ipi153990

Embed Size (px)

DESCRIPTION

svdv

Citation preview

  • Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 12 (3): 181-186

    ISSN 1410-5020

    Efektifitas Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L.) Sebagai

    Bahan Pengawet Daging

    Effectiveness of Extract Wood of Secang (Caesalpinia Sappan.L) as

    Meat Preservative

    Oktaf Rina, Chandra Utami W., dan Ansori

    Jurusan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Lampung

    Jln. Soekarno Hatta No. 10 Rajabasa Bandar Lampung

    Email : [email protected] (HP.08127944536)

    ABSTRACT

    The aim of this research was to determine wood extract of secang and test usage of its as

    preservative in hash to microbiological test and organoleptic. Existence of component of

    brazilin give is specific in wood of secang that is ruddling chocolate if oxidized or in

    atmosphere of base. Wood extract of secang obtained of usage 1 kg of its which

    maserated during 144 hours were 17,6 0,03. Usage of its about 1000 ppm was not yet

    given inhibition effect to growth of microbe in hash during inkubation about 6 hour.

    Colour in wood extract of secang were give change to hash colour become chocolate and

    influence hash organoleptic.

    Keywords : Wood of secang, extract, brazelein, hash

    Diterima: 20-04-2012, disetujui: 07-09-2012

    PENDAHULUAN

    Daging merupakan bahan pangan yang mudah sekali mengalami kerusakan. Zat gizi dalam

    daging baik lemak maupun protein merupakan komponen utama yang menyebabkan bahan pangan ini

    sulit untuk disimpan dalam waktu lama, apalagi dibiarkan di udara terbuka. Kerusakan daging dapat

    disebabkan oleh aktivitas mikroba, maupun oksidasi komponen lemak dalam daging. Daging cincang

    merupakan jenis bahan yang cukup banyak dibutuhkan untuk pengolahan. Kondisi daging cincang yang

    memiliki luas permukaan lebih besar, menyebabkan bahan pangan ini lebih mudah lagi mengalami

    kerusakan.

    Secang merupakan tanaman yang sudah lama banyak digunakan sebagai obat tradisional.

    Komponen antioksidan yang terdapat dalam kayu secang merupakan tanda bahwa bahan alam ini cukup

    baik digunakan sebagai sumber zat antioksidan. Kerusakan minyak goreng dapat disebabkan reaksi

    oksidasi baik oleh oksigen, panas, maupun cahaya. Bahan pengawet minyak goreng yang banyak

    digunakan biasanya adalah BHT. Komponen ini cukup efektif sebagai antioksidan dalam produk

    makanan, termasuk pada minyak goreng.

  • Jurnal Penelitian Pertanian Terapan

    182 Volume 12, No.3, September 2012

    Menurut Safitri (2002), ekstrak kayu secang mengandung lima senyawa aktif jenis flavonoid

    yang berfungsi sebagai antioksidan. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap reaksi oksidasi,

    terutama reaksi autooksidasi. Reaksi ini meliputi tiga tahap reaksi, yaitu tahap inisiasi, propagasi, dan

    terminasi (Papas,1999; Pokorny et al., 2001). Daging cincang merupakan bahan pangan yang mudah

    mengalami kerusakan, baik akibat reaksi oksidasi maupun aktivitas mikroba dipermukaan. Penggunaan

    ekstrak kayu secang diharapkan dapat memberikan efek daya awet, sekaligus memberikan warna alami

    pada bahan pangan daging cincang.

    Kayu secang merupakan sumber antioksidan alami. Sudah banyak penelitian tentang khasiat

    tanaman secang, baik sebagai antimikroba, antioksidan, maupun zat pewarna alami. Komponen senyawa

    bioaktif yang terkandung dalam kayu secang, yaitu brazilin, brazilein, 3-O-metilbrazilin, sappanone,

    chalcone, sappancalchone dan komponen umum lainnya, seperti asam amino, karbohidrat dan asam

    palmitat yang jumlahnya relatif sangat kecil. Komponen brazilin merupakan spesifik dari kayu secang

    yang dapat memberikan warna merah kecoklatan jika teroksidasi atau dalam suasana basa. Selain itu,

    brazilin ini diduga juga dapat melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia. Hasil beberapa

    penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kayu secang berpotensi sebagai antimikroba. Maka dari itu perlu

    diujikan efektivitas penggunaan ekstrak kayu secang sebagai bahan pengawet daging cincang mengingat

    bahan pangan ini merupakan bahan pangan yang mudah rusak akibat aktivitas mikroba.

    Penelitian ini bertujuan untuk menentukan rendemen ekstrak kayu secang, dan menguji

    penggunaan ekstrak secang sebagai pengawet daging cincang berdasarkan uji mikrobiologi. Hasil

    penelitian ini diharapkan akan diperoleh informasi tentang efektivitas ekstrak kayu secang sebagai bahan

    pengawet alami untuk mengawetkan produk pangan, terutama daging cincang.

    METODE

    Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Oktober 2011 di Laboratorium

    Teknologi Hasil Pertanian, Politeknik Negeri Lampung. Alat-alat laboratorium yang digunakan, yaitu

    pHmeter, neraca analitik, alat gelas untuk analisis kimia, desikator, blender, talenan, pisau, wadah

    baskom plastik, sentrifuse, termometer, rotary evaporator, dan waterbath. Bahan-bahan yang diperlukan,

    yaitu kayu secang yang didatangkan dari Sumatera Barat, metanol 95%(v/v), media PDA, akuades steril

    dan daging segar.

    Kayu secang dihaluskan sebanyak 250 g, lalu dimaserasi dalam 500 ml etanol 96% selama 3 x 24

    jam pada suhu ruang. Dekantasi dilakukan sampai 3 kali. Maserat yang dipeoleh dikumpulkan dalam satu

    wadah. Proses pemekatan dilakukan menggunakan peralatan rotary evapotaror pada suhu 80oC dan

    dilanjutkan pada tahap kristalisasi dengan pemanasan, sampai diperoleh padatannya. Ekstrak yang

    diperoleh ditimbang kemudian dihitung jumlah rendemennya.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengamati mutu mikrobiologi daging cincang yang diberi

    perlakuan ekstrak kayu secang. Faktor yang diamati ialah konsentrasi ekstrak dan lama penyimpanan.

    Pengamatannya dilakukan terhadap jumlah total mikroba dengan menggunakan metoda TPC (Total Plate

    Count). Pengamatan pertama adalah konsentrasi ekstrak secang terhadap nilai TPC daging cincang yang

    diamati dalam waktu inkubasi yang sama. Konsentrasi yang digunakan, yaitu 0,05 ml; 0,25 ml dan 0,50

    ml dengan waktu inkubasi 5 jam.

    Percobaan dilakukan dengan cara memasukkan 5 ml ekstrak kayu secang ke dalam 250 g daging

    segar yang sudah dihaluskan. Kemudian diinkubasi selama 5 jam. Penentuan total mikroba dilakukan

    dengan metode TPC pada pengenceran 10-3

    sampai 10-7

    dengan 2 unit ulangan cawan petri. Pengamatan

  • Oktaf Rina, Chandra Utami W., dan Ansori: Efektifitas Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L.)...

    Volume 12, No.3, September 2012 183

    juga dilakukan secara organoleptik terhadap warna dan tekstur daging, dengan kriteria atribut sensori

    dibandingkan dengan daging segar.

    Aplikasi penggunaan ekstrak kayu secang dilakukan terhadap serbuk ekstrak yang dilarutkan

    dalam akuades steril. Perlakuan yang digunakan ialah konsentrasi 100 sampai 1000 ppm dengan

    pengenceran 10-4

    sampai 10-7

    . Inkubasi dilakukan selama 3 dan 6 jam pada suhu ruang ( 28oC).

    Pengamatan dilakukan dengan cara merendam 250 g daging cincang dalam 250 ml larutan. Kemudian

    diambil sampel untuk pengujian mikrobiologi menggunakan metode TPC. Inkubasi dilakukan selama 1 x

    24 jam, lalu menghitung jumlah total koloni mikroba yang tumbuh dalam cawan petri.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi kayu secang asal Sumatera Barat dengan menggunakan

    pelarut etanol 96% (v/v). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak pekat hasil maserasi yang

    dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 80oC agar dapat melindungi komponen yang bersifat labil

    terhadap kondisi panas. Setelah itu, ekstrak kental dikeringkan sampai diperoleh padatan. Pada penelitian

    ini diperoleh rendemen 17,60% 0,03. Hasil penelitian ini lebih banyak dari rendemen yang dihasilkan

    oleh Rusdi et al. (2005) yang mendapatkan rendemen 14,73%. Proses maserasi dapat dilakukan

    menggunakan pelarut polar dan semipolar, seperti metanol dan etanol. Fazri (2009) menguji ekstrak kayu

    secang yang dibuat dengan maserasi menggunakan pelarut metanol. Hasil maserasi ini akan mengandung

    senyawa yang bersifat polar maupun semipolar. Fajariah (2009) melakukan fraksinasi terhadap ekstrak

    kasar kayu secang menggunakan pelarut kloroform dan etil asetat sehingga akan diperoleh senyawa yang

    spesifik berdasarkan tingkat kepolarannya.

    Tanaman secang ternyata hanya dikenal di beberapa daerah, seperti Sumatera Barat, Jawa

    Tengah, Yogyakarta dan Sulawesi Utara. Kayu secang yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu

    secang yang berasal dari Sumatera Barat. Menurut Shahidi (1996), lokasi tumbuh tanaman dapat

    mempengaruhi senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalamnya. Kayu secang memiliki

    pigmen berwarna yang disebabkan oleh senyawa brazelein dapat memberikan pewarnaan dari orange tua

    sampai warna merah pekat. Pada aplikasi pemanfaatan kayu secang sebagai obat tradisional di beberapa

    daerah, lebih mengenal kayu secang dengan warna merah muda. Pelarut yang digunakan ialah air

    sehingga di dalam minuman tradisional akan mengandung banyak komponen senyawa.

    Selain itu, pemanfaatan pigmen brazelein telah dikaji oleh Holinesti (2009) pada model pangan

    yang mengandung karbohidrat. Pada pengamatan interaksi pigmen dalam ekstrak kayu secang yang

    diperoleh dari bahan pangan yang mengandung pati, seperti sagu dan terigu menunjukkan adanya

    fenomena penggumpalan warna ungu dalam larutan tepung terigu, sedangkan pada tepung sagu tidak

    terjadi penggumpalan warna ungu. (Gambar 1).

    Gambar 1. Interaksi larutan tepung terigu dan sagu dengan ekstrak kayu secang

  • Jurnal Penelitian Pertanian Terapan

    184 Volume 12, No.3, September 2012

    Hal ini diduga karena pembentukan senyawa komplek berwarna ungu, antara senyawa fenol

    dalam ekstrak kayu secang dengan komponen amilosa dalam tepung terigu. Namun, perlu diidentifikasi

    lagi senyawa kimia dalam ekstrak kayu secang yang membentuk senyawa komplek berwarna ungu

    tersebut. Pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan pemurnian senyawa dan deteksi komponen

    senyawa kimia secara kromatografi lapisan tipis, serta penentuan struktur kimia dengan menggunakan

    spektroskopi. Kayu secang mengandung pigmen warna merah brazelein yang dipengaruhi oleh pH.

    Pengamatan terhadap perubahan warna ekstrak kayu secang terhadap kondisi pH dapat dilihat pada Tabel

    1.

    Tabel 1. Warna pigmen ekstrak kayu secang dengan perubahan pH

    pH Warna

    2 sampai 5 Kuning orange

    6 sampai 7 Merah muda

    > 7 Merah keunguan

    Ekstrak kayu secang yang diperoleh pada penelitian ini mempunyai warna orange. Hal ini berarti,

    brazelein berada dalam struktur asam. Pada perlakuan ekstrak kayu secang dalam daging cincang

    menyebabkan warna daging kearah kecoklatan. Hal ini justru tidak mendukung sifat organoleptik

    penggunaan ekstrak kayu secang sebagai pengawet daging, karena warna merupakan indikator kesukaan

    konsumen. Holinesti (2009) juga mengamati kestabilan pigmen brazelein terhadap panas dan sinar Ultra

    Violet. Namun, proses penggorengan yang menggunakan suhu sampai 108oC akan menyebabkan pigmen

    brazelein menjadi tidak stabil. Pada penelitian ini menggunakan ekstrak kasar kayu secang untuk

    menghambat pertumbuhan mikroba dalam daging selama inkubasi 5 jam. Hasil penelitian dapat dilihat

    pada Tabel 2.

    Tabel 2. Hasil penentuan TPC dalam daging dengan perlakuan ekstrak kayu secang

    Volume (ml) 10-3

    10-4

    10-5

    10-6

    10-7

    0,05 TBUD 63 12 4 0

    0,25 TBUD 79 9 4 1

    0,50 TBUD 41 7 5 1

    Keterangan : TBUD (Terlalu Banyak Untuk Dihitung)

    Perlakuan konsentrasi larutan ekstrak kayu secang terhadap pertumbuhan mikroba dalam daging

    cincang, dapat dilihat dalam Tabel 3.

    Tabel 3. Perlakuan variasi konsentrasi ekstrak kayu secang terhadap waktu inkubasi dalam daging

    Konsentrasi (ppm)

    dan inkubasi (jam) 10

    -5 10

    -6 Jumlah koloni

    1.000

    2 jam

    5 jam

    TBUD

    TBUD

    40

    252

    4 x 107

    2,5 x 107

    500

    2 jam

    5 jam

    TBUD

    TBUD

    70

    122

    7 x 107

    12,2 x 107

    0

    0 jam

    5 jam

    TBUD

    TBUD

    28

    144

    2,8 x 107

    14,4 x 107

    Keterangan : TBUD (Terlalu Banyak Untuk Dihitung)

  • Oktaf Rina, Chandra Utami W., dan Ansori: Efektifitas Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L.)...

    Volume 12, No.3, September 2012 185

    Tanaman secang banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk pengobatan berbagai

    macam penyakit, seperti diare, disentri, tetanus, malaria dan batuk. Hal ini disebabkan oleh banyaknya

    kandungan senyawa kimia didalam tanaman secang seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, steroid,

    dan terpenoid (Shahidi, 1996). Masyarakat hanya tertarik menggunakan kayu secang karena adanya

    pigmen brazelein yang memberikan pewarnaan merah, meskipun efek farmakokimianya bukan karena

    senyawa brazelein. Dianasari (2009) dan Fajariah (2009) melakukan uji efektivitas ekstrak etanol kayu

    secang terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Shigella dysentriae penyebab penyakit diare dan

    disentri. Sedangkan Fazri (2009) menguji ekstrak kayu secang terhadap bakteri Helicobacter pylori

    penyebab inflamasi kronik saluran pencernaan pada perlakuan 5,0 mg/ml sampai 7,5 mg/ml terlihat

    adanya aktivitas penghambatan pertumbuhan isolat Helicobacter pylori, yang diduga karena adanya asam

    galat didalam ekstrak kayu secang.

    Kerusakan daging juga disebabkan oleh adanya aktivitas bakteri seperti adanya kontaminasi

    bakteri golongan Salmonela, Staphylococcus dan Shigella (Buckle et al, 1987). Hal ini disebabkan oleh

    komposisi senyawa yang terkandung di dalam daging merupakan sumber nutrisi bagi pertumbuhan

    mikroba, sehingga daging tidak akan bertahan lama pada penyimpanan lebih dari 10 jam. Perlakuan

    ekstrak kasar secang dari mulai 0,05 ml sampai 0,20 ml dalam 250 gram daging, belum menunjukkan

    penghambatan yang kuat (Tabel 2). Selain itu, aplikasi ekstrak kasar kayu secang pada daging

    memengaruhi warna dan tekstur daging cincang, karena ekstrak kasar berupa cairan pekat. Warna daging

    menjadi kecoklatan dan berair. Hal ini tentu tidak diinginkan dalam proses pengawetan daging cincang.

    Pada penelitian ini dilakukan penambahan ekstrak kayu secang dalam bentuk larutan. Buckle

    (1987) dan Cahyadi (2006) menjelaskan bahwa penambahan bahan aditif pengawet dalam daging

    dilakukan dalam konsentrasi ppm (part per million). Hasil pengamatan terhadap konsentrasi ekstrak kayu

    secang yang diujikan dimulai dari konsentrasi 250 sampai 1000 ppm. Hasil penelitian terhadap nilai TPC

    dalam daging yang diperlakukan dengan ekstrak kayu secang menunjukkan adanya peningkatan jumlah

    koloni, seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi (Tabel 3). Pada perlakuan variasi kensentrasi

    menunjukkan bahwa konsentrasi 1000 ppm yang dibandingkan dengan 500 ppm dan kontrol (0 ppm),

    ternyata belum menunjukkan penghambatan yang signifikan, baik untuk inkubasi 2 jam maupun 5 jam.

    Hal ini dapat diketahui hasilnya jika penelitian dilanjutkan dengan peningkatan konsentrasi ekstrak kayu

    secang. Namun, secara organoleptik hal tersebut tidak mendukung warna daging cincang. Kendala yang

    ditemui pada penelitian ini, yaitu belum diketahuinya MIC (minimum Inhibitor Concentration) ekstrak

    kayu secang. Selain itu, perlu juga diidentifikasi semua mikroba yang dapat tumbuh selama penyimpanan

    daging. Hal ini sangat berperan untuk menguji efektivitas penggunaan ekstrak kayu secang sebagai food

    additive dalam daging cincang, terutama sebagai antimikroba.

    KESIMPULAN

    Ekstrak kayu secang yang diperoleh dari penggunaan 1 kg serbuk kayu secang yang dimaserasi

    selama 144 jam, yaitu 17,6 % 0,03. Penggunaan ekstrak kayu secang sampai 1000 ppm belum

    memberikan pengaruh yang nyata terhadap penghambatan pertumbuhan mikroba pada daging cincang,

    selama inkubasi 6 jam. Zat warna dalam ekstrak kayu secang memberikan perubahan terhadap warna

    daging cincang menjadi kecoklatan. Hal tersebut dapat mempengaruhi organoleptik daging cincang.

    Penelitian ini perlu dilanjutkan pada penentuan nilai MIC (Minimum Inhibitor Concentration)

    ekstrak secang dan perlu diuji juga daya hambat ekstrak secang terhadap mikroba terutama pada daging.

  • Jurnal Penelitian Pertanian Terapan

    186 Volume 12, No.3, September 2012

    UCAPAN TERIMAKASIH

    Penulis mengucapkan terimakasih kepada Politeknik Negeri Lampung atas terlaksanya penelitian

    dengan adanya Hibah Penelitian Dana DIPA Polinela untuk skim penelitian Dosen Muda tahun 2011.

    DAFTAR PUSTAKA

    Buckle, K. A, R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton, H. Purnomo dan Adiono (penerjemah), 1987,

    Ilmu Pangan, UI-Press, Jakarta.

    Cahyadi W., 2006, Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan, Sinar Grafika Offset,

    Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.

    Desrosier, N.W., M. Muljohardjo (penerjemah), 1988, Teknologi Pengawetan Pangan, UI-Press, Jakarta.

    Dianasari N., 2009, Uji Efektivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kayu Secang (Caesalpinia sappan L., )

    terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysentriae serta Bioautografinya, Skripsi,

    Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiayah Surakarta, Surakarta.

    Fajariah I. N., 2009, Uji Efektivitas Antibakteri Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanol Kayu Secang

    (Caesalpinia sappan L., ) terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysentriae serta

    Bioautografinya, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiayah Surakarta,

    Surakarta.

    Fazri,M. E., Uji Efektivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Kayu Secang (Caesalpinia sappan L., ) terhadap

    Helicobacter pylori secara in vitro, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiayah

    Surakarta, Surakarta.

    Fellows.P., 1997, Food Processing Technology Principles and Practice, Woodhead Publishing Limited,

    Cambridge England.

    Holinesti R., 2009, Studi Pemanfaatan Pigmen Brazelein Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) sebagai

    Pewarna Alami serta Stabilitasnya pada Model Pangan, Jurnal Pendidikan Keluarga UNP,

    ISSN 2085-4285, Volume I, Nomor 2, 11-21.

    Rusdi Udju D., Wahyu W. dan Sudiarto, 2005, Efek Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.)

    terhadap Angka Iod dan Peroksida Bungkil Kacang Tanah, J.Animal Production, Volume 7

    (3) hal.150-155.

    Safitri, R. 2002. Karakteristik Sifat Antioksidan secara in vitro Beberapa Senyawa yang terkandung

    dalam Tanaman Secang ( Caeralpinia sappan L.). Disertasi. Program Pascasarjana Universitas

    Padjajaran. Bandung.