80
IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR SELATAN SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Studi Strata Satu (S1) Disusun oleh: SEPTIAN RIZKI YUDHA NIP: 106043201352 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M

IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

i

IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERATURAN

DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR

SELATAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi

Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan

Studi Strata Satu (S1)

Disusun oleh:

SEPTIAN RIZKI YUDHA

NIP: 106043201352

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M

Page 2: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

PERSETUJUAN PEMBIMBING

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAHSTUDI ANALISIS HUKUM ISLAM DAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 04 TAHUN 2OO5TENTANG

BERPAKAIAI{ MUSLIM DAN MUSLIMAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi syaratmemperoleh gelar Sarjana Syariah

Oleh:

Septian Rizki YudhaNIM: 106043201352

Di bawah bimbingan:

Pembimbing

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 Hl 2014 M

Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag.NrP. 196511 19199803 i002

Page 3: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul oolmplementasi Berpakaian Muslim dan Muslimah Dalam

Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di

Kabupaten Pesisir Selatan" telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas

Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Konsentrasi

Perbandingan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada

tanggal 6 November 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi

Perbandingan Hukum.

J akarta, 1 0 Novemb er 2014MengesahkanDekan,

/'- -

Dr. Phill. J.M. Muslimin, M. A.NIP. 1 96808121999031014

PANITIA UJIAN MUNAQASY

I(etua Mailis : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag.NrP. 1965 1 1 191998031002

Sekretaris Majlis : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si.NIP. 1 9742 1132003121002

: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag.NrP. 19651 i 19199803 1002

: Dr. DiawahirHejazziey, SH., MA., MH.NIP. 19551015197903

: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si.NrP. 1 97 42rt32003r2t002

Pembimbing

Penguji I

Penguji II

ilt

Page 4: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

Nama

NIM

Konsentrasi

Prodi

Fakultas

Judul Skripsi

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Septian Rizki Yudha

r060432013s2

Perbandingan Hukum

Perbanding an Madzhab D an Hukum

Syariah Dan Hukum

:"Implementasi Berpakaian Muslim dan Muslimah Dalam Perspektif

Hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di

Kabupaten Pesisir Selatan".

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakankarya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhisalah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S-1) di Fakultas Syariahdan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah sayacantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah danHukum UIN Syarif Hidayatullah lakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, makasaya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan HukumUIN Syarif Hidayatullah Jakuta.

Septian Rizki Yudhat0604320r352

IV

Jakarta, 1 0 November 2014

Page 5: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

v

ABSTRAK

Septian Rizki Yudha. NIM 106043201352. IMPLEMENTAS

BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM

ISLAM DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI

KABUPATEN PESISIR SELATAN. Program Studi Perbandingan Madzhab dan

Hukum, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 / 2014 M. ix + 65

halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan yang terjadi dalam

Peraturan Daerah di Kabupaten Pesisir Selatan menurut hukum Islam dan Undang-

undang tahun 1945. Dalam pelaksanaannya Peraturan Daerah di Kabupaten Pesisir

Selatan begitu baik khususnya bagi masyarakat yang beragama Islam mereka lebih

bisa melaksanakan peraturan tersebut karena sudah perintah agamanya. Sedangkan

kalo dibandingkan dengan masyarakat non-Muslim malah sebaliknya mereka merasa

peraturan tersebut menjadi bebaban karena tidak terbiasa memakai pakaian yang

lebih tertutup untuk mematuhi peratuan tersebut. Pada penelitian ini penulis memilih

penelitian komparatif untuk membandingkan studi analisis hukum Islam. Penulis

ingin mengetahui Implementasi Perpu tentang Perda berpakaian Muslim dan

Muslimah dan hukum Islam.

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, yaitu menggunakan data berupa

buku dan karya tulis lain yang berhubungan dengan pembahasan mengenai masalah

yang di teliti dan sifatnya persepektif dan terapan. Sedangkan teknik dan

pengumpulan data adalah mereduksi berbagai ide, teori, dan konsep dari berbagai

literatur yang relevan serta menitikberatkan pada pencarian kata kunci yang diambil

dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan pendapat para ulama. Data-data yang dikumpulkan

dalam penelitian ini ada dua, yaitu data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan

data, dan data display.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peraturan Daerah tentang berpakaian

Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan ternyata bertentangan sekali

dengan UUD tahun 1945 dan melanggar HAM karena Perda tersebut tidak sesuai

dengan Undang-undang yang ada. Perda tersebut seharusnya tidak bisa diterapkan

karena yang mengenai urusan Agama adalah Pemerintah Pusat karena sudah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembimbing : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag.

Daftar pustaka : Tahun 1983 sampai 2014

Page 6: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

vi

KATA PENGANTAR

حيم الر الرحمن اهلل بسم

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT Tuhan Semesta Alam, yang

telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan ridho-

Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “Implementasi

Berpakaian Muslim dan Muslimah Dalam Perspektif Hukum Islam dan

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan”. Shalawat

serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW,

penunjuk jalan kebenaran dan penyampai rahmat bagi semesta alam. Tidak lupa

kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi

pengikut setia hingga akhir zaman.

Dalam menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini, penulis menyadari akan

pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara

moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang

diharapkan karena dengan adanya mereka segala macam halangan dan hambatan

dalam penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Oleh sebab itu penulis

menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Phill. J.M. Muslimin, M. A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

vii

2. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., Ketua Program Studi Perbandingan

Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi

Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku pembimbing yang dengan penuh

kesabaran bersedia mengoreksi secara teliti seluruh isi tulisan ini yang

mulanya masih tidak sempurna sehingga menjadi lebih layak dan berarti.

Semoga kemudahan dan keberkahan selalu menyertai beliau dan keluarganya,

Amin.

5. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai tempat interaksi penyusun

selama menjalani studi pada jenjang Perguruan Tinggi di Jakarta.

6. Untuk Ayahanda (H. Noan bin Amat) dan Ibunda (Hj. Anih binti Menan)

yang sangat saya cintai, mungkin kata-kata tidaklah cukup untuk

menggambarkan kasih sayang dan cinta kalian. Terimakasih banyak Bapak,

Ibu, sudah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang dan tidak pernah

lelah untuk menyayangi, menyemangati, menasehati, dan membimbing saya

dari kecil hingga dewasa seperti sekarang ini, tanpa doa dan dukungan dari

Bapak dan Ibu mungkin saya tidak bisa menjadi seperti sekarang ini.

7. Untuk kakak yang tercinta, (Nonih, Panky Wijaya, Yenih, Sumiati, Nur

Hasanah, Siti Aminah, Ahmad Yanih dan Atih Hariyati), terimakasih atas

Page 8: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

viii

masukan dan sarannya dalam memberi semangat untuk menjalani kehidupan

adikmu ini.

8. Untuk Keponakan ku yang tersayang Nurul Safitri Panjaya S.D., yang sudah

memberikan semangat dan Doa, Teman-teman Alumni MTS. Al-Kautsar,

MTP. Makanul Abidin, MTP. Fastabikul Khoirot, Orange Speed dan yang

lainnya. Teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2006 dan 2007, Fauzi

Ramdan S.Sy., Dwi Prasetyo S.Hi., Ahmad Fariz Ihsanuddin, Alfiah dan Yani

Suryani yang selalu mendukung, memberi semangat dan memberikan Doa

untuk menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya, penyusun sadar bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan, dan atas semua kekurangan didalamnya, baik dalam pemilihan

bahasa, teknik penyusunan dan analisisnya sudah tentu menjadi tanggung jawab

penyusun sendiri. Karena itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan

dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini, juga untuk penelitian-

penelitian selanjutnya. Penyusun berharap, skripsi ini bermanfaat khususnya bagi

penyusun dan para pembaca pada umumnya serta dapat menjadi khazanah dalam

ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu hukum Islam. Atas semua bantuan

yang diberikan kepada penyusun, semoga ALLAH SWT memberikan balasan yang

selayaknya, Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ciputat, 10 November 2014

Penulis

Page 9: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iv

ABSTRAK ....................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 5

D. Metode Penelitian ..................................................................... 6

E. Teknik Penulisan ...................................................................... 10

F. Sistematika Penulisan ............................................................... 10

Page 10: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

ix

BAB II BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH MENURUT

HUKUM ISLAM

A. Pengertian Berpakaian Muslim dan Muslimah ........................ 12

B. Tata Cara Berpakaian Muslim dan Muslimah .......................... 15

C. Prinsip-Perinsip Berpakaian Muslim dan Muslimah................ 17

D. Fungsi Berpakaian Muslim dan Muslimah .............................. 22

BAB III PERATURAN DAERAH NO.4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN

PESISIR SELATAN

A. Peraturan Daearah.................................................................... 25

1. Pengertian Perda .................................................................. 26

2. Landasan Pembuatan Perda ................................................. 26

3. Muatan dan Mekanisme Penyusunan Perda ........................ 29

B. Otonomi Daerah ....................................................................... 31

C. Kebijakan Publik ...................................................................... 36

1. Pengertian Kebijakan Publik ............................................... 36

2. Kebijakan Pemerintah ......................................................... 40

3. Peraturan Daerah Sebagai Kebijakan Publik ....................... 41

Page 11: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

x

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWAJIBAN BERPAKAIAN

MUSLIM DAN MUSLIMAH PADA PERDA NOMOR 4 TAHUN

2005 DI KABUPATEN PESISIR SELATAN

A. Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah Menurut Hukum

Islam ......................................................................................... 43

B. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang

Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten

Pesisir Selatan........................................................................... 49

1. Impelementasi Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir

Selatan ................................................................................ 49

2. Dampak Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir Selatan .. 53

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................... 57

B. Saran ......................................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA

Page 12: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai etika normatif bagi pemeluknya diharapkan dapat

diwujudkan nilainya secara sempurna. Oleh karena itu Islam bukan agama yang

hanya terbatas dalam kehidupan pribadi yang semata-mata mengatur hubungan

manusia dengan Tuhannya, akan tetapi memberikan pedoman hidup yang utuh

dan menyeluruh.

Lengkapnya nilai Islam dalam mengatur kehidupan manusia, maka tidak

ada fenomena kehidupan yang tidak terbatas dalam ajaran Islam, termasuk aturan

berbusana bagi kaum wanita muslimah. Hal itu nampak dari beberapa ayat Al-

Qur’an yang mengupas tentang busana muslimah, mulai dari pembahasan tentang

aurat wanita sampai pada batasan atau criteria busan muslimah itu sendiri.

Pembatasan perempuan dalam berbusana menurut Islam adalah bertujuan

untuk melindungi perempuan itu sendiri. Pencegahan awal ini untuk menjaga agar

perempuan tetap mulia dan menjadi anggota masyarakat yang terhormat, serta

sebagai pembinaan ahklak agar terhindar dari persaingan, dengki dan lain-lain.

Selain itu busana muslim bagi laki-laki juga menanamkan suatu tradisi yang

universal dan fundamental untuk mencabut akar-akar kemerosotan moral dengan

Page 13: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

2

menutup pintu pergaulan bebas.1

Busana atau pakaian, berhubungan dengan peradaban manusia. Kebutuhan

untuk berpakaian bukan hanya dirasakan manusia yang hidup diera indutrialisasi,

tetapi sejak zaman Nabi Adam AS. Sejak Nabi Adam dan Isrtinya terbujuk untuk

memakan buah kuldi dan mereka mulai mengenal rasa malu bila auratnya

terbuka, maka sejak itulah sebenarnya manusia akan pakaian sudah ada.

Keterbatasan teknologi yang menyebabkan pakaian mereka hanya daun-daun

Surga.2

Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia yang tidak berkaitan dengan

kesehatan, etika, estetika, tetapi juga berhubungan dengan kondisi sosial budaya,

bahkan juga ekspresi idiologi. Bagi manusia pakian tidak berdimensi keindahan,

tetapi juga kehormatan bahkan keyakinan. Itulah sebabnya, aturan tentang pakian

termasuk yang dipandang penting oleh Allah SWT, sehingga tercantum dalam Al-

Qur’an yang mulia.

Berpakaian secara Islam, terutama bagi muslimah adalah bagian dakwah

yang penting dalam Syiar Islam diseluruh dunia, karena petunjuknya jelas

(muhkamat) dalam Al-Qur’an. Dalam dalil-dalil Al-Qur’an, busana muslimah

merupakan ketentuan tata busana bagi kaum muslimah untuk menutup auratnya

1Husein Shahab, Jilbab menurut Al-Qur’an dan As-sunnah (Jakarta: Mizan, 1983), h.18, juga

dalam Istadianta, Hikmah Jilbab dalam Pembinaan Ahklak (Sala: Ramdhani, Tt), h.Baca juga Abu

Abdillah Al Mansur, Wanita dalam Quran, (Jakarta Gema Insani Prees, 1986), h. 34

2Sitoresmi Prabuningrat, “Gejolak Kebangkitan Busana Muslimah Di Indonesia”, dalam

Aswab Machasin (eds), Ruh Islam

Dalam Budaya Bangsa Konsep Estetika, (Jakarta: Yayasan Festival

Istiqlal, 1996) h. 256-257

Page 14: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

3

berdasarkan syariat Islam.

Persyaratan menutup aurat itu diterapkan secara integral kedalam berbagai

ragam busana daerah yang sudah ada, sehingga tercipta desain dengan berbagai

ragam, baik secara struktural (potongan, bentuk, tenunan tekstil) maupun secara

dekoratif (corak, warna, ragam hias, tekstur, motif dan aksesoris).3 Hal ini

menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam dengan mudah masuk kedalam budaya lokal

masyarakat muslim diseluruh dunia dan menyatu dengan nilai-nilai luhur yang

mereka anut. Perpaduan itu membentuk ciri khas yang unik, tanpa perlu

menghilangkan perbedaan faktor-faktor historis, geografis, ras, etnis, ataupun

mazhab.

Fungsi pakaian terutama sebagai penutup aurat, sekaligus sebagai

perhiasan, memperindah jasmani manusia. Agama Islam memerintahkan kepada

setiap orang untuk berpakaian yang baik dan bagus. Baik berarti sesuai dengan

fungsi pakaian itu sendiri, yaitu menutup aurat, dan bagus berarti cukup memadai

serasa sebagai perhiasan tubuh yang sesuai dengan kemampuan sipemakai untuk

memilikinya. Untuk keperluan ibadah misalnya untuk shalat di masjid, kita

dianjurkan memakai pakaian yang baik dan suci. Berpakaian dengan mengikuti

muda yang berkembang saat ini, bukan merupakan halangan, sejauh tidak

menyalahi fungsi menurut Islam. Namun demikian kita diperintahkan untuk tidak

berlebih-lebihan. Berpakaian bagi kaum wanita mukmin telah digariskan oleh Al-

3Beryl C. Syamwil, “Akar Sejarah Busana Muslimah Indonesia”, dalam Aswab Machasin

(eds), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa Konsep Estetika,…,h. 239

Page 15: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

4

Qur’an adalah menutup seluruh auratnya. Hal tersebut selain sebaya identitas

mukminah juga menghindari diri dari gangguan yang tidak diinginkan pada

dasarnya pakaian muslim tidak menghalangi pemakaiannya untuk melakukan

kegiatan sehari-hari dalam bermasyarakat. Semuanya kembali kepada niat

sipemakainya dalam melaksanakan ajaran Allah.

Dengan melihat latar belakang yang dipaparkan diatas, maka penulis

terdorong untuk melakukan penelitian dan pembahasan, sehingga penulis

menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Implementasi Berpakaian

Muslim Dan Muslimah Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Peraturan

Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan.”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Mengingat keluasan dan kompleksitas masalah dalam berpakaian

muslim dan muslimah, maka untuk fokus dalam pembahasannya penulis akan

membatasi permasalahan kewajiban berpakaian muslim dan muslimah dengan

pembatasan masalah pada Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor

4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.

Page 16: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

5

2. Perumusan Masalah

Untuk memahami masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka

penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah Implementasi Berpakaian Muslim dan Muslimah dalam

perspektif hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di

Kabupaten Pesisir Selatan?

b. Bagaimanakah Faktor-faktor timbulnya Peraturan Daerah Kabupaten

Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan

Muslimah?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, maka tujuan penelitian yang

akan dicapai dalam penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir

Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.

b. Untuk mengetahui Faktor-faktor timbulnya Peraturan Daerah Kabupaten

Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan

Muslimah.

Page 17: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

6

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Menambah wawasan pembaca terhadap ilmu hukum dan hukum islam

yang berkaitan dengan Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir

Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.

b. Memberikan informasi terhadap masyarakat khususnya mengenai

Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun

2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian

skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari

suatu penulisan. Adapun metode penelitian yang dipakai sebagai dasar penulisan

ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian hukum ada dua jenis penelitian, yaitu penelitian

normatif dan penelitian empiris/sosiologis atau penelitian lapangan. Penelitian

normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, dimana dalam penelitian

hukum normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian

digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut memiliki ruang

Page 18: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

7

lingkup yang sangat luas sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku

harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan

oleh pemerintah.4

Dalam karya ilmiah ini, penulis akan menggunakan jenis penelitian

normatif karena dalam hal ini penulis akan meneliti tentang kewajiban

berpakaian muslim dan muslimah dalam perspektif Peraturan Daerah

Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim

dan Muslimah. Penelitian ini saya lakukan melalui pendekatan yuridis

normatif, yang mempunyai pengertian bahwa penelitian ini didasarkan pada

peraturan-peraturan hukum yang berlaku dan teori-teori hukum yang

berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

2. Sumber Data

Data-data yang dikumpulkan dalam penulisan skripsi ini adalah data

kualitatif bukan data kuantitatif. Data kualitatif yaitu penelitian yang data

umumnya dalam bentuk narasi atau gambar-gambar. Sedangkan data

kuantitatif adalah data yang dapat diukur sehingga data dapat menggunakan

statistik dalam pengujiannya.5

Data yang dikumpulkan dalam skripsi ini

adalah data-data yang berkaitan dengan kewajiban berpakaian muslim dan

4

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat).

(Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke- IV, h. 23

5 Ronny Kountur, Metode Penelitian (Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis). (Jakarta, PPM,

2004), cet. Ke-II, h. 16

Page 19: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

8

muslimah yang terdapat dalam al-Qur’an dan Undang-Undang, kitab atau

buku.

Sejalan dengan permasalahan diatas dan untuk memperoleh data yang

sesuai, maka literatur yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain:

a. Sumber data primer, yaitu:

Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama dan harus

dipenuhi dalam penulisan skripsi, ini yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadits,

Undang-Undang diantaranya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Dasar Negara Republik

Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang

Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b. Sumber data sekunder, yaitu:

Sumber data sekunder adalah sumber data pelengkap dan harus dipenuhi

dalam penulisan skripsi ini. Adapun sumber data sekunder mencakup

atas buku bacaan, jurnal, media cetak, website, dan sumber data lainnya

yang berkaitan langsung dengan pembahasan skripsi ini.

c. Data Tersier

Data Tersier adalah data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap data-data primer dan skunder, yaitu berupa kamus-kamus

Page 20: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

9

ilmiah dan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

3. Teknik Pengumpulan Data

Didalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan

data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan

wawancara atau intervie.6 Dalam hal ini, penelitian yang digunakan oleh

penulis adalah menggunakan teknik studi dokumen atau bahan pustaka dan

observasi yaitu suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data

tertulis yang biasa ditemukan dalam bahan pustaka yang terdiri dari buku-

buku atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pembahasan ini.

4. Penyajian dan Teknik Analisis Data

Data hasil penelitian dalam skripsi ini disajikan dalam bentuk deskriptif,

yaitu penulis menggambarkan hasil penelitian tentang kewajiban berpakaian

muslim dan muslimah dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan

nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah dengan

sejelas-jelasnya. Adapun tujuan dari penyajian seperti ini tidak lain adalah

agar pembaca dapat memahami dengan jelas tentang kewajiban pakaian

muslim dan muslimah dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan

nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.

6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 2010), h. 21

Page 21: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

10

Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Content Analysis, yaitu melakukan analisis isi dokumen secara terperinci

dengan mengambil sari dari dokumen yang menjadi sumber data baik

dari buku-buku atau dokumen yang berisi tentang hukum positif atau

hukum Islam yang sesuai dengan kajian skripsi ini.

b. Comparative Analysis, yaitu melakukan analisis perbandingan dalam

dua hal yang berbicara pada substansi yang sama.

E. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman

Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan persoalan yang akan dibahas dalam skripsi ini akan

penulis sajikan atau paparkan dalam 5 Bab, diantaranya:

Bab I Membahas tentang pendahuluan. Pada bab ini memuat uraian tentang

aspek-aspek rancangan pelaksanaan penelitian yang terdiri dari sub-sub

bab tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tekhnik

penulisan dan sistematika penulisan.

Page 22: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

11

Bab II Membahas tentang pengertian berpakaian muslim dan muslimah,tata

cara berpakaian muslim dan muslimah, perinsip-perinsip berpakaian

muslim dan muslimah dan fungsi berpakaian muslim dan muslimah.

Bab III Membahas tentang Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2005 di Kabupaten

Pesisir selatan, otonomi daerah dan kebijakan publik.

Bab IV Membahas tinjauan yuridis tentang kewajiban berpakaian muslim dan

muslimah dalam Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2005 di Kabupaten

Pesisir Selatan.

Bab V Pada bab ini sebagaimana umumnya dalam setiap karya ilmiah lazim

dibuat suatu penutup yang berupa kesimpulan dari beberapa persoalan

yang dibahas dan saran dari penulis untuk masyarakat umum.

Page 23: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

12

BAB II

BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Bepakaian Muslim dan Muslimah

Pengertian berpakaian Muslim dan Muslimah adalah untuk menutup semua

aurat baik itu laki-laki dan Perempuan. Aurat berasal dari bahasa Arab, Aurat

artinya “an naqsu” atau keaiban. Menurut istilah fiqih aurat adalah bagian tubuh

seseorang yang wajib ditutupi dari pandangan. Dalam kamus dijelaskan bahwa

Aurat adalah hal yang jelek untuk dilihat atau sesuatu yang memalukan bila

dilihat. Menurut syara’ yang dikatakan aurat adalah sesuatu yang diharamkan

Allah untuk diperlihatkan kepada orang lain yang tidak dihalalkan Allah untuk

melihatnya.

Dalam kejadiannya, manusia dilahirkan kemuka bumi salah satunya

membawa potensi malu terhadap lingkungannya dimana ia tinggal. Oleh untuk

menutupinya rapat-rapat, karena jika tidak bisa menutupinya maka aib yang ada

pada dirinya akan diketahui orang lain. Karena itu, untuk menutupi malunya

manusia berusaha semaksimal mungkin secara lahiriah manusia berusaha

melindungi tubuhnya dari berbagai macam gangguan, maka dari itu busana

merupakan sesuatu yang mendasar baginya untuk menjaga gangguan tersebut.

Bagaimanapun usaha untuk selalu menutup tubuh itu akan selalu ada walaupun

dalam bentuk yang sangat minim atau terbatas sesuai dengan kemampuan

hidupnya, raga dan akal manusia.

Page 24: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

13

Dengan pakaian manusia ingin membedakan antara dirinya atau

kelompoknya dengan orang lain. Pakaian memberikan identitas diri sehingga

dapat mempengaruhi tingkah laku si pemakai dan juga dapat mencerminkan

emosi pemakainya yang pada saat bersamaan dapat mempengaruhi emosi orang

lain.1

Pada prinsipnya Islam tidak melarang umatnya untuk berpakaian sesuai

dengan mode atau trend masa kini, asal semua itu tidak bertentangan dengan

prinsip Islam. Islam membenci cara berbusana seperti busana-busana orang

jahiliyah yang menampakkan lekuk-lekuk tubuh yang mengundang kejahatan dan

kemaksiatan. Konsep Islam adalah mengambil kemaslahatan dan menolak

kemudoratan.2

Pada dasarnya, Islam tidak menentukan model dan coraknya. Tetapi Islam

sebagai agama yang sesuai untuk setiap masa dan tempat, memberikan kebebasan

yang seluas-luasnya kepada wanita muslimah untuk merancang mode yang sesuai

dengan selera masing-masing. Tak ada mode khusus yang diperintahkan kita

dapat mengenalkan apa yang kita sukai asalkan tetap pada batas-batas Islam,

mode bukan masalah asal kita tidak mengikuti secara membabi buta. Kita harus

1

Quraish Shihab, “Wawasan Al-Quran” (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke-4 h. 161.

2

Ahmad Hasan Karzun, “Adab Berpakaian Pemuda Islam” (Jakarta: Darul Falah, 1999), cet.

1, h. 13

Page 25: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

14

mempunyai kesadaran terhadap busana yang tidak Islami, dan berani menjadi

orang yang tidak mengikuti perkembangan mode yang berlaku pada saat itu.3

Busana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang kita pakai mulai dari

kepala hingga sampai ujung kaki.4 Hal ini mencakup antara lain Pertama, semua

benda yang melekat pada badan, seperti baju, celana, sarung, dan kain panjang.

Kedua, semua benda yang melengkapi pakaian dan berguna bagi si pemakai

seperti selendang, topi, sarung tangan, dan kaos kaki. Ketiga, semua benda yang

berfungsi sebagai hiasan untuk keindahan pakaian seperti, gelang, cincin, dan

sebagainya.5

Dalam pengertian berbusana, Al-Qur’an tidak hanya menggunakan satu

istilah saja tetapi menggunakan istilah yang bermacam-macam sesuai dengan

konteks kalimatnya. Menurut Qurais Shihab paling tidak, ada 3 istilah yang

dipakai yaitu :6

1) Al-Libas (bentuk jamak dari kata Al-Lubsu), yang berarti segala

sesuatu yang menutup tubuh. Kata ini digunakan Al-Qur’an untuk

menunjukkan pakaian lahir dan batin.

2) Ats-Tsiyab (bentuk jamak dari Ats-Tsaubu), yang berarti kembalinya

sesuatu pada keadaan semula yaitu tertutup.

3

Huda Khattab, “Buku Pegangan Wanita Islam” (Bandung: Al-Bayan, 1990), cet. Ke-2, h. 40 4

W. J. S. Poerwa Darunuda, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakarta: Balai Pustaka,

1987), h. 172

5

Nina Surtiretna, “Anggun Berjilbab” (Bandung: Al-Bayan, 1995), cet. Ke-2 h. 28

6

Quraish, Wawasan,,,,h. 155-157.

Page 26: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

15

3) AZ-sarabil yang berarti pakaian apapun jenis bahannya.

Dari pengertian diatas, dapat ditarik pengertian busana muslim sebagai

busana yang dipakai oleh wanita muslimah yang memenuhi, kriteria-kriteria

(prinsip-prinsip) yang ditetapkan ajaran Islam dan disesuaikan dengan kebutuhan

tempat, budaya, dan adat istiadat.

B. Tata Cara Berpakaian Muslim dan Muslimah

Busana muslim dan muslimah merupakan pakaian yang dikenakan laki-laki

dan perempuan selama tidak keluar dari ajaran Islam. Setiap laki-laki dan

perempuan muslim diharuskan untuk mengenakan busana muslim dan muslimah

agar terhidnar dari berbagai macam gangguan yang datang kepadanya.

Pokok pangkal dari berbusana muslim bukan apakah sebaliknya laki-laki

atau wanita memakai busana muslim dalam pergaulannya dengan masyarakat,

melainkan apakah laki-laki bebas mencari kelezatan dan kepuasan memandang

wanita. Laki-laki hanya dibolehkan memandang wanita dalam batas-batas

keluarga dan pernikahan saja. Hal ini dimaksudkan demi tercipatanya keluarga

yang sehat, harmonis dan saling mempercayai sebagai sendi terwujudnya

masyarakat yang sehat, damai, beriwibawa dan menjunjung tinggi harkat wanita.7

7 Husein Shabah, Jilbab Menurut al-quran dan as-Sunnah, (Bandung: Mizan, 2000), cet, ke-

10, h. 18.

Page 27: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

16

Pakaian wanita muslimah menanamkan tradisi yang universal dan

fundamental untuk mencegah kemerosotan moral dengan menutup pergaulan

bebas. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Fuad M. Facruddin yang mengatakan

bahwa busana yang dikenakan seorang muslimah bukan hanya menutup badan

saja, melainkan harus menghilangkan rasa birahi yang menimbulkan syahwat.8

Ada 8(delapan) tata cara dalam menutup Aurat menurut Islam:

1. Pakaian itu mestilah meutup aurat.

2. Pakaian itu tidak terlalu tipis sehingga tampak bayangan tubuh badan dari

luar.

3. Pakaian itu tidak ketat atau sempit.

4. Warna pakaian itu suram atau gelap, seperti warna hitam atau kelanu asap.

Tujuannya adalah agar lelaki tidak bernafsu melihatnya (terutamanya

pakaian seperti jilbab atau abaya).

5. Tidak memakai wangi-wangin, pakaian jangan sekali-kali disemerbakan

dengan bau-bauan yang harum, demikian juga tubuh badan wanita itu,

karena bau-bauan ini menimbulkan pengaruhnya atas nafsu laki-laki.

6. Tidak seperti pakaian laki-laki, pakaian itu tidak bertashabbuh dengan

pakaian laki-laki yakni tiada meniru-niru atau menyerupai pakaian laki-

laki.

8 Fuad Mohd. Fachruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam, (Jakarta: CV.

Pedoman Ilmu Jaya, 1991), cet ke-2, h. 33.

Page 28: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

17

7. Pakaian itu tiada bertashabbuh dengan pakaian perempuan-perempuan

kafir dan musyrik

8. Pakaian itu bukanlah libasu sh-shuhrah, yakni pakaian untuk bermegah-

megahan, untuk menunjuk-nunjuk atau bergaya.

Dalam Al-Qur’an Islam telah mengatur tata cara tentang menutup aurat

dalam surat Al-A’raf ayat 26 yang berbunyi :

) )

Artinya: ”Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan

pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi, pakaian

taqwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan

Allah, mudah-mudahan mereka ingat”. (QS. Al-A’raf/7: 26).

Dari penjelasan diatas, maka seseorang muslimah harus memakai pakaian

yang menutupi seluruh auratnya sesuai dengan ajaran Islam. Apabila wanita

muslimah memakai busana secara bebas tanpa memperhatikan etika yang akan

menimbulkan konsekuensi yang sangat buruk bagi mereka.

C. Prinsip-Prinsip Berpakaian Muslim dan Muslimah

Dalam perkembangannya, busana muslim mau tidak mau harus mengikuti

mode dari zaman ke zaman, busana muslim bisa selalu Survive ditengah-tengah

Page 29: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

18

masyarakat yang selalu gandrung terhadap mode yang sedang age-trend

namannya. Dengan demikian, busana muslim tidak akan hilang "eksistensinya"

selama ia bisa menyesuaikan dengan zaman.

Berkembangnya zaman akan mengakibatkan pada berkembangnya mode

termasuk busana muslim. Namun demikian tentunya busana muslim yang

berusaha menyesuaikan dengan zamannya tetap harus berada pada prinsip-prinsip

yang berlaku sesuai dengan urutan Islam yang notabene berdasarkan Al-Qur’an

dan Al-Hadits.

Adapun prinsip-prinsip yang ditentukan dalam tuntunan Islam antara lain:9

1) Prinsip Pemotongan Kain yang Akan di Jahit

Dimaksud dengan pemotongan kain (pola) busana tersebut adalah

menjahit (pembuatan busana). Jaitan busana seorang wanita, harus sesuai

dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Islam dibidang penjahitan

busana tersebut, kemudian mengenai pakaiannya pada badan semua harus

memperhatikan kriteria-kriteria dibawah ini :

a) Busana harus menyelubungi seluruh badan

Hal diatas dimaksudkan agar pakaian yang dipakai dapat

menutupi seluruh badan kecuali telapak tangan dan wajah.10

Hal ini

karena Islam lebih menitik beratkan busana sebagai penutup, bukan

9 Syaik Abdullah Shahih al-Fauzan, Kriteria Busana Muslimah (Jakarta:Khazana Shun,

(1995) cet, ke-1, h. 15.

10

Husein Shabah, Jilbab Menurut al-quran dan as-Sunnah, h. 51.

Page 30: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

19

sebagai hiasan.

Bila menampakkan perhiasan merupakan larangan, maka dalam

hal ini menampakkan letak-letaknya lebih dilarang, dan seandainya

tidak dikenakan busana tentu tampaklah letak-letak perhiasan, berupa

dada, kedua telapak kaki dan betis. Oleh karena itu seharusnya seorang

wanita mengenakan celana yang menutupi betisnya ataupun dua kaos

kaki yang menutupi kedua kakinya.

b) Busana tidak ketat yang dapat membentuk tubuh.

Pakaian yang ketat akan membentuk postur tubuh wanita ataupun

sebagainya. Wanita yang mengenakan pakaian ketat sehingga dapat

membentuk potongan-potongan postur tubuhnya dan keluar pada

perkumpulan-perkumpulan kaum laki-laki, maka busana itu

dikhawatirkan termasuk kategori diantara pakaian-pakaian telanjang.

Termasuk dalam pengertian pakaian telanjang adalah seorang

wanita yang mengenakan pakaian yang ketat yang tampak jelas lekuk-

lekuk dan bentuk asli tubuhnya. Tidak diragukan lagi bahwa busana

tersebut termasuk dalam kategori pakaian telanjang yang tidak sesuai

dengan ajaran Islam.

c) Busana Wanita Tidak Menyerupai Busana Laki-Laki

Tidak diragukan lagi bahwa salah seorang diantara dua jenis

menyerupai pada jenis lainnya adalah menyimpang dari fisik, serta

sebagai bukti bahwa secara Islam tidak normal lagi. Penyerupaan

Page 31: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

20

adalah penyakit yang tidak bisa diobati yang tertransfer ke dalam

budaya kita sebagai konsekuensi dari ikut-ikutan gaya Barat. Hal ini

merupakan hal yang dilarang agama.

d) Tidak Menyerupai Wanita Kafir

Sekarang ini, banyak wanita muslimah yang merancang

busananya dengan pola yang bertentangan dengan ketentuan syar'a

dan norma-normanya dibidang busana. Berdasarkan realita yang

muncul dewasa ini yang popular disebut dengan "mode” dimana ia

mengalami perkembangan dan perubahan setiap hari dari yang buruk

hingga yang lebih buruk. Bentuk-bentuk busana wanita dewasa ini

sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran-ajaran Islam dan sama sekali

tidak pernah dikenal dikalangan wanita-wanita muslimah. Hal ini

terbukti dengan banyaknya pakaian-pakaian yang apabila dipakai

wanita, maka aurat wanita si pemakai akan terlihat dengan jelas.

Tujuan wanita dilarang menyerupai dengan orang-orang kafir,

diantaranya adalah penyerupaan dengan mereka dalam berbusana.

2) Prinsip yang berhubungan dengan corak (bentuk) busana

Adapun kriteria-kriteria corak busana muslimah antara lain sebagai

berikut:11

a) Tidak menjadikan busana sebagai perhiasan pada dirinya

Maksud dari busana tersebut adalah pakaian yang tampak.

11

Syaik Abdullah, Kriteria Busana,,, h. 21-25.

Page 32: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

21

Seorang wanita muslimah dilarang memakai pakaian dari sejumlah

pakaian, bilamana pakaian-pakaian itu merupakan pakaian tembus

pandang sebagaimana dalam pengertian secara umum.

b) Busana tidak tipis yang masih memperlihatkan bentuk aurat yang

berada dibaliknya.

Hal ini sesuai dengan tujuan berbusana yaitu menutup. Tujuan

tersebut tidak akan tercapai kecuali dengan busana yang tebal. Karena

busana yang tipis itu bukan merupakan busana menurut pandangan

Islam.

c) Busana tidak bercorak glamour

Dilarang bagi seorang wanita muslimah memilih berbagai corak

pakaian yang hanya menuruti tuntutan kesenangannya dan sama sekali

tidak ada relevansinya dengan prinsip-prinsip busana, tidak lain

bertujuan untuk menghilangkan pandangan kaum laki-laki kepadanya.

d) Tidak diberi wewangian atau parfum yang menimbulkan syahwat

Hal ini dilarang karena parfum dikhawatirkan membangkitkan

nafsu birahi. Para ulama bahkan mengikut yang semakna dengannya

sebagai pakaian indah, perhiasan yang tampak dan megah serta

bercampur baru dengan laki-laki.12

12

Abu al-Ghifari, Kudung Gaul. Berjilbablah Tapi Telanjang. (Bandung: Mujahid, 2002)cet.

Ke2, h. 62-63.

Page 33: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

22

D. Fungsi Berpakaian Muslim dan Muslimah

Fungsi utama pakaian adalah untuk menutupi aurat, yaitu bagian tubuh

yang tidak boleh dilihat oleh orang lain kecuali yang dihalalkan dalam

agama. Dan dianjurkan untuk berpakaian terbaik yang dimilikinya dengan tidak

berlebihan.

Semakin dinamisnya budaya peradaban manusia, maka terciptalah busana

yang beraneka ragam motif dan mode. Busana dikenakan manusia tidak begitu

saja tercipta dan terpakai tanpa adanya pemikiran tentang fungsi dan tujuan dari

berbusana tersebut. Secara umum fungsi mengapa manusia menggunakan busana

adalah :13

1. Memenuhi syarat peradaban sehingga tidak menyinggung rasa kesusilaan.

2. Memenuhi syarat kesehatan, yaitu melindungi badan dari gangguan luar,

seperti panas, hujan, angin dan lain-lain.

3. Memenuhi keindahan.

4. Menutupi segala kekurangan yang ada pada tubuh kita.

Dari sudut sosiologis, busana muslimah berfungsi sebagai :14

1. Menjauhkan wanita dari pergaulan laki-laki.

2. Membedakan wanita yang berakhlak mulia dengan wanita berakhlak hina.

3. Mencegah timbulnya fitnah dari laki-laki.

13 Labib Mz, Wanita dan Jilbab (Gresik: CV. Bulan Bintang, 1999), cet. Ke 1, h. 115.

14 M. Thalik, Analisa dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: al-ikhlas, 1987) h. 23.

Page 34: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

23

4. Memelihara kesucian agama wanita yang bersangkutan.

Menurut Istadiyanto, fungsi busana muslimah Pertama membentuk pola

sikap atau akhlak yang luhur dalam diri remaja sebagai pencegah terhadap

dorongan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran syariat. Kedua

mencegah orang lain untuk berbuat sewenang-wenang terhadap si pemakai.15

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebutkan beberapa fungsi busana

yaitu:16

1. Sebagai penutup aurat.

2. Sebagai perhiasan, yaitu untuk penambah rasa estetika dalam berbusana.

3. Sebagai perlindungan diri dari gangguan luar, seperti panas terik matahari,

udara dingin dan sebagainya.

Menurut M. Quraish Shihab, selain tiga hal diatas, busana juga mempunyai

fungsi sebagai petunjuk identitas dan pembela antara seseorang dengan orang

lain,17

sebagian ulama bahkan menyatakan fungsi busana yang lainnya adalah

fungsi takwa dalam arti busana dapat menghindarkan seseorang terjerumus dalam

bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhwawi.18

15 lstadiyanto, Hikmah Jilbab dan Pembinaan Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1998), h. 23.

16

Nina Surtiretna, Anggun,,, h. 15.

17

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan

1998), cet. Ke-13, h. 279.

18

Quraish, Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah, h. 161.

Page 35: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

24

Dari beberapa fungsi busana yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan

bahwa fungsi busana muslimah adalah sebagai petunjuk identitas, penutup aurat,

pelindung diri dan sebagai pakaian takwa. Oleh karena itu Allah SWT

memerintahkan kepada kaum wanita untuk memakai busana sesuai dengan ajaran

Islam, yakni menutup aurat (berbusana muslimah).

Page 36: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

25

BAB III

PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR

SELATAN

A. Peraturan Daerah

Sistem Pemerintahan Daerah yang berlaku, menempatkan kepala daerah

sekaligus sebagai pimpinan daerah otonom dan perwakilan pemerintah pusat di

dalam lingkungan pemerintahan daerah dan disebut kepala wilayah. Maka pada

tingkat daerah ini dikenal ada 2(dua) macam peraturan perundang-undangan

yang mempunyai sifat mengatur, yaitu Peraturan Daerah (selanjutnya disebut

perda) dan Keputusan Kepala Daerah.1

Perda dan keputusan Kepala Daerah adalah peraturan perundang-undangan

yang dibuat untuk menyelenggarakan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah

adalah satuan Pemerintah teritorial tingkat lebih rendah yang berhak mengatur

dan mengurus sebagian urusan pemerintah sebagai urusan-urusan rumah tangga

daerah yang bersumber pada otonomi dan tugas pembantuan.2

1 Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,

Yogyakarta : UII Pres, 2005. Cet. 1. h. 62

2 UUD 1945 pasal 18, ayat 2: “Pemerintah daerah Propinsi, daerah kabupaten, dan

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

M. Alfan Alfian M. Ed. Bagaimana memenangkan pilkada langsung?. Jakarta: Akbar Tanjung

Institute, 2005, Cet. 1. h. 35-36

Page 37: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

26

1. Pengertian Perda

Peraturan Daerah adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk

oleh Pemerintah Daerah atau salah satu unsur Pemerintah Daerah yang

berwenang membuat peraturan perundang-undangan daerah.3 Sedangkan Perda

menurut ketetapan MPR tahun 2000 adalah merupakan peraturan untuk

melaksanakan aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus dari

daerah yang bersangkutan.4

2. Landasan Pembuatan Perda

Perda merupakan Implementasi sarana demokrasi dan sarana komunikasi

timbal balik antara Perda dan masyarakat. Pembuatan Perda memiliki perbedaan

sifat substansi materi sebab muatan Perda dibuat kadang dalam rangka

penyelenggaraan otonomi, pembantuan maupun substansi Perda sebagai

penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Oleh karena Perda adalah suatu perundang-undangan yang menjadi sarana

komunikasi dan demokrasi antara Perda itu sendiri dengan masyarakat, maka

sekurang-kurangnya dalam penyusunan Perda harus memiliki 3(tiga) landasan

dalam pembuatannya.5

3 Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 58

4 TAP MPR NO. III TAHUN 2000, Pasal 3, Ayat 7

5 Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”, Jurnal Clavia

Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar, Vol. 5, No. 2, 2004, h. 211

Page 38: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

27

1. Landasana yuridis, yaitu landasan hukum yang menjadi dasar

kewenangan pembuatan Perda, apakah kewenangan seseorang

penjabat atau badan mempunyai dasar hukum yang telah ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dasar yuridis sangat

penting dalam pembuatan Perda karena akan menunjukan adanya

wewenang pembuat perda, kesesuaian bentuk atau jenis peraturan

perundang-undangan dengan materi yang diatur, mengikuti tata cara

tertentu, dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi

tingkatannya.6

Kalau tidak, maka peraturan Perundang-undangan itu akan batal demi

hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.7

Adapun dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah :

1. UUD 45 Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B

2. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

3. Keputusan Presiden No. 44 tahun 1999 tentang tehnik penyusunan

peraturan perundang-undangan, bentuk rancangan undang-undang,

Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden

4. Keputusan Mentri Dalam Negri No. 21, 22, 23 dan 24 tahun 2003

6 Tata urut Perundang-undangan Republik Indonesia adalah: (1) UUD 4; (2) Ketetapan MPR

RI; (3) Undang-undang. (4) Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang (Perpu); (5) Peraturan

Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; (7) Peraturan Daerah.

7 Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 54-56

Page 39: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

28

5. Tata Tertip DPRD Propinsi Kabupaten/Kota8

6. UU NO. 23 tahun 2004

7. UU No. 10 tahun 20049

2. Landasan Sosiologis (Sosiologische Gronsleg). Suatu Perda dikatakan

mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuannya sesuai dengan

keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini berarti

bahwa Perda yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat, sesuai

dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Pada

perinsipnya yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup

(living law) dalam masyarakat, dan jika tidak sesuai dengan tata nilai,

keyakinan dan kesadaran masyarakat tidak akan ada artinya. Tidak

mungkin dapat diterapkan karena tidak ditaati dan dipatuhi.

3. Landasan Filosofis (Filosofische Gronngslag). Pandangan hidup suatu

bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral dan etika yang pada dasarnya

berisi nilai-nilai yang baik dan tidak baik. Nilai yang baik adalah

pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi dari suatu daerah

tertentu. Didalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan dan

berbagai nilai lainnya yang dianggap baik.

8 Peraturan Daerah dan Permasalahannya, website, http:// www.iri-indonesia.org/ 21

februari tahun 2006

9 Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 59

Page 40: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

29

Perda dikatakan mempunyai nilai filosofis apabila rumusnya atau

normanya mendapat pembenaran, dikaji secara filosofis. Jadi, ia mempunyai

alasan yang dapat dibenarkan apabila sejalan dengan nilai-nilai yang baik.10

3. Muatan dan Mekanisme Penyusunan Perda

Peraturan Daerah sebagai peraturan perundang-undangan ditingkat daerah

untuk menyelenggarakan Pemerintah Daerah dibidang urusan rumah tangga

daerah berdasarkan asas desentralisasi dan asas pembantuan.11

Jadi pada

perinsipnya Perda dibentuk untuk; Pertama, dalam rangka penyelenggaraan

otonomi,12

tugas pembatuan dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Kedua, Perda tidak boleh bertentangan dengan

kepentinggian umum, perda lain dan peraturan perundang-undangan yang lain.13

Sedangkan mekanisme penyusunan Perda dapat dilihat dalam penjelasan

umun UU No. 32 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa kewenangan yang ada

10

Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”, Jurnal Clavia

Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar,, h. 218-219

11 Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 148

12 Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan: Kewenangan Daerah

mencakaup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang

politik luar negri, pertahanan keamanan, pengadilan, moneter, fiskal, Agama, serta kewenangan bidang

lainya. Penjelasan ayat ini berbunyi antara lain: khusus bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat

ditugaskan oleh Pemerintah Kepala Daerah sebagai upaya keikut sertaan daerah dalam

menumbuhkembangkankehidupan beragama.

13 Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”, Jurnal Clavia

Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar,, h. 220-222

Page 41: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

30

pada Kepala Daerah dan DPRD mangandung pengertian bahwa pembentukan

peraturan daerah dilakukan bersama-sama. Inisiatif pembentukan Perda dapat

dilakukan Kepada Daerah atau DPRD.14

Rancangan Perda baik hasil prakarsa Kepala Daerah maupun prakarsa

DPRD, harus melalui beberapa tahapan pembahasan dalam lingkup DPRD,15

sampai pengambilan keputusan persetujuan DPRD terhadap rancangan Perda

tersebut. Pembahasan di DPRD biasanya diformat dengan tahapan pengantar

eksekutif pada sidang paripurna Dewan, pemandangan umum fraksi, pembahasan

dalam PANSUS, catatan akhir fraksi, persetujuan anggota DPRD terhadap draf

raperda yang kemudian disampaikan kembali oleh pimpinan DPRD kepada

Kepala Daerah untuk ditetapkan sebagai Perda. Penandatanganan Perda yang

sudah disetujui dilakukan oleh Kepala Daerah dan ditandatangani serta pimpinan

DPRD.16

Dalam konsep hukum, Perda tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum

materil terhadap pihak yang menyetujuinya sejak ditandatangani. Oleh sebab itu

rumusan hukum yang ada dalam raperda tersebut sudak tidak dapat diganti secara

sepihak.

14

UU No. 32 tahun 2004, Pasal 140 ayat (1) menyebutkan Rancangan Perda dapat berasal

dari DPRD, gubernur, atau Bupati/Walikota.

15 UU No. 10 tahun 2004, Pasal 10 ayat (11-14)

16 UU No. 5 tahun 1974, Pasal 44 ayat (22)

Page 42: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

31

Pengundangan dalam lembaran Daerah adalah tahapan yang harus dilalui

agar raperda mempunyai kekuatan hukum yang memikat kepada publik. Dalam

konsep hukum, maka draf raperda sudah menjadi Perda yang berkekuatan hukum

formal dan sudah dapat diterapkan.17

B. Otonomi Daerah

Menurut sejarahnya, otonomi daerh dalam sistem kenegaraan di Indonesia

telah mengalami perkembangan yang secara konstitusional merupakan amanat

pasal 1 dan 18 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No 5 Tahun 1974

dan Undang-Undang No 22 Tahun 1999 yang kemudian di amandemen menjadi

Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang ini, otonomi

daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyrakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang

dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

batas daerah tertentu, kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

dalam ikatan kesatuan Republik Indonesia.18

17

Peraturan Daerah dan Permasalahannya, website, http:// www.iri-indonesia.org/ 21

februari tahun 2006

18 Masykuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta : Renaisan, 2005), h.

158

Page 43: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

32

Otonomi daerah diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara pusat

dan daerah dalam aspek politik, ekonomi, sosial-budaya. Tidak heran mengapa

sebagian besar masyarakat meresponnya secara positif sekaligus banyak berharap

pada keputusan politik ini demi masa depan mereka yang lebih baik. Tentu ada

juga kelompok masyarakat yang menggunakan momen ini untuk

memperjuangkan kepentingan dan aspirasi polotik mereka.19

UU No. 22 Tahun 1999 menyerahkan setidaknya 11 kewenangan pusat

kepada pemerintah daerah, yaitu bidang pertahanan, pertanian pendidikan dan

kebudayaan, tenaga kerja, kesehatan, lingkungan, pekerjaan umum, transportasi,

perdagangan dan industri, investasi modal dan koperasi. Ada lima(5) bidang yang

tetap menjadi wewenang pemerintah pusat, yaitu bidang politik luar negeri,

pertanahan dan keamanan, peradilan dan kebijakan moneter dan fiscal, serta

Agama. Dalam Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa proses legislasi

dalam bentuk perda tidak lagi disahkan oleh Pemerintah Pusat asal tidak

bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi.

Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 juga diadopsi kembali asas

umum penyelenggaraan negara yaitu: asas kepastian hukum, asas tertib

penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas

proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas

19

Sulis Syakhsiyah Annisa, Perda Wajib Berbusana Muslim di Sijunjung, website, http://

Syakhsiyah.wordprees.com/2009/09/18/64/, tanggal 21 April 2001

Page 44: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

33

efektivitas. Pencantuman kembali asas-asas umum penyelenggaraan Negara di

dalam Undang-Undang ini tidak lain ingin mengadopsi konsep good governance

dalam kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan otonimi daerah.20

Adapaun prinsip dan asas yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang

No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah adalah:

a. Prinsip otonomi daerah adalah menggunakan prinsip ekonomi seluas-

luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur

semua urusan Pemerintah diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang

ditetapkan dalam Undang-Undang. Sejalan dengan perinsip tersebut

dilaksanakan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip

otonomi yang nyata adalah untuk menangani urusan Pemerintah

dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang telah ada

dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan

potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud otonomi yang

bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus

benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi, yang pada

dasarnya untuk meningkatkan kesejahterahan masyarakat.

b. Asas dari otonomi daerah adalah asas desentralisasi, dekonsentrasi dan

tugas pembantuan.

20

Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan

Sumber Daya, (Jakarta : Djambatan, 2004, h. 107-110.

Page 45: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

34

1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Kepala Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintah oleh

Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau

kepada instansi vertikal diwilayah tertentu.

3. Tugas pembantu adalah penugasan dari Pemerintah Kepada Daerah

dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi Kepada Desa untuk

melaksanakan tugas tertentu.

Setelah diterapkannya otonomi daerah yang ditandai dengan

diberlakukannya Undang-Undang No 20 Tahun 1999 sejak 1 Januari 2001 yang

kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang N0 32 Tahun 2004, setiap

Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) diberikan kewenangan yang sangat untuk

mengatur dan memerintah daerahnya masing-masing.

Peluang yang diberikan oleh kebijakan otonomi daerah itu diterjemahkan

beragam oleh daerah. Salah satu “terjamah” yang dipakai adalah dengan

membuat beragam peraturan daerah (Perda). Dibeberapa daerah, termasuk

Kabupaten Pesisir Selatan terdapat fenomena yang menarik untuk dikaji secara

akademik, khusususnya dari perspektif hukum Islam dan hukum. Fenomena

tersebut adalah munculnya perda yang mengatur persoalan-persoalan terkait

dengan prilaku seseorang dan/atau kelompok di masyarakat, diantaranya adalah

Page 46: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

35

perda Kabupaten Pesisir Selatan No 4 Tahun 2005 tentang Berbusana Muslim dan

Muslimah yang dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai perda Syariah.21

Munculnya Perda benuansa syariah demikian munculnya pro dan kontra di

masyarakat. Bagi kalangan yang pro, lahirnya perda syariah dianggap sebagai

terobosan untuk menjamin ketertiban masyarakat, baik dari sisi hubungan antar

individu maupun jaminan moral untuk individu di masyarakat. Bagi kalangan

yang kontra, mereka menganggap bahwa perda syariah dinilai berlebihan, bahkan

ada yang mengatakan secara terbuka bahwa perda syariah tersebut bertentangan

dengan peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi.22

Nilai-nilai ajaran dan budaya Islam dalam norma kehidupan sosial cukup

berpengaruh dalam kebiasaan dan landasan moral masyarakat, sehingga sering di

jadikan standar dalam menilai suatu prilaku masyarakat. Begitu juga dengan

Kabupaten Pesisir Selatan yang penduduknya mayoritas muslim sangat

menjunjung tinggi nilai-nilai moral kesopanan sebagai bentuk masyarakat yang

melambangkan kondisi masyarakat Pesisir Selatan terbebas dari segala bentuk

kemaksiatan.

21

Disajikan dari majalah tempo, 14 Mei 2006, h. 29

22 Sukron Kamil, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil,

hak-hak perempuan dan non-Muslim, (Jakarta; CSRS, 2007, h. 116

Page 47: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

36

C. Kebijakan Publik

1. Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan Publik merupakan “(wisdom) aturan-aturan yang semestinya dan

harus diakui tanpa pandang bulu, mengikat kepada siapapun dengan

kebijaksanaan tersebut. Sedangkan kebijakan (policy) adalah suatu ketentuan dari

pemimpim yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan kepada

seseorang karena adanya alasan yang dapat diterima untuk tidak memberlakukan

aturan yang berlaku.”23

Kebijakan Publik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Bukanlah suatu tindakan yang serba kebetulan, melainkan tindakan

yang direncanakan.

b. Terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang

mengarah kepada tujuan-tujuan tertentu.

c. Apa yang senyatanya dilakuakn oleh pemerintah dalam bidang-bidang

tertentu.

d. Bisa berbentuk positif dan negatif.

e. Memiliki daya ikat yang kuat terhadap masyarakat/memiliki daya

paksa.

23

Subarsono, A.G. Analisis kebijakan Publik Konsep Teori dan Amplikasi, (Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2005), h. 2

Page 48: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

37

Sedangkan dari model Implementasinya, kebijakan publik terdiri dari:24

a. Implementasi sistem rasional (top down)

Menurut Parson model, rasional ini berisi gagasan bahwa

Implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang di

perintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem. Beberapa

Ahli yang mengembangkan model Implementasi top down adalah sebagai

berikut:

1) Van Meter dan Van Horn

Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Dwiyanto (2009),

implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik,

implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang

mempengaruhi kebijakan publik adalah: aktivitas implementasi dan

komunikasi antar organisasi, karakteristik agen dan

pelaksanaan/implementor, kondisi ekonomi, sosial dan publik,

kecenderungan implementor.

2) George Edward III

Salah satu pendekatan studi implementasi adalah harus dimulai

dengan pernyataan abstrak, seperti; apakah yang menjadi prasyarat

bagi implementasi kebijakan, apakah yang menjadi penghambat utama

bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Sehingga untuk menjawab

24

Dwiyanto Indiahono, Kebijakan publik, Berbasis Dynamic Policy Analysis (Yogyakarta;

Gava Media, 2009), h. 9

Page 49: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

38

pertanyaan tersebut Edward III mengusulkan 4(empat) variabel;

komunikasih, resourcees atau sumber-sumber, sikap dan struktur

birokrasi.

3) Model Grindle

Menurut Grindle implementasi kebijakan ditentukan oleh isi

kebijakan implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah

kebijakan di tranformasikan, barulah implementasi kebijakan

dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability

dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan mencakup hal-hal sebagai

berikut:25

- Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan

- Jenis manfaat yang akan dihasilkan

- Drajat perubahan yang diinginkan

- Pelaksanaan program

- Sumber daya yang dikerahkan

Sementara itu konteks implementasinya adalah:

- Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

- Karakteristik lembaga dan pengusaha

- Kepatuhan dan daya tangkap

25

Indiahono, Kebijakan Publik, h. 10-11

Page 50: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

39

b. Implementasi kebijakan bottom up

Model dengan implementasi bottom up muncul secara kritik terhadap

model pendekatan rasional atau top down. Ahli kebijakan yang lebih

memfokuskan terhadap model implementasi ini adalah Adam Smith.

Menurut Smith dalam Dwiyanto (2009), implementasi kebijakan

dipandang sebagai suatu proses atau alur. Smith memandang proses

implementasi kebijakan dari prose kebijakan dari perspektif perubahan

sosial dan politik. Dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah

bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat

sebagai kelompok sarana. Menurut Smith, Implementasi kebijakan

dipengaruhi oleh empat faktor:

1) Idelized policy yaitu pada interaksi yang digagas oleh perumus

kebijakan dengan tujuan untuk memandang, mempengaruhi dan

merangsang target group untuk melaksanakannya.

2) Target groups yaitu bagian dari policy stakeholders yang

diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana

yang diharapkan oleh perumus kebijakan.

3) Impelenting organization yaitu badan-badan pelaksana yang

bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan.

Page 51: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

40

4) Environmental factors yaitu unsur-unsur didalam lingkungan

yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek

budaya, sosial, ekonomi dan politik.26

2. Kebijakan Pemerintah

Sebuah kebijakan dapat diklasifikasikan kedalam bebera tipologi

kebijakan yaitu kebijakan distributive, Kebijakan Regulasi, dan Kebijakan

Konstituen.27

Kebijakn-kebijakan tersebut dapat digunakan oleh berbagai

lembaga baik organisasi swasta maupun pemerintah, akan tetapi pada umumnya

penggunaan istilah kebijakan merujuk kepada kebijakan yang diputuskan oleh

pemerintah bagi warganya atau sering disebut sebagai kebijakan publik.

Karenanya kebijakan publik, biasanya, sama dengan kebijakan pemerintah.

Di Indonesia, Kebijakan Pemerintah dapat berbentuk tata peraturan

perundan-undangan yang dimaksudkan untuk memandu jalanya pelaksanaan

kenegraran, pemerintahan, perlindungan masyarakat, dan pembangunan.

Sebagaimana perundang-undangan yang berlaku, jenis kebijakan pemerintah

berbentuk peraturan perundang-ndangan secara hirarkis adalah meliputi Undang-

Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan

26

Indiahono, Kebijakan Publik, h. 11

27 Tachjan, Implementasi Kebijakan Publik dalam Konteks Indonesia, (Lemlit UMPAD;

2006), Cet.1 h. 25

Page 52: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

41

Presiden, Peraturan Presiden, Intruksi Presiden, Peraturan Keputusan Mentri dan

Peraturan Daerah.

3. Peraturan Daerah Sebagai Kebijakan Publik

Peraturan Daerah (Perda) adalah naskah dinas yang berbentuk peraturan

perundang-undangan yang mengatur urusan otonomi daerah dan tugas

pembentukan untuk mewujudkan kebijaksanaan baru, melaksanakan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dan menetapkan suatu organisasi dalam

lingkungan Pemerintah Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).28

Keberadaan Perda penting sebab menjadi panduan dalam penentuan

kebijakan daerah dan dalam rangka melaksanakan tugas, wewenang, kebijakan,

dan tanggungjawabnya. Kebijakan Daerah dalam Perda tidak boleh bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum

serta peraturan daerah lain.29

Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama Pemerintah Daerah,

artinya prakarsa berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah. Khusus

peraturan daerah tentang APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah

yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Peratuaran

Daerah dan ketentuan daerah lainnya yang bersifat mengatur diundangkan dengan

28

Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Media Presindo, 2002),

h. 32

29 Tacjhan, Implementasi Kebijakan Publik, (Lemlit UNPAD). 2006: Cet. 1.h. 11

Page 53: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

42

penempatannya dalam Lembaga Daerah. Peraturan Daerah tertentu yang

mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, perubahan APBD, dan tataruang,

akan berlaku jika telah melalui tahapan evaluasi dari Pemerintah Pusat. Hal

tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi ketertiban umum,

menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi dan/atau peraturan Daerah lainnya, terutama peraturan daerah

mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.30

30

Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, h. 34

Page 54: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

43

BAB IV

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWAJIBAN BERPAKAIAN MUSLIM

DAN MUSLIMAH DALAM PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005

DI KABUPATEN PESISIR SELATAN

A. Kewajiban Berbusana Muslim dan Muslimah Menurut Hukum Islam

Dalam kehidupan didunia ini, manusia seakan selalu menemukan corak

dan mode busana yang selalu berkaitan erat dengan agama, adat istiadat, dan

kebudayaan setempat. Karena di setiap tempat memiliki gaya berpakaian yang

berbeda-beda.

Pakaian yang dikenakan oleh seorang hamba memiliki nilai ibadah di sisi

Allah Ta’ala. Dia dan Rasul-Nya telah menetapkan kaidah umum dalam

berpakaian, yang intinya adalah menutup aurat seorang hamba. Melalui cara

berpakaian, sesungguhnya Allah berkehendak memuliakan manusia sebagai

makhluk yang mulia dan sebagai identitas keislaman seseorang.1

Adapun Islam menganggap bahwa pakaian memiliki karakteristik yang

sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan

penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam :

1. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim dan muslimah sebagai

ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu

1 fikih-pakaian muslim dan muslimah, website http:// abu mujahidah/1 januari tahun 2014

Page 55: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

44

berpakaian seorang muslimmemiliki nilai ibadah.

2. Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya

(bagaimna dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya)

dan nafsiyahnya (dengan tolak ukur apa dan seberapa banyak dia

berbuat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan

nalurinya).

3. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan

adalah taqwanya.

Adapun pakaian yang dikenakan oleh seseorang muslimah haruslah

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Menutup aurat

2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab,

khumur, mihnah (pakaian yang terulur langsung dari atas sampai ujung

kaki) dan memenuhi kriteria irkha’)

3. Tidak tembus pandang

4. Tidak menunjukan bentuk dan lekuk tubuh

5. Tidak tabarruj (menonjolkan keindahan betuk tubuh, kecantikan dan

perhiasan di depan laki-laki non muslim atau didalam kehidupan

umum)

6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki

7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir

Page 56: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

45

Fungsi utama pakaian adalah untuk menutupi aurat, yaitu bagian tubuh

yang tidak boleh dilihat oleh orang lain kecuali yang dihalalkan dalam

agama. Dan dianjurkan untuk berpakaian terbaik yang dimilikinya dengan tidak

berlebihan.

Busana juga berfungsi sebagai penutup tubuh dari cuaca dingin dan panas.

Dan karena perkembangan zaman arti berbusana menjadi lebih meluas sebagai

pernyataan lambang status pemakaiannya. Seorang muslimah yang telah

mengenakan jilbab secara tidak langsung jelas menunjukkan identitasnya yang

konsisten terhadap ajaran agama yang dianutnya.

Di dalam Al-Quran tidak diharuskan mengenakan busana muslimah ala

timur tengah atau asia, karena memang pakaian sifatnya yang universal,

sedangkan modenya terserah kepada selera masing-masing pemakai untuk

memilih atau menciptakan berbagai kreasi busana, karena berbusana termasuk

dari kebudayaan atau kebiasaan suatu bangsa menurut iklim negerinya dan

dipengaruhi oleh waktu.2

Indonesia sebagai negara yang sebagian berpenduduk muslim atau

menganut ajaran islam, yang menjunjung nilai estetika dalam pergaulan sehari-

hari. Berbusana dalam islam merupakan suatu sistem yang lengkap sesuai fitrah

insani karena agama islam menuntut seluruh aspek kehidupan manusia dan

2 Hamka, Membahas Tentang Soal-Soal Islam, (Jakarta: Dhama Caraka, 1985), h. 160-161

Page 57: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

46

memberikan pedoman untuk budaya.3

Pemakaian busana muslimah diawali dengan proses pengetahuan tentang

busana muslim yang didapat dari hasil interaksi dengan lingkungan, misalnya

hubungan keluarga, masyarakat, sekolah, maupun dari media. Pada proses ini

manusia memberikan makna dan nilai pada busana muslimah, ini sebagai bentuk

simbol keagamaan yang bersumber pada ajaran agama dan memiliki nilai-nilai

moral, namun pemberian nilai dan makna pada busana muslimah setiap individu

berbeda.

Standar berpakaian itu ialah takwa yaitu pemenuhan ketentuan-ketentuan

agama. Berbusana muslim dan muslimah merupakan pengamalan akhlak terhadap

diri sendiri, menghargai dan menghormati harkat dan martabat dirinya sendiri

sebagai makhluk yang mulia. Berikut adalah kaidah umum tentang cara

berpakaian yang sesuai dengan ajaran Islam yang mulia:

1. Pakaian harus menutup aurat, longgar tidak membentuk lekuk tubuh

dan tebal tidak memperlihatkan apa yang ada dibaliknya.

2. Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau

sebaliknya.

3. Pakaian tidak merupakan pakaian syuhroh (untuk ketenaran).

4. Tidak menyerupai pakaian khas orang-orang non-Muslim.

5. Jangan memakai pakaian bergambar makhluk yang bernyawa.

3 Syahrul Amin, Menuju Persaingan Pokok Islam. (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1983), h.

29

Page 58: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

47

Pakaian wanita muslimah menanamkan tradisi yang universal dan

fundamental untuk mencegah kemerosotan moral dengan menutup pergaulan

bebas. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Fuad M. Facruddin yang mengatakan

bahwa busana yang dikenakan seorang muslimah bukan hanya menutup badan

saja, melainkan harus menghilangkan rasa birahi yang menimbulkan syahwat.4

Agama adalah salah satu bentuk konstruk sosial yang dimana Tuhan, ritual,

nilai, hierarki, keyakinan dan perilaku religiusitas hanya untuk memperoleh

kekuatan kreatif atau menjadi subjek dari kekuatan lain yang lebih ketat dalam

dunia sosial.5 Dalam kajian sosiologi, busana muslimah tidak hanya sebagai

sarana ibadah yang dianggap sakral tetapi memiliki fungsi-fungsi sosial di

antaranya:6

1. Fungsi identitas

Dengan cara ini agama mempengaruhi pengertian individu tentang siapa ia,

dan mau apa ia. Dengan demikian manusia yang memakai busana islami

mempunyai ciri yang melekat padanya, dan pada akhirnya menjadi nilai

identitas keislaman.

4 Fuad Mohd. Fachruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam, (Jakarta: CV.

Pedoman Ilmu Jaya, 1991), cet ke-2, h. 33

5 Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, ed. (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 267

6 Thomas F.O Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal. (Jakarta: CV. Rajawali, 1985),

h. 26

Page 59: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

48

2. Fungsi realisasi diri

Perubahan yang mendasar dan lebih cepat, khususmya meninggalkan suatu

cara tertentu diganti dengan cara hidup yang lain.

3. Fungi pelindung

Dalam islam fungsi pakaian untuk menutupi aurat, tetapi juga sebagai

fungsi pelindung dari cuaca dingin dan panas.

4. Fungsi kontrol sosial

Karena kerangka acuan pada agama yang memiliki sanksi-sanksi yang

sakral yang didalamnya sifatnya memaksa tetapi sebagai acuan individu

dalam menjalani kehidupannya.

Penerapan Perda bernuansa Syariah di Kabupaten Pesisir Selatan

merupakan sebuah upaya yang lebih menitik beratkan pada pengalaman rukun

Islam dengan sungguh-sungguh baik dan benar tidak lebih dari sekedar usaha

untuk mengingatkan masyarakat Islam melaksanakan kewajibanya, seprti shalat

lima waktu, zakat, puasa, menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang

Agama, maupun undang-undang yang dikeluarkan Pemerintah seperti mabuk-

mabukan, bermain api dengan urusan drugs (narkoba) serta segala sesuatu yang

bertentangan dengan Agama dan Hukum.7

Karena didalam Islam terjadi banyak penafsiran tentang masalah

batasan aurat, maka Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 4 Tahun

7 Wawancara pribadi dengan Jon Hendra, A.Md

Page 60: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

49

2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan

yang mengatur batasan berpakaian sebagaimana yang terdapat dalam perda

tersebut merupakan larangan terhadap tafsir yang berbeda dengan salah satu

paham agama (mainstream), sehingga perda tersebut merupakan pemaksaan

terhadap paham atau penafsiran tunggal.

B. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Kewajiban

Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan

1. Implementasi Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir Selatan

Penerapan Perda Syariah di Kabupaten Pesisir Selatan sebuah upaya yang

lebih menitikberatkan pada pengalaman Rukun Islam dengan sungguh-sungguh

baik dan benar, tidak lebih dari sebuah usaha untuk meningkatkan masyarakat

Islam melaksanakan kewajibanya, seperti Sholat lima waktu, Zakat, Puasa,

menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, maupun undang-undang

yang dikeluarkan Pemerintah seperti mabuk-mabukan, bermain api dengan urusan

drugs (narkoba) serta segala sesuatu yang bertentangan dengan agama dan

hukum. Terjadinya penerapan Perda Syariah di Kabupaten Pesisir Selatan karena

dilihat dari mayoritas agama Islam dibandingkan Agama lainnya dan adanya

peraturan dari Bupati maka terlaksana perda tersebut.

Upaya formalisasi Syariah dibanyak daerah khususnya Kabupaten Pesisir

Selatan melalui penerapan perda syariah sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari

Page 61: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

50

berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

sebagai bagian dari agenda demokratisasi di Indonesia paska runtuhnya orde baru.

Otonomi daerh dalam sistem kenegaraan di Indonesia telah mengalami

perkembangan yang secara konstitusional merupakan amanat pasal 1 dan 18

Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No 5 Tahun 1974 dan Undang-

Undang No 22 Tahun 1999 yang kemudian diamandemen menjadi Undang-

Undang No 32 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang ini, otonomi daerah

adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyrakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud daerah

otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah

tertentu, kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan kesatuan

Republik Indonesia.8

UU No. 22 Tahun 1999 menyerahkan setidaknya 11 kewenangan pusat

kepada pemerintah daerah, yaitu bidang pertahanan, pertanian pendidikan dan

kebudayaan, tenaga kerja, kesehatan, lingkungan, pekerjaan umum, transportasi,

perdagangan dan industri, investasi modal dan koperasi. Ada lima(5) bidang yang

tetap menjadi Wewenang Pemerintah Pusat, yaitu bidang politik luar negeri,

pertanahan dan keamanan, peradilan dan kebijakan moneter dan fiscal, serta

8 Masykuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta : Renaisan, 2005),

h.158

Page 62: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

51

Agama. Dalam Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa proses legislasi

dalam bentuk perda tidak lagi disahkan oleh pemerintah pusat asal tidak

bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi.

Dari penjelasan diatas bahwa Pemerintah Daerah memiliki wewenang yang

sangat luas untuk menjalankan otonomi daerah dan menetapkan peraturan daerah

serta peraturan-peraturan lainnya untuk melaksanakan otonomi daerah. Namun

perlu diperhatikan juga bahwa ada statemen didalam Undang-Undang Dasar

tahun 1945 pasal 18 ayat (5) yaitu: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi

seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang

ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.9 Dengan demikian maka Undang-

Undang Dasar 1945 menentukan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah,

pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan absolut terhadap daerah terutama

tentang masalah Agama, melainkan ada batasannya yang ditentukan oleh

undang-undang.

Dengan demikian, Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 4

tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir

9 Pasal 10. Bandingkan dengan Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999. Pada pasal 7 UU No.22 tahun

1999 menyebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang

pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, peradilan,

moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi

kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana

perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara pembinaan

dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam, serta tegnologi tinggi

yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.

Page 63: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

52

Selatan bertentangan dengan spirit pasal 18 ayat (5) UUD 1945 jo. pasal 10 UU

No. 32 tahun 2004 yang membatasi kewenangan daerah dalam urusan agama.10

Dalam UU No 32 tahun 2004 Pasal 22 secara jelas juga disebutkan bahwa dalam

menyelenggarakan otonomi daerah, daerah berkewajiban menjaga persatuan,

kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasal 27

juga menyebutkan bahwa kepala daerah berkewajiban memegang teguh dan

mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 serta siap mempertahankan dan

memelihara kedaulatan NKRI. Jika rumusan ini dipegang teguh oleh seluruh

Pemerintah Daerah di Indonesia, maka perda yang bernuansa keagamaan tidak

akan keluar dari jalur konstitusi, sebab dalam sebuah negara yang berdasarkan

Pancasila, seluruh produk hukumnya harus mengacu dan bersumber pada

Pancasila dan UUD 1945.

Berbicara tentang HAM yang sudah diataur didalam Undang-Undang

Dasar 1945 pasal 28I ayat 2 yaitu: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan

yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”11

Mengandung

arti bahwa salah satu hak asasi yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar tahun

10

Latar belakang pemberian wewenang dalam urusan agama oleh pemerintah pusat yang

telah diuraikan di atas dapat dijadikan tafsiran terhadap “urusan agama” dalam UU No. 32 Tahun

2004. Memahami peraturan perundang undangan dengan melihat pada sejarah hukum maupun sejarah

pembentukannya disebut penafsiran (interpretasi) historis. Lihat Bambang Sutiyoso, Metode

Penemuan Hukum; Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press,

2006, h. 84-85.

11

Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28I ayat 2 tentang HAM.

Page 64: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

53

1945 adalah hak untuk mendapatkan persamaan bagi seluruh warga negara dalam

segala aspek kehidupan tanpa membedakan apapun, baik itu didasarkan pada ras,

agama, warna kulit, dan suku bangsa. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya

memberikan kebebasan kepada warganya untuk mengikuti suatu paham

keagamaan tertentu yang diyakininya, bukan memaksakan terhadap suatu paham

keagamaan tertentu.12

Berdasarkan pasal ini, Indonesia merupakan negara netral yang tidak

membedakan perbedaan ras, agama, warna kulit, maupun suku bangsa. Negara

tidak membagi masyarakat beragama menjadi keluarga minoritas dan mayoritas,

kesemuanya memperoleh hak yang sama. Kebebasan beragama adalah bagian

yang paling penting dari hak-hak sipil. Jadi, kebebasan beragama diletakkan pada

tingkat individu, sehingga tidak mengenal istilah minoritas dan mayoritas.

Bisa dilihat bahwa Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten

Pesisir Selatan Tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah sangat bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan juga melanggar Hak Asasi

Manusia.

2. Dampak Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir Selatan

Munculnya Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Berpakaian

Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan menimbulkan pro dan kontra

12

Gregorius Sri Nurhartanto, Upaya Memerangi Diskriminasi hak Asasi Manusia. Dalam

Ibid., h. 229.

Page 65: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

54

di masyarakat. Bagi kalangan yang pro, lahirnya perda syariah dianggap sebagai

terobosan untuk menjamin ketertiban masyarakat, baik dari sisi hubungan antar

individu maupun jaminan moral untuk individu di masyarakat. Bagi kalangan

yang kontra, mereka menganggap bahwa perda syariah dinilai berlebihan, bahkan

ada yang mengatakan secara terbuka bahwa perda syariah tersebut bertentangan

dengan peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi dan juga melanggar Hak

Asasi Manusia.13

Begitu juga dari kalangan non-Muslim begitu sangat memiliki dampak

karena masyarakat non-Muslim tidak terbiasa memakai pakaian yang lebih

tertutup dan itu sangat tidak nyaman sekali bagi mereka, apabila meraka tidak

mengikuti Perda tersebut maka mereka bisa terkena sanksi dari pemerinah daerah.

Karena sudah ada beberapa kasus pemaksaan seperti di Kabupaten Cianjur

seorang non-Muslim yaitu karyawan kantor pos yang dipaksa mengenakan

pakaian muslim di kantor stiap hari jumat, seorang guru di sekolah negeri harus

memakai pakaian muslimah karena tidak ada keringanan bagi guru untuk tidak

memakai pakaian muslimah karena guru lah yang mewajibkan seluruh siswinya

unutuk mengenakan jilbab di sekolahnya setiap hari jumat, dan seorang siswi

SMA (sekolah menengah keatas), Bagi siswi yang menolak, maka orang tuanya

harus mengajukan permohonan dan pernyataan bahwa siswi tersebut adalah non-

13

Sukron Kamil, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil,

hak-hak perempuan dan non-Muslim, (Jakarta; CSRS, 2007, h.116

Page 66: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

55

Muslim.14

Untuk warga sipil non-Muslim tetap harus bepakai yang sopan tidak

boleh memkai pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuh mereka apabila mereka

ingin melakukan aktifitas di luar rumah. Maka dari itu Peraturan Derah ini sangat

meresahkan sekali khususnya dari kalangan non-Muslim, mereka sulit sekali

melaksanakan aktifitasnya karena tidak terbiasa memakai pakaian yang sangat

tertutup, bahkan terkadang menjadi ejekan dari masyarat lain tentang

penampilannya tersebut, bahkan ada yang sampai tidak ingin melakuakan aktifitas

keluar rumah akibat ejekan tersebut.

Begitu sangat memperihatinkan peristiwa itu bisa terjadi dikalangan

masyarakat hanya karena larangan dari Peraturan Dearah tesebut. Disinilah peran

pemerintah Daerah sangat penting untuk menanggapi dan berjiwa adil untuk tidak

memberatkan salah satu dari masyarakat itu sendiri karena negara ini berpedoman

dengan Pancasila.

Dari masalah diatas penulis dapat memaparkan bahwa Peraturan Daerah

No. 4 tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan tentang Berbusana Muslim dan

Muslimah sangat bertentangan sekali dengan Undang-undang Dasar 1945 dan

melanggar HAM (hak asasi manusia). Karena peraturan yang bernuansa Agama

sudah menjadi Wewenang Pemerintah Pusat, dalam Undang-undang No. 22

Tahun 1999 yaitu: bidang politik luar negeri, pertanahan dan keamanan, peradilan

dan kebijakan moneter dan fiscal, serta Agama.

14

Ibit dan Lily Zakiyah munir, “Simbolisasi, Politisasi dan dan kontrol terhadap Perempuan

di Aceh” dalam Burhanudin( Ed), Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL, tahun2003,

h. 133

Page 67: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

56

Dalam UU No 32 tahun 2004 Pasal 22 secara jelas juga disebutkan bahwa

dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah berkewajiban menjaga

persatuan, kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pasal 27 juga menyebutkan bahwa kepala daerah berkewajiban memegang teguh

dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 serta siap mempertahankan dan

memelihara kedaulatan NKRI. Jika rumusan ini dipegang teguh oleh seluruh

pemerintah daerah di Indonesia, maka perda-perda yang bernuansa keagamaan

tidak akan keluar dari jalur konstitusi, sebab dalam sebuah negara yang

berdasarkan Pancasila, seluruh produk hukumnya harus mengacu dan bersumber

pada Pancasila dan UUD 1945.

Page 68: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

57

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang di kemukakan dalam skripsi ini dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Munculnya Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005

Tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir

Selatan menimbulkan pro dan kontra dimasyarakat. Bagi kalangan

yang pro, lahirnya perda syariah dianggap sebagai terobosan untuk

menjamin ketertiban masyarakat, baik dari sisi hubungan antar

individu maupun jaminan moral untuk individu dimasyarakat. Bagi

kalangan yang kontra, mereka menganggap bahwa perda syariah

dinilai berlebihan, bahkan ada yang mengatakan secara terbuka bahwa

perda syariah tersebut bertentangan dengan peraturan perudang-

undangan yang lebih tinggi dan juga melanggar Hak Asasi Manusia.

2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi lahirnya Peraturan Daerah Nomor

4 tahun 2005 di Kabupaten Selatan yaitu mayoritasnya Agama Islam

dibandingankan non-Muslim, orang yang kuat seprti para Ulama yang

ada di Kabupaten Pesisir Selatan, peraturan Bupati Kabupaten Pesisir

Selatan dan dukungan dari Masyarakat Islam itu sendiri maka

Page 69: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

58

terjadinlah Peraturan Daerah berpakaian Muslim dan Muslimah di

Kabupaten Pesisisr Selatan.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang dikemukakan diatas,

maka dapat diajukan saran sebagai berikut :

1. Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan kedepannya dapat membuat

perda yang lebih baik dan dapat membawa perubahan yang lebih baik

lagi untuk mayarakat Kabupaten Pesisir Selatan.

2. Setiap rancangan perda harus melalui uji publik terlebih dahulu secara

terbuka dan tidak sekedar main-main. Harus ada yang diciptakan dari

Pemerintah Daerah untuk mendapatkan partisipasi masyarakat dan

tidak ada satu pun yang dirugikan.

3. Kepala Pemerintah Daerah harus lebih baik memecahkan masalah-

masalah yang riil terhadapat masyarakat, seperti kemiskinan dari pada

merespon usulan penerapan Syariah Islam.

Page 70: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,

Yogyakarta : UII Pres, 2005. cet. Ke-1.

Abu al-Ghifari, Kudung Gaul. Berjilbablah Tapi Telanjang. (Bandung: Mujahid,

2002). cet. Ke-2.

Ahmad Hasan Karzun, “Adab Berpakaian Pemuda Islam” (Jakarta: Darul Falah,

1999), cet. Ke-1.

Beryl C. Syamwil, “Akar Sejarah Busana Muslimah Indonesia”, dalam Aswab

Machasin (eds), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa Konsep Estetika.

Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan

Sumber Daya, (Jakarta : Djambatan, 2004).

Disajikan dari majalah tempo, 14 Mei tahun 2006.

Dwiyanto Indiahono, Kebijakan publik, Berbasis Dynamic Policy Analysis

(Yogyakarta; Gava Media, 2009).

Fuad Mohd. Fachruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam, (Jakarta:

CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991), cet ke-2.

Gregorius Sri Nurhartanto, Upaya Memerangi Diskriminasi hak Asasi Manusia.

Dalam Ibid.

Hamka, Membahas Tentang Soal-Soal Islam, (Jakarta: Dhama Caraka, 1985).

Huda Khattab, “Buku Pegangan Wanita Islam” (Bandung: Al-Bayan, 1990), cet. Ke-

2.

Husein Shabah, Jilbab Menurut al-quran dan as-Sunnah, (Bandung: Mizan, 2000),

cet, ke-10.

Husein Shahab, Jilbab menurut Al-Qur’an dan As-sunnah (Jakarta: Mizan, 1983),

h.18, juga dalam Istadianta, Hikmah Jilbab dalam Pembinaan Ahklak

(Sala: Ramdhani, Tt), h.Baca juga Abu Abdillah Al Mansur, Wanita

dalam Quran, (Jakarta Gema Insani Prees, 1986).

Ibit dan Lily Zakiyah munir, “Simbolisasi, Politisasi dan dan kontrol terhadap

Perempuan di Aceh” dalam Burhanudin( Ed), Syariat Islam Pandangan

Muslim Liberal, Jakarta: JIL, tahun 2003.

Istadiyanto, Hikmah Jilbab dan Pembinaan Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1998).

Labib Mz, Wanita dan Jilbab (Gresik: CV. Bulan Bintang, 1999), cet. Ke-1.

Page 71: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan

1998), cet. Ke-13.

M. Thalik, Analisa dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: al-ikhlas, 1987).

Masykuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta : Renaisan,

2005).

Nina Surtiretna, “Anggun Berjilbab” (Bandung: Al-Bayan, 1995), cet. Ke-2.

Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, ed. (Yogyakarta: LkiS, 2000).

Quraish Shihab, “Wawasan Al-Quran” (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke-4

Ronny Kountur, Metode Penelitian (Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis). (Jakarta,

PPM, 2004), cet. Ke-II.

Sitoresmi Prabuningrat, “Gejolak Kebangkitan Busana Muslimah Di Indonesia”,

dalam Aswab Machasin (eds), Ruh Islam

Dalam Budaya Bangsa Konsep

Estetika, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996).

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat). (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke-4.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 2010).

Subarsono, A.G. Analisis kebijakan Publik Konsep Teori dan Amplikasi,

(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005).

Sukron Kamil, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan

Sipil, hak-hak perempuan dan non-Muslim, (Jakarta; CSRS, 2007).

Syahrul Amin, Menuju Persaingan Pokok Islam. (Yogyakarta: Salahuddin Press,

1983).

Syaik Abdullah Shahih al-Fauzan, Kriteria Busana Muslimah (Jakarta:Khazana

Shun, (1995) cet, ke-1.

Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”, Jurnal

Clavia Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar, Vol. 5, No. 2, 2004.

Tachjan, Implementasi Kebijakan Publik dalam Konteks Indonesia, (Lemlit

UMPAD; 2006), cet.Ke-1.

Tacjhan, Implementasi Kebijakan Publik, (Lemlit UNPAD). 2006: cet. Ke-1.

Thomas F.O Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal. (Jakarta: CV. Rajawali,

1985).

Page 72: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

W. J. S. Poerwa Darunuda, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakarta: Balai

Pustaka, 1987).

Wawancara pribadi dengan Jon Hendra, A.Md.

Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Media Presindo,

2002).

Peraturan PnerUndang-Undang

Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan: Kewenangan Daerah

mencakaup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan

dalam bidang politik luar negri, pertahanan keamanan, pengadilan, moneter, fiskal,

Agama, serta kewenangan bidang lainya. Penjelasan ayat ini berbunyi antara lain:

khusus bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah

Kepala Daerah sebagai upaya keikut sertaan daerah dalam

menumbuhkembangkankehidupan beragama.

Latar belakang pemberian wewenang dalam urusan agama oleh pemerintah pusat

yang telah diuraikan diatas dapat dijadikan tafsiran terhadap “urusan agama” dalam

UU No. 32 Tahun 2004. Memahami peraturan perundang undangan dengan melihat

pada sejarah hukum maupun sejarah pembentukannya disebut penafsiran

(interpretasi) historis. Lihat Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum; Upaya

Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press, 2006.

Pasal 10. Bandingkan dengan Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999. Pada pasal 7 UU No.22

tahun 1999 menyebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam

seluruh bidang pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan

keamanan, peradilan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang

lain. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan

nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan

keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara pembinaan

dan pemberdayaan sumber daya manusia,pendayagunaa nsumber daya alam, serta

tegnologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.

TAP MPR NO. III TAHUN 2000, Pasal 3, Ayat 7.

Tata urut Perundang-undangan Republik Indonesia adalah: (1) UUD 4; (2) Ketetapan

MPR RI; (3) Undang-undang. (4) Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang

(Perpu); (5) Peraturan Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; (7) Peraturan Daerah.

Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28I ayat 2 tentang HAM.

UUD 1945 pasal 18, ayat 2: “Pemerintah daerah Propinsi, daerah kabupaten, dan

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan

Page 73: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

tugas pembantuan”. M. Alfan Alfian M. Ed. Bagaimana memenangkan pilkada

langsung?. Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2005, cet.Ke-1.

UU No. 5 tahun 1974, Pasal 44 ayat (22).

UU No. 32 tahun 2004, Pasal 140 ayat (1) menyebutkan Rancangan Perda dapat

berasal dari DPRD, gubernur, atau Bupati/Walikota.

UU No. 10 tahun 2004, Pasal 10 ayat (11-14).

Internet

fikih-pakaian muslim dan muslimah, website http:// abu mujahidah/1 januari tahun

2014.

Peraturan Daerah dan Permasalahannya, website, http:// www.iri-indonesia.org/ 21

februari tahun 2006.

Sulis Syakhsiyah Annisa, Perda Wajib Berbusana Muslim di Sijunjung, website,

http:// Syakhsiyah.wordprees.com/2009/09/18/64/, tanggal 21 April 2001.

Page 74: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN

NOMOR : 04 TAHUN 2005 T E N T A N G

BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH KABUPATEN PESISIR SELATAN

“DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA” BUPATI PESISIR SELATAN

Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-

undang dasar 1945, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

b. bahwa menutup aurat di dalam Islam hukumnya wajib baik di dalam ibadah yang bersifat mahdah (khusus) maupun yang bersifat ammah (umum).

c. bahwa sebagai salah satu wujud dari pelaksanaan ajaran agama islam tercermin dari pakaian yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

d. bahwa sesuai dengan kondisi yang ada terhadap pakaian yang dipakai umat islam sebagian besar tidak lagi mencerminkan nilai agama dan budaya serta adat dalam minangkabau.

e. bahwa untuk mewujudkan suasana kehidupan masyarakat yang mencerminkan kepribadian muslim dan muslimah di masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan maka, dipandang perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Sumatera Tengah Jis Undang-undang Nomor 21 Drt.Tahun 1957 Jo Undang-undang Nomor 58 Tahun 1958 ;

2. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125)

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Propinsi / Kabupaten sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara nomor 3952)

5. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaga Negara Tahun 1999 Nomor 70).

6. Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 05 tahun 2004 tentang Tiga Pilar Pembangunan.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil

Page 75: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

KABUPATEN PESISIR SELATAN DAN

BUPATI PESISIR SELATAN MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN

TENTANG BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : a. Daerah adalah Kabupaten Pesisir Selatan; b. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara pemerintahandaerah; c. Pakaian Muslim dan Muslimah adalah pakaian yang bercirikan islami d. Masyarakat adalah Masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan yang beragama islam

berdomisili dan bekerja di Kabupaten Pesisir Selatan

BAB II MAKSUD, TUJUAN DAN FUNGSI

Bagian Pertama Maksud Pasal 2

Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi Masyarakat adalah untuk menggambarkan seseorang atau masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dalam mengamalkan ajaran agama islam.

Bagian Kedua Tujuan Pasal 3

Tujuan Berpakaian Muslim dan Muslimah adalah: (1) Membentuk sikap sebagai seseorang Muslim dan Muslimah yang baik dan

beraklak mulia. (2) Membiasakan dari berpakaian Muslim dan Muslimah dalam kehidupan sehari-

hari dan demi siarnya agama islam. (3) Menciptakan masyarakat yang mencintai budaya islam dan budaya

Minangkabau. (4) Melestarikan nilai-nilai adat dan budaya minang kabau sesuai dengan pitua “

Syarak Mangato Adat Memakai”

Page 76: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

Bagian Ketiga Fungsi Pasal 4

Berpakain Muslim dan Muslimah adalah untuk menjaga kehormatan dan sebagai identitas diri umat islam serta budaya adat minang kabau.

BAB III KEWAJIBAN DAN PELAKSANAAN

Bagian pertama Kewajiban

Pasal 5

Setiap karyawan/ karyawati, mahasiswa/mahasiswi dan siswa/siswi Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau Madrasyah Aliyah (MA) serta pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau Madrasyah Tsanawiyah (MTSN) diwajibkan berbusana Muslim dan Muslimah, sedangkan bagi warga masyarakat umum bersifat himbauan/anjuran.

Bagian Kedua Pelaksanaan

Pasal 6 (1) Berpakaian Muslim dan Muslimah sebagaimana dimaksud pada Pasal 5

dilaksanakan pada : a. Instansi Pemerintah dan swasta b. Lembaga Pendidikan Sekolah dan Luar Sekolah mulai dari tingkat

SLTP/MTS. c. Acara-acara resmi.

(2) Bagi masyarakat umum dianjurkan/dihimbau untuk berpakaian Muslim dan Muslimah dalam kehidupan sehari-hari termasuk pada acara hiburan umum.

Pasal 7

(1) Ketentuan mengenai pakaian Muslim dan Muslimah bagi karyawan dan karyawati pada Instansi Pemerintah dan Swasta sebagaimana tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut: a. Karyawan

1) Memakai celana panjang 2) Memakai baju lengan panjang/pendek

b. Karyawati 1) Memakai baju lengan panjang dan menutupi pinggul 2) Memakai rok atau celana panjang yang menutupi sampai mata kaki. 3) Memakai kerudung yang menutupi rambut, telinga, leher, tengkuk dan

dada. (2) Pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tembus pandang, dan tidak

memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh (tidak ketat). (3) Ketentuan mengenai model pakaian Muslim dan Muslimah diatur lebih lanjut

dengan Keputusan Bupati.

Page 77: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

Pasal 8 (1) Ketentuan memakai pakaian Muslim dan Muslimah bagi siswa dan mahasiswa

sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut: a. Laki-laki

1) Memakai celana panjang 2) Memakai baju lengan panjang/pendek

b. Perempuan 1) Memakai baju lengan panjang dan menutupi pinggul yang dalamnya

sampai lutut 2) Memakai rok yang menutupi sampai mata kaki. 3) Memakai kerudung yang menutupi rambut, telinga, leher, tengkuk dan

dada. (1) Pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tembus pandang, dan tidak

memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh (tidak ketat). (2) Ketentuan mengenai model pakaian Muslim dan Muslimah diatur lebih lanjut

dengan Keputusan Bupati.

Pasal 9 Ketentuan memakai pakaian Muslim dan Muslimah pada acara resmi sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat (1) huruf c, menyesuaikan dengan jenis acara dan ketentuan yang berlaku setempat.

BAB IV SANKSI Pasal 10

Setiap pelanggaran terhadap ketentuan peraturan daerah ini dikenakan sanksi sebagai berikut: a. Bagi karyawan/karyawati Instansi Pemerintah dilingkungan pemda Kabupaten

Pesisir Selatan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil

b. Bagi Siswa dan Mahasiswa dikenakan sanksi secara bertingkat sebagai berikut: 1. Ditegur secara lisan 2. Ditegur secara tertulis 3. Diberitahukan kepada orang tua/wali 4. Tidak dibolehkan mengikuti pelajaran di Sekolah 5. Dikeluarkan/dipindahkan dari sekolah Kabupaten Pesisir Selatan

c. Tata cara Pelaksanaan saksi sebagaimana dimaksud pada poin b bagi siswa dan mahasiswa diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati

d. Bagi panitia yang menyelenggarakan acara resmi, dikenakan sanksi berupa teguran secara lisan agar panitia menertibkan undangan

BAB V

PENGAWASAN Pasal 11

Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah ini dilakukan oleh Bupati dan atau pejabat lain yang ditunjuk serta tokoh masyarakat.

Page 78: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 12 (1) Peraturan daerah ini ditujukan bagi masyarakat yang beragama islam dan

berdomisili atau bekerja di Daerah Kabupaten Pesisir Selatan . (2) Bagi Karyawan/karyawati, mahasiswa/mahasiswi, siswa/siswi dan pelajar serta

masyarakat yang tidak beragama islam busananya menyesuaikan dan sopan.

BAB VII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 13

Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini, Sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 14 Peraturan Daerah ini mulai berlaku efektif 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Pesisir Selatan.

Ditetapkan : Painan Pada tanggal: 5 September 2005 BUPATI PESISIR SELATAN

d.t.o

DARIZAL BASIR

Diundangkan di : Painan Pada Tanggal : 5 September 2005 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN

d.t.o

Drs. ADRIL NIP. 010 087 271

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN TAHUN 2005 NOMOR 14 SERI E 2

Page 79: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN

NOMOR : 04 TAHUN 2005

T E N T A N G BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH

KABUPATEN PESISIR SELATAN

I. PENJELASAN UMUM Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa

penyelenggaraan Otonomi Daerah menetapkan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, dan diantara kewajiban daerah adalah meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.

Dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional dinyatakan Pendidikan Nasional dinyatakan Pendidikan Nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa meningkatkan keimanan dan ketagwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Maka dari itu dengan melihat persoalan krisis akhlak tersebut dipandang dari sisi berpakaian yang dipakai bagi siswa dan generasi muda serta masyarakat dan karyawan/karyawati yang merupakan kekwatiran kita bersama untuk dicarikan jalan keluarnya.

Didorong dari kegiatan tersebut dan adanya peluang bagi daerah untuk mengelola rumah tangga sendiri terutama dalam upaya meningkatkan ketentraman dan ketertiban serta kesejahteraan masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut maka daerah menyusun rancangan peraturan daerah ini menjadi pendorong kuat untuk mengambil langkah-langkah kongkrit dalam rangka mewajibkan bagi setiap karyawan/karyawati dan siswa/siswi Sekolah lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau Madrasah Aliyah (MA) serta pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan atau Madrasah Tsanawiyah (MTS) diwajibkan berbusana/berpakaian muslim dan muslimah, sedangkan bagi warga masyarakat umum bersifat himbauan.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 s/d Pasal 5 Cukup jelas

Pasal 6 huruf a dan b Cukup jelas Pasal 6 huruf c Berpakaian muslim dan muslimah pada Acara-acara Resmi dimaksud adalah Pada peringatan Hari-hari Besar Islam dan Nasional serta acara-acara resepsi.

Page 80: IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30728/1/SEPTIAN... · daerah nomor 4 tahun 2005 di kabupaten pesisir selatan . skripsi

Pasal 6 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 7 s/d Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Huruf a s/d c Cukup jelas Pasal 10 Huruf d Bagi Panitia yang dikenakan Sanksi tersebut terhadap yang melanggar ketentuan dalam pasal 9 Pasal 11 s/d Pasal 14 Cukup jelas