19
SUMBER I B. Model-model Inovasi Pendidikan. Para pakar telah banyak yang mengemukakan tentang model inovasi sebagai kerangka dasar dalam memahami bagaimana suatu inovasi itu terjadi serta bagaimana melihat kemampuan seseorang untuk menjadi inovatif, adaptif dan kemudian menyebarkannya pada fihak lain (difusi). Mmodel-model tersebut meskipun dikembangkan dalam organisasi bisnis, namun pada dasarnya dapat diadopsi dan atau diadaptasi dalam dunia pendidikan sebagai suatu organisasi. Lara Catherine Hagenson (2001) mengelompokan model Inovasi ke dalam model Linier dan Model siklis. Model linier merupakan model yang melibatkan dimensi tunggal, dan yang termasuk dalam model ini adalah model Diffusion of Innovations dari Roger, Concerns Based Adoption Model dari Hall and Hord, serta Model of Epistemic Curiosity Speilberger and Starr a. Model Linier Model difusi inovasi dari Roger memandang proses keputusan adopsi atau penolakan inovasi sebagai suatu kejadian dalam suatu proses linier dimana waktu berperan sebagai variable bebas dan proses adopsi terdiri dari serangkaian tindakan dan pilihan dengan berbasiskan factor internal dalam suatu system sosial.dalam model ini orang dikelompokan berdasarkan kecepatannya dalam mengadopsi inovasi dengan lima kelompok adopter yaitu : (a) innovators, (b) early adopters, (c) early majority, (d) late majority, dan (e) laggards. Sementara itu Model dari Hall & Hord yaitu Concerns Based Adoption Model (CBAM) memandang inovasi sebagai pergeseran secara psikologis dari ciri-ciri inovasi kearah konsern pada penggunaannya. Dalam model ini pengguna inovasi bergerak dari konsern pribadi (self-concerns), selanjutnya konsern pada tugas (task- concerns) kemudian berpengaruh pada dampak konsern (impact- concerns) pada saat seseorang makin berpengalaman dengan inovasi. Tahapan-tahapan concerns ketika seseorang mengadopasi inovasi menurut Sherry, Lawyer-Brook, & Black, 1997,(dalam Lara Catherine Hagenson , 2001) mencakup :

inovasi tiga sumber

Embed Size (px)

DESCRIPTION

model inovasi

Citation preview

Page 1: inovasi tiga sumber

SUMBER I

B. Model-model Inovasi Pendidikan.

Para pakar telah banyak yang mengemukakan tentang model inovasi sebagai kerangka dasar dalam memahami bagaimana suatu inovasi itu terjadi serta bagaimana melihat kemampuan seseorang untuk menjadi inovatif, adaptif dan kemudian menyebarkannya pada fihak lain (difusi). Mmodel-model tersebut meskipun dikembangkan dalam organisasi bisnis, namun pada dasarnya dapat diadopsi dan atau diadaptasi dalam dunia pendidikan sebagai suatu organisasi. Lara Catherine Hagenson (2001) mengelompokan model Inovasi ke dalam model Linier dan Model siklis. Model linier merupakan model yang melibatkan dimensi tunggal, dan yang termasuk dalam model ini adalah model Diffusion of Innovations dari Roger, Concerns Based Adoption Model dari Hall and Hord, serta Model of Epistemic Curiosity Speilberger and Starr

a. Model Linier

Model difusi inovasi dari Roger memandang proses keputusan adopsi atau penolakan inovasi sebagai suatu kejadian dalam suatu proses linier dimana waktu berperan sebagai variable bebas dan proses adopsi terdiri dari serangkaian tindakan dan pilihan dengan berbasiskan factor internal dalam suatu system sosial.dalam model ini orang dikelompokan berdasarkan kecepatannya dalam mengadopsi inovasi dengan lima kelompok adopter yaitu : (a) innovators, (b) early adopters, (c) early majority, (d) late majority, dan (e) laggards. Sementara itu Model dari Hall & Hord yaitu Concerns Based Adoption Model (CBAM) memandang inovasi sebagai pergeseran secara psikologis dari ciri-ciri inovasi kearah konsern pada penggunaannya. Dalam model ini pengguna inovasi bergerak dari konsern pribadi (self-concerns), selanjutnya konsern pada tugas (task-concerns) kemudian berpengaruh pada dampak konsern (impact-concerns) pada saat seseorang makin berpengalaman dengan inovasi. Tahapan-tahapan concerns ketika seseorang mengadopasi inovasi menurut Sherry, Lawyer-Brook, & Black, 1997,(dalam Lara Catherine Hagenson , 2001) mencakup :

Awareness (little concern about or involvement with the innovation);Informational (interest in learning more details about it);Personal (concerns about its demands and their adequacy in meeting them);Management (processes and tasks of using the innovation);Consequence (impact of the innovation on student outcomes);Collaboration (coordination/cooperation with other users); andRefocusing (altering or replacing the innovation)

Model of Epistemic Curiosity dari Speilberger & Starr menggambarkan dua proses yang terdiri dari keresahan (anxiety) dan Keingin tahuan (curiosity), semakin rendah tingkat kenyamanan pengguna inovasi, semakin kecil mereka melakukan eksperimen dengan inovasi. Model ini menurut Hagenson (2001) merupakan model valid yang mengelompokan orang berdasarkan tingkat-tingkat ketidakpastian (levels of uncertainty) dan menilai orang berdasarkan prilaku dan kemampuannya untuk mengeksplorasi hal-hal di luar platform inovatif awal

Selain model linier sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat model linier lain yaitu Model factor organisasi dan belajar (Organizational and Learning Factor Models). Model ini

Page 2: inovasi tiga sumber

memandang bahwa banyak factor yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berinovasi, mengadopsi, dan malkukan difusi, dan beberapa model yang masuk dalam kategori ini adalah model analisis adopsi (adoption analysis model) dari Farquhar dan Surry (1994), dan model belajar terlibat (engaged learning model) dari Jones, Valdez, Nowakowski, & Rasmussen (1995).sebagaimana dikemukakan oleh Hagenson (2001)

Model analisis adopsi dari Farquhar dan Surry dikembangkan dengan melihat persepsi pengguna akan inovasi, semakin positif persepsi pengguna akan suatu inovasi berkaitan dengan karakteristik inovasi sebagaimana dikemukakan Rogers (yakni : relative advantage, observability, compatibility, complexity, dan trialability) semakin besar kecenderungan untuk mengadopsi inovasi. Dalam model ini peran lingkungan fisik orgnisasi dan lingkungan pendukung dalam hal ketersediaan teknologi terutama internet memegang peran penting, dan kesuksesan pelaksanaan inovasi tidak hanya memerlukan adopter yang menggunakan dan mengaplikasikan inovasi, tapi juga memerlukan organisasi yang menyediakan lingkungan yang kondusif untuk penerapan teknologi baru, mereka yang mempunyai akses lebih besar pada teknologi serta didukung oleh keterampilan akan menggunakan teknologi lebih banyak dalam melaksanakan pengajaran (untuk Guru)

Model Engaged Learning dari Jones, Valdez, Nowakowski, & Rasmussen merupakan model dengan setting lembaga pendidikan, model ini melihat inovasi dari sudut gaya belajar dan peran murid di dalam kelas. Terdapat delapan variable berkaitan dengan indicator engaged learning yaitu :

1. the teacher’s vision of learning;

2. indicators of engaged learning;

3. ongoing, authentic, performance-based assessment;

4. a constructivist instructional model responsive to student needs;

5. the concept of students as part of a learning community incorporating multiple perspectives;

6. collaborative learning;

7. the co/learner/co-investigator;

8. the roles of students as cognitive apprentices, peer mentors, and producers of products that are of real use to themselves and others (Sherry, Lawyer-Brook, & Black, 1997 dalam Hagenson, 2001).

Dalam model ini visi guru tentang pembelajaran terkait erat dengan peranannya di kelas dan persepsinya tentang hubungan kurikulum sekolah dengan standar dari pemerintah, apakah kurikulum yang ada harus diperkaya, ditingkatkan atau diganti, serta peran yang jelas dari kegiatan pembelajaran berbasis internet di kelas ((Sherry, Lawyer-Brook, & Black, 1997,dalam Hagenson, 2001)

Kedua model diatas yakni model analisis adopsi dan model engaged learning terintegasi dalam model learning/adoption trajectory yang merupakan model belajar dan keorganisasian

Page 3: inovasi tiga sumber

(organizational and learning model) yang amat penting bagi dasar dan proses pembelajaran (Lara Catherine Hagenson , 2001:19).

b. Model Siklis

Model siklis ini didasarkan pada pemahaman bahwa suatu proses belajar yang sedang berjalan lebih merupakan suatu proses siklis. Suatu siklis adalah serangkaian kejadian yang terjadi secara teratur dan biasanya membawa kembali ke itik awal (Sherry, et al (2000) dalam Hagenson, 2001:21). Model siklis ini menurut Hagenson, (2001:22) lebih tepat ketimbang model linier, dan model ini digunakan untuk membuat versi baru dari model Learning/Adoption Trajectory. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat yang menjadi dasar terbentuknya model siklis yaitu pandangan Schein (1996), Senge (1990), Havelock dan Zlotolow (1997), Engestrom (1996).

Menurut Schein, dari pandangan pengguna, anggota-anggota suatu organisasi pembelajar mulai mencairkan (unfreeze) persepsi mereka pada saat mengalami suatu inovasi yang gagal memenuhi pemahaman mereka sebelumnya. Anggota organisasi kemudian melakukan perubahan dan memfokus ulang proses, dan kemudian membekukan ulang (refreeze) konsep mereka untuk mencocokan dengan pengalaman yang sedang dialami mereka. Menurut Sherry, Billig, Tavalin, & Gibson, (2000) dalam Hagenson (2001:22) model nampak lebih memfokuskan pada pengguna dan konsepsi mereka tentang membuka ide-ide untuk belajar, mengambil inovasi, dan kemudian menutupnya dengan konsepsi akan inovasi yang baru

Peter Senge merupakan pakar yang mempopulerkan konsep organisasi pembelajar (learning organization) dalam bukunya The Fifth Disciplines (1990). Dalam organisasi pembelajar, anggota organisasi secara konstan dan secara kolektif memperbaiki kapasitas mereka untuk menciptakan dan merealisasikan visi. Model organisasi pembelajar ini telah menciptakan suatu fondasi untuk memahami kapabilitas mengintegrasikan ide-ide baru bagi perbaikan organisasi.

Sementara itu pandangan Havelock and Zlotolow (1997) memfokuskan pada peran fasilitator perubahan dalam menggerakan system melalui enam tahapan perubahan terencana. Mereka berpendapat bahwa semakin besar perubahan semakin besar kekuatan yang menentangnya, dan untuk mengatasi hal ini diperlukan banyak saluran difusi yang dapat membawa visi bersama pada seluruh komunitas. menurut Hagenson (2001:23)

“This model greatly influenced what was needed to enforce appropriate training and teaching needed to innovate, adopt, and diffuse successfully. Knowing what is needed, in terms of training and support for an organization, helps to maintain and may help to diffuse new technologies to others.

kutipan di atas menunjukan bahwa agar inovasi, adopsi dan difusi berhasil diperlukan pelatihan dan pengajaran yang tepat, dan hal ini akan membantu memelihara serta menyebarkan teknologi baru pada fihak lain

Engestrom dengan kerangka teori aktivitasnya (Activity Theory Framework) mengintegrasikan pengguna, tujuan penggunaan teknologi, hasil yang diharapkan, komunitas pengguna dengan norma-normanya, konvensi, serta struktur sosial. Dalam konteks tersebut perubahan merupakan bagian dari system yang berhembus melalui system keseluruhan,

Page 4: inovasi tiga sumber

kemudian mempengaruhi tiap-tiap dan setiap komponen serta pengguna (Sherry, Billig, Tavalin, & Gibson, (2000), dalam Hagenson, 2001:23)

Model siklis tersebut menjadi dasar bagi terbentuknya model learning/adoption trajectory, model ini melihat adopsi inovasi sebagai suatu proses dinamis. Sherry, Billig, & Perry, found that the learning/adoption trajectory model, (teacher as learner, adoption, teacher as co- learner, and reaffirmation or rejection), kemudian dalam penelitiannya Sherry, Billig, & Perry menambahkan satu fase lagi yaitu teacher as a leader (Hagenson, 2001:25).

the cyclical processes of the learning/adoption trajectory model creating the teacher as leader stage, the fifth stage, but to break away from linear models (technology is an ongoing process, therefore acting as a cycle instead of a line) we must start looking at more dynamic models such as:

the“unfreezing-change-freezing” process described by Schein (1996)the circular change model of Havelock and Zlotolow (1997);the balancing and reinforcing loops described by Senge (1990); andthe interaction of users, tools, agency, and the community of users described by Engestrom’s (1996) Activity Theory framework (Sherry, et al, 2000, dalam Hagenson, 2001:25)

masuknya peran guru sebagai pemimpin mendorong pada pemahaman bahwa guru dapat menentukan dan membuat keputusan tentang suatu inovasi apakah dilaksanakan atau tidak baik itu bersumber dari luar maupun yang berseumber dari dirinya sebagai bentuk pemunculan ide-ide baru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Dengan demikian nampak bahwa adopsi inovasi bukan sesuatu yang bersifat linier, dan hal itu mesti dilihat dalam kerangka model yang dinamis dan interaktif dalam suatu konteks organisasi yang dasar-dasarnya telah dikemukakan oleh para pakar sebagaimana tersebut di atas

Di samping itu di dalam dunia pendidikan terdapat juga model spesifik yang dipandang tepat sebagai model inovasi pendidikan (Ibrahim, 1988:177) yang dapat membantu melihat secara lebih sistematis tentang inovasi pendidikan yang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan yaitu :

(a) Model Penelitian, Pengembangan, dan Difusi (Research – Development – Diffusion Model — RD & D Model).

Model inovasi ini cukup sederhana, tetapi nempunyai pengaruh yang sangat besar bagi pengembangan pendidikan. Model inovasi ini berdasarkan pemikiran bahwa etiap orang tentu memerlulkan perubahan, dan unsur pokok dari perubahan ialah penelitian, pengembangan, dan difusi. Agar benar-benar diketahui dengan -tepat permasalahan yang dihadapi serta kebutuhan yang diperlukan, maka langkah pertama yang harus diiakukan dalarr usaha mengadakan perubahan pendidikan ialah melakukan kegiatan penelitian pendidikan. Hasil penelitian kemudian dikembangkan ke dalam bentuk yang lebih operasional agar dapat lebih mudah diterapkan, baru sesudah itu dilakukan difusi inovasi melalui kegiatan komunikasi melalui berbagai saluran yang memungkinkan dengan memperhatikan berbagai nilai-nilai sosial yang berlaku di lingkungan dimana inovasi itu akan diterapkan.

(b) Model pengembangan Organisasi (Organization Developement Model).

Page 5: inovasi tiga sumber

Model ini tebih berarientasi pada organisasi daripada berorientasi pada sistem sosial. Model ini berpusat pada sekolah atau sistem persekolahan. Model Pengembangan Organisasi ini berbeda dengan Model Pengembangan dan Difusi: Model Penelitian Pengembangan dan difusi (RD & D) lebih tepat digunakan untuk penyebaran inovasi pada tingkat regional atau nasional, karena penelitian pendidikan lebih tepat jika dilakukan pada tingkat regional atau nasional. Sedangkan Model Pengembangan Organisasi lebih tepat digunakan untuk penye-baran inovasi pada suatu sekolah, karena sekolah merupakan suatu organisasi, Kedua model ini merupakan alat yang digunakan untuk menangani dua hal yang berbeda, juga untuk memecahkan permasalahan pembaharuan pendidikan yang berbeda pula. Model Pengembangan Organisasi atau Organization Developement (OD), juga berorientasi pada nitai yang tinggi artinya, model ini juga mendasarkan pada filosofi yang menyarankan agar sekolah atau sistem persekolahan jangan hanya diberi tahu tentang inovasi pendidikan, dan disuruh menerimanya, tetapi sekolah hendaknya mampu mempersiapkan diri untuk memecahkan sendiri masalah pendidikan yang dihadapinya. Sekolah harus menjadi organisasi yang sehat yang memahami persoalan yang dihadapi, dapat merumuskan permasalahan yang dihadapi, serta mampu untuk menciptakan cara memecahkan permasalahan itu sendiri dengan mengorganisir berbagai macam sumber yang ada dalam organisasi itu sendiri atau dengan bantuan ahli dari luar organisasasi, dan juga mampu menemukan cara bagaimana menerapkan inovasi serta manilai hasil yang telah dicapai.

(c) Model Konfigurasi (Model Konfigurasi (Configurational Model = CLER Model).

Model Konfigurasi (Configurasitional Model) atau disebut juga konfigurasi teori difusi inovasi yang juga terkenal dengan istilah CLER model, ialah pendekatan secara komprehensif untuk mengembangkan strateai inovasi (perubahan pendidikan) pada situasi yang berbeda. Ini adalah model umum atau model komprehensif karena memungkinkan adanya klasifikasi atau penggolongan dari situasi perubahan. model ini menekankan pada batasan tentang serangkaian situasi perubahan pada waktu tertentu. Model CLER ini menarik bagi kedua pihak baik bagi inovator maupun bagi penerima (adopter). Bagi inovator menggunakan model ini untuk meningkatkan kemungkinan diterimanya inovasi. Sedangkan bagi penerima inovasi, menggunakan model ini dapat meyakinkan bahwa inovasi yang diterimanya benar-benar sesuatu yang dibutuhkan. Menurut model konfigurasi kemungkinan terjadinya difusi inovasi tergantung pada 4 faktor yaitu: (1) Konfigurasi artinya menunjukkan bentuk hubungan inovator dengan penerima dalam kontek sosial atau hubungan dalam situasi sosial dan politik (2) Hubungan (linkage) yaitu hubungan antara para pelaku dalam proses penyebaran inovasi. (3) Lingkungan: bagaimana keadaan lingkungan sekitar tempat penye-baran inovasi. (4) Sumber (resources): sumber apakah yang tersedia baik bagi inovator maupun penerima dalam proses transisi penerimaan inovasi.

Page 6: inovasi tiga sumber

SUMBER 2

Beberapa Model Inovasi Pendidikan :

1)        Top Down Innovation

Top down innovation adalah salah satu usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan atau pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, meningkatkan efisiensi waktu dan sebagainya. Inovasi ini di terapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan bahkan memaksakan apa yang menurut atasan  itu baik untuk kepentingan bawahannya. Dan bawahan tidak mempunyai wewenang untuk menolak  pelaksanaannya.

Ruang lingkup top down innovation  yaitu penekanan sebuah peraturan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional selama ini. Seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Guru Pamong, Sekolah Persiapan Pembangunan, Sistem Belajar jarak jauh dan lain-lain.

Adapun kelebihan dari top down innovation yaitu :

Pertama, kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang merata.

Kedua, menerapkan sistem yang terstruktural, sehingga dapat menggunakan waktu yang lebih efektif dan efisien.

Ketiga, adanya standart pengajaran yang digunakan sebagai tolak ukur ketuntasan belajar siswa.

Keempat, adalah ujian dilaksanakan serempak. Dengan begitu, akan mengurangi kecurangan dalam adanya evaluasi hasil belajar atas ketercapaiannya kurikulum yang telah disusun oleh Pemerintah.

Kelima, adalah adanya monitoring dari pemerintah atau depdiknas.

Kekurangan dari top down innovation yaitu :

Pertama, pemerintah tidak dapat mengawasi secara penuh pemerolehan pendidikan terhadap warga yang tiggal di daerah terpencil.

Kedua, secara tidak langsung pemerintah membatasi tingkat kreatifitas guru.

Ketiga, menurunkan tingkat persaingan mutu pendidikan antar sekolah terutama untuk tingkat Sekolah Dasar Negeri.

Keempat, ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah dengan kompetensi yang dimiliki oleh sekolah karena sumber daya alam yang dimiliki masing-masing sekolah berbeda, sesuai dengan lingkungan didirikannya sekolah tersebut.

Page 7: inovasi tiga sumber

Kelima, keterbatasan fasilitas dan finansial bagi daerah yang terpencil untuk standart pendidikan yang berlaku.

2)        Pendekatan Konstektual atau Contextual Teaching and Learning / CTL

Pendekatan konstektual (Contextual Teaching and Learning / CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa.

Ruang lingkup pendekatan konstektual yaitu dimana proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi setiap siswa. Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.

Berikut contoh pendekatan konstektual :

Video 1

Video 2

Video 3

Adapun kelebihan dari pendekatan konstektual yaitu :

Pertama, siswa akan lebih percaya diri dalam mengungkapkan apa yang mereka lihat dan apa yang mereka alami dalam kehidupan nyata.

Kedua, membuat mereka siap menghadapi masalah-masalah yang biasa muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, lebih menyenangkan karena siswa tidak jenuh dengan pembelajaran yang monoton di dalam kelas.

Keempat, pembelajaran dengan konteks alam membuat siswa akan lebih mencintai lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan yang ada disekitarnya dan lebih peka terhadap alam.

Kelima, guru lebih berperan dalam menentukan tema pembelajaran yang akan dilangsungkan. Contohnnya dalam pembelajaran ipa kelas awal untuk tingkat Sekolah Dasar. Terdapat materi mengenal lingkungan sehat dan tidak sehat. Siswa dapat dibawa ke lingkungan sekitar sekolah secara langsung. Bagaimana lingkungan yang bersih menjamin kesehatan. Dan lingkungan yang kumuh dapat menyebabkan penyakit. Mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berbahaya.

Page 8: inovasi tiga sumber

Kekurangan dari pendekatan konstektual yaitu :

Pertama, waktu yang digunakan kurang efisien karena membutuhkan waktu yang cukup untuk mengaitkan tema dengan materi.

Kedua, bila diterapkan pada kelas kecil seperti siswa kelas 1 dan 2 Sekolah Dasar maka guru akan kesulitan dalam menciptakan kelas yang kondusif. Karena siswa kelas awal apabila diajak melakukan pembelajaran di luar kelas akan sulit diatur dan membutuhkan pengawasan ekstra sebab pada umumnya siswa memiliki keingintahuan yang sangat besar.

Ketiga, mahalnya fasilitas yang akan digunakan dalam membahas materi.

3)        Quantum Learning

Quantum learning adalah suatu model pembelajaran yang menekankan pada pemberian sugesti atau saran dan dituntut mampu menciptakan pembelajaran yang menyenangkan serta efektif.

Ruang lingkup quantum learning yaitu proses belajar yang memungkinkan siswa belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan. Suasana belajar yang efektif diciptakan melalui campuran antara lain unsur-unsur hiburan, permainan, cara berpikir positif, dan emosi yang sehat.

Video quantum learning

Adapun kelebihan dari quantum learning yaitu :

Pertama, siswa dibiasakan untuk melatih aktivitas kreatifnya. Sehingga siswa dapat menciptakan suatu produk kreatif yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Contohnya ketika di kelas guru terbiasa mengajari siswa untuk selalu berfikir kreatif untuk menemukan hal yang baru.

Kedua, emosi sangat diperlukan untuk menciptakan motivasi belajar yang tinggi. Motivasi yang tinggi dapat menambah kepercayaan diri siswa, sehingga siswa tidak ragu dan malu serta mau mengembangkan potensi-potensi yang ada.

Ketiga, memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekedar transaksi makna. Jadi guru bukan hanya menjelaskan tetapi menanamkan dalam diri siswa.

Keempat, menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi. Contohnya penggunaan musik klasik akan merangsang percepatan daya tangkap siswa sehingga mudah dalam memahami materi yang diberikan.

Kelima, menentukan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifisialan atau keadaan yang dibuat-buat. Contohnya guru memberikan konsep-konsep dengan contoh yang nyata bukan khayalan.

Keenam, memusatkan perhatian pada pembentukan keterampilan akademis dan keterampilan (dalam) hidup.

Page 9: inovasi tiga sumber

Ketujuh, menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses pembelajaran. Jadi seorang guru bukan hanya menyampaikan materi tetapi juga menanamkan karakter yang harus dimiliki siswa.

Kedelapan, mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban. Jadi siswa diberikan kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan melakukan aktifitas yang diminatinya.

Kekurangan dari quantum learning yaitu :

Pertama, membutuhkan pengalaman yang nyata. Karena quantum learning menuntut guru untuk kreatif dan menjadikan kegitan belajar mengajar lebih menyenangkan sehingga diperlukan pengalaman yang matang untuk dapat menciptakan situasi yang diinginkan.

Kedua, waktu yang cukup lama untuk menumbuhkan motivasi dalam belajar. Karena quantum learning menggunakan metode pemberian sugesti atau saran sehingga dibutuhkan waktu yang lama untuk menumbuhkan karakter yang diharapkan.

Ketiga, kesulitan mengidentifikasi keterampilan siswa. Karena setiap siswa memiliki keterampilan yang berbeda-beda sehingga untuk mengidentifikasi keterampilan setiap siswa memerlukan proses yang tidak mudah yaitu dengan mengamati perilaku dan minat setiap siswa.

Keempat, memerlukan dan menuntut keahlian dan keterampilan guru. Karena quantum learning menuntut guru untuk kreatif dan menjadikan kegitan belajar mengajar lebih menyenangkan sehingga diperlukan keahlian dan keterampilan guru untuk dapat menciptakan situasi yang diharapkan.

Kelima, memerlukan proses perencanaan dan persiapan pembelajaran yang cukup matang dan terencana dengan cara yang lebih baik. Karena quantum learning harus bisa menjadikan kegiatan belajar menyenangkan sehingga persiapan yang matang akan membantu terlaksananya kegiatan pembelajaran tersebut.

Keenam, adanya keterbatasan sumber belajar, alat belajar dan menuntut situasi dan kondisi. Karena dengan keterbatasan sarana prasarana akan menghambat terlaksananya kegiatan tersebut dan hasilnya kegiatan belajar mengajar akan berjalan kurang efektif.

 

4)        KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)

KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di Indonesia. KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai tahun ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-masing Nomor 22

Page 10: inovasi tiga sumber

Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Ruang lingkup KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yaitu penyerahan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada tiap sekolah dengan mengacu pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan bertujuan agar kurikulum tersebut dapat disesuaikan dengan karakter dan tingkat kemampuan sekolah masing-masing.

Video KTSP

Adapun kelebihan dari KTSP yaitu :

Pertama, mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.

Kedua, mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.

Ketiga, sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa.

Keempat, mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan kurang lebih 20%.

Kelima, memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.

Kekurangan dari KTSP yaitu :

Pertama, kurangnya sumber daya manusia yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada.

Kedua, kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP.

Ketiga, masih banyak guru yang belum memahami KTSP secara komprehensif baik konsepnya, penyusunannya maupun prakteknya di lapangan.

Keempat, penerapan KTSP yang merekomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurang pendapatan para guru.

Page 11: inovasi tiga sumber

SUMBER 3

Sebagai hasil usaha para ahli pendidikan di Amerika Serikat ada tiga model perubahan pendidikan atau model inovasi pendidikan yaitu :

1. Model Penelitian, Pengembangan dan Difusi

Model inovasi ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap orang tentu memerlukan perubahan, dan unsur pokok perubahan ialah penelitian, pengembangan, difusi.

2. Model Pengembangan Organisasi

Model ini lebih berorientasi pada organisasi dari pada organisasi pada sistem sosial. Model ini berpusat pada sekolah. Model pengembangan organisasi ini berbeda dengan model pengembangan dan difusi.

Model pengembangan organisasi juga berorientasi pada nilai yang tinggi artinya dalam model ini juga mendasarkan pada filosofi yang menyarankan agar sekolah jangan hanya diberi tahu tentang inovasi pendidikan dan disuruh menerimanya, tetapi sekolah hendaknya mampu mempersiapkan diri untuk memecahkan sendiri masalah pendikan yang dihadapinya.

3. Model Konfigurasi

Model konfigurasi atau disebut juga konfigurasi teori difusi inovasi yang juga terkenal dengan istilah CLER, model dengan pendekatan secara konprehensif untuk mengembangkan strategi inovasi (perubahan pendidikan) pada situasi yang berbeda.

Menurut model konfigurasi kemungkinan terjadinya difusi inovasi tergantung pada 4 faktor yaitu :

1. Konfigurasi artinya menunjukan bentuk hubungan inovator dengan penerima dalam konteks sosial atau hubungan dalam situasi sosial dan politik. Ada 4 konfigurasi yaitu individu, kelompok, lembaga dan kebudayaan. Setiap bagian dai ke empat konfigurasi tersebut, dapat berperan sebagai inovator dan juga dapat berperan sebagai penerima inovasi (adopter).

2. Hubungan (linkage) yaitu hubungan antara para pelaku dalam proses, penyebaran inovasi. Inovator dan adopter harus berada dalam hubungan yang memungkinkan didengarkannya dan diperhatikannya inovasi yang didifusikan.

3. Lingkungan : bagaimana keadaan lingkungan sekitar tempat penyebaran inovasi. Lingkungan dalam pengertian ini semua hal baik fisik, sosial, dan intelektual yang secara umum dapat bersifat netral, mempengaruhi atau mungkin menghambat terhadap tingkah laku tertentu.

4. Sumber (resources) : sumber apakah yang tersedia baik bagi inovator maupun penerima dalam proses transisi penerimaan inovasi. Sumber yang tersedia sangat penting baik bagi inovator maupun adopter, karena keduanya memerlukan sumber inovasi untuk melaksanakan transaksi .

Page 12: inovasi tiga sumber

Inovator memerlukan kejelasan konsep agar dia dapat menyusun disain pengembangan dan menentukan strategi inovasi. Demikian pula dengan adopter memerlukan kejelasan konsep agar memahami inovasi sehingga dapat menerapkan inovasi sesuai yang diharapkan.

Mengembangkan strategi difusi inovasi berarti berusaha untuk mengatur keempat faktor yang mempengaruhi difusi inovasi tersebut agar dapat berfungsi secara optimal. Keempat faktor itu dikenal dengan singkatan CLER (Configuration , Lingkages, Environment, Resources.)

1. PETUNJUK PENERAPAN INOVASI DI SEKOLAH.

Pengertian inovasi pendidikan bukan berarti selalu perubahan atau pembaharuan yang bertaraf nasional dan diusahakan oleh panitia dipusat pemerintahan. Inovasi pendidikan dapat diusahakan oleh guru, kepala sekolah, dan mungkin juga ide pertama dari siswa. Namun perlu diketahui bahwa suatu lembaga tidak mudah berubah.

Beberapa uraian tentang apa dan bagaimana menerapkan ide untuk memperbaiki atau memecahkan masalah sekolah, yang merupakan sesuatu yang diamati sebagai sesuatu yang baru (inovasi) adalah sebagai berikut.

1. Buatlah rumusan yang jelas tentang inovasi yang akan diterapkan. Untuk mempermudah perumusan tentang kebutuhan dan inovasi yang akan diterapkan disarankan menggunakan pertanyaan antara lain; apakah anda akan mengatur sistim kepenasehatan siswa ? mengubah cara kerja konselor ? mengembangkan pembagian tugas dewan guru dalam menunjang kelanjaran program sekolah ? dan pertanyaan lain yang mengarah pada tujuan inovasi yang akan dilakukan.

2. Gunakan metode atau cara yang memberi kesempatan untuk berpartipasi secara aktif dalam usaha merubah pribadi maupun sekolah. Merubah sekolah sebenarnya merubah orang yang berada di sekolah yaitu guru dan siswa. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengadakan pembaharuan atau menerapkan inovasi:

1. Tujuan diadakannya inovasi perlu dimengerti dan diterima oleh guru.

2. Motivasi positif harus digunakan untuk memberikan rangsangan agar mau menerima inovasi.

3. Harus diusahakan agar individu ikut berpartisipasi / di beri kesempatan dalam mengambil keputusan inovasi.

4. Perlu direncanakan tentang evaluasi keberhasilan program inovasi.

3. Gunakan berbagai macam alternatif pilihan untuk mempermudah penerapan inovasi. Hal ini dikemukakan berdasarkan pemikiran bahwa yang menerapkan inovasi baik guru, maupun siswa memiliki perbedaan individual.

4. Gunakan data atau informasi yang sudah ada untuk bahan pertimbangan dalam penyusunan perencanaan dan penerapan inovasi.

5. Gunakan tambahan data untuk mempermudah fasilitas terjadinya penerapan inovasi.

6. Gunakan kemanfaatan dari pengalaman sekolah atau lembaga yang lain. Pengalaman sekolah yang telah menerapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan dalam pelaksanaan inovasi di sekolah. Ada beberapa 10 hal

Page 13: inovasi tiga sumber

untuk melancarkan penerapan inovasi di sekolah berdasarkan pengalaman model school project di Amerika Serikat:

1. Menggunakan guru penasehat untuk setiap kelompok siswa.

2. Menyediakan pilihan (option) untuk mengantisipasi perbedaan individual anak .

3. Mengembangkan material (bahan media) sebagai konsekuensi option.

4. Merevisi kurikulum dengan menggunakan mini cources.

5. Membuat tempat belajar yang lebih baik.

6. Membuat jadwal yang fleksibel.

7. Meningkatkan penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar.

8. Mengadakan penilaian program penerapan inovasi.

9. Mengadakan penilaian dan pelaporan hasil belajar siswa

10. Membentuk team supervisi

7. Berbuatlah secara positif untuk mendapatkan kepercayaan. Walaupun didunia pendidikan sukar untuk memperoleh dana guna mengadakan pembaharuan, namun demikian pimpinan pendidikan harus melakukan langkah atau mensukseskan usahanya yaitu:

1. Kepala sekolah harus benar-benar memahami apa yang diperlukan untuk perbaikan sekolahnya.

2. Kepala sekolah harus menghayati kenyataan bahwa inovasi memang perlu diadakan untuk perbaikan.

3. Kepala sekolah harus yakin bahwa sekolah ini tepat untuk menerapkan inovasi.

8. Menerima tanggungjawab pribadi. Guru perlu mendapatkan tempat, juga peranan sekolah, dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan dengan sangat cepat kepala sekolah, guru dasn siswa akan menjumpai tantangan yang kompleks, pada tingkat dimana mereka bekerja atau belajar.

9. Usahakan adanya pengorganisasian kegiatan yang memungkinkan terjadinya kepemimpinan yang efektif, mantap dan konsisten untuk menjawab tantangan.

10. Usahakan mencari jawaban atas berbagai macam pertanyaan dasar tentang inovasi di sekolah. Dengan menjawab pertanyaan tersebut dapat menunjang kelancaran program inovasi akan dilaksanakan di sekolah.