Upload
angelina-shinta-aprilia
View
26
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Japanese Encephalitis (JE) adalah suatu penyakit infeksi virus pada susunan saraf
pusat yang disebabkan oleh flavivirus dan disebarkan atau ditularkan oleh nyamuk dengan
perantaraan hewan lain, seperti babi.[1]
Di Jepang, Japanese Encephalitis Virus (JEV) pertama kali diisolasi dari jaringan
otak kasus JE yang meninggal tahun 1935, kemudian tahun 1938 JEV dapat diisolasi dari
nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang bertindak sebagai vektor utama dalam penularan JE.
Dari Jepang penyakit ini menyebar ke Semenanjung Korea, Cina dan terus ke negara Asia
lainnya termasuk Indonesia. [1]
Di Indonesia baru tahun 1971 JEV dapat diisolasi dari nyamuk Culex, kemudian dari
nyamuk Anopheles, sedangkan diagnosis JE baru dapat ditegakkan tahun 1981 berdasarkan
kriteria WHO dan pemeriksaan IAHA (immune adherence hemaglutination). [1]
Nyamuk Culex bersifat zoofilik yaitu lebih menyukai binatang sebagai mangsanya
daripada manusia sehingga JEV pada umumnya menyerang binatang, hanya secara kebetulan
saja dapat menyerang manusia terutama bila dalam keadaan densitas Culex yang sangat
padat. Tidak semua manusia yang digigit oleh nyamuk Culex yang infektif menunjukkan
gejala klinis ensefalitis. [1]
Dari hasil surveilans di Bali, yang dilakukan atas kerja sama antara Ditjen PPM & PL
DepKes, FK Universitas Udayana dan Internationa Vaccine Institut (IVI) Korea dalam kurun
waktu 2001-2002, ditemukan 74 kasus JE yang 16 (21,6%) diantaranya terjadi pada anak usia
13-24 bulan, dengan angka kematian secara keseluruhan 9,46%. Sedangkan 47,30% sembuh
dengan gejala sisa mulai dari depresi emosi sampai kelainan saraf kranial, deserebrasi,
dekortikasi dan paresis. [1]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Japanese Encephalitis (JE) adalah suatu penyakit yang menyerang susunan saraf
pusat (otak, medula spinalis dan meningen), yang disebabkan oleh JEV yang ditularkan dari
binatang melalui gigitan nyamuk. [1]
Penyakit JE termasuk Arbovirosis yaitu penyakit yang disebabkan oleh virus dan
ditularkan artropoda. Untuk berlangsungnya penyakit Arbovirosis diperlukan adanya
reservoir (sumber infeksi) dan vektor. Pada penyakit JE, reservoir utama adalah babi dan
vektornya adalah nyamuk Culex. Manusia tidak merupakan reservoir yang penting (hanya
secara insidental saja dapat menimbulkan infeksi pada manusia). [1]
2.2 Epidemiologi
JE adalah penyakit infeksi virus yang penyebarannya sangat berkaitan dengan
keadaan lingkungan. Penyakit ini ditemukan di hampir seluruh wilayah Asia, mulai dari Asia
Timur yaitu Jepang dan Korea, sampai ke Asia Selatan, seperti di India dan Sri Langka, serta
Asia Tenggara, termasuk kepulauan Indonesia. [1]
Di Jepang JE pertama kali diketahui secara klinis tahu 1871, kemudian pada tahun
1924 terjadi epidemi hebat sehingga angka kematian mencapai 65% dari 6.125 kasus.
Epidemi yang hebat terjadi kembali pada tahun 1935 dan 1948. Setelah itu dari tahun 1968
tidak pernah timbul lagi epidemi meskipun kasus sporadis masih tetap sepanjang tahun. [1]
Penyakit ini menyerang semua umur, namun di India lebih banyak menyerang anak.
Di Thailand, Taiwan, demikian pula di Denpasar, proporsi umur terbanyak menderita JE
masing-masing 5-9 tahun, 2-5 tahun dan 2-3 tahun. Di Jepang semula JE menyerang anak
tetapi kemudian orang dewasa lebih banyak diserang sebab saat ini anak telah mendapat
vaksinasi JE di sekolah. [1]
Pada JE, sebagai vektor penyebar virus adalah nyamuk yang biasa ditemukan di
sekitar rumah. Nyamuk ini biasanya menggigit pada sore dan malam hari. Daerah
persawahan, yang terutama pada musim tanam selalu digenangi air, diduga berhubungan
dengan dengan timbulnya daerah endemis JE. Selain itu pada musim hujan populasi nyamuk
akan meningkat sehingga memudahkan transmisi penyakit. [1]
Angka endemisitas yang tinggi ditemukan di hampir seluruh provinsi di Indonesia,
dimana umumnya masyarakat hidup berdekatan dengan hewan ternak mereka. Dari data yang
berhasil dikumpulkan oleh Subdit Zoonosis Ditjen PPM-PL, DepKes RI dalam kurun waktu
tahun 1993-2000 terlihat bahwa spesimen positif pada manusia ditemukan di 14 propinsi
yang tersebar di seluruh Indonesia (Bali, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Nusa
Tenggara Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Timur dan Papua). [1]
2.3 Etiologi
Japanese Encephalitis Virus termasuk dalam Arbovirus grup B, genus Flavivirus,
famili Flaviviridae. Virus ini berbentuk sferis dengan diameter 40-60 nm, inti viirion terdiri
dari asam ribonukleat (RNA) berupa rantai tunggal yang sering bergabung dengan protein
disebut nukleoprotein. Sebagai pelindung inti virion terdapat kapsid yang terdiri dari
polipeptida tersusun simetri ikosahedral. Di luar kapsid tersebut terdapat selubung. Virus
relatif labil terhadap demam, rentan terhadap berbagai pengaruh desinfektan, deterjen, pelarut
lemak dan enzim proteolitik. Infektivitasnya paling stabil pada pH 7-9, namun dapat
diinaktifkan oleh radiasi elektromagnetik, eter dan natrium deoksikolat. [1]
Seperti halnya virus lainnya JEV berkembang biak dalam sel hidup yaitu di dalam
nukleus dan sitoplasma. Setelah adanya infeksi alamiah pada babi dan kuda biasanya akan
menimbulkan viremia tetapi tanpa gejala klinis, diikuti dengan pembentukan neutralizing
antibody dan complement fixing antibody, tetapi hanya sedikit kuda yang mati akibat
ensefalitis. [1]
Sebagai penyakit zoonosis kehidupan JEV sangat memerlukan hewan vertebrata
sebagai reservoir dan nyamuk sebagai vektornya. Infeksi pada manusia timbul secara
kebetulan terutama pada orang yang tinggal dekat dengan reservoir dan vektornya cukup
banyak misalnya di pedesaan, di daerah pertanian yang memakai irigasi pengairan. [1]
Hewan vertebrata yang bertindak sebagai reservoir pada JE terutama babi dan yang
lainnya adalah sapi, kuda, kerbau, kambing, tikus, burung, kera, ayam dan kucing. Artropoda
yang bertindak sebagai vektor adalah nyamuk Culex, Anopheles, Aedes. Vektor yang sangat
efisien menularkan penyakit adalah Cx.tritaeniorhynchus, Cx.gelidus, Cx. Fuscophalas. Virus
ini dapat berkembang biak dalam jaringan artropoda tanpa menimbulkan penyakit dan
artropoda tersebut akan menderita infeksi seumur hidup setelah menghisap darah vertebrata
yang menderita viremia. [1]
Siklus Kehidupan JE
2.4 Patogenesis
Segera setelah Culex yang infektif menggigit manusia yang rentan, virus menuju
sistem getah bening sekitar tempat gigitan nyamuk (kelenjar regional) dan berkembang-biak,
kemudian masuk ke peredaran darah dan menimbulkan viremia pertama. Viremia ini sangat
ringan dan berlangsung sebentar. Melalui aliran darah virus menyebar ke organ tubuh seperti
susunan saraf pusat dan organ ekstraneural. Di dalam organ ekstraneural inilah virus
berkembang biak, hanya saja tidak diketahui dengan pasti organ ekstraneural tersebut. Pada
manusia telah dilaporkan adanya miositis pada kasus ensefalitis oleh JEV. Virus dilepaskan
dan masuk ke dalam peredaran darah menyebabkan viremia kedua yang bersamaan dengan
penyebaran infeksi di jaringan dan menimbulkan gejala penyakit sistemik. [1]
Bagaimana cara virus dapat menembus sawar darah otak tidak diketahui dengan pasti,
namun diduga setelah terjadinya viremia, virus menembus dan berkembang biak pada sel
endotel vaskuler dengan cara endositosis, sehingga dapat menembus sawar darah otak.
Setelah mencapai jaringan susunan saraf pusat, virus berkembang-biak di dalam sel dengan
cepat pada retikulum endoplasma yang kasar serta badan golgi dan setelah itu
menghancurkannya. Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitas sel neuron, glia dan
endotel meningkat, mengakibatkan cairan di luar sel mudah masuk ke dalam sel dan
timbullan edema sitotoksik. Adanya edema dan kerusakan susunan saraf pusat ini
memberikan manifestasi klinis berupa ensefalitis. Area otak yang terkena dapat pada
thalamus, ganglia basal, batang otak, serebelum, hipokampus dan korteks serebral. [1]
Di sisi lain JEV sebagai virus yang tergolong neurotropi mungkin dapat menimbulkan
kerusakan jaringan saraf dengan jalan seperti yang terjadi pada virus neurotropik lainnya,
yaitu virus masuk ke tubuh manusia terutama setelah viremia yang kedua, tubuh manusia
membentuk antibodi antivirus. Antibodi ini bereaksi dengan antigen membentuk kompleks
antigen antibodi yang beredar dalam darah dan masuk ke susunan saraf pusat. Di dalam
susunan saraf pusat menimbulkan proses inflamasi dengan akibat timbulnya edema dan
selanjutnya terjadi anoksia, yang pada akhirnya terjadi kematian sel susunan saraf pusat yang
luas. [1]
Virus Javanaese encephalitis sebagai anggota dari Favivirus neurotropik, dengan
spektrum patogenesisnya berupa :
1. Ensefalitis fatal, yang biasanya didahului oleh viremia dan perkembangbiakan virus
ekstraneural yang hebat
2. Ensefalitis subklinis, yang biasanya didahului viremia ringan, infeksi otak lambat dan
kerusakan otak ringan
3. Infeksi asimptomatik, yang ditandai oleh hampir tidak adanya viremia, sangat
terbatasnya replikasi ekstraneural serta tidak adanya neuroinvasi.
4. Infeksi persisten[1]
2.5 Manifestasi Klinis
Gejala klinis JE tidak berbeda secara klinis dengan ensefalitis yang disebabkan oleh
virus lain. Namun bervariasi tergantung dari berat ringannya kelainan susunan saraf pusat,
umur dan lain-lain. Spektrum penykit dapat berupa hanya demam disertai nyeri kepala,
meningitis aseptik, dan meningoensefalitis. Masa inkubasi 4-14 hari, setelah itu perjalanan
penyakit akn melalui 4 stadium klinis, yaitu: [1]
1. Stadium Prodormal
Stadium prodormal berlangsung 2-3 hari dimulai dari keluhan sampai
timbulnya gejala terserangnya susunan saraf pusat. Gejala yang sangat
dominan adalah demam, nyeri epala, dengan atau tanpa menggigil. Gejala lain
berupa malaise, anoreksia, keluhan dari traktur respiratorius seperti batuk,
pilek dan keluhan traktus gastrointestinal seperti mual, muntah dan nyeri di
daerah epigastrium. Nyeri kepala dirasakan di dahi atau seluruh kepala,
biasanya hebat dan tidak bisa dihilangkan dengan pemberian analgesik.
Demam selalu ada dan tidak mudah diturunkan dengan obat antipiretik.
Namun mungkin saja seorang pasien JE hanya mengalami demam ringan atau
gangguan pernafasan ringan.
2. Stadium Akut
Stadium akut dapat berlangsung 3-4 hari, ditandai dengan demam
tinggi yang tidak turun dengan pemberian antipiretik.. Pasien mulai merasakan
dampak dari pembengkakan jaringan otak dan peningkatan tekanan
intrakranial.
Gejala tekanan intrakranial meninggi berupa gangguan keseimbangan
dan koordinasi, kelemahan otot-otot, tremor, kekakuan pada wajah (wajah
seperti topeng), nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran dari
apatis hingga koma.
Iritasi meningens barupa kaku kuduk, biasanya timbul 1-3 hari setelah
sakit. Demam tetap tinggi, kontinu dan lamanya demam dari permulaan
penyakit berlangsung 7-8 hari. Otot-otot kaku dan terdapat pula kelemahan
otot. Kelemahan otot yang menyeluruh timbul pada minggu ke-2 atau ke-3,
bila berlangsung hebat dan luas kadang memerlukan istirahat lama. Muka
seperti topeng, tanpa ekspresi muka, ataksia, tremor kasar, gerakan tidak
sadar, kelainan saraf sentral, paresis, refleks deep tendon meningkat atau
menurun dan refleks patologis Babinsky positif. Berat badan menurun disertai
dehidrasi.
Pada kasus ringan, mulai penyakitnya perlahan-lahan, demam tidak
tinggi, nyeri kepala ringan, demam akan menghilang pada hari ke-6 tau ke-7
dan kelainan neurologik menyembuh pada akhir minggu ke-2 setelah
mulainya penyakit. Pada kasus berat, awitan penyakit sangat akut, kejang
menyerupai epilepsi, hiperpireksia, kelainan neurologik yang progresif,
penyulit kardiorespirasi dan koma, diakhiri dengan kematian pada hari ke-7
dan ke-10 atau pasien hidup dan membaik dalam jangka waktu lama, kadang
terkena penyulit infeksi bakteri dan meninggalkan gejala sisa permanen.
Tanda yang agak khas pada JE adalah terjadinya perubahan gejala
susunan saraf pusat yang cepat, misalnya penderita hiperefleksi diikuti dengan
hiporefleksi. Status kesadaran pasien dapat bervariasi dari disorientasi,
delirium, somnolen sampai koma. Dapat disertai oligouria, diare dan
bradikardia relatif. Pada stadium ini pemeriksaan pada cairan serebrospinal
menunjukkan leukositosis yang pada awalnya didominasi sel PMN tetapi
setelah beberapa hari menjadi limfositosis. Albuminuria sering ditemukan.
Apabila penderita dapat melalui stadium ini, maka demam akan turun pada
hari sakit ke-7 dan gejala akan menghilang pada hari ke-14. Apabila tidak,
demam akan tetap tinggi dan gejala memburuk. Pada kasus yang fatal,
perjalanan penyakit berlangsung cepat, penderita mengalami koma dan
meninggal dalam 10 hari.
3. Stadium Sub Akut
Pada stadium subakut, gejala gangguan susunan saraf pusat berkurang
namun seringkali pasien menghadapi masalah pneumonia ortostatik, infeksi
saluran kemih dan dekubitus. Gangguan fungsi saraf dapat menetap, seperti
paralisis spastik, hipotrofi otot, sebagai akibat perawatan lama dan
pemasangan kateter urin, fasikulasi, gangguan saraf kranial dan gangguan
saraf ekstrapiramidal.
4. Stadium Konvalesens
Stadium konvalesen berlangsung lama dan ditandai dengan kelemahan,
letargi, gangguan koordinasi, tremor dan neurosis. Berat badan dapat sangat
menurun. Stadium ini dimulai saat menghilangnya inflamasi yaitu pada saat
suhu kembali normal. Gejala neurologik bisa menetap dan cenderung
membaik. Bila penyakit JE berat dan berlangsung lama maka penyembuhan
lebih lambat, tidak jarang sisa gangguan neurologik berlangsung lama. Gejala
sisa yang sering dijumpai ialah gangguan mental berupa emosi tidak stabil,
paralisis upper atau lower motor neuron.
2.6 Sekuele atau Gejala Sisa
Sekuele atau gejala sisa ditemukan pada 5-70% kasus, umumnya pada anak usia
dibawah 10 tahun, dan pada bayi akan lebih berat. Kekerapan terjadinya sekuele berhubungan
langsung dengan beratnya penyakit. Sekuele tersebut dapat berupa gangguan pada: [1]
1. Sistem motorik : motorik halus (72%), kelumpuhan (44%), gerakan abnormal (8%)
2. Perilaku : agresif (72%), emosi tidak terkontrol (72%), gangguan perhatian (55%),
depresi (38%)
3. Intelektual : abnormal (72%), retardasi (22%)
4. Fungsi neurologi lain : gangguan ingatan (46%), afasia (38%), epilepsi (20%),
paralisis saraf kranial (16%) dan kebutaan (2%).
2.7 Diagnosis
Seperti penyakit lain, diagnosis JE ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
klinis, dan hasil pemeriksaan laboratorium. Anamnesis yang mendukung kemungkinan
adanya infeksi oleh JEV misalnya: [1]
Anak tinggal di tempat yang memungkinkan siklus JEV berlangsung dengan baik
seperti kepadatan Culex yang tinggi, banyak babi peliharaan atau peternakan babi atau
di daerah yang sedang masa tanam padi. Atau memasuki musim penghujan.
Anak tinggal di daerah endemis JE.
Anak menderita demam tinggi, nyeri kepala yang hebat yang tidak bisa dihilangkan
dengan obat antipiretik analgesik, disertai kejang.
Gejala klinis yang mendukung adanya kecurigaan JE adalah : [1]
Keluhan dini berupa demam, nyeri kepala, kaku kuduk, kesadaran menurun, gerakan
abnormal (tremor kasar, kejang)
Keluhan dan gejala yang timbul kemudian sekitar hari ke-3-5 berupa kekakuan otot,
koma, pernafasan yang abnormal, dehidrasi, dan penurunan berat badan.
Keluhan dan gejala lainnya seperti refleks tendon meningkat, paresis, suara pelan dan
parau.
Seleksi kasus JE berdasarkan kriteria WHO (1979), dikutip dari Lubis: [1]
Demam lebih dari 38ºC
Gejala rangang meningeal (kaku kuduk, opitotonus, Laseque, Kernique, Brudzinsky I
dan II)
Gejala rangsang korteks (kejang, gerakan involunter)
Gangguan kesadaran (disorientasi, delirium, somnolen sampai koma)
Gangguan saraf otak (terutama N.IX dan N.X, berupa suara pelan dan parau)
Gejala piramidal (kelumpuhan) dan ekstrapiramidal (kekauan otot serta gerakan
involunter)
Cairan otak jernih, protein positif, glukosa <100mg/dL
2.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Akan ditemukan anemia dan leukositosis ringan, rata-rata 13.000/mL,
polimorfonuklear lebih banyak daripada mononuklear, trombositopenia ringan
dan peningkatan laju endap darah. [1]
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Pada pemeriksaan, cairan serebrospinal tampak jernih sampai
opalesens, tergantung dari jumlah leukosit, pleositosis bervariasi antara 20-
5.000/mL. Pada beberapa hari pertama tampak neutrofil dan limfosit, tetapi
setelah itu tampak limfosit dominan, kadar glukosa normal atau menurun,
sedangkan kadar protein meningkat 50-100 mg/dL. Cairan serebrospinal
jarang mengandung virus, kecuali pada kasus-kasus berat dan fatal. [1]
c. Uji serologi
Uji diagnostik baku untuk JE adalah pemeriksaan IgM Capture dengan
cara ELISA (Enzyme linked imunnosorbent assay) dari serum atau cairan
serebrospinal. Sensitivitasnya mendekati 100%, bila kedua bahan tersebut
diperiksa. Beberapa reaksi silang dapat timbul dari flavivirus lain misalnya
virus dengue, virus West Nile, pasca vaksinasi JE dan demam kuning. [1]
Immune adherence hemaglutination (IAHA)
Menggunakan spesimen serum akut dan konvalensens. Uji
IAHA dikatakan positif bila terdapat peningkatan titer antibodi sebesar
4 kali atau lebih. [1]
Uji hemaglutinasi inhibisi (HI)
Menggunakan spesimen serum akut dan konvalesens. Uji HI
dikatakan positif bila titer antibodi serum akut 1/20 atau lebih
sedangkan pada spesimen konvalesens meningkat 4 kali atau lebih.
Keunggulan cara ini adalah dapat dilakukan dengan peralatan
laboratorium sederhana, reagennya mudah didapat, serta biayanya
relatif murah. Kelemahannya adalah tidak dapat membedakan JE dari
flavivirus yang lain seperti virus dengue dan virus West Nile. [1]
Teknik konvensional lainnya seperti immunofluorecent antibody (IFA),
complement fixation (CF) juga memakai penilaian seperti di atas. [1]
Semua uji serologi diatas dapat dipakai untuk membuat perkiraan
diagnosis JE di daerah endemis, tetapi harus dipakai dengan hati-hati karena
infeksi dengue atau Flavivirus lainnya dapat menimbulkan respons serologik
reaksi silang terhadap antigen JEV. [1]
Untuk membuat diagnosis JE di daerah endemis infeksi dengue, Innis
melaksanakan uji serologi terhadap serum dan CSS dengan ELISA. Spesimen
serum dan CSS baik yang akut maupun konvalesens diperiksa IgM anti-
dengue, IgG anti-dengue, IgM anti-JE dan IgG anti-JE. Hasil dinyatakan
positif bila lebih besar dari 40 unit. Hanya spesimen dengan anti-JE IgM yang
lebih besar atau sama dengan 0 unit dapat diklasifikasikan berasal dari pasien
JE. Hasil dari semua 4 uji serologik dibandingkan, hasil rata-rata anti-dengue
IgM dengan anti-JE IgM ≥ 1 adalah khas infeksi dengue, sedangkan bila
hasilnya < 1 adalah khas untuk infeksi JE. [1]
2. Pemeriksaan Konfirmasi
a. Isolasi virus
Isolasi JEV sering didapat dari jaringan otak. Dari darah JEV dapat diisolasi
selama stadium akut, sedangkan dari CSS virus dapat diisolasi pada permulaan
ensefalitis. Isolasi JEV untuk kepentingan diagnostik kurang praktis, dan biasanya
dikerjakan untuk kepentingan penelitian. [1]
b. Pemeriksaan RT-PCR
Deteksi RNA virus JE dapat dilakukan dengan menggunakan Reverse
Transcription PCR Amplification (RT-PCR). Pada metode ini terlebih dahulu
dilakukan transkripsi terbalik RNA sasaran menjadi DNA komplemen kemudian
dilakukan amplifikasi. Dengan menggunakan oligonukleotida yang spesifik JE cara
ini dapat mendeteksi RNA virus JE dalam jumlah yang sangat sedikit. Kelemahan
metode ini adalah sangat mahal serta memerlukan tenik dan peralatan yang rumit.
Deteksi RNA virus hanya bermanfaat bila dilakukan pada fase viremia, karena bila
viremia telah berakhir, maka RT-PCR akan memberikan hasil negatif. Spesimen
untuk pemeriksaan ini bisa dari darah atau cairan serebrospinal dan dilakukan pada
minggu pertama sakit. [1]
3. Pemeriksaan Lain-lain
a. Pencitraan
Pencitraan susunan saraf pusat dapat mendukung diagnosis. Pemeriksaan MRI
dan CT-Scan sering memperlihatkan adanya lesi bilateral pada thalamus yang disertai
perdarahan. Ganglia basalis, putamen, pons, medula spinalis dan serebelum juga
terlihat abnormal. [1]
b. Pemeriksaan histologi
Pada pemeriksaan histologi terdapat perubahan pada talamus, substansia nigra,
batang otak, hipokampus, serebelum dan medula spinalis, termasuk degenerasi fokal
saraf dengan proliferasi difus dan fokal mikroglia dan perivascular lymphocytic
cuffing. [1]
c. Pemeriksaan Immunocytochemistry
Yang dimaksud dengan immunochemistry adalah pewarnaan jaringan untuk
melihat adanya protein spesifik, dalam hal ini adalah JE. Cara ini dapat mendiagnosa
kasus JE yang fatal bila uji serologi dan isolasi virus tidak dapat dilakukan. [1]
2.9 Diagnosis Banding
Manifestasi klinis JE dapat pula ditemukan pada penyakit lain terutama yang
berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat, yaitu malaria serebral, meningitis bakteri,
meningitis aseptik, kejang demam, ensefalitis oleh Flavivirus lain, rabies, sindrom Reye, dan
ensefalopati toksik. [1]
Beberapa diagnosis banding dapat disingkirkan dengan adanya tanda atau gejala yang
khas atau pemeriksaan khusus, misalnya: [1]
Meningitis TBC : uji mantoux positif, biakan BTA dari cairan serebropinal
positif
Meningitis bakterialis : cairan serebrospinal purulen
Herpes zoster : kelumpuhan saraf kranial satu sisi
Leptospirosis : ikterus, hepatosplenomegali
2.10 Pengobatan
2.10.1 Pengobatan Simtomatik
a. Menghentikan kejang
Pada saat terjadi kejang, secepatnya diatasi dengan pemberian diazepam
intravena, dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan dosis maksimal pada anak yang
berumur kurang dari 5 tahun diberikan 5mg, anak 5-10 tahun diberikan 7,5mg dan
lebih dari 10 tahun diberikan 10 mg dengan kecepatan pemberian 1mg/menit. Bila
anak tetap kejang dosis di atas dapat diulang sekali lagi setelah 15 menit. Bila tidak
tersedia diazepam intravena, bisa diganti dengan diazepam per-rektal dalam kemasan
5 mg dan 10 mg dengan ketentuan dosis seperti di atas. Bila kejang sudah berhenti
dilanjutkan dengan pemberian fenobarbital oral 5 mg/kgBB/kali dibagi dalam 2 dosis.
Bila sebelumnya pasien menunjukkan kejang lama atau status konvulsi, setelah
berhasil menghentikan kejang secepatnya diberikan bolus fenobarbital IM sebagai
dosis awal 50 mg untuk anak berumur 1 bulan-1 tahun, 75 mg untuk anak lebih dari 1
tahun. Kemudian setelah lebih dari 4 jam disusul pemberian fenobarbital oral sebagai
dosis rumatan 8mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 2 hari dan untuk
selanjutnya 4-5 mg/kgBB/hari. [1]
b. Menurunkan demam
Pemberian obat antipiretik seperti parasetamol dan asetosal. Suportif dengan
istirahat dan kompres. Aktivitas otot akan meningkatkan metabolisme dan
metabolisme yang meningkat akan menambah tinggi suhu tubuh, sehingga tinggi
rendahnya suhu tubuh antara lain sangat ditentukan oleh aktivitas otot. Dengan
demikian perlu istirahat untuk mengurangi peningkatan suhu. [1]
2. 10.2 Mencegah dan Mengobati Tekanan Intrakranial Meninggi
a. Mengurangi edema otak
Pemberian deksametason IV dengan dosis tinggi 1mg/kgBB/hari dalam 4
dosis diberikan beberapa hari dan diturunkan secara perlahan bila tekanan intrakranial
menurun. Di samping itu deksametason dapat memperbaiki integritas membran sel.
Obat lain yang dapat menurunkan tekanan intrakranial adalah manitol hipertonik 20%
dengan dosis 0,25-1 gr/kgBB melalui infus intravena selama 10-30 menit dapat
diulangi tiap 4-6 jam. Obat ini dapat menarik cairan ekstravaskulr ke dalam pembuluh
darah otak. Untuk meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah balik, anak
ditidurkan setengah duduk dalam posisi netral dengan kepala lebih tinggi 20-30º
sehingga terjadi penurunan tekanan intrakranial. [1]
b.Mempertahankan fungsi metabolisme otak
Mempertahankan fungsi metabolisme otak dengan cara pemberian cairan yang
mengandung glukosa 10%, sehingga kadar gula darah menjadi normal, 100-150
mg/dL. Hindari peningkatan metabolisme otak dengan jalan mencegah sehingga
jangan sampai terjadi hipertermia dan serangan kejang. [1]
2.10.3 Pengobatan Penunjang
a. Perawatan jalan nafas
Perawatan jalan nafas terutama pada saat serangan kejang, anak diletakkan
dalam posisi miring ke arah kanan dengan kepala yang lebih rendah 20º dari badan
untuk menghindari terjadinya aspirasi lendir atau muntahan. Bebaskan jalan nafas,
pakaian dilonggarkan, bila perlu dilepaskan. Lilitan kain di leher dilepaskan, isap
lendir atau bersihkan mulut dari lendir. Perawatan pernapasan dapat dilakukan dengan
memperhatikan pernafasan supaya tetap teratur. Bila terdapat kegagalan pernafasan
minimal kita dapat melakukan pernafasan buatan dan kalau memungkinkan dilakukan
intubasi endotrakeal dan pernafasan dibantu dengan ventilator mekanik. Selama
melakukan perawatan jalan nafas dan perawatan pernafasan, pemberian oksigen
sangat mutlak diperlukan. [1]
b. Perawatan sistem kardiovaskular
Perawatan kardiovaskular ditujukan untuk mengetahui adanya kegagalan
kardiovaskular. Secara rutin dan seksama diperiksa frekuensi nadi, pengisian nadi,
tekanan darah dan keadaan kulit terutama ekstremitas atas dan bawah. Bila terdapat
tanda-tanda syok perlu secepatnya diatasi. [1]
c. Pemberian cairan intravena
Pemberian cairan intravena bertujuan untuk mengatur keseimbangan cairan dan
elektrolit. Pemberian jumlah cairan harus ketat mengingat adanya tekanan intrakranial
meninggi. Dicegah jangan sampai terjadi hipokalsemia dan gangguan elektrolit
lainnya. [1]
d. Pemberian antibiotik
Antibiotik tetap diberikan selama belum bisa menyingkirkan kemungkinan
meningitis bakterialis. Dalam keadaan kesadaran menurun dan dalam keadaan koma,
ampisilin tetap diberikan untuk mencegah infeksi sekunder. Sampai sekarang belum
ada obat anti virus JE. [1]
2.11 Pencegahan
2.11.1 Pemberian Imunisasi
Terdapat 2 jenis vaksin JE, yaitu :
a. Vaksin hidup yang dilemahkan (a live attenuated vaccine)
Vaksin dibuat antara lain dari biakan sel ginjal hamster. Dari hasil uji
coba klinis pada manusia vaksin ini cukup aman dan efektif. Pemberian
vaksin pada anak umur kurang dari 1 tahun, pertama kali diberikan 2 dosis
vaksin yang diinaktifkan, 1 tahun kemudian diberikan vaksin hidup yang
dilemahkan dan 1 tahun berikutnya diberi imunisasi ulangan dengan
vaksin hidup yang dilemahkan, selanjutnya tiap 3 tahun diberikan vaksin
hidup yang dilemahkan. Vaksin JE telah dipergunakan secara rutin di
Jepang dan Cina. [1]
b. Vaksin dari virus mati (inactivated vaccine)
Inactivated mouse brain vaccine
Suspensi virus dibuat dari jaringan otak tikus yang diinokulasi
dengan JE galur Nikayama. Vaksin ini secara luas telah dipakai di
Jepang, Thailand, Taiwan dan India. Imunisasi dasar, dosis dan
cara pemberiannya sebagai berikut: anak umur kurang dari 3 tahun
imunisasi pertama diberikan 0,5 ml secara subkutan, imunisasi ke-2
diberikan dosis dan cara yang sama dengan imunisasi pertama
dengan interval 1 tahun dari imunisasi pertama. Anak berumur
lebih dari 3 tahun cara dan interval oemberiannya sama dengan
anak yang berumur kurang dari 3 tahun, hanya dosisnya berbeda
yaitu 1 ml untuk masing-masing imunisasi. Imunisasi ulangan
diberikan pada anak yang berumur kurang dari 3 tahun dengan
dosis 0,5 ml secara subkutan, sedangkan anak yang berumur lebih
dari 3 tahun dosisnya 1 ml subkutan. Imunisasi booster diberikan
tiap 3-4 tahun. [1]
Vaksin dibut dari kultur sel ginjal hamster. Produksi vaksin ini
terbatas karena jumlah hamster yang terbatas. [1]
2.11.2 Menghindarkan Manusia dari Gigitan Nyamuk Culex
Nyamuk Culex menggigit manusia mulai menjelang malam hari sampai besok
paginya, oleh karena itu perlu tidur memakai kelambu atau mempergunakan repelan
dalam bentuk cairan atau krim yang dipakai pada bagian tubuh manusia yang terbuka
atau memakai obat pembasmi nyamuk. [1]
2.12 Prognosis
Prognosis JE tergantung dari beberapa faktor antara lain : [1]
1. Usia. Pada anak kecil akan didapatkan gejala sisa yang lebih sering dan lebih banyak
ragamnya daripada anak yang lebih besar.
2. Gejala klinis. Gejala sisa yang timbul sangat erat kaitannya dengan berat ringannya
gejala pada stadium akut. Demam tinggi yang berlangsung lama, kejang yang hebat
dan sering, depresi pernafasan yang timbul dini akan mengakibatkan prognosis buruk.
3. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal. Kadar protein yang tinggi prognosisnya
kurang baik.
2.13 Mortalitas & Morbiditas
Rasio laki-laki : perempuan yang terinfeksi adalah 1,5 : 1 untuk gejala simtomatik,
dan hanya 1 dari setiap 250 infeksi akan memberikan gejala simtomatik. Dalam 1 tahun
terdapat 33-50% pasien dengan gejala simtomatik meninggalkan gejala sisa neurologis
berupa kejang, parese saraf kranial atau motorik, atau kelainan gerakan. Riwayat infeksi
terhadap infeksi dengue menurunkan morbiditas dan mortalitas karena terbentuknya proteksi
parsial hasil reaksi silang antibodi antiflavivirus. [1]
Mortalitas dengan penanganan intensif sebesar 5-10%, bahkan di negara berkembang
tingkat mortalitas dapat mencapai 35%. Di seluruh dunia dilaporkan 10.000 kematian setiap
tahunnya. [1]
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA