52
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia pada hakekatnya mendambakan hidup sehat sejahtera lahir dan batin. Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, di samping kebutuhan akan sandang, pangan, papan dan pendidikan, karena hanya dengan kondisi kesehatan yang baik serta tubuh yang prima manusia dapat melaksanakan proses kehidupan untuk tumbuh dan berkembang menjalankan segala aktivitas hidup. Maka tidak terlalu berlebihan jika ada slogan “Kesehatan memang bukan segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan anda tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan segala- galanya itu mungkin akan sirna” (Katno & Pramono, 2008). Sejak jaman dahulu, manusia sangat mengandalkan lingkungan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai contohnya adalah untuk makan, tempat berteduh, pakaian, obat, pupuk bahkan untuk kecantikan dapat diperoleh dari lingkungan. Dalam hal penggunaan bahan alam sebagai obat, bangsa Indonesia telah lama menggunakan berbagai jenis tanaman untuk obat. Penggunaan obat tradisional dan tanaman obat semakin meningkat, terlebih dengan adanya isu back to 1

Isi Laporan Herbal b3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Isi Laporan Herbal b3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia pada hakekatnya mendambakan hidup sehat sejahtera

lahir dan batin. Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, di

samping kebutuhan akan sandang, pangan, papan dan pendidikan, karena

hanya dengan kondisi kesehatan yang baik serta tubuh yang prima manusia

dapat melaksanakan proses kehidupan untuk tumbuh dan berkembang

menjalankan segala aktivitas hidup. Maka tidak terlalu berlebihan jika ada

slogan “Kesehatan memang bukan segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan

anda tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan segala-galanya itu mungkin akan

sirna” (Katno & Pramono, 2008).

Sejak jaman dahulu, manusia sangat mengandalkan lingkungan

sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai contohnya adalah untuk

makan, tempat berteduh, pakaian, obat, pupuk bahkan untuk kecantikan dapat

diperoleh dari lingkungan. Dalam hal penggunaan bahan alam sebagai obat,

bangsa Indonesia telah lama menggunakan berbagai jenis tanaman untuk obat.

Penggunaan obat tradisional dan tanaman obat semakin meningkat, terlebih

dengan adanya isu back to nature dalam usaha mewujudkan progam Indonesia

Sehat 2010. Obat tradisional ini banyak digunakan masyarakat menengah ke

bawah terutama dalam upaya preventif, promotif dan rehabilitatif (Katno &

Pramono, 2008). Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman

daripada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena penggunaan obat

tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dibandingkan obat

modern (Sari, 2006).

Adapun yang dimaksud dengan obat tradisional adalah obat jadi atau

ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan

galenik atau campuran bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah

digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Pada kenyataannya

bahan obat alam yang berasal dari tumbuhan porsinya lebih besar

1

Page 2: Isi Laporan Herbal b3

dibandingkan yang berasal dari hewan atau mineral, sehingga sebutan obat

tradisional (OT) hampir selalu identik dengan tanaman obat (TO) karena

sebagian besar OT berasal dari TO (Katno & Pramono., 2008).

Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, memiliki

keanekaragaman obat tradisional yang dibuat dari bahan-bahan alami bumi

Indonesia, termasuk tanaman obat. Indonesia yang dianugerahi kekayaan

keanekaragaman hayati tersebut, memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman

dan 940 spesies di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat atau digunakan

sebagai bahan obat. Keanekaragaman hayati Indonesia ini diperkirakan terkaya

kedua di dunia setelah Brazil dan terutama tersebar di masing-masing pulau-

pulau besar di Indonesia (Katno & Pramono, 2008).

Penggunaan tanaman obat di kalangan masyarakat sangat luas, mulai

untuk bahan penyedap hingga bahan baku industri obat-obatan dan kosmetika.

Namun, di dalam sistim pelayanan kesehatan masyarakat, kenyataannya peran

obat-obat alami belum sepenuhnya diakui, walaupun secara empiris manfaat

obat-obat alami tersebut telah terbukti. Sebagai salah satu contoh adalah

penggunaan jamu sebagai obat kuat, obat pegal linu, mempertahankan

keayuan, pereda sakit saat datang bulan dan lain-lain, menyiratkan penggunaan

jamu yang sangat luas di masyarakat. Memang disadari, bahwa produksi jamu

belum banyak tersentuh oleh hasil-hasil penelitian karena antara lain

disebabkan para produsen jamu pada umumnya masih berpegang teguh pada

ramuan yang diturunkan turun-temurun. Akibatnya, hingga saat ini obat

tradisional masih merupakan bahan pengobatan alternatif di samping obat

modern (Sari, 2006).

Dengan adanya krisis moneter yang melanda Indonesia dan berlanjut

menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan, berdampak pada melonjaknya

harga obat-obatan modern secara drastis oleh karena lebih dari 90% bahan

bakunya tergantung impor. Obat tradisional, yang merupakan potensi bangsa

Indonesia, oleh karena itu dapat ikut andil dalam memecahkan permasalahan

ini dan sekaligus memperoleh serta mendayagunakan kesempatan untuk

berperan sebagai unsur dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat,

2

Page 3: Isi Laporan Herbal b3

terlebih-lebih dengan adanya kebijakan Menteri Kesehatan RI tahun 1999

untuk mengembangkan dan memanfaatkan tanaman obat asli Indonesia untuk

kebutuhan farmasi di Indonesia (Wiryowidagdo, 2008).

Mengingat peluang obat-obat alami dalam mengambil bagian di dalam

sistem pelayanan kesehatan masyarakat cukup besar dan supaya dapat menjadi

unsur dalam sistem ini, obat alami perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat

memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan mutu (Wiryowidagdo, 2008).

Dokter dalam melakukan prakteknya terikat pada Undang-Undang

Kedokteran, bahwa dokter hanya menggunakan obat-obat yang sudah lulus

ujian klinik atas bukti ilmiah penelitiannya akan kebenaran keamanan, khasiat

dan mutunya yang sering disebut Evidence Based Medicine. Maka perlu

tindakan pendekatan antara terapi herbal dengan praktek kedokteran

konvensional oleh pemerintah yang bekerjasama dengan para ilmuwan terkait.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka Departemen Kesehatan mengeluarkan

Permenkes: (1) Nomor 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang Penyelenggaraan

Pengobatan Komplementer Alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan; (2)

Nomor 121/Menkes/Ski/2008 tentang standar pelayanan medik herbal; serta (3)

Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 tentang saintifikasi jamu dalam penelitian

berbasis pelayanan (Tim Pengobatan Komplementer Herbal FK UNS, 2010).

B. Tujuan

Setelah mengikuti praktikum lapangan di Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT)

Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, diharapkan mahasiswa mampu:

1. Menjelaskan lebih dalam mengenai manfaat penggunaan berbagai obat

tradisional yang ada di Indonesia sebagai salah satu metode pengobatan

komplementer yang dapat digunakan dalam dunia kedokteran.

2. Menjelaskan perbedaan antara jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.

3. Menjelaskan mengenai proses saintifikasi jamu.

3

Page 4: Isi Laporan Herbal b3

C. Manfaat

Dengan adanya praktikum dan pembuatan laporan ini, diharapkan

mahasiswa mampu menelaah lebih jauh mengenai penggunaan tanaman herbal

dalam pengobatan komplementer. Dengan demikian, nantinya mahasiswa

sebagai calon dokter dapat mengembangkan penggunaan obat alam sesuai

dengan bukti ilmiah yang telah ada untuk menjaga keamanan, khasiat, dan

mutu dari obat alam tersebut.

4

Page 5: Isi Laporan Herbal b3

BAB II

ISI

A. Tinjauan Pusstaka

1. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat

Tradisional (B2P2TO-OT)

a. Sejarah

B2P2TO-OT bermula dari suatu kebun koleksi tanaman

berkhasiat obat yang bernama Usaha Tanaman Obat-obatan Lawu

Complex Hortus Medicus Tawangmangu yang dirintis oleh R.M.

Santosa (almarhum) dibantu oleh Prof. DR. Sutarman. Pada tahun 1948

“Hortus Medicus” menjadi cabang dari laboratorium Pharmacoterapie,

Klaten dan pada tanggal 16 September 1951 diresmikan oleh Wakil

Presiden RI Pertama Bapak Dr. M. Hatta, kemudian dikelola di bawah

lembaga Eijkman (Depkes RI, 2009).

“Hortus Medicus” pada awal berdiri bertugas mempelajari dan

menanam tanaman obat subtropis. Antara tahun 1950-1956 telah

dicobakan lebih dari 100 jenis tanaman yang berasal dari luar negeri dan

pada tanggal 1 Juni 1955 “Hortus Medicus” di bawah pengelolaan

Lembaga Farmakoterapi dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI

Nomor 26124/Sekdj sehingga selain berfungsi sebagai tempat menanam

tanaman obat, juga menjadi lembaga penyelidikan tanaman obat

(Depkes RI, 2009).

Guna meningkatkan penggunaan bahan-bahan obat asal tanaman

Indonesia, “Hortus Medicus” dialihkan pengelolaannya ke BPU Farmasi

Negara melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 

32521/Kab/BPU/63 tanggal 8 Juni 1963 dengan kegiatan utama pada

usaha produksi simplisia secara komersial. Kemudian berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 208/Kab/B.VII tanggal 25 Juli

1968, “Hortus Medicus” diserahkan kembali pengelolaannya kepada

Departemen Kesehatan RI cq. Direktorat Jenderal Farmasi. Selanjutnya

5

Page 6: Isi Laporan Herbal b3

berdasarkan SK Direktur Jenderal Farmasi Depkes RI Nomor

4246/Dir.Jend/SK/68 tanggal 8 November 1968, “Hortus Medicus”

pengelolaannya diserahkan kepada Lembaga Farmasi Nasional Jakarta.

Kegiatan “Hortus Medicus” kembali sebagai lembaga yang menangani

penanaman dan penyelidikan tanaman obat. Perubahan induk organisasi

terjadi lagi dengan dikeluarkannya surat keputusan Direktur Jenderal

Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI Nomor 4500/A/75 tanggal 9

Juli 1975, Hortus Medicus pengelolaannya dikembalikan dari Lembaga

Farmasi Nasional kepada Direktorat Pengawasan Obat Tradisional Dit.

Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Jakarta (Depkes RI, 2009).

Atas dasar pertimbangan bahwa “Hortus Medicus”

Tawangmangu adalah tempat penelitian tanaman obat, maka sesuai

dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

149/Menkes/SK/IV/78 tanggal 28 April 1978 diubah namanya menjadi

Balai Penelitian Tanaman Obat yang merupakan Unit Pelaksana Teknis

Pusat Penelitian Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan. Selanjutnya berdasarkan SK Menkes Nomor

556/SK/Menkes/VI/2002 tentang perubahan perumusan kedudukan Unit

Pelaksana Teknis di lingkungan Departemen Kesehatan, maka Balai

Penelitian Tanaman Obat menjadi Unit Pelaksana Teknis Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di bawah pembinaan teknis

fungsional oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi

dan Obat Tradisional.

Dengan perkembangan yang ada pada saat ini telah dilakukan

reorganisasi di lingkungan Departemen Kesehatan termasuk Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Berdasarkan Peraturan

Presiden No. 9 tahun 2005, struktur organisasi dalam Badan Litbang di

lingkungan Departemen hanya terdiri dari 4 puslitbang. Bertitik tolak

dari Penpres tersebut maka dalam perkembangannya Puslitbang Farmasi

dan Obat Tradisional tidak lagi terdapat dalam struktur baru Badan

Litbang Kesehatan dan berganti menjadi Puslitbang Biomedis dan

6

Page 7: Isi Laporan Herbal b3

Farmasi. Dengan Permenkes No. 491/Menkes/Per/VII/2006 BPTO

meningkat statusnya menjadi Balai Penelitain Tanaman Obat menjadi

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat

Tradisional yang diharapkan akan lebih mendekatkan area litbang obat

tradisional ke bagian hulunya, yaitu tanaman obat, sehingga mampu

memberikan hasil yang maksimal (Depkes RI, 2009).

b. Visi

Menjadi institusi unggulan dan referensi nasional dalam bidang

penelitian dan pengembangan tanaman obat dan obat tradisional

(Depkes RI, 2009).

c. Misi

Menghasilkan iptek dan informasi penelitian dan pengembangan

tanaman obat dan obat tradisional yang berkulaitas berdasarkan kaidah

ilmiah dan etika (Depkes RI, 2009).

d. Tugas Pokok

Melaksanakan penelitian dan pengembangan tanaman obat dan

obat tradisional (Depkes RI, 2009).

e. Fungsi

Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut B2P2TO-OT

menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:

1) perencanaan, pelaksanaan, evaluasi penelitian dan/atau

pengembangan di bidang  tanaman obat dan obat tradisional.

2) pelaksanaan eksplorasi, inventarisasi, identifikasi, adaptasi, dan

koleksi plasma nutfah tanaman obat.

3) pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi konservasi dan

pelestarian plasma nutfah tanaman obat.

7

Page 8: Isi Laporan Herbal b3

4) pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi standarisasi tanaman

obat dan bahan baku obat tradisional.

5) pelaksanaan pengembangan jejaring kerjasama dan kemitraan di

bidang tanaman obat dan obat tradisional.

6) pelaksanaan kajian dan diseminasi informasi tanaman obat dan obat

tradisional.

7) pelaksanaan pelatihan teknis di bidang pembibitan, budidaya, pasca

panen, analisa, koleksi spesimen tanaman obat serta uji keamanan

dan kemanfaatan obat tradisional.

8) pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga (Depkes RI, 2009).

f. Kompetensi

Penelitian tentang Tanaman Obat (TO) dan Obat Tradisional

(OT) yang meliputi:

1) Potensi Bioprospeksi TO.

2) Budidaya TO.

3) Teknologi panen dan Pasca Panen TO.

4) Teknologi ekstraksi dan analisa senyawa aktif TO.

5) Uji Keamanan dan Khasiat serta Formulasi OT (Depkes RI, 2009).

g. Struktur Organisasi

Susunan Organisasi B2P2TO-OT terdiri dari:

1) Bagian Tata Usaha

Melaksanakan urusan tata usaha kepegawaian, perlengkapan dan

rumah tangga serta pengelolaan keuangan.

2) Bidang Program Kerjasama dan Informasi

Melaksanakan penyusunan perencanaan, koordinasi, pelaksanaan dan

evaluasi program, anggaran, kerja sama dan kemitraan, penyediaan

dan desiminasi informasi, serta evaluasi dan pelaporan.

3) Bidang Pelayanan Penelitian

8

Page 9: Isi Laporan Herbal b3

Melaksanakan koordinasi pelaksanaan dan evaluasi pelayanan

penelitian.

4) Instalasi

Merupakan fasilitas penunjang penyelenggaraan litbang dibidang TO

dan OT.  

5) Kelompok Fungsional Peneliti

Melakukan kegiatan sesuai jabatan fungsional peneliti berdasar

peraturan perundang undangan yang berlaku (Depkes RI, 2009).

h. Instalasi dan Laboratorium

B2P2TO-OT berperan sebagai sarana tempat penelitian

ditetapkan sembilan instalasi dan laboratorium, yaitu:

1) lnstalasi Sistematika Tumbuhan

Melaksanakan identifikasi (determinasi) tumbuhan dan simplisia baik

dalam bentuk kering maupun dalam bentuk rajangan dan serbuk,

pembuatan spesimen herbarium serta dokumentasi pengelolaan TO

dalam bentuk foto, slide dan compact disk (CD).

2) Instalasi Benih dan Pembibitan TO

Kegiatan yang dilakukan meliputi pengkoleksian benih dari lokasi

tertentu, sortasi biji, uji viabilitas, pemyimpanan benih. Disamping

itu juga pengadaan bibit baik secara konvensional maupun kultur

jaringan.

3) Instalasi Adaptasi dan Pelestarian

Melakukan adaptasi TO hasil eksplorasi, pelestarian plasma nutfah

TO yang termasuk dalam kategori langka.

4) Instalasi Koleksi TO

Melaksanakan inventarisasi TO, pengkoleksian TO, Pengelolaan

Koleksi (penanaman, peremajaan, pemeliharaan, pembasmian hama

dan gulma, pengamatan dan pendataan parameter pertumbuhan dan

pemanenan) serta pencatatan data klimatologi.

9

Page 10: Isi Laporan Herbal b3

5) Instalasi Pasca Panen

Menangani hasil panen meliputi : pencucian, sortasi, pengubahan

bentuk (perajangan), pengeringan, penyerbukan, pengemasan dan

penyimpanan serta stok/ gudang simplisia.

6) Laboratorium Galenika

Kegiatannya meliputi pembuatan sediaan galenika dalam bentuk

ekstrak dan tinktur. Selain itu juga dilaksanakan penyulingan atau

destilasi minyak atsiri, serta koleksi minyak atsiri dan ekstrak.

7) Laboratorium Fitokimia

Melakukan penetapan parameter standar ekstrak dan simplisia, profil

kromatografi minyak atsiri, pemeriksaan kandungan senyawa kimia,

penetapan kadar senyawa aktif, isolasi dan identifikasi senyawa aktif,

baik secara spot test, spektrofotometri, KLT densitometri maupun

HPLC.

8) Laboratorium Bioteknologi

Kegiatannya meliputi kulktur jaringan tanaman baik untuk

mendapatklan bibit maupun mendapatkan metabolit sekunder

(senyawa aktif), penetapan cemaran mikroba (AJ dan ALT) dan uji

aktifitas antimikroba.

9) Laboratorium Farmakologi

Melaksanakan koleksi dan perawatan hewan coba, serta melakukan

uji preklinik (khasiat dan keamanan) dan uji klinik tanaman obat dan

obat tradisional (Depkes RI, 2009).

i. Kelompok Program Penelitian (KPP)

Peneliti merupakan motor pengerak pada B2P2TO-OT.

Penelitian yang dilakukan terbagi dalam 4 kelompok ruang lingkup

yang disebut sebagai KPP yang dibina langsung oleh Panitia Pembina

Ilmiah (PPI). Ruang lingkup keempat KPP tersebut adalah:

1) KPP Bioprospeksi

10

Page 11: Isi Laporan Herbal b3

a) Pemetaan dan survei bioregional (bahan obat alam).

b) Etnobotani dan etnofarmakologi.

c) Eksplorasi dan koleksi plasma nutfah.

d) Karakterisasi dan identifikasi (morfologi, marker DNA dan

golongan senyawa kimia).

e) Adaptasi pelestarian dan domestikasi.

2) KPP Stadarisasi Tanaman Obat

a) Teknologi benih, pembibitan dan propagasi.

b) Pengembangan kultivasi dan budidaya.

c) Pemuliaan, seleksi dan kestabilan mutu.

d) Konservasi.

3) KPP Teknologi Obat Bahan Alam

a) Pasca panen.

b) Ekstraksi.

c) Pengembangan formulasi dan stabilitas.

d) Isolasi dan biosintesa senyawa aktif.

e) Bioteknologi bahan obat alam.

4) KPP Khasiat dan Keamanan

a) Uji keamanan (Toksisitas akut, subkronis, kronis dan khusus).

b) Uji manfaat.

c) Formulasi ramuan OT.

d) Uji klinik tahap I,II dan III (Depkes RI, 2009)

j. Wisata Ilmiah

B2P2TO-OT Tawangmangu menyelengarakan suatu paket

wisata edukatif di mana pengunjung dapat belajar mengenal tanaman

obat dan obat tradisional mulai dari budidaya, pasca panen, hingga

pengolahan simplisia menjadi produk obat tradisional. Paket tersebut

meliputi: 

11

Page 12: Isi Laporan Herbal b3

1) Kebun Tlogodlingo

Kebun Tlogodlingo merupakan lahan budidaya dan koleksi

TO seluas 13 Ha yang  terletak di lereng Gunung Lawu dengan

ketinggian 1800 m dpl.  Kebun ini mempunyai pemandangan yang

indah dan berhawa sejuk. TO aromatik yang dibudidayakan, antara

lain: Foeniculum vulgare dan Rosmarinus officinalis dalam bentuk

aromatic garden dan TO yang hanya tumbuh baik pada dataran tinggi

antara lain :Pimpinella alpina, Digitalis purpurea,  Artemisia annua

dalam bentuk sub tropical garden. Selain sebagai kebun koleksi dan

penelitian, di kebun Tlogodlingo juga dikembangkan sebagai unit

pasca panen dan pembibitan TO spesifik lokal (Depkes RI, 2009).

Kebun Tlogodlingo

(Sumber: Depkes RI, 2009)

2) Kebun Koleksi dan Etalase Tanaman Obat

Kebun koleksi dan etalase tanaman obat mempunyai +1.000

spesies TO yang merupakan hasil eksplorasi  dari berbagai daerah di

Indonesia dan luar negeri. Kebun ini terletak di pusat wisata

Tawangmangu pada ketinggian 1200 m dpl (Depkes RI, 2009).

12

Page 13: Isi Laporan Herbal b3

Kebun Koleksi dan Etalase Tanaman Obat

(Sumber: Depkes RI, 2009)

3) Pembibitan

Sektor ini menyediakan bibit untuk kebutuhan penelitian,

pelatihan dan koleksi (Depkes RI, 2009).

Pembibitan

(Sumber: Depkes RI, 2009)

4) Museum TO dan OT

Museum TO dan OT dikembangkan sebagai wahan untuk

mengenal, mempelajari dan meneliti budaya lokal dalam

pemanfaatan TO dan OT  yang dilakukan nenek moyang pada jaman

dahulu serta perkembangannya sampai saat ini (Depkes RI, 2009).

13

Page 14: Isi Laporan Herbal b3

Museum TO dan OT

(Sumber: Depkes RI, 2009)

2. Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka

Menurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993, obat (jadi) adalah

sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau

menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan

diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan

dan kontrasepsi. Menurut pengertian umum, obat dapat didefinisikan

sebagai bahan yang menyebabkan perubahan dalam fungsi biologis melalui

proses kimia. Sedangkan menurut definisi yang lengkap, obat adalah bahan

atau campuran bahan yang digunakan untuk: (1) pengobatan, peredaan,

pencegahan atau diagnosa suatu penyakit, kelainan fisik atau gejala-

gejalanya pada manusia atau hewan; serta (2) pemulihan, perbaikan atau

pengubahan fungsi organik pada manusia atau hewan. Obat dapat

merupakan bahan yang disintesis di dalam tubuh, misalnya hormon dan

vitamin D, atau merupakan bahan-bahan kimia yang tidak disintesis di

dalam tubuh (Portal Pharmacy, 2010).

Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman

berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah

kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada

pengalaman dan ketrampilan yang diwariskan secara turun-temurun dan

telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu

terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada

14

Page 15: Isi Laporan Herbal b3

(Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen Serat Primbon

Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang Dalem dan relief candi Borobudur

yang menggambarkan orang sedang meracik obat dengan tumbuhan sebagai

bahan bakunya. Obat tradisional (herbal) telah diterima secara luas di

hampir seluruh negara di dunia. Menurut World Health Organization

(WHO), negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan

obat tradisional sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima.

Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal

untuk pengobatan primer (Kartika, 2007).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

(Permenkes RI) nomor 246/Menkes/Per/V/1990, yang dimaksud dengan

obat tradisional adalah setiap bahan atau ramuan bahan berupa bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari

bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk

pengobatan berdasarkan pengalaman (Evan, 2010). Obat tradisional

Indonesia semula hanya dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu obat

tradisional atau jamu dan fitofarmaka. Namun, dengan semakin

berkembangnya teknologi, telah diciptakan peralatan berteknologi tinggi

yang membantu proses produksi sehingga industri jamu maupun industri

farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk ekstrak. Saat ini obat

tradisional dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu jamu, obat ekstrak alam,

dan fitofarmaka.

a. Jamu (Empirical Based Herbal Medicine)

Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional Indonesia yang

disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil,

dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun

jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Ada juga yang

menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau

tangkur buaya (Ramuan Madura, 2010). Pada umumnya, jenis ini dibuat

dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari

15

Page 16: Isi Laporan Herbal b3

berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5-

10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian

ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris (Portal

Pharmacy, 2010).

Jamu merupakan ramuan berbagai simplisia bahan alami yang

dengan metode pengolahan sederhana mampu menghasilkan produk

berkhasiat. Kandungan bahan aktif yang terdapat pada jamu dapat

dibedakan menjadi:

1) Bahan aktif, yaitu bahan yang berperan dalam efek terapik. Bahan

aktif dibedakan menjadi 2, yaitu bahan aktif utama dan bahan aktif

pembantu.

2) Bahan sampingan, yaitu bahan yang dinyatakan sebagai beberapa

senyawa yang mampu mempengaruhi efek terapik dari bahan aktif.

3) Bahan pengotor, yaitu bahan yang sangat tidak efektif. Keberadaannya

dalam sediaan obat sangat tidak dikehendaki karena pengaruh

negatifnya terhadap kerja obat. Pengaruh yang utama antara lain

terjadi perubahan warna, bau dan rasa dari sediaan obat sehingga

timbul kekeruhan yang dapat mengurangi stabilitas serta dapat

mengganggu kumpulan analitik bahan aktifnya (Firmansyah, 2010).

Secara umum analisis obat tradisional jamu dikelompokkan

menjadi dua macam analisis, yaitu analisis kualitatif dan analisis

kuantitatif. Analisis kualitatif berfungsi untuk mengidentifikasikan jenis

dari suatu zat atau simplisia yang terdapat pada bahan bakunya,

sedangkan analisis kuantitatif yaitu penetapan kadar atau kemurnian dari

zat atau simplisia yang akan dianalisis. Pengujian secara kualitatif obat

tradisional jamu biasanya dipergunakan untuk mengidentifikasi atau

menganalisis jenis bahan baku dari suatu simplisia baik dari jenis

tumbuhan maupun hewan. Di dalam pemeriksaan kualitatif ini, meliputi

analisis sebagai berikut:

1) Pengujian organoleptik untuk mengetahui kekhususasn bau dan rasa

dari simplisia yang diuji.

16

Page 17: Isi Laporan Herbal b3

2) Pengujian makroskopis yang dilakukan dengan kaca pembesar atau

indera untuk mencari kekhususan morfologi ukuran dan warna

simplisia yang diuji.

3) Pengujian mikroskopis dilakukan dengan menggunakan mikroskop

yang disesuaikan dengan keperluan simplisia yang diuji berupa

sayatan melintang, radial, paradermal maupun membujur untuk

mengetahui unsur-unsur anatomi jringan yang khas dari simplisia.

4) Reaksi warna dengan pereaksi tertentu (Firmansyah, 2010).

Dari pengujian tersebut di atas akan dapat diketahui jenis

simplisia berdasarkan fragmen pengenal yang spesifik untuk masing-

masing simplisia sedangkan untuk pengujian secara kuantitatif,

umumnya dilakukan untuk menentukan kadar zat, baik dari bahan

bakunya yang berupa kadar simplisia produk setengah jadi dari jamu

yang berupa kandungan atau zat asing yang terdapat di dalamnya serta

produk jamu jadi. Penetapan secara kualitatif meliputi:

1) Penentuan kadar kandungan yang terdapat pada simplisia yang diuji

meliputi penentuan kadar tanin, alkaloid, minyak atsiri, kadar

keasaman, dan lain-lain.

2) Penentuan kadar air

3) Penetapan kandungan dan kadar zat asing (Firmansyah, 2010).

b. Obat Herbal Terstandar (Scientific based herbal medicine)

Obat herbal terstandar dalah obat tradisional yang disajikan dari

ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat berupa tanaman obat,

binatang, maupun mineral. Untuk melaksanakan proses ini membutuhkan

peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal, ditambah dengan

tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan maupun ketrampilan

pembuatan ekstrak. Selain proses produksi dengan tehnologi maju, jenis

ini pada umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa

penelitian-penelitian pre-klinik seperti standart kandungan bahan

berkhasiat, standart pembuatan ekstrak tanaman obat, standart pembuatan

17

Page 18: Isi Laporan Herbal b3

obat tradisional yang higienis, dan uji toksisitas akut maupun kronis

(Portal Pharmacy, 2010).

c. Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine)

Merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat

disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah

terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada

manusia. Bahan obat yang berlabel fitofarmaka telah melalui tiga uji

penting, yaitu uji praklinik (uji khasiat dan toksisitas), uji teknologi

farmasi untuk menentukan identitas atau bahan berkhasiat secara

seksama hingga dapat dibuat produk yang terstandardisasi, serta uji klinis

kepada pasien (Evan, 2010). Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan

para profesi medis untuk menggunakan obat herbal di sarana pelayanan

kesehatan (Portal Pharmacy, 2010). Jumlah fitofarmaka di Indonesia

cuma ada 5 yaitu Stimuno (Dexa Medica), X-Gra (Phapros), Tensigard

(Phapros), Rheumaneer (Nyonya mener), dan Nodiar (Kimia Farma)

(Sarmoko, 2009).

3. Saintifikasi Jamu

Saintifikasi jamu diatur dalam ketentuan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia 003/MENKES/PER/I/2010. Dalam peraturan

ini terdapat 6 bab dan 21 pasal yang memuat tentang tata cara, ketentuan,

serta prosedur saintifikasi jamu yang berada dalam penelitian untuk dapat

digunakan sebagai salah satu pelayanan kesehatan di masyarakat. Selain itu,

dalam peraturan ini juga memuat tentang standar kompetensi dokter sebagai

pemberi pelayanan kesehatan komplementer alternatif khususnya yang

berbasis pengobatan herbal. Adapun beberapa pasal yang berkaitan dengan

saintifikasi jamu dan klinik jamu berstandar, antara lain:

a. BAB I: Ketentuan Umum

1) Pasal 1

Dalam peraturan menteri ini yang dimaksud dengan:

18

Page 19: Isi Laporan Herbal b3

a) Saintifikasi jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui

penelitian berbasis kesehatan.

b) Jamu adalah obat tradisional Indonesia.

c) Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa

bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian

(galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang turun temurun

telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai

dengan norma yang berlaku di masyarakat.

d) Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri

dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau

keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk

jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya

kesehatan.

e) Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat

yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan

kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif

yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau

masyarakat.

f) Pengobatan komplementer-alternatif adalah pengobatan non

konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif

dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur

dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi yang

berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik, yang belum diterima

dalam kedokteran konvensional.

g) Ilmu pengetahuan biomedik adalah ilmu yang meliputi anatomi,

biokimia, histologi, biologi sel dan molekuler, fisiologi,

mikrobiologi, imunologi, yang dijadikan dasar ilmu kedokteran

klinik.

19

Page 20: Isi Laporan Herbal b3

h) Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap

kemampuan seorang dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan

lainnua untuk menjalankan praktik.

i) Surat Bukti Registrasi Tenaga Pengobatan Komplementer-

Alternatif yang selanjutnya disebut SBR-TPKA adalah bukti

tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan

tenaga pengobatan komplementer-alternatif.

j) Surat Tugas Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif yang

selanjutnya disebut ST-TPKA adalah bukti tertulis yang diberikan

kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki Surat Izin

Praktek/Surat Izin Kerja untuk pelaksanaan praktik pengobatan

komplementer-alternatif.

k) Surat Izin Kerja Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif

yang selanjutnya disebut SIK-TPKA adalah bukti tertulis yang

diberikan kepada tenaga pengobatan komplementer-alternatif

dalam rangka pelaksanaan praktik pengobatan komplementer-

alternatif.

b. BAB II: Tujuan dan Ruang Lingkup

1) Pasal 2

Tujuan pengaturan saintifikasi jamu adalah:

a) Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu

secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.

b) Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan

tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya

preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan

jamu.

c) Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien

dengan penggunaan jamu.

d) Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata

yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk

pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.

20

Page 21: Isi Laporan Herbal b3

c. BAB III: Penyelenggaraan

1) Pasal 4

a) Jamu harus memenuhi kriteria:

(1) Aman sesuai dengan persyaratan yang khusus itu

(2) Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris yang ada,

serta

(3) Memenuhi persyaratan mutu yang khusus untuk itu

b) Krireria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Pasal 5

Jamu dan/atau bahan yang digunakan dalam penelitian

berbasis pelayanan kesehatan harus sudah terdaftar dalam vademicum,

atau merupakan bahan yang ditetapkan oleh Komisi Nasional

Saintifikasi Jamu.

3) Pasal 6

Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan

kesehatan hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang

telah mendapatkan izin atau sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

4) Pasal 7

a) Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk

saintifikasi jamu dapat diselenggarakan oleh Pemerintah atau

Swasta

b) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) meliputi:

(1) Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen

Kesehatan.

(2) Klinik Jamu

21

Page 22: Isi Laporan Herbal b3

(3) Sentra Pengembangan dan Penerepan Pengobatan Tradisional

(SP3T).

(4) Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM)/Loka

Kesehatan Tradisional Masyarakat (LKTM)

(5) Rumah Sakit yang ditetapkan

c) Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, ditetapkan

sebagai Klinik Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan

berdasarkan Peraturan Menteri ini dan mengikuti ketentuan

persyaratan Klinik Jamu Tipe A.

d) Klinik jamu dapat merupakan praktik perorangan dokter atau

dokter gigi maupun praktik berkelompok dokter atau dokter gigi.

e) Fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk saintifikasi

jamu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) uruf b, c, d, dan e

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku

dengan tipe klinik ditetapkan sesuai pemenuhan persyaratan.

B. Pelaksanaan Kegiatan dan Hasil

Kami melakukan kegiatan praktikum blok pengobatan komplementer

herbal di Balai Besar Penelitian dan pengembangan Tanaman Obat dan Obat

Tradisional (B2P2TO-OT) di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah.

Kegiatan tersebut kami lakukan pada hari Rabu, 10 Oktober 2012. Saat tiba di

tempat tersebut, kami segera menyaksikan tayangan audiovisual mengenai

perkembangan bahan herbal Indonesia. Dari kegiatan tersebut, kami bisa

mengetahui bahwa bahan herbal di Indonesia sangat beragam dan betapa

pentingnya bahan herbal di Indonesia jika dapat dimanfaatkan sebagaimana

mestinya.

Acara dilanjutkan dengan pengenalan singkat B2P2TO-OT oleh dr.

Zuraida Zulkarnain. Dalam sesi ini dijelaskan cikal bakal serta visi dan misi

balai ini. Salah satu visi dibangunnya B2P2TO-OT ini adalah untuk

22

Page 23: Isi Laporan Herbal b3

menyetarakan antara herbal jamu yang telah turun-temurun menjadi warisan

bangsa Indonesia dengan pengobatan barat/conventional medicine yang

mengacu pada Evidence Based Medicine (EBM). Dalam mencapai visi dan

misi ini, maka ditempatkan berbagai ahli dari seorang insinyur di bidang

pertanian yang mengelola bidang pembibitan dan seluk beluknya hingga,

seorang dokter yang menguji klinis jamu. Setelah acara pengenalan singkat

tesebut, kami harus segera melakukan kunjungan di tempat-tempat lainnya

berdasarkan kelompok yang telah dibagi sebelumnya.

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah pembibitan tanaman obat.

Tempat ini memang sengaja digunakan untuk mengembangkan tanaman obat

untuk selanjutnya ditanam di kebun atau etalase tanaman obat. Terdiri dari

beberapa jenis pembibitan berdasarkan cara penanaman, ada yang ditanam di

ladang dan ada yang ditanam di pot. Pembibitan dilakukan berdasarkan jenis

aau karakteristik tanaman herbal. Hasil yang kami peroleh adalah bahwa dalam

pembibitan sangat penting dilakukan untuk menjaga kelestarian hayati tanamn

herbal tersebut sehingga sangat penting adanya kebituhan sinar matahari dan

irigasi, tetapi kebutuhan akan hal tersebut berbeda untuk masing-masing

tumbuhan.

Tempat kedua yang kami kunjungi adalah perkebunan atau etalase

tanaman obat. Di perkebunan ini terdapat berbagai jenis tanaman obat yang

sengaja ditanam untuk etalase. Tiap jenis tanaman dituliskan nama secara

ilmiah dan kegunaan utamanya. Selain itu jika ingin mengetahui lebih lanjut,

juga bisa dilihat di buku petujnjuk mengenai tanaman obat yang bersangkutan

di setiap tempat dekat tanaman obat. Hasil yang kami peroleh adalah

mengetahui secara nyata bentuk dan tampilan tanaman obat yang sedang kami

pelajari.

Tempat ketiga yang kami kunjungi adalah pengeringan dan simplisia.

Di tempat ini kami mengetahuibagaimana pengolahan tanaman herbal

pascapanen. Bagian mana yang paling berkhasiat dari herba tanaman obat,

dipanen, lalu dikeringkan dam disimpan untuk menjadi sebuah simplisia.

Bagian ini kemudian nanti akan diproses di laboratorium untuk diperoleh

23

Page 24: Isi Laporan Herbal b3

bentukan lain yang lebih efektif jika dikonsumsi, utamanya efektif dalam hal

dosis. Hasil yang kami peroleh adalah mengetahui bagaimana cara melakukan

pengolahan pascapanen mulai dari awal hingga kering untuk disimpan.

Simplisia yang sudah disimpan bisa tahan dalam waktu yang relatif lama untuk

kemudian diolah di laboratorium herbal menurut kebutuhan.

Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah laboratorium herbal. Di

laboratorium inilah simplisia tersebut diolah untuk menjadi produk yang siap

dikonsumsi, baik dikonsumsi untuk penelitian maupun untuk pengobatan

pasien yang digunakan dalam formularium. Ada berbagai macam pengolahan

yang dilakukan di sini, mulai dari pembentukan serbuk sampai dengan

pembentukan ekstrak. Pembentukan serbuk mungkin merupakan cara yang

konvensional dilakukan dalam pengolahan simplisia. Saat ini yang paling

sering dilakukan dalam pengolahan simplisia adalah ekstraksi karena cara ini

sangat menghasilkan produk obat herbal yang lebih mudah dalam

penghitungan dosisnya. Hasil yang kami peroleh adalah mengetaui bahwa

ekstraksi merupakan suatu cara untuk memisahkan senyawa yang berkhasiat

yang larut dalam penyari (air atau alkohol atau eter) untuk terpisah dari

ampasnya. Ekstrak yang dihasilkan dapat berupa ekstrak cair, kental, maupun

kering. Ekstrak yang paling baik adalah yang berbentuk kering.

C. Pembahasan

Salah satu jenis pengobatan non konvesional yang sangat besar

penggunaannya dalam masyarakat adalah pengobatan tradisional

komplementer alternatif. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan definisi

pengobatan komplementer tradisional alternatif adalah pengobatan non

konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang

diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan

efektifitas yang tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik tetapi belum

diterima dalam kedokteran konvensional. Dalam penyelenggaraannya harus

sinergi dan terintegrasi dengan pelayanan pengobatan konvensional dengan

24

Page 25: Isi Laporan Herbal b3

tenaga pelaksananya dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang

memiliki pendidikan dalam bidang pengobatan komplementer tradisional

alternatif.

Salah satu pengobatan komplementer tradisional alternatif adalah

pengobatan dengan jamu, herbal dan gurah. Di Indonesia hasil pengobatan

komplementer tradisional alternatif sudah banyak dilakukan selama lebih dari

satu dekade dan dijadikan bahan analisis kajian dan penentuan kebijakan lebih

lanjut tentang keamanan dan efektivitas pengobatan komplementer tradisional

alternatif. Selama ini masalah dan hambatannya adalah:

1. Belum menjadi program prioritas dalam penyelenggaraan pembangunan

kesehatan

2. Belum memadainya regulasi yang mendukung pelayanan kesehatan

komplementer tradisional alternatif

3. Masih lemahnya pembinaan dan pengawasan

4. Terbatasnya kemampuan tenaga kesehatan dalam melakukan bimbingan

5. Masih terbatasnya pengembangan program Pelayanan Kesehatan

Komplementer Tradisional Alternatif di Pusat dan Daerah

6. Terbatasnya anggaran yang tersedia untuk Pelayanan Kesehatan

Komplementer Tradisional Alternatif

7. Fungsi SP3T dalam penapisan Pelayanan Kesehatan Komplementer

Tradisional Alternatif belum berjalan sesuai harapan

Penggunaan obat herbal sebagai terapi komplementer merupakan

bagian dari sistem pengobatan yang lengkap. Saat ini obat herbal sudah banyak

digunakan di beberapa rumah sakit untuk terapi penunjang dan sebagai upaya

preventif. Umumnya sebagain besar obat herbal yang digunakan di rumah sakit

dalam bentuk fitofarmaka, bukan dalam bentuk herbal terstandar atau dalam

bentuk jamu. Beberapa contoh obat tradisional yang telah masuk sebagai terapi

komplementer di rumah sakit di antaranya adalah tanaman meniran,

temulawak, seledri dan lain-lain. Penggunaan obat tradisional atau herbal

sudah dilindungi oleh hukum hal ini diatur dalam undang-undang no. 23 tahun

1992 tentang kesehatan. Jadi pemakaian obat tradisional dilegalkan.

25

Page 26: Isi Laporan Herbal b3

Di tengah perkembangan obat herbal yang semakin pesat dan slogan

“back to nature” masih banyak masyarakat dan praktisi kesehatan yang

meragukan khasiat obat herbal. Keraguan itu disebabkan ketidakjelasan tentang

herbal tersebut. Misalnya, herbal berbeda tetapi nama sama. Atau, herbal

tersebut tumbuh pada kondisi iklim tanah dan cuaca yang tidak memiliki

senyawa kimia identik atau efek terapi. Selain itu, yang juga diragukan adalah

proses pengumpulan ekstrak, yakni tanaman segar dijemur di bawah matahari,

pengolahan, dan penyimpanan yang menyebabkan potensi dan keamanan

berbeda dan karena tidak ada standar khusus untuk peresepan obat herbal, serta

sulit untuk memastikan dosis yang sesuai. Sebenarnya pemerintah telah

mengatur pemanfaatan herbal medik dalam fasilitas kesehatan melalui

beberapa peraturan pemerintah, keputusan menteri, maupun peraturan

perundang-undangan sejak 1998 hingga kini. Walaupun telah ada regulasi yang

jelas, tetap saja penggunaan obat herbal oleh para dokter masih kurang optimal.

Hal ini karena terdapat beberapa kendala, misalnya sistem perundangan

kesehatan, belum banyak informasi khasiat dan keamanan yang melalui uji

klinis, belum ada kompetensi pada dokter, kurangnya perlindungan masyarakat

terhadap efek plasebo iklan obat berbahan alam, belum terhimpunnya data

mengenai obat bahan alam Indonesia berdasarkan pada evidence based,

kurangnya koordinasi antarinstitusi dalam penelitian obat bahan alam

Indonesia.

Sebagian besar dari kita akrab dengan obat tradisional. Bahkan, banyak

yang mengandalkan obat tradisional untuk menjaga kesehatan atau mengobati

penyakit. Namun, tidak semua obat tradisional itu benar-benar dari bahan-

bahan alami. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pernah menemukan

sedikitnya 93 jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat keras

di sejumlah pasar tradisional. Berbagai bahan kimia obat keras yang pernah

ditemukan BPOM, di antaranya fenilbutazon, metampiron, CTM, piroksikam,

deksametason, allupurinol, sildenafil sitrat, sibutramin hidroklorida, dan

parasetamol. Kabar tersebut tentu saja menambah kekhawatiran pecinta obat-

26

Page 27: Isi Laporan Herbal b3

obat tradisional, karena bahan kimia tersebut dapat membahayakan kesehatan,

bahkan mematikan.

Gangguan yang timbul pada tubuh akibat bahan kimia tersebut bisa

bermacam-macam. Bahan kimia metampiron dapat menyebabkan gangguan

saluran cerna, perdarahan lambung, dan gangguan saraf. Fenilbutason dapat

menyebabkan rasa mual, ruam kulit, retensi cairan, dan gagal ginjal.

Deksametason dapat menyebabkan trombositopenia, anemia plastis, dan

gangguan fungsi ginjal. Sibutramin hidroklorida dapat meningkatkan tekanan

darah dan denyut jantung. Karena itu, pemakaian obat keras harus melalui

pengawasan dan resep dokter.

Di Indonesia juga terdapat beberapa balai pengembangan tanaman

obat, salah satunya adalah B2P2TO2T. B2P2TO2T adalah Balai Besar

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional bermula

dari suatu kebun koleksi tanaman berkhasiat obat yang bernama Usaha

Tanaman Obat-obatan Lawu Hortus Medicus  Tawangmangu yang dirintis

oleh R.M. Santosa (almarhum) dibantu oleh Prof. DR. Sutarman. Guna

meningkatkan penggunaan bahan-bahan obat asal tanaman Indonesia, Hortus

Medicus dialihkan pengelolaannya ke BPU Farmasi Negara dengan Surat

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor  32521/Kab/BPU/63 tanggal 8 Juni

1963, dengan kegiatan utama pada usaha produksi simplisia-simplisia secara

komersial. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI

Nomor 208/Kab/B.VII tanggal 25 Juli 1968, Hortus Medicus diserahkan

kembali pengelolaannya kepada Departemen Kesehatan RI cq. Direktorat

Jenderal Farmasi. Selanjutnya berdasarkan SK Direktur Jenderal Farmasi

Depkes RI Nomor 4246/Dir.Jend/SK/68 tanggal 8 November 1968, Hortus

Medicus pengelolaannya diserahkan kepada Lembaga Farmasi Nasional

Jakarta.

Kegiatan Hortus Medicus kembali sebagai lembaga yang menangani

penanaman dan penyelidikan tanaman obat. Perubahan induk organisasi terjadi

lagi dengan dikeluarkannya surat keputusan Direktur Jenderal Pengawasan

Obat dan Makanan Depkes RI Nomor 4500/A/75 tanggal 9 Juli 1975, Hortus

27

Page 28: Isi Laporan Herbal b3

Medicus pengelolaannya dikembalikan dari Lembaga Farmasi Nasional kepada

Direktorat Pengawasan Obat Tradisionil Dit. Jenderal Pengawasan Obat dan

Makanan Jakarta. Selanjutnya berdasarkan SK Menkes Nomor

556/SK/Menkes/VI/2002 tentang perubahan perumusan kedudukan Unit

Pelaksana Teknis di lingkungan Departemen Kesehatan, maka Balai Penelitian

Tanaman Obat menjadi Unit Pelaksana Teknis Badan Penelitian Dan

Pengembangan Kesehatan, di bawah pembinaan teknis fungsional oleh Kepala

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional.

28

Page 29: Isi Laporan Herbal b3

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Khasiat obat herbal sebagai terapi penunjang dan sebagai upaya preventif di

beberapa Rumah Sakit sudah tidak diragukan lagi.

2. Penggunaan obat herbal sebagai terapi penyembuhan penyakit telah

dilegalkan dan penggunaannya telah diatur dalam undang-undang.

3. Masih terdapat banyak kendala di lapangan sehingga penggunaan obat

herbal di dunia medis masih kurang optimal.

4. Masih terdapat beberapa jenis obat tradisional yang mengandung bahan

kimia obat keras di sejumlah pasar tradisional.

5. B2P2TO2T berfungsi sebagai Unit Pelaksana Teknis Badan Penelitian Dan

Pengembangan Kesehatan, di bawah pembinaan teknis fungsional oleh

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional.

6. B2P2TO2T melakukan pengolahan dan pemanfaatan tanaman obat secara

holistik, dari hulu ke hilir, mulai dari pembudidayaan, pengolahan,

pemanfaatan, sampai penelitian tanaman obat.

B. Saran

1. Hendaknya sering dilakukan penelitian mengenai tanaman-tanaman obat

sehingga penggunaan tanaman sebagai obat yang selama ini hanya

berdasarkan pengalaman turun temurun menjadi memiliki bukti ilmiah

sesuai dengan prinsip evidence-based medicine.

2. Mahasiswa hendaknya memiliki pemikiran terbuka untuk mempelajari

berbagai macam metode pengobatan ilmiah agar berbagai macam metode

pengobatan tersebut dapat dipadukan dan saling melengkapi kekurangan

masing-masing.

3. Diperlukan upaya lebih lanjut untuk mensosialisasikan penggunaan obat-

obat herbal agar masyarakat tidak ragu lagi menggunakannya. Hal ini

dikarenakan masih banyak masyarakat yang memandang obat-obat

29

Page 30: Isi Laporan Herbal b3

tradisional seperti jamu dengan sebelah mata, padahal sebenarnya khasiat

yang terkandung sangat banyak dan lebih aman dari efek samping.

30

Page 31: Isi Laporan Herbal b3

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2009. Balai Besar Penelitian dan Pengobatan Tanaman Obat dan

Obat Tradisional. www.b2p2toot.litbang.depkes.go.id. (19 Oktober

2010).

Evan. 2010. Definisi Obat Herbal. http://www.infofisioterapi.com/definisi-obat-

herbal.html. (19 Oktober 2010).

Firmansyah, B. 2010. Jamu (Obat Asli Indonesia).

http://cacingbusuk.blogspot.com /2010/03/jamu-obat-asli-indonesia.html.

(19 Oktober 2010).

Kartika, D. 2007. Analis Farmasi dan Makanan: Tinjauan Mengenai Definisi Obat

Tradisional.http://elearning.thamrin.ac.id/?

link=detail_topik&idtopik=124&id _forum=15. (19 Oktober 2010).

Katno., Pramono S. 2008. Tingkat manfaat dan keamananan tanaman obat dan

obat tradisional. http://librarybiotech.blogspot.com/2006/12/tanaman-

obat.html. (20 Januari 2010).

Portal Pharmacy. 2010. Pengertian dan Penggolongan Obat.

http://portalpharmacy.blogspot.com/2010/03/pengertian-dan-

penggolongan-obat.html. (19 Oktober 2010).

Ramuan Madura. 2010. Apa Itu Jamu? Pengertian Singkat tentang Jamu.

http://www.jamuramuanmadura.com/news/1/Apa-itu-Jamu%3F-

pengertian-singkat-tentang-jamu.html. (19 Oktober 2010).

Sari L.O.R.K. 2006. Pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat

dan keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. 1 : 1-7.

Sarmoko. 2009. Jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka.

http://moko31.wordpress.com/2009/05/01/jamu-obat-herbal-terstandar-

oht-dan-fitofarmaka/ (19 Oktober 2010).

Tim Pengobatan Komplementer Herbal FK UNS. 2010. Modul Blok XXVI:

Pengobatan Komplementer Herbal. Surakarta: FK UNS. pp: 1-23.

31

Page 32: Isi Laporan Herbal b3

Wiryowidagdo, S. 2008. Kimia dan Farmakologi Bahan Alam. Edisi 2. Jakarta:

EGC.

32

Page 33: Isi Laporan Herbal b3

LAMPIRAN

Kunjungan ke Etalase Tanaman Obat

(Data Primer, 2012)

33

Page 34: Isi Laporan Herbal b3

Kunjungan ke Tempat Pengeringan & Simplisia

(Data Primer, 2012)

34

Page 35: Isi Laporan Herbal b3

Kunjungan ke Museum Obat Herbal

(Data Primer, 2012)

Kunjungan ke Laboratorium Herbal

(Data Primer, 2012)

35