin urine

mengandung hemokhromogens, janganlah menunggu konfirmasi laboratorium

untuk melakukan terapi terhadap mioglobunuria. Pemberian cairan harus

ditingkatkan sedemikian rupa sehingga tercapai produksi urine sekurang-

kurangnya 100 cc/jam (pada dewasa). Bila urine belum tampak jernih, berikan

segera 25 gr manitol dan tambahkan manitol 12,5 gr manitol pada tiap

penambahan 1 liter cairan untuk mempertahankan diuresis sejumlah tersebut di

atas. Bila terjadi asidosis metabolic, pertahankan perfusi sebaik mungkin dan

berikan Natrium Bikarbonat untuk membuat urine menjadi alkalis dan

meningkatkan kelarutan mioglobin dalam urine.17

48

BAB III

PEMBAHASAN

MEKANISME PENYEMBUHAN LUKA

Proses biokimia dan seluler kemudian terjadi dalam penyembuhan semua

cedera jaringan lunak yang rusak ini. Proses fisiologis penyembuhan luka dapat

dibagi dalam tiga fase yaitu : fase inflamasi, proliferasi, dan remodelling jaringan.1,2,4

Tabel 1.Fase Penyembuhan Luka 17

FASE INFLAMASI

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima.

Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh

akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung

pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena

trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama dengan

fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah.

Sementara terjadi reaksi inflamasi, sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan

serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi

eksudasi cairan, pengeluaran sel-sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang

menyebabkan oedem dan pembengkakan.

49

Selain itu akan terjadi aktivitas seluler yang merupakan gerakan leukosit

menembus dinding pembuluh darah menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit

mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka.

Limfosit, monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran

luka, pendapat lain mengatakan bahwa fase seluler ini disebabkan oleh aktivasi

dari serum pada jaringan yang rusak. Serum tambahan itu menghasilkan faktor-

faktor kemotaksis dan menyebabkan PMN lekosit (neutrofil) menempel pada

pembuluh darah (marginasi) dan migrasi melalui dinding pembuluh darah

(diapedesis). Pada waktu kontak dengan benda asing netropil melepaskan lisosom

yang dikandungnya (degranulasi). Lisosom tersebut merusak bakteri dan benda

asing lainnya serta mengangkat jaringan nekrotik. Terdapat juga limfosit yang

terdiri dari 2 kelompok yaitu limfosit B dan limfosit T. Limfosit B berguna untuk

mengenali antigen, menghasilkan antibodi yang membantu mengingatkan sistem

pertahanan tubuh untuk mengidentifikasi benda asing dan berinteraksi dengan faktor

tambahan untuk melarutkan sel-sel asing. Sedangkan limfosit T terdiri dari

kelompok yaitu T helper untuk merangsang sel B berdeferensiasi dan berproliferasi,

serta sel T citotoksis untuk melarutkan sel-sel asing dan antigen.2,5

Gambar 15. Fase inflamasi 4

50

FASE PROLIFERASI

Serat-serat fibrin diperoleh dari darah yang mengalami pembekuan yang

menutup luka, berbentuk seperti anyaman. Fibroblas mulai terbentuk pada

substansia dasar dan tropokolagen. Substansia dasar mengandung sejumlah

mukopolisakaride yang berguna untuk melekatkan serat-serat kolagen. Fibroblas

mengeluarkan fibronectin yaitu kandungan protein yang mempunyai fungsi

membantu mempertahankan kestabilan fibrin, membantu mengamati benda asing,

menggerakkan sistem pertahanan tubuh, bertindak sebagai faktor kemotaksis dari

fibroblas, dan membantu makrophage.2

Fibrinolisis terjadi disebabkan oleh plasma yang dibawa oleh pembuluh

darah kapiler yang baru. Fibroblas yang terdapat pada tropokolagen akan

menghasilkan serat kolagen. Jaringan dengan cepat tumbuh menjadi kuat selama

tahap fibroplastis, normalnya antara 2-3 minggu. Apabila tegangan pada luka terjadi

pada awal tahap fibroplastis, maka terjadi penarikan di sepanjang garis utama dan

luka. Akan tetapi bila terjadi pada akhir dan tahap ini akan menyebabkan lepasnya

hubungan antara serat kolagen yang lama di sepanjang tepi luka dan terbentuk

kolagen yang baru. Gambaran akhir pada tahap fibroplastis adalah kaku oleh karena

banyaknya kolagen dan kemerahan oleh karena vaskularisasi.4,5

Gambar 16. Fase proliferasi 4

51

FASE REMODELING

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan

kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya

pembentukan kembali jaringan yang baru. Fase ini dapat berlangsung berbulan-

bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh

berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses

penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler

baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya

mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan

parut yang pucat, tipis, dan lembut serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat

pengerutan maksimal pada luka.5

Lebih jelasnya pada tahap ini kolagen yang lama dihancurkan, diganti

dengan kolagen yang baru guna meningkatkan ketahanan jaringan pada luka.

Selama tahap ini kekuatan jaringan meningkat secara perlahan, tetapi tidak seperti

pada tahap fibroplastis. Kekuatan jaringan tidak lebih dari 80-85% dibandingkan

dengan jaringan yang normal dan hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah

penyembuhan. Karena serat kolagen sangat sedikit akibatnya terbentuk bekas luka

yang lunak. Metabolisme menurun, sistem vaskularisasi berkurang sehingga

kemerahan pada bekas luka juga berkurang. Elastin dan ligamen tidak kembali pada

penyembuhan luka, sehingga menyebabkan hilangnya fleksibilitas pada daerah

bekas luka.

52

JENIS-JENIS PENYEMBUHAN LUKA

Jenis-jenis penyembuhan luka adalah :

1. Penyembuhan secara primer

Penyembuhan luka berlangsung dengan pembentukan jaringan granulasi

yang minimal. Jenis penyembuhan ini terjadi pada luka sayat aseptik yang

ditutup secara primer.

2. Penyembuhan secara sekunder

Luka yang dalam proses penyembuhan terisi dengan jaringan granulasi,

selanjutnya terjadi kontraksi luka sehingga ukuran luka mengecil, dan

akhirnya luka tertutup dengan pertumbuhan epitel dari pinggiran luka. Hal

ini biasanya terjadi pada luka yang terbuka, karena infeksi, kehilangan

jaringan yang agak luas, jahitan yang kurang rapat atau luka dengan suatu

dead space. 3,5,6

3. Penyembuhan secara tertier

Diartikan sebagai penyembuhan pada suatu luka yang sejak awal dibiarkan

terbuka atau luka terbuka kembali setelah dijahit primer, yang pada beberapa

hari kemudian (3-4 hari) dilakukan penjahitan untuk menutup kembali luka

tersebut, jadi dilakukan bantuan tindakan bedah agar luka menjadi

tertutup.3,5,6

53

Gambar 17. Penyembuhan primer (a), sekunder (b), dan tersier (c) 3

FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan memperlambat

penyembuhan luka, faktor tersebut dibagi dalam faktor dari pasien (intrinsik) seperti

kondisi yang kurang menguntungkan pada tempat luka dan sejumlah kondisi medis

yang dapat menyebabkan lingkungan sekitar yang buruk terhadap penyembuhan

luka, serta faktor-faktor dari luar (ekstrinsik), seperti pengelolaan luka yang kurang

tepat dan efek-efek terapi lainnya yang kurang menguntungkan.

Faktor lokal yang berpengaruh terhadap penyembuhan luka :

1. Kurangnya suplai darah dan pengaruh hipoksia. Pada semua luka terdapat

peradangan, membutuhkan banyak nutrisi dan pembuangan kotoran, jaringan

nekrotik, racun dan bakteri. Untuk itu dibutuhkan suplai darah dari vena dan

arteri yang cukup. Pada daerah dimana suplai darah tidak cukup akan

menyebabkan kebutuhan sel-sel tidak terpenuhi. Oleh karena itu akan terjadi

jaringan yang mati. Tepian luka yang sedang tumbuh merupakan suatu daerah

yang aktivitas metaboliknya sangat tinggi, dalam hal ini hipoksia menghalangi

mitosis dalam sel-sel epitel dan fibroblas yang bermigrasi, sintesa kolagen dan

kemampuan makrofag untuk menghancurkan bakteri yang tercerna.

2. Turunnya temperatur. Aktivitas fagositik dan aktivitas mitosis secara khusus

mudah terpengaruh terhadap penurunan temperatur pada tempat luka. Kira-kira

54

dibawah 28◦C aktivitas leukosit dapat turun sampai nol.

3. Mobilisasi, pergerakan yang terjadi pada luka merupakan trauma yang berulang

pada luka tersebut, sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya penyembuhan

luka.

4. Infeksi, faktor yang penting dan sering menimbulkan masalah pada kasus

penyembuhan di tempat praktek. Suatu kebijaksanaan adalah penggunaan

antibakteri lokal untuk mengatasi infeksi pada jaringan yang terkontaminasi.

5. Jaringan nekrotik, krusta yang berlebihan dan benda asing. Adanya jaringan

nekrotik dan krusta yang berlebihan di tempat luka dapat memperlambat

penyembuhan dan meningkatkan resiko terjadi infeksi. Demikian juga adanya

segala bentuk benda asing termasuk bahan jahitan dan drain luka. Oleh karena

itu sangat penting untuk mengeluarkan kontaminan organik maupun anorganik

secepat mungkin tetapi dengan trauma yang minimum terhadap jaringan utuh.

Faktor sistemik yang berpengaruh pada penyembuhan luka:

1. Malnutrisi. Dua bahan nutrisi yang menunjukkan secara langsung untuk

penyembuhan adalah protein dan vitamin C. Protein berguna untuk

mengefektifkan metabolisme penderita dan mengembalikan plasma protein.

Dalam keadaan kekurangan protein akan mengakibatkan fibroblas tidak menjadi

matang sehingga pembentukan serat kolagen hanya sedikit akibatnya

penyembuhan menjadi terhambat. Vitamin C penting untuk mempertahankan

ikatan antara sel-sel endotel pada kapiler. Kekurangan vitamin C menyebabkan

fibroblas tidak matang atau berdiferensiasi, akibatnya terjadi hambatan pada

pembentukan

2. Umur. Dengan bertambahnya umur daya regenerasi dari jaringan tubuh akan

berkurang. Penyembuhan luka pada penderita yang masih muda berlangsung

lebih cepat.

3. Penyakit sistemik, pasien dengan penyakit diabetes melitus, gangguan sistem

imun, gangguan kardiovaskuler, infeksi kronis, anemia dan penyakit lain.1,4

55

Benda Asing

Benda asing adalah segala sesuatu yang dianggap asing bukan anggota dari

tubuh oleh sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme, termasuk bakteri,

kotoran dan benang jahit.

a. Bakteri dapat berkembang biak dan menyebabkan infeksi dimana akan

mengeluarkan protein bakteri yang dapat merusak jaringan

b. Benda asing yang bukan bakteri tetapi bertindak sebagai bakteri yang dapat

meenyebabkan terjadinya infeksi.

c. Benda asing sering berbentuk antigen yang memacu terjadinya peradangan

kronis.

Jaringan Nekrotik

Jaringan nekrotik, dengan adanya jaringan nekrotik akan menyebabkan

masalah antara lain:

a. Merupakan penghambat terbentuknya sel-sel reparasi. Tahap peradangan

diperpanjang dimana sel darah putih mengangkut sisa-sisa jaringan nekrotik

melaiui proses larutnya enzim dan paghositosis.

b. Jaringan nekrotik sebagai tempat berlindungnya bakteri. Yang termasuk

jaringan nekrotik adalah darah yang terkumpul pada luka (hematom)

merupakan sumber makanan yang bagus bagi bakteri.

Iskemia

Iskemia, adalah berkurangnya suplai darah berpengaruh terhadap tahap

perbaikan luka. Iskemia dapat mengurangi pengiriman antibodi, sel darah putih, dan

antibiotik yang sangat diperlukan, sehingga dapat menyebabkan terjadinya infeksi

pada luka. Iskemia menurunkan pengiriman oksigen dan zat makanan yang

diperlukan untuk penyembuhan luka. Iskemia disebabkan oleh beberapa hal yaitu :

a. Terlalu tegang atau tidak tepatnya lokasi penjahitan

b. Bentuk flap yang kurang benar

c. Tekanan dari luar dan dalam luka (hematom)

d. Hipotensi

56

e. Penyakit pembuluh darah tepi

f. Anemia

Ketegangan Jaringan

Ketegangan jaringan, ketegangan dari luka dapat menghambat terjadinya

penyembuhan. Penjahitan dengan benang yang terlalu kencang dapat menimbulkan

ketegangan pada jaringan di daerah luka. Jaringan diliputi oleh benang yang

terlalu tegang sehingga menimbulkan iskemia. Jika benang diambil terlalu awal

maka dapat terjadi pembukaan kembali dari luka sehingga dapat menimbulkan

kontraksi dari luka. Apabila terlalu lama benang tidak diambil maka akan

mendatangkan ketegangan jaringan dan luka cenderung semakin terbuka selama

tahap remodeling, sehingga akan meninggalkan tanda yang buruk.3,5,6

PENATALAKSANAAN LUKA YANG TIDAK TEPAT

Gagal mengidentifikasi penyebab yang mendasari sebuah luka atau gagal

untuk melakukan identifikasi masalah lokal di tempat luka, penggunaan antiseptik

yang tidak bijaksana, penggunaan antibiotik topikal yang kurang tepat dan ramuan

obat perawatan luka lainnya, serta teknik pembalutan dan penjahitan yang kurang

hati-hati adalah penyebab terlambatnya penyembuhan luka yang dapat dihindari.

MEKANISME PENYEMBUHAN JARINGAN SARAF

Proses penyembuhan jaringan saraf tergantung pada derajat keparahan dan

keluasan luka. Pada luka yang menyebabkan terganggunya konduksi saraf, tanpa

rusaknya akson (selubung myelin masih intak atau terdapat luka yang kecil)

penyembuhan dari defisit fungsional berlangsung secara spontan dan umumnya

lengkap dalam tiga - empat minggu. Apabila ada kerusakan akson (sel Schwann dan

jaringan ikat masih intak) akan terjadi perubahan morfologis sebagai manifestasi

dari degenerasi aksoplasma. Hal ini akan berpengaruh pada bagian distal dari lokasi

luka dan sebagian bagian proksimal dari luka. Pada luka badan saraf, terjadi

degenerasi pada semua akson di badan saraf yang terluka. Setelah sel saraf terluka,

investing Schwann cells akan memulai beberapa perubahan yang disebut

57

degenerasi wallerian, di sepanjang akson distalis dan beberapa akson proksimalis.

Selama 78 jam, akson yang terluka akan difagositosis oleh sel Schwann dan

makrofag. Setelah debris dapat dibersihkan, sel Schwann akan menghubungkan

bagian proksimal dan distal dari luka dengan cara membentuk suatu ikatan

(Bungner’s band) yang akan menerima akson yang sudah regenerasi dari bagian

proksimal. Sel Schwann juga dapat mengeluarkan beberapa faktor neurotropik

untuk menunjang regenerasi sel saraf. Proses regenerasi sel saraf berlangsung

sekitar 3 bulan dan ditandai dengan terbentuknya akson bermielin. Proses regenerasi

dipengaruhi oleh faktor umur, tipe luka, nutrisi, dan saraf yang terlibat.1,4

KOMPLIKASI PENYEMBUHAN LUKA

Infeksi Pada Luka

Infeksi pada luka umumnya merupakan infeksi dari kontaminasi bakteri

pada luka tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, infeksi dapat terjadi bila terdapat 1

x 105 bakteri dalam 1 gram jaringan. Selain itu, infeksi dapat terjadi akibat daya

tahan tubuh host yang menurun atau derajat virulensi bakteri. Gejala klinis dari luka

yang terinfeksi adalah eritema, peningkatan suhu, pembengkakan, rasa nyeri, dan

umumnya disertai dengan terbentuknya pus dan bau. Tindakan yang tidak asepsis

merupakan penyebab utama terjadinya luka yang terinfeksi. Infeksi luka dapat

dikurangi dengan cara melakukan tindakan bedah yang benar, meliputi debridement,

hemostasis yang adekuat, dan eliminasi dead space, serta menjaga luka tetap bersih.7

Dehiscence

Dehiscence terjadi akibat tindakan hecting yang tidak optimal. Bagian yang

mengalami dehiscence dapat ditutup lagi atau dibiarkan supaya terjadi

penyembuhan sekunder, tergantung luas daerah dehiscence dan keputusan klinisi.

Jaringan parut

Keloid memiliki faktor predileksi hubungan kekerabatan dan ras. Perlu

dibedakan antara keloid dengan hyperthrophic scar. Keloid timbul beberapa bulan

setelah luka sembuh, sedangkan hyperthropic scar timbul segera setelah luka

58

sembuh. Hal yang dapat dilakukan adalah menjaga jarak antarjahitan tidak terlalu

rapat dan setelah dilakukan hecting, pasien dapat diberikan obat anti-keloid (salep

kanakeloid atau injeksi kenacort 2x sebulan).4

59

BAB IV

KESIMPULAN

Luka adalah terputusnya kontuinitas jaringan baik tanpa kehilangan jaringan

atau disertai dengan kehilangan jaringan. Luka pada jaringan dapat disebabkan oleh

peristiwa patologis atau trauma. Proses penyembuhan luka dapat dibagi menjadi tiga

tahap dasar yaitu tahap inflamasi, tahap fibroblastis dan tahap remodeling.

Faktor-faktor yang menghambat proses penyembuhan luka adalah adanya

benda asing, adanya jaringan nekrotik, iskemia dan ketegangan jaringan,

penyembuhan luka dipengaruhi oleh faktor lokal dan faktor sistemik. Komplikasi

yang sering terjadi adalah infeksi, dehiscence, dan jaringan parut yang berlebihan.

60

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeon, Manual Untuk Peserta ATLS, 1997,hal.300 –

309.

2. Topazian R.G and Goldberg M.H, Oral and Maxillofacial infection, 4th

ed,

W.B Saunders Co, Philadelphia. 2002. Pp: 99-111

3. Feinberg, SE. Larsen, PE. 1991. Healing of Traumatic Injuries, in Fonseca RJ

and Walker RV, Oral and Maxillofacial Trauma. Vol. I, W.B. London:

Saunders Company.

4. Patient UK. Simple Wound Management and Suturing.

http://www.patient.co.uk

5. Frying, F. Enquist. 1998. The Principles of Wound Healing, in Loyal Davis,

M.D, Cristhoper's Textbook of Surgery. 9th ed. Philadelphia: W.B.Saunders and

Co.

6. Morison, JM. 2003. Manajemen Luka, EGC. hal 28-42.

7. Pederson W.G. 1996. Buku Ajar Bedah Mulut. Alih Bahasa Purwanto.

Jakarta: EGC

8. Robins; Cotran; Kumar, Radang dan perbaikan, dalam Dasar Patologi

Penyakit, edisi 5, tahun 1996, hal. 20- 65.

9. www.bayoesunaryo.wordpress.com, diunduh tanggal 22 Januari 2013

10. www.jellygamatluxornet.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013

11. www.dc349.4shared.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013

12. www.adam.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013

13. www.skwawesome.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013

14. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1998,

hal.81-91, 105-107.

15. www.meddet.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013

16. http://burn-victim-help-center.com, diunduh tanggal 22 Januari 2013

17. Arif Mansjoer, Suprohaita, dkk, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media

Aesculapius, FK-UI, 2001, hal. 365-372.

61

62

Penanganan Perdarahan / Hemostasis dan Pengelolaan Nutrisi Penderita

Trauma Oromaksilofasial

Alvin

160121120006

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis

Bedah Mulut Dan Maksilofasial

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Abstrak : Perdarahan pada penderita oromaksilofasial merupakan suatu jenis

kegawatdaruratan yang dapat mengancam jiwa, maka dari itu diperlukan suatu

penanganan perdarahan secepat mungkin. Penanganan perdarahan dapat

dilakukan dengan membentuk mekanisme hemostasis natural, menggunakan

panas , pengikatan dengan benang, meletakkan substansi vasokonstriktif. Pada

penderita trauma oromaksilofasial juga diperlukan adanya pengelolaan nutrisi

yang adekuat dikarenakan pada penderita trauma kemampuan penggunaan mulut

penderita berkurang. Prosedur bedah mulut dan maksilofasial dapat

mengeliminasi permasalahan ini dengan suatu prosedur operasi,namun prosedur

ini juga membatasi kemampuan mulut sementara waktu. Pada keadaan trauma

(stress dan sepsis) tubuh mengalami rangkaian perubahan hormonal yang

menambah laju metabolisme. Hal ini berakibat menurunnya daya tahan tubuh,

terjadinya edema, dan terhambatnya penyembuhan luka gangguan motilitas usus,

gangguan enzim dan metabolisme serta kelemahan otot. Oleh karena itu pasien

dengan trauma oromaksilofasial memerlukan intervensi nutrisi dalam rawat inap

di rumah sakit. Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan

gambaran penanganan perdarahan dan pengelolaan nutrisi penderita trauma

oromaksilofasial .

Kata kunci : perdarahan, trauma, nutrisi

63

BAB I

PENDAHULUAN

Manajemen pasien yang mengalami trauma jarang dijumpai pada pusat

trauma mayor dimana sumber dayanya tidak terbatas, namun justru dijumpai

pada perumahan yang terpencil, kantor, jalan raya, atau daerah-daerah lain dengan

sumber daya yang terbatas yang biasanya tidak dapat menangani pasien dengan

trauma yang kompleks dan frekuensi yang besar. Kunci penatalaksanaan pasien

trauma biasanya melibatkan mobilisasi dari pasien-pasien tersebut dan penyaluran

ke pusat trauma untuk penanganan lebih lanjut. Ketika trauma yang kompleks

terjadi, pasien tersebut sering membutuhkan penanganan medis darurat atau

kematian dapat terjadi 1.

Pada mulanya dokter gigi dilibatkan pada perawatan trauma rahang karena

mereka menguasai pengetahuan tentang gigi dan oklusi. Perawatan yang terdahulu

hanya terdiri atas fiksasi gigi pada oklusi sentrik untuk mengurangi dan

mengimobilisasi suatu rahang. Sekarang ini dasar pemikiran perawatan fraktur

mandibula dan maksila masih tidak banyak berubah, hanya tekniknya yang

berkembang pesat. Diagnosis didukung dengan adanya teknik radiografis yang

berkembang dengan pesat. Fraktur-fraktur yang pada jaman dahulu tidak dapat

dikenali sama sekali atau hanya bersifat dugaan sekarang ini bisa ditunjukkan

sampai hal yang terkecil. Dengan tersedianya antibiotik dan peralatan yang

khusus, membuat pendekatan per oral pada perawatan fraktur fasial menjadi aman

dan layak dilakukan 2.

Trauma yang terdapat pada regio maksilofasial memerlukan perhatian

khusus. Trauma oromaksifasial dapat menimbulkan perdarahan, sehingga

memerlukan tindakan di dalam ruang gawat darurat agar tidak menimbulkan

kematian 3. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat berupa

pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara baik di rumah

64

sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa mencegah dan

membatasi cacat serta meringankan penderitaan dari penderita. Keadaan ini selain

membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang baik dari penolong dan sarana

yang memadai, juga dibutuhkan pengorganisasian yang sempurna. 3

Regio maksilofasial terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah

wajah yang bagian atas, bila fraktur melibatkan sinus dan tulang frontal. Bagian

kedua adalah daerah tengah wajah atau midface. Midface dibagi menjadi bagian

atas dan bagian bawah. Midface yang bagian atas bila terdapat fraktur Le Fort II

dan Le Fort III dan/atau fraktur tulang nasal, fraktur nasoetmoidal atau kompleks

zygomatikomaksilari dan fraktur dasar orbita. Fraktur Le Fort I bila fraktur

terdapat pada bagian bawah dari midface. Bagian yang ketiga dari regio

maksilofasial adalah wajah bagian bawah, bila fraktur hanya terdapat pada

mandibula. Insidensi trauma maksilofasial sering terjadi terutama yang

berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor. 3

Kematian pada penderita dengan trauma oromaksilofasial salah satunya

dapat disebabkan oleh perdarahan yang tidak cepat diatasi, sehingga memerlukan

tindakan di dalam ruang gawat darurat agar tidak menimbulkan kematian 3.

Distribusi umur pasien trauma menunjukkan bahwa pasien trauma

berumur antara 17 dan 24 tahun, dengan jenis kelamin laki-laki yang paling

dominan terluka pada kecelakaan motor dan oleh karena kekerasan (luka tembak,

luka tusuk dan perkelahian). Kelompok utama yang kedua dari pasien trauma

berumur antara 35 dan 44 tahun dan didominasi oleh laki-laki yang terluka karena

kecelakaan motor. Kelompok ketiga tertinggi dari pasien trauma berumur antara

75 dan 85 tahun dan kebanyakan adalah wanita yang terluka karena jatuh atau

oleh karena kecelakaan motor. Kelompok umur ini adalah kelompok yang paling

sering dijumpai oleh spesialis bedah mulut untuk evaluasi dan pengobatan luka

fasial 1.

Berikut ini akan dibahas mengenai penanganan perdarahan/hemostasis dan

pengelolaan nutrisi pada kegawatdaruratan trauma oromaksilofasial sebelum

dilakukan penanganan definitif lebih lanjut. 1

65

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENANGANAN TRAUMA OROMAKSILOFASIAL

Pada umumnya penderita dengan trauma oromaksilofasial terjadi

bersamaan dengan trauma pada bagian tubuh yang lain (trauma multiple).

Sehingga tahap-tahap penangannnya bersamaan dengan penanganan trauma yang

lainnya. Adapun tahap-tahap penanganan trauma adalah sebagai berikut 4:

1. Penanganan yang dilakukan sebelum dibawa ke rumah sakit

a. Mempertahankan jalan napas

b. Menghentikan perdarahan eksternal

c. Stabilisasi fraktur

d. Stabilisasi tulang belakang

e. Tranportasi cepat (Ambulatory)

2. Resusitasi dan pananganan primer

a. ABC (Airway, Breathing, Circulation)

b. Resusitasi cairan

c. Pemantauan

3. Diagnosis dan penanganan sekunder

a. Pemeriksaan fisik menyeluruh

b. Radiografi

c. Pemeriksaan Laboratorium

d. Resusitasi dan pemantauan lanjut

4. Perawatan Definitif

a. Pembedahan

b. Perawatan non operatif

c. Nutritional support

5. Rehabilitasi

66

B. TINJAUAN UMUM PERDARAHAN

Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah kedalam ruang

ekstravaskuler, karena hilangnya kontinuitas pembuluh darah. Berbagai macam

perdarahan yang dibagi menurut pembuluh darah yang terluka, waktu perdarahan,

lokasi perdarahan, dan penyebab perdarahan, yang akan diuraikan sebagai

berikut1:

1. Menurut pembuluh darah yang terluka, perdarahan dapat dibagi menjadi:

a. Perdarahan arteri, dengan ciri-ciri warna darah cerah terang karena

mengandung oksigen dan perdarahan memancar dengan aliran yang

terputus-putus sesuai dengan denyut jantung.

b. Perdarahan vena, dengan ciri-ciri warna darah merah gelap karena

mengandung karbondioksida dan darah yang keluar mengalir tetap.

c. Perdarahan kapiler, dengan ciri-ciri warna darah antara darah arteri dan

vena, dan darah merembes dari permukaan luka.

2. Menurut waktu terjadinya perdarahan, dibagi menjadi:

a. Perdarahan primer jika terjadi pada waktu terputusnya pembuluh darah

karena trauma; operasi.

b. Perdarahan intermediate jika terjadi dalam 24 jam.

c. Perdarahan sekunder jika terjadi setelah 24 jam.

3. Menurut lokasi perdarahan, maka dibagi menjadi:

a. Perdarahan eksternal jika darah keluar dari kulit atau jaringan lunak

dibawahnya.

b. Perdarahan internal jika arah tidak keluar, tetapi masuk kejaringan

sekitarnya.

4. Menurut penyebab terjadinya perdarahan maka dibagi menjadi:

a. Perdarahan mekanik yaitu perdarahan terjadi akibat trauma mekanik atau

kecelakaan

b. Perdarahan spontan/biokemis yaitu perdarahan terjadi akibat kelainan

atau gangguan mekanisme hemostasis, dapat terjadi karena kelainan

67

pembuluh darah, kelainan trombosit dan kelainan mekanisme

pembekuan darah.

C. HEMOSTASIS

Hemostasis adalah proses penghentian perdarahan dari pembuluh darah

yang mengalami kerusakan secara spontan. Gangguan faktor hemostasis akan

mengakibatkan terjadinya perdarahan atau trombosis. Perdarahan yaitu darah

keluar dari pembuluh darah. Trombosis yaitu darah membeku di pembuluh darah.

Hemostasis dapat dibagi menjadi5:

1. Hemostasis primer, yang termasuk didalamanya adalah pembuluh

darah dan trombosit.

2. Hemostasis sekunder, yang termasuk didalamanya adalah faktor

pembekuan dan anti pembekuan.

Pencegahan kehilangan darah yang banyak merupakan hal yang penting

untuk menjaga kapasitas transpor oksigen pada pasien tersebut. Akan tetapi

pengontrolan hemostasis penting dikarenakan oleh adanya alasan-alasan yang

penting juga. Salah satunya adalah menurunnya visibilitas yang dikarenakan

perdarahan yang tidak terkontrol. Masalah lainnya yang disebabkan oleh

perdarahan adalah terbentuknya hematoma. Hematoma memberikan tekanan pada

luka, mengurangi vaskularitas; hematoma tersebut meningkatkan tarikan pada tepi

luka dan berfungsi sebagai media kultur, yang memungkinkan terjadinya infeksi

pada luka 5.

Evaluasi faal hemostasis dapat dilakukan melalui beberapa cara, yang akan

diuraikan sebagai berikut:

1. Percobaan Pembendungan (Tes Rumpel Leede)

Menguji ketahanan dinding kapiler darah dengan cara mengenakan

pembendungan kepada vena, sehingga tekanan darah di dalam kapiler

meningkat. Dinding kapiler yang kurang kuat akan menyebabkan darah

keluar dan merembes kedalam jaringan sekitarnya sehingga nampak titik

merah kecil pada permukaan kulit, titik itu disebut petekia.

68

2. Masa perdarahan

Menilai kemampuan vaskuler dan trombosit untuk menghentikan

perdarahan.

3. Hitung jumlah trombosit

Perdarahan tidak terjadi jumlah trombosit lebih dari 100.000/ul. Jumlah

trombosit kurang dari 50.000/ul digolongkan trombositopenia berat dan

perdarahan spontan akan terjadi jika jumlah trombosit kurang dari

20.000/ul.

4. Masa Protrombin Plasma (Protrombine Time/PT)

Menguji pembekuan darah melalui jalur ekstrinsik dan jalur bersama yaitu

faktor pembekuan VII, X, V, protrombin dan fibrinogen.

5. Masa tromboplastin parsial teraktivitas (Activitated Parsial Tromboplastin

Time/APTT)

Menguji pembekuan darah melalui jalur intrinsik dan jalur bersama yaitu

faktor pembekuan XII, prekalikren, kininogen, XI, IX, VIII, X, V,

protrombin dan fibrinogen

6. Trombine Time (TT)

Perubahan fibrinogen menjadi firbin

7. Pemeriksaan Penyaringan untuk Faktor XIII

Digunakan untuk menilai kemampuan faktor XIII dalam menstabilkan

fibrin.

Tabel 1. Tes Koagulasi

Jenis Tes Nilai Normal Kegunaan

Waktu perdarahan 2-7 menit Mengamati fungsi vaskular dan platelet,

deteksi penyakit willebrand

Hitung platelet 150.000-400.000/mm³ Deteksi trombositosis , trombositopenia

Waktu protrombin 12-14 Detik Lebih lama bila berkaitan dengan defisiensi

faktor-faktor I,II,V,VII,X. Mungkin abnormal

pada penyakit hati, defisiensi vitamin K,

69

terapi warfarin sodium (Coumadin),

Penggunaan aspirin, dan anti-radang non-

steroid lain.

Paruh waktu

tromboplastin

60-70 detik Lebih lama, bila ada defisiensi faktor

pembekuan darah, kecuali VII Hemofilia

Tabel 2. Faktor Pembekuan Darah

Faktor Peranan pada pembekuan darah Tes

I Fibrinogen Prekursor fibrin PT

II Protrombin Proensim,diaktifkan oleh tromboplastin PT

III Tromboplastin Diperlukan untuk merubah protrombin

menjadi thrombin

PTT

IV Kalsium

V Proaccelerin

VI Tidak lagi digunakan

VII Proconvertin

VIII Faktor antihemofilik (AHF)

IX Komponen Plasma

tromboplastin

X Faktor Stuart Prower

XI Anteseden tromboplastin

plasma

XII Faktor Hageman

XIII Faktor stabilisasi fibrin

Diperlukan pada semua tahap

Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin

Diperlukan untuk mengubah protrombin

menjadi thrombin

Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin

Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin

Diperlukan dalam pembentukan tromboplastin

dan perubahan dari protrombin menjadi thrombin

Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin

Mengawali proses pembekuan darah in vitro

Merubah fibrin menjadi polimer fibrin

PTT

PT

PTT

PT

PTT

PTT

PTT

PTT

PTT

PTT

PT : Waktu protrombin

PTT : Paruh waktu tromboplastin

70

D. PENANGGULANGAN PERDARAHAN KARENA TRAUMA

Kehilangan darah akut dari sistem peredaran darah disebut juga sebagai

hemoragi. Pada orang dewasa dengan berat badan yang ideal, volume darah

normal (liter) adalah sebanyak 7% dari berat badan (kilogram). Maka dari itu,

seorang laki-laki dengan berat badan 70 kg memiliki volume darah kurang lebih

5L. Pada individu yang menderita obesitas, volume darah tidak meningkat secara

spesifik. Pada anak-anak, volume darah secara umum tinggi per satuan berat, 8%

hingga 9% dari berat badan. Hemoragi dapat secara eksternal maupun internal ke

dalam kavitas tubuh. Hemoragi eksternal biasanya dapat dikontrol dengan

melakukan penekanan secara langsung ke luka yang ada. Tekanan yang digunakan

untuk mengontrol perdarahan sebaiknya kuat dan kontinu. Ketika dressing yang

digunakan menjadi basah, dressing tersebut sebaiknya jangan dilepaskan, tetapi

sebaiknya dressing tambahan digunakan karena apabila dressing dilepaskan maka

formasi clot yang telah terbentuk dapat terganggu dan menyebabkan perdarahan

kembali. Tekanan yang kuat dapat diaplikasikan proksimal ke arah arteri mayor

untuk mengontrol perdarahan. Akan tetapi, hal tersebut hanya direkomendasikan

apabila penekanan langsung pada luka saja tidak efektif 1.

Perban tekan, seperti air-pillow splints dan blood pressure cuff dapat juga

digunakan. PASGs dan medical antishock trousers(MASTs), yang sebelumnya

digunakan untuk meningkatkan tekanan darah pada kasus hipotensi yang parah,

memberikan keadaan yang merugikan pada beberapa situasi karena menyebabkan

luka vaskular. Sebagai spesialis bedah mulut dan maksilofasial, kita mengetahui

adanya suplai vaskular yang banyak ke daerah muka dan leher. Aspek negatif dari

suplai darah tersebut adalah hemoragi mayor dapat disebabkan oleh luka pada

kulit kepala yang besar, fraktur nasal atau tengah wajah, dan luka tembus pada

leher. Luka pada kulit kepala dapat menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah

besar pada waktu yang singkat karena perembesan darah pada galea dan lapisan

jaringan ikat yang renggang. Luka kulit kepala dapat dengan cepat diatasi dengan

dijahit menggunakan 2.0 nonresobable atau staples tanpa memperhatikan

kosmetik pasien. Tekanan langsung kemudian dapat dilakukan pada luka untuk

71

mengontrol hemoragi dan meminimalkan pembentukan hematoma. Ketika pasien

sudah stabil, jahitan dapat dilepaskan dari luka dan penutupan lapisan luka secara

kosmetik dapat dilakukan 1.

Fraktur nasal dan tengah wajah dapat menyebabkan robeknya arteri

ethmoidal. Kebanyakan hemoragi dari fraktur fasial dapat dikontrol dengan

tekanan langsung atau packing. Perdarahan internal arteri maksilaris yang

disebabkan fraktur dinding posterior maksila, yang dapat terjadi pada fraktur Le

Fort I dan II, dapat dikontrol dengan tekanan dari gauze packing selama beberapa

waktu. Epinephrine dan cairan trombin dapat juga ditambahkan pada gauze

packing dan kepala dapat juga dinaikkan untuk mendapatkan hemostasis. Ketika

pengontrolan langsung pembuluh darah diperlukan, visualisasi yang adekuat dari

pembuluh darah diperlukan. Penjepitan tanpa melihat pembuluh darah dapat

menyebabkan perdarahan dari pembuluh darah dan jaringan lunak, sekaligus

dapat menyebabkan kemungkinan rusaknya nervus. Pada kasus yang langka,

ligasi dari arteri karotis eksternal mungkin diperlukan. Akan tetapi, hal ini

biasanya tidak efektif jika digunakan sendiri saja dikarenakan sirkulasi kolateral

dari wajah. Embolisasi dari perdarahan dengan cara intervensi secara radiologi

oleh radiologis ,jika tersedia, merupakan cara yang terbaik untuk mengatasi

perdarahan yang tidak dapat dikontrol dengan menggunakan metode yang telah

disebutkan di atas 1.

Daerah internal yang potensial untuk tempat terjadinya perdarahan

termasuk rongga dada, abdomen, retroperitoneum, dan ekskremitas. Pemeriksaan

fisik dan radiografis sangat menolong dalam mengidentifikasi hemoragi ke dalam

area tersebut. Hipovolemi yang terus menerus tanpa adanya perdarahan eksternal

atau ke dalam rongga dada dapat menunjukkan adanya hemoragi abdominal atau

hemoragi pada daerah fraktur. Fraktur pelvis dapat menyebabkan kehilangan

darah sekitar 1000 ml sampai 2000 ml, fraktur femur 500 ml hingga 1000 ml,

fraktur tibia 250 ml hingga 500 ml, dan tulang-tulang kecil lainnya 125 ml hingga

250 ml. Pengontrolan perdarahan internal tidak dilakukan pada saat survei primer,

kecuali jika hemoragi tersebut menyebabkan keadaan yang merugikan pada sistem

pulmonal dan kardiovaskular. Perdarahan internal dapat dikontrol dengan

72

menggunakan fiksasi sekunder dari fraktur, oklusi vaskular melalui mekanisme

perlindungan, refraksi, pembentukan clot, dan operasi eksplorasi 1.

Hemostasis luka dapat diperoleh dengan empat cara. Yang pertama adalah

dengan membentuk mekanisme hemostasis natural. Hal ini biasanya diperoleh

dengan mengunakan fabric sponge untuk memberikan tekanan pada pembuluh

darah atau meletakkan hemostat pada pembuluh darah. Kedua metode tersebut

menyebabkan stasis dari darah pada pembuluh darah, yang pada akhirnya

menyebabkan koagulasi. Beberapa pembuluh darah kecil kebanyakan hanya

memerlukan tekanan selama 20 hingga 30 detik, dan pembuluh darah besar

memerlukan 5 hingga 10 menit penekanan yang kontinu. Ahli bedah dan asisten

sebaiknya “mencolek” bukan mengusap dengan spons untuk menghilangkan

darah yang terekstravasasi. Mengusap dapat membuka kembali pembuluh darah

yang telah tersumbat dengan beku darah 5.

Cara kedua untuk memperoleh hemostasis adalah dengan menggunakan

panas untuk menyebabkan ujung dari pembuluh darah yang terpotong sehingga

bersatu (koagulasi termal). Panas biasanya diaplikasikan melalui tegangan listrik

yang dipusatkan oleh ahli bedah pada pembuluh yang mengeluarkan darah dengan

memegang pembuluh darah dengan instrumen metal, seperti hemostat, atau

dengan menyentuh pembuluh darah dengan tip elektrokauter. Tiga kondisi harus

dipenuhi untuk memenuhi persyaratan penggunaan koagulasi termal. Pertama,

pasien harus berhubungan dengan tanah, sehingga arus listrik dapat memasuki

tubuh. Kedua, tip cauter dan intrumen metal lainnya yang disentuh oleh tip kauter

tidak boleh menyentuh pasien pada titik lainnya selain pada area pembuluh darah

yang berdarah. Jika tidak, arus listrik dapat mengalir ke arah yang tidak

diinginkan dan menyebabkan luka bakar. Syarat yang ketiga untuk koagulasi

termal adalah pembuangan semua darah atau cairan yang terakumulasi di sekitar

pembuluh darah yang akan dikauter. Cairan bertindak sebagai penghalang energi

dan mencegah sejumlah besar panas mencapai pembuluh darah untuk

menyebabkan penutupan 5.

Cara ketiga untuk membantu terjadinya hemostasis bedah adalah dengan

pengikatan dengan benang. Jika pembuluh darah besar telah terpotong, setiap

73

ujungnya dijepit dengan menggunakan hemostat. Ahli bedah kemudian mengikat

pembuluh darah tersebut dengan benang non-resorbable. Jika pembuluh darah

dapat dibebaskan dari jaringan ikat sekitarnya sebelum dipotong, dua hemostat

dapat di letakkan pada pembuluh darah, dengan jarak yang cukup di anataranya

untuk memotong pembuluh darah. Ketika pembuluh darah telah terputus, benang

diikatkan pada setiap ujungnya dan hemostat dilepaskan 5.

Cara keempat untuk mendapatkan hemostasis adalah dengan meletakkan

substansi vasokonstriktif, seperti epinefrin, pada luka atau dengan pengaplikasian

prokoagulan, seperti trombin atau kolagen, pada luka 5.

E. PENANGANAN SEBELUM KE RUMAH SAKIT

Tujuan penanganan sebelum penderita dibawa ke rumah sakit yaitu

menyelamatkan jiwa penderita sebelum mendapatkan penanganan yang lebih

lanjut di rumah sakit 6..

Perawatan penderita cedera akut dengan faktur pada daerah wajah,

pertama kali harus ditujukan pada penyelamatan jiwa dengan memperhatikan

jalan nafas dan pernafasan, dan sirkulasi (Air ways, Breathing, Circulation), serta

kontrol perdarahan 6..

Perdarahan pada penderita dengan trauma oromaksilofasial dapat terjadi

secara internal maupun eksternal. Pada perdarahan internal hanya dapat diatasi di

rumah sakit. Penanganan perdarahan di tempat kecelakaan diutamakan pada

perdarahan eksternal. Cara mengatasinya dengan melakukan penekanan pada luka

dan jika perdarahan masih berlangsung terus dilakukan pengikatan (ligasi).

Perdarahan yang keluar dari hidung dapat diatasi dengan meletakan tampon di

lubang hidung depan dan belakang 6.

74

Gambar 1. Penanganan Perdarahan Hidung6

Penanganan awal apabila terjadi perdarahan arteri adalah dengan

penekanan. Penekanan diperoleh dari penekanan langsung dengan jari atau

dengan kasa. Sering dengan hanya melakukan sudah bisa berhasil mengatasi

perdarahan. Jika keluarnya darah sangat deras, misalnya terpotongnya arteri, maka

diklem dengan hemostat. Melakukan klem pada daerah perdarahan dimulut sangat

sukar dan melakukan pengikatan (ligasi) bahkan lebih sulit lagi. Untungnya hanya

dengan melakukan klem saja sudah cukup diinduksi untuk membuat beku darah.

Apabila tersedia,dapat digunakan elektrokoagulasi dari pembuluh yang diklem

sehingga tidak perlu diikat Alternatif yang lain yang biasa digunakan hanya pada

pembedahan adalah menggunakan klip hemostatik pada pembuluh darah. Sesudah

mengontrol perdarahan Intra-operatif, maka dapat diputuskan untuk meneruskan

atau menghentikan prosedur 4.

Pemberian cairan intravena dapat diberikan jika transportasi diperkirakan

memerlukan waktu lebih dari 30 menit, atau perdarahan berat melebihi 50 cc

permenit. Pergunakan cairan hipertonik 4.

75

Gambar 2. Penjepitan pembuluh darah dengan arteri klem6

Faktor yang mempengaruhi keputusan ini adalah kondisi fisik dan mental

pasien (tanda-tanda vital), perkiraan jumlah darah yang dikeluarkan dan waktu

yang digunakan untuk mengontrol perdarahan. Seringkali trauma oromaksilofasial

terjadi bersamaan dengan trauma pada bagian tubuh lain (trauma multiple),

misalnya trauma mengenai cerebro kardiovaskuler, saraf, dada, dan anggota

gerakan lainnya. Pada keadaan ini kita mendahulukan penanganan trauma yang

paling mengancam jiwa 1.

Untuk penderita dengan trauma oromaksilofasial pendekatan awal sedikit

berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap

saluran pernafasan dan kontrol perdarahan eksternal, sebelum melakukan

pemeriksaan tanda-tanda vital, keadaan-keadaan itu harus ditangani lebih dahulu

oleh karena mengancam jiwa penderita 1.

Perdarahan dari fraktur oromaksilofasial dapat terjadi perdarahan pada

rongga mulut, hidung, sinus paranasalis, nasofaring (dari basis cranii) atau

perdarahan dari hidung (fraktur nasalis, fraktur maksila). Penanganan perdarahan

eksternal pada trauma oromaksilo fasial sudah harus dilakukan saat sebelum tiba

di rumah sakit. Jika belum dilakukan, hendaknya dilakukan bersamaan dengan

penanganan jalan nafas. Penjepitan pembuluh darah secara acak harus dihindari

karena dapat membahayakan pembuluh darah balik dan saraf 1.

76

F. SYOK HIPOVOLEMIK

Syok adalah ketidakmampuan sirkulasi darah untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme jaringan. Perdarahan yang banyak bisa mengakibatkan syok

hipovolemik. Perdarahan adalah sebab tersering dari syok pada trauma, dan

hampir semua penderita multi-trauma ada syok. Syok hipovolemik adalah suatu

kondisi medis yang timbul akibat penurunan sirkulasi volume darah, penyebab

syok yang paling sering dan semua jenis syok memiliki komponen hipovolemik1.

Etiologi syok hipovolemik adalah kehilangan darah/perdarahan (trauma,

perdarahan GIT, dan hematoma); kehilangan Plasma (luka bakar); kehilangan

cairan dan elektrolit (muntah, diare, keringat, pancreatitis, dan asites) 1

.

Gejala syok hipovolemik antara lain adalah inadekuat perfusi organ,

kehilangan darah 10-15%, perubahan tanda vital karena adanya mekanisme

kompensasi, takikardia, ketolamin (+) dingin, ekstrimitas lembab dan

keterlambatan capillary filling, urine output <0,5 ml/kg BB/jam1.

Pemeriksaan laboratorium penunjang yang dilakukan untuk menetapkan

diagnosis adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan elektrolit (seperti Na,

K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin dan kadar glukosa), PT, APTT, analisa gas darah

dan pemeriksaan urin rutin (pada pasien dengan trauma). Selain itu golongan

darah dan cross matched juga perlu diperiksa1.

Untuk cukup atau tidaknya aliran darah dapat diketahui dengan

memperhatikan keadaan-keadaan seperti tensi yang menurun, denyut nadi yang

melemah, nafas yang cepat, dan perabaan pada daerah akral dari ektremitas.

Resusitasi cairan dapat diberikan sesuai dengan keadaan klinis1.

Tabel 3. Klasifikasi perdarahan1

KELAS I KELAS II KELAS III KELAS IV

Kehilangan

Darah (mL)

< 750 750-1500 1500-2000 > 2000

%

Kehilangan

Darah

< 15 % 15-30% > 40%

77

Nadi N N > 120 > 140

Tekanan

Darah

N N/(postural) Menurun Menurun

Tekanan

Nadi

N

Capilary

Refill

≤ 3o Memanjang Memanjang Memanjang

Respirasi N 20-30 > 30 > 35

Urine

(ml/jam)

≥30 cc/mnt 20-30

cc/mnt

5-15 cc/mnt Tidak ada

urine

Status

Mental

Sedikit cemas Cemas Sangat cemas

dan bingung

Bingung atau

letargi

Resusitasi

Cairan

Kristaloid Kristaloid Kristaloid &

Darah

Kristaloid &

Darah

Apabila darah belum tersedia pada kelas III dan IV sementara dapat

diganti dengan tambahan 0,5 L (PP) dan 2,0 L (RL) untuk kelas III, 1,0 L (PP)

dan 3,0 L (RL). Keberhasilan terapi dapat dilihat dari perbaikan gejala klinik

tersebut di atas (kesadaran, denyut nadi, napas, muka, tangan/kaki, tensi dan

urine). Menghentikan perdarahan mutlak harus dilakukan1.

Pemberian pertolongan pertama dan resusitasi cairan yang tepat sangat

membantu dalam mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat. Pilihan tipe

cairan yang digunakan adalah koloid dan kristaloid. Koloid sangat baik untuk

ekspansi volume plasma, dan merupakan pilihan yang terbaik untuk peningkatan

Cardiac Output dan volume O2. Namun koloid efek udema parunya kurang dan

harga cairan ini mahal1.

Kristaloid sangat baik untuk dehidrasi (kehilangan cairan ekstraseluler)

atau perdarahan ringan. Selain itu juga dapat memberikan efek pada ekspansi

cairan intravaskular tetapi menyebabkan ekspansi berlebihan pada cairan

interstisiel. Kristaloid efektif, apabila tidak terdapat peningkatan permeabilitas

kapiler dan harga cairan ini murah1.

78

Bagan 1. Resusitasi Cairan1

Tujuan yang harus dipenuhi dalam pemberian cairan adalah menganti

cairan yang hilang selama trauma atau pembedahan. Maksud utamanya adalah

mengembalikan volume intravaskular dan mendapatkan perfusi jaringan yang

adekuat, serta penggantian cairan yang hilang dilakukan melalui pipa

lambung,drainase toraks, drainase peritonium, fistula usus, respirasi dsb.

Penatalaksanaan pada perdarahan akut adalah sebagai berikut1:

1. Pemasangan 2 jalur Infus I.V., dengan pemberian 1-2 liter kristaloid (NaCl

0,9% atau RL) atau Koloid (Dextran) secara I.V. dalam 30–60 menit, udema

paru diperhatikan. Pada orang dewasa 2–3 liter RL selama 20–30 menit

untuk memulihkan tekanan darah, tekanan vena sentral, dan diuresis.

2. Pemberian WB atau PRC hingga HT> 30 % dengan 1-2 unit fresh frozen

plasma (FFP) tiap 5 unit darah.

Sedangkan penatalaksanaan untuk kehilangan cairan gastrointestinal dapat

diberikan 1-2 liter NaCl 0,9% dalam 30–60 menit, dan memonitor tanda vital,

kemudian pengecekan elektrolit dan dikoreksi bila terdapat kelainan lainnya1.

FLUID THERAPY

RESCUCITATION MAINTENANCE

COLLOID CHRYSTALLOID ELLECTROLYTES NUTRITION

REPLACE ACUTE LOSS

(HEMORRAGHE, GI LOSS)

1. REPLACE NORMAL

LOSS

( IWL, URINE

FAECAL )

2. NUTRITION

79

Beberapa kriteria perfusi jaringan yang telah baik antara lain adalah nadi

<100 x/menit; kesadaran sudah membaik; produktif urine 1-2cc/kgBB/jam;

bagian-bagian akral yang terjadinya lembab sudah jadi kering; akral yang sianosis

telah berubah menjadi merah; akral yang dingin telah jadi hangat. Pemberian

transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan berdasarkan keadaan

umum penderita (kadar Hb dan Ht), jumlah perdarahan yang terjadi, sumber

perdarahan telah teratasi atau belum, keadaan hemodinamik (tensi dan nadi),

jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan, hasil serial pemeriksaan

kadar Hb dan Ht, dan usia penderita1.

H. PENGELOLAAN NUTRISI PENDERITA TRAUMA

OROMAKSILOFASIAL

Diantara banyak fungsi rongga mulut adalah sebagai jalan masuk makanan

menuju saluran cerna (gastrointerstinal tract). Kemampuan seseorang dalam

mengkonsumsi makanan melalui oral dapat berubah dikarenakan neoplasia,

infeksi, deformitas congenital, dan injuri (trauma). Prosedur bedah mulut dan

maksilofasial dapat mengeliminasi permasalahan ini dengan suatu prosedur

operasi,namun prosedur ini juga membatasi kemampuan mulut sementara waktu.

Pada keadaan trauma (stress dan sepsis) tubuh mengalami rangkaian perubahan

hormonal yang menambah laju metabolisme. Hal ini berakibat menurunnya daya

tahan tubuh, terjadinya edema, dan terhambatnya penyembuhan luka gangguan

motilitas usus, gangguan enzim dan metabolisme serta kelemahan otot. Oleh

karena itu pasien dengan trauma oromaksilofasial memerlukan intervensi nutrisi

dalam rawat inap di rumah sakit7.

Respon neuroendokrin, merupakan suatu refleks neurofisiologi yang

dirangsang oleh proses trauma, meliputi susunan saraf pusat dan susunan saraf

tepi, terutama jaras spinothalamicus dan formatioretikularis dengan pengolahan

akhir timbul pada medula oblongata, thalamus dan hipothalamus. Kemudian

respon eferen dimulai pada hipotalamus, hipofise dan SSO. Aktivitas SSO

merangsang kenaikan simpatis dimana kadar katekolamin plasma meningkat7.

80

Respon kardiovaskuler, meliputi peningkatan nadi (takikardia), kenaikan

curah jantung (cardiac output), mobilisasi darah dari perifer serta vasokonstriksi

perifer7.

Respon metabolik mencakup kenaikan kadar glukosa dan asam lemak

bebas (FFA) plasma serta rangsangan pengeluaran kortisol, katekolamin serta

glukagon. Ketiga hormon ini berkombinasi untuk meningkatkan glukoneogenesis

serta lipolosis untuk mobilisasi cadangan energi. Ada tiga fase respon metabolik

trauma, yaitu7:

1. Phase Ebb

Ditandai dengan terjadinya hipovolemi dengan rangsangan adrenal dan

simpatis yang berlangsung sekitar 24 jam. Pada phase ini metabolisme

tubuh akan menurun serta tubuh kehilangan sensitivitas terhadap sekitar.

Kebutuhan kalori pada phase ini sekitar 5000 kkal. Kortisol tubuh akan

meningkat dan demikian pula kadar gula darah. Sumber energi berasal dari

glikogen dan trigliserida untuk menghasilkan glukosa dan asam lemak.

Adanya penghambat simpatis terhadap pengeluaran insulin dari pankreas

serta pengeluaran glukokortikoid menambah resistensi insulin di jaringan

perifer. Fase ini akan memanjang bila terjadi perdarahan pasca bedah.

2. Phase Flow (Katabolisme)

Ditandai oleh oksidasi protein otot untuk menghasilkan glukagon yang

sangat penting untuk pembakaran di otak dan jaringan rusak yang sedang

sembuh. Hormon pengatur stres antara lain: katekolamin, glukagon dan

kortisol dalam plasma menurun. Kadar gula darah biasanya menurun < 200

mg % bila nutrisi tidak adekuat maka jaringan tubuh akan mulai

dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan energi. Fase ini berlangsung

sekitar 3 x 24 jam.

3. Phase Anabolisme atau Konvalesen

Pada phase ini tubuh mulai melakukan pemulihan pada sel-sel yang

mengalami kerusakan akibat katabolisme sehingga diperoleh kalori yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan pada hari ke 7 – 10 bisa diberikan.

81

Lemak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan asam lemak bebas dan

menambah kalori dimana jumlah cairan dibatasi.

Berikut adalah pasien – pasien dengan kondisi yang memerlukan konsultasi,

rujukan dan intervensi nutrisi7:

1. Setiap pasien yang mengalami trauma atau sakit dengan kondisi yang kritis,

seperti luka bakar, fraktur dan infeksi HIV.

2. Setiap pasien dengan penyakit kronis sehingga asuhan nutrisi merupakan

komponen penting dalam perawatannya. Pasien- pasien tersebut mencakup

gagal ginjal baik akut maupun kronis, diabetes mellitus, dispilidemia,

malnutrisi, penyakit arteri koronaria, penyakit hati, penyakit hipertensi yang

baru didiagnosis, penyakit kanker dengan penurunan berat badan ,

malnutrisi, ataupun gangguan asupan nutrisi, penyakit paru obstruktif yang

menahun ( PPOM ) dengan penurunan berat badan.

3. Setiap pasien yang memerlukan dukungan energi khusus, apakah parentel

ataupun enteral

4. Setiap pasien dengan anemia nutrisi

5. Setiap pasien dengan deplesi simpanan protein yang bermakna ( misalnya

albumin < 3,0) yang disertai defisiensi nutrisi

6. Setiap pasien dengan penurunan bert badan yang bermakna sebelum masuk

rumah sakit

7. Setiap pasien yang dilaporkan pengunaan megadosis suplemen nutrient atau

yang sama sekali menghindari konsumsi kelompok makanan tertentu dari

dalam dietnya selama waktu yang lama ( > 1 bulan)

I. KEBUTUHAN NUTRISI PADA PASIEN TRAUMA

OROMAKSILOFASIAL

Penentuan status gizi penderita penting untuk menentukan jumlah, lama,

dan komposisi yang harus diberikan. Setidaknya penderita harus ditentukan

82

apakah termasuk malnutrisi ringan, sedang atau berat. Tahapan dalam menilai

status gizi adalah sebagai berikut7:

1. Anamnesa

Penyakit kronis juga alkoholisme dapat berhubungan dengan malnutrisi

energi dan protein juga disertai dengan devisiensi vitamin dan mineral.

Operasi yang baru dilakukan seperti gastrectomy atau reseksi ileum dapat

mempredisposisi malabsorpsi dan terjadi defisiensi vitamin ataupun

mineral. Penyakit yang diderita misalnya pada hati dan ginjal seringkali

berhubungan dengan defisiensi protein, vitamin dan trace elemen.

2. Pemeriksaan klinis dan laboratorium

3. Pemeriksaan fisik, meliputi:

a. Kulit : Kualitas, tekstur, rash, folikel, hiperkeratosis, deformitas

dan kuku

b. Rambut : Kualitas, tekstur, kerontokan

c. Mata : Keratokonjunctivitis, rabun senja

d. Mulut : Cheilosis, glossitis, atrofi mukosa, kelainan pada gigi

e. Abdomen : Hepatomegali

f. Rectum : Warna feses

g. Neurologis : Neuropathy perifer

h. Ekstrimitas : Ukuran otot, kekuatan otot, edema

83

Tabel 4. Klasifikasi Malnutrisi

J. MENGHITUNG KEBUTUHAN NUTRISI

Kebutuhan energi total dari seorang pasien dalam keseimbangan metabolik

adalah sama dengan pemakaian energi total (Total Energy Expenditure) yang

meliputi kebutuhan basal, peningkatan kebutuhan energi yang disebabkan

penyakit, energi yang terpakai selama proses asimilasi nutrien dan energi yang

terpakai pada kerja fisik7.

Clinical and Laboratory

Parameters

Extent of Malnutrition

Mild Moderate

Severe

Albumin (g/dL)2

2.8 - 3.2 2.1-2.7 <2.1

Transferrin (mg/dL)2

200 - 250 100-200 <100

Total lympochyte count

(cells/μL)2

1200 - 2000 800-1200 <100

Creatinine/height Index (%)3

60 - 80 30-60 <40

Ideal body weight (%) 80 - 90 70-80 <70

Usual body weight (%) 85 - 95 75-85 <75

Weight loss/unite time < 5%/month

<7,5%/3

months

< 10%/6

months

< 2%/week

< 5%/month

< 7,5%/3

months

< 10%/6 months

> 2%/week

Skin tests (No. reactive + No.

placed)

4/4

(normal)

1 - 2/4

(weak)

0/0

(anergic)

Normal antrophometric

measurements

Tricep skin fold (mm)4

Midarm circumference

(cm)

Male

12.5

29.3

Female

16.5

28.5

84

Kebutuhan kalori basal didapat dengan penghitungan BMR berdasarkan

persamaan Harris-Benedict. Menurut persamaan Harris – Benedict laju

metabolisme basal bisa dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai

berikut7:

HARRIS–BENEDICT METHOD FOR DETERMINING ENERGY

REQIUREMENTS

Pria

BEE = 66.47 + [13.57 x weight (kg)] + [5.0 x height (cm) – [6.67 x age (yrs)

= _______kcals/day

Wanita

BEE = 665.1 + [9.56 x weight (kg)] + [1.85 x height (cm) – [4.68 x age (yrs)

= _______kcals/day

BEE juga dapat ditetapkan dengan menggunakan 12Lcal/lb untuk pria dan

11 kcal/lb untuk wanita, atau 5.4 kcal/kg untuk pria and 5.0 kcal/kg untuk

wanita7.

Untuk menghitung kebutuhan energi total, kebutuhan energi dasar (Basal

Energy Expenditure/BEE) harus dikaitkan dengan Activity Factor (AF) dan Injury

Factor (IF)/stress factor (L. Morse, Maricopa Medical Center, Phoenix, AZ,

1993) 7.

ACTIVITY AND INJURY FACTOR

Activity Factors (AF)

1.2

1.3

Confined to bed

Ambulatory

Injury Factors (IF)

1.0 – 1.2

1.1 – 1.2

1.1 – 1.2

1.13

1.15 – 1.13

1.2 – 1.4

1.3 – 1.5

Non-stressed on ventilator

Congestive heart failure

Minor surgery

Fever, per 1o C

Skeletal trauma

Mild to moderate infection

Major abdominal/thoracic surgery

85

1.35 – 1.55

1.4 – 1.6

1.4 – 1.6

1.5

1.5 – 1.8

Multiple trauma

Closed head injury

Stressed ventilator dependent

Liver failure, cancer

Sepsis

Jadi Total kalori yang dibutuhkan pasien = BEE x AF x IF

Contoh perhitungan :

Seorang wanita, usia 30 tahun, berat badan 40 kg, tinggi badan 150 cm. penderita

dirawat karena perdarahan epidural.

BEE = 655,1 + (9,56 x 40) + (1,85 x 150) – (4,68 x 30) = 1174,6 kcal/hari

Activity Factor = 1,2

Injury Factor trauma kepala = 1,5

Total energi yang dibutuhkan = 1174,6 x 1,2 x 1,5 = 2114,28 kcal/hari

Terdapat pula cara estimasi kebutuhan kalori yang sederhana dengan

menggunakan rumus 3–4–5 dari I.D Syttrar yaitu7:

1. 30 kkal/kg BB/hari : kebutuhan basal, mempertahankan berat badan, tidak

disertai demam, pasca bedah ringan/sedang.

2. 40 kkal/kg BB/hari : malnutrisi sedang, infeksi berat, sepsis.

3. 50 kkal/kg BB/hari : luka bakar > 40%, malnutrisi berat, pasca bedah

dengan penyulit.

Secara keseluruhan, respon fisiologis terhadap trauma merupakan

peningkatan proses biokimia dan metabolik normal, sehingga biasanya terjadi

peningkatan kebutuhan nutrisi yang cukup besar. Bila tidak mendapat dukungan

nutrisi yang adekuat, pasien akan banyak kehilangan berat badan dan terjadi

komplikasi yang seringkali fatal. Tujuan utama terapi dukungan nutrisi adalah

menjaga agar penurunan berat badan seminimal mungkin dengan harapan dapat

mencegah komplikasi dan mengurangi morbiditas maupun mortalitas7.

86

Kebutuhan energi/kalori total sehari dapat dihitung dari penjumlahan

kebutuhan kalori basal (BMR), faktor stress, aktivitas fisik dan spesific dynamic

action (SDA). Rumusan yang dugunakan adalah sebagai berikut7:

KK = Kebutuhan kalori total

KKB = Kebutuhan kalori basal

FS = Faktor stress

AF = Aktivitas fisik

SDA = Spesific dynamic action

Faktor stress dinilai berdasarkan penilaian status gizi dan status metabolik.

Untuk memudahkan, faktor stress dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu derajat

stress ringan (10-30%); derajat stress sedang (31-50%); dan derajat stress berat

(51%). Trauma digolongkan ke dalam stress sedang, sehingga besarnya faktor

stress untuk trauma adalah 31-50%. Faktor stress trauma multipel adalah 50%.

Apabila pasien harus di tempat tidur, aktivitas fisik hanya 10%; sedangkan bila

tidak di tempat tidur, aktivitas fisik adalah 20%. SDA dari makanan tergantung

jenis makanan yang diberikan. SDA nutrisi parenteral adalah 0% sedangkan SDA

untuk formula enteral dan makanan peroral kira-kira 10-20%7.

Pada trauma terjadi katabolisme protein yang relatif konstan yaitu 10-20%

dari keluaran energi. Masukan protein untuk orang sehat (0,8-1 g/kgBB/hr) tidak

mencukupi kebutuhan pasien yang mengalami trauma oleh karena adanya

peningkatan protein turnover. Kebutuhan protein bagi pasien dengan trauma bila

tidak terdapat gangguan ginjal dan hati adalah 1,5-2 g/kgBB/hr, dengan rasio

kalori non-nitrogen : nitrogen = 100:17.

Lemak berfungsi sebagai sumber energi. Berbagai penelitian menunjukkan

bahwa pemberian emulsi lemak sebesar 30-40% dari kalori total merupakan

jumlah yang optimal. Untuk mencegah terjadinya defisiensi asam lemak esensial,

perlu diberikan asam lemak esensial sebanyak 4-8% dari kalori total sehari7.

KK = KKB + FS + AF + SDA

87

Karbohidrat juga berfungsi sebagai sumber energi. Banyaknya karbohidrat

yang diberikan adalah kebutuhan kalori total dikurangi yang berasal dari lemak.

Pada pasien dengan trauma, karbohidrat merupakan 40% dari kalori total sehari7.

Kebutuhan cairan adalah ± 1500 ml per m2 luas permukaan tubuh per hari,

kemudian ditambahkan bila terdapat peningkatan insensible loss melalui keringat,

diare, atau selang makanan. Garam fisiologis dan elektrolit intrasel harus

diberikan dalam jumlah yang adekuat. Kadar kalium, fosfor dan magnesium

dalam plasma dan seluruh tubuh perlu dipertahankan agar tetap normal supaya

didapat respon yang diharapkan dengan pemberian dukungan nutrisi7.

Oleh karena terjadi peningkatan metabolisme, maka kebutuhan vitamin B

meningkat. Kebutuhan tiamin dan niasin berkaitan dengan masukan kalori. Pada

trauma, terjadi peningkatan ekskresi seng (zinc) yang dianggap berasal dari

katabolisme di jaringan otot. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya defisiensi

seng, sehingga pasien trauma perlu mendapatkan suplementasi trace elemen ini7.

Untuk dapat melakukan peran dan fungsinya dalam tubuh, zat-zat gizi

mengalami proses metabolisme secara bertahap yaitu 7:

1. Pencernaan (digestion)

2. Penyerapan (absorption)

3. Perubahan (degradation)

4. Penggunaan oleh organ / sel (utilisation)

5. Pengeluaran zat sisa (excretion)

Masing-masing tahap metabolisme dilakukan oleh organ-organ yang

berbeda, seperti tahap pencernaan dan penyerapan dilakukan oleh organ saluran

cerna. Perubahan terutama dilakukan oleh hati; penggunaan oleh semua organ;

pengeluaran zat sisa terutama oleh ginjal dan saluran cerna bagian bawah. Fungsi

utama saluran cerna adalah pencernaan dan penyerapan dengan mensekresi

enzim-enzim spesifik untuk masing-masing zat gizi. Saluran cerna bagian atas

terutama mengabsorpsi zat-zat gizi utama; sedangkan saluran cerna bagian bawah

terutama mengabsorpsi air, mineral dan beberapa vitamin. Hati merupakan organ

yang penting pada proses degradasi zat-zat gizi karena merupakan organ utama

88

yang akan memetabolisme zat-zat gizi dan mensekresi enzim yang berperan

dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta bertanggung jawab

terhadap 20% metabolisme basal. Hati mensintesis beberapa protein plasma yang

penting dan garam empedu serta berperan dalam detoksikasi. Gangguan penyekit

hati dapat dikelompokkan menjadi penyakit hati akut seperti pada hepatitis virus

dan penyakit hati kronis seperti pada sirosis hati. Ginjal merupakan organ ekskresi

yang paling besar dan juga sebagai organ pengatur keseimbangan cairan tubuh.

Gangguan pada ginjal akan menyebabkan gangguan pada ekskresi sisa-sisa hasil

metabolisme terutama metabolisme protein serta gangguan cairan dan elektrolit7.

K. PEMBERIAN NUTRISI PADA PASIEN TRAUMA

OROMAKSILOFASIAL

Terapi nurisi enteral adalah terapi pemberian nutrisi melalui saluran cerna

dengan menggunakan selang/kateter khusus, cara pemberian dapat melalui

hidung-lambung (nasogastritic route) atau hidung–usus (nasoduodenal atau naso

jejunal route). Pemberian nutrisi juga bisa dilakukan dengan cara bolus atau cara

infus lewat pompa infus enteral.

Keuntungan nutrisi enteral dibandingkan parenteral antara lain adalah sebagai

berikut9:

1. Bersifat fisiologis

Nutrisi enteral bersifat fisiologis, sebab makanan masuk ke dalam tubuh

melalui saluran cerna yang normal, sehingga fungsi dan struktur alat cerna

tetap dipertahankan. Sebaliknya, nutrisi parenteral total dapat menyebabkan

atrofi mukosa usus halus dan pankreas terutama pada pemberian yang lama

karena makanan masuk ke dalam hati melampaui alat cerna (by pass dari

luar ke dalam hati).

2. Lebih efektif

Nutrisi enteral lebih efektif. Ini terbukti dengan kenaikan berat badan yang

cepat dan keseimbangan N yang cepat menjadi positif. Selain itu,

89

peningkatan imunitas tubuh akan cepat ditemukan pada pemberian nutrisi

enteral.

3. Komplikasi kurang

Komplikasi nutrisi enteral jauh lebih rendah bila dibandingkan nutrisi

parenteral. Nutrisi parenteral selain membutuhkan pemantauan yang ketat,

komplikasi-komplkasi berupa sepsis, trombosis, hematom, pneumothoraks

serta gangguan metabolik berupa hipoglikemi atau hiperglikemi tak jarang

ditemukan.

4. Kalori tinggi mudah dicapai

Dengan nutrisi enteral kebutuhan kalori tinggi lebih dari 3000 kkal/hari

dapat dengan mudah dipenuhi yang dengan parenteral amat sulit

mencapainya tanpa komplikasi dan pengawasan yang ketat. Kalori tinggi ini

diperlukan pada penderita dengan hipermetabolik seperti sepsis, trauma

ganda, atau luka bakar. Selain itu, pemberian kalori tinggi dengan nutrisi

parenteral sering menimbulkan perlemakan hati yang tidak dijumpai pada

nutrisi enteral.

5. Tekniknya mudah

Pemasangan sonde lambung dapat dengan mudah dilakukan oleh setiap

dokter maupun perawat tanpa persyaratan sterilitas yang ketat. Sedangkan

pemberian parenteral harus diberikan melalui vena besar yang letaknya

profundal dengan sterilitas tinggi. Itupun hanya dapat dilakukan oleh dokter

yang terlatih.

6. Biaya murah

Rata-rata nutrisi enteral lebih murah 10-20 kali dari nutrisi parenteral.

Untuk menghindari intoleransi laktosa yang sering terjadi pada penderita

malnutrisi sebaiknya suatu nutrisi enteral kurang atau tanpa mengandung laktosa,

atau paling tinggi kandungan laktosanya hanya 0,5% dari total karbohidrat.

Nutrisi enteral yang bebas dari bahan-bahan yang mengandung purin dan

kolesterol.

Syarat-syarat nutrisi enteral adalah9:

90

1. Memiliki kepadatan kalori tnggi

Karena nutrisi enteral harus diberikan melalui sonde kecil, maka ia harus

berbentuk cair agar mudah melalui sonde. Agar dalam bentuk cair ini nutrisi

enteral tetap memiliki kalori yang cukup, maka ia harus memiliki kepadatan

kalori tinggi. Sehingga, dengan volume yang tidak terlalu besar, jumlah

kalori sudah dapat tercapai. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1 kkal/ml

cairan.

2. Kandungan nutrisinya seimbang

Artinya, dalam jumlah minimal untuk kebutuhan sehari (2000 kkal) harus

sudah mengandung semua komponen nutrisi esensial seperti protein, asam

amino, lemak, vitamin, elektrolit dan elemen-elemen lain sesuai dengan

jumlah kebutuhan.

3. Memiliki osmolaritas yang sama dengan osmolaritas cairan tubuh

Suatu nutrisi enteral yang memiliki osmolaritas yang tinggi mudah

menimbulkan diare sebab cairan tubuh akan ditarik masuk ke dalam lumen

usus. Oleh karena itu, osmolaritas yang ideal adalah 350-400 m Osmol,

sesuai dengan osmolaritas cairan ekstraseluler.

4. Mudah diabsorpsi

Bahan-bahan baku suatu nutrisi enteral seharusnya terdiri atas komponen-

komponen yang siap diabsorpsi atau paling tidak hanya sedikit memerlukan

kegiatan pencernaan untuk dapat diabsorpsi. Dengan kata lain, molekul-

molekulnya berukuran kecil.

5. Tanpa atau kurang mengandung serat dan laktosa

Suatu nutrisi enteral hendaknya memiliki sedikit atau tanpa mengandung

serat agar efektif dan efisien. Nutrisi enteral yang banyak mengandung serat

akan bersifat bulk yang pada gilirannya akan meningkatkan frekuensi

defekasi.

91

Prosedur teknik pemberian nutrisi enteral / diet sonde akan diuraikan sebagai

berikut9:

1. Pemilihan sonde

Sebelum tahun 1980-an sonde yang tersedia umumnya terbuat dari

polietilen, PVC atau lateks. Kekurangan dari sonde-sonde ini selain

diameternya besar, sonde mudah menjadi kaku setelah zat pelemasnya habis

(setelah 24 jam pemakaian), juga tidak tahan terhadap pengaruh cairan

lambung maupun duodenum. Sonde yang menjadi kaku akan sangat

mengganggu penderita karena selain terasa tidak enak juga dapat

menimbulkan erosi atau perlukaan saluran napas atau saluran cerna. Saat ini

sonde-sonde yang dipakai untuk nutrisi enteral terbuat dari silikon atau

poliuretan yang selain diameternya kecil (2,5 mm), kelemasan dan

kelenturannya bertahan lama serta tahan terhadap pengaruh cairan lambung

dan cairan duodenum.

2. Teknik pemberian nutrisi enteral

Teknik pemberian secara tetes merupakan yang paling aman. Pola lama

yang memberikan secara bolus mengandung banyak komplikasi berupa

muntah, regurgitasi sampai aspirasi ke dalam paru, terutama pada penderita

yang kesadarannya menurun atau pada penderita yang berbaring. Guna

mengurangi komplikasi-komplikasi di atas, sebaiknya penderita diposisikan

setengah duduk selama pemberian nutrisi enteral.

Untuk menjaga ketepatan dan ketetapan tetes cairan nutrisi enteral dapat

digunakan portable pump. Guna menjaga toleransi penerimaan usus, kadar

cairan nutrisi enteral sebaiknya dinaikkan secara bertahap. Dimulai dengan

pengenceran ½ pada hari pertama, kemudian pengenceran 2/3 pada hari

kedua dan takaran penuh pada hari ketiga dan seterusnya, sambil mengawasi

dan mengevaluasi keluhan maupun gejala-gejala yang timbul.

92

Kebutuhan metabolisme basal dapat dihitung dengan indeks BROCA, sebagai

berikut9:

Dimana indeks stress:

Paska bedah + 10% BMR

Fraktur multipel + 25-30% BMR

Sepsis, tiap kenaikan 1° +10% BMR

Jadi, seorang dengan tinggi badan 165 cm tanpa stress memiliki BMR

(165-100)x20 = 1300 kkal. Dengan menambah 10-20% dari kebutuhan BMR

dapat diperoleh kebutuhan kalori pada saat aktivitas yang sangat terbatas.

Sedangkan pada suatu keadaan katabolik yang tinggi diperlukan penambahan 30-

100% dari kebutuhan BMR9.

Kemajuan atau kemunduran keadaan umum penderita dievaluasi setiap

harinya termasuk keseimbangan cairan dan elektrolitnya bila ada fasilitas.

Pengukuran berat badan atau lingkar lengan atas (LLA) setiap minggu merupakan

parameter yang objektif. Selain itu, pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan,

antara lain pemeriksaan darah (Hb, Ht, leukosit), serum (glukosa, ureum, protein

total, albumin total), volume dan urin rutin.

Indikasi pemberian nutrisi enteral adalah9:

1. Indikasi bedah, yakni pasca bedah: mulut, esofagus, lambung, saluran

empedu, dan kolon.

2. Indikasi non bedah: anoreksia, depresi berat, trauma kepala/otak, luka bakar

yang luas, sepsis, penderita kanker, malabsorpsi/maldigesti, fistula,

penderita dengan kebutuhan kalori ekstrim.

Kontrandikasi pemberian nutrisi enteral apabila pasien muntah-muntah, ileus,

perdarahan gastrointestinal yang akut, peritonitis, dan atoni paska bedah.

Komplikasi nutrisi enteral, antara lain akan diuraikan sebagai berikut9:

BMR = Indeks Stress (Tinggi Badan – 100) x 20

93

1. Komplikasi mekanik

Komplikasi mekanik berhubungan dengan sondenya sendiri yang dapat

mengalami dislokasi atau penyumbatan.

2. Komplikasi kimiawi

Hal ini berhubungan dengan osmolaritas serta komposisi kimiawi cairan

nutrisi enteral yang terlalu tinggi. Rasa mual sampai muntah dan kram perut

atau diare merupakan gejala yang menonjol.

3. Komplikasi bakteriologik

Kontaminasi dengan bakteri gram negatif pada waktu penyediaan nutrisi

enteral atau kantong plastiknya dapat menimbulkan syok septik.

4. Komplikasi metabolik

Dehidrasi hipertonik dapat terjadi bila komposisi nutrisi enteralnya memilki

osmolaritas yang tinggi. Pemberian kadar secara bertahap dapat mengurangi

komplikasi ini.

Nutrisi parenteral adalah pemberian nutrien melalui pembuluh darah vena.

Cara pemberian dapat melalui vena perifer (nutrisi parenteral perifer) atau vena

sentral (nutrisi parenteral total). Terapi nutrisi parenteral diberikan kepada setiap

penderita yang akibat penyakitnya membutuhkan banyak asupan nutrisi tetapi

penderita tersebut tidak mau makan, tidak cukup makan, tidak bisa makan dan

tidak boleh makan. Secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan keadaan

kondisi saluran pencernaan (gastriontestinal tract), yaitu9:

1. Bila saluran cerna mengalami obstruksi

2. Bila saluran cerna terlalu pendek

3. Bila terdapat fistula pada saluran cerna.

4. Bila saluran pencernaan tidak berfungsi.

Prinsip pemberian nutrisi parenteral adalah mempertahankan

keseimbangan tekanan osmotik sehingga volume interalumen tetap,

mempertahankan tekanan hidrostatik, dan mengatasi kehilangan plasma9.

94

Tujuan Pemberian Nutrisi Parenteral adalah supaya mempertahankan

volume dan perfusi sirkulasi darah, menjaga keseimbangan cairan-elektrolit dan

asam basa, memelihara hemostatik metabolik umum, menyediakan intake bagi

kebutuhan metabolisme secara parenteral9.

Kondisi-kondisi yang membutuhkan nutrisi parenteral anatara lain, ileus

obstruksi, peritonitis, fistula enterokutan, sindrom malabsorpsi berat, vomitus,

diare berat, malnutrisi protein atau protein-kalori, dan keganasan9.

Indikasi nutrisi parenteral adalah fungsi saluran cerna terganggu (tidak

mampu mencerna atau menyerap makanan), NPO > 3-5 hari, dan suplemen

terhadap nutrisi enteral. Sedangkan kontra indikasi nutrisi parenteral adalah9:

1. Pasien pasca bedah, trauma dalam phase Ebb (24 jam pertama)

2. Pasien yang masih mengalami hemodinamik krisis, seperti syok, defisit

cairan ekstra seluler yang belum terkoreksi dan demam tinggi (hipertermi).

3. Pada pasien dengan penyakit terminal (keganasan) atau keadaan vegetatif

(brain death).

4. Pasien yang mengalami gagal nafas (kecuali dibantu dengan bantuan nafas

mekanik dengan ventilator).

5. Komplikasi teknis berkaitan dengan pemasangan kateter seperti

pneumothoraks, emboli udara.

6. Komplikasi infeksi ditandai oleh demam seperti pada flebitis, infeksi pada

tempat.

Adapun akses yang digunakan untuk nutrisi parenteral, yaitu9:

1. Nutrisi Parenteral Perifer

Larutan standar yang diberikan untuk nutrisi parenteral total melaui vena

sentral memilki tekanan osmotik hampir 2000 mOsm/L. Sifat-sifat fisik dari

larutan demikian mendorong terjadinya trombosis vena perifer, dan baru

setelah dilakukan kateterisasi pada vena cava superior pemberian menjadi

praktis dan aman untuk larutan hiperosmolar demikian bisa digunakan pada

pasien bedah. Larutan nutrisi yang hanya sedikit hipertonik (antara 600 dan

900 m)sm/L) bisa disiapkan dengan mencampur proporsi sesuai dari asam

95

amino, dekstrosa dan emulsi lemak. Campuran nutrien ini memiliki desnitas

kalori rendah dan memasok hanya 2500 kcal dalam 3 L larutan. Bila volume

cairan besar, larutan-larutan demikian bisa diberikan melalui vena perifer

untuk jangka pendek(kira-kira satu minggu).

2. Nutrisi Parenteral Sentral

Perkembangan kateterisasi vena sentral telah memungkinkan pemberian

larutan hipertonik dengan aman. Campuran glukosa, lemak dan asam amino

diberikan melalui kateter vena sentral yang ujungnya berada dalam vena

cava superior. Larutan yang digunakan untuk nutrisi via vena sentral (TPN)

biasanya memiliki densitas 1 kcal/ml, dan kebutuhan akan air serta elektrolit

diresepkan secara individual. Kunci keberhasilan dari cara ini terletak pada

insersi serta perawatan kanul vena sentral.

96

Pendekatan yang digunakan pada pemberian nutrisi parenteral adalah 4

Tepat – 1 Waspada9:

Tepat pasien

Setiap pasien yang tidak cukup atau tidak mendapat intake oral seharusnya

segera mendapat nutrisi parenteral (NPE). Dosis NPE total harus diberikan lebih

lambat (mulai hari ketiga) karena beban metabolismenya besar. Hal ini berlaku

pada pasien trauma, sepsis, paska bedah ekstensif, preeklampsia, eklampsi, dsb.

Tepat indikasi

Dosis NPE parsial dapat diberikan sangat dini, yaitu 24 jam setelah trauma

atau krisis kegawatan dapat diatasi. Periode 24 jam ini adalah masa ebb-phase,

masa stabilisasi dimana kadar stres hormon masih tinggi. Sel-sel resisten insulin

dan kadar gula meningkat. Makin berat kondisi pasien, makin lambat NPE total

dapat dimulai. Sebelum keadaan tenang tercapai, NPE total hanya akan

menambah stres bagi tubuh pasien. Fase tenang ini ditandai dengan menurunnya

kadar kortisol, katekolamin dan glukagon.

Tepat obat/substrat

Bahan nutrisi yang digunakan adalah karbohidrat, asam amino, emulsi

lemak, mineral dan vitamin.

Tepat dosis

Quebbeman (1982) menemukan pada pasien trauma berat dan sepsis yang

mengalami katabolisme, resting energy expenditure berkisar 1000 kkal/m2/hari.

Ini setara dengan 1700 kkal pada pasien 70 kg dengan luas tubuh 1,73 m2 atau

kira-kira 25 kkal/hari. Agar imbang N tidak terlalu negatif, minimal diberikan 20

kkal/kg/hari. Dosis yang tepat harus diukur. Dosis kemudian dapat ditingkatkan

bertahap dengan memperhatikan perubahan kadar gula darah, keadaan umum

pasien, pemeriksaan kadar kalium dan natrium.

97

Untuk menghindari hiperglikemi, peningkatan glukosa 5% menuju 20%

harus dilakukan secara bertahap “start low, go slow”. Beban glukosa merangsang

pankreas mengeluarkan insulin. Jika larutan glukosa diselingi cairan lain maka

besar kemungkinan kadar gula darah berfluktuasi karean overshoot insulin dari

waktu ke waktu. Agar fluktuasi kadar gula darah bervariasi seminimal mungkin,

larutan karbohidrat dibagi rata dalam 24 jam.

Waspada efek samping

Berbeda dengan orang sehat yang dapat mengatur keseimbangan makan

dan kebutuhannya sendiri, pasien dengan bantuan nutrisi khusus terpaksa

menerima semua yang diberikan. Jika pilihan atau dosis tidak tepat, atau cara

memberikan keliru, penyulit yang timbul akan menyebabkan morbiditas bahkan

kematian. Penyulit yang sering dijumpai adalah hiperglikemi. Hiperglikemi

umumnya terjadi jika pola “start low, go slow” tidak diikuti. Kelainan ini dapat

disertai hyperosmolar state dan diuresis osmotik. Pada kasus yang ekstrim dapat

terjadi koma. Tromboflebitis karena iritasi mudah diikuti radang. Osmolaritas

plasma 300 mOsm. Makin tinggi osmolaritas, makin mudah terjadi tromboflebitis,

bahkan tromboemboli. Vena perifer dapat menerima sampai 900 mOsm. Untuk

cairan > 900-1000 mOsm jika perlu lebih dari 5 hari, seharusnya digunakan vena

sentral (vena cava, subclavia, jugularis) dimana darah mengalir secara cepat

sehingga kecepatan tetesan cairan NPE yang pekat tidak sempat merusak vena.

Cairan 900-1000 mOsm untuk jangka pendek 3-5 hari masih dapat diberikan

lewat vena tangan tapi jangan memberikan lewat vena kaki. Vena kaki mudah

mengalami deep vein thrombosis dan tromboemboli. Osmolaritas dapat dikurangi

dengan mencampur cairan menggunakan infus set bercabang7,8,9

.

Adapun komposisi yang ideal dari nutrisi parenteral adalah kombinasi

antara karbohidrat (KH), protein, lemak, dan cairan dan elektrolit (vitamin,

mineral). Semuanya akan diuraikan sebagai berikut9:

1. Karbohidrat

98

Karbohidrat sebagai sumber kalori utama yang layaknya selalu tersedia 40-

60% dari total kalori (1 gr KH = 4kkal). Rekomendasi dari American

Society for Parenteral & Enteral Nutrition (ASPEN, 1993) untuk pemberian

karbihidrat dalam keadaan normal adalah 25 – 30 kcal/kg/hari. Karbohidrat

tersimpan dalam tubuh dalam bentuk glikogen dihati dan otot. Sumber

kalori karbihidrat dapat berupa dextrosa, fruktosa, maltosa, sorbitol dan

xylitol. Glukosa/ dextrosa adalah sumber kalori yang paling fisiologis. Dosis

maksimal bagi kebanyakan penderita adalah 6-7,5gr/kgbb/hari. Pemberian

kalori dengan glukosa yang melebihi kebutuhan ternyata tidak bermanfaat,

bahkan justru merugikan sebab akan menyebabkan kadar co2 dalam tubuh

meningkat.

2. Protein

Protein diperlukan untuk regenerasi sel dan enzim, karena itu pemberiannya

harus dilindungi oleh pemberian kalori yang cukup agar protein tidak

digunakan sebagai sumber energi. Kebutuhan protein (asam amino) dapat

dihitung secara tidak langsung dengan menghitung jumlah nitrogen yang

dokonsumsi oleh tubuh. Menghitung nitrogen secara laboratorium relatif

mahal biayanya. Secara kasar dapat diperkirakan dengan menghitung

jumlah ureum dalam urine 24 jam, dengan rumus sebagai berikut

a. Menghitung energi konsumsi

Konsumsi nitrogen (mg/24 jam) = ureum urine (mmol) / 24jam x 28 +

4000 mg. Kebutuhan protein=konsumsi nitrogen x 6,25

b. Cara yang lebih mudah untuk menghitung kebutuhan asam amino

adalah dengan memperkirakan besar kecilnya stress metabolik yang

terjadi.

99

Perbandingan kebutuhan protein (AA) dan kalori perhari9:

Protein (AA) Kalori

Tanpa stress

metabolik

1 gr/kgbb/hari 30 kcal/kgbb/hari

Dengan stress

metabolik

2 gr/kgbb/hari 40 kcal/kgbb/hari

Contoh perhitungan kebutuhan protein. Misal berat badan pasien 60 kg

dengan sepsis

Dengan menggunakan tabel dengan stress metabolik

Kebutuhan kalori = 60 x 40 kcal = 2400 kcal/hari

Kebutuhan AA = 60 x 2 = 120 gr/hari

3. Lemak

Cairan emulsi lemak diberikan dalam nutrisi parental bertujuan untuk

mencegah defisiensi asam lemak esensial dan sebagai sumber kalori. Untuk

memenuhi kebutuhan kalori, cairan emulsi lemak diberikan 1-3 gr/kgbb atau

dalam proporsi 25 – 40% dari kalori total perhari. Pemberian lebih dari 60%

dari kalori total dapat menyebabkan ketoasidosis. Karena osmolaritasnya

yang rendah, pemberian cairan emulsi lemak dapat diberikan pada nutrisi

parental perifer.

4. Cairan, Elektrolit, Trace Elements, dan Vitamin

Dalam merencanakan komposisi carain untuk terapi nutrisi pareneral, harus

selalu diperhatikan dan diperhitungkan akan kebutuhan terhadap elektrolit,

trace element, dan vitamin baik yang larut dalam air maupun lemak.

Kebutuhan ini terutama harus diberikan bila terapi nutrisi parenteral

berlangsung lama. Besarnya kebutuhan disesuaikan dengan keadaan klinis

penderita.

Kebutuhan air dewasa : 30-50 ml/kgbb/hari

Kebutuhan Natrium : 2-4 mg/kgbb/hari atau 100-200 meg/hari

Kebutuhan Kalium : 1-2 mg/kgbb/hari atau 50-100 meg/hari

100

BAB III

PEMBAHASAN

Hemoragi adalah penyebab utama keadaan hipovolemik pada pasien yang

mengalami luka multisistem. Kebanyakan pasien tersebut memiliki beberapa

tingkatan dari syok hipovolemik. Tingkatan tersebut dapat diukur melalui respon

fisiologi terhadap hemoragi. Respon fisiologi ini dapat dikategorikan berdasarkan

persentasi dari kehilangan akut darah. Respon tekanan darah awal terhadap

kehilangan volume intravaskular tidak memiliki hubungan yang linear 1.

Pada dewasa sehat kehilangan 15% volume darah pertama diklasifikasikan

sebagai hemoragi kelas I. Gejala klinis minimal pada kelas I ini. Dalam kondisi

yang tidak kompleks, peningkatan denyut nadi minimal dengan peningkatan

kontraktilitas dari jantung dan peningkatan vasokonstriksi vena dan arteri dapat

menjaga tekanan darah. Hemoragi kelas II diklasifikasikan sebagai kehilangan

volume darah sebanyak 15-30%. Gejala klinis meliputi takikardia (denyut nadi

>100 pada orang dewasa), takipneu, dan penurunan tekanan darah. Tekanan sistolik

biasanya tidak berubah, tetapi tekanan diastol meningkat karena peningkatan dari

katekolamin. Hemoragi kelas III diklasifikasikan sebagai kehilangan 30-40%

volume darah. Biasanya hal ini diikuti dnegan takikardia, takipneu, perubahan

status mental penderita, dan turunnya tekanan sistolik. Pada kasus yang tidak

kompleks, kehilangan darah sebanyak ini secara konsisten menyebabkan tekanan

darah sistolik menurun. Pada pasien yang lebih tua, dengan mekanisme kompensasi

yang kurang efisien, penurunan tekanan darah dapat terjadi setelah kehilangan

darah sebanyak 10-15%. Hemoragi kelas IV didefinisikan sebagai kehilangan darah

sebanyak >40%, dan hal ini merupakan keadaan yang mengancam nyawa. Pasien

dapat terkena serangan jantung bila kehilangan darah sebanyak ini. Gejala klinis

meliputi takikardia, penurunan tekanan darah sistolik yang secara substansial,

tekanan darah yang sangat sempit (tidak adanya tekanan darah diastol), kurangnya

urine output, dan perubahan status mental pasien yang banyak. Perlu diperhatikan

101

bahwa tekanan darah pasien dapat turun tiba-tiba setelah pemeriksaan awal ketika

mekanisme kompensasi mereka telah gagal karena kehilangan darah yang terus-

menerus. Sulit dilakukan perubahan tekanan darah, karena pada kebanyakan kasus

batas bawah dari tekanan ydarah pasien tidak diketahui. Sebagai contoh, pasien

dengan hipertensi dapat menunjukkan tekanan sistol sebesar 120 mmHg dapat

menunjukkan gejala kehilangan darah yang signifikan, sedangkan atlet muda yang

sehat dapat memiliki tekanan sistol sebesar 90 mmHg 1.

Salah satu indikator dari rendahnya perfusi jaringan pada pemerikssaan awal

adalah perfusi kulit. Kompensasi fisiologi awal pada kehilangan volume

intravaskular adalah vasokonstriksi pada pembuluh darah di kulit dan otot. Kapiler-

kapiler pada kulit adalah yang pertama kali berhenti bekerja sebagai respon

terhadap hipovolemik yang dikarenakan stimulus dari sistem saraf simpatik dan

kelenjar adrenal melalui pelepasan hormon epinefrin dan nor epinefrin. Pelepasan

katekolamin menyebabkan keluarnya keringat dan kulit terasa dingin dan lembab

pada saat palpasi. Ekskremitas bawah adalah yang pertama terkena, dengan tanda-

tanda pertama dari hipovolemi adalah terasa dinginnya kaki dan regio patella.

Capillary fill time dapat diukur dengan menggunakan “blanch test”, yang dimana

memberikan ukuran kehilangan darah ke pembuluh kapiler. Dengan tes tersebut,

tekanan diaplikasikan ke kuku-kuku jari, kuku ibu jari, atau emninesia hipothenar

dari tangan untuk mengevakuasi darah dari daerah tersebut dan kemudian tekanan

langsung dilepaskan. Waktu yang diperlukan untuk jarinagn kembali ke warna

normalnya mengindikasikan waktu yang diperlukan untuk darah kembali ke

pembuluh kapiler. Waktu kurang dari 2 detik biasanya ditemukan pada pasien

normovolemik dan mengindikasikan aliran darah normal ke pembuluh kapiler 1.

Hemoragi dapat secara ekternal maupun internal ke dalam kavitas tubuh.

Hemoragi eksternal biasanya dapat dikontrol dengan melakukan penekanan secara

langsung ke luka yang ada. Tekanan yang digunakan untuk mengontrol

perdarahan sebaiknya kuat dan kontinu. Ketika dressing yang digunakan menjadi

basah, dressing tersebut sebaiknya jangan dilepaskan, tetapi sebaiknya dressing

tambahan digunakan karena apabila dressing dilepaskan maka formasi clot yang

telah terbentuk dapat terganggu dan menyebabkan perdarahan kembali. Tekanan

102

yang kuat dapat diaplikasikan proksimal ke arah arteri mayor untuk mengontrol

perdarahan. Akan tetapi, hal tersebut hanya direkomendasikan apabila penekanan

langsung pada luka saja tidak efektif 1.

Perban tekan, seperti air-pillow splints dan blood pressure cuff dapat juga

digunakan. PASGs dan medical antishock trousers(MASTs), yang sebelumnya

digunakan untuk meningkatkan tekanan darah pada kasus hipotensi yang parah,

memberikan keadaan yang merugikan pada beberapa situasi karena menyebabkan

luka vaskular. Sebagai spesialis bedah mulut dan maksilofasial, kita mengetahui

adanya suplai vaskular yang banyak ke daerah muka dan leher. Aspek negatif dari

suplai darah tersebut adalah hemoragi mayor dapat disebabkan oleh luka pada

kulit kepala yang besar, fraktur nasal atau tengah wajah, dan luka tembus pada

leher. Luka pada kulit kepala dapat menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah

besar pada waktu yang singkat karena perembesan darah pada galea dan lapisan

jaringan ikat yang renggang. Luka kulit kepala dapat dengan cepat diatasi dengan

dijahit menggunakan 2.0 nonresobable atau staples tanpa memperhatikan

kosmetik pasien. Tekanan langsung kemudian dapat dilakukan pada luka untuk

mengontrol hemoragi dan meminimalkan pembentukan hematoma. Ketika pasien

sudah stabil, jahitan dapat dilepaskan dari luka dan penutupan lapisan luka secara

kosmetik dapat dilakukan 1.

Pemberian pertolongan pertama dan resusitasi cairan yang tepat sangat

membantu dalam mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat. Pilihan tipe

cairan yang digunakan adalah koloid dan kristaloid. Koloid sangat baik untuk

ekspansi volume plasma, dan merupakan pilihan yang terbaik untuk peningkatan

Cardiac Output dan volume O2. Namun koloid efek udema parunya kurang dan

harga cairan ini mahal1.

Tujuan yang harus dipenuhi dalam pemberian cairan adalah menganti

cairan yang hilang selama trauma atau pembedahan. Maksud utamanya adalah

mengembalikan volume intravaskular dan mendapatkan perfusi jaringan yang

adekuat, serta penggantian cairan yang hilang dilakukan melalui pipa

lambung,drainase toraks, drainase peritonium, fistula usus, respirasi dsb.

Penatalaksanaan pada perdarahan akut adalah sebagai berikut9:

103

3. Pemasangan 2 jalur Infus I.V., dengan pemberian 1-2 liter kristaloid (NaCl

0,9% atau RL) atau Koloid (Dextran) secara I.V. dalam 30–60 menit, udema

paru diperhatikan. Pada orang dewasa 2–3 liter RL selama 20–30 menit

untuk memulihkan tekanan darah, tekanan vena sentral, dan diuresis.

4. Pemberian WB atau PRC hingga HT> 30 % dengan 1-2 unit fresh frozen

plasma (FFP) tiap 5 unit darah.

Sedangkan penatalaksanaan untuk kehilangan cairan gastrointestinal dapat

diberikan 1-2 liter NaCl 0,9% dalam 30–60 menit, dan memonitor tanda vital,

kemudian pengecekan elektrolit dan dikoreksi bila terdapat kelainan lainnya1.

Salah satu fungsi rongga mulut adalah sebagai jalan masuk makanan

menuju saluran cerna (gastrointerstinal tract). Kemampuan seseorang dalam

mengkonsumsi makanan melalui oral dapat berubah dikarenakan neoplasia,

infeksi, deformitas congenital, dan injuri (trauma). Prosedur bedah mulut dan

maksilofasial dapat mengeliminasi permasalahan ini dengan suatu prosedur

operasi,namun prosedur ini juga membatasi kemampuan mulut sementara waktu.

Pada keadaan trauma (stress dan sepsis) tubuh mengalami rangkaian perubahan

hormonal yang menambah laju metabolisme. Hal ini berakibat menurunnya daya

tahan tubuh, terjadinya edema, dan terhambatnya penyembuhan luka gangguan

motilitas usus, gangguan enzim dan metabolisme serta kelemahan otot. Oleh

karena itu pasien dengan trauma oromaksilofasial memerlukan intervensi nutrisi

dalam rawat inap di rumah sakit7.

Penentuan status gizi penderita penting untuk jumlah lama dan komposisi

yang harus diberikan. Setidaknya penderita harus ditentukan apakah termasuk

malnutrisi ringan, sedang atau berat. Kebutuhan energi total dari seorang pasien

dalam keseimbangan metabolik adalah sama dengan pemakaian energi total (Total

Energy Expenditure) yang meliputi kebutuhan basal, peningkatan kebutuhan

energi yang disebabkan penyakit, energi yang terpakai selama proses asimilasi

nutrien dan energi yang terpakai pada kerja fisik. Kebutuhan kalori basal didapat

dengan penghitungan BMR berdasarkan persamaan Harris-Benedict. Nutrisi

parenteral adalah pemberian nutrien melalui pembuluh darah vena. Cara

104

pemberian dapat melalui vena perifer (nutrisi parenteral perifer) atau vena sentral

(nutrisi parenteral total). Terapi nutrisi parenteral diberikan kepada setiap

penderita yang akibat penyakitnya membutuhkan banyak asupan nutrisi tetapi

penderita tersebut tidak mau makan, tidak cukup makan, tidak bisa makan dan

tidak boleh makan. Tujuan pemberian nutrisi parenteral ini adalah untuk

mempertahankan volume dan perfusi sirkulasi darah, menjaga keseimbangan

cairan-elektrolit dan asam basa, memelihara hemostatik metabolik umum, dan

menyediakan intake bagi kebutuhan metabolisme secara parenteral7,8,9

.

105

BAB IV

KESIMPULAN

Trauma oromaksilo fasial dapat menyebabkan kematian jika dapat

menyebabkan obstruksi jalan nafas dan perdarahan yang banyak. Sebelum

melakukan perawatan fraktur perlu diperhatikan keadaan darurat medik yang

harus ditangani lebih dulu. Untuk penderita dengan trauma oromaksilofasial

perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernafasan dan kontrol

perdarahan eksternal, sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital,

keadaan-keadaan itu harus ditangani lebih dahulu oleh karena mengancam jiwa

penderita.

Perdarahan dari fraktur oromaksilofasial dapat terjadi perdarahan pada

rongga mulut, hidung, sinus paranasalis, nasofaring (dari basis cranii) atau

perdarahan dari hidung (fraktur nasalis, fraktur maksila). Perdarahan yang banyak

bisa mengakibatkan syok hipovolemik. Perdarahan adalah sebab tersering dari

syok pada trauma, dan hampir semua penderita multi-trauma ada syok. Pemberian

pertolongan pertama dan resusitasi cairan yang tepat sangat membantu dalam

mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat.

Perawatan pasien dengan trauma oromaksilofasial memerlukan terapi nutrisi

yang benar. Pengukuran kebutuhan nutrisi pasien trauma bergantung dari rumus

yang didasarkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi, dimana untuk

menentukan jenis nutrisi yang akan diberikan kepada pasien tersebut diperlukan

kerjasama dengan ahli gizi sehingga benar benar sesuai dengan kebutuhan gizi yang

telah ditentukan sebelumya.Pemberian nutrisi untuk pasien rawat inap dapat

dilakukan dengan 3 cara yaitu peroral, enteral dan parenteral. Pemberian nutrisi

yang adekuat akan membantu proses penyembuhan pasien.

106

DAFTAR PUSTAKA

1. Fonseca, R.J., dkk. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma 3rd ed. Vol 1, W.B.

Saunders Company. Philadelphia.

2. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa: drg.

Purwanto, drg. Basoeseno, EGC. Jakarta.

3. Fonseca, R.J. Robert. V.W. 1997. Oral and Maxillofacial Trauma 2nd ed. Vol

1, W.B. Saunders Company. Philadelphia.

4. Raymond and Wolker, 1991, Oral and maxillofacial Trauma. Vol I, W.B.

Saunders Company, Philadelphia, Co.

5. Hupp, J.R., Ellis III, E., Tucker, M.R. 2008. Contamporary Oral and

Maxillofacial Surgery. 5th ed. Mosby Elsevier. St. Louis.

6. Hutchinson and Skinner, 1996, ABC of Major Trauma 2nd

ed BMJ Publishing

Group, London.

7. Andry Hartono,dr, Sp.GK,2006,Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit, edisi kedua;

EGC,IKAPI.

8. Agus Purwadianto & Budi Sampurna. Kedaruratan Medik. 2000. Pedoman

Penatalaksanaan Praktis. Edisi Revisi.

9. Roesli, Ruly,dkk, 1997, Dasar-dasar Terapi Nutrisi Parenteral pada Dewasa dan

Anak; Kelompok Studi Terapi Cairan, Enteral, dan Parenteral, Bandung.

107

Fraktur Dentoalveolar

Sutami Wahyu Prasetya

160121120010

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis

Bedah Mulut Dan Maksilofasial

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung

Abstrak : Fraktur dentoalveolar adalah salah satu fraktur yang banyak kita

jumpai di emergency room. Adapun penyebab fraktur dentoalveolar yang utama

adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan sewaktu berolahraga, kekerasan dalam

rumah tangga dan lain sebagainya. Pada pasien anak juga sering kita jumpai

fraktur dentoalveolar, dimana anak – anak pada masa pertumbuhan dengan

aktivitas bermain yang tinggi seperti terjatuh dari sepeda. Trauma secara langsung

biasanya menyebabkan cedera pada insisivus sentral maksila karena posisinya

yang relatif lebih ke depan. Insisivus yang protrusif dengan penutupan bibir yang

tidak seimbang, seperti terlihat pada individu dengan maloklusi Kelas II divisi I

atau sebagai akibat kebiasaan buruk menghisap jempol, merupakan faktor

predisposisi trauma insisivus maksila. Cedera akan meningkat dua kali lebih

sering pada anak dengan insisivus yang protrusif dibandingkan dengan seorang

anak yang memiliki oklusi normal. Perawatan darurat merupakan perawatan yang

penting dan harus dilakukan dengan segera karena menyangkut prognosa dari

penderita. Perawatan darurat pada kasus truma gigi anterior meliputi pembersihan

luka akibat trauma dengan menggunakan cairan antiseptik, merawat luka akibat

trauma, dengan melakukan penjahitan dan penutupan luka dengan kain kassa,

menghentikan perdarahan, menghilangkan rasa sakit, pencegahan terhadap

infeksi.

Kata kunci: fraktur dentoalveolar, trauma, maloklusi, perawatan darurat

108

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya sering tejadi pada pasien

trauma. Keterlibatan trauma orofasial diperkirakan sekitar 15 % dari semua pasien

emergensi, dan 2% dari kasus tersebut melibatkan trauma dentoalveolar. Cedera

yang terjadi dapat hanya mengenai gigi dan struktur pendukungnya saja seperti

pada seorang anak yang terjatuh, ataupun dapat juga berhubungan dengan cedera

multisistim, seperti yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera

dentoalveolar biasanya terjadi karena seseorang terjatuh, kecelakaan di taman

bermain, penganiayaan, kecelakaan sepeda, kecelakaan sepeda motor, dan

kecelakaan olahraga. Cedera pada strktur dentoalveolar dapat diakibatkan oleh

trauma secara langsung mengenai gigi atau trauma tidak langsung, biasanya

akibat oklusi yang menutup dengan cepat dan kuat antara gigi-geligi mandibula ke

gigi-geligi maksilla.1

Trauma secara langsung biasanya menyebabkan cedera pada incisivus

central maksilla karena posisinya yang relatif lebih kedepan. Incisivus yang

protrusif dengan penutupan bibir yang tidak seimbang, seperti terlihat pada

individu dengan maloklusi kelas II divisi 1 atau sebagai akibat kebiasaan buruk

menghisap jempol, merupakan faktor predisposisi trauma incisivus maksilla.

Cedera pada gigi akan meningkat dua kali lebih sering pada anak-anak dengan

gigi incisivus yang protrusif dibandingkan dengan seorang anak yang memiliki

oklusi normal. Trauma tidak langsung pada gigi dan struktur pendukung biasanya

sebagai akibat dari benturan yang mengenai dagu, atau gigi tidak dalam oklusi

yang baik, benturan akan diteruskan ke oklusi gigi-geligi, menimbulkan

kerusakan gigi-gigi posterior atau jaringan lunak anterior.1

Fraktur dentoalveolar dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan gigi.

Dapat dalam bentuk retak tetapi pada umunya dalam bentuk fragmen alveolar

yang sederhana. Fraktur dentoalvapaeolar pada umumnya terjadi bersamaan

109

dengan cidera mulut lainnya. Deteksi dan pengobatan dini dapat meningkatkan

kelangsungan hidup dan fungsi dari gigi tersebut. Sekitar 82% gigi yang

mengalami trauma adalah gigi-gigi maksiler. Fraktur gigi maksiler tersebut 64%

adalah gigi incisivus sentral, 15% incisivus lateral, dan 3% caninus. Fraktur

dentoalveolar pada umumnya terjadi pada kelompok usia anak, remaja, dan

dewasa muda dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 2-3 : 1. 2

Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar meliputi kemungkinan

adanya luka pada bibir dan umumnya terjadi edema dan echymosis. Pada

pemeriksaan gigi dan alveolus kemungkinan terdapat laserasi, echymosis dari

pada gingival dan perubahan bentuk dari pada alveolus.3

Selain itu pada saat palpasi hati-hati pada saat memeriksa bibir.

Pemeriksaan pada bibir berguna untuk mengetahui apakah ada benda asing atau

gigi di dalam jaringan tersebut. Palpasi pada alveolus berfungsi untuk merasakan

perubahan bentuk tulang-tulang, dan kadang-kadang terdapat krepitus.1

110

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Etiologi Fraktur Dentoalveolar

Trauma dentoalveolar dapat terjadi pada anak-anak, remaja, maupun

dewasa. Pada kelompok anak-anak penyebab utama dari trauma ini adalah jatuh.

Pada usia 1-3 tahun ketika anak belajar berjalan dan berlari insidennya meningkat

yang diakibatkan oleh aktivitas yang tinggi dan kurangnya koordinasi anggota

tubuh menyebabkan anak sering jatuh. Pada anak usia sekolah, taman bermain

dan cidera akibat bersepeda merupakan penyebab tersering. Selama masa remaja,

cidera olahraga merupakan kasus yang umum. Pada usia dewasa, cidera olahraga,

kecelakaan sepeda motor, kecelakaan industri dan pertanian, dan kekerasan dalam

rumah tangga merupakan penyebab potensial. Rasio laki-laki dan perempuan

adalah 2:1. Olahraga yang melibatkan kontak fisik merupakan penyebab umum

fraktur dental, seperti sepakbola dan bola basket. Frekuensi fraktur dentoalveolar

yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan retardasi mental dan serebral

palsi. Penyalahgunaan obat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya

frakturdental.2

Gigi insisivus maksiler yang menonjol keluar atau ketidakmampuan

menutup gigi pada keadaan istirahat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya

fraktur. Benturan atau trauma, baik berupa pukulan langsung terhadap gigi atau

berupa pukulan tidak langsung terhadap mandibula, dapat menyebabkan pecahnya

tonjolan-tonjolan gigi, terutama gigi-gigi posterior. Selain itu, tekanan oklusal

yang berlebihan terutama terhadap tumpatan yang luas dan tonjol-tonjolnya tak

terdukung oleh dentin dapat pula menyebabkan fraktur. Keparahan fraktur bisa

hanya sekedar retak saja, pecahnya prosesus, sampai lepasnya gigi yang tidak bisa

diselamatkan lagi. Trauma langsung kebanyakan mengenai gigi anterior, dan

karena arah pukulan mengenai permukaan labial, garis retakannya menyebar ke

belakang dan biasanya horizontal atau oblique. Pada fraktur yang lain, tekanan

111

hampir selalu mengenai permukaan oklusal, sehingga frakturnya pada umumnya

vertikal. Pukulan terhadap gigi anterior paling sering terjadi pada anak-anak dan

apabila dibiarkan maka tubulus dentinnya akan terpapar pada flora normal mulut

sehingga dapat menimbulkan infeksi dan inflamasi pulpa sehingga perlu dirawat.1

Di pihak lain, gigi posterior yang fraktur karena tekanan oklusal yang

besar biasanya karena mempunyai tumpatan yang luas. Pada gigi semacam ini,

hanya sedikit tubulus dentin yang terbuka yang langsung berhubungan dengan

pulpa karena telah terjadinya reaksi terhadap karies dan prosedur penambalannya

berupa kalsifikasi tubulus dan penempatan dentin reaksioner di rongga pulpa.

Dengan demikian jaringan pulpanya jarang sekali ikut terkena. Trauma terhadap

gigi pada umumnya bukan merupakan keadaan yang mengancam nyawa, tetapi

cidera maksilofasial lain yang berhubungan dengan trauma dental dapat

mengganggu jalan napas. Fraktur biasanya terjadi pada gigi permanen, sedangkan

gigi susu biasanya hanya mengalami perubahan letak. Morbiditas yang

berhubungan dengan fraktur dental bisa seperti gagalnya pergantian gigi,

perubahan warna gigi, abses, hilangnya ruang pada arkus dental, ankylosis,

lepasnya gigi secara abnormal, dan resorpsi akar merupakan keadaan yang

signifikan. Trauma dental sering berhubungan dengan laserasi intraoral. Ketika

ada gigi yang pecah atau hilang dan pada saat yang bersamaan terdapat laserasi

intraoral, maka harus diperhatikan bahwa bagian gigi yang hilang dapat tertanam

di dalam robekan luka tersebut. 1

Trauma secara langsung biasanya menyebabkan cedera pada incisivus

central maksilla karena posisinya yang relatif lebih kedepan. Incisivus yang

protrusif dengan penutupan bibir yang tidak seimbang, seperti terlihat pada

individu dengan maloklusi kelas II divisi 1 atau sebagai akibat kebiasaan buruk

menghisap jempol, merupakan faktor predisposisi trauma incisivus maksilla.

Cedera pada gigi akan meningkat dua kali lebih sering pada anak-anak dengan

gigi incisivus yang protrusif dibandingkan dengan seorang anak yang memiliki

oklusi normal. Trauama tidak langsung pada gigi dan struktur pendukung

biasanya sebagai akibat dari benturan yang mengenai dagu, atau gigi tidak dalam

112

oklusi yang baik, benturan akan diteruskan ke oklusi gigi-geligi, menimbulkan

kerusakan gigi-gigi posterior atau jaringan lunak anterior. 1

Cedera dentoalveolar ini paling banyak terjadi pada gigi sulung yang

terjadi pada saat anak-anak mulai belajar berjalan hingga usia sekolah, yang

berusia antara 2-4 tahun, sedangkan pada gigi permanen antara usia 7-10 tahun.

Jumlah cedera dentoalveolar yang signifikan juga terjadi berhubungan dengan

penatalaksanaan pasien yang tidak sadar atau pasien yang akan menjalani

anestetikum umum. Lockhart dan Colleases melakukan survai terhadap 133

program pelatihan anestesi dan menemukan dari setiap 100 tindakan intubasi

trachea terdapat 1 kejadian yang mengakibatkan trauma gigi anterior. 1

Gambar 1. Gambaran Klinis Fraktur Dento Alveolar

II. Klasifikasi

Ada banyak cara untuk mengklasifikasikan fraktur dental. Klasifikasi Ellis

merupakan salah satu yang sering digunakan dalam literatur kegawatdaruratan,

tetapi banyak dokter gigi dan ahli bedah maksilofasial yang tidak menggunakan

sistem ini. Metode klasifikasi yang paling mudah dimengerti adalah berdasarkan

deskripsi cidera. Fraktur mahkota gigi dapat dibedakan menjadi kategori

sederhana dan rumit. Fraktur mahkota sederhana melibatkan bagian enamel dan

dentin. Yang termasuk fraktur mahkota sederhana adalah fraktur Ellis kelas I dan

II. Fraktur Ellis kelas I Fraktur yang tergolong Ellis kelas I hanya melibatkan

lapisan enamel gigi. Pada inspeksi tampak sebagai kepingan kecil dengan tepi

113

yang tidak beraturan (kasar). Keluhan yang biasanya muncul adalah rasa tidak

nyaman akibat tepi fraktur yang kasar tersebut. Pasien pada umumnya tidak

mengeluhkan sensitivitas terhadap temperatur atau udara. Fraktur ini pada

umumnya tidak menyebabkan gangguan terhadap rongga pulpa.1

Sistim WHO yang dimodifikasi oleh Andreasen melibatkan cedera pada

gigi, struktur pendukungnya, gusi dan mukosa oral yang berdasarkan anatomi,

terapi dan prognosanya. 1

Cedera jaringan keras gigi dan pulpa.

1. Crown Infraction (keretakan mahkota).

Merupakan fraktur inkomplit atau retaknya enamel tanpa disertai

kehilangan substansi gigi.

2. Uncomplicated crown fracture (fraktur mahkota tidak komplit)

Merupakan fraktur yang terbatas pada enamel atau melibatkan enamel dan

dentin tanpa disertai terbukanya pulpa.

3. Complicated crown fracture (fraktur mahkota komplit)

Merupakan fraktur yang melibatkan enamel dan dentin disertai terbukanya

pulpa.

4. Uncomplicated crown-root fracture (fraktur mahkota dan akar tidak

komplit)

Merupakan fraktur yang melibatkan enamel, dentin dan sementum tanpa

disertai terbukanya pulpa.

5. Complicated crown-root fracture (fraktur mahkota dan akar komplit)

Merupakan fraktur yang melibatkan enamel, dentin, dan sementum yang

disertai dengan terbukanya pulpa.

6. Root fracture (fraktur akar)

Merupakan fraktur yang melibatkan dentin, sementum dan pulpa.

114

(1) (2) (3) (4)

(5) (6) (7)

Gambar 2. Cedera jaringan keras gigi dan pulpa.(1) Crown infraction. (2) dan (3) Uncomplicated

crown fracture dengan atau tanpa melibatkan dentin. (4) Complicated crown fractured. (5)

Uncomplicated crown root fractured. (6) Complicated crown root fracture. (7) Root Fracture. 1

Cedera jaringan periodontal. 1

1. Concussion (sensitif).

Merupakan suatu cedera pada struktur pendukung gigi tanpa adanya

kehilangan yang abnormal atau pergeseran gigi, tetapi ditandai dengan

adanya reaksi sensitif terhadap perkusi.

2. Subluksasi (kegoyangan gigi).

Cedera pada struktur pendukung gigi tanpa kehilangan yang abnormal

tetapi tanpa pergeseran gigi.

3. Intrusif luxation (central dislocation).

Pergeseran gigi ke dalam tulang alveolar tanpa disertai hancurnya atau

fraktur soket alveolar.

4. Extrusif luxation (peripheral dislocation, partial avultion)

Pergeseran sebagian gigi keluar dari soket alveolar.

5. Lateral luxation

Pergeseran gigi dalam arah lateral yang disertai hancur atau fraktur soket

alveolar.

115

6. Exarticulation (complete avultion)

Pergeseran gigi yang komplit keluar dari soket alveolar.

(1) (2) (3) (4)

(5) (6) (7) (8)

Gambar 3. Cedera jaringan periodontal. (1)Concussion. (2)Subluksasi. (3)Intrusif

luksatioin. (4)Extrusif luxation. (5) dan (6) Lateral luxation. (7)Retained root.

(8)Exarticulation. 1

Cedera tulang pendukung. 1

1. Comminution alveolar socket.

Fraktur atau remuknya soket alveolar mandibula atau maksila. Keadaan ini

biasanya ditemukan bersama-sama dengan luksasi intrusi dan luksasi

lateral.

2. Fracture of the alveolar socket wall (Fraktur dinding socket alveolar)

Fraktur dinding alveolar soket yang ditahan oleh dinding soket fasial atau

lingual.

3. Fracture of alveolar process (fraktur prosesus alveolaris).

Fraktur prosesus alveolaris yang dapat atau tidak melibatkan soket

alveolar.

4. Fraktur maksila atau mandibula.

116

Fraktur ini mengenai mandibula atau maksilla, dan dapat mengenai

prosesus alveolaris atau mungkin juga dengan atau tidak mengenai soket

alveolar gigi.

(1) (2) (3)

(4) (5) (6) (7)

Gambar 4. Cedera tulang alveolar. (1)Comminution alveolar process. (2) dan (3)Fracture

of the alveolar socket wall. (4) dan (5)fracture of the alveolar process. (6) dan (7)Fraktur

mandibula atau maksila. 1

Cedera gingiva atau mukosa oral. 1

1. Laserasi gingiva atau mukosa

Yaitu luka pada daerah mukosa yang biasanya disebabkan oleh sobekan

benda tajam.

2. Kontusio gingiva atau mukosa oral.

Yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan dari benda

tumpul dan menyebabkan perdarahan pada daerah submukosa tanpa

disertai sobeknya daerah mukosa.

3. Abrasi gingiva atau mukosa oral.

Yaitu luka daerah supefisial yang disebabkan karena gesekan atau goresan

yang mengakibatkan daerah mukosa terlihat lecet dan permukaan yang

berdarah.

117

Selain itu ada juga klasifikasi yang dibuat oleh Sanders, Brady dan Johnson yang

relatif lebih sederhana berdasarkan pada diskripsi cedera, gambaran struktur gigi

yang terlibat, tipe pergeseran dan arah fraktur akar dan mahkota. 3

Keretakan mahkota, yang dibagi lagi menjadi :3

1. Retak atau fraktur yang tidak lengkap dari email tanpa adanya kehilangan

struktur gigi.

2. Dapat terjadi secara horizontal atau vertical.

Fraktur mahkota 3

1. Fraktur mahkota yang hanya mengenai email

2. Fraktur mahkota yang mengenai email dan dentin.

3. Fraktur mahkota yang mengenai email, dentin dan pulpa.

4. Fraktur horizontal atau vertikal.

5. Fraktur secara oblique (mengenai sudut mesioincisal dan distoincisal)

Gambar 5, Gambaran Klinis Fraktur MAhkota Horizontal

Fraktur mahkota-akar.1,3

1. Tidak melibatkan pulpa.

2. Melibatkan pulpa.

Fraktur akar horizontal 1

1. Mengenai sepertiga apikal.

118

2. Mengenai sepertiga tengah akar.

3. Mengenai sepertiga servikal.

4. Horizontal atau vertikal.

Gigi sensitif (Concussion) 1

Yaitu trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya mengakibatkan gigi

sensitive terhadap perkusi, tetapai tanpa disertai adanya kegoyangan gigi dan

perubahan letak dari gigi.

Kegoyangan gigi (Subluxation)

Yaitu trauma terhadap gigi dan jaringan pendukungnya mengakibatkan

gigi menjadi goyang, tetapi tanpa disertai adanya perubahan letak gigi.

Perubahan letak gigi.1

1. Intrusi gigi (gigi masuk ke dalam soket, biasanya disertai dengan kompresi

fraktur dari saku alveolar).

2. Ekstrusi gigi (gigi sebagian keluar dari soketnya dan memungkinkan tidak

disertainya adanya fraktur tulang alveolar).

3. Perubahan letak gigi ke arah labial (kemungkinan disertai fraktur dinding

alveolar).

4. Perubahan letak gigi ke arah lingual (kemungkinan disertai fraktur dinding

lingual).

5. Perubahan letak gigi kea rah lateral (pergeseran gigi ke arah distal atau mesial,

kemungkinan juga disertai fraktur dinding alveolar).

Avulsi Gigi 1

Yaitu perubahan letak keseluruhan gigi keluar dari soketnya, dan

kemungkinan bersamaan dengan fraktur dinding alveolar.

119

Gambar 6, Gigi Avulsi

III. Pemeriksaan dan Menegakan Diagnosis

Cedera pada gigi-gigi dan struktur pendukungnya harus dipertimbangkan

sebagai suatu keadaan darurat. Agar penatalaksanaannya tepat dan berhasil,

dibutuhkan suatu penegakan diagnosa dan perawatan dalam waktu yang cepat.

Riwayat mekanisme dan kejadian yang lengkap harus didapatkan dan langsung

dilakukan pemeriksaan klinis dan radiografis untuk menjamin diagnosa dan

perawatan yang tepat. 1,3

Langkah pertama dalam proses mendiagnosa yaitu mendapatkan riwayat

kecelakaan yang akurat. Riwayat yang komprehensif harus didapatkan dari

pasien, orangtuanya atau orang yang mengetahui informasi yang berhubungan

dengan pasiennya, dimana, kapan, dan bagaimana kejadiannya, terapi apa yang

sudah diberikan sebelumnya.

Anamnesis. 1

Yang dimaksud dengan anamnesis adalah riwayat terjadinya trauma.

Anamnesis dapat dilakukan dengan menanyakan langsung kepada penderita atau

pengantar.

Dalam melakukan anamnesis, ada beberapa informasi yang harus

diketahui antara lain sebagai berikut :

a. Kapan Terjadinya Trauma.

120

Karena jarak antara kecelakaan dan perawatan sangat penting

diketahui bukan hanya untuk menentukan jenis perawatan yang akan

dilakukan tetapi berpengaruh juga terhadap prognosisnya. Seperti pada

gigi yang mengalami avulsi, semakin cepat gigi tersebut di replantasi,

maka prognosisnya akan semakin baik. Juga pada fraktur rahang yang

proses penyembuhannya akan berpengaruh jika perawatannya ditunda.

b. Dimana Tempat Trauma Terjadi.

Hal ini penting karena mungkin saja penderita memerlukan

suntikan anti tetanus karena luka akibat trauma tersebut terjadi di daerah

yang kotor yang dengan mudah akan terkontaminasi dengan bakteri.

Demikian juga pada kecelakaan mobil perlu diperhitungkan kemungkinan

ada pecahan kaca pada bibir dan daerah muka.

c. Bagaimana Trauma Terjadi.

Informasi ini penting untuk mengetahui apakah trauma tersebut

mengenai benda keras atau tumpul atau lunak. Karena trauma pada benda

keras dapat mengakibatkan fraktur ahkota gigi, sedangkan trauma pada

benda yang lunak atau tumpul seperti siku biasanya dapat mengakibatkan

fraktur akar gigi dan luksasi.

d. Perawatan yang Sudah Didapat.

e. Riwayat Trauma pada Gigi

f. Penyakit Sistemik yang Diderita.

g. Keluhan Lain.

h. Gangguan Pengunyahan.

Pemeriksaan Klinis. 3

Pemeriksaan Fisik,

Pemeriksaan terhadap keadaan umum penderita, meliputi pemeriksaan

denyut nadi, pernafasan, tekanan darah, tingkat kesadaran dan suhu tubuh.

Pemeriksaan Ekstra Oral

Pada kasus trauma gigi anterior ini dapat dilakukan dengan cara visual dan

palpasi. Palpasi pada wajah dilakukan untuk melihat diskontinuitas tulang rahang

121

yang menunjukkan adanya fraktur, gangguan pergerakan rahang, kelainan saraf

serta hematoma.

Pemeriksaan Intra Oral,

Pemeriksaan ini penting untuk mendapatkan informasi agar dapat

memberikan pertolongan pertama. Tindakan yang sebaiknya dilakukan pada

pemeriksaan intra oral meliputi antara lain :

(1) Perkusi gigi

(2) Pencatatan kegoyangan abnormal dari gigi atau tulang alveolar.

(3) Pencatatan adanya perubahan warna gigi

(4) Pencatatan kerusakan jaringan lunak, seperti pada bibir, gusi, langit-

langit dan lidah.

(5) Pencatatan perubahan letak gigi

(6) Tes vitalitas dari gigi

(7) Pencatatan adanya kerusakan prosesus alveolaris, dengan cara

palpasi prosesus alveolaris.

Pemeriksaan Radiologis. 3

Kegunaan Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan ini diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosa

kelainan akibat trauma gigi anterior yang tepat dan benar. Biasanya pemeriksaan

radiologis dilakukan pada saat sebelum memulai perawatan dan pada saat kontrol

sesudah perawatan sebagai evaluasi terhadap perawatan yang telah dilakukan.

Pemeriksaan ini berguna untuk memberikan informasi, misalnya :

1. Untuk melihat arah garis fraktur

2. Adanya fraktur akar

3. Bagaimana tingkat keparahan dari gigi yang mengalami instrusi atau

ekstrusi

4. Adanya kelainan dari jaringan periodontal

5. Tingkat perkembangan akar

6. Ukuran kamar pulpa dan saluran akar

7. Adanya fraktur rahang

122

8. Melihat keadaan fragmen gigi dan jaringan lunak lain disekitar rongga

mulut, seperti dasar mulut, bibir dan pipi.

Macam-macam foto rontgen yang digunakan

Teknik foto rontgen yang biasa digunakan dalam melakukan pemeriksaan

riologis pada kasus trauma gigi anterior adalah teknik intra oral ( foto periapikal

dan foto oklusal), dan kadangkala diperlukan teknik ekstra oral (foto panoramik,

foto lateral dan foto postero-anterior) jika dengan foto intra oral garis fraktur tidak

terlihat.

Gambar 7. Foto panoramic, fraktur alveolar crest pada maksila dan

fraktur 1/3 apikal akar gigi pada mandibula

123

BAB III

Perawatan Trauma Pada Gigi Anterior 1

Setelah ananmnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiologis telah

lengkap, maka diagnosis yang tepat juga dapat ditegakkan sehingga langkah

perawatan terhadap kelainan akibat trauma pada gigi anterior dapat dilakukan

dengan segera.

Trauma pada gigi merupakan salah satu kasus darurat yang memerlukan

penanggulangan yang cepat dan tepat, karena keadaan ini mempengaruhi

prognosis yang akan datang. Maka pada prinsipnya perawatan trauma gigi

anterior ini adalah perawatan untuk mencegah prognosis yang lebih buruk dan

mengurangi rasa sakit akibat trauma.

Perawatan trauma gigi anterior dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu

perawatan segera setelah terjadinya trauma (perawatan darurat) dan perawatan

terhadap gigi anterior yang mengalami trauma (perawatan definitif).

Perawatan Segera Setelah Terjadinya Trauma (Perawatan Darurat)

Perawatan darurat merupakan perawatan yang penting dan harus dilakukan

dengan segera karena menyangkut prognosa dari penderita. Perawatan darurat

pada kasus trauma gigi anterior meliputi :

a. Membersihkan luka akibat trauma dengan menggunakan cairan antiseptik

b. Merawat luka akibat trauma, dengan melakukan penjahitan dan penutupan

luka dengan kain kasa.

c. Menghentikan perdarahan

d. Menghilangkan rasa sakit

e. Pencegahan terhadap infeksi

Perawatan Gigi pada Cedera Dentoalveolar (Perawatan Definitif). 1

124

Perawatan gigi anterior yang mengalami trauma pada prinsipnya adalah

mengembalikan gigi yang mengalami trauma keposisi semula (reposisi) dan

mempertahankannya hingga proses penyembuhan (fiksasi dan imobilisasi).

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan

perawatan definitif pada kasus trauma gigi anterior, yaitu : keadaan umum pasien,

umur pasien, trauma terjadi pada gigi sulung atau gigi tetap, lokasi dan luas

daerah yang terkena trauma, keadaan dari tulang pendukung, keadaan jaringan

periodontal serta gigi-geligi yang ada, Vitalitas gigi yang terkena trauma, apakah

disertai dengan fraktur tulang alveolar.

Pada dasarnya perawatan definitif trauma gigi anterior meliputi :

a. Perawatan jaringan keras gigi, misalnya penambalan dengan resin komposit

pada mahkota gigi yang terkena trauma, pembuatan mahkota jaket, dll.

b. Perawatan jaringan pulpa, misalnya pada perawatan endodontik seperti pulp

capping, pulpotomi, dll.

c. Perawatan pada gigi yang goyang dan berubah letak, yaitu dengan melakukan

reposisi dan fiksasi.

Yang dimaksud dengan fiksasi adalah suatu tindakan pemasangan alat

yang digunakan untuk menstabilkan satu gigi atau lebih dengan mengikat atau

menggabungkan gigi goyah atau berubah letak kegigi sebelahnya yang masih

kokoh melalui kawat, band atau splin dari logam cor, plastik atau acrylik.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan fiksasi yang baik

1,yaitu :

1. Dapat dengan mudah dipasang didalam mulut tanpa melalui prosedur

laboratorium yang lama.

2. Bersifat pasif pada tempatnya, tanpa menyebabkan tekanan pada gigi.

3. Tindak berkontak dengan gusi dan tidak mengiritasi gusi.

4. Tidak terdapat sangkutan pada saat oklusi yang normal.

5. Dapat dengan mudah dibersihkan dan dipakai pada oral higiene yang baik.

6. Pada saat dipakai tidak menyebabkan trauma pada gigi atau gusi.

125

7. Dapat memberikan jalan bagi perawatan endodontik.

8. Dapat dengan mudah dikeluarkan.

9. Memperhatikan nilai estetik yang baik.

10. Harganya murah dan bahan-bahannya mudah diperoleh dipasaran.

Ada beberapa macam teknik fiksasi yang digunakan pada kasus trauma gigi

anterior ini1,4

, yaitu :

1. Interdental wiring fixation, yaitu fiksasi dengan pengikatan kawat

interdental. Misalnya dengan metode Essig, Ernt’s, Eyelet (Ivy).

Gambar 8, Eyelet & Essig Method 1

2. Arch bar wiring, yaitu pengikatan kawat dengan arch bar. Misalnya dengan

metode Erich arch bar, Sauer’s arch bar, hauptmeye’s arch bar,

Circumferential arch bar.

3. Resin komposit splin dengan menggunakan etsa asam.

4. Penggunaan alat Orthodontik bracket, misalnya pada gigi yang ekstrusi dan

avulsi.

5. Metal cast splint, yaitu splin dengan menggunakan logam cor.

6. Sectional acrylic splint, yaitu splin dengan menggunakan bahan dari akrilik.

126

A B

C D

Gambar 9, Fiksasi intermasiler: A. screw & wire, B. Gunning splint untuk rahang edentulous

(Miloro et.al, 2004), C. Fiksasi intermaksiler dengan Erich bar & rubber elastic, d. fiksasi dengan

Jalenko 1

Berikut ini akan diuraikan berbagai macam perawatan definitif trauma gigi

anterior menurut beberapa pakar bedah mulut 1,3

yaitu sebagai berikut :

Fraktur Mahkota

Pada fraktur mahkota yang mengenai email, dentin serta pulpa tanpa disertai

kegoyangan gigi biasanya dilakukan penambalan pada gigi yang terkena fraktur

dengan resin komposit sistem etsa dengan atau tanpa didahului perawatan

endodontik. Tetapi bila disertai dengan kegoyangan gigi dilakukan juga reposisi

gigi dan fiksasi gigi tersebut.

Fraktur Mahkota – Akar

a. Jika fragmen mahkota masih berada ditempat dan tidak goyang, maka

perawatan yang dilakukan sama dengan perawatan pada fraktur mahkota.

127

b. Jika garis fraktur jauh kearah apikal dan gigi masih dapat direstorasi, maka

dilakukan perawatan endodontik.

c. Jika disertai dengan fraktur tulang alveolar, maka sebaiknya dilakukan

ekstraksi gigi tersebut.

Fraktur Akar

a. Jika garis fraktur sepertiga apikal prognosisnya sangat baik dan

biasanya tidak diperlukan perawatan yang khusus.

b. Jika garis fraktur berada sepertiga tengah akar, prognosisnya

sangat baik terhadap pemulihan pertahanan jaringan pulpa dan

penyembuhan dari fraktur akar tersebut. Dan dalam hal ini

diperlukan tindakan reposisi dan fiksasi selama 2-3 bulan, karena

pada periode ini biasanya telah terjadi proses kalsifikasi dari

jaringan dan gigi kembali vital.

c. Jika terjadi fraktur akar vertikal dilakukan tindakan ekstraksi gigi.

Gigi Sensitif (Concussion) 1

Perawatan yang khusus pada gigi sensitif ini biasanya tidak ada, hanya

diperlukan pemeriksaan yang rutin dan berlanjut untuk mengevaluasi kesehatan

dari jaringan periodontal dan pulpa gigi tersebut dan jika perlu mengurangi kontak

incisal untuk mengurangi trauma saat oklusi yang diterima gigi.

Subluksasi Gigi 1

Gigi yang mengalami subluksasi sensitif terhada perkusi dan goyang.

Perawatan yang diperlukan biasanya perawatan simptomatik yaitu dengan

memberikan makanan yang lunak dan jika perlu menghilangkan kontak

oklusal/incisal untuk mengurangi trauma saat oklusi yang diterima dari gigi. Dan

apabila kegoyangan gigi sudah sangat ekstrim, dilakukan fiksasi pada gigi

lawannya.

128

Perawatan Pada Gigi Yang Berubah Letak 1

1. Intrusi Gigi

Pada apeks yang belum terbentuk sempurna, biasanya dibiarkan saja karena

diharapkan pada saat pertumbuhan, gigi akan kembali pada posisi semula.

Apabila akar sudah terbentuk sempurna, dilakukan reposisi dan immobilisasi

selama 2-3 bulan, dan penggunaan alat orthodonti juda dapat membantu gigi

yang mengalami instrusi dapat kembali keposisi semula.

2. Ekstrusi Gigi dan Luksasi Gigi ke lateral

Pada gigi yang mengalami ekstrusi dan perubahan letak kearah lateral

dilakukan perawatan

reposisi gigi dengan tekanan jari, kemudian immobilisasi gigi selama 2-3

minggu.

Avulsi Gigi

Pada gigi yang mengalami avulsi, dilakukan replantasi gigi dan stabilisasi

gigi. Keberhasilan replantasi gigi pada gigi yang mengalami avulsi ini tergantung

pada lamanya gigi berada diluar soket. Semakin cepat gigi tersebut direplantasi,

maka prognosisnya semakin baik. Andreasen dan Hjorting-Hansen 1

mengemukakan bahwa 90% dari gigi yang direplantasi kurang dari 30 menit

setelah terjadi avulsi gigi, tidak terdapat resorpsi akar pada gigi tersebut. Dan

resorpsi akar terlihat pada 95% gigi yang direplantasi setelah lebih dari 2 jam

mengalami avulsi.

Sebelum melakukan replantasi, gigi tersebut direndam dahulu dalam larutan

garam fisiologis hangat seperti cairan saline untuk mencegah kekeringan dari

serat-serat periodontal. Kemudian gigi tersebut dikeringkan dan setelah saku gusi

dibersihkan dari gumpalan darah replantasi dapat segera dilakukan. Setelah gigi

direplantasi, gigi tersebut distabilisasi dengan splint sistem etsa asam atau splint

akrilik selama 7-10 hari (pada gigi yang apeksnya sudah terbentuk sempurna) dan

3-4 minggu pada gigi yang apeknya belum terbentuk sempurna. Periode stabilisasi

pada kasus cedera dentoalveolar dapat dilihat pada tabel 1. 3

129

Tabel 1. Periode stabilisasi pada cedera dentoalveolar. 3

Cedera Dentoalveolar Durasi Imobilisasi

Gigi yang mobile. 7 – 10 hari

Gigi yang berubah tempat 2 – 3 minggu

Fraktur akar. 2 – 4 bulan.

Replantasi gigi (matur) 7 – 10 hari.

Replantasi gigi (imatur) 3 – 4 minggu.

Sumber : Ellis, 2003, Soft Tissue and Dentoalveolar Injuries.

Menurut Andreasen, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam

melakukan replantasi gigi yang mengalami avulsi,1 yaitu sebagai berikut :

a. Gigi tersebut tidak mempunyai kelainan periodontal.

b. Saku alveolar dapat menyediakan tempat bagi gigi yang direplantasi.

c. Tidak ada pertimbangan untuk melakukan perawatan orthodontik, seperti gigi

yang berjejal.

d. Berapa lama gigi tersebut berada diluar saku alveolar. Gigi yang berada diluar

saku gusi kurang dari 30 menit, merupakan indikasi replantasi yang baik,

sedangkan jika gigi berada diluar saku alveolar lebih dari 2 jam kemungkinan

besar akan terjadi komplikasi yaitu resorpsi dari akar gigi dan gigi menjadi non

vital, kecuali sebelum direplantasi gigi tersebut dirawat endodontik terlebih

dahulu.

e. Tingkat perkembangan akar.

Fraktur Tulang Alveolar 1

Fraktur tulang alveolar biasanya disertai dengan fraktur dari beberapa gigi

sehingga dengan fraktur tulang alveolar ini juga dapat terjadi fraktur mahkota,

fraktur akar dan trauma pada jaringan lunaknya.Maka perawatan yang dilakukan

adalah mengembalikan bagian yang terkena fraktur keposisi semula dan kemudian

dilakukan stabilisasi selama 4 minggu sampai terjadi proses penyembuhan tulang

serta penjahitan gusi yang mengalami laserasi.Pada pasien yang mengalami

130

fraktur tulang alveolar yang parah dilakukan tindakan alveolektomi disertai

ekstraksi gigi yang mengalami trauma.

Gambar 10. Foto panoramic, fraktur dentoalveolar pada maksila (panah).

Displacement segmen alveolar dan mengakibatkan maloklusi 1

Letak Fraktur pada Daerah Edentulous. 5

Bentuk cedera pada daerah tidak bergigi ini tidak terlalu berarti. Jika

mukosa mengalami perlukaan maka sebelum tindakan operatif harus diberikan

antibiotik terlebih dahulu baru kemudian dilakukan debridemen, tulang alveolar

yang lepas dan berukuran kecil dan tidak dapat dipertahankan dibuang dan

dilakukan alveolektomi. Kemudian mukosa gingiva atau rongga mulut diperbaiki

dengan cara melakukan penjahitan.

Cedera jenis ini jika mengenai daerah edentulous maksilla dapat

menyebabkan terjadinya fistula oro-nasal pada daerah premaksilla atau fistula oro-

antral di daerah premolar dan molar.

Finger pressure dapat digunakan untuk menekan fragmen alveolar yang

fraktur ke dalam posisinya yang tepat dan jika pasien menggunakan gigi tiruan

dapat digunakan sebagai alat bantu memfiksasi.

131

Gambar11, Alat Bantu Fiksasi 4

Masalah jangka panjang yang dapat terjadi jika prosesus alveolaris yang

lepas berukuran besar akan mengakibatkan kesulitan saat pembuatan gigi tiruan.

Komplikasi ini memerlukan perawatan pendahuluan sebelum pembuatan protesa

yaitu augmentasi ridge, pendalaman sulcus atau teknik implant.

Letak Fraktur pada Procesus Alveolaris Bergigi. 5

Adanya segmen tulang alveolar yang fraktur dan terdapat gigi permanen

pada fragmennya maka diperlukan tindakan reduksi dan imobilisasi, kecuali gigi

pada fragmen tulang alveolaris memerlukan pencabutan segera. Perawatann ini

dilakukan dengan anestesi lokal dibantu dengan sedasi, seperti diazepam oral atau

intra venous. Prognosis fragmen fraktur dapat ditingkatkan dengan tindakan

imobilisasi, kemudian gigi ditempatkan secara akurat pada posisinya dan juga

membebaskan trauma oklusal dari gigi lawannya. Splinting harus dipertahankan

selama 6 minggu, jika terdapat gigi pada garis fraktur maka harus

dipertimbangkan perawatan lainnya seperti perawatan endodontik diperlukan jika

pulpa mengalami nekrosis. Kadang-kadang pada fraktur dentoalveolar gigi pada

fragmen fraktur tidak mendapat dukungan tulang alveolar terutama pada penderita

usia tua, maka perlu dirujuk kepada ahli periodontologi dengan melakukan

perawatan splinting metoda Von Weissenfluh. Fraktur dentoalveolar pada usia

sangat muda dapat membaik tanpa memerlukan imobilisasi dan cukup dirawat

dengan pemberian diet lunak. Tetapi bagaimanapun jika fragmen alveolar yang

fraktur cukup besar maka tetap diindikasikan untuk pemasangan splint.

132

BAB IV

KESIMPULAN

Cedera pada strktur dentoalveolar dapat diakibatkan oleh trauma secara

langsung mengenai gigi atau trauma tidak langsung, biasanya akibat oklusi yang

menutup dengan cepat dan kuat antara gigi-geligi mandibula ke gigi-geligi

maksilla.

Cedera dentoalveolar seringkali melibatkan regio anterior maksila

Penyebab tersering cedera dentoalveolar adalah kecelakaan lalu lintas, olahraga,

perkelahian dan domestic abuse.Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,

pemeriksaan klinis dan radiologis. Perawatan tergantung pada kasus dan

seringkali melibatkan bidang kedokteran gigi lainnya.

Tujuan perawatan cedera dentoalveolar adalah memperoleh kembali

bentuk dan fungsi normal dari organ pengunyahan.

133

Daftar Pustaka

1. Powers, MP, 1991, Diagnosis and management of Dentoalveolar Injuries, In,

Fonseca RJ, Oral and Maxillofacial Trauma, Volume 1, WB Saunders

Company, Philladelphia.

2. Kaban, LB, 1990, Pediatric Oral and Maxillofacial Surgery, WB Saunders

Company, Philladelphia.

3. Ellis, E III, 2003, Soft Tissue and Dentoalveolar Injuries, In, Peterson,

Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, Third ed., Mosby Year Book

Inc. St. Louis.

4. Schwenzer, N, and Steinhilber, 1982, Appliances for Immobilization, In,

Kruger, E and Schilli, Oral and Maxillofacial Traumatology, Vol. 1,

Quintessence Publishing Co.

5. Sowray, FH, 1994, Localized Injuries of the Teeth and Alveolar Process, In.

Williams, J, Rowe and Williams’ Maxillofacial Injuries, Second Ed. Churchill

Livingstone.

134

Fraktur Mandibula

Retno Widayanti

160121120003

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis

Bedah Mulut Dan Maksilofasial

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Abstrak : Mandibula merupakan bagian tulang yang paling rentan mengalami

fraktur pada trauma fasialis. Hal ini dapat disebabkan karena posisinya yang

menonjol dan merupakan sasaran pukulan dan benturan. Daerah mandibula yang

lemah adalah daerah subkondilar, angulus mandibularis dan daerah mentalis.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur mandibula.

Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan etiologi utama penyebab fraktur

mandibula di dunia. Pada prinsipnya ada dua cara penatalaksanaan fraktur

mandibula, yaitu cara tertutup atau disebut juga perawatan konservatif dan cara

terbuka yang ditempuh dengan cara pembedahan. Pada teknik tertutup imobilisasi

dan reduksi fraktur dicapai dengan penempatan peralatan fiksasi

maksilomandibular. Pada prosedur terbuka bagian yang mengalami fraktur di

buka dengan pembedahan dan segmen fraktur direduksi serta difiksasi secara

langsung dengan menggunakan kawat/plat yang disebut dengan wire atau plate

osteosynthesis. Kedua teknik ini tidak selalu dilakukan tersendiri tetapi kadang-

kadang diaplikasikan bersama atau disebut dengan prosedur kombinasi.

Kata Kunci : fraktur, mandibula, reduksi, fiksasi, Champy Line

135

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula1.

Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula), dapat berakibat fatal bila

tidak ditangani dengan benar2. Mandibula adalah tulang rahang bawah pada

manusia dan berfungsi sebagai tempat menempelnya gigi geligi3. Faktor etiologi

utama terjadinya fraktur mandibula bervariasi berdasarkan lokasi geografis,

namun kecelakaan kendaraan bermotor menjadi penyebab paling umum. Beberapa

penyebab lain berupa kelainan patologis seperti keganasan pada mandibula,

kecelakaan saat kerja dan kecelakaan akibat olahraga4, 2

.

Fraktur mandibula merupakan fraktur kedua tersering pada kerangka

wajah, hal ini disebabkan kondisi mandibula yang terpisah dari kranium.

Diagnosis fraktur mandibula dapat ditunjukkan dengan adanya : rasa sakit,

pembengkaan, nyeri tekan, dan maloklusi5. Patahnya gigi, adanya gap, tidak

ratanya gigi, tidak simetrisnya arcus dentalis, adanya laserasi intra oral, gigi yang

longgar dan krepitasi menunujukkan kemungkinan adanya fraktur mandibula.

Selain hal itu mungkin juga terjadi trismus (nyeri waktu rahang digerakkan)4.

Evaluasi radiografis pada mandibula mencakup foto polos, bila perlu dilakukan

foto waters, CT Scan dan pemeriksaan panoreks4.

Secara khusus penanganan fraktur mandibula dan tulang pada wajah

(maksilofasial) mulai diperkenalkan olah Hipocrates (460-375 SM) dengan

menggunakan panduan oklusi (hubungan yang ideal antara gigi bawah dan gigi-

gigi rahang atas), sebagai dasar pemikiran dan diagnosis fraktur mandibula4. Pada

perkembangan selanjutnya oleh para klinisi menggunakan oklusi sebagai konsep

dasar penanganan fraktur mandibula dan tulang wajah (maksilofasial) terutama

dalam diagnostik dan penatalaksanaannya. Hal ini diikuti dengan perkembangan

teknik fiksasi mulai dari penggunaan pengikat kepala (head bandages), pengikat

rahang atas dan bawah dengan kawat (intermaxilari fixation), serta fiksasi dan

136

imobilisasi fragmen fraktur dengan menggunakan plat tulang (plate and

screw)2,4,5

.

Pada semua manajemen fraktur, tujuan dari perawatannya adalah untuk

mengembalikan fungsi dengan memastikan penyatuan dari segmen tulang dan

mengembalikan kekuatan seperti sebelum cedera, mencegah terjadinya defek

kontur yang dapat timbul, mencegah terjadinya infeksi. Restorasi fungsi

mandibula sebagai bagian dari sistem stomatognati harus mencakup kemampuan

untuk mastikasi yang baik, berbicara dengan normal dan menciptakan pergerakan

artikulasi seperti sebelum terjadinya trauma.

137

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mandibula

Mandibula dibentuk oleh dua bagian simetris yang mengadakan fusi dalam

tahun pertama kehidupan. Tulang ini terdiri dari korpus, yaitu suatu lengkungan

tapal kuda dan sepasang ramus yang pipih dan lebar yang mengarah keatas pada

bagian belakang dari korpus. Pada ujung dari masing-masing ramus didapatkan

dua buah penonjolan disebut prosesus kondiloideus dan prosesus koronoideus.

Prosessus kondiloideus terdiri dari kaput dan kolum. Permukaan luar dari korpus

mandibula pada garis median, didapatkan tonjolan tulang halus yang disebut

simfisis mentum yang merupakan tempat pertemuan embriologis dari dua buah

tulang.

Bagian korpus mandibula membentuk tonjolan disebut prosesus alveolaris

yang mempunyai 16 buah lubang untuk tempat gigi. Bagian bawah korpus

mandibula mempunyai tepi yang lengkung dan halus. Pada pertengahan korpus

mandibula kurang lebih 1 inchi dari simfisis didapatkan foramen mentalis yang

dilalui oleh vasa dan nervus mentalis. Permukaan dalam dari korpus mandibula

cekung dan didapatkan linea milohiodea yang merupakan origo m. Milohioid.

Angulus mandibula adalah pertemuan antara tepi belakang ramus mandibula dan

tepi bawah korpus mandibula. Angulus mandibula terletak subkutan dan mudah

diraba pada 2-3 jari dibawah lobulus aurikularis10

. Secara keseluruhan tulang

mandibula ini berbentuk tapal kuda melebar di belakang, memipih dan meninggi

pada bagian ramus kanan dan kiri sehingga membentuk pilar, ramus membentuk

sudut 1200 terhadap korpus pada orang dewasa. Pada yang lebih muda sudutnya

lebih besar dan ramusnya nampak lebih divergens.

138

Gambar 2.1 Anatomi mandibula10

Dari aspek fungsinya, merupakan gabungan tulang berbentuk L bekerja

untuk mengunyah dengan dominasi (terkuat) m. Temporalis yang berinsersi disisi

medial pada ujung prosesus koronoideus dan m. Masseter yang berinsersi pada

sisi lateral angulus dan ramus mandibula. M. Pterigodeus medial berinsersi pada

sisi medial bawah dari ramus dan angulus mandibula. M masseter bersama m

temporalis merupakan kekuatan untuk menggerakkan mandibula dalam proses

menutup mulut. M pterigoideus lateral berinsersi pada bagian depan kapsul sendi

temporo-mandibular, diskus artikularis berperan untuk membuka mandibula.

Fungsi m pterigoid sangat penting dalam proses penyembuhan pada fraktur

intrakapsuler.

139

Gambar 2.2 Insersi Otot pada Mandibula4

Pada potongan melintang tulang mandibula dewasa level molar II

berbentuk seperti ”U” dengan komposisi korteks dalam dan korteks luar yang

cukup kuat. Ditengahnya ditancapi oleh akar-akar geligi yang terbungkus oleh

tulang kanselus yang membentuk sistem haversian (osteons) diantara dua korteks

tersebut ditengahnya terdapat kanal mandibularis yang dilewati oleh syaraf dan

pembuluh darah yang masuk dari foramen mandibularis dan keluar kedepan

melalui foramen mentalis.

Lebar kanalis mandibula tersebut sekitar 3 mm ( terbesar) dan ketebalan

korteks sisi bukal yang tertipis sekitar 2.7mm sedang pada potongan level gigi

kaninus kanalnya berdiameter sekitar 1mm dengan ketebalan korteks sekitar 2.5-

3mm. Posisis jalur kanalis mandibula ini perlu diingat dan dihindari saat

melakukan instrumentasi waktu reposisi dan memasang fiksasi interna pada

fraktur mandibula11

.

Mandibula mendapat nutrisi dari arteri alveolaris inferior yang merupakan

cabang pertama dari arteri maxillaris yang masuk melalui foramen mandibula

bersama vena dan nervus alveolaris inferior berjalan dalam kanalis alveolaris.

140

Arteri alveolaris inferior memberi nutrisi ke gigi-gigi bawah serta gusi sekitarnya

kemudian di foramen mentalis keluar sebagai a. Mentalis. Sebelum keluar dari

foramen mentalis bercabang menuju incisivus dan berjalan sebelah anterior ke

depan didalam tulang. Arteri mentalis beranastomosis dengan arteri facialis, arteri

submentalis dan arteri labii inferior. Arteri submentalis dan arteri labii inferior

merupakan cabang dari arteri facialis. Arteri mentalis memberi nutrisi ke dagu.

Aliran darah balik dari mandibula melalui vena alveolaris inferior ke vena facialis

posterior. Daerah dagu mengalirkan darah ke vena submentalis, yang selanjutnya

mengalirkan darah ke vena facialis anterior. Vena facialis anterior dan vena

facialis posterior bergabung menjadi vena fascialis communis yang mengalirkan

darah ke vena jugularis interna12

.

Gambar 2.3 Vaskularisasi mandibula12

Gambar 2.4 Inervasi mandibula12

141

2.2 DEFINISI FRAKTUR MANDIBULA

Fraktur didefinisikan sebagai deformitas linear atau terjadinya

diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur dapat terjadi akibat

trauma atau karena proses patologis. Fraktur akibat trauma dapat terjadi akibat

perkelahian, kecelakaan lalulintas, kecelakaan kerja, luka tembak, jatuh ataupun

trauma saat pencabutan gigi. Fraktur patologis dapat terjadi karena kekuatan

tulang berkurang akibat adanya kista, tumor jinak atau ganas rahang, osteogenesis

imperfecta, osteomyelitis, osteomalacia, atrofi tulang secara menyeluruh atau

osteoporosis nekrosis atau metabolic bone disease. Akibat adanya proses

patologis tersebut, fraktur dapat terjadi secara spontan seperti waktu bicara,

makan atau mengunyah13

.

Mandibula merupakan tulang yang kuat, tetapi pada beberapa tempat

dijumpai adanya bagian yang lemah. Daerah korpus mandibula terutama terdiri

dari tulang kortikal yang padat dengan sedikit substansi spongiosa sebagai tempat

lewatnya pembuluh darah dan pembuluh limfe. Daerah yang tipis pada mandibula

adalah angulus dan sub condylus sehingga bagian ini termasuk bagian yang lemah

dari mandibula. Selain itu titik lemah juga didapatkan pada foramen mentale,

angulus mandibula tempat gigi molar III terutama yang erupsinya sedikit, kolum

kondilus mandibula terutama bila trauma dari depan langsung mengenai dagu

maka gayanya akan diteruskan kearah belakang.

Garis fraktur pada mandibula biasa terjadi pada area lemah dari mandibula

tergantung mekanisme trauma yang terjadi. Garis fraktur subkondilar umumnya

dibawah leher prosesus kondiloideus akibat perkelahian dan berbentuk hampir

vertikal. Namun pada kecelakaan lalu lintas garis fraktur terjadi dekat dengan

kaput kondilus, garis fraktur yang terjadi berbentuk oblique. Pada regio angulus

garis fraktur umumnya dibawah atau dibelakang regio mlaor III kearah angulus

mandibula. Pada fraktur corpus mandibula garis fraktur tidak selalu paralel

dengan sumbu gigi, seringkali garis fraktur berbentuk oblique. Garis fraktur

dimulai pada regio alveolar kaninus dan insisivus berjalan oblique ke arah

midline. Pada fraktur mendibula, fragmen yang fraktur mengalami displaced

142

akibat tarikan otot-otot mastikasi, oleh karena itu maka reduksi dan fiksasi pada

fraktur mendibula harus menggunakan splinting untuk melawan tarikan dari otot-

otot mastikasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi displacement fraktur

mandibula antara lain ; arah dan kekuatan trauma, arah dan sudut garis fraktur,

ada atau tidaknya gigi pada fragmen, arah lepasnya otot dan luasnya kerusakan

jaringan lunak.

Pada daerah ramus mandibula jarang terjadi fraktur, karena daerah ini

terfiksasi oleh m masseter pada bagian lateral, dan medial oleh m pterigoideus

medialis. Demikian juga pada prosesus koronoideus yang terfiksasi oleh M.

Masseter.

2.3 ETIOLOGI

Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur mandibula.

Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan etiologi utama penyebab fraktur

mandibula di dunia4. Literatur menyebutkan bahwa 43% fraktur mandibula

disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, 34% disebabkan oleh kekerasan,

7% kecelakaan kerja, 7% akibat terjatuh, 4% pada kecelakaan olahraga dan

sisanya oleh bermacam-macam sebab lainnya. Fraktur pada fasial jauh lebih

banyak terjadi pada mereka yang tidak menggunakan pelindung pada saat

terjadinya kecelakaan14

.

2.4 DISTRIBUSI ANATOMIS

Lokasi fraktur mandibula terbanyak pada kondilus (29,1%), angulus (24,5%),

simfisis dan parasimfisis (22%), korpus mandibula (16%), segmen dento

alveolar (3,1%) ramus (1,7%), dan prosesus koronoideus (1,3%)4. Fraktur

yang terjadi pada korpus, kondilus dan angulus mandibula tidak banyak

berbeda dalam insidensinya dan fraktur ramus serta processus koronoideus

sangat jarang. Beberapa penelitian memperlihatkan etiologi pada lokasi

fraktur. Fridrich dkk memperlihatkan bahwa fraktur akibat kecelakaan

kendaraan bermotor biasanya pada regio kondilus. Pada kecelakaan

pengendara kendaraan roda dua yang terkena adalah daerah simfisis. Pada

143

fraktur yang diakibatkan karena kekerasan biasanya di daerah sudut

mandibula14,15

.

Gambar 2.5 Distribusi anatomis fraktur mandibula15

Mandibula yang mengalami atropi mempunyai kelemahan pada banyak

tempat, tetapi tetap saja regio angulus mandibula dan mentalis yang paling sering

menjadi fraktur. Area fraktur cenderung berbeda pada pasien edentulus, dimana

fraktur korpus mandibula (43,5%), angulus (15,2%), simfisis mandibula (4,3%)15

.

Gambar 2.6 Distribusi fraktur mandibula pada pasien edentulus 15

Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan antara

frekuensi fraktur mandibula dengan daerah anatomi. Fraktur subkondilus banyak

ditemukan pada anak-anak sedangkan fraktur angulus banyak ditemukan pada

remaja dan dewasa muda16

.

144

2.5 KLASIFIKASI

Secara garis besar fraktur mandibula diklasifikasikan dalam tiga kelompok

yaitu berdasarkan jenis fraktur, berdasarkan daerah fraktur dan berdasarkan

penyebab fraktur.

Berdasarkan jenis fraktur16,17

a. Fraktur sederhana. Fraktur yang terjadi tidak mempunyai

hubungan dengan dunia luar dan tidak terjadi dislokasi atau displacement.

Fraktur jenis ini disebut juga fraktur tertutup atau closed fracture.

b. Fraktur greenstick. Fraktur yang tidak seluruh kontinuitas

tulang terputus, tetapi hanya sebagian saja. Fraktur ini merupakan salah

satu tipe fraktur yang sering terjadi pada anak-anak. Hal ini diakibatkan

karena tulang anak-anak masih bersifat lentur, karena tulangnya belum

sepenuhnya terkalsifikasi.

c. Fraktur compound. Fraktur ini mempunyai hubungan antara

tulang yang patah dengan permukaan luar wajah atau dengan rongga

mulut. Hubungan ini dapat terjadi melalui kulit, jaringan mukosa dan

membran periodontal. Fraktur jenis ini disebut juga fraktur terbuka atau

open fracture.

d. Fraktur cominutted. Fraktur dimana tulang terbagi menjadi

beberapa bagian atau fragmen-fragmen kecil. Biasanya fraktur ini terjadi

pada regio simfisis mandibula.

e. Fraktur kompleks. Fraktur yang melukai jaringan lunak baik kulit, mukosa

atau bagian yang berdekatan seperti otot, pembuluh darah dan syaraf.

f. Teleskop atau fraktur impaksi. Fraktur tipe ini jarang terlihat pada

mandibula, tetapi dapat terjadi dimana sisi fragmen terdorong kesisi yang

berlawanan.

g. Fraktur indirect dan direct. Fraktur direct terjadi langsung pada titik

kontak dari trauma sedangkan indirect terjadi jauh dari sisi datangnya

trauma.

145

h. Fraktur patologis. Fraktur yang terjadi pada fungsi normal atau trauma

minimal pada tulang yang mengalami gangguan patologis, seperti kista

atau metastasis tumor.

Gambar 2.7 Tipe fraktur: A. Fraktur sederhana; B. Fraktur compound; C. Fraktur

comminuted; D. Fraktur impaksi pada subkondilus dekstra dan fraktur patologis pada

angulus sinistra; E. Fraktur direct dan indirect15.

Gambar 2.8 Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan tipe frakturnya:

Greenstick (A), Simple (B), Komminuted (C), Kompon (D)17

146

Fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan sebagai fraktur favorable

atau unfavorable, masing-masing dari arah vertikal dan horisontal tergantung pada

otot sekitarnya yang menahan atau memindahkan segment fraktur tersebut. Garis

fraktur favorable horizontal menahan gaya tarikan ke atas, seperti tarikan otot

masseter dan temporalis pada fragmen proksimal. Garis fraktur favorable vertikal

menahan gaya tarikan medial pterygoid medial pada fragmen proksimal18

.

Gambar 2.9 Unfavorable horizontal (kiri) dan favorable (kanan)15

Gambar 2.10 Favorable vertikal (kiri) dan unfavorable (kanan)15

147

Berdasarkan lokasi anatomis, fraktur mandibula dibagi atas15

:

1. Fraktur dentoalveolar

Fraktur yang hanya terjadi pada area penyangga gigi pada mandibula dan

tidak mengganggu kontinuitas struktur tulang dibawahnya.

2. Fraktur simfisis

Fraktur pada regio insisivus yang melalui prosessus alveolaris ke batas

inferior mandibula dalam arah vertikal atau hampir vertikal.

3. Fraktur parasimfisis

Fraktur yang terjadi antara prosesus alveolaris hingga ke batas inferior

batas distal insisivus lateral hingga ke foramen mentalis.

4. Fraktur korpus

Fraktur yang terjadi antara prosesus alveolaris hingga ke batas inferior

regio antara foramen mentalis hingga ke sisi distal dari molar kedua.

5. Fraktur angulus

Fraktur yang terjadi antara prosesus alveolaris hingga ke batas inferior

distal molar kedua hingga ke sudut yang dibentuk oleh korpus dan ramus

madibula.

6. Fraktur ramus

Fraktur horizontal melalui batas anterior dan posterior ramus.

7. Fraktur prosesus kondiloideus

Fraktur yang terjadi dari sigmoid notch ke batas posterior ramus

mandibula sepanjang aspek superior dari ramus mandibula.

8. Fraktur prosessus koronoideur

Menurut Penyebab Terjadinya Fraktur

1. Fraktur traumatik

Trauma langsung (direct),Trauma tersebut langsung mengenai anggota

tubuh penderita.

Trauma tidak langsung (indirect), Terjadi seperti pada penderita yang

jatuh dengan tangan menumpu dan lengan atas-bawah lurus, berakibat

fraktur kaput radii atau klavikula. Gaya tersebut dihantarkan melalui

148

tulang-tulang anggota gerak atas dapat berupa gaya berputar,

pembengkokan (bending) atau kombinasi pembengkokan dengan kompresi

yang berakibat fraktur butterfly, maupun kombinasi gaya berputar,

pembengkokan dan kompresi seperti fraktur oblik dengan garis fraktur

pendek. Fraktur juga dapat terjadi akibat tarikan otot seperti fraktur patela

karena kontraksi quadrisep yang mendadak.

2. Fraktur fatik atau stress

Trauma yang berulang dan kronis pada tulang yang mengakibatkan tulang

menjadi lemah. Contohnya pada fraktur fibula pada olahragawan.

3. Fraktur patologis

Pada tulang telah terjadi proses patologis yang mengakibatkan tulang

tersebut rapuh dan lemah. Biasanya fraktur terjadi spontan

Menurut Hubungan dengan Jaringan Ikat Sekitarnya

1. Fraktur simple/tertutup, disebut juga fraktur tertutup, oleh karena kulit di

sekeliling fraktur sehat dan tidak sobek.

2. Fraktur terbuka, kulit di sekitar fraktur sobek sehingga fragmen tulang

berhubungan dengan dunia luar (bone expose) dan berpotensi untuk menjadi

infeksi. Fraktur terbuka dapat berhubungan dengan ruangan di tubuh yang

tidak steril seperti rongga mulut.

3. Fraktur komplikasi, fraktur tersebut berhubungan dengan kerusakan jaringan

atau struktur lain seperti saraf, pembuluh darah, organ viscera atau sendi.

2.6 PEMERIKSAAN KLINIS

Evaluasi trauma dilakukan secara menyeluruh, yaitu penanganan jalan nafas,

pemeriksaan terhadap pergeseran segmen tulang, traksi manual atau traksi

pada lidah dapat menghindarkan obstruksi jalan nafas. Jika perlu dapat

dilakukan intubasi orotrakhea pada kasus darurat jalan nafas.

Tanda dan gejala terjadinya fraktur adalah adanya maloklusi dihubungkan

dengan riwayat trauma seperti terkena pukulan, kecelakaan atau terjatuh.

Maloklusi dapat berupa gigitan silang, gigitan terbuka dan prematur kontak.

149

Rasa sakit bersifat akut dan dapat diperberat oleh gerakan ringan bagian yang

terluka. Gerakan-gerakan ringan tersebut misalnya waktu berbicara,

mengunyah atau waktu palpasi. Pergerakan abnormal dapat diketahui dengan

pemeriksaan jari tangan atau palpasi bimanual. Bila digerakkan dengan jari

tangan tiap fragmen fraktur akan bergerak sendiri. Pembengkakan atau

oedema tampak pada daerah fraktur yang disebabkan oleh keluarnya darah

dan serum ke jaringan sekitar14,18

.

Pemeriksaan pada rahang saat membuka dan menutup mulut dan

memperhatikan deviasi rahang atau mobiliti yang terbatas. Retraksi pergerakan

tulang merupakan kelainan sekunder yang dapat ditemukan pada fraktur

zigomatikus yang mengalami displacement dan berdampak pada prossesus

koronoideus mandibula17

.

Gambar 2.11 Palpasi bimanual pada mandibula untuk membandingkan struktur

anatomis18

Pemeriksaan intraoral memperlihatkan adanya laserasi atau hematoma.

Sering menunjukkan terpisahnya gigi yang satu dengan yang lain dan terputusnya

kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang mengalami fraktur

150

A B

Gambar 2.12 A. Haematom pada dasar mulut; B. Terputusnya kontinuitas dataran oklusal14

151

2.7 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Apabila pemeriksaan klinis sering dapat memberikan gambaran adanya fraktur

mandibula, maka evaluasi radiologis diperlukan untuk mempertegas hal

tersebut atau memberikan data yang lebih akurat. Evaluasi radiografis

terhadap perluasan pergeseran segmen fraktur, secara umum relatif akurat

kecuali kalau angulasi dan magnifikasi pemotretan tidak baik. Penentuan

terjadinya pergeseran berperan sebagai petunjuk dalam menentukan terapi,

tidak usah dirawat atau dilakukan reduksi terbuka16

.

Pemeriksaan radiologis yang dapat membantu untuk menegakkan diagnosa

fraktur mandibula adalah14

:

a. Panoramik

- Panoramik menyediakan kemampuan untuk melihat seluruh

mandibula dalam satu radiograf.

- Panoramik membutuhkan pasien tegak, dan tidak memiliki

kemampuan melihat secara detail area TMJ, simfisis dan gigi /

daerah proses alveolar.

b. Plain film, termasuk pandangan lateral-obliq, oklusal, posteroanterior, dan

periapikal, dapat membantu.

- Pandangan lateral-obliq membantu mendiagnosis ramus, angel,

fraktur pada corpus posterior. Bagian kondilus, bicuspid dan

daerah simfisis seringkali tidak jelas.

- Tampilan oklusal mandibula menunjukkan perbedaan di posisi

tengah dan lateral fraktur body.

- Tampilan Caldwell posteroanterior menunjukkan setiap

perpindahan medial ataulateral ramus, sudut, tubuh, atau fraktur

simfisis.

c. CT scan juga dapat membantu:

- CT scan juga memungkinkan dokter untuk survei fraktur wajah

daerah lain, termasuk tulang frontal, kompleks naso-ethmoid-

152

orbital, orbit, dan seluruh sistem horizontal dan vertical yang

menopang kraniofasial.

- Rekonstruksi kerangka wajah sering membantu untuk konsep

cedera.

- CT scan juga ideal untuk fraktur condylar, yang sulit untuk

memvisualisasikan

Panoramik

Gambar 2.13 Pencitraan fraktur angulus kanan

dan simphisis kiri mandibula pada panoramik foto13

Gambar 2.14 Gambaran radiologis fr mandibula dan alveolaris 18

154

CT SCAN / (COMPUTERED TOMOGRAFI) SCAN

A B

Gambar 2.18 A. Pencitraan fraktur kondilus kiri dengan perobahan letak fragmen kondilus

proksimal pada CT scan potongan axial; B. Pencitraan fraktur comminuted ramus mandibula

kiri pada CT scan potongan axial19

A B

Gambar 2.19 A. Pencitraan fraktur ramus mandibula kiri pada CT scan direct coronal;

B. Pencitraan fraktur angulus kiri pada CT scan potongan sagital19

3D Imaging

Gambar 2.20 Pencitraan fraktur dengan 3 dimensi 19

155

2.8 TERAPI

Adapun tujuan yang ingin didapatkan pada perawatan fraktur mandibula

adalah18

:

1) Mendapatkan oklusi yang stabil dalam fungsi dan estetik.

2) Memperbaiki pembukaan interinsisal dan pergerakan mandibula.

3) Menciptakan pembukaan mandibula yang maksimal.

4) Meminimalisir deviasi mandibula

5) Menghasilkan artikulasi yang bebas dari rasa sakit pada saat istirahat

dan fungsi

6) Mencegah internal derangement pada TMJ sisi cedera atau sisi yang

berlawanan.

7) Mencegah komplikasi jangka panjang pada gangguan pertumbuhan.

Prinsip dasar umum dalam perawatan fraktur mandibula ialah sebagai

berikut. Evaluasi klinis secara keseluruhan dengan teliti, pemeriksaan klinis

fraktur dilakukan secara benar, kerusakan gigi dievaluasi dan dirawat bersamaan

dengan perawatan fraktur mandibula, mengembalikan oklusi merupakan tujuan

dari perawatan fraktur mandibula. Apabila terjadi fraktur mulitple di wajah,

fraktur mandibula lebih baik dilakukan perawatan terlebih dahulu dengan prinsip

dari dalam keluar, dari bawah keatas. Waktu penggunaan fiksasi intermaksiler

dapat bervariasi tergantung tipe, lokasi, jumlah dan derajat keparahan fraktur

mandibula serta usia dan kesehatan pasien maupun metode yang akan digunakan

untuk reduksi dan imobilisasi. Penggunaan antibiotik untuk kasus compound

fractures, monitor pemberian nutrisi pasca operasi.

Terapi fraktur mandibula secara garis besar dibagi menjadi dua bagian

yaitu dengan metode closed reduction (reduksi tertutup) dan metode open

reduction (reduksi terbuka)

Metode reduksi tertutup adalah suatu tindakan reduksi tertutup tanpa

melalui suatu tindakan pembukaan tulang untuk memudahkan lapang pandang

secara pembedahan. Jenis-jenis reduksi tertutup diantaranya external appliance

seperti head bandage, head gear, head frame plaster of paris, intermaxillary

fixation seperti interdental wiring fixation dan splint fixation.

156

Gambar 2.21 Head bandage16

Tehnik yang digunakan pada terapi fraktur mandibula secara closed

reduction adalah fiksasi intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 3-4 minggu pada

fraktur daerah condylus dan 4-6 minggu pada daerah lain dari mandibula.

Beberapa tehnik fiksasi intermaksilaris ;

a. Tehnik Gilmer ; merupakan tehnik yang mudah dan efektif tetapi

mempunyai kekurangan yaitu mulut tidak dapat dibuka untuk melihat

daerah fraktur tanpa mengangkat kawat. Kawat tersebut dilingkarkan pada

leher gigi, kemudian diputar searah jarum jam sampai tegang. Dilakukan

pada gigi atas dan bawah sampai oklusi baik. Kemudian kedua kawat atas

dan bawah digabungkan dan diputar dengan hubungan vertika maupun

silang, untuk mencegah tergelincir ke anterior dan posterior

157

Gambar 2.22 Tehnik Gilmer19

b. Tehnik eyelet (ivy loop) ; keuntungan tehnik ini bahan mudah didapat dan

sedikit menimbulkan kerusakan jaringan periodontal serta rahang dapat

dibuka dengan hanya mengangkat ikatan intermaksilaris. Kerugiannya

kawat mudah putus waktu digunakan untuk fiksasi intermaksiler

Gambar 2.23 Tehnik eyelet / ivy loop15

c. Tehnik continous loop (stout wiring) ; terdiri dari formasi loop kawat kecil

yang mengelilingi arkus dentis bagian atas dan bawah, dan menggunakan

karet sebagai traksi yang menghubungkannya

d. Tehnik erich arch bar ; indikasi pemasangan arch bar antara lain gigi

kurang/ tidak cukup untuk pemasangan cara lain, disertai fraktur maksila,

158

didapatkan fragmen dentoalveolar pada salah satu ujung rahang yang perlu

direduksi sesuai dengan lengkungan rahang sebelum dipasang fiksasi

intermaksilaris. Keuntungan penggunaan arch bar ialah mudah didapat,

biaya murah, mudah adaptasi dan aplikasinya. Kerugiannya ialah

menyebabkan keradangan pada ginggiva dan jaringan periodontal, tidak

dapat digunakan pada penderita dengan edentulous luas.

e. Tehnik Kazanjian ; dengan menggunakan kawat yang kuat untuk tempat

karet dipasang mengelilingi bagian leher gigi. Tehnik ini untuk gigi yang

hanya sendiri atau insufisiensi pada bagian dari pemasangan arch bar.

A B

Gambar 2.24 A. Essig wire; B. Interdental wiring15

Gambar 2.25 Tehnik Kazanjian15

Indikasi untuk metode reduksi tertutup adalah:18

a) Fraktur menguntungkan tanpa adanya pergeseran tempat (nondisplace

favorable fracture)

159

b) Fraktur comunitted yang luas, karena jika menggunakan open

reduction, dapat mengganggu vaskularisasi fragmen tulang yang kecil

c) Fraktur pada mandibula edentulus (tidak bergigi), karena open

reduction dapat mengganggu vaskularisasi

d) Fraktur mandibula pada anak, penggunaan open reduction dapat

merusak benih gigi atau gigi yang sedang tumbuh

e) Fraktur processus koronoidalis

f) Fraktur kondilus

Keuntungan dari reposisi tertutup adalah lebih efisien, angka komplikasi

lebih rendah dan waktu operasi yang lebih singkat. Tehnik ini dapat dikerjakan di

tingkat poliklinis. Kerugiannya meliputi fiksasi yang lama, gangguan nutrisi

karena adanya MMF, resiko ankilosis TMJ dan problem airway.

Keuntungan dari ORIF antara lain ; mobilisasi lebih dini dan

reaproksimasi fragmen tulang yang lebih baik. Kerugiannya adalah biaya lebih

mahal dan diperlukan ruang operasi dan pembiusan untuk tindakannya.

Dalam menangani fraktur mandibula umumnya digunakan lebih dari satu

modalitas sebab terdapat banyak variasi biomekanik dan problem klinis untuk

mencapai mobilitas fiksasi di regio fraktur. Ada 5 metode yang umum digunakan

yaitu dengan biocortical transfacial compression plates pada bagian inferior

dengan atau tanpa tension band plate, monocortical transoral miniplates pada

bagian superior, paired miniplates, lag screws dan noncompression stabilization

plates pada bagian inferior. Hasil yang didapatkan dari pemakaian monocortical

osteosynthesis adalah tercapainya netralisasi kekuatan tensi dan kompresi serta

rotasi pada garis fraktur sehingga diperoleh reduksi anatomis yang fisiologis,

kompresi pada fragmen fraktur dan imobilisasi yang rigid serta perbaikan

kekuatan self kompresi fisiologis.

Pada angulus mandibula, plat paling baik diletakkan pada permukaan yang

paling luas dan setinggi mungkin di daerah linea oblique eksterna. Pada regio

anterior, diantara kedua foramen mentalis, disamping plat subapikal perlu juga

ditambahkan plat lain di dekat batas bawah mandibula untuk menetralkan

160

kekuatan rotasi pada daerah simfisis tersebut. Pada daerah di belakang foramen

mentalis sampai mendekati daerah angulus cukup digunakan satu plat yang

dipasang tepat dibawah akar gigi dan diatas nervus alveolaris inferior.

Penempatan plat didaerah sepanjang tension trajectory ternyata juga

menghasilkan suatu fiksasi yang paling stabil bila ditinjau dari prinsip

biomekaniknya.

Pada bagian mandibula yang bergigi, archbar sudah cukup berfungsi

menetralkan kekuatan tension, sedangkan pada daerah angulus dan ramus

mandibula fungis tersebut baru bisa didapatkan dengan menggunakan plat yang

kecil.

Fraktur pada daerah angulus mandibula merupakan problem khusus pada

perawatan dengan menggunakan rigid internal fixation. Angulus merupakan

bagian yang sulit dicapai lewat intraoral karena adanya otot-otot pengunyah dan

otot-otot daerah suprahyoid. Batas inferior dari angulus sangat tipis dan tidak

mungkin dilakukan suatu kompresi. Adanya gigi molar 3 menyebabkan fraktur

mudah terjadi, distraksi dari kontak tulang menghambat reduksi dan vaskular dari

sisi fraktur dan dapat menjadi sumber infeksi. Penggunaan rigid internal fixation

untuk mencegah hilangnya kontrol segmen proksimal, delayed union dan

malunion yang dapat terjadi bila digunakan terapi lain.

Metode reduksi terbuka adalah suatu tindakan reduksi dengan cara

pembedahan untuk memudahkan lapang pandang. Jenis-jenis dari metode terbuka

contohnya interosseus wiring dan fiksasi dengan bone plate and screw.

Indikasi reduksi terbuka adalah19

:

Fraktur yang tidak menguntungkan pada sudut mandibula

Fraktur ini diindikasikan untuk reduksi terbuka bila fragmen proksimal

berubah tempat ke arah posterior atau median dan reduksi tidak dapat

dipertahankan tanpa intraosseus wiring, skrew dan plat.

Fraktur yang tidak menguntungkan pada bodi mandibula atau

daerah para simpisis mandibula

Otot mylohyoid, digastrikus, geniohyoid dan genioglosus dapat

menyebabkan perpindahan fragmen lebih jauh. Ketika dilakukan

161

perawatan reduksi terbuka, fraktur parasimpisis cenderung membuka

pada border inferior, dengan aspek dari segmen mandibula berputar ke

arah median pada titik fiksasi. Dengan rotasi medial dari body

mandibula, cusp lingual seluruh premolar dan molar bergerak keluar

dari kontak oklusal. Kalau konstriksi ini tidak diperbaiki, akan terjadi

inefisiensi pengunyahan dan perubahan periodontal yang buruk .

Gambar 2.26 Fraktur menguntungkan dan tidak menguntungkan19

Fraktur multipel pada tulang wajah

Pada kasus ini perawatan reduksi terbuka dari segmen mandibula

membuktikan perbaikan yang stabil

Fraktur setengah wajah dan fraktur kondilus bilateral

Pada fraktur ini salah satu kondilus yang fraktur harus dirawat dengan

reduksi terbuka untuk mempertahankan dimensi vertikal wajah. Kalau

prosedur ini tidak menyelesaikan masalah tipe wiring apapun, seperti

dari sutura frontozygomatikus ke daerah mandibula, cenderung gagal

dan memaksa fraktur setengah wajah berhimpitan dengan kondilus

yang menyebabkan profil wajah menjadi lebih pendek.

Fraktur edentolous mandibula dengan perpindahan yang hebat

fragmen fraktur

Pada fraktur ini reduksi terbuka dianggap bisa membuat kembali

kontinuitas mandibula. Tehnik ini berguna terutama pada mandibula

yang nonatropic pada saat tidak ada gigi tiruan, sehingga oklusinya

tidak menjadi pertimbangan langsung. Pada situasi ini memberikan

162

plat pada mandibula tanpa intermaxilary fixation merupakan

kemungkinan yang kuat. Ketika mandibulamenjadi atropik secara

ekstrim, harus dipertimbangkan status dari suplai darah ke tulang dan

efek dari prosedur reduksi terbuka pada kompromi vaskularisasi.

Pencangkokkan tulang harus dipeertimbangkan pada fraktur mandibula

yang mengalami atropic secara ekstrim.

Edontolous maksila dengan Fraktur mandibula

Adanya fraktur mandibula dengan edentolous maxila merupakan

kesulitan untuk dilakukan intermaxilary fixation, maka harus

dilakukan metode open reduction. Metode ini dengan fiksasi rigid

dengan fraktur mandibula akan menggantikan kebutuhan intermaxilary

fiksation. Jika diperlukan close reduction maka perlu adanya prostetik

pada maxilla, dan dapat distabilkan dengan palatal screw atau circum

zygomatic wires.

Perawatan yang tertunda dan Interposisi jaringan lunak antara

fragmen fraktur yang tidak kontak

Ketika perawatan tertunda dan jaringan lunak ada diantara fragmen

fraktur maka diperlukan metode open reduction. Alasan ditundanya

perawatan karena adanya luka kepala atau adanya masalah medis yang

serius, sehingga terjadi jaringan penghubung antara fragmen fraktur

yang menghambat osteogenesis.

Malunion

Ketika hasil perawatan fraktur mandibula yang buruk, berbagai tipe

osteotomi diperlukan untuk memperbaiki kekurangannya.

Kondisi sistemik tertentu yang merupakan kontraindikasi

intermaxillary fixation

Pada situasi dimana mandibula harus tetap bergerak, contohnya pada

pasien yang mengalami kesulitan mengontrol akibat serangan yang

tiba-tiba atau epilepsi, masalah psikiatrik dan neurologik, fungsi paru

yang harus dikompromikan, dan kelainan gastrointestinal.

Fraktur yang membutuhkan osteotomy/ Orthognathi Surgery

163

Fraktur yang membutuhkan bone graft.

Ada banyak metode perawatan fraktur mandibula dengan reduksi terbuka

diantaranya12,20

:

Pendekatan Bedah

Sebelum melakukan operasi pada fraktur mandibula, operator harus

memperhatikan sudut mulut pada lapangan operasi untuk memonitor aktifitas

nervous facialis dan untuk meyakinkan anestesiologist tidak membuat pasien

paralisis dalam waktu yang lama.

Faktor yang harus diperhatikan adalah isolasi fraktur, garis wajah dan

posisi nervous. Pendekatan bedah sendiri antara lain (Gambar 3) :

- Pendekatan submandibular

- Pendekatan retromandibular

- Pendekatan preauricular

Gambar 2.27 Insisi submandibular dan preauricular19

Pendekatan Submandibular

Pendekatan ini dikenalkan tahun 1934 oleh Risdon. Panjang incisi 4 cm

sampai 5 cm, 2 cm dibawah angulus mandibularis. Incisi kulit harus diletakkan

pada lipatan kulit untuk menghindari jaringan parut dan dibuat pada sudut yang

tepat. Lemak subkutan dan superficial fascia dipisahkan untuk mencapai

muskulus platymus. Lalu muskulus platymus dipotong untuk mencapai lapisan

superficialis pada bagian dalam fascia cervicalis, cabang mandibula marginal dan

nervus facialis terletak pada lapisan ini, sehingga sangat penting untuk diketahui.

164

Baik anterior atau posterior arteri facialis, seluruh cabangnya berinervasi

pada depressor bibir bawah, bagian belakang batas inferior dari mandibula.

Pemisahan ke tulang melewati fascia cervicalis yang dalam dengan menggunakan

nerve stimulator. Pemotongan dilanjutkan antara fascia sampai kebatas inferior

mandibula. Kelenjar submandibular dan capsulnya, akan menjadi bukti dan kutub

paling bawah dari parotis dapat ditemukan. Pemotongan dilanjutkan pada

muskulus masseter dan bagian atas nervus diretraksi. Setelah otot dilewati lalu

dipisahkan pada batas inferior untuk melihat tulang. Otot, periosteum dan jaringan

lunak dipisahkan untuk jalan melihat body, ramus, dan sisi fraktur. Jika pembuluh

darah facialis tidak dapat ditarik sempurna dapat dipisahkan dan diikat.

Submandibular nodus lympaticus dapat diidentifikasi berdekatan dengan

pembuluh darah facial. Pembukaan dapat dikurangi dan penutupan dapat

diperbaiki dengan penarikan pterygoid medialis dan ligament stylomandibular

dari batas interior dan posterior. Pembukaan lebih jauh dapat dicapai dengan

menarik sudut dan batas inferior dengan kawat atau forcep tulang. Kelenjar

submandibularis dan kapsulnya biasanya berlokasi dibagian batas inferior dari

mandibula. Kelenjar parotis biasanya di posterior ramus tetapi bisa terletak

mengelilingi sudut inferior. Kapsul keduanya harus dipisahkan selama

pemisahan. Kerusakan kelenjar dapat menyebabkan Sin loceles atau fistula

salivarius.

Pendekatan Retromandibular

Hinds dan Birroti pertama kali menerangkan pendekatan lekatan

retromandibular pada tahun 1967. Pada dasarnya pendekatan ini merupakan

variasi dari pendekatan submandibular kecuali incisinya kurang lebih 3 cm, diatas

incisi submandibular (Gambar 2.28)19

. Incisinya juga digambarkan mengikuti

sudut mandibula. Incisinya dibuat untuk memasuki parotis, masseter dan fascia

cervicalis bagian dalam. Pemisahan lalu meluas ke anterior, melalui fascia

cervicalis yang lebih dalam dengan menggunakan stimulus otot. Insisi ketulang

melewati muskulus masseter biasanya diantara margin mandibular dan cabang

buccal dari nervus facialis. Otot dan perios diinsisi melewati sudut termasuk

165

batas inferior. Jaringan lunak dan nervus kemudian ditarik ke superior. Incisi ini

memperlihatkan akses superior dari ramus dan regio subkondilus mandibula.

Gambar 2.28 Insisi retromandibular19

Pendekatan Preauricular

Insisi ini digunakan untuk melihat daerah TMJ dan dengan mudah

diperluas melewati daerah temporal. Pada insisi ini ditemukan pembuluh darah

temporalis superfisialis, yang dapat dihindari dengan menginsisi sepanjang

cartilago preauricular. Insisi dibuat kira-kira sepanjang 2,5 - 3.5 cm pada daerah

lipatan preauricular. Lipatan preauricular didapat dengan menekan telinga dan

tragus ke depan. Insisi dibuat 45 ° pada zygoma dari arah superior telinga ke arah

inferior perlekatan antara dagu dan telinga (Gambar 2.29).

Gambar 2.29 Macam-macam Insisi untuk daerah TMJ19

166

Akses Intra Oral

Simpisis dan Parasimpisis

Perawatan fraktur anterior mandibula dapat melalui incisi intraoral.

Pertama dilakukan anestesi dengan lokal anestesi dan vasokonstriktor. Bibir

ditarik dan dibuat insisi curvilinear tegak lurus permukaan mukosa. Musculus

mentalis terlihat dan harus diinsisi tegak lurus dengan tulang meninggalkan flap

dari perlekatan otot ke tulang untuk penutupan (Gambar 6).

Gambar 2.30 Akses Intra oral pada fraktur parasimpisis19

Pemotongan diteruskan ke arah subperiosteal untuk mengidentifikasikan

mental neurovascular borde dibawah premolar kedua maka daerah fraktur terlihat.

Setelah selesai perawatan fraktur muskulus mentalis dijahit dengan jahitan

terputus. Mukosa lalu ditutup, dan penggunaan adhesif bandage pada dagu untuk

mendukung musculus mentalis.

Body, Sudut dan Ramus

Setelah dilakukan anestesi, dagu ditarik ka arah lateral. Mukosa diinsisi

dengan pisau tegak lurus terhadap tulang untuk menjauhi nervus mentalis. Insisi

dibuat kurang lebih 5 mm dari mukogingival junction untuk mendapatkan

stabilitas jaringan ketika penutupan. Bagian proksimal dari insisi harus

disepanjang external oblique ridge, setinggi oklusal plane mandibula.

167

Internal fiksasi

Untuk Pasien fraktur yang hanya mengalami fraktur yang sederhana serta

masih terdapat gigi dan oklusi yang baik, tehnik close reduction dengan fiksasi

maxillamandibular sudah cukup untuk treatment frakturnya. Untuk fraktur

multipel dan fraktur dengan pergerakan yang berat maka diperlukan penggunaan

internal fiksasi yang dikombinasikan dengan fiksasi maksilomandibular.

Gambar 2.31 Interosseus wiring15

Transosseus wiring fixation20

Metode tradisional untuk stabilisasi tulang setelah dilakukan open

reduction dengan menggunakan kawat untuk mengikat dan mengimobilisasi

tulang (Gambar 2.32). Bahan yang diperlukan adalah:

- periosteotome

- bone rongeur

- mallet, chisel, cutting wire

- bone forceps, pistol drill, key dan drill point

- stainless stell wire, 24 dan 30

Pembuatan lubang menggunakan bor berkecepatan rendah pada awalnya

lalu kecepatan makin meningkat, sambil diberikan larutan normal salin. Setelah

itu baru kawat bisa diinsersikan.

168

Gambar 2.32 Parameter pembuatan lubang dan pengikatan20

Hal yang harus diperhatikan pada penempatan penempatan lubang adalah :

a. Jarak garis fraktur pada outer cortex

b. Jarak ke batas bawah

c. Jarak garis fraktur pada inner cortex

d. Kedekatan lubang dengan kanalis mandibularis, foramen mentalis

dan akar gigi

e. Ukuran dari lubang

f. Orientasi dari bidang fraktur ke panjang tulang

Teknik pemasukkan kawat pada fraktur :

1. Kawat langsung dimasukkan ke dalam lubang yang telah dibor

2. Kawat dimasukkan melewati hipodermic needle

3. Dengan membuat kawat seperti hairpin loop

Gambar 2.33 Teknik pemasukkan kawat20

169

Gambar 2.34 Pelindungan jaringan pada pembuatan lubang20

Gambar 2.34 Teknik simple wiring; B. Figure-of-eight wire;

C. Transosseus circum-mandibular wire 15

Fiksasi dengan Bone Plate dan Screw

Metode ini menggunakan bone plate dan bone screw untuk menyatukan

fragmen fraktur, maka fragmen fraktur akan lebih stabil dan kaku selama

penyembuhan. Walaupun menggunakan menggunakan fiksasi yang kaku

diperlukan adanya penyesuaian oklusi terlebih dahulu sebelum dilakukan fiksasi.

Plate dipasang melintang melewati garis fraktur. Jenis plate yang

digunakan bermacam-macam ada yang yang lurus dengan beberapa lubang untuk

dimasukkan screw (Gambar 11), ada juga yang membulat sehingga dapat

dipasang pada margo inferior mandibula (Luhr Mandibular Plate) Gambar 2.3517

.

170

Gambar 2.35 Luhr's Mandibular Plate17

Gambar 2.36 Penggunaan Plate dan Screw berdasarkan Champy Line 17

A B

Gambar 2.37 A. Fraktur korpus mandibula; B. Fiksasi dengan plate dan screw15

Gambar 2.38 Plat & Lag Screw17

171

Gambar 2.39 Fiksasi Intermaksiler17

Kontraindikasi penggunaan MMF ; penderita epilepsy, gangguan jiwa dan

gangguan fungsi paru.

Tolak ukur keberhasilan operasi pemasangan plat mini maupun IOID

wiring pada mandibula adalah oklusi yang baik, tidak trismus. Jangan tergesa

melakukan fiksasi sebelum yakin oklusinya sudah sempurna. Posisi plat jangan

terlalu tinggi karena sekrup akan menembus saraf/akar gigi. Permukaan tulang

bersih dari jaringan ikat dan jaringan lunak sehingga plat betul-betul menempel

pada tulang mandibula. Untuk penggunaan bor, sebaiknya arah matabor

tangensial, stabil dan arah obeng juga sesuai dengan arah bor sebelumnya.

Gunakan mata bor diameter 1.5mm dengan kecepatan rendah menembus 1

korteks dikukur kedalamannya kemudian dipasang sekrup yang panjangnya sesuai

dengan tebal satu korteks.Pemasangan sekrup dimulai dari satu sisi terlebih

dahulu kemudian menyebrang menyilang pada sisi plat satunya.

Secara umum lamanya penggunaan IMF untuk orang dewasa dengan

fraktur mandibula adalah 6-8 minggu. Namun, lamanya penggunaan IMF ini

bukan tanpa konsekuensi. Sering pasien berlanjut untuk kehilangan berat badan

172

selama masa ini, mereka tidak mampu untuk kembali bekerja dan ada beberapa

bukti yang menunjukkan adanya perubahan histologis pada TMJ. Juniper dan

Awty mampu menunjukkan 80% fraktur mandibula yang dirawat dengan open

reduction atau closed reduction dan IMF secara klinis menyatu dalam 4 minggu.

Terlihat bahwa kasus pada tiap individu harus dievaluasi secara seksama,

kebanyakan fraktur sederhana pada anak-anak menyatu dalam 2-3 minggu, pada

orang dewasa 3-4 minggu dan pada pasien yang lebih tua 6-8 minggu.

Situasi yang secara umum membutuhkan IMF yang lebih lama: fraktur

comminuted, fraktur pada alkoholik, pasien dengan problem nutrisi, pasien cacat

secara psikososial, fraktur yang terlambat dirawat, dan fraktur dengan pencabutan

gigi pada garis fraktur16

.

173

BAB III

FRAKTUR KONDILUS MANDIBULA

( Fraktur TMJ )

Fraktur kondilus merupakan salah satu fraktur yang melibatkan sendi

temporomandibula sehingga dapat menyebabkan gangguan sendi

temporomandibula. Komplikasi yang sering terjadi akibat fraktur kondilus adalah

ankylosis dan gangguan sendi temporomandibula 8,19,21,22,23

.

Penatalaksanaan fraktur kondilus memerlukan perhatian khusus dan dapat

dilakukan dengan metode tertutup atau konservatif dan terbuka atau bedah 8,19,24

.

Etiologi

Data yang diambil dari etiologi terjadinya fraktur kondilus mandibula

adalah sebagai berikut 8:

Kecelakaan kendaraan bermotor : 43%

Penyerangan/perkelahian : 34%

Kecelakaan kerja : 7%

Jatuh : 7%

Kecelakaan olah raga : 4%

Penyebab lainnya : 5%

Persentase terjadinya fraktur kondilus mandibula dibandingkan dengan

lokasi lainnya pada mandibula sebagai berikut 19

:

Body mandibula : 29%

Kondilus mandibula : 26%

Angle mandibula : 25%

Simfisis mandibula : 17%

Ramus mandibula : 4%

Prosesus koronoideus : 1%

174

Diagnosa dan gejala klinis

Jenis dan arah kekuatan trauma sangat membantu diagnosa. Obyek yang

menyebabkan fraktur juga mempengaruhi jenis dan banyaknya fraktur, apabila

obyeknya besar maka dapat menyebabkan fraktur lebih dari satu lokasi dan

sebaliknya bila kecil akan menyebabkan satu jenis fraktur karena kekuatan

impaknya hanya terkonsentrasi pada satu lokasi 19

.

Pengetahuan arah kekuatan impak dapat membantu klinisi mendiagnosa

fraktur dengan tepat. Blow anterior yang langsung mengenai dagu dapt

menghasilkan suatu fraktur kondilus bilateral, sedangkan blow ke arah

parasimfisis dapat menyebabkan fraktur kondilus kontralateral atau angle

mandibula. Seorang penderita dengan gigi-gigi yang terkunci pada saat terjadinya

impak akan menyebabkan terjadinya suatu fraktur alveolar atau gigi 19

.

Gambar 3.1. Gigitan terbuka pada fraktur kondilus25

Semua perubahan oklusi merupakan tanda adanya fraktur kondilus

mandibula. Pada pemeriksaan klinis harus ditanyakan pada penderita apakah

gigitannya terasa berbeda. Perubahan oklusi dapat dihasilkan dari fraktur gigi,

fraktur alveolar, fraktur mandibula pada semua lokasi dan trauma pada sendi

temporomandibula serta otot-otot pengunyahan. Kontak prematur gigi posterior

atau gigitan terbuka anterior dapat disebabkan fraktur kondilus bilateral atau

angle. Oklusi retrognatik biasanya berhubungan dengan fraktur kondilus atau

angle dan oklusi prognatik dapat terjadi pada sangat menonjol pada fraktur sendi

temporomandibula. Semua contoh tersebut hanya beberapa disharmoni oklusi

multiple yang muncul akan tetapi setiap perubahan oklusi harus dipertimbangkan

sebagai tanda awal suatu fraktur kondilus mandibula19

. Setiap penderita dengan

175

fraktur kondilus mandibula mempunyai keterbatasan pembukaan. Meskipun

demikian fraktur kondilus mandibula yang sesungguhnya atau berhubungan

dengan fraktur fasial menghasilkan pergerakan mandibula abnormal. Deviasi pada

saat pembukaan ke arah sisi fraktur kondilus mandibula merupakan contoh klasik

tanda fraktur kondilus. Deviasi terjadi karena otot pterygoideus lateralis yang

berfungsi pada sisi yang tidak terpengaruh tidak dinetralkan oleh otot

pterygoideus lateralisnya yang tidak berfungsi sisi berlawanan, maka terjadilah

suatu deviasi. Pergerakan mandibula lateral dapat dihambat oleh fraktur kondilus

dan fraktur ramus dengan pergeseran tulang19

.

Gambar3.2. Kiri: pergerakan normal mandibula. Kanan: pergerakan abnormal mandibula25

Gambar 3.3. Kiri: deviasi mandibula ke arah fraktur.

Kanan: efek tarikan otot pada fraktur kondilus25

176

Pada pemeriksaan klinis sebaiknya memeriksa wajah dan mandibula

dengan kontur yang abnormal, meskipun pada kontur fasial mungkin tertutupi

pembengkakan. Gambaran wajah yang memanjang diakibatkan fraktur

subkondilus, angle atau body, diikuti dengan mandibula bergeser ke bawah.

Asimetri wajah sebaiknya diperhatikan klinisi terhadap kemungkinan fraktur

kondilus mandibula.

Pemeriksaan mendalam terhadap kehilangan gigi dan tulang pendukung

dapat membantu diagnosa fraktur alveolar, body dan simfisis. Klinisi sebaiknya

melakukan palpasi dengan menggunakan kedua tangannya, dengan cara

meletakkan ibu jari pada gigi dan telunjuk pada batas bawah mandibula secara

hati-hati dan perlahan-lahan memberikan tekanan diantara kedua tangan hingga

dapat mendeteksi krepitasi fraktur19

.

Rasa sakit, kemerahan, pembengkakan dan panas yang terlokalisir

merupakan tanda yang awal yang sempurna suatu trauma dan meningkatkan

indeks kecurigaan adanya fraktur mandibula19

.

Pemeriksaan Radiologis

Penetapan diagnosis dari fraktur kondilus dapat ditegakkan dar

pemeriksaan radiologis yang sering digunakan sebagai dasar penegakan diagnosis.

Untuk melihat fraktur kondilus dapat dilakukan pemeriksaan radiolog

dengan cara: panoramik, lateral oblique mandibula, towne’s view, posteroanterior

mandibula dan transkranial mandibula. Teknik pencitraan yang lebih jauh adalah

CT scan dan MRI digunakan untuk trauma yang lebih kompleks dari kondilus26,27

.

Klasifikasi

Menurut De Riu (2001) klasifikasi fraktur kondilus disesuaikan dengan

lokasi anatomi (intrakapsuler dan ekstrakapsuler) dan derajat dislokasi kepala

artikuler. Klasifikasi fraktur kondilus menurut Lindahl (1977) didasarkan pada

beberapa faktor, yaitu: (1) lokasi anatomis fraktur, (2) relasi segmen kondilus

terhadap segmen mandibula, (3) relasi kepala kondilus terhadap fossa glenoideus.

177

Sistim klasifikasi ini memerlukan pencitraan radiografik yang diperoleh sekurang-

kurangnya dua gambar dari sudut yang tepat26

.

1. Ketinggian fraktur kondilus

a. Kepala kondilus. Meskipun sangat sulit mendefinisikan dengan tepat

kepala kondilus secara radiografik, akan tetapi sangat mudah untuk

melihat penyempitan leher kondilus dan kepala kondilus bersandar di

atasnya. Fraktur kondilus, melihat definisinya, merupakan fraktur

intrakapsular karena kapsul melekat pada leher kondilus. Fraktur ini

mungkin digolongkan sebagai fraktur vertikal.

b. Leher kondilus. Leher kondilus merupakan daerah penyempitan tipis

di bawah kepala kondilus. Fraktur ini merupakan fraktur

ekstrakapsular.

c. Subkondilus. Regio ini terdapat di bawah leher kondilus dan

memenjang dari titik terdalam sigmoid notch anterior hingga titik

terdalam aspek konkaf poterior ramus mandibula. Berdasarkan lokasi

fraktur maka fraktur ini sering disebut sebagai fraktur subkondilus

”tinggi” atau “rendah”.

2. Relasi segmen kondilus terhadap fragmen mandibula

a. Nondisplaced

b. Deviated. Pada fraktur ini, fragmen tetap dalam kontak tanpa separasi

atau

overlap

c. Displacement ke arah medial atau overlap lateral. Tarikan muskulus

pterygoideus lateral menyebabkan fragmen bergeser ke arah medial

d. Displacement ke arah anterior atau overlap posterior

e.Tidak ada kontak antara fraktur segmen

3. Relasi antara kepala kondilus dan fossa glenoideus

a. Nondisplaced. Kepala kondilus mempunyai relasi normal terhadap

fossa glenoid

178

b. Displacement. Kepala kondilus tertinggal dalam fossa, tetapi ada

gangguan sendi

c. Dislokasi. Adanya tarikan muskulus pterygoideus lateralis

menyebabkan segmen kondilus terletak anteromedial.

Gambar 3.4 Klasifikasi menurut Lindahl19

Perawatan

Perawatan fraktur kondilus mandibula masih kontroversial, terutama

disebabkan banyaknya modalitas yang ditawarkan oleh berbagai macam literatur.

Tujuan perawatan fraktur kondilus adalah mengembalikan fungsi sistim

pengunyahan seperti asalnya, rekonstruksi tersebut melibatkan hubungan antara

segmen fraktur, oklusi, keseimbangan maksilofasial. Perawatan fraktur kondilus

dapat dilakukan dengan cara konservatif atau metode tertutup dan bedah atau

metode terbuka 8,19,21,28

.

Metode tertutup atau konservatif

Fonseca (1997) menyatakan bahwa komplikasi selama perawatan

konservatif sangat jarang terjadi. Indikasi perawatan fraktur kondilus dengan

konservatif bila displacement yang terjadi minimal atau tidak ada atau bila garis

fraktur terlalu tinggi sehingga sulit dilakukan stabilisasi secara bedah21

. Perawatan

fraktur kondilus dengan cara konservatif sangat sederhana. Pengawasan yang

ketat wajib dilakukan untuk melihat ketidakstabilan oklusi, deviasi pad saat

pembukaan, peningkatan rasa nyeri, evaluasi klinis dan radiografi. Immobilisasi

melibatkan intermaxillary fixation (IMF) dengan menggunakan arch bar, eyelet

179

wires atau splint. Lamanya immobilisasi rata-rata sekitar 7 hingga 21 hari. Periode

ini dapat meningkat atau menurun tergantung pada umur penderita, derajat

pergeseran dan danya fraktur tambahan. Apabila intermaxillary fixation telah

dilepas maka diikuti dengan penggunaan elastic guidance untuk mengarahkan

mandibula pada posisi maximal intercuspation. Selanjutnya bila penderita telah

mempunyai kemampuan fungsional kembali dan oklusi tetap stabil serta rasa sakit

minimal maka elastic guidance dan arch bar dilepas19,8

.

Gambar 3.5 Pemakaian arch bar dan splint pada fraktur kondilus19

Metode terbuka atau bedah

Perawatan dengan metode terbuka diindikasikan bila 19,21,8,23

:

Displacement kondilus ke dalam fossa cranial media

Oklusi yang adekuat tidak mungkin didapatkan dengan metode

tertutup

Dislokasi kondilus ekstrakapsular lateral

Fraktur kondilus bilateral pada pasien tidak bergigi

Fraktur kondilus bilateral atau unilateral bila splinting tidak

direkomendasikan karena keadaan umum pasien atau karena

fisioterapi tidak memungkinkan.

Fraktur kondilus bilateral akibat fraktur wajah tengah comminuted

Ankylosis kondilus mandibula akibat trauma dan tertunda

perawatannya

180

Tiga teknik yang terpisah untuk fiksasi rigid pada perawatan fraktur

kondilus dengan metode terbuka, yaitu: (1) sistim bikortikal Luhr dengan

penggunaan plat vitallium, (2) sistim Arbeitgemeinschaff fur

Osteosynthesefragen/sistim Association for the Study for Internal Fixation

(AO/ASIF) dengan penggunaan stainless steel compression atau plat rekonstruksi

dengan bicortical screws dan (3) Teknik Champy miniplate digunakan sepanjang”

line of ideal osteosynthesis” memakai moncortical screws8.

Pemakaian IMF dilakukan selama 3 minggu, ikatan diperkuat tiap minggu,

setelah wires dilepas, dilakukan penilaian status sendi temporomandibula

terutama jarak pembukaan, pergerakan mandibula dan gejala-gejala yang timbul

selama sendi berfungsi. Apabila oklusi belum stabil maka penggunaan elastic

guidance selama 2-3 minggu sangat dianjurkan agar adaptasi neuromuscular

dapat tercapai. Apabila oklusi telah stabil maka elastic guidance dapat dilepas dan

fisioterapi dilakukan dengan penempatan tongue-blade diantara insisif sentral

untuk mencegah keterbatasan permanen ankylosis8,19

.

Gambar 3.6. Pemakaian monocortical screws19

Kondilektomi merupakan salah satu teknik untuk membebaskan ankylosis

dan tetap mempertahankan arsitektur sendi temporomandibula. Metode tersebut

telah banyak menunjukkan keberhasilan dan jarang menimbulkan reankylosis.

181

Fiksasi intermaksiler diaplikasikan dalam periode yang pendek, diikuti dengan

pengawasan yang ketat serta perawatan fisioterapi selama setahun19

.

Metode pendekatan yang sering digunakan untuk melakukan

kondilektomi, yaitu pre auricular approach, endaural approach, inverted

“hockey stick” approach, Risdon approach, post auricular approach8.

182

Gambar 3.7 Metode pendekatan bedah pada kondilektomi19

Gambar 3.8 Pre auricular approach26

Gambar 3.9 Post auricular dan Risdon approach26

Komplikasi

Komplikasi fraktur kondilus mandibula selama perawatan jarang terjadi

dan yang paling sering terjadi 19,21,22,8,24

:

Maloklusi

Maloklusi yang sering terjadi setelah trauma kondilus dapat disebabkan

karena perubahan dari pusat pertumbuhan kondilus dan penyatuan dari segmen

fraktur pada posisi yang tidak seharusnya.

183

Ankylosis sendi temporomandibula

Ankylosis dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat keterbatasan, lokasi

perlekatan dan tipe jaringan yang terlibat. Faktor-faktor ini berpengaruh pada

pendekatan penatalaksanaan yang akan dilakukan. Hasil akhir kelainan tersebut

akan menyebabkan keterbatasan pergerakan mandibula sehingga terjadi gangguan

bicara, kesehatan mulut dan nutrisi. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya

ankylosis adalah umur pada saat terjadi injuri, tempat dan tipe fraktur, lamanya

immobilisasi dan kerusakan diskus. Deviasi ke sisi fraktur dapat terjadi pada

unilateral, sedangkan pada bilateral ankylosis menunjukkan adanya gigitan

terbuka anterior dan hampir pembukaan mulut hampir tidak ada19,21

.

Gangguan pertumbuhan

Beberapa factor yang mempengaruhi efek dari fraktur kondilus terhadap

pertumbuhan kerangka wajah yaitu usia pasien, tingkat keparahan trauma, dan

lamanya immobilisasi. Kartilago kondilar merupakan pusat utama pertumbuhan

mandibula. Dimana cap kartilago memberikan tekanan sehingga mandibula

tumbuh ke arah depan dan bawah. Gangguan seperti displacement mandibula dan

aposisi tulang diregio kondilus dapat memyebabkan gangguan pertumbuhan

mandibula, demikian pula dengan pembentukan jaringan parut fibrous di daerah

cedera temporomandibular dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan

Gangguan sendi temporomandibula lainnya

Internal derangement akibat fraktur kondilus dihasilakan dari trauma

langsung pada sendi. Kerusakan yang terjadi pada fraktur kondilus dapat

menimbulkan dearangement sekunder pada sendi kontralateral sehingga terjadi

overloading pada sendi yang tidak terkena injuri, hypermobility dan kadang-

kadang disk displacement. Gejala komplikasi tersebut di atas sering disebut

dengan “condylar post fracture syndrome” 19

.

184

BAB IV

PENYEMBUHAN TULANG DAN KOMPLIKASI PASCA

PENYEMBUHAN

Tulang merupakan jaringan keras yang membentuk tubuh manusia. Berat

tulang hanya sepersepuluh dari berat badan, namun demikian tulang sangatlah

kuat, elastis serta mampu melakukan regenerasi bila mengalami trauma/fraktur29

.

3.1 Gambaran Histologis Struktur Tulang

Karakteristik dari tulang mempunyai struktur yang bagian luarnya tersusun

atas tulang kompak yang disebut kortek dan pada bagian dalam yang berbentuk

seperti anyaman adalah tulang kanselus/spongious/trabecular. Pada Tulang yang

mengandung lebih banyak substansi tulang spongios dibanding tulang kompak

disebut “cancellous”, dimana tulang rahang termasuk dalam golongan tulang ini.

Urutan lapis demi lapis struktur tulang dari luar ke dalam adalah: periosteum,

substansia kompakta, substansia spongiosa, endosteum dan kavum medullare29

.

Tulang dilapisi oleh jaringan fibrous yang disebut periosteum, dimana

pada lapisan dalam periosteum terdapat pembuluh darah, limfe, dan sel-sel

osteoprogenitor yang mempunyai potensi osteogenik yang sangat berperan aktif

pada penyembuhan fraktur tulang.

Di bagian dalam tulang terdapat rongga medula/sumsum tulang, yang

dibatasi oleh endosteum yang juga mengandung sel-sel osteoprogenitor. Unit

fungsional tulang disebut juga sistem havers atau osteon yang terdiri atas kanal

havers sentral yang dikelilingi oleh lapisan konsentris tulang/lamela. Lamela

tulang yang mengelilingi kanal havers mempunyai lakuna yang mengandung

osteosit yang mengatur aktivitas selular tulang29

.

185

Gambar 4. 1. Gambaran Histologis Jaringan Tulang29

3.2 Komposisi Tulang

Komposisi tulang terdiri dari 8% air dan 92% benda padat yang tersusun

atas unsur organik, anorganik dan sel-sel tulang.

1. Unsur organik

Unsur organik yang merupakan matrik tulang tersusun dari

28% kolagen dan 5% nonkolagen protein.

2. Unsur selular

Terdapat tiga jenis sel utama tulang yaitu : Osteoblas, osteosit dan

osteoklas29

2.1 Osteoblas

Osteoblas berfungsi dalam sintesa matrik tulang yang

berperan dalam pertumbuhan, perbaikan dan remodelling tulang.

Osteoblas berasal dari sel yang terdapat pada lapisan dalam

periosteum atau dari diferensiasi sel-sel mesenkim.

2.2 Osteosit

Osteosit yang berasal dari osteoblas yang terperangkap

dalam matrik tulang yang mengalami mineralisasi. Sel ini

berperanan dalam nutrisi tulang berupa transfer oksigen dan

metabolit/ kalsium).

2.3 Osteoklas

Osteoklas merupakan sel tulang yang berfungsi dalam

resorbsi tulang. Sel ini mengandung enzim lisosim seperti asam

186

fosfat dan katepsin. Bila sel ini berkontak dengan permukaan

tulang maka akan berpenetrasi ke dalam tulang dan mengeluarkan

enzimnya sehingga terjadi resorbsi tulang.

3. Unsur anorganik

Komposisi tulang secara kimiawi terdiri dari 67% bahan anorganik

(Hydroxyapatite), dimana unsur utamanya berupa garam anorganik

hidroksiapatit kristalin, Ca10(PO4)6(OH)2. Kristal tulang ini tersusun

sejajar dengan sumbu serat kolagen.

3.3 Fungsi Tulang

Tulang mempunyai dua fungsi utama yaitu: fungsi mekanis dan biokimia.

Fungsi mekanis tulang meliputi:

1. Fungsi sebagai rangka

2. Persendian

3. Tempat perlekatan otot

4. Melindungi alat-alat tubuh penting.

Sedangkan fungsi biokimiawinya sebagai tempat penimbunan kalsium dan

fosfor dalam proses menjaga keseimbangan kadar mineral di dalam darah.

3.4 Penyembuhan Jaringan Keras Tulang

Pada proses penyembuhan fraktur tulang terdapat fase penyembuhan

primer dan sekunder, sebagai berikut :

1. Penyembuhan primer.

1.1 Penyembuhan pada celah (Gap Healing)

Meskipun fiksasi stabil pada fragmen fraktur, biasanya reduksi

anatomis yang sempurna jarang terjadi. Pada beberapa bagian segmen

tulang dapat terjadi adanya celah yang kecil. Pada bagian ini akan

terjadi proses penyembuhan dalam waktu beberapa hari setelah

fraktur. Pembuluh darah dari periosteum, endosteum dan sistem

havers akan menginvasi celah dan membawa sel-sel osteoblastik

mesenkim yang akan mendeposit tulang pada fragmen fraktur tanpa

187

melalui pembentukan kalus. Bila fragmen fraktur kurang dari 0,3mm

akan terbentuk langsung tulang lamelar. sedangkan celah antara 0,5 -

1,0 mm akan terisi oleh “woven bone” selanjutnya dalam ruang

trabekula akan terisi oleh tulang lamela. Dalam waktu 6 minggu

tulang lamelar akan tersusun tegak lurus terhadap fragmen fraktur,

kemudian proses remodeling akan merubah sejajar dengan sumbu

tulang.

1.2 Penyembuhan kontak (contact healing)

Penyembuhan kontak terjadi pada fragmen fraktur yang tidak

terjadi kontak. Proses ini terjadi melalui regenerasi tulang dimana

terjadi aktivitas osteoklas pada bagian fraktur yang menyediakan

tempat untuk pertumbuhan dan proliferasi osteoblas guna membentuk

tulang baru. Rekonstruksi lengkap dari kortek tulang memerlukan

waktu hingga 6 bulan.

Gambar 4.2. Penyembuhan primer29

2. Penyembuhan sekunder

2.1 Tahap awal

Pada fraktur tulang akan menimbulkan reaksi inflamasi

disertai dengan pengaktifan sistem pertahanan tubuh yang menginduksi

pelepasan sejumlah angiogenik vasoaktif sehingga terjadi vasodilatasi

dan oedema dalam beberapa jam. Perdarahan pada pembuluh darah

endosteum, periosteum dan sistem havers menyebabkan hematoma,

188

fragmen tulang mengalami deposit tulang oleh sel-sel osteoblas dari

periosteum, sedangkan sumsum tulang akan mengalami degenerasi

lemak. Hematoma yang terjadi mengandung eritrosit , fibrin, makrofag,

limposit, PMN, mastosit dan platelet. Platelet akan berdegranulasi

Zmelepaskan PDGF (Platelet Derived Growth Factor),

FGF(Fibroblastic Growth Factor) yang bersifat kemoatraktan dan

mitogenik sehingga dalam waktu 8 - 12 jam akan terjadi proliferasi

selular lapisan luar periosteum seperti osteoblas, fibroblas dan sel

kondrogenik (gambar 3). Terjadi pembentukan kapiler yang bersama

kolagen yang berasal dari fibroblas membentuk jaringan granulasi.

Keadaan ini memicu aktivitas sel makrofag untuk membersihkan

jaringan nekrotik15, 29,30

.

Gambar 4.3. Pase awal stage fibroplastik pembentukan tulang15

2.2 Tahap kalus kartilogenus (soft callus)

Pada hari ketiga sampai kelima jaringan granulasi akan

berkondensasi membentuk kalus yang terjadi baik internal maupun

eksternal (gambar 3), fibroblas bermigrasi dan membentuk kolagen

selanjutnya berdeferensiasi menjadi kondroblas yang membentuk

kartilago, terjadi kalsifikasi kartilago yang menyebabkan kondroblas

berubah menjadi kondrosit. Osteoblas bertambah banyak dan osteoklas

mulai nampak. Kalus yang terbentuk akan menstabilkan ujung fragmen

189

fraktur sehingga menguatkan tulang. kalus kartilagenous terisi oleh

pembuluh darah yang akan meningkatkan tekanan oksigen dan nutrisi

yang akan memacu aktivitas osteoblast15, 29,30

.

Gambar 4.4. Pase akhir stage fibroplastik pembentukan tulang15

2.3 Tahap kalus tulang (hard callus)

Proses ini terjadi dalam waktu 3 - 4 minggu. Osteoblas akan

mendepositkan osteoid pada kartilago yang mengalami kalsifikasi,

kemudian osteoid mengalami kalsifikasi menjadi tulang yang tersusun

acak (woven bone), selanjutnya berubah menjadi tulang lamela pada

tahap remodeling29,30

. Terdapat beberapa jenis kalus tulang primer,

yang dikelompokkan berdasarkan pada letak atau berdasarkan pada

fungsi dan urutan pembentuknya:

Anchoring Callus: Terbentuk jauh dari fragmen fraktur dan mendekati

ke arah bridging callus, berfungsi untuk menjamin hubungan antara

keseluruhan kalus dengan fragmen tulang. Sel-sel jaringan ikat pada

daerah ini akan berdifrensiasi jadi osteoblas dan menghasilkan

substansia spongiosa yang melekat erat dengan permukaan tulang.

Sealing Callus: Berfungsi menutupi rongga sumsum yang terbuka dan

berkembang dari bagian dalam kortek tulang, volumenya semakin

meningkat mendekati garis fraktur membentuk lepeng tulang yang

menutupi rongga sumsum. Terbentuk akibat proliferasi endosteum dan

membentuk trabekula tulang yang susunannya tidak teratur.

190

Bridging Callus: Fungsinya sebagai jembatan dari kedua fragmen

fraktur dan volumenya paling banyak jika dibandingkan dengan jenis

kalus lainnya. Saat pembentukan anchoring callus, terjadi pula

diferensiasi pada daerah bridding callus fibrokartilago, kartilago hialin,

ossifikasi (pada saat substansia spongiosa anchoring callus telah

mencapai kartilago) hingga membentuk tulang baru.

Uniting callus: Terbentuk sepanjang garis fraktur dan berfungsi

menyambungkan kedua fragmen fraktur, ossifikasi terjadi pada jaringan

ikat diantara fragmen fraktur dan juga ossifikasi tersebut dapat terjadi

secara langsung.

2.4 Tahap remodeling

Osteoklas dan osteoblas merupakan sel yang sangat

berperanan dalam remodeling tulang. Dalam remodeling akan terjadi

resorpsi tulang oleh osteoklas, selain akan dilepaskan protein

morphogenetik tulang (BMP) yang bersifat mitogenetik yang

menginduksi diferensiasi sel-sel mesenkim menjadi osteoblas untuk

pembentukan tulang sehingga kontur tulang kembali pulih29,30,15

.

3.5 Tanda-Tanda Klinis Penyembuhan Fraktur

1. Gejala hematom menghilang

2. Tidak ada rasa nyeri

3. Fragmen tidak bergerak dan tidak ada krepitasi

4. Pada daerah fraktur kalus dapat diraba sebagai masa bulat dan padat

5. Secara fungsional organ telah dapat dipergunakan tetapi masih perlu

dibatasi.

3.6 Gambaran Radiologis Penyembuhan Fraktur

Pemeriksaan radiologis penting untuk diagnosa dan membantu dalam

evaluasi perawatan, dan dilakukan sebelum perawatan, setelah reduksi dan fiksasi,

serta minimal 1 kali setiap bula selama perawatan serta foto diambil minimal dari

dua arah berbeda.

191

Gambaran radiologis proses penyembuhan: Secara klinis terjadi

penyatuan fragmen fraktur dan secara histopatologis telah terbentuk penulangan

namum secara radiologis belum tampak gambaran radioopak yang jelas.

Gambaran rdioopak nampak jika telah terbentuk kalus sekunder. Pada tulang yang

telah sembuh sempurna radiolusensi garis fraktur hilang dan diganti gambaran

radioopak yang sulit dibedakan dengan radiopasiti pad jaringan tulang normal,

nampak adanya trabekulasi sepanjang garis fraktur atau tempat penyatuan.

3.7 Biomekanik Mandibula

Mandibula memiliki mobilitas dan gaya yang sangat banyak, sehingga

dalam melakukan penanganan fraktur mandibula harus benar-benar diperhatikan

biomekanik yang terjadi. Gerakan mandibula dipengaruhi oleh empat pasang otot

yang disebut otot-otot pengunyah, yaitu otot masseter, temporalis, pterigoideus

lateralis dan medialis. Otot digastricus bukan termasuk otot pengunyah tetapi

mempunyai peranan yang penting dalam fungsi mandibula.

Pada waktu membuka mulut, maka yang berkontraksi adalah m.

Pterigoideus lateralis bagian inferior, disusul m pterigoideus lateralis bagian

superior ( yang berinsersi pada kapsul sendi) saat mulut membuka lebih lebar.

Sedangkan otot yang berperan untuk menutup mulut adalah m. Temporalis dan

masseter dan diperkuat lagi oleh m. Pterigoideus medialis. Kekuatan dinamis dari

otot pengunyah orang dewasa pada gigi seri ± 40kg, geraham ±90kg, sedang

kekuatan menggigit daerah incisivus ±10kg, molar ±15 kg.

Konsep biomekanik pada perawatan fraktur mandibula perlu dipahami

sebab keadaan statik dan dinamik dapat mempengarui proses penyembuhan

fraktur. Tujuan dari semua terapi fraktur ialah mengembalikan bentuk dan fungsi

seperti semula. Hal tersebut dapat dicapai dengan melakukan imobilisasi

menggunakan fiksasi internal dan eksternal .

Rahang bawah memiliki bentuk anatomis yang unik, berdasarkan

arsitektur tulang, bentuk dan perlekatan ototnya mandibula dapat digambarkan

sebagai sebuah struktur yang mengubah tekanan yang diterimanya menjadi suatu

192

bentuk daya tensi dan kompresi. Kekuatan kompresi dihasilkan sepanjang daerah

basal mandibula sedangkan kekuatan tensi terdapat pada sepanjang daerah

alveolar. Aksis tranversal imajiner yang terletak kira-kira sepanjang kanalis

mandibula memisahkan prosesus alveolaris yang merupakan daerah tegangan atau

disebut dengan tension area dari daerah basal mandibula yang merupakan daerah

kompresi atau disebut dengan compression area. Pada waktu mandibula

mengalami fraktur, prinsip perawatan dilakukan dengan mempertimbangkan

kekuatan-kekuatan pada kedua sisi dari aksis imajiner tersebut, sehingga kedua

kekuatan tegangan yang berlawanan tersebut harus dinetralisir untuk mendapatkan

reduksi fungsional yang stabil.

Gambar 4.6 tension site (+) dan compression site (-) pada mandibula

Gambar. 4.7 tension line pada mandibula3

Hal ini dapat ditempuh dengan penggunaan plat dan tension bar system

yang secara individual berbeda tergantung dari lokasi dan tipe frakturnya. Secara

umum, pressure trajectory yang menghasilkan kekuatan kompresi pada

mandibula kemudain terjadi distorsi misalnya di rahang yang fraktur dapat

diperbaiki dengan pemasangan plat osteosintesis, sedangkan tension trajectory

dengan menggunakan arch bar yang berfungsi sebagai tension band. Plat sudah

cukup stabil untuk menetralkan shear dan torsional stress. Tension band

berfungsi untuk mengurangi kekuatan yang membengkokkan yang terjadi di

bagian alveolar atau kekuatan menahan yang menjauhi plat. (3,14,15,16)

193

Gambar 4.8 momentum gaya pada mandibula 11

Kekuatan torsional pada mandibula terdapat pada bagian symphisis

mandibula, hal ini disebabkan karena banyaknya muskulus dasar mulut yang

melekat pada bagian ini sehingga apabila terjadi fraktur pada bagian ini maka

dapat timbul rotasi. Stabilisasi fragmen tulang yang fraktur di regio ini digunakan

dua miniplate dengan jarak antar plat kurang lebih 5mm untuk menetralkan

kekuatan rotasi pada daerah symphisis tersebut.(17)

Selain menggunakan dua

miniplate dapat juga digunakan SNT plate untuk fraktur di regio symphisis.

Komplikasi

Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada penyembuhan tulang adalah15

:

1. Delayed union dan nonunion

Delayed union adalah keterlambatan penyembuhan karena:

- Adanya interposisi diantara jaringan lunak diantara fragmen

- Fiksasi yang kurang baik

- Kurangnya reparatif vital dari tubuh karena gangguan sistemik

Sedangkan pada nonunion tidak terjadinya penyembuhan atau tidak

bersambungnya ujung-ujung tulang yang fraktur kecuali dilakukan

pembedahan untuk memperbaiki fraktur tersebut. Hal ini bisa disebabkan

karena :

- Fragmen-fragmen tulang tidak ditahan dengan rigid

- Fraktur dibiarkan terlalu lama

- Alat Fiksasi terlalu cepat dibuka

- Adanya jaringan lunak, serat oto, jaringan fibrous diantara fragmen tulang

194

- Gangguan sistemik atau penyakit kronis

Delayed union dan nonunion dapat terjadi pada 3 % dari kasus fraktur.

2. Infeksi

Infeksi dan osteomielitis merupakan komplikasi yang paling sering terjadi.

Pada beberapa penelitian, tanpa penggunaan antibiotik dapat terjadi lebih

dari 50% kasus fraktur. Dapat disebabkan oleh faktor sistemik seperti

alkoholik dan tanpa penggunaan antibiotik, dan juga faktor lokal seperti

reduksi dan fiksasi yang buruk, tindakan debridemen yang kurang

sempurna dan sterilisasi yang kurang baik , pemberian obat-obatan yang

kurang adekuat , pasien yang kurang koopertif, penyebaran infeksi dari

jaringan sekitarnya.

Gambar 4.9. Fistula pada fraktur mandibula anterior setelah open reduction15

3. Malunion

Malunion dapat dijelaskan sebagai penyatuan fraktur tulang dimana

displacement tulang masih terlihat. Gangguan pada penyembuhan tulang

(Malunion) terjadi karena kegagalan transformasi hematoma menjadi

matrik osteogenik sehingga yang terbentuk jaringan fibrous

nonosteogenik, dapat juga disebabkan oleh :

a. Reduksi Inadekuat

Dapat disebabkan oleh distraksi fragmen fraktur oleh traksi otot atau

oleh interposisi jaringan lunak antara fragmen fraktur.

b. Fiksasi inadekuat

195

Seringkali mengakibatkan mobilitas dari fragmen fraktur sehingga

terjadi “delayed union” . bila pergerakannya melebihi ambang batas

fisiologis maka pembuluh darah kapiler akan terputus dan metabolisme

penyembuhan tulang akan terganggu karena hilangnya suplai nutrisi.

c. Infeksi

Infeksi dapat menimbulkan osteomielitis baik yang mengakibatkan

periosteum dan jaringan lunak yang berdekatan tidak berfungsi

sehingga terjadi pembentukan lapisan fibrous yang menghalangi

penyatuan tulang.

d. Vaskularisasi

Menurunnya vaskularisasi oleh karena trauma, usia, penyakit

menimbulkan reduksi tekanan oksigen yang mengganggu aktivitas

selular pada proses penyembuhan tulang.

e. Faktor sistemik

Kekurangan vitamin C dan D mengakibatkan gangguan pada

metabolisme kolagen dan proses mineralisasi tulang.

4. Injuri nervus

Injuri pada nervus alveolaris inferior biasa terjadi pada fraktur korpus dan

angulus mandibula. Kerusakan syaraf bisa disebabkan karena trauma yang

hebat pada waktu kecelakaan atau terputusnya syaraf oleh fragmen tulang.

5. Gangguan pertumbuhan

Gangguan pertumbuhan yang merupakan akibat dari trauma pada kondilus

dapat diakibatkan oleh trauma langsung pada kondilus atau karena fibrosis

atau scarring dari jaringan disekitarnya.

196

Gambar 4.10 Hipoplasia mandibula akibat fraktur kondilus bilateral15

6. Trismus karena adanya fibrosis atau disfungsi atropi dari otot-otot

pengunyahan.

3.8 Lama Penyembuhan Tulang

Proses penyembuhan tulang sampai terbentuknya tulang lamela

membutuhkan waktu hingga 6 minggu. Selanjutnya pada proses remodeling

sampai terjadi rekonstruksi lengkap korteks tulang membutuhkan waktu 6 bulan31

.

197

BAB V

KESIMPULAN

Mandibula merupakan fraktur kedua yang palling sering terjadi pada

tulang maksilofasial dikarenakan posisi dan bentuknya yang membusur. Lokasi

dan pola dari fraktur dapat dibagi berdasarkan mekanisme dan arah dari trauma.

Sebagai tambahan juga usia pasien, keberadaan gigi-geligi dan karakteer fisik.

Lokasi fraktur mandibula terbanyak pada kondilus, angulus, simfisis dan

parasimfisis, korpus mandibula, segmen dento alveolar, ramus, dan prossesus

koronoideus.

Restorasi fungsi mandibula sebagai bagian dari sistem stomatognati harus

mencakup kemampuan untuk mastikasi yang baik, berbicara dengan normal dan

menciptakan pergerakan artikulasi seperti sebelum terjadinya trauma. Hal ini

dapat dicapai dengan pemilihan modalitas yang tepat, tehnik operasi yang benar

terutama dalam pencapaian oklusi mandibula, serta perawatan pasca operasi dan

rehabilitasi. Dalam tatalaksana fraktur mandibula perlu dipahami biomekanik

mandibula sehingga dapat diperkirakan letak fiksasi yang benar dan didapatkan

hasil yang memuaskan.

Perawatan fraktur mandibula terdiri dari dua macam yaitu dengan

menggunakan metode tertutup atau dengan menggunakan metode terbuka Harus

diperhatikan indikasi dan kontra indikasi bila akan dilakukan perawatan fraktur

mandibula dengan metode terbuka. Pemberian diet yang tepat dapat menjaga

kesehatan pasien.

Pengelolaan fraktur kondilus mandibula harus sesegera mungkin

berdasarkan diagnosa yang akurat sehingga dapat mengurangi atau

menghilangkan komplikasi yang akan timbul

198

DAFTAR PUSTAKA

1. Ajmal S, Khan M. A, Jadoon H, Malik S. A. 2007. Management protocol of

mandibular ractures at Pakistan Institute of Medical sciences, Islamabad,

Pakistan. J Ayub Med Coll Abbottabad. Volume 19, issue 3. Available at

http://www.ayubmed.edu.pk/JAMC/PAST/19-3/13%20Samira%20Ajmal.pdf

last update 12 Desember 2010

2. Adams G. L, Boies L. R, Higler P. A, 1997. Boies Buku Ajar penyakit THT.

Edisi 6. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.

3. Snell R. S. 2006. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6.

Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.

4. Laub D, R.2009. Facial Trauma, Mandibular Fractures. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/1283150-overview last update 12

Desember 2010

5. Soepardi E A, Iskandar N. 2006. Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung

Tenggorokan Kepala Leher. Bab VII, hal 132-156. Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Indonesia. Jakarta

6. Thapliyal C. G, Sinha C. R, Menon C. P, Chakranarayan S. L. C. A. 2007.

Management of Mandibular Fractures. Available at

http://medind.nic.in/maa/t08/i3/maat08i3p218.pdf. last update 12 Desember

2010.

7. Sjamsuhidajat, Jong W D. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Penerbit

Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

8. Barrera J. E, Batuello T. G. 2010. Mandibular Angle Fractures: Treatment.

Available at http://emedicine.medscape.com/article/868517-treatment. last

update 21 Desember 2010

9. Sugiharto Setyo, Hardjowasito Widanto,1996. Penanganan Fraktur

Mandibula pada Anak dengan pemasangan Arch-Bar., Majalah

Kedokteran Unibraw; 12:39-41.

199

10. Wijayahadi R Yoga, Murtedjo Urip, et all. 2006. Trauma Maksilofasial

Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Surabaya, Divisi Ilmu Bedah Kepala &

Leher SMF/Lab Ilmu Bedah RSDS/FK Unair Surabaya:25-26, 58-63, 71-71,

89-95, 98,100,125-132

11. Keith L Moore. 1996. Clinically Oriented Anatomy, 3rd

, William-Wilkins

hal:143-148

12. Okeson JP,1993, Functional anatomy and Biomechanics of the masticatory

system, In management of temporomandibular disorder and occlusion,

Okeson Jeffrey P, Mosby, St Louis 13-21

13. Pedlar, J and Frame J.W.2001. Oral and Maxillofacial Surgery. Edinburg:

Churchill Livingstone.

14. Peterson, L.J. et al. 2004. Principle’s of Oral and Maxillofacial Surgery. 4th

ed. St. Louis: Mosby.

15. Pedersen, G.W.1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Edisi 1.

Philadelphia: W.B. Saunders Co.

16. Fonseca, R.J. et al.2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. Vol. 2. St

Louis: Elsevier.

17. Booth, P.W. et al.2007. Maxillofacial Surgery. 2nd ed. Vol. 2. St. Louis:

Churchill Livingstone.

18. Fonseca , R.J., et all. 1997. Oral and Maxillofacial Trauma. Second ed. WB

Saunders Co. Philadelphia

19. Peterson: et al. 1997. Oral and Maxillofacial Surgery. Third ed. Mosby Co.

St Louis.

20. David DJ. 1995. Craniomaxillofacial Trauma. London. Churchill

Livingstone. Hal : 270-283.

21. Widell T. 2001. Fractures Mandible. Vol 2, eMedecine Journal. Hal: 1-16

22. Tucker, SR. 2002. Ankylosis of TMJ. Oral and Maxillofacial Surgery

eJournal. Hal:1-3

23. Chaudhary A 2002. Temporomandibular Joint Syndrome.Vol 3. eMedecine

Journal. Hal: 1-9.

200

24. Schultz RC. 1988. Facial Injuries. London. Year Book Publishers,Inc. Hal:

386-404.

25. Bramley, P. Norman, JE. 1990. A Textbook and Colour Atlas of the

Temporomandibular Joint, Diseases, Disorders, Surgery. London. Wolfe

Medical Publications Ltd. Hal: 26-51.

26. De Riu G., Gamba U., Anghinoni M., Sesenna E.2001. A comparison of

open and closed treatment of condylar fractures: a change in philosophy.

Int J Oral Maxillofac Surg.; 30: 384 – 389

27. Goldman KE. 2002. Fractures Mandible, Condylar and Subcondylar. Vol 2.

Hal :1-13.

28. Nanci A., Whitson SW., Bianco P. 2003. Bone In Ten Cate’s Oral Histology.

6thed St. louis. Mosby. p. 111-44

29. Cross AR.,Lewis DD. Fracture Management Bone Healing and Grafting.

Fundamental of Ortopedic Surgery.

30. Feinberg SE., Larsen PE.1991. Oral and Maxillofacial Trauma. Philadelphia.

WB. Sounders Co.

201

Fraktur Maksila (Le fort I, II, III)

Nurwahida

160121120008

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis

Bedah Mulut Dan Maksilofasial

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung

Abstrak : Suatu trauma yang mengenai bagian tengah wajah, biasanya dapat

menyebabkan jejas atau fraktur pada maksila dan tulang-tulang di sekitarnya. Pola

fraktur yang terjadi pada maksila biasanya mengikuti area terlemah pada

kompleks midfasial. Le Fort mengklasifikasi pola fraktur pada maksila menjadi

fraktur Le Fort tipe I, II, dan III, tergantung pada organ-organ yang terlibat.

Penanganan dan rehabilitasi pasien dengan trauma pada maksila meliputi

pemahaman terhadap jenis, evaluasi, dan perawatan bedah pada wajah. Maksud

dari penyusunan makalah ini adalah untuk menggambarkan mengenai tipe-tipe

fraktur pada maksila, pemeriksaan, serta penanganannya agar diperoleh hasil

pemulihan yang optimal.

Kata kunci: Fraktur, Le Fort, trauma, reduksi, fiksasi.

202

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur maksila adalah suatu keadaan dimana hilangnya kontinuitas dari

tulang maksila dengan tulang pendukung disekitarnya ataupun dengan bagian –

bagian dari tulang masksila itu sendiri. Fraktur ini termasuk yang serius karena

menyangkut struktur penting lainnya yang berdekatan seperti rongga hidung,

sinus maksilaris, rongga mata bahkan dapat melibatkan kerusakan di otak baik

secara primer maupun sekunder dari penyebaran infeksi. Fraktur yang disebabkan

trauma ini bisa terlokalisir atau muncul dalam kombinasi- kombinasi.1

Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor

bersama-sama dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara pada

palatum durum dan mole. Pada regio anterior cabang terminal dari arteri naso

palatinus keluar pada foramen insisivus dan mereka mensuplai mukoperiosteum

dan palatum bagian anterior. Sedangkan persyarafan melalui divisi kedua dari

nervus trigeminus. Nervus ini muncul dari foramen infra orbital dan kemudian

berjalan untuk mensyarafi nasal lateral, labial superior dan regio palpebral

inferior, termasuk juga mensyarafi labial dan gigi-gigi anterior.2

Fraktur pada daerah ini mempunyai gambaran yang unik dibandingkan

dengan injury pada bagian tubuh yang lain seperti :

1. Melibatkan jalan nafas, yang harus dilakukan tindakan cepat dan langsung.

2. Menampilkan oklusi gigi, yang dapat membantu sebagai pedoman dalam

mengembalikan perlekatan dan stabilisasi fraktur.

3. Terdapat suplai darah yang sangat bagus ke wajah, sehingga membantu

dalam proses penyembuhan yang cepat.

203

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI MAKSILA

Midfasial menghubungkan basis kranii dengan dataran oklusal. Ia

menyediakan pondasi kepada proyeksi fasial anterior sambil memberikan

perlindungan kepada basis tengkorak dan berperan sebagai jangkar kepada

ligamen fasial dan perlekatan otot. Tulang midfasial terdiri dari rangkaian

penebalan vertikal, sagital dan horizontal yang menutupi sinus.3

Gambar 1. Disartikulasi tulang midfasial menggambarkan anatomi maksila,

zigoma, tulang nasal, dan septum nasal.4

Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor

bersama-sama dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara pada

palatum durum dan mole. Pada regio anterior cabang terminal dari arteri naso

palatinus keluar pada foramen insisivus dan mereka mensuplai mukoperiosteum

dan palatum bagian anterior. Sedangkan persyarafan melalui divisi kedua dari

nervus trigeminus. Nervus ini muncul dari foramen infraorbital dan kemudian

berjalan untuk mensyarafi nasal lateral, labial superior dan regio palpebral

inferior, termasuk juga mensyarafi labial dan gigi-gigi anterior.2

Kompleks midfasial dilengkapi oleh struktur dukungan vertikal untuk

menahan tekanan dari bawah. Midfasial secara efektif menyerap, melawan dan

mengusir tekanan infrasuperior melalui beberapa tahanan. Tetapi midfasial tidak

204

dilengkapi dengan kemampuan menahan tekanan dari lateral dan frontal. Struktur

dukungan vertikal pada midfasial terdiri atas pilar nasomaksilaris (medial),

zygomaticomaxillary (lateral) dan pterygomaxillary (posterior). Pilar

nasomaksilaris memanjang dari apertura piriformis dari kaninus dan anterior

maksila melalui prossesus frontalis dari maksila dan naik ke cerukan lakrimal dan

dinding medial orbita ke os frontalis. Pilar zygomticomaxillary memanjang tulang

alveolaris di atas molar I maksila melalui korpus zygoma naik ke prossesus

frontalis dari zygoma ke os frontalis. Pilar medial dan lateral memberikan tahanan

anterior. Sisi posterior, pilar pterygoid mengubungkan maksila ke lempeng

pterygoid dari os sphenoidalis dan memberikan stabilisasi kepada dataran vertikal

dari midfasial. Pilar midfasial horizontal meliputi rima orbita superior dan anterior

juga palatum durum. Lengkung zygoma menyediakan satu-satunya pilar sagital,

memandang midfasial mudah untuk kolaps dan mudah bergeser pada segmen

sentral.3 Dukungan superior pada pilar ini adalah arkus yang dibentuk oleh rima

orbita superior dan inferior dan arkus zygomaticus.2

Gambar 2. Pilar vertikal dan pilar horizontal, serta pilar sagital (S1).3

Gambar 2 menunjukan pilar vertikal terdiri dari pilar medial atau

nasomaksilari (V1), pilar lateral atau zigomatikomaksilari (V2), dan pilar

posterior atau pterygomaxillary (V3) yang berfungsi menahan tekanan kepada

basis kranii. Pilar horizontal meluas sepanjang rima supraorbita (H1), rima

infraorbita (H2) dan prossesus dentoalveolar dan palatum (H3), memberikan

205

dukungan struktural kepada fungsi dari mata, hidung dan mulut. Lengkung

zygoma berfungsi sebagai satu-satunya pilar sagital (S1).3

Rekonstruksi defek struktur midfasial membutuhkan rekonstruksi dari

pilar-pilar ini untuk mengembalikan pola tahanan normal pretrauma dan

parameter biomekanikal yang penting untuk mempertahankan integritas struktur

skeletal. Penebalan-penebalan tulang ini memberikan tempat untuk aplikasi pelat

fiksasi guna memastikan dukungan dan penyembuhan yang maksimal.3

II. ETIOLOGI

Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu faktor

predisposisi dan faktor luar.

A. Faktor predisposisi:

Yang dimaksud dengan faktor predisposisi adalah faktor yang dapat

menimbulkan fraktur selain dari faktor utama. Seperti penyakit yang berupa

infeksi periapikal, kista, tumor, osteomielitis. Penyakit ini biasanya menyebabkan

tulang menjadi rapuh ataupun melunak. Bila resorbsi tulang meluas akibat

penyebaran penyakit ini maka dapat terjadi patah tulang spontan tanpa trauma.

B. Faktor utama

Faktor utama terjadinya fraktur pada tulang maksila adalah disebabkan

oleh trauma baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Trauma dapat

menyebabkan terjadinya fraktur secara langsungt maupun tidak langsung.

1. Trauma langsung adalah apabila fraktur terjadi pada bagian

yang terkena trauma.

2. Trauma tidak langsung adalah apabila fraktur terjadi pada

tempat yang

jauh dari lokasi trauma.

III. EPIDEMIOLOGI

Penyebab utama dari fraktur maksila adalah kecelakaan lalu lintas (60%),

perkelahian (24%), jatuh (9%), kecelakaan kerja (4%), olah raga (2%), luka

tembakan (2%). Tanpa termasuk fraktur nasal, wajah tengah terlibat pada 40%

206

dari seluruh kasus. Para ahli sepakat bahwa distribusi frekuensi fraktur Le Fort

yaitu tipe II > tipe I > tipe III, dimana Le Fort I mencapai 30 %, Le Fort II

mencapai 42%, dan Le Fort III mencapai 28% dari seluruh kasus Le Fort.

Kejadian cedera bersamaan dengan trauma kepala (50%), cedera servikal (10%),

cedera abdominal (15%), cedera skeletal (30%) ditemukan pada pasien dengan

fraktur midfasial.3

IV. KLASIFIKASI FRAKTUR MAKSILA

Klasifikasi fraktur maksila dapat dibedakan menurut jenis frakturnya dan

lokasi dari fraktur pada daerah tulang maksila itu sendiri.2

A. MENURUT JENISNYA.

Fraktur maksila dapat dibedakan atas jenis- jenis atau bentuk dari fraktur itu

sendiri.yaitu:

1. Single fracture : Fraktur yang memiliki satu garis

fraktur saja atau disebut juga fraktur tunggal.

2. Multiple fracture : Fraktur yang melibatkan dua atau lebih garis fraktur

pada tulang yang sama dan masing-masingnya saling tidak berhubungan.

3. Simple fracture : Fraktur yang tidak menyebabkan luka terbuka atau

tidak berhubungan dengan lingkungan luar, yaitu melalui mukosa, jaringan

periodontal atau kulit (closed fracture).

4. Compound fracture : Fraktur dengan luka terbuka yang melibatkan

kulit, mukosa atau jaringan periodontal untuk berhubungan dengan dunia

luar (opened fracture).

5. Comminuted fracture : Fraktur yang menyebabkan tulang hancur atau

splintered. Tulang pada fraktur ini pecah menjadi fragmen-fragmen yang

kecil.

6. Complicated fracture : Fraktur yang melibatkan jaringan lunak

sekitarnya atau bagian sekitarnya ikut menjadi rusak, dan fraktur ini dapat

terbuka atau tertutup.

7. Impacted fracture : Fraktur yang menyebabkan fragmen tulang yang

satu tertekan masuk kesisi fragmen fraktur yang lainnya.

207

8. Incomplete fracture : Fraktur dimana tulang tidak patah sama sekali atau

tidak putus, terjadi pada tulang yang kalsifikasinya belum sempurna,

seperti tulang anak-anak.

9. Displaced fracture : Fraktur yang mengalami perubahan letak dari garis

frakturnya sendiri

10. Distracted fracture : Fraktur yang mengalami dislokasi dari segment-

segment fraktur atau perubahan letak tanpa merusak jaringan sekitarnya.

Fraktur pada maksila dapat terjadi salah satu dari jenis fraktur diatas tetapi

juga bisa berupa kombinasi dari bermacam – macam fraktur serta dapat

melibatkan fraktur pada tulang lainnya yang berdekatan dengan maksila.

B. MENURUT LOKASINYA

Sedangkan menurut lokasi terjadinya fraktur tersebut telah banyak

klasifikasi dibuat olah para ahli seperti:

1. Menurut THOMA tahun 1969

Fraktur maksila dibagi atas 4 golongan yaitu:

Fraktur prosesus alveolaris dan prosesus palatine

Fraktur horizontal (Transverse maxillary fracture, Horizontal

maxillary fracture, Guerin Fracture, Le fort I fracture)

Fraktur trasversal yang menyangkut orbital, tulang zygoma dan

tulang hidung. (Transverse facial fracture, Craniofacial

disjunction fracture)

Fraktur pyramidal yang menyangkut tulang-tulang hidung dan

maxilla.

2. Menurut GUSTAV O. KRUGER. Tahun 1984

Fraktur maksila dibagi atas 4 golongan yaitu :

Fraktur Horizontal ( Le fort I )

Seluruh maksila terpisah dari dasar tengkorak, garis fraktur

terdapat diatas palatum tetapi dibawah perlekatan prosesus

zygomaticus. Fraktur ini dapat terjadi unilateral tetapi berbeda

208

dengan fraktur prosesus alveolaris karena pada fraktur alveolaris

tidak disertai dengan perluasan kedaerah garis tengah palatum

Fraktur Pyramidal ( Le fort II )

Garis fraktur melalui aspek fasial maksila, meluas kebagian atas

tulang hidung dan tulang ethmoid biasanya sinus maksilaris ikut

tersangkut, begitu juga tulang zigoma dapat terlibat

Fraktur Tranversal (Le fort III)

Garis fraktur meliputi daerah mata, daerah tulang hidung dan

tulang ethmoid terus ke arcus zygomaticus, sehingga dinding

samping tulang mata terpisah melalui sutura zygomaticofrontalis

Fraktur Multiple

Merupakan kombinasi dari ketiga macam fraktur diatas.

3. Menurut ARCHER

Fraktur maksila cukup dibagi atas 2 golongan saja yaitu:

Fraktur dimana sebagian tulang maksila ataupun seluruh tulang

maksila beserta beberapa gigi terpisah dari badan tulang maksila (

Le fort I )

Fraktur dimana seluruh tulang maksila bagian atas terpisah dari

tulang – tulang dasar tengkorak sebagai suatu unit tunggal atau

multiple.

4. Menurut LE FORT :

Fraktur Le fort adalah fraktur bilateral horizontal dari rahang atas dan

dibagi menjadi 3 jenis Le fort fraktur.

Le fort I ( Fraktur Guerin, Transverse maxillary fracture, Floating

maxilla, Horizon maxillary fracture )

Garis fraktur melintang melalui bagian atas dari prosesus

alveolaris, melibatkan sebagian dari dinding sinus maksilaris,

palatum dan bagian bawah dari prosesus pterygoideus dan tulang

sphenoid

Le fort II ( Pyramidal fracture )

209

Garis fraktur melalui tulang lakrimal, bagian bawah mata, melalui

dasar mata berjalan terus kebagian bawah sesuai dengan dinding

lateral dari maksila melalui pterygoid plate terus ke fossa

pterygomaxilla. Berbentuk kerucut makanya disebut fraktur

pyramid.

Le fort III ( Transverse facial fracture, Craniofacial disjunction )

Garis fraktur melalui sutura zygomatiko frontal, maksilo frontal

dan nasofrontal. Garis fraktur terus ketulang ethmoid dan

sphenoid, pada fraktur ini maksila hanya terikat oleh jaringan lunak

terhadap tulang-tulang dasar tengkorak.

5. Menurut KILLEY.

Pembagian fraktur rahang atas ini berdasarkan lokasinya menjadi 5

macam.

Klas I : Fraktur pada kompleks zygomaticus

Klas II : Fraktur pada kompleks nasalis

Klas III : Fraktur Le Fort I

Klas IV : Fraktur Le Fort II

Klas V : Fraktur Le Fort III

6. Menurut IVY dan CURTIS:

Fraktur maksila hanya mengenai prosesus alveolaris.

Fraktur pada muka mulai diatas akar gigi sampai palatum durum (

unilateral )

Fraktur terjadi horizontal dan bilateral yaitu diatas palatum dan

dibawah orbita.

Extensive comminuted fraktur, suatu fraktur yang terjadi dibagian

atas maksila disertai dengan fraktur pada tulang nasalis dan tulang-

tulang lain disekitarnya.

7. Menurut CLARK:

Fraktur pada prosesus alveolaris maksila

210

Punch type fracture disebabkan karena tembakan sehingga terjadi

luka pada tulang yang bergerigi terjadi pada satu atau lebih tulang

yang tipis.

Fraktur dimana setengah bagian dari tulang maksila dipisahkan

dari cranium

Seluruh tulang maksilla dipisahkan dari karnium disebut juga

Floating Maksila karena maksila seperti terapung terlepas dari

cranium.

Pada fraktur seperti ini dapat berupa ;

1. Transverse fracture

2. Pyramidal fracture

3. Transverse facial fracture.

8. Menurut ERICH dan AUSTIN :

Horizon fraktur, garis fraktur melintas secara horizontal pada

kedua antrum dan cavum nasalis.

Pyramidal fraktur, garis fraktur melintas pada kedua orbita dan

hidung

Transverse facial fracture, garis fraktur melintas pada kedua orbita

dan bagian atas cavum nasalis.

9. Menurut MEAD :

Membagi fraktur maksila berdasarkan lokasinya menjadi 3 macam:

Partial fracture, yaitu fraktur dengan beberapa gigi pada tiap

fragmen tulangnya

Complete fracture.

Partial or complete fracture pada kasus yang edentulous.

211

Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapatlah disimpulkan bahwa

pada prinsipnya fraktur maksila dapat dibagi menjadi :

1. Fraktur pada prosesus alveolaris.

Yaitu fraktu yang terjadi pada tulang maksila yang meliputi daerah

alveolranya saja tanpa melibatkan tulang pendukung yang lain dan tanpa

diikuti terputusnya hubungan tulang maksila dengan tulang nasal atau

basis cranial.

2. Vertical fracture

yaitu fraktur pada rahang atas yang meliputi palatum durum, sedangkan

garis fraktur sendiri berjalan vertikal atau disebut juga fraktur Unilateral.

3. Fraktur Le Fort I

Fraktur ini disebut juga Fraktur Guerin, Low Level Fracture, Tranverse

Maksila Frakture, Horizontal Frakture, Floating Maksila. Dapat terlihat

arah frontal dari maksila yang melibatkan struktur maksila dari plat

pterygoid, nasal dan zygomatik. Tipe ini dapat melibatkan maksila secara

tersendiri dan terpisah dari struktur lain dengan diikuti terputusnya sutura

palatina atau fragment maksila.1

Fraktur Le Fort I merupakan hasil benturan yang terjadi diatas

level gigi. Fraktur yang terjadi mulai dari batas lateral sinus pirimormis,

berjalan sepanjang dinding antral lateral, belakang tuberositas maksilaris,

dan melewati pteriogoid junction. Septum nasal dapat terjadi fraktur, dan

kartilago nasal mungkin terkena. Karena tarikan baik dari otot pterigoid

eksternal dan internal, maksila dapat berada pada posisi posterior dan

inferior. Pada fraktur ini, biasanya tampak open bite klasik.2

212

Gambar 3. Fraktur le fort I. 1

4. Fraktur Le Fort II

Fraktur piramidal/subzigomatik yang menyebabkan terpisahnya

wajah tengah pusat dari kompleks orbitozigomatikus.3

Fraktur Le Fort II terjadi akibat benturan yang didapat pada level

tulang nasal. Fraktur terjadi sepanjang sutura nasofrontalis, melalui tulang

lakrimalis, dan melewati garis infraorbita pada area sutura

zigomatikomaksilaris.2

.Gambar 4. Fraktur Le Fort II. 1

213

5. Fraktur Le Fort III

Fraktur pada daerah ini disebut juga supra zygomatic fraktur,

dihasilkan oleh suatu tekanan yang besar pada level superior yang dapat

memisahkan naso orbital eithmoid komplek, zygomaticus dan maksila dari

basis cranial atau disebut juga pamisahan craniofasial.1 Sedangkan

menurut Le fort fraktur ini disebut juga Transverse facial fracture,

Craniofacial disjunction. Dimana garis fraktur melalui sutura zygomatiko

frontal, maxillo frontal dan nasofrontal. Garis fraktur terus ke tulang

ethmoid dan sphenoid. Pada fraktur ini maxilla hanya terikat oleh jaringan

lunak terhadap tulang-tulang dasar tengkorak.

Gambar 5. Fraktur Le Fort III.1

V. PEMERIKSAAN DAN GEJALA KLINIS

1. Pemeriksaan Awal / Primary Survey

Evaluasi awal dan penatalaksanaan yang menyeluruh seringkali

menentukan apakah pasien mampu bertahan dari trauma mereka. Jejas pada

kepala dan leher seringkali melibatkan jalan nafas dan pembuluh utama; oleh

karena itu resusitasi ABC harus dilakukan secara ketat pada tahap awal

pemeriksaan dan penatalaksanaan pasien dengan fraktur maksilofasial. Setiap

214

pasien yang datang dengan jejas trauma, perhatian pertama harus ditujukan

langsung pada evaluasi menyeluruh. Selama pemeriksaan awal, jejas yang

membahayakan hidup dan kondisi medis sistemik harus dievaluasi secara tepat.

Pasien dengan jejas pada wajah sebaiknya diperkirakan memiliki jejas lain yang

berhubungan, tergantung dari insidensi trauma.5

A. Airway (Jalan Nafas)

Yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan

adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing., fraktur

tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha

untuk membebaskan airway, harus melindungi vertebra servikal. Hal ini dapat

dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat

berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian

ulang terhadap airway tetap harus dilakukan.

Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa

tidak bleh melakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya

kelainan vertebra servikalis didasarkan riwayat perlukaan. Dalam keadaan

kecurigaan fraktur servikal fraktur servikal harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat

imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara, maka untuk kepala harus dilakukan

imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai dipakai sampai

kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.

B. Breathing (Pernafasan)

Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan

diafragma. Dada pasien harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan.

Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi

dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi

dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin

menggangu ventilasi.

215

C. Circulation (Sirkulasi)

Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan eksternal

dihentikan dengan penekanan pada pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan

dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia.

D. Disability

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan

neurologis secara cepat. Banyak pasien yang mengalami injuri fasial mengalami

hilang kesadaran. Kesemua pasien ini, walaupun hanya pingsan dalam waktu yang

singkat, harus diperiksa secara keseluruhan dengan Skala Koma Glagow (GCS)

dan dikonsulkan ke bagian bedah syaraf.

Tabel 1. Skala koma dari Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) untuk evaluasi

cedera kepala.6

Skor Mata (E) Verbal (V) Motorik (M)

1 Respon (-) Respon (-) Respon (-)

2 Terbuka karena

rangsang sakit Tidak dipahami Ekstensi

3 Terbuka bila diminta Tidak tepat Fleksi

4 Terbuka spontan Bingung Gerakan tidak spesifik

5 - Bercakap-cakap Menunjukkan tempat

yg sakit

6 - - Bisa melakukan

perintah

E. Exposure environmental control

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara

menggunting guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka

216

harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan

intravena yang sudah dihangatkan.

Langkah pertama yaitu memastikan pasien memiliki jalan nafas yang baik

serta ventilasi yang adekuat. Tanda klinis, termasuk respirasi, nadi, dan tekanan

darah sebaiknya diperiksa dan dicatat. Selama pemeriksaan awal, masalah lain

yang dapat mengancam kehidupan, seperti perdarahan eksesif, sebaiknya

diperiksa. Penanganan awal, seperti gigit tampon, sebaiknya dilakukan sesegera

mungkin. Selanjutnya pemeriksaan status nerologis pasien dan evaluasi spina

servikalis pasien. Benturan yang cukup berat yang dapat menyebabkan fraktur

pada tulang wajah biasanya tersalurkan ke spina servikalis. Leher harus

diimobilisasi sementara hingga jejas pada leher dikatakan baik.1

Perawatan terhadap jejas kepala dan leher biasanya dilakukan setelah

didapat evaluasi menyeluruh, pemeriksaan, dan stabilisasi pasien. Bagaimanapun,

beberapa perawatan awal seringkali penting untuk kestabilan pasien. Seringkali,

fraktur pada tulang wajah yang berat dapat mengurangi kemampuan pasien dalam

menjaga jalan nafas.1

Jejas pada daerah wajah tidak hanya melibatkan tulang wajah tapi juga

jaringan lunak, seperti lidah atau daerah leher atas, atau dapat berhubungan

dengan jejas seperti fraktur laring. Pada beberapa kasus, perlu dilakukan

trakheostomi untuk memberikan jalan nafas yang adekuat. Pada pasien trauma

dengan obstruksi jalan nafas atas komplit, krikotirotomi merupakan cara paling

cepat untuk mengakses trakea.1

Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali

dan resusitasinya harus dilakukan pada saat itu juga. Penyajian primary survey

diatas adalah dalam bentuk berurutan sesuai dengan prioritas dan agar lebih jelas,

namun dalam prakteknya hal-hal diatas sering dilakukan berbarengan.7

2. Pemeriksaan Riwayat dan Klinis

a. Pemeriksaan Riwayat Penyakit

Setelah pasien stabil, dapatkan riwayat selengkap mungkin. Riwayat ini

sebaiknya diperoleh dari pasien, tetapi karena kehilangan kesadaran atau status

217

nerologi, informasi harus diperoleh dari anggota lain yang mendampingi. Lima

pertanyaan penting yang sebaiknya dipertimbangkan:

1. Bagaimana kejadiannya terjadi?

2. Kapan kejadiannya terjadi?

3. Apakah spesifikasi jejasnya, termasuk jenis benda yang berkontak,

pertimbangan logistik?

4. Apakah terjadi penurunan kesadaran?

5. Gejala apa yang sekarang sedang dirasakan oleh pasien, termasuk nyeri,

perubahan sensasi, perubahan visual, dan maloklusi?

Informasi lengkap, termasuk mengenai alergi, pengobatan, dan imunisasi

tetanus terdahulu, kondisi medis, dll.1

Mendapatkan riwayat yang adekuat dari korban trauma adalah sulit,

karena biasanya mereka tidak mampu memberi respon dengan baik. Keadaan

tidak sadar (koma), syok, amnesia merupakan hambatan yang sering terjadi dalam

menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan adalah

keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi atau pekerja pada unit gawat

darurat. Tanggal, waktu, tempat kejadian dan peristiwa khusus dicatat. Apabila

cedera disebabkan oleh kecelakaan mobil, apakah si korban yang menyetir, atau

sebagai penumpang, apakah korban memakai sabuk pengaman? Apakah pasien

merupakan korban tindak kejahatan dengan senjata tertentu? Apakah pasien

jatuh/tidak sadar? Kondisi medis resiko tinggi, alergi dan tanggal imunisasi

tetanus juga dicatat. Adanya tanda-tanda kecanduan alkohol dan obat-obatan,

dicatat karena tingkat kesadaran dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi

mengenai waktu makan dan minum yang terakhir sangat penting apabila akan

dilakukan anestesi umum.6

b. Pemeriksaan Klinis

Fraktur midfasial biasanya didiagnosa secara klinis dan dikuatkan dengan

pemeriksaan radiologis. Sejumlah faktor bisa membuat pemeriksaan klinis

menjadi sulit, termasuk kehadiran edema fasial, epistaksis, maksila yang tumpang

tindih atau bahkan pasien yang tidak sadar atau tidak kooperatif.3

218

1. Pemeriksaan Ekstraoral

Pemeriksaan pada area fasial harus dilakukan dalam teknik yang

terorganisir dan berkelanjutan. Wajah dan kranii harus diinspeksi secara hati-hati

terhadap kemungkinan trauma termasuk laserasi, abrasi, kontusio, edema ataupun

hematom dan kemungkinan cacat pada kontur. Area ekimosis harus dievaluasi

secara hati-hati.

Wajah dievaluasi terhadap kemungkinan terdapatnya laserasi dan depresi

tulang yang jelas. Asimetri area wajah perlu dicatat, dan cairan yang keluar baik

dari hidung maupun telinga diasumsikan sebagai cairan serebrospinal hingga

terbukti bukan itu. Jika diduga terdapat cairan serebrospinal, hidung maupun

telinga sebaiknya tidak ditutup tampon, karena dapat menyebabkan infeksi

retrograde yang menyebabkan meningitis.2

Tulang wajah dipalpasi untuk mengetahui adanya diskontinuitas tulang.

Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secara bimanual dan disiplin. Pertama kita

lakukan pemeriksaan rima orbitalis, lalu berlanjut ke bawah untuk meliputi rima

lateral dan infraorbitalis, dimana apabila terdapat edema yang cukup besar dapat

membuat pemeriksaan menjadi sulit. Lengkung zigomatikus dipalpasi lalu ke

tulang nasal. Pemeriksaan berakhir dengan pemeriksaan maksila dan mandibula.

Evaluasi midfasial dimulai dengan penilaian mobiliti maksila, sendiri

ataupun kombinasi dengan zygoma atau os nasal. Untuk menilai mobiliti pada

maksila, kepala pasien harus distabilkan dengan menggunakan satu tangan

menekan dahi. Dengan menggunakan jempol dan jari telunjuk dari tangan yang

lain, memegang maksila, digoyang dengan hati-hati untuk melihat adanya mobiliti

pada maksila. Fasial dan midfasial sebaiknya dipalpasi untuk melihat adanya gap

pada dahi, rima orbita, nasal atau zygoma.1

Pembukaan mandibula dievaluasi baik untuk fraktur lengkung zigoma

maupun zigoma yang terdisposisi ke lateral, yang dapat mengobstruksi pergerakan

prosesus koronoid ke depan. Vestibulum bukalis dipalpasi dengan jari telunjuk.

Terdapatnya krepitasi dan pergeseran dinding antral lateral dan zigoma dapat

mudah didapatkan dengan teknik ini. Oklusi dievaluasi, keadaan dan kualitas gigi

perlu dicatat, faktor ini berpengaruh besar terhadap metode perawatan.2

219

Daerah ekimosis, terutama pada palatum, merupakan gambaran umum pada

fraktur maksila. Faring diperiksa untuk laserasi atau perdarahan retrofaringeal.

Pasien sebaiknya ditanya mengenai keluarnya cairan rasa metal dan asin, yang

merupakan indikasi terdapatnya drainase cairan serebrospinal.

Gambar 6. Ekimosis subkonjungtival

Gambar 7. Ekimosis sirkumorbital bilateral (racoon eyes).8

Pada Le Fort II, tanda dan gejala yang dapat kita temukan adalah adanya

oedem wajah dan terjadi retrusi mid fasial yang menyebabkan wajah terlihat datar.

Keadaan ini disebut sebagai deformitas dish face atau pan face. Terjadi

haemoragi subkonjunctiva dan diplopia. Kadang timbul parestesi daerah pipi

karena trauma pada nervus infraorbita. Terdapat hematom pada sulcus bukalis

rahang atas posterior, karena garis fraktur melewati tulang zygoma. Segmen

maksila bergeser ke posterior dan inferior, hal ini akan menyebabkan kontak

prematur gigi molar dan open bite anterior.7

220

Gambar 8. Openbite anterior.

2. Pemeriksaan Intraoral

Pemeriksaan intra oral dapat melihat keadaan oklusi, gigi geligi, stabilitas

alveolar ridge dan palatum serta jaringan lunak. Palpasi intra oral dengan jari pada

maksila dapat memberikan informasi tentang integritas dinding nasomaksilaris,

dinding sinus maksilaris anterior, dan dinding zigomatikomaksilaris.

Selama pemeriksaan mata dan tulang orbita, dapat dilihat integritas dari

lingkar orbita dan dasar orbita, penglihatan, pergerakan ektra ocular dan posisi

bola mata, serta jarak intercanthal. Tidak seperti fraktur Le fort II, Le fort III

berhubungan dengan adanya cedera pada zygomatikus. Perubahan penglihatan

menandakan adanya gangguan pada persyarafan mata, masalah pada retina

ataupun masalah neurologic lainnya. Gangguan pada pergerakan ekstraokular atau

enopthalmos menandakan adanya suatu blow out pada dasar orbita. Peningkatan

jarak interchantal menandakan adanya perubahan pada tulang frontomaksilaris

atau tulang lacrimalis ataupun adanya avulsi dari ligamentum canthal medialis .

Dalam hal kerusakan yang parah pada mata dan tulang orbita dapat

dikonsultasikan kepada opthalmologis.

Deformitas pada kontur tulang dapat tertutupi oleh pembengkakan, tetapi

permeriksaan dapat menemukan adanya kehilangan kontinuitas tulang atau

displacement. Gangguan pada oklusi dapat melokalisir adanya fraktur. Pergerakan

abnormal pada tulang dapat didiagnosa dan jika terjadi maka akan diikuti oleh

sakit dan krepitasi akibat dari ujung tulang yang keras bergesekan satu sama lain.

Hilangnya fungsi pada rahang merupakan hal biasa sebagai akibat dari trismus

atau sakit.7

221

Fraktur transversal pada Le Fort membuat muskulus pterygoid medial

yang kuat menciptakan tarikan posteroinferior pada segmen yang bergerak

menciptakan maloklusi klas III, kontak prematur pada molar dan anterior open

bite.3

Gambar 9. Pemeriksaan mobiliti pada maksila.1

Gambar 9 menunjukan pemeriksaan mobiliti pada maksila. A. Dahi

difiksasi dengan tangan kiri, maksila digoyang-goyangkan untuk menilai adanya

mobiliti. B. Tangan kiri juga dapat diletakkan pada os nasal untuk menilai mobiliti

pada os nasal.1

`

Gambar 10. Metode palpasi wajah tengah pada fraktur Le Fort.5

Gambar 10 menunjukan metode palpasi wajah tengah pada fraktur Le

Fort. Gigi anterior dipegang dan maksila dimanipulasi untuk memeriksa adanya

pergerakan. Jika gerakan dapat dipalpasi pada jembatan nasal (A), maka terdapat

adanya Le Fort II atau III. Jika gerakan terdeteksi juga pada zigoma (B), maka

222

terdapat fraktur III. Apabila tidak terdeteksi adanya gerakan pada daerah tersebut

namun maksila mengapung, maka kemungkinan terjadi fraktur Le Fort I.5

Gambar 11. Saat melakukan pemeriksaan fraktur pada maksila, kepala distabilisasi lalu prosesus

dentoalveolar dimanipulsi sehingga adanya pergerakan segmen fraktur dapat dideteksi.

Gambar 11 menunjukan saat melakukan pemeriksaan fraktur pada

maksila, kepala distabilisasi lalu prosesus dentoalveolar dimanipulsi sehingga

adanya pergerakan segmen fraktur dapat dideteksi. Pemeriksaan fraktur Le Fort II

dan III dilakukan dengan cara satu tangan memegang puncak hidung sementara

tangan lain memanipulasi maksila. Pergerakan pada sutura nasofrontal

menunjukkan kemungkinan terdapatnya fraktur Le Fort II atau III.4

Perbedaan klinis fraktur maksila:

1. Le fort I

Manifestasi Klinis Le Fort I antara lain adalah:

Seluruh rahang atas dapat digerakan dengan mudah.

Kecuali apabila segmen fraktur mengalami impaksi kearah posterior.

Terjadinya kontak premature dari gigi posterior karena tulang maksila

turun dan menimbulkan open bite yang klasik.

Palpasi tulang alveolar pada jaringan pendukung akan terasa nyeri

Dapat dilihat dengan jelas pada foto roentgen dan sering adanya gambaran

sinus yang berkabut serta gangguan kontinuitas yang bilateral dari dinding

sinus maksila.6

2. Le fort II

223

Manifestasi klasik Le Fort II antara lain :

Oedema periorbital secara bilateral, diikuti dengan ecchymosis yang

memberikan kesan seperti raccoon sign (menyerupai kucing).

Hipoesthesia dari nervus infra orbital juga ditemukan, kondisi ini muncul

karena perkembangan odema yang sangat cepat.

Suatu maloklusi dapat terjadi bersamaan dengan open bite.

Suatu kelainan bentuk ini dapat dideteksi pada daerah rima infra orbital

atau daerah sutura naso frontal. Cara pendeteksian ini dapat dengan

mengandalkan genggaman pada gigi anterior maksila dan

menggerakannya arah anterior- posterior, sehingga frakmen yang pecah

dari lantai orbita atau dinding media bisa terlihat dan ikut bergerak.

Dari gambaran foto roentgen dapat terlihat pemisahan atau pergeseran

pada sutura zygomaticomaksilaris serta terputusnya kontinuitas rima

orbital inferior didekat sutura tersebut.2,6

5. Le fort III

Manifestasi klinis Le Fort III antara lain :

Sering terlihat kebocoran cairan cerebrospinal akibat sobeknya meninge

(selaput otak)

Oedema yang hebat dan ecchymosis peri orbital terlihat bilateral karena

terjadinya perdarahan subkonjungtiva dalam berbagai tingkat keparahan.

Trauma telecantus dapat terasa seperti halnya juga ephypora. Ada baiknya

temuan ini dikomfirmasikan dengan CT coronal dan sagital scan, hal ini

berguna dalam rencana perawatan dan pertolongan nyawa pasien.

Fraktur ini biasanya diikuti dengan fraktur zygoma, dan naso orbita

eithmoid, luka yang dihasilkan pun berfariasi.

Pada waktu dilakukan tes mobilitas dari maksila akan memperlihatkan

pergerakan dari seluruh bagian atas wajah. 2,6

224

Gambar 12. Gambaran Klinis Fraktur Le Fort III

VI. Pemeriksaan Radiologis

Setelah dilakukan pemeriksaan klinis pada area fasial dan keadaan pasien

stabil, pemeriksaan radiologi harus dilakukan untuk memberikan tambahan

informasi tentang trauma fasial. Evaluasi pada fraktur midfasial secara umum

ditambahkan dengan gambaran radiografik, minimal foto Water’s, scheidel

anteroposterior, lateral dan foto submentovertex. Foto Towne’s sangat bermanfaat

dalam menggambarkan lengkung zigomatikus dan rami mandibula. Lengkung

zigoma paling bagus digambarkan pada foto submentovertex. Foto Water’s

memperlihatkan antrum hampir jelas. Foto lateral skull berguna dalam

menggambarkan kehadiran cairan pada sinus paranasal dan udara intrakranial.

Jika pasien tidak dapat tengkurap, dapat menggunakan reverse Water’s

(frontoosipital). Kekurangannya yaitu bertambahnya jarak antara tulang wajah ke

film.2

Gambar 13. Water’s view memperlihatkan gambaran fraktur Le Fort II yang membentuk segmen

fraktur bentuk Piramid.8

225

Gambar 14. Foto water’s lateral menunjukkan fraktur Le Fort II4

Scan yang diambil secara baik dan hasil tepat, dapat menjadi alat diagnostik

radiologi tunggal, tanpa foto lain. CT scan juga menggambarkan terdapatnya

edema dan kehadiran benda asing yang sering terlewat pada foto konvensional.

Gambar 15. CT scan axial menunjukkan fraktur Le Fort II

Gambar 16. Gambaran 3D fraktur Le Fort II.

VII. PERAWATAN FRAKTUR

A. Tujuan perawatan

Apabila stuktur wajah terkena trauma yang menyebabkan fraktur maksila

maka tujuan utama perawatan meliputi:

1. Penyembuhan tulang yang cepat.

226

2. Pengembalian penglihatan yang normal dan sempurna.

3. Kembalinya fungsi hidung untuk bernafas dan penciuman.

4. Kembalinya ruang bicara yang sempurna.

5. Hasil yang baik secara estetik baik dari gigi dan wajah seperti yang

diinginkan.

Selama perawatan diusahakan meminimalkan hal-hal yang merugikan pasien,

seperti pemberian nutrisi, mengurangi rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien

serta kerusakan yang minimal jika memungkinkan.1

B. Prinsip perawatan

Untuk mencapai hal ini maka prinsip bedah hendaknya mengikuti aturan

berikut ini

Prinsip perawatan fraktur maksila:

1. Debridement yaitu membersihkan sisi fraktur meticulous.

2. Reduction yaitu mensejajarkan ujung tulang yang patah.

3. Fixation yaitu menstabilkan fraktur tulang, setelah selesai prosedur diatas,

baru-baru ini digunakan mini plat tulang dan scrub ( rigid internal fixation

).

4. Imobilisasi yaitu pengikatan Fraktur pada bagian sendi, dicapainya dengan

wiring sendi secara bersamaan selama 4-6 minggu dengan penyebaran

yang luas menggunakan fixasi interna yang kuat, bagaimanapun prosedur

ini sangat cepat dalam membantu penyembuhan.

5. Rehabilitasion yaitu mengistirahatkan total dari region yang terkena

trauma seperti perlekatan kembali secara prostetik dari gigi geligi yang

hilang akibat trauma dan injury.

C. Metode perawatan

Perawatan fraktur maksila dapat dilakukan dengan metode terbuka maupun

metode tertutup tergantung dari berat dan ringannya kasus, namun untuk fraktur

maksila yang meliputi le fort I, II, III atau yang diikuti kelainan oklusi harus

dilakukan dengan metode terbuka.9,2,6

227

1. Reduksi tertutup ( close red )

Metode ini dilakukan tanpa melakukan insisi untuk mereduksi kembali

bagian tulang yang fraktur seperti pada frakmen fraktur ini bergerak, biasanya gigi

geligi yang terdapat pada sekmen fraktur mengalami kegoyahan . Pada kasus ini

dibutuhkan tekanan berulang (digital) untuk mereduksi tulang yang patah.

Pada kasus fraktur unilateral maksila atau terpisahnya sisi kanan dan kiri

palatum pada sutura palatine, maka digunakan alat Rowe Disimpaction forceps

atau Hayton-Williams forcep untuk mereduksi kembali kedua sisi palatum

tersebut. Arch bar dipasang pada lengkung maksila dan mandibula. Gigi yang

goyah diikat dengan kawat (wiring) kearch bar maksila, sedangkan gigi yang

terdapat pada segment yang tidak fraktur dilindungi dengan fiksasi intermaksila.

Kemudian fiksasi dilanjutkan kedaerah fraktur yang telah direduksi tadi. Fiksasi

dibiarkan selama 4 sampai 6 minggu didalam mulut pasient dan pasien diberikan

diet lunak selama fiksasi.

Indikasi dilakukannya metode tertutup pada fraktur maksila adalah:

Dimana pada pemeriksaan klinis dan radiografis tidak memperlihatkan

gambaran perobahan letak pada kedua segmen fraktur atau segmen

frakturnya terletak pada variable yang stabil dari tekanan otot-otot

mastikasi.( Undisplasment fracture )

Pada pasien yang edentulous (tidak bergigi) dan fraktur maksila secara

radiology memperlihatkan perobahan letak yang minimal dan letak garis

fraktur kemudian menjadi stabil oleh otot-otot pengunyahan. Maka union

tulang pada fraktur ini dapat menjadi penghubung yang baik.

Pasien dengan fraktur yang menimbulakan kerusakan pada otak dan tidak

adanya rangsangan untuk bangun, maka metode terbuka untuk sementara

merupakan kontra indikasi.

2 Reduksi terbuka (open red)

Metode ini lebih baik untuk kasus fraktur maksila khususnya yang

komplek. Dengan metode ini dapat dicapai immobilisasi fraktur yang sempurna

228

dan fiksasi yang kuat dan rigid. Metode ini dimulai dengan tahapan sebagai

berikut:

1. Pembukaan flap dengan insisi vestibular secara bilateral.

2. Sisi fraktur disingkapkan dengan meretraksi flap tadi

3. Dilakukan pembersihan segment pada garis fraktur.

4. Dilakukan perlekatan kembali kontunuitas tulang yang terputus.

5. Fiksasi garis fraktur dengan wiring atau mini dan mikro plat serta bautnya.

6. Tutup daerah operasi dengan mengembalikan flap pada posisi awal dan

dijahit

7. Fiksasi inter maksila selama 4 minngu (masa penyembuhan)

8. Pasien diberikan diet lunak selama fiksasi dengan kandungan gizi yang

cukup.

Indikasi dilakukannya metode fraktur terbuka adalah sebagai berikut:

Apabila metode tertutup gagal dilakukan

Fraktur dengan displacement yang kearah bawah dengan segala

komplikasinya seperti open bite klasik, elongasi fasial dana dish face.

Fraktur fasial kompleks dan multiple seperti Le fort I, II, III .

Fraktur dengan impaksi pada rahang bawah.

Fraktur yang memerlukan pemasangan miniplate dengan skrup untuk

reduksi dan stabilitas segment fraktur.

Fraktur yang membutuhkan bone graft.

Mikroplate and screw osteosynthesis

Pada abad ke dua puluh mulai diperkenalkannya pemakaian plat sederhana

atau yang lebih dikenal dengan Mini plate and screw. Sistem kompensasi plat

logam ini menggunakan lobang-lobang plat eksentrik dan skrup- skrup ( beberapa

diantaranya ada yang menggunakan swa-ulir ) yang cocok untuk penatalaksanaan

fraktur orofasial. Pada tahun –tahun terakhir perkembangan plat dan skrup

mengalami revolusi menjadi Mikro plate yang lebih ringan yang terbuat dari

titanium dan lebih bisa diterima oleh tubuh. Hal ini di kembangkan karena bentuk

229

dan jenis fraktur maksila yang berfariasi dan sangat komplek sekali.Bentuk dan

ukurannyapun disesuaikan dengan anatomi tulang fasial.

Beberapa keuntungan pemakaian mikro plat ini adalah: 2,6

Kestabilan yang rigid pada fiksasi anatomi dari bagian –bagian fraktur.

Dapat meniadakan pemakaian IMF ( intermaksilari fiksasi ).

Mempercepat penyembuhan dan memperpendek durasi perawatan.

Indikasi dilakukannya pemasangan mikro plate pada fraktur maksila adalah:

Apabila fiksasi maksilo mandibula sulit dilakukan.

Untuk perawatan kasus yang penyembuhannya lama dan pseudoartrosis.

Fiksasi pada graft tulang.

Fraktur kompleks dan multiple dari Le fort I, II, III.

Fraktur maksila pada pasien edentulous dengan displasment

Aplikasi mikor plate dan skrup:

Pemaparan perkutan atau peroral dan kemudian dilakukan reduksi fraktur.

Lakukan adaptasi dan stabilisasi mikro plat dan pembuatan lobang untuk

skrup pada tulang denga bur tulang.

Lobang bur dicocokan sampai sesuai dengan besar srkupnya.

Skrup dipasang menurut dataran lubang pada plate untuk mendapatkan

kompresi.

1-3 skrup diinsersikan pada sisi fraktur

Fiksasi dan Imobilisasi fraktur maksila

Ada beberapa macam alat untuk Immobilisasi fraktur maxilla yang mana

pada dasarnya menggunakan prinsip berikut ini:6

A. Fiksasi Intramaksila dan Intermaksila.

1. Hanya rahang atas saja yang dipasangkan alat fiksasi misalnya, dengan

memakai arch bar dari Erich. Contoh pada kasus fraktur sebagian kecil

dari prosesus alveolaris rahang atas (Intramaksila).

2. Pemasangan alat fiksasi pada gigi-geligi di maksila dan mandibula,

kemudian pada kedua rahang ini dipasang rubber elastic band melalui

230

kaitan atau hock pada acrh bar yang digunakan. Elastik hanya dipakai

pada gigi-geligi yang tidak mengalami fraktur rahang (berguna untuk

fraktur unilateral atau segmental ) sehingga tulang alveolar yang

mengalami fraktur akan terdorong keatas oleh tekanan gigi-geligi

dirahang atas dan rahang bawah (Intermaksila).

Gambar 17. Arch bar dan fiksasi intermaksilaris.4

B. Fiksasi Internal

Teknik ini ditemukan oleh Adam yang mana diindikasikan pada fraktur

horizontal yang sederhana dengan tidak terlibatnya tulang orbita.

Teknik ini menggunakan kawat suspensi (stainless steel ukuran 0.018 atau

0,2 inchi, 0,45 atau 0,5mm) yang dimasukan (diikatkan) pada titik tertentu di

tulang bagian superior. Bagian yang paling sering digunakan adalah Apertura

piriformis, Spina nasalis, tonjolan Malar, Arcur zygomatikus, Prosesus

zygomatikus ossis frotalis dan pinggiran tulang infra orbita. kemudian kawat

menelusuri daerah fasial terus kebawah dan kemudian dihubungkan (diikatkan)

pada arch bar yang telah dipasang pada gigi-geligi rahang atas (terhadap maksila)

disebut fiksasi kraniomaksila. Sedangkan pada ikatan atau perlekatan kawat

terhadap mandibula disebut fiksasi kraniomandibula. Gigi-geligi rahang atas dan

rahang bawah dalam keadaan fiksasi Intermaksila (Transosseous wiring fixation).

Apabila mandibula utuh atau karena perawatan bisa stabil, maka fiksasi

kraniomandibula lebih dianjurkan dibanding perawatan fiksasi kraniomaksila,

karena perlekatan ini memberikan hasil terbaik untuk mempertahankan posisi

komponen maksila yang mengalami fraktur.

231

C. Fiksasi eksternal

1. Pesawat Cranio-Maxilla.

Dimana digunakan suatu alat Head Appliances yang dihubungkan dengan alat

lain yang dipasang pada maksila. Head appliances yaitu suatu alat yang dipasang

pada kepala yang berfungsi sebagai penahan untuk fiksasi fraktur maksila dengan

tulang cranial. Alat ini ada beberapa macam yang biasa digunakan yaitu:

Plaster of Paris head cap.

Woodards appliance.

Englands appliance.

Bisnoffs head band.

Crawford head frame.

Crawford bloom head appliance

Pesawat Cranio Maxilla sendiri ada beberapa macam yaitu;

a. Pesawat C-M yang menggunakan Kingsley splint yang dapat dihubungkan

dengan berbagai macam splint yang diletakan pada gigi-gigi dirahang atas

seperti:

Wire splint

Cast metal splint

Band orthodontic

Pada pasien edentulous digunakan modifikasi dari kingsley

sendiri.

b. Pesawat C-M yang menggunakan Steinmann pin, dimana pin ini

dimasukan kedalam tulang alveolar rahang atas yang mengalami fraktur

melalui pipi lalu pin ini dihubungkan kembali kealat head appliance.

c. Pesawat C-M yang menggunakan cranio fasial wire. Ditemukan oleh

Erich, dimama kawat dihubungkan dengan arch bar yang telah dipasang

sebelumnya pada rahang atas ( gigi-geligi ), kawat ini menembus pipi lalu

dihubungkan denga head appliance. Pemakaian alat ini diindikasikan pada

fraktur dengan tidak adanya perubahan tempat dari rahang (fragmen) dan

mandibula dapat bergerak untuk berbicara dan makan (makanan lunak).

232

2. Pesawat Cranio – Mandibula.

Pada metode ini gigi-geligi pada kedua rahang berada dalam keadaan oklusi

dengan menggunakan Intermaksila wiring fixation dan eksternal traction. Pesawat

ini pun ada beberapa macam yaitu :

a. Pesawat C-mand dengan menggunakan Traction bandage (head bandage).

Terdiri dari Barton bandage denagn elastic yang dilekatkan pada kedua sisi

dengan menggunakan plaster. Ini untuk perawatan sementara dari fraktur

rahang.

b. Peasawat C-mand dengan menggunakan Steinmann-pin yang dimasukan

kedalam corpus mandibula , dibagian luar dihubungkan dengan Frac-sure

link vertical rod dikedua sisi. Frac-sure rods ini dihubungkan dengan head

appliance

c. Pesawat C-mand dengan half pin hamper sama dengan Steinmann pin,

juga digunakan Frac-sure rods dipakai sebagai penghubung dengan head

appliance.

d. Pada kasus tidak bergigi digunakan Gunning splint yaitu suatu acrilik

aplint yang digunakan sebagai alat fiksasi mandibula.

3. Pesawat Malar-Mandibula fixation.

Pesawat ini ditemukan oleh Gross, yang mana dua buah pin dimasukan

kedalam tulang pipi kiri dan kanan. Pin ini lalu dihubungkan dengan pin yang

telah dipasang pada corpus mandibula melalui suatu batang penghubung (rods)

atau rubber elastic band.

233

Gambar 18. Fiksasi kraniomaksilar.7

C. Tahapan perawatan pada fraktur Le Fort:

1. Perawatan Fraktur Le Fort I

Perawatan fraktur maksila dapat dilakukan dengan metode terbuka

maupun metode tertutup tergantung dari berat dan ringannya kasus, namun untuk

fraktur maksila yang meliputi le fort I, II, III atau yang diikuti kelainan oklusi

sebaiknya dilakukan dengan metode terbuka.1,2

Aturannya, reduksi dini fraktur Le Fort I memberikan kesulitan minimal.

Di atas 7 hingga 10 hari, perlu tenaga tambahan untuk melakukan reduksi

sempurna. Fraktur dr pergeseran minimal direduksi di diimobilisasi secara ideal

dengan reduksi terbuka dan immobilisasi diperoleh dengan penempatan plat yang

tepat. Sebagai alternatif yang kurang ideal, melakukan fiksasi intermaksilari

selama sebulan, biasanya cukup untuk terjadi penyembuhan. Pada kasus fraktur

remuk yang parah, diperlukan perpanjangan periode fiksasi hingga 6 minggu.

Fraktur impacted atau fraktur yang tidak mudah direduksi karena penyatuan dini

oleh jaringan ikut (fibrous union) sebaiknya direduksi dengan menggunakan tang

disimpaksi Rowe atau Hayton-Williams. Paruh dari tang Rowe ditempatkan

sepanjang dasar hidung, dan sisi lainnya pada palatum keras (gambar). Digunakan

secara sepasang atau sendiri. Untuk melindungi mukosa hidung dan

mukoperiosteum palatum, dapat ditempatkan ujung karet pada paruh tang.

Gunakan gerakan menekan atau memutar, maksila ditarik ke depan dan ke

bawah.2

234

Gambar 19. Penggunaan tang disimpaksi Rowe untuk mereduksi maksila.2,4

2. Perawatan Fraktur Le Fort II

Reduksi tertutup yang dilakukan pada fraktur Le Fort II mudah dilakukan

dengan tang disimpaksi Rowe. Fiksasi intermaksilari kemudian dilakukan untuk

memperbaiki posisi anteroposterior fraktur. Hal tersebut perlu dilakukan untuk

mendapat stabilitas dan penyembuhan yang adekuat. Imobilisasi dilakukan

minimal 4 minggu.

Sebagai alternatif, dapat dilakukan reduksi terbuka. Pada fraktur Le Fort II

dilakukan insisi pada sulkus bukalis, pembukaan tambahan ke superior sering

dibutuhkan untuk akses yang cukup dari orbital rim. Hal ini dapat dicapai dengan

insisi subsiliary atau transkonjunctiva. Perawatan dimulai dengan pemasangan

IDW untuk mendapatkan oklusi. Pada umumnya segmen maksila pyramidal yang

bebas distabilisasi ke tulang zygoma yang intak. Fiksasi dapat dilakukan dengan

mini plate yang menjangkau penyangga zygomaticomaksilaris.7

Setelah dilakukan reduksi pada fraktur, terdapat variasi pilihan untuk

imobilisasi. Minimal fiksasi tiga-titik atau mungkin empat-titik diperlukan. Hal ini

dapat diperoleh dengan membuka regio sutura zigomatikomaksilaris baik dari

rima inferior maupun intraoral, atau dapat juga menggunakan daerah sutura

nasofrontal. Kombinasi yang diperlukan tergantung pada kebutuhan untuk

235

mengeksplor dasar orbita, atau rekonstruksi rima inferior, atau keduanya, dan

rekonstruksi regio nasofrontal karena daerah ini sering kali terjadi keremukan.2

Pilihan lain dari perawatan pada fraktur Le Fort II yaitu imobilisasi sutura

nasofrontal. Dapat dilakukan dengan bilateral Lynch, open sky, atau insisi flap

koronal, atau melalui laserasi yang sudah ada. Semua pendekatan ini dapat

memberikan akses yang baik ke daerah sutura nasofrontalis. Penempatan plat

pada daerah ini dapat memberikan kestabilan dan keamanan dalam arah superior

posterior.

3. Perawatan Fraktur Le Fort III

Fraktur Le Fort III secara esensial merupakan kombinasi fraktur zigoma

bilateral dan fraktur pada kompleks nasal-orbital-ethmoid (NOE). Terdapatnya

jejas yang remuk dan parah bervariasi, tetapi prinsip perawatannya identik dengan

yang lain.2

Prinsip umum perawatan fraktur ini yaitu, reduksi dan imobilisasi

zigomatikofrontal, zigomatikotemporal, dan sutura nasofrontal, serta reduksi yang

tepat dari maksila ke wajah tengah inferior. Pada gilirannya, oklusi yang baik

harus didapatkan untuk mendapatkan posisi anteroposterior dan lateral wajah

tengah. 2

Dalam perawatan fraktur Le Fort III, kita menstabilisasi segmen tulang

yang bergerak untuk stabilisasi mandibula dan tulang kranium. Awalnya, rahang

atas harus dalam kondisi tidak terpendam (direposisi) dan MMF dilakukan. Insisi

jaringan lunak dapat dilakukan di lokasi yang sama seperti untuk fraktur Le Fort

II. Insisi alis lateral, lipatan glabela, atau flap kulit kepala bicoronal dapat

digunakan untuk topangan tambahan pada tulang frontozigomatik. Flap bicoronal

dapat diperpanjang untuk mencapai akses ke lengkung zigoma. Flap bicoronal

harus dirancang hati-hati untuk menghindari cedera pada cabang saraf wajah.

Ketika flap dibuat pada area lengkung orbita, perikranium dapat diinsisi tepat di

atas lengkung untuk menjaga suplai darah dari daerah supraorbital dan

supratroklearis ke flap. Pada daerah lateral, kita melakukan diseksi superfisial dari

fasia temporalis. Dalam mencapai lengkung zigomatik, kita lakukan insisi fasia

236

temporalis di atasnya. Perluas bidang insisi ke dalam fasia sampai tulang zigoma

yang fraktur. Patahan tulang kemudian dapat dikurangi dengan elevator kaku. Jika

terpendam atau comminuted, fiksasi langsung mungkin diperlukan. Jangan

gunakan flap bicoronal dalam situasi dimana flap membutuhkan suplai arteri

temporal. Garis rambut yang terlalu mundur juga dapat menjadi bahan

pertimbangan untuk menggunakan tipe insisi lain. Sehubungan dengan tindakan

fiksasi pada fraktur maksila, kurangi dan stabilkan setiap patahan tulang yang

terlibat. Setelah ini dilakukan dan segmen fraktur terlihat, maka fiksasi dapat

dilakukan. Fiksasi Miniplate saat ini merupakan tipe yang paling dapat

diandalkan. Gunakan template lunak, pelat pembentuk kontur yang akurat dan

monocortical serta sekrup self-tapping. Gunakan pelat yang menjangkau seluruh

penopang utama. Pada fraktur Le Fort III sejati, fiksasi zygomaticofrontal bilateral

mungkin sudah cukup. Namun, secara umum, tetap dibutuhkan fiksasi tambahan

(misalnya, nasomaxillary, nasofrontal, lengkung inferior orbital, lengkung

zigomatic). Gunakan sesedikit mungkin pelat untuk mencapai fiksasi; pelat

berlebihan tidak diperlukan. Interoseus wiring dan suspension wiring digunakan

pada fraktur Le Fort III, tetapi hasilnya tidak sebaik miniplate fiksasi karena

vektor gaya untuk mempertahankan reduksi kurang akurat dan micromotion

meningkat.

D. Perawatan Post Operasi

Untuk meminimalisir edema paska operasi, lakukan pembalutan kassa

dengan tekanan ringan, pada daerah operasi. Jika pembalut tetap kering, dapat

diangkat setelah 2-5 hari. Apabila daerah fraktur terbuka terhadap lingkungan

eksternal atau terdapat komunikasi dengan intra oral atau ruang nasal, maka perlu

diberikan antibiotik profilaksis terhadap organisme gram-positif dan anaerob

selama 5-10 hari.

Setelah pembedahan, observasi pasien selama semalam terhadap

kemungkinan terjadinya perdarahan, masalah pada jalan nafas, dan muntah. Jika

menggunakan fiksasi dengan kawat pada IMF, tempatkan pemotong kawat di

237

dekat pasien setiap saat pada awal periode post-operasi untuk mengeluarkan

muntah. Lepas kawat atau rubber band apabila pasien mulai merasa mual.

Sebelum pulang, instruksikan pasien mengenai cara melepas IMF apabila

muntah. Selain itu, pasien diberi tahu untuk membatasi diet yaitu bubur atau

cairan.10

E. Follow Up

Lakukan evaluasi follow-up pada hari ke 5-7 (jahitan kulit dapat dilepas

pada saat ini), minggu ke 2-4, lalu minggu ke 3-8 untuk melepas IMF. Follow-up

jangka panjang mungkin dibutuhkan untuk memonitor terjadinya komplikasi post-

operasi atau deformitas.

Tujuan paling penting selama periode awal post-operasi yaitu memelihara

imobilisasi. Tergantung pada umur dan kesehatan umum pasien, keparahan dan

displacement fraktur, serta teknik perawatan yang digunakan, periode ini berkisar

antara 4-8 minggu. Sehingga IMF perlu dirawat selama periode ini. Selama

periode ini, tekankan pasien untuk memelihara kebersihan mulut dengan rajin

menyikat gigi dan arch bar dan berkumur dengan saline atau mouthwash

antiseptik setiap pagi dan malam serta setiap habis makan.

Pada pemeriksaan post-operasi, lakukan tes stabilitas tulang wajah dengan

mempalpasi geligi rahang atas pasien saat menggigit dan merelaksasi otot

pengunyahan. Terdapatnya Pergerakan minimal mungkin masih dapat diterima,

tapi mobilisasi berlebihan dapat mengindikasikan terjadinya penyembuhan yang

buruk. Pengambilan foto post-operasi (misal, serial mandibula, Panorex dental

views, facial series, CT scan) dapat membantu pada pasien yang dicurigai terjadi

malunion.

Apabila tulang wajah telah sembuh dengan baik dan didapat oklusi

normal, IMF dapat dilepas. Mobiliti vertikal yang minimal pada midfasial dapat

pulih seiring dengan waktu. Pergerakan yang berlebihan mengindikasikan terlalu

dininya melepas arch bar atau terdapatnya masalah penyatuan tulang. Pada

umumnya, MMF dapat dilepas lebih cepat pada fraktur yang diperbaiki dengan

238

fiksasi miniplate, dan lebih lama pada fraktur yang diperbaiki dengan kawat

interosseus atau suspensi.10

239

BAB III

KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur maksila dan

penyembuhannya biasanya tidak tampak hingga beberapa minggu hingga bulan

setelah terjadinya trauma, tetapi potensi kemunculannya dapat diperkirakan

selama evaluasi dan perawatan.

Komplikasi yang mungkin terjadi sehubungan dengan fraktur maksila

antara lain:4

1. Parestesi n. infraorbital

2. Enopthalmus

3. Infeksi

4. Alat terekspos

5. Deviasi septum

6. Obstruksi nasal

7. Perubahan penglihatan

8. Nonunion

9. Malunion atau maloklusi

10. Epiphora

11. Reaksi benda asing

12. Jaringan parut

13. Sinusitis

Terjadinya obstruksi jalan nafas perioperatif dan postoperatif jarang terjadi

pada fraktur maksila tunggal. Bagaimanapun, kondisi ini dapat terjadi sehubungan

dengan ekstubasi, dengan hematom septum atau nasal packing, dan dengan edem

berat jaringan lunak yang menghalangi pernafasan melalui jalan nafas nasal.

Pasien dengan fiksasi intermaksilari dan gigi lengkap biasanya mengalami

kesulitan pernafasan pada saat ini. Reintubasi, pembukaan jalan nafas

nasofaringeal, dan pembukaan fikasi intermaksilari dapat efektif menghilangkan

240

gangguan jalan nafas. Faktur pada septum nasal yang tidak diperbaiki dapat

menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas postoperatif yang akan tetap ada

hingga semua pembengkakan jaringan lunak hilang.4

Sinusitis akut dapat terjadi akibat tindakan intubasi trakheal yang

berkepanjangan. Sinusitis akut atau kronik dapat juga terjadi pada sinus ethmoid,

sphenoid, frontal, dan maksila, karena fraktur dapat mengobstruksi duktus sinus

atau ostia.4

Hemoragi post operatif dapat terjadi jika arteri dan vena tidak diligasi

ketika memperbaiki laserasi, jika reduksi tulang inadekuat dapat menyebabkan

perdarahan berlanjut, jika terjadi aneurisma, atau jika arteri sebagian terpotong.

Laserasi sebaiknya diperiksa ulang sehingga hemoragi dapat dikontrol. Hematom

yang ada, sebaiknya didrainase. Pada perdarahan tulang sebaiknya dilakukan

reduksi ulang atau menggunakan bone wax. Hemoragi dari arteri utama harus

segera ditangani, apabila sumbernya tidak dapat diidentifikasi, maka perlu

dilakukan arteriografi dan embolisasi. Aneurisma dan pseudoaneurisma

merupakan komplikasi trauma pada maksilofasial tetapi jarang terjadi akibat

fraktur maksila tersendiri.4

Karena kedekatan maksila dengan orbita, maka dapat terjadi komplikasi

yang berhubungan dengan penglihatan. Kebutaan jarang terjadi sehubungan

dengan fraktur midfasial dan paling sering terjadi pada pola fraktur yang

melibatkan orbita, seringkali dengan mekanisme jejas yang lebih berat. Kebutaan

postoperatif imediet dapat merupakan komplikasi reduksi pada fraktur Le Fort III

(atau fraktur yang melibatkan orbita) dan terjadi akibat peningkatan hemoragi atau

tekanan intraorbital, spasme arteri retinal, hemoragi retrobulbar, dan menekannya

fragmen tulang pada nervus optikus. Fraktur pada dasar orbita yang tidak

terdiagnosa atau ditangani dengan tidak adekuat (sendiri atau kombinasi dengan

komponen zigoma) dapat menyebabkan terjadinya enopthalmus dan diplopia.4

Komplikasi postoperatif lain yaitu salah penempatan segmen tulang atau

alat fiksasi. Komplikasi ini dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan klinis (misal,

maloklusi) atau pemeriksaan radiografi postoperatif. Perlu dilakukan prosedur

pembedahan kedua untuk memperbaiki komplikasi tersebut.4

241

BAB IV

KESIMPULAN

Dari penjabaran tentang fraktur maksila secara umum tadi dapatlah diambil

kesimpulan bahwa:

1. Sebaiknya klinisi membuat diagnosa yang tepat dengan memperhatikan

anamnesa, pemeriksaan klinis dan didukung dengan pemeriksaan radiology

demi tercapainya perawatan yang tepat pula.

2. Perhatikan komplikasi yang menyertai fraktur maksila seperti Perdarahan yang

hebat, Kehilangan kesadaran, Obstruksi jalan nafas dan Kebocoran

cerebrospinal renorrhoe.

3. Pengenalan tanda- tanda khas terjadinya fraktur Le fort I, II, III seperti:

Elongasi fasial, Dish face, Open bite klasik, Mobilitas seluruh rahang

atas atau setengah wajah yang menandakan lepasnya kontinuitas maksila

dengan basis cranial.

4. Perawatan dilakukan sesegera mungkin untuk mensegah terjadinya

komplikasi seperti infekasi, malunion dan lain-lain.

5. Immobilisasi segmen fraktur merupakan aspek perting untuk mencegah

terjadinya kegagalan perlekatan (malunion ).

6. Perawatan dengan memakai metode tertutup atau terbuka disesuaikan denga

indikasinya masing-masing.

7. Perkembangan baru dengan memakai miniplate dan skrup untuk

menghasilkan fiksasi dari reduksi fragmen yang rigid dengan mengurangi

waktu perawatan dan mempercepat penyembuhan.

242

DAFTAR PUSTAKA

1. James R. Hupp. 2008. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 5th

ed. St. Louis: Mosby.

2. Fonseca. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma vol.2. St. Louis: Elsevier.

3. Thaller, S.R., McDonald, W.S. 2004. Facial Trauma. Miami: Marcel Dekker,

Inc.

4. Peterson. 2004. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd ed.

Hamilton: BC Decker Inc.

5. Ellis, Edward. 2000. Assesment of Patients with Facial Fractures.Dallas:

Saunders.

6. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC.

7. Moore, U.J. 2001. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed.

Oxford: Blackwell-Science.

8. http://www.gla.ac.uk/ibls/US/cal/anatomy/trauma/maxillaclinfeat.htm

9. Pedlar, J and Frame J.W, 2001, Oral and Maxillofacial Surgery. Edinburg:

Curchill Livingstone.

10. Moe, K.S. 2009. Maxillary and Le Fort Fractures Treatment &

Management. http://emedicine.medscape.com/article/1283568-

treatment#a1135.

243

FRAKTUR KOMPLEKS ZYGOMA

Leidya Valentina Elizabeth

160121120009

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis

Bedah Mulut Dan Maksilofasial

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung

Abstrak

Trauma akan menimbulkan jejas baik pada jaringan lunak maupun pada

jaringan keras. Jejas yang mengenai jaringan keras dapat merupakan suatu fraktur

tulang, di antaranya fraktur zygoma4. Fraktur zygoma merupakan cedera wajah

yang sering terjadi, dan berada pada urutan kedua setelah fraktur nasal. Insiden

yang tinggi ini kemungkinan disebabkan oleh posisi zygoma yang prominen

terhadap tulang wajah2.

Penatalaksanaan fraktur zygoma pada dasarnya sama dengan

penatalaksanaan fraktur maksilofasial lainnya yaitu meliputi reduksi, fiksasi, dan

imobilisasi. Namun karena strukturnya yang kompleks tentu saja

penatalaksanaannya pun lebih rumit.

Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran

mengenai gejala klinis, gambaran radiografi, perawatan serta komplikasi yang

dapat terjadi pada fraktur komplek zygoma.

Kata kunci : Fraktur Kompleks Zygoma, Reduksi, Fiksasi

244

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma pada wajah midfasial dapat menyebabkan fraktur yang melibatkan

maksila, zygoma dan komplek nasoorbital ethmoid. Fraktur midfasial cenderung

terjadi pada sisi benturan dan bagian yang lemah seperti sutura, foramen, dan

aperture. Tergantung dari mekanisme injuri, dan seringkali fraktur midfasial

melibatkan tulang zygoma.

Tulang zygoma mempunyai permukaan luar yang cembung dan kasar,

serta membentuk penonjolan pada pipi kiri dan kanan (penonjolan malar).

Tulang zygoma memegang peranan penting dalam menentukan lebar wajah

dan juga berperan sebagai major buttress (tulang dengan struktur yang tebal,

yang menopang proporsi kraniofasial dalam ukuran tinggi, lebar dan

anteroposterior) pada struktur wajah tengah, yaitu antara maksila dan

cranium3.

Tulang zygoma mempunyai struktur yang kuat, tetapi adanya

penonjolan tulang membuat tulang ini juga dapat mengalami fraktur jika

mendapatkan trauma yang hebat yang dapat terjadi karena pukulan atau akibat

kecelakaan kendaraan bermotor.

Insidensi, etiologi, predileksi umur dan jenis kelamin dari trauma

zygoma bervariasi, tergantung pada status sosial, ekonomi, pendidikan dan

politik dari suatu populasi yang diteliti. Dari kebanyakan penelitian

menunjukkan bahwa wanita lebih banyak terkena dari pada pria dengan rasio

4 : 1. Beberapa literatur mengatakan bahwa puncak insidensi dari trauma

terjadi antara dekade kedua dan ketiga dari kehidupan. Dalam beberapa

penelitian, penyebab fraktur tulang zigoma adalah kekerasan dimana pada sisi

yang lain kecelakaan kendaraan bermotor juga merupakan penyebab yang

sering terjadi. Etiologi dari terjadinya fraktur juga dipengaruhi oleh keadaan

suatu populasi penduduk dimana pada penelitian terdahulu terlihat bahwa

245

yang banyak mempengaruhi adalah pada populasi dari area industri dengan

tingkat pengangguran yang tinggi sehingga kekerasan interpersonal masih

banyak terjadi.

Selain karena tindak kekerasan dan kecelakaan lalu lintas, etiologi dari

fraktur zygoma juga dapat disebabkan karena terjatuh, kecelakaan pabrik,

benturan sewaktu olahraga, luka tembakan atau berupa fraktur patologis, yang

disebabkan oleh suatu penyakit.

Pada fraktur zygoma yang disebabkan oleh kekerasan, tulang zygoma

kiri adalah yang banyak terkena. Keadaan ini berbeda dengan keadaan fraktur

zygoma yang disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor. Fraktur

zygoma bilateral jarang terjadi, diperkirakan hanya terjadi sebanyak 4% dari

4067 kasus fraktur zygoma dalam sepuluh tahun yang dilaporkan oleh Ellis

dan kawan-kawan, dan mereka juga menemukan bahwa fraktur bilateral hanya

terdapat pada kasus kecelakaan, hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa

fraktur zygoma akibat kecelakaan kendaraan bermotor lebih parah jika

dibandingkan dengan kasus serupa yang terjadi akibat kekerasan.

Penanganan yang tepat dapat menghindari efek samping baik anatomis,

fungsi, dan kosmetik. Tujuan utama perawatan fraktur fasial adalah rehabilitasi

penderita secara maksimal yaitu penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian

fungsi okuler, fungsi pengunyah, fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara,

mencapai susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi estetis serta

memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakit akibat adanya mobilitas segmen

tulang.

246

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TULANG ZYGOMA

Tulang zygoma merupakan bagian dari dinding lateral dan dasar

rongga orbita (Gambar 1a). Pada beberapa individu membentuk lateral atas

dari pada sinus maksilaris. Tulang ini mempunyai satu tonjolan yaitu

processus temporalis ossis zygomaticus yang menonjol ke dorsal dan

berhubungan dengan processus zygomaticus ossis temporalis yang menuju ke

arah ventral. Kedua penonjolan arcus ini bersama-sama membentuk arcus

zygomaticus.

Gambar 1a. Anatomi dan letak tulang zygoma3

Zygoma memiliki empat proyeksi yang menciptakan bentuk quadrangular

atau tetrapod yang meliputi: bidang frontal, temporal, maksilaris, dan infraorbital.

Zygoma berartikulasi dengan empat tulang: frontal, temporal, maksila, dan

sphenoid. Fraktur kompleks zygoma meliputi gangguan pada keempat sutura yang

berartikulasi, yaitu: sutura zygomaticofrontal, zygomaticotemporal,

zygomaticomaksilaris, dan zygomaticosphenoid (Gambar 1b).

Struktur tulang zygoma adalah kuat, tetapi bila mendapat trauma atau

pukulan hebat mudah patah. Tempat-tempat yang mudah patah adalah sutura

247

sphenozygomatika, sutura zygomatikomaksilaris, sutura

zygomatikotemporalis dan sutura zygomatikosphenoid.

Beberapa muskulus yang melekat pada tulang zygoma : m. masseter,

m. pterygoideus externa, m. zygomaticus, m. levator labii superior dan m.

temporalis. Muskulus maseter menempel pada aspek inferior dari zygoma.

Pada kasus fraktur adanya rotasi inferior dari tulang zygoma setelah

penatalaksanaan reduksi dapat disebabkan karena lokasi m. maseter ini. Selain

otot-otot, pada tulang zygoma juga melekat dua buah ligamen yaitu ligamen

kapsular dan ligamen temporomandibular.

Gambar 1b. Perlekatan otot-otot dan sutura2

Seluruh fraktur kompleks zygomatik melibatkan dasar orbita, dan oleh

karena itu sebuah pemahaman gambaran anatomis orbita adalah penting untuk

mereka yang merawat cedera ini. Orbita adalah piramid quadrilateral yang

berbasis anterior. Dasar orbita melandai kearah inferior dan yang paling pendek

pada dinding orbita, rata-rata 47 mm. Ia terdiri dari lingkaran orbita maksila,

permukaan orbita pada tulang zygomatik, dan prosesus orbital dari tulang

palatinus.

248

Dinding medial dan lateral berkonvergen di posterior pada apeks orbital.

Dinding medial terdiri dari prosesus frontal maksila, tulang lakrimal, lingkaran

orbital ethmoid, dan sebagian kecil dari badan sphenoid. Dinding orbital lateral

adalah yang tertebal dan terbentuk oleh zygoma dan gerater wing dari os

sphenoid.

Dasar orbital terdiri dari tulang frontal dan sayap yang lebih kecil dari

sphenoid. Arcus zygomatikus termasuk prosesus temporal zygoma dan prosesus

zygomatik dari tulang temporal. Fossa glenoid dan eminensia artikularis terlokasi

pada aspek posterior prosesus zygomatikus tulang temporal. (Gambar 2)

Gambar 21

Saraf sensori yang berhubungan dengan zygoma adalah divisi kedua

nervus trigeminal. Cabang-cabang zygomatik, fasial, dan temporal keluar dari

foramina pada tubuh zygoma dan memberikan sensasi pada pipi dan daerah

temporal anterior. Nervus infraorbital melewati dasar orbital dan keluar pada

foramen infraorbital. Hal ini memberikan sensasi pada pipi anterior, hidung

lateral, bibir atas, dan geligi anterior maksila. Otot-otot ekspresi wajah yang

berasal dari zygoma termasuk zygomaticus mayor dan labii superioris. Mereka

diinervasi oleh nervus kranialis VII. Otot masseter menginsersi sepanjang

249

permukaan temporal zygoma dan arcus dan diinervasi oleh sebuah cabang dari

nervus mandibularis. (Gambar 3)

Gambar 32

Fascia temporalis berlekatan ke prosesus frontal dari zygoma dan arcus

zygomatik. Fascia ini menghasilkan resistensi pergeseran inferior dari sebuah

fragmen fraktur oleh penarikan kebawah dari otot masseter(Gambar 4).

Gambar 42

250

Posisi bola mata dalam hubungan dengan aksis dipertahankan oleh

ligamen suspensori Lockwood. Perlekatan ini lebih kearah medial hingga aspek

posterior dari tulang lakrimal dan lateral terhadap tuberkel orbital (Whitnall)

(yang adalah 1 cm dibawah sutura zygomaticofrontal pada aspek medial dari

prosesus frontal dari zygoma). Bentuk dan lokasi dari canthi medial dan lateral

kelopak mata dipertahankan oleh tendon canthal. Tendon canthal lateral

berlekatan dengan tuberkel Whitnall. Tendon canthal medial berlekatan dengan

krista lakrimal anterior dan posterior. Fraktur kompleks zygomatik seringkali

dibarengi dengan sebuah antimongoloid (kearah bawah) dari daerah canthal lateral

yang disebabkan oleh pergeseran zygoma.

2.2 KLASIFIKASI FRAKTUR ZYGOMA

Jackson (1989) membuat klasifikasi fraktur zigomatikus yang

disederhanakan menurut pola dan pergeseran serta perawatannya. Gruss dkk

(1990) menekankan peran pola fraktur pada zygoma untuk reduksi yang akurat

dan mengklasifikasikan fraktur ini menurut tingkat keparahan tulang pada badan

zygoma dan arkus zygoma (Trott et al, 1995).

A. Jackson (1989)

Grup I Undisplaced fractures - tidak ada perawatan

Grup II Localized segmental fractures - pembukaan dan fiksasi

Grup III Displaced ‘tripod’ fractures (low velocity) – elevasi sederhana atau

elevasi, pembukaan dan fiksasi

Grup IV Displaced comminuted fractures (high velocity) – pembukaan luas

dan fiksasi multipel.

B. Gruss dkk (1990)

1. Badan zygomatikus

a. Intact

b. Undisplaced

c. Segmental

251

d. Displaced

e. Comminuted

2. Arkus Zygomatikus

a. Intact

b. Undisplaced

c. Segmenta

d. Displaced : inferior dengan depresi dan lateral

e. Comminuted

C. Menurut Knight dan North, fraktur zygoma dapat

dikalsifikasikan sebagai berikut2 ;

1. Fraktur tanpa displacement, hanya retakan saja.

Dalam hal ini tidak diperlukan penatalaksanaan. Pemeriksaan secara

radiologis menunjukkan adanya fraktur, tetapi tidak memperlihatkan

pergeseran.

2. Fraktur arkus zygomatikus dengan displacement.

Fraktur ini disebabkan oleh pukulan langsung pada arkus zygomatikus,

menyebabkan busur ini melekuk ke dalam tanpa mempengaruhi sinus

maksilaris ataupun rongga mata.

3. Fraktur zygoma tanpa perputaran.

Fraktur ini disebabkan oleh pukulan langsung terhadap penonjolan dari

tulang zygoma, sehingga terjadi fraktur dan pergeseran tulang

langsung ke dalam sinus maksilaris. Pada umumnya tulang terdorong

ke belakang, ke dalam dan sedikit mengarah ke bawah sehingga pipi

menjadi rata dan terjadi perubahan bentuk pada tepi infra orbital.

Dalam pemeriksaan radiologis timbul pergeseran ke bawah dari tepi

infra orbita, pergeseran pada sutura zygomatikofrontalis dan

penonjolan tulang zygoma ke dalam.

4. Fraktur zygoma dengan perputaran ke median.

252

Fraktur dan pergeseran timbul karena pukulan pada penonjolan tulang

zygoma di atas sumbu mendatarnya, sehingga tulang yang mengalami

fraktur tergeser ke belakang, ke dalam dan ke bawah. Pemeriksaan

radiologis memperlihatkan pergeseran ke bawah dari tepi infraorbital,

sutura zygomatikofrontalis keluar atau dapat ke dalam.

5. Fraktur tulang zygoma dengan perputaran ke lateral.

Fraktur disebabkan karena pukulan di bawah sumbu datar dari tulang

zygoma, sehingga tulang terdorong ke dalam dan ke belakang.

Pemeriksaan radiologis memperlihatkan pergeseran keluar dari

penonjolan tulang zygoma dan ke atas dari tepi infraorbita ataupun

keluar sutura zygomatikofrontalis.

6. Fraktur kompleks.

Disini termasuk semua kasus dimana didapatkan garis fraktur saling

menyilang lebih dari satu.

Kebanyakan fraktur zygoma terjadi pada arkus dalam meliputi lateral orbital2.

Fraktur arkus zygomatikus menyebabkan depresi pada pipi karena tekanan m.

masseter pada arah posterior, medial dan inferior.

Pada 1990, Manson et.al mengajukan sebuah metode klasifikasi yang

didasarkan pada pola segmentasi dan pergeseran3:

- Fraktur yang memperlihatkan sedikit atau tidak ada pergeseran diklasifikasikan

sebagai cedera energi-rendah. Fraktur incomplete (tidak lengkap) pada satu atau

lebih artikulasi dapat terlihat.

- Fraktur energi-menengah memperlihatkan fraktur lengkap (complete) pada

seluruh artikulasi dengan pergeseran ringan hingga moderat. Serpihan mungkin

dapat timbul (Gambar 5).

- Fraktur energi-tinggi ditandai dengan serpihan pada orbit lateral dan pergeseran

lateral dengan segmentasi pada arcus zygomatik (Gambar 6).

Zingg dan kolega, dalam sebuah tinjauan pada 1.025 fraktur zygomatik,

mengklasifikasikan cedera-cedera ini kedalam tiga kategori. Fraktur-fraktur tipe A

adalah fraktur energi rendah tidak lengkap dengan fraktur hanya pada satu pilar

zygomatik: arcus zygomatik, dinding orbita lateral, atau lingkaran infraorbita.

253

Fraktur tipe B mengacu pada fraktur “monofragmen” lengkap dengan fraktur dan

pergeseran disepanjang keempat artikulasi. Fraktur “multifragmen” tipe C

termasuk fragmentasi badan zygomatik.

2.3 DIAGNOSA FRAKTUR ZYGOMA

Riwayat yang terperinci akan banyak membantu dalam menentukan

diagnosa. Untuk menegakkan diagnosa fraktur tulang zygoma dilakukan

pemeriksaan :

Riwayat kecelakaan

Riwayat kecelakaan dapat diketahui dengan memberi pertanyaan-

pertanyaan kepada penderita untuk memperoleh keterangan yang objektif.

Bila penderita tidak dapat memberi keterangan-keterangan tersebut, dapat kita

tanyakan kepada pengantar yang melihat terjadinya kecelakaan. Asal mula

terjadinya fraktur tulang zygoma harus diketahui, apakah karena kecelakaan

lalu lintas atau karena pukulan. Keadaan penderita sewaktu terjadi kecelakaan

harus diketahui, apakah dalam keadaan sadar atau tidak, berapa lama dalam

keadaan tidak sadar.

Jennet dan Teasdale memperkenalkan sistem Glasgow Scale (GCS)

untuk melihat tingkat kesadaran. Skala ini menggunakan 3 parameter: Eye

opening, best motor responsen dan best verbal response dimana nilai antara 0-

8 untuk severe head injury, nilai 9-12 untuk moderate head injury dan nilai

antara 13-15 untuk mild head injury9.

Selain itu diperhatikan apakah terdapat perdarahan melalui mulut,

telinga atau hidung, terjadi muntah atau tidak dan riwayat penyakit yang

pernah diderita. Bila riwayat secara lengkap tidak dapat ditanyakan kepada

penderita atau pengantar penderita, maka dapat ditanyakan kemudian setelah

penderita agak pulih.

Pemeriksaan fisik

Hal ini penting untuk menentukan rencana penatalaksanaan yang akan

dijalankan. Kecelakaan yang serius dapat menyebabkan kolaps. Kolaps yang

lama dan terus menerus akan menyebabkan shok, yang ditandai dengan

254

tekanan darah rendah, nadi cepat tetapi lemah, kulit lembab, dingin dan pucat,

pernafasan cepat dan dangkal, bibir dan kuku stanosis, pupil berdilatasi dan

penderita apatis. Ketidaksadaran yang lama menandakan adanya kontusio

cerebri. Perdarahan dari mulut, hidung dan telinga menandakan terjadinya

fraktur basis kranii.

1. Pemeriksaan mata

Pupil berdilatasi menandakan adanya shok. Diplopia disebabkan

karena kerusakan dari syaraf infraorbita. Gangguan dari pergerakan bola mata

disebabkan karena otot-otot penggerak mata terjepit sehingga fungsinya

terganggu. Ketidaknormalan dari pinggir infraorbita dalam pemeriksaan

palpasi menyatakan adanya kerusakan dari dasar orbita. Retraksi dari jaringan

lunak sudut mata menyatakan adanya penurunan dinding periorbita ke arah

sinus maksilaris.

2. Pemeriksaan telinga

Bila terjadi perdarahan atau terdapat cairan serebrospinal pada satu

atau kedua lubang telinga menunjukkan adanya fraktur pada petrosa tulang

temporal. Perdarahan pada tulang telinga menunjukkan pecahnya basis kranii.

3. Gejala neurologis

Hilangnya perasaan pada perabaan (anesthesia) dari kelopak mata

bawah, lateral hidung atau bibir bagian atas disebabkan rusaknya nervus

infraorbitalis. Bila nervus zygomatikofasialis atau nervus

zygomatikotemporalis rusak menyebabkan hilangnya perasaan pada pipi dan

temporal bagian depan. Kerusakan dari syaraf fasialis menyebabkan Bell’s

palsy yaitu sudut mulut terkulai dan mata tidak bisa mengedip.

4. Gejala-gejala fraktur zygoma

Gejala-gejala fraktur ini sangat penting untuk mengetahui tindakan

penatalaksanaan apa yang harus didahulukan. Misalnya pada fraktur tulang

zygoma yang serius sehingga menyebabkan pecahnya basis kranii, penderita

harus segera dibawa ke bagian neurochirurgis. Penderita yang berada dalam

keadaan yang tidak sadar tidak boleh dilakukan operasi sebelum penderita

sadar.

255

5. Pemeriksaan visual

Diagnosa yang langsung dapat dilihat dari gambaran karakteristik yang

segera dapat dikenali yaitu muka terlihat asimetri karena adanya pendataran

kontur pada pipi yang mengalami fraktur. Hilangnya ekspresi pada pipi yang

mengalami fraktur, unilateral epistaksis, hematoma, penurunan bola mata

pada sisi yang fraktur, retraksi dari sudut mata.

6. Pemeriksaan dengan cara palpasi

Pemeriksaan zygoma meliputi inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan

dari bagian frontal, lateral, superior dan inferior3. Harus dicatat tingkat simteris,

level pupil, adanya edema orbital dan ekimosis subkonjungtival dan proyeksi

anterior dan lateral dari zygoma. Metoda yang paling berguna untuk mengevaluasi

posisi dari tubuh zygoma adalah dari pandangan superior (.

Gambar 51

Pasien dapat ditempatkan dalam posisi berbaring atau bersandar dikursi.

Ahli bedah menginspeksi dari atas, mengevaluasi bagaimana proyeksi anterior

dan lateral dari zygoma terhadap tepi supraorbital, dibandingkan sisi yang satu

dengan yang lain3,7

. Pada saat akan melakukan pemeriksaan dengan posisi seperti

ini akan memudahkan untuk menempatkan posisi jari telunjuk di bawah tepi

infraorbita, sepanjang zygoma, memberikan tekanan pada jaringan yang edema

guna palpasi dan mengurangi efek visual dari edema secara simultan. Pandangan

superior juga membantu dalam mengevaluasi kemungkinan terjadinya depresi dari

arkus zygoma. Tidak boleh dilupakan untuk melakukan pemeriksaan intraoral,

256

karena fraktur zygoma sering disertai dengan ekimosis pada sulkus bukalis

superior dan oleh fraktur dentoalveolar maksilaris.

Palpasi harus dilakukan dengan sistematik dan teliti, dibandingkan antara

sisi yang satu dengan yang lain. Tepi orbita dipalpasi dulu. Tepi infraorbita

dipalpasi dengan jari telunjuk yang secara ritmik digerakkan dari sisi yang satu ke

sisi yang lain sepanjang tepinya. Tepi orbita lateral dipalpasi dengan jari telunjuk

dan ibu jari. Jari telunjuk juga digunakan sepanjang aspek bagian dalam dari tepi

orbita lateral, dimana sering ditemukan fraktur dengan melakukan palpalsi di

bagian dalam dari tepi orbita yang berlawanan arah sepanjang aspek lateral. Bila

terdapat fraktur, palpasi seringkali harus dilakukan dengan cara yang halus. Tubuh

dan arkus zygoma paling baik dipalpasi dengan dua atau tiga jari yang bergerak

secara melingkar, dibandingkan dengan sisi yang berlawanan. Tonjolan zygoma

dari maksila dipalpasi dari dalam mulut dengan satu jari, untuk mengetahui

adanya hematoma atau irregularitas3.

2.3.1 TANDA DAN GEJALA FRAKTUR ZYGOMA

Adanya tanda dan gejala serta keparahannya sangat tergantung pada luas dan

tipe dari luka zygoma. Misalnya, pendataran wajah akan lebih nyata pada cedera

pada zygoma yang displaced dibandingkan dengan fraktur yang nondisplaced.

Sama halnya dengan fraktur arkus zygoma yang mungkin kurang mengakibatkan

gangguan okuler dibandingkan dengan fraktur kompleks zygoma. Tanda dan

gejala berikut ini bisa menyertai fraktur zygoma dan oleh karena itu harus

dievaluasi3 :

1. Ekimosis dan edema periorbital.

Edema dan perdarahan ke dalam jaringan ikat longar dari kelopak mata dan derah

periorbital adalah tanda yang paling umum yang menyertai fraktur tepi orbita.

Bengkak yang seringkali masif mungkin terjadi dan paling dramatis pada jaringan

periorbital, dimana kelopak mata mungkin tertutup karena bengkak. Ekimosis

mungkin hanya terdapat pada kelopak mata bawah dan derah infraorbita atau di

sekitar seluruh tepi orbita.

2. Pendataran dari tonjolan pipi.

257

Ini adalah tanda yng paling biasa ditemukan pada cedera komplek zygoma yang

dilaporkan 70-86% kasus, khususnya jika terdapat distraksi dari sutura

frontozygomatikus dan rotasi dan atau remuknya bagian medial. Pendataran

mungkin sulit untuk dilihat segera setelah terjadinya cedera jika terdapat edema;

namun biasanya dapat diperoleh dengan menekankan jari telunjuk pada jaringan

lunak darah zygoma dan membandingkan satu sisi dengan yang lainnya dari

sebelah atas pasien.

3. Pendataran di atas arkus zygoma.

Lekukan yang khas atau hilangnya kurvatura cembung yang normal dari daerah

temporal menyertai fraktur dari arkus zygoma.

4. Nyeri.

Kecuali jika ada pergerakan dari segmen fraktur, nyeri hebat bukan merupakan

gambaran yang normal dari cedera zygoma meskipun pasien akan mengeluh

karena merasa tidak nyaman sehubugan adanya memar. Palpasi dari sisi fraktur

juga akan menimbulkan rangsangan nyeri.

5. Ekimosis dari sulkus bukalis maksila.

Tanda yang penting dari fraktur zygoma atau fraktur maksila adalah ekimosis

pada sulkus bukalis maksila. Ekimosis ini bisa terjadi meskipun hanya dengan

sedikit gangguan pada maksila lateral atau anterior dan seharusnya tanda ini

dicurigai sebagai fraktur zygoma.

6. Deformitas pada tonjolan zygomatik dari maksila.

Palpasi intraoral dari aspek anterior dan lateral dari maksila seringkali

menunjukkan irregularitas dari permukaan halus yang normal, khususnya di

daerah tonjolan zygomatikus dari maksila. Juga sering teraba fragmen tulang yang

remuk, yang menimbulkan krepitasi. Jika pada manuver ini tidak teraba

tenderness, mungkin tidak terdapat adanya fraktur. Tidak adanya nyeri

menunjukkan tidak adanya fraktur, tetapi adanya nyeri belum tentu ada fraktur,

karena nyeri bisa ditimbulkan karena cedera pada jaringan lunak atau fraktur

maksila.

7. Deformitas dari tepi orbita.

258

Fraktur yang terjadi sepanjang tepi orbita seringkali menimbulkan celah atau

deformitas jika terjadi displacement. Deformitas ini sering ditemukan pada tepi

infra orbita dan tepi orbita lateral bila terjadi fraktur zygoma.

8. Trismus.

Terbatasnya kemampuan untuk membuka mulut sering terjadi bersamaan cedera

zygoma, terjadi pada kira-kira sepertiga kasus, dan lebih banyak lagi terjadi pada

fraktur tertutup dari arkus zygoma (45%). Alasan yang sering dikemukakan untuk

terjadinya trismus pasca fraktur adalah bergesernya prosesus koronoideus

mandibula pada fragmen zygoma yang berubah posisi. Sebenarnya terjadinya

pergeseran ini pada sebagian besar kasus masih meragukan, karena diperlukan

perubahan posisi yang cukup besar untuk menyebabkan gangguan mekanik.

Penjelasan yang lebih mendekati adalah spasme otot yang terjadi sekunder

terhadap pergeseran oleh fragmen yang berubah posisi, khususnya pada otot

temporalis. Temuan lain adalah terdapatnya deviasi kearah sisi yang fraktur pada

saat mulut dibuka.

9. Epistaksis.

Apabila mukosa sinus mengalami gangguan, mungkin terjadi perdarahan pada

sinus tersebut. Kebanyakan fraktur melalui dinding sinus yang hanya mengalami

sedikit perubahan posisi akan merobek mukosa yang melapisinya, menghasilkan

perdarahan internal. Karena sinus maksilaris dialirkan ke hidung melalui meatus

tengaha, perdarahn unilateral dari hidung yang mungkin terjadi adalah kira-kira

30-50% dari cedera komplek zygoma.

10. Sensibilitas saraf yang abnormal.

Gejala penting yang ditemukan pada kira-kira 50-90% dari cedera komplek

zygoma adalah berkurangnya sensasi nervus infraorbitalis. Parestesi nervus

infraorbitalis lebih sering terjadi pada fraktur dengan perubahan posisi daripada

yang tidak. Meskipun sulit untuk membedakan antara anestesia dari sensasi yang

berubah pada penelanan, jaringan edema, yang pada saat bengkaknya berkurang,

anestesia nervus orbitalis mulai dirasakan. Anestesia infraorbital terjadi bila

fraktur yang melalui dasar atau maksila naterior menyebabkan robeknya,

terpotongnya atau kompresi dari nervus infarorbitalis sepanjang kanalis atau

259

foramennya. Bila garis fraktur terjadi lateral dari jalur dan foramen infraorbital

(lebih jarang terjadi) nervus infraorbitalisnya akan terselamatkan. Terganggunya

nervus orbitalis akan menyebabkan anestesia kelopak mata bawah, bibir atas dan

bagian lateral hidung. Gejala tersebut bisa mempengaruhi sensitivitas gigi dan

gusi maksila.

11. Ekimosis subkonjungtiva.

Perdarahan subkonjungtiva sering ditemukan pada fraktur zygoma, sekitar 50-

70% kasus. Mungkin disertai retak yang sangat tipis melalui tepi orbita jika

periosteum telah robek. Kehadirannya tidak mengesampingkan adanya fraktur

tepi orbita, karena tidak adanya gangguan dari periosteum, perdarahan yang

mungkin terjadi dapat terskumulasi pada lokasi subperiosteal dan tidak tampak

dibawah konjungtiva. Bila terjadi, ekimosis subkonjungtiva biasanya tidak

mempunyai batas posterior dan kan tampak berwarna merah cerah sesuai dengan

kemampuan oksigen untuk menyebar melalui konjungtiva untuk pengumpulan

darah.

12. Krepitasi dari emfisema udara.

Fraktur yang melalui dinding sinus, dengan robekan pada mukosa yang melapisi,

menyebabkan udara bergerak menuju jaringan lunak wajah jika tekanan diantara

sinus lebih besar daripada tekanan didalam jaringan. Jaringan lunak dari daerah

periorbita terutama kelopak mata, cenderung terinflasi oleh udara karena

kehilangan sifat areolar. Jika terjadi inflasi dapat dilakukan palpasi dan

menimbulkan krepitasi, yang menunjukkan emfisema subkutan. Hal ini yang

paling mudah dikerjakan dengan jalan memutarkan dua jari dengan lembut

diseputar jaringan, yang akan memproduksi sensasi “crackling” yang khas. Hal ini

tidak umum ditemukan pada fraktur zygoma, tetapi potensi untuk terjadinya

emfisema udara konstan. Emfisema ini akan menghilang secara spontan dalam 2-

4 hari tanpa perawatan. Signifikan dari emfisema ini adalah berpotensi terjadinya

infeksi melalui hubungan antara sinus dan jaringan lunak.

13. Perubahan posisi dari celah palpebra.

Ligamentum palpebra lateralis menempel pada bagian zygoma dari tepi orbita.

Perubahan posisi dari zygoma juga termasuk palpebra yang menempelnya,

260

menghasilkan deformitas visual yang dramatis. Pada waktu zygoma mengalami

perubahan posisi pada arah anterior, ligamentum palpebra lateralis juga tertekan,

menyebabkan lekukan yang menurun ke celah (kemiringan antimongoloid).

Karena sekat orbita menempel pada tepi infraorbita, perubahan posisi inferior atau

posterior dari tepi orbita inferior menyebabkan tekanan pada kelopak mata yang

lebih rendah, sehingga tampak memendek. Kondisi ini mungkin menyebabkan

lebih banyak sklera yang terekspos di bawah iris dan tampak ektropion yang

nyata.

14. Level pupil yang tidak sama.

Dengan adanya gangguan dasar orbita dan bagian lateralnya, yang sering

menyertai fraktur zygoma, hilangnya dukungan tulang dari isi orbita dan

perubahan posisi dari kapsul tendon dan ligamentum suspensorium dari bola

mata. Keadaan ini tampak secra klinis berupa level pupil yang tidak sama, dimana

pupil pada bagian yang terkena terletak lebih rendah daripada normal.

15. Diplopia.

Adalah nama yang diberikan untuk gejala pandangan kabur. Penting untuk

membedakan antara dua jenis diplopia. Diplopia monocular atau kaburnya

pandangan dari satu mata, sementara yang satu tertutup, memerlukan perhatian

segera dari ahli mata, karena biasanya menunjukkan lepasnya lensa, hifema atau

cedera traumatik lain dari bola mata. Diplopia binokular, dimana kaburnya

pandangan hanya terjadi bila melihat dengan kedua mata secara bersamaan, hal ini

biasa terjadi kira-kira 10-40% dari cedera zygoma. Petunjuk yang bermanfaat

untuk membedakan penyebab dari diplopia adalah temuan bahwa edema yang

menyeluruh dari orbita biasnya menyebabkan diplopia pada pandangan keatas dan

kebawah yang ekstrim. Kuarngnya gerakan mata yang hampir lengkap dalam satu

arah terjadi dengan pengaruh mekanis atau cedera neuromuskuler, yang paling

banyak adalah terperangkapnya otot. Diagnosa diplopia bisa sangat sulit pada

tingkat awal dimana edema atau perdarahan bisa berkurang dalam beberapa hari

namun terperangkapnya jaringan orbita tetap tidak berkurang. Dapat ditentukan

apakah pada fraktur terdapat isi orbita yang melalui dasar orbita dengan forced

duction test. Forcep kecil digunakan untuk memegang tendon rektus inferior

261

melalui konjungtiva dari forniks inferior, dan bola mata dimanipulasi melalui

seluruh arah gerakan. Ketidakmampuan rotasi bola mata ke arah superior

menunjukkan secara pasti terperangkapnya isi orbita dan paralisis yang

disebabkan oleh edema atau cedera neuromuskuler. Hal ini harus dilakukan secara

rutin pada individu yang tidak bisa menggerakkan bola mata ke arah atas.

16. Enoftalmus.

Jika cedera zygoma sudah menyebabkan kenaikan volume orbita, pada umumnya

disebabkan oleh perubahan posisi lateral dan inferior dari zygoma atau gangguan

dinding orbita lateral dan inferior, atau keduanya atau mengakibatkan

berkurangnya volume dari isi orbita yang disebabkan oleh herniasi dari jaringan

lunak orbita, dapat enoftalmus. Ini adalah diagnosa yang sulit dilakukan pada

keadaan akut kecuali pada kondisi yang sangat berat, dimana edema pada jaringan

lunak sekitarnya selalu menimbulkan enoftalmus relatif. Pada saat bengkaknya

sudah hilang, enoftalmus akan tampak lebih nyata dan seringkali dihubungkan

denga terjadinya ptosis bola mata. Manifestasi klinik dari enoftalmus

dititikberatkan pada sulkus kelopak atas dan penyempitan fisur palpebra, yang

menyebabkan pseudoptosis dari kelopak atas. Fraktur zygoma yang menunjukkan

gejala enoftalmus kira-kira 5% dari seluruh kasus sebelum dilakukan perawatan.

2.3.2 PEMERIKSAAN RADIOGRAFIS

Diagnosa fraktur zygomatik biasanya dibuat dengan pemeriksaan riwayat

dan fisik. Pemindaian CT pada tulang wajah, pada bidang aksial dan koronal,

adalah standar untuk seluruh pasien dengan dugaan (suspect) fraktur zygomatik.

Radiografi membantu untuk konfirmasi dan untuk dokumentasi medikolegal dan

untuk menentukan perluasan cedera tulang.

A). Tomografi Komputasi

CT adalah standar emas untuk evaluasi radiografi fraktur zygomatik.

Gambaran aksial dan koronal didapat untuk menentukan pola fraktur, derajat

pergeseran, dan serpihan dan untuk mengevaluasi jaringan lunak orbital. Secara

spesifik, pemindaian CT memberikan visualisasi dan dasar-dasar dari tengkorak

wajah tengah: dasar-dasar nasomaksilaris, zygomaticomaksilaris, infraorbital,

262

zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Pandangan

koronal khususnya membantu dalam evaluasi fraktur dasar orbita (Gambar 6A).

Jendela jaringan lunak, pada dataran koronal, berguna untuk mengevaluasi otot-

otot ekstraokuler dan untuk mengevaluasi herniasi jaringan orbita kedalam sinus

maksilaris.

B). Radiograf Biasa

Pemindaian CT (CT scan) telah menggantikan film biasa untuk diagnosa

dan penanganan fraktur kompleks zygomatik. Meskipun demikian, sebuah

pengetahuan kerja fundamental pada teknik ini diperlukan. Pada banyak ruang

emergensi dan rumah sakit, pasien trauma akan masih menjalani evaluasi

radiografi film biasa. Kemampuan untuk membaca dan interpretasi film-film ini

menjadi diagnosa dan merawat pasien-pasien ini adalah penting.

A B C

GAMBAR 6. A, Coronal CT scan, terlihat gambaran zygomaticomaxillary buttress dekstra dan

fraktur dasar orbital dengan herniation of orbital padamaxillary sinus. B, Waters’ view, terlihat

gambaran fraktur kompleks zygomatic dekstra. C, Submentovertex view,terlihat gambaran

displaced fraktur arkus zygomatikus sinistra.1

a. Water’s View.

Radiograf tunggal terbaik untuk evaluasi fraktur kompleks zygomatik

adalah Water’s view. Ia adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan kepala

yang terposisi pada sudut 27° terhadap vertikal dan dagu berada pada kaset

(cassette). Hal ini memproyeksikan piramida petrosa jauh dari sinus maksilaris,

memberikan visualisasi sinus-sinus, orbita lateral, dan lingkaran infraorbita

(Gambar 6B). Ketika hal ini dikombinasikan dengan sebuah Water’s view yang

263

terangkat, sebuah pandangan stereografi dari fraktur dapat terlihat. Pada pasien

yang tidak mampu mengira-ngira posisi wajah kebawah, proyeksi Water’s view

terbalik memberikan informasi yang sama.

b. Caldwell’s View.

Caldwell’s view adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan wajah

pada sudut 15o terhadap cassette. Penelitian ini membantu dalam evaluasi rotasi

(disekitar aksis horisontal).

c. Submentovertex View.

Submentovertex (jug-handle) view diarahkan dari daerah submandibula

ke vertex tengkorak. Ia membantu dalam evaluasi arcus zygomatik dan proyeksi

malar (Gambar 6C).

264

BAB III

PENATALAKSANAAN FRAKTUR KOMPLEK ZYGOMA

Tidak semua fraktur zygoma memerlukan intervensi bedah. Pada kasus

fraktur yang tidak diikuti pergeseran fragmen (undisplaced) atau dengan

pergeseran minimal tidak diperlukan intervensi bedah. Jika tidak dilakukan

intervensi bedah maka pasien sebaiknya diobservasi selama dua sampai tiga

minggu dengan diet lunak7.

Bila terjadi pergeseran fragmen maka diperlukan suatu reduksi (reposisi)

dengan cara terbuka (open reduction). Reduksi tertutup tidak bisa dilakukan,

karena kita tidak mungkin melakukan manipulasi eksternal1.

Sebagian besar ahli bedah berpendapat, pada fraktur zygoma setelah suatu

tindakan reduksi, fiksasi tidak mutlak diperlukan. Fiksasi hanya diperlukan bila

ada indikasi, seperti pada fraktur communite1

Disamping itu fraktur zygoma juga sering melibatkan orbita. Davies

mengemukakan adanya insiden kerusakan (disruption) dasar orbita sebesar 47%

pada penderita fraktur zygoma. Pada kasus ini diantaranya diperlukan

rekonstruksi dengan pemakaian implan dasar orbita atau graft untuk mendukung

jaringan periorbita7.

3.1 TEKNIK REDUKSI

A). Pendekatan Vestibulum Maksila

Pendekatan ini paling populer, karena scar yang terjadi tidak terlihat.

Berbagai instrumen juga bisa digunakan dengan pendekatan ini antara lain

cushing elevetor, large Kelly hemostat, tang ekstraksi gigi3,7

.

265

Gambar 7:reduksi melalui pendekatan vestibulum maksila2

Insisi dilakukan kira-kira 3 sampai 5 mm di atas mucogingival junction

dari gigi insissivus pertama diperluas ke posterior sesuai keperluan, biasanya

sampai gigi molar pertama. Fraktur infraorbital rim, maksila bagian anterior dan

buttress zigomatikomaksila mudah dicapai dengan pendekatan ini7.

Keuntungan dari pendekatan ini adalah scar yang terjadi tersembunyi,

sederhana, lebih cepat dan komplikasinya sedikit1,3

.

B). Pendekatan Supraorbital Eyebrow

Pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan akses ke lateral orbital rim

(daerah frontozigoma). Sebelum melakukan insisi, operator sebaiknya meraba

daerah lateral orbital rim untuk menentukan lokasi fraktur. Insisi dilakukan

sepanjang 2 cm dan bisa meluas ke bawah eyebrow sesuai lokasi fraktur7.

Pada teknik ini instrumen diinsersikan pada posterior zygoma sepanjang

permukaan temporal. Instrumen digunakan untuk mengangkat zygoma ke

anterior, lateral, dan tangan yang lain meraba infraorbital rim dan body zigoma.

Alat yang digunakan Large Kelly hemostat, Dingman Zygomatic Elevator atau

urethral sound 1,3

.

Secara estetis scar yang dihasilkan kurang tersembunyi pada pasien dengan

eyebrow yang tidak meluas ke lateral dan disamping itu akses yang didapat tidak

terlampau luas1,4

.

266

Gambar 8: Pendekatan supraorbita eyebrow (alis mata) 1,3

C). Pendekatan Upper Eyelid (Kelopak Mata Atas)

Pendekatan ini sering juga disebut upper blepharoplasty atau pendekatan

supratarsal fold. Insisi dilakukan pada lipatan kulit di kelopak mata atas. Insisi

dibuat sekurang-kurangnya 10 mm di atas tepi kelopak mata. Scar yang terbentuk

didaerah ini tidak menarik perhatian1,3

.

Gambar 9: Pendekatan pada kelopak mata atas1,4

D). Pendekatan Subtarsal

Pendekatan ini paling sering dilakukan untuk mendapatkan akses ke orbital

rim, dan dasar orbita. Insisi dibuat pada lipatan kulit di kelopak mata bawah

dibawah level tarsus. Keuntungan dari pendekatan subtarsal ini adalah relatif

mudah, baik secara estetis dan komplikasinya minimal1,3

.

267

Gambar 10: Pendekatan subtarsal1,4

E). Pendekatan Subkonjungtiva

Pendekatan ini dapat dikombinasi dengan canthotomy lateral untuk

membuka dasar orbita. Sebelum tindakan ini dilakukan pemasangan pelindung

kornea (corneal shell). Mula-mula dilakukan canthotomy dengan menggunakan

gunting jaringan pada fisura palpebra lateral dan memotong dalam arah

horizontal. Dengan menarik tepi kelopak, gunting kemudian diarahkan ke bawah

kemudian dilakukan transeksi terhadap tendon chantal lateral (inferior

cantholysis), bila telah sempurna kelopak mata akan jatuh bebas. Kemudian

dilakukan pemisahan (undermine) palpebra konjungtiva tepat dibawah tarsus ke

arah medial sampai lacrimal punctum. Salah satu ujung gunting dikeluarkan dari

pocket dan dilakukan penarikan dengan retraktor, kemudian dilakukan insisi

konjungtiva pada fornik dengan gunting. Setelah itu dilakukan diseksi tumpul

pada orbital rim1,3

.

268

A B

C D

Gambar 11: Pendekatan subkonjungtiva1,3

F). Pendekatan Koronal

Pendekatan ini nampaknya radikal dalam penanganan fraktur zigoma, tapi

menyediakan akses yang sangat baik ke orbita, body zigoma dan lengkung zigoma

tanpa komplikasi, serta Scar yang terbentuk tidak terlihat7.

Insisi ditempatkan atas dua pertimbangan. Pertama hairline, harus

diantisipasi kemungkinan terjadinya kemunduran hairline, maka insisi

ditempatkan beberapa sentimeter dibelakang hairline. Kedua, besarnya akses ke

inferior yang diperlukan, untuk keperluan ini insisi koronal dapat meluas ke lobus

dari telinga7.

Insisi dilakukan dengan menggunakan pisau no. 10 menembus kulit, sub

kutis dan galea. Pada tahap ini akan ditemukan jaringan ikat longggar, flap akan

dengan cepat (mudah) dilepaskan perikranium. Tepi insisi (anterior dan posterior)

diangkat 1 sampai 2 cm untuk pemasangan klip hemostatik (Raney Clips). Flap

anterior dipisahkan dengan diseksi tumpul sampai kira kira 2 cm dari body

lengkung dan zigoma. Kemudian lapisan superfisial fasia temporal diinsisi, akan

terlihat permulaan lengkung zigoma. Dari lengkung zigoma, dilakukan diseksi

269

tumpul sampai ke lateral orbita dan lengkung zigoma. Infraorbital rim dapat

terlihat dengan memperluas diseksi dari lateral orbita ke medial1,3

.

Penutupan dimulai dengan penjahitan fasia temporal, kemudian penutupan

scalp dengan dua lapis jahitan yaitu gelea dan kutis dengan benang 2-07.

Gambar 12: Pendekatan koronal1,4

G). Pendekatan Perkutan

Ini merupakan teknik yang paling sederhana dan tidak memerlukan diseksi

jaringan lunak dan bisa menggunakan beberapa instrument. Carol-girard screw

instrument yang bisa digunakan meredukasi zigoma, screw-nya dapat tertanam

dalam zigoma pada lubang yang dibuat sebelumnya. Keuntungan dari penggunaan

screw ini adalah dapat dilakukan kontrol yang lebih baik dalam mengembalikan

posisi zigioma. Alat lain yang sering digunakan adalah Bone hook1,3

.

270

Gambar 13:Reduksi melalui pendekatan perkutan 1,3

H). Pendekatan Temporal

Pada pendekatan ini dibuat insisi sepanjang 2,5 cm menembus kulit dan

subkutis sampai terlihat warna putih yang merupakan fasia temporalis. Kemudian

dilakukan insisi pada fasia, insisi harus cukup dalam sampai otot temporal terlihat.

Setelah itu insersikan elevator diantara fasia dan otot temporal dan didorong

sampai body zigoma dan mengembalikan posisinya1.

Gambar 14 : Reduksi melalui pendekatan temporal 1

3.2 PRINSIP FIKSASI

Untuk mempertahankan hasil reduksi, jika hanya memerlukan satu plate,

dianjurkan untuk memasang pada prosesus frontozigomatik. Pape (1997)

merekomendasikan untuk menggunakan satu atau dua mikroplate pada

zigomatikomaksila buttress7.

271

Pada fraktur Comminuted di infraorbital rim direkonstruksi dengan

menggunakan microplate. Plate yang digunakan biasanya sebanyak 4 lubang

dengan panjang 5 atau 7 mm7

3.3. KOMPLIKASI

Walaupun komplikasi pada fraktur kompleks zygoma dan lengkung

zygoma tidak umum terjadi, ahli bedah harus mengenali tanda-tanda dan gejala

untuk dapat memberikan perawatan yang tepat. Komplikasi bisa saja terjadi pada

masa awal periode postoperasi atau hanya menjadi manifestasi dikemudian hari.

A). Paresthesia Infraorbita

Insidensi perubahan sensoris saraf infraorbita yang menyertai trauma

zygoma berkisar 18 hingga 83%. Penelitian oleh Vriens bersama mahasiswanya

dan Taicher bersama mahasiswanya, telah menemukan bahwa pemulihan sensasi

infraorbita yang lebih baik yang menyertai reduksi yang terbuka dan fiksasi

internal pada sutura zygomatikofrontal dibandingkan dengan reduksi yang tanpa

disertai dengan fiksasi. Sepertinya, reduksi anatomis pada fraktur dapat

meminimalisir tekanan saraf dan dibiarkan untuk pulih. Namun, pada penelian

Vrien, tidak didapat tingkat kesembuhan yang sama pada pasien yang

membutuhkan eksplorasi bagian dasar dan rekonstruksi orbita.

B). Malunion dan asimetris

Fraktur malunion dari zygoma terjadi dalam beberapa tingkat keparahan.

Meskipun pada sebagian besar kasus terdapat defisit kosmetik, malposisi dari

tulang bisa menyebabkan penurunan fungsi mandibula. Insidensi terjadinya

asimetris bervariasi antara 3,6-27% pada seluruh fraktur komplek

zigomatikomaksilaris, namun angka ini hanya berdasarkan pada penilaian klinis.

Sebagian besar fraktur malunion dari zygoma didapatkan karena kekeliruan untuk

mengetahui keparahan dari cedera atau reduksi yang tidak stabil. Malunion yang

diketahui sampai 6 minggu setelah cedera masih bisa dikoreksi, menggunakan

teknik reduksi zygoma rutin. Teknik koreksi yang terlambat meliputi uatograft

272

maupun homograft atau bahan-bahan aloplastik dan ostektomi zygoma. Meskipun

bahan aloplastik telah dianjurkan, kontur yang dihaasilkan mungik irreguler dan

potensial terjadinya migrasi dan ekstrusi dari implan tersebut sepanjang waktu.

Untuk deformitas minor, kartilago telah terbukti lebih efektif. Bagaimanapun

defek yang lebih besar memerlukan reposisi kraniofasial atau penempatan tulang.

C). Enophtahlmos

Enophtahlmos merupakan satu dari beberapa komplikasi yang paling

mengganggu yang menyertai fraktur-fraktur zygoma. Peningkatan volume orbita

merupakan etiologi yang paling umum.

Grant bersama mahasiswa menjelaskan permasalahan klinis ini secara

jelas dengan membandingkan bentuk orbit dan bentuk kerucut. Volume kerucut

adalah ½ ( r2)h. Posisi lengkung orbita menentukan radius kerucut dan dimensi

panjang anteroposterior orbita adalah tinggi dari kerucut. Pada rumus ini, radius

dikwadratkan dan sedikit penambahan pada radiusnya menghasilkan pertambahan

volume yang drastic. Secara klinis, kesejajaran yang buruk dari lingkar orbita

dapat menambah volume orbita secara signifikan dan menimbulkan

enophthalmos.

Fraktur pada bagian dasar orbita juga merupakan akibat dari enophthalmos

dengan pertambahan volume orbita (Gambar 15). Dengan teknologi CT-scan yang

lebih baik, kalkulasi volume orbita dan implikasinya terkait dengan fraktur pada

bagian dasar orbita, mungkin saja untuk dilakukan.

Gambar 151

273

Raskin bersama mahasiswa menunjukan bahwa pertambahan sebesar 13%

pada volume orbita, pada 4 minggu, mengakibatkan enophthalmos yang

siginifikan (>2mm). Ukuran pada kerusakan orbita dan tonjolan abnormal pada

jaringan orbita juga telah diteliti. Pada tahun 2002, Ploder bersama mahasiswa

menjelaskan bahwa nilai rata-rata area fraktur sebesar 4,08 cm atau rata-rata nilai

jaringan yang bergeser sebesar 1,89 mL, dikaitkan dengan enophtahlmos dengan

ukuran lebih besar dari 2 mm. Pada umumnya, kira-kira 1 cm3 jaringan yang

bergeser sebanding dengan 1 mm enophthalmos.

Perawatan enophthalmos yang telat bisa dikatakan cukup menantang.

Akses yang luas dengan oetotomy zygoma, reposisi, dan grafting bisanya

diperlukan. Re-draping dari jaringan lunak periorbital termasuk itu canthopexy

juga diperlukan.

D). Diplopia

Diplopia merupakan kondisi abnormal (sequel) pada fraktur bagian tengah

wajah. Insidensinya bervariasi anatar 17 dan 83% dan tergantung dari waktu

timbulnya yang menyertai kerusakan dan pola serta tingkat keparahan dari

kerusakan. Pada pengamatan 2067 kasus fraktur kompleks zgoma, Ellis bersama

mahasiswa mencatat sebanyak 5,4 hingga 74,5 % insidensi diplopia. Fraktur

kompleks zygoma non-displaced dan fraktur lengkung zygoma yang terisolir

memiliki insidensi diplopia terendah, sedangkan fraktur murni memiliki insidensi

yang tinggi.

Penyebab-penyebab utama diplopia antara lain adalah edema dan

hematoma, terjepitnya otot-otot ekstraokular dan jaringan orbita, dan kerusakan

saraf III, IV, atau VI cranial. Penelitian histologist oleh Iliff bersama

mahasiswanya telah menunjukan fibrosis post-traumatik pada otot-otot

extraocular sebagai akibat kerusakan yang ditimbulkan. Mereka mengajukan

hipotesis bahwa hal ini bisa saja merusak contractility dan mengurangi terjadinya

penyimpangan otot-otot. CT scan pada bagian axial dan coronal serta konsultasi

dengan ahli mata perlu dilakukan untuk membantu pelaksanaan evaluasi. Diplopia

yang berhubungan dengan edema, hematoma, atau neurogenic bisa saja diatasi

274

tanpa adanya intervensi. Diplopia yang ditimbulkan oleh entrapment

membutuhkan eksplrasi dan reduksi tonjolan abnormal pada jaringan orbita

(gambar 19).

Diplopia yang menetap membutuhkan perawatan oleh ahli mata. Kondisi

tersebut membutuhkan perhatian khusus atau pembedahan.

E). Hyphema Traumatik

Trauma pada mata bisa mengakibatkan perdarahan di dalam ruang

anterior-area di antara kornea dan iris yang berwarna (gambar 15). Konsultasi

dengan ahli mata diperlukan. Hasil akhir perawatan termasuk pula pencegahan

terhadap perdarahan, yang bisa saja terjadi pada 5-30% pasien, dan

mempertahankan keadaan ocular normal.

Penatalaksanaan hyphema terdiri atas terapi suportif termasuk itu

mengatur kemiringan bagian kepala tempat tidur dan mengobati bagian mata yang

rusak. Penatalaksanaan medis dengan menggunakan cycloplegic topikal, dan beta-

blocker. Antifibrinolitik sistemik, carbonic anhydrase inhibitor, dan osmotic agent

juga diperlukan. Intervensi pembedahan oleh ahli mata jarang dibutuhkan.

Perawatan fraktur dapat ditunda.

F). Trauma Neuropati Optik

Trauma neuropati optik dapat saja bermanifestasi sebagai kondisi yang

meluas dari gambaran defisit yang ringan hingga gambaran kehilangan secara

keseluruhan. Konsultasi dengan ahli mata harus dilakukan. Perawatannya

bervariasi tergantung dari penyebabnya tapi bisa saja melibatkan penggunaan

steroid secara sistemik atau pembedahan dengan dekompresi saraf orbital atau

optik. Perawatan pada fraktur wajah dapat ditunda.

G). Sindrom Superior Orbital Fissure

Sindrom orbital fissure merupakan komplikasi yang tidak umum yang

menyertai trauma wajah. Keadaannya bisa saja berupa ptosis, ophthalmoplegia,

forehead anesthesia, dan fixed dilated pupil. Proptosis juga mungkin terlihat

275

Perawatannya bisa berupa reduksi fraktur, steroid, eksplorasi apeks orbital dan

aspirasi hematoma retrobular, apabila ada.

H). Perdarahan retrobulbar

Perdarahan pada retrobular jarang terjadi namun merupakan komplikasi

yang parah yang dapat mengakibatkan kerusakan awal atau koreksi operatif.

Gangguan pada sirkulasi retina dapat mengakibatkan iskemi yang ireversibel dan

kebutaan permanen. Pengamatan pada 1405 kasus fraktur orbita, Ord melaporkan

insidensi sebanyak 0,03% pada perdarahan retrobular posoperatif disertai dengan

kehilangan penglihatan. Konsultasi sesegera mungkin dengan ahli mata

diperlukan, namun dekompresi dengan canthotomy lateral dan cantholysis

sebaiknya tidak ditunda ( gambar 16).

Gambar 16 A. Retrobulbar hemorrhage. A, pasien dengan keluhan sakit pada periorbital,fiksasi

dan dilatasi pupil, proptosis, dan akut progressiveloss of vision dengan hyphema. B, Immediate

lateralcanthotomy and cantholysis were performed.3

I). Trismus

Berkurangnya gerakan mandibula mungkin merupakan komplikasi yang

merugikan dari fraktur zygoma. Penyebab yang paling umum terjadi adalah

terkenanya zygoma pada prosesus koronoid dari mandibula. Trismus juga bisa

terjadi secara sekunder akibat ankilosis fibrosis atau fibrooseus dari koronoid pada

arkus zygoma. Terkenanya zygoma atau arkus zygoma atau koronoidektomi

mungkin diperlukan untuk memulihkan gerakan normal dari mandibula

276

277

BAB IV

KESIMPULAN

Perawatan fraktur zygoma memerlukan tindakan bedah bila tidak ada

pergeseran fragmen atau pergeseran minimal. Bila terjadi pergeseran fragmen

diperlukan tindakan reduksi terbuka. Setelah tindakan reduksi terbuka tidak selalu

diperlukan fikasasi, kecuali atas indikasi seperti fraktur cumminuted.

Untuk tindakan reduksi dapat dilakukan pendekatan supra eyebrow (alis

mata), kelopak mata atas, subtarsal, sub konjungtiva, koronal, perkutan dan

temporal

278

DAFTAR PUSTAKA

1. Ellis E. Oral and Maxillofacial Trauma. 2005. 3rd Ed.Vol 1. Elsevier

Saunders.

2. Thaller SR, McDonald WS. 2004. Facial Trauma. New York : Marcel

Dekker.

3. Fonseca, R.J., et. All. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. Third Ed.

WB Saunders Co. Philadelphia.

4. Tucker MR, Ochs MW. Management of facial fractures. Dalam : Peterson

et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosby co.

2003

5. Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus.

Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1

tahun IX hal 41-50.

6. Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex

Fractures. Dalam : Miloro M et al. Peterson’s principles of Oral and

Maxillofacial Surgery 2nd

. Hamilton, London : BC Decker Inc. 2004

7. David D.J., 1995, Craniomaxillofacial Trauma, 1th

ed. Churchill

Livingstone, London

8. Harle, F, et al., 1999. Atlas of Craniomaxillofacial Osteosynthesis, 1th

ed.

Thieme. New York.

9. Gray H. 2010. Anatomy of The Human Body : The Zygomatic Bone.

Available at : http:// www.bartleby.com/107/40.html

279

10.

FRAKTUR PALATAL

Leidya Valentina Elizabeth

160121120009

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis

Bedah Mulut Dan Maksilofasial

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung

Abstrak : Fraktur palatal jarang ditemukan sebagai diagnosis tunggal pada pasien

dengan trauma kraniofasial. Fraktur palatal biasanya berhubungan dengan fraktur

midfasial atau panfacial, dan berhubungan dengan fraktur Le Fort (8-13,2%).

Gejala klinis fraktur ini antara lain seperti ekimosis palatal pada fraktur tertutup

dan laserasi pada bibir atas atau mukosa palatal, kehilangan gigi incisivus, atau

disruption pada hubungan oklusi pada fraktur dislokasi. CT scan dilakukan

dengan potongan yang tipis, setiap 1.0 sampai 1.5mm, menunjukkan fraktur

dengan jelas.

Kata kunci : Fraktur palatal, alveolar maksila.

280

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur palatal memberikan tantangan unik untuk keterampilan bedah

dalam penanganan fraktur midfasial. Fraktur tidak stabil ini seringkali ditemukan

pada pasien trauma maksilofacial. Sering kali fraktur palatal dihubungkan dengan

fraktur midfasial lainnya. Fraktur palatal ditemukan pada 8% fraktur Lefort dan

jarang ditemukan sebagai fraktur palatal sendiri. Untuk memastikan stabilisasi

post operasi yang tepat dan restorasi oklusi sebelum cedera, pendekatan tahap

operasi diperlukan untuk setiap kelas fraktur palatal3.

Fraktur palatal jarang sebagai diagnosa tunggal pada pasien dengan trauma

kraniofasial. Biasanya berhubungan dengan fraktur midfasial atau panfasial, dan

dilaporkan sebanyak 8-13,2% berhubungan dengan kasus fraktur Le Fort. Tanda

klinis fraktur ini antara lain palatal eccymosis pada fraktur tertutup dan laserasi

bibir atas atau mukosa palatal, kehilangan gigi insisivus, kehilangan relasi oklusal

karena dislokasi fraktur. CT scan dilakukan dengan potongan yang tipis, setiap 1.0

sampai 1.5mm, menunjukkan fraktur dengan jelas.

Pilihan perawatan untuk fraktur palatal meliputi braket ortodontik, arch

bar acylated, dan arch bar untuk fiksasi maxillomandibular untuk fiksasi internal,

dengan plate dan screw yang dipasang dibawah mukosa palatal dan periosteum,

bersama dengan apertura pyriform atau plating alveolar serta rekonstruksi pilar-

pilar pada fraktur Le Fort.

281

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TULANG PALATUM

Palatum durum terbentuk diantara tujuh tulang pilar kraniomaksilofasial.

Palatum terbentuk dari dua tulang yang bersatu: palatum pada bagian maksila dan

bagian horizontal palatum. Lebar dan dalam palatum keras serta lebar dan panjang

mandibula menunjukkan bangunan tiga dimensi sepertiga wajah bagian bawah.

Tulang palatal lebih tebal pada bagian anterior dan berangsur menipis ketika

mendekati palatum lunak. Tanpa memperhatikan crest pada midline, palatum

keras relatif tipis pada regio sagital dan parasagital, namun menjadi lebih tebal ke

arah alveolus. Pada area alveolus, ketebalannya antara 12 sampai 14 mm. Tebal

rata-rata palatal adalah 4,5 mm. Foramen terdapat dekat midline palatum dari arah

anterior (dibelakang insisivus mesial) dan jauh ke arah posterior (dekat gigi

molar). Foramina berukuran sangat kecil dan berfungsi untuk mengimbangi

struktur palatum secara keseluruhan. Periosteum lebih melekat kuat pada

membran mukosa di dalam kavitas oral dibandingkan dengan tulang palatal,

keduanya dikenal sebagai mukoperiosteum.

2.2 DIAGNOSA

Saat ini, hampir pada semua trauma center dilengkapi dengan peralatan

CT Scanner yang sangat akurat, dimana beberapa kasus fraktur palatal dapat

terdiagnosa (Gambar 1a). Peralatan ini sangat penting terutama untuk

mendiagnosa fraktur yang tidak memberikan tanda klinis yang jelas. Pada hampir

semua pasien yang menderita fraktur palatal, akan memberikan tanda dan gejala

yang jelas. Pada lebih dari 65% penderita fraktur palatal, pasien menderita laserasi

bibir, dengan 45% pasien menderita disruption mukosa palatal dan gingival

(Gambar1b). Adanya perubahan oklusi maksila mandibula merupakan tanda yang

dapat ditemui juga. Hampir semua segmen fraktur palatal mengalami pergeseran

282

baik ke arah anterior dan lateral. Ahli bedah harus berhati-hati dalam menentukan

oklusi pada penderita fraktur palatal, karena penderita dapat mengalami fraktur

mandibula juga yang mana dapat mengaburkan diagnosa.

Gambar 1.a) CT-scan b) Klinis fraktur palatal1

2.3 KLASIFIKASI FRAKTUR PALATAL

Fraktur palatal dibedakan berdasarkan hubungan palatal dengan alveolus

maksila, gigi dan midline palatal3.

Type I : Fraktur Alveolar (2 type)

Type Ia : alveolus anterior, meliputi gigi incisivus beserta daerah

alveolusnya.

Type Ib : Posterolateral, meliputi gigi premolar, molar beserta

alveolusnya.

283

a) b).

Gambar 2.a) Tipe Ia b) Tipe Ib2

Type II : Fraktur Sagital

Fraktur type II terjadi pada daerah midline dari palatum. Type ini paling

sering ditemukan pada dekade ke 2 dan ke 3 sebab garis tengah palatum

belum terlalu mengeras.

mmhg

Type III : Fraktur Parasagital

Paling sering ditemui pada dewasa (63%) sebab tulang yang tipis berada di

daerah parasagital. Fraktur pada daerah ini berbeda dengan type Ib sebab

selain daerah premolar dan molar , daerah kaninus juga ikut terlibat.

a) b)

Gambar 3.a) Tipe II b) Tipe III2

Type IV : Fraktur paraalveolar

Terjadi dari arah palatal menuju alveolaris maksila dan berisi gigi-gigi

insisivus.

284

Type V : Fraktur compleks/ Comminuted

Fraktur yang besar multiple, ke arah oblik atau comminuted fraktur kasar.

Type VI : Fraktur Transversal

Fraktur palatal yang paling jarang terjadi, membelah maksila pada dataran

koronal.

a) b) c)

Gambar 4.a) Tipe IV b) Tipe V c) Tipe VI2

285

BAB III

PEMBAHASAN

Perawatan bedah pada fraktur palatal dimulai dengan identifikasi secara

spesifik tipe fraktur, keadaan gigi geligi, dan hubungannya dengan fraktur pada

maksila dan mandibula. Kemungkinan perawatan yang bisa dilakukan adalah:

kombinasi fiksasi internal, pemakaian arch bar, dan palatal acrylic splint pada

fraktur kompleks. Fraktur palatal tipe Ia bisa dirawat menggunakan Erich bar

segmental atau menggunakan braket ortodontik tanpa fiksasi intermaksiler. Kedua

cara perawatan ini bisa didukung dengan pemakaian mini plate atau mikroplate

menggunakan insisi gingival standar untuk Le Fort I. Fraktur tipe Ib bisa dirawat

menggunakan arch bar pada pertemuan segmen fraktur yang terbuka di belakang

pilar zygomaticomaxillary untuk menfasilitasi reduksi terbuka dengan fiksasi

internal. Dianjurkan untuk melakukan fiksasi intermaksiler selama dua atau empat

minggu.

Fraktur palatal tipe II, III, IV dan VI dirawat dengan pendekatan perbagian

secara urut untuk mengurangi kesalahan penyatuan segmen-segmen fraktur.

Oklusi harus didapatkan sebelum merawat fraktur ini.

Reduksi dimulai dengan aplikasi arch bar maksila untuk memasang

tension band melewati segmen alveolus maksila, supaya penyatuan awal dapat

dilakukan. Untuk memastikan penyatuan awal, pasien bisa dipasangi fiksasi

intermaksiler sementara. Setelah fikasi intermaksiler dilepas, perhatian

dilanjutkan pada fiksasi internal rigid pada daerah palatal yang fraktur.

Pendekatan bedah meliputi laserasi atau insisi longitudinal pada palatal untuk

mempertahankan suplai darah pada segmen palatal. Ketika segmen yang fraktur

terlihat, tekanan ke arah mesial menggunakan jari untuk mendapatkan lebar

lengkung dan batas oklusal. Saat menggunakan fiksasi internal yang rigid, paling

tidak dua plate digunakan 9 satu anterior dan satunya lagi diposterior) untuk

286

menghindari terjadinya pergerakan segmen fraktur ke arah posterior,

menghasilkan lebar lengkung daripada yang direncanakan.

Setelah aplikasi fiksasi rigid dan penutupan insisi, fiksasi intermaksilari

dipasang kembali untuk mempersiapkan fiksasi internal rigid pada segmen

piriformis dan ridge alveolar. Pendekatan bedah meliputi laserasi, insisi vestibular

standar untuk Le Fort I, dan jika suplai darah menjadi perhatian, insisi vertikal

ginggiva kemungkinan perlu dilakukan. Pemasangan plate dilakukan di regio

piriformis dan sepanjang basis pilar zygomaticomaksilaris. Rekonstruksi secara

bedah dilakukan setelah semua stabilisasi dilakukan dan stabilisasi oklusi sudah

dipastikan. Direkomendasikan untuk memasang fiksasi intermaksiler selama 2

sampai 4 minggu diikuti dengan elastic guidance dan diet lunak sampai dilepas.

Gambar 5. Acrylic splint2

Fraktur palatal tipe V membutuhkan aplikasi palatal splint akrilik untuk

perawatan. Fraktur comminuted pada palatum sebaiknya dirawat dengan

pendekatan tertutup (close reduction) dimana suplai darah pada segmen fraktur

tidak dapat dikompromikan. Persiapan yang optimal diperlukan pada saat

memperbaiki palatum yang fraktur comminuted. Model gigi diambil dari pasien

untuk membuat model pembedahan di laboratorium dan membuat splint palatal.

287

Splint sebaiknya tidak diperlebar secara interoklusal diantara mandibula dan

maksila. Bisa juga diaplikasikan circumdental wire dengan atau tanpa

menggunakan arch bar.

288

BAB IV

KESIMPULAN

Fraktur palatal memberikan tantangan unik untuk keterampilan bedah

dalam penanganan fraktur midfasial. Fraktur tidak stabil ini seringkali ditemukan

pada pasien trauma maksilofacial. Sering kali fraktur palatal dihubungkan dengan

fraktur midfasial lainnya.

Perawatan bedah pada fraktur palatal dimulai dengan identifikasi secara

spesifik tipe fraktur, keadaan gigi geligi, dan hubungannya dengan fraktur pada

maksila dan mandibula. Kemungkinan perawatan yang bisa dilakukan adalah:

kombinasi fiksasi internal, pemakaian arch bar, dan palatal acrylic splint pada

fraktur kompleks.

289

DAFTAR PUSTAKA

1. Ellis E. Oral and Maxillofacial Trauma. 2005. 3rd Ed.Vol 1.

Elsevier Saunders.

2. Thaller SR, McDonald WS. 2004. Facial Trauma. New York :

Marcel Dekker.

3. Fonseca et al.2005. Oral and Maxillofacial Trauma. Vol 2nd. St

Louis : Elseviere

290

Fraktur Nasal dan Kompleks Orbita

Susanti Bulan

160121120004

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis

Bedah Mulut Dan Maksilofasial

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Abstrak: Cedera pada nasal, orbita dan ethmoid menjadi suatu tantangan baru

baik dari cara mendiagnosa maupun rekonstruksinya pada perawatan setelah

trauma. Hal ini menjadi penting karena terdapat lacrimal apparatus, medial

chantal ligament, dan arteri ethmoidal di daerah tersebut. Hasil yang baik akan

tercapai dengan penguasaan anatomi yang baik, perawatan yang dilakukan sedini

mungkin dan proses rekonstruksi yang hati-hati. Maksud dari penulisan makalah

ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai fraktur nasal dan kompleks

orbita serta perawatannya. Sehingga memudahkan doktergigi jika mendapatkan

kasus-kasus kegawatdaruratan

Kata Kunci: fraktur, nasal, orbita

291

BAB I

PENDAHULUAN

Hidung terdiri dari tulang, jaringan lunak dan kartilago. Fungsinya sebagai

saluran udara ke saluran pernapasan bawah dan paru-paru. Fraktur tulang nasal

dapat bervariasi tergantung arah dan kekuatan yang mengenainya1.

Perawatan fraktur nasal telah menjadi subjek dalam dunia kedokteran

sejak zaman Yunani. Selama berabad-abad, dasar filosofi perawatan adalah

reduksi fraktur dengan mengembalikan pada bentuk dan fungsi yang normal.

Dengan mengetahui hubungan sebab dan akibat antara keparahan trauma dan

derajat deformitas, kita dapat memutuskan pilihan perawatan mana yang akan

dilakukan, dan lebih penting lagi perawatan mana yang paling baik untuk pasien

sesuai dengan traumanya2.

Menurut Christian, fraktur nasal paling sering terjadi pada struktur tulang

fasial dan menurut Schroeder, 50 % fraktur pada tulang fasial terpisah dari

piramid nasal. Fraktur nasal sering kali dirawat dengan penilaian preoperative

yang tidak adekuat. Perluasan disrupsi struktur nasal sehubungan dengan arah dan

derajat kekuatan trauma sering kurang diperhitungkan. Kemudian hidung dirawat

dengan cara sederhana dan hasil akhirnya mungkin jauh dari yang diharapkan,

meskipun pada mulanya tampak cukup baik4.

Pada penelitian yang dilakukan Cruse dari 182 kasus trauma fasial kira-

kira 18% adalah fraktur nasal dan kompleks orbita. Insidensi umur dari pasien

adalah 31 tahun. Kecelakaan kendaraan bermotor sebanyak 70% dan 63%

mengalami cedera pada bagian lain yang cukup parah. Sebanyak 51% mengalami

cedera pada central nervous system dimana 42% nya mengalami keluarnya cairan

cerebrospinal2.

Untuk mendiagnosa fraktur didaerah ini biasanya ditentukan melalui

pemeriksaan CT-Scan. Rontgen film biasa sulit menggambarkan derajat

keparahan dan lokasi dimana cedera itu terjadi. Hal ini terjadi karena pada

292

gambaran rontgen dapat terjadi overlapping struktur-struktur tulang di daerah

tersebut2.

Pada makalah ini akan dibahas dan diharapkan dengan mengetahui

kekuatan trauma, dengan kombinasi dengan pilihan perbaikan dan penilaian

keputusan yang baik, maka ahli bedah dapat membuat diagnosis yang benar dan

memilih rencana perawatan yang tepat untuk pasien.

293

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. ANATOMI

Daerah Hidung-Mata-ethmoid disusun oleh cranium, tulang maksila,

hidung dan orbita. Rekonstruksi yang dilakukan satu-persatu akan

mendapatkankan hasil yang maksimal. Rekonstruksi pada daerah ini dilakukan

secara hati-hati dan memerlukan kontrol terhadap volume orbita. Tulang hidung

dekat dengan bagian anterior dari tulang orbita dan berhubungan dengan tulang

frontal, tulang lakrimal, dan processus maksilaris. Daerah ini merupakan

perlekatan dari medial chantal tendon yaitu processus frontalis dan tulang

lakrimal. Sehingga penting diperhatikan pada saat rekonstruksi untuk mencegah

telechantus, enophtalmos dan disfungsi dari sisem lakrimal. Daerah posterior dari

kompleks nasal berhubungan dengan sinus ethmoidalis dan terletak ditengah dan

dapat dengan mudah terkena trauma karena posisinya yang berdekatan dengan

cribiform plate. Jika ada trauma maka dapat timbul cerebropinal fluid rhinorhea,

pneumocephalus, dan cedera pada saraf olfaktori. Tidak jarang pada cedera yang

parah dapat menyebabkan komplikasi intrakranial2.

Hidung adalah suatu struktur midline sentral fasial yang mempunyai unsur

kosmetik dan fungsional. Secara kosmetik, hidung membantu membentuk central

frame wajah, dan kesimetrisannya adalah penting dalam membentuk simetris

wajah. Fungsi estetiknya memberikan keseimbangan, sehingga mata, pipi, dan

mulut memberikan keindahan wajah. Secara fungsional, hidung merupakan jalan

masuk respirasi nasal manusia pada keadaan normal3.

294

(1) os nasale (2) os. Maksilla

Gambar 1: Anatomi Cranium dan os. Nasal5

Gambar 2: Permukaan dan struktur anatomi hidung 3

295

Pernapasan mulut adalah merupakan tanda terjadinya kelainan pada

saluran pernapasan atas (upper airway), oleh karena itu adanya obstruksi pada

hidung diduga telah terjadi kelainan3.

Secara anatomi, hidung dibentuk oleh gabungan antara tulang pendukung

yang fleksibel dan rigid, yaitu tulang dan kartilago. Tulang hidung adalah

setengah bagian puncak, dan cartilago adalah setengah bagian bawah. Tulang

hidung sendiri adalah rata (flat), berbentuk lembaran empat persegi panjang

(rectangle) yang menebal pada bagian superior, dan berinterdigitasi dengan tulang

frontal dan tipis pada bagian inferior, dan melekat pada bagian atas kartilago

lateral hidung. Prosesus nasalis tulang frontal dan maksila menyebabkan adanya

support dari superior dan lateral, berturut-turut untuk tulang nasal, dan struktur

supporting ini lebih tebal dan lebih kuat dari tulang hidung sendiri. Pada midline,

tulang hidung bersatu untuk membentuk suatu tenda “pup tent”, dengan plat tegak

lurus dari dukungan ethmoid pada garis tengah seperti sebuah tenda. Anastomosis

tulang sepanjang garis sutura antara ketiga tulang adalah rigid, jadi tulang hidung

berbentuk tripod3.

Cartilaginous hidung dibentuk kombinasi dari dua pasang kartilago lateral

atas (upper lateral cartilages) (ULCs)), dua pasang kartilago bagian bawah (lower

lateral cartilages) (LLCs)), satu septum cartilage midline, dan suatu cartilage

terdapat pada beberapa daerah pada jaringan lunak. Pasangan kartilago lateral

bawah, flat, triangular sections dari cartilage hyaline yang melekat secara kuat ke

superior pada tepi inferior dari tulang hidung oleh jaringan fibros konektif yang

kuat. Hubungan ini tidak tepi dengan tepi tetapi overlapping, dengan tulang nasal

yang berada dibawah ULCs. Pada midline, kedua ULCs melekat secara kuat satu

dengan yang lainnya dan kartilago kwadrangular dari septum nasal anterior.

Walaupun penyatuan ini tidak kontinius, penyatuan fibrous ini sangat kuat, oleh

karena itu bagian hidung ini harus dipertimbangkan sebagai tripod. Secara lateral,

ULCs mempunyai perlekatan jaringan lunak pada jaringan fibrofatty dari alae

nasal dan lateral hidung. Pasangan LLCs mempunyai medial crus yang berjalan

lateral dari LLCs yang berjalan dari lateral ke kartilago septum caudal, disebut

dengan kolumela. Lateral krus dari LLCs dapat dibagi atas menjadi daerah puncak

296

medial, dimana ini disebut sebagai ukuran dan besar puncak hidung, dan pada

segmen lateral, yang mendukung alae nasal dan berfungsi untuk menjaga

terjadinya kolaps selama fungsi inspirasi. Kartilago yang berjalan sepanjang

margin inferior lateral LLC. Pada daerah midline terdapat perlekatan fibrous

antara struktur yang membantu membentuk puncak hidung, tetapi ini tidak sekuat

perlekatan pada ULCs dengan septal. Ujung kaudal inferior dari kartilago septum

nasal dilekatkan oleh pita jaringan fibrous pada spina nasalis anterior maksila,

yang akan membantu menjaga terjadinya rotasi ke posterior dari septum dan

kehilangan dukungan puncak hidung. Jaringan yang menutupi tulang dan

kartilago ini adalah jaringan lunak dan mukosa bagian dalam, otot dan kulit. Otot

pada hidung adalah otot depressor septi, dan procerous-kontribusi pada kumpulan

jaringan lunak hidung dan hanya mempunyai sedikit fungsi pada pergerakan fasial

atau respirasi. Kulit dan jaringan subkutan pada tulang hidung tipis dan mobil,

dimana kartilagenous hidung ini lebih tebal dan lebih melekat pada struktur di

bawahnya. Kulit hidung sangat bervariasi ketebalannya, dan mengandung

kelenjar keringat yang semakin meningkat jika kulit semakin tebal. Pada bagian

dalam hidung anterior, kulit yang menutupi hidung berubah menjadi membran

mukos, membentuk mucocutaneous junction3.

Orbit merupakan kavitas tulang yang terbentuk oleh tulang fasial yang

menyerupai rongga pyramid quadrangular dengan dasar berada dalam arah

anterolaterally dan apeksnya dalam arah posteromedially. Dinding medial dari

dua orbit terpisah oleh sinus ethmoidal dan bagian atas dari rongga hidung yang

paralel, sedangkan dinding lateralnya hampir memnbentuk sudut 40 derajat.

Sehingga, axis dari orbit divergen kira-kira 45 derajat. Orbit memiliki kandungan

yang melindungi bola mata serta sruktur visual tambahan yang terdiri atas :

- Kelopak mata, yang membatasi orbit bagian anterior, mengontrol

pembukaan bola mata anterior.

- Muskulus ekstraokular yang memposisikan bola mata dan menaikkan

kelopak mata superior. Yang terdiri atas :

1. M. Levator palpebrae superioris

297

2. Empat m.rectus yang terdiri atas superior, medialis, inferior

dan lateral

3. Dua otot oblik yang terdiri atas obliqus superior dan inferior

- Nervus dan pembuluh darah yang melewati bola mata dan muskulus.

- Membran mukous (konjungtiva) melapisi kelopak mata dan aspek anterior

dari bola mata dan aparatus lacimal yang melubrikasinya.

Gambar : Mata tampak lateral Gambar : Mata tampak coronal

Gambar 3: Otot-Otot Mata5

Tidak semuannya ruang di dalam orbit ditempati oleh struktur yang berisi lemak

orbita; sehingga orbit ini tersusun oleh matriks dimana struktur dari orbit

melekat. Bentuk pyramid dari orbit memiliki dasar, empat dinding dan suatu

apeks.

- Dasar orbita dibatasi oleh margin orbita yang mengelilingi orbital

opening. Tulang membentuk tepi orbita yang memperkuat proteksi

kandungan orbita dan memberikan perlekatan untuk septum orbita, suatu

lapisan fibrous terputus yang meluas ke dalam kelopak mata.

- Dinding superior (atap orbita) diperkirakan berbentuk horizontal dan

terutama dibentuk oleh frontal bone, yang memisahkan rongga orbita dari

fossa cranial anterior. Dekat dengan apeks dari orbit, dinding supeior

M.Rectus sup.

M.Rectus lateralis

M.Rectus inf.

M.obliqus .inf.

M.Obliqus med

Chiasma opticus

298

dibentuk oleh tulang sphenoid. Dan dibagian anterolateral suatu lekukan

pada bagian orbita yang disebut fossa lacrimal.

- Dinding medial yang posisinya kontralateral dari orbit yang paralel dan

terbentuk oleh tulang ethmoid, yang berhubungan dengan tulang lacrimale,

sphenoid dan frontal. Dibagian anterior

- Dinding inferior (dasar orbita), dibentuk terutama oleh tulang maksila dan

sebagian tersusun oleh zygoma dan tulang palatina. Dinding inferior yang

tipis dibentuk oleh orbit dan sinus maksilaris.

- Dinding lateral dibentuk oleh prosessus frontalis dari tulang zygomatik

dan sayap terbesar dari tulang sphenoid. Ini merupakan dinding yang

terkuat dan paling tebal. Ini sangat penting karena daerah ini sangat

terbuka dan berpotensi mengalami trauma secara langsung. Bagian

posterior dipisahkan orbit dari temporal dan pertengahan fossa cranial.

- Apeks orbit merupakan suatu canal optik pada sayap tulang sphenoid yang

kecil, dibagian medial dari fissure orbital superior. (Moore LK,)

Gambar : Kavitas Orbita

Gambar 4: Anatomi Kavitas Orbita5

II.2 DEFINISI

Fraktur nasal adalah terjadinya kerusakan pada tulang di sekitar pangkal

hidung, biasanya disebabkan oleh adanya trauma tumpul dan merupakan fraktur

tulang daerah fasial yang paling sering. Trauma yang serius pada hidung dapat

menyebabkan masalah yang memerlukan perhatian segera. Tetapi pada trauma

Maksila

Sphenoid Frontal

Zygoma

Frontal

299

hidung yang tidak terlalu berat, perlu diperhatikan lebih baik lagi setelah

pembengkakan mereda untuk mengevaluasi efek perluasan trauma.

Trauma nasal didefinisikan sebagai adanya trauma pada hidung atau hal

lain yang dapat menyebabkan terjadinya deformitas, gangguan pernapasan melalui

hidung karena adanya obstruksi, atau adanya gangguan penciuman (olfaction).

Fraktur orbita biasanya tampak bersamaan dengan trauma midfacal.

Tingkat keparahan fraktur mulai dari fraktur yang pergeserannya minimal pada

suatu dinding yang terbatas yang tidak membutuhkan intervensi bedah sampai

dengan kerusakan yang parah dari orbit. Fraktur orbita mungkin di jelaskan

dengan pertimbangan hubungan anatomi, berikut ini :

1. Fraktur dapat terbatas pada tulang orbital internal. Jenis ini termasuk

blow-out dan blow-in, seperti yang tampak pada fraktur pada dasar orbita,

dinding medial, dan atap orbita. Fraktur blow out dapat dibagi mengikuti

berbagai macam fraktur :

- Fraktur trapdoor yang disebabkan oleh kekuatan yang ringan.

- Fraktur medial blow-out yang disebabkan kekuatan menengah.

- Fraktur lateral blow-out yang sebabkan oleh kekuatan yang tinggi.

2. Fraktur mungkin melibatkan rim orbital. Suatu fraktur rim superior,

inferior, dan lateral mungkin sebagai suatu luka yang terbatas, atau ini

mungkin berbatasan dengan fraktur dinding internal.

3. Fraktur yang hubungkan dengan fraktur lain pada skeleton facial.

Keterlibatan orbit pada berbagai bentuk fraktur fasial, termasuk

zygomaticomaxillary (ZMC), naso-orbito-ethmoid (NOE), sinus frontal,

Le Fort II,dan Le Fort III.

4. Fraktur apeks orbita adalah penting untuk diidentifikasi karena ini

berhubungan dengan kerusakan pada struktur neurovaskuler dari fissura

orbita superior dan kanal optik.

Trauma fasial kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan

bermotor, kecelakaan industri, fasial trauma yang berhubungan dengan olah raga,

dan kekerasan. Kecelakaan kendaraan bermotor, khususnya yang tidak

300

menggunakan seatbelt, merupakan kejadian yang paling banyak mengakibatkan

trauma maksilofasial, yang ditunjukkan pada sebagian besar negara berkembang.

Penatalaksanaan trauma orbita dan fraktur bertujuan untuk meminimalisir dan

mencegah kerusakan awal dan lanjutan serta komplikasinya. Tujuan dari

intervensi adalah untuk mencegah hilangnya penglihatan dan meminimalisir

masalah lebih lanjut, seperti diplopia yang persisten dan malposisi bola mata.

II.3 KLASIFIKASI

Pola kerusakan dan perluasan displacement struktur nasal jika terjadi

fraktur adalah tergantung pada arah dan derajat kekuatan yang terjadi. Pada tahun

1468, Rowe dan Killey menggambarkan trauma yang terjadi pada nasal dari arah

lateral dan anterior. Ini merupakan dasar klasifikasi trauma tulang nasal yang

dibuat oleh Stranc dan Robertson (1474). Tetapi kemudian mereka membagi

fraktur akibat benturan atas tiga tingkatan trauma dimana peningkatan keparahan

merupakan cermin peningkatan kekuatan trauma. Bidang satu, trauma tidak

meluas berdasar suatu garis pertemuan tepi bawah tulang nasal ke spina nasalis

anterior; bidang dua, trauma terbatas pada daerah hidung eksternal dan tidak

mengenai orbital rim; bidang tiga, trauma lebih serius, oleh karena meliputi orbita

dan kemungkinan juga struktur intra cranial, biasanya berhubungan dengan

trauma pada nasoethmoid serta diagnosa dan perawatannya juga lebih

komprehensif 4.

301

Gambar 5: A dan B menunjukkan peningkatan derajat trauma dengan peningkatan daya

yang mengenai hidung5

Pada tahun 1486, Murray dan Maran mengemukakan suatu klasifikasi

pathologi dari fraktur nasal yang diteliti pada lebih dari lima puluh cadaver.

Mereka menemukan tujuh pola yang berbeda dari fraktur nasal dengan berbagai

macam derajat keterlibatan septum. Mereka menyimpulkan bahwa kerusakan

septum juga berhubungan dengan fraktur nasal. Pada keadaan klinis mereka

menetapkan bahwa, jika hidung mengalami deviasi lebih dari setengah kali dari

lebar aslinya, tulang akan mengalami deviasi kembali setelah dilakukan

manipulasi hanya pada tulang nasal saja4.

Klasifikasi dari fraktur orbita adalah:

1. blow out fracture, dibagi menjadi:

1. pure blow out – orbital rim intak

2. impure blow out – terjadi fraktur pada orbital rim

2. fraktur blow in

Fraktur dasar orbita blow out merupakan trauma dari tepi orbita atau

jaringan lunak di sekitar orbita, fraktur ini disebabkan oleh peningkatan tekanan

302

intra-orbital secara akut yang menekan dinding-dinding orbita. Fraktur dasar

orbita blow out dapat timbul bersamaan dengan fraktur dinding medial atau orbita

rim.1,2

Gambar 6: Fraktur Blow in dan Blow out1,2

Klasifikasi fraktur Nasal-Orbit-ethmoid (2)

Type I : Klasifikasi yang paling sederhana, hamya melibatkan satu bagian

dari nasal-orbita ethmoid yaitu bagian medial orbital rim.

Type II : daerah yang terkena lebih luas atau comminuted fraktur

Type III: daerah yang terkena luas termasuk bagian tengah dari central

fragmen dimana medial canthal tendon melekat, terjadi avulsi dari canthus

303

Gambar 7: Fraktur Nasal, ethmoid4

II.4 PENYEBAB DAN GEJALA KLINIS

Penyebab terbanyak adalah trauma kecelakaan kendaraan bermotor,

trauma karena olah raga, berkelahi, kecelakaan pekerjaan, aktivitas yang

berlebihan, dan terjatuh adalah yang paling sering terjadi pada anak-anak1.

Gejala klinis dapat meliputi rasa sakit, pembengkakan, obstruksi

pernapasan, epistaksis, krepitasi, septal hematoma, rhinitis, dan stenosis nasal

vestibular1.

Kebanyakan penderita yang mengalami trauma dasar orbita blow out

mempunyai gambaran sebagai berikut :

1. Berkurangnya kemampuan visual.

2. Blepharoptosis.

3. Diplopia binocular vertical atau oblik.

4. Hyperthesia ipsilateral, dysesthesia atau hyperalgesia sesuai

dengan distribusi n. infraorbitalis.

304

5. Epistaksis

6. Pembengkakan pada kelopak mata setelah meniupkan udara ke

hidung

7. Edema dan ecchymosis periorbita yang disertai dengan rasa sakit

merupakan gejala dan tanda eksternal.

8. Enophtalmos mungkin juga terlihat tapi awalnya terjadi

pembengkakan jaringan disekelilingnya. Pembengkakan juga akan

membatasi gerak otot ekstraokuler

9. Proptosis juga bisa terjadi dari perdarahan retrobulbar atau

peribulbar.

10. Tenderness pada saat palpasi orbita, juga dapat merasakan step

pada tulang orbital rim.

Pemeriksaan bola mata sangat penting dan mungkin sulit karena adanya

edema pada jaringan lunak. Untuk ini diperlukan set desmares retractor. Jika

terjadi disfungsi pupil, ditandai dengan menurunnya kemampuan visual, harus

diwaspadai terhadap kemungkinan terjadinya neuropathy optikus traumatik.4

Mata dengan kesejajaran yang tidak sama dapat juga terjadi, hipotropia

atau hipertropia serta terbatasnya kemampuan menarik mata ke atas.

Wilkin dan Havin melaporkan 30 % terjadi insidensi bola mata yang

ruptur bersamaan dengan fraktur orbita, kenyataan ini mengingatkan betapa

perlunya pemeriksaan opthalmologis yang menyeluruh dan kompleks.1

Gambaran klinik dari fraktur blow in terutama berhubungan dengan

pengurangan volume pada rongga orbita.4

1. Proptosis (exopthalmus) adalah protrusi atau majunya bola mata (okuli)

yang abnormal. Umumnya terjadi di awal kejadian, bersama dengan

hematom dan pembengkakan dari jaringan orbita

305

Gambar 8:. Exopthalmus6

2. Bola mata bergeser lebih jauh pada dataran koronal dan pergerakan bolah

mata yang terbatas

3. Diplopia (double vision), merupakan gejala umum dan berhubungan

dengan fraktur pada dinding medial, dasar, lateral dan atap orbita. Adanya

hematoma, edema pada muskulus ekstraokular atau pada fasia di sekitar

orbita atau terperangkapnya lemak orbita merupakan penyebab utama.

4. Pergeseran fragmen fraktur ke dalam orbit mengakibatkan ruptur bola

mata.

5. Sindrom fissure orbital superior, disebabkan oleh lesi yang diakibatkan

oleh trauma, tekanan langsung atau suatu penekanan akibat hematom (atau

keduanya) pada kandungan fissura orbital superior antara lain : nervus

lacrimale, nervus frontal, vena ophtalmic superior, nervus kranial IV,

nervus kranial III (cabang suerior), nervus nasomaksilaris, nervus kranial

VI, divisi inferior darinervus kranial III dan vena ophtalmicus. Gejalanya

adalah hilangnya sensasi pada dahi yang diakibatkan oleh cabang frontal

dari nervus V. Hilangnya refleks kornea diakibatkan karena keterlibatan

cabang nasociliary dari subdivisi nervus V, menetapnya dilatasi pupil

akibat nervus kranial III, IV dan VI, dan terbendungnya suplai parasimpatik

yang dibawa oleh nervus III. Tidak adanya refleks dan akomodasi terhadap

sinar langsung karena terbendungnya aliran efferen oleh paralisis dari

306

nervus III. Selain itu juga terjadi edema yang persisten akibat obstruksi

vena ophtalmicus2.

6. Cedera pada nervus optikus, cedera pada nervus dapat menyebabkan

spasme dari pembuluh darah retina. Selain itu ditandai oleh gangguan

visual dan perubahan respon pupil terhadap respon cahaya.

7. Ptosis, merupakan jatuhnya kelopak mata atas ke posisi lebih jika

dibandingkan dengan posisi normal sebelumnya. Ptosis dapat terjadi secara

manual dan secara kongenital.

8. Keterbatasan pada muskulus rectus superior atau hematom yang pada

kelopak mata bagian atas. (peter ward booth)

9. Mungkin ditemukan adanya CSF, karena adanya fraktur sphenoidale dan

ethmoid juga fraktur pada sinus frontal sehingga menyebabkan dural tear

sehingga terjadi hubungan dengan subarachnoid space. Selain itu CSF juga

dapat timbul karena adanya fraktur pada basis cranium.

10. Meningoceles dan encephaloceles, merupakan keluarnya penonjolan dari

selaput dan bagian otak melalui celah yang terbentuk antara tulang dapat

merupakan akibat dari suatu trauma, ataupun pascaoperasi.

II.5 POLA TRAUMA

A. Trauma dari Lateral

Ini adalah trauma yang paling sering terjadi dan seringkali tidak terlalu

parah. Tergantung pada derajat kekuatan, luasnya kerusakan tulang dapat

bervariasi dari yang sederhana sampai displacement tulang nasal, berhubungan

dengan bengkok atau tertekuknya septum nasal tanpa terjadi fraktur septum. Pada

keadaan ini umumnya dengan dilakukan manipulasi tertutup sudah cukup

memuaskan, hasilnya akan lebih stabil diikuti dengan reduksi fraktur dengan

menggunakan Walsham’s forceps dan pelurusan septum nasal dengan

menggunakan Asch’s forceps. Hasilnya akan lebih stabil sebab tidak terdapat

fraktur pada septum. Dengan suatu kekuatan yang lebih besar kedua tulang nasal

dapat terjadi fraktur dan displaced dan ini sering kali disertai dengan terjadinya

fraktur septum. Displaced fragmen nasal dapat segera direduksi dengan

307

manipulasi tertutup tetapi penting untuk melakukan eksisi berbentuk C pada

septum4.

Gambar 9 : Trauma nasal dari arah lateral, a. Daya yang moderat menimbulkan depressi pada tulang dan septum nasal; b. Daya yang lebih besar menimbulkan displacement pada piramid dan

septum nasal4

B. Trauma dari Anterior

Adanya pukulan atau trauma dengan kekuatan yang moderat dari arah

frontal, kedua tulang nasal akan fraktur pada ujung bawah dan, oleh karena

sebagian besar daya diterima oleh septum nasal, displacement dan fraktur dari

struktur ini sering sekali terjadi. Dengan daya yang lebih besar lagi, seluruh

piramid nasal, termasuk prossesus frontalis dari maksila, dapat terlepas, dengan

comminuted fracture, terutama pada bagian sepertiga bawah tulang nasal. Fraktur

nasal tipe ini bervariasi hubungannya dengan fraktur septum dan terjadi

displacement yang menyebabkan terjadinya ketidakstabilan nasal (4).

Kelompok pertama dirawat dengan manipulasi dan bedah septum tetapi

pada kelompok yang kedua, terutama dengan adanya ketidakstabilan nasal,

reseksi submukus akan menimbulkan kolaps yang lebih parah. Manipulasi dengan

sentralisasi septum harus dikombinasi dengan support internal pada nasal seperti

yang dikemukakan oleh Sear (1477)4.

308

Gambar 10 : Trauma nasal dari anterior; a. Daya sedang menimbulkan depressi pada septum dan piramid nasal; b. Daya yang lebih besar menimbulkan fraktur comminuted pada piramid nasal dan

septum4

C. Trauma yang Berhubungan Dengan Fraktur Fasial Lain

Fraktur pada tulang wajah, terutama pada bagian tengah wajah, harus

dapat direduksi dan distabilisasi terutama untuk reduksi fraktur nasal. Ini mungkin

perlu untuk merubah nasal endotracheal tube menjadi oral endotracheal tube

sebelum reduksi nasal.

Untuk menjaga kedua penetapan oklusi dan aplikasi fiksasi intermaksila

yang masih tetap terpasang sampai pasien sadar dari efek anestesi agar jalan nafas

tetap aman. Alternatif lain, nasal endotracheal tube dapat diletakkan pada posisi

atau dilakukan trakheostomi. Manipulasi tertutup fraktur nasal dianjurkan untuk

tetap menggunakan support intranasal. Septum harus dikembalikan ke posisinya

tetapi tidak boleh dilakukan reseksi septum pada tahap pembedahan primer,

meskipun sudah indikasi, dalam pandangan faktor waktu meliputi waktu yang

lama dan prosedur operasi yang komplek4.

Jika terdapat laserasi yang parah pada mukosa nasal disarankan untuk

menggunakan lapisan silastik yang dimasukkan pada nostril untuk menjaga

pembentukan adhesi intranasal. Plate silastik ini dipertahankan dengan

menjahitkannya bersama-sama melalui kulit sedikit di belakang kolumela dan

dipertahankan selama 10 – 14 hari4

309

310

BAB III

PEMBAHASAN

Menurut Christian (1476), trauma ini adalah yang paling sering pada

skeleton fasial dan menurut Schroeder (1481), 50 % fraktur pada tulang fasial

terpisah dari fraktur pyramid

Fraktur nasal sering kali dirawat dengan penilaian preoperative yang tidak

adekuat. Perluasan disrupsi struktur nasal sehubungan dengan arah dan derajat

kekuatan trauma jarang diperhitungkan. Kemudian hidung dirawat dengan cara

sederhana dan hasil akhirnya mungkin akan jauh dari yang diharapkan, meskipun

pada mulanya tampak cukup baik4.

Salah satu konsep yang selalu salah tentang fraktur nasal adalah terjadinya

pelepasan dan displacement tulang nasal. Setengah bagian bawah atau sepertiga

dari tulang nasal yang biasanya mengalami fraktur. Dasar dari piramid hidung

jarang sekali terlepas dari tulang frontal, kecuali terjadi fraktur nasoethmoid yang

parah. Pada waktu eksplorasi biasanya menunjukkan bahwa dasar piramid tetap

intak meskipun terjadi displacement yang hebat ke ruang interorbita4.

Gambar 11 : Trauma nasal lateral menunjukkan adanya displaced fracture pada bagian

tengah bawah tulang nasal kiri dan tepi anterior prosesus frontal kiri tulang maksila disertai

dengan pembengkokan tulang septum4

311

Posisi dan integritas komponen kartilagenus dari rangka nasal harus selalu

ditetapkan. Harus tetap diingat, bahwa meskipun jarang, kartilago lateral dan

septum nasal dapat terjadi dislokasi tanpa disertai fraktur tulang nasal4.

Penempatan manipulasi tertutup dari fraktur hidung masih menjadi

pertanyaan. Menurut Stell (1480), dari hasil penelitian retrospektif menunjukkan

bahwa, dari 107 fraktur hidung yang dirawat dengan manipulasi tertutup, hanya

30 % yang menunjukkan penampilan yang normal, dan 50 % berfungsi normal

dalam jangka waktu lama. Septum sering kali tidak tetap lurus setelah dilakukan

manipulasi dan piramid hidung pada garis septum yang mengalami distorsi.

Alasan mengapa distorsi tampak progresif dari kartilago septum dijelaskan oleh

Fry, yaitu pelepasan dari tegangan internal yang terkunci. Tetapi Harrison (1474)

menemukan bahwa suatu pola dari suatu fraktur septum dan displacement yang

diindentifikasi adalah disebabkan karena manipulasi yang kurang baik. Harrison

adalah orang yang pertama menemukan bentuk C fraktur septum (C-shaped

fracture). Harrison menganjurkan pada fraktur nasal horizontal bagian bawah, dan

vertikal posterior, sebaiknya dilakukan reseksi submukus pada septum nasal dan

jika ini dilakukan pada waktu perawatan primer, hasilnya akan menjadi lebih baik.

Stranc menekankan pada perawatan fraktur nasal bidang dua, harus dilakukan

reseksi submukus primer agar tidak terjadi kolaps pada garis jembatan

kartilagenous4.

Pengertian yang lebih jauh lagi dari mekanisme dan perawatan fraktur

nasal dibuat oleh Murray (1484). Mereka mempelajari mekanisme fraktur nasal

dengan meneliti fraktur nasal pada kadaver dan menyimpulkan bahwa tulang

nasal yang mengalami deviasi lebih dari setengah lebar jembatan, ada suatu

fraktur berbentuk C yang terjadi bersamaan dari tulang dan cartilaginous septum.

Kemudian mereka menyimpulkan pada percobaan klinis, bahwa eksisi pada

daerah cartilage pada sisi septum yang mengalami fraktur berbentuk C akan

menghasilkan hasil yang lebih baik. Fraktur berbentuk C dari tulang dan kartilago

dimulai dari bawah dorsum hidung berjalan ke posterior melalui perpendicular

plate dari ethmoid, kemudian ke inferior melalui vomer terminate dengan suatu

312

curve anterior pada kartilago septum 1 cm di atas puncak maksila dekat dengan

sudut vomerine4.

Gambar 12 : Skema menunjukkan garis fraktur dengan displacement

yang berat disertai fraktur septum berbentuk C4

Untuk operasi pada septum mereka menganjurkan melakukan suatu insisi

vertical di posterior, yaitu pada 2,5 cm posterior dari kolumela. Kemudian

mukoperichondrium dibuka dan biasanya garis fraktur berbentuk C akan segera

dapat terlihat. Kartilago dipisahkan dan sisi kontralateral disingkapkan. Suatu

reseksi yang terbatas dari septum kemudian dibuat dengan melakukan suatu eksisi

tipis dari kartilago dan tulang pada sisi yang terdapat fraktur C dan diangkat

paling sedikit 1 cm dari plate perpendicular dari ethmoid. Kemudian dilanjutkan

sampai pertemuan ethmoid dan tulang nasal, tetapi harus hati-hati agar tidak

terlalu caudal dari tulang nasal atau terlalu dalam karena akan dapat merubah

profil. Tulang nasal dimanipulasi dan suatu pack (light pack) dimasukkan ke

dalam nostril4.

Menurut Murray, salah satu faktor yang menyebabkan hasil yang tidak

memuaskan dari manipulasi fraktur nasal adalah tidak adanya dukungan nasal

internal setelah reduksi. Pita gauze lembut yang dimasukkan pada nasal adalah

merupakan stabilisasi yang kurang baik dan packing yang berlebih pada hidung

sering kali menyebabkan distorsi dari reduksi yang diinginkan. Light packing

pada hidung sebaiknya hanya digunakan untuk mengkontrol epistaksis setelah

313

manipulasi tulang nasal. Pengggunaan plaster eksternal atau Paris splint tidak

akan mendukung fragmen nasal. Kemungkinan dapat terjadi relaps dengan

resolusi dari pembengkakan jaringan disekitar jaringan yang disebabkan fiksasi

yang buruk dari splint plaster. Kebanyakan fraktur nasal sederhana tidak

memerlukan aplikasi splint eksternal setelah dilakukan reduksi4.

Sebelum melakukan reduksi fragmen nasal yang mengalami displacement,

operator harus mempunyai gambaran yang jelas mengenai apa yang seharusnya

akan dilakukan. Penilaian klinis dan radiografis preoperative yang sangat hati-hati

adalah suatu syarat untuk keberhasilan perawatannya. Ronsen foto harus diambil

dari dua arah untuk kepentingan diagnosis dan rencana metoda reduksi. Pada

tahap ini, informasi tambahan akan lebih diperoleh dengan inspeksi intranasal

dengan bantuan speculum dan lampu kepala (head light). Hidung harus

dibersihkan dari semua debris dan gumpalan darah dengan suction. Fragmen

tulang yang hilang harus diambil and mukoperikhondral harus tampak jelas.

Septum nasal kemudian diperiksa. Metoda manipulasi hidung dibawah anestesi

lokal telah dijelaskan sebelumnya. metode yang telah dijelaskan di atas akan lebih

baik menggunakan anestesi umum. Instrument yang biasa digunakan adalah

Walsham’s forceps, yang digunakan untuk memanipulasi tulang nasal dari

prosesus frontal maksila, dan Asch’s septal forceps4.

Paruh yang lebih kecil dari Walsham’s forcep dimasukkan ke dalam

lubang hidung dan paruh yang lebih besar (dilapisi dengan karet lembut untuk

melindungi kulit) yang terdapat pada eksternal untuk memegang sisi luar hingga

dapat memegang dan mengangkat hidung ke arah medial canthus dan sejajar

dengan proses frontal tulang maksila. Rotasi ke arah medial atau lateral yang akan

menjauhkan atau mendekatkan fragmen fraktur pada tulang nasal4.

Pangkal hidung harus dipegang di antara jari telunjuk dan ibu jari tangan

yang berlawanan yang juga digunakan untuk menambah stabilitas pada kepala

terutama pada waktu melakukan manipulasi4.

Septum dimanipulasi dengan Asch’s septal forceps. Paruh forceps

pertama-tama dimasukkan pada dasar hidung dan sisi yang lainnya pada septum

dan dengan tekanan gentle digunakan untuk mengembalikan cartilage septum.

314

Kemudian paruh dapat diputar ke kiri atau ke kanan dengan memegang septum

sepanjang garis jembatan dan tarikan dapat dilakukan untuk elevasi nasal bridge4.

Walsham forceps dan Ash Forceps

Gambar 13. Tang Rekonstruksi Nasal4

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS DAN DIAGNOSTIK

Penegakan diagnosis selain dari temuan klinis dilakukan dengan bantuan

pemeriksaan penunjang, antara lain yaitu :

1. Foto AP orbita biasanya diambil dengan berbagai variasi angulasi sinar.

2. Paling umum digunakan adalah proyeksi Cadwell dan Waters. Proyeksi

Caldwell memperlihatkan visualisasi dasar orbita dan prosessus

zygomatiko-orbitalis diatas densitas petrosus pyramidalis. Gambaran yang

lebih luas dari orbita bisa didapatkan dari proyeksi waters. Proyeksi ini

menempatkan petrosus piramidalis di bawah sinus maksilaris sehingga

memudahkan evaluasi dasar orbita, prolaps isi orbita, dan tingkat cairan

udara dalam sinus maksilaris.

3. CT scan masih merupakan pemeriksaan imaging yang dipilih untuk

evaluasi trauma orbita karena kemampuannnya untuk melihat detail

315

struktur tulang, walaupun MRI bisa memperlihatkan detail regio orbita

dengan sangat halus.1,2

Jika CT scan mempunyai hasil yang samar-samar saat mengevaluasi

pasien yang dicurigai terjadi entrapment, dilakukan test forced duction. Menilai

secara langsung kemampuan atau ketidak mampuan lebih jauh mata saat pasien

disuruh melirik ke atas, test ini dapat menghasilkan konfirmasi klinis yang penting

mengenai adanya otot atau jaringan yang terperangkap.1

Gambar 14. CT Scan dalam mengevaluasi fraktur4

KOMPLIKASI FRAKTUR ORBITA

Fraktur orbita akan menyebabkan beberapa komplikasi dan permasalahan,

di antaranya adalah :

1. Enophthalmus.

Fraktur dasar orbita dapat mengakibatkan penambahan volume orbita dan

keadaan ini mengakibatkan enophthalmus. Jika terjadi enophthalmus lebih

316

dari 2 mm, keadaan ini mengakibatkan ketidakseimbangan. Bola mata juga

dapat melesak atau hipo-ophthalmik dibanding sisi kontralateralnya.

2. Diplopia.

Otot rektus inferior atau jaringan orbita dapat terperangkap dalam lokasi

fraktur. Keadaan ini mengakibatkan terhambatnya pergerakan ke atas dari bola

mata, menyebabkan diplopia.

3. Emfisema.

Biasanya, dapat terjadi emfisema orbita karena adanya hubungan dengan sinus

maksilaris serta bisa juga disertai perdarahan orbita. Bola mata dapat menjadi

robek, namun trauma yang tidak begitu berat hanya akan mengakibatkan

hyphema atau edema retina.1

III.1 WAKTU PERAWATAN

Waktu perawatan fraktur nasal masih terdapat kontroversial. Fraktur nasal

yang terpisah dapat dapat dilakukan reduksi dalam waktu 24 jam pertama, untuk

mencegah terjadinya pembengkakan yang lebih besar, tetapi pada kasus yang lain,

perawatan harus ditunda sampai sepuluh hingga dua belas hari agar

pembengkakan dan luka memar menjadi lebih reda. Jika fraktur berhubungan

dengan fraktur sepertiga wajah yang lainnya, maka komponen hidung harus

direduksi bersamaan dengan fraktur lainnya4.

Perawatan fraktur nasal bertujuan untuk memperbaiki dan mengembalikan

fungsi dan etetik. Perawatan yang paling baik adalah pada waktu tiga jam pertama

saat terjadi trauma. jika ini tidak memungkinkan, maka sebaiknya penanganan

dilakukan 3 - 7 hari. Waktu perawatan ini sangat penting oleh karena fraktur nasal

lebih dari 10 hari akan mengalami penyembuhan tulang dan kemungkinan

memerlukan tindakan termasuk rhinoplasty .

Waktu dan perlunya intervensi bedah pada perawatan fraktur dasar orbita

murni masih dalam perdebatan. Kebanyakan literatur mendukung waktu dua

minggu untuk perbaikan sehingga mencegah fibrosis, kontraktur dan

317

terperangkapnya jaringan. Beberapa ahli sering menunggu beberapa hari supaya

edema dan perdarahan sudah tidak ada sehingga didapat penilaian yang baik

terhadap enopthalmus dan fungsi otot ekstraokuler. Pada kasus dimana

terperangkapnya tarikan rektus inferior, perawatan harus dilakukan lebih cepat.1,2

III.2 METODE IMOBILISASI

A. Splint Intranasal

1. Ribbon gauze

Metode ini sering kali dianjurkan sebagai metoda yang adekuat dan

standar untuk memperoleh dukungan internal pada fraktur nasal, dengan

menggunakan pita gauze yang dilapisi dengan paravin/ flavine emulsion atau

bismuth iodoform paraffin paste (BIPP). Gauze ini secara hati-hati dimasukkan

kedalam lubang hidung dengan bentuk lapis demi lapis dan penting untuk

diperhatikan pertama-tama menempatkan pack pada nares superior sepanjang

garis jembatan (bridge-line)4.

Sayangnya metode ini tidak hanya menutup jalan nafas tetapi juga

merupakan sumber infeksi yang potensial, yang mungkin dapat menimbulkan

konsekuensi serius berhubungan dengan CSF rhinorrhoea. Pack ini harus tetap

dipertahankan selama 2 – 3 hari. Tehnik ini tidak mempunyai support intra nasal

anterior posterior, tetapi juga merupakan penyebab terjadinya masalah pada

telecanthus jika pemasangan pack terlalu berlebihan sehingga menimbulkan

terjadinya fraktur lain pada prosessus frontal maksila, keadaan ini mungkin

disebabkan oleh tidak adanya tekanan dari eksternal. Metode ini sebaiknya hanya

digunakan sebagai hemostasis pada periode awal operasi dan sebagai support awal

pada reposisi tulang nasal dimana pada septum nasal tidak terjadi fraktur. Suport

intra nasal yang adekuat tidak akan diperoleh dengan teknik ini untuk

menstabilkan hidung4.

318

Gambar 15: Ribbon gauze4

2. Stainless-steel intranasal splint

Metoda ini dikemukakan oleh Sear pada tahun 1477, yaitu untuk

mendapatkan support internal yang rigid terutama pada kasus terjadinya kolaps

anteroposterior. Splint terbuat dari bahan stainless steel 3,175mm x 1,5875 mm

dan pasangan yang sama dibengkokkan membentuk angka 7 dengan diameter

yang lebih lebar pada posisi datar. Metode insersi dan retensi splinting ini seperti

gambar yang memperlihatkan tulang nasal dan tepi jaringan lunak tanpa

kehilangan palatum keras dianjurkan pada waktu memilih ukuran splint yang

cocok4.

319

Gambar 16 : Metode insersi dan retensi splint intra nasal

untuk memperoleh support internal4

Metode yang sederhana dan memuaskan untuk memperoleh support

internal pada hidung, tetapi pada beberapa kasus tertentu tidak begitu praktis.

Metoda ini terutama cocok untuk memperoleh support nasal pada pasien dengan

fraktur fasial multiple4.

B. Splint Eksternal

1. Plaster of Paris Splint

Teknik ini dikenal dengan bentuk kupu-kupu, dan sangat membantu untuk

memperoleh suatu pola dengan juga menggunakan gauze atau jaconet cut untuk

membentuknya dan mengetahui ukuran yang tepat sebelum diaplikasikan. Bahan

ini terdiri dari 4 atau 5 lapis dari potongan 10 cm plaster of Paris bandage yang

dilembutkan dengan air, kelebihan dibuang dengan tekanan antara cotoon gauze

sebelum aplikasi. Kemudian dengan hati-hati dilakukan pemasangan plester pada

daerah sekitar kepala dan glabela, nasal bridge line dan duapertiga bagian atas

hidung. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa plaster sudah menempel pada

kulit dari daerah medial sampai bagian dalam canthus masing-masing mata yaitu

dengan memegang antara jari telunjuk dengan ibu jari. Sementara plaster

320

mengeras, terutama pada daerah yang dekat dengan mata dan sekitar puncak

hidung, sehingga akan membentuk cetakan dan diperhalus dengan Howarth’s

elevator. Ini adalah untuk menjaga agar tidak terjadi luka pada kulit. Kemudian

plaster dilekatkan pada daerah kepala dan pipi dengan bahan Elastoplast atau

bahan pelekat lain, perlekatan dengan kulit dibantu dengan pemberian Compound

Tincture of Benzoin. Sudah menjadi standard untuk membiarkan Plaster of

Paris selama 7 – 10 hari, tetapi ini tidak benar. Ketika pembengkakan mulai

berkurang splint akan menjadi longgar dan oleh karena itu harus segera diangkat,

lebih baik pada hari ketiga dan keempat atau lebih jika diperlukan. Terutama pada

fraktur nasal yang disertai dengan fraktur ethmoid, biasanya terjadi

pembengkakan jaringan lunak pada sekitar hidung4.

Gambar 17: Plaster of paris splint4

2. Collodion gauze dan soft metal sheet (Ash’s soft metal sheet-tin/lead alloy)

Beberapa lapisan gauze dipotong sesuai dengan ukurannya dan direndam

dalam larutan collodion. Kemudian diaplikasikan pada kontur hidung satu persatu.

Sehelai lembaran logam lunak (soft metal) dipotong mengikuti bentuknya

kemudian diaplikasikan dan konturnya dibentuk. Kemudian lapisan gauze

collodion diaplikasikan dan dibentuk sehingga akhirnya splint tercetak hanya pada

bagian medial dari bagian dalam canthi seperti yang diterangkan sebelumnya pada

splint Plaster of Paris. Tipe splint eksternal ini sangat memuaskan, terutama pada

kasus dengan adanya jahitan luka pada hidung dan glabela Tetapi ini tidak tepat

pada kasus dengan fraktur septum pada waktu ini dan pembedahan sekunder

321

mungkin diperlukan pada beberapa waktu kemudian, terutama untuk mengatasi

obstruksi pada nasal4.

Gambar 18: soft metal sheet4

Waktu dan perlunya intervensi bedah pada perawatan fraktur dasar orbita

murni masih dalam perdebatan. Kebanyakan literatur mendukung waktu dua

minggu untuk perbaikan sehingga mencegah fibrosis, kontraktur dan

terperangkapnya jaringan. Beberapa ahli sering menunggu beberapa hari supaya

edema dan perdarahan sudah tidak ada sehingga didapat penilaian yang baik

terhadap enopthalmus dan fungsi otot ekstraokuler. Pada kasus dimana

terperangkapnya tarikan rektus inferior, perawatan harus dilakukan lebih cepat.1,2

Fraktur dasar orbita melibatkan lebih dari 50 % mengenai lantai, dengan

atau tanpa bersamaan dengan fraktur dinding mesial dan dengan prolaps jaringan

orbital. Keadaan ini biasanya mengakibatkan enophtalmos yang signifikan (lebih

dari 2 mm) dan ini merupakan indikasi untuk dilakukannya reparasi. Selain itu,

pada fraktur dasar orbita bisa timbul diplopia karena terbatasnya gerakan ke atas

dan ke bawah. Jika keterbatasan ini terjadi dalam 30 derajat dari gerakan

utamanya dengan test forced-duction positip dan CT Scan menunjukkan adanya

fraktur, harus dilakukan perbaikan yang cepat karena kemungkinan kelainan ini

bisa menetap sangat tinggi. Trapdoor atau fraktur anteroposterior dapat ditemukan

secara klinis dimana sulit ditemukan secara radiologis. Hal ini harus

322

dipertimbangkan, jika hal ini terjadi harus segera dikoreksi untuk menurunkan

kemungkinan diplopia yang persisten.1

Koreksi bedah merupakan kontra indikasi pada pasien yang secara medis

tidak stabil dan tidak bisa mentoleransi anestesi.

Dasar orbita bisa dicapai melalui pendekatan konjungtival, melalui

pembukaan perkutaneous atau pendekatan transmaksilaris. Akses pada regio ini

memudahkan eksplorasi dan membebaskan jaringan lunak yang bergeser atau

terperangkap, dengan demikian diharapkan dapat memperbaiki semua gangguan

motilitas ekstraokuler. Selain itu, pendekatan ini dilakukan untuk memperbaiki

defek tulang dengan mengambil atau mereposisi fragmen tulang, hal ini bertujuan

untuk perbaikan partisi antara orbit dan antrum maksilaris, dengan demikian dapat

mengembalikan volume orbita dan menghilangkan semua pergeseran struktur

jaringan lunak.4

Perawatan orbital fraktur harus terlebih dahulu melakukan dekompresi

dengan segera kemudian melakukam rekonstruksi sesuai dengan lokasi dari

fraktur. Fraktur blow in yang pergeserannya minimal biasanya tidak

membutuhkan perawatan selain perawatan yang bersifat konservatif.2,4

Fraktur atap orbita

Penanganan fraktur pada atap orbita dianjurkan untuk mengeksplorasi atap orbita

dengan menggunakan periosteal elevator sehingga segment fraktur dapat

dikembalikan ke posisinya atau menjadi datar dan mencegah cederanya muskulus

dan nervus. Aksesnya dapat dilakukan dengan insisi pada bagian blepaharoplasty

bagian atas atau melalui laserasi yang terjadi.

Fraktur lateral orbita

Penanganan fraktur pada dinding lateral melalui incisi pada subciliary

(blepharoplasty) lateral dikombinasi dengan lateral incisi eyebrow . Selain itu

dapat dipergunakan muscle relaxant untuk mencegah spasme muskulus temporal.

Tidak dipergunakannya tranosseus wire tetapi IMF dipertahankan selama

seminggu untuk mencegah reduksi yang adekuat dari fragment.

Fraktur medial orbita

323

Daerah ini sangat tipis khususnya daerah ethmoid, penanganan fraktur pada

daerah ini dapat dilakukan dengan pendekatan incisi melalui subciliary dan

memberikan kesempatan untuk ekspolarasi dasar orbita.

Fraktur dasar orbita

Dianjurkan untuk mengeksplorasi dasar orbital dengan menggunakan periosteal

elevator sehingga segment fraktur dapat dikembalikan ke posisinya atau menjadi

datar dan mencegah cederanya muskulus dan nervusAkses masuk pada bagian

dasar orbita dapat dilakukan dengan incisi transkonjungtiva dan infraorbita

(subciliary dan subpalpebra). Seperti pada gambar :

Gambar 19 : incisi subkonjungtiva3

Gambar 20: Incisi subpalpebra4

324

Gambar 21 : incisi subciliary4

Gambar 22 Insisi trans konjungtiva4

Material untuk rekonstruksi fraktur orbita

Bahan – bahan material yang biasa dipergunakan adalah :

- autografts dari tulang, contohnya tulang kortikal dan kanselous, cartilago.

- Material alloplastik : nan absorbable ( Titanium, silicon, porous

polyetilene, dan teflon) Absorbable (polydioanone, polylactide, dan

polyglactin)

- Allogenik dura.

325

Gambar 23. Gambaran pemasangan material rekonstruksi6

Semua material memiliki keuntungan dan kerugian, dan pilihan material

biasanya tergantung kepada ahli bedah dan pasiennya. Auto bone graft merupakan

standar kriteria untuk menyediakan kerangka untuk tulang fasial dan dinding

orbita. Cancellous bone graft lebih disenangi daripada kortikal karena

vaskularisasinya lebih cepat dan lengkap, juga memiliki aposisi formasi tulang

yaitu proses resorbsi dan perbaikan yang baik.

Implant

Implant myriad tersedia untuk kegunaan rekonstruksi. Implant yang ideal

harus bisa secara mudah diinsersikan dan dimanipulasi, tidak menjadi tempat

infeksi, tidak akan mengalami ekstrusi, mudah ditempatkan pada struktur di

sekitarnya, harganya wajar, dan tidak merangsang pembentukan jaringan fibrous.

Hampir kebanyakan defek pada kasus fraktur dasar orbita dapat direparasi

dengan implant sintetik yang terbuat dari polyethylene, silicon, miniplat metal,

mesh vicryl, atau mesh metal. Alternatif lain dapat digunakan tulang autogenous

dari dinding maksila atau calvarium.

Perawatan Pasca Bedah :

Segera setelah pembedahan, kepala pasien ditinggikan dengan sudut

kurang lebih 30 o

. Beberapa ahli menganjurkan kompres dengan saline dingin di

atas mata yang tertutup.

Kemampuan visual dan fungsi pupil dinilai setiap 15 menit selama 1 jam

pertama dan kemudian setiap 30 menit.

326

Setelah operasi pasien dilarang untuk meniup lewat hidung, dan

beraktivitas berat. Selain itu pasien diinstruksikan untuk mengompres dingin

selama 48 jam, dan diberikan antibiotik serta analgetik yang adekuat. Pemberian

steroid dapat membantu pengurangan pembengkakan.1,2

Seperti pembedahan lainnya komplikasi pada reparasi fraktur dasar orbita

bisa berupa perdarahan atau infeksi. Kehilangan kemampuan penglihatan

merupakan komplikasi yang serius berkaitan dengan reparasi kelainan ini.

Diplopia yang tetap ada atau new onset, neuralgia, dan disfungsi otot ekstraokuler

merupakan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Demikian juga ekstrusi implant

dan enophtalmos yang menetap merupakan sequele postoperasi yang memerlukan

intervensi bedah selanjutnya.

327

BAB IV

KESIMPULAN

Fraktur nasal sering terjadi pada fraktur tulang fasial, tetapi sering

dianggap tidak terlalu berpengaruh. Kesimetrisan hidung dan fungsi adalah

penting untuk pasien, dan perawatan yang tidak tepat dan kurang adekuat akan

menimbulkan hasil yang kurang memuaskan. Jika pendekatan yang dilakukan

pada waktu terjadi trauma sama dengan pemikiran kedepan seperti yang dilakukan

pada penanganan elektif kosmetik septorhinoplasty, maka akan diperoleh hasil

yang lebih baik dan lebih memuaskan pasien.

Fraktur orbita bisa terjadi bersamaan dengan fraktur pada daerah wajah

lainnya. Jenis fraktur ini sering menimbulkan komplikasi berupa enophtalmos,

diplopia, dan emfisema, namun pemeriksaan klinis terkadang sulit dilakukan

karena adanya edema di daerah orbita, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi

radiologis secara seksama.

Pendekatan bedah pada kasus-kasus yang diindikasikan harus dilakukan

dengan hati-hati mengingat kemungkinan komplikasi yang akan terjadi.

328

DAFTAR PUSTAKA

1. Ramirez R.F. 2004. Nasal Trauma. The Thomson Corporation. All right

reserved. http://www.ehendrick.com/healty/000561.htm.

2. Fonseca, RJ. et al. 1997. Oral and Maxillofacial Trauma. 2nd

edition.

Philadelphia: WB. Saunders Co.

3. Pitcock K.J & Bumsted M.R. 1997. Nasal Fractures. In: Raymond J.

Fonseca and Robert V. Walker. Oral And Maxillofacial Trauma. Volume

II. W.B. Saunders Company. Philadelphia London. Toronto Montreal

Sydney Tokyo. p. 775 – 41.

4. Bowerman J.E. 1994. Fracture of the Middle Third of the Facial Skeleton.

In: Rowe and William’s. Maxillofacial Injures. Second Edition. Churchill

Livingstone. Edinburgh London Madrid Melbourne New York Tokyo. p.

541- 604.

5. Moore, K.L., Arthur F. Dalley II. 1999: Clinically Oriented Anatomy. 4 'h

ed. Lippincott Williarli"s & 1Nilkins

6. Archer, H. W. 1975. Oral and Maxillofacial Surgery. 5th

ed. Toronto : W.

B. Saunders Company.

7. Booth, P. W. et al. 2003. Maxillofacial Trauma and Esthetic Facial

Reconstruction. 1st ed. Edinburgh: Churchill Livingstone. Edinburgh.

8. Cohen, AJ. Facial Trauma, Orbital Floor Fracture (Blow out). Available

at www.eMedicine.com. Last updated on March 7th

2005.

9. Williams, J. L. 1999. Maxillofacial Injuries. 1st ed. Edinburgh : Churchill

Livingstone.

329

Fraktur Panfasial

Yudi Wijaya

160121120002

Peserta PPDGS Ilmu bedah mulut dan Maksilofasial

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Abstrak : Regio maksilofasial terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama

adalah wajah yang bagian atas, Bagian kedua adalah daerah tengah wajah atau

midface. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bagian bawah. Midface yang

bagian atas bila terdapat fraktur Le Fort II dan Le Fort III dan/atau fraktur tulang

nasal, fraktur nasoetmoidal atau kompleks zygomatikomaksilari dan fraktur dasar

orbita. Fraktur Le Fort I bila fraktur terdapat pada bagian bawah dari midface.

Bagian yang ketiga dari regio maksilofasial adalah wajah bagian bawah, bila

fraktur hanya terdapat pada mandibula. Fraktur panfasial adalah fraktur yang

terjadi pada daerah wajah yang meliputi sepertiga atas, sepertiga tengah dan

sepertiga bawah yaitu meliputi fraktur pada regio frontal, kompleks nasalis,

kompleks orbitalis, kompleks zigomatikus, maksila dan mandibula. Prinsip umum

untuk penatalaksanaan fraktur panfasial yaitu dengan tehnik bottom to top (dari

bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas ke bawah).

Kata kunci: Fraktur panfasial, bottom to top , top to bottom

330

BAB I

PENDAHULUAN

Pada mulanya dokter gigi dilibatkan pada perawatan trauma rahang karena

mereka menguasai pengetahuan tentang gigi dan oklusi. Perawatan yang terdahulu

hanya terdiri atas fiksasi gigi pada oklusi sentrik untuk mengurangi dan

mengimobilisasi suatu rahang. Sekarang ini dasar pemikiran perawatan fraktur

pada daerah maksilafasial tidak banyak berubah, hanya tekniknya yang

berkembang pesat. Diagnosis didukung dengan adanya teknik radiografis yang

berkembang dengan pesat. Fraktur-fraktur yang pada jaman dahulu tidak dapat

dikenali sama sekali atau hanya bersifat dugaan sekarang ini bisa ditunjukkan

sampai hal yang terkecil.1

Regio maksilofasial terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah

wajah yang bagian atas, bila fraktur melibatkan sinus dan tulang frontal. Bagian

kedua adalah daerah tengah wajah atau midface. Midface dibagi menjadi bagian

atas dan bagian bawah. Midface yang bagian atas bila terdapat fraktur Le Fort II

dan Le Fort III dan/atau fraktur tulang nasal, fraktur nasoetmoidal atau kompleks

zygomatikomaksilari dan fraktur dasar orbita. Fraktur Le Fort I bila fraktur

terdapat pada bagian bawah dari midface. Bagian yang ketiga dari regio

maksilofasial adalah wajah bagian bawah, bila fraktur hanya terdapat pada

mandibula. Insidensi trauma maksilofasial terutama yang berhubungan dengan

kecelakaan kendaraan bermotor. 2

Trauma yang mengenai wajah dapat menyebabkan diskontinuitas dari

jaringan lunak wajah maupun jaringan kerasnya. Fraktur yang terjadi pada daerah

wajah yang meliputi sepertiga atas, sepertiga tengah dan sepertiga bawah yaitu

meliputi fraktur pada regio frontal, kompleks nasalis, kompleks orbitalis,

kompleks zigomatikus, maksila dan mandibula disebut dengan fraktur panfasial.2

Fraktur ini biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kecelakaan

kerja, kecelakaan olah raga dan lain-lain.2,3

Penelitian pada tahun 2008 di

331

Amerika Serikat, penyebab utama fraktur panfasial adalah perkelahian (36%),

kecelakaan kendaraan bermotor (32%), jatuh (18%), olahraga (11%), kecelakaan

kerja (3%), dan luka tembak (2%).2 Lebih banyak terjadi pada laki-laki dewasa

muda, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 4:1.4

332

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kraniofasial

Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas 22 tulang dengan dikelilingi oleh

kavitas-kavitas yang berbeda yaitu kranium, orbita, sinus, hidung dan mulut.

Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas tulang yang memiliki ketebalan berbeda.

Tulang-tulang yang tebal berhubungan dengan tulang- tulang berdinding tipis.

Tulang dengan struktur yang tebal disebut sebagai 'buttress' yang

menopang/penyangga proporsi kraniofasial dalam proyeksi antero-posterior. 2

Banyak penulis membagi buttres wajah dalam dua bidang yaitu bidang

vertikal dan bidang horizontal. Buttres vertikal meliputi buttress nasomaxilaris pada

medial,, zigomaticomaxilaris pada lateral, dan pterigomaxilaris pada posterior.

Buttress nasomaksilaris meliputi prosessus maksilaris dari frontalis dan prosessus

frontalis dari tulang maksila, meluas ke lateral sampai rima piriformis. Buttress

zigomaticomaxilaris terdiri dari prosessus zygomatikus dari tulang frontal, rima

orbita lateral, tulang zygomatikus lateralis, dan prosessus zygomatikus dari tulang

maxilla. Buttress pterigomaksilaris terdiri dari lempeng pterigoid dari tulang sphenoid

dan tuberositas maksilaris. Ketiga buttress ini menghasilkan suatu sistem penyangga

unit-unit fungsi pada oral, nasal dan orbital. Pada umumnya buttress

zygomaticomaksilaris dan buttress nasomaksilaris dilakukan rekonstruksi, tapi

buttress pterigomaksilaris tidak dilakukan rekonstruksi karena tidak dapat diakses. 2,4

Buttress horizontal sering juga disebut dengan anterior posterior buttress.

Buttress ini meliputi buttress frontal, zygomatik, maxilaris dan mandibular.

Buttress frontal terdiri dari rima supraorbital, dan regio glabelar. Buttresss

zygomatik terdiri dari zygomatic arch, zygomatic body, dan infraorbital rim.

Buttress maxila dan mandibula terdiri dari basis maxila dan lengkung tulang

mandibula.4

Keseluruhan buttress ini secara bersama-sama memberikan integritas

tulang wajah. Tulang-tulang yang pada umumnya lebih tebal ini berfungsi untuk

333

menetralisir kekuatan pengunyahan dan benturan. Dengan reduksi yang tepat kita

dapat merekonstruksi tinggi, lebar dan proyeksi wajah. 2,3

Gbr.1 Buttress vertikal dan horizontal.1

2.2 Klasifikasi Fraktur Panfasial

Gruss dkk (1989) membagi fraktur panfasial menjadi tiga kelompok yaitu: 3

1. Fraktur kraniofasial sentral

Fraktur terjadi pada bagian sentral yang memisahkan buttress fasial dari

basis kranial anterior. Variasinya meliputi tulang frontal dan atap orbital

dan sinus frontalis. Pada trauma yang ekstensif terjadi perluasan ke

arah vertikal melalui sepertiga tengah wajah dan bagian tengah mandibula.

2. Fraktur kraniofasial lateral

Fraktur ini mengakibatkan kerusakan pada buttress fasial lateral yaitu

tulang frontozigomatikomaksilaris dengan perluasan ke arah posterior

pada sayap tulang sphenoid, temporal dan parietal. Komplikasi

intrakranial lebih jarang terjadi, namun perluasan ke bagian bawah

wajah lebih sering terlihat

3. Kombinasi fraktur sentral dan lateral

334

Trauma yang ekstrim akan menghasilkan kehancuran elemen fasial

sentral dan lateral disertai dengan fraktur sepertiga tengah wajah,

mandibula, kondilus dan trauma intrakranial. Kerusakan dapat meliputi

kerusakan pada otak yang lokal maupun difus dan diskontinuitas dasar

fosa kranial anterior.

335

BAB III

PEMBAHASAN

2.3 Penatalaksanaan

Pada umumnya penderita dengan trauma oromaksilofasial terjadi

bersamaan dengan trauma pada bagian tubuh yang lain (trauma multiple).

Sehingga tahap-tahap penangannnya bersamaan dengan penanganan trauma yang

lainnya. Adapun tahap-tahap penanganan trauma adalah sebagai berikut: 6

1.Penanganan yang dilakukan sebelum dibawa ke rumah sakit

a. Mempertahankan jalan napas

b. Menghentikan perdarahan eksternal

c. Stabilisasi fraktur

d. Stabilisasi tulang belakang

e. Tranportasi cepat (Ambulatory)

2. Resusitasi dan pananganan primer

a. ABC (Airway, Breathing, Circulation)

b. Resusitasi cairan

c. Pemantauan

3. Diagnosis dan penanganan sekunder

a. Pemeriksaan fisik menyeluruh

b. Radiografi

c. Pemeriksaan Laboratorium

d. Resusitasi dan pemantauan lanjut

4. Perawatan Definitif

a. Pembedahan

b. Perawatan non operatif

c. Nutritional support

5. Rehabilitasi

336

2.3.1 Evaluasi

Evaluasi dimulai dengan menilai jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi serta

tingkat kesadaran (ABC trauma management). Perhatian segera yang ditujukan

pada kasus berat adalah penatalaksanaan 'life-support' yang tepat dan penilaian

komplikasi intrakranial dan ekstrakranial. 2,3

Setelah pasien dalam keadaan stabil dan bebas dari trauma tulang spinal

servikal, evaluasi terhadap regio maksilofasial dapat dilakukan. Dalam mendiagnosa

fraktur panfasial dibutuhkan data riwayat trauma yang seksama, pemeriksaan fisik

dan evaluasi radiografis yang baik. Informasi yang lengkap meliputi keadaan wajah

penderita, oklusi dan fungsi sebelum terjadi trauma amat dibutuhkan. Hal ini

dapat diperoleh melalui data fotografi dan rekam medis dental.2,3

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis yaitu dengan metode

inside out and bottom up yaitu meliputi inspeksi dan palpasi dari dagu hingga

kepala serta dari intraoral dan ekstraoral untuk dapat mengidentifikasi luka pada

jaringan lunak, tulang, gigi geligi dan neurovaskular. Pada observasi klinis akan

terlihat adanya pembengkakan pada wajah yang difus, luka memar laserasi pada

tonjolan tulang seperti dahi, daerah supraorbital ridge dan pangkal hidung.

Deformitas pada tulang seringkali terlihat dengan hilangnya proyeksi hidung dan

gangguan pada proyeksi midfasial, kesimetrisan dan ketinggian wajah. Perhatian

utama harus ditujukan pada daerah nasoethomid, palatum, mata dan prosesus

kondilus.5

Pemeriksaan intraoral dilakukan untuk melihat adanya memar dan laserasi

jaringan lunak maupun adanya kehilangan jaringan. Selain itu juga untuk

mengevaluasi adanya fraktur segmental maupun sagital pada maksila maupun

mandibula serta dentoalveolar. Adanya fraktur pada kondilus dapat diperkirakan

apabila terdapat krepitus, pergerakan abnormal pada mandibula dengan palpasi

pada daerah external auditory canal dan menginstruksikan pasien untuk membuka

dan menutup mulut.6

Pemeriksaan penunjang seperti CT Scan pada negara maju telah

menggantikan peranan radiologi konvensional. Evaluasi pertama dapat dilakukan

dengan data radiologis seperti Water's. CT Scan dua dimensi dengan potongan

337

axial akan memberikan informasi penting terhadap perluasan trauma

kraniomaksilofasial. CT Scan dua dimensi dengan potongan koronal dan sagital

akan memberikan informasi mengenai fraktur pada dinding orbital, buttress maxilla

dan ramus ascenden mandibula. Dengan kemajuan tehnologi CT Scan tiga dimensi

akan memberikan peran yang lebih baik dalam menentukan keadaan fraktur dalam

hal ada atau tidaknya displacement tulang. 1,6

Gbr 2. Pasien dengan fraktur panfasial 2

Gbr 3. Digital imaging fraktur panfasial 1

2.3.2 Tata laksana

Manajemen pasien dengan multiple displaced dan fraktur comminuted

sangatlah menantang tidak saja pada ahli bedah yang belum berpengalaman

nemun juga pada ahli bedah yang sudah berpengalaman. Diagnosa dan rencana

perawatan yang tidak tepat akan menyebabkan hasil yang tidak adekuat dan

memperlama prosedur bedah. Akan tetapi, dengan melalui gambaran rontgen

338

yang detail, fiksasi yang baik, tehnik bone graft serta urutan tahapan bedah yang

baik, akan didapatkan hasil yang optimal.7

Ketika terjadi fraktur wajah multiple yang melibatkan wajah bagian atas,

tengah dan bawah, proses rekonstruksi seperti menyusun puzzle. Pengetahuan

akan landmark dan anatomi dapat digunakan untuk rekonstruksi yang tepat pada

bagian wajah yang mengalami kerusakan. Key landmark yang dapat membantu

adalah, lengkung gigi, mandibula, sutura sphenozigomatik, maxxilary buttress,

dan regio intercanthal, sebagai nerikut:1,7

a. Lengkung Gigi

Ketika salah satu atau kedua lengkung gigi utuh, mereka dapat digunakan sebagai

panduan. Sebagai contoh, ketika terjadi fraktur lefort dengan midpalatal yang

masih utuh, maxila yang memiliki lengkung yang masih utuh dapat digunakan

untuk panduan mendapatkan lebar lengkung mandibula yang tepat. Masalah

utama terjadi jika terdapat fraktur midpalatal dan mandibula yang disertai fraktur

kondyle. Kondisi ini dapat menyebabkan melebarnya kompleks facial jika

segmen fraktur tidak direduksi dengan benar. Solusi untuk mengatasi masalah ini

adalah dengan mengembalikan keutuhan maxila dengan melakukan reduksi dan

fiksasi fraktur palatal. Pendekata ini bisa dilakukan jika fraktur palatal single

tanpa kominusi atau avulsi.

b. Mandibula

Reduksi simphisis dan/atau ramus mandibula dapat diperoleh melalui pembukaan

ekstraoral. Eksposure ini memungkinkan didapatkannya visualisasi langsung dari

inferior border mandibula dan sedikit korteks lingual. Reduksi permukaan bukal

dan lingual memungkinkan untuk didapatkannya hasil fiksasi yang lebih baik.

Jika terdapat fraktur subkondilar bilateral, fraktur tersebut harus dirawat agar

didapatkan tinggi dan lebar wajah yang tepat. Jjika terdapat fraktur subkondilar

yang disertai dengan fraktur simphisis dan/atau ramus mandibula, kan terjadi

penambahan lebar wajah. Perlekatan otot pterigoid lateral pada fovea

pterigoideus, berfungsi untuk mencegah pergerakan lateral yang ekstrem.

339

Kondilus mandibula can be reconstitude ramus mandibula untuk mendapatkan

tinggi dan lebar wajah.

c. Sutura Sphenozygomatikus

Sutura sphenozygomatikus, disepanjang permukaan dalam dari didingding orbita

lateral adalah key landmark pada reduksi dan fiksasi complex

zygomatikomaksilaris. Jika orbital roof dan orbita lateral superior masih baik,

sutura ini dapat menjadi landmark yang penting untuk menempatkan zygoma dan

lengkung zygoma pada posisi yang tepat. Sutura sphenozygomatikus biasanya

nampak pada sepanjang permukaan internal dari dinding orbita lateral. Likewise ,

buttress zigomatikus sangatlah penting dalam menempatkan zygoma dan maksila

dalam posisi yang tepat. Ketika zygoma telah berada pada posisi yang tepat,

lokasi dari maksila dapat di tentukan. Permukaan kontak yang luas ini sangat

penting pada proses reduksi dan fiksasi. Jika terjadi kehilangan tulang yang

signifikan pada regio ini, perlu dipertimbangkan pencangkokan untuk

mengembalikan buttress ini.

Gambar 4. Reduksi dan fiksasi sutura sphenozygomatik 1

d. Daerah Interchantus

Daerah interchantus digunakan untuk mengembalikan lebar midfacial setelah

jarak interchantus stabil pada rangka wajah orang dewasa. Restorasi jarak

interchantus dengan menggunakan reduksi kompleks naso-orbitoethmoid dapat

membantu menentukan lebar wajah.

340

Gambar 5. A.Gambaran klinis penderita dengan fraktur naso-orbitoethmoid dengan jarak interchantus

43mm. B. Gambaran intraoperatif menunjukkan gambaran fraktur naso-orbitoethmoid.7

Tujuan dari perawatan fraktur panfasial adalah merehabilitasi jaringan

yang terkena, mengurangi rasa sakit, penyembuhan tulang, serta perbaikan oklusi

gigi. Sebelum merencanakan perawatan terlebih dahulu perhatikan:7

1. Lokasi dan luasnya fraktur

2. Struktur yang terluka atau terlibat di sepanjang fraktur

3. Jumlah kehilangan jaringan lunak, meliputi kulit, mukosa dan saraf

4. Luas kehilangan tulang

5. Keadaan trauma dentoalveolar

Perawatan jenis trauma yang kompleks ini merupakan rangkuman dari

seluruh perbaikan dari semua fraktur fasial dan kranial yang individual.

Dibutuhkan perencanaan yang baik untuk meminimalkan operasi ulang dan

lamanya perawatan di rumah sakit.

Perawatan terhadap jenis fraktur ini sebelumnya sering mengalami

kesulitan dalam menentukan waktu perbaikan wajah sehubungan dengan intervensi

bedah saraf dan ophtalmologis. Pada saat ini perawatan modern unit kraniofasial di

negara maju memungkinkan untuk dilakukannya perbaikan kraniofasial dan bedah

neurologis dalam merekonstruksi perbaikan fraktur fasial yang multipel dan

penutupan fistula kranionasal pada saat yang bersamaan. Defek tulang yang luas atau

defek jaringan lunak dapat dipertimbangkan dengan menggunakan rekonstruksi flap yang

luas atau graft. Defek diskontinuitas dapat dilakukan dengan fiksasi maksilomandibular

341

baik internal dengan intraosseus wiring, plate dan screws, lag screws maupun fiksasi

eksternal. Cangkok tulang definitif dapat dilakukan pada operasi pertama ataupun kedua.

Hilangnya gigi geligi akan mempengaruhi hubungan antara maksila dan mandibula.2,7

Gbr 6. Bone graft pada dinding sinus maksila anterior1

Koreksi definitif pada pasien dengan trauma kraniofasial yang kompleks

secara ideal dilakukan dalam 5-7 hari. Beberapa penulis menganjurkan untuk

fiksasi primer pada 12-48 jam paska trauma. Namun dalam jangka waktu tersebut

seringkali tidak cukup untuk memperoleh pemeriksaan radiologis, ophtalmologis

dan pengelolaan gigi geligi yang adekuat terutama pada pasien dalam keadaan

koma dan tidak kooperatif. Pada periode tersebut jaringan lunak berada dalam

keadaan pembengkakan sehingga pengelolaan operatif pada saat itu akan

menyebabkan proyeksi wajah dan kesimetrisan wajah sulit dicapai. Selain itu

adanya rhinorrhoea serebrospinal atau aerocele intrakranial merupakan alasan lain

keterlambatan perawatan. 2

Seringkali pasien tersebut membutuhkan waktu lebih dari tiga minggu

untuk pengelolaan life-saving yang ekstensi terhadap trauma ekstrakranial. Pada

banyak kasus keterlambatan koreksi seringkali menyebabkan telah terjadinya

union pada tulang dan kontraktur jaringan lunak sehingga diperlukan diseksi

jaringan lunak yang ekstensif untuk mendapatkan pemaparan tulang yang baik

dalam rangka reduksi dan fiksasi fraktur tulang. Selain itu diperlukan osteotomi pada

garis fraktur akibat telah terjadinya penyatuan tulang.6

Kunci utama dalam penatalaksanaan fraktur panfasial adalah untuk

mendapatkan fiksasi dan stabilisasi yang cukup stabil pada daerah-daerah yang tidak

stabil. Rekonstruksi harus meliputi arah 3 dimensi yaitu vertikal, horisontal dan

transversal. Terdapat dua prinsip umum untuk penatalaksanaan fraktur panfasial

342

yaitu dengan tehnik bottom to top (dari bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas ke

bawah).2,8

Apabila kranium frontalis masih intak atau terdapat fraktur pada fossa

kranial anterior atau fronto-orbital bar tanpa adanya kehilangan tulang atau

dimana struktur-struktur tulang tersebut di atas telah terekonstruksi dengan kuat,

regio midfasial dapat direkonstruksi dalam arah atas ke bawah. Namun bila

terdapat diskontinuitas pada lengkung mandibula, hilangnya tulang pada tulang

kranial dan diskontinuitas pada dasar fosa kranial anterior atau hilangnya titik

referensi, pendekatan dilakukan dalam arah bawah ke atas. Hal ini dilakukan agar

rekonstruksi pada mandibula dapat menghasilkan hubungan yang intak dalam

mereposisi maksila. Selain itu bila basis kranial frontalis diperbaiki dan dilekatkan

terhadap tengah wajah dapat menaikkan resiko kerusakan atau perubahan letak

terhadap fosa kranialis anterior yang telah diperbaiki.2,6,8

Pada tehnik bottom to top, rekonstruksi dimulai dari mandibula. Bila

lengkung mandibula terganggu harus diperbaiki terlebih dahulu. Fraktur pada

kondilus baik unilateral maupun bilateral memerlukan reduksi segera dan fiksasi

internal untuk mempertahankan ketinggian fasial. Setelah mandibula terkoreksi

dengan baik, maksila yang mengalami disimpaksi dapat dikoreksi dengan

menyesuaikan oklusi pada rahang bawah dan dilakukan fiksasi intermaksilaris.

Perbaikan dapat dilanjutkan dalam arah atas ke bawah dan bertemu dengan segmen

maksilomandibula yang telah terfiksasi.5,6

Bila terdapat fraktur sagital pada maksila dilakukan reduksi dan fiksasi untuk

mendapatkan kembali lengkung maksila sehingga koreksi terhadap lebar wajah

tengah dapat tercapai. Fiksasi dapat dilakukan dengan menempatkan miniplate

secara transversal pada maksila. 5,6

Kerugian pada tehnik bottom to up adalah untuk rekonstruksi dilakukan

dimulai dari jarak yang cukup jauh dari elemen simetris yang stabil yaitu basis

kranial. Ketidakakuratan dalam mereduksi dan mereposisi fraktur kondilus akan

menyebabkan asimetri wajah. 5,6

343

Gbr 7. Tehnik bottom up dan inside out. A dan B, penatalaksanaan fraktur panfacial dapat dimulai dengan

fikasi maxilomandibular. Kemudian diikuti dengan reduksi dan fiksasi fraktur subkondil, kemudian

fraktur symphisis. C dan D, reduksi dan fiksasi zygoma dengan menggunakan panduan sutura

sphenozygomatik dan sutura zigomatiko maxilary. E dan F, selanjutnya maxiila dapat distabilisasi

sepanjang buttress zygomaticomaxilary. G dan H, selanjutnya fraktur naso-orbiethmoid dapat

direduksi dan fiksasi pada sutura naso frontalis dan sutura frontomaxilary dan infraorbital rim serta

piriform. 1

Pada tehnik top to bottom, Gruss dan Mackinon (1986) menyarankan

untuk melakukan rekonstruksi pertama-tama pada bagian luar rangka fasial (outer

facial frame) pada fraktur panfasial yaitu meliputi lengkung zygomatik, kompleks

malar dan tulang frontalis. Kemudian rekonstruksi dilakukan pada bagian dalam

344

rangka fasial (inner facial frame) atau pada kompleks naso-orbitho-ethmoidal,

sutura zygomatikofrontalis dan orbital rim. Setelah itu dilakukan rekonstruksi pada

maksila pada Le Fort I dengan menggunakan plat pada buttress. Kemudian reposisi

pada fraktur mandibula dan diakhiri dengan fiksasi intermaksilaris.

Gbr 8. Teknik top to bottom1

Cangkok tulang biasanya dilakukan untuk merekonstruksi dinding orbital

dan hidung. Selain itu cangkok tulang dilakukan untuk koreksi sekunder bila

345

dibutuhkan untuk menambah kontur pada regio tertentu dan memperbaiki

kesimetrisan wajah.6

Berbagai macam insisi dilakukan untuk mendapatkan pemaparan tulang yang

mengalami fraktur dan merekonstruksinya antara lain dengan insisi koronal, insisi

pada kelopak mata bagian bawah, periorbital, sulkus gingivobukal, preaurikular,

retromandibular atau submandibular. Insisi koronal akan dapat memberikan

pemaparan yang lebih luas pada tulang kranium dan rangka kraniofasial bagian

atas. Selain itu insisi ini dapat memberikan akses yang optimal untuk dapat

mereduksi dan memfiksasi fragmen tulang.5

2.4 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada trauma maksilofasial adalah :

1. Kerusakan neurologis seperti adanya anestesi, parastesi,

2. Kurangnya ketinggian wajah pada bagian posterior,

3. Gigitan terbuka pada bagian anterior (openbite anterior),

4. Bertambahnya lebar wajah,

5. Berkurangnya ukuran proyeksi wajah dalam arah anterior dan posterior,

6. Maloklusi,

7. Deformitas dan obstruksi hidung dan serta

8. Kebutaan.

346

BAB III

KESIMPULAN

Penatalaksanaan pasien dengan trauma panfasial memerlukan diagnosa yang

cermat untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam merekonstruksi wajah.

Kunci keberhasilan pengelolaan pasien fraktur panfasial adalah dengan

mendapatkan lapang pandang yang cukup luas, reduksi yang cermat dan fiksasi

dari fraktur. Prinsip dalam merekonstruksi adalah dengan mereduksi daerah yang

anatomi yang memberikan panduan rangka wajah yang maksimal yaitu pada

kerangka wajah luar. Daerah-daerah yang mengalami kehilangan tulang yang luas

dapat dilakukan cangkok tulang.

347

DAFTAR PUSTAKA

1. Hard N, Kuttenberger. 2010. Craniofacial Trauma, Diagnosis and

Management, Berlin: Springer-Verlag

2. Fonseca R.J. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis:

Elsevier Saunders.

3. http://emedicine.medscape.com/article/1283471-overview Workup: Facial

Trauma, Management of Panfacial Fractures

4. http://www.otohns.net/default UTMB Grand Rounds-Maxillary and

Periorbital Fractures

5. Trott, J.A et al. 1995. Facial Fracture in David, D.J & Simpson D.A.

Craniomaxillofacial Trauma. Edinburg: Churchill Livingston

6. Bos, R.R.M. 1990. Panfacial fractures : Planning an Organized Treatment in

Harle F. and Champy, M. Atlas of Craniomaxillofacial Osteosynthesis

Miniplates, Microplates and Screws. Stuttgart. New York: Thieme

7. http://emedicine.medscape.com/article/1283471-overview Treatment:

Facial Trauma, Management of Panfacial Fractures

8. http://emedicine.medscape.com/article/1283471-overview Follow-up:

Facial Trauma, Management of Panfacial Fractures

9. http://emedicine.medscape.com/article/1283471-overview Multimedia:

Facial Trauma, Management of Panfacial Fractures

10. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa: drg.

Purwanto, drg. Basoeseno, EGC. Jakarta.

348

Manajemen Trauma Pada Anak-Anak

Arismunandar

160121120005

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis

Bedah Mulut Dan Maksilofasial

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung

Abstrak

Manajemen trauma oromaksilofasial pada pasien anak-anak sedikit

berbeda dengan orang dewasa. Dengan kemampuan penyembuhan yang cepat,

ukuran bagian tubuh yang lebih kecil dan komplikasi yang minimal menjadi

karakteristik tersendiri pada pasien anak-anak. Perlu di perhatikan pada

penanganan kegawatdaruratan dan perawatan definitive oleh karena struktur

anatomi yang sedikit berbeda dengan orang dewasa.

Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran

mengenai manajemen penatalaksanaan trauma pada anak-anak.

Kata kunci : trauma, fraktur, reduksi, reposisi, fiksasi, anak-anak.

349

BAB I

PENDAHULUAN

Pasien trauma orofasial pada anak-anak berbeda dari orang dewasa dengan

luka yang serupa oleh karena trauma yang terjadi. Pertama, pada pasien anak-anak

memiliki keuntungan dari kemampuannya untuk menyembuhkan yang cepat

dengan komplikasi yang minimal, oleh karena vaskularisasi jaringan yang baik

dari wajah. Kedua, melalui pertumbuhan dan kemampuan yang melekat pada

anak-anak untuk beradaptasi, pemulihan jaringan orofasial yang rusak dapat

dimaksimalkan dan hilangnya fungsi dapat diminimalkan.1,2

Disamping

keuntungan ini, ada karakteristik tertentu dari trauma orofasial pada anak-anak

yang harus selalu diingat. Ini termasuk anatomi wajah yang belum dewasa, cedera

pada wajah karena trauma berpengaruh pada pertumbuhan, yang membuat tindak

lanjut penanganan jangka panjang pada pasien anak-anak wajib

diperhatikan. Karena faktor ini, trauma orofasial pada anak-anak tidak dapat

dikelola dengan cara yang sama seperti pada orang dewasa.3 Ukuran tubuh anak-

anak yang lebih kecil juga berpengaruh, saat terjadi trauma, akan menyebabkan

gaya yang lebih besar per unit masa tubuh.

Pada pasien pediatrik, tulang lebih elastis, garis sutura lebih fleksibel,

dan adanya lapisan adiposa yang menutupi kerangka lebih tebal daripada pada

orang dewasa.2 Faktor-faktor ini juga berkontribusi terhadap rendahnya frekuensi

fraktur fasial pada anak-anak dan seringya terjadi greenstick dan nondisplaced

fraktur pada anak-anak. Kurangnya sinus pneumatization dan tunas gigi dalam

rahang berkontribusi terhadap stabilitas dan rendahnya prevalensi pada fraktur

midface .4

Adanya perbedaan antara pasien anak dan dewasa mempunyai dampak

terhadap pola trauma pada anak-anak pada umumnya dan trauma maksilofasial

khususnya. Anak-anak memiliki permukaan yang lebih tinggi-untuk-rasio volume

tubuh, tingkat metabolisme lebih tinggi, oxygen demand, dan curah jantung, darah

total yang lebih rendah volume, dan stroke volume lebih kecil daripada orang

dewasa.3 Oleh karena itu, mereka lebih rentan menghadapi resiko hipotermia,

350

hipotensi, dan hipoksia setelah kehilangan darah dan bahkan pembengkakan

ringan pada saluran napas atau terjadinya obstruksi mekanis. Oleh karena itu

maka pemeliharaan jalan nafas, pengendalian perdarahan, dan resusitasi awal

lebih kritis pada anak-anak daripada orang dewasa.3

Dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak memiliki rasio cranial to

body mass lebih besar. Rasio cranial to body mass diperkirakan 8:1 pada masa

bayi dan 2.5:1 pada dewasa. Perlindungan ''relatif'' wajah oleh tulang

tengkorak memberikan informasi bahwa, insidensi fraktur midface dan tulang

mandibula pada anak-anak lebih rendah, serta lebih besar insiden cedera

tengkorak dalam kelompok usia yang lebih muda. Ini juga menjelaskan mengapa,

dengan bertambahnya usia, insiden patah tulang rahang midface dan meningkat

sedangkan insiden cedera kranial berkurang.3,4

351

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Epidemiologi

Etiologi cedera pada wajah bervariasi dengan usia. Walaupun kebanyakan

dokter mengkategorikan pasien yang sedang dalam masa tumbuh kembang sesuai

dengan kesar tubuh anak-anak tersebut, anak-anak harus dibedakan berdasarkan

usia tumbuh kembangnya. Infant dikategorikan pada usia kurang dari 1 tahun,

kategori anak-anak berada pada usia 1-11 tahun, dan dewasa muda berada pada

usia 11-19 tahun. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa, penyebab paling

umum cedera pada wajah adalah kecelakaan kendaraan bermotor apakah anak

sebagai penumpang atau pejalan kaki. 2,3,4

Anatomi Dan Patofisiologi

Proporsi wajah anak-anak sangat berbeda dari yang orang dewasa. Tulang

kranium kepala besar dan struktur wajah yang relatif kecil. Rasio kraniofasial saat

lahir adalah 8:1 dan wajah tersembunyi di bawah tulang kranium yang relatif

besar. Awalnya, kranium tumbuh lebih cepat daripada wajah, mencapai 80% dari

ukuran dewasa pada usia dua tahun. Otak dan ocular pertumbuhan hampir selesai

pada usia tujuh. Pertumbuhan fasial terus berlangsung sampai pada dekade kedua

kehidupan hingga ratio kraniofasila menjadi 2:1. Oleh karena alasan tersebut

maka tulang kranium lebih sering terkena trauma sebelum usia ke-7 daripada

trauma yang terjadi pada wajah.3,4

Prinsip umum penatalaksanaan fraktur (recognition, reduction,

stabilization, & fixation) harus diterapkan disamping tetap mempertimbangkan

dampak yang terjadi terhadap tumbuh kembang anak-anak di masa mendatang.1

Dilema sering muncul ketika harus memutuskan perawatan yang terbaik untuk

penatalaksanaan trauma orofasial terutama pada pasien anak-anak. Peran dan

fungsi rahang sebagai modulator pertumbuhan mandibula tidak terbantahkan.

Potensi penyembuhan dan remodeling tulang pada anak-anak lebih besar

daripada orang dewasa. Pada perawatan IMF yang menghambat tumbuh kembang

352

wajah efeknya bersifat reversible, jika pemasangan IMF dilakukan untuk jangka

waktu yang singkat. Ketika perawatan open reduction menjadi pilihan, harus

diperhatikan bahwa jangan sampai tindakan tersebut mempunyai efek terhadap

tumbuh kembang wajah akibat penempatan bone plates, screws ataupun wires.

Selama fase mixed dentition mungkin akan sulit didapatkan IMF yang stabil pada

perawatan closed dan open reduction.2,4

Anatomi jalan nafas pada pasien anak-anak memiliki saluran yang pendek

dan diameter yang kecil serta epiglotis yang sempit serta lidah yang besar pada

anak. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya airway resintance, mudahnya

tejadi obstruksi, kesulitan intubasi, dan mudahnya self-extubation. Pada anak-anak

dan bayi rigiditas dada kurang bila dibandingkan dengan dewasa. Tidak seperti

pada orang dewasa, pada anak-anak penyebab umum terjadinya gangguan jantung

oleh karena gangguan sekunder pernafasan.1,2

Fraktur greenstick lebih sering dijumpai pada pasien anak-anak oleh

karena tulang korteks yang tipis dan meningkatnya bagian medulla tulang

menyebabkan tulang tahan terhadap benturan. Komposisi tulang dengan lebih

banyak tulang kanselus menyebabkan kurang kondusif dilakukan screw/ wire

fixation untuk internal fiksasi. Oleh karena alasan tersebut, closed reduction

menjadi pilihan solusi penanganan pada kebanyakan fraktur fasial. Aktivitas

osteogenic dan bone remodeling yang aktif pada anak-anak menyebabkan fraktur

yang terjadi baik pada maksila ataupun pada mandibula yang jika tidak segera

dilakukan reduksi dalam beberapa hari maka akan sulit didapatkan reduksi yang

adekuat dikemudian hari. Hampir tidak ada/ jarang ditemukan kasus nonunion

pada fraktur fasial pada anak-anak.1,3

Psikologi anak-anak

Stress trauma dan bedah akan berpengaruh pada psikologi anak-anak.

Selama periode infant, rawat inap rumah sakit, trauma dan bedah akan

mengganggu alur makan dan tidur infant. Pada usia yang lebih dewasa, depresi

dapat terjadi karena tekanan dari ingatan akan trauma dan kehilangan anggota

tubuh dapat menghambat perkembangan mental pada anak.

353

Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) dapat muncul setelah luka pada

individu muda yang tidak pernah mengalami luka yang serius ataupun rawat inap

pada lingkungan rumah sakit. Walaupun PTSD bukanlah kelainan yang fatal,

keadaan ini dapat memicu pertumbuhan mental pasien kea rah yang tidak wajar.

Perawatan khusus harus diberikan untuk menjaga keadaan mental pasien anak-

anak. Konsultasi dengan psikiatri dan layanan social lainnya penting untuk

menghasilkan kesehatan yang sempurna pada anak-anak.

Insiden Fraktur Fasial

Fasial fraktur pada anak-anak jarang terjadi pada anak-anak. Analisa yang

dilakukan Rowe pada 1500 kasus fraktur fasial ditemukan bahwa, 5% dari semua

kasus fraktur fasial terjadi pada anak-anak dibawah umur 12 tahun dan kurang

dari 1% terjadi pada anak-anak dibawah umur 6 tahun. Fraktur pada midface pada

anak-anak ditemukan kurang dari 1% dan 4% disertai variasi fraktur Le Fort I.1

Studi yang dilakukan McCoy et al, menemukan bahwa 40% kasus fraktur

fasial berkaitan dengan fraktur kranium. Pada pasien anak-anak, trauma kepala

sering menyertai fraktur fasial, kemudian diikuti trauma pada ekstremitas. Posnick

et al mendapatkan dari 137 pasien, menemukan 42 % dengan fraktur fasial (6-12

tahun), 32 % fraktur orbita pada dasar orbita, 19% pada dinding media, 18% pada

atap orbita. Pada kasus kecelakaan kendaraan bermotor yang terjadi/ melibatkan

anak-anak, 51,4% terjadi faraktur nasal, 15,5% fraktur mandibula, 11,6% fraktur

orbita, 8,7 fraktur zygoma dan maksila.1

354

BAB III

PEMBAHASAN

Manajemen Kegawat-daruratan

Pemeliharaan jalan nafas, pencegahan terjadinya aspirasi, kontrol

perdarahan dan stabilisasi tulang servikal merupakan langkah utama pada

manajemen kegawatdaruratan pada pasien anak-anak dengan trauma orofasial.

Pembengkakan karena trauma maksilofasial, fragmen fraktur mandibula, dapat

membahayakan saluran pernafasan pada anak-anak dengan trauma maksilofasial.

Mulut dan pharynx harus terbebas dari kotoran dan intubasi dilakukan jika

diperlukan. Perdarahan dari kulit kepala, wajah, leher dan mulut harus dikontrol

dengan penekanan dan dilakukan penjahitan bila perlu. Stabilisasi tulang servikal

sampai kondisi dinyatakan clear.4

Cairan Dan Elektrolit

Resusitasi cairan merupakan komponen penting pada manajemen

perioperatif pada pasien trauma anak-anak. Perubahan status mentalis, respiratory

compromise, berkurangnya nadi perifer, delayed capillary refill, dan hipotermi

adalah tanda-tanda shock dan memerlukan segera resusitasi cairan dengan cairan

intravena yang hangat untuk mengembalikan ke kondisi semula. Dengan adanya

trauma, resusitasi cairan dengan 2 cateter intravena diperlukan, jika kurang dari 6

tahun, akses intraosseus bisa dilakukan sampai akses intravena didapatkan.

Kebutuhan cairan pada anak-anak terdiri dari maintenance dan

replacement. Maintenance terapi untuk mengkompensasi kehilangan cairan

insensible (paru & keringat) dan sensible (urine & stool). Kemungkinan terjadi

kehilangan cairan pada kondisi adanya luka terbuka, muntah, diare. Untuk terapi

maintenance dikalkulasikan dengan estimasi caloric expenditure dari berat badan

dan luas permukaan tubuh. Kalkulasi terapi maintenance pada anak-anak berkisar

1500 mL + 20 mL/kg untuk berat badan yang lebih dari 20 Kg per hari. Jika

diduga dehidrasi moderate maka maintenance awal 5mL/ Kg per jam selama 2

355

jam pertama dan berkurang sampai 1,5-2 mL/ Kg per jam. Output urine

diharapkan 1-2 mL/ Kg per jam pada anak-anak.

Terapi cairan untuk maintenance biasanya larutan hipotonis dengan

konsentrasi Na dan K yang memadai ( 5% dextrose [D5] dengan ¼ NS, D5

dengan ½ NS). Penggunaan NS bisa memicu terjadinya hipernantremi ketika

diberikan untuk maintenance karena kandungan sodium yang tinggi (154 mEq/L)

dan juga karena kemampuan bayi untuk mengekskresikan kelebihan sodium

berkurang. Serta juga dapat menyebabkan hiperchloremic pada neonates jika

digunakan dalam jangka waktu yang lama, karena kandungan chloride

didalamnya adalah nonphysiologic chloride.1,3

Blood Loss Dan Replacement

Tujuan utama manjemen terapi cairan pada anak-anak adalah untuk

mengenali dan mengatasi kondisi yang mengancam nyawa dan mengeliminasi

kondisi sekunder karena trauma yang terjadi. Pada kasus trauma pada anak-anak

operator harus jeli memonitor kondisi klinis pasien jika sewaktu-waktu terjadi

shock dan dibutuhkan resusitasi cairan. Tanda-tanda shock meliputi tachycardia,

pallor, poor filling capillary refiil, dan pre renal azotemia. Pada anak-anak dengan

multisystem trauma harus dipertimbangkan kemungkinan terjadinya perdarahan.

Resusitasi untuk hipovalemia dapat dimulai dengan pemberian crystalloid

bolus 20 mL/Kg, yang mewakili 25% volume darah normal pada anak-anak.

Bolus diulang sampai total 60 mL/Kg ,karena tiga kali jumlah crystalloid

diperlukan untuk menggantikan volume darah yang hilang. Penggunaan cairan

isotonis dianjurkan karena aktif secara osmosis dan menyebabkan ekspansi

intravascular. Penggunaan cairan hipotonis tidak dianjurkan pada resusitasi karena

menyebabkan menurunnya crystalloid osmotic pressure.

Darah merupakan agen yang sangat efektif untuk mengoreksi defisit

intravascular. Ketika kondisi hemodinamik sudah tidak stabil maka perlu

diberikan bolus crystalloid fluid, transfusi PRC 10-20 mL/Kg. Compatibility test

harus dilakukan sebelum dilakukan transfusi untuk menentukan golongan darah

dan Rh recipient, serta kemungkinan adanya red cell isoantibodies.1,3

356

Nutrisi

Pada pasien anak-anak paska penatalaksanaan tindakan bedah, sering

terjadi kondisi hypercatabolic yang memerlukan oral intake yang adekuat untuk

mencukupi nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Pada pasien recovery, intake makanan

dalam bentuk mechanical diet yang tidak dikunyah atau dalam bentuk cairan jika

terpasang IMF. Ketika pasien dalam kondisi severe neurologic injury, respiratory

failure, massive edema hindari pemberian makan secara enteral selama kurang

lebih 3 hari atau lebih, berikan secara parenteral.1,3

Pemeriksaan klinis

Perhatikan airway, terutama pada pasien dengan trauma midface yang

parah, kemudian diikuti evaluasi kardiopulmonal. Karena jalan nafas yang relatif

sempit maka kemungkinan dampak karena oedem dan pembengkakan semakin

besar. Perhatikan dan observasi tanda-tanda vital untuk menentukan apakah

pasien stabil atau dalam kondisi sebaliknya.

Sedasi selama periode tersebut mungkin sangat diperlukan tetapi harus

dihindari karena kondisi pasien masih dalam masks neurologoc changes.

Identifikasi adanya pembengkakan yang terjadi dan kemungkinan terjadinya

fraktur pada struktur tulang dibawahnya, oedema fasial, periorbital ecchymosis,

subconjunctival hemorrhage, subcutaneous emphysema, perdarahan hidung, dan

identifikasi perdarahan dari rongga mulut. Adanya battle’s sign (postauricular

echymosis) curigai adanya basal skull fracture.

Palpasi regio orbita dan nasal untuk mengetahui adanya deformitas tulang

pada daerah tersebut,subcutaneous emphysema, dan krepitasi yang terjadi. Ketika

terjadi fraktur orbita lakukan tes visual , adakah diplopia, dan kelainan pergerakan

bola mata. Adanya kelainan maloklusi, atau adanya gigi yang tanggal curigai

adanya fraktur rahang. Adanya deviasi waktu membuka mulut curigai adanya

fraktur pada kondil mandibula. Adanya laserasi atau kontusi pada daerah dagu

waspadai kemungkinan terjadinnya fraktur pada kondil mandibula. Konsultasikan

ke neurosurgical jika ada riwayat pingsan, perubahan status mentalis, battle’s

sign, rhinorea, parestesi wajah, atau adanya hemotympanum.

357

Anamnesa yang akurat tentang riwayat trauma pada pasien ataupun

pengantar sangat membantu perencanaan tindakan berikutnya.1,2

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaa radiologi perlu dilakukan untuk membantu menegakkan

diagnosa. Pemeriksaan lengkap pada wajah meliputi; schede AP lateral, Town’s

projection, Water’s view dan submental vertex. Panoramic foto merupakan alat

diagnostic lainnya yang diperlukan tetapi menuntut kerjasama pasien untuk diam

selama berlangsung pemaparan. Penggunaan CT-Scan telah menjadi kegiatan

rutin dinegara-negara besar dan menjadi standar perawatan menggantikan

pemeriksaan radiologi konvensional.1,2,3

TIPE FRAKTUR

1. Fraktur Alveolar

Fraktur mandibular alveolar pada anak-anak merupakan yang

paling sering terjadi pada fraktur fasial. Prosentasenya berkisar 8.1 % dan

50.6 % pada trauma fasial pada anak-anak. Pada fraktur alveolar maksila

berkisar antara 5% sampai 65%. Penanganan fraktur alveolar meliputi

imobilisasi segmen fraktur dengan arch bar, wire ligation serta composite

supported orthodontic wire extended pada gigi disekitarnya. Pada pasien

dengan alveolar bone loss dapat dilakukan autogenous bone grafting

dengan pengambilan tulang berasal dari mandibular ramus, os mental atau

tulang kranial.1

Gambar 1. Fiksasi gigi dengan composite supported orthodontic

wire extended1

358

2. Fraktur Midfasial

Fraktur Nasal. Fraktur nasal sering terjadi pada cedera midfasial

anak-anak. Fraktur nasal yang terjadi sebelum proses tumbuh kembang

selesai harus di perlakukan sama seperti fraktur nasal pada orang dewasa.

Adanya gangguan pertumbuhan setelah terjadinya fraktur nasal akan

menyebabkan penutupan premature dari sutura septovomerine. Seperti

pada fraktur nasal orang dewasa maka oedema terjadi disekitar struktur os

nasalis. Epistaksis sering terjadi menyertai trauma pada hidung dan mudah

dikontrol dengan melakukan penekanan pada nostril selama 5-10 menit

dengan kepala sedikit ditengadakan, bukan hiperekstensi kebelakang,

untuk mencegah terjadinya aspirasi dari darah karena darah mengalir ke

posterior pharynx. Jika terjadi terjadi deviasi septum maka harus dilakukan

reduksi. Reseksi pada septal cartilage dapat menyebabkan gangguan

pertumbuhan wajah, dan hal ini harus dihindari. Pemeriksaan ulang

dilakukan setelah 3-4 hari setelah terjadinya trauma, dan jika terjadi

deformitas maka harus dilakukan closed reduction. Setelah dilakukan

reduksi dengan kaudal traksi. Tulang hidung dapat direposisi dengan

pendekatan intranasal. Nasal packs dapat digunakan untuk menyangga

tulang dan septum hidung yang telah direposisi, dan membiarkanya

beberapa saat selama proses penyembuhan.1

Splinting eksternal dapat

membantu untuk mengontrol pembengkakan dan menyediakan

perlindungan pada hidung setelah dilakukan reposisi.

359

Gambar 2. Jejas pada nasal merupakan fraktur wajah yang sering terjadi pada pasien

anak-anak. (A) Deviasi ke kanan setelah trauma pada wajah.

(B) Setelah reduksi tertutup. 1

Fraktur Maksila. Fraktur Le fort pada anak-anak jarang ditemui

oleh karena maksila pada anak-anak masih tulang kanselus, gigi belum

tumbuh dan sinus maksilaris masih belum sempurna. Aperture piriformis

dan dinding zygomaticomaxillary tebal , dan jaringan lunaknya lebih

banyak jaringan lemak. Jika terjadi fraktur dan terjadi maloklusi maka

dapat dilakukan closed reduction. Pencetakan dilakukan dan pembuatan

model, kemudian model dipotong untuk memfasilitasi konstruksi

pembuatan splint untuk closed reduction. Intervensi bedah pada tooth-

bearing area pada maksila untuk penempatan kawat untuk stabilisasi atau

plate meningkatkan insiden terjadinya gangguan perkembangan benih gigi

dan sedapat mungkin dihindari, dan dilakukan pada kondisi tertentu.1,2

Fraktur Orbita. Sebelum usia 7 tahun, sebagian besar fraktur

pada orbita terjadi pada atap orbita dan meluas ke sinus frontalis. Hal ini

dikarenakan sinus masih dalam perkembangan. Setelah usia 7 tahun,

cedera pada atap orbita, dinding lateral, dasar dan sinus frontalis lebih

sering terjadi , karena sebagian besar perkembangan orbita telah selesai.

Penatalaksanaan fraktur orbita pada anak-anak umur 7 tahun ke atas sama

dengan penatalaksanaan pada fraktur orbita orang dewasa. Adanya

disfigurement wajah, adanya keterbatasan gerak bola mata, prolaps

360

periorbita ke athrum atau sinus ethmoidalis dan adanya diplopia yang

persisten merupakan indikasi dilakukan open orbital exploration. Untuk

eksplorasi regio frontozygomatico dapat dilakukan insisi di sekitar alis

mata. Untuk eksplorasi daerah infraorbital rim, dasar orbita dan dinding

medial dapat dilakukan pendekatan dengan melakukan insisi pada lipatan

inferior kantung mata atau melalui transconjunctival approach. Karena

pada anak-anak lipatan kantung mata belum terbentuk maka insisi bisa

dilakukan parallel dengan batas kantung mata dan sedikit bersudut ke

inferior hal ini untuk mengurangi terbentuknya jaringan parut. Insisi dibuat

7 mm dari tepi bawah kantung mata, dan diseksi dilakukan ke otot

orbicularis oculli terus sampai ke bawah pada orbital rim. Jika dilakukan

fiksasi internal maka kawat ditempatkan pada inferior orbital rim, dan jika

gigi permanen belum tumbuh, kemungkinan tunas benih gigi akan terkena.

Untuk menghindari hal tersebut maka sedapat mungkin kawat atau screw

harus ditempatkan dengan posisi cephalic diatas rim.

Gambar 3. Fraktur fronto-rima orbitalis superior terjadi karena adanya tumbukan yang

cepat kearah benda diam. (A) Edema pada fronto-periorbita dextra dan ekimosis setelah

trauma. (B) Durante op dengan gambaran impaksi frontal dan rima supra orbita yang

memerkukan dilakukannya craniektomi untuk akses dan pebaikan.2

361

Gambar 4. Potongan cross-seksi dari inferior palpebral dan variasi dari insisi pada dasar.

Menurut Ochs MW FR. Orbital trauma. In: Fonseca RJ.3

Jika dasar orbita atau dinding medial fraktur maka akan terjadi

prolaps bola mata ke anthrum atau sinus ethmoidalis. Prolaps yang terjadi

harus dikembalikan dan dasar atau dinding harus didukung dengan bone

graft untuk mencegah enophthalmus.1,2

Fraktur Nasal-Orbita-Ethmiodal. Fraktur ini relatif jarang

dijumpai pada anak-anak, tapi karena pentingnya harus digaris bawahi

karena potensialnya yang bisa menyebabkan gangguan pada pertumbuhan

tulang wajah. Pertumbuhan midface tergantung dari pertumbuhan fossa

cranii anterior, orbita dan septum nasalis. Ketika dilakukan open reduction

pada daerah ini maka periosteum akan dipisahkan dari tulang orbita dan

nasal dan kondisi ini sendiri berpotensial menghambat pertumbuhan

wajah. Open reduction kompleks pada nasal-orbita-ethmoid dilakukan 4

hari setelah trauma dan dengan gangguan seminimal pada septum nasalis.

Regio ini dapat diakses melalui pendekatan insisi koronal untuk

hasil estetik yang memuaskan, disamping bisa dilakukan insisi pada nasal

dorsum dan juga perluasan insisi dari insisi inferior kantung mata yang

meluas ke tulang hidung bagian lateral. Insisi koronal dilakukan

362

dibelakang hairline pada kulit kepala dan dimulai setinggi dari telinga.

Kadang-kadang insisi meluas sampai ke regio preauricular bila diinginkan

lapang pandang yang luas.1

Fraktur Arkus Zygomatikus. Fraktur pada arkus zygoma terjadi

dengan prosentase 7- 41 % dari seluruh populasi trauma pada anak-anak.

Seiring dengan bertambahnya usia tulang zygoma semakin menonjol dan

prevalensi kejadian fraktur pada arkus zygomatikus juga meningkat.

Penatalaksanaan pada fraktur ini hanya jika dibutuhkan dan sama seperti

pada orang dewasa. Penatalaksanaan pada fraktur ini dilakukan jika

terdapat deformitas atau terjadi trismus. Studi terbaru menemukan bahwa

penyuntikan botulinum pre-op dapat menahan tarikan otot masseter kearah

inferior sehingga mengurangi kemungkinan displacement fraktur post

reduction oleh karena tarikan otot masseter. Pada fraktur greenstick atau

minimal displaced hanya dibutuhkan observasi saja, tetapi jika terjadi

depressed dan comminuted fracture perlu dilakukan open reduction dan

fiksasi. Jika terjadi maka pendekatan dilakukan melalui intra oral atau

Gilles approach. Jika terjadi fraktur zygoma kompleks atau Quadrapod

yang melibatkan disartikulasi tulang zygoma dengan tulang frontal,

maksilaris, sphenoid dan tulang temporal maka reduksi dan reposisi

biasanya melalui multiple approaches, meliputi pendekatan hemicoronal,

sublabial,dan transconjuctival. Gangguan pertumbuhan oleh karena fraktur

ini jarang terjadi.1,2

363

Gambar 5. Fraktur zigomatic dengan defisiensi malar disertai dengan infraorbital (V2)

parastesi. (A) Setelah pembengkakan awal, keadaan malar dapat dilihat. (B) Post-bedah

dengan reduksi intraoral dan pemasangan plat fiksasi2

Gambar 6. Pendekatan dengan Gilies untuk reduksi arkus zigomatikus2

Penggunaan double ended periostel elevator, Kelly clamp dapat digunakan

untuk mereposisi fraktur ini, dengan pendekatan insisi pada regio

temporalis. Trismus post-op sering terjadi dan akan berkurang dalam

dalam beberapa minggu. Pasien harus latihan buka tutup mulut,

memajukan mandibula dan lateral excursion.

3. Fraktur Mandibula

Fraktur Kondil. Fraktur pada kondil semasa kanak-kanak

berpotensi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan wajah. Kondil

mandibula merupakan daerah yang paling sering cedera dengan tingkat

364

insidensi 14.5%-60%. Fraktur pada kondil mandibula dapat dikategorikan

fraktur kondil terbuka (capsular disruption) dan tertutup (intracapsular).

Closed fracture pada kondil dapat dilakukan closed reduction kecuali

oklusi normal tidak tercapai. Open reduction dilakukan jika terjadi terjadi

displaced segmen kondil pada fossa cranial media atau jika terdapat benda

asing.

Pada pemeriksaan fisik, mandibula mengalami deviasi kesisi yang

fraktur jika terjadi dislokasi pada proksimal segmen. Deviasi terjadi

karena pemendekkan ramus. Trismus dan keterbatasan membuka mulut

merupakan gejala adanya fraktur pada kondil. Tanda dan gejala fraktur

kondil pada anak-anak sama dengan tanda dan gejala pada fraktur kondil

orang dewasa. Adanya asimetri maloklusi, anterior open bite, deviasi

mandibula waktu buka dan tutup mulut, nyeri pada preauricular,

pembengkakan, keterbatasan pergerakan, darah pada canalis meatus

acusticus, dan laserasi submental merupakan pertanda adanya fraktur

kondil.

Perawatan. Karena proses penyembuhan yang cepat pada anak-

anak, maka immobilisasi dilakukan tidak terlalu lama dengan

pertimbangan kalau terlalu lama maka akan berpotensi terjadi ankylosis.

Mobilisasi segera, terapi fisik, dan diet lunak menghambat terjadinya

fibrosis dan penyatuan tulang serta mengembalikan stimulasi otot-tulang

penting untuk kelanjutan pertumbuhan simetris wajah.

Closed reduction dengan IMF elastis dengan kurun waktu 1-2

minggu. Jika posisi mandibula dan oklusi dapat dicapai dan dipertahankan

selama 6 bulan , maka pertumbuhan mandibula akan berlangsung secara

simetris. Goal dari penatalaksanaan pada fraktur kondil mandibula untuk

mengembalikan ke simetrisan mandibula, oklusi , dan fungsi tanpa

gangguan pertumbuhan dimasa mendatang. Jika fraktur kondil

teridentifikasi, tetapi tidak terjadi maloklusi maka tidak perlu dilakukan

immobilisasi.

365

Ketika terjadi maloklusi atau mandibula asimetri serta adanya

fraktur kondil, maka reduksi untuk mencapai oklusi awal dan posisi

mandibula ke posisi awal dapat dicapai dengan IMF atau traksi elastic.

Arch bar dapat dipasang pada gigi sulung dengan bantuan

circummandibular, piriform atau circumzygomatic wires. Open reduction

pada fraktur kondil jarang dilakukan. Intervensi bedah diindikasikan jika

segmen kondil displaced ke fossa cranial atau adanya keterbatasan gerakan

karena posisi segmen fraktur.1,2

Gambar 7. Ilustasi 3 kranium dengan usia yang berbeda (A: 2 tahun, B: 6 tahun, C: 12

tahun). Perbedaan metode stabilisasi dengan arch bar pada variasi umur termasuk circum-

mandibula, circum-zygomatic, infraorbital, dan wiring. (Posnick JC.) 2

Fraktur Bodi Dan Simfisis Mandibula. Fraktur bodi dam

simfisis mandibula pada anak-anak terjadi seiring dengan berkembangnya

gigi geligi dan biasanya selalu melibatkan trauma pada rongga mulut. Pada

fraktur ini penatalaksanaan dengan pemberian antibiotic, dilakukan

reduksi, dan stabilisasi dari fraktur. Pada pasien di bawah 2 tahun biasanya

hanya di observasi dan diet lunak. Sering terjadi greestick fraktur pada

regio ini, dan terjadi sedikit displacement, kemungkinan hal ini

dikarenakan tulang mandibula yang elastic dan tertanamnya benih gigi

sehingga memegang fragmen fraktur. Open reduction pada pasien anak-

366

anak jarang dilakukan. Fiksasi maksilomandibular dapat dilakukan

dengan pemasangan erich arch bar. Pada umur antara 5-12 tahun, dapat

dilakukan pemasangan circummandibular wires atau fiksasi skeletal. Jika

memungkinkan, closed reduction untuk penanganan fraktur tersebut

dengan pertimbangan jika dilakukan open reduction akan mengganggu

perkembangan tunas gigi. Hampir pada semua kasus fraktur pada regio ini

penatalaksanaannya dapat dengan menggunakan teknik closed reduction.

Perkembangan yang terbaru, FDA menyetujui penggunaan resorbable

plating systems untuk penatalaksanaan fraktur mandibula, sehingga pada

penggunaan sistem ini tanpa dilakukan pengambilan plate dan terjadinya

migrasi dari plate oleh karena pertumbuhan tak perlu dikhawatirkan

lagi.1,2,4

(Fig. 4)

Gambar 8. Fraktur mandibular yang menyebabkan openbite, yang terjadi pada posterior

ramus dan kondulus. (A) fraktur parasimfisis mandibular dengan separasi antara kaninus

dan premolar. (B) Reduksi intraoral dan plat fiksasi yang dapat di resorbsi. (C)

Penggunaan plat yang dapat di resorbsi pada anak usia 4 tahun. 4

(C)

367

BAB III

KESIMPULAN

Fraktur wajah pada anak jarang terjadi, tapi dapat mengakibatkan tingkat

morbiditas yang signifikan jika tidak ditangani dengan baik. Mayoritas dari

fraktur ini dapat ditangani secara konservatif. Jika memang dibutuhkan tindakan

bedah, harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya gangguan

pertumbuhan

Manajemen trauma oromaksilofasial pada anak-anak sedikit berbeda

dengan orang dewasa namun pada intinya sama karena pada anak-anak masih

dalam proses tumbuh kembang. Prinsip umum penatalaksanaan fraktur pada

trauma oromaksilofasial pada anak-anak (recognition, reduction, stabilization, &

fixation) harus diterapkan disamping tetap mempertimbangkan dampak yang

terjadi terhadap tumbuh kembang anak-anak di masa mendatang.

368

DAFTAR PUSTAKA

1. Fonseca. RJ. Walker, RV. Betts, NJ. Barber HD. 2005. Oral and

Maxilofacial Trauma. Vol 2. 3rd

ed. Philadelphia. W.B. Elsevier-Saunders

company.

2. Kaban, LB. 1990. Pediatric Oral and Maxillofacial Surgery.

Philadelphia. W.B. Saunders Company.

3. Thaller SR, Mc Donald WS. 2004. Facial Trauma. Marcell Dekker, New

York.

4. Wesson DE. 2006. Pediatric Trauma. Taylor & francis Group, New York.