Upload
oktaria-lutfiani
View
39
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Terjadinya kematian seorang individu akan menyebabkan timbulnya
serangkaian pengurusan terhadap jenazah, yang perlu dilakukan sampai saatnya
jenazah tersebut dikubur atau dikremasi. Termasuk dalam proses pengurusan tersebut
adalah pemeriksaan jenazah, penerbitan surat keterangan kematian, autopsi dan
pembuatan visum et repertum, serta pengawetan jenazah.1
Dengan semakin tingginya mobilitas dan penyebaran penduduk ke seluruh
penjuru dunia, maka pada kematian salah seorang anggota keluarga ada kemungkinan
perlunya dilakukan penundaan penguburan/kremasi untuk menunggu kerabat yang
tinggal jauh di luar kota atau luar negeri. Pada kematian yang terjadi jauh dari tempat
asalnya, terkadang perlu dilakukan pengangkutan jenazah dari satu tempat ke tempat
lainnya. Pada kedua keadaan ini diperlukan pengawetan jenazah untuk mencegah
pembusukan dan penyebaran kuman dari jenazah ke lingkungan. 1,2
Pengawetan jenazah (embalming) adalah suatu tindakan medis yang dilakukan
dengan memberikan bahan kimia tertentu pada jenazah untuk menghambat
pembusukan serta menjaga penampilan luar jenazah supaya tetap mirip dengan
kondisi sewaktu hidup. Tindakan embalming yang paling terkenal dan menjadi bahan
penelitian di seluruh dunia adalah yang berasal dari Mesir, yaitu pembuatan mumi.
Pembuatan mumi pada zaman mesir kuno sudah menggunakan campuran bahan
kimia seperti sodium bikarbonat, resin, serta campuran beberapa bahan tradisional
yang dioleskan maupun yang dimasukkan ke dalam tubuh mumi. Perkembangan
teknik embalming sudah berkembang pesat di dunia, Pada 1867 kimiawan Agustus
Wilhelm Von Hofmann menemukan formalin, campuran antara alkohol dan garam
arsenik, pengawet yang menjadi dasar metode pembalseman hingga saat ini
menggantikan metode sebelumnya. Di Indonesia sendiri pengawetan jenazah juga
dilakukan pada beberapa daerah, seperti di Toraja, Sumba, NTT, dan beberapa daerah
lain. Bahan yang digunakan merupakan campuran bahan kimia seperti garam, asam
2
cuka, tanaman tradisional, maupun dengan menggunakan formalin. Pada kematian
yang wajar, pengawetan jenazah dapat langsung dilakukan. Akan tetapi, pada
kematian yang tidak wajar, perlu dilakukan otopsi terlebih dahulu sebelum
melakukan pengawetan jenazah.(2)
Seiring dengan berkembangnya zaman dan adanya kebutuhan untuk
mempertahankan keadaan jenazah tetap menyerupai keadaan sewaktu hidup
diperlukan proses embalming.1,2 Bahan yang sering digunakan dalam proses
pengawetan mayat adalah formaldehid.
Dalam sejarah tercatat penggunaan tumbuhan yang didapatkan dari alam untuk
proses pengawetan jenazah. Sumba menggunakan daun tembakau, daun teh dan daun
bidara.4 Mesir menggunakan sari pohon pinus.5
Penggunan formaldehid dan tumbuhan dari alam yang digunakan dalam proses
pengawetan jenazah merupakan hal penting untuk dibahas untuk mengetahui cara
kerja bahan-bahan tersebut dalam proses pengawetan jenazah.
1. 2. Batasan Masalah.
Referat ini akan membahas tentang embalming, khususnya formaldehid dan
tumbuhan dari alam yang dapat digunakan dalam pengawetan jenazah.
1.3. Tujuan penulisan
1. Untuk memenuhi tugas refrat selama berada di kepaniteraan Klinik senior bagian
ilmu kedokteran
2. Menambah pengetahuan tentang embalming, khususnya formaldehid dan
tumbuhan dari alam yang dapat digunakan dalam pengawetan jenazah.
1.4. Manfaat penulisan.
Melalui penulisan makalah ini diharapkan akan bermanfaat dalam
memberikan informasi mengenai kegunaan formaldehid dan tumbuhan dari alam
dalam pengawetan jenazah.
1.5. Metode penulisan.
3
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah tinjauan kepustakaan yang
merujuk pada berbagai literatur.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Embalming
Embalming adalah proses pengawetan mayat untuk mempertahankan
penampilan mayat dalam, tetap dalam kondisi yang baik untuk jangka waktu lama.
Beberapa hari setelah kematian, tubuh seseorang akan mulai membusuk, agar
pembusukan tersebut tidak terjadi digunakan bahan pengawet kimia yang termasuk
dalam proses embalming. Embalming diperlukan baik untuk tubuh normal maupun
tubuh membusuk dan mayat yang akan diangkut untuk jarak jauh.4
Embalming dalam kebudayaan modern adalah seni dan ilmu untuk menjaga
sementara jasad manusia untuk mencegah pembusukan dan membuat mereka cocok
untuk ditampilkan di muka umum dengan pemakaman.
Empat tujuan embalming adalah sanitasi, konservasi, presentasi, dan restorasi
dari jenazah. Pada embalming Mesir kuno, bertujuan agar jiwa yang telah meninggal
kembali pada tubuh mereka.
Orang yang melakukan tindakan embalming disebut embalmer. Embalmer
adalah seorang individu yang memenuhi syarat untuk disinfeksi atau memelihara
jenazah dengan suntikan atau aplikasi eksternal antiseptik, desinfektan atau cairan
pengawet, mempersiapkan jenazah untuk transportasi dalam kasus dimana kematian
disebabkan oleh penyakit menular atau infeksi.5,6
2.2 Sejarah
Embalming telah menjadi suatu tradisi sejak zaman dahulu di peradaban kuno
di dunia. Salah satu peradaban yang terkenal dengan embalming adalah peradaban
Mesir kuno. Orang Mesir melakukan embalming karena adanya suatu kepercayaan
bahwa orang mati memerlukan tubuh mereka untuk memasuki kehidupan sesudah
kematian. Orang Mesir kuno melakukan embalming dengan cara mencuci tubuh
jenazah terlebih dahulu lalu organ-organ dalam akan dikeluarkan dan ditempatkan
5
pada kotak khusus sedangkan otak akan dikeluarkan melalui hidung. Rongga–rongga
di tubuh yang kosong akan diisi dengan menggunakan sodium bikarbonat sedang
rongga di kepala akan diisi dengan menggunakan resin. Setelah proses tersebut,
jenazah akan didiamkan selama 40 hari lalu, setelah itu tubuh akan diberi parfum dan
dibungkus menggunakan daun-daunan dan kain linen. Tubuh yang sudah dibungkus
tersebut akan dimasukkan ke dalam peti.3
Gambar 1. Jenazah Ramses I
Embalming di Mesir dilakukan dengan dua alasan:
Religius: mereka percaya bahwa orang mati tidak akan
meninggalkan tubuh mereka selama tubuh mereka tetap utuh. Oleh
sebab itu dibutuhkan embalming agar jiwa mereka dapat kembali ke
tubuh mereka setelah 3000 tahun menjalani siklus kemudian hidup
bersama dengan para dewa selamanya.
Sanitasi: orang Mesir mengawetkan jenazah mereka karena, bila
mereka mengubur jenazah di lembah Sungai Nil, mereka khawatir
jenazah tersebut akan tergenang sehingga akan menyebabkan
kondisi yang tidak sehat dan dapat menyebabkan lebih banyak
kematian.
6
Embalming dilakukan di suatu lokasi yang dipagari dinding, yang dinamakan
Necropolis. Proses pengerjaan tersebut melibatkan semua petugas yang berkaitan
dengan embalming, seperti pembuat sarkofagus dan petugas pengawet jenazah.3
Proses pengawetan mayat modern dimulai saat terjadinya perang saudara di
Amerika. Keluarga para tentara yang meninggal yang jauh dari daerah peperangan
menginginkan agar anggota keluarga yang meninggal tersebut diawetkan, sehingga
dapat dikirim ke daerah masing–masing dalam keadaan masih baik. Dr. Thomas
Holmes, sebagai korps medis angkatan darat, ditugaskan untuk mengawetkan jenazah
para tentara tersebut. Dr. Thomas Holmes mengawetkan jenazah dengan cara
menyuntikkan arsenik dicampur dengan air ke dalam arteri. Sejak saat itu, Dr.
Thomas Holmes dikenal sebagai bapak embalming modern.6
Namun sekarang, proses embalming yang menggunakan arsenik akhirnya
dilarang karena diduga dapat mencemari sumber air dan mengaburkan bukti akibat
pembunuhan dengan arsenik.
Proses pengawetan jenazah pada umumnya membutuhkan waktu beberapa
jam, namun, jika jenazah terkena trauma atau telah dilakukan proses otopsi,
pengawetan memerlukan waktu lebih lama. Saat ini, pengawetan jenazah hampir
selalu dilakukan untuk menunda pembusukan sebelum pemakaman. Jika pengawetan
dilakukan untuk jangka waktu lama, maka dibutuhkan berbagai macam teknik.
Diperlukan larutan lebih kuat dan suntikan lebih banyak pada tubuh jenazah. Proses
ini biasanya dilakukan untuk pengawetan jenazah pada cadaver untuk pembelajaran
anatomi.4
2.3. Bahan Kimia Embalming
2.3.1. Formaldehida
Senyawa kimia formaldehida (metanal), merupakan aldehida berbentuk gas
dengan rumus kimia H2CO. Formaldehida dihasilkan dari pembakaran bahan yang
mengandung karbon. Formaldehida dalam kadar kecil sekali juga dihasilkan sebagai
metabolit kebanyakan organisme, termasuk manusia. 7,8
7
a. Sifat Formaldehida
Dalam udara bebas formaldehida berada dalam wujud gas, tetapi bisa larut
dalam air (biasanya dijual dalam kadar 37% menggunakan merk dagang 'formalin'
atau 'formol'). Formalin bersifat asam karena mengandung asam formiat akibat
oksidasi formaldehida. Oleh sebab itu larutan formalin 10% harus dibuat netral atau
sedikit alkalis dengan menggunakan larutan dapar fosfat dengan pH 7,2 sebagai
pelarut, atau dengan menambahkan kalsium asetat. Formaldehida bisa membentuk
trimer siklik, 1,3,5-trioksana atau polimer linier polioksimetilena.7,8
b. Produksi
Larutan dapar formalin yang sering digunakan adalah :8
1. Formal Calcium
2. Neutral Buffered Formalin
3. Buffered Formalin Sucrose
c. Kegunaan
Formaldehida dapat digunakan untuk membasmi sebagian besar bakteri,
sehingga sering digunakan sebagai disinfektan dan juga sebagai bahan pengawet.
Sebagai disinfektan, formaldehida dikenal juga dengan nama formalin dan
dimanfaatkan sebagai pembersih lantai, pembersih kapal, gudang dan pakaian.8
Dalam bidang medis, larutan formaldehida dipakai untuk mengeringkan kulit,
misalnya mengangkat kutil. Larutan dari formaldehida sering dipakai dalam
embalming untuk mematikan bakteri serta untuk mengawetkan mayat.8 Formaldehida
diabsorbsi di jaringan dengan baik, tetapi relatif lambat. Formalin adalah pengawet
yang banyak digunakan dan tidak ada jaringan yang dirusaknya. Bau formalin yang
menusuk hidung membuat formalin sangat dikenal oleh banyak pihak, sehingga
cukup berhati-hati dalam menggunakannya.9
d. Efek terhadap kesehatan
Pemaparan formaldehid dapat menyebabkan efek samping, dari gejala ringan
sampai yang mengancam nyawa. Pemaparan yang akut memiliki efek samping jangka
8
pendek dan biasanya mudah untuk diantisipasi. Pada manusia Beberapa efek samping
akut paparan formaldehid adalah iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan. Ketika
dipaparkan pada senyawa ini dengan jangka waktu yang cukup lama tenggorokan
menjadi kering dan sakit. Pada beberapa penelitian ditemukan bukti bahwa paparan
formaldehid yang konstan dapat meningkatkan resiko untuk menderita beberapa jenis
kanker.10
2.3. 2 Indikasi dan Kontraindikasi Embalming
A. Indikasi Embalming
Pengawetan jenazah perlu dilakukan pada keadaan:13
Adanya penundaan penguburan atau kremasi lebih dari 24 jam: Hal ini penting
karena di Indonesia yang beriklim tropis, dalam 24 jam mayat sudah mulai
membusuk, mengeluarkan bau, dan cairan pembusukan yang dapat mencemari
lingkungan sekitarnya.13
Jenazah perlu dibawa ke tempat lain: Untuk dapat mengangkut jenazah dari suatu
tempat ke tempat lain, harus dijamin bahwa jenazah tersebut aman, artinya tidak
berbau, tidak menularkan bibit penyakit ke sekitarnya selama proses
pengangkutan. Dalam hal ini perusahaan pengangkutan, demi reputasinya dan
untuk mencegah adanya gugatan di belakang hari, harus mensyaratkan bahwa
jenazah akan diangkut telah diawetkan secara baik, yang dibuktikan oleh suatu
sertifikat pengawetan.13
Jenazah meninggal akibat penyakit menular: Jenazah yang meninggal akibat
penyakit menular akan lebih cepat membusuk dan potensial menulari petugas
kamar jenazah, keluarga serta orang-orang di sekitarnya. Pada kasus semacam ini,
walaupun penguburan atau kremasinya akan segera dilakukan, tetap dianjurkan
dilakukan embalming untuk mencegah penularan kuman/ bibit penyakit ke
sekitarnya.13
B. Kontraindikasi
Embalming di Indonesia tidak dapat dilakukan pada kematian tidak wajar
sebelum dilakukan autopsi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kesulitan
9
penyidikan karena adanya bukti-bukti tindak pidana yang hilang atau berubah dan
karenanya dapat dikenakan sanksi pidana penghilangan benda bukti berdasarkan
pasal 233 KUHP. Oleh karena itu setiap kematian tidak wajar menjadi kontra indikasi
embalming.14,15
Setiap kematian yang terjadi akibat kekerasan atau keracunan termasuk
kematian yang tidak wajar. Cara kematian pada kematian tidak wajar adalah
pembunuhan, bunuh diri dan kecelakaan. Pada kasus kematian tidak wajar, kasusnya
hendaknya segera dilaporkan ke penyidik, sesuai dengan pasal 108 KUHAP. Adapun
yang termasuk dalam kategori kasus yang harus dilaporkan ke penyidik adalah: 14,15
1. Kematian yang terjadi di dalam tahanan atau penjara
2. Kematian terjadi bukan karena penyakit dan bukan karena hukuman mati
3. Adanya penemuan mayat dimana penyebab dan informasi mengenai kematiannya
tidak ada
4. Keadaan kematiannya menunjukkan bahwa kemungkinan kematian akibat
perbuatan melanggar hukum.
5. Orang tersebut melakukan bunuh diri atau situasi kematiannya mengindikasikan
kematian akibat bunuh diri.
6. Kematian yang terjadi tanpa kehadiran dokter.
7. Kematian yang disaksikan dokter tetapi ia tidak dapat memastikan penyebab
kematiannya.14,15
2.4. Embalming Modern
2.4.1 Definisi Embalming Modern
Metode modern embalming didefinisikan sebagai desinfeksi dan pelestarian
tubuh yang sudah mati. Proses embalming modern dirancang untuk menghambat
dekomposisi jaringan untuk periode waktu yang diperlukan sebagaimana yang
diinginkan oleh keluarga agar jenazah berada dalam kondisi yang baik. Embalming
modern telah terbukti mampu menjaga tubuh utuh selama beberapa dekade.16
Embalming merupakan sebuah "fiksasi" kimia protein sel. Secara prinsip
formaldehida pada dasarnya bereaksi dengan albumin. Formaldehid larut dalam sel
10
dan mengkonversinya menjadi untuk albuminoids atau gel, saat yang sama, bakteri
dihancurkan, sehingga menghentikan atau setidaknya menunda dekomposisi pada
jenazah. Setelah embalming selesai, tubuh hanya dapat diserang oleh udara yang
membawa bakteri dan jamur yang pada akhirnya dapat menghancurkan tubuh dengan
terpapar udara dan kelembaban yang cukup untuk mendukung hadir pertumbuhan
bakteri dan jamur.16
Embalming modern dilakukan dengan menggunakan cairan embalming yang
bersifat disinfektan dan pengawet. Cairan embalming disuntikkan ke dalam sistem
peredaran darah tubuh dengan pompa listrik, sementara darah dikeluarkan dari tubuh
dan dibuang. Sehingga posisi darah di tubuh diganti dengan disinfektan dan cairan
pengawet.16
2.4.2 Tujuan Embalming
Ada tiga alasan mengapa dilakukannya modern embalming,16 yaitu:
1. Desinfeksi.
Saat seseorang meninggal, beberapa patogen akan ikut mati, namun sebagian
besar masih dapat bertahan hidup karena memiliki kemampuan untuk
bertahan hidup dalam jangka waktu lama dalam jaringan mati. Orang yang
datang dan kontak langsung dengan tubuh jenazah yang tidak embalming
dapat terinfeksi serta ada kemungkinan menjadi lalat atau agen lain
mentransfer patogen untuk manusia dan menginfeksi mereka.16
2. Pelestarian
Pelestarian, yaitu upaya pencegahan pembusukan dan dekomposisi jenazah,
sehingga jenazah di dikuburkan, dikremasikan tanpa bau atau hal-hal yang
tidak menyenangkan lainnya.16
3. Restorasi
Restorasi, yaitu upaya untuk mengembalikan keadaan tubuh jenazah kembali
seperti masih hidup.16
2.4.3 Proses pada embalming modern
A. Arterial embalming
11
Arterial embalming melibatkan injeksi bahan kimia ke dalam pembuluh darah,
biasanya melalui arteri karotis dextra dan darah dikeluarkan dari vena jugularis.
Bahan kimia disuntikkan melalui pompa mekanis atau dengan memanfaatkan gaya
gravitasi. Pijatan embalmer pada mayat untuk memastikan distribusi yang tepat dari
cairan embalming. Dalam kasus sirkulasi yang buruk, titik injeksi lain dapat
digunakan, yaitu iliaka atau arteri femoralis, pembuluh subklavia atau aksila.4
Gambar 1. Arterial embalming12
B. Cavity embalming
Hisap cairan rongga tubuh mayat dan injeksi bahan kimia ke dalam rongga
tubuh, menggunakan aspirator dan trocar. Embalmer membuat sayatan kecil tepat di
atas pusar dan mendorong trocar di rongga dada dan perut untuk menusuk organ
berongga dan aspirasi cairannya. Kemudian rongga tubuh diisi dengan bahan kimia
yang mengandung formaldehid terkonsentrasi.4
12
Gambar 2. Cavity embalming12
C. Hypodermic embalming
Hypodermic embalming merupakan metode tambahan dimana injeksi bahan
kimia pengawet ke dalam jaringan dengan menggunakan jarum dan suntik
hipodermik yang biasanya digunakan pada kasus dimana area yang tidak memiliki
aliran arterial yang baik setelah dilakukan injeksi arteri.4
D. Surface embalming
Surface embalming merupakan metode tambahan yang menggunakan bahan
kimia pengawet untuk mengawetkan area langsung pada permukaan kulit dan area
superfisial lainnya dan juga area yang rusak, seperti pada kecelakaan lalu lintas,
penbusukan, pertumbuhan kanker, atau donor kulit.2
2.4.4. Kelebihan Embalming Modern
Embalming modern memberikan beberapa keuntungan, antara lain:
1. Jenazah Menjadi Lebih Wangi
Untuk menghindari bau yang tidak menyenangkan pada jenazah dan juga
untuk mendapatkan bau yang wangi, maka dibutuhkan campuran beberapa zat kimia,
seperti campuran formaldehid dengan deodoran dan juga pemberian aroma terapi.17,18
2. Tidak ditemukan rigor mortis pada jenazah
13
Rigor mortis terjadi karena serabut otot mengandung Aktin dan Miosin yang
mempunyai sifat untuk berkontraksi dan relaksi dengan adanya suatu konsentrasi dari
ATP dan kalium klorida. Kelenturan dapat dipertahankan karena adanya metabolisme
sel yang menghasilkan energi. Energi ini untuk mengubah ADP menjadi ATP.
Selama ATP masih ada serabut aktin dan miosin berkontraksi. Bila cadangan
glikogen habis maka energi tidak terbentuk sehingga aktin dan miosin otot berubah
menjadi massa seperti jeli yang kaku sehingga terjadi suatu rigiditas. Perubahan-
perubahan kimia juga terjadi di dalam otot-otot pada waktu yang sama seperti
meningkatnya asam laktat akibat proses glikogenolisis secara anaerob, perubahan pH
jaringan dan lain-lain.19
Rigor mortis biasanya terjadi 2-4 jam sesudah kematian dan berlangsung
selama 36-72 jam. Rigor mortis akan mempengaruhi proses embalming. Oleh karena
itu, rigor mortis harus dihilangkan terlebih dahulu dengan menetralkan pH atau
merubah keadaannya menjadi alkali. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
memberikan senyawa berupa amonia. Dengan pemberian amonia, asam laktat akan
ternetralisir sehingga serat otot akan kembali dapat berkontraksi dan proses
pembusukan segera dimulai. Pada kondisi seperti inilah proses embalming dapat
dilakukan.2,19
3. Hiperemis atau tidak pucat
Untuk mendapatkan jenazah yang tidak pucat, maka dibutuhkan campuran
formaldehid dengan lanolin atau humektan.16
2.5. Embalming Tradisional
2.5.1 Definisi Embalming Tradisional
Embalming tradisional dalah proses pengawetan mayat yang menggunakan
bahan-bahan yang berasal dari alam sekitar seperti tumbuhan dan garam garaman.
2.5.2 Bahan-bahan alam yang digunakan dalam Embalming Tradisional
2.5.2.1 Daun Widara
Bidara atau widara (Ziziphus mauritiana) adalah sejenis pohon kecil
penghasil buah yang tumbuh di daerah kering. Tanaman ini dikenal pula dengan
14
berbagai nama daerah seperti widara (sunda,jawa) atau dipendekkan
menjadi dara (Jawa.); bukol (madura); bĕkul (Bali);ko (Sawu); kok (Rote); kom,kon
(Timor); bĕdara (Alor); bidara (Makasar., Bugis.); rangga(Bima);serta kalangga
(sumba).
Sebutan di negara-negara lain di antaranya: bidara, jujub,
epalsiam (Malaysia);manzanitas(Filipina) zeepen (Burma); putrea (Kamboja); than
(Laos); phutsaa,matan (Thai); tao,tao nhuc (Vietnam)2]. Dalam bahasa
Inggris dikenal sebagai Jujube, Indian Jujube, Indian plum, atau Chinese Apple;
serta Jujubier dalam bahasa Prancis.
Gambar 3. Daun bidara
Daun-daun penumpu berupa duri, sendirian dan lurus (5–7 mm), atau
berbentuk pasangan dimorfis, di mana yang kedua lebih pendek dan melengkung,
kadang-kadang tanpa duri.
Daun-daun tunggal terletak berseling. Helai daun bundar telur menjorong atau
jorong lonjong, 2–9 cm x 1.5–5 cm; bertepi rata atau sedikit menginggit; gundul dan
mengkilap di sisi atas, dan rapat berambut kempa keputihan di sisi bawahnya; dengan
tiga tulang daun utama yang nampak jelas membujur sejajar; bertangkai pendek 8–15
mm.
15
Perbungaan berbentuk payung menggarpu tumbuh di ketiak daun, panjang 1–
2 cm, berisi 7–20 kuntum. Bunga-bunga berukuran kecil, bergaris tengah antara 2–3
mm, kekuningan, sedikit harum, bertangkai 3–8 mm; kelopak bertaju 5 bentuk delta
(menyegitiga), berambut di luarnya dan gundul di sisi dalam; mahkota 5, agak seperti
sudip, cekung dan melengkung.
Buah batu berbentuk bulat hingga bulat telur, hingga 6 cm × 4 cm pada
kultivar-kultivar yang dibudidayakan, namun kebanyakan berukuran jauh lebih kecil
pada pohon-pohon yang meliar; berkulit halus atau kasar, mengkilap, tipis namun liat,
kekuningan, kemerahan hingga kehitaman jika masak; daging buahnya putih,
mengeripik, dengan banyak sari buah yang agak masam hingga manis rasanya,
menjadi menepung pada buah yang matang penuh. Biji terlindung dalam tempurung
yang berbingkul dan beralur tak teratur, berisi 1–2 inti biji yang coklat bentuk jorong.
Daun pokok bidara selalu digunakan ketika memandikan jenazah bagi
orang Islam. Selepas menghilangkan najis dari tubuh mayat, jenazah akan
dimandikan tiga kali. Mandian pertama ialah dengan air yang dicampur daun bidara.
Penggunaan daun bidara itu bukan merupakan kepercayaan tradisi sebaliknya sunah
daripada Rasulullah sendiri.2
Daun bidara dapat digunakan untuk mengawetkan jenazah karena
kandungannya yang berperan sebagai antimikroba dan antifungal. Pada suatu
penelitian didapatkan bahwa ekstrak daun bidara memiliki efektifitas dalam
menghambat Stapyhlococus aureus, Micrococcus luteus, Escerechia coli,
Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter.
Penggunaan daun bidara di Indonesia sebagai pengawet jenazah ditemukan
pada prosesi pemakaman suku Sumba.
16
Gambar 4. Jenazah yang sudah diawetkan menggunakan cara tradisional masyrakat
sumba.
Kaum bangsawan Sumba mempunyai tradisi untuk menyimpan mayat
bertahun-tahun di rumah adat. Agar mayat tetap awet membutuhkan pangawet.
Dewasa ini kebanyakan orang menggunakan zat pengawet kimia atau formalin. Bagi
orang Sumba, formalin hanya merupakan tambahan dan baru dikenal dalam satu
dasawarsa terakhir. Sebelum mengenal formalin, orang Sumba biasa menggunakan
metode pengawetan tradisional. Pengawetan tradisonal itu bermacam-macam. Ada
yang menggunakan kapur sirih dicampur tembakau atau daun teh. Tetapi, yang sering
digunakan adalah kapur sirih dan tembakau. Untuk lebih bertahan lama, mayat
ditambah daun bidara atau dalam bahasa setempat disebut daun kom. Ada juga yang
hanya menyelimuti mayat dengan ratusan lembar kain adat. Menurut beberapa tokoh
adat Sumba, kain adat Sumba yang menggunakan zat pewarna asli dari tumbuh-
tumbuhan sudah mengandung pengawet alami. Jadi, bau mayat akan terserap oleh
kain yang dibungkuskan pada jenazah.
Untuk pengawetan metode pertama, dilakukan dengan cara menyiram kapur
sirih di atas kain yang digunakan sebagai alas mayat atau pembungkus mayat. Setelah
kain pertama yang ditabur kapur sirih dan tembakau, dilapisi lagi kain kedua. Kapur
17
sirih dan tembakau ini yang akan menyerap bau, bahkan membuat jenazah kering.
Setelah dibaringkan di atas lapisan yang ditabur kapur sirih, pusar jenazah ditutupi
dengan cairan daun kom atau bidara yang sudah dikunyah.
Tidak sembarang orang bisa mengunyah daun kom yang akan ditaruh di pusar
jenazah. Jika yang meninggal adalah lelaki tua, maka daun kom harus diambil dan
dikunyah oleh perempuan muda. Cara mengambil daun kom juga menggunakan
mulut seperti kambing. Daun kom itu dikunyah sampai halus dan diletakan di pusar
jenazah. Demikian juga sebaliknya jika yang meninggal perempuan tua, maka yang
mengambil dan mengunyah daun kom atau bidara adalah lelaki muda, dan sebaliknya
apa bila yang meninggal lelaki muda, maka yang mengunyah daun kom atau bidara
adalah perempuan tua, apabila yang meninggal permpuan muda yang menguyah daun
kom atau daun bidara lelaki tua. Secaral logika memang tidak ada hubungannya.
Namun, pengalaman telah membuktikan metode tersebut berhasil.
Cara itu selama ini sering digunakan untuk mengawetkan mayat. Jika ingin
awet lebih lama, bisa juga ditambahkan dengan air garam dan cuka nira. Caranya,
rebus cuka nira, campur dengan garam sebanyak-banyaknya setelah itu diminumkan
ke mayat dengan cara mengangkat kepala jenazah kemudian menuangkan air cuka
campur garam ke dalam mulut mayat, kepala jenazah dibaringkan lagi. Ini dilakukan
berulang-ulang hingga satu gelas air cuka campur garam habis. Namun sebelum air
garam cuka diminumkan ke jenazah, jenazah harus dalam keadaan bersih. Yang
dimaksud bersih adalah bersih dari seluruh kotoran yang ada dalam perut jenazah.
2.5.2.2 Sari Pohon Pinus
Manusia yang mati pasti jasadnya akan segera dimakan oleh berbagai mikroba
tanah. Pembusukan pada tubuh zat yang mati tersebut karena adanya aktifitas kerja
bakteri yang menghasilkan enzim yang dapat merusak dan menghancurkan tubuh.
Bakteri yang biasa ada dalam tanah yaitu Clostridium botulinum, Clostridium
pasteurianum, Klebsiella pneumoniae, dan Enterobacter aerogenes.Bakteri-bakteri
tersebut akan memecah protein yang ada dalam tubuh mayat.
18
Proses pemecahan protein oleh mikroorganisme sering disebut dengan
putrefaksi, dimana terjadi dekomposisi asam amino. Enzim-enzim intraseluler akan
memecah protein di dalam sel, menghasilkan senyawa-senyawa yang lebih sederhana
yang menimbulkan bau busuk. Clostridium khususnya, akan memecah protein secara
anaerobic menghasilkan senyawa-senyawa sulfur berbau busuk seperti merkaptan dan
hidrogen sulfida, disamping terbentuk pula indol, hidrogen, ammonia, fenol, dan
karbondioksida.
Sebuah tim peneliti Jerman menyatakan telah mengungkap rahasia
pengawetan mumi Mesir kuno. Masyarakat Mesir kuno saat itu menggunakan sari
pohon pinus salju sebagai bahan pengawet. Melalui percobaan kimiawi pinus salju
pada potongan daging babi segar, peneliti mendapati bahwa zat kimia ini memiliki
efek antimikroba yang sangat kuat, dan tidak mengakibatkan efek negatif terhadap
susunan tubuh.
2.6. Embalming ditinjau dari sudut medikolegal
Dalam praktek sehari-hari seorang dokter mungkin diminta untuk melakukan
embalming. Embalming pada umumnya dilakukan untuk menghambat pembusukan,
membunuh kuman, serta mempertahankan bentuk mayat. Pada prinsipnya embalming
hanya boleh dilakukan oleh dokter pada mayat yang meninggal secara wajar (natural
death), sedangkan pada mayat yang meninggal tidak wajar (akibat pembunuhan,
bunuh diri, serta kecelakaan) embalming baru boleh dilakukan setelah proses
pemeriksaan forensik selesai dilakukan.
Embalming sebelum otopsi dapat menyebabkan perubahan serta hilangnya
atau berubahnya beberapa fakta forensik. Dokter yang melakukan hal tersebut dapat
diancam hukuman karena melakukan tindak pidana menghilangkan barang bukti
berdasarkan pasal 233 KUHP. (Barang siapa dengan sengaja menghancurkan,
merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan
untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang,
akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus-
menerus atau untuk sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang
19
pejabat, ataupun kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun).
Di Inggris pengawetan jenazah dilakukan oleh orang yang mempunyai
sertifikat sebagai embalmer setelah yang bersangkutan mengikuti pendidikan selama
3 tahun. Di Indonesia, sampai saat ini tidak ada institusi pendidikan yang khusus
mendidik seorang untuk menjadi embalmer. Dalam pendidikan S1 kedokteran tidak
ada pelajaran mengenai pengawetan jenazah, sehingga dokter pada umumnya tidak
menguasai tehnik melakukan pengawetan jenazah. Dalam pendidikan S2, spesialisasi
kedokteran forensik adalah satu-satunya program pendidikan yang mencantumkan
pelajaran mengenai pengawetan jenazah dalam kurikulumnya. Atas dasar itulah,
maka dalam konteks hukum di Indonesia, maka pengawetan jenazah sebaiknya
dilakukan oleh orang yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, yaitu
dokter spesialis forensik.
Adapun alasannya adalah sbb:
a. Indonesia tidak menganut sistim koroner atau medical examiner yang
bertugas memilah kasus kematian wajar dan tidak wajar, maka tugas memilah kasus
seringkali justru ada pada embalmer yang menjadi orang pertama yang memeriksa
jenazah.
b. Embalmer di Indonesia, yang secara sengaja maupun tidak sengaja
melakukan embalming pada kasus kematian tidak wajar sebelum dilakukan otopsi,
dapat menyebabkan terjadinya kesulitan penyidikan karena adanya bukti-bukti tindak
pidana yang hilang atau berubah dan karenanya dapat dikenakan sanksi pidana
penghilangan benda bukti berdasarkan pasal 233 KUHP.
c. Jika pada kasus ini dilakukan juga gugatan perdata, maka pihak rumah
duka pun dapat saja ikut dilibatkan sebagai pihak tergugat. Sebagaimana telah
dibahas sebelumnya, kewenangan dan keahlian untuk melakukan embalming ada
pada dokter spesialis forensik. Sertifikat embalming yang dibuat oleh dokter spesialis
forensik diterima di seluruh dunia. Sertifikat adalah tanda pengakuan bahwa
seseorang adalah ahli dan berwenang dan telah melakukan embalming sesuai standar
20
internasional dan berani menjamin bahwa hasil pengawetannya bagus dan siap untuk
mempertanggungjawabkan hal tersebut. Atas dasar itu, tentu dapat dimengerti
mengapa beberapa embalmer yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
melakukan embalming, hanya berani melakukan pengawetan, tetapi tidak berani
memberikan sertifikat. Oleh karena itu, karena telah dilakukan pengawetan tanpa
sertifikat dan hasilnya jelek dan merugikan keluarga, maka pihak rumah duka sebagai
pihak yang yang memfasilitasi pengawetan tersebut dapat turut digugat secara perdata
berdasarkan Pasal 1365 KUHPer (Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut).
BAB III
21
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Embalming adalah proses pengawetan mayat untuk mempertahankan
penampilan mayat dalam, tetap dalam kondisi yang baik untuk jangka waktu
lama.
Embalming hanya boleh dilakukan oleh dokter pada mayat yang meninggal
secara wajar (natural death), sedangkan pada mayat yang meninggal tidak
wajar (akibat pembunuhan, bunuh diri, serta kecelakaan) embalming baru
boleh dilakukan setelah proses pemeriksaan forensik selesai dilakukan.
Modern embalming didefinisikan sebagai desinfeksi, pelestarian tubuh dan
mengembalikan keadan jenazah menyerupai keadaannya sewaktu hidup.
Proses embalming terdiri dari arterial embalming, cavity embalming,
hypodermic embalming(jika dibutuhkan) dan surface embalming.
Modern embalming memberikan beberapa kelebihan, yaitu berupa: jenazah
menjadi lebih wangi, tidak ditemukan rigor mortis, wajah kemerahan dan kulit
tidak pucat.
Embalming tradisional menggunakan bahan-bahan yang tersedia di alam
untuk mengawetkan jenasah.
Beberapa bahan alam yang digunakan dalam embalming tradisinal di
antaranya daun widara dan sari pohon pinus.
3.2 Saran
Proses embalming dan bahan bahan yang digunakan dalam embalming baik
embalming modern dan tradisional merupakan hal yang seharusnya dipelajari dan
dikuasai oleh embalmer. Untuk itu materi embalming modern dan tradisional sudah
seharusnya diajarkan dalam kurikulum pendidikan dokter spesialis forensik.
Daftar Pustaka
22
1. Mayer RG. An introduction to the American society of embalmers. [Accessed on
2 Desember 2011] Available from:
http://www.amsocembalmers.org/html/intro.html.
2. Kathy hawkins. What is embalming?. 2011 [Accessed on 3 Desember 2011]
http://www. wisegeek.com/what-is-embalming.htm.
3. Atmadja DS. Pengawetan jenazah dan aspek medikolegalnya. Majalah kedokteran
Indonesia. 2002; 52(8): 293-7. [diakses pad 3 Desember 2011] diunduh dari:
http://isjd.pdii.lipi.go.id
4. (Prosesi pemakaman suku Sumba. Available at:
http://nasional.kompas.com/read/2008/08/07/0823467/)
5. Mengapa Bakteri Anti Mumi? Available at:
http://annisa52.wordpress.com/2012/05/23/mengapa-bakteri-anti-mumi/
6. Ezugworie J, Anibeze C, Ozoemena F. Trends in the development of embalming
methods. The internet journal of alternative medicine. 2009; 7(2). [Accessed on 3
Desember 2011] Available from:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_ alternativ
e_medicine/volume_7_number_2_21/article/trends-in-the-development-of-embal
ming-methods.html.
7. Employment development department. California occupational guide :
embalmers. 2005. [Accessed on 3 Desember 2011] Available from:
http://www.calmis.ca.gov/file/occ guide /embalmer.pdf.
8. Edmund G, Brown JR. Information and instructions for embalmer licensure.
2011. [Accessed on 3 Desember 2011] Available from: http://www.cfb.ca.gov.
9. Bedino JH. Embalming chemistry : glutaraldehyde versus formaldehyde.
Expanding encyclopedia of mortuary practices. 2003; 649. [Accessed on 3
Desember 2011] Available
from:http://www.champion-newera.com/CHAMP.PDFS/encyclo649.pdf.
23
10. Departement of health and ageing NICNAS. Formaldehyde. Australia:
Commonwealth of Australia. 2006. [Accessed on 3 Desember 2011] Available
from
:http://www.nicnas.gov.au/publication/car/pec/pec28/pec_28_full_report_pdf.pdf.
11. Zulham. Penuntun praktikum histoteknik. Medan: Departemen histologi FKUSU.
2009. 1-32.
12. Tatum M. What are the effect of formaldehyde exposure. 2001. [Accessed on 3
desember 2011] Available from: http://www.wisegeek.com/what-are-the-effects-
of-formaldehyde-exposure.htm.
13. Mao C, Woskie S. Formaldehyde use reduction in mortuaries. University of
Massachusetts Lowell. 1994. [Accessed on 3 Desember 2011] Available from:
http://www.turi.org.
14. Paak funeral. Shipment & embalming. 2011. [Accessed on 3 Desember 2011]
Available from: https://paakfuneral.com/body-shipping.
15. Atmadja DS. Tatacara dan pelayanan pemeriksaan serta pengawetan jenazah pada
kematian wajar. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI /
RSUPN Cipto Mangunkosumo. 2002. [diakses pada 3 Desember 2011] diunduh
dari: http://www.tatacaraembalming.com.
16. Atmadja DS. Pengawetan jenazah dan aspek medikolegalnya. Majalah kedokteran
Indonesia. 2002; 52(8): 293-7. [diakses 3 Desemeber 2011] diunduh dari:
http://isjd.pdii.lipi.go.id.
17. Tim Permata Press. Kitab undang-undang hukum pidana dan Kitab undang-
undang hukum acara pidana. Jakarta: Permata Press. 2008
18. Wyoming Funeral Directors Association. Embalming history. [Accessed on 2
Desember 2011] Available from: http://www.wyfda.org/basics_3.html
19. Chew JA, Laframboise R. Applied embalming. [Accessed on 3 Desember 2011]
Available from: http://www.embalmers.com/applied.html
20. Bedino JH, Chemist. A failure to evolve: formaldehyde-driven archaism and
obsolescence in embalming. [Accessed on 3 Desember 2011] Available from:
http://www.themodernembalmer.com/archaicformaldehyde.html
24
21. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta : Bagian
Kedokteran Forensik FKUI. 1997.
22. Kitab undang-undang hukum perdata. Buku kesatu. [diakses 2 Desember 2011].
Diunduh dari: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/kolonial_kuh_perdata.pdf.
23. Wikipedia. Embalming.2011. [Assecced on 3 Desember 2011] Available from:
http://www.wikipedia.com
24. Rumililawati. Pegawetan mayat guna penelitian ilmiah menurut hukum islam.
Jambi: Badan Pengembangan dan Penelitian Daerah Provinsi Jambi. 2002. ISBN
979-9203-28-7.
25. Lawler P. is embalming a big, anti cristian deal?. 2011. [Accessed on 3 Desember
2011]. Available from:
http://www.firstthings.com/postmodernconservative/2011/01/15/is-embalming-a-
big-anti-christian-deal/