ipi173661

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/15/2019 ipi173661

    1/16

    Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    Pandecta

    http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta

    Urgensi Pengaturan Khusus Lisensi Paten tentang Alih Teknologi pada Perusahaan Joint Venture

     Ana Nisa Fitriati

    Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

    Permalink/DOI http://dx.doi.org/10.15294/pandecta.v9i1.2998

    Info Artikel

    Sejarah Artikel:Diterima Oktober 2013Disetujui November 2013Dipublikasikan Januari 2014

    Keywords:transfer of technology; jointventure; patent licensing;

     political will

     Abstrak

     Alih teknologi melalui perjanjian lisensi paten di Indonesia masih belum terlaksanasecara optimal, oleh karenanya penelitian ini diadakan untuk mengetahui pelaksa-naan pengaturan lisensi paten dan urgensi pengaturan khusus lisensi paten di bi-dang alih teknologi pada perusahaan joint venture. Jenis penelitian yang digunakanadalah yuridis empiris, dengan menggabungkan peraturan perundang-undangan,kajian pustaka dan pendapat responden serta informan melalui wawancara. Hasilpenelitian didapatkan bahwa Pemerintah telah mengatur alih teknologi pada Un-dang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; Undang-Undang No. 25 Tahun2007 tentang Penanaman Modal; dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentangPerindustrian. Pelaksanaan pengaturan lisensi paten pada alih teknologi masih ter-kendala belum adanya Peraturan Pemerintah yang telah diamanatkan dalam Pasal

    73 Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. Terlaksananya alih teknologisangat dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh negaratersebut, sehingga budaya hukum dan struktur hukum tidak dapat terwujud apabilasubstansi hukum alih teknologinya belum ada. Simpulan yang didapat adalah pen-gaturan lisensi paten pada alih teknologi masih terkendala belum diundangkannyaPeraturan Pemerintah tentang Lisensi Paten karena berkaitan dengan  political willdari Pemerintah dan sangat urgen untuk segera mengundangkan Draf RancanganPeraturan Pemerintah tentang Lisensi Paten dan Lisensi Wajib menjadi PeraturanPemerintah tentang Lisensi Paten dan Lisensi Wajib.

     Abstract 

    Transfer of technology through patent license agreements in Indonesia is stillnot optimally implemented, this study therefore conducted to determine the

    implementation of patent licensing arrangements and urgency special patent licensearrangements in the field transfer of technology to the joint venture company. Thistype of research is empirical jurisdiction, by combining legislation, literature andopinions of respondents and informants through interviews. The results showed thatthe Government had set up transfer of technology to the Act No. 14 of 2001 onPatents; Act No. 25 of 2007 on Investment; and Act No. 3 of 2014 on Industry.Implementation of patent licensing arrangements on transfer of technology is stillconstrained absence of government regulation that has been mandated in Article 73of Act No. 14 of 2001 on Patents. Implementation transfer of technology is stronglyinfluenced by the legislation which is owned by the state, so that legal culture andlegal structure can not be achieved if the technology is not yet legal substance overthere. The conclusions is obtained patent licensing arrangements on transfer oftechnology is still constrained yet enacted Government Regulation of Patent Licenseas it pertains to the political will of Government and very urgent to immediately

    enact Draft Regulation on Compulsory Patent Licensing and Licensing be GovernmentRegulation on Compulsory Patent Licensing and Licensing.

     Alamat korespondensi:Gedung K1, Kampus Sekaran, Gunungpati Semarang 

     Jawa Tengah Indonesia 50229 E-mail: [email protected] 

    © 2014 Universitas Negeri Semarang ISSN 1907-8919 (Cetak)

    ISSN 2337-5418 (Online)

  • 8/15/2019 ipi173661

    2/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    17          

    1. Pendahuluan

    Negara-negara berkembang seperti In-donesia dalam ketersediaan modal untuk me-

    laksanakan pembangunan nasional di sektorekonomi, mengalami banyak kesulitan. Me-nurut Ilmar (2006), kesulitan-kesulitan terse-but disebabkan oleh berbagai faktor misalnyatingkat tabungan ( saving) masyarakat yangmasih rendah, akumulasi modal yang belumefektif dan efisien, keterampilan ( skill) yangbelum memadai serta tingkat teknologi yang

     juga belum maju. Guna mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, berbagai macam cara di-lakukan oleh pemerintah Indonesia untukmemenuhi kekurangan modal dalam negeridi antaranya dengan membuka penanamanmodal khususnya Penanaman Modal Asing(PMA) secara besar-besaran.

    Bentuk investasi melalui PMA ini ke-mudian diatur lebih jelas dalam Pasal 1 ayat(3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007tentang Penanaman Modal yaitu investasi se-cara langsung (100% asing) dan secara usahapatungan ( joint venture). Sumantoro (1984)menyatakan bahwa peran ideal dari adanyasuatu kegiatan penanaman modal asing pada

    prinsipnya didasari oleh harapan akan terja-dinya transfer of capital, transfer of techno-logy dan  transfer of management. Transferof technology   dimaksudkan agar bangsa In-donesia menjadi bangsa yang mandiri dantidak selalu bergantung dengan pihak asing,namun untuk menunjangnya diperlukanadanya suatu perjanjian lisensi.

    Lisensi paten merupakan suatu bentukizin yang diberikan oleh pemegang paten ke-pada penerima paten berdasarkan perjanjian

    pemberian hak untuk melakukan serangkai-an tindakan atau perbuatan untuk menikmatimanfaat ekonomi dari suatu paten yang dibe-rikan kepadanya dengan perlindungan sela-ma jangka waktu dan syarat tertentu. Dasarhukum pengaturan perjanjian lisensi patenterdapat di dalam Pasal 69-73 Undang-Un-dang No.14 Tahun 2001 tentang Paten. Tidakhanya itu, perjanjian lisensi didasarkan pulapada asas-asas dalam hukum kontrak seper-ti pertama asas kebebasan berkontrak yang

    termuat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Per-data; kedua asas konsensualisme yang dia-

    tur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata;ketiga asas pacta sunt servanda yang termuatdalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata; danterakhir asas itikad baik adalah Pasal 1338

    ayat (3) dan Pasal 1339 KUH Perdata.Sebagaimana tujuan Penanaman Mo-dal Asing yakni untuk mempercepat alihteknologi, sebagai regulator, pemerintah te-lah menyiapkan regulasi-regulasi yang dibu-tuhkan guna menunjang alih teknologi danlisensi paten. Setidaknya terdapat 3 (tiga)undang-undang yang dominan mengaturnyaantara lain pertama, Undang-Undang No. 14Tahun 2001 tentang Paten; kedua, Undang-Undang 25 Tahun 2007 tentang PenanamanModal; dan ketiga, Undang-Undang No. 3Tahun 2014 tentang Perindustrian. Meskipunundang-undang telah mengatur sedemikianrupa, namun Hartono (1972) mengungkap-kan bahwa dalam pelaksanaan lisensi patenditemui beberapa hambatan sehingga walau-pun lisensi-lisensi paten telah berlangsung,tetapi tidaklah dapat membantu bangsa In-donesia dalam rangka pengalihan teknolo-gi. Salah satu yang menjadi hambatannyaadalah tidak adanya pengawasan perjanjianlisensi karena perjanjian tersebut tidak per-

    nah terdaftar dan tidak adanya pembatasan jangka waktu terhadap perjanjian lisensi pa-ten tersebut.

    Hambatan-hambatan dalam rangkapengalihan teknologi erat kaitannya dengansistem hukum Hak Kekayaan Intelektual yangdimiliki oleh negara tersebut. Friedman men-gungkapkan bahwa berhasil atau tidaknyasuatu sistem hukum bergantung pada struk-tur hukum, substansi hukum, dan budayahukum. Unsur pertama, struktur hukum atau

    legal structure merupakan institusionaliasi kedalam entitas-entitas hukum yang berkaitandengan aparatur pelaksana dan penegakkanhukumnya. Friedman menegaskan bahwahukum memiliki elemen pertama dari sistemhukum berupa struktur hukum, tatanan ke-lembagaan, dan kinerja lembaga (Suherman2004).

    Unsur kedua, substansi hukum atau le- gal substance merupakan aturan, norma, danpola perilaku manusia yang berada dalam

    sistem (Suherman 2004). Unsur ketiga, bu-daya hukum atau legal culture yang menurut

  • 8/15/2019 ipi173661

    3/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    18 

    Friedman adalah sikap manusia terhadap hu-kum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai,pemikiran, serta harapannya. Teori Friedmanmengenai sistem hukum, dapat dijadikan se-

    bagai patokan dalam mengukur proses pe-laksanaan pengaturan lisensi paten di bidangalih teknologi. Berhasilnya sistem hukumHak Kekayaan Intelektual, dapat menentu-kan fungsi hukum Hak Kekayaan Intelektualdi Indonesia nantinya.

    2. Metode Penelitian

     Jenis penelitian yang digunakan ada-lah yuridis empiris. Pendekatan yuridis digu-nakan untuk menganalisis berbagai peraturanperundang-undangan. Sedangkan pendeka-tan empiris digunakan untuk menganalisishukum yang dilihat sebagai perilaku masyara-kat yang berpola dalam kehidupan masyara-kat yang selalu berinteraksi dan berhubungandalam aspek kemasyarakatan. Data yang di-gunakan dalam penelitian ini terdiri atas dataprimer dan data sekunder (Soekanto 1998).Data primer diperoleh dari studi lapangandengan cara wawancara di Direktorat Jende-ral Hak Kekayaan Intelektual, Badan Koor-

    dinasi Penanaman Modal dan responden diKementerian Riset dan Teknologi RepublikIndonesia. Sedangkan data sekunder dipero-leh dari studi kepustakaan berupa peraturanperundang-undangan, penelitian terdahuludan buku-buku ilmiah tentang pelaksanaanlisensi paten alih teknologi pada perusahaan

     joint venture. Metode analisis data yang sesu-

    ai dengan penelitian ini adalah pendekatansecara kualitatif, yaitu analisis data dengancara mengungkapkan dan mengambil ke-benaran yang diperoleh dari data primer dan

    data sekunder, sehingga mendapatkan suatupemecahannya dan selanjutnya dapat ditarikkesimpulan.

    3. Hasil dan Pembahasan

    a. Pelaksanaan Pengaturan Lisensi Paten Alih Teknologi pada Perusahaan JointVenture

    Implementasi perlindungan paten diIndonesia yang telah diamanatkan di dalamUndang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentangPaten, pada praktiknya ternyata masih belumsecara maksimal dimanfaatkan oleh masya-rakat. Hal ini menjadi relevan ketika melihatdata yang disajikan dalam tabel jumlah pe-mohon paten di Indonesia yang dibuat olehDirektorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektualpada Tabel 1.

    Data pada Tabel 1 menunjukkan bah-wa masih rendahnya jumlah permohonanpaten Indonesia jika dibandingkan dengannegara-negara tetangga seperti negara Ma-

    laysia, Singapura bahkan Cina. Tidak hanyaitu, pemohon paten di Indonesia juga le-bih didominasi oleh pemohon paten yangberasal dari luar negeri. Pada data tersebutmemang terlihat bahwa jumlah permohonanuntuk paten sederhana yang didaftarkan olehinventor Indonesia lebih banyak jika diban-dingkan dengan paten biasa yang didaftarkan

    Tabel 1. Data Permohonan Paten Tahun 2009-2011

    No. Negara

    2009 2010 2011

    Lokal Asing Jumlah Lokal Asing Jumlah Lokal Asing Jumlah

    1. Cina 877611 99075 976686 293066 98111 391177 467120 905788 2372908

    2. Thailand 4196 5534 9730 3539 2000 5539 2728 2077 4805

    3. Malaysia 1234 4503 5737 1275 5189 6464 1136 5423 6559

    4. Singapura 827 7909 8736 892 8881 9773 1056 8738 9794

    5. Indonesia 684 4145 4829 795 5485 6280 777 5353 6130

    6. Filipina 22 1657 1679 13 1140 1153 6 1129 1135

    Sumber : Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Paten atas Perubahan Un-dang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten

  • 8/15/2019 ipi173661

    4/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    19          

    oleh inventor Indonesia, namun secara kese-luruhan jumlahnya masih minoritas jika di-bandingkan dengan paten yang berasal dariluar negeri. Kondisi paten Indonesia ini erat

    kaitannya dengan praktik penyelenggaraanpenerapan undang-undang paten, seperti :

    1. Kendala teknis prosedural.Pertama, jangka waktu penguru-

    san paten hingga memperoleh sertifikatpaten di Indonesia diatur dalam Pasal54 Undang-Undang No. 14 Tahun 2001tentang Paten, namun pada praktiknya,untuk mengajukan permohonan patenrelatif lama yakni bisa mencapai 5-8 (limasampai delapan) tahun, hal ini disebab-kan oleh adanya proses-proses verifikasiilmiah. Kedua, biaya pengurusan patenyang terdiri atas biaya permohonan danpemeliharaan paten di Indonesia yangrelatif mahal. Besarnya biaya tersebut je-las memberatkan bagi peneliti atau parainventor Indonesia yang pada umumnyabukanlah para pengusaha besar, apalagi

     jika paten yang didaftarkan ternyata ti-dak memiliki nilai komersial sama sekali.Ketiga, prosedur pendaftaran paten yang

    mewajibkan bagi para inventor untuk da-tang langsung ke Direktorat Jenderal HakKekayaan Intelektual padahal Indonesiamerupakan negara kepulauan, jarak anta-ra satu pulau dengan pulau lainnya tentumemakan waktu dan biaya yang tidaklahsedikit.

    2, Kendala budaya masyarakat Pertama, setiap kali diadakan lomba

    maupun pameran yang berkaitan dengan

    teknologi, peserta (inventor) dan pani-tia penyelenggaranya belum mengaitkandengan perlindungan hukumnya yang te-lah diatur melalui Undang-Undang No.14 Tahun 2001 tentang Paten. Kedua,Maulana (1996) mengatakan bahwa se-lama ini telah banyak pemuda Indonesiayang dikirim dan dibiayai oleh negara un-tuk melanjutkan tugas belajarnya di luarnegeri khususnya di negara-negara maju,namun sangat disayangkan tidak banyak

    yang mampu membawa pulang inven-si mereka yang bermanfaat bagi negara.

    Padahal penemuan yang mereka lakukanberhak atas paten dan berhak mempe-roleh perlindungan hukum serta berhakpula atas royalti apabila pihak lain meng-

    gunakannya.Ketiga, Badan Pembinaan HukumNasional (BPHN) mencatat dalam Naskah

     Akademik Rancangan Undang-Undang Pa-ten atas Perubahan Undang-Undang No. 14Tahun 2001 tentang Paten bahwa munculadanya kekhawatiran di pihak para investor

     jika memakai teknologi lokal yang telah dipa-tenkan untuk usaha mereka ternyata gagal,maka tidak ada yang bertanggungjawab ataskegagalan tersebut yang pada akhirnya me-nimbulkan kerugian di pihak investor.

    Keempat, belum banyak institusi pen-didikan yang memahami akan pentingnyaperlindungan paten. Indonesia memiliki3702 (tiga ribu tujuh ratus dua) perguru-an tinggi, yang terdiri atas universitas, insti-tut, sekolah tinggi, akademi, dan politeknikbaik negeri maupun swasta (Tampubolon2013), namun hasil karya yang berupa risetyang dihasilkan mereka masih belum bany-ak yang didaftarkan pada Direktorat Paten.

     Alasannya, keengganan dari para inventor

    untuk mendaftarkan invensinya karena tidakadanya penghargaan atau reward  bagi parapeneliti tersebut yang telah berhasil mengha-silkan suatu invensi sehingga semangat untukterus melakukan penelitian guna menghasil-kan invensi pun menjadi menurun.

    Melihat kondisi paten dan praktik peny-elenggaraannya, sejauh ini pemerintah telahmelakukan beberapa upaya untuk mening-katkan jumlah permohonan paten Indonesia.Pertama, pemerintah kerap melakukan sosia-

    lisasi ke berbagai pihak seperti Usaha MikroKecil Menengah (UMKM), Perguruan Tinggibaik negeri maupun swasta, serta masyara-kat umum yang berkepentingan dengan HakKekayaan Intelektual dengan memberikanpemahaman agar tumbuh kesadaran akanperlindungan Hak Kekayaan Intelektual teru-tama patennya. Selain itu, pemerintah jugatelah mengadakan kerjasama dengan instan-si terkait yang bertujuan untuk membangunsentra-sentra Hak Kekayaan Intelektual yang

    tentunya dengan harapan dapat membantumensosialisasikan pemanfaatan perlindungan

  • 8/15/2019 ipi173661

    5/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    20 

    paten tersebut.Kedua, dewasa ini pemerintah juga

    mulai memberikan suatu insentif baik berupapenghargaan, reward  atau beasiswa kepada

    lembaga-lembaga penelitian, perguruan ting-gi, pelaku usaha yang mampu menghasilkaninvensi yang dapat dipatenkan dengan tuju-an agar para peneliti tetap semangat untukterus melakukan penelitian-penelitian danmenghasilkan invensi yang bermanfaat dandapat dipatenkan nantinya. Dengan demiki-an diharapkan jumlah pemohon paten dalamnegeri menjadi meningkat.

    Ketiga, mengatasi kekhawatiran parainvestor untuk memakai teknologi lokal yangdipatenkan, pemerintah memberikan jami-nan sebagai bentuk penjaminan resiko usahaatas kegagalan teknologi lokal yang dipaten-kan tersebut, hal ini sesuai dengan yang telahdiamanatkan dalam Pasal 40 Undang-Un-dang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindust-rian. Dengan demikian, maka para investorakan memakai teknologi lokal yang telahdipatenkan, dan dengan keinginan investorinilah yang nantinya akan menumbuhkankesadaran para inventor nasional untuk maumendaftarkan invensinya.

    b. Alih Teknologi pada Penanaman Modal Asing ( Joint Venture)

    Pemerintah Indonesia menyadari bah-wa teknologi merupakan salah satu bagianyang dibawa oleh pihak asing ke Indonesiamelalui kegiatan penanaman modal asing,seperti yang terumus di dalam Pasal 2 sub bUndang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentangPenanaman Modal Asing dimana teknologidiartikan sebagai alat-alat untuk perusahaan,

    termasuk penemuan-penemuan baru milikorang asing dan bahan-bahan yang dimasuk-kan dari luar ke dalam wilayah Indonesia,selama alat-alat tersebut tidak dibiayai darikekayaan devisa Indonesia.

    Pemahaman mengenai alih teknologipada umumnya dimaknai sebagai pengali-han kemampuan teknologi yang dipunyaioleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Konsep alih teknologidalam perkembangannya ternyata tidak lagi

    dipersepsikan sebagai pengalihan teknologidari negara maju kepada negara berkembang

    saja, namun dapat pula terjadi antara licensor dan licensee yang sama-sama berada di da-lam negeri. Pasal 1 ayat (11) Undang-UndangNo. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional

    Penelitian, Pengembangan, dan PenerapanIlmu Pengetahuan dan Teknologi menegas-kan bahwa alih teknologi adalah pengalihankemampuan memanfaatkan dan menguasaiilmu pengetahuan dan teknologi antar lem-baga, badan, atau orang, baik yang beradadi lingkungan dalam negeri maupun yangberasal dari lingkungan luar negeri ke dalamnegeri dan sebaliknya. Sehingga para pihakdalam proses alih teknologi dapat berasaldari dalam dan luar negeri atau sebaliknya.

     Alih teknologi merupakan salah satuupaya yang dilakukan oleh negara berkem-bang untuk mengurangi ketergantungannyakepada negara maju. Namun dalam perkem-bangannya, hal ini dapat menimbulkan ke-tergantungan teknologi pada negara berkem-bang terhadap negara maju. Tampubolon(2013) juga menambahkan bahwa ketergan-tungan teknologi dapat terjadi jika sumber-sumber utama teknologi yang terdapat dinegara-negara berkembang berasal dari luarnegeri.

    Oleh karenanya, alih teknologi dari ne-gara maju kepada negara berkembang bolehsaja dilakukan untuk meningkatkan kemak-muran negara berkembang, meskipun dalamprosesnya tidaklah semudah yang dibayang-kan. Hal ini ditegaskan oleh Purba (2011)bahwa teknologi memang harus direbut ataudalam ungkapan yang lebih langsung ada-lah ‘dicuri’. Itulah sebabnya, Jepang pernahmenggegerkan dunia internasional denganresep penguasaan teknologi (Folsom dalam

    Purba 2011). Namun dasar yang menum-buhkan perlakuan curi ini menurut Purba(2011) terdapat dua hal yaitu :1. Bahwa pemilik teknologi tidak akan rela

    memberikan barang yang dimilikinya,betapapun aspek komersial mengkerang-kai transaksi peralihan itu, paling-palingyang dilakukan adalah pemberian tekno-logi seadanya;

    2. Pencuri dapat berdalih bahwa misi besardi belakang ini adalah juga untuk kema-

     juan umat manusia.Pendapat Purba tentu ada benarnya,

  • 8/15/2019 ipi173661

    6/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    21          

    karena pada saat penerima teknologi meneri-ma teknologi dari pemegang teknologi mela-lui suatu perjanjian lisensi, tentunya teknolo-gi yang diberikan kepada penerima teknologi

    telah menjadi teknologi yang ketinggalan, ka-rena di saat itulah pemegang teknologi sudahmemiliki teknologi baru yang jauh lebih baiklagi. Hal serupa juga dapat dilihat melaluiketerkaitan antara masa berlaku perlindun-gan paten dan lisensi patennya, sudah bukanmenjadi rahasia lagi jika inventor biasanyaakan mengembangkan teknologi yang adasehingga ditemukan invensi yang baru yangkemudian akan dipatenkan kembali, sedang-kan paten sebelumnya tidak bisa diperpan-

     jang lagi jangka waktunya. Ketertinggalan tek-nologi seperti ini akan terus berlanjut denganpola yang sama, mengingat aspek komersialdalam suatu invensi yang dipatenkan.

    Sehingga, alangkah baiknya jika alihteknologi dari negara maju tersebut juga di-barengi dengan alih teknologi yang para pi-haknya sama-sama berada di dalam negeri,dengan tujuan memajukan ilmu pengeta-huan dan teknologi di dalam negeri sendiriguna mengoptimalkan kemandirian pereko-nomian nasional negara berkembang.

    c. Hambatan-Hambatan Pelaksanaan AlihTeknologi dalam Kaitan PengaturanLisensi Paten

    Berdasarkan penelitian yang dilaku-kan, pada dasarnya pengaturan kontrak li-sensi paten yang tertuang pada Pasal 69-73Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentangPaten tidaklah bersifat sumir. Pertama, perlin-dungan lisensi paten sepanjang yang diaturoleh Pasal 69 Undang-Undang No. 14 Tahun

    2001 tentang Paten adalah dengan melihat jangka waktu perlindungan jenis patennyadan tidak boleh melebihi jangka waktu per-lindungan patennya. Berkaitan antara jangkawaktu perlindungan paten yakni selama 20(dua puluh) tahun dengan jangka waktu yangdiberikan oleh negara bagi perusahaan  jointventure untuk berkegiatan di Indonesia ya-kni selama 30 (tiga puluh) tahun, maka ter-dapat sisa jangka waktu 10 (sepuluh) tahunbagi perusahaan joint venture tersebut untuk

    berkegiatan di Indonesia. Teknologi pada pe-rusahaan  joint venture selama 10 (sepuluh)

    tahun tersebut pada akhirnya akan menjadi public domain, dengan kata lain teknologipada perusahaan joint venture akan bebas di-gunakan oleh siapa saja tanpa harus meminta

    ijin kepada inventornya.Kedua, ruang lingkup dan pengertianpembatasan-pembatasan atau hambatan-hambatan dalam perjanjian lisensi patenyang tidak diizinkan adalah jika merugikanperekonomian negara yang dimaksudkan da-lam Pasal 71 Undang-Undang No. 14 Tahun2001 tentang Paten, sebagai contoh adalahdalam hal penyediaan bahan baku selamabahan baku tersebut masih terdapat dan da-pat terpenuhi di wilayah Indonesia maka ti-dak boleh mengimpor bahan baku dari luarnegeri. Tidak hanya itu, hasil produksi yangtidak diekspor atau dengan kata lain hasilproduksi tersebut tidak dapat menggantikanbarang-barang impor dan mengirimkan se-mua keuntungan yang diperoleh mereka ke-pada perusahaan induk di luar negeri, turutmenjadi faktor yang dapat merugikan pere-konomian negara pula.

    Ketiga, Pasal 72 Undang-Undang No.14 Tahun 2001 tentang Paten menegaskanbahwa perjanjian lisensi paten wajib dicatat-

    kan pada Direktorat Jenderal. Tidak terdaftar-nya perjanjian lisensi paten tersebut tentunyabagi para pelaku usaha tidak menimbulkanakibat hukum terhadap pihak ketiga, namunselama tahun 2001 hingga tahun 2013, Di-rektorat Jenderal belum melakukan penca-tatan terhadap perjanjian lisensi paten. Halini disebabkan pengaturan lebih detail terkaitpencatatan lisensi paten seperti bentuk for-mulir, biaya pendaftaran, dan persyaratannyamasih belum ada, namun pemerintah mulai

    menyusun draf Peraturan Pemerintah tentanglisensi paten dan lisensi wajib. Draf PeraturanPemerintah menyebutkan bahwa ketentuanlebih lanjut mengenai bentuk dan isi formu-lir permohonan pencatatan perjanjian lisen-si akan diatur lebih lanjut dengan PeraturanMenteri, sehingga agaknya landasan hukummengenai pencatatan perjanjian lisensi patenakan menjadi lebih lama lagi untuk diterap-kan, padahal pencatatan lisensi paten sangatsegera dibutuhkan agar alih teknologi benar-

    benar terwujud dan tidak ada ketentuan-ke-tentuan dalam perjanjian lisensi paten yang

  • 8/15/2019 ipi173661

    7/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    22 

    dapat merugikan perekonomian nasional.Selain itu, perbedaan pemaknaan cara

    alih teknologi antara Badan Koordinasi Pena-naman Modal dan Direktorat Jenderal Hak

    Kekayaan Intelektual turut menjadi faktoryang menyebabkan hambatan-hambatan da-lam pelaksanaan alih teknologi dalam kaitanpengaturan lisensi paten. Menurut Direktorat

     Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, untukmemenuhi kewajiban penanaman modal diIndonesia, investor asing wajib melakukanalih teknologi melalui perjanjian lisensi. Se-dangkan menurut Badan Koordinasi Penana-man Modal, proses alih teknologi didasarkanpada Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,dimana perusahaan penanaman modal wajibmeningkatkan kompetensi tenaga kerja war-ga negara Indonesia melalui pelatihan kerjasesuai dengan ketentuan peraturan perun-dang-undangan

    Selain sarana-sarana tersebut, UnitedNations Centre on Transnational Corpora-tions (UNCTC) menyebutkan setidaknya ter-dapat 9 (sembilan) sarana untuk melakukanalih teknologi antara lain yaitu : foreign directinvestment, joint ventures, licensing, franchi-

     sing, management contracts, marketing cont-racts, technical service contracts, turn keycontracts, dan international sub-contracting (UNCTC 1987). Hal yang dapat disimpul-kan adalah bahwa dengan kata lain, saranapengalihan teknologi pada dasarnya dapatmelalui penanaman modal langsung (directinvestment) dan melalui lisensi.

    d. Upaya Pemerintah dan Konsultan HakKekayaan Intelektual

    Pemerintah pada dasarnya merupa-kan regulator. Oleh karena itu, pemerintahdalam menciptakan kemandirian perekono-mian nasional yang berbasis ilmu pengeta-huan dan teknologi berupaya menyiapkanregulasi-regulasi yang dibutuhkan guna me-nunjang alih teknologi dan lisensi paten. Seti-daknya terdapat 3 (tiga) undang-undang yangdominan mengaturnya antara lain pertama,Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentangPaten; kedua, Undang-Undang 25 Tahun

    2007 tentang Penanaman Modal; dan ketiga,Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang

    Perindustrian.Lahirnya Undang-Undang Perindustri-

    an yang baru, merupakan upaya pemerintahdalam mempercepat pelaksanaan alih tekno-

    logi di Indonesia. Pasal 39 Undang-UndangNo. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, me-nyebutkan antara lain bahwa :1. Dalam keadaan tertentu, Pemerintah da-

    pat melakukan pengadaan Teknologi In-dustri melalui proyek putar kunci.

    2. Penyedia teknologi dalam proyek putarkunci wajib melakukan alih teknologi ke-pada pihak domestik.

    3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penga-daan Teknologi Industri melalui proyekputar kunci sebagaimana dimaksud padaayat (1) diatur dengan Peraturan Presi-den.

    4. Penyedia teknologi dalam proyek putarkunci yang tidak melakukan alih tekno-logi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)dikenai sanksi administratif berupa :a. peringatan tertulis;b. denda administratif; dan/atauc. penghentian sementara.

    5. Ketentuan mengenai tata cara penge-naan sanksi administratif dan besaran

    denda administratif sebagaimana dimak-sud pada ayat (4) diatur dalam PeraturanPemerintah.

    Proyek putar kunci atau yang lebih di-kenal dengan istilah turnkey project  meru-pakan salah satu mekanisme alih teknologiberupa pengadaan teknologi dengan caramembeli suatu proyek teknologi secara leng-kap yang dimulai dari pengkajian (asesmen),rancang bangun dan perekayasaan, imple-mentasi (pengoperasian), dan penyerahan

    dalam kondisi siap digunakan. Ketika Indo-nesia dalam keadaan mendesak, Pemerintahdapat mewajibkan bagi penyedia teknologiproyek putar kunci untuk melakukan alihteknologi kepada pihak dalam negeri. Peme-rintah dapat mengadakan perjanjian penga-daan teknologi melalui proyek putar kunciini, ketika di dalam negeri terjadi keadaandimana kebutuhan pembangunan industrisangat mendesak namun teknologi yang adabelum dapat dikuasai baik secara desain, pe-

    rekayasaan, pengadaan, dan pembangunan(engineering, procurement, construction).

  • 8/15/2019 ipi173661

    8/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    23          

    Keadaan mendesak seperti inilah yang kemu-dian menjadi alasan bagi pemerintah untukmewajibkan bagi penyedia teknologi proyekputar kunci untuk melakukan alih teknologikepada pihak dalam negeri.

    Peran konsultan Hak Kekayaan Inte-lektual dalam pelaksanaan alih teknologimelalui perjanjian lisensi paten sangatlahdibutuhkan. Peran konsultan Hak KekayaanIntelektual yang mewakili para pemegang pa-ten di dalam negeri dan di luar negeri adalahdengan melakukan sosialisasi kepada ma-syarakat akan manfaat perlindungan patensehingga jumlah pemohon paten menjadimeningkat serta turut pula mensosialisasikanterkait penegakan hukumnya. Diharapkan,

    peran konsultan Hak Kekayaan Intelektualtidak hanya lebih diorientasikan pada pen-daftaran Hak Kekayaan Intelektual saja tetapi

     juga pada pencatatan lisensi pada Direktorat Jenderal.

    e. Urgensi Pengaturan Khusus tentangLisensi Paten di Bidang Alih Teknologipada Perusahaan Joint Venture

    Seperti yang telah dijelaskan sebelum-nya, bahwa meskipun United Nations Centre

    on Transnational Corporations (UNCTC) telahmembagi 9 (sembilan) cara atau sarana da-lam rangka melakukan alih teknologi, namunsecara garis besar sarana alih teknologi dapatdilakukan melalui penanaman modal secaralangsung dan melalui perjanjian lisensi. Se-hingga alangkah baiknya apabila kedua sa-rana tersebut dapat diselenggarakan secaraberimbang.

    Hasil penelitian Jean Raymond Home-re yang ditulis oleh Purba (2011) mengung-

    kapkan bahwa pada negara-negara berkem-bang seperti di daerah Sub Sahara dan EropaTimur yang sudah memiliki sistem Hak Ke-kayaan Intelektual yang ketat, tetapi merekahanya mengundang sedikit investasi asing,sehingga potensi alih teknologinya pun jugarendah. Hal sebaliknya terjadi pada negaraCina, Brazil, Argentina dan Thailand yangberhasil memikat banyak penanaman modalasing tetapi sistem Hak Kekayaan Intelektual-nya masih lemah.

    Sementara hasil penelitian J. LukeWigley yang ditulis oleh Purba (2011) men-

    gungkapkan bahwa investasi perusahaan-pe-rusahaan transnasional di Thailand atau In-donesia sebagai negara-negara berkembangbukan karena mereka mau memperkenalkanteknologi baru, tetapi semata-mata untukmengejar buruh murah, wilayah yang tidakketat aturan lingkungannya dan keuntunganlain yang tidak berurusan langsung dengankepentingan pembangunan di negara-negaraberkembang itu.

    Sebagai gambaran, bagaimana cara Pe-merintah Cina dalam menyelenggarakan per-lindungan paten dan alih teknologi di nega-ranya, selain memasukkan ketentuan untukkepentingan negara dalam Undang-UndangHak Kekayaan Intelektual, Pemerintah Cina

     juga memberikan syarat kepada pemodalasing yang menanamkan modalnya di nega-ra Cina untuk melakukan alih teknologi. Bagipemodal asing yang memenuhi syarat terse-but dan dapat diterapkan sampai pada ting-kat dasar, akan diberikan insentif dan fasilitasyang sangat bagus.

    Cina juga memberikan toleransi ter-hadap tindakan pelanggaran Hak Keka-yaan Intelektual khususnya paten sepanjangdianggap akan mampu mendorong warga

    negara atau perusahaan nasional menguasaidan mengembangkan ilmu pengetahuan danteknologi. Pada posisi ini, Pemerintah Cinamenerapkan politik dua muka, yakni di satusisi memberikan toleransi yang cukup kepadapelanggar Hak Kekayaan Intelektual namundi sisi lain melakukan penindakan terhadappelaku pelanggar Hak Kekayaan Intelektual(Candra Irawan yang dikutip oleh BPHN da-lam Naskah Akademik Undang-Undang Pa-ten atas perubahan Undang-Undang No. 14

    Tahun 2001 tentang Paten).Toleransi yang diberikan oleh Peme-rintah Cina terhadap pelanggaran Hak Keka-yaan Intelektual tentunya mendapat sorotantajam dari dunia. Hal ini karena daya kreasiyang mereka kembangkan bukan semata-mata untuk menciptakan barang atau invensibaru, tetapi dengan meniru karya orang lain.Mereka hanya melakukan perubahan sedikitatau memakai bahan baku lain yang sesuaidengan aslinya, dengan demikian merekatidak bisa dituntut sebagai pencuri Hak Ke-kayaan Intelektual yang dimiliki oleh orang

  • 8/15/2019 ipi173661

    9/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    24 

    lain. Mereka menyadari bahwa alih teknologibukanlah sesuatu yang murah dan mudah,sehingga dengan alasan untuk pengemban-gan ilmu pengetahuan dan teknologi, tin-

    dakan pelanggaran terhadap Hak KekayaanIntelektual dianggap sesuatu yang wajar olehPemerintah Cina.

    Sekalipun Cina telah mengenal Un-dang-Undang Hak Kekayaan Intelektual se-menjak tahun 1840-an, tetapi PemerintahCina tidak terburu-buru menjadi anggotaWorld Trade Organization  (WTO) dan/ataumeratifikasi TRIPs  Agreement, sebelum me-nyiapkan diri dan dipandang mampu ber-saing dengan Hak Kekayaan Intelektual yangdimiliki oleh negara-negara maju. Pemerin-tah Cina menyiapkan dirinya dengan carameningkatkan penguasaan terhadap ilmupengetahuan dan teknologi serta kemandi-rian ekonomi. Sehingga, dengan sendirinyapendaftaran paten lebih banyak berasal daripendaftar dalam negeri dibandingkan den-gan pendaftar dari luar negeri.

    Sudah saatnya Indonesia mulai ber-benah dengan melakukan manuver peruba-han baik dari segi peraturan perundang-un-dangannya maupun praktik penyelenggaraan

    paten dan alih teknologinya terutama melaluikegiatan joint venture. Menganalisis mekanis-me alih teknologi yang terdapat pada Pasal10 ayat (3) Undang-Undang No. 25 Tahun2007 tentang Penanaman Modal dan Pasal17 Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 ten-tang Paten, maka akan didapatkan bahwa ke-giatan  joint venture yang diharapkan terjadialih teknologi, pada praktiknya menimbulkankeuntungan dan kerugian bagi Indonesia.Keuntungan pelaksanaan  joint venture yang

    diperoleh oleh Indonesia sebagai berikut :1. Mitra lokal atau perusahaan dalam ne-geri, mendapatkan bantuan pendanaandengan memanfaatkan modal asing.

    2. Mitra lokal atau perusahaan dalam ne-geri, dapat memanfaatkan kemampuanmanajemen asing yang penuh denganpengalaman.

    3. Mitra lokal atau perusahaan dalam ne-geri, dapat meningkatkan kemampuankaryawan dalam negeri dengan adanya

    training (keterampilan) yang diberikanoleh mitra asing atau perusahaan asing-

    nya.4. Mitra lokal atau perusahaan dalam ne-

    geri, dapat menerima alih teknologi darimitra asing atau perusahaan asingnya.

    Kerugian pelaksanaan  joint ventureyang diperoleh oleh Indonesia sebagai beri-kut :1. Manajemen tidak dapat dikuasai secara

    penuh oleh mitra lokal atau perusahaandalam negeri karena harus dibagi den-gan pihak asing sebagai pihak yang lebihmempunyai kemampuan.

    2. Training dan manajemen yang diberikanoleh mitra asing atau perusahaan asing-nya belum tentu diberikan secara opti-mal dalam batas-batas kemampuan yang

    memadai untuk standar asing.3. Alih teknologi dari mitra asing atau peru-

    sahaan asingnya mungkin dilakukan da-lam ukuran yang kurang optimal. Selainitu, hasil-hasil dari penelitian dan pen-gembangan tidak akan seluruhnya dibe-rikan dalam kegiatan joint venture.

    Selain merenungkan keuntungan dankerugian kegiatan joint venture dalam keter-kaitannya dengan alih teknologi, PemerintahIndonesia juga tidak perlu mengikuti cara Pe-

    merintah Cina dengan memberikan toleransiuntuk menjadi ‘pencuri’ Hak Kekayaan Inte-lektual dengan alasan demi melejitkan ilmupengetahuan dan teknologi. Meskipun se-benarnya Pemerintah Indonesia dapat men-gikuti cara Pemerintah Cina tersebut, yangdidasarkan pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang No 14 Tahun 2001 tentang Patenmengenai fungsi sosial paten dimana hakeksklusif dapat dikecualikan apabila pema-kaian paten untuk kepentingan pendidikan,

    penelitian, percobaan, atau analisis sepan- jang tidak merugikan kepentingan yang wa- jar dari pemegang paten. Namun ketentuanmengenai fungsi sosial paten ini tidak dapatditerapkan secara semena-mena, karena te-tap dibatasi oleh pengakuan hak moral padapaten yang diatur dalam Pasal 68 Undang-Undang No 14 Tahun 2001 tentang Paten,dimana peralihan pemilikan paten tidakmenghapus hak inventor untuk tetap dican-tumkan nama dan identitas lainnya dalampaten yang bersangkutan.

    Hal yang perlu dilakukan oleh Peme-

  • 8/15/2019 ipi173661

    10/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    25          

    rintah Indonesia adalah dengan membentukpengaturan paten dan alih teknologi yang te-pat dan kuat, di samping terus memberikankebijakan berupa insentif dan kemudahanfasilitas untuk meningkatkan semangat pene-liti untuk terus menciptakan daya kreasi daninovasi, maka dengan sendirinya ilmu penge-tahuan dan teknologi akan berkembang den-gan pesat, yang ditandai dengan pendaftaranpaten lebih banyak dilakukan oleh pendaftardalam negeri daripada luar negeri.

    Oleh karenanya, dalam hal ini perlu di-renungkan kembali terhadap latar belakang,maksud dan tujuan yang termuat dalam Un-dang-Undang Paten yang ada saat ini. Selainmemberikan perlindungan hukum kepada

    para investor atau penemu atas hasil karya,inovasi dan daya kreasinya dalam sebuah in-vensi, tujuan diundangkannya Undang-Un-dang Paten adalah untuk meningkatkan danmempercepat penguasaan ilmu dan tekno-logi yang dibutuhkan dalam bidang industrioleh bangsa Indonesia.

    Melalui sistem Hak Kekayaan Intelektu-al yakni sistem paten yang tepat, diharapkanindustri beserta teknologinya dapat berkem-bang dengan pesat pula. Pada praktiknya,

    proses alih teknologi di Indonesia masih ter-kendala oleh belum adanya suatu pengatu-ran khusus mengenai alih teknologi, yakniPeraturan Pemerintah tentang lisensi patenyang telah diamanatkan dalam Undang-Un-dang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.

    Sumantoro (1993) dalam bukunyaMasalah Pengaturan Alih Teknologi men-gungkapkan bahwa untuk membentuk suatusistem Hak Kekayaan Intelektual yang kuat,setidaknya mengandung 3 (tiga) unsur yakni :

    Pejabat yang berwenang di negarapenerima teknologi, memiliki kualitas danmampu melaksanakan peraturan perundang-undangan atau kebijaksanaan di bidang ter-sebut secara efektif.

    Pengaturan yang ada di negara pene-rima teknologi, perlu fleksibel sehingga me-mungkinkan mengadakan perubahan ataupembahasan dengan cara cepat.

    Pihak pemberi teknologi asing harusbersedia mengisi kontrak alih teknologi ber-dasar peraturan perundang-undangan yangada di negara penerima teknologi.

    Berbarengan dengan pernyataan Su-mantoro tersebut, maka sesuai pula denganteori Lawrence M. Friedman bahwa sistemhukum merupakan suatu kesatuan hukum

    yang tersusun atas tiga unsur yakni struktur,substansi, dan budaya hukum. Membentuksistem hukum alih teknologi yang kuat dibu-tuhkan ketiga unsur tersebut untuk bekerjasecara bersama-sama.

    Unsur yang pertama adalah strukturhukum (legal structure) dalam proses alihteknologi melalui perjanjian lisensi. Padapraktiknya, pihak-pihak atau instansi-instansiterkait seperti Direktorat Paten, Direkto-rat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual tidakmengetahui berapa jumlah perusahaan yangmempunyai perjanjian lisensi paten. Selainitu, mereka juga tidak merasa mempuny-ai wewenang untuk menegakkan ketentu-an Pasal 72 Undang-Undang No. 14 Tahun2001 tentang Paten, karena tidak adanyalandasan hukum untuk bertindak. Landasanhukum yang dimaksudkan adalah PeraturanPemerintah tentang lisensi paten. Melalui Pe-raturan Pemerintah tentang lisensi paten, pe-merintah yang diwakili oleh Direktorat Patenmampu menjalankan tugasnya sebagai pen-

    gawas perjanjian lisensi paten, agar kedudu-kan antara licensor dan licensee berada padaposisi seimbang dan kewajiban alih teknologibenar-benar terlaksana.

    Oleh karenanya, Direktorat JenderalHak Kekayaan Intelektual yang dalam hal inidiwakili oleh Direktorat Paten selaku instansiyang berwenang untuk melakukan penca-tatan perjanjian lisensi paten yang dimulaisejak pemeriksaan terhadap permohonanpencatatan perjanjian lisensi paten hingga

    menerbitkan surat pencatatan perjanjian li-sensi paten tersebut, belum dapat menjalan-kan kewajibannya. Di sisi lain, jika perjanjianlisensi tidak dicatatkan maka perjanjian lisen-si tersebut tidak mempunyai akibat hukumterhadap pihak ketiga. Dengan kata lain, jikaperjanjian lisensi tersebut dicatatkan dan dikemudian hari terjadi sengketa yang melibat-kan pihak ketiga, maka Pengadilan sebagaiinstansi yang berwenang menangani seng-keta perjanjian lisensi paten tersebut. Selain

    kedua instansi tersebut, Kementerian Perin-dustrian, Kementerian Hukum dan Hak Asasi

  • 8/15/2019 ipi173661

    11/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    26 

    Manusia dan Badan Koordinasi PenanamanModal juga tidak dapat mendesak perus-ahaan penanaman modal asing untuk mela-kukan alih teknologi melalui perjanjian lisensi

    paten ini, jika Peraturan Pemerintah tentanglisensi paten tersebut belum diundangkan.Unsur yang kedua adalah substansi

    hukum (legal substance), sebenarnya penga-turan mengenai kewajiban alih teknologi te-lah banyak diatur dalam sejumlah peraturanperundang-undangan. Meskipun di dalamUndang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentangPaten tidak mengatur mengenai sanksi apabi-la tidak melakukan alih teknologi selain yangdiatur di dalam Pasal 72 ayat (2) dimana apa-bila perjanjian lisensi paten tersebut tidak di-catatkan pada Direktorat Jenderal maka tidakmempunyai akibat hukum bagi pihak ketiga,kini di dalam Pasal 39 Undang-Undang No.3 Tahun 2014 tentang Perindustrian telahdiatur sedemikian rupa agar dapat memak-sa adanya alih teknologi, dimana disebutkanbahwa penyedia teknologi dalam proyekputar kunci yang tidak melakukan alih tek-nologi dikenai sanksi administratif berupaperingatan tertulis; denda administratif; dan/ atau penghentian sementara. Pemerintah da-

    pat menjalankan fungsi eksekutifnya kepadapara penyedia teknologi pada proyek putarkunci yang tidak melakukan alih teknologidengan dikenai sanksi administratif berupaperingatan tertulis, denda administratif, dan/ atau penghentian sementara. Adanya sanksiadministratif ini bertujuan agar penyedia tek-nologi pada proyek putar kunci benar-benarmelakukan alih teknologi kepada pihak na-sional atau dalam negeri.

    Pembahasan alih teknologi melalui

    perjanjian lisensi paten difokuskan pada pen-gaturan tentang sarana atau cara melakukanalih teknologi melalui lisensi paten. Sehinggabisa saja dalam hal tidak dicatatkannya per-

     janjian lisensi paten tentang alih teknologi,dikenai sanksi administratif berupa peringa-tan tertulis; denda administratif; dan/ataupenghentian sementara. Tujuannya agar parapihak tidak memanfaatkan asas kebebasanberkontrak untuk tidak mendaftarkan per-

     janjian lisensi patennya meskipun di dalam

    Undang-Undang Paten telah menegaskanbahwa perjanjian lisensi yang tidak dicatat-

    kan maka tidak mempunyai akibat hukumbagi pihak ketiga.

    Permasalahannya adalah sudah 13 (tigabelas) tahun sejak Undang-Undang Paten

    diundangkan sampai pada tahun 2014 ini,aturan penjelas berupa Peraturan Pemerin-tah seperti yang diamanatkan dalam Pasal 73Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentangPaten belum ada. Kalaupun sudah ada, ma-sih dalam tahap Draf Rancangan PeraturanPemerintah yang masih berhenti di Kemente-rian Hukum dan Hak Asasi Manusia RepublikIndonesia. Padahal dengan adanya PeraturanPemerintah tentang lisensi paten tersebutakan lebih mempertajam lagi kewajiban un-tuk melakukan alih teknologi bagi para pihak.Namun lagi-lagi, bangsa Indonesia harus me-nunggu lahirnya landasan hukum mengenaialih teknologi melalui perjanjian lisensi patentersebut, karena ketentuan tentang pencata-tan perjanjian lisensi paten akan diatur lebihlanjut dalam Peraturan Menteri.

    Kebijakan alih teknologi pada dasar-nya dipengaruhi pula oleh produk peraturanperundang-undangan tentang teknologi danalih teknologi yang dimiliki oleh negara ter-sebut. Susilowati (2005) berpendapat bahwa

    hal ini tidak terlepas dari kemauan politik( political will) Pemerintah yang sangat kuat,khususnya bagi mereka yang berpendapatbahwa kebijakan pengembangan teknolo-gi dan alih teknologi merupakan landasanuntuk kemajuan ekonomi suatu negara. Di-rektorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektu-al yang diwakili oleh Direktorat Paten telahberupaya mendorong dan menjadi peloporterbentuknya Peraturan Pemerintah tentangLisensi Paten dan Lisensi Wajib, dengan isi

    dari substansi draf Peraturan Pemerintah ter-sebut sudah menyeimbangkan bargaining position pemerintah dan masyarakat bisnis.Kini tinggallah kemauan politik ( political will)Kementerian Hukum dan Hak Asasi ManusiaRepublik Indonesia untuk mengajukan drafPeraturan Pemerintah ini kepada Presidenmelalui Sekretaris Negara. Berikut adalahtabel perbandingan kebijakan alih teknologidan kontrak alih teknologi di negara-negara

     Asia (Susilowati 2005) :

    Kiranya Indonesia perlu belajar dari ne-gara-negara lain di Asia untuk mewujudkan

  • 8/15/2019 ipi173661

    12/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    27          

    Tabel 2. Perbandingan kebijakan alih teknologi dan kontrak alih teknologidi negara-negara Asia

    No. Negara Kebijakan Alih Teknologi Kontrak Alih Teknologi1. Malaysia Teknologi sebagai faktor yang sangat

    vital pada pembangunan sektor in-

    dustri, dilakukan melalui kebijakanekonomi baru yang diberikan padasektor swasta

    Undang-undang untuk menjalankanindustri :Investment Incentive Act (1968)Industrial Coordination Act (1975)

    Diuraikan secara rinci tentang teknolo-gi yang diperjanjikan.

     Adanya kemudahan dari pemilikteknologi, mencakup informasi muta-hir.Royalty  berupa : fixed lumpsum feeatau running royalty .Periode perpanjangan ditentukan 5 ta-hun, harus sepengetahuan pemerintah.Paten yang digunakan sesudah habismasa berlaku adalah milik umum.

    2. India Teknologi perlu dikembangkanuntuk dapat swa sembada denganmemanfaatkan sumber daya nasi-onal. Tujuan untuk menyediakan la-pangan pekerjaan mengembangkan

    teknologi, meningkatkan produksi,memanfaatkan kemampuan untukberkompetisi.

    Pemerintah menunjang segala usahapengembangan teknologi, diben-tuk mekanisme pengawasan untukmengamankan kepentingan nasionalyang tunduk pada perlindunganinternasional yaitu Peraturan HakMilik Industri

    Kontrak PMA dengan pengawasanpemerintah.Kontrak harus diawali dengan infor-masi teknologi yang cukup jelas dalamrangka menentukan pilihan teknologi

    tepat guna.Upaya peningkatan produk melaluikontrak lisensi paten, pemerintah ikutcampur.

    Pemerintah menerapkan sistem kon-trak alih teknologi dan memberikanpengawasan pada bidang monitoring,penilaian dan bimbingan teknologi,perolehan, penyerapan, pemanfaatandan memperhatikan kepentingan pri-oritas nasional.

    Diatur dengan kebijakan teknologisesuai dengan pencapaian tujuanteknologi secara menyeluruh.

    3. Korea Kebijakan tentang perdagangandiatur pada The Korean ComercialCode dan tentang teknologi diaturpada Foreign Capital InducementLaw (FCIL), yang bertujuan untukmeningkatkan industri dan lajuperkembangan ekonomi.

    Memprioritaskan research & devel-opment (R & D).Dukungan pemerintah sangat besarbaik di bidang finansial maupuninstitusional.

    Mengusahakan terciptanya iklimyang menunjang investasi asing.Sumber daya manusia diutamakandalam rangka memanfaatkanteknologi asing.

    Kontrak lisensi diawasi secara ketatoleh pemerintah.Klausula-klausula kontrak dari pemilikteknologi sangat membebani penerimateknologi akan tetapi dapat digunakansebagai perangsang untuk segeramampu menyerap dan menguasaiprinsip teknologi impor.Klausula kontrak cenderung lebihpanjang, alasannya (1) teknologi yangdiimpor adalah jenis teknologi kunciyang butuh poses penyesuaian lebihlama; (2) kemampuan untuk bernego-

    siasi; (3) impor teknologi cenderungbersifat memaksakan kehendak daripemilik teknologi.

    Syarat kontrak teknologi dari pemi-lik teknologi lebih diperketat setelahsumber daya manusianya dipersiapkansecara matang.Dari survey yang dilakukan pada 300perusahaan domestik, telah berhasilmengembangkan kualitas produksinya.60% dari perusahaan tersebut telahmampu bersaing di pasar internasional.

  • 8/15/2019 ipi173661

    13/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    28 

    4. Thailand Kebijaksanaan PMA diatur pada (1)The Alien Business Law Decree281;(2) Investment Promotion Act.B.E.2520

    Perusahaan bebas membuat kontrakuntuk memperoleh teknologi.

    Meningkatkan posisi tawar pihakdomestik, dilakukan dengan cara(1) pembatasan bisnis dari pemi-lik teknologi tidak diberlakukan;(2) membentuk unit lawyer untukmendampingi pembuatan kontrak;(3) pemerintah menyediakan infor-masi teknologiKebijakan teknologi diawasi melaluiBank of Thailand

    Wewenang Bank of Thailand berkai-tan dengan pembayaran devisasehingga terdaftar perusahaan-pe-rusahaan yang mencantumkan pen-giriman biaya atau upah teknologipada pemilik teknologi setiap tahun.

    Kontrak lisensi paten diatur secarakontraktualBebas untuk mengadakan kontraklisensi dengan negara manapun dantidak diawasi oleh pemerintah

     Jangka waktu kontrak melebihi 10tahun sehingga biaya teknologi sangattinggi.Pada kontrak ditentukan secara ketattentang pembatasan pada pemilikteknologi, di antaranya (1) laranganekspor total atau hanya diberi we-wenang pada pasar tertentu saja; (2)penerima teknologi harus membelibahan baku dari pemilik teknologi;(3) pemilik teknologi berusaha untukselalu mengontrol volume, arah dansaluran perdagangan komoditi dansecara efektif menciptakan jaringanpemasaran sendiri; (4) pembatasanterhadap alih teknologi; (5) laranganpenggunaan know how ; (6) produksidan penjualan berhenti setelah kontrakselesai; (7) dilarang mengalihkanteknologi secara sublisensi pada pihakketiga.

    5. Indonesia Kebijakan teknologi diatur di dalamUU PMA, UU PMDN, UU Perindus-trian, dan UU Paten.Khusus tentang teknologi dan alihteknologi belum ada pengaturansecara formal.

     Adanya pembatasan yang sangatketat oleh licensor atas teknologiyang digunakan oleh licensee.Pada kontrak yang diadakan, pihaklicensee lebih menitik beratkan padakebutuhan teknologi sedangkanpada pelaksanaan kontrak, licensormempunyai kekuatan dan kekua-saan pada bisnis yang dominan.

    Pemerintah harus mengawasi secaraketat kontrak teknologi melaluikebijakan-kebijakan untuk lebih me-nyeimbangkan keuntungan antarapemilik dan penerima teknologi.Meninjau kembali UU PMA danPMDN dengan Pasal-Pasal yanglebih produktif dan prospektif bagipengembangan teknologi Indonesia.

    Kontrak dibuat atas dasar Pasal1338, 1339, 1320 KUH Perdata danUndang-Undang No. 14 Tahun 2001tentang Paten.Kontrak alih teknologi dibuat antara li-censor dan licensee tanpa pengawasanpihak pemerintah,Kontrak dibuat atas dasar perancangankontrak sepihak oleh licensor.Dicantumkan hak dan kewajibanmasing-masing.Kontrak meliputi jaminan yang diberi-kan oleh pemilik teknologi.Licensee dapat menerima hak untukmemproduksi, memakai merek da-gang, dan memasarkan produk kecualidiperjanjikan lain.Kontrak lisensi harus didaftarkan padaDirjen HKI, tetapi belum ada aturanpelaksanaannya. Sehingga sampai saatini tidak ada pengawasan dari pemer-intah.

    Mengingat sangat pentingnya penga-wasan pemerintah pada kontrak alihteknologi maka perlu segera diaturtentang aturan pelaksanaanya.

     Alasan utama karena pemerintahpemegang kunci keberhasilan alihteknologi di samping kemauan ma-syarakat untuk meningkatkan sumberdaya yang dimiliki, baik sumber dayaalam maupun sumber daya manu-sianya.

  • 8/15/2019 ipi173661

    14/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    29          

    kemandirian perekonomian yang bersum-ber dari ilmu pengetahuan dan teknologi.Negara-negara tersebut sangat ketat dalammengatur teknologi dan alih teknologi yang

    masuk ke negaranya, karena pemerintah tu-rut mengawasi perjanjian lisensi dan merekatelah mempunyai undang-undang khususyang mengatur teknologi dan alih teknologi.Hal inilah yang belum terdapat di Indonesia,maka melalui sistem Hak Kekayaan Intelektu-al yakni sistem paten yang tepat, diharapkanindustri beserta teknologi di Indonesia dapatberkembang dengan pesat pula.

    Terakhir adalah unsur budaya hukumatau legal culture. Mengenai budaya hukumpara pihak dalam perusahaan penanamanmodal asing berdasarkan hasil penelitianSuteki, partner nasional pada beberapa pe-rusahaan yang telah diteliti oleh Suteki tidakpernah mempermasalahkan apakah patenyang dilisensikan tersebut masih berlakuataukah tidak. Beberapa perusahaan mem-punyai persepsi yang sama terhadap masaberlakunya lisensi paten. Pada akhirnya, jang-ka waktu perjanjian lisensi dapat berlangsungselama 10 tahun atau 20 tahun dan dapatpula dilakukan adendum sesuai kesepakatan

    para pihak. Sehingga dapat disimpulkan bah-wa persepsi para pihak dalam perusahaanpenanaman modal asing khususnya partnernasional mengenai jangka waktu perjanjianlisensi paten, bertentangan dengan ketentu-an undang-undang.

    Selain itu, persepsi para pihak dalamperusahaan penanaman modal asing men-genai asas kebebasan berkontrak dalammembuat perjanjian lisensi paten, pada ak-hirnya terdapat kemungkinan bahwa perjan-

     jian lisensi paten tersebut tidak didaftarkanpada Direktorat Jenderal. Tidak hanya itu,licensor dan licensee dapat mencantumkanklausula yang masih dapat mengikat pihakketiga yakni apabila terjadi sengketa denganpihak ketiga maka dapat diselesaikan sesuaidengan kesepakatan yang telah dibuat olehlicensor dan licensee. Pada akhirnya, keten-tuan dalam Pasal 72 ayat (2) Undang-UndangNo. 14 Tahun 2001 tentang Paten beradadalam posisi yang lemah dalam pandangan

    licensor dan licensee.Oleh karenanya, diperlukan pemba-

    tasan terhadap asas kebebasan berkontrak. Asas itikad baik harus diterapkan pula da-lam pembuatan dan pelaksanaan perjanjianlisensi paten, sebagaimana yang ditentukan

    oleh Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, den-gan tujuan agar bargaining position licensordan licensee seimbang dan tidak bertentan-gan dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku. Pemerintah pun dapat menga-wasi perjanjian lisensi paten ini, setidaknyamelalui substansi hukum yang ada nantinya,mengatur mengenai sanksi tegas lainnya apa-bila perjanjian lisensi paten tersebut tidaktercatat seperti sanksi administratif berupaperingatan tertulis; denda administratif; dan/ atau penghentian sementara, seperti yangtelah diterapkan pada Pasal 39 Undang-Un-dang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustri-an.

    Pentingnya budaya hukum untukmendukung terciptanya sistem hukum yangkuat, sebagaimana yang disampaikan olehLawrence M Friedman bahwa substansi danstruktur saja tidak cukup untuk berjalannyasuatu sistem hukum. Namun dalam konteksini, budaya hukum dan struktur hukum tidakdapat terwujud sesuai cita-cita dan tujuan

    alih teknologi apabila substansi hukumnyasaja belum ada. Ketika sistem hukum denganketiga unsurnya telah berjalan, maka dengansendirinya fungsi hukum dalam PeraturanPemerintah tentang Lisensi Paten dan LisensiWajib dapat terlihat. Fungsi hukum yang rele-van dalam hal ini adalah fungsi hukum seba-gai penyelesaian konflik, fungsi hukum seba-gai kontrol sosial, dan fungsi hukum sebagaisarana untuk rekayasa sosial.

    Fungsi hukum sebagai penyelesaian

    konflik dalam proses alih teknologi didasar-kan pada perjanjian lisensi yang dibuat olehpara pihak. Perjanjian lisensi yang dicatatkanpada Direktorat Jenderal akan menimbulkanakibat hukum bagi pihak ketiga. Di sinilahfungsi hukum sebagai penyelesaian konflik,melalui proses litigasi, Pengadilan dapat ber-peran jika dibutuhkan oleh para pihak untukmenegakkan hukum apabila terdapat seng-keta atau konflik dengan pihak ketiga.

    Fungsi hukum sebagai kontrol sosial

    dalam proses alih teknologi melalui perjan- jian lisensi didasarkan pada moral dengan

  • 8/15/2019 ipi173661

    15/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    30 

    mendasarkan pada kesepakatan, asas kebe-basan berkontrak, dan asas itikad baik daripara pihak yang membuat perjanjian lisensialih teknologi. Jika sebelum adanya pengatu-

    ran khusus tentang perjanjian lisensi dimung-kinkan kesepakatan yang dibuat oleh para pi-hak berada pada posisi yang tidak seimbang,mengingat pihak licensor memiliki bargaining

     position yang kuat sebagai pemilik teknologi,namun keadaan ini tidak lagi terjadi ketikaPeraturan Pemerintah tentang Lisensi Patendan Lisensi Wajib diundangkan nantinya.Hal ini karena, dalam peraturan pemerintahtersebut telah memuat pembatasan-pemba-tasan yang lebih jelas mengenai perjanjianlisensi tidak boleh memuat ketentuan, baiklangsung maupun tidak langsung yang dapatmerugikan perekonomian Indonesia ataumemuat pembatasan yang menghambatkemampuan bangsa Indonesia dalam men-guasai dan mengembangkan teknologi padaumumnya dan yang berkaitan dengan inven-si yang diberi Paten tersebut pada khususnya.Sehingga, licensor  tidak lagi bisa berprinsipsemata-mata hanya mengejar kepentinganekonomi saja.

    Fungsi hukum lainnya dalam proses

    alih teknologi adalah sebagai sarana untukmelakukan rekayasa sosial. Fungsi hukum inimelibatkan penggunaan peraturan-peraturanyang dibuat oleh pihak legislatif untuk me-nimbulkan akibat-akibat yang dilakukan olehpara pihak dalam perusahaan penanamanmodal asing dan juga pemerintah. PeraturanPemerintah tentang Lisensi Paten dan LisensiWajib dapat berfungsi sebagai alat rekayasauntuk merealisasikan alih teknologi melaluiperjanjian lisensi.

    Pembentukan Peraturan Pemerin-tah tentang Lisensi Paten dan Lisensi Wajib,berkaitan erat dengan politik pembentukanhukum pasca Amandemen Undang-UndangDasar 1945. Bahkan menurut Hans Kelsen(2007:163 dalam artikel Darwin Botutihe)mengatakan pembentukan hukum adalahrangkaian awal dari penegakkan hukum yangsangat penting untuk diperhatikan. Pasal 20ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telahmengatur bahwa Dewan Perwakilan Rakyat

    (DPR) memegang kekuasaan untuk mem-bentuk undang-undang. Memperhatikan

    Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 ini,pembentuk hukum di Indonesia dipegangoleh DPR. Hanya saja, kekuasaan DPR dalammembentuk hukum tidak dapat dikerjakan

    secara mandiri melainkan harus bersama-sama dengan Presiden.Sistem hukum dan fungsi hukum men-

    genai alih teknologi melalui perjanjian lisensipaten tidak akan berjalan jika legislatif tidaksegera menjalankan kekuasaannya untukmembentuk hukum, padahal kemandirianperekonomian suatu bangsa ditunjang olehaspek ilmu pengetahuan dan teknologi, pe-nanaman modal langsung (direct investment)dan ketahanan sistem Hak Kekayaan Intelek-tual yang dimiliki oleh negara tersebut.

    4. Simpulan

    Dasar hukum alih teknologi mela-lui perjanjian lisensi paten diatur di dalamPasal 69-73 Undang-Undang No. 14 Tahun2001 tentang Paten, namun ketentuan inimasih belum sempurna dikarenakan belumadanya Peraturan Pemerintah tentang Li-sensi Paten dan Lisensi Wajib seperti yangdiamanahkan di dalam Pasal 73 Undang-

    Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.Sehingga, selama tahun 2001 hingga tahun2013, Direktorat Jenderal belum melaku-kan pencatatan terhadap perjanjian lisensipaten. Hal ini disebabkan pengaturan lebihdetail terkait pencatatan lisensi paten sepertibentuk formulir, biaya pendaftaran, dan per-syaratannya, diatur lebih detail pada Pera-turan Pemerintah tentang Lisensi Paten danLisensi Wajib. Kebijakan alih teknologi padadasarnya dipengaruhi oleh produk peraturan

    perundang-undangan tentang teknologi danalih teknologi yang dimiliki oleh negara ter-sebut. Kiranya Indonesia perlu belajar darinegara-negara lain di Asia, negara-negara ter-sebut sangat ketat dalam mengatur teknologidan alih teknologi yang masuk ke negaranya,karena Pemerintah turut mengawasi perjan-

     jian lisensi dan mereka telah mempunyaiundang-undang khusus yang mengatur tek-nologi dan alih teknologi, hal inilah yang be-lum terdapat di Indonesia. Melalui Peraturan

    Pemerintah tentang lisensi paten, Pemerintahmampu menjalankan tugasnya sebagai pen-

  • 8/15/2019 ipi173661

    16/16

    Pandecta. Volume 9. Nomor 1. Januari 2014

    31          

    gawas perjanjian lisensi paten, agar kedudu-kan antara licensor dan licensee berada padaposisi seimbang dan kewajiban alih teknologibenar-benar terlaksana.

    Ucapan Terima Kasih

    Terimakasih penulis sampaikan kepadaIbu Waspiah, S.H., M.H, yang telah mem-berikan masukan dalam proses penelitian.Demikian juga terimakasih, penulis sampai-kan kepada bapak Saru Arifin, S.H., L.L.M,yang juga memberikan masukan dan kritikdalam penulisan artikel ini. Selain itu, penulis

     juga menyampaikan terimakasih kepada Dr.Sabartua Tampubolon, S.H., M.H., sebagaiResponden di Kementerian Riset dan Tekno-logi Republik Indonesia. Terimakasih kepada

     Aris Ideanto, S.H., M.H., Responden di Di-rektorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,Kementerian Hukum dan Hak Asasi ManusiaRepublik Indonesia, dan terakhir terimakasih

     juga penulis sampaikan kepada Gatot Suby-argo Wijayadi S.H., M.H, Responden di Ba-dan Koordinasi Penanaman Modal RepublikIndonesia.

    Daftar Pustaka

    BPHN. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang

    tentang Paten atas Perubahan Undang-Undang

    No. 14 Tahun 2001 tentang Paten

    Hartono, S. 1974. Masalah-Masalah dalam Joint Ven-

    ture antara Modal Asing dan Modal Indonesia.

    PT. Alumni. Bandung 

    Ilmar, A. 2006. Hukum Penanaman Modal di Indonesia.

    Kencana. Jakarta

    Maulana, I.B. 1996. Lisensi Paten. Citra Aditya Bakti.

    Bandung 

    Purba, A.Z.U. 2011. Perjanjian TRIPs dan Beberapa Isu

    Strategis. PT. Alumni. Bandung 

    Soekanto, S. 1986. Pengantar Penelitian Hukum.  UI-

    Pres. Jakarta

    Suherman, A.M. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem

    Hukum. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta

    Sumantoro. 1984. Bunga Rampai Permasalahan Pena-

    naman Modal dan Pasar Modal (Problems of In-

    vestment in Equities in Securities). Bina Cipta.

     Jakarta

    Susilowati, E. 2007. Kontrak Alih Teknologi pada Indus-

    tri Manufaktur. Genta Press. Yogyakarta

    Suteki. 2013. Hukum dan Alih Teknologi (Sebuah Pergu-

    latan Sosiologis). Thafa Media. Yogyakarta

    Tampubolon, S. 2013. Politik Hukum Iptek di Indone-

     sia. Kepel Press. Yogyakarta

    UNCTC. 1987. Transnational Coorporations and Tech-

    nology Transfer: Effects ad Policy Issues. United

    Nations.