140
IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI (Studi Perbandingan Putusan No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Putusan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: SINTA FELISIA AGNES NIM. 11150440000002 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1440 H/2019 M

IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI

(Studi Perbandingan Putusan No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan

Putusan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

SINTA FELISIA AGNES

NIM. 11150440000002

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H/2019 M

Page 2: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat
Page 3: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat
Page 4: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat
Page 5: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

v

ABSTRAK

Sinta Felisia Agnes. NIM. 11150440000002. IZIN PERKAWINAN BEDA

AGAMA DI PENGADILAN NEGERI (Studi Perbandingan Putusan

No.45/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Putusan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla). Program Studi

Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan tentang pertimbangan hakim dalam

menetapkan perkawinan beda agama di Pengadilan Negeri Surakarta dan

Pengadilan Negeri Blora dari perspektif hukum Islam, interpretasi hukum oleh

hakim, dan hukum positif yang berkaitan dengan penelitian ini serta juga

menjelaskan perkawinan beda agama berdasarkan teori maqasid al-syariʻah.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu

dengan mengumpulkan dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini metode pengumpulan data

dilakukan dengan teknik studi dokumen yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan

hukum, mengkategorisasikan berdasarkan bahan-bahan hukum serta memberikan

penilaian terhadap bahan hukum. Kemudian data yang telah dihimpun dianalisis

menggunakan metode deskriptif analitis.

Hasil Penelitian ini adalah pertimbangan hakim Pengadilan Negeri

Surakarta dalam mengabulkan permohonan izin perkawinan beda agama adalah

untuk mengisi kekosongan hukum, karena tidak diatur dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 maupun PP Nomor 9 Tahun 1975. Kemudian hakim juga

berpedoman pada asas “ius curia novit”. Dalam memeriksa dan menyelesaikan

perkara tersebut, hakim cenderung hanya menggunakan metode interpretasi

sosiologis. Sedangkan pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Blora dalam

menolak permohonan izin perkawinan beda agama adalah menimbang bahwa

kedua agama para pemohon tidak menghendaki adanya perkawinan beda agama.

Kemudian dengan memperhatikan ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama Pasal 2 ayat

(1) bahwa perkawinan harus dilaksanakan dengan sesama agama. Dalam

memeriksa dan menyelesaikan perkara tersebut, hakim menggunakan 3 (tiga)

metode penafsiran hukum yaitu metode interpretasi gramatikal, interpretasi a

contrario, dan interpretasi historis. Kemudian, perkawinan beda agama berdasarkan

teori maqasid al-syari’ah termasuk ke dalam kategori tingkatan al-Ḏaruriyat yang

berupa hifz al-Dîn (memelihara agama) dan hifz al-Nasl (memelihara keturunan).

Kata Kunci: Izin, Perkawinan Beda Agama, Pengadilan Negeri

Pembimbing : Indra Rahmatullah S.H, M.H

Daftar Pustaka : 1996 s.d. 2017

Page 6: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing

(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum dapat

diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

b be ب

t te ت

ts te dan es ث

j je ج

h ha dengan garis bawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dz de dan zet ذ

r er ر

z zet ز

s es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis bawah ص

d de dengan garis bawah ض

t te dengan garis bawah ط

z zet dengan garis bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

gh ge dan ha غ

f ef ف

q qo ق

Page 7: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

vii

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

w we و

h ha ه

apostrop ˋ ء

y ya ي

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal

atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau

monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

a fathah

i kasrah

u dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai berikut:

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

ai a dan i ي

au a dan u و

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

â a dengan topi di

atas

Page 8: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

viii

î i dengan topi di

atas

û u dengan topi di

atas

Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (ال),

dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf

qomariyyah. Misalnya:

al-ijtihâd = اإلجتهاد

al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

.al-syuf’ah tidak ditulis asy-syuf’ah = الشفعة

Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat

contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbȗtah

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut

diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf

“t” (te) (lihat contoh 3).

No. Kata Arab Alih Aksara

syarî’ah شريعة 1

al-syarî’ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسالمية 2

muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3

Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam

transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului

oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal

Page 9: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

ix

nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: البخاري = al-Bukhâri

tidak ditulis Al- Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih

aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia

Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut

berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn

al-Rânîrî.

Setiap kata, baik kata kerja (fi’il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis

secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman

pada ketentuan-ketentuan diatas:

No Kata Arab Alih Aksara

الضرورة تبيح المحظورات 1al-darûrah tubîhu al-

mahzûrât

al-iqtisâd al-islâmî االقتصاد اإلسالمي 2

usûl al-fiqh أصول الفقه 3

األصل في األشياء اإلباحة 4al-‘asl fî al-asyya al-

ibâhah

al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة 5

Page 10: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

x

KATA PENGANTAR

ه ٱ مسب لرحهيمه ٱ لرنمحٱ لل

Puji beserta syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada uswah hasanah kita

yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana

memaknai hidup ini sesungguhnya dan istiqomah dalam memegang sunnahnya

sampai hari pembalasan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyusunan skripsi ini, baik moril maupun materil. Oleh karena

itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar

besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A., selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Mesraini, M.Ag selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan

Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A. selaku Sekretaris Program Studi

Hukum Keluarga.

3. Bapak Indra Rahmatullah, S.HI, M.H selaku dosen pembimbing yang

telah banyak meluangkan waktu serta memberikan arahan dan ilmunya

selama penulis mengerjakan skripsi ini.

4. Bapak Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag., selaku Dosen Penasihat Akademik

yang selalu membimbing dan menyemangati penulis selama menjalani

kuliah.

5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta terkhusus Ibu Hj. Rosdiana, MA yang telah memberikan ilmunya

dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah memberikan fasilitas dalam penelitian ini.

7. Keluarga penulis, Ayahanda Damsuar dan Ibunda Erma Wati, yang tidak

pernah berhenti untuk memberikan dukungan, do’a maupun bantuan

Page 11: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

xi

materil kepada penulis dalam menempuh pendidikan. Nenek tersayang

Asmawati, Kakek tersayang Marsal (Alm), Kakak penulis Nia Mahesa

Agustia, S.Pd dan Adik Edo Apway Tri Nanda serta keponakan-

keponakan yang selalu menyemangati dan mendoakan Alfatihul Azim dan

Ziyad Farhatan.

8. Guru-guru MTsN 1 Bukittinggi dan MAN 1 Bukittinggi yang sampai saat

ini selalu menyemangati dan mendoakan penulis.

9. Bapak H. Holies Basuno dan Aly Dzulfiqar yang senantiasa meluangkan

waktunya untuk berdiskusi dan berbagi ilmu serta membantu penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Keluarga Besar Hukum Keluarga 2015 khususnya Hukum Keluarga A.

11. Alumni Man 1 Model Bukittinggi khususnya Adeb Davega Prasna, S.H.,

Rahmat Kurnia, S.H., dan Mursyidah., yang telah membantu dan

mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman seperjuangan penulis; Zae, Anis, Anita, Enri, Citra, Puput

Nadia, Abdul Rahman H.N, dll.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya

untuk mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.

Jakarta, 27 Juni 2019

Penulis

Page 12: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...................................................... iv

ABSTRAK ................................................................................................... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ vi

KATA PENGANTAR ................................................................................. x

DAFTAR ISI ................................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ............. 5

1. Identifikasi Masalah ...................................................... 5

2. Pembatasan Masalah ...................................................... 6

3. Perumusan Masalah ....................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 6

D. Manfaat Penelitian ............................................................... 6

E. Tinjauan (review) Studi Terdahulu ...................................... 7

F. Metode Penelitian ................................................................ 9

1. Jenis Penelitian .............................................................. 9

2. Metode Pendekatan ........................................................ 9

3. Sumber Data .................................................................. 10

Page 13: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

xiii

4. Teknik Pengumpulan Data ............................................ 11

5. Analisis Data.................................................................. 11

G. Sistematika Penulisan .......................................................... 12

BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN TEORI MAQASHID AL-

SYARI’AH

A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan ................................. 14

1. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan .................... 14

2. Syarat-syarat Perkawinan .............................................. 17

B. Perkawinan Beda Agama ..................................................... 19

1. Konsep Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum

Islam .............................................................................. 19

2. Konsep Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum

Positif ............................................................................. 31

C. Teori Maqashid Al-Syari’ah ................................................ 36

1. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah ................................. 36

2. Ruang Lingkup Maqashid Al-Syari’ah .......................... 39

BAB III PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI

A. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.................................... 46

1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman ................................ 46

2. Ruang Lingkup Kekuasaan Kehakiman ........................ 47

B. Kewenangan Pengadilan Negeri .......................................... 56

C. Kronologis Izin Perkawinan Beda Agama di Pengadilan

Page 14: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

xiv

Negeri Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Pengadilan

Negeri Blora No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla ............................ 57

1. Pokok Gugatan dalam Perkara No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt

dan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla ...................................... 57

2. Dasar dan Pertimbangan Hukum dalam Perkara No.46/

Pdt.P/2016/PN.Skt, dan No71/Pdt.P/2017/PN.Bla ........ 61

3. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dan

Pengadilan Negeri Blora ............................................... 64

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN

NEGERI No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt, dan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla

A. Perbandingan Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta

(No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt) dan Pengadilan Negeri Blora

(No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla) ................................................ 68

1. Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan

Izin Perkawinan Beda Agama .................................... 69

2. Pertimbangan Hakim dalam Menolak Permohonan

Perkawinan Beda Agama ............................................ 75

B. Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Maqashid al-Syari’ah 82

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 88

B. Saran .................................................................................... 90

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 91

Page 15: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

xv

LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................... 99

Page 16: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan pernikahan adalah persoalan manusia yang banyak seginya,

mencakup seluruh segi kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan

perselisihan. Karena itu adanya kepastian hukum bahwa telah terjadinya suatu

perkawinan sangat diperlukan1. Seiring dengan perkembangan masyarakat,

persoalan dalam bidang perkawinan semakin kompleks. Ditandai dengan

adanya pemberitaan mengenai perkawinan yang merupakan problematis di

masyarakat. Salah satunya adalah perkawinan dengan beda keyakinan, lebih

spesifiknya yaitu perkawinan beda agama2.

Perkawinan beda agama merupakan ikatan perkawinan antara seorang pria

dan seorang wanita yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda

dengan tetap mempertahankan keyakinan masing-masing3. Semua agama

secara normatif dan prinsipil tidak membolehkan adanya perkawinan beda

agama. Sedangkan secara yuridis, dibuatlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dengan seperangkat aturan pelaksanaannya. Salah

satu asas yang dikembangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tersebut bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan

kepercayaan masing-masing. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini

merupakan penghapus berlakunya berbagai peraturan perundang-undangan

sebelumnya4.

1 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan

Bintang, 1993), cet.3, h., 2. 2 Jamilah, “Tinjauan Yuridis Pencatatan Perkawinan Campuran Beda Agama di Yayasan

Paramadina menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum,

Universitas Tanjungpura Pontianak, 2013), h., 2. 3 Nur Asiah, “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama menurut Undang-Undang

Perkawinan dan Hukum Islam”, dalam Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol. 10 No. 2, (Juli-

Desember 2015), h., 206. 4 Yasin Baidi, “Fenomena Nikah Beda Agama di Indonesia: Telaah terhadap Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1400K/Pdt/1996”, dalam Jurnal Sosio-Religia Vol.9,

No.3, (Mei, 2010), h., 672.

Page 17: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

2

Menurut Hazairin dalam bukunya Tinjauan Mengenai UU No.1 Tahun 1974

menjelaskan, bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan

melanggar hukum agamanya sendiri, demikian juga bagi orang Kristen dan bagi

orang Hindu atau Hindu Budha seperti yang dijumpai di Indonesia5. Dalam

realitas di masyarakat perkawinan beda agama bukanlah suatu hal yang tabu,

walaupun dalam praktek perkawinan beda agama tersebut banyak mengandung

perdebatan di kalangan tertentu karena perkawinan ini tidak sesuai dengan

ketentuan yang berlaku, baik secara hukum positif maupun secara hukum

agama, namun di Indonesia tidak sedikit pelaku perkawinan beda agama.

Sebagai contoh perkawinan artis seperti yang dilakukan oleh Dimas

Anggara (Islam) dengan Nadine Chandrawinata (Kristen), Lidya Kandou

(Kristen) dengan Jamal Mirdad (Islam), dan Rio Febrian (Kristen) dengan

Sabriakono (Islam). Pernikahan tersebut tidak hanya dilaksanakan di Indonesia

tetapi juga dilaksanakan di luar negeri. Mereka yang ingin melakukan

perkawinan beda agama di Indonesia dapat dilakukan jika mendapatkan surat

izin menikah dari Pengadilan Negeri, akan tetapi apabila melakukan

perkawinan beda agama di luar negeri maka harus mencatatkan perkawinannya

di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil saat kembali ke Indonesia.

Ada beberapa cara yang ditempuh oleh mereka yang akan melakukan

perkawinan beda agama, diantaranya salah satu dari pasangan mengikuti

keyakinan agama pasangannya dan menikah menurut agama dari pasangannya

tersebut. Dalam hal ini terdapat dua bentuk perpindahan keyakinan agama yang

dilakukan pasangan untuk dapat melangsungkan pernikahan dengan

pasangannya, yaitu; Pertama, perpindahan agama hanya berupa proforma untuk

memenuhi persyaratan agar pernikahannya dapat dilangsungkan dan dicatatkan

secara resmi, namun kemudian setelah perkawinan tersebut berlangsung yang

bersangkutan kembali kepada keyakinan agamanya semula dan tetap

menjalankan aturan agamanya. Kasus perkawinan beda agama dengan cara

5 Zaidah Nur Rosidah, “Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan mengenai Perkawinan

Beda Agama”, dalam Jurnal Al-Ahkam, Volume 23, Nomor 1, (April, 2013), h., 2.

Page 18: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

3

seperti ini banyak terjadi dan menyebabkan timbulnya gangguan terhadap

kehidupan rumah tangga dan keluarga di kemudian hari.

Kedua, murni dilakukan karena peralihan keyakinan agamanya dan

menjalankan ajarannya untuk seterusnya dalam kehidupan perkawinan dan

keluarga mereka. Cara lain yang yang ditempuh oleh mereka yang akan

melakukan perkawinan beda agama ialah masing-masing pasangan tetap

mempertahankan keyakinan agamanya. Pernikahan dilangsungkan menurut

masing-masing agama, seperti contoh bisa jadi di pagi hari pernikahan

berlangsung menurut keyakinan agama salah satu pasangan, serta siang atau

sore harinya melakukan pernikahan lagi menurut agama yang lainnya.

Pernikahan dengan cara seperti ini juga banyak dilaksanakan dengan

konsekuensi masing-masing pasangan yang hidup bersama dalam perkawinan

tersebut dengan tetap menjalankan keyakinan agama masing-masing6.

Otoritas agama dalam bidang hukum perkawinan tidak dapat dihindari

karena selain menyatukan dua insan yang berbeda perkawinan juga merupakan

ibadah yang diperintahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kaedah-kaedah agama

yang mengatur tentang perkawinan tidak dapat di kesampingkan oleh setiap

orang yang hendak melangsungkan perkawinan, tetapi ironisnya terdapat

kecenderungan bahwa nilai-nilai agama terabaikan karena perkawinan hanya

merupakan persoalan suka sama suka, saling menyayangi dan mencintai lawan

jenis. Sehingga ingin membentuk ikatan rumah tangga walaupun beda

keyakinan tidak menjadi halangan untuk melaksanakan perkawinan, akibatnya

perkawinan beda agama merupakan hal yang biasa dilaksanakan, walaupun

agama belum tentu membolehkannya.

Praktek perkawinan beda agama ini bisa dilaksanakan dengan mengajukan

permohonan izin ke Pengadilan Negeri. Namun tidak semua permohonan izin

tersebut dikabulkan oleh hakim. Dalam putusan Pengadilan Negeri Surakarta

Nomor 46/Pdt.P/2016/PN.Skt, Hakim mengabulkan permohonan para

6 Abdurrahman, Kompendium Bidang Hukum Perkawinan (Perkawinan Beda Agama dan

Implikasinya), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI,

2011), h., 4.

Page 19: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

4

pemohon antara Pemohon I (AVR) menganut Agama Katolik dengan Pemohon

II (DF) menganut agama Islam untuk melangsungkan perkawinan beda agama

dan dicatatkan oleh pejabat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota

Surakarta ke dalam register Pencatatan Perkawinan dan menerbitkan akta

perkawinan. Namun sebelum mendapatkan penetapan izin dari Pengadilan

Negeri para pemohon telah memberitahukan perkawinan tersebut kepada Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, akan tetapi karena para

pemohon beda agama maka permohonan para pemohon tersebut ditolak dan

perkawinan dapat dicatatkan setelah mendapatkan izin dari Pengadilan Negeri

Surakarta7.

Adapun alasan hukum yang dipakai hakim dalam mengabulkan

permohonan tersebut adalah bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan tidak memuat ketentuan yang melarang perkawinan beda

agama. Demikian juga dalam Peraturan Pelaksanaannya Nomor 9 Tahun 1975

sama sekali tidak memuat ketentuan terkait pelaksanaan perkawinan beda

agama. Sehingga dengan demikian, hakim melalui penafsirannya sendiri

mengabulkan permohonan perkawinan beda agama.

Sedangkan dalam putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor

71/Pdt.P/2017/PN.Bla, Hakim menolak permohonan para pemohon antara

Pemohon I (NOBA) yang beragama Islam dengan Pemohon II (YA) yang

beragama Kristen untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Berbeda

halnya dengan putusan Pengadilan Surakarta, bahwa para pemohon tersebut

akan melaksanakan lamaran secara resmi setelah memperoleh izin dari

Pengadilan Negeri Blora8.

Dalam kasus ini pertimbangan hakim dalam menolak permohonan para

pemohon tersebut adalah bahwasanya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974 mengandung larangan perkawinan beda agama menurut agama

para pemohon. Maka dari itu Hakim mempertimbangkan sahnya perkawinan

menurut agama Islam dan agama Kristen. Dari uraian tersebut dapat dilihat

7 Salinan Penetapan Nomor: 46/Pdt.P/2016/PN.Skt (Lihat dalam lampiran) 8 Salinan Penetapan Nomor: 71/Pdt.P/2017/PN.Bla (Lihat dalam lampiran)

Page 20: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

5

bahwasanya hakim Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Blora

menggunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai salah satu dasar

hukum pada bidang hukum perkawinan, dimana undang-undang ini merupakan

hukum materil dari perkawinan.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis melihat adanya perbedaan persepsi

yang signifikan pada putusan hakim dalam menetapkan permohonan izin

perkawinan beda agama. Dengan demikian timbulah pertanyaan apakah

pertimbangan hukum yang dipakai oleh Pengadilan Negeri Surakarta dan

Pengadilan Negeri Blora sudah sesuai dengan aturan hukum Islam dan hukum

positif dan apakah Pengadilan Negeri berwenang menangani perkara

perkawinan beda agama ini. Hal ini patut untuk diteliti secara mendalam dan

komprehensif. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut

berdasarkan teori interpretasi hukum oleh hakim dan Teori Maqashid al-

Syari’ah yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Izin Perkawinan

Beda Agama di Pengadilan Negeri (Studi Perbandingan Putusan

No.45/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Putusan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla)”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

1. Mengapa sulit mendapatkan legalitas perkawinan beda agama di

Indonesia?

2. Apakah izin perkawinan beda agama merupakan kewenangan absolut

Pengadilan Negeri?

3. Mengapa hakim mengabulkan permohonan perkawinan beda agama?

4. Bagaimana pertimbangan hakim mengizinkan perkawinan beda agama?

5. Mengapa hakim menolak permohonan perkawinan beda agama?

6. Bagaimana pertimbangan hakim menolak perkawinan beda agama?

7. Bagaimana konsep perkawinan beda agama dalam Islam?

Page 21: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

6

2. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan pada penelitian ini lebih terfokus, maka pada

penelitian yang berjudul Izin Perkawinan Beda Agama di Pengadilan Negeri

penulis membatasi pada analisis pertimbangan hakim di Pengadilan

Surakarta pada putusan Nomor.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Pengadilan Blora

pada putusan Nomor.71/Pdt.P/2017/PN.Bla terkait dengan Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 berdasarkan teori interpretasi hukum oleh

Hakim dan teori maqasid al-syari’ah serta hukum positif yang berkaitan

dengan penelitian ini.

3. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah

bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan perkawinan beda

agama di Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Blora serta

dikaitkan dengan teori maqasid al-syari’ah?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, sesuai dengan rumusan masalah tersebut, tujuan dari

penelitian ini adalah untuk menjelaskan pertimbangan hakim dalam

menetapkan perkawinan beda agama di Pengadilan Negeri Surakarta dan

Pengadilan Negeri Blora serta perkawinan beda agama berdasarkan teori

maqasid al-syari’ah.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan wawasan secara umum mengenai Izin Perkawinan Beda

Agama di Pengadilan Negeri.

2. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang Izin Perkawinan Beda Agama di

Pengadilan Negeri.

3. Menambah khazanah pengetahuan dalam keilmuan bidang hukum keluarga

baik secara teoritis maupun praktis.

Page 22: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

7

E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Dalam penelitian ini, penulis mengulas beberapa kajian pustaka atau karya

ilmiah terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang penulis angkat agar

tidak terjadi duplikasi atau pengulangan dengan penelitian yang telah ada.

Dalam hal ini penulis menemukan beberapa karya ilmiah terdahulu, yaitu:

1. Dalam skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif

Terhadap Penetapan Pengadilan Negeri Magelang tentang Perkawinan

Beda Agama (Penetapan PN Magelang No.04/Pdt.P/2012/PN.MGL.) yang

ditulis oleh M. Andy Chafid Anwar MS9. Dalam tulisannya membahas

pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Magelang dalam pemberian izin

perkawinan beda agama berdasarkan tinjauan hukum Islam dan hukum

positif. Pengumpulan data dalam penelitian ini berupa wawancara dengan

hakim Pengadilan Negeri Magelang yang memberikan penetapan.

Sedangkan di dalam skripsi ini penulis mencoba mengkaji pertimbangan

hakim terhadap izin perkawinan beda agama dengan studi perbandingan

putusan Nomor.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan putusan Nomor

71/Pdt.P/2017/PN.Bla berdasarkan teori interpretasi hukum oleh hakim dan

teori maqasid al-Syari’ah. Peneliti mencoba menganalisis bagaimana hakim

menginterpretasikan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang

Perkawinan serta undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berupa studi dokumen.

2. Dalam Jurnal yang berjudul Keabsahan Perkawinan Warga Negara

Indonesia yang Berbeda Agama (Analisis Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 dengan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2006 Studi Penetapan No.92/Pdt.P/2010/PN.Surakarta) yang

ditulis oleh Raphon Fajar RHR10. Dalam tulisannya membahas tentang

9 M. Andy Chafid Anwar MS, “Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap

Penetapan Pengadilan Negeri Magelang tentang Perkawinan Beda Agama (Penetapan PN Magelang

No.04/Pdt.P/2012/PN.Mgl)”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta, 2014). 10 Raphon Fajar RHR, “Keabsahan Perkawinan Warga Negara Indonesia yang Berbeda

Agama (Analisis Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Pasal 35 huruf (a)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Studi Penetapan No.92/Pdt.P/2010/PN.Surakarta)”, dalam

Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2013.

Page 23: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

8

perkawinan campuran. Dimana dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan disebutkan bahwa “Perkawinan campuran ialah perkawinan

antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,

karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia”. Kemudian menjelaskan tentang

legalisasi buku nikah perkawinan campuran, serta menganalisis pasal 35

huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan. Tentunya pada penelitian ini tidak menyinggung tentang

perkawinan campuran dan juga tidak menganalisis secara khusus UU

Administrasi Kependudukan. Pada penelitian ini peneliti memfokuskan

pembahasan pada analisis pertimbangan hakim dalam menetapkan izin

perkawinan beda agama dengan membandingkan putusan Pengadilan

Negeri yang mengabulkan dengan putusan PN yang menolak izin

perkawinan beda agama.

3. Dalam skripsi yang berjudul Tinjauan Tentang Perkawinan Beda Agama

(Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor

156/Pdt.P/2010/PN.Ska) yang ditulis oleh Azhar Muhammad Hanif11.

Dalam skripsi ini membahas tentang perkawinan beda agama menurut Fiqh

serta hukum positif. Disini dijelaskan beberapa pendapat ulama yang pro

dan kontra dengan perkawinan beda agama serta hukum positif yang

mengatur perkawinan Islam di Indonesia. Kemudian membahas mengenai

penetapan yang membolehkan perkawinan beda agama serta pertimbangan

hakim PN Surakarta ditinjau dengan Kompilasi Hukum Islam. Perbedaan

skripsi ini dengan skripsi yang ditulis oleh Azhar Muhammad Hanif adalah

bahwa skripsi ini mengkaji tentang pertimbangan hakim terhadap izin

perkawinan beda agama berdasarkan teori interpretasi hakim dan maqasid

al-Syari’ah. Peneliti mencoba menganalisis bagaimana hakim

menginterpretasikan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang

11 Azhar Muhammad Hanif, “Tinjauan Tentang Perkawinan Beda Agama (Analisis

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 156/Pdt.P/2010/PN.Ska)”, (Skripsi S-1

Jurusan al-Ahwal Asy-syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah UIN Walisongo, Semarang, 2015).

Page 24: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

9

Perkawinan serta undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

Penetapan hakim yang dikaji dalam skripsi ini tidak hanya yang

membolehkan saja tetapi membandingkan dengan putusan hakim yang

menolak perkawinan beda agama.

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif

(legal research) yaitu mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan penelitian. Penelitian hukum normatif mencakup,

penelitian terhadap azas-azas hukum, penelitian terhadap sistematika

hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian terhadap

sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum12.

Pada penelitian ini, penulis melakukan penelitian terhadap azas-azas

hukum yaitu penelitian terhadap unsur-unsur hukum, baik unsur ideal yang

menghasilkan kaidah-kaidah hukum maupun unsur nyata di masyarakat

yang menghasilkan tata hukum tertentu13. Yang menjadi tumpuan penelitian

adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan putusan Nomor.

46/Pdt.P/2016/PN.Skt dengan putusan Nomor.71/Pdt.P/2017/PN.Bla dalam

menetapkan perkawinan beda agama.

2. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam menyelesaikan penelitian yang

diteliti adalah:

a. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap

kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah

menjadi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap14.

12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), cet.3, h., 51. 13 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, Cet.Pertama), h., 31. 14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2016), cet.6, h.,134.

Page 25: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

10

Pendekatan kasus dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh

gambaran tentang pertimbangan hakim dalam putusan Nomor

46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan putusan Nomor 71/Pdt.P/2017/PN.Bla

sehingga diharapkan dapat mengetahui cara pandang hakim dalam

menyikapi permasalahan izin perkawinan beda agama.

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide

yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,

dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut

merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu

argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi15.

Pada penelitian ini, peneliti dapat mengidentifikasi konsep tersebut

dalam undang-undang serta putusan hakim Nomor

46/Pdt.P/2016/PN.Skt dengan putusan Nomor 71/Pdt.P/2017/PN.Bla

terkait izin perkawinan beda agama.

3. Sumber Data

Sumber-sumber dalam penelitian hukum ini terdiri dari:

a. Bahan hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat16. Yang

terdiri dari perundang-undangan yakni Undang-Undang Dasar 1945,

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan

Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009

sebagai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang

Peradilan Umum, Kompilasi Hukum Islam, Fatwa MUI, dan putusan-

15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.,136. 16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet.8, h., 13.

Page 26: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

11

putusan hakim yakni putusan No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan putusan

No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla.

b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

tersebut berupa buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, laporan

penelitian, skripsi, tesis, disertasi dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan yang berkaitan dengan penelitian17.

c. Bahan hukum Tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti

kamus, ensiklopedia, indeks komulatif, dan seterusnya18.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan studi

dokumen yang meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder19.

Studi dokumen dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan

hukum, mengkategorisasikan berdasarkan bahan-bahan hukum, serta

memberikan penilaian terhadap bahan hukum. Penilaian tersebut dapat

dilakukan melalui dua cara, yaitu kritik ekstern dan kritik intern.

5. Analisis Data

Setelah bahan hukum terkumpul kemudian dilakukan analisis untuk

mendapatkan argumentasi akhir yang berupa jawaban terhadap

permasalahan penelitian. Dalam menganalisa data, penelitian ini

menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu dengan mengungkapkan

tentang pertimbangan hakim dalam menetapkan perkawinan beda agama di

Pengadilan Negeri dikaitkan dengan teori-teori hukum, kemudian

17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2016), cet.6, h.,181. 18 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat), h., 13. 19 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja

Grafindo, 2004), h., 68.

Page 27: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

12

diinterpretasikan menggunakan metode interpretasi gramatikal dan

interpretasi teleologis.

Setelah itu bahan hukum yang diperoleh dianalisis menggunakan

metode argumentatif. Metode ini digunakan dengan mengupayakan lebih

dahulu membuat ulasan, telaah kritis atas berbagai pandangan dalam bentuk

komparasi untuk menggiring opini ke arah terbangunnya nalar. Pada tahap

inilah penulis sudah beragumentasi untuk menjawab permasalahan

penelitiannya. Argumentasi ini merupakan inti dari hasil penelitian hukum

normatif20.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui gambaran secara keseluruhan pada penelitian ini, penulis

menguraikan secara singkat yang dibagi atas lima bab.

Bab pertama dalam penulisan ini merupakan pendahuluan, yang mencakup

latar belakang yang menjadi alasan penulis membahas penelitian ini,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian yang

mencakup: jenis penelitian, metode pendekatan, sumber data, teknik

pengumpulan data, analisis data, serta sistematika penulisan.

Kemudian bab kedua, membahas mengenai kajian teori tentang perkawinan

beda agama dan teori maqashid al-syari’ah, dimana dalam bab ini membahas

mengenai tinjauan umum tentang perkawinan, konsep perkawinan beda agama

menurut hukum islam dan hukum positif, serta teori maqasid al-syari’ah secara

umum.

Selanjutnya bab ketiga menjelaskan tentang perkawinan beda agama di

pengadilan negeri, yang dimuat di dalamnya yaitu kekuasaan kehakiman di

Indonesia, kewenangan pengadilan negeri, dan kronologis izin perkawinan beda

agama di Pengadilan Negeri Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt. dan

Pengadilan Negeri Blora No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla.

20 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori

Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2017), cet.2, h.,155.

Page 28: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

13

Selanjutnya bab empat, pada bab ini penulis akan menguraikan hasil analisis

terhadap penetapan hakim pengadilan negeri No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt. dan

No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla yang mencakup : perbandingan pertimbangan hakim

Pengadilan Negeri Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Pengadilan Negeri

Blora No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla, serta perkawinan beda agama berdasarkan

teori maqashid al-syari’ah.

Kemudian bab lima merupakan penutup yang menjelaskan kesimpulan dari

hasil penelitian yang dilakukan serta saran-saran yang berguna untuk penelitian

yang akan datang.

Page 29: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

14

BAB II

PERKAWINAN BEDA AGAMA

A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan

1. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan

Perkawinan merupakan sebuah peristiwa yang sakral yang ditunggu-

tunggu oleh setiap pasangan untuk dapat menjalani hidup bersama secara

sah. Ikatan perkawinan ini bertujuan untuk membina rumah tangga serta

memperoleh keturunan.

Perkawinan sendiri diartikan dalam istilah arab dengan “nikah”, yang

menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqîqat) dan arti kiasan

(majâz). Arti yang sebenarnya dari nikah, ialah “ḏam”, yang berarti

“menghimpit”, “menindih”, atau “berkumpul”, sedang arti kiasannya ialah

“waṯaʻ “ yang berarti “setubuh” atau “ ‘aqad” yang berarti “mengadakan

perjanjian pernikahan”. Jika ditinjau dari segi adanya kepastian hukum dan

pemakaian perkataan nikah di dalam al-Qur’an dan hadits-hadits, maka

nikah dengan arti “perjanjian perikatan” lebih tepat dan banyak dipakai

daripada nikah dengan arti “setubuh” 1.

Menurut Muhammad Amin Suma2, nikah dari sudut pandang lughawi

(kebahasaan) diartikan dengan berkumpul atau berhimpun (al-jamʻ wa al-

ḏamm) atau bersetubuh dan akad (al-waṯʻ wa al-‘aqd) yang dalam konteks

syari’ah lazim diistilahkan sebagai ungkapan akad pernikahan atau akad

perkawinan (‘aqd al-nikâh au ‘aqd al-tazwîj).

Sebutan lain dari perkawinan adalah al-zawaj. Dimana dalam Al-

Qur’an juga menggunakan kata zawwaja atau zauwj yang berarti pasangan.

Dengan menikah menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata ini

diulang dalam al-Qur’an sebanyak 80 kali. Bahkan dalam al-Qur’an, kata

1 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan

Bintang, 1993), cet.3, h., 1-2. 2 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syaria dan Qanuniah,

(Tangerang: Lentera Hati, 2015), h., 18.

14

Page 30: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

15

nikah dalam berbagai istilah ditemukan sebanyak 23 kali3. Hal ini

menunjukkan bahwa berpasangan merupakan tanda kebesaran Allah Swt

dan juga merupakan sunnatullah atau ketetapan illahi, seperti difirmankan

Allah Swt dalam surah al-Ḏariyat ayat 49:

شيء خلقنا زوجي ومنرون كل ن لعل كم تذك

Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan

supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S al-Ḏariyat [51] : 49)

Di dalam surah Yâsîn ayat 36 juga dijelaskan tentang perkawinan yaitu

yang berbunyi:

زوج ٱخلق ل ذيٱ سبحن ا تنبت لأ رض ٱكل ها مم

نفسه لأ

ا لا يعلمون ومن أ م ومم

Artinya: Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-

pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari

diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Q.S Yâsîn [36] :

36)

Perkawinan adalah salah satu jalan yang diberikan oleh Allah kepada

semua makhluknya baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan agar

mereka berkembang biak untuk melanjutkan generasi ke generasi

berikutnya. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah Swt surah al-Syûrâ

ayat 11:

ت ٱ فاطر مو رض ٱو لس زوجا ومن لأ

نفسكم أ

ن أ نعم ٱجعل لكم م

زوجا يذرؤكم لأ

أ

وهو ۦفيه ليس كمثله ميع ٱشيء لبصير ٱ لس

Artinya: (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu

dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak

pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan

3 Lukman A. Irfan, Nikah, (Yogyakarta: PT Pustaka Insan Mardani, 2007), h., 2.

Page 31: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

16

jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang

Maha Mendengar dan Melihat. (Q.S al-Syûrâ [42] : 11)

Allah SWT menciptakan suatu hukum dalam perkawinan antar

manusia, karena manusia diciptakan berbeda dengan makhluk lainnya yang

hidup bebas mengikuti nalurinya tanpa ada aturan. Ia menciptakan hukum

tersebut untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia. Seperti Firman

Allah surah al-Nûr ayat 32:

نكحوا يمي ٱ وأ

لحين ٱمنكم و لأ من عبادكم إومائكم إن يكونوا فقراء يغنهم لص

ٱ ٱو ۦ ه من فضل لل وسع عليم لل

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,

dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang

lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin

Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas

(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S al-Nûr [24] : 32)

Selanjutnya Wahbah al-Zuhailî mengartikan perkawinan dengan “akad

yang membolehkan terjadinya al-Istimtaʻ (persetubuhan) dengan seorang

wanita, atau melakukan waṯʻ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan

wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau sepersusuan”4.

Definisi lain yang diberikan Wahbah al-Zuhailî adalah akad yang telah

ditetapkan oleh syari’ agar seorang laki-laki dapat mengambil manfaat

untuk melakukan istimtaʻ dengan seorang wanita atau sebaliknya5.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa6,

“perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

4 Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2007), cet.1, h., 2. 5 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/ 1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana,

2004), h., 39. 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1.

Page 32: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

17

Pertimbangannya ialah sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana

sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan

mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga

perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi unsur

batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting7. Sementara Kompilasi

Hukum Islam menjelaskan bahwa “perkawinan menurut hukum islam

adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqan ghalîzan

untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”8.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan

merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

yang bertujuan untuk membentuk keluarga dengan memperhatikan tiga

aspek penting yakni aspek hukum, sosial dan agama. Sebab perkawinan

tidak hanya bertujuan menyatukan insan yang berbeda untuk membentuk

rumah tangga tetapi juga bernilai ibadah dan merupakan ketetapan Illahi.

2. Syarat-syarat Perkawinan dalam Islam

Syarat mesti ada dalam suatu perbuatan hukum, karena menentukan sah

dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk

dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti dalam Islam calon pengantin laki-

laki atau perempuan itu harus beragama Islam9. Menurut jumhur ulama

rukun perkawinan dalam Islam ada lima, dan masing-masing rukun tersebut

memiliki syarat-syarat tertentu. Adapun syarat-syarat perkawinan

mengikuti rukun-rukunnya adalah sebagai berikut10:

1) Calon suami, syarat-syaratnya: Beragama Islam, laki-laki, jelas

orangnya, dapat memberikan persetujuan, dan tidak terdapat halangan

perkawinan.

7 Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), cet.2, h., 2-3. 8 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2. 9 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h., 46. 10 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/ 1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana,

2004), h,. 62-63.

Page 33: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

18

2) Calon istri, syarat-syaratnya: Beragama (meskipun Yahudi atau

Nasrani), perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuannya,

dan tidak terdapat halangan perkawinan.

3) Wali nikah, syarat-syaratnya: Laki-laki, dewasa, mempunyai hak

perwalian, dan tidak terdapat halangan perwalian.

4) Saksi nikah, syarat-syaratnya: Minimal dua orang laki-laki, hadir dalam

ijab qabul, dapat mengerti maksud akad, Islam, dan dewasa.

5) Ijab qabul, syarat-syaratnya: Adanya pernyataan mengawinkan dari

wali, adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai, memakai

kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut, antara

ijab dan qabul bersambungan, antara ijab dan qabul jelas maksudnya,

orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji dan

umrah, serta majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat

orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita

dan dua orang saksi.

Sementara, Asrorun Ni’am Sholeh11 dalam bukunya menyatakan bahwa

pernikahan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun nikah dan syarat-

syaratnya sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

1) Calon suami, syaratnya yaitu Muslim, merdeka, berakal, benar-benar

laki-laki, adil, tidak beristri empat, tidak mempunyai hubungan mahram

(haram dinikahi) dengan calon istri, serta tidak sedang berihram haji

atau umrah.

2) Calon istri, syaratnya adalah Muslimah, benar-benar perempuan, telah

mendapat izin dari walinya, tidak bersuami atau tidak dalam masa iddah,

tidak mempunyai hubungan mahram (haram dinikahi) dengan calon

suami, dan tidak sedang berihram haji atau umrah.

3) Sighat (Ijab dan Qabul), syaratnya adalah lafaz ijab dan qabul harus

lafaz nikah atau tazwij, bukan merupakan kata-kata kinayah (kiyasan),

11 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas,

2008), h., 30-31.

Page 34: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

19

tidak di-taʻliq-kan (dikaitkan) dengan suatu syarat tertentu yang

dilarang agama, dan lafaz tersebut harus terjadi pada satu majlis dan

bersambungan.

4) Wali calon pengantin perempuan, syaratnya ialah Muslim, berakal,

tidak fasik, laki-laki, dan mempunyai hak kewalian.

5) Dua orang saksi, syaratnya yaitu Muslim, baligh dan berakal, merdeka,

laki-laki, adil, pendengaran dan penglihatannya sempurna, memahami

bahasa yang diucapkan dalam ijab qabul, serta tidak sedang berihram

haji atau umrah.

Lebih lanjut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur dua syarat

perkawinan yakni: Pertama, syarat materil yaitu syarat yang melekat pada

setiap rukun nikah, baik yang diatur dalam fiqh maupun yang diatur dalam

perundang-undangan. Kedua, syarat administratif adalah syarat yang

berhubungan dengan pencatatan perkawinan, sebagaimana disebutkan

“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang

berlaku”12.

B. Perkawinan Beda Agama

1. Konsep Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam

Perkawinan beda agama secara sederhana dapat dipahami sebagai

perkawinan yang dilakukan oleh orang yang berbeda agama. Adapun

definisi perkawinan beda agama menurut Amir Syarifuddin13 adalah

perkawinan antara pria muslim dengan wanita nonmuslim dan sebaliknya

wanita muslimah dengan pria nonmuslim. Dalam istilah fiqh disebut kawin

dengan orang kafir. Orang yang tidak beragama Islam dalam pandangan

Islam dikelompokkan kepada kafir kitabi yang disebut juga dengan ahli

kitab dan kafir bukan kitabi atau disebut juga musyrik atau pagan.

12 Sehabudin, “Pencatatan Perkawinan dalam Kitab Fikih dan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan (Perspektif Maqashid Syariʻah)”, dalam Jurnal Al-Mazahib,

Volume 2 No. I (Juni 2014), h., 48. 13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), cet.2, h., 133.

Page 35: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

20

Sedangkan Budi Handrianto14 dalam bukunya yang berjudul

Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam menjelaskan bahwa hukum

perkawinan beda agama dalam Islam dibagi menjadi dua yaitu perkawinan

pria muslim dengan wanita nonmuslim dan perkawinan wanita muslimah

dengan pria non muslim. Disini beliau membahas lebih rinci mengenai

wanita nonmuslim, sebab terdapat beberapa golongan wanita kafir, yaitu

wanita musyrik, wanita atheis (mulhidah), wanita murtad dan wanita ahli

kitab. Sementara itu Islam tidak mengatur lebih rinci mengenai pria

nonmuslim karena hukumnya tidak dibedakan.

Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti hukum perkawinan beda

agama antara orang Islam dengan orang Ahlul Kitab. Sebelum membahas

tentang kebolehan perkawinan beda agama, terlebih dahulu dijelaskan

mengenai pengertian Ahlul Kitab dan ruang lingkupnya. Berdasarkan

terminologi dan ruang lingkup Ahli Kitab/Utul Kitab terdapat perbedaan

pendapat dikalangan ulama. Mayoritas ulama Islam cenderung membatasi

terminologi Ahli Kitab dengan Yahudi dan Nasrani, kedua agama ini

disetarakan dalam kelompok agama-agama samawi(langit/wahyu) oleh para

ahli perbandingan agama15.

Di dalam al-Qur’an juga sudah menegaskan bahwa Ahli Kitab hanya

dua golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani, selain kedua golongan

tersebut apakah Majusi, Hindu, Budha, penyembah berhala, Shinto,

Konghuchu, aliran animisme, dinamisme, kejawen, sekte-sekte, semuanya

digolongkan kepada kaum musyrikin16. Menurut pandangan Wahbah al-

Zuhailî yang dikutip Al Yasa, Novita17 dalam jurnalnya bahwa Ahlul Kitab

adalah orang Yahudi dan Nasrani yang diturunkan kitab Taurat dan Injil

oleh Allah kepada nabi-nabinya. Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan

14 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,

2003), h., 40. 15 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syaria dan Qanuniah,

(Tangerang: Lentera Hati, 2015), h., 146. 16 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, h., 49. 17 Al Yasa Abubakar dan Novita, “Pandangan Imam Ibnu Taimiyah tentang Perkawinan

Laki-laki Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab”, dalam Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam

Volume 1 No. 2. (Juli-Desember 2017), h., 293.

Page 36: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

21

bahwa Ahli Kitab yang dimasudkan adalah mereka yang beragama Yahudi

dan Nasrani.

Di dalam kitab-kitab fikih umumnya, perkawinan beda agama ini masih

dimungkinkan, yaitu antara seorang laki-laki muslim dengan wanita

kitabiyah. Kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah karena

wanita kitabiyah berpedoman kepada kitab yang aslinya berasal dari wahyu

Allah Swt. Pemahaman tekstual ini didasarkan kepada surah al-Mâʻidah

ayat 5 :

حل لكم ليوم ٱي بت ٱأ وتوا ل ذين ٱوطعام لط

حل ل كم وطعامكم حل ل هم لكتب ٱأ

وتوا ل ذين ٱمن لمحصنت ٱو لمؤمنت ٱمن لمحصنت ٱو من قبلكم إذا لكتب ٱأ

ج أ ورهن ءاتيتموهن ومن يكفر ب خدان

لإيمن ٱمحصنين غير مسفحين ولا مت خذي أ

لخسرين ٱمن ألخرة ٱوهو في ۥفقد حبط عمله

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan

(sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan

makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)

wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman

dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang

diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin

mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan

tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir

sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah

amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (Q.S al-

Mâʻidah [5] : 5)

Ayat ini menjelaskan tentang kebolehan menikahi perempuan ahli

kitab. Dimana halnya sejarah menunjukkan bahwa beberapa sahabat nabi

pernah menikahi perempuan Ahli Kitab. Hal ini menunjukkan bahwa

menikahi perempuan Ahli Kitab itu halal hukumnya18. Namun dalam hal

pengertian Ahli Kitab yang boleh dikawini oleh laki-laki muslim terdapat

18 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2003), h., 288.

Page 37: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

22

perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa

yang dimaksud dengan ahli kitab dalam ayat ini adalah orang Yahudi dan

Nasrani. Selain dari dua agama tersebut tidak termasuk ahli kitab19.

Sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa perkawinan beda agama

sama sekali tidak diperbolehkan termasuk perkawinan antara laki-laki

dengan perempuan ahli kitab, apalagi sebaliknya. Pendapat ini merujuk

kepada surah al-Baqarah ayat 221:

عجبتكم ولا لمشركت ٱتنكحوا ولاشركة ولو أ ن م ؤمنة خير م مة م

ولأ حت ي يؤمن

ئك حت ي يؤمنوا لمشركين ٱتنكحوا ل و عجبكم أ

شرك ولو أ ن م ؤمن خير م ولعبد م

ٱو لن ار ٱإلي عون يد عل هم ل للن اس ۦويبي ن ءايته ۦ بإذنه لمغفرة ٱو لجن ة ٱيدعوا إلي لل

رون يتذك

Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,

sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih

baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah

kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)

sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik

dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke

neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada

manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Q.S al-Baqarah [2] : 221)

Ayat ini dengan tegas melarang perkawinan beda agama, bahwa laki-

laki dan perempuan muslim dilarang kawin dengan laki-laki dan perempuan

musyrik atau kafir, karena dalam ayat tersebut dikatakan bahwa “mereka

(orang-orang musyrik) itu akan membawa kamu ke neraka, sedangkan

Allah Swt akan membawamu ke surga dan ampunan”20. Dalam ayat lain

Allah juga menyatakan larangan-Nya seperti dalam ayat:

19 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), cet.2, h., 134. 20 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,

(Bandung: Percetakan Angkasa, 2005, cet.1), h., 156.

Page 38: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

23

..... لكوافر ٱولا تمسكوا بعصم ......

Artinya: .... Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali

(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir .... (Q.S al-Mumtahanah

[60] : 10)

Ayat tersebut menambah dan memperkuat dalil dilarangnya kaum

muslimin untuk menikahi wanita kafir (Ahli Kitab). Maka berdasarkan

kedua ayat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa adanya larangan

perkawinan beda agama baik laki-laki maupun perempuan. Berkenaan

dengan perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan

nonmuslim dari Ahli Kitab, ulama berbeda pendapat: Pendapat pertama,

yang membolehkan kaum muslimin menikahi wanita-wanita Ahli Kitab

(Yahudi dan Nasrani) yakni jumhur ulama terutama ulama sunni. Termasuk

Imam Ibnu Taimiyah yang menyatakan dengan tegas tentang kebolehan

menikahi wanita Ahli Kitab. Mereka mendasarkan pendapatnya kepada

surah al-Mâʻidah ayat 5.

Apabila dikaitkan dengan surah al-Baqarah ayat 221 tentang keharaman

mengawini wanita musyrikah dan surah al-Mumtahanah ayat 10 tentang

keharaman menikahi wanita kafir, surah al-Mâʻidah ayat 5 ini merupakan

tahsis (pengkhususan) dan bukan nasakh (penghapus) kedua ayat

sebelumnya. Ayat dalam al-Baqarah dan al-Mumtahanah bersifat umum dan

al-Mâʻidah bersifat khusus sehingga hukumnya menjadi jelas, yaitu

mengawini wanita kafir yang tergolong musyrik itu haram sedangkan

mengawini wanita kafir yang tergolong Ahli Kitab itu boleh21.

Ibnu Katsir22 mengemukakan bahwa “Pada zahirnya kata المحصنت dalam

surah al-Mâʻidah ayat 5 ialah wanita-wanita yang menjaga diri dari

perbuatan zina, beliau juga mendasarkan pendapatnya pada ayat lain:

21 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,

2003), h., 64. 22 Yusuf Qarḏawi, Hadyu al-Islâm Fatâwi Mu’âshirah, Penerjemah: As’ad Yasin, Fatwa-

Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h., 588.

Page 39: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

24

خدان محصنت غير مسفحت ولا مت خذت أ

Artinya: “..... wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan

bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya ....

“ (Q.S al-Nisâʻ [4] : 25)

Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Katsir, karena laki-laki muslim

tidak boleh sembarang memilih wanita untuk dikawininya. Wanita yang

dikawini hendaknya wanita yang tidak mudah menyerahkan kendalinya

kepada sembarang laki-laki, wanita yang lurus, bersih dan terhindar dari

syubhat (kesamaran). Demikianlah pendapat yang dipilih Ibnu Katsir,

beliau menyebutkan pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur,

sehingga dengan demikian laki-laki muslim boleh menikahi wanita Ahli

Kitab dengan ketentuan tersebut.

Menurut mazhab Hambali, secara mutlak membolehkan laki-laki

muslim menikahi wanita Ahli Kitab, dengan syarat wanita Ahli Kitab

tersebut adalah wanita merdeka (bukan budak), karena kata المحصنت yang

dimaksud dalam ayat al-Mâʻidah adalah wanita merdeka. Sedangkan

mazhab Maliki membagi pendapatnya menjadi dua kelompok, pertama

memandang bahwa mengawini wanita Ahli Kitab hukumnya makruh baik

berada di dar al-harb maupun dzimmiyyah. Kedua memandang tidak

makruh sebab zhahir Q.S al-Mâʻidah ayat 5 membolehkan secara mutlak.

Tetapi tetap saja makruh karena digantungkan kemakruhannya berkaitan

dengan dar al-Islam (pemerintahan Islam), sebab wanita Ahli Kitab tetap

boleh minum khamar, memakan babi, dan pergi ke gereja. Sedangkan

suaminya tidak melakukan itu semua23.

Wahbah al-Zuhailî24 dalam tafsirnya berpendapat bahwa wanita Ahli

Kitab (yakni beragama Yahudi atau Kristen) boleh dinikahi oleh laki-laki

23 Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2006),

h., 41-42. 24 Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Minhaj,

diterjemahkan oleh: Abdul Hayyie al-Kattani,dkk, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari’ah dan Manhaj

Jilid 1 (Juz 1-2), (Jakarta: Gema Insani, 2013), cet.2, h., 514.

Page 40: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

25

muslim kecuali Ahli Kitab yang tergolong ahlul-harbi25 tidak halal untuk

dinikahi, ia mengutip pendapat Ibnu Abbas yang didasarkan pada firman

Allah Swt:

تلوا ل ذين ٱ ق ٱلا يؤمنون ب لل مون ما حر م ألخر ٱ ليوم ٱولا ب ٱولا يحر ا ول ۥورسوله لل

وتوا ل ذين ٱمن لحق ٱيدينون دين عن يد وهم صغرون لجزية ٱحت ي يعطوا لكتب ٱأ

Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah

dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan

apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama

dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang

diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah

dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (Q.S al-Taubah [9]

: 29)

Sejalan dengan beberapa pendapat yang telah disebutkan, ulama Ahli

Sunnah wa al-Jamaʻah sepakat bahwa menikahi perempuan Yahudi dan

Nasrani itu diperbolehkan karena hal tersebut pernah dipraktekkan oleh para

sahabat, seperti Utsman bin Affan, Thalhah bin Zubair, dan Hudzaifah. Juga

pernah dipraktekkan oleh para tabi’in seperti Said bin al-Musayyab, Said

bin Zubair, dll26. Pandangan lain juga datang dari kalangan mufasir

kontemporer, di antaranya al-Sayyid Muhammad Rasyid Riḏa27 juga

menyimpulkan dan berpendirian bahwa menikahi wanita Kitabiah

hukumnya jaiz (boleh), pendapat tersebut didasarkan pada surat al-Mâʻidah

ayat 5.

Di antara golongan yang berpendapat bahwa menikahi wanita Ahlul

Kitab hukumnya halal, Ibrahim Hosen28 mengemukakan pendapat yang

25 Yang dimaksud dengan Ahlul Harbi dalam HR. Bukhâri sebagaimana dijelaskan oleh

Ibnu ‘Abbas r.a adalah mereka yang memerangi kaum muslimin dan bermusuhan dengan kaum

muslimin. Lihat, Salma Mursyid dalam Jurnal Aqlam – Journal of Islam and Plurality Volume 2

Nomor 1, (Desember 2016), h., 42. 26 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2002), h., 179. 27 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan

Qanuniah, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h., 119. 28 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2003), h., 290.

Page 41: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

26

menjelaskan bahwa wanita Ahlul Kitab ialah yang telah membayar jizyah,

sedangkan Ahlul Kitab yang tidak membayar jizyah tetap berlaku padanya

hukum perang, dan tidak halal dinikahi oleh kaum muslimin. Hal ini

berdasarkan kepada surah al-Taubah ayat 29.

Pendapat kedua, adalah pendapat yang melarang atau mengharamkan

pernikahan beda agama. Pendapat ini dianut oleh Ibnu Umar dan Syi’ah

Imamiah. Mereka mendasarkan pendapatnya kepada surah al-Baqarah ayat

221 dan surah al-Mumtahanah ayat 10 yang melarang kaum muslimin

menikah dengan perempuan musyrik. Bagi mereka orang musyrik juga

termasuk Ahli Kitab, dengan alasan bahwa orang Yahudi mempertuhankan

Uzair dan orang-orang Nasrani mempertuhankan al-Masih Isa bin Maryam.

al-Qur’an mensifati mereka sebagai orang yang berbuat syirik, dimana dosa

syirik tidak dapat diampuni jika mereka tidak bertobat kepada Allah

sebelum meninggal dunia29.

Abdullah bin Umar ketika ditanya tentang perkawinan dengan wanita

Yahudi dan Nasrani ia menjawab, “Allah Swt telah mengharamkan wanita-

wanita musyrik bagi kaum muslimin. Sehingga aku tidak mengetahui

manakah syirik yang lebih besar daripada syirik perempuan yang

mengatakan bahwa Isa adalah Tuhannya, sedangkan Isa merupakan seorang

hamba Allah.” Pendapat Ibnu Umar ini dijadikan pegangan oleh mazhab

syiah Imamiah dan Zaidiyah30. Dapat dipahami bahwa pendapat yang

dikemukakan oleh Ibnu Umar tidak membedakan antara wanita Ahli Kitab

dan wanita musyrik. Karena Ahli Kitab yang berbuat syirik dikategorikan

sebagai musyrik.

Namun pendapat Ibnu Umar ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat

nabi lainnya. Karena mereka mengacu kepada bunyi teks pada surah al-

Mâʻidah ayat 5 yang sering penulis sebutkan di atas, menyatakan bahwa

walaupun akidah ketuhanan Ahli Kitab tidak sama dengan akidah Islamiah,

29 Muhammad Ashsubli, “Undang-Undang Perkawinan dalam Pluratitas Hukum Agama”,

dalam Jurnal Cita Hukum Vol. II No. 2 (Desember 2015), h., 295-296. 30 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,

2003), h., 54.

Page 42: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

27

akan tetapi al-Qur’an membedakan mereka dengan kaum musyrikin dan

memberi nama khusus, yakni Ahli Kitab. Sebagaimana firman Allah Swt:

هل ل ذين ٱيكن لم تيهم لمشركين ٱو لكتب ٱكفروا من أ

ين حت ي تأ لبي نة ٱمنفك

Artinya: Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik

(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)

sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (Q.S al-Bayyinah [98]:1)

Ayat ini menjadikan orang kafir menjadi dua kelompok, yaitu Ahli

Kitab dan orang-orang musyrik. Perbedaan tersebut dapat dipahami dengan

adanya huruf و (wau) pada ayat di atas yang berarti “dan”. Dari segi bahasa

huruf ini digunakan untuk memisahkan dua hal yang berbeda31. Pendapat

lain yang menyatakan keharaman menikahi wanita Ahli Kitab karena

mereka termasuk musyrik yang telah mengubah, mengganti dan

mengingkari risalah Muhammad Saw32. Hal ini didasarkan pada ayat al-

Qur’an surah Yûsuf ayat 106:

وما كثرهم ب ٱيؤمن أ شركون لل ا وهم م

إل

Artinya: Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada

Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan

sembahan-sembahan lain). (Q.S Yûsuf [12] : 106)

Pendapat selanjutnya adalah pendapat Umar bin Khattab. Ia melarang

laki-laki muslim menikahi wanita non muslim (Ahli Kitab) dengan

pertimbangan untuk melindungi wanita muslimah, dan untuk kepentingan

negara, agar rahasia negara tidak bocor melalui istri pemimpin Islam yang

non muslimah itu. Lalu terdapat dalam suatu riwayat Umar ra. pernah

berkata kepada Hudzaifah: “Apabila orang-orang Islam suka menikahi

perempuan kitabiyah, maka siapakah yang akan mengawini perempuan

31 M. Qurais Sihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an), (Ciputat:

Lentera Hati, 2007), h., 30-31. 32 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2017), cet.2, h., 8.

Page 43: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

28

muslimah?” hal ini menunjukkan bahwa Umar melarang perkawinan beda

agama karena untuk penjagaan dan pengawasan yakni urusan politik, bukan

karena haram menikahi wanita ahli kitab33.

Menurut Abdul Mutâl al-Jabry, Ahli kitab yang boleh dikawini adalah

suatu generasi Ahli Kitab yang memeluk agamanya sebelum Nabi

Muhammad diutus, namun setelah Nabi Muhammad diutus termasuk juga

pada zaman Rasulullah haram mengawini Ahli Kitab karena mereka

termasuk golongan orang-orang musyrik yang disimpulkan dari surah Al-

Baqarah ayat 221 yang berbunyi: يؤمن تحتى Dan janganlah) ولتنكحواٱلمشرك

kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman) ayat ini

masih bersifat umum mengenai larangan menikahi orang-orang musyrik,

setelah itu turunlah ayat yang mengkhususkan yang umum tersebut dengan

firman Allah surah Al-Maidah ayat 5: ب ٱلكت -di antara orang) منٱلذينأوتوا

orang yang diberi Al-Kitab) lalu orang Ahli Kitab yang boleh dikawini ini

dibatasi dengan waktu منقبلكم (Ahli Kitab sebelum kamu)34.

Selanjutnya Amir Syarifuddin35 juga mendasarkan pendapatnya pada

surah al-Mâʻidah ayat 5, bahwasanya Ahli Kitab yang dimaksud pada ayat

tersebut adalah orang Yahudi dan Nasrani yang hidup di masa Nabi

Muhammad, karena pada masa itu agama mereka diterima oleh Nabi.

Mengenai hukum menikahi wanita Ahli Kitab yang terdapat dalam ayat

tersebut apakah berlaku untuk orang Yahudi dan Kristen zaman sekarang,

disini terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Mayoritas ulama

mengatakan mereka tidak lagi termasuk wanita Ahli Kitab yang boleh

dikawini.

Selain membahas perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita

Ahli Kitab, penulis juga membahas perkawinan wanita muslimah dengan

laki-laki nonmuslim yang masih mengundang perdebatan. Padahal jika

33 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,

(Bandung: Percetakan Angkasa, 2005, cet.1), h., 159. 34 Abdul Mutâl Muhammad al-Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam,

penerjemah: Achmad Syathori, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996), cet. 3, h., 44-46. 35 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2013), cet.4, h., 117.

Page 44: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

29

diilihat dari segi hukumnya, ulama telah sepakat bahwa perkawinan tersebut

haram hukumnya, baik laki-laki itu Ahli Kitab maupun bukan Ahli Kitab

(musyrik)36. Larangan wanita muslimah menikahi laki-laki nonmuslim ini

sesuai dengan firman Allah surah al-Baqarah ayat 221, yakni wanita-wanita

mukmin dilarang menikah dengan orang-orang musyrik sebelum mereka itu

beriman, karena mereka akan menjerumuskan wanita muslimah ke neraka,

hal ini juga ditegaskan dalam surah al-Mumtahanah ayat 10 bahwasanya

wanita beriman tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir

tidak pula halal bagi wanita beriman37.

Al-Sayyid Sâbiq menyebutkan beberapa alasan mengenai keharaman

wanita muslimah menikah dengan laki-laki nonmuslim yaitu Pertama,

orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam berdasarkan surah al-Nisâʻ

ayat 141: ....dan Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk

mengalahkan orang mukmin. Kedua, laki-laki kafir dan Ahli Kitab tidak

akan memahami agama istrinya yang muslimah, bahkan akan mendustakan

kitab dan mengingkari ajaran nabinya. Ketiga, dalam rumah tangga

campuran pasangan suami-istri tidak mungkin hidup bersama karena

perbedaan keimanan yang jauh38.

Selanjutnya, pendapat lain yang sejalan dengan pendapat di atas

memandang bahwa perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki

nonmuslim amatlah buruk, karena perkawinan tersebut tidak sah dan haram

hukumnya, berdasarkan ijma’ umat Islam. Persetubuhan wanita muslimah

dengan suaminya yang nonmuslim pun tidak menjadikan halal hukumnya

walaupun perkawinannya sudah lama masanya karena pada dasarnya

perkawinan tersebut tidak sah, dan bahkan Anak yang lahir dari pernikahan

tersebut merupakan anak zina39.

36 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2017), cet.2, h., 13. 37 H. A Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Banda Aceh: Yayasan

Pena Divisi Penerbitan, 2005), h., 78. 38 Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2006),

h., 36-37. 39 Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Minhaj,

diterjemahkan oleh: Abdul Hayyie al-Kattani,dkk, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari’ah dan Manhaj

Jilid 1 (Juz 1-2), (Jakarta: Gema Insani, 2013), cet.2, h., 516.

Page 45: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

30

Demikianlah, mengapa syariat Islam mengharamkan perkawinan

wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim karena Islam merupakan

agama yang melindungi. Perkawinan seperti ini tidak mengenal Islam, tidak

mengenal kitabnya dan tidak mengenal rasulnya. Dalam rumah tangga

suami lah yang bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya. Mereka

akan berada dalam penguasaan pemimpin keluarga yang akidahnya tidak

benar. Pendapat ini didasarkan pada surah al-Mumtahanah ayat 10 yang

mengungkap permasalahan suami yang musyrik, kemudian Ahli ilmu

mengambil keumuman lafalnya dengan memuat kafir kitabi dan orang-

orang musyrik, disandarkan pada surah al-Nisâʻ ayat 141: “.......dan Allah

sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk

memusnahkan orang-orang yang beriman”40.

Berbeda dengan pendapat di atas, Usman41 menyimpulkan bahwasanya

dalam konteks perkawinan beda agama semestinya tidak hanya laki-laki

muslim saja yang boleh menikah dengan wanita Ahli Kitab, namun

sebaliknya wanita muslimah juga diperbolehkan menikah dengan laki-laki

nonmuslim, alasannya karena peran wanita dan perempuan dalam semua

aspek rumah tangga itu sama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

pendapat yang membolehkan menikahi wanita Ahli Kitab didasarkan

dengan surah al-Mâʻidah ayat 5 yang bersifat khusus, sehingga hukumnya

sangat jelas yaitu diharamkan menikahi wanita kafir yang tergolong

musyrik dan dibolehkan menikahi wanita Ahli Kitab.

Lalu madzhab Hambali menambahkan bahwa wanita Ahli Kitab itu

harus wanita yang merdeka bukan budak. Sedangkan pendapat yang tidak

membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita Ahli Kitab, didasarkan

pada surah al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10, karena para

wanita Ahli Kitab termasuk orang musyrik yang masih mempertuhankan

Uzair dan al-Masih Isa Bin Maryam. Menurut Umar bin Khattab

40 Musa Shalih Syaraf, Fatwa-Fatwa Kontemporer tentang Problematika Wanita,

diterjemahkan oleh: Iltizam Syamsuddin, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h., 27-28. 41 Usman, Rekonstruksi Teori Hukum Islam (Membaca Ulang Pemikiran Reaktualisasi

Hukum Islam Munawir Sjadzali, (Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2015), h., 142.

Page 46: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

31

pengharaman ini adalah untuk melindungi wanita muslimah, sebab jika laki-

laki muslim boleh menikahi wanita Ahli Kitab akan berakibat banyak yang

lebih memilih menikahi wanita Ahli Kitab dibandingkan wanita muslimah,

sedangkan mayoritas ulama fiqh mengatakan mereka tidak lagi termasuk

wanita Ahli Kitab yang boleh dikawini. Adapun hukum menikahi laki-laki

musyrik, ulama telah sepakat bahwa perkawinan tersebut haram hukumnya.

2. Konsep Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif

Dalam konteks perkawinan, yang dimaksud dengan hukum positif

menurut pakar ilmu hukum adalah hukum perkawinan atau peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan diberlakukan di suatu negara hukum

Indonesia, sejak diundangkan dan disahkannya Undang-Undang

Perkawinan hingga Undang-Undang tersebut dinyatakan sudah tidak

berlaku lagi atau sudah diubah/ditambah aturannya dengan peraturan

perundang-undangan baru yang menggantikannya.

Untuk negara Indonesia, hukum positif bidang Perkawinan yang

diberlakukan yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, dan khusus untuk orang-orang yang beragama Islam,

juga berlaku Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)42. Ketiga peraturan perundang-

undangan tersebut, jelas mengatur hukum materil dan administratif di

bidang perkawinan.

Sukarja mencatat bahwa jauh sebelum Undang-Undang Perkawinan

No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah berlaku Hukum Antar-Golongan

yang mengatur perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalah

peraturan yang dikeluarkan oleh Kolonial Belanda, yakni Regeling op de

Gemengde Huwelijke (GHR) dan sebagaimana dimuat dalam Staatsblad

1898 No. 158. Dalam hal ini perkawinan antar agama termasuk ke dalam

42 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan

Qanuniah, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h., 132.

Page 47: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

32

perkawinan campuran di bawah GHR. Namun, dengan berlakunya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka semua ketentuan-

ketentuan terdahulu mengenai perkawinan sepanjang telah diatur dalam

Undang-Undang tersebut dinyatakan sudah tidak berlaku lagi43.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada satu pasal pun

yang membahas secara khusus dan tegas tentang perkawinan beda agama,

namun ada beberapa pasal yang dijadikan sebagai landasan dalam

perkawinan beda agama. Pasal-pasal tersebut diantaranya: Pasal 2 ayat (1)

dan Pasal 8 huruf (f). Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan

berbunyi44, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa “Dengan

perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-

Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-

undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu

sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-

Undang ini”.

Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah calon

mempelai sudah memenuhi syarat-syarat ketentuan yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan oleh hukum agamanya

masing-masing. Sehingga jika dihubungkan dengan perkawinan beda

agama, maka untuk keabsahannya juga diserahkan pada masing-masing

agamanya karena tidak ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan

secara langsung45. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan ini

43 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,

2003), h., 140-141. 44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2

ayat (1). 45 Moh Syamsul Muarif, “Legalitas Perkawinan Beda Agama dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Perkawinan”, (Tesis Program Magister al-Ahwal al-Syakhsiyah Universitas Islam Negeri Maulana

Malik Ibrahim Malang, 2015), h., 104.

Page 48: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

33

diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) yang menyebutkan bahwa perkawinan

dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya

atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Pasal ini secara tegas

mengakomodasi hukum-hukum yang berlaku dalam masing-masing

agama46.

Menurut Iehtijanto47 pakar Hukum Keluarga Fakultas Hukum

Universitas Indonesia sebagaimana yang dikutip Hutari dalam jurnalnya

berpendapat bahwa perkawinan antar agama sudah diatur secara jelas dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 57. Beliau menyebutkan

beberapa gagasan yang terdapat dalam pasal tersebut diantaranya adalah

perkawinan campuran yang dilakukan antara dua orang di Indonesia yang

tunduk pada hukum yang berlainan. Perkawinan beda agama termasuk di

dalamnya karena pengertian tunduk pada hukum yang berbeda dapat

diartikan juga dengan hukum yang berlainan.

Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa perkawinan beda

agama sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974. Oleh karena itu dengan merujuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Pasal 66, menurut pendapat ini peraturan-peraturan lama yang terdapat

dalam pasal tersebut diberlakukan. Namun Sukarja memberikan komentar

lain terhadap pendapat tersebut, seperti ditulis Budi Handrianto48 dalam

bukunya, menurutnya pendapat ini kurang tepat karena tidak diaturnya

perkawinan beda agama secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 karena perkawinan itu kurang dikehendaki pelaksanaannya.

Sejalan dengan itu Kompilasi Hukum Islam mempertegas melalui Pasal

40, 44, 61 dan 75 bahwa hanya perkawinan satu agama yang diperkenankan.

Oleh karena itu, pada Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa

46 Asep Saepudin Jahar, dkk. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-

undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Ciputat: Kencana, 2013), h., 67. 47 Hutari H.W.P, “Legalitas Perkawinan Antar Pemeluk Beda Agama di Indonesia

dikaitkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, dalam Jurnal Hukum

dan Pembangunan Tahun Ke-36 No. 2 (April-Juni 2006), h., 228. 48 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,

2003), h., 142.

Page 49: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

34

apabila salah satu pihak keluar dari agama Islam, maka hal tersebut dapat

dijadikan alasan oleh pihak lainnya untuk mengajukan perceraian49. Pasal

40 huruf c menyebutkan bahwa “dilarang melangsungkan perkawinan

antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: (a)

karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan

pria lain; (b) seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan

pria lain; (c) seorang wanita yang tidak beragama Islam”50.

Sedangkan Pasal 44 yang berbunyi: “seorang wanita Islam dilarang

melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama

Islam”51. Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 di atas secara tegas melarang

terjadinya perkawinan baik antara laki-laki muslim dengan wanita non

muslim maupun wanita muslimah dengan laki-laki non muslim. Jadi pasal

ini mengatur secara tegas bahwasanya orang Islam dilarang menikah dengan

orang non muslim apapun agama yang dianutnya, baik itu Ahli Kitab

maupun bukan Ahli Kitab.

Menurut M. Karsayuda dalam bukunya menyebutkan bahwa

sesungguhnya Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 ini merupakan syarat bagi calon

mempelai, walau dalam pasal tersebut disebutkan larangan dan bukan

rukun, namun kedua calon mempelai itu merupakan rukun nikah. Antara

rukun dan syarat dalam perkawinan, memiliki konsekwensi hukum yang

berbeda apabila ada yang tidak terpenuhi. Ketika rukun nikah yang tidak

terpenuhi maka perkawinan harus dinyatakan batal demi hukum, akan tetapi

apabila syarat yang tidak terpenuhi, maka pembatalannya tergantung dari

pengajuan para pihak, dan jika tidak ada pengajuan, maka perkawinannya

dianggap sah. Disini beliau menyimpulkan bahwa perkawinan yang

dilakukan oleh pihak yang berbeda agama seyogianya termasuk dapat

dibatalkan, karena Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan status

49 M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi

Hukum Islam, (Yogyakarta: Total Media Yogyakarta, 2006), h., 126. 50 Kompilasi Hukum Islam, Buku I BAB VI: Larangan Perkawinan, Pasal 40 huruf c. 51 Kompilasi Hukum Islam, Buku I BAB VI: Larangan Perkawinan, Pasal 44.

Page 50: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

35

perkawinan beda agama ini, apakah batal demi hukum atau dapat

dibatalkan52.

Selanjutnya, pada bagian pencegahan perkawinan disebutkan bahwa

“tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan,

kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien”53.

Dalam hal ini pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila kedua calon

mempelai menganut agama yang berbeda. Pasal 75 huruf a mengatur:

“keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap

perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad”54.

Ketentuan ini menimbulkan dampak bahwa sebuah perkawinan yang

salah satu pihaknya murtad, maka akan dibatalkan perkawinannya terhitung

sejak putusan Pengadilan Agama dijatuhkan dan mempunyai kekuatan

hukum tetap. Pembatalan oleh Pengadilan ini dapat dilakukan apabila ada

permohonan yang diajukan oleh pihak yang berhak, karena murtadnya

seseorang tidak membuat otomatis perkawinan tersebut menjadi batal55.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa mengenai

perkawinan beda agama sebanyak dua kali, pertama pada Musyawarah

Nasional (Munas) II MUI tanggal 11-17 Rajab 1400H, bertepatan dengan

26 Mei- 1 Juni 1980M tentang perkawinan campuran dan yang kedua lebih

spesifik, pada Forum Munas MUI VII tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426H

bertepatan 26-29 Juli 2005M di Jakarta tentang perkawinan beda agama.

Dalam fatwa pada tahun 1980 haramnya perkawinan beda agama dengan

didasarkan pada prinsip sadd al-dzariʻah yang mencegah lahirnya mafsadah

yang lebih besar, meskipun ada maslahah tetapi mafsadahnya lebih besar.

Dan pada fatwa tahun 2005 ditetapkannya perkawinan beda agama adalah

52 M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi

Hukum Islam, (Yogyakarta: Total Media Yogyakarta, 2006), h., 137. 53 Kompilasi Hukum Islam, Buku I BAB X: Pencegahan Perkawinan, Pasal 61. 54 Kompilasi Hukum Islam, Buku I BAB XI: Batalnya Perkawinan, Pasal 75 huruf a. 55 M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi

Hukum Islam, h., 140.

Page 51: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

36

haram dan tidak sah, demikian juga menurut qaul mu’tamad adalah haram

dan tidak sah56.

C. Teori Maqashid al-Syari’ah

1) Pengertian Maqashid al-Syari’ah

Menurut Abu al-Husyain Ahmad dalam kitab Mu’jam Maqayis al-

Lughah sebagaimana dikutip Abdi Wijaya57 dalam jurnalnya, bahwa

maqasid al-syari’ah dari segi bahasa terdiri dari dua kata, yaitu maqasid dan

al-syari’ah. Makna maqasid dapat dikemukakan sebagai berikut:

صد ع م ج : ة غ ل د ا ص ق م ل ا ص م ال و ,مق ي م م ي م ر د ص م :د ق ال ق ي " د ص ق ل ع ف ال ن م ذ و خ أ

ا وم : د صد قص ا قصد يق صد د و ق ال ف ,ق م ال ص صد ب د ق ال و د اح ي و ن ع م ق ي ص أ ة لغ ل ي اي ف ت

ي ال ن ع م ال , ان ع م ل ال و , اد م ت اع ل ا : ل و أ م

. ه ج و الت و , ء ي الش ان ي ت إو ,أ

“Maqasid secara bahasa adalah jamak dari maqsad, dan maqsad masdar

mimi dari fi’il qasada, dapat dikatakan: qasada-yaqsidu-qasdan-wa maqsadan, al-qasdu dan al maqsadu artinya sama, beberapa arti al-qasdu

adalah: al-i’timad: berpegang teguh, al-amma: condong, mendatangi

sesuatu dan menuju”.

Makna yang sejalan, dikemukakan oleh Amir Syarifuddin dalam

bukunya bahwa secara etimologi kata maqasid merupakan bentuk jama’

dari maqasad yang berarti maksud dan tujuan. Sedangkan kata al-syari’ah

yang sejatinya berarti hukum-hukum Allah, baik yang ditetapkan oleh

Allah, maupun ditetapkan oleh Nabi sebagai penjelasan atas hukum yang

ditetapkan oleh Allah atau dihasilkan oleh mujtahid berdasarkan apa yang

ditetapkan oleh Allah atau dijelaskan oleh Nabi. Karena yang dihubungkan

kepada kata syari’at itu adalah kata “maksud”, maka kata al-syari’ah berarti

pembuat hukum atau syari’, bukan hukum itu sendiri58.

56 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas,

2008), h., 124-126. 57 Abdi Wijaya, “Cara Memahami Maqashid al-Syari’ah”, dalam Jurnal Ad-Daulah Vol. 4

/ No. 2 / Desember 2015, h., 346. 58 Amir Syarifuddin, Ushul fiqih jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2017), h., 231. Lihat juga Abdul

Manan dalam bukunya Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

Page 52: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

37

Al-Syari’ah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yakni,

syaraʻa-yasyraʻu-syarʻan yang berarti membuat syari’at atau undang-

undang, menerangkan serta menyatakan59. Sedangkan secara terminologi al-

syari’ah adalah al-nusus al-muqaddasah (teks-teks suci) dari al-Qur’an dan

al-Sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum dicampuri oleh

pemikiran manusia60. Adapun secara terminologi maqasid al-syari’ah

didefinisikan dengan berbagai pendapat.

Menurut Satria Efendi, maqasid al-syari’ah mengandung pengertian

umum dan pengertian khusus. Pengertian yang bersifat umum mengacu

pada apa yang dimaksud oleh ayat-ayat hukum atau hadits-hadits hukum,

baik yang ditunjukkan oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang

terkandung di dalamnya. Sedangkan pengertian yang bersifat khusus adalah

substansi atau tujuan yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum.

Sementara itu Wahbah al-Zuhailî mengartikan maqasid al-syari’ah dengan

makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara’ dalam seluruh

hukumnya atau sebagian besar hukumnya dan rahasia-rahasia yang

diletakkan oleh syara’ pada setiap hukumnya61.

Sedangkan secara terminologi Maqasid al-Syari’ah dimaknai oleh

Izzuddin bin Abd al-Salam62 dalam bukunya al-Qawa’id al-Sugra,

sebagaimana dikutip oleh Zul Anwar Harahap yaitu:

ع ي ر ش الت د اص ق م ع م ال ي ه ة ام ع ال ة ظ و ح ل م ال م ك ح ال و ي ان ع ي م ي ج ف ع ار لش ل

ال و ح أ

ع ي ر ش الت ه م ظ ع م و أ ص ت خ ا ت ل ث ي ح ا ب ه ت ظ ح لا م ب ن م اص خ ع و ي ن ف ن و ك ا ل ا ب

م ا كح أ

2006), h., 105 dan Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin dalam buku yang berjudul Kamus Ilmu

Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2009), h., 196. 59 Ali Mutakin, “Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath

Hukum”, dalam Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 3, (Agustus, 2017), pp. 547-570, h., 550. 60 Moh. Toriquddin, “Teori Maqashid Syariah Perspektif al-Syatibi”, dalam de Jure, Jurnal

Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, h., 34. 61 Ghofar Shidiq, “Teori Maqashid al-Syari’ah dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal Sultan

Agung Vol. XLIV No. 118 (Juni-Agustus 2009), h., 119. 62 Zul Anwar Ajim Harahap, “Konsep Maqashid al-Syari’ah sebagai Dasar Penetapan dan

Penerapannya dalam Hukum Islam Menurut Izzuddin bin Abd al-Salam (W.660H)”, dalam Jurnal

Tazkir Vol.9 No. (Juli-Desember 2014), h., 179.

Page 53: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

38

ذ ي ه ف ل خ د ي ف , ة ع ي ر الش ع م ال و ة ام ع ا ال ه ت ا ي غ و ة ع ي ر الش اف ص و ا أ و ل خ ا ي ي ل ت ال ي ان

م ن ع ع ي ر ش الت . اه ت ظ ح لا

“Maqasid al-Syariʻah adalah makna dan kebijaksanaan yang dipelihara

oleh syariʻ pada semua penetapan hukum atau sebagian besarnya sekalipun

tidak dikhususkan untuk memeliharanya pada setiap jenis hukum dari

hukum-hukum syariʻah, maka termasuk di dalamnya setiap hal yang diberi

sifat hukum dan tujuannya yang tidak terlepas syaraʻ dalam

memeliharanya”.

Selanjutnya Izzuddin bin Abd Salam menerangkan bahwa semua

maqasid bertujuan untuk memelihara aturan-aturan hukum yang ada untuk

mewujudkan kemaslahatan dan menolak hal-hal yang merusak63.

Dikalangan ulama ushul fiqh, maqasid al-syariʻah merupakan tujuan al-

syariʻ dalam menetapkan hukum. Tujuan hukum tersebut dapat dipahami

melalui penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Kemudian

ulama ushul fiqh tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa tujuan al-Syari’

menetapkan hukum adalah untuk kemaslahatan manusia (al-maslahah),

baik di dunia maupun di akhirat64.

Imam al-Ghazâlî mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah

adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara

tujuan-tujuan syara’. Suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan

syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena

kemaslahatan manusia sering didasarkan kepada hawa nafsu. Misalnya pada

zaman jahiliyah wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan, hal ini

merupakan kemaslahatan bagi mereka karena sesuai dengan adat istiadat

mereka, tetapi pandangan ini tidak sesuai dengan kehendak syara’, maka

tidak dinamakan maslahah.

Maka dari itu menurut Imam al-Ghazâlî, yang menjadi patokan

dalam menentukan kemaslahatan adalah kehendak dan tujuan syara’ bukan

63 Zul Anwar Ajim Harahap, “Konsep Maqashid al-Syari’ah sebagai Dasar Penetapan dan

Penerapannya dalam Hukum Islam Menurut Izzuddin bin Abd al-Salam (W.660H)”, dalam Jurnal

Tazkir Vol.9 No. (Juli-Desember 2014), h., 179. 64 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h., 304.

Page 54: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

39

kehendak dan tujuan manusia65. Berkaitan dengan hal tersebut Imam al-

Syaṯibi sebagaimana dikutip Ali Mutakin66 dalam jurnalnya mengatakan

bahwa:

ما هو لمصا لح ال عباد في ال عا جل وال ا جل معا ا رع إن ع الش إن وض

“sesungguhnya syari’ (pembuat syari’at) dalam mensyari’atkan hukumnya

bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hambanya baik di dunia

maupun di akhirat secara bersamaan.

2) Ruang lingkup Maqashid al-Syari’ah

Kemaslahatan akan terwujud apabila lima unsur pokok (usul al-

khamsah) dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok tersebut

adalah al-Dîn (agama), al-Nafs (jiwa), al-‘Aql (akal), al-Nasl (keturunan),

dan al-Mâl (harta). Untuk mewujudkan pemeliharaan ushul al-khamsah

tersebut, maka maslahah dibagi kepada tiga tingkatan kepentingan, yaitu

maslahah al-Ḏaruriyat (kemaslahatan primer), maslahah al-Hajiyat

(kemaslahatan sekunder), dan maslahah al-Tahsiniyat (kemaslahatan

tersier)67.

Maslahah al-Ḏaruriyat yaitu kebutuhan yang harus ada atau disebut

dengan kebutuhan primer. Apabila dalam tingkat ini tidak terpenuhi, maka

akan mengancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di

akhirat kelak. Menurut al- Syaṯibi dalam memelihara usul al-khamsah inilah

syariat Islam diturunkan. Dalam ayat hukum pun bila diteliti bertujuan

untuk memelihara lima pokok di atas68. Maslahah al-Hajiyat ialah

kemaslahatan yang diperlukan dalam menyempurnakan kemaslahatan

65 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu Anggota IKAPI, 1997),

h., 114. 66 Ali Mutakin, “Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath

Hukum”, dalam Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 3, (Agustus, 2017), pp. 547-570, h., 548. 67 Lihat Ali Mutakin, “Implementasi Maqashid al-Syari’ah dalam Putusan Bahts al-Masa’il

tentang Perkawinan Beda Agama”, dalam Jurnal Koordinat Vol. XV No. 2 (Oktober, 2016), h., 167.

Lihat juga Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, diterjemahkan oleh Khikmawati

(Kuwais), (Jakarta: Amzah, 2013). Yang membahas secara detil mengenai ushul al-khamsah. 68 Galuh Nashrullah Kartika MR dan Hasni Noor, “Konsep Maqashid al-Syariah dalam

Menentukan Hukum Islam (Perspektif al-Syatibi dan Jasser Auda)”, dalam Jurnal al-Iqtishadiyah

Volume I, Issue I, (Desember 2014), h., 54.

Page 55: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

40

pokok yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara

kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah dibolehkan

meringkas (qasr) shalat yang sedang musafir69.

Maslahah al-Tahsiniyat adalah kemaslahatan yang dimaksudkan

agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan

pemeliharaan kelima unsur pokok tersebut70. Seperti memakan makanan

yang halal, menutup aurat dan menjaga kebersihan. Menurut Abdul Wahab

Khallaf, apabila ketiga kemaslahatan di atas masing-masing telah dipenuhi

secara sempurna berarti telah terealisasi kemaslahatan manusia yang

merupakan tujuan hukum syariat71. Berikut ini akan dijelaskan mengenai

kelima pokok (usul al-khamsah) kemaslahatan tersebut:

1. Hifz al-Dîn (memelihara agama). Memeluk suatu agama merupakan

fitrah yang tidak bisa diingkari dan sangat dibutuhkan manusia. Allah

mensyari’atkan kepada setiap manusia untuk memelihara agama, baik

berkaitan dengan aqidah, ibadah, maupun muamalah72. Dalam hal

agama, Islam menjaga hak dan kebebasan berkeyakinan dan beribadah,

setiap pemeluk agama berhak atas agama dan mazhabnya tidak boleh

ada paksaan untuk meninggalkannya menuju agama atau mazhab lain.

Dasar hak ini sesuai dengan firman Allah73:

ين ٱإكراه في لا ٱمن لر شد ٱقد ت بي ن لد لغي

Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);

sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.

(Q.S al-Baqarah [2]: 256)

Memelihara agama dalam tingkat ḏaruriyat seperti melaksanakan

shalat lima waktu, jika shalat ini diabaikan maka akan terancamlah

69 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 116. 70 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: AMZAH,

2009), h., 197. 71 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 227. 72 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h., 115. 73 Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, penerjemah: Khikmawati (Kuwais),

(Jakarta: AMZAH, 2009), h., 1.

Page 56: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

41

keutuhan agama. Tingkat hajiyat seperti shalat jamaʻ dan qasar bagi

yang bepergian. Jika tidak dilaksanakan makan akan mempersulit orang

yang bepergian. Dalam tingkat tahsiniyat, misalnya menutup aurat

dalam shalat dan di luar shalat, membersikan pakaian dan badan. Pada

tingkatan ini berhubungan dengan akhlak terpuji dan menjunjung tinggi

martabat manusia, jika tidak dilakukan maka tidak akan merusak

keutuhan agama dan tidak mempersulit orang yang melakukannya74.

2. Hifz al-Nafs (memelihara jiwa). Hak hidup merupakan hak paling utama

yang diperhatikan Islam. Hak yang disucikan dan tidak boleh

dihancurkan kemuliaannya. Allah telah menciptakan manusia dengan

fitrah yang diciptakan-Nya untuk manusia dan menyempurnakan

tubuhnya dalam bentuk yang dikehendaki-Nya. Dalam firman Allah75:

ٱصنع تقن كل شيء إن ه ل ذي ٱ لل بما تفعلون ۥأ خبير

Artinya: (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh

tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang

kamu kerjakan. (Q.S al-Naml [27]:88)

Memelihara jiwa dalam tingkat ḏaruriyat seperti memperoleh

makanan untuk mempertahankan hidup, jika kebutuhan ini tidak

terpenuhi, maka akan mengancam jiwa manusia. Dalam tingkat hajiyat

seperti dibolehkannya berburu, menikmati makanan dan minuman lezat,

jika kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam hidup manusia

hanya saja akan mempersulit hidupnya. Sedangkan tingkat tahsiniyat

seperti adab ketika makan dan minum. Hal ini berhubungan dengan

kesopanan yang tidak mengancam jiwa manusia maupun mempersulit

kehidupan manusia76.

3. Hifz al-‘Aql (memelihara akal). Akal yang diciptakan Allah Swt untuk

manusia merupakan sumber hikmah (pengetahuan), cahaya mata hati,

74 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 228. 75 Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, penerjemah: Khikmawati (Kuwais),

h., 22. 76 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 228.

Page 57: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

42

dan media kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Dengan akal,

menjadikan manusia mulia dan berbeda dengan makhluk yang lainnya,

dan dengannya pula manusia berhak menjadi pemimpin di muka bumi.

Sebagaimana firman Allah Swt:

منا بني ءادم وحملنهم في ن لبحر ٱو لبر ٱولقد كر ي بت ٱورزقنهم م لنه لط م وفض

ن خلقنا تفضيلا علي كثير م م

Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,

Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki

dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang

sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S al-

Isra’ [17]:70)

Diriwayatkan juga dari Nabi Muhammad Saw:

ق ر ف ي ب ل ق ي ال ف ر و ن ل ق ع ال ن ي ب ه ب ل اط ب ال و ق ح ال

Artinya: Akal adalah cahaya dalam hati yang membedakan antara

perkara yang haq dan perkara yang batil77.

Dari sinilah Islam memerintahkan manusia untuk memelihara

akalnya dan menjaga segala macam yang merusak dan berkurangnya

akal tersebut. Apabila Allah menyempurnakan akal manusia maka

sempurnalah akal dan kebutuhannya. Cara memelihara akal dalam

tingkat ḏaruriyat adalah diharamkannya meminum minuman keras, jika

hal ini tidak dilarang maka akan merusak akal seseorang.

Dalam tingkat hajiyat dengan cara menuntut ilmu pengetahuan.

Apabila hal ini tidak dilakukan maka akan mempersulit seseorang dalam

kehidupannya. Sedangkan dalam tingkat tahsiniyat seperti

menghindarkan diri dari mengkhayal karena termasuk kegiatan yang

77 Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, penerjemah: Khikmawati (Kuwais),

(Jakarta: AMZAH, 2009), h., 91-93.

Page 58: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

43

tidak berfaedah. Hal ini jika tidak dilakukan tidak akan mengancam dan

mempersulit kehidupan manusia karena beraitan dengan etika78.

4. Hifz al-Nasl (memelihara keturunan). Berketurunan merupakan masalah

pokok bagi manusia dalam rangka memelihara kelangsungan manusia

di muka bumi ini79. Ketika nasab menjadi fondasi kekerabatan dalam

keluarga, maka Islam memberikan perhatiannya untuk melindungi

nasab dari segala sesuatu yang merusaknya. Dalam hal ini Allah

berfirman:

زك لهم إن قللك أ بصرهم ويحفظوا فروجهم ذ

وا من أ ٱل لمؤمنين يغض خبي لل ر

ولا يبدين وقل ٠٣بما يصنعون ويحفظن فروجهن بصرهن ل لمؤمنت يغضضن من أ

إل ا ولا يبدين زينتهن وليضربن بخمرهن علي جيوبهن إل ا ما ظهر منها زينتهن

و ءابائه أ ن لبعولتهن

و أ

أ نهن و إخو

أ بناء بعولتهن

و أ أ بنائهن

و أ أ و ءاباء بعولتهن

و أ يمنهن

و ما ملكت أ

أ و نسائهن

أ تهن خو

و بني أ

أ نهن بعين ٱبني إخو ل لت و

غير أ

و لر جال ٱ من لإربة ٱفل ٱأ ولا يضربن لن ساء ٱلم يظهروا علي عورت ل ذين ٱ لط

وتوبوا إلي ليعلم ما يخفين من زينتهن رجلهن ٱبأ ي ه لل

ا أ عل كم ل لمؤمنون ٱجميع

تفلحون

Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:

"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara

kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,

sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka

menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka

menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari

padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,

dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami

mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-

78 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 229. 79 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 115.

Page 59: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

44

putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-

saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,

atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita

islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan

laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau

anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah

mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka

sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai

orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S al-Nur [24]:

30-31)

Memelihara keturunan disini dapat dibedakan menjadi tiga

tingkatan yaitu tingkat ḏaruriyat seperti disyariatkan menikah dan

dilarang berzina. Jika aturan ini tidak dipatuhi maka akan mengancam

keutuhan keturunan. Tingkat hajiyat seperti diberikan hak talak kepada

suami. Jika hak ini tidak diperbolehkan, maka si suami akan kesulitan

ketika rumah tangga sudah tidak harmonis lagi. Pada tingkat tahsiniyat

seperti walimah dalam perkawinan. jika hal ini tidak dilakukan maka

tidak akan mengancam keutuhan keturunan hanya sedikit mempersulit

saja80.

5. Hifz al-Mâl (memelihara harta). Harta merupakan sesuatu yang pokok

dalam kehidupan manusia, dimana manusia tidak bisa dipisahkan

dengannya. Harta tersebut dihasilkan dengan cara bekerja dan mewaris,

sehingga seseorang tidak boleh mengambil harta orang lain dengan cara

yang bathil. Sebagaimana firman Allah81:

لاو لكم بينكم ب موكلوا أ

ام ٱوتدلوا بها إلي لبطل ٱتأ ن لحك كلوا فريقا م

لتأ

ل مو لن اس ٱأ نتم تعلمون لإثم ٱب

وأ

Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta

sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan

(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya

kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu

80 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 229. 81 Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, penerjemah: Khikmawati (Kuwais),

(Jakarta: AMZAH, 2009), h., 167-168.

Page 60: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

45

dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Q.S al-

Baqarah[2]: 188)

Memelihara harta dalam tingkat ḏaruriyat, seperti disyariatkannya

tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain

dengan cara yang tidak sah. Kalau aturan ini dilanggar maka akan

mengancam keutuhan harta. Tingkat hajiyat, seperti disyariatkannya

jual beli dengan cara salam. Jika cara ini tidak dipakai maka akan

mempersulit orang yang membutuhkan modal. Dalam tingkat

tahsiniyat, seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari usaha

penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika dalam bermuamalah atau

etika bisnis82.

82 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 230.

Page 61: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

46

46

BAB III

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI

A. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman

Dalam menegakkan aturan-aturan hukum yang ada di Indonesia,

maka diperlukan adanya suatu lembaga yang disebut kekuasaan kehakiman

(judicative power), dimana lembaga ini bertugas untuk menegakkan dan

mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius

constitutum)1. Istilah kekuasaan kehakiman2 ini pertama kali ditemukan

dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dimana kekuasaan kehakiman

disebut juga dengan kekuasaan yudikatif.

Sebelum membahas mengenai kekuasaan kehakiman di Indonesia,

terlebih dahulu didifinisikan yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman.

Kekuasaan kehakiman berasal dari Bahasa Belanda yaitu “Rechtterlijke

Macht”. Kekuasaan merupakan terjemahan dari kata power, yang bisa

diartikan sebagai authority yaitu wibawa, hak untuk bertindak, ahli, dan

wewenang3. Adapun “kehakiman” ialah lembaga pengadilan (justisia),

urusan hakim dan pengadilan, serta apa saja yang bersangkutan dengan

hukum4. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kehakiman

diartikan sebagai urusan hukum dan pengadilan, segala sesuatu yang

berkenaan dengan hukum baik undang-undang, pengadilan dan sebagainya5.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diartikan bahwa kekuasaan

kehakiman adalah kewenangan yang melekat pada hakim maupun lembaga

1 Bambang Sutiyoso, Motode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti

dan Berkeadilan), (Yogyakarta: UII Press, 2006), h., 2. 2 Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, Perbedaan Pendapat dalam Putusan Pengadilan,

(Yogyakarta: MedPress Digital, 2013), h., 1. 3 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), h., 137. 4 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman: Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana,

2012), h., 32. 5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,

2008), h., 503.

Page 62: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

47

kehakiman yang bersumber langsung dari konstitusi, untuk mengadili dan

memberikan putusan perkara di pengadilan yang bebas dari pengaruh pihak

manapun6. Kemudian diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945,

bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan7.

Menurut Harun al-Rasyid, kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan

merdeka yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, dan harus

adanya jaminan dalam undang-undang terhadap kedudukan hakim.

Berhubungan dengan itu, Jaenal Aripin menambahkan bahwasanya jaminan

tersebut tidak hanya diperuntukkan untuk hakim saja, tetapi untuk seluruh

pelaksana kekuasaan kehakiman, terutama lembaga-lembaga peradilan,

agar mereka dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan

hukum yang berlaku8.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah

“kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”9.

2. Ruang Lingkup Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu bentuk kekuasaan

tertinggi di Indonesia. Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami

perkembangan yang cukup dinamis, ditandai dengan perubahan perundang-

undangan yang mengaturnya, serta lembaga-lembaga peradilan yang

6 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman: Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana,

2012), h., 34. 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BAB IX, Pasal 24 ayat

(1). 8 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), h., 137-138. 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Pasal 1 ayat (1), h., 3.

Page 63: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

48

menyelenggarakan kekuasaan kehakiman secara menyeluruh10. Diantaranya

perubahan pengaturan mengenai kekuasaan kehakiman yang terdapat dalam

Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang bertujuan untuk mempertegas

posisi kekuasaan kehakiman, kewenangan pelaku kekuasaan kehakiman,

dan mekanisme pengisian anggota dari badan-badan kekuasaan

kehakiman11.

Berdasarkan perubahan tersebut, maka kekuasaan kehakiman

diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada

di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi12, yang kemudian dijelaskan secara rinci

dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat dari bagan berikut ini:

10 M. Natsir Asnawi, “Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Politik Hukum: (Studi

tentang Kebijakan Hukum dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman)”, dalam

Majalah Hukum Varia Peradilan No. 332 (Juli 2013), h., 101. 11 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, (Depok: PT

Rajagrafindo Persada, 2014), h., 50-51. 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BAB IX, Pasal 24 ayat

(2).

Page 64: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

49

Sumber: Diolah dari berbagai bacaan

Dalam penyelenggaraan kekuasaan tersebut, mengenai kedudukan

dan wewenang masing-masing badan peradilan tersebut telah diatur dalam

perundang-undangan di bawah ini13:

1. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun

2004 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

2. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun

2004 tentang Peradilan Umum.

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun

2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun

2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

5. Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

6. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

7. Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

13 Bambang Sutiyoso, Motode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti

dan Berkeadilan), (Yogyakarta: UII Press, 2006), h., 4.

KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

MAHKAMAH AGUNG

MAHKAMAH KONSTITUSI

PT PTA DILMILITAMA PT TUN

PTUNPN PA DILMIL

DILMILTI

Page 65: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

50

Sistem kekuasaan kehakiman telah beberapa kali mengalami

perubahan. Pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun

1964 yang dibuat pada zaman pemerintahan orde lama. Kemudian undang-

undang ini dicabut dan diganti oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.

Pada tahun 1999, undang-undang tersebut direvisi dengan pengundangan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Kemudian undang-undang ini

dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Pada

bulan Oktober 2009 undang-undang ini dicabut karena menurut pembentuk

undang-undang, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sudah tidak sesuai

dengan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang

Dasar Tahun 1945, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 48

Tahun 200914.

Berkaitan dengan hal itu, Mahfud MD menjelaskan bahwa

kekuasaan kehakiman mengalami perubahan. Sebelumnya kekuasaan

kehakiman hanya berpuncak pada Mahkamah Agung, sedangkan saat ini

puncak kekuasaan kehakiman terbagi menjadi dua yakni Mahkamah Agung

dan Mahkamah Konstitusi. Dimana Mahkamah Agung memegang

kekuasaan kehakiman dalam perkara konvensional dan Mahkamah

Konstitusi memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara

ketatanegaraan15.

Lembaga-lembaga kekuasaan kehakiman berdasarkan Undang-

Undang Dasar Tahun 1945 setelah amandemen akan diuraikan sebagai

berikut:

a. Mahkamah Agung (MA)

Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Mahkamah Agung

merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang

menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan16.

14 Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, Perbedaan Pendapat dalam Putusan Pengadilan,

(Yogyakarta: Medpress Digital, 2013), h., 2. 15 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman: Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana,

2012), h., 260. 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BAB IX, Pasal 24 ayat

(1).

Page 66: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

51

Dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman tersebut, Mahkamah

Agung merupakan Pengadilan Negara Tertinggi yang mmebawahi

empat lingkungan peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Militer maupun Peradilan Tata Usaha Negara17.

Kewenangan Mahkamah Agung adalah mengadili pada tingkat

kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir, menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap

undang-undang dan wewenang lainnya yang diberikan undang-

undang18. Selain itu, diatur pula mengenai kewenangan Mahkamah

Agung untuk memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat

hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan sebagaimana

diatur dalam undang-undang19. Dengan merujuk pada Undang-Undang

Dasar Tahun 1945, maka MA mempunyai dua kewenangan, yakni

pertama, mengadili pada tingkat kasasi, dan yang kedua menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Sedangkan

kewenangan lainnya hanya sebagai kewenangan tambahan yang

diberikan oleh undang-undang.

Adapun badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung

akan diuraikan sebagai berikut:

1) Peradilan Umum

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 Pasal 2, disebutkan

bahwa Peradilan Umum20 adalah salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan. Selanjutnya dalam

penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud rakyat pencari keadilan

ialah setiap orang baik warga negara maupun orang asing yang

mencari keadilan pada pengadilan di Indonesia. Kekuasaan

17 Bambang Sutiyoso, Motode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti

dan Berkeadilan), (Yogyakarta: UII Press, 2006), h., 4. 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, BAB III, Pasal 20 ayat (2). 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, BAB III, Pasal 22 ayat (1) (2). 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 2.

Page 67: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

52

kehakiman dalam operasionalnya di lingkungan Peradilan Umum

diselenggarakan oleh Pengadilan Negeri pada pengadilan tingkat

pertama, Pengadilan Tinggi Negeri pada pengadilan tingkat banding

dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi21.

Kewenangan Peradilan Umum adalah memeriksa, mengadili

dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan22. Selain itu di lingkungan Peradilan

Umum dapat diadakan pengkhususan, yakni adanya

diferensiasi/spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum, seperti

Pengadilan Lalu Lintas Jalan, Pengadilan Anak, Pengadilan

Ekonomi, sedangkan mengenai susunan, kekuasaan dan hukum

acaranya telah diatur oleh undang-undang23.

2) Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang

beragama Islam. Peradilan ini merupakan salah satu pelaksana

kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama

Islam mengenai perkara perdata tertentu24. Kewenangan Peradilan

Agama berdasarkan Pasal 25 ayat (3) ialah berwenang memeriksa,

mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang

beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan25.

Sedangkan yang menjadi kewenangan absolut pengadilan

agama adalah perkara-perkara keperdataan perkawinan, kewarisan,

dan hibah yang dilakukan menurut atau berdasarkan agama Islam,

21 Bambang Sutiyoso, Motode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti

dan Berkeadilan), (Yogyakarta: UII Press, 2006), h., 33. 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, BAB III, Pasal 25 ayat (2) 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,

BAB II, Pasal 8. 24 Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, (Jakarta: STIH

“IBLAM”, 2004), h., 38. 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, BAB III, Pasal 25 ayat (3).

Page 68: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

53

wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah26. Adapun tugas

yudisial lain Peradilan Agama adalah memberikan keterangan,

pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi

Pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta, dan tugas-tugas

lain berdasarkan undang-undang27.

Peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan agama pada

tingkat pertama dan pengadilan tinggi agama pada tingkat banding.

Pengadilan tinggi agama juga bertugas dan berwenang mengadili di

tingkat Pengadilan Agama dan menjadi terakhir dalam mengadili

sengketa yang berada di pengadilan daerah kewenangannya28.

3) Peradilan Militer

Peradilan Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan

kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan

hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan

penyelenggaraan pertahanan keamanan negara29. Adapun wewenang

Peradilan Militer yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh seseorang yang

berstatus anggota militer sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan30. Apabila terjadi kasus pidana yang dilakukan

oleh anggota militer, maka berlaku hukum pidana militer yang diatur

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)

sebagai hukum materiil, dan Hukum Acara Pidana Militer sebagai

hukum formil31.

26 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman: Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana,

2012), h., 278. 27 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama,

2007), h., 84. 28 Lihat Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,

Pasal 5 ayat (1). 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, BAB III, Pasal 25 ayat (4). 31 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan

Kehakiman di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2005), h., 36.

Page 69: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

54

Peradilan Militer dilaksanakan oleh: (1) Pengadilan Militer

sebagai pengadilan tingkat pertama untuk perkara pidana yang

dilakukan oleh anggota TNI/ABRI atau dipersamakan dengan itu,

(2) Pengadilan Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding

untuk perkara pidana militer dan sebagai pengadilan tingkat pertama

untuk perkara sengketa tata usaha angkatan bersenjata, (3)

Pengadilan Militer Utama sebagai pengadilan tingkat banding untuk

perkara sengketa tata usaha angkatan bersenjata, (4) Pengadilan

Militer Pertempuran sebagai Pengadilan Tingkat Pertama untuk

perkara pidana yang dilakukan oleh anggota TNI/ABRI atau

dipersamakan dengan itu dalam pertempuran32.

4) Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap

sengketa Tata Usaha Negara33. Yang dimaksud dengan sengketa

Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata

usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah,

sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,

termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku34.

Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan

Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama, yang

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan

sengketa tata usaha, sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara sebagai pengadilan tingkat banding yang bertugas dan

berwenang memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara di

32 Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, (Jakarta: STIH

“IBLAM”, 2004), h., 43-44. 33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 4. 34 Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, (Jakarta: STIH

“IBLAM”, 2004), h., 41.

Page 70: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

55

tingkat banding, dan juga memeriksa dan memutus di tingkat

pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara

Pengadilan TUN di dalam daerah hukumnya, kemudian berpuncak

pada Mahkamah Agung35.

b. Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga tinggi

negara yang memiliki kedudukan yang sederajat dengan Mahkamah

Agung36. Namun, Mahkamah Konstitusi berdiri sendiri dan terpisah dari

Mahkamah Agung (duality of jurisdiction). Dalam hal kedudukan Ia

tidak seperti halnya Mahkamah Agung yang memiliki beberapa badan

peradilan di bawahnya sampai pada tingkat pertama kabupaten/kota,

Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibu kota negara37.

Adapun wewenang Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan

oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran politik dan

perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta memutus pendapat

DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil

Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar38.

B. Kewenangan Pengadilan Negeri

Pengadilan Negeri merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman

di Indonesia dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan Negeri merupakan

pengadilan tingkat pertama, yang berwenang memeriksa, memutus, dan

35 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama,

2007), h., 84. 36 Zainal Arifin Hoesein, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (Sejarah, Kedudukan,

Fungsi, dan Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Konstitusi), (Malang: Setara

Press, 2016), h., 180. 37 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), h., 195. 38 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BAB IX, Pasal 24C ayat

(1) dan (2).

Page 71: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

56

menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama39.

Menurut staatsblad 1847 Nomor 23, yang termasuk perkara perdata adalah

semua perselisihan tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya,

utang-piutang atau hak-hak perdata yang lain, kecuali sekiranya undang-undang

memberikan kewenangan pengadilan lain untuk memeriksa dan memutusnya40.

Perkara perdata yang dimaksudkan di atas tidak hanya berupa sengketa saja,

tetapi juga menyangkut penyelesaian masalah dalam bentuk permohonan

(voluntair), yaitu tuntutan yang tidak mengandung sengketa. Selain tugas dan

wewenang tersebut, pengadilan juga dapat diserahi tugas dan kewenangan lain

oleh atau berdasarkan undang-undang, seperti pengadilan dapat memberikan

keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum kepada instansi

Pemerintah di daerahnya apabila diminta. Pengadilan dapat diserahi tugas dan

wewenang lainya oleh atau berdasarkan undang-undang41.

Wewenang Pengadilan Negeri yang disebutkan di atas adalah wewenang

mutlak atau kompetensi absolut, yaitu kewenangan badan pengadilan dalam

memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh

badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (seperti

Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan

lain (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama)42.

C. Kronologis Izin Perkawinan Beda Agama di Pengadilan Negeri

Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Pengadilan Negeri Blora

No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla

1. Pokok Gugatan dalam Perkara No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt, dan

No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla.

39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,

BAB III, Pasal 50. 40 Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, Perbedaan Pendapat dalam Putusan Pengadilan,

(Yogyakarta: Medpress Digital, 2013), h., 7. 41 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,

BAB III, Pasal 52 (1) dan (2). 42 Supandi, “Kompetensi Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara

Menyelesaikan Sengketa Informasi Publik”, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXVIII

No. 331 (Juni 2013), h., 29.

Page 72: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

57

Dalam putusan No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt43, terdapat beberapa

duduk perkara yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam

menyelesaikan perkara perkawinan beda agama antara pemohon I (AVR)

yang beragama Katolik dan pemohon II (DF) yang beragama Islam, telah

mengajukan permohonan untuk melaksanakan perkawinan ke Kantor Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil, namun permohonan tersebut ditolak

dengan alasan adanya perbedaan agama, sesuai dengan ketentuan Pasal 2

ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

jo. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.

Kemudian juga disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, bahwa perkawinan

tersebut dapat dicatatkan setelah mendapatkan penetapan dari Pengadilan

Negeri. Selanjutnya, para pemohon mengajukan permohonan ijin kepada

Pengadilan Negeri Surakarta untuk melangsungkan perkawinan dengan

tetap pada pendiriannya menganut kepercayaan masing-masing. Karena

berdasarkan pokok perkara tersebut, pada prinsipnya perbedaan agama

tidaklah menjadi penghalang untuk melakukan perkawinan berdasarkan

asas hukum yang berlaku di Indonesia.

Selanjutnya, para pemohon meminta agar Pengadilan Negeri

Surakarta memeriksanya dan memberikan penetapan: mengabulkan

permohonan para pemohon, memberikan ijin kepada para pemohon untuk

melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan

dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, memerintahkan kepada Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan

pencatatan tentang perkawinan beda agama ke dalam register pencatatan

perkawinan yang digunakan untuk itu, dan membebankan biaya

permohonan kepada para pemohon.

43 Salinan Penetapan Nomor: 46/Pdt.P/2016/PN.Skt (Lihat dalam lampiran)

Page 73: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

58

Selain alasan-alasan yang telah disebutkan tersebut, untuk

menguatkan permohonannya para pemohon menyerahkan bukti-bukti surat

baik asli maupun foto copy yang telah dicocokkan dengan surat aslinya serta

menghadirkan 2 (dua) orang saksi yaitu Heribertus Soetardjo dan Sugeng

Sartono. Kedua saksi yang diajukan oleh para pemohon merupakan orang

terdekat pemohon I (AVR) dan tidak mengenal pemohon II (DF).

Kemudian selain saksi-saksi tersebut, Pengadilan menganggap perlu

mendengar keterangan dari bapak Bassilus Sutanta dan ibu Veronika Sri

Ernawati selaku orang tua pemohon I yang hadir di persidangan, meskipun

keterangan tersebut tidak di bawah sumpah atau janji, akan tetapi dicatat

dalam Berita Acara Persidangan yang menerangkan bahwa mereka

membenarkan maksud dan tujuan para pemohon mengajukan permohonan

ke Pengadilan untuk mendapatkan ijin melangsungkan perkawinan beda

agama dan memberikan restu kepada para pemohon untuk menikah beda

agama yang kemudian perkawinan tersebut dilaksanakan menurut agama

Katolik di Kantor Catatan Sipil Surakarta. Bukti-bukti dan keterangan

kedua saksi yang diajukan oleh para pemohon, berguna untuk menguatkan

hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam memberikan keputusan atas

perkara perkawinan beda agama.

Sedangkan dalam putusan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla44. duduk

perkara yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam

menyelesaikan perkara perkawinan beda agama antara pemohon I (NOBA)

yang beragama Islam dan pemohon II (YA) yang beragama Kristen, bahwa

mereka telah menjalin hubungan saling mencintai, sudah ada kecocokan dan

saling pengertian karena sudah berpacaran sejak tahun 2004 sampai dengan

2017 (lebih kurang 13 tahun). Kemudian mereka bersepakat bahwa akan

melangsungkan perkawinan setelah mendapatkan restu dari keluarga

masing-masing. Setelah para pemohon mendapatkan restu dari masing-

masing keluarga, para pemohon berencana akan melaksanakan lamaran

44 Salinan Penetapan Nomor: 71/Pdt.P/2017/PN.Bla (Lihat dalam lampiran)

Page 74: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

59

setelah mendapatkan putusan atau penetapan Pengadilan Negeri Blora

tentang Izin Perkawinan Beda Agama yaitu sesaat sebelum Upacara

Perkawinan dilaksanakan.

Dalam hal perkawinan atau perkawinan beda agama telah diatur

dalam peraturan perundang-undangan yaitu: Undang-Undang No 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1), Petunjuk-petunjuk Mahkamah

Agung No: M.A/Pemb/0807/1975 tanggal 20 Agustus 1975 mengenai

Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Peraturan

Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Perkawinan No 1 Tahun 1974, Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan Bab XIV Ketentuan Penutup Pasal 66, Peraturan

Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Perkawinan No 1 Tahun 1974 Bab II mengenai Pencatatan Perkawinan,

Pasal 2 ayat (2) serta KUH Perdata Bab IV tentang Perkawinan, Pasal 26.

Kemudian berdasarkan dalil-dalil sebagaimana yang disebutkan di

atas, maka selanjutnya para pemohon meminta agar Pengadilan Negeri

Blora memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan: menerima dan

mengabulkan permohonan para pemohon, menetapkan memberikan izin

perkawinan beda agama kepada para pemohon, memerintahkan kepada

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk membukukan perkawinan

beda agama tersebut dalam register catatan sipil, serta membebankan biaya

perkara dan biaya-biaya lain dalam perkara ini kepada para pemohon sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain alasan-alasan yang telah disebutkan tersebut, untuk

menguatkan permohonannya para pemohon yang diwakili oleh Kuasa

Hukumnya di hari persidangan menyatakan tidak ada perubahan pada isi

permohonan para pemohon tersebut dan kemudian menyerahkan bukti-

bukti surat berupa foto copy surat-surat yang telah dicocokkan dengan surat

aslinya yang dibubuhi materai yang cukup sehingga bukti-bukti surat

tersebut dapat diterima sebagai alat bukti yang sah serta menghadirkan 4

(empat) orang saksi yaitu Yayuk Budhi Rahayu yang merupakan ibu

Page 75: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

60

kandung dari pemohon I (NOBA), Deborah Sri Rahayu adalah kakak

kandung dari pemohon I (NOBA), Yanto Pandiangan merupakan Pendeta

di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora, serta Widodo yang merupakan

Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil di Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kabupaten Blora.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi tersebut, Kuasa Hukum para

pemohon menanggapinya dengan kesimpulan bahwa para pemohon datang

ke Pengadilan Negeri Blora untuk mengajukan permohonan ijin menikah

beda agama, pernikahan tersebut rencananya akan dilaksanakan pada

tanggal 8 Mei 2017 atau tanggal 10 Mei 2017 di Gereja GBI Arumdalu,

Kab.Blora dengan berkeinginan baik sebelum menikah maupun setelah

menikah para pemohon tetap pada pendiriannya menganut agamanya

masing-masing. Pemohon I (NOBA) setuju menikah di gereja tetapi tetap

menggunakan jilbab pada waktu acara pernikahan di gereja tersebut.

2. Dasar dan Pertimbangan Hukum dalam Perkara

No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt, dan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla.

Adapun mengenai pertimbangan hukumnya pada putusan perkara

No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt45 yaitu adanya permohonan tersebut didasarkan

pada alasan bahwa terjadi penolakan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Surakarta, karena perbedaan agama menyebabkan tidak dapat

dilangsungkannya perkawinan tersebut, dan selanjutnya mengajukan

permohonan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan ijin berupa

penetapan. Tujuan pokok diajukannya permohonan ini adalah agar

Pengadilan Negeri Surakarta dapat memberikan ijin kepada para pemohon

untuk melangsungkan perkawinan di hadapan pejabat pencatat perkawinan

pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta

dengan tetap menganut agama masing-masing.

Berdasarkan bukti surat-surat yang diajukan oleh para pemohon baik

surat asli maupun fotocopy secara keseluruhan dapat diterima sebagai alat

45 Salinan Penetapan Nomor: 46/Pdt.P/2016/PN.Skt (Lihat dalam lampiran)

Page 76: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

61

bukti yang sah dan memiliki kekuatan hukum. Demikian juga dengan saksi-

saksi yang memberikan keterangan, tidak ada halangan hukum sebagai saksi

di depan persidangan yang kemudian keterangan mereka saksi-saksi dapat

dipedomani sebagai keterangan yang berkekuatan hukum.

Kemudian menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dimana adanya dua instansi Pegawai

Pencatat Perkawinan yaitu Pegawai Pencatat Perkawinan untuk beragama

Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagaimana yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Nikah, Talaq dan Rujuk,

sedangkan Pegawai Pencatat Perkawinan bagi yang beragama selain agama

Islam di Kantor Catatan Sipil. Kedua instansi pencatat perkawinan tersebut

berdasarkan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak diperbolehkan menolak

melangsungkan perkawinan, dan apabila terdapat pelanggaran ketentuan

Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka kedua instansi pencatat

perkawinan tersebut akan menolak melangsungkan atau membantu

melangsungkan perkawinan.

Bagi mereka yang perkawinannya ditolak diberi hak untuk mohon

campur tangan pengadilan, yaitu Pengadilan Agama bagi mereka yang

beragama Islam, dan Pengadilan Negeri bagi mereka yang beragama selain

agama Islam berdasarkan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 21 tersebut, berlaku bagi

mereka yang melangsungkan perkawinan yang seagama yaitu sama-sama

Islam atau sama-sama selain beragama Islam.

Dihubungkan dengan permohonan para pemohon, penolakan oleh

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta didasarkan

karena pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan berlainan agama.

Penolakan ini didasarkan pada Surat Menteri Dalam Negeri Nomor

447/2535/PUOD tertanggal 25 Juli 1990 butir 2 yang menyatakan bahwa

“bagi mereka yang menyatakan tidak melaksanakan ajaran dari salah satu

Page 77: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

62

agama dari 5 (lima) agama yang ada di Indonesia (Islam, Katolik,

Protestan, Hindu, dan Budha), maka pencatatan terhadap mereka tidak

dapat dilaksanakan”.

Selanjutnya, dalam putusan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla46 adapun

maksud dan tujuan permohonan ini adalah para pemohon ingin mengajukan

permohonan ijin menikah beda agama sebelum memberitahukan kepada

Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Blora, Kuasa

Hukum para pemohon telah mengajukan bukti surat-surat P.1 s/d P.9 dan 4

(empat) orang saksi di persidangan, berdasarkan bukti surat P.1 dan P.2

berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan keterangan saksi-saksi

menunjukkan bahwa para pemohon berdomisili di wilayah Kabupaten

Blora, maka Pengadilan Negeri Blora berwenang dalam memeriksa

permohonan ini.

Kemudian, menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa “perkawinan

merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,

dilanjutkan dengan Pasal 6 ayat (1) bahwa “perkawinan didasarkan atas

persetujuan kedua calon mempelai”, Pasal 7 ayat (1) bahwa “perkawinan

hanya diizinkan bila pria mencapai umur 19 tahun dan wanita mencapai

usia 16 tahun”.

Berdasarkan bukti surat P.3 dan P.4 berupa Kutipan Akta Kelahiran

para pemohon dan bukti surat P.5 dan P.6 berupa Kartu Keluarga para

pemohon serta keterangan saksi-saksi bahwa para pemohon telah mencapai

batas umur untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana yang telah

diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974. Selanjutnya bukti surat P.8 dan keterangan saksi Yayuk Budhi, bahwa

46 Salinan Penetapan Nomor: 71/Pdt.P/2017/PN.Bla (Lihat dalam lampiran)

Page 78: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

63

Bambang Marjono yang merupakan ayah dari pemohon I Neneng Oktora

Budi telah meninggal pada 13 Februari 2012.

Menurut keterangan saksi Yayuk Budhi dan saksi Deborah Sri

Rahayu yang merupakan keluarga dari para pemohon bahwa pernikahan

para pemohon telah disetujui oleh keluarga karena mereka saling mencintai,

pernikahan tersebut rencananya akan dilaksanakan di Gereja GBI

Arumdalu, Kabupaten Blora. Kemudian saksi yang merupakan Kepala

Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil di Kantor Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kabupaten Blora memberikan keterangan bahwa Akte

Perkawinan untuk perkawinan beda agama tersebut akan dikeluarkan

setelah para pemohon mendapatkan penetapan ijin menikah beda agama

dari Pengadilan Negeri.

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan menjelaskan bahwa “perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan”. Oleh

karena pemohon I (NOBA) beragama Islam dan pemohon II (YA) beragama

Kristen, maka Hakim akan mempertimbangkan sahnya perkawinan menurut

agama Islam dan agama Kristen.

3. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan

Negeri Blora

Dalam memberikan penetapan atas suatu perkara, hakim selalu

menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan landasan dalam

mengambil keputusan. Pada penetapan Nomor 46/Pdt.P/2016/PN.Skt47,

hakim Pengadilan Negeri Surakarta mempertimbangkan bahwa dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat

suatu ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama dan

atau kepercayaan antara calon suami dan calon istri merupakan larangan

perkawinan.

47 Salinan Penetapan Nomor: 46/Pdt.P/2016/PN.Skt (Lihat dalam lampiran)

Page 79: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

64

Dalam hal ini sejalan dengan Pasal 27 Undang-Undang Dasar Tahun

1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum, tercakup dalam hak asasi untuk kawin

dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan atau

kepercayaan selama tidak ditentukan oleh undang-undang bahwa perbedaan

agama dan atau kepercayaan merupakan larangan untuk melangsungkan

perkawinan, juga sejalan dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Tahun

1945 bahwa dijaminnya oleh negara kemerdekaan setiap warga negara

untuk memeluk agama dan atau kepercayaannya masing-masing.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Undang Nomor 1 Tahun

1974 tidak mengatur mengenai perkawinan dari pasangan yang berbeda

agama. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor.1400 K/Pdt/1986 tanggal 20

Januari 1989 lebih mempertegas mengenai perkawinan beda agama yang

berbunyi: “Bahwa perbedaan agama dari calon suami istri tidak

merupakan larangan perkawinan bagi mereka”. Begitu pula dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak terdapat satu pasal pun

yang mengatur tentang bagaimana melangsungkan perkawinan antara orang

yang berlainan agama atau kepercayaan.

Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas, maka perkawinan yang

dilakukan oleh pihak yang berbeda agama hingga kini belum ada

peraturannya dan itu berarti dalam hal perkara ini telah terjadi kekosongan

hukum (rechts vacum). Oleh karena belum adanya aturan yang mengatur,

sementara dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dirubah dan ditambah

dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dirubah dan ditambah

dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman ditentukan bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk

memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan

dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas”.

Oleh karena adanya kekosongan hukum, maka sejalan dengan

ketentuan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut, Hakim wajib

Page 80: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

65

menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum dan

bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa terlebih dahulu harus

dicari dalam praktek hukum yang telah terjadi berkenaan dengan hal

tersebut. Berdasarkan ketentuan hukum yang telah disebutkan dan setelah

memperhatikan bukti-bukti surat maupun keterangan saksi-saksi dan

terutama niat atau kehendak para pemohon untuk melangsungkan

pernikahan mereka meskipun mereka saat ini berbeda agama, maka

permohonan para pemohon dapat dikabulkan.

Dengan memperhatikan segala pasal dan ketentuan lain yang

berhubungan dengan perkara ini, hakim menetapkan: mengabulkan

permohonan para pemohon, memberikan ijin kepada para pemohon untuk

melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan

dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, memerintahkan kepada Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan

pencatatan perkawinan beda agama para pemohon tersebut ke dalam

register Pencatatan Perkawinan, membebankan biaya perkara permohonan

sebesar Rp.151.000,- (seratus lima puluh satu ribu rupiah) kepada para

pemohon.

Sedangkan dalam penetapan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla48 Hakim

Pengadilan Negeri Blora mempertimbangkan bahwa dalam ajaran agama

Islam terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 221 disebutkan bahwa seorang

perempuan muslim tidak diperbolehkan menikah dengan seorang laki-laki

yang bukan muslim. Diperjelas lagi dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal

44 menyebutkan bahwa “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan

perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.

Berdasarkan hal tersebut maka ajaran Islam tidak membolehkan perkawinan

beda agama.

Menurut keterangan saksi Yanto Pandiangan yang merupakan

pendeta di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora menerangkan bahwa

48 Salinan Penetapan Nomor: 71/Pdt.P/2017/PN.Bla (Lihat dalam lampiran)

Page 81: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

66

ajaran agama Kristen juga melarang pernikahan beda agama, sehingga

pernikahan para pemohon bisa dilaksanakan di gereja apabila pemohon I

(NOBA) mau melepaskan atribut yang menunjukkan beragama Islam.

Kemudian para pemohon dalam persidangan menyatakan bahwa para

pemohon tetap pada pendiriannya menganut agamanya masing-masing baik

sebelum menikah maupun setelah menikah yaitu pemohon I (NOBA) tetap

beragama Islam dan pemohon II (YA) tetap beragama Kristen.

Dikarenakan para pemohon menyatakan tetap ingin menganut

agamanya masing-masing, sedangkan di dalam ajaran Islam maupun agama

Kristen tidak membolehkan pernikahan beda agama maka berdasarkan

ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, keinginan

para pemohon yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama tidak

dapat dilaksanakan karena pernikahan beda agama dilarang menurut ajaran

agama para pemohon sehingga permohonan para pemohon tidak dapat

dikabulkan. Oleh karena permohonan para pemohon tidak dikabulkan,

maka permohonan ijin pernikahan beda agama tersebut ditolak.

Mengenai bukti surat P.7 yang berupa penetapan Nomor.

156/Pdt.P/2010/PN.Ska diajukan para pemohon di persidangan, Hakim

tidak akan mempertimbangkan bukti surat tersebut. Permohonan ini ditolak,

maka para pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara ini. Dengan

memperhatikan pasal-pasal di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan peraturan lain yang berkaitan dengan perkara ini,

maka Hakim menetapkan bahwa: menolak permohonan para pemohon, dan

menghukum para pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp.316.000,- (tiga ratus enam belas ribu rupiah).

Page 82: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

68

68

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN NEGERI

No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla

A. Perbandingan Pertimbangan Hakim Pegadilan Negeri Surakarta

(No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt) dan Pengadilan Negeri Blora

(No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla)

Pada dasarnya terdapat beberapa aturan yang mengatur tentang hukum

perkawinan di Indonesia, sebagaimana yang telah disebutkan pada bab

sebelumnya bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang masih berlaku

sampai sekarang diantaranya adalah: Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan khusus untuk orang-orang yang

beragama Islam, juga berlaku Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)1.

Berbeda halnya dengan perkawinan beda agama yang tidak memiliki

legalitas hukum secara tegas. Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur

secara khusus mengenai larangan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan

yang memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda. Hal ini menimbulkan

penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat, sehingga

mengakibatkan perdebatan mengenai hukum perkawinan beda agama.

Meskipun bersumber pada aturan hukum yang sama, namun dapat

menghasilkan keputusan yang berbeda.

Seperti penetapan hakim Pengadilan Negeri Surakarta dan hakim

Pengadilan Negeri Blora dalam menetapkan perkawinan beda agama, antara

Hakim yang satu dengan Hakim yang lainnya menghasilkan penetapan yang

1 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan Qanuniah,

(Tangerang: Lentera Hati, 2015), h., 132.

Page 83: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

69

berbeda karena dalam memeriksa suatu perkawinan beda agama hakim

memiliki keyakinan dan penafsiran yang berbeda-beda mengenai hukum agama

dan hukum nasional.

1. Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Izin

Perkawinan Beda Agama

Dalam putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor:

46/Pdt.P/2016/PN.Skt2, pemohon I (AVR) yang beragama Katolik dan

pemohon II (DF) yang beragama Islam berniat melangsungkan perkawinan.

Para pemohon hendak mengurus perkawinannya di Kantor Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, namun permohonan

tersebut ditolak karena para pemohon beda agama dengan alasan sesuai

ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.

Perkawinan tersebut dapat dilaksanakan setelah mendapatkan penetapan

dari Pengadilan Negeri Surakarta.

Pada penetapan ini pengadilan berpendapat bahwa para pemohon

telah dapat membuktikan dalil-dalil permohonannya sebagaimana yang

telah penulis uraikan sebelumnya, dengan memperhatikan bukti-bukti surat

maupun keterangan saksi dan niat para pemohon maka hakim mengabulkan

permohonan izin perkawinan beda agama. Pertimbangan yang digunakan

hakim dalam mengabulkan permohonan para pemohon atas izin perkawinan

beda agama, diantaranya adalah hakim mempertimbangkan bahwa dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat

suatu ketentuan yang jelas dilarangnya perkawinan antara calon suami dan

calon istri yang berbeda keyakinan atau kepercayaan.

Kemudian pertimbangan tersebut dianggap sejalan dengan Pasal 27

dan Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Termasuk di dalamnya hak

untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan

2 Salinan Penetapan Nomor: 46/Pdt.P/2016/PN.Skt (Lihat dalam lampiran)

Page 84: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

70

atau kepercayaan selama tidak ditentukan oleh undang-undang bahwa

perbedaan agama dan atau kepercayaan merupakan larangan untuk

melangsungkan perkawinan dan dijaminnya oleh negara bagi setiap warga

negara untuk memeluk agama atau kepercayaan masing-masing.

Oleh karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur

mengenai perkawinan dari pasangan yang berbeda agama, maka hakim

menggunakan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor.1400 K/Pdt/1986

tanggal 20 Januari 1989 yang lebih mempertegas mengenai perkawinan

beda agama yang berbunyi: “Bahwa perbedaan agama dari calon suami

istri tidak merupakan larangan perkawinan bagi mereka”. Begitu pula

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak terdapat satu pasal

pun yang mengatur tentang bagaimana melangsungkan perkawinan antara

orang yang berlainan agama atau kepercayaan.

Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas, maka hakim

berpendapat bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pihak yang berbeda

agama hingga kini belum ada peraturannya dan itu berarti dalam hal perkara

ini telah terjadi kekosongan hukum (rechts vacum). Oleh karena belum

adanya aturan yang mengatur, sementara dalam Pasal 14 Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

1999 dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Pengadilan tidak boleh

menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan

kepadanya dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas”.

Maka dari itu, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Kekuasaan

Kehakiman tersebut, Hakim wajib menggali hukum yang tidak tertulis

untuk memutus berdasarkan hukum dan bertanggung jawab kepada Tuhan

Yang Maha Esa terlebih dahulu harus dicari dalam praktek hukum yang

telah terjadi berkenaan dengan hal tersebut. Dari ketentuan-ketentuan

hukum yang telah disebutkan dan setelah memperhatikan bukti-bukti surat

maupun keterangan saksi-saksi dan terutama niat atau kehendak para

Page 85: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

71

pemohon untuk melangsungkan pernikahan mereka meskipun mereka saat

ini berbeda agama, maka permohonan para pemohon dapat dikabulkan.

Dengan memperhatikan segala pasal dan ketentuan lain yang

berhubungan dengan perkara ini, hakim menetapkan: mengabulkan

permohonan para pemohon, memberikan ijin kepada para pemohon untuk

melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan

dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, memerintahkan kepada Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan

pencatatan perkawinan beda agama para pemohon tersebut ke dalam

register Pencatatan Perkawinan, membebankan biaya perkara permohonan

sebesar Rp.151.000,- (seratus lima puluh satu ribu rupiah) kepada para

pemohon.

Hasil analisa penulis, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

hakim yang telah penulis uraikan di atas, maka dengan merujuk kepada

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 2 ayat (1) yang

menyatakan bahwa3 “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, dalam

penjelasan pasal disebutkan bahwa perkawinan harus dilakukan

berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, hal ini

sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dimana ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan

kepercayaannya itu tidak bertentangan dalam Undang-Undang ini.

Jika dicermati secara saksama, maka dapat dikatakan bahwa hukum

masing-masing agama dan kepercayaan menjadi tolak ukur sahnya suatu

perkawinan, dimana dalam hal pelaksanaan perkawinan tersebut hanya

tunduk pada satu hukum agama saja. Dengan kata lain, perkawinan tidak

dapat dilaksanakan dengan menggunakan dua hukum agama yang berbeda.

Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal

3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2

ayat (1).

Page 86: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

72

10 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Tata cara Perkawinan dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Hakim mendasarkan pendapatnya pada Undang-Undang Dasar

Tahun 1945 Pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum, yang kemudian sejalan dengan

Pasal 29 tentang kebebasan tiap-tiap orang memeluk agama dan beribadah

menurut agama yang dianutnya, adalah kurang tepat karena pasal tersebut

terlalu umum. Di dalam pasal maupun penjelasan pasal tersebut tidak

menjelaskan hak untuk kawin dengan berlainan agama dan kepercayaan

tercakup di dalamnya.

Selanjutnya, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tersebut

diperkuat lagi oleh Pasal 8 huruf (f) yang menyebutkan bahwa perkawinan

dilarang apabila dua orang tersebut mempunyai hubungan yang oleh

agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Ini berarti

bahwa Pasal 8 huruf (f) ini merupakan halangan untuk melangsungkan

perkawinan antara mereka yang berbeda agama, sehingga lembaga

pencatatan (KUA dan Kantor Catatan Sipil) tidak dapat menerima

permohonan tersebut karena status agama para pemohon. Dengan demikian,

dapat dikatakan bahwa ketika para pihak mengajukan permohonan tersebut

mereka sudah tidak menghiraukan status agamanya dan meminta campur

tangan pengadilan agar perkawinan tersebut dapat dilaksanakan dan

dicatatkan.

Hakim dalam mengeluarkan penetapan guna untuk memerintahkan

pencatatan perkawinan beda agama oleh Kantor Catatan Sipil. Alasan

Pengadilan Negeri Surakarta menerima permohonan izin perkawinan beda

agama ini karena menimbang diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan

Kehakiman Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dirubah dan ditambah

dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dirubah dan ditambah

dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 bahwasanya, “Pengadilan

tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara yang diajukan

Page 87: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

73

kepadanya dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas,

melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Dalam kasus yang belum ada undang-undang/hukum tertulis yang

mengaturnya, maka hakim harus menemukan hukumnya dengan menggali

dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat4. Keabsahan

perkawinan beda agama ini jika dilihat dari segi yuridis formal adalah sah,

karena mereka yang melakukan perkawinan beda agama ini telah dicatatkan

dan memiliki akta perkawinan yang dikeluarkan oleh pejabat Kantor Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta. Namun, hal tersebut

hanya berupa administratif saja. Sementara jika dikembalikan pada aturan

hukum yang berlaku, perkawinan ini adalah tidak sah. Dengan kata lain,

tidak sah menurut peraturan perundang-undangan dan hukum agama.

Pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan

sebagaimana yang telah disebutkan di atas sudah mengakomodasi hukum-

hukum yang berlaku dalam masing-masing agama. Di samping dijelaskan

bahwa ada larangan-larangan yang disebutkan di dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya,

juga ada larangan-larangan dari hukum masing-masing agamanya5.

Larangan tersebut dinyatakan secara tegas dalam Fatwa MUI Tahun 1980

dan dipertegas kembali dalam Fatwa MUI Tahun 2005, kemudian

Kompilasi Hukum Islam mengatur melalui Pasal 40, 44, 61 dan 75.

Dalam perkara ini perkawinan beda agama yang dimaksud adalah

perkawinan antara wanita nonmuslim dengan laki-laki muslim. Mengenai

perkawinan tersebut, agama Islam telah mengatur secara tegas dalam al-

Qur’an surah al-Mumtahanah ayat 10 bahwasanya, “Dan janganlah kamu

tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan

kafir” (Q.S al-Mumtahanah [60]:10). Ayat tersebut memperkuat dalil

4 Afif Khalid, “Penafsiran Hukum oleh Hakim dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, dalam

Jurnal Al’Adl, Volume VI Nomor 11, (Januari-Juni 2014), h., 25. 5 https://anastasyaleony.wordpress.com/2016/03/18/sahnya-perkawinan-beda-agama-

dtinjau-dari-undang-undang-nomor-1-tahun-1974-dan-agama-agama-di-indonesia/ diakses pada 18

Maret 2016.

Page 88: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

74

dilarangnya kaum muslimin untuk menikahi wanita kafir (Ahli Kitab).

Maka berdasarkan ayat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa adanya

larangan perkawinan beda agama baik laki-laki maupun perempuan.

Selanjutnya, yang dimaksud Ahli Kitab dalam ayat di atas adalah

mereka yang beragama Yahudi dan Nasrani. Apabila dikaitkan di zaman

sekarang ini, yang dimaksud Ahli Kitab tersebut yaitu agama Kristen

Katolik dan Kristen Protestan. Namun, Imam Syafi’i menukil suatu

peristiwa dari Ata’ bahwa orang-orang Arab yang mengikuti ajaran Agama

tersebut (Kristen Katolik dan Kristen Protestan) tidak dapat disebut dengan

Ahli Kitab. Sebab, yang dimaksud Ahli Kitab disini adalah golongan bani

Israil dan orang-orang yang menerima Kitab Taurat dan Injil berdasarkan

apa yang telah Allah turunkan kepada mereka (agama Samawi)6. Mengenai

hukum menikahi wanita Ahli Kitab yang terdapat dalam ayat tersebut

apakah berlaku untuk orang Yahudi dan Kristen zaman sekarang, disini

terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Mayoritas ulama mengatakan

mereka tidak lagi termasuk wanita Ahli Kitab yang boleh dikawini7.

Kemudian, agama Kristen Katolik juga mengatur mengenai

perkawinan beda agama ini. Pada dasarnya agama Kristen Katolik juga

melarang perkawinan beda agama sebagaimana yang telah diatur dalam

Kanon;1086 (§1) dan (§2) yang berbunyi “Perkawinan antara dua orang,

yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik dengan yang

tidak dibaptis adalah tidak sah. Dari halangan itu janganlah diberikan

dispensasi, kecuali telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut kan.1125 dan

1126”8.

Walaupun Gereja dapat memberikan dispensasi yang diberikan oleh

Uskup, namun dispensasi tersebut dapat diberikan setelah kedua pihak

memenuhi beberapa persyaratan dan membuat perjanjian secara tertulis

6 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,

2003), h., 83. 7 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2013), cet.4, h., 117. 8 Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) Edisi Resmi Bahasa Indonesia, Konferensi

Waligereja Indonesia, Edisi 2006, KHK., 241.

Page 89: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

75

yang berisi: Pertama, bahwa yang beragama Katolik akan tetap beragama

Katolik dan mendidik anak-anak mereka secara Katolik. Kedua, bahwa

yang tidak beragama Katolik tidak menghalangi pihak yang beragama

Katolik melaksanakan ibadahnya dan bersedia mendidik anak-anaknya

secara Katolik9.

Berdasarkan analisis berbasis hukum Islam dan Hukum Positif di

atas tampak bahwa perkawinan tidak seagama tidak bisa dilaksanakan,

menimbang bahwa Ahli Kitab yang dimaksudkan dalam al-Qur’an sudah

tidak ada di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak murninya kitab

umat Kristiani karena ajarannya telah menyimpang dari ajaran Taurat dan

Injil yang telah Allah turunkan. Kemudian tidak sesuai dengan yang

dikehendaki oleh Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Larangan perkawinan tidak seagama ini dimaksudkan untuk menghindari

kemudharatan, karena perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita

non muslim akan memberikan banyak muḏarat daripada manfaat, baik yang

diterima oleh pasangan tersebut maupun anak-anaknya bahkan keluarganya.

2. Pertimbangan Hakim dalam Menolak Permohonan Izin Perkawinan

Beda Agama

Dalam putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor:

71/Pdt.P/2017/PN.Bla10, pemohon I (NOBA) yang beragama Islam dan

pemohon II (YA) yang beragama Kristen berencana akan melaksanakan

perkawinan sesaat setelah pelaksanaan lamaran yang akan dilaksanakan

setelah mendapat penetapan dari Pengadilan Negeri Blora. Para pemohon

akan mengurus perkawinannya di Kantor Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kota Blora setelah mendapatkan penetapan dari Pengadilan

Negeri Blora.

Pada penetapan ini dengan memperhatikan ketentuan pasal-pasal di

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

9 M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama:Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi

Hukum Islam, (Yogyakarta: Total Media Yogyakarta, 2006), h., 85. 10 Salinan Putusan Nomor: 71/Pdt.P/2017/PN.Bla (Lihat dalam lampiran)

Page 90: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

76

peraturan lain yang bersangkutan dengan perkara ini maka pengadilan

menetapkan menolak permohonan para pemohon. Terdapat beberapa

pertimbangan hakim dalam memberikan penetapan menolak permohonan

izin perkawinan beda agama, diantaranya adalah hakim mempertimbangkan

bahwa agama Islam melarang perkawinan beda agama yang terdapat dalam

surat al-Baqarah ayat 221. Diperjelas dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal

44 yang menjelaskan bahwa “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan

perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.

Kemudian berdasarkan keterangan saksi Yanto Pandiangan yang

merupakan pendeta di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora

menerangkan bahwa ajaran agama Kristen juga melarang pernikahan beda

agama, sehingga pernikahan para pemohon bisa dilaksanakan di gereja

apabila pemohon I (NOBA) mau melepaskan atribut yang menunjukkan

beragama Islam. Kemudian para pemohon dalam persidangan menyatakan

bahwa para pemohon tetap pada pendiriannya menganut agamanya masing-

masing baik sebelum menikah maupun setelah menikah yaitu pemohon I

(NOBA) tetap beragama Islam dan pemohon II (YA) tetap beragama

Kristen.

Dikarenakan para pemohon menyatakan tetap ingin menganut

agamanya masing-masing, sedangkan di dalam ajaran Islam maupun agama

Kristen tidak membolehkan pernikahan beda agama maka berdasarkan

ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, keinginan

para pemohon yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama tidak

dapat dilaksanakan karena pernikahan beda agama dilarang menurut ajaran

agama para pemohon sehinggga permohonan para pemohon tidak dapat

dikabulkan. Oleh karena permohonan para pemohon tidak dikabulkan,

maka permohonan ijin pernikahan beda agama tersebut ditolak.

Berdasarkan yang telah dipaparkan di atas, maka perkawinan beda

agama jika dilihat dari sudut pandang ajaran Islam dibedakan menjadi dua

macam. Pertama, perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita

nonmuslim, kedua perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki

Page 91: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

77

nonmuslim. Berkenaan dengan perkawinan beda agama antara laki-laki

muslim dengan wanita nonmuslim, ulama berbeda pendapat. Pendapat

pertama, yang membolehkan kaum muslimin menikahi wanita non muslim

dari kalangan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), yakni jumhur ulama

terutama ulama sunni. Termasuk Imam Ibnu Taimiyah yang menyatakan

dengan tegas tentang kebolehan menikahi wanita Ahli Kitab. Mereka

mendasarkan pendapatnya kepada surah al-Mâʻidah ayat 5.

Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat yang melarang atau

mengharamkan pernikahan beda agama walaupun dari kalangan Ahli Kitab.

Pendapat ini dianut oleh Ibnu Umar dan Syi’ah Imamiah. Mereka

mendasarkan pendapatnya kepada surah al-Baqarah ayat 221 dan surah al-

Mumtahanah ayat 10 yang melarang kaum muslimin menikah dengan

perempuan musyrik. Bagi mereka orang musyrik juga termasuk Ahli

Kitab11. Kemudian perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki

nonmuslim jika diilihat dari segi hukumnya, ulama telah sepakat bahwa

perkawinan tersebut haram hukumnya, baik laki-laki itu Ahli Kitab maupun

bukan Ahli Kitab12.

Larangan wanita muslimah menikahi laki-laki nonmuslim ini sesuai

dengan firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 221, yakni wanita-wanita

mukmin dilarang menikah dengan orang-orang musyrik sebelum mereka itu

beriman, karena mereka akan menjerumuskan wanita muslimah ke neraka,

hal ini juga ditegaskan dalam surah al-Mumtahanah ayat 10 bahwasanya

wanita beriman tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir

tidak pula halal bagi wanita beriman13.

Pendapat tersebut merupakan ijma’ dari umat Islam yang kemudian

menjadi salah satu pedoman hakim Pengadilan Negeri Blora ini dalam

mempertimbangkan perkara perkawinan beda agama. Kemudian penolakan

11 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,

2003), h., 64. 12 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2017), cet.2, h., 13. 13 H. A Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Banda Aceh: Yayasan

Pena Divisi Penerbitan, 2005), h., 78.

Page 92: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

78

permohonan ini dipertegas dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 44 yang

berbunyi: “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan

dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”14.

Pasal 44 di atas secara tegas melarang terjadinya perkawinan baik

antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim maupun wanita

muslimah dengan laki-laki non muslim. Begitu pula dengan Undang-

Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) menyatakan

bahwa, perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya. Sehingga dalam hal pelaksanaan perkawinan

hanya tunduk pada satu hukum agama saja. Dengan kata lain, perkawinan

tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan dua hukum agama yang

berbeda, itu artinya jika tidak sama agama dan kepercayaan kedua calon

suami dan istri maka perkawinannya tidak sah.

Kemudian, dalam ajaran agama Kristen Protestan juga diatur

mengenai perkawinan beda agama. Pada prinsipnya agama Protestan

menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang seagama, karena

apabila suami istri tidak seiman, maka akan sulit tercapai tujuan perkawinan

yaitu untuk mencapai kebahagiaan15. Agama Kristen Protestan melarang

perkawinan beda agama secara tegas dimana termuat dalam Perjanjian Baru

6: 14-18 (Injil Korintus)16.

Sebagaimana yang dijelaskan di atas juga disampaikan oleh Pendeta

di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora dalam memberikan keterangan

sebagai saksi pada waktu persidangan. Selain itu, dalam keterangannya

menyebutkan bahwa pihak gereja membolehkan para pemohon untuk

menikah di gereja dengan syarat, pemohon II (NOBA) yang beragama Islam

harus melepaskan atribut agama Islam seperti jilbab, dll. Apabila pemohon

II tidak mau melepaskan atribut agama Islam maka perkawinan

14 Kompilasi Hukum Islam, Buku I BAB VI: Larangan Perkawinan, Pasal 44. 15 Abdurrahman, Kompendium Bidang Hukum Perkawinan:Perkawinan Beda Agama dan

Implikasinya, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011, h., 96. 16 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5431ffe62bdd1/menunggu-solusi-

konstitusi-atas-problematika-kawin-beda-agama diakses pada Senin, 06 Oktober 2014.

Page 93: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

79

dilangsungkan di salah satu rumah calon pengantin secara agama Kristen.

Dengan demikian, pada prinsipnya dalam ajaran agama Kristen menyatakan

perkawinan beda agama dilarang.

Jika dicermati dengan saksama, mengenai perkawinan beda agama

berdasarkan kedua agama tersebut (Islam dan Kristen Protestan), dapat

ditarik kesimpulan bahwa keduanya tidak menghendaki adanya perkawinan

beda agama. Karena pada dasarnya tiap agama mempunyai pengaturan

tersendiri mengenai perkawinan terutama perkawinan antara penganut

agamanya dengan penganut agama lain.

Perkawinan beda agama akan berpotensi melahirkan persoalan-

persoalan hukum, seperti hak dan kewajiban suami istri yang mencakup:

hak nafkah, hak harta bersama, hak pemeliharaan anak dan nasab anak,

kemudian hak kewarisan suami istri dan anak-anaknya serta masalah

pengadilan yang menyelesaikan sengketa rumah tangga17. Larangan

melakukan perkawinan beda agama ini sekaligus menghindari diri dan

keluarga dari fitnah dan kemafsadatan (kemuḏaratan) yang akan timbul dari

perkawinan tersebut.

Kemudian, pada permohonan ini para pemohon belum pernah

memberitahukan kehendak mereka untuk melangsungkan perkawinan pada

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Blora. Sedangkan di

dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 197518

menyatakan bahwa “Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan

memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat

perkawinan itu dilangsungkan”. Dengan tidak terpenuhinya unsur pada

Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka

ketentuan diberlakukannya pengumuman tentang pemberitahuan kehendak

melangsungkan perkawinan dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 9

17 M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama:Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi

Hukum Islam, (Yogyakarta: Total Media Yogyakarta, 2006), h., 89-90. 18 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 3 ayat (1).

Page 94: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

80

Tahun 1975 juga tidak dapat dilaksanakan. Pemberitahuan kehendak juga

berhubungan dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Setelah penulis menguraikan pertimbangan hakim dari Pengadilan Negeri

Surakarta dan Pengadilan Negeri Blora mengenai masalah perkawinan beda

agama di atas, maka tampak bahwa pertimbangan-pertimbangan tersebut

bermuara kepada penafsiran hukum. Di Indonesia model penafsiran hukum itu

bermacam-macam, sehingga tidak heran jika hasil akhir dari sebuah penafsiran

hukum menimbulkan dampak pro-kontra. Menurut penulis, hakim di

Pengadilan Negeri Surakarta dalam memeriksa dan menyelesaikan permohonan

perkawinan beda agama sebagaimana yang penulis teliti, cenderung

menggunakan metode interpretasi sosiologis.

Metode penafsiran ini menerapkan makna undang-undang dilihat

berdasarkan tujuan kemasyarakatan, sehingga hakim menafsirkan undang-

undang sesuai dengan tujuan undang-undang itu dibuat, bukan pada bunyi kata-

katanya saja. Peraturan perundang-undangan yang telah usang, disesuaikan

penggunaannya dengan menghubungkan pada kondisi dan situasi saat ini atau

situasi sosial yang baru19. Menurut analisis penulis, hakim memandang bahwa

pertama, ketidakbolehan perkawinan beda agama sudah tidak sesuai dengan

masa sekarang, karena sudah semestinya perkawinan beda agama dibolehkan

menimbang adanya kekosongan hukum. Sehingga, dalam perkara ini penetapan

hakim berasaskan the binding force of precedent20, karena menggunakan

yurisprudensi MA Nomor:1400 K/Pdt/1986 sebagai bahan pertimbangannya.

Kedua, adanya jaminan oleh negara dalam memeluk dan menjalankan

agamanya, sehingga seseorang tidak boleh memaksakan agamanya kepada

orang lain, dalam hal ini yang dimaksud calon istri maupun calon suami.

Sementara itu, hakim Pengadilan Negeri Blora menggunakan penafsiran

yang berbeda dengan Pengadilan Negeri Surakarta. Jika diteliti dengan metode

19 Abdul Manan, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan

Agama”, dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2, (Juli 2013), h., 193. 20 Yang dimaksud “the binding force of precedent” adalah dalam menemukan hukum

hakim terikat pada putusan hakim lain mengenai perkara yang sejenis yang pernah diputuskan. Lihat

bukunya Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), h., 62.

Page 95: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

81

penafsiran, maka dapat dikatakan bahwa Pengadilan Negeri Blora

menggunakan 3 (tiga) metode penafsiran hukum yaitu pertama, metode

interpretasi gramatikal. Metode penafsiran ini digunakan untuk mengetahui

makna ketentuan undang-undang yang belum jelas, sehingga perlu ditafsirkan

dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari21. Dalam hal ini

bahwasanya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sudah jelas

menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama

dan kepercayaan masing-masing. Ini berarti bahwa, perkawinan dapat

dilaksanakan jika calon suami istri seagama, dan kepercayaannya sama.

Kedua, metode interpretasi a contrario. Metode penafsiran ini digunakan

jika ada ketentuan undang-undang yang mengatur hal tertentu untuk peristiwa

tertentu, maka untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya22. Dalam Pasal

2 ayat (1) sudah jelas bahwa perkawinan yang sah apabila menurut masing-

masing agama dan kepercayaannya. Itu artinya, pernikahan tidak sah jika tidak

sama agama dan kepercayaannya. Ketiga, metode interpretasi historis. Dari

sejarah diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dapat dikatakan

bahwa Undang-Undang Perkawinan ini bertujuan untuk menuju tertib hukum

dalam pelaksanaan perkawinan di Indonesia. Sesuai dengan filsafat Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, tampak bahwa hakim Pengadilan

Negeri Surakarta dan hakim Pengadilan Negeri Blora menggunakan metode

penafsiran hukum yang berbeda, sehingga kesimpulan yang dihasilkannya

terkesan timpang. Dengan perkataan lain, perbedaan tersebut menimbulkan

adanya ketidakpastian hukum pada praktek beda agama di masyarakat.

Dalam hal ini, terhadap dua putusan yang berada dalam tingkat yang sama

dan mengenai perkara yang sama, penulis setuju terhadap putusan PN Blora

No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla yang menolak permohonan ini karena pertimbangan

21 Abdul Manan, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan

Agama”, dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2, (Juli 2013), h., 192. 22 Muwahid, “Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya

Mewujudkan Hukum yang Responsif”, dalam Jurnal AL-HUKAMA the Indonesian Journal of

Islamic Family Law, Volume 07 Nomor 01, (Juni 2017), h., 244.

Page 96: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

82

hakim lebih merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peter Mahmud Marzuki23 menjelaskan bahwa Indonesia menganut sistem

hukum civil law24 yang menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai

rujukan pertama.

Sedangkan putusan Pengadilan Negeri Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt

yang mengabulkan permohonan tersebut merujuk kepada yurisprudensi

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor.1400 K/Pdt/1986 dengan

mempertimbangkan bahwa tidak ada aturan yang mengatur secara jelas

mengenai perkara tersebut, padahal jika dibedah menggunakan peraturan

perundang-undangan mengenai perkawinan serta hukum agama, dapat

ditemukan aturan yang mengatur perkawinan beda agama melalui upaya

penafsiran hukum. Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa apabila suatu

hukum sudah di atur secara jelas, selama belum ada aturan yang merubah

ataupun mengganti atau belum adanya aturan yang lebih tinggi dari aturan

tersebut, maka aturan tersebut masih dijadikan sebagai rujukan dalam

menetapkan hukum tersebut.

Hal ini sejalan dengan asas lex superior derogat legi inferiori25 yang

bermakna bahwa hukum yang lebih tinggi derajatnya mengesampingkan

hukum/peraturan yang lebih rendah derajatnya. Berdasarkan asas hukum dan

pertimbangan hakim tersebut, bahwa undang-undang perkawinan telah

mengesampingkan yurisprudensi, sehingga dalam penetapan tersebut, hakim

merujuk kepada undang-undang perkawinan yang berlaku. Dengan demikian,

menurut penulis putusan PN Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt tidak bisa

dijadikan sebagai rujukan mengenai izin perkawinan beda agama.

B. Perkawinan Beda Agama berdasarkan Maqasid al-Syari’ah

Masalah perkawinan merupakan masalah yang berkaitan dengan

kerohanian atau keagamaan seseorang, karena setiap agama mempunyai aturan

23 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 3, h.,305. 24 Civil law merupakan sistem yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental yang

didasarkan atas hukum Romawi. Lihat bukunya Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum,

h.,261. 25 Muhamad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2017), cet. 2, h., 160.

Page 97: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

83

masing-masing tentang perkawinan, sehingga harus mengikuti ketentuan-

ketentuan dari ajaran agama yang dianut. Di samping berkaitan dengan

keagamaan, perkawinan juga berkaitan dengan hubungan antar manusia, maka

perkawinan dapat dianggap sebagai suatu perbuatan hukum. Dalam

kenyataannya, pengaruh agama yang paling dominan terhadap peraturan-

peraturan hukum adalah di bidang hukum perkawinan26.

Salah satu masalah dibidang perkawinan yang masih mengemuka hingga

saat ini adalah mengenai perkawinan antar agama atau perkawinan beda agama.

Beragamnya agama dan kepercayaan tidak menutup kemungkinan untuk

terjadinya perkawinan beda agama dan kepercayaan, sehingga perkawinan beda

agama masih banyak terjadi di Indonesia. Sebagaimana yang penulis teliti pada

putusan-putusan mengenai permohonan izin perkawinan beda agama, pada

penetapan Nomor 46/Pdt.P/2016/PN.Skt antara AVR (calon istri) yang

beragama Katolik dengan DF (calon suami) yang beragama Islam dan

penetapan Nomor 71/Pdt.P/2017/PN.Bla antara NOBA (calon istri) yang

beragama Islam dengan YA (calon suami) yang beragama Kristen.

Kedua putusan tersebut menjelaskan bahwa para pihak saling mencintai satu

sama lainnya, dan keduanya telah bertekad untuk melanjutkan hubungan

mereka ke jenjang perkawinan disertai dengan dukungan masing-masing orang

tua kedua belah pihak yang telah memberikan restu kepada mereka untuk

melakukan perkawinan walaupun berbeda agama. Jika dilihat menggunakan

hukum Islam, maka putusan tersebut dapat dianalisis menggunakan teori

maqasid al-syari’ah yaitu pengkajian tentang tujuan yang hendak dicapai oleh

pembuat hukum (Allah Swt) dalam menetapkan suatu hukum.

Tujuan hukum tersebut dapat dipahami melalui penelusuran terhadap ayat-

ayat Al-Qur’an dan Hadits. Kemudian dikalangan ulama ushul fiqh

menghasilkan kesimpulan bahwasanya tujuan al-Syari’ menetapkan hukum

26 Raphon Fajar RHR, “Keabsahan Perkawinan Warga Negara Indonesia yang Berbeda

Agama (Analisis Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Pasal 35 Huruf (a)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Studi Penetapan No. 92/Pdt.P/2010/PN. Skt)”, (Skripsi: S-

1 Universitas Brawijaya Fakultas Hukum, Malang, 2013), h., 12.

Page 98: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

84

adalah untuk kemaslahatan manusia (al-maslahah), baik di dunia maupun di

akhirat27. Berkaitan dengan hal tersebut Imam al-Syaṯibi mengatakan bahwa:

ا إن وضع ع ل م الا ج ا جل و ا لح العباد فى الع ا هو لمص ا رع إن م الش

“sesungguhnya syari’ (pembuat syari’at) dalam mensyari’atkan hukumnya

bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hambanya baik di dunia maupun

di akhirat secara bersamaan28”

Jasser Auda29 menyatakan bahwa tujuan-tujuan syariat itu dapat

diklasifikasikan kepada tiga peringkat keperluan (necessity atau al-ḏarurat),

yaitu: pertama, al-Ḏaruriyyat (kepentingan pokok/primer) yaitu kebutuhan

yang harus ada, sehingga apabila tidak terpenuhi pada tingkat ini, maka akan

mengancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Kedua, al-Hajiyyat (kepentingan sekunder) ialah kemaslahatan yang diperlukan

untuk meringanan beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat

dilaksanakan dengan baik, dan ketiga, al-Tahsiniyyat (kepentingan tersier)

adalah kemaslahatan yang berkaitan dengan penyempurnaan kelima unsur

pokok tersebut.

Kemudian, peringkat al-Ḏaruriyyat ini dibagi kepada lima macam unsur

pokok yang harus dijaga dan dipelihara. Kelima unsur pokok tersebut adalah:

Menjaga agama (hifz al-Dîn), menjaga nyawa (hifz al-Nafs), menjaga harta (hifz

al-Mâl), menjaga akal (hifz al-‘Aql), dan menjaga keturunan (hifz al-Nasl).

Jika dicermati menggunakan teori maqasid al-Syariʻah, maka perkara yang

penulis teliti di atas termasuk ke dalam kategori menjaga agama (hifz al-Dîn)

karena perkawinan beda agama tersebut dapat menimbulkan muḏarat yang lebih

besar dibandingkan manfaatnya, sehingga beberapa agama melarang

27 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h., 304. 28 Ali Mutakin, “Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath

Hukum”, dalam Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 3, (Agustus, 2017), pp. 547-570, h., 548. 29 Jasser Auda, Maqâshid al-Syarîʻah, penerjemah: Marwan Bukhari A. Hamid, Memahami

Maqasid Syariah: Peranan Maqasid dalam Pembaharuan Islam Kontemporari, (Selangor: PTS

Islamika SDN.BHD, 2014), h., 7.

Page 99: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

85

perkawinan tersebut, termasuk agama Islam. Pelarangan terhadap perkawinan

beda agama didasarkan pada surah al-Baqarah ayat 221:

لا و ت ٱتنكحوا لا لمشرك بتكم و عجو أ ل ة و شرك ن م ير م ؤمنة خ ة م م

لأ و ت ى يؤمن ح

ٱتنكحوا ئك يد ين لمشرك ولبكم أ عج

و أ ل شرك و ن م ير م ؤمن خ بد م لع و ت ى يؤمنوا ون ع ح

ٱو لن ار ٱإلى ن ة ٱيدعوا إلى لل ٱو لج ة غفر ته ۦ بإذنه لم يبي ن ءاي رو للن اس ۦو ك تذ هم ي ل ن لع

Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari

wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu

menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang

musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang

Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya

mereka mengambil pelajaran. (Q.S al-Baqarah [2] : 221)

Ayat ini dengan tegas melarang perkawinan beda agama, bahwa laki-laki

dan perempuan muslim dilarang kawin dengan laki-laki dan perempuan

musyrik atau kafir, karena dalam ayat tersebut dikatakan bahwa “mereka

(orang-orang musyrik) itu akan membawa kamu ke neraka, sedangkan Allah

SWT akan membawamu ke surga dan ampunan”30. Akan tetapi, bagi laki-laki

muslim masih dimungkinkan untuk menikahi wanita selain muslim dalam

kategori (Ahli Kitab) yaitu Yahudi dan Nasrani, sebagaimana dijelaskan dalam

surah al-Mâʻîdah ayat 5, pendapat ini dianut oleh jumhur ulama terutama ulama

sunni.

Namun, menurut Abdul Mutâl al-Jabry bahwa Ahli kitab yang boleh

dikawini adalah generasi sebelum Nabi Muhammad diutus, bukan ketika atau

setelah Nabi Muhammad diutus, karena mereka termasuk golongan orang

musyrik, maka haram untuk dikawini. Seperti pada surah al-Baqarah ayat 221

30 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,

(Bandung: Percetakan Angkasa, 2005, cet.1), h., 156.

Page 100: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

86

yang berbunyi: ت حتى يؤمن ول تنكحوا ٱلمشرك (Dan janganlah kamu menikahi

wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman) ayat ini mengenai larangan

menikahi orang-orang musyrik, tetapi belum dijelaskan secara khusus orang-

orang musyrik tersebut. Setelah itu turunlah ayat yang lebih mengkhususkan

yang umum tersebut dengan firman Allah surah al-Mâʻîdah ayat 5: من ٱلذين أوتوا

ب lalu orang Ahli Kitab yang (di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab) ٱلكت

boleh dikawini ini dibatasi dengan waktu من قبلكم (Ahli Kitab sebelum kamu)31.

Kemudian Amir Syarifuddin32 juga mendasarkan pendapatnya pada surah

al-Mâʻîdah ayat 5, bahwasanya Ahli Kitab yang disebutkan pada ayat tersebut

adalah orang Yahudi dan Nasrani yang hidup di masa Nabi Muhammad, karena

pada masa itu agama mereka diterima oleh Nabi. Namun mengenai hukum

menikahi wanita Ahli Kitab pada zaman sekarang terdapat perbedaan pendapat

ulama fiqih. Mayoritas ulama berpendapat bahwa Ahli Kitab pada zaman

sekarang bukan termasuk wanita Ahli Kitab yang boleh dikawini.

Dengan demikian melihat filosofi agama Islam yang hendak dicapai dari

larangan perkawinan beda agama adalah untuk merealisasikan hifz al-Dîn.

Dalam memelihara agama, manusia harus membentengi diri dan memperkuat

iman dengan nilai-nilai keagamaan. Karena itulah ajaran syari’at mendorong

umat manusia untuk berbuat berdasarkan al-Qur’an dan Hadits agar beriman

kepada Allah Swt, inilah yang menjadi prinsip perkawinan yang sejalan dengan

Pasal 1 dan 2 dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974. Perkawinan

mempunyai hubungan yang erat dengan agama/rohani, sehingga perkawinan

dalam Islam bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur

bathin/rohani karena perkawinan dalam Islam bernilai ibadah33.

Kemudian selain untuk menjaga agama (hifz al-Dîn), larangan perkawinan

beda agama juga bertujuan untuk menjaga keturunan (hifz al-Nasl). Berbicara

soal perkawinan bukan hanya membahas urusan kedua belah pihak semata

(suami istri), namun juga urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan diatur

31 Abdul Mutâl Muhammad al-Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam,

penterjemah: Achmad Syathori, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996), cet. 3, h., 44-46. 32 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2013), cet.4, h., 117. 33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1 dan 2.

Page 101: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

87

secara ketat oleh agama dan undang-undang untuk melindungi hak-hak kedua

belah pihak dan keturunannya.

Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, masalah

hukum yang berdampak pada status anak hasil perkawinan beda agama dilihat

dari sah atau tidaknya perkawinan orang tuanya. Jika perkawinan orang tuanya

tidak sah, maka anak tersebut bernasab hanya kepada ibunya. Kemudian anak

tersebut mempunyai hak untuk memilih agama atau keyakinan dari salah satu

orang tuanya. Dalam agama Islam mengenai hak waris anak, apabila anak

tersebut berbeda agama dengan pewaris, maka anak tersebut tidak bisa

menerima harta warisan dari pewaris, begitu pula sebaliknya. Jika mengenai

perwalian, Agama Islam menjadikan perwalian termasuk salah satu syarat sah

nikah. Ketika anak perempuan yang akan menikah, maka harus menggunakan

wali hakim.

Selanjutnya mengenai masalah psikologi anak, anak tersebut tidak bisa

bebas dalam melaksanakan ibadah karena adanya tekanan dari salah satu orang

tuanya. Dan selalu merasa kebingungan untuk memilih agama sesuai keinginan

hati nuraninya. Berbeda jika orang tuanya memberi kebebasan kepada anaknya

untuk memilih agama. Dari sudut pandang sosiologis, anak akan menjadi

pendiam dan tidak bisa bergaul dengan teman-temannya karena mendapatkan

tekanan dari masing-masing orang tuanya yang mengakibatkan anak tersebut

kebingungan dan stres berat. Oleh karena itu, perkawinan beda agama itu bisa

diharamkan 34.

34 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,

(Bandung: Percetakan Angkasa, 2005, cet.1), h., 161.

Page 102: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

88

88

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah dilakukan pengkajian dan pencermatan mengenai “Izin Perkawinan

Beda Agama di Pengadilan Negeri (Studi Perbandingan Putusan

No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Putusan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla)” pada bab-

bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, bahwa pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam

mengabulkan permohonan izin perkawinan beda agama antara AVR dan DF

adalah untuk mengisi kekosongan hukum, karena mengenai perkawinan beda

agama tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dengan mengesampingkan

ketentuan yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) dalam Undang-Undang

Perkawinan. Kemudian hakim juga berpedoman pada asas “ius curia novit”,

dimana pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara yang

diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas,

melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, maka permohonan izin

perkawinan beda agama yang diajukan dapat dikabulkan. Dalam memeriksa

dan menyelesaikan perkara tersebut, hakim cenderung hanya menggunakan

metode interpretasi sosiologis.

Kedua, bahwa pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Blora dalam

menolak permohonan izin perkawinan beda agama antara NOBA dan YA

adalah menimbang bahwa kedua agama para pemohon yakni agama Islam dan

Kristen tidak menghendaki adanya perkawinan beda agama. Dalam ajaran

agama Islam dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 221 dan Pasal 44

Kompilasi Hukum Islam mengenai larangan perkawinan beda agama.

Kemudian dengan memperhatikan ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama Pasal 2

ayat (1) bahwa perkawinan harus dilaksanakan dengan sesama agama, maka

Page 103: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

89

permohonan para pemohon tidak dapat dikabulkan. Dalam memeriksa dan

menyelesaikan perkara tersebut, hakim menggunakan 3 (tiga) metode

penafsiran hukum yaitu metode interpretasi gramatikal, interpretasi a contrario,

dan interpretasi historis.

Ketiga, dikarenakan kedua pengadilan tersebut menggunakan pertimbangan

yang berbeda dalam perkara ini, maka perbedaan tersebut menimbulkan adanya

ketidakpastian hukum pada praktek perkawinan beda agama di masyarakat.

Namun, terhadap dua putusan yang berada dalam tingkat yang sama dan

mengenai perkara yang sama seperti pada penelitian ini, penulis setuju terhadap

putusan Pengadilan Negeri Blora No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla yang menolak

permohonan ini karena pertimbangan hakim lebih merujuk kepada peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan putusan Pengadilan Negeri

Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt yang mengabulkan permohonan tersebut

merujuk kepada yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor.1400

K/Pdt/1986. Hal ini sejalan dengan asas lex superior derogat legi inferiori.

Dengan demikian, putusan pengadilan negeri perkara No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt

tidak bisa dijadikan sebagai rujukan mengenai izin perkawinan beda agama.

Keempat, perkawinan beda agama berdasarkan teori maqasid al-syari’ah

merupakan praktek perkawinan yang menyalahi prinsip-prinsip perkawinan

dalam Islam. Prinsip perkawinan dalam Islam merupakan prinsip yang

berlandaskan teori maqasid al-syari’ah, yaitu menciptakan kemaslahatan bagi

manusia baik di dunia maupun di akhirat secara bersamaan. Kemaslahatan

perkawinan ini termasuk ke dalam kategori tingkatan ḏaruriyyat yang berupa

hifz al-Dîn (memelihara agama) dan hifz al-Nasl (memelihara keturunan).

Praktek perkawinan beda agama tersebut dapat menimbulkan mudharat yang

lebih besar dibandingkan manfaatnya, baik bagi pasangan yang menikah

maupun pihak-pihak yang bersangkutan dengan perkawinan tersebut, sehingga

beberapa agama melarang perkawinan beda agama.

Page 104: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

90

B. Saran

Berdasarkan penelitian dan kesimpulan dalam penulisan ini, maka penulis perlu

memberikan beberapa saran sebagai bahan pertimbangan, diantaranya:

1. Pemerintah harus membuat suatu aturan/hukum tertulis yang jelas dan

tegas, sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam memahami aturan

tersebut.

2. Masyarakat hendaknya memperhatikan aturan yang berlaku dalam ajaran

agama dan hukum positif di Indonesia, serta mempertimbangkan

konsekuensi dari perkawinan tersebut.

3. Hakim dalam menyelesaikan perkara perkawinan beda agama diharapkan

untuk tidak secara tekstual dalam mencermati aturan hukum, namun juga

dilihat dari segi kontekstualnya.

Page 105: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

91

91

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompendium Bidang Hukum Perkawinan (Perkawinan Beda

Agama dan Implikasinya), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional

Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011.

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,

Cet.Pertama, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2010.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT

Raja Grafindo, 2004.

Arifin Hoesein, Zainal, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (Sejarah, Kedudukan,

Fungsi, dan Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif

Konstitusi), Malang: Setara Press, 2016.

Aripin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

Jakarta: Kencana, 2008.

Auda, Jasser, Maqâshid al-Syarî’ah, penerjemah: Marwan Bukhari A. Hamid,

Memahami Maqasid Syariah: Peranan Maqasid dalam Pembaharuan

Islam Kontemporari, Selangor: PTS Islamika SDN.BHD, 2014.

Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat

Bahasa, 2008.

Diantha, I Made Pasek, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi

Teori Hukum, cet.2, Jakarta: Prenada Media Group, 2017.

Doi, A. Rahman I. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003.

Handrianto, Budi, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, Jakarta: KB

Press, 2003.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu Anggota IKAPI,

Page 106: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

92

1997.

Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Pernikahan, Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2003.

Irfan, Lukman A. Nikah, Yogyakarta: PT Pustaka Insan Mardani, 2007.

Is, Muhamad Sadi, Pengantar Ilmu Hukum, cet. 2, Jakarta: Kencana, 2017.

al-Jabry, Abdul Mutâl Muhammad, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan

Islam, cet. 3, penerjemah: Achmad Syathori, Jakarta: PT Bulan Bintang,

1996.

Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah,

2009.

Karsayuda, M. Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi

Hukum Islam, Yogyakarta: Total Media Yogyakarta, 2006.

Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) Edisi Resmi Bahasa Indonesia,

Konferensi Waligereja Indonesia, Edisi 2006, KHK., 241.

Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2006.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, cet.6, Jakarta: Kencana, 2016.

______________, Pengantar Ilmu Hukum, cet. 3, Jakarta: Kencana, 2009.

Mertokusumo, Sudikno, Teori Hukum: Edisi Revisi, Yogyakarta: Cahaya Atma

Pustaka, 2012.

Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta:

STIH “IBLAM”, 2004.

Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: PT Bulan

Bintang, 1993.

Mujahidin, Ahmad, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung: PT Refika

Aditama, 2007.

al-Mursi Husain Jauhar, Ahmad, Maqashid Syariah, diterjemahkan oleh

Page 107: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

93

Khikmawati (Kuwais), Jakarta: Amzah, 2013.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia

(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/ 1974

sampai KHI), Jakarta: Kencana, 2004.

Qarḏawi, Yûsuf. Hadyu al-Islâm Fatâwi Mu’âshirah, Penerjemah: As’ad

Yasin, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press,

1995.

Ramulyo, Mohd Idris, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang

Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), cet.2, Jakarta:

Bumi Aksara, 1999.

Rimdan, Kekuasaan Kehakiman: Pasca-Amandemen Konstitusi, Jakarta: Kencana,

2012.

Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, cet.1, Jakarta:

UIN Jakarta Press, 2007.

Saepudin Jahar, Asep, dkk. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian

Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, Ciputat:

Kencana, 2013.

Sarong, H. A Hamid, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Banda Aceh:

Yayasan Pena Divisi Penerbitan, 2005.

Shalih Syaraf, Musa, Fatwa-Fatwa Kontemporer Tentang Problematika Wanita,

diterjemahkan oleh: Iltizam Syamsuddin, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Shidiq, Sapiudin, Fikih Kontemporer, cet.2, Jakarta: Kencana, 2017.

Sihab, M. Qurais, Tafsîr al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an),

Ciputat: Lentera Hati, 2007.

Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta:

Elsas, 2008.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, Jakarta: UI Press, 1986.

______________ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat), cet.8, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Page 108: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

94

Suadi, Amran, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, Depok: PT

Rajagrafindo Persada, 2014.

Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, Yogyakarta: LKIS,

2006.

Suma, Muhammad Amin, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syaria dan

Qanuniah, Tangerang: Lentera Hati, 2015.

Sutiyoso, Bambang, Motode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum yang

Pasti dan Berkeadilan), Yogyakarta: UII Press, 2006.

______________ dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005.

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, cet.4, Jakarta: Kencana, 2013.

______________, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet.2, Jakarta: Kencana,

2007.

______________, Ushul fiqih jilid 2, Jakarta: Kencana, 2017.

Usman, Rekonstruksi Teori Hukum Islam (Membaca Ulang Pemikiran

Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali, Yogyakarta: PT. LkiS

Printing Cemerlang, 2015.

Wijayanta, Tata, dan Hery Firmansyah, Perbedaan Pendapat dalam Putusan

Pengadilan, Yogyakarta: MedPress Digital, 2013.

Yanggo, Huzaimah Tahido, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,

cet.1, Bandung: Percetakan Angkasa, 2005.

al-Zuhailî, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Minhaj.

cet.2, penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Tafsir al-Munir: Akidah,

Syari’ah dan Manhaj Jilid 1 (Juz1 dan 2), Jakarta: Gema Insani, 2013.

Jurnal dan Majalah Hukum

Abubakar, Al Yasa dan Novita, “Pandangan Imam Ibnu Taimiyah tentang

Perkawinan Laki-Laki Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab”, dalam Jurnal

Hukum Keluarga dan Hukum Islam Volume 1 No. 2. Juli-Desember 2017.

Page 109: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

95

Ashsubli, Muhammad, “Undang-Undang Perkawinan dalam Pluratitas Hukum

Agama”, dalam Jurnal Cita Hukum Vol. II No. 2 Desember 2015.

Asiah, Nur, “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang

Undang Perkawinan dan Hukum Islam”, dalam Jurnal Hukum Samudra

Keadilan Vol. 10 No. 2, Juli-Desember 2015.

Asnawi, M. Natsir, “Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Politik Hukum:

(Studi tentang Kebijakan Hukum dalam UU No. 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman)”, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan No. 332

Juli 2013.

Baidi, Yasin, “Fenomena Nikah Beda Agama di Indonesia: Telaah terhadap

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1400 K/Pdt/1996”,

dalam Jurnal Sosio-Religia Vol.9, No.3, Mei, 2010.

H.W.P, Hutari, “Legalitas Perkawinan Antar Pemeluk Beda Agama di Indonesia

dikaitkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”,

dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-36 No. 2 April-Juni

2006.

Hanif, Azhar Muhammad, “Tinjauan Tentang Perkawinan Beda Agama (Analisis

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor

156/Pdt.P/2010/PN.Ska)”, Skripsi S-1 Jurusan Al-Ahwal Asy

syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah UIN Walisongo, Semarang, 2015.

Harahap, Zul Anwar Ajim, “Konsep Maqashid al-Syari’ah Sebagai Dasar

Penetapan dan Penerapannya dalam Hukum Islam Menurut Izzuddin Bin

Abd al-Salam (W.660H)”, dalam Jurnal Tazkir Vol.9 No. Juli-Desember

2014.

Khalid, Afif, “Penafsiran Hukum Oleh Hakim dalam Sistem Peradilan di

Indonesia”, dalam Jurnal Al’Adl, Volume VI Nomor 11, Januari-Juni

2014.

Manan, Abdul, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di

Peradilan Agama”, dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor

2, Juli 2013.

Mursyid, Salma, Jurnal Aqlam – Journal of Islam and Plurality, Volume 2 Nomor

1, Desember 2016.

Page 110: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

96

Mutakin, Ali, “Implementasi Maqashid al-Syari’ah dalam Putusan Bahts al-

Masa’il tentang Perkawinan Beda Agama”, dalam Jurnal Koordinat Vol.

XV No. 2 Oktober, 2016.

______________, “Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode

Istinbath Hukum”, dalam Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 3,

Agustus, 2017, pp. 547-570.

Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya

Mewujudkan Hukum yang Responsif, dalam Jurnal AL-HUKAMA The

Indonesian Journal of Islamic Family Law, Volume 07 Nomor 01, Juni

2017.

Nashrullah Kartika MR, Galuh, dan Hasni Noor, “Konsep Maqashid al-Syariah

dalam Menentukan Hukum Islam (Perspektif al-Syatibi dan Jasser Auda)”,

dalam Jurnal Al-Iqtishadiyah Volume I, Issue I, Desember 2014.

RHR, Raphon Fajar, “Keabsahan Perkawinan Warga Negara Indonesia Yang

Berbeda Agama (Analisis Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 dengan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

Studi Penetapan No.92/Pdt.P/2010/PN.Surakarta)”, dalam Jurnal Fakultas

Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2013.

Rosidah, Zaidah Nur, “Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan Mengenai

Perkawinan Beda Agama”, dalam Jurnal Al-Ahkam, Volume 23, Nomor 1,

April, 2013.

Sehabudin, “Pencatatan Perkawinan dalam Kitab Fikih dan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Perspektif Maqashid Syari’ah)”,

dalam Jurnal Al-Mazahib, Volume 2 No. I Juni 2014.

Shidiq, Ghofar, “Teori Maqashid al-Syari’ah dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal

Sultan Agung Vol. XLIV No. 118 Juni-Agustus 2009.

Supandi, “Kompetensi Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara

Menyelesaikan Sengketa Informasi Publik”, dalam Majalah Hukum Varia

Peradilan Tahun XXVIII No. 331 Juni 2013.

Toriquddin, Moh, “Teori Maqashid Syariah Perspektif al-Syatibi”, dalam de Jure,

Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014.

Widihastuti, Setiati, Sri Hartini, dan Eny Kurdarini, “Kajian Terhadap Perkawinan

Page 111: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

97

Antar Orang Berbeda Agama Di Wilayah Hukum Kota Yogyakarta”, Jurnal

Ilmu-Ilmu Sosial (SOCIA) FIS UNY Yogyakarta Volume XI nomor 2,

September 2014.

Wijaya, Abdi, “Cara Memahami Maqashid al-Syari’ah”, dalam Jurnal Ad-Daulah

Vol. 4 / No. 2 / Desember 2015.

Skripsi dan Tesis

Jamilah, “Tinjauan Yuridis Pencatatan Perkawinan Campuran Beda Agama Di

Yayasan Paramadina Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”

Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Tanjungpura Pontianak, 2013.

MS, M. Andy Chafid Anwar, “Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap

Penetapan Pengadilan Negeri Magelang Tentang Perkawinan Beda

Agama(Penetapan PN Magelang No.04/Pdt.P/2012/PN.Mgl)”, Skripsi S-1

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.

Muarif, Moh Syamsul, “Legalitas Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Perkawinan”, Tesis Program Magister Al

Ahwal Al-Syakhsiyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Malang, 2015.

Internet

Wijaya, Leony. Sahnya Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari UU No 1 Tahun

1974 dan Agama-agama di Indonesia. Dalam

https://anastasyaleony.wordpress.com/2016/03/18/sahnya-perkawinan-

bedaagama-ditinjau-dari-undang-undang-nomor-1-tahun-1974-dan-agama-

agama-di-indonesia/ diakses pada 18 Maret 2016.

Galuh. Solusi Konstitusi atas Problematika Kawin Beda Agama. Dalam

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5431ffe62bdd1/menunggu-

solusi-konstitusi-atas-problematika-kawin-beda-agama diakses pada Senin,

06 Oktober 2014.

Undang-undang

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam.

Page 112: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

98

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004, tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan

Umum.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan

Militer.

Page 113: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

P E N E T A P A NNo. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt.

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Negeri Surakarta yang memeriksa dan memutus perkara – perkara

permohonan telah memberikan penetapan sebagai berikut dalam perkara pemohon :

1 ALOYSIA VETTYANA RATNAWATI :

Lahir di Surakarta, 29 April 1991, agama Katolik, pekerjaan karyawan

swasta, alamat di Jl. Kebangkitan Nasional 5 A RT.001 RW.006 Kel.

Penumping, Kec. Laweyan, Kota Surakarta.-

Selanjutnya disebut sebagai : PEMOHON - I.

2 DANDI FERDIAN :

Lahir di Surakarta, 29 April 1994, agama Islam, Pekerjaan karyawan

swasta, alamat di Jl. Siwal RT. 005 RW. 002 Desa Siwal, Kec. Baki,

Kabupaten Sukoharjo.-

Selanjutnya disebut sebagai : PEMOHON - II.

Pengadilan Negeri tersebut ;

Setelah membaca segala surat – surat dalam berkas perkara ;

Setelah memperhatikan bukti – bukti surat yang diajukan ;

Setelah mendengar keterangan saksi – saksi di persidangan ;

Menimbang bahwa pada hari persidangan yang ditentukan untuk memeriksa perkara ini,

pemohon telah hadir di persidangan dengan membawa alat bukti yang berhubungan dengan

perkara ini.

Menimbang bahwa para pemohon tersebut di atas telah mengajukan permohonan

perihal : Ijin Kawin Beda Agama ke Pengadilan Negeri Surakarta dengan surat permohonan

yang diregister dengan nomor : 46/Pdt.P/2016/PN.Skt, dimana setelah diperbaiki (diberi tanda

paraf disamping halaman surat permohonan) isinya sebagai berikut :

• Bahwa para pemohon telah sepakat satu sama lain untuk melaksanakan perkawinan yang

rencananya dilangsungkan dihadapan Pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Kota Surakarta.

Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 1 dari 13.

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1

Page 114: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

• Bahwa pada tanggal 4 Februari 2016 Para Pemohon telah memberitahukan kepada

Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta tentang akan

dilaksanakannya perkawinan tersebut tetapi oleh karena beda agama yaitu Pemohon I

beragama Katolik, sedangkan Pemohon II beragama Islam maka oleh Kantor Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta permohonan Para Pemohon tersebut

ditolak, dengan alasan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2)

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 35 Undang –

Undang Nomor 23 Tahun 2006.

• Bahwa dengan alasan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 1 Undang – Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 35 Undang – Undang Nomor 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta penjelasannya, perkawinan

tersebut dapat dicatatkan setelah mendapatkan Penetapan Pengadilan Negeri.

• Bahwa Para Pemohon masing – masing tetap pada pendiriannya untuk melakukan

perkawinan tersebut dengan tetap pada kepercayaannya masing – masing, dengan cara

mengajukan permohonan ijin kepada Pengadilan Negeri Surakarta yang mengacu pada

Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 35 huruf (a)

Undang – Undang Nomor : 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta

penjelasannya.

• Bahwa asas hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia pada prinsipnya

perbedaan agama tidaklah menjadikan penghalang untuk melakukan perkawinan.

Berdasarkan alasan – alasan tersebut di atas, maka perkenankanlah kiranya Bapak Ketua

pengadilan Negeri Surakarta berkenan untuk menerima, memeriksa permohonan ini dan

selanjutnya berkenan memberikan penetapan sebagai berikut :

1 Mengabulkan permohonan para pemohon.

2 Memberikan ijin kepada para pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda

agama di Kantor Dinas kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta.

3 Memerintahkan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta

untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama Para Pemohon tersebut

di atas ke dalam register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu.

4 Membebankan biaya permohonan kepada para pemohon.

Menimbang bahwa untuk mendukung permohonannya para pemohon telah menyerahkan

bukti – bukti surat yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-16 sebagai berikut :

2

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2

Page 115: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

P-1 : Asli Surat dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta No.474.2/330/

II/2016 tanggal 4 Februari 2016 kepada Dandi Ferdian perihal penolakan permohonan

pencatatan perkawinan.

P-2 : Foto copy Kartu Tanda Penduduk No.3311102904940004 atas nama Dandi Ferdian.

P-3 : Foto copy Kutipan Akta Kelahiran No.3311-LT-13012016-0047 tanggal 14 Januari 2016

atas nama Dandi Ferdian, yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan

Sipil Kab. Sukoharjo.

P-4 : Foto copy Kartu Keluarga No.3311102808130002 tertanggal 7 September 2013 atas

nama Kepala Keluarga Mami Sularmi.

P-5 : Foto copy Kartu Keluarga No.3372010501120001 tertanggal 5 Januari 2012 atas nama

Kepala Keluarga Yarianto.

P-6 : Foto copy Kutipan Akta Nikah No.455/11/III/1990 tanggal 9 Maret 1990 antara Yarianto

dengan Mami Sularmi.

P-7 : Asli Surat dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta No.474.2/330/

II/2016 tanggal 4 Februari 2016 kepada Aloysia Vettyana Ratnawati perihal penolakan

permohonan pencatatan perkawinan.

P-8 : Foto copy Kartu Tanda Penduduk No.3372016904910001 atas nama Aloysia Vettyana

Ratnawati.

P-9 : Foto copy Kutipan Akta Kelahiran No. Nas.123/952/TP/1991 tanggal 28 Oktober 1991

atas nama Aloysia Vettyana Ratnawati, yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kota

Surakarta.

P-10 : Foto copy Kutipan Akta Perkawinan No. Nas.190/1990 tanggal 6 Agustus 1990 antara

Bassilius Sutanta dan Veronika Sri Ernawati.

P-11 : Foto copy Kartu Keluarga No.3372011203082504 tertanggal 26 Januari 2016 atas nama

Kepala Keluarga Bassilius Sutanta.

P-12 : Foto copy Surat Pernyataan Belum Pernah Menikah yang dibuat oleh Dandi Ferdian

tertanggal Januari 2016.

P-13 : Foto copy Surat Pernyataan Belum Pernah Menikah yang dibuat oleh Aloysia Vettyana

Ratnawati tertanggal 11 Januari 2016.

P-14 : Foto copy Surat Pernyataan Persetujuan Menikah dari Orang Tua yang dibuat oleh

Bassilius Sutanta dan Veronika Sri Ernawati tertanggal 17 Desember 2015.

P-15 : Foto copy Surat Keterangan Imunisasi TT Bagi Calon Pengantin tertanggal 12 januari

2016, atas nama Dandi Ferdian.

P-16 : Foto copy Surat Pernyataan Persetujuan Menikah dari Orang Tua yang dibuat oleh

Yarianto dan Mami Sularmi tertanggal 19 Desember 2015.

Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 3 dari 13.

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3

Page 116: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Menimbang bahwa bukti surat bertanda P-1 dan P-7 keduanya merupakan surat asli

sedangkan selainnya berupa foto copy surat yang telah diberi meterai cukup dan telah diperiksa

dan terlihat sama dan cocok dengan surat aslinya.

Menimbang selain itu, para pemohon telah menghadirkan saksi – saksinya di persidangan

untuk didengar keterangannya setelah mengucapkan janji menurut agama yang dianut saksi –

saksi telah pula memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut :

1 Heribertus Soetardjo, SPD,

• Saksi tidak kenal dengan Pemohon II Dandi Ferdian.

• Saksi kenal dengan Pemohon Aloysia Vettyana Ratnawati karena selain bertetangga,

saksi juga sebagai Ketua Lingkungan dimana saksi dan Pemohon Aloysia berdomisili.

Selain itu Pemohon Aloysia adalah mantan murid saya di SMP 10 Surakarta sejak dia

duduk di Kelas 1 sampai dengan Kelas 3 SMP, sedangkan dengan Pemohon Dandi

Ferdian sebelumnya saksi tidak kenal.

• Saksi kenal dengan orang tua dari Aloysia yaitu pak Sutanta dan Ernawati yang biasa

dipanggil ibu Erna.

• Saksi mengerti mengapa saksi diajukan oleh Pemohon sebagai saksi yaitu untuk memberi

keterangan mengenai maksud para Pemohon yang ingin untuk mendapatkan ijin dari

Pengadilan karena Para Pemohon ingin menikah di Kantor Catatan Sipil Surakarta

sedangkan mereka beda agama. Pemohon I beragama Katolik dan Pemohon II beragama

Islam oleh karena itu Kantor Catatan Sipil Surakarta menolak keinginan mereka untuk

menikah.

• Setahu saksi, Aloysia belum pernah menikah.

• Aloysia adalah anak yang pertama dari dua bersaudara, dan kedua-duanya adalah

perempuan.

• Setahu saksi, usia Aloysia saat ini adalah sekitar 24 tahun.

• Menurut yang saksi tahu dari Pemohon I, Pemohon II (Dandi) beragama Islam.

• Kalau menurut ajaran agama Katolik menikah beda agama dibolehkan.

• Setahu saksi orang tua Aloysia merestui pernikahan mereka, kalau orang tua Dandi saya

tidak tahu.

• Saya tidak tahu apakah Dandi sudah pernah menikah.

• Keterangan saksi sudah cukup dan tidak ada lagi keterangan lain yang ingin saksi

tambahkan.

4

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4

Page 117: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Menimbang bahwa Para Pemohon menyatakan tidak keberatan dan membenarkan

keterangan saksi ini;

1 SUGENG SARTONO,

• Saksi kenal dengan Pemohon Aloysia Vettyana Ratnawati karena bertetangga,

sedangkan dengan Pemohon Dandi Ferdian sebelumnya saksi tidak kenal.

• Saksi kenal dengan orang tua dari Aloysia yaitu pak Sutanta dan ibu Ernawati yang biasa

dipanggil ibu Erna.

• Setahu saksi maksud para Pemohon mengajukan permohonan ini adalah untuk keperluan

mendapatkan ijin dari Pengadilan untuk menikah beda agama di Kantor Catatan Sipil

Surakarta karena Kantor Catatan Sipil Surakarta menolak keinginan mereka.

• Aloysia belum pernah menikah.

• Aloysia adalah anak yang pertama dari dua bersaudara, kedua-duanya adalah

perempuan.

• Saat ini usia Aloysia adalah 24 tahun.

• Dandi beragama Islam.

• Kalau menurut ajaran agama Kristen yang saksi anut menikah beda agama tidak

diperbolehkan.

• Setahu saksi orang tua Aloysia merestui pernikahan mereka, kalau orang tua Dandi saya

tidak tahu.

• Keterangan saksi sudah cukup dan tidak ada lagi keterangan lain yang ingin saksi

tambahkan.

Menimbang bahwa Para Pemohon menyatakan tidak keberatan dan membenarkan

keterangan saksi ini.

Menimbang bahwa selain dari keterangan saksi – saksi, Pengadilan Negeri juga

menganggap perlu mendengar keterangan dari bapak Bassilius Sutanta dan ibu Veronika Sri

Ernawati (orang tua dari pada Pemohon I) yang hadir di persidangan dimana meskipun bukan

dibawah sumpah atau janji mereka telah memberikan keterangan seperlunya dan telah dicatat

dalam Berita Acara Persidangan yang menerangkan sebagai berikut :

Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 5 dari 13.

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5

Page 118: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

• Bahwa benar maksud dan tujuan para Pemohon mengajukan permohonan ke Pengadilan

adalah untuk mendapatkan ijin melangsungkan perkawinan beda agama oleh karena

sebelumnya Kantor Catatan Sipil Surakarta telah mengeluarkan Surat Penolakan

melangsungkan perkawinan beda agama kecuali ada Penetapan dari Pengadilan Negeri

Surakarta.

• Bahwa benar kami telah memberikan persetujuan dan tidak keberatan dengan keinginan

para Pemohon untuk menikah beda agama;

• Bahwa menurut rencana perkawinan tersebut akan dilangsungkan secara agama Katolik

di Kantor Catatan Sipil Surakarta;

Menimbang bahwa setelah segala sesuatu untuk pemeriksaan permohonan ini dinyatakan

cukup oleh Para Pemohon dan mohon untuk diputuskan, maka selanjutnya Hakim yang

bersidang akan memberikan pertimbangannya sebagai berikut :

TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA

Menimbang, adapun maksud dan tujuan para pemohon telah dapat dimengerti secara

jelas yaitu untuk mendapatkan ijin menikah dari Pengadilan Negeri Surakarta oleh karena

diantara mereka Para Pemohon faktanya memeluk agama yang berbeda dimana Pemohon I

(ALOYSIA VETTYANA RATNAWATI) sesuai identitasnya menganut agama Katolik

sedangkan Pemohon II (DANDI FERDIAN ) sesuai identitasnya menganut agama Islam.

Menimbang bahwa setelah Pengadilan Negeri mencermati permohonan Para Pemohon

dihubungkan dengan bukti surat – surat dan keterangan saksi – saksi bahkan keterangan dari

orang tua Pemohon I (ALOYSIA VETTYANA RATNAWATI) maka dapat disimpulkan

permasalahan hukum sehubungan permohonan ini adalah : “Apakah Pengadilan Negeri

Surakarta dapat memberikan ijin kepada Pemohon I (ALOYSIA VETTYANA RATNAWATI)

dan Pemohon II (DANDI FERDIAN) yang berbeda agama karena masing – masing tidak berniat

untuk melepaskan keyakinan agamanya, mereka dapat melangsungkan perkawinan di hadapan

pejabat pencatat perkawinan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Surakarta ?”.

Menimbang bahwa sebelum Pengadilan Negeri Surakarta lebih jauh mempertimbangkan

permohonan Para Pemohon perlu lebih dahulu mempertimbangkan kekuatan hukum dari pada

alat bukti yang diajukan oleh Para Pemohon.

6

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6

Page 119: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Menimbang bahwa oleh karena bukti surat bertanda : P-2 ; P-3 ; P-4 ; P-5 ; P-6 ; P-8 ;

P-9 ; P-10 ; P-11 ; P-12 ; P-13 ; P-14 ; P-15 ; dan P-16 ; yang seluruhnya merupakan foto copy

dan telah diberi meterai yang cukup serta telah cocok dan sesuai dengan surat asli masing –

masing yang diajukan oleh Para Pemohon. Sedangkan khusus mengenai bukti surat P-1 dan P-7,

keduanya adalah surat asli, maka dengan demikian keseluruhan butki surat dimaksud dapat

diterima sebagai alat bukti yang sah dan mempunyai kekuatan hukum untuk selanjutnya dapat

dipertimbangkan dalam memutus perkara permohonan Para Pemohon.

Menimbang demikian juga halnya dengan saksi – saksi yang memberikan keterangan

setelah lebih dahulu berjanji menurut agama masing – masing dan tidak ada halangan hukum

untuk dapat didengar sebagai saksi di depan persidangan maka keterangan mereka saksi – saksi

juga dapat dipedomani sebagai keterangan yang berkekuatan hukum.

Menimbang bahwa dengan memperhatikan bukti surat – surat dan keterangan saksi –

saksi yang diajukan oleh Para Pemohon, telah nyata bahwa Para Pemohon memang sungguh –

sungguh berkehendak untuk melangsungkan pernikahan mereka secara sah namun mereka

terbentur oleh keyakinan / agama masing – masing yang berbeda, yakni Pemohon I (ALOYSIA

VETTYANA RATNAWATI) beragama Katolik sedangkan Pemohon II (DANDI FERDIAN)

beragama Islam.

Menimbang bahwa dengan memperhatikan bukti surat – surat dan keterangan saksi –

saksi termasuk orang tua Pemohon I (ALOYSIA VETTYANA RATNAWATI) diperoleh fakta –

fakta yang kuat sebagai berikut :

• Bahwa Pemohon I (ALOYSIA VETTYANA RATNAWATI) yang berusia sekitar 24

(dua puluh empat) tahun dan belum pernah menikah dan beragama Katolik berencana

hendak melangsungkan perkawinan dengan calon suaminya yang bernama DANDI

FERDIAN (Pemohon II) yang berusia sekitar 21 (dua puluh satu) tahun dan beragama

Islam di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta secara agama

Katolik.

• Bahwa karena agama Pemohon I dan Pemohon II berbeda maka mereka telah

mengajukan permohonan untuk melaksanakan pernikahan ke Kantor Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil namun permohonan mereka tersebut ditolak dengan

alasan adanya perbedaan agama (vide bukti surat P-1 dan P-7).

Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 7 dari 13.

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7

Page 120: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

• Bahwa dalam bukti surat P-1 dan P-7 diterangkan, Kantor Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kota Surakarta dapat menerima atau melaksanakan pencatatan

perkawinan Para Pemohon setelah ada penetapan dari Pengadilan Negeri Surakarta.

• Bahwa orang tua Pemohon I maupun orang tua Pemohon II semuanya menyatakan tidak

keberatan dan menyetujui serta mengijinkan apabila Pemohon I menikah dengan

Pemohon II di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta (vide

bukti surat P-14 dan P-16).

• Bahwa oleh karena adanya surat dari Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Kota Surakarta maka Para Pemohon mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri

Surakarta untuk meminta ijin melangsungkan perkawinan beda agama tersebut.

Menimbang bahwa menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 ada 2 (dua) instansi Pegawai pencatat perkawinan yaitu Pegawai pencatat

untuk perkawinan menurut agama Islam berada di Kantor Urusan Agama sebagaimana dimaksud

dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Nikah, Talaq dan Rujuk, sedangkan

bagi mereka yang beragama selain agama Islam adalah Pegawai Pencatat Perkawinan pada

Kantor Catatan Sipil.

Menimbang bahwa kedua instansi pencatat perkawinan tersebut berdasarkan ketentuan

Pasal 20 dan Pasal 21 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

diperbolehkan dan akan menolak melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan

bila ia mengetahui adanya pelanggaran ketentuan dari Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10

dan Pasal 12 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan meskipun ada

pencegahan perkawinan.

Menimbang bahwa pelanggaran – pelanggaran ketentuan perundang – undangan tersebut

antara lain dikatakan karena usia pihak – pihak yang akan kawin belum memenuhi syarat,

hubungan kekeluargaan yang terlalu dekat, satu pihak masih terikat tali perkawinan dengan

orang dan sebagainya.

Menimbang bahwa berdasar Pasal 21 ayat (3) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974

kepada mereka yang perkawinannya ditolak diberi hak untuk mohon campur tangan pengadilan,

yaitu Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, dan Pengadilan Negeri bagi mereka

yang beragama selain beragama Islam agar supaya penolakan tersebut dinyatakan batal dan

selanjutnya memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan.

8

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8

Page 121: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Menimbang bahwa ketentuan sebagaimana diatur oleh Pasal 21 Undang Undang Nomor

1 Tahun 1974 tersebut berlaku bagi mereka pihak – pihak yang melangsungkan perkawinan yang

seagama yaitu sama – sama Islam atau sama – sama selain beragama Islam.

Menimbang bahwa dihubungkan dengan permohonan Para Pemohon ternyatalah

penolakan oleh instansi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta didasarkan

pada alasan karena pihak – pihak yang akan melangsungkan perkawinan berlainan agama.

Menimbang bahwa penolakan oleh instansi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Kota Surakarta didasarkan pada Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 477/2535/PUOD tertanggal

25 Juli 1990 butir 2 yang menyatakan bahwa : “terhadap mereka yang menyatakan tidak

melaksanakan ajaran dari salah satu agama dari 5 (lima) agama yang ada di Indonesia (Islam,

Katolik, Protestan, Hindu dan Budha), maka pencatatan terhadap mereka tidak dapat

dilaksanakan”, karena Undang Undang Perkawinan mengatur perkawinan berdasarkan ketentuan

agama, bukan penolakan yang didasarkan pada ketentuan Pasal 20 Undang Undang Nomor 1

Tahun 1974.

Menimbang bahwa terhadap permohonan Para Pemohon ini Pengadilan Negeri Surakarta

mempertimbangkan sebagai berikut :

1 Bahwa Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat suatu

ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama dan atau kepercayaan

antara calon suami dan calon istri merupakan larangan perkawinan, hal mana adalah

sejalan dengan Pasal 27 Undang – Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa segala

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya

kesamaan hak azazi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan

agama dan atau kepercayaan dan selama oleh undang – undang tidak ditentukan bahwa

perbedaan agama dan atau kepercayaan merupakan larangan untuk melangsungkan

perkawinan, maka asas ini adalah sejalan dengan jiwa Pasal 29 Undang Undang Dasar

1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk

memeluk agama dan atau kepercayaannya masing – masing.

2 Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, Undang Undang Nomor 1 Tahun

1974 tidak mengatur mengenai perkawinan dari pasangan yang berbeda agama, hal mana

lebih dipertegas dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1400 K/Pdt/1986

tanggal 20 Januari 1989 yang berbunyi : “Bahwa perbedaan agama dari calon suami

istri tidak merupakan larangan perkawinan bagi mereka”.

Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 9 dari 13.

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9

Page 122: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

3 Bahwa perkawinan Para Pemohon faktanya didasarkan pada perbedaan agama diantara

mereka.

4 Bahwa Undang Undang nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam peraturan pelaksanaannya

nomor 9 Tahun 1975 tidak terdapat satu pasal pun yang mengatur tentang bagaimana

melangsungkan perkawinan antara orang yang berlainan agama atau kepercayaan.

Menimbang bahwa dari hal – hal tersebut di atas, berarti perkawinan yang terjadi antara

pihak yang menganut agama yang berbeda hingga kini belum ada peraturannya dan itu berarti

menyangkut perkara ini telah terjadi kekosongan hukum (rechts vacum).

Menimbang bahwa selain dari pada peraturan dimaksud belum ada sementara dalam

ketentuan Pasal 14 Undang Undang Nomor 14 tahun 1970 yang telah dirubah dengan Undang

Undang Nomor 35 Tahun 1999, kemudian dirubah dan ditambah dengan Undang Undang

Nomor 4 tahun 2004 dan terakhir dirubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak

untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa

hukumnya tidak ada atau kurang jelas.

Menimbang bahwa oleh karena adanya kekosongan hukum tersebut maka sejalan dengan

ketentuan penjelasan Pasal 14 Undang Undang Nomor 14 tahun 1970 yang telah dirubah dengan

Undang Undang Nomor 35 Tahun 1999, kemudian dirubah dan ditambah dengan Undang

Undang Nomor 4 tahun 2004 dan terakhir dirubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dimaksud mengatakan bahwa Hakim wajib

menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum dan bertanggung jawab

kepada Tuhan Yang Maha Esa terlebih dahulu harus dicari dalam praktek hukum yang telah

terjadi berkenaan dengan hal tersebut.

Menimbang bahwa didasari pada ketentuan hukum tersebut di atas dan setelah

memperhatikan segala sesuatu hal yang terlihat dalam bukti – bukti surat maupun yang

diterangkan oleh saksi – saksi dan terutama melihat niat atau kehendak para pemohon untuk

tetap melangsungkan pernikahan mereka meskipun mereka saat ini berbeda agama, maka

Permohonan Para Pemohon yaitu untuk dapat melangsungkan perkawinan mereka yang berbeda

agama satu sama lainnya dan yang memohon supaya perkawinan yang akan mereka langsungkan

dapat dicatat dalam catatan perkawinan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

kota Surakarta, permohonan demikian dapat dikabulkan.

10

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10

Page 123: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Menimbang bahwa oleh karena permohonan ini dapat dikabulkan maka menyangkut

biaya perkara yang timbul dalam permohonan ini secara hukum dibebankan kepada para

pemohon sebesar yang tersebut nanti dalam amar penetapan ini.

Memperhatikan segala pasal dan ketentuan lain yang berhubungan dengan perkara ini.

M E N E T A P K A N

1 Mengabulkan permohonan para pemohon.

2 Memberikan ijin kepada para pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di

Kantor Dinas kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta.

3 Memerintahkan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta untuk

melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama Para Pemohon tersebut di atas ke

dalam register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu.

4 Membebankan biaya perkara permohonan ini sebesar Rp.151.000,- (seratus lima puluh

satu ribu rupiah) kepada Para Pemohon.

Demikian ditetapkan dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari

ini SENIN tanggal 07 Maret 2016 oleh : T.O.C.H. SIMANJUNTAK, SH., M.Hum, Hakim

yang ditunjuk untuk bersidang dibantu oleh JUVENAL A. CORBAFO, SH selaku Panitera

Pengganti, dan dihadiri oleh para pemohon.

Hakim yang bersidang,

TOCH. SIMANJUNTAK, SH., MHum.

Panitera Pengganti,

JUVENAL A. CORBAFO, SH

Rincian Biaya :

Biaya Proses Rp. 50.000,-

Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 11 dari 13.

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11

Page 124: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Materai Rp. 6.000,-Pemanggilan Rp. 60.000,-PNBP Rp. 30.000,-Redaksi Rp. 5.000,-

----------------------------------- +Jumlah Rp.151.000,- (Seratus lima puluh satu ribu rupiah).

12

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12

Page 125: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Salinan resmi Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 46/Pdt.P/2016/PNSkt

tanggal 07 Maret 2016 diberikan atas permintaan secara lisan para Pemohon (Aloysia Vettyana

Ratnawati dan Dandi Ferdian) pada hari Senin, tanggal 7 Maret 2016.

PANITERA

PENGADILAN NEGERI KELAS I A KHUSUS SURAKARTA

H.MUHAMMAD MAKMUN, S.H.,M.H.

NIP : 19571122 198103 1 004

Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 13 dari 13.

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13

Page 126: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

1

P E N E T A P A N

Nomor : 71/Pdt.P/2017/PN Bla.

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

Pengadilan Negeri Blora yang memeriksa dan mengadili perkara-

perkara perdata permohonan dalam tingkat pertama telah menjatuhkan

penetapan dalam perkara :

NENENG OKTORA BUDI ASRI Binti BAMBANG MARJONO (Alm),

Tempat/tanggal lahir : Blora/ 07 Oktober 1979, pekerjaan : Guru

GTT pada SMAN 1 Tunjungan, agama : Islam, alamat Jl. R.A.

Kartini Gang 8 No. 11 RT 003/RW 001, Kelurahan Kunden,

Kecamatan/Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, selanjutnya

disebut sebagai PEMOHON I;

YAFET ARIANTO Bin MARKUS WARTONO (Alm)Tempat/tanggal lahir :

Blora/ 25 Januari 1980, pekerjaan : Guru GTT pada SMK Negeri 1

Blora, agama : Kristen, alamat Desa Gersi RT 002/Rw 002,

Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah,

selanjutnya disebut sebagai PEMOHON II;

dalam perkara ini Para Pemohon diwakili oleh Kuasa Hukumnya Drs. S.

TEGUH WIYONO,SH,M.Hum Advokat & Konsultan Hukum yang beralamat di

Jl. Jejeruk No.2 Seso, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa

Tengah berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 16 Maret 2017 ;

PENGADILAN NEGERI tersebut ;

Telah memperlajari berkas perkara permohonan ini ;

Telah mendengar keterangan saksi-saksi dan keterangan Para Pemohon;

Telah mempelajari bukti-bukti surat yang diajukan oleh Para Pemohon ;

TENTANG DUDUKNYA PERKARA

Menimbang, bahwa Para Pemohon telah mengajukan surat

permohonan tertanggal 17 Maret 2017 yang diterima di Kepaniteraan

Pengadilan Negeri Blora tanggal 20 Maret 2017 dibawah Nomor Register

Perkara : 71/Pdt.P/2017/PN.Bla yang pada pokoknya Para Pemohon

mengajukan permohonan sebagai berikut:

1. Bahwa Pemohon/ Neneng Oktora Budi Asri binti Bambang Marjono (Alm)

telah menjalin hubungan saling cinta-mencintai dengan seorang Pria

temannya sendiri bernama Yavet Arianto bin Markus Wartono (Alm).

Mereka berdua sudah saling mengenal sejak tahun 1996 (waktu masih

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1

Page 127: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

2

sekolah SMTA), sudah ada kecocokan dan saling pengertian karena

sudah berpacaran sejak tahun 2004 s/d sekarang (± 13 tahun), sehingga

mereka berdua setuju dan bersepakat untuk ditingkatkan ke jenjang

perkawinan;

2. Bahwa oleh karena itu, maka persetujuan dan kesepakatan antara

Pemohon dan teman Prianya bernama Yavet Arianto bin Markus

Wartono (Alm) tentang rencana perkawinan tersebut selanjutnya

mereka mohonkan restu kepada orangtua/ keluarga masing- masing;

3. Bahwa atas penuturan Pemohon terhadap orangtuanya (Ibu Yayuk

Budhi Rahayu) mengenai hubungan Pemohon dengan teman Prianya /

bernama Yavet Arianto bin Markus Wartono (Alm) yang akan ditingkatkan

ke jenjang perkawinan, telah mendapatkan restu secara lisan dari Ibu

Yayuk Budhi Rahayu (Ibunda Pemohon) ; demikian pula dari Pihak

teman Prianya / Sdr. Yavet Arianto bin Markus Wartono (Alm) juga telah

mendapat restu dari keluarga (kakaknya) karena kedua orangtuanya

telah meninggal dunia;

4. Bahwa berkenaan dengan hal sebagaimana tersebut pada point No 2

dan 3 di atas, terkait dengan rencana perkawinan Pemohon dengan

teman Prianya/ Sdr. Yavet Arianto bin Markus Wartono (Alm) , maka

pelaksanaan lamaran dari keluarga Sdr. Yavet Arianto direncanakan

akan dilaksanakan setelah mendapat Putusan/ Penetapan Pengadilan

Negeri Blora tentang Izin Perkawinan Beda Agamayaitu sesaat sebelum

Upacara Perkawinan dilaksanakan ;

5. Bahwa mengenai Perkawinan dan/ atau Perkawinan Beda Agama, telah

diatur dalam Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut :

a. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat

(1) menyatakan bahwa : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan

menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu ;

Ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan“;

b. Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung Nomor : M.A/ Pemb./ 0807 / 1975

tanggal 20 Agustus 1975 Mengenai Pelaksanaan Undang-undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP Nomor 1 Tahun 1974 ; Tersebut

pada point No 6, yang menyatakan bahwa : “ Adalah wewenang

Pengadilan Negeri sebagai peradilan umum untuk memeriksa :

6.1 Mengenai perkara-perkara antara mereka yang tidak beragama Islam

yang berbeda agamanya dan berlainan kewarganegaraannya ;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2

Page 128: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

3

6.2 Mengenai hal- hal yang tidak diatur dalam PP tersebut sekalipun

terhadap mereka yang beragama Islam;

Karena menurut UU Nomor 14 Tahun 1970, pengadilan dalam

lingkungan peradilan umum lah yang memeriksa semua sengketa

perdata dan dalam mengadili sengketa perdata mana yang menurut

hukum yang berlaku masih diterapkan hukum perdata yang berlainan,

kadang- kadang hukum adat hukum BW hukum antargolongan atau

hukum perdata internasional ;

c. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , Bab XIV

Ketentuan Penutup Pasal 66 jo. Peraturan tentang Perkawinan

Campuran ( Penetapan Raja tanggal 29 Desember 1896 Nomor 23-Stbl

1896 No 158, dir. Dandit, dengan Stbl 1901/348 , 1902/ 311 , 1907/ 205 ,

1918/ 30 , 159, 160, dan 161, 1919/ 81, dan 816, 1931/ 168 jo

423 ) ; Pasal 4 ayat ( 2) menyatakan bahwa : Perbedaan agama, bangsa

atau asal itu sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan

itu ;

d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab II

mengenai Pencatatan Perkawinan , Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa

“Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain

agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor

Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-

undangan mengenai pencatatan perkawinan”;

e. KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek Buku I tentang Orang, Bab IV

tentang Perkawinan , Pasal 26 menyatakan bahwa : “ Undang- undang

memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan- hubungannya

perdata “;

Bagian VII tentang Bukti Bukti Adanya Perkawinan: Pasal 100

menyatakan bahwa: “ Adanya suatu perkawinan tak dapat dibuktikan

dengan cara lain, melainkan dengan Akta Perlangsungan Perkawinan

itu, yang telah dibukukan dalam Register Catatan Sipil, kecuali dalam hal-

hal teratur dalam pasal- pasal berikut “;

6. Bahwa dari uraian dan keterangan-keterangan sebagaimana telah

diutarakan tersebut di atas , dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Hubungan Pemohon / Neneng Oktora Budi Asri binti Bambang Marjono

(Alm) dengan teman Prianya / Yavet Arianto bin Markus Wartono (Alm)

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3

Page 129: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

4

adalah didasarkan atas saling cinta mencintai, dan mereka berdua telah

setuju/ sepakat untuk melanjutkan ke jenjang perkawinan ;

b. Hubungan saling cinta – mencintai antara Pemohon / Neneng Oktora Budi

Asri dengan teman Prianya / Yavet Arianto tersebut, apabila dilanjutkan

ke jenjang perkawinan maka akan terjadi Perkawinan Beda Agama (Islam

dan Kristen) yang terlebih dahulu harus memperoleh Putusan/

Penetapan dari Pengadilan Negeri Blora tentang Izin Perkawinan Beda

Agama;

c. Niat dan kesepakatan Pemohon/ Neneng Oktora Budi Asri dengan

teman Prianya / Yavet Arianto telah mendapat restu secara lisan dari

orangtua/ keluarga masing-masing sedangkan Lamaran Resmi dari Pihak

keluarga Yavet Arianto menurut rencana akan dilaksanakan setelah

memperoleh Putusan/ Penetapan dari Pengadilan Negeri Blora tentang

Izin Perkawinan Beda Agama ;

7. Bahwa bardasarkan alasan-alasan dan dalil-dalil sebagaimana tersebut

di atas maka guna memenuhi salah satu persyaratan administrative

untuk dapatnyadilangsungkanPerkawinan antara Pemohon/Neneng

Oktora Budi Asri binti Bambang Marjono (Alm) dengan Yavet Arianto

bin Markus Wartono(Alm) maka Pemohon memohon agar Hakim yang

memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara/permohonan ini

berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut :

DALAM POKOK PERKARA

1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon ;

2. Menetapkan Memberikan Izin Perkawinan Beda Agama kepada

Pemohon/ Neneng Oktora Budi Asri binti Bambang Marjono(Alm)

dengan Yavet Arianto bin Markus Wartono (Alm) ;

3. Memerintahkan untuk membukukan Perkawinan Beda Agama tersebut

dalam Register Catatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;

4. Membebankan biaya Perkara dan Biaya lain-lain dalam perkara ini

kepada Pemohon sesuai peraturan perundang- undangan yang

berlaku ;

Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditentukan,

Para Pemohon diwakili oleh Kuasa Hukumnya datang menghadap

dipersidangan;

Menimbang, bahwa Kuasa Hukum Para Pemohon menyatakan tidak

ada perubahan pada isi permohonan Para Pemohon tersebut ;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4

Page 130: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

5

Menimbang, bahwa dipersidangan Kuasa Hukum Para Pemohon telah

mengajukan bukti-bukti surat berupa :

1. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama NENENG OKTORA

BUDI ASRI, diberi tanda bukti P.1;

2. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama YAFET ARIANTO,

diberi tanda bukti P.2 ;

3. Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 3.682/Dis/1990 atas nama

NENENG OKTORA BUDI ASRI, diberi tanda bukti P.3 ;

4. Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 335/1985 atas nama YAFET

ARIANTO, diberi tanda bukti P.4 ;

5. Fotocopy Kartu Keluarga atas nama Kepala Keluarga YAYUK BUDHI

RAHAYU, diberi tanda bukti P.5 ;

6. Fotocopy Kartu Keluarga atas nama Kepala Keluarga MARKUS

WARTONO, diberi tanda bukti P.6 ;

7. Fotocopy Penetapan Nomor : 156/Pdt.P/2010/PN.Ska, diberi tanda bukti

P.7;

8. Fotocopy Surat Keterangan Kematian atas nama BAMBANG MARJONO,

diberi tanda bukti P.8 ;

9. Fotocopy Surat Keterangan dari Gereja Bethel Indonesia, diberi tanda

bukti P.9 ;

Menimbang, bahwa dipersidangan fotocopy bukti-bukti surat (P.1 s/d

P.9) tersebut diatas telah dicocokkan dan sesuai dengan aslinya kecuali bukti

surat P.8 yang merupakan fotocopy dari fotocopy dan fotocopy bukti-bukti

surat tersebut telah dibubuhi meterai yang cukup sehingga bukti-bukti surat

tersebut dapat diterima sebagai alat bukti yang sah untuk dipertimbangkan

dalam perkara ini;

Menimbang, bahwa dipersidangan Kuasa Hukum Para Pemohon telah

mengajukan saksi-saksiyang telah disumpah sesuai dengan agamanya

masing-masing telah memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai

berikut:

1. Saksi YAYUK BUDHI RAHAYU

Bahwa saksi adalah ibu kandung dari Pemohon Neneng Oktora Budi Asri;

Bahwa saksi mengetahui jika Para Pemohon datang ke Pengadilan karena

Para Pemohon ingin mengajukan permohonan ijin menikah beda agama;

Bahwa Pemohon Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam sedangkan

calon suaminya yang bernama Yafet Arianto beragama Kristen ;

Bahwa rencananya Para Pemohon akan menikah pada tanggal 8 Mei

2017 atau tanggal 10 Mei 2017 di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5

Page 131: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

6

Bahwa setahu saksi, setelah menikah baik Pemohon Neneng Oktora Budi

Asri maupun Pemohon Yafet Arianto tetap memeluk agamanya masing-

masing ;

Bahwa saksi setuju dengan rencana pernikahan Para Pemohon tersebut

karena Para Pemohon saling mencintai hanya saksi merasa khawatir

dengan rumah tangga mereka jika Para Pemohon berbeda agama;

Bahwa Pemohon Neneng Oktora Budi Asri adalah anak perempuan dari

suami istri Bambang Marjono dan Yayuk Budi Rahayu dan Bambang

Marjono telah meninggal pada tanggal 13 Februari 2011 di Kunden,

Kabupaten Blora ;

2. Saksi DEBORAH SRI RAHAYU

Bahwa saksi adalah kakak kandung dari Pemohon Yafet Arianto ;

Bahwa saksi mengetahui jika Para Pemohon datang ke Pengadilan karena

Para Pemohon ingin mengajukan permohonan ijin menikah beda agama;

Bahwa Pemohon Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam sedangkan

calon suaminya yang bernama Yafet Arianto beragama Kristen ;

Bahwa rencananya Para Pemohon akan menikah pada tanggal 8 Mei

2017 atau tanggal 10 Mei 2017 di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora;

Bahwa setahu saksi, setelah menikah baik Pemohon Neneng Oktora Budi

Asri maupun Pemohon Yafet Arianto tetap memeluk agamanya masing-

masing ;

Bahwa saksi setuju dengan rencana pernikahan Para Pemohon tersebut

karena Para Pemohon saling mencintai;

Bahwa Pemohon Yafet Arianto adalah anak laki-laki dari suami istri

Markus Wartono dan Ernest Suginah ;

Bahwa Markus Wartono telah meninggal pada tanggal 30 Oktober 2014 di

Gresi, Kabupaten Blora dan Ernest Suginah telah meninggal pada tanggal

28 Januari 2003 ;

Bahwa setahu saksi, Pemohon Yafet Arianto pernah menanyakan rencana

pernikahannya dengan Pemohon Neneng Oktora Budi Asri yang beda

agama ke Kantor Catatan Sipil dan petugas Catatan Sipil mengatakan

bahwa syarat pernikahan tersebut harus mendapatkan penetapan dari

Pengadilan Negeri ;

3. Saksi YANTO PANDIANGAN

Bahwa saksi adalah Pendeta di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora;

Bahwa saksi mengetahui jika Para Pemohon datang ke Pengadilan karena

Para Pemohon ingin mengajukan permohonan ijin menikah beda agama;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6

Page 132: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

7

Bahwa Pemohon Yafet Arianto beragama Kristen sedangkan calon istrinya

yang bernama Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam;

Bahwa rencananya Para Pemohon hendak melangsungkan perkawinan

mereka di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora ;

Bahwa pihak gereja membolehkan Para Pemohon untuk menikah di gereja

tetapi jika Para Pemohon hendak menikah di gereja maka Pemohon

Neneng Oktora Budi Asri harus melepaskan atribut yang menunjukkan jika

calon pengantin beragama Islam ;

Bahwa jika calon pengantin tidak mau melepaskan atribut yang

menunjukkan jika calon pengantin beragama Islam maka pernikahan

dilangsungkan di salah satu rumah calon pengantin secara agama Kristen;

Bahwapada prinsipnya didalam ajaran agama Kristen menyatakan

perkawinan beda agama adalah dilarang ;

4. Saksi Drs. WIDODO, M.si

Bahwa saksi adalah Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil di Dinas

Kependudukkan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Blora ;

Bahwa saksi mengetahui jika Para Pemohon datang ke Pengadilan karena

Para Pemohon ingin mengajukan permohonan ijin menikah beda agama;

Bahwa Pemohon Yafet Arianto beragama Kristen sedangkan calon istrinya

yang bernama Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam ;

Bahwa mengenai perkawinan beda agama tersebut Kantor Dinas

Kependudukkan dan Catatan Sipil Kabupaten Blora akan mengeluarkan

Akte Perkawinan jika ada penetapan dari Pengadilan Negeri ;

Bahwa setahu saksi, pada tahun 2010 ada penetapan dari Pengadilan

Negeri Blora mengenai ijin menikah beda agama ;

Menimbang, bahwa atas keterangan saksi-saksi tersebut Kuasa

Hukum Para Pemohon akan menanggapinya dalam kesimpulan ;

Menimbang, bahwa dipersidangan juga telah didengar keterangan dari

Para Pemohon yang telah memberikan keterangan sebagai berikut :

Bahwa Para Pemohon datang ke Pengadilan untuk mengajukan

permohonan ijin menikah beda agama ;

Bahwa Pemohon Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam sedangkan

Pemohon Yafet Arianto beragama Kristen ;

Bahwa Pemohon Yafet Arianto kenal lama dengan Pemohon Neneng

Oktora Budi Asri sejak SMA yaitu sekitar 13 tahun dan karena Para

Pemohon saling mencintai hingga akhirnya Para Pemohon memutuskan

untuk menikah ;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7

Page 133: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

8

Bahwa rencananya Para Pemohon akan menikah pada tanggal 8 Mei

2017 atau tanggal 10 Mei 2017 di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora;

Bahwa Pemohon Neneng Oktora Budi Asri setuju untuk menikah di gereja

tetapi Pemohon Neneng Oktora Budi Asri tetap akan memakai jilbab pada

waktu acara pernikahan di gereja tersebut sebab Pemohon Neneng Oktora

Budi Asri berkeinginan baik sebelum menikah maupun setelah menikah

Para Pemohon tetap memeluk agamanya masing-masing yaitu Pemohon

Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam sedangkan Yafet Arianto

beragama Kristen ;

Bahwa Pemohon Yafet Arianto pernah menanyakan pernikahan beda

agama tersebut kepada Pendeta Yanto Pandiyangan dan Kantor Catatan

Sipil ;

Menimbang, bahwa Kuasa Hukum Para Pemohon menyatakan tidak

akan mengajukan apapun lagi dan mohon putusan;

Menimbang, bahwa untuk mempersingkat penetapan ini maka segala

sesuatu yang terjadi di persidangan sebagaimana tercatat dalam berita acara

sidang perkara ini dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari penetapan

ini ;

TENTANG HUKUMNYA

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan ini adalah

sebagaimana tersebut di atas;

Menimbang, bahwa ParaPemohon didalam permohonannya tersebut

ingin mengajukan permohonan ijin menikah beda agama dimana Pemohon

Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam sedangkan Pemohon Yafet Arianto

beragama Kristen ;

Menimbang, bahwa terhadap permohonan Para Pemohon tersebut,

Hakim mempertimbangkan sebagai berikut :

Menimbang, bahwa Kuasa Hukum Para Pemohon dipersidangan telah

mengajukan bukti surat P.1 s/d P.9 dan 4 (empat) orang saksi yaitu saksi

YAYUK BUDHI RAHAYU, saksiDEBORAH SRI RAHAYU, saksi YANTO

PANDIANGAN dan saksi Drs. WIDODO,M.Si.;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.1 berupa Kartu Tanda

Penduduk (KTP) atas nama NENENG OKTORA BUDI ASRI, bukti surat P.2

berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama YAFET ARIANTO dan

keterangan saksi-saksi menunjukkan bahwa Para Pemohon berdomisili/

bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Blora sehingga Pengadilan Negeri

Blora yang berwenang untuk memeriksa permohonan ini ;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8

Page 134: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

9

Menimbang, bahwa didalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.1, bukti surat P.2, bukti

surat P.5, bukti surat P.6 dan keterangan saksi-saksi bahwa Pemohon

Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam sedangkan calon suaminya yang

bernama Yafet Arianto beragama Kristen ;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas

persetujuan kedua calon mempelai ;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan

bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita

sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun ;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.3 berupa Kutipan Akta

Kelahiran Nomor : 3.682/Dis/1990 atas nama NENENG OKTORA BUDI

ASRI, bukti surat P.4 berupa Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 335/1985 atas

nama YAFET ARIANTO, bukti surat P.5 berupa Kartu Keluarga atas nama

Kepala Keluarga Yayuk Budhi Rahayu, bukti surat P.6 berupa Kartu Keluarga

atas nama Kepala Keluarga Markus Wartono dan keterangan saksi-saksi

bahwa Pemohon NENENG OKTORA BUDI ASRI lahir pada tanggal 07

Oktober 1979 dan Pemohon YAFET ARIANTO lahir pada tanggal 25 Januari

1980 sehingga Para Pemohon telah mencapai batas umur untuk

melangsungkan perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.8 dan keterangan dari

saksi YAYUK BUDHI RAHAYU bahwa Bambang Marjono yang merupakan

ayah dari Pemohon Neneng Oktora Budi Asri telah meninggal pada tanggal

13 Februari 2012 ;

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan dari saksi YAYUK BUDHI

RAHAYU dan saksi DEBORAH SRI RAHAYU yang merupakan keluarga dari

Para Pemohon bahwa Para Pemohon saling mencintai sehingga mereka

ingin melangsungkan pernikahan dan rencana pernikahan mereka juga telah

disetujui oleh keluarga dari Para Pemohon;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9

Page 135: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

10

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.9 berupa surat

keterangan dari Gereja Bethel Indonesia, keterangan Para Pemohon dan

keterangan saksi YAYUK BUDHI RAHAYU, saksi DEBORAH SRI RAHAYU,

saksi YANTO PANDIANGAN bahwa rencananya Para Pemohon hendak

melangsungkan perkawinannya di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora;

Menimbang, bahwa berdasarkanketerangan saksi Drs. WIDODO,M.Si

yang merupakan Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil di Dinas

Kependudukkan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Blora menerangkan bahwa

Kantor Dinas Kependudukkan dan Catatan Sipil Kabupaten Blora akan

mengeluarkan Akte Perkawinan untuk perkawinan beda agama tersebut jika

Para Pemohon telah mendapat penetapan dari Pengadilan Negeri untuk ijin

menikah beda agama tersebut ;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa

perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya itu ;

Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Neneng Oktora Budi Asri

beragama Islam sedangkan Pemohon Yafet Arianto beragama Kristen maka

Hakim akan mempertimbangkan sahnya perkawinan menurut agama Islam

dan agama Kristen ;

Menimbang, bahwa didalam ajaran agama Islam yaitu didalam surat

Al-Baqarah : 221 disebutkan bahwa seorang perempuan muslim tidak boleh

menikah dengan seorang laki-laki yang bukan muslim bahkan didalam

Kompilasi Hukum Islam yaitu dalam Pasal 44 juga disebutkan seorang wanita

Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak

beragama Islam sehingga berdasarkan hal tersebut maka ajaran Islam tidak

membolehkan pernikahan beda agama ;

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi YANTO

PANDIANGAN yang merupakan pendeta di Gereja GBI Arumdalu,

Kabupaten Blora menerangkan bahwa didalam ajaran agama Kristen juga

tidak diperbolehkan pernikahan beda agama sehingga pihak Gereja GBI

Arumdalu membolehkan Para Pemohon untuk menikah di gereja jika

Pemohon Neneng Oktora Budi Asri mau melepaskan atribut yang

menunjukkan jika calon pengantin yaitu Pemohon Neneng Oktora Budi Asri

beragama Islam ;

Menimbang, bahwa Para Pemohon dipersidangan menyatakan jika

Para Pemohon baik sebelum menikah maupun setelah menikah tetap

berkeinginan memeluk agamanya masing-masing yaitu Pemohon Neneng

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10

Page 136: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

11

Oktora Budi Asri tetap beragama Islam sedangkan Pemohon Yafet Arianto

tetap beragama Kristen ;

Menimbang, bahwa oleh karena Para Pemohon menyatakan tetap

ingin memeluk agamanya masing-masing yaitu Pemohon Neneng Oktora

Budi Asri tetap beragama Islam dan Pemohon Yafet Arianto tetap beragama

Kristen dan didalam ajaran agama Islam maupun agama Kristen juga tidak

membolehkan pernikahan beda agama maka berdasarkan ketentuan Pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut keinginan Para

Pemohon yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama tidak dapat

dilakukan karena pernikahan beda agama dilarang menurut ajaran agama

Para Pemohon sehingga permohonan Para Pemohon tidak dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan Para Pemohon yang

ingin melangsungkan pernikahan beda agama tidak dapat dikabulkan maka

permohonan Para Pemohon tersebut ditolak;

Menimbang, bahwa atas bukti surat P.7 berupa Penetapan Nomor :

156/Pdt.P/2010/PN.Ska maka Hakim tidak akan mempertimbangkan bukti

surat tersebut ;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan ditolak maka Para

Pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara ini;

Memperhatikan ketentuan pasal-pasal didalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan lain yang

bersangkutan dengan perkara ini ;

M E N E T A P K A N

1. Menolak permohonan Para Pemohon;

2. Menghukum Para Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp.316.000,- (tiga ratus enam belas ribu rupiah) ;

Demikian penetapan ini diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk

umum pada hari Selasa tanggal 18 April 2017 oleh YUNITA,SH, Hakim pada

Pengadilan Negeri Blora dengan dibantu oleh KRISTINA Panitera Pengganti

pada Pengadilan Negeri Blora dan dihadiri oleh Kuasa Hukum Para

Pemohon.

Panitera Pengganti, Hakim,

ttd

ttd

KRISTINA YUNITA,SH

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11

Page 137: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

12

Perincian Biaya-biaya :

1. Biaya Pendaftaran Rp. 30.000,-

2. Biaya Proses Rp. 50.000,-

3. Biaya Panggilan Rp. 225.000,-

4. Redaksi Penetapan Rp. 5.000,-

5. MateraiPenetapan Rp. 6.000,-

Jumlah Rp.316.000,-

(tiga ratus enam belas ribu rupiah)

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12

Page 138: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

PERBANDINGAN PENETAPAN HAKIM PADA PERKARA No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt

dan No. 71/Pdt.P/2017/PN Bla

Keterangan Nomor Perkara:

No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt

Nomor Perkara:

No. 71/Pdt.P/2017/PN Bla

Para Pihak 1. Aloysia Vettyana Ratnawati: Lahir

di Surakarta, 29 April 1991, Katolik,

pekerjaan karyawan swasta.

2. Dandi Ferdian:Lahir di Surakarta,

29 April 1994, Islam, Pekerjaan

karyawan swasta.

1. Neneng Oktora Budi Asri: lahir,

Blora/7 Oktober 1979, Islam,

pekerjaan Guru SMAN 1

Tanjungan

2. Yafet Arianto: lahir, Blora/ 25

Januari 1980, Kristen, pekerjaan

Guru SMKN 1 Blora

Saksi-Saksi 1. Heribertus Soetardjo: tetangga

Aloysia, menurut ajaran agama

Katolik menikah beda agama

dibolehkan

2. Sugeng Sartono : tetangga Aloysia,

Menurut ajaran agama Kristen yang

saksi anut menikah beda agama tidak

diperbolehkan.

Tambahan keterangan: Menurut

Orangtua Aloysia, rencananya

perkawinan tersebut akan

dilangsungkan secara agama Katolik

di Kantor Catatan Sipil Surakarta.

1. Yayuk Budhi Rahayu : Ibu kandung

Neneng, setelah menikah mereka

tetap memeluk agamanya masing-

masing, saksi setuju dgn

pernikahan mereka, namun merasa

khawatir dengan rumah tangga

mereka jika Para Pemohon berbeda

agama

2. Deborah Sri Rahayu : kakak

kandung Yafet, setuju dgn

pernikahan mereka

3. Yanto Pandiangan : Pendeta di

Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten

Blora, Mereka hendak

melangsungkan perkawinan

mereka di Gereja GBI Arumdalu,

jika Pemohon hendak menikah di

gereja maka Pemohon Neneng

Oktora Budi Asri harus melepaskan

atribut yang menunjukkan jika

calon pengantin beragama Islam,

ajaran Agama Kristen menyatakan

perkawinan beda agama adalah

dilarang

4. Widodo: Kepala Bidang Layanan

DisDukCapil, akan mengeluarkan

Akte Perkawinan setelah ada

penetapan dari PN.

Pertimbangan

Hukum

1. Adanya penolakan oleh Kantor

DisDukCapil Surakarta, karena

perbedaan agama menyebabkan

tidak dapat dilangsungkannya

perkawinan tersebut

2. Bukti surat-surat dan saksi-saksi

yang memberikan keterangan dapat

diterima sebagai alat bukti yang sah

dan memiliki kekuatan hukum

3. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1)

dan (2) PP No 9 Tahun 1975 dimana

adanya dua instansi Pegawai

Pencatat Perkawinan yaitu Pegawai

1. Para pemohon ingin mengajukan

permohonan ijin menikah beda

agama ke PN sebelum

memberitahukan kepada Kantor

Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kabupaten Blora

2. Kuasa Hukum para pemohon telah

mengajukan bukti surat-surat P.1

s/d P.9 dan 4 (empat) orang saksi di

persidangan, berdasarkan bukti

surat P.1 dan P.2 berupa Kartu

Tanda Penduduk (KTP) dan

keterangan saksi-saksi

Page 139: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

Pencatat Perkawinan untuk

beragama Islam di Kantor Urusan

Agama (KUA) sebagaimana yang

terdapat dalam UU No 32 Tahun

1954 tentang Nikah, Talaq dan

Rujuk, sedangkan Pegawai Pencatat

Perkawinan bagi yang beragama

selain agama Islam di Kantor Catatan

Sipil.

4. Kedua instansi pencatat perkawinan

tersebut berdasarkan ketentuan Pasal

20 dan Pasal 21 UU No 1 Tahun

1974 tidak diperbolehkan menolak

melangsungkan perkawinan, apabila

terdapat pelanggaran ketentuan Pasal

7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10

dan Pasal 12 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan maka kedua instansi

pencatat perkawinan tersebut akan

menolak melangsungkan atau

membantu melangsungkan

perkawinan

5. Bagi mereka yang perkawinannya

ditolak diberi hak untuk mohon

campur tangan pengadilan, yaitu

Pengadilan Agama bagi mereka yang

beragama Islam, dan Pengadilan

Negeri bagi mereka yang beragama

selain agama Islam berdasarkan

Pasal 21 ayat (3) UU No 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan. Dalam

ketentuan Pasal 21 tersebut, berlaku

bagi mereka yang melangsungkan

perkawinan yang seagama yaitu

sama-sama Islam atau sama-sama

selain beragama Islam.

6. Penolakan ini didasarkan pada Surat

Menteri Dalam Negeri

Nomor.447/2535/PUOD tertanggal

25 Juli 1990 butir 2 yang

menyatakan bahwa “bagi mereka

yang menyatakan tidak

melaksanakan ajaran dari salah satu

agama dari 5 (lima) agama yang ada

di Indonesia (Islam, Katolik,

Protestan, Hindu, dan Budha), maka

pencatatan terhadap mereka tidak

dapat dilaksanakan”.

menunjukkan bahwa para pemohon

berdomisili di wilayah Kabupaten

Blora, maka Pengadilan Negeri

Blora berwenang dalam memeriksa

permohonan ini.

3. Berdasarkan bukti surat P.3 dan P.4

berupa Kutipan Akta Kelahiran

para pemohon dan bukti surat P.5

dan P.6 berupa Kartu Keluarga para

pemohon serta keterangan saksi-

saksi bahwa para pemohon telah

mencapai batas umur untuk

melangsungkan perkawinan

sebagaimana yang telah diatur

dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1)

UU No 1 Tahun 1974

4. Bukti surat P.8 dan keterangan

saksi Yayuk Budhi, bahwa

Bambang Marjono yang

merupakan ayah dari pemohon I

Neneng Oktora Budi telah

meninggal pada 13 Februari 2012.

5. Menurut keterangan saksi Yayuk

Budhi dan saksi Deborah Sri

Rahayu yang merupakan keluarga

dari para pemohon bahwa

pernikahan para pemohon telah

disetujui oleh keluarga karena

mereka saling mencintai,

pernikahan tersebut rencananya

akan dilaksanakan di Gereja GBI

Arumdalu, Kabupaten Blora

6. Kepala Bidang Pelayanan

Pencatatan Sipil di Kantor Dinas

Kependudukan dan Pencatatan

Sipil Kabupaten Blora memberikan

keterangan bahwa Akte

Perkawinan untuk perkawinan beda

agama tersebut akan dikeluarkan

setelah para pemohon mendapatkan

penetapan ijin menikah beda agama

dari Pengadilan Negeri.

Pertimbangan

Hakim

1. UU No 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan tidak memuat suatu

ketentuan apapun yang menyebutkan

bahwa perbedaan agama dan atau

kepercayaan antara calon suami dan

1. Dalam ajaran Islam terdapat dalam

surat Al-Baqarah:221 disebutkan

bahwa seorang perempuan muslim

tidak diperbolehkan menikah

dengan seorang laki-laki yang

Page 140: IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46902/1/SINTA... · contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat

calon istri merupakan larangan

perkawinan, sejalan dengan:

Pasal 27 UUD 1945: segala warga

negara bersamaan kedudukannya di

dalam hukum, tercakup di dalamnya

kesamaan hak asasi untuk kawin

dengan sesama warga negara

sekalipun berlainan agama dan atau

kepercayaan dan selama oleh UU

tidak ditentukan bahwa perbedaan

agama dan atau kepercayaan

merupakan larangan untuk

melangsungkan perkawinan

Pasal 29 UUD 1945 tentang

dijaminnya oleh negara

kemerdekaan bagi setiap warga

negara untuk memeluk agama dan

atau kepercayaannya masing-masing

2. Dipertegas dengan adanya putusan

Mahkamah Agung RI Nomor : 1400

K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989

yang berbunyi : “Bahwa perbedaan

agama dari calon suami istri tidak

merupakan larangan perkawinan

bagi mereka”

3. UU No 1 Tahun 1974 maupun dalam

PP No 9 Tahun 1975 tidak terdapat

satu pasal pun yang mengatur

tentang bagaimana melangsungkan

perkawinan antara orang yang

berlainan agama atau kepercayaan.

Menimbang terjadi kekosongan

hukum (rechts vacum)

UU No 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman ditentukan

bahwa Pengadilan tidak boleh

menolak untuk memeriksa dan

mengadili suatu perkara yang

diajukan kepadanya dengan dalih

bahwa hukumnya tidak ada atau

kurang jelas

Hakim wajib menggali hukum yang

tidak tertulis untuk memutus

berdasarkan hukum dan bertanggung

jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa

terlebih dahulu harus dicari dalam

praktek hukum yang telah terjadi

berkenaan dengan hal tersebut.

bukan muslim. Diperjelas lagi

dalam Kompilasi Hukum Islam

Pasal 44 menyebutkan bahwa

“seorang wanita Islam dilarang

melangsungkan perkawinan

dengan seorang pria yang tidak

beragama Islam”. Berdasarkan hal

tersebut maka ajaran Islam tidak

membolehkan perkawinan beda

agama.

2. Menurut keterangan saksi Yanto

Pandiangan yang merupakan

pendeta di Gereja GBI Arumdalu,

Kabupaten Blora menerangkan

bahwa ajaran agama Kristen juga

melarang pernikahan beda agama,

sehingga pernikahan para pemohon

bisa dilaksanakan di gereja apabila

pemohon I Neneng Oktora mau

melepaskan atribut yang

menunjukkan beragama Islam.

Kemudian para pemohon dalam

persidangan menyatakan bahwa

para pemohon tetap pada

pendiriannya menganut agamanya

masing-masing baik sebelum

menikah maupun setelah menikah

yaitu pemohon I Neneng Oktora

tetap beragama Islam dan pemohon

II Yafet Arianto tetap beragama

Kristen.

3. Dikarenakan para pemohon

menyatakan tetap ingin menganut

agama masing-masing, sedangkan

dalam ajaran Islam maupun agama

Kristen tidak membolehkan

pernikahan beda agama maka

berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat

(1) Undang-Undang No. 1 Tahun

1974, keinginan para pemohon

yang ingin melangsungkan

pernikahan beda agama tidak dapat

dilaksanakan karena pernikahan

beda agama dilarang menurut

ajaran agama para pemohon

sehingga permohonan para

pemohon tidak dapat dikabulkan.

Oleh karena permohonan para

pemohon tidak dikabulkan, maka

permohonan ijin pernikahan beda

agama tersebut ditolak.

Putusan Hakim MENGABULKAN MENOLAK