21
ABSTRAK Pendahuluan Laryngopharyngeal reflux (LPR) merupakan penyakit yang cukup sering dan umum ditemui di bagian THT. Tujuan Untuk meninjau literatur terkait diagnosis dan pengobatan dari LPR Sintesa Data LPR dikaitkan dengan gejala berupa iritasi laring seperti nyeri tenggorokan, batuk, dan rasa tidak nyaman di tenggorokan. Metode diagnosis utama yang saat ini digunakan adalah laryngoscopy dan monitoring pH. Tanda yang sering dijumpai dari pemeriksaan laryngoscopy berupa tenggorokan yang membengkak dan kemerahan. Namun, temuan ini tidak spesifik untuk LPR dan dapat dihubungkan dengan penyebab lain dan bahkan bisa ditemukan juga pada orang yang sehat. Selain itu, peran dari monitoring pH untuk diagnosis LPR masih diperdebatkan. Uji terapeutik dengan menggunakan proton pump inhibitors (PPI) yang sudah dianjurkan terbukti hemat biaya dan berguna untuk pasien dengan kecurigaan mengalami LPR berdasarkan dari penelitian tanpa kontrol, dan tingkat respon placebo yang tinggi menunjukkan patofisiologi yang lebih kompleks dan multifaktorial terkait LPR dibandingkan refluks asam yang biasanya. Penelitian molekukar yang mencoba untuk mengidentifikasi biomarker dari refluks seperti interleukin, carbonic anhydrase, E-cadherin, dan mucin.

Jurnal Tedi LPR

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sefdgrt

Citation preview

Page 1: Jurnal Tedi LPR

ABSTRAK

Pendahuluan

Laryngopharyngeal reflux (LPR) merupakan penyakit yang cukup sering dan umum ditemui

di bagian THT.

Tujuan

Untuk meninjau literatur terkait diagnosis dan pengobatan dari LPR

Sintesa Data

LPR dikaitkan dengan gejala berupa iritasi laring seperti nyeri tenggorokan, batuk, dan rasa

tidak nyaman di tenggorokan. Metode diagnosis utama yang saat ini digunakan adalah

laryngoscopy dan monitoring pH. Tanda yang sering dijumpai dari pemeriksaan

laryngoscopy berupa tenggorokan yang membengkak dan kemerahan. Namun, temuan ini

tidak spesifik untuk LPR dan dapat dihubungkan dengan penyebab lain dan bahkan bisa

ditemukan juga pada orang yang sehat. Selain itu, peran dari monitoring pH untuk diagnosis

LPR masih diperdebatkan. Uji terapeutik dengan menggunakan proton pump inhibitors (PPI)

yang sudah dianjurkan terbukti hemat biaya dan berguna untuk pasien dengan kecurigaan

mengalami LPR berdasarkan dari penelitian tanpa kontrol, dan tingkat respon placebo yang

tinggi menunjukkan patofisiologi yang lebih kompleks dan multifaktorial terkait LPR

dibandingkan refluks asam yang biasanya. Penelitian molekukar yang mencoba untuk

mengidentifikasi biomarker dari refluks seperti interleukin, carbonic anhydrase, E-cadherin,

dan mucin.

Kesimpulan

Laryngoscopy dan pH monitoring dianggap gagal sebagai pemeriksaan untuk diagnosis LPR.

Terapi empiris dengan menggunakan PPI saat ini banyak diterima untuk uji diagnosis dan

pengobatan LPR. Namun, penelitian lebih lajut masih dibutuhkan untuk mengembangkan uji

diangosis definitif terhadap LPR.

Page 2: Jurnal Tedi LPR

Pendahuluan

Laryngopharyngeal reflux (LPR) didefinisikan sebagai aliran retrograde dari cairan lambung

ke bagian laring dan faring dimana cairan ii mengalami kontak dengan tractus aerodigestif.

Sebaliknya, gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan aliran asam lambung yang

kembali ke bagian esofagus. Acid reflux disease sering terjadi dan GERD serta LPR

merupakan peny it epidemik. Berdasarkan El-Serag, tingkat kejadian dari reflux disease

(GERD dan LPR) meningkat sektiar 4% setiap tahunnya sejak 1976, dan data dari National

Cancer Institute di Amerika Serikat menunjukkan adanya peningkatan prevalensi kanker

esofagus hingga 600% dibandingkan tahun 1975. Altman et al melaporkan tedapat 500%

peningkatan kunjungan ke bagian THT akibat LPR antara tahun 1990 dan 2—1. Selain itu,

diperkirakan bahwa LPR lebih sering terjadi pada 50% pasien yang mengalami dysphonia

LPR sering dikaitkan dengan etiologi dari berbagai penyakit laring seperti reflux laringitis,

subglotic stenosis laryngeal carcinoma, granuloma, contact ulcers, dan vocal enodules. Pasien

dengan LPR dapat mengalami gejala berkepanjangan jika dokter tidak dapat menegakkan

diagnosis karena tanda dan gejala dari penyakit ini bersifat nonspesifik dan dapat dikaitkan

dengan etiologi lainnya seperti infeksi, gangguan suara, alergi, merokok, inhalasi iritan,

peminum berat, atau penyebab nonpatologis lainnya. Namun, jika dihubungkan bersama,

tanda dan gejala penyakit ini dapat dijadikan indikator kuat untuk penyakit refluks

Tinjauan Pustaka

Efek yang membahayakan

Barrier Fisilogis (Pelindung fisiologis)

Pelindung fisiologis terhadap LPR termasuk sfingter esofageal bawa, fungsi pembersihan

esofagus yang melibatkan gerakan peristaltik esofagus, saliva dan gravitasi, dan sfingter

esofageal atas. Ketika pelindung ini gagal mengatasinya, maka isi perut akan mengalami

kontak langsung dengan jaringan laryngopharyngeeal, dan menyebabkan kerusakan pada

epitel, disfungsi slia, inflammasi, dan menurunkan sensitifitas. Anhydrase carbonic tipe III

dipercaya berperan dalam fungsi protektif pada epitel di laring dengan mengaktifkan sekresi

dari bicarbonat, mengatur pH terhadap respon dari refluks asam. Hipotesis ini juga ddukung

dimana enzim ini tidak ditemukan pada 64% biopsi jaringan laring dari pasien dengan LPR.

Page 3: Jurnal Tedi LPR

Asam

pH dari faring bersifat netral (pH 7), dimana pH asam lambung berkisar dari 1.5-2.

Kerusakan pada faring terjadi akibat penurunan dari kadar pH dan paparan dari kompoen

refluks seperti pepsin, garam empedu, dan enzim pankreas. Di esofagus, 50 episode refluks

setiap harinya asih dipertimbangkan sebagai normal, dimana laring dapat rusak setelah tiga

episode refluks. Namun, efek dari asam terhadap laring masih belum jelas dan beberapa

penelitian masih dibutuhkan terkait kombinasi dari asam dan pepsin yang dapat

menyebabkan kerusakan laring.

Pepsin

Refluks nonacid dikaitkan dengan inflammasi akibat LPR dan GERD. Pemantauan pH

mendeteksi bahwa serangan dari refluks asam lambung lemah atau nonacid pada pasien

dengan gejala ini, ditemukan adanya kompenen seperti pepsin dan garam empedu dapat

menyebabkan kerusakan mukosa. Bukti menunjukkan bahwa pepsin ditrasport secara aktif ke

sel epitel laringeal dan tetap stabil pada pH 7.4, namun menjadi tidak aktif pada pH 8. Setelah

pepsin diaktifkan kembali dengan penurunan pH dari 7.4 ke 3, 72% peptin tetap aktif.

Aktifitas pepsin yang optimal terjadi pada pH 2. Penelitian sebelumny menunjukkan bahwa

agen penyebab dari kerusakan laring adalah refluks nonacid. Pada sekitar pH 6..8, laring

dapat mengandung pepsin stabil yang akan direaktifasi saat episode refluks atau dengan ion

hidrogen yang berasal dari sumber manapun, termasuk sumber makanan. Selain itu, terdapat

bukti yang menunjukkan bahwa pepsin dapat menyebabkan kerusakan intrasel karena

komponen sel seperti kompleks Golgi dan Lysosom mempunyai pH yang rendah (5.0 dan

4,0). Pada penelitian Johnston et al, pepsin intrasel terdeteksi dengan analisis Western bolt

terhadap biopsi laring pada 19 dari 20 pasien kontrol. Adanya pepsin pada jaringan dikaitkan

dengan penurunan dari protein protektif seperti anhydrase carbonic, E-cadherin, dan Sep 70

(protein stressor epitel). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkata pepsin diatas

genetic marker level dikaitkan dengan kanker.

Garam Empedu

Refluks dari cairan duodenal-gastric mengandug garam empedu dan hasil sekresi pankreas

dan bisa mencapai laring. Empedu terkonjugasi dapat menyebabkan kerusakan mukosa pada

pH rendah (1.2 hingga 1.5). Asam empedu chenodeoxycholic dapat diaktivasi pada pH 7 dan

tidak aktif pada pH 2. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa asam empedu

terkonjugasi dapat menyebabkan kerusakan mukosa yang lebih pada pH asam sementara

Page 4: Jurnal Tedi LPR

asam chenodeoxycholic aktif pada pH 5-8. Pada penelitian ini, mukosa laring dari tikus yang

dipaparkan dengan asam taurocholic dan chenodexycholic pada pH 1.57.4 dan hasilnya

dibandingkan dengan tikus kontrol yang dipaparkan dengan saline. Asam Taurocholic lebih

banyak menyebabkan kerusakan mukosa pada pH 1.5, sementara asam chenodeoxycholic

dapat menyebabkan inflammasi maksimum pada pH 7.4. Penelitian ini menunjukkan bahwa

empedu dapat menyebabkan inflammasi laringeal pada kondisi pH asam atau non-asam.

Namun, tidak ada bukti yang sama terkait mekanisme yang terjadi di laring manusia.

Gejala

Koufman menyatakan bahwa sangat penting untuk mengenali LPR dan GERD sebagai

penyakit yang berbeda. Dalam penelitian Kaufman yang memasukkan 899 pasien,

tenggorokan yang licin (throat clearing) tedapat pada 87% pasien dengan LPR vs 3% pasien

dengan GERD. Di lain sisi, hanya 20% pasien dengan LPR yang dilaporkan mengalami

heartburn (nyeri seperti rasa terbakar di dada) dan sensasi terbakar dibandingkan dengan 83%

pada kelompok pasien GERD.

Gejala yang paling sering dari LPR adalah mukosa yang licin (thorat clearing) pada

tenggorokan, batuk, rasa tidak nyaman, dan globus pharyngeus (“rasa mengganjal di

tenggorokan”). Suara serak biasanya dijadikan gejala berulang yang terjadi pada pagi hari

dan membaik pada saat siang hari. Belafsky et al mengembangkan 9 buah

pertanyaaan(Reflux Symptom Index [RSI]) untuk penilaian dari gejala pada pasien dengan

penyakit refluks yang dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 1 menit. Skala dari setiap

pertanyaan individual berkisar dari 0 (tidak ada masalah) hingga 5 (masalah berat), dengan

skor maksimum 45 (Tabel 1). Penulis menyimpulkan bahwa questionare ini menunjukkan

reproduktibilitas dan validitas untuk diagnosis dari Refluks jika Skor RSI > 13 yang

dinyatakan abnormal. Nilai RSI lebih tinggi pada pasien LPR yang tidak diobati

dibandingkan dengan pasien kontrol (p < 0.001). Penulis juga menyimpulkan bahwa

questionare ini menunjukkan reproduksibilitas dan validitas karena akurasinya dalam

mencatat perbaikan gejala dari pasien dengan LPR. Salah satu tantangan dari diagnosis LPR

dimana gejala dari penyakit LPR masih kurang spesifik untuk memastikan LPR dan untuk

menyingkirkan etiologi lainnya Faktanya, beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang

buruk antara gejala LPR terhadap temuan laringeal dan pencatatan pH hyprofaringeal.

Page 5: Jurnal Tedi LPR

Metode Diagnosis

Laryngoscopy

Pemeriksaan Laryngoscopy dapat digunakan untuk mendaignosis refluks dengan gejala

nonspesifik seperti iritasi dan inflammasi laring. Pemeriksaan laring dapat mengidentifikasi

edema dan eritema, terutama pada daerah posterior. Gejala ini merupakan temuan utama yang

digunakan leh barbagai pemeriksa untuk mendiagnosis LPR. Granuloma, contacnt ulcers, dan

pseduosulcus (infraglottic edema) juga sering ditemukan, dan terpantau pada 90% kasus

LPR. Laryngoscopy sangat penting adanya hubungan terhadap LPR dan Kanker. Refluks

juga menunjukkan adanya hubungan dengan stenosis subglotic, laryngospasme, obstruktif

sleep apneu, bronkiektasis, dan rhinitis dan rhinosinusitis kronik. Selain itu, berdasarkan

beberapa peneliti, temuan ini juga dapat ditemukan pada pasien sehat, dan dengan tipe

endoskop yang dikaitkan dengan warna dari eritema. Selain itu, karena pemeriksaan ini

tergantung dari pemeriksanya, kemungkinan terdapat variasi yang membuat diagnosis LPR

bersifat subjektif.

Dalam rangka mengidentifikasi tanda spesifik pada laryngoscopi terhadap LPR, Belafsku et

al mengembangkan Reflux Finding Score(RFS) berdasrkn temuan dari laryngoscopy

fiberoptic. Saka ini mengevaluasi delapan item yang mengandung temuan laryngoskopy

kebanyakan pada pasien dengan LPR yaitu subglottic edema, ventricular obiliterasi, eritema

atau hiperemis, vical fold edema, generalized larungeal edema, commissure hypertrophy,

jaringan granuloma atau granulasi dan peningkatan mukus pada laring. Setiap item dinilai

berdasarkan tingkat keparahan, lokasi, ada atau tidaknya gejala, dimana total skor adalah 26.

Pasien yang mempunyai skor 7 atau lebih diklassifikasikan mengalami LPR. Pada penelitian

ini, skala ini menunjukkan reproduktibilitas yang baik dan walaupun setiap item masih belum

bisa digunakan untuk memprediksi ada atau tidaknya LPR, total skor RFS dapat

memperlihatkan pasien dengan LPR jika pasien memupnyai skor lebih tinggi dari 7. Selain

itu, skala ini berguna untuk mengevaluasi efsiensi terhadap pengobatan pada pasien dengan

LPR (Tabel 2)

Hubungan antara temuan laringeal, gejala, dan pemantauan pH masih dinyatakan lemah. Hal

ini sudah dilaporkan dimana temuan ini biasanya dikaitkan dengan LPR dan juga dapat

ditemukan pada 86% pasien kontrol yang sehat, seperti yang ditunjukkan laporan dari Hicks

et al.

Page 6: Jurnal Tedi LPR

Karena hal, tanda laringeal tidak terlalu spesifik terhadap LPR, yang dapat menjleaskan

mengapa pasien pada awalnya didiangosis dengan reflux-related laryngitis sering tidak

menunjukkan respon terhadap pengoatan. Terkait LPR, penelitian lebih lanjut masih

dibutuhkan untuk menunjukkan tanda yang spesifik. Pada satu penelitian, lesi vocal lebih

sering menjadi tanda spesifik untuk LPR, dengan spesifissitas 91% dan 88% mengalami

respon terahadap terapi proton pump inhibior (PPI)

Hal ini harus diperhatikan, namun, anamnesis lengkap dan laryngoscopy juga penting untuk

pemeriksaan standar pada kasus LPR, terutama karena tidak ada gold standar untuk diagnosis

penyakit ini.

Pemantauan pH

Kejadian refluks dapat diperagakan dengan menggunakan multichannel intraluminal pH

monitoring. Metode ini dapat mendeteksi cairan asam atau nonasam atau gas. Terdapat

kontroversi, dimana LPR lebih sering terjadi ketika pH berkisar <4 saat atau sesegera

mungkin setelah pemaparan asam distal (di dekat sfingter esogafeal bawah) dan LPR

dipastikan ketika total paparan asam (persentase paparan dalam 24 am pemantauan ketika

sensor mendteksi pH <4) adalah >1%. Multichanncel intralumnal impendance pH monitoring

berguna untuk diagnosis LPR namun metode ini sangat bervariasi dan tidak ada konsensus

yang mengaitkan definisi dari pH abnormal itu sendiri. Sataloff et al mendefinisikan variasi

biologis pada setiap individual. Sensitifitas daingosis dari hypophyaringel pH monitoring

hanya 40%. Selain itu, pemantauan pH juga menunjukkan indikator lemah terhadap tanda

keparaha dan gejala pada pasien yang terkena penyakit ini. Analis Meta dari 16 penelitian

menunjukkan bahwa jumlah faring dengan refluks positif yang diadakan pemantauan pH 24

jam menunjukkan hasil yang berbeda diantara pasien LPR dan kontrol. Ketika menggunakan

kombinasi dari laryngoscopy dan RFS, pemantauan pH dapat berperan untuk

mengidentifikasi respon potensial terhadap pemberian PPI. Namun meta analysis lainnya

yang memasukkan 11 penelitian menemukan tidak ada perbedaan antara prevalensi dari

refluk faringeal yang diukur dengan pemantauan pH antara pasien LPR dan kontrol, dan

hanya ada sejumlah kecil pasien yang didiagnosis mengalami refluks secara klinis yang

mengalami refluks faringeal.

Page 7: Jurnal Tedi LPR

Pengobatan empiris

Karena terdapat perdebatan dari kriteria diagnosis dari LPR, pengoabtan empiris dengan

menggunakan PPI sudah digunakan sebagai modal diagnostik alnternatif dimana respon

terhadap pengobatan ini didefinisikan sebagai konfirmasi dari diagnosis LPR. Pengobatan

LPR memasukkan pemberian PPI 2x/hari selama 2-3 bulan. Kebanyakan penelitian

mempertimbangkan respon perbaikan terhadap PPI ketika pasien melaporkan adanya

pengurangan gejala LPR

Pengobatan

Pengobatan LPR termasuk perubahan pola makan dan perilaku seperti menurunkan berat

badan, berhenti merokok, menghindari alkohol, dan tidak makan sebelum tidur. Pemabatasan

makanan seperti kafein, coklat, sayuran yang mengandung gas, lemak, saus tomat, dan red

wine. Modifikasi ini menunjukkan adanya respon independet terhadap pengobatan

medikamentosa.

Selain itu, kebanyakan obat yang digunakan untuk LPR adalah PPI, yang dapat mengurangi

produksi asam dengan bereaksi langsung pada H-K ATPase di sel parietal. PPI mungkin tidak

hanya mencegah pemparan asam terhadap tractus aerodigestif atas, namun juga mengurangi

kerusakan yang disebabkan oleh aktifitas enzim pepsin, yang membuduhkan medium asam

untuk aktivasinya.

Bukti klinis menunjukkan bahwa intervensi farmakologis harus dipertahankan setidaknya 3

bulan pengobatan dengan pemberian PPI 2x/hari (40 mg omeprazole atau PPI dengan dosis

yang sama), 30-60 menit sebelum makan. Periode ini sangat penting karena dapat

menyediakan kosentrasi tertinggi obat saat periode stimulasi dari pompa proton akibat

konsumsi makanan.

Berkebalikan dengna GERD, respon terapeutk dari pasien dengan LPR terhadap PPI masih

bervariasi, karena LPR membutuhkan terapi yang lebih agresif dan berkepanjangan

dibandingkan GERD. Walaupun kebanyakan pasien menunjukkan adanya perbaikan gejala

dalam 3 bulan, perbaikan gejala dan temuan laringeal biasnaya membutuhkan waktu 6 bulan.

Keragaman respon ini juga terjadi akibat kegagalan penelitia untuk menetapkan kriteria

inklusi dan untuk membagi kelompok berdasarkan tingkat keparahan, kurangnya kontrol

yang adekuat, dan perbedaan dari durasi dan dosis terapi.

Page 8: Jurnal Tedi LPR

Penelitian sudah pernah mencoba untuk menetapkan beberapa standar. Tingkat kegagalan

yang bermakna sudah dilaporkan ketika penggunaan terapi Ppi dengan dosis tunggal

diterapkan, dan kebanyakan penelitian mengambil pola pemberian 2x/hari. Pada penelitian

Park et al, respon terhadap pengobatan PPI 2x/hari dipantau pada 50% pasien setelah 2 bulan

pengobatan, dimana hanya 28% pasien yang menerima dosis tunggal yang menunjukkan

respon terhadap pengobatan. Pada kelompok dosis tunggal, 54% pasien tidak mnunjukkan

perbaikan dari gejala setelah peambahan periode pengobatan selama 2 bulan. Setelah 4 bulan

pengobatan dengan dosis 2x/hari, 22% pasien lagi mengalami perbaikan, dan menghasilkan

tingkat respon terapi mencapai 70% setelah 4 bulan pengobatan dengan dosis 2x/hari

Pengobatan maksimal antirefluks mengandung pemberian kombinasi dari PPI 2x/hari

(sebelum sarapan dan makan malam) dan H2 receptor antagonist sebelum tidur.Walaupun

regimen ini dapat menyebabkan penekanan asam lambung yang lebih hebat dibandingkan

dengan pengobatan sebelumnya, tingkat kegagalannya masih juga bermakna (10-17%)

Penelitian yang menganalisa efisiensi dari terapi PPI ada pasien dengan LPR menunjukkan

pola yang berbeda terkait respon, dan kemungkinan disebabkan oleh variasi dari kriteria

inklusi dan prevalensi nyata dari LPR. Kebanyakan penelitian tanpa kontrol menunjukkan

tingkat respon PPI mencapai 70%. Sebaliknya, kebanyakan penelitian dengan kontrol

menemukan tidak ada keuntungan dari penggunaan PPI bila dibandingkan dengan placebo.

Hasil yang berbeda dilaporkan pada tiga penelitian kontrol terbaru. Fass et al menyatakan

tidak ada perbedaan antara parameter acoustic atau persepsi suara antara pasien dengan LPR

yang diobati dengan esomeprazole dan placebo. Serupa dengan Fass, Shaheen et al

menemukan tidak ada perbedaan antara batuk kronik pad apasien tanpa sensasi terbakar yang

menggunakan esomeprazole dan placebo. Sebaliknya, pada penelitian Lam et al yang

melibatkan 24 pasien dengan LPR, rabeprazole lebih baik dibandingkan placebo dalam hal

perbaikan gejala setelah 12 minggu pengobatan. Pada penelitian kontrol randomisasi yang

memasukkan pasien dengan postnasal drip sebagai gejala utama, Pengobatan PPI lebih baik

dibandingkan penggunakan placebo.

Page 9: Jurnal Tedi LPR

Dalam pandangan beberapa hasil yang berbeda dan keragaman pasien, banyak pasien yang

tidak mengalami LPR, namun menunjukkan respon tinggi terhadap penggunaan placebo

sebagaimana yang terpantau pada penyakit inflammasi lainnya atau gangguan fungsional

gastrointestinal. Namun, kosensus umum menunjukkan bahwa pengobatan empiris awal

dengan penggunakan Ppi 2x/hari selama 2-3 bulan. PPI dapat mengurangi volume dari

refluks asam, namun relfuks non-asam masih dapat terjadi. Cairan alginate yang diminum

secaa oral dapat bereaksi terhadap asam di lambung dan menghasilkan “penghubung” yang

bekerja sebagai pelindung terhadap refluks itu sendiri. Hal ini dapat menjadi pengobatan non-

bedah yang dapat mengurangi penyakit refluks acid dan non-acid. Alginates bekerja secara

cepat, bekerja jangka panjang dan tidak mahal, serta tidak mempunyai efek samping yang

bermakna

Pembedahan

Laparaskopi atau Nissen fundoplication dapat dijadikan pengobatan bedah terhadap GERD

dan merupakan prosedur yang berguna dan menunjukkan hasul baik. Namun peran dari

penaganan ini terhadap LPR masih belum pasti. Penelitian terberu yang merevisi serial dari

pasien yang akan melakukan fundoplication dan menunjukkan adanya perbaikan yang serupa

pada pasien degnan temuan laringeal dan gejala dari GERD dan pada pasien dengan gejala

tipikal. Sebaliknya, hasil yang tidak memuaskan didapatkan pada pasien dengan gejala

laringeal ekslusi, namun pemantauan pH untuk refluks, menunjukkan adanya kemungkinan

terjadinya gejala yang tidak diakitkan dengan refluks pada kebanyakan dari pasien ini. Hal ini

menunjukkan bahwa Nissen fundoplication tidak boleh dilakukan ada pasien yang resisten

terhadap PPI. Selain itu, salah satu penelitian menunjukkan bahwa hanya 10% dari pasien

yang menunjukkanrespon terhadap Nissen fundoplication setelah kegagalan dari terapi PPI,

dan tingkat respon ini tidak berbeda dari kelompok yang tetap menggunakan PPI (7%).

Sataloff et al melaporkan hasil positif setelah pembedah pada pasien yang sudah menjalani

operasi akibat reflux noncaid.

Page 10: Jurnal Tedi LPR

Penelitian Terbaru

Diet Nonacid dan Air Alkaline

Koufman menyatakan bahwa pepsin, yang berlokasi di jaringan laryngeal, dapat diaktifasi

dengan derivat ion hyndogren eksogen dari berbagai sumber, termasuk makanan.

Berdasrakan hal ini, penulis melakukan penelitian yang memasukkan pasien dengan LPR dan

resisten terhadap pengobatan PPI. Pasien menerima diet pembatasan non-acid selama 2

minggu dan gejala membaik pada 95% pasien. Penulis juga mendemonstrasikan bahwa

pepsin dapat diinaktifiasi irreversibel dengan menggunakan air alkaline dengan pH 8.8, dan

menunjukkan keuntungan terapeutik terhadap penggunaan air alkaline pada pasien dengan

penyakit refluks.

Biomarker Reflux

Sitokin Inflammasi

Marker multipel dikaitkan dalam inflammasi dari mukosa esofagus yan menyebabkan

refluks. GERD dapat menyebabkan pengeluaran dari interluekin (IL)-6, sitokin yang terlibat

dalam inflammasi mukosa dan dapat menyebabkan refluks. IL- juga diketahui memainkan

peran dalam inflammasi akut dan respon immune tubuh. Kadar IL-6 esifagus meningkat

berdasarkan tingkat refluks dan menurun setelah pengobatan GERD. IL-6 tampaknya dapat

dijadikan indikator untuk inflammasi mukosa yang dikaitkan dengan refluks. Peningkatan

dari IL-8 juga dikaitkan dengan refluks, terutama pada mukosa esofagus dengan dysplasia

Barretts dan adenocarcinoma. Penurunan dari kadar IL-8 dipantau setelah pembedahan

antirefluks. Penelitian in vitro menunjukkan adanya peningkatan ekspresi dari IL-8 dan

marker inflammasi lainnya ketika terpapar dengan pepsin.

Carbonic Anhydrase

Carbonic anhydrase merupakan komponen pelindung mukosa yang merupakan katalis dari

hydrasi karbon dioksida, dan menghasilkan bikarbonat yang dapat menetralisir refluks asam

di rongga ekstraseluler. Pada esofagus, carbonic anhydrase menetralisir relfuks asam hingga

netral. Peningkatan dari carbonic anhydrase III dapat terjadi akibat huperplasia epitel, yang

merupakan tanda histopatologis dari esophagitis. Pada pasien dengan LPR, perbedaan dari

tingkat carbonic anhydrase III yang dipantau antara lokasi biopsi yang berbeda. Dengan

adanya LPR dan pepsin, penurunan pempaaran carbonic anhydrase III terjadi di voal folds,

dan dapat memperburuk kerusakan akiabt asam, dan peningkatan komisura posterior pada

Page 11: Jurnal Tedi LPR

laring, yang diobservasi mempunyai hubungan antara tingkat keparahan gejala dan tingkat

dari enzim ini sendiri.

E Cadherin

E-Cadherin memainkan peran penting dalam memelihara integritas dan fungsi pelindung

epitel. Pepsin dapat mencerna struktur intrasel yang bertanggung jawab terhadap kohesi

intraseluler. Kadar E-cadherin jua menunjukkan pengurangan respon terhadap LPR, namun

asih belum jelas apakah penurunan ini diakibatkan komponen refuks (asam atau pepsin) atau

dikarenakan respon inflammasi akibat refluks. Terdapat bukti yang kuat bahwa E-caderin

merupakan tumor supresor dan bahwa pengurangan dari protein ini dapat menyebabkan

invasi tumor

Mucin

Mucin merupakan glucoprotein yang terdapat di berbagai tipe sel epitel untuk mengatur

perubahan pH, kosentrasi ion, hidrasi, dan oksigenasi. Fungsi dari musin termasuk

perlindungan, lubrikasi, transport, pembaharuan, dan diferensiasi dari epitel, modulasi siklus

sel, adhesi, dan mengirimkan sinyal sen transduksi. LPR dapat mengurangi sekresi dari

mucin, dan menyebabkan gangguan proteksi epitel. Pengurangan sekresi esofageal mucin

diamati pada pasien dengan refluks esophagitis

Pembahasan

LPR menjadi penyakit yang sering ditemukan di bagian THT. Sejumlah penelitian sudah

dipublikasikan berdasarkan literatur medis dalam beberapa tahun terakhir, namun masih

terdapat perdebatan terkait LPR. Walauupun tidak spesifik, gejala kombinasi dan temuan

karakteristik laringoscope dapat menjadi gejala LPR. Namun, peneliti masih menemukan

keragaman dari temuan laringoskop terhadap refluks diantara pemeriksa.

Pemantauan pH 24-jam sedang dipertanyakan, dan tidak terdapat kosensus yang adekuat

untuk pemeriksaan dan intepretasi dari hasil nya. Kombinasi dari gejala, temuan laringoskop,

dan terapi empiris PPI menimbulkan perbaikan gejala dan digunakan untuk diagnosis LPR.

Namun, jika uji terapi gagal, penyakit lain harus diperiksa atau dipertimbangka bahwa

komponen refluks selain asam merupakan penyebab dari tanda dan gejala pasien ini.

Penelitian menunjukkan bhwa tidak hanya refluks asam yang menyebabkan kerusakan pada

LPR, naun pepsin dan asam empedu juga dapat menjadi agen penyebab inflammasi.

Page 12: Jurnal Tedi LPR

Terutama pepsin yang meningkatkan kerusakan akibat penyakit refluks, dimana penelitian

menunjukkan bahwa adanya pepsin intrasel dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan

laringeal, jika diaktifkan dengan ion hydrogen (refluks asam) atau hydrogen eksogen dari

berbagai sumber termasuk diet.

Penelitian molekuar sudah dicoba untuk mengidentifikasi biomarker dari refluks seperti IL,

carbonic anhydrase, E-cadherin, dan mucin. Data yang ada dari penelitian ini menjelaskan

peran dari biomarker tidak hanya berasal dari mekanisme pertahan mukosa namun juga

progresi tumor. Data yang diambil dari penelitian kontrol menunjukkan hasil dari terapi PPI

dbandingkan pengobatan placebo, Selain itu, pengobatan empiris dengan PPI selama 2-3

bulan masih disarankan dalam literatur medis karena hemat dan merupakant erapi yang

ebrguna untuk pasien yang terdaignosis LPR. Selain itu, kesulitan dalam menilai efisiensi

PPI, Penegakkan diagnosis LPR masih tetap menjadi tantangan berdasarkan tanda dan gejala

non-spesifik terhadap kondisi dan peran kontroversial dari penggunaan pemantauan pH. Hasil

ini dapat menignkat pada pasien dengan LPR yang tidak menunjukkan respont erhadap terapi

supresan asam.

Penelitian kontrol menunjukkan tingkat respon yang rendah dan tidak ada perbedaan

bermakna antara PPI dan pengobatan placebo, sebuah fakta menunjukkan bahwa pasien tanpa

gejala tipikal GERD (heartburn dan sensasi terbakar) tidak akan mendapatkan keuntungan

denga menggunakan PPI. Sebaliknya, pada GERD, respon pengobatan PPI beragam diantara

pasien LPR. Beberapa penulis mempercayai bahwa pengobatan LPR membutuhkan dosis dan

periode pengobatan yang lebih lama ketika dibandingkan dengan GERD. Rekomedasi dari

terapi empiris adalah penggunaan dosis penuh PPI selama periode 2-3 bulan.

Hasil dari penelitian kontrol dan meta-analysis menunjukkan kurangnya respon terhadap

pengobatan empiris dan tidak menyebabkan peningkatan dosis dan durasi pengobatan.

Rekomendasi dari pengoabtan PPI pada pasien dengan LPR berdasarkan hasil dari penelitian

kontrol menunjukkan tingkat respon rendah and tidak ada perbedaan bermakna antara PPI

dan pengobatan placebo, faktanya menyatakan bahwa pasien dengan gejala tipikal GERD

(heartburn dan sensasi terbakar) tidak menunjukkan keuntungan dari pengobatan dengan PPI.

Sebaliknya, pada GERD, respon pengobatan dengan PPI bervariasi diantara pasien dengan

LPR.

Page 13: Jurnal Tedi LPR

Kesimpulan

LPR merupakan penyakit yang biasanya didiangosa oleh dokter THT dengan adanya

serangkaian tanda dan gejala larigneal nonspesifik. Penyebab dari kerusakan laring masih

belum pasti naun kemungkinan disebabkan oleh kombinasi dari refluks kompoonen dan

asam. Pepsis dikaitkan dengan refluks nonacid atau refluks asam lemah. Enzim ini tetap

stabil pada jaringan laring dan dapat direaktifasi dengan refluks atau asam yang dikonsumsi.

Tidak ada uji spesifik untuk LPR. Laryngoscopy dan pemantauan pH gagal terbukti untuk

menjadi pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis penyakit ini. Terapi empiris dengan PPI

saat ini diterima sebagai uji diagnostik dan pengoabtan LPR. Pilihan pengobatan lainnya

termasuk perubahan gaya hidup dan diet (berhenti merokok dan minum alkohol, menurunkan

berat badan, menghindari kafein, dll)

Penelitian moleculer yang dilakukan untuk mengidentifikasi biomarker refluks, seperti IL,

carbonic anhudrase, E-cadherin, dan mucin. Namun, pemeriksaan lebih lanjut masih

dibutuhkan untuk memastikan uji diagnostik definitis terhadap LPR dan untuk menentukan

mekanisme penyebab dari kerusakan mukosa yang berepran dalam perkembangan

pengoabtan terbaru dan pemahaman fisiologis dari LPR.