Upload
nguyenkien
View
232
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
PERAN LSM FORUM PEDULI PENDIDIKAN (FORPPENDIK)
DALAM MONITORING PENDIDIKAN DIKOTA DEPOK
(Studi Kasus SDN Tugu 8 Cimanggis)
Oleh:
Jajang Heriyana
NIM : 102054025788
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H./2008 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya yang
dimiliki, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kemajuan akan
cepat dicapai bilamana didukung oleh sumber daya alam yang mencukupi dan
sumber daya manusia yang berkualitas. Sebaliknya, kemajuan akan terhambat jika
faktor sumber daya alam dan sumber daya manusia relatif terbatas. Sumber daya
alam merupakan sumber daya pasif yang keberadaannya sangat tergantung pada
kualitas sumber daya manusia yang mengelola. Apabila sumber daya manusia
memiliki kualitas yang unggul, maka sumber daya alam dapat diolah sedemikian
rupa sehingga menyumbangkan manfaat dan kontribusi yang besar bagi
pembangunan manusia seutuhnya.
Sumber daya manusia yang berkualitas pada umumnya lahir melalui
proses pendidikan yang baik dan dari institusi pendidikan yang bermutu. Namun
sejauh ini mutu pendidikan di Indonesia belum menunjukkan adanya peningkatan,
setidaknya bila dilihat dari out put yang dihasilkan. Menurut laporan
Pengembangan Manusia (Human Development Report 2002-UNDP) nilai Human
Development Index (HDI) Indonesia tahun 2002 adalah 0,684 atau peringkat 109
dari 174 negara yang diteliti. Peringkat ini tidak lebih baik jika dibandingkan
dengan peringkat pada tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 1996 Indonesia
2
menempati peringkat 102, tahun 1997 dan 1998 Indonesia menduduki peringkat
99, dan tahun 1999 berada pada urutan 105.1
Pendidikan adalah senjata perang jaman modern, pendidikan berwujud
kemampuan berpikir dan skil yang tinggi. Desakan akan sumber daya manusia
yang bermutu menjadi modal untuk bisa hidup di zaman sekarang, baik untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk memenuhi tuntutan dunia luar.
Sumber daya manusia yang bermutu tentunya ditunjang oleh lembaga pendidikan
yang bermutu pula. Lembaga pendidikan merupakan lembaga awal yang akan
mencetak skil dan pembentukan karakter dasar pada seseorang. Jika anak-anak
Indonesia tidak mengecam lembaga pendidikan yang telah diwajibkan yakni 9
tahun atau setara dengan tamatan SMP, maka bisa dibayangkan betapa banyaknya
anak-anak Indonesia yang akan hidup dalam kebodohan dan mereka hanya akan
menjadi pekerja kasar. Tentunya ini akan menjadi beban tersendiri bagi negara
dan menjadi pekerjaan rumah bersama.
Mayoritas masyarakat Indonesia saat ini miskin harta, dan jangan sampai
nantinya masyarakat Indonesia miskin ilmu (pendidikan). Pekerjaan untuk
mengentaskan kemiskinan harta adalah pekerjaan rumah jangka pendek, hal ini
berguna untuk meringankan beban orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya,
maka pekerjaan ini tidak bisa ditunda-tunda lagi. Sedang pekerjaan untuk
memajukan pendidikan adalah kebijakan jangka panjang, dan kalau bangsa
Indonesia tidak ingin jadi bangsa yang bisanya hanya mencetak tukang kuli atau
jadi bulan-bulanan kaum kapitalis, maka keberpihakan semua lapisan pada
1 Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian ( Jakarta: Yayasan Kelopak–Magna Script,
2004), hal. 70
3
pendidikan adalah suatu keniscayaan. Tanpa peran serta semua elemen yang ada
dalam masyarakat untuk memajukan pendidikan di Indonesia maka dirasakan
belum bisa tercapai. Dan dalam hal ini, peran negara sangat penting sekali dalam
menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas.
Seluruh lapisan masyarakat mempunyai kewajiban untuk merancang nasib
pendidikan di masa depan, seperti termaktub dalam pasal 6 ayat 2 Undang-undang
Dasar 1945 bahwa “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan pendidikan”.2 Demikian pula dalam pasal 8 “Masyarakat berhak
berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program
pendidikan”. Sehingga dimanapun kita tinggal diseluruh kawasan di Indonesia,
kita bisa berpartisipasi merancang pendidikan yang bermutu, layak dan sebisa
mungkin tanpa memungut biaya sepeserpun.3
Kondisi sumber daya manusia yang dipersiapkan melalui pendidikan
sebagai generasi penerus juga belum sepenuhnya memuaskan, terutama jika
dilihat dari segi akhlak, moral dan jati diri bangsa dalam kemajemukan budaya
bangsa. Fakta-fakta empiris tersebut menunjukkan bahwa kinerja lembaga-
lembaga pendidikan di Indonesia jauh dari memadai. Kondisi tersebut juga tidak
terlepas dari peran guru. Sebagai pengajar dan pendidik, guru merupakan salah
satu faktor penentu keberhasilan setiap pendidikan. Hal itu menunjukkan bahwa
kinerja pendidikan yang jauh dari maksimal antara lain disebabkan oleh kinerja
guru yang tidak maksimal pula.
2 Edi Susanto, Pendidikan Gratis Bagi Rakyat Miskin, makalah disampaikan dalam acara Diskusi
Publik, “Apa dan Bagaimana Rencana Anggaran dan Belanja Sekolah (RAPBS) Kota Depok ke
Depan”, oleh LSM Forppendik di Balaikota Depok: 5 Maret 2005, hal. 1 3 Ibid, hal. 4
4
Tidak konsisten atau lambannya kinerja guru antara lain dipicu oleh tidak
jelasnya konsep dan penerapan sistem pendidikan yang dirasa masih kurang dan
masih perlu dilakukannya perbaikan-perbaikan. Selama ini, pihak otoritas sekolah
sering sekali berbicara tentang mutu pendidikan, tentang sarana dan prasarana
penunjang pendidikan yang masih perlu lagi diperbaiki tetapi lagi-lagi hal itu
terbentur oleh minimnya anggaran dana, dan masih dibutuhkannya bantuan dari
pihak pemerintah. Adapun anggaran bantuan dari pemerintah untuk pendidikan
dirasa masih minim dan banyak terjadi kesimpang-siuran dalam pencairan
dananya, serta transparansi penerima dana masih kurang, hal ini dikarenakan
rumitnya birokrasi yang ada di Indonesia.
Upaya menjaga agar tidak terjadinya hal yang tidak diinginkan seperti:
manipulasi dana bantuan pendidikan dari pemerintah, dll, maka perlu adanya
keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang orientasinya jelas dan
hanya fokus dibidang pendidikan saja. LSM ini nantinya sebagai wadah aspirasi
masyarakat guna memonitoring terhadap regulator/penyelenggara dan pengguna
pendidikan, dan sebagai wadah yang akan berperan aktif dalam melakukan
sosialisasi terhadap segala bentuk kebijakan dan program-program penyelenggara
pendidikan guna mendorong kepada peningkatan kualitas sektor pendidikan yang
berpihak kepada masyarakat luas.4 Juga memfasilitasi antara pihak lembaga
sekolah dengan pemerintah, memfasilitasi antara pihak murid dengan pihak
sekolah dan sebagainya.
4 Sekilas tentang LSM Forppendik, (makalah saat Diskusi Publik ‘Apa dan Bagaimana Rencana
Anggaran dan Belanja Sekolah (RAPBS) Kota Depok ke Depan’ oleh LSM Forppendik di
Balaikota Depok, 5 Maret 2005)
5
Wajib belajar (Wajar) 9 tahun yang telah dicanangkan oleh pemerintah
sampai saat ini masih belum berhasil. Padahal kita ketahui bersama bahwa tolak
ukur kemajuan suatu bangsa dilihat dari tingkat pendidikannya. Dan rata-rata
tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih rendah, dan tidak menutup
kemungkinan sebagian masyarakat Indonesia masih ada yang buta aksara atau
tidak bisa membaca dan menulis. Apalagi, menurut data Dinas Pendidikan di Kota
Depok mencatat sejumlah 3.900 siswa dinyatakan DO dan 26.700 anak lainnya
terancam Drop Out (DO) (per April 2005).5 Maka dari itulah diperlukan
pembenahan dibidang pendidikan, baik sarana dan prasarana untuk menunjang
pendidikan, juga sistem pendidikan itu sendiri perlu juga harus dilakukan
pembenahan untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Dan salah satu peran
pengawasan dalam upaya membenahi pendidikan ini, salah satunya melalui peran
LSM.
Kota Depok dalam visi dan misinya mencanangkan sebagai kota
pendidikan, akan tetapi para pemerhati pendidikan seperti LSM Forppendik
mensinyalir bahwa masih banyak permasalahan pendidikan di Kota Depok yang
perlu segera dibenahi. Seperti: mahal atau tingginya biaya pendidikan di Kota
Depok6, masih banyaknya siswa yang di duga DO dan rawan DO
7, serta masih
minimnya kualitas pendidikan di Kota Depok (peringkat ke 24 dari 25
5 Monitor Depok, “9.240 Siswa Depok diduga Putus Sekolah; Disdik Alokasikan Bantuan”, Sabtu
4 Maret 2006, hal. 6 6 Sampai saat ini masyarakat Depok masih belum merasakan keringanan biaya pendidikan dari
strata SDN, SMPN maupun SMAN apalagi swasta. Seperti biaya UAS menjadi sangat mahal
karena ada biaya ikutan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah seperti biaya perpisahan, buku
kenang-kenangan atau yang lainnya diluar APBS. (Monitor Depok , Rabu 13 April 2005) 7 Dinas Pendidikan Depok mencatat 3.900 siswa dinyatakan DO dan 26.700 anak lainnya
terancam DO (per April 2005). Bahkan Forppendik mensinyalir pada 2006 sebanyak 20% atau
5.340 siswa diperkirakan putus sekolah. (Monitor Depok, Sabtu, 4 Maret 2006)
6
Kabupaten/Kota se-Jawa Barat)8, yang perlu diperhatikan oleh stakeholders
pendidikan seperti: Komisi D DPRD Depok, Dewan Pendidikan Kota Depok
(DPKD), PGRI Kota Depok dan LSM maupun elemen pemerhati pendidikan
lainnya.
Memasuki tahun ajaran baru, seringkali para orang tua murid merasa
terbebani karena pihak sekolah yang selalu saja menuntut para orang tua murid
untuk membayar dan menyelesaikan persoalan-persoalan administrasi seperti:
biaya bangunan sekolah, biaya ujian sekolah, dana buku, dan lain-lain. Padahal,
masih banyak orang tua murid yang tidak tahu akan adanya dana bantuan dari
pemerintah, dan ketidaktahuan para orang tua siswa bahwa dana yang dibebankan
orang tua murid tersebut dari pihak sekolah tanpa terlebih dahulu dilakukan
musyawarah, sehingga banyak penyimpangan-penyimpangan kebijakan sekolah
yang terjadi, dan imbasnya adalah orang tua siswa atau juga masyarakat.
Banyaknya permasalahan pendidikan di Kota Depok yang harus segera
dibenahi, menuntut peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dan turut andil
guna perbaikan mutu pendidikan, misalnya dengan ikut serta menyumbang dana
pendidikan, memberikan masukan/ide konstruktif bagi pendidikan, me-monitoring
bantuan dana, dan sebagainya. Peran serta masyarakat tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pendidikan di Kota Depok, dan dapat membantu menekan
tingginya biaya pendidikan di Kota Depok.
8 LSM Forppendik mengungkapkan saat ini Depok menduduki peringkat ke-24 se-Jabar. Di
daerah lain di Jawa Barat yang rangkingnya jauh di atas Kota Depok tidak menggunakan system
Uji Kompetensi Siswa / UKS. (Monitor Depok, Selasa, 11 Juli 2006)
7
Dari uraian tersebut, maka beralasanlah bila penulis menyusun dan
menulis skripsi dengan judul: “PERAN LSM FORUM PEDULI
PENDIDIKAN (FORPPENDIK) DALAM MEMONITORING
PENDIDIKAN DI KOTA DEPOK (Studi Kasus SDN Tugu 8 Cimanggis)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Karena keterbatasan peneliti dalam hal waktu, tenaga dan biaya, serta
untuk menjaga agar penelitian ini lebih terarah dan fokus, maka diperlukan
adanya pembatasan masalah. Dengan pertimbangan tersebut, maka penelitian ini
dibatasi pada upaya mengungkap informasi mengenai peran LSM Forppendik
dalam membenahi permasalahan pendidikan di Kota Depok dalam hal: (1) peran
LSM Forppendik dalam menyoroti kualitas pendidikan di Kota Depok dan
memantau bantuan dana pendidikan dari pemerintah Kota Depok, (2) faktor
pendukung dan penghambat dalam menjalankan kegiatan LSM Forppendik.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah diatas, maka
permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimana peran LSM Forppendik tahun 2006 dalam menyoroti kualitas
pendidikan di Kota Depok dan memantau bantuan dana pendidikan dari
Pemkot Depok?
8
2) Bagaimana peran LSM Forppendik tahun 2006 dalam menyoroti kualitas
pendidikan di Kota Depok?
3) Apa faktor pendukung dan penghambat dalam menjalankan kegiatan LSM
Forppendik?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Merujuk pada rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai
melalui penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui peran LSM Forppendik pada tahun 2006 dalam
menyoroti kualitas pendidikan di Kota Depok dan memantau bantuan dana
pendidikan dari Pemkot Depok.
2) Untuk mengetahui faktor apa saja pendukung dan penghambat dalam
menjalankan kegiatan LSM Forppendik.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian terhadap peran LSM Forppendik dalam membangun Kota
Depok sebagai kota pendidikan di tahun 2006 ini diharapkan memberikan
sejumlah manfaat, antara lain:
1) Secara teoritis/akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya khasanah kepustakaan kependidikan, khususnya mengenai
program dari LSM dalam memperbaiki dan menjadikan masyarakat ke
arah yang lebih baik.
9
2) Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan/media informasi bagi jurusan Pengembangan Masyarakat Islam
(PMI) dalam melakukan proses pengembangan masyarakat terutama
memberdayakan masyarakat melalui pendidikan, atau juga dalam hal
sebagai fasilitator dengan pihak penyelenggara pendidikan serta
menambah wawasan dan pengetahuan tentang pemberdayaan masyarakat
yang erat kaitannya dengan pengembangan masyarakat terutama dalam hal
pemberdayaan pendidikan.
D. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, pendekatan kualitatif ini
digunakan karena beberapa pertimbangan, yaitu bersifat luwes, tidak terlalu rinci,
tidak lazim mendefinisikan suatu konsep, serta memberi kemungkinan bagi
perubahan-perubahan manakala ditemukan fakta yang lebih mendasar, menarik
dan unik bermakna dilapangan. 9
Penulis memilih pendekatan kualitatif dalam melakukan penelitian karena
berharap dengan menggunakan pendekatan kualitatif, didapatkan hasil penelitian
yang menyajikan data akurat, dan digambarkan secara jelas dari kondisi
sebenarnya.
9 Burhan Bugin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003),
cet. Ke-2, hal. 39
10
2. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenis penelitian, maka penelitian ini adalah deskriptif. Pada
jenis penelitian deskriptif, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan
bukan angka-angka. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-
kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut
berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, catatan atau memo dan
dokumen resmi lainnya.10
3. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian ini dimulai sejak 04 November 2007 dan penelitian ini
berakhir pada tanggal 18 April 2008. Adapun tempat penelitian di sekretariat
LSM Forppendik yang beralamat di Jl. Raya Tole Iskandar Griya Lembah Blok B
No.1 Kecamatan Sukmajaya Kota Depok 16417 dan di SDN Tugu 8 Jl. Akses UI
Inpres Kelapa Dua Kelurahan Tugu Cimanggis–Depok.
4. Teknik Pemilihan Subyek Penelitian
Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif, dalam memilih responden
ini dipilih secara sengaja, setelah sebelumnya membuat tipologi berdasarkan latar
belakang subyek penelitian, yang penting dalam pendekatan kualitatif bukan
jumlah subyek peneliti kasusnya, melainkan potensi tiap kasus untuk memberi
pemahaman teoritis yang lebih baik mengenai aspek yang dipelajari.
10 Ibid
11
Pilihan responden tergantung pada jenis informasi yang hendak
dikumpulkan. Cara termudah mendapatkan responden adalah teknik ‘bola salju’.
Dalam teknik ini peneliti harus mengenal beberapa responden kunci dan meminta
memperkenalkannya kepada responden lain.11
Berdasarkan pada konteks tersebut, maka penulis memilih subyek-subyek
penelitian diantaranya adalah: Sebagai data primer utama, penulis akan
mewawancarai ketua LSM Forppendik. Adapun untuk data primer pendukung
penulis akan mewawancarai Kepala Sekolah SDN Tugu 8 yang pernah menjalin
kerjasama dengan LSM Forppendik, hal ini penulis lakukan karena keterbatasan
dari penulis baik mengenai waktu, dana, tenaga dan lainnya.
Sedangkan data sekunder diperoleh melalui catatan atau dokumentasi
LSM Forppendik, kliping media cetak Monitor Depok, data-data instansi dan
sebagainya.
5. Teknik Pencatatan Data
Penelitian yang biasa digunakan adalah catatan lapangan (data lapangan).
Catatan lapangan (data) tidak lain dari pada catatan yang dibuat oleh peneliti
sewaktu mengadakan wawancara terbuka (para subyek penelitian tahu bahwa
mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula maksud dan tujuan wawancara
itu) atau menyaksikan kejadian tertentu. Catatan lapangan (data) itu dibuat dalam
bentuk kata-kata, singkatan, pokok utama saja, kemudian dilengkapi dan
disempurnakan apabila sudah pulang ke tempat tinggal.
11
MT. Felix Sitorus, Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan, (Bogor: Kelopak Dokumentasi Ilmu
Sosial, 1998), hal. 50
12
Pencatat data dilapangan yang mencatat apa yang akan direkam, apa yang
perlu dan tidak perlu dicatat. Uraian tentang latar dan orang-orang yang diamati
atau di wawancarai, bagaimana menghadapi perubahan latar penelitian, dan
bagaimana cara memberikan pendapat dan tanggapan sendiri mengenai informasi
yang dikumpulkan.12
Berdasarkan pada konteks tersebut, maka peneliti menggunakan teknik pencatatan
data, dengan mencatat data yang didapat dari hasil penelitian dilapangan, baik
berasal dari hasil wawancara maupun dari kumpulan kliping media cetak yang
kemudian dilengkapi dan disempurnakan apabila sudah ke tempat tinggal.
6. Teknik Pengumpulan Data
Adapun tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai
berikut:
a. Wawancara
Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan atau melalui
wawancara, dimana dua orang atau lebih secara fisik langsung berhadap-hadapan
yang satu dapat melihat muka yang lain dan masing-masing dapat menggunakan
saluran komunikasi secara wajar dan lancar.13
Wawancara mempunyai arti
penting karena melalui proses wawancara dapat diketahui segi-segi kehidupan
seseorang baik yang terpendam maupun yang nampak. Dalam wawancara terdapat
dua pihak yang masing-masing mempunyai kedudukan yang berlainan. Pihak
yang satu sebagai pencari informasi sedang yang lain sebagai pemberi informasi.
12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002),
Cet. Ke-16, hal. 100 13 Badan Penelitian dan Pengembangan Depdagri, Metodologi Penelitian Sosial, hal. 39
13
Sebagai pencari informasi pewawancara mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, menilai jawaban, meminta penjelasan, mencatat dan mengingat
jawaban serta menggali pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam. Wawancara
merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi. Dalam proses ini, hasil
wawancara ditentukan oleh beberapa faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi
arus informasi. Faktor-faktor tersebut ialah: pewawancara, responden, topik
penelitian yang tertuang dalam daftar pertanyaan dan situasi wawancara.14
Yang
harus dilakukan seorang pewawancara yakni menyampaikan pertanyaan kepada
responden, merangsang responden untuk menjawabnya, menggali jawaban lebih
jauh bila dikehendaki dan mencatatnya.
b. Observasi/pengamatan
Observasi yaitu tehnik pengumpulan data dengan cara melakukan
pengamatan langsung ke lembaga atau institusi dalam rangka mencocokkan data
yang diperoleh dari angket atau wawancara. Ada beberapa alasan mengapa dalam
penelitian kualitatif, pengamatan dimanfaatkan sebesar-besarnya seperti yang
dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (1981:191-193) sebagai berikut:15
Pertama, teknik pengamatan ini didasarkan atas pengalaman secara
langsung. Jika suatu data yang diperoleh kurang meyakinkan, biasanya peneliti
ingin menanyakannya kepada subjek, tetapi karena hendak memperoleh
keyakinan tentang keabsahan data tersebut, jalan yang ditempuhnya adalah
mengamati sendiri yang berarti mengalami langsung peristiwanya.
14
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: Penerbit: LP3ES),
hal. 192 15
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Penerbit PT Remaja
Rosdakarya), hal. 125
14
Kedua, teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan mengamati
sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada
keadaan sebenarnya.
Ketiga, pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam
situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan
yang langsung diperoleh dari data.
Keempat, teknik pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami
situasi-situasi yang rumit. Jadi, penggunaan pengamatan yakni: pengamatan
mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian,
perilaku tak sadar, kebiasaan dan sebagainya; pengamatan memungkinkan
pengamat untuk melihat dunia sebagaimana yang dilihat oleh subjek penelitian.
7. Teknik Analisa Data
Data yang ada dianalisa dengan cara direduksi. Dalam hal ini seluruh data
yang diperoleh dari lapangan dikumpulkan kemudian diringkas dan
dikelompokkan menurut kategori yang diinginkan untuk mengidentifikasi aspek
penting dari tema yang diteliti. Reduksi membantu peneliti untuk memutuskan
data yang dikumpulkan. Tujuan terpenting dari reduksi data adalah untuk
mengidentifikasi tema utama yang diteliti dengan memberikan kategori pada
informasi yang telah dikumpulkan.16
Dari rumusan tersebut bahwa dalam menganalisa data memerlukan proses
seperti: mengorganisasikan, mengatur, mengurutkan, mengelompokkan dan
16 Ibid, hal.103
15
mengkategorikan data. Setelah data dianalisa kemudian dirumuskan. Data yang
telah didapat dari catatan lapangan (hasil wawancara) kemudian dirumuskan dan
disajikan.
8. Keabsahan Data
Teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini pendekatannya
lebih kepada triangulasi. Adapun triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin (1979)
membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang
memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori.
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam metode kualitatif (Patton 1987:331). Hal itu dapat dicapai dengan
jalan: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara;
(2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang
dikatakannya secara pribadi; (3) membandingkan apa yang dikatan orang-orang
tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; (4)
membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan
pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau
tinggi, orang pemerintahan; (5) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu
dokumen yang berkaitan.17
17 Ibid, hal. 178
16
Berdasarkan konteks diatas, dalam hal ini penulis mencoba
membandingkan hasil wawancara dengan LSM Forppendik dengan kepala
sekolah dan juga para dewan guru, selain itu, penulis juga akan membandingkan
dengan kumpulan kliping media cetak Monitor Depok sehingga akan
menghasilkan keabsahan data yang akurat dan disajikan dalam penelitian ini.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam proses penelitian, maka penulis menyusun
sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan meliputi: (a) Latar Belakang Masalah, (b)
Pembatasan dan Perumusan Masalah, (c) Tujuan dan Manfaat
Penelitian, (d) Metodologi Penelitian, (e) Sistematika Penulisan
BAB II : Tinjauan Pustaka meliputi: (a) Peran terdiri dari (1) Pengertian
peran, (2) Peran LSM dalam masyarakat. (b) Pendidikan terdiri
dari (1) Pengertian pendidikan (2) Peran pendidikan dalam
masyarakat. (c) Monitoring terdiri dari: (1) pengertian monitoring,
(2) peraturan pemerintah RI No. 30 Tahun 1980 tentang peraturan
disiplin Pegawai Negeri Sipil.
BAB III : Gambaran Umum LSM Forppendik meliputi (a) Latar Belakang
Berdirinya LSM Forppendik, (b) Sejarah singkat terbentuknya
LSM Forppendik, (c) Sifat kelembagaan, (d) Fungsi dan tujuan
LSM Forppendik, (e) Program kerja LSM Forppendik, (f) Kondisi
Geografis Kota Depok, (g) Profil SDN Tugu 8 Cimanggis–Depok.
17
BAB IV : Analisis Hasil Penelitian, meliputi (a) Peran LSM Forppendik
dalam menyoroti pendidikan di Kota Depok, (b) Peran LSM
Forppendik dalam menyoroti kualitas pendidikan di Kota Depok
tahun 2006, (c) Peran LSM Forppendik dalam memonitoring
bantuan dana pendidikan di Kota Depok, (d) Faktor pendukung dan
penghambat dalam menjalankan kegiatan LSM Forppendik.
BAB V : Penutup meliputi (a) Kesimpulan, (b) Saran-Saran
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Peran
1. Pengertian Peran
Dalam buku Perilaku Organisasi Shakerspeare mengatakan bahwa: peran
adalah seperangkat pola perilaku yang diharapkan yang dikaitkan pada seseorang
yang menduduki suatu posisi tertentu dalam suatu satuan sosial. Selain itu juga
peran mempunyai identitas yaitu sikap-sikap tertentu dan perilaku-perilaku yang
sebenarnya konsisten dengan suatu peran menciptakan identitas peran. Peran juga
ada yang mempersepsikan mengenai bagaimana seseorang seharusnya bertindak
dalam suatu situasi, berdasarkan suatu penafsiran bagaimana seharusnya perilaku
kita.18
Menurut Robert Linton teori peran menggambarkan interaksi sosial dalam
terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh
budaya. Menurut teori ini seseorang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai
dokter, mahasiswa, guru, orang tua, wanita dan sebagainya, diharapkan agar
berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Contoh dalam hal mengapa seseorang
mengajari orang lain? karena dia adalah seorang pendidik. Kemudian menurut
Glen Edler memperluas penggunaan teori peran tersebut berdasarkan pada
tahapan usia yang dibagi dalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa
dan masa tua. Dalam kamus besar bahasa Indonesia peranan adalah bagian dari
18 Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi (Jakarta: PT. Prenhalindo, 1996), hal. 284
19
tugas utama yang harus dilaksanakan.19
Bisa berarti sesuatu yang menjadi bagian
atau memegang pimpinan yang terutama dalam terjadinya suatu hal atau
peristiwa.
Sedangkan, Grass Masson dan A.W, Eachern, sebagaimana dikutip oleh
David Berry, mendefinisikan peranan sebagai perangkat harapan-harapan yang
dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Peranan
peranan itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat. Artinya seseorang
diwajibkan untuk menentukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat. Peran
akan menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan suatu tujuan. Misalnya, setiap
organisasi menghadapi keterbatasan kemampuan menyediakan dan memperoleh
sumber-sumber yang diperlukannya, baik dalam arti dana, sarana prasarana,
waktu dan tenaga kerja. Menghadapi kenyataan demikian, peran manajemen perlu
melakukan suatu analisis yang objektif agar dapat ditentukan kemampuan
organisasi berdasarkan sumber yang sudah dimiliki atau mungkin diperolehnya.20
2. Peran LSM dalam Masyarakat
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Non Pemerintah
(Ornop) sesungguhnya sudah dikenal sejak sebelum Indonesia merdeka. Sebagai
contoh, dijaman kolonial sudah ada organisasi bernama Budi Utomo dan Taman
Siswa. Dua organisasi ini bisa disebut representasi dari Ornop, karena fungsi
substitusinya dari organisasi-organisasi yang ada saat itu, baik yang berbentuk
lembaga pendidikan maupun yang bercorak sosial dan bergerak dibidang
19
Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka), 1990, hal. 667 20 Sondang P. Siagian, Manajemen Stratejik, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara), hal. 32
20
kesejahteraan lebih banyak yang digunakan untuk kepentingan penjajah dan tidak
memberi peluang kebangkitan bagi pribumi.
Sesudah Indonesia merdeka organisasi semacam itu tumbuh lebih subur.
Salah satu faktor penyebabnya, karena sistem politik yang ada saat itu relatif
bebas dimana organisasi swadaya masyarakat yang juga masih berpengaruh oleh
dinamika partai politik, berkeinginan mendapat simpati dan legitimasi dari basis
masyarakat. Tetapi setelah G 30 S/PKI meletus dan Orde Baru lahir disusul
perubahannya sistem politik dan ekonomi, keberadaan organisasi swadaya
masyarakat/LSM dan peranannya bergeser cukup mendasar. LSM-LSM
tradisional, khususnya yang bergerak dalam bidang kesejahteraan dan pendidikan
seperti yayasan, kumpulan-kumpulan/paguyuban dan sejenisnya baik yang
berlabel agama maupun yang sekuler tetap berjalan. Sementara LSM-LSM
tradisional yang struktur dan kulturalnya lama dengan utopia politik negara
mengadaptasikan diri dengan struktur dan kultur politik orde baru yang
sebenarnya sama. Pola patront client tetap dipegang sebagai ciri golongan
oportunis.21
Kebijakan otonomi daerah yang dilancarkan dalam era reformasi telah
mengundang berbagai pendapat dan pandangan yang banyak dilontarkan orang,
terutama terhadap UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Ada yang
menganggap UU ini terlalu kebablasan memberikan keleluasaan kepada daerah,
sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan (disintegrasi) karena
terkotak-kotaknya antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, dan tidak
21
Moh Marzuki Kurdi, Pengembangan Masyarakat Antara Teori dan Praktek, Jurnal Populis
BEMJ-PMI IAIN Sunan Kalijaga: 2002, hal. 7
21
terkendali oleh pemerintah pusat, pada akhirnya daerah yang merasa sangat kuat
akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI. Sebaliknya, ada yang
beranggapan bahwa UU ini masih berbau ‘status quo’ pemerintah yang
menamakan dirinya sebagai ‘pemerintah orde reformasi’ nyatanya tidak
reformis.22
Krisis ekonomi, politik dan kepercayaan yang berkepanjangan, yang
melanda bangsa Indonesia, telah membawa dampak hampir kepada seluruh aspek
dan tatanan kehidupan. Walaupun terasa pahit yang menimbulkan keterpurukan
bagi bangsa dan rakyat Indonesia, namun hikmah positif yang merupakan
‘blessing in disguised’ adalah timbulnya ide dan pemikiran dasar yang
menumbuhkan ‘reformasi total’ didalam aspek kehidupan bernegara dan
berbangsa. Fokus utama reformasi total ini adalah untuk mewujudkan terciptanya
masyarakat madani (civil society) dalam kehidupan berpemerintahan,
bermasyarakat dan bernegara yang memiliki nilai-nilai ‘good governance’ yang
memunculkan nilai demokrasi dan sikap keterbukaan, kejujuran, keadilan,
berorientasi kepada kepentingan rakyat, serta bertanggung jawab (akuntabel)
kepada rakyat.
Dari sejarah perkembangan LSM tersebut sebenarnya tersirat keberadaan
dan peran masing-masing LSM terhadap perkembangan masyarakat. Yang
pertama, adanya orientasi LSM yang concern terhadap pembelaan masyarakat
yang tertindas. Sementara yang kedua adanya misi sosial politik (pendidikan dan
kesejahteraan) yang masih terkait dengan struktur politik yang berkembang.
22
Dadang Juliantara, Arus bawah Demokrasi: Otonomi dan Pemberdayaan Desa, (Yogyakarta:
Yayasan Lapera Pustaka Utama-2000), hal. 56
22
Dimana sistem yang dianut dibalik kiprah LSM tersebut masih terjebak pada
sistem global yang sebenarnya juga tidak adil, baik dalam bentuk hubungan
ekonomi negara maju dan berkembang maupun struktur politik dan ekonomi
dimasing-masing negara. Yang ketiga, saat orde baru berkuasa dimana pendekatan
pembangunan dan modernisasi menjadi pegangan utama, tidak sedikit LSM yang
menjadi perpanjangan pemerintah, karena keterlibatan LSM tersebut dalam pola
pendekatan semacam itu. Karena alasan pertumbuhan ekonomi yang menjadi
jargon pemerintah, LSM ikut sibuk dalam program-program/proyek rekayasa
sosial ekonomi (social economic engineering); program mana yang dikemudian
hari dikecam banyak kalangan karena dianggap top down dan tidak partisipatif.
Dengan kata lain, LSM lebih banyak memperkuat sektor pemerintah/negara dan
tidak memihak pada sektor masyarakat lemah yang tertindas.
Organisasi gerakan sosial seperti LSM adalah organisasi yang mengajukan
perubahan radikal pada aras akar rumput. LSM juga mengklaim memberdayakan
rakyat untuk mengontrol dan menggunakan pengetahuannya sendiri.
Kemungkinan organisasi gerakan sosial menjadi gerakan kontra–hegemonik
maupun gerakan kontra–diskursus tergantung pada komitmen aktivis gerakan
sosial pada rakyat. Hal ini penting untuk melihat bagaimana aktivis bekerja
bersama-sama rakyat menciptakan paradigma dan ideologinya sendiri maupun
diskursus alternatif bagi transformasi sosial.23
Dalam hal ini transformasi sosial
didefinisikan sebagai penciptaan hubungan ekonomi, politik, kultural dan
lingkungan yang secara mendasar baru dan lebih baik. Juga dalam hal ini
23
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Tranformasi Sosial, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar), hal. 61
23
transformasi sosial dianggap sebagai salah satu model atau bentuk alternatif
tentang perubahan sosial, yang merupakan tujuan utama setiap gerakan sosial.24
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan pengejawantahan dari
program pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat di sini memiliki
fokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan
minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian
melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Milson (1974,
14-15) mengemukakan bahwa ada ketumpang tindihan yang terkait dengan istilah
pengembangan masyarakat dalam kaitan dengan penggunaannya di negara
‘sedang berkembang’ (developing countries) dan negara ‘yang sudah
berkembang’ (developed countries). Pada negara ‘yang sudah berkembang’
pengembangan masyarakat tidak terlalu difokuskan pada penyediaan kebutuhan
dasar masyarakat (seperti layanan kesehatan, pendidikan dasar dan menengah),
tetapi lebih diarahkan pada upaya mengembangkan proses demokrasi,
memperbaiki proses demokrasi yang ada, dan mengembangkan konklusi logis dari
masalah-masalah yang ada. Tujuan utama pergerakan adalah pengembangan
‘harga diri’ (dignity) dan kepuasan berpartisipasi.25
Pada sisi yang lain, pada berbagai negara yang sedang berkembang, fokus
perhatian dari pengembangan masyarakat lebih diarahkan pada peningkatan
kondisi ekonomi masyarakat, pembuatan fasilitas infrastruktur, membangun
fasilitas rumah untuk kelompok ‘miskin’, mengembangkan pendidikan dasar,
menengah dan kejuruan, serta menyiapkan lapangan kerja. Di Indonesia, istilah
24
Ibid, hal. 38 25
Isbandi Rukminto Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Jakarta: Penerbit
FISIP UI Press), hal. 172
24
pengembangan masyarakat juga sering diidentikkan dengan ‘pembangunan
masyarakat dalam arti luas’ (pembangunan = development; masyarakat =
community) pengertian ini digunakan untuk menggambarkan pembangunan
bangsa secara keseluruhan. Dilain hal, terkadang pengembangan masyarakat itu
bergerak dalam lembaga-lembaga seperti LSM.
Pengembangan masyarakat atau LSM sering kali di implementasikan
dalam bentuk: (a) proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota
masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui
(b) kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut
dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggung jawab.26
Pengembangan masyarakat (Community Development) terdiri dari dua
konsep, yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan
atau pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi
beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial budaya.
“Masyarakat” dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu : masyarakat sebagai
sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai
contoh: sebuah rukun tetangga atau sebuah kampung diwilayah pedesaan.
Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan
berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada
masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi
kebutuhan tertentu seperti pada kasus orang tua yang memiliki anak dengan
26
Edi Suharto, Metodologi Pengembangan Masyarakat, Jurnal COMDEV BEMJ-PMI (Edisi I
2005), UIN Syarif Hidayatullah–Jakarta, hal. 3
25
kebutuhan khusus (anak cacat phisik) atau bekas para pengguna pelayanan
kesehatan.
Istilah masyarakat dalam pengembangan masyarakat biasanya diterapkan
terhadap pelayanan-pelayanan sosial kemasyarakatan yang membedakannya
dengan pelayanan sosial kelembagaan. Istilah masyarakat juga sering
dikontraskan dengan “negara”. Misalnya, sektor masyarakat sering diasosiasikan
dengan bentuk-bentuk pemberian pelayanan sosial yang kecil, informal dan
bersifat bottom-up. Sedangkan lawannya yakni sektor publik kerap diartikan
sebagai bentuk-bentuk pelayanan sosial yang relatif lebih besar dan lebih
birokratis.
Pengembangan masyarakat dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan
pekerjaan sosial yang dikembangkan dari dua perspektif yang berlawanan, yakni
aliran kiri (sosialis–marxis) dan kanan (kapitalis–demokratis) dalam spektrum
politik. Dewasa ini, terutama dalam konteks menguatnya sistem ekonomi pasar
bebas dan “swastanisasi” kesejahteraan sosial, pengembangan masyarakat
menekankan pentingnya swadaya dan keterlibatan informal dalam mendukung
strategi penanganan kemiskinan dan penindasan, maupun dalam memfasilitasi
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Secara garis besar, Twelvetrees (1991) membagi perspektif pembangunan
masyarakat ke dalam dua bingkai, yakni pendekatan “profesional” dan pendekatan
“radikal”. Pendekatan profesional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan
kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian pelayanan dalam kerangka relasi
- relasi sosial. Sementara itu, berpijak pada teori struktural neo marxis,
26
familimisme dan analisis anti-rasis, pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya
mengubah ketidak seimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan
kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka, serta
menganalisis sumber-sumber ketertindasannya.
Pengembangan masyarakat dapat diklasifikasikan kedalam enam model
sesuai dengan gugus profesional dan radikal. Ke enam model tersebut meliputi:
1. Perawatan masyarakat merupakan kegiatan volunter yang biasanya dilakukan
oleh warga kelas menengah yang tidak dibayar. Tujuan utamanya adalah untuk
mengurangi kesenjangan legalitas pemberian pelayanan.
2. Pengorganisasian masyarakat memiliki fokus pada perbaikan koordinasi antara
berbagai lembaga kejahteraan sosial
3. Pembangunan Masyarakat memiliki perhatian pada peningkatan keterampilan
dan kemandirian masyarakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
4. Aksi masyarakat berdasarkan kelas bertujuan untuk membangkitkan kelompok-
kelompok lemah untuk secara bersama-sama meningkatkan kemampuan melalui
strategi konflik, tindakan langsung dan konfrontasi.
5. Aksi masyarakat berdasarkan gender bertujuan untuk mengubah relasi-relasi
sosial kapitalis-patriakal antara laki-laki dan perempuan, perempuan dan negara,
serta orang dewasa dan anak-anak.27
Peran LSM sebagai gerakan kontra-hegemonik adalah memperkuat
masyarakat sipil dan membantu mereka melahirkan “kesadaran kritis”. Juga tugas
utama LSM diantaranya adalah melakukan penetrasi terhadap kemajuan semua
27 Edi Suharto, Ibid, hal. 5
27
yang diciptakan oleh sistem modernisasi dan developmentalisme.28
Juga bisa
diantara peran LSM adalah sebagai fasilitator dalam hal menengahi antara
kepentingan pemerintah dan kepentingan rakyat. Dalam hal ini menggunakan
pendekatan bottom- up.
B. Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Dalam kehidupan sehari-hari kata pendidikan diartikan dengan lembaga
pendidikan dan ada kalanya diartikan dengan hasil pendidikan. Misalnya,
pendidikannya SMP berarti sekolah atau lembaga pendidikan; pendidikannya
lulus SMEA berarti menunjukkan pada hasil pendidikannya. Pendidikan dapat
diartikan sebagai:
1. Serangkaian proses dengannya seseorang/anak mengembangkan
kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya yang bernilai/
berguna dimasyarakat.
2. Proses sosial dimana orang/anak-anak dipengaruhi dengan lingkungan
yang (sengaja) dipilih dan dikendalikan (misalnya oleh guru disekolah)
sehingga mereka memperoleh kemampuan-kemampuan sosial dan
perkembangan individual yang optimal.29
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi (1989; 32-33) mengenai definisi
mengenai pendidikan yaitu:
1. Pendidikan adalah proses yang mempunyai tujuan sasaran dan objek.
28
Mansour Fakih, Op.Cit, hal. 153 29 Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Penerbit UIN Jakarta Press ), hal. 6
28
2. Secara mutlak, pendidik yang sebenarnya hanyalah Allah, Pencipta fitrah
dan Pemberi berbagai potensi.
3. Pendidikan menurut adanya langkah-langkah yang secara bertahap harus
dilalui oleh berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran, sesuai dengan
urutan yang telah di susun secara sistematis. Anak melakukan kegiatan itu
fase demi fase.
4. Kerja pendidikan harus mengikuti aturan penciptaan dan pengadaan yang
dilakukan Allah, sebagaimana harus mengikuti Syara dan Din Allah.
Pendidikan itu adalah suatu proses pembentukan kepribadian. Proses
dalam hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan terdiri dari serangkaian tindakan
yang menuju kesuatu hasil tertentu. Tindakan tersebut bisa saja suatu perbuatan
yang tampak tetapi juga bisa tidak tampak. Pada umumnya tindakan dalam
pendidikan itu merupakan tindakan yang tidak tampak nyata. Namun demikian,
tindakan dalam pendidikan itu hampir selamanya bersifat formal, dalam artian
tindakan-tindakan itu dibuat sengaja dan bertujuan.30
Kesengajaan proses pendidikan ini akan lebih nyata bila pendidikan itu
dipandang secara sosiologis. Pendidikan adalah proses sengaja untuk meneruskan
atau mentransmisi budaya orang dewasa kepada generasi yang lebih muda. Proses
ini mengandung suatu tindakan asasi yaitu pemilihan atau seleksi keterampilan,
fakta, nilai dan sikap yang paling berharga dan penting dari kebudayaan untuk
30 H.M. Daryanto, Administrasi Pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), hal.5
29
diajarkan kepada generasi yang lebih muda itu. Pemilihan dan pengambilan
keputusan itu merupakan tindakan yang sengaja.31
Dalam pendidikan itu terdapat dua jenis proses, yaitu proses pendidikan dan
nonpendidikan. Proses pendidikan sering juga disebut proses teknis sedangkan
nonpendidikan sering disebut nonteknik. Administrasi tergolong proses non teknis
yang pada dasarnya berfungsi agar proses teknik berjalan dengan mulus. Fungsi
proses administrasi itu adalah merancang, mengatur, mengkoordinasikan,
menyediakan fasilitas, mengarahkan, memperbaiki proses teknis. Sedangkan
proses teknis itu merupakan proses yang secara langsung berkenaan dengan
pendidikan itu sendiri seperti perencanaan, penilaian, pelaksanaan pengajaran dan
kurikulum. Abdurrahman An-Nahlawi (1989; 50) menyatakan bahwa proses
pendidikan adalah pengembangan kepribadian manusia, agar seluruh aspek ini
dapat terlaksana secara harmonis dan sempurna, disamping seluruh potensi
manusia dapat terpadu untuk mencapai tujuan yang merupakan pangkal segala
usaha, konsep, tingkah laku dan getar perasan hati.32
Menurut GBHN (Ketetapan MPR RI No.IV/MPR/1973) dikatakan bahwa:
“Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung
seumur hidup”. Menurut ketentuan umum, Bab I Pasal 1 Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989, menjelaskan bahwa: “Pendidikan adalah
usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang”.
31
Ibid, hal. 6 32 Ibid, hal. 7
30
Sedangkan menurut Undang-undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003, pada Bab I
Pasal 1, ayat 1, menjelaskan bahwa pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya, ilmu pendidikan mengemukakan beberapa macam faktor
yang dapat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan pendidikan.
Para ahli pendidikan membagi faktor-faktor pendidikan menjadi lima faktor; yaitu
(1) faktor tujuan; (2) faktor anak didik; (3) faktor pendidik; (4) faktor alat; (5)
faktor milieu/lingkungan.
Adapun tujuan pendidikan dalam Bab II Pasal 3 UU Sisdiknas Nomor 20
Tahun 2003; yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU-SISDIKNAS) Nomor
20 Tahun 2003, yang mulai diberlakukan tanggal 8 Juli 2003, adalah Undang-
undang Republik Indonesia sebagai pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tidak sesuai lagi dengan situasi
saat ini karena masih menganut azas sentralisasi. Pada UU-SISDIKNAS yang
31
baru telah memperhatikan prinsip otonomi daerah dan mengantisipasi adanya
persaingan global. UU-SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003 merupakan Undang-
undang Republik Indonesia yang baru berisikan ketentuan-ketentuan yang
mengatur pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan Indonesia.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, antara lain mengemukakan tentang pengertian dan tujuan pendidikan
nasional, sebagai berikut:
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara (Pasal 1, Ayat 1).
2. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan
undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar
pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia yang tanggap
terhadap tuntutan perubahan jaman (Pasal 1, Ayat 2).
3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan
yang sangat terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional (Pasal1, Ayat 3).33
33 Alisuf Sabri, Ibid, hal. 93
32
Selanjutnya pada Bab II, Pasal 3, mengemukakan bahwa “ Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
2. Peran Pendidikan dalam Masyarakat
Pendidikan dan masyarakat merupakan dua variabel yang tidak dapat
dipisahkan. Dalam hal ini, Adolphe E. Mayer, sebagaimana dikutip oleh Imam
Sutari Barnadib, menyatakan bahwa hubungan antara pendidikan dan masyarakat
tidaklah bersifat linear, melainkan hubungan timbal balik (mutual simbiosis).
Sementara Figerland menyebut hubungan keduanya bersifat dialektis. Bila
demikian bentuk hubungan antara pendidikan dan masyarakat, dapat dipastikan
bahwa perubahan yang terjadi terhadap masyarakat akan mempengaruhi
pendidikan.
Demikian juga sebaliknya, perubahan yang terjadi dalam pendidikan akan
mempengaruhi pola kehidupan masyarakat. Secara teoritik, masyarakat berubah
dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern.34
Oleh karenanya
pendidikan pun akan mengalami perubahan yang kurang lebih serupa dengan
34
Ahmad H, Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial, Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi
Agama Islam Swasta (Kordinat), Penerbit Kopertais UIN Jakarta, hal. 1
33
perubahan dalam masyarakat - berubah dari pendidikan tradisional kepada
pendidikan modern.
Konsekuensi logis dari terjadinya perubahan dalam kehidupan sosial
adalah adanya dampak positif ataupun negatif terhadap pendidikan, baik dalam
tatanan teoritik maupun aplikatif. Artinya, perubahan-perubahan yang terjadi pada
masyarakat, baik dalam pola pikir ataupun pola perilaku dalam berbagai bidang
kehidupan, ekonomi, budaya, politik ataupun agama, secara langsung akan
mempengaruhi penetapan sistem pendidikan dan pelaksanaan dari sistem
pendidikan itu sendiri.35
Contoh konkrit dari perubahan sosial yang dapat
mempengaruhi pendidikan adalah diterapkannya sistem sentralisasi pendidikan
sebagai respon dari adanya perkembangan politik bangsa Indonesia yang
menuntut diberlakukannya otonomi daerah secara proporsional. Demikian juga
halnya perubahan orientasi kurikulum kepada kurikulum dengan pendekatan
kompetensi yang saat ini diberlakukan, tidak terlepas dari adanya perubahan
orientasi masyarakat dalam bidang ekonomi, dimana dunia usaha lebih menuntut
pekerja terampil dari pada pekerja yang menguasai ilmu ekonomi secara teorietis.
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana pendidikan akan
mempersiapkan output-nya dalam menghadapi perubahan masyarakat yang terus
melaju sehingga mereka bisa menghadapi perubahan yang terjadi dalam
masyarakat tersebut, bisa berperan mewarnai serta bisa terakomodasikan dalam
semua sektor masyarakat tersebut.
35 Ibid, hal. 2
34
Pandangan Gramsci yang dipakai sebagai landasan teorietis dalam melihat
peran kependidikan organisasi gerakan sosial bagi perubahan, kiranya perlu
memahami bagaimana konsepnya tentang “intelektual organik” berhubungan
dengan konsepnya tentang hegemoni. Gramsci mendefinisikan intelektual organik
sebagai intelektual yang secara organis berakar di dalam rakyat dan bagian dari
rakyat yang mengakuinya sebagai aktivis gerakan sosial, atau sebagai orang-orang
yang memberikan homogenitas dan kesadaran fungsinya kepada kelompok
sosial.36
Lain halnya dengan Paulo Freire, tema pendidikan yang dikemukakannya
adalah peningkatan kesadaran kritis, ia mengakui manusia sebagai hal sentral
dalam konsep pendidikannya bagi perubahan. Peningkatan kesadaran kritis adalah
proses dimana peserta pendidikan mencapai tingkat kesadaran yang
memungkinkannya memandang sistem dan struktur sosial secara kritis.
Ada pengaruh timbal balik antara sekolah dengan masyarakat, yaitu
masyarakat itu maju karena sekolah, dan sekolah yang maju hanya dapat dijumpai
dalam masyarakat yang maju. Hal ini sejalan dengan pendapat Ilmu Sosiologi
pendidikan yang menyatakan bahwa sekolah sebagai institusi masyarakat itu
berfungsi sebagai “The agent of social changes”, yaitu sekolah berfungsi sebagai
agen pembaharu/kemajuan masyarakat. Peran tersebut wajar karena pada
hakikatnya sekolah itu sengaja didirikan oleh masyarakat untuk dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam rangka memajukan masyarakat.37
36
Mansour Faqih, Masyarakat Sipil untuk Trasformasi Sosial, hal. 64 37 Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, hal. 36
35
Sejalan dengan pendapat diatas Crow & Crow dalam bukunya
“Introduction to Education”, mengemukakan tiga peran / fungsi pokok sekolah
terhadap masyarakat; yaitu:
1. Memelihara/melindungi budaya masyarakat.
2. Menggunakan/mengembangkan sumber-sumber yang ada dalam
masyarakat.
3. Sekolah dijadikan sebagai pusat masyarakat, baik pusat studi dan pusat
untuk mewariskan budaya masyarakat. (Crow & Crow: 1960: 488-495).
Menurut Sanapiah Faisal, ada empat pengaruh yang dapat dilakukan sekolah
guna mengembangkan masyarakat di lingkungannya; yaitu:
1. Mencerdaskan kehidupan masyarakat- semua pengetahuan yang diberikan
sekolah ditunjukkan untuk mengembangkan intelek yang akhirnya dapat
mencerdaskan kehidupan anak sebagai anggota masyarakat.
2. Bahwa “virus”pembaharu bagi perkembangan masyarakat- program
pendidikan disekolah selain untuk peningkatan mencerdaskan, juga
mengupayakan transformasi pengetahuan baru, teknologi baru, pemikiran
inovatif yang fungsional guna peningkatan kualitas hidup masyarakat.
3. Melahirkan warga masyarakat yang siap dan terbekali bagi kepentingan
kerja dilingkungan masyarakat- sekolah membekali dan menyiapkan
kesiapan kerja dengan memberikan pengetahuan, keterampilan dan siap
yang hal itu dapat dilihat dalam program pendidikan atau isi kurikulum
pendidikan sekolah.
36
4. Melahirkan sikap- sikap positif dan konstruktif bagi warga masyarakat,
sehingga tercipta integrasi sosial yang harmonis ditengah-tengah
masyrakat- sikap-sikap positif dan konstruktif yang diperlukan untuk
hidup bernegara dan bermasyarakat, ditanamkan sekolah melalui
pendidikan pancasila, pendidikan agama dan pendidikan kewarga
negaraan. (Tim Dosen IKIP Malang, 1987:179).
C. Monitoring
1. Pengertian Monitoring
Monitoring didefinisikan sebagai sistem pengawasan yang digunakan oleh
mereka yang bertanggung jawab atas suatu proyek, untuk memastikan bahwa
semuanya berjalan menurut rencana, dan bahwa sumber daya tidak terbuang.38
Ini
merupakan sistem umpan balik yang berkesinambungan, yang berlangsung selama
siklus proyek atau program, dan meninjau setiap kegiatan pada setiap tingkat
pelaksanaan.
Dalam Kamus Ilmiah Kontemporer, Monitor diartikan sebagai pemantau
atau pemberi ingat. Dan monitoring adalah hal memonitor, pemantauan atau
pemonitoran.39
Monitoring merupakan alat untuk belajar dari pengalaman- dari
keberhasilan dan kegagalan- untuk kemudian melakukan yang lebih baik di masa
depan. Monitoring mempunyai dua tujuan: (a) Merupakan alat manajemen yang
dapat membantu orang meningkatkan efisiensi dan efektifitasnya, (b) Merupakan
38
Britha Mikkelsen, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan,
(Penerbit Yayasan Obor Indonesia), hal. 231 39
M. D. J. Al-Barry dan Sofyan Hadi, Kamus Ilmiah Kontemporer, (Bandung: Penerbit Pustaka
Setia), hal. 211
37
proses pendidikan dimana para partisipan meningkatkan kesadaran dan
pemahamannya akan faktor-faktor yang mempengaruhi situasi mereka, dan
dengan demikian meningkatkan kontrol mereka terhadap proses pembangunan.
Monitoring melibatkan para calon pemakai suatu proyek dalam
pengukuran, pengumpulan, pengolahan dan penyampaian informasi untuk
membantu baik personel manajemen maupun para anggota kelompok sendiri
dalam pembuatan keputusan. Data yang dikumpulkan pada waktu monitoring
memberi dasar untuk analisis evaluasi. Monitoring atau pengawasan perlu
dilakukan untuk mengetahui apakah prosedur/sistem yang telah ada berjalan
semestinya, dan untuk mengetahui keabsahan suatu data.
2. Peraturan Pemerintah RI No.30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil
Bagian, C. Larangan bagi Pegawai Negara Sipil:
a. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat
Negara, Pemerintah, atau PNS.
b. Menyalahgunakan wewenang.
c. Menjadi pegawai atau bekerja untuk negara asing tanpa izin pemerintah.
d. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau
meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik
negara secara tidak sah.
e. Menyalahgunakan barang-barang, uang, atau surat-surat berharga milik
negara.
38
f. Melakukan kegiatan bersama dengan tujuan untuk keuntungan pribadi,
golongan, atau pihak lain yang secara langssung atau tidak langsung
merugikan negara.
g. Melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas
dendam terhadap bawahan atau orang lain.
h. Menerima hadiah atau sesuatu pemberian.
i. Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau
martabat Pegawai Negeri Sipil, kecuali kepentingan jabatan.
j. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan.
k. Melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan
yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang
dilayani.
l. Menghalangi berjalannya tugas kedinasan
m. Membocorkan/memanfaatkan rahasia negara yang diketahui untuk
kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.
n. Bertindak selaku perantara.
o. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada
dalam ruang lingkup kekuasaannya.
p. Memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berada
dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikan itu
sedemikian rapi sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat
langsung atau tidak langsung menentukan penyelewengan atau jalannya
perusahaan.
39
q. Melakukan usaha dagang, menjadi direksi, pimpinan, atau komisaris
perusahaan swasta bagi pembina (golongan 11V / a) keatas.
r. Melakukan pungutan tidak sah.
Bagian, d. tingkat dan jenis hukuman disiplin:
a. Tingkat Hukuman Disiplin
1) Hukuman disiplin ringan
2) Hukuman disiplin sedang
3) Hukuman disiplin berat
b. Jenis Hukuman Disiplin Ringan
1) Teguran lisan.
2) Teguran tertulis.
3) Pernyataan tidak puas secara tertulis.
c. Jenis Hukuman Sedang.
1) Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun
2) Penurunan gaji sebesar dua kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama
satu tahun
3) Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
d. Jenis Hukuman Disiplin Berat
1) Penurunan pangkat setingkat lebih rendah untuk paling lama satu tahun.
2) Pembebasan dari jabatan
3) Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
4) Pemberhentian tidak dengan hormat.40
40 H.M. Daryanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta–1998), hal. 146-148
40
BAB III
GAMBARAN UMUM LSM FORPPENDIK
A. Latar Belakang Berdirinya LSM Forppendik
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan organisasi non-
pemerintah, yang sering disebut dengan Non-Government Organization (NGO).
Organisasi seperti ini dibentuk oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat dalam
konteks kepentingan kesejahteraan masyarakat. Terdapat cerita cukup menarik
berkaitan dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Istilah ini lahir
dari ‘kurang tepat’-nya terjemahan NGO menjadi organisasi non-pemerintah atau
Ornop. Terdapat dua pengertian dari istilah ini, sebagaimana dikemukakan oleh
Bambang Ismawan, seorang aktivis LSM yang sudah malang melintang selama
ini, sebagai berikut:
Pertama, organisasi apapun asalkan bukan pemerintah. Tentu hal ini dapat
berdimensi luas. Seperti organisasi bisnis, kalangan pers, paguyuban seni,
olahraga, dan lainnya.
Kedua, istilah non-pemerintah dapat berkonotasi negatif yaitu tidak mau
bekerja sama atau memberontak. Pada kenyataannya, dalam banyak kasus, banyak
LSM/NGO yang perlu bekerja sama dengan pemerintah untuk meningkatkan
keswadayaan dan kemandirian masyarakat.41
Penjelasan lain yang sering dipakai oleh Kementrian Kerjasama
Internasional Jerman Barat adalah Self-Help Promotion Institute (SHPI) yaitu
41
Hari Susanto, Dinamika Penanggulangan Kemiskinan: Tinjauan Historis Era Orde Baru,
(Jakarta: Khanata–Pustaka LP3ES Indonesia dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri
(DAMANDIRI), 2006), hal. 138
41
lembaga yang didirikan untuk menolong orang lain dan Self-Helf Organization
(SHO) yaitu lembaga yang didirikan untuk menolong dirinya sendiri. Dengan
menyimak nama lembaga yang berkembang di Jerman Barat itu, maka atas saran
Prof. Dr. Sajogyo, Guru Besar dari IPB, lembaga seperti SHO yang ada di
Indonesia tersebut diusulkan untuk dinamakan dengan sebutan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Kemudian istilah LSM sebagaimana didefinisikan dalam
Instruksi Menteri Dalam Negeri No.8 Tahun 1990–Lampiran II, dinyatakan
sebagai “… organisasi/lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga
negara Republik Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri berniat serta
bergerak dibidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga
sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya peningkatan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara
swadaya…”.
Dengan melihat pada definisi tersebut, maka kita dapat menyimpulkan
bahwa posisi LSM merupakan penyeimbang dari sistem perencanaan yang
menggunakan pendekatan bersifat dari atas (top down approach). Karena semua
ide atau gagasan yang muncul itu pada dasarnya berasal dari arus
bawah/masyarakat. Dalam kaitannya dengan perihal tersebut, maka bentuk
perencanaan yang dilakukan oleh sebuah LSM dapat dikategorikan ke dalam
bentuk perencanaan yang sifatnya menggunakan pendekatan dari bawah (bottom
up approach). Bidang kegiatan LSM umumnya sangat luas cakupannya, yakni
seperti bidang lingkungan hidup, bantuan hukum, pendidikan dan latihan,
koperasi, penerbitan, pengembangan pedesaan dan pertanian, dan berbagai bentuk
42
lain-lainnya. Dalam konteks pengentasan masyarakat dari kemiskinan, tampaknya
perhatian LSM banyak ke kawasan pedesaan, mengingat jumlah penduduk miskin
di daerah pedesaan lebih banyak dibandingkan dengan di daerah perkotaan. LSM
dan Organisasi Masyarakat (Ormas) merupakan baris terdepan yang mampu be-
reaksi cepat dalam memperjuangkan hak-hak, terutama hak-hak kaum miskin.
Menurut Syahrullah, seorang tokoh aktivis mahasiswa Gunadarma
mengatakan, “Disaat sekarang ini, kalau kita melarat, kita tidak mungkin menjadi
pintar. Semua peralatan, baik ruang maupun waktu untuk menjadi pintar hari ini
harus dibeli dengan uang. Uang telah menguasai hidup kita.” Pernyataan tersebut
adakalanya benar, karena itu adalah fakta yang memang Ia rasakan setiap hari.
Tidak hanya aktivis mahasiswa tersebut yang merasakan, namun hari ini juga
setiap orang dipaksa untuk merasakan hal yang sama. Hampir tidak ada dalam
dunia ini yang tidak bisa dibeli dengan uang. Bahkan rasa kemanusiaan dan
moralitas pun pada saat-saat tertentu terkadang bisa dibeli dengan uang. Betapa
uang telah menguasai kehidupan. Demonstrasi yang menentang kedzaliman
politik tertentu, dengan dalih moral force, misalnya, seringkali dapat ditukar
dengan uang. Karenanya tidak heran jika demokrasi pun merupakan barang yang
dapat ditegakkan dengan kapital.42
Kemiskinan di Indonesia sampai saat ini menjadi permasalahan yang harus
segera diatasi. Salah satu upaya dalam menanggulangi kemiskinan adalah dengan
meningkatkan sumber daya manusia. Faktor manusia ini mengandung empat
elemen yang menentukan sumber daya manusia itu sendiri yakni:
42 Cornelis Leo Lamongi, Wawancara Pribadi, 5 November 2007, pukul 19.00–21.30
43
1. Pendidikan umum. Tetapi pendidikan umum ini membutuhkan investasi
yang cukup besar. Sekarang ini UUD 1945 sudah menentukan besarnya
anggaran pendidikan, yaitu minimal 20 % dari APBN dan APBD. Jumlah
ini ternyata masih sulit dipenuhi oleh pemerintah. Pentingnya
pengembangan sumber daya manusia (human development) dan dampak
investasi dalam sumber daya manusia ini telah menjadi perhatian utama
The Odore W Schultz dalam bukunya yang relatif baru berjudul The
Economics of Being Poor (1993). Dalam bukunya itu Schultz membahas
beberapa hal. Pertama jenis pengetahuan yang diperlukan untuk
meningkatkan yaitu pengetahuan umum. Kedua, perempuan sebagai
potensi ekonomi sumber daya manusia. Ketiga, tingkat pendidikan akan
menambah nilai ekonomi faktor manusia, yang berarti pula menghemat
waktu yang memiliki nilai uang. Dengan kata lain, tingkat pendidikan
manusia meningkatkan efisiensi ekonomi. Keempat, mutu pendidikan
meningkatkan nilai tambah dari produksi, sehingga pendidikan atau
investasi dalam sumber daya manusia akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi walaupun meningkatnya mutu manusia berakibat pula
meningkatnya biaya. Kelima, investasi dalam pengembangan sumber daya
manusia memiliki hasil yang tinggi (high return). Investasi dalam
pengembangan sumber daya manusia itu dapat pula diterapkan pada orang
miskin. Schultz juga menghubungkan investasi dalam sumber daya
44
manusia ini dengan membangun pertanian dan penduduk miskin di
pedesaan.43
2. Elemen kedua adalah sikap dan perilaku dalam kaitannya dengan etos
kerja. Elemen ini berkaitan dengan apa yang sering disebut sebagai
“budaya kemiskinan”. Menurut teori ini, kemiskinan seringkali disebabkan
karena budaya kemiskinan dan kemiskinan budaya (the poverty of
culture). Contoh dari sikap dan perilaku yang menyebabkan kemiskinan
ini, antara lain malas kerja, boros dalam konsumsi, rasa rendah diri atau
tiada kepercayaan pada diri sendiri, cepat puas (nrimo), pasrah dengan
nasib, dan semacamnya. Arthur lewis menyebut juga kehendak
berekonomi (the will to economize) yang memperhitungkan untung rugi
dalam bekerja. Pentingnya pendekatan budaya dalam pemberantasan
kemiskinan ini juga dilontarkan oleh Oscar Lewis.
3. Elemen ketiga adalah keterampilan teknis yang berkaitan dengan
menggunakan alat-alat dan energi. Elemen ini berkaitan dengan
perkembangan teknologi yaitu sistem peralatan untuk mengolah alam dan
masyarakat.
4. Elemen keempat adalah kewiraswastaan. Kaum wiraswasta ini menjadi
penggerak ekonomi dengan inovasinya yang menghubungkan dunia teknik
dengan pasar.
43
M Dawam Rahardjo, Menuju Indonesia Sejahtera, (Jakarta: Khanata pustaka LP3ES, 2006),
hal. xiii
45
Dunia pendidikan saat ini menjadi bahan perbincangan di kalangan
masyarakat umum. Hal ini bisa dilihat hampir di setiap media, baik media cetak
maupun media elektronik selalu ada muatan berita perihal pendidikan. Pendidikan
tidak hanya mencakup lembaga pendidikan formal ataupun non formal.
Memaparkan permasalahan pendidikan sangat luas sekali dan tidak ada habisnya,
tergantung dari perspektif mana permasalahan pendidikan tersebut dibicarakan.
Perspektif tersebut diantaranya: permasalahan biaya pendidikan di Indonesia,
sekolah negeri versus sekolah swasta, dan sebagainya. Ada pula yang melihat
pendidikan dari perspektif kebijakan pemerintah seperti: alokasi APBN tahun
2007 untuk pendidikan sebesar 20% yang masih belum terwujud, Program wajib
belajar 9 tahun, bantuan biaya pendidikan dari pemerintah, dan sebagainya.
Perkembangan pendidikan di Indonesia saat ini sudah semakin cepat. Hal
ini bisa dilihat bukan saja dalam perkembangan lembaga pendidikan formal
seperti: akhir-akhir ini marak terjadi di Sekolah Dasar (SD) yang lebih banyak
membahas pelajaran umum dibawah koordinasi Depdiknas, kini mulai merubah
diri dengan menambahkan label Islam dibelakangnya menjadi Sekolah Dasar
Islam Terpadu (SDIT), begitu juga dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP)
kini banyak memakai label Islam menjadi Sekolah Menengah Pertama Islam
Terpadu (SMPIT). tetapi lembaga pendidikan non formalpun juga demikian.
Lembaga pendidikan non formal berkembang dengan pesatnya, mulai dari
lembaga privat sampai dengan pelatihan-pelatihan pendidikan, dan lain-lain. Dari
perkembangan pendidikan yang semakin bervariasi tersebut masyarakat dapat
menilai dan dapat memilih sesuai kehendaknya.
46
Ketika proses menuju kemajuan pendidikan di Indonesia diterapkan
pemerintah, pendidikan juga mengalami permasalahan yang cukup serius. Seperti:
mahal/tingginya biaya pendidikan dibeberapa sekolah swasta dan perguruan
tinggi, kurangnya sarana dan prasarana penunjang yang berimplikasi menurunnya
kualitas pendidikan, dan sebagainya. Hal ini perlu segera ditindaklanjuti dan
jangan dibiarkan berlarut-larut. Karena tolak ukur kemajuan suatu bangsa dilihat
dari tingkat kemajuan pendidikannya. Bangsa yang maju adalah bangsa yang
berpendidikan, pendidikan adalah parameter (ukuran) dari kemajuan suatu bangsa.
Pendidikan diupayakan agar dapat menciptakan Sumber Daya Manusia
(SDM) yang berkualitas. Dengan SDM yang berkualitas tersebut diharapkan
nantinya percepatan kemajuan suatu bangsa, baik dalam hal pembangunan dan
lain sebagainya akan mudah dilaksanakan dan tentunya pula hal ini akan
mengurangi lajunya angka tingkat pengangguran di Indonesia. Untuk tujuan
tersebut tentunya dibutuhkan dana yang tidak sedikit dan perlu adanya kesadaran
dari semua pihak. Mengingat bahwa pendidikan adalah tolak ukur sebuah
kemajuan, maka peran serta masyarakat dalam mendukung kemajuan pendidikan
di Indonesia sangat dibutuhkan karena tanggung jawab pendidikan bukan hanya
dibebankan pada pemerintah saja.44
Saat ini pemerintah pusat banyak memberikan bantuan biaya untuk
pendidikan seperti: Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan bantuan lainnya.
Tetapi kenyataannya masih banyak pungutan-pungutan biaya sekolah yang
dibebankan kepada orang tua murid atau masyarakat dan masih banyaknya terjadi
44 Cornelis Leo Lamongi, Op. Cit, 5 November 2007
47
penyimpangan dana bantuan dari pemerintah sehingga lagi-lagi yang menjadi
korban adalah masyarakat (orang tua murid).
Pemerintah Kota Depok mencanangkan dirinya sebagai kota pendidikan.
Maka konsekuensinya segala infrastruktur penunjang harus turut dibangun pula
guna meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri seperti sarana dan prasarana
pendidikan, dan lain-lain.45 Tetapi fakta justru sebaliknya seperti belum
terwujudnya perpustakaan daerah, masih adanya siswa DO & rawan DO, dan
masih banyak permasalahan pendidikan yang perlu dibenahi di Kota Depok. Kota
Depok bila ditinjau dari permasalahan pendidikan berada dalam kondisi dilematis.
Disatu sisi Pemerintah Kota (Pemkot) menyatakan bahwa Depok sebagai Kota
Pendidikan, namun disisi lain biaya pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA/SMK
Negeri dinilai oleh masyarakat Depok khususnya terkait dengan biaya DSP (Dana
Sumbangan Pendidikan) yang terangkum dalam RAPBS disetiap sekolah dirasa
lebih mahal dibanding daerah-daerah lain di Jabotabek. Memang tidak ada data
yang mendukung argumen ini namun masyarakat luas merasakan akan beban
biaya pendidikan di Kota Depok yang tinggi.46
Menyadari kebutuhan adanya pembenahan pendidikan di Kota Depok
itulah yang melatar belakangi terbentuknya Lembaga Swadaya Masyarakat Forum
Peduli Pendidikan (LSM Forppendik). Sebuah forum yang peduli akan dunia
pendidikan khususnya di Kota Depok dan terbentuknya forum ini diharapkan bisa
bersama-sama LSM lainnya menjadi mitra dalam pembinaan pendidikan kedepan
agar kualitas pendidikan di Kota Depok lebih baik.
45
Monitor Depok, “Perpustakaan daerah belum terwujud”, Jumat 31 Maret 2006, hal. 7 46 Cornelis Leo Lamongi, 5 November 2007
48
B. Sejarah Singkat Terbentuknya LSM Forppendik
Pengurus Forppendik sebelum dideklarasikan menjadi lembaga yang
berbentuk LSM adalah para orang tua korban dari kebijakan kepala sekolah dan
komite sekolah SMAN 4 Cimanggis yang sewenang-wenang menetapkan Dana
Sumbangan Pendidikan (DSP) atau sebut saja uang bangunan yang tinggi/mahal.
Mereka tanpa terlebih dahulu me-musyawarahkan kepada orang tua murid telah
menetapkan besaran biaya yang harus dibayar dan dibebankan kepada orang tua
siswa.47
Padahal Pemkot Depok telah menganggarkan biaya bangunan fisik, dan
kepada sekolah-sekolah diharapkan jangan ada lagi yang memungut biaya
bangunan sekolah.
Namun faktanya, kepala sekolah melalui komite sekolah gencar
menaikkan DSP maupun Sumbangan Operasional Sekolah (SOP) yang dulu
dikenal dengan Sumbangan Pembangunan Pendidikan (SPP). Hal ini bisa
dikatakan sebagai “konspirasi” dalam dunia pendidikan.48 Seperti yang terjadi di
SMAN 4 Cimanggis Kota Depok. Sekolah tersebut sama sekali tidak mendengar
aspirasi maupun keluhan orang tua siswa, musyawarah RAPBS/APBS di sekolah
tersebut hanya formalitas belaka, boleh dibilang hanya sosialisasi dari keputusan
yang telah dirancang sebelumnya tanpa mendengarkan keluhan dan aspirasi orang
tua siswa dengan menaikkan biaya pembangunan sekolah sebesar Rp.2,5 juta,49
untuk menutupi kebijakan tersebut, maka kepala sekolah maupun ketua Komite
Sekolah (KS) meng-cover dengan kebijakan bahwa bagi orang tua siswa yang
47
Anwar Yudiono (Humas LSM Forppendik), Wawancara Pribadi, 29 November 2007, pukul
19.30-21.30 48
Cornelis Leo Lamongi, “Menyoroti Dunia Pendidikan di Depok”, Monitor Depok:Jumat 11
Agustus 2006, hal. 7. 49 Cornelis Leo Lamongi, 5 November 2007
49
tidak mampu boleh mencicilnya, apalagi, menurut Cornelis, tidak ada satupun
institusi yang mempunyai wewenang dalam mengontrol kinerja Komite Sekolah,
pengontrolan kinerja Komite Sekolah ini hanyalah mengandalkan kejelian/kritik
dari orang tua murid, yang dalam kenyataannya orang tua murid tidaklah
mempunyai waktu untuk itu.50
Seharusnya pada saat pembuatan dan pengajuan RAPBS pihak sekolah
dan komite sekolah memusyawarahkan terlebih dahulu bersama orang tua murid
kelas 1 baru, karena merekalah yang memikul dana pendidikan yang diminta
sekolah. Jangan ada lagi manipulasi informasi yang menyatakan seolah-olah
RAPBS ini sudah disetujui oleh pihak orang tua murid atau main ketok palu
bahwa RAPBS sudah final.51
Hal inilah yang membuat biaya pendidikan di Depok
menjadi mahal. Sedangkan banyak orang tua murid yang hanya pasrah dan
mengeluh terhadap RAPBS yang diajukan pihak sekolah karena mereka khawatir
bila mereka protes maka anak mereka akan ditekan di sekolah.
Pada saat itu, Cornelis Leo Lamongi selaku orang tua siswa SMAN 4
Cimanggis Depok bersama orang tua siswa lainnya yang tidak jauh tempat
tinggalnya merasa resah melihat kebijakan sekolah yang justru membebankan dan
tidak memihak kepada orang tua siswa, terutama masalah Dana Sumbangan
Pendidikan (DSP) atau biaya bangunan sekolah yang mahal. Bahkan setelah
Cornelis melakukan penyelidikan ke sekolah-sekolah lainnya di Kota Depok,
ternyata SMAN 4 Cimanggis Depok adalah sekolah tingkat SLTA Negeri
termahal di Kota Depok. Maka Cornelis dan enam orang temannya itu bertekad
50
Cornelis Leo Lamongi, “Quo Vadis Komite Sekolah?”, Monitor Depok, 18 Febuari 2005. 51
Cornelis Leo Lamongi, “Soal RAPBS di berbagai Sekolah di Depok: Bicarakan dengan
orangtua siswa baru kelas 1”, Monitor Depok: 22 September 2004.
50
akan mengusut dan mengupayakan agar DSP atau biaya bangunan sekolah di
SMAN 4 Cimanggis bisa dikurangi.
Forum atau pertemuan yang dilakukan oleh Cornelis dan temannya itu
guna mengkritisi kebijakan sekolah khususnya di SMAN 4 Cimanggis Depok
ternyata membuahkan hasil. DSP di SMAN 4 Cimanggis turun menjadi Rp. 1,5
juta dan menjadi DSP termurah di tingkat SLTA Negeri Kota Depok.52 Tidak
sampai disana saja, forum itu terus berlanjut, karena banyak penyimpangan-
penyimpangan terjadi disekolah baik berkaitan dengan kebijakan pemerintah
seperti: penyimpangan dana BOS, maupun permasalahan pendidikan lainnya.
Berangkat dari pengalaman banyaknya orang tua siswa baru di Kota
Depok yang mengeluhkan besarnya biaya masuk sekolah negeri (sumbangan
pendidikan), diadakanlah pertemuan-pertemuan dari para pemerhati dan pengamat
pendidikan yang berdomisili di Kota Depok. Agenda diskusi dalam setiap
pertemuan hanya satu yaitu seputar permasalahan dan perkembangan kemajuan
pendidikan di Kota Depok. Dari hasil pertemuan dan pengkajian yang dilakukan
berulang-ulang, akhirnya disepakati perlu adanya sebuah lembaga non-pemerintah
guna memperkuat komitmen dan rasa kepedulian dalam bidang pendidikan. Maka
melalui Notaris Pria Takari Utama, SH, dengan Akta Pendirian No. 10 pada
tanggal 27 Januari 2005 berdirilah secara formal sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dengan nama Forum Peduli Pendidikan Kota Depok yang
disingkat dengan Forppendik.
52 Cornelis Leo Lamongi, 5 November 2007
51
C. Sifat Kelembagaan:
Lembaga LSM Forppendik bersifat Nirlaba, Independen dan Objektif
dengan Strategi Operasional yaitu Transparan, Kritis, Faktual, Konseptual dan
Solutif dengan mengedepankan Semangat Kemitraan dan Kesetaraan.
D. Fungsi dan Tujuan LSM Forppendik:
a) LSM Forppendik sebagai wadah pengkajian ilmiah membahas sektor
pendidikan dengan melibatkan aspirasi potensi masyarakat untuk
menghasilkan sebuah gagasan berupa konsep alternatif guna disampaikan
kepada pihak terkait dengan masalah pendidikan.
b) LSM Forppendik sebagai wadah pemantau/pemerhati, melakukan
monitoring terhadap regulator, penyelenggara dan pengguna pendidikan
yang dilakukan secara Independen, Objektif, Faktual dan Konseptual.
c) LSM Forppendik sebagai wadah yang akan berperan aktif dalam
melakukan sosialisasi terhadap segala bentuk kebijakan dan program-
program regulator/penyelenggara pendidikan guna mendorong kepada
peningkatan kualitas sektor pendidikan yang berpihak kepada masyarakat
luas
E. Program Kerja LSM Forppendik:
1. Program Jangka Pendek:
� Membantu dan melayani konsultasi masyarakat atas permasalahan
pendidikan yang muncul khususnya pada masa Penerimaan Siswa Baru
(PSB) dalam bentuk konseling, mediasi dan advokasi yang bersifat solutif.
52
� Melakukan kunjungan kelembagaan dalam rangka koordinasi dan
pendataan yang terkait dengan permasalahan dan perkembangan dunia
pendidikan Kota Depok.
� Melakukan pemetaan wilayah-wilayah miskin kota yang belum terjangkau
bantuan pendidikan (sarana, prasarana, instruktur/guru, pembiayaan, dan
lain-lain)
� Turut membantu pemerintah menyukseskan Program Wajib Belajar
(Wajar) 9 tahun dan 12 tahun.
� Merancang dan menggerakkan penggalangan dana dari berbagai sumber
potensi untuk disalurkan kepada masyarakat guna membantu anak sekolah
yang tidak mampu, anak putus sekolah dan lain sebagainya yang terkait
dengan masalah pendidikan di Kota Depok.
� Melakukan kritik konstruktif atas kebijakan-kebijakan Pemerintah Kota
Depok yang tidak memihak kepada masyarakat bawah serta menuangkan
konsep-konsep yang bersifat solutif.
2. Program Jangka Panjang:
Membangun citra Kota Depok sebagai Kota Pendidikan yang sungguhan.
F. Kondisi Geografis Kota Depok
Secara historis wilayah Depok pernah merupakan suatu bagian dari suatu
wilayah lain yang lebih luas, yaitu wilayah yang dulu disebut Kabupaten Bogor.
Dan sekarang pun masih ada dalam jaringan kawasan yang disebut Jabotabek.
Bahkan masih berada dalam suatu wilayah yang lebih luas lagi yaitu Jawa bagian
53
Barat. Kota Depok berbatasan dengan Kota Bogor dan Kota Bekasi dari Propinsi
Jawa Barat, juga berbatasan dengan Kota Tanggerang dari Propinsi Banten dan
Kota Jakarta Timur serta Jakarta Selatan dari Propinsi Ibukota Jakarta. Jadi, Kota
Depok adalah kota penyanggah ke Ibukota Jakarta atau Kota Depok adalah
terasnya Ibukota Jakarta. Karena setiap orang yang hendak pergi ke Jakarta,
setidaknya akan melewati atau singgah dahulu di Kota Depok.
Kota Depok terbentuk pada tanggal 27 April 1999 berdasarkan Undang-
undang Nomor 15 Tahun 1999, dengan luas wilayah 20.029 Ha, terdiri atas 63
Kelurahan dan 6 Kecamatan, yakni: Kecamatan Pancoran Mas, Beji, Sukmajaya,
Sawangan, Limo dan Cimanggis. Adapun jumlah penduduknya yakni 1.369.457
jiwa (berdasarkan sensus 2004), dengan laju pertumbuhan 3,7 %. Kota Depok
mencanangkan visinya yakni: Depok sebagai kota pendidikan, permukiman,
perdagangan dan jasa yang religius dan berwawasan lingkungan. Adapun misi
Kota Depok itu sendiri adalah:
1. Meningkatkan pelayanan dalam bidang sarana dan prasarana dasar
perkotaan, terutama dibidang pendidikan, permukiman, perdagangan dan
jasa.
2. Meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat
3. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan kota
4. Meningkatkan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan
54
5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.53
Agar misi Kota Depok dapat terwujud, tentunya hal yang pertama harus
dilakukan adalah pembenahan terhadap pendidikan di Kota Depok. Hal ini yang
menjadi fokus perhatian dikalangan pemerhati Kota Depok dan LSM Forppendik
dalam upaya merealisasikan Kota Depok sebagai kota pendidikan yang
sungguhan. Adapun jumlah SD/MI baik negeri maupun swasta yang ada di Kota
Depok adalah:
• Kecamatan Cimanggis : 100 sekolah
• Kecamatan Sukmajaya : 88 sekolah
• Kecamatan Sawangan : 54 sekolah
• Kecamatan Pancoran Mas : 78 sekolah
• Kecamatan Beji : 34 sekolah
• Kecamatan Limo : 24 sekolah
Jumlah keseluruhan sekolah negeri maupun swasta tingkat SD/MI yang ada
di Kota Depok adalah 378 sekolah. Keberadaan kampus Universitas Indonesia
(UI) di Kota Depok, telah membuat Kota Depok dikenal kalangan masyarakat
luas, baik dari dalam negeri maupu dari luar negeri.
53
BAPPEDA , Master Plan Kota Depok, makalah disampaikan dalam seminar ‘Pembangunan
Kota Depok’ oleh Pemkot Depok di Balaikota Depok, 8 Maret 2005
55
G. Profil SDN Tugu 8 Cimanggis-Depok
SDN Tugu 8 adalah pecahan dari SDN Tugu 6 yang beralamatkan di Jalan
Inpres Kelapa Dua Rt.001 Rw.011 Kelurahan Tugu Kecamatan Cimanggis–
Depok. Karena pada waktu itu jumlah murid SDN Tugu 6 melebihi kapasitas
yang telah ditetapkan atau lebih dari 600 siswa yang belajar disekolah tersebut,
sedangkan aturan yang berlaku pada saat itu tidak boleh ada lembaga sekolah
setingkat SD yang jumlah siswanya melebihi 600 siswa. Atas inisiatif pengurus
sekolah SDN Tugu 6 yang memusyawarahkan kepada orang tua siswa/masyarakat
setempat, karena melihat pada waktu itu masih terdapat lahan tanah yang cukup
luas dibelakang gedung sekolah SDN Tugu 6 lalu disepakatilah dan dibangunlah
SDN Tugu 8 yang bersebelahan dengan SDN Tugu 6.54
Menurut Kepala Sekolah SDN Tugu 8, hal ini dikarenakan masyarakat
disekitar sekolah tersebut atau masih ruang lingkup kelurahan Tugu, rata-rata
masyarakat disana ketika menikah usia mempelai wanitanya dalam usia subur
sehingga cepat sekali melahirkan dan memiliki anak, ditambah dengan banyaknya
para pendatang yang menetap lalu menyekolahkan anaknya di SDN Tugu 6,
sehingga sekolah tersebut melebihi kapasitas jumlah murid yang telah ditetapkan
oleh pemerintah, dan setelah gedung sekolah SDN Tugu 8 yang berada tepat
dibelakang gedung sekolah SDN Tugu 6 rampung berdiri, maka dipindahkanlah
sebagian murid SDN Tugu 6 ke SDN Tugu 8, hingga sekarang SDN Tugu 6 dan
SDN Tugu 8 setiap hari Senin, dalam mengikuti upacara kenaikan bendera merah
putih selalu bersama-sama yakni seluruh murid dan gurunya digabung.
54 Sjariah SR (Kepsek SDN Tugu 8), Wawancara Pribadi, 29 November 2007, pukul 11.00-12.30
56
Latar belakang orang tua murid di SDN Tugu 8, rata-rata perekonomian
mereka berasal dari kelas menengah kebawah, seperti: pedagang, buruh pabrik,
tukang ojeg, dan lain-lain. Menurut Kepala Sekolah SDN Tugu 8, hal ini dipicu
dengan rendahnya latar belakang pendidikan rata-rata orang tua siswa SDN Tugu
8 yakni hanya sampai jenjang SD, SMP atau paling tinggi pendidikan orang
tuanya sampai jenjang SMA/sederajat, mengingat Kota Depok itu bersebelahan
dengan Kota Jakarta, sedangkan mencari pekerjaan di Kota Depok tanpa memiliki
Ijazah dengan latar belakang pendidikan yang tinggi itu cukup sulit, dan untuk
tingkat SMA rata-rata hanya sebagai buruh pabrik atau setingkatnya, bagi mereka
yang memiliki keterampilan dengan dibantu koneksi dari dalam perusahaan akan
lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Dari latar belakang pendidikan orang tua
murid, sudah dapat disimpulkan, pendapatan rata-rata orang tua murid SDN Tugu
8 yang rendah.
Adapun bagi orang tua yang mampu, dalam artian penghasilannya lebih
besar, tentunya tidak akan memilih menyekolahkan anaknya ke SDN Tugu 8 atau
ke sekolah negeri lainnya. Bagi keluarga yang mampu, mereka lebih memilih
menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah swasta yang fasilitasnya lebih bagus
dari sekolah negeri. Karena disekitar wilayah SDN Tugu 8 banyak berdiri SD/MI
swasta yang sarana-prasarana penunjang pendidikan dan kualitasnya lebih bagus,
jadi bagi orang tua yang mampu mereka tidak memilih memasukkan anaknya
kesekolah negeri, dan hal ini masih terjadi sampai sekarang.
Sekolah SDN Tugu 8 yang beralamatkan di Jalan Inpres Kelapa Dua
Rt.001 Rw.011 Kelurahan Tugu Kecamatan Cinanggis Kota Depok berdiri sejak
57
tahun 1983 dengan luas tanah 355 m² memiliki 2 unit bangunan dengan kondisi 1
unit baik dan 1unit lagi rusak, jumlah ruang kelas ada 6 yakni: 3 ruang kelas
kondisinya baik, 1 ruang kondisinya sedang dan 2 ruang kelas kondisinya rusak.
Ruang perpustakaan belum ada, ruang guru dan TU ada 1 ruang dengan kondisi
sedang, ruang Kepsek ada 1 dengan kondisi sedang, WC siswa ada 2 dengan
kondisi sedang, WC Guru ada 1 dengan kondisi sedang.
Jumlah murid di SDN Tugu 8 saat ini:
1. Kelas 1 : 89 murid (46 laki-laki, 43 perempuan)
2. Kelas 2 : 67 murid ( 31 laki-laki, 36 perempuan)
3. Kelas 3 : 62 murid ( 33 laki-laki, 29 perempuan)
4. Kelas 4 : 71 murid (33 laki-laki, 38 perempuan)
5. Kelas 5 : 72 murid (38 laki-laki, 34 perempuan)
6. Kelas 6 : 68 murid (31 laki-laki, 37 perempuan)
Total keseluruhan murid di SDN Tugu 8 adalah 429 siswa
Adapun, untuk staf tenaga pengajar atau guru di SDN Tugu 8 semuanya
sudah terisi, meskipun tidak semua staf pengajarnya dari PNS. Mengenai
perinciannya yaitu: guru PNS berjumlah 11 orang, guru honorer berjumlah 6
orang ditambah dengan 1 orang penjaga sekolah, masing-masing dengan latar
pendidikan yang berbeda-beda.
SDN Tugu 8 Cimanggis–Depok, juga menerapkan visi dan misinya dalam
menunjang proses belajar mengajar. Adapun visinya yakni: Membentuk manusia
berprestasi, agamis, berakhlak mulia, semangat kerja sama dan terampil.55
55 Widayati (Bendahara SDN Tugu 8), Wawancara Pribadi, 13 Desember 2007, pukul 9.30-11.15
58
Sedangkan misinya adalah:
1. Mewujudkan peningkatan mutu pendidikan
2. Membiasakan siswa berakhlak mulia dan tidak dipengaruhi hal-hal yang
tidak baik
3. Pergaulan positif yang dilandasi oleh pengetahuan agama.
4. Mewujudkan kerja sama pihak sekolah, instansi terkait, komite sekolah
dan masyarakat.
5. Meningkatkan keterampilan guru dan siswa
Strategi pembelajaran di SDN Tugu 8 Cimanggis-Depok yaitu:
1. Meningkatkan KBM melalui sistem KBK /KTSP
2. Memasyarakatkan perpustakaan.
3. Mengoptimalkan sumber daya yang ada
4. Meningkatkan kedisiplinan dan pembinaan keagamaan
5. Menanamkan rasa tanggung jawab bersama
6. Menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman
7. Mengembangkan keterampilan melalui jalur ekstra kurikuler
8. Pembagian tugas secara merata untuk kedisiplinan.
59
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Peran LSM Forppendik dalam Menyoroti Pendidikan di Kota Depok
Pendidikan merupakan faktor penentu bagi suatu negara dalam mencetak
generasi penerus ke arah kemajuan. Tidaklah suatu negara akan mengalami
kemajuan, tanpa diiringi dan ditopang oleh generasi bangsa yang berpendidikan.
Implikasi dari sinyalemen diatas menuntut negara untuk berperan andil dalam
menciptakan pendidikan yang layak serta dapat dinikmati oleh masyarakat luas
dan bukan malah sebaliknya masyarakat yang terbebani guna menjadikan generasi
bangsa yang cerdas dan akan membawa negara ke arah kemajuan.
Upaya pemerintah dalam merealisasikan wajib belajar 9 tahun yang telah
dicanangkan, yakni sejak tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Lanjut
Tingkat Pertama (SLTP) sederajat, belum dapat sepenuhnya dirasakan oleh
masyarakat terutama berkaitan dengan biaya pendidikan. Dalam hal ini persepsi
masyarakat mengenai mahalnya biaya pendidikan terkhusus di Kota Depok tidak
bisa dipungkiri.56
LSM Forppendik memiliki bukti mengenai keluhan warga atau
orang tua siswa berkaitan mahalnya biaya pendidikan di Kota Depok. Pemerintah
Kota Depok memang telah mencanangkan biaya pembangunan fisik agar tidak
dikenakan dari orang tua siswa seperti tahun-tahun yang lalu. Implikasinya dalam
hal ini akan ada penurunan biaya pendidikan khususnya dalam penentuan besaran
56
Disdik Depok diminta menunjukkan kinerja yang memihak kepada masyarakat miskin atau
tidak mampu dalam hal biaya pendidikan yang mahal dan mencekek leher. Disdik Depok telah
menetapkan besaran biaya UAS untuk SD sampai SMA negeri, tapi pada kenyataannya banyak
kepala sekolah juga turut menetapkan biaya ikutan lainnya. (Monitor Depok, Selasa 12 April
2006)
60
Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) yang bermuara pada besaran
Dana Sumbangan Pendidikan (DSP).57
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa kepala sekolah melalui komite
sekolahnya tidak memperdulikan imbauan dari pemerintah. Penyelenggara
pendidikan justru menaikkan dana sumbangan pendidikan maupun sumbangan
operasional pendidikan yang dikenal dengan SPP. Hal ini bias dikatakan sebagai
‘konspirasi’ dalam dunia pendidikan. LSM Forppendik melihat ada beberapa
sekolah yang telah melakukan hal tersebut, antara lain SMAN 1 Depok, yang
notabene Ketua Komite Sekolahnya adalah Ketua Dewan Pendidikan Kota Depok
(DPKD).
Para penyelenggara pendidikan di SMAN 1 Depok tidak menghimbau dan
mendengarkan aspirasi maupun keluhan orang tua siswa. Hal ini bisa terlihat dari
penyelenggaraan musyawarah RAPBS/APBS di sekolah tersebut hanya
formalitas belaka, yakni hanya sosialisasi dari keputusan yang telah dirancang
sebelumnya, tanpa mendengarkan keluhan, aspirasi orang tua siswa. Untuk
menutupi kebijakannya tersebut, maka kepala sekolah maupun ketua komite
sekolah (KS) meng-cover dengan kebijakan bahwa bagi orang tua siswa yang
tidak mampu boleh mencicilnya. Sebenarnya akar permasalahan bukan boleh
mencicil atau tidak, tetapi terjadinya biaya tinggi yang tidak rasional tersebutlah
yang harus dicermati. Tidaklah masyarakat dapat menikmati pendidikan yang
layak, jika biaya pendidikannya sudah memberatkan rakyat. Bukankah pendidikan
itu untuk mencerdaskan bangsa yang berarti juga mencerdaskan masyarakatnya.
57
Cornelis Leo Lamongi (Ketua LSM Forppendik, “Menyoroti dunia pendidikan di Depok: Ada
Konspirasi naikkan biaya sekolah”, Monitor Depok, 11 Agustus 2006, hal. 7
61
Menurut LSM Forppendik, dana yang telah dianggarkan Pemkot Depok
seperti biaya pembangunan fisik sekolah seolah tidak ada artinya, karena ada atau
tidak adanya biaya tersebut nyatanya dana sumbangan pendidikan (DSP) tetap
seperti tahun-tahun lalu, tidak ada perubahan sama sekali, bahkan dibeberapa
sekolah terjadi kenaikan DSP, hal demikian berarti para kepala sekolah dan
komite sekolah memanfaatkan peluang adanya bantuan dari Pemkot Depok untuk
kepentingannya sendiri. Kalau sekolah yang ketua komite sekolahnya adalah juga
ketua DPKD berbuat seperti itu, maka tidak mengherankan sekolah-sekolah lain
akan mengacu seperti yang telah ditunjukkan oleh ketua DPKDnya. Pada akhirnya
semua ini merupakan kegagalan DPKD dan Pemkot Depok dalam pembinaan dan
kordinasi dengan para komite sekolah dan kepala sekolah. Pemkot melalui edaran
pokok-pokok kebijakannya sangat lemah dan inkonsistensi, tidak ada sanksi atas
suatu pelanggaran, semua bersifat anjuran dan sangat ambivalen.
Kenaikan biaya pendidikan di Kota Depok menjadi sorotan LSM
Forppendik dalam setiap kajian pembahasan permasalahan pendidikan.58 LSM
Forppendik juga mengetahui langkah-langkah yang diambil Pemerintah Kota
Depok dalam menangani mahal/tingginya biaya pendidikan di Kota Depok,
diantaranya ialah: di tahun 2006 Pemkot Depok beserta jajaran Dinas Pendidikan
Kota Depok menyalurkan beasiswa rawan DO dan tidak mampu. Alokasi bantuan
biaya pendidikan bagi siswa rawan DO dan tidak mampu untuk jenjang SD, SMP
dan SMA sederajat dengan total anggaran Rp. 750 juta, bantuan tersebut diberikan
langsung kepada orang tua tidak mampu yang terjaring. Sedangkan bantuan
58
Cornelis Leo Lamongi (Ketua LSM Forppendik), Wawancara Pribadi, 29 November 2007
pukul 19.30-21.30 WIB
62
lainnya- masih bagi siswa tidak mampu (rawan DO), senilai Rp. 879 juta
bersumber dari APBD 2006. Bantuan ini diberikan kepada siswa yang tidak
mampu melalui pihak sekolah.59
� Pemkot Depok mendistribusikan dana pendamping Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) Rp.10.000 untuk SD/MI.60 Padahal kita ketahui bersama
besar dana BOS yang diterima oleh sekolah dihitung berdasarkan jumlah
siswa dengan ketentuan:
1. SD/MI/SDLB/Salafiah/Sekolah keagamaan Non Islam setara SD sebesar
Rp.254.000/Siswa/Tahun.
2. SMP/MTs/SMPLB/Salafiah/Sekolah Agama Non Islam setara SMP
sebesar Rp.354.000/Siswa/Tahun.
3. BOS Pendamping Rp.120.000/Siswa/Tahun dari APBD Kota Depok.
4. Untuk jenjang SMA/SMK sederajat mendapat bantuan dari Pemerintah
Provinsi, dialokasikan bagi siswa yang tidak mampu sebesar
Rp.65.000/Siswa/Bulan. Juga ada Bantuan Khusus Murid (BKM) bagi
SMA/SMK sederajat.61
5. Bantuan dana pembangunan fisik yang disediakan Pemkot Depok sebesar
Rp. 81,6 miliar melalui program role sharing-nya (berdurasi 3 tahun) yang
dananya didistribusikan dari APBD tingkat I (Provinsi) dan APBD tingkat
II (Pemkot) serta APBN Pusat dengan rasio 30:20:50 %.62
Dan bantuan
59
Disdik Depok alokasikan bantuan dana DO dan rawan DO… (Monitor Depok, Sabtu, 4 Maret
2006) 60
Monitor Depok, Rabu, 3 Januari 2007 61
Cornelis, wawancara pribadi, 29 November 2007 62
Dana pembangunan fisik yang di sediakan Pemkot Depok sebesar Rp. 81,6 miliar melalui
program role sharing-nya …. (Monitor Depok, Selasa, 2 Januari 2007)
63
Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan tahun anggaran 2006
yang besaran biaya untuk masing-masing sekolah sebesar Rp.220 juta.
Yakni Rp.200 juta dari DAK pemerintah pusat dan Rp.20 juta dana
pendamping APBD. Adapun sekolah yang mendapatkan pada waktu itu
(2006) adalah SD Muhammadiyah Meruyung, MI Nurul Huda Cimanggis,
MI Al-Hidayah Sukatani, SDN Krukut Limo, SDN Pondok Petir 03, SDN
Leuwinanggung 1, SDN Beji 8, SDN Mekarjaya 11, SDN Sukmajaya 5,
SDN Cilangkap 5, SDN Pasir Putih 1 Sawangan, SDN Pancoran mas 2,
SDN Utan Jaya.63
Langkah-langkah yang diambil Pemkot Depok untuk membantu biaya
pendidikan di Kota Depok, diharapkan tidak ada lagi pungutan kepada orang tua
siswa, dan program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun agar berjalan sukses, ujar
Sriyamto Kadisdik Depok 2006. Lain halnya dengan LSM Forppendik, disela
wawancaranya, mengatakan bahwa masih banyaknya terjadi penyimpangan-
penyimpangan terhadap bantuan pendidikan dari Pemkot Depok, temuan LSM
Forppendik dan keluhan-keluhan dari orang tua murid yang datang kesekretariat
LSM Forppendik menunjukkan bahwa biaya pendidikan di Kota Depok ini masih
mengalami kenaikan, Pemkot Depok belum mampu mengakomodasi seluruh
biaya pendidikan secara menyeluruh karena pemberian bantuan dana tersebut
terbatas hanya untuk orang tua siswa yang tidak mampu saja dengan kriteria dan
persyaratan yang sangat prosedural dan juga tidak semua murid yang tidak
mampu mendapatkannya, dalam artian dana bantuan tersebut terbatas. LSM
63 Ibid, Sabtu, 9 September 2006
64
Forppendik dalam menindak lanjuti, kenaikan biaya pendidikan di Kota Depok,
mengajak kepada segenap pemerhati pendidikan untuk segera mencarikan
solusinya.
B. Peran LSM Forppendik dalam Menyoroti Kualitas Pendidikan di Kota
Depok Tahun 2006
Sumber daya manusia yang berkualitas, tentunya ditopang oleh pendidikan
yang berkualitas pula. LSM Forppendik sangat menyayangkan prestasi yang telah
diraih pendidikan di Kota Depok yakni peringkat ke 24 nilai Ujian Nasional (UN)
dari 25 Kabupaten/ Kota se-Jawa Barat.64
Menurutnya, salah satu upaya perbaikan
kualitas pendidikan di Kota Depok adalah membenahi tes Uji Kompetensi Siswa
(UKS), apakah efektif jika diterapkan untuk pendidikan di Kota Depok atau tidak.
Uji Kompetensi Siswa yang selama ini selalu ganti kulit perlu dicermati juga oleh
masyarakat/elemen pendidikan, dimana awalnya bernama Tes Uji Mutu (TUM)
lalu berganti kulit dengan Standar Mutu Hasil Belajar Siswa (SMHBS) yang lebih
dikenal dengan SIM Habis lalu berganti lagi dengan Ujian Daerah (UD) pada saat
pemaparan di depan anggota DPRD Depok pada tahun 2005 dan berganti kembali
dengan nama Uji Kompetensi Siswa (UKS) pada saat realisasinya. Menurut
Cornelis, jika UKS dijadikan parameter untuk menilai dan mengukur kemampuan
siswa, sebenarnya sudah ada sarananya, yakni pada Ujian Akhir Sekolah (UAS)
bagi SD/MI dan Ujian Negara (UN) bagi SMP dan MTS.65
Di daerah lain di Jawa
Barat yang rangkingnya lebih tinggi dan diatas Kota Depok tidak ada yang
64
Ibid, 29 November 2007 65 Cornelis Leo Lamongi, “Uji Kompetensi dinilai tidak efektif“, Monitor Depok, 9 Mei 2006
65
menggunakan sistem Ujian Daerah atau Tes Uji Mutu (TUM) atau sebutan
lainnya Uji Kompetensi Siswa (UKS). Tapi mengapa di Kota Depok tandas
Cornelis, ada? Percuma ada UAS dan UN, padahal yang terjadi justru sebaliknya.
Kota Depok menduduki peringkat 23 dari 25 Kabupaten/Kota di Jawa Barat
berdasarkan hasil ujian SD-SMP tahun 2005.
Dalam kaitan itu, LSM Forppendik mengusulkan agar anggaran UD/UKS
pada 2006 yang sudah disahkan dialihkan ke program yang lebih konkret yakni ke
program pembinaan sekolah swasta. Pelaksanaan UD/UKS menelan biaya Rp.
557 juta. Jumlah sekolah swasta di Kota Depok sangat tinggi dan potensial yakni
80 % berbanding 20 % dari sekolah negeri. Apalagi posisi Kota Depok yang
berada di urutan ke-dua dari bawah se-Jabar dipengaruhi pula hasil ujian pada
sekolah swasta.
Sementara itu. Kepala Disdik Depok Sriyamto, beranggapan bahwa UKS
masih dibutuhkan dan merupakan salah satu parameter penilaian siswa,
pelaksanaan UKS tidak bisa digagalkan karena secara yuridis telah ditetapkan
dalam Daftar Anggaran Satuan Kerja (DASK) dan telah diekspos dihadapan
Walikota Depok. Apalagi proses lelang untuk mencetak kertas ujian telah selesai
dilaksanakan yang pelaksanaan UKS-nya itu bagi SD/MI pada bulan Juni 2006
dan MTs pada akhir Mei 2006, jadi UKS masih sangat dibutuhkan dalam
peningkatan mutu siswa sekolah.
Dalam hal lain, LSM Forppendik juga mengkritisi belum terwujudnya
perpustakaan daerah, sedangkan perpustakaan daerah adalah kebutuhan
masyarakat untuk memperoleh akses ilmu pengetahuan, dokumentasi dan lainnya.
66
Kualitas pendidikan di Kota Depok akan bagus, jika sarana dan prasaranya
terpenuhi. Pemkot Depok dalam hal ini, berkewajiban memenuhi sarana dan
prasarana yang menunjang guna terciptanya kualitas pendidikan.
C. Peran LSM Forppendik dalam Memonitoring Bantuan Dana Pendidikan di
Depok
Semangat Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7–15 tahun
wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi dari amanat undang-undang
tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh
peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs serta sistem
pendidikan yang sederajat).
Untuk mewujudkan amanat Undang-undang tersebut pemerintah telah
meng-anggarkan biaya pendidikan melalui APBN dan mengalokasikan anggaran
melalui pengurangan subsidi bahan bakar minyak, sebagai upaya penuntasan
program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Anggaran pembiayaan tersebut
salah satunya diwujudkan dalam bentuk pemberian Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) bagi SD/MI/SDLB dan SMP/MTs/SMPLB Negeri/Swasta juga pesantren
salafiah serta sekolah keagamaan non Islam serta SD dan SMP yang
menyelenggarakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, yang selanjutnya
disebut sekolah.
Dalam hal ini, LSM Forppendik menilai perlu adanya lembaga pengontrol
yang langsung bergerak dari bawah, dalam mengawasi penyaluran bantuan dana
67
tersebut, apakah memang benar-benar sesuai dengan sasaran. Menurut LSM
Forppendik, terbongkarnya kasus-kasus korupsi atau KKN bukan berdasarkan
laporan pertanggung jawaban yang diajukan pengguna dana, tetapi lebih pada
hasil temuan-temuan di lapangan.66
1. Me-monitoring Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bertujuan untuk
membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu dan meringankan
bagi siswa yang lain, agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang
lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun.
Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga
negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal
1, Ayat 18). Masalah kewajiban belajar ini dalam UU-Sisdiknas Nomor 20 Tahun
2003, selain terdapat pada pasal 1, ayat 18 tersebut di atas, juga terdapat pada
pasal 34, Ayat 1, 2 dan 3, Bab VIII, sebagai berikut:
Ayat 1: “Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti
program wajib belajar”. Ayat 2 menjelaskan bahwa “Pemerintah dan pemerintah
daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan
dasar tanpa memungut biaya”. Ayat 3 “Wajib belajar merupakan tanggung jawab
negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, ketentuan
mengenai wajib belajar sebagaimana yang dimaksud”.67
66
Cornelis Leo Lamongi, “Forppendik: Masih ada Penyimpangan dana Bos”, Monitor Depok, 18
November 2006, hal. 7 67 H.M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Penerbit UIN Jakarta Press, 2005), hal. 108
68
LSM Forppendik dalam me-monitoring dana BOS, melakukan
kunjungan-kunjungan ke sekolah-sekolah yang ada di Kota Depok. Menurut
Cornelis, dana BOS itu terdiri dari 12 komponen yang bisa disalurkan kemana
saja dan diprioritaskan penggunaannya. Adapun kewajiban pihak sekolah adalah
membuat laporan pertanggung jawaban kemana dana itu disalurkan, apakah sesuai
dengan ke 12 komponen itu, jika sesuai maka dana berikutnya akan cair.
LSM Forppendik menilai bahwa dana BOS rentan terjadi
penyelewengan. Disatu sisi, anggaran dana BOS yang diberikan pada tiap-tiap
sekolah itu tidak sama, karena besaran dana disesuaikan dengan jumlah murid di
sekolah tersebut sehingga rentan terjadi manipulasi data siswa agar sekolah
memperoleh bantuan yang lebih besar, sedangkan disisi lain, kurang adanya
pengawasan dari Disdik Depok yang langsung terjun kelapangan dan mendatangi
sekolah-sekolah yang mendapatkan bantuan dana BOS. Cornelis sering datang
dan mengunjungi SDN Tugu 8 Cimanggis Depok, Ia menanyakan perihal dana
BOS, baik penyalurannya, jumlah siswa, fasilitas sekolah, dan sebagainya. Ia juga
sering berkordinasi dengan pihak sekolah SDN Tugu 8, bahkan diikutsertakan
dalam rapat-rapat tertentu dan LSM Forppendik menyarankan agar tidak
membebani orang tua siswa dengan iuran-iuran dari sekolah. Selain itu juga, LSM
Forppendik menerima pengaduan, konsultasi pendidikan dan kontribusi pemikiran
atau informasi seputar pendidikan dari orang tua siswa SDN Tugu 8 maupun
pihak sekolah SDN Tugu 8, berkaitan dengan hal ini, pengaduan atau informasi
seputar permasalahan pendidikan itu dapat disampaikan dengan mendatangi
sekretariat LSM Forppendik di Griya Lembah Asri Sukmajaya Depok.
69
2. Memonitoring bantuan biaya pendidikan bagi siswa DO dan rawan DO.
Dinas Pendidikan Kota Depok mencatat sejumlah 3.900 siswa
dinyatakan DO dan 26.700 anak lainnya terancam DO (per-April 2005). Bahkan
LSM Forppendik mensinyalir pada tahun 2006 dari angka rawan DO tadi (26.700
siswa) sebanyak 20 % atau 5.340 siswa diantaranya putus sekolah. Jadi totalnya
9.240 siswa diperkirakan putus sekolah. Menurut Cornelis, alasannya jelas karena
faktor kemiskinan. Apalagi, dengan harga barang-barang kebutuhan hidup yang
kian tidak terjangkau dan rencana bakal naiknya sejumlah kebutuhan lainnya, hal
ini akan memicu bertambahnya jumlah kemiskinan yang ada di Indonesia, juga
tidak menutup kemungkinan faktor kriminalitaspun akan bertambah, seiring
dengan bertambahnya jumlah kemiskinan dan pengangguran.
LSM Forppendik melakukan pendataan siswa DO dan rawan DO (data
yang sudah terhimpun ada 168 anak tahun 2006) hal ini dalam upaya membantu
sebagian biaya pendidikan siswa tersebut untuk mengenyam pendidikan secara
baik dan layak. Setelah didata, selanjutnya LSM Forppendik akan melakukan
validasi data (door to door) untuk mengecek kebenaran data yang diperoleh
sebelumnya. Setelah divalidasi, LSM Forppendik menyerahkan data tersebut ke
Dinas Pendidikan Kota Depok untuk ditindaklanjuti.
Pada tahun 2006, LSM Forppendik menghimpun data sekitar 168 anak
usia sekolah rawan DO dan tidak mampu di 6 Kecamatan di Kota Depok dan
meminta Disdik Depok mengalokasikan dana bantuan kepada siswa tersebut.68
Dalam APBD tahun 2006 menurut Cornelis. Disdik kembali mengalokasikan
68 Ibid, 29 November 2007
70
bantuan biaya pendidikan bagi siswa DO dan rawan DO untuk jenjang SD, SMP
dan SMA sederajat di Kota Depok dengan total anggaran Rp.750 juta, bantuan
tersebut diberikan langsung kepada orang tua tidak mampu yang terjaring.
Sedangkan pada tahun 2007 ini dana tersebut sudah tidak ada lagi. Bantuan
lainnya- masih bagi siswa tidak mampu (rawan DO) senilai Rp.879 juta
bersumber dari APBD 2006. Bantuan ini diberikan kepada siswa tak mampu
melalui pihak sekolah, dengan melampirkan persyaratan yakni, menyerahkan foto
copi Kartu Keluarga, KTP dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).69
■ Bantuan siswa rawan DO dan tidak mampu di SDN Tugu 8 Cimanggis Depok
tahun 2006.
a) Latar belakang murid SDN Tugu 8 Cimanggis
Siswa-siswi SDN Tugu 8, rata-rata berlatar belakang dari keluarga atau
orang tua yang tidak mampu/kelas menengah ke bawah. Menurut Sjariah (Kepala
Sekolah SDN Tugu 8), disekitar wilayah Kelurahan Tugu banyak terdapat
sekolah-sekolah swasta tingkat SD/MI yang elit, fasilitasnya menunjang, gedung
sekolah yang bagus dan sarana-prasarananya sangat jauh berbeda bila
dibandingkan dengan Sekolah Dasar Negeri (SDN), tetapi banyak orang tua siswa
yang mampu dan rata–rata dari keluarga yang berpenghasilan tinggi akan
menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta tersebut, sebaliknya, mereka tidak
memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri. Bagi orang tua yang tidak
mampu, mereka akan menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri yang berada
69
Cornelis Leo Lamongi, “Komite Sekolah Boleh Pungut Biaya ke Masyarakat”, Monitor Depok,
12 Agustus 2006, hal. 6
71
disekitar lingkungannya, menurutnya sekolah negeri adalah satu-satunya sekolah
alternatif yang murah setelah pesantren salafi, dan pola pikir masyarakat di
lingkungan Kelurahan Tugu, sampai saat ini masih seperti itu.
Adapun kondisi masyarakat di lingkungan Kelurahan Tugu atau sekitar
SDN Tugu 8, untuk masyarakat pribuminya rata-rata bermata pencarian sebagai
pedagang sebagian memiliki kontrakan, dan hanya mengandalkan dari
penghasilan kontrakan saja. Sebagian masyarakat juga ada yang bekerja sebagai
buruh pabrik, tetapi sedikit sekali bagi masyarakat pribumi yang bekerja dikantor.
Bagi para pendatang, sebagian besar meraup rejeki dari hasil berdagang, sebagai
buruh pabrik, kuli bangunan yang bertempat tinggal dikontrakan, dan bagi
pendatang yang sudah mapan dan berpenghasilan tinggi, mereka lebih memilih
tinggal di perumahan/komplek yang masih dalam ruang lingkup Kelurahan Tugu.
Masih menurut Kepala Sekolah SDN Tugu 8, dilain hal masalah prestasi
murid, tidak menutup kemungkinan bahwa murid–murid SDN Tugu 8 lebih
berprestasi bila dibandingkan dengan sekolah swasta. Murid–murid di SDN Tugu
8 memiliki semangat belajar yang tinggi, hal ini juga dipicu dari faktor keluarga
mereka yang menginginkan anak-anaknya kelak nanti kalau sudah besar menjadi
orang pintar. Sekalipun pihak sekolah menyayangkan latar belakang murid di
SDN Tugu 8 berasal dari keluarga kelas menengah kebawah, tetapi mereka sangat
bangga dengan semangat belajar yang tinggi dan rajin belajar yang dimiliki
muridnya.70
70 Sjariah SR, Wawancara Pribadi, 13 Desember 2007, pukul 9.30-11.15
72
b) Prestasi yang diraih murid SDN Tugu 8 Cimanggis
Pada tahun 2006, murid SDN Tugu 8 meraih beberapa prestasi,
diantaranya:
� Menjadi peserta terbaik dalam uji coba UN di tingkat Kecamatan
Cimanggis
� Menjadi juara ke tiga lomba Matematika (MTK) se-Kecamatan
Cimanggis.
� Menjadi juara 1 dalam lomba Atletik tingkat Kota Depok
� Peringkat ke 7 dalam Ujian Nasional (UN) di tingkat Kecamatan
c) Tingkat kedisiplinan murid SDN Tugu 8 Cimanggis
Pihak sekolah SDN Tugu 8 telah membuat peraturan–peraturan yang harus
dilaksanakan oleh murid, diantaranya peraturan tersebut adalah: setiap hari senin
sampai hari kamis siswa-siswi wajib mengenakan pakaian merah putih dilengkapi
atribut (bet lokasi, topi, sabuk, kaos kaki, dasi) dan sepatu berwarna hitam, pada
hari jum’at mengenakan pakaian muslim merah putih yakni bagi laki-laki
memakai celana panjang dan baju koko dengan memakai peci, sedang bagi
perempuannya mengenakan rok panjang serta baju lengan panjang dengan
memakai jilbab, pada hari sabtu siswa-siswi mengenakan seragam pramuka.
Bagi siswa-siswi yang melanggar peraturan akan diberikan sanksi
diantaranya yakni membersihkan halaman sekolah, dan sebagainya. Murid-murid
SDN Tugu 8 sangat taat dan mematuhi dalam menjalankan peraturan yang ada
disekolah. Menurut Widayati (Bendahara SDN Tugu 8), pernah ada murid yang
73
tidak memakai sepatu hitam, dasi, topi SD dan tidak mempunyai pakaian
pramuka, lalu setelah ditanyakan ternyata orang tuanya tidak mampu membelikan,
maka pihak sekolah berinisiatif membelikannya dan diberikan kepada murid
tersebut.71
Adapun kegiatan ekstra kulikuler di SDN Tugu 8 yakni: Paskibra setiap
hari minggu, pramuka setiap hari jum’at dan baca tulis Al-Quran setiap hari kamis
oleh guru agama. Bagi kelas 6 diadakan les seusai pulang sekolah selama 3 kali
dalam seminggu, mengenai bayaran les ini pihak sekolah memungut bayaran
seiklasnya dari orang tua murid karena tidak ditetapkan besaran biayanya.
d) Proses pencairan bantuan dana bagi murid SDN Tugu 8 Cimanggis
Menurut Kepala Sekolah SDN Tugu 8, sebelum dana BOS turun pada
tahun 2004 pihak sekolah mengajukan bantuan dana bagi siswa yang tidak
mampu ke Dinas Pendidikan Kota Depok. Pada waktu itu dana tersebut
dinamakan BKM (Bantuan Kompensasi Murid) yang besarannya Rp.60.000
semester/murid dan hanya bagi murid yang berprestasi serta tidak mampu saja jadi
tidak semua murid mendapatkannya. Pada tahun 2006, sekalipun sekolah sudah
mendapatkan bantuan dana BOS yakni Rp.254.000 /Siswa/Tahun, tetapi untuk
pembelian buku paket pelajaran dana tersebut masih belum mencukupi, dan pihak
sekolah kembali menyerahkan permasalahan itu kepada orang tua murid.
Ada sebagian orang tua murid yang mengeluhkan mengenai beban biaya
buku paket pelajaran ke LSM Forppendik dan salah satunya adalah orang tua
71 Widayati, Wawancara Pribadi, 13 Desember 2007, pukul 9.30-11.15
74
murid dari Gema Rajabi. Cornelis mengatakan, pada tahun 2006 ada orang tua
murid yang datang kesekretariat LSM Forppendik meminta bantuan agar anaknya
yang bernama Gema Rajabi sekolah di SDN Tugu 8 dibantu memperoleh bantuan
dana untuk membeli buku paket pelajaran. Mungkin, ujar Cornelis, melihat
kedekatan saya dengan kepala sekolah SDN Tugu 8. Tidak percaya begitu saja,
LSM Forppendik mencari tahu tentang keberadaan dan latar belakang orang tua
Gema Rajabi itu. Setelah dipastikan bahwa ternyata memang benar berasal dari
keluarga yang tidak mampu, maka LSM Forppendik mendaftarkan murid Gema
Rajabi untuk mendapatkan bantuan dana siswa rawan DO dan tidak mampu ke
Dinas Pendidikan Kota Depok.
Pada bulan Agustus tahun 2006, Cornelis Leo Lamongi (Ketua LSM
Forppendik) melakukan validasi ke SDN Tugu 8 untuk mengecek kebenaran data
yang diperoleh dari orang tua siswa yang datang kesekretarit LSM Forppendik
dan membawa surat keterangan tidak mampu untuk dimintai pertolongan bantuan
dana. Nama siswa tersebut adalah Gema Rajabi kelas 3 SD, dan ternyata benar
bahwa Gema Rajabi adalah murid SDN Tugu 8 kelas 3. lalu Cornelis berkordinasi
dengan pihak sekolah agar membantu siswa yang tidak mampu agar orang tua
siswanya tidak terbebani, dan LSM Forppendik akan mengupayakan pencairan
dana tersebut.
Setelah dana bantuan siswa rawan DO dan tidak mampu cair dari Disdik
Depok. Cornelis mendatangi SDN Tugu 8 dan meminta agar dihadiri dan
disaksikan oleh orangtua Gema Rajabi. Besaran dana tersebut
Rp.118.000/Siswa/Tahun untuk jenjang SD sedang untuk SMP
75
Rp.228.000/Siswa/Tahun dan untuk SMA Rp.342.000/Siswa/Tahun. Pihak
sekolah SDN Tugu 8 pada waktu itu mengajukan 20 nama siswa yang tidak
mampu agar juga dibantu oleh LSM Forppendik, tetapi yang dibantu hanya satu
orang yakni Gema Rajabi.72 Hal ini setelah dikonfirmasi Cornelis dikarenakan
keterbatasan dana, dan LSM Forppendik juga membantu pencairan dana sebanyak
168 murid yang tersebar di Kota Depok, Ia juga menghimbau agar pihak sekolah
juga membantu siswa yang tidak mampu tersebut, karena LSM Forppendik
hanyalah mediator/fasilitator antara Disdik Depok dengan orang tua siswa.
Adapun bantuan yang diberikan dari pemerintah melalui LSM
Forppendik yang diterima oleh pihak sekolah SDN Tugu 8, akan disalurkan untuk
pembelian buku paket pelajaran, walaupun pihak sekolah menyayangkan karena
dana tersebut dirasa masih kurang. Buku paket pelajaran pada waktu itu sebesar
Rp.180.000, jadi pihak sekolah mensubsidi melalui dana BOS untuk
mencukupinya. Menurut Kepala Sekolah SDN Tugu 8, Gema Rajabi memang
berhak mendapatkan bantuan itu. Latar belakang orang tuanya berasal dari
keluarga yang tidak mampu, tempat tinggalnya selalu berpindah-pindah
dikarenakan keluarganya masih mengontrak, pekerjaan ibunya adalah buruh cuci
pakaian sedang bapaknya sebagai tukang serabutan dan terkadang juga bekerja
sebagai tukang ojeg, dengan memberi setoran kepada pemiliknya.73
Secara umum pengertian siswa rawan DO menurut Kadisdik Depok,
Sriyamto, mengatakan yaitu siswa yang secara ekonomi orang tuanya tidak kuat
membiayai pendidikan anaknya. Terkait dengan biaya personal, seperti buku
72
Sjariah, Wawancara Pribadi, 29 November 2007, pukul 11.00–12.30 73 Sjariah, Ibid.
76
pelajaran, seragam dan transport harian.74
Dilain hal, LSM Forppendik menilai
program Pemkot Depok seperti bantuan dana rawan DO dan biaya pendamping
BOS bagi SD negeri merupakan langkah yang baik dalam mengatasi jumlah siswa
rawan DO, namun masih belum cukup. Porsi bantuan anggaran bagi sekolah
swasta terutama madrasah yang jumlahnya mencapai 80 % masih timpang
dibanding sekolah negeri, padahal mereka juga berhak atas bantuan dari Pemkot
Depok, malah disekolah-sekolah inilah jumlah siswa rawan DO diketahui lebih
banyak, sementara itu pihak sekolah juga harus mencari dana untuk menghidupi
sekolahnya.
Selain itu, Cornelis juga menganggap mekanisme subsidi silang
ditingkat satuan pendidikan tidak benar-benar berjalan. Harusnya dana
pembangunan fisik disekolah tak perlu dihapuskan, tapi dikumpulkan dari orang
tua yang mampu. Sementara anggarannya yang mencapai Rp. 81 miliar,
digunakan untuk peningkatan kualitas pendidikan di Kota Depok, karena sangat
ironis sekali, bagi mereka yang berlatar belakang dari keluarga yang mampu juga
tidak dikenakan biaya, sedangkan disaat pihak sekolah memungut biaya untuk
pembelian buku paket pelajaran dan pungutan untuk ujian sekolah, pihak sekolah
sama sekali tidak menghiraukan apakah murid tersebut berlatar belakang dari
keluarga mampu atau tidak mampu, malahan yang terjadi, pihak sekolah terus
menekan agar pungutan biaya tersebut harus segera dilunasi. Ini membuktikan
indikasi mekanisme subsidi silang itu tidak berjalan.
74
Sriyamto, “Angka Rawan DO Memprihatinkan; Disdik: Bebaskan Biaya Pendidikan Siswa
Miskin”, Monitor Depok, 4 Oktober 2006, hal.7
77
D. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Menjalankan Kegiatan LSM
Forppendik.
Dalam melakukan monitoring/pengawasan terhadap bantuan dana
pendidikan, khususnya yang dilakukan LSM Forppendik di SDN Tugu 8, yang
menjadi pemicu faktor pendukungnya, yakni:
Pertama, adanya orang tua murid SDN Tugu 8 yang datang kesekretariat
LSM Forppendik, mengeluhkan tentang pemungutan dana untuk buku pelajaran
dan meminta bantuan kepada LSM Forppendik untuk mencarikan dana agar
anaknya dapat terus belajar/sekolah dan mendapatkan buku pelajaran. Orang tua
murid tersebut juga mengaku berasal dari keluarga yang tidak mampu. Hal ini,
menjadi perhatian tersendiri bagi LSM Forppendik untuk menyelidiki dan me-
monitoring bantuan dana BOS di SDN Tugu 8, kemana penyalurannya, dan LSM
Forppendik menyarankan agar bagi orang taua siswa yang tidak mampu
diprioritaskan untuk dibantu.
Kedua, adanya respon yang sangat baik dari pengurus sekolah SDN Tugu
8 dalam menyambut keberadaan LSM Forppendik yang selalu memberikan
masukan, ide/pemikiran guna membenahi pendidikan di Kota Depok. Tanpa
adanya kerjasama yang baik dengan penyelenggara pendidikan, LSM Forppendik
tidak dapat melakukan program kerjanya secara baik.
Ketiga, adanya kerjasama yang baik (sinergi) dari Pemkot Depok dalam
merespon masalah-masalah pendidikan, terutama masalah pendidikan yang
ditemukan oleh LSM Forppendik, semisal; temuan 168 anak usia sekolah rawan
78
DO dan tidak mampu di enam Kecamatan Kota Depok yang harus segera
dicairkan dananya dan salah satunya terdapat di SDN Tugu 8 Cimanggis.
Dalam melakukan monitoring/pengawasan terhadap bantuan dana
pendidikan, khususnya yang dilakukan LSM Forppendik di SDN Tugu 8, juga tak
luput mengalami hambatan, diantaranya yakni: kurang/minimnya dana
operasional yang dimiliki LSM Forppendik, hal ini dipicu karena LSM
Forppendik belum memiliki donatur tetap, jadi menurut Cornelis, selama ini
operasional LSM Forppendik dari pengurus saja, sedangkan untuk pergi ke SDN
Tugu 8, pakai dana sendiri.
■ Respon pihak sekolah SDN Tugu 8 terkait keberadaan LSM Forppendik
Menurut Sjariah (kepala sekolah SDN Tugu 8), keberadaan LSM
Forppendik di Kota Depok merupakan suatu langkah kemajuan bagi
perkembangan pendidikan, karena LSM Forppendik ini turut membantu agar
anak-anak yang tidak mampu itu dapat pula mengenyam pendidikan sampai
jenjang minimal 9 tahun atau tamatan SLTP yang layak. LSM Forppendik dalam
kiprahnya itu turut pula membantu pemerintah dalam menuntaskan Wajib Belajar
(Wajar) 9 tahun dan memerangi buta huruf. Karena di Kota Depok ini, masih saja
banyak masyarakat yang tidak bisa membaca. Kepala sekolah SDN Tugu 8 juga
menghimbau agar LSM Forppendik jangan hanya mencari dan mengorek
kesalahan di sekolah-sekolah saja, karena pihak sekolah lebih mengetahui
permasalahan sekolahnya secara mendalam dan sekolah mempunyai cara
tersendiri dalam menyelesaikan masalahnya itu.
79
Bagi Widayati (Bendahara SDN Tugu 8), LSM Forppendik diharapkan
menjadi mitra sejajar dengan pihak sekolah dalam menciptakan pendidikan yang
berkualitas. Selama LSM Forppendik tidak mensgatur sekolah apalagi meng-audit
keuangan sekolah dan membantu masyarakat agar dapat mengecam pendidikan
yang layak di Kota Depok, maka pihak sekolah akan tetap eksis membantu apa
saja yang dibutuhkan LSM Forppendik.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mencermati secara mendalam berbagai permasalahan dan isi
dalam skripsi yang berjudul “Peran LSM Forum Peduli Pendidikan (Forppendik)
dalam Memonitoring Pendidikan di Kota Depok; Studi Kasus SDN Tugu 8
Cimanggis”. Akhirnya sampai pada tahap kesimpulan, sebagai berikut:
1. Program wajib belajar 9 tahun yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah,
ternyata masih belum berhasil. Salah satu faktor ketidak berhasilan program
ini, dipicu oleh kenaikan biaya pendidikan, dan yang melatarbelakangi
kenaikan biaya pendidikan ini, dipicu oleh oknum penyelenggara pendidikan
yang menjadikan lembaga-lembaga pendidikan itu sebagai ajang bisnis. “Kota
Depok boleh dikondisikan sebagai Kota Perdagangan, tapi bukan pendidikan
yang diperdagangkan”.75 LSM Forppendik menilai, dalam hal ini, perlu
adanya monitoring yang dilakukan oleh lembaga independen diluar
penyelenggara pendidikan termasuk tidak terikat oleh pemerintah yang salah
satunya adalah LSM Forppendik, agar nantinya, pemerintah dalam
menentukan kebijakannya juga mempertimbangkan masukan dari lembaga
tersebut. Diharapkan, dengan adanya kerjasama antara pemerintah dengan
organisasi non pemerintah seperti LSM dapat terciptanya pendidikan yang
berkualitas dan terjangkau bagi masyarakat, atau lebih jauhnya lagi, dapat
terciptanya pendidikan gratis bagi rakyat.
75
Cornelis Leo Lamongi, “Imbauan Forppendik Kepada Disdik Depok; Tertibkan Pungutan di
Sekolah”, Monitor Depok, 12 April 2005, hal. 7
81
2. Kualitas pendidikan di Kota Depok akan dapat terwujud bilamana sarana dan
prasarana yang menunjangnya tersedia, seperti perpustakaan, buku paket
pelajaran, komputer, laboratorium, dan sebagainya. LSM Forppendik
mengharapkan kepada Pemerintah Kota Depok agar menyiapkan anggaran
guna memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu juga, pembinaan terhadap
sekolah-sekolah swasta harus segera dilakukan oleh Pemkot Depok,
mengingat sekolah swasta lebih mendominasi dibandingkan sekolah negeri,
dan untuk mengejar ketertinggalan prestasi yang selama ini diraih Kota
Depok.
3. Bantuan dana yang telah dianggarkan pemerintah, dinilai oleh LSM
Forppendik masih terdapat penyimpangan-penyimpangan dan masih belum
transparan dalam meng-alokasikan pengeluarannya, seperti banyaknya kriteria
pengalokasian/penyaluran dana BOS (12 kriteria), tidak jelasnya
pengalokasian dana siswa DO dan rawan DO. Untuk mengantisipasi
terjadinya penyelewengan bantuan dana, LSM Forppendik melakukan
monitoring dengan mengunjungi sekolah-sekolah yang ada di Kota Depok,
seperti di SDN Tugu 8 Cimanggis–Depok yang dari salah satu muridnya
mendapatkan bantuan dana rawan DO dan tidak mampu.
B. Saran–Saran
1. LSM Forppendik selain berkoordinasi dengan pemerintah serta para
elemen pemerhati pendidikan Kota Depok, selayaknya juga mengajak para
pengusaha yang ada di Kota Depok untuk dilibatkan dalam memajukan
82
pendidikan di Kota Depok, terutama dalam pemenuhan sarana dan
prasarana penunjang pendidikan.
2. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Kota Depok diharapkan
kepada Pemerintah Kota Depok selain mengeluarkan kebijakan yang
bertujuan untuk peningkatan kualitas pendidikan, juga menghimbau
kepada seluruh masyarakat Kota Depok agar turut berpartisipasi dalam
meningkatkan kemajuan pendidikan di Kota Depok.
3. Kepada elemen pendidikan seperti: Komisi D DPRD Depok, Dewan
Pendidikan Kota Depok, BMPS Kota Depok dan PGRI Kota Depok.
Buktikan bahwa eksistensi kalian di Kota Depok itu ada, dan keberadaan
kalian itu diharapkan memihak kepada masyarakat, sehingga masyarakat
nantinya dapat menikmati pendidikan yang bermutu dan terjangkau.
83