Upload
buidiep
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KATA PENGANTAR
01 Sekilas tentang Randomized
Controlled Trial (RCT)
dr. Siswanto, MHP, DTM
04 Stroke Registri menjadi Jembatan
dalam Upaya Perbaikan
Manajemen Kasus …..
dr. M. Karyana, M.Kes
06 Peran Apoteker dalam Saintifikasi
Jamu
Dra. Lucie Widowati, Apt., M.Si
08 Aktivitas Laboratorium Terpadu (Labdu) Pusat TTK & EK 2011-2012.
Dr. Fitrah Ernawati, M.Sc
11 Training of the Trainer Good Clinical Practice (TOT GCP)
Junediyono, SKM, MKM
12 Pengukuhan Profesor Riset …...
dr. M. Karyana, M.Kes
14 Reformasi Birokrasi
Dr. Ir. Dewi Permaesih, M.Kes
16 Kausasi
Dr. Ir. Basuki Budiman, MScPH
20 Etika Pemanfaatan Hewan Perco-baan dalam Penelitian Kesehatan
drh. Endi Ridwan MSc
22 Rahasia di balik Cokelat
Mutiara Prihatini, S.Gz, M.Si
24 Refleksi Akhir Tahun
drh. Endi Ridwan MSc.
Pojok Pegawai
Daftar Isi
Kata Pengantar
Tanpa terasa kita telah memasuki bulan Desember, tahun 2012 akan segera
berlalu. Kegiatan baru di tahun 2013 sudah di depan mata.
News letter Pusat TTK dan EK nomer ketiga akan menjadi nomer terakhir untuk
tahun 2012.
Menjelang akhir tahun ini banyak kegiatan yang harus diikuti oleh para
peneliti maupun pejabat struktural. Namun Alhamdulillah, Newsletter nomer ketiga
ini akhirnya dapat diterbitkan.
Terbitan kali ini diisi beragam kegiatan yang diikuti oleh peneliti dan
informasi kegiatan yang berkaitan dengan fungsi Pusat TTK dan EK. Berita
pencapaian keberhasilan jenjang peneliti yang dicapai oleh seorang peneliti
disajikan pada tulisan tentang Pengukuhan Profesor Riset. Selain kegiatan
penelitian pada terbitan kali ini disampaikan pula selintas tentang Reformasi
Birokrasi.
Sebagaimana pernah disampaikan, kegiatan para peneliti merupakan
bahan informasi utama yang kami sampaikan, karena itu kami tetap mengharapkan
laporan, catatan berbagai kegiatan yang sedang atau telah dilaksanakan dilengkapi
dengan foto-foto, artikel dengan topik yang menarik untuk diinformasikan kepada
kita semua.
Segenap Redaksi mengucapkan selamat kepada Prof. dr. Emiliana Tjitra, DTM&H,
MSc, PhD atas pengukuhan menjadi Profesor Riset.
Selamat Tahun Baru 2013
Semoga tahun mendatang lebih baik lagi.
Salam,
Redaksi
Newsletter PTTK&EK
Kami sangat mengharapkan kontribusi dari
keluarga besar PTTK&EK untuk mengirimkan
tulisan/naskah baik berupa opini, artikel
maupun penelitian. Naskah bisa dikirim
melalui email ke: [email protected]
SEKILAS TENTANG
RANDOMIZED CONTROLLED TRIAL (RCT) dr. Siswanto, MHP, DTM
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 01
Sebagaimana diketahui bersama bahwa
Randomized Controlled Trials (RCT) adalah golden
standard (baku emas) untuk penelitian eksperimental
guna pembuktian kausal (causation). Apabila kita
ingin membuktikan apakah suatu “intervensi
tertentu” akan menghasilkan/menyebabkan “outcome
tertentu”, maka kita harus menggunakan disain
penelitian RCT. Bahkan, tidak cukup hanya RCT saja,
tetapi harus double blind (tersamar ganda). Dengan
kata lain, baku emas penelitian eksperimental secara
prinsip adalah RCT double blind.
Sejarah penelitian eksperimental bukannya
diawali dari uji klinis pada manusia tetapi diawali
dari penelitian pertanian. Adalah Sir Ronald Aylmer
Fisher (1890-1962) yang menemukan disain
Randomized Controlled Trial (RCT).1 Fisher, yang
bekerja di stasiun penelitian pertanian, mengamati
bahwa eksperimen membandingkan dua jenis benih
pada dua petak kebun banyak mengandung bias.
Katakanlah, hasil penelitian menunjukkan bahwa
petak A menghasilkan panen lebih baik dari petak B;
maka tidak bisa disimpulkan benih A lebih baik dari
benih B. Di dalamnya terkandung banyak variabel
pengganggu, misalnya perbedaan kesuburan tanah,
perbedaan perawatan, perbedaan cara memanen, dan
sebagainya. Fisher akhirnya menciptakan dasar-dasar
RCT dengan cara membuat sejumlah petak-petak
kecil sebagai unit sampel, kemudian melakukan
alokasi random terhadap petak-petak kecil tersebut
pada kelompok uji (test) dan kelompok pembanding.
Dengan melakukan hal tersebut, semua variabel
pengganggu yang berada pada unit sampel akan
terdistribusi secara acak (random) pada kelompok uji
(test) maupun kelompok pembanding.
Penelitian uji klinik, yang ingin membuktikan
efek terapi tertentu terhadap suatu outcome klinik
tertentu, pada akhirnya mengadop prinsip-prinsip
disain eksperimental Fisher. Bahkan, karena unit
eksperimennya adalah manusia, maka pada uji klinik
harus tersamar ganda (RCT double blind). Double
blind, artinya baik subyek penelitian maupun peneliti
harus tidak tahu (ignorance) terhadap perlakukan /
intervensi yang diberikan.
Kualitas penelitian uji klinik pada prinsipnya
menyangkut dua hal, yakni kualitas ilmiah dan
kualitas etik. Terkait kualitas ilmiah, maka terdapat
dua hal penting, yakni validitas internal dan
validitas eksternal. Dalam penelitian uji klinik,
validitas internal menyangkut dua isu penting.
Pertama, isu terkait seberapa jauh instrumen
penelitian mengukur apa yang seharusnya terukur
(dalam hal ini identifikasi variabel outcome menjadi
sangat penting). Kedua, adalah isu terkait apakah
kejadian variabel outcome (parameter klinik) benar-
benar diakibatkan oleh intervensi secara murni (bukan
oleh variabel pengganggu, misalnya, efek placebo, bias
perlakuan, tingkat keparahan penyakit, dan
sebagainya). Validitas eksternal adalah terkait dengan
seberapa jauh kesimpulan hasil suatu penelitian
(termasuk uji klinik) dapat ditarik generalisasi
(digeneralisasikan) ke dalam populasi.
Dalam penelitian uji klinik, validitas internal
dalam konteks apakah variabel outcome benar-benar
“hanya” akibat suatu intervensi (tindakan pengobatan)
merupakan isu penting, agar hasil uji klinik dapat
meyakinkan klinisi (pengguna) untuk pengambilan
keputusan klinis. Itulah sebabnya, “randomized
controlled trial double blind” merupakan baku
emas penelitian uji klinik.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 02
Juga, dalam hirarki butki ilmiah (level of evidence)
hasil penelitian RCT double blind dikategorikan
sebagai level satu (first level), dalam rentangan
pembagian level satu sampai dengan empat.
Disain RCT
Secara diagramatik disain penelitian RCT
adalah seperti pada Gambar 1.2 Menurut teori
statistik yang benar, pada RCT seharusnya ada dua
tahapan pengacakan (proses random). Pertama, pada
saat mengambil sejumlah sampel (katakanlah
sejumkah “n” subyek eksperimen) dari populasi,
seharusnya ditarik secara random (acak) dari
populasi sasaran. Kedua, pada saat mengalokasikan
sampel ke dalam kelompok uji dan kelompok
pembanding harus dilakukan secara acak pula
(alokasi random). Dengan demikian, menurut teori
statistik yang benar, ada dua proses random, yakni
pengambilan sampel secara random (random
sampling), dan pengalokasian secara random
(random allocation).
Gambar 1
Disain Randomized Controlled Trial (RCT)
Namun demikian, mengidentifikasi populasi
sasaran (sampling frame) pada uji klinik adalah
suatu yang sulit, dan juga untuk mendapatkan
subyek uji klinik bukanlah perkara mudah. Oleh
karena itu, pada praktiknya pengambilan sampel uji
klinik sering menggunakan pendekatan consecutive
sampling. Pada consecutive sampling, peneliti
mengambil sampel sejumlah “n” subyek (misalnya
dari pasien yang datang di klinik sesuai dengan
kriteria inklusi dan eksklusi tertentu, mengacu
tujuan penelitian). Oleh para ahli statistik,
consecutive sampling tidak bisa dianggap sebagai
probability sampling, namun dianggap cukup
mendekati probability, dengan asumsi “n” subyek yang
direkrut dapat merefleksikan populasi sasaran yang
diwakilinya.3
Mengapa harus alokasi random dan tersamar
ganda?
Sebagaimana sudah disitir di depan, baku
emas disain uji klinik adalah RCT double blind. RCT
double blind harus menyangkut dua hal penting, yakni
“alokasi random” dan “ketersamaran ganda”. Untuk
memahami dua prinsip ini, kita lihat kembali Gambar
1.
Katakanlah, kita ingin mengetahui apakah
jamu ampuh (kelompok uji) mempunyai efek yang
sama, atau lebih superior, dengan pengobatan
captopril (kelompok pembanding) pada penderita
hipertensi. Dikaitkan dengan validitas internal (efek
intervensi), maka peneliti harus yakin outcome klinik
(turunnya tekanan darah) adalah “semata” karena
mendapatkan captopril atau jamu ampuh. Untuk
menjawab “semata” ini, maka harus dapat dipastikan
tidak ada bias, baik yang berasal dari subyek
penelitian maupun observer / experimenter.
Untuk menghindari bias ini, “alokasi random”
dan “ketersamaran” menjadi hal penting. Alokasi
random berkepentingan dalam hal “mengontrol”
variabel pengganggu yang melekat pada subyek
(Natural History of Disease / NH), misalnya faktor
umur, jenis kelamin, tingkat keparahan penyakit, dan
sebagainya, yang dapat mempengaruhi outcome klinik
(turunnya tekanan darah).4
Faktor pengganggu lainnya adalah efek di luar
obat (jamu ampuh dan captopril) yang disebut dengan
Extraneous Effect (EF), misalnya karena pasien
diberitahu komplikasi hipertensi, maka ia merubah
pola diet, mengubah perilaku (olah raga), dan
sebagainya. Dalam EF termasuk “efek plasebo”,
misalnya karena keyakinannya akan khasiat jamu,
akan menimbulkan efek sugesti.4 Masih ada satu lagi
faktor pengganggu lain, yakni Observer Effect (OE).
Observer Effect adalah efek / pengaruh yang timbul
karena observer.4
Obat Uji
Obat Pembanding
Katakanlah, karena observer tahu mana yang jamu
ampuh dan mana yang captopril, setiap kali pasien
datang, bisa saja observer tanya kepada subyek yang
menerima jamu ampuh, “badannya lebih enak ya bu/
pak setelah minum jamu ampuh?”. Pertanyaan yang
demikian, tentunya akan memberi sugesti kepada
subyek. Untuk menghindari EF dan OE ini, maka
perlu dilakukan “ketersamaran ganda”, yakni baik
subyek maupun observer tidak mengetahui siapa
mendapat jamu ampuh dan siapa mendapat
captopril.
Untuk lebih memahami efek hanya “semata”
karena intervensi pada RCT double blind dapat
dijelaskan pada model Gambar 2.
Gambar 2
Model RCT double blind
Pada contoh uji klinik “jamu ampuh” vs “captopril”,
tujuan kita adalah menguji apakah jamu ampuh
lebih baik, atau setidaknya sama, dalam
memberikan efek terapi (turunnya tensi). Untuk itu,
kita harus dapat memastikan bahwa outcome klinik
(turunnya tensi) hanya benar-benar karena efek
terapi, yakni jamu ampuh dan captopril (Rxu dan
Rxp). Karenanya, kita harus menyingkirkan pengaruh
NH, EF dan OE. Pengaruh NH disingkirkan dengan
teknik “alokasi random”, sementara pengarug EF dan
OE disingkirkan dengan teknik “double
blind” (ketersamaran ganda). Itulah sebabnya disain
uji klinik sebagaimana Gambar1, dinamai Randomized
Controlled Trial, karena disain tersebut mampu
“mengontrol” variabel pengganggu (confounding
factors) di luar efek karena intervensi, yakni variabel
NH, EF dan OE. Dengan demikian, kalau ada
perbedaan penurunan tensi, kita dapat yakin karena
“semata” efek terapi uji dan terapi pembanding.
Dari penjelasan ini, dapat dimengerti bahwa RCT
by design adalah double blind (tersamar ganda). Maka
cara penulisan disain ini adalah: “randomized, double-
blind, controlled clinical trial”.5 Mudah-mudahan tulisan
ini bermanfaat.
Daftar Pustaka:
1. Sir Ronald Aylmer Fisher. http:/ /
www.britannica.com/EBchecked/topic/208658/Sir-
Ronald-Aylmer-Fisher, Diakses 17 May 2012.
2. Chow, S.C & Liu, J.P. Design and Analysis of
Clinical Trials, Concepts and Methodoloies. Wiley
Interscience. 2004.
3. Dahlan, M.S. Besar Sampel dan Cara Pengambilan
Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan. Salemba Medika. 2010.
4. Grobbee, D.E. & Hoes, A.W. Clinical Epidemiology,
Principles, Methods, and Applications for Clinical
Research. Jones and Bartlett Publishers. 2009.
5. Website ClinicalTrials.gov
Kelompok test: Ou = Rxu + NHu + EFu + OEu
(jamu ampuh)
Kelompok kontrol: Op = Rxp +NHp + EFp + OEp
(captopril)
Keterangan: u = uji, p = pembanding (kontrol)
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 03
STROKE REGISTRI MENJADI JEMBATAN DALAM UPAYA PERBAIKAN MANAJEMEN KASUS
DAN PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN
KLINIK
dr. Muhammad Karyana, M.Kes
Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat
di bidang kedokteran membutuhkan perhatian lebih
dalam rangka untuk memberikan pelayanan pasien
yang lebih baik lagi. Kasus-kasus seperti stroke
jumlahnya makin meningkat di Indonesia.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
tahun 2007 penyebab kematian utama di Indonesia
adalah stroke (15.4%), tuberkulosis (7.5%), dan injury
(6.5%). Penanganan stroke yang masih dibawah
standar menjadikan stroke sebagai penyebab angka
kecacatan dan kematian nomor satu. Sebagian besar
penderita tidak dapat hidup mandiri dalam aktivitas
sehari-hari, sehingga menghilangkan produktivitas
kerja yang menyebabkan bertambahnya beban di
masyarakat. Selain itu stroke juga membutuhkan
biaya perawatan yang tinggi. Hal ini juga
menunjukkan bahwa, pengendalian faktor-faktor
risiko kejadian stroke di Indonesia, misalnya
pengendalian hipertensi, hiperkolesterolemia, kencing
manis, dan sebagainya, masih belum optimal. Bila
dibandingkan dengan negara maju, Amerika Serikat
misalnya, penyebab kematian utama di Amerika
Serikat adalah penyakit jantung, kanker, stroke,
penyakit paru khronis, dan kecelakaan (accidents).
Sampai saat ini masalah penyakit stroke
masih banyak yang meliputi problema pre hospital
antara lain, kultur budaya, tingkat ekonomi, geografis
Indonesia yang heterogen, minimnya tingkat
pendidikan dan pengetahuan masyarakat, tingkat
ekonomi, jarak antara penderita dan rumah sakit
terdekat. Masih minimnya pengetahuan masyarakat
tentang stroke yang apabila ditangani dengan tepat
dan cepat akan mengurangi disabilitas dan mortalitas
yang akan terjadi. Hal ini akan memberikan
kontribusi pada lamanya waktu kedatangan ke pusat
kesehatan (delayed in transport).
Salah satu penyumbang konstribusi delayed in
transport akhir-akhir ini adalah adanya kemacetan di
kota-kota besar dan sistem transportasi. Belum
tersedianya sistem emergency transport dan emergency
communication juga menjadi masalah.
Penyakit stroke sesungguhnya adalah masuk
dalam kelompok penyakit yang dapat dicegah, atau
preventable disease. Banyak penelitian telah
dikerjakan oleh para ahli, baik penelitian epidemiologi
maupun penelitian klinis. Berbagai faktor risiko
kejadian stroke telah diidentifikasi. Berbagai faktor
risiko penyakit stroke tersebut, misalnya, menjadi
manula (umur di atas 55 tahun), laki-laki lebih banyak
dari wanita, sejarah keluarga (keturunan), tekanan
darah tinggi, merokok, menderita diabetes mellitus,
kegemukan (obesity), hipercholesterolemia, penyakit
jantung, adanya warning sebelumnya Transient
Ischemic Attack (TIA), penggunaan terapi hormon,
minum alkohol, kurang aktivitas fisik, masalah diet
(kurang makan sayur dan buah), stress, dan lain-lain.
Dengan melihat faktor risiko yang telah disebutkan
tadi, maka pencegahan penyakit stroke pada
prinsipnya adalah “merubah perilaku”, yang meliputi
pola makan sehat, aktivitas fisik (olah raga), tidak
merokok, tidak minum alkohol, tidak stress, dan
seterusnya, yang kesemuanya merupakan faktor-
faktor yang dapat dicegah dan dikendalikan
(preventable).
Data penelitian Riskesdas tahun 2007
menunjukkan bahwa untuk penduduk umur di atas 15
tahun, prevalensi hipertensi 29.8%, Diabetes Mellitus
5.7%, Gangguan Toleransi Glukosa 10.2%, pada umur
10 tahun ke atas prevalensi merokok setiap hari 23.7%,
prevalensi kurang aktivitas fisik 48.2%, prevalensi
kurang makan buah dan sayur (sesuai anjuran WHO)
93.6%, dan prevalensi minum alkohol 4.6%.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 04
Bila data prevalensi faktor risiko terjadinya
stroke hasil Riskesdas dikaitkan dengan penanganan
faktor risiko terdekat, misalnya penanganan
hipertensi dan diabetes mellitus, maka kita mengenal
adanya fenomena 1:4, atau 1:5. Artinya dari
prevalensi hiptertensi 30%, misalnya, maka yang
ditangani oleh petugas kesehatan baru
seperempatnya (7.5%), dari prevalensi diabetes
mellitus 5.7%, baru hanya sekitar 1.1 % penderita
yang ditangani oleh petugas kesehatan. Gap antara
prevalensi yang sakit dan prevalensi yang ditangani,
tentunya akan menambah tingkat risiko untuk
jatuh menjadi serangan stroke.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.
39/1995 tentang Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan dan juga PerMenkes 1144/2010 tentang
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan, maka Badan Litbangkes, selain
mempunyai fungsi melaksanakan penelitian dan
pengembangan kesehatan, Badan Litbangkes juga
mempunyai fungsi memfasilitasi dan mengkoordinir
penelitian dan pengembangan kesehatan di
Indonesia.
Untuk itulah, Badan Litbangkes, dalam hal
ini Pusat TTKEK, melakukan kerjasama dengan PP-
PERDOSSI, untuk mengembangkan disease regitry
berbasis rumah sakit, khususnya “stroke registry”.
Menurut tujuannya, disease registry bisa population
based registry, atau hospital based registry.
Population based registry biasanya bertujuan lebih
kepada mengidentifikasi prevalensi, faktor risiko,
dan survival; sementara hospital based registry
lebih kepada upaya perbaikan manajemen
kasus dan peningkatan kualitas pelayanan
klinik. Ini adalah Disease Registry yang pertama di
Indonesia dalam skala Nasional. Hal ini
menunjukkan keseriusan kita bersama dalam
memerangi penyakit stroke. Karena untuk
memberikan pelayanan pasien yang lebih baik,
diperlukan manajemen dan pencatatan kasus yang
baik pula. Melalui pengembangan sistem registri
yang sedang dibangun ini, harapan itu dapat
tercapai.
Oleh karenanya pada hari Jumat tanggal 23
November 2012, bersamaan dengan pembukaan
Pertemuan Ilmiah Nasional Stroke 2012 di Kota
Semarang, Bapak Direktur Jenderal Bina Upaya
Kesehatan atas nama Menteri Kesehatan
mencanangkan Stroke Registry. Dimana mulai tahun
2013, seluruh kasus stroke di RS pemerintah ataupun
swasta di Indonesia akan didata.
Tahap pertama pengembangan stroke registry
kerjasama Badan Litbangkes dengan PP-PERDOSSI
adalah pengembangan stroke registry berbasis rumah
sakit. Dengan pengembangan stroke registry berbasis
rumah sakit, maka diharapkan data yang terkumpul
akan dapat digunakan untuk meningkatkan outcome
pengobatan penyakit stroke. Melalui stroke registry
berbasis rumah sakit, data yang dikumpulkan akan
dapat diolah lebih lanjut, untuk berbagi tujuan
misalnya, mendeskripsikan perjalanan alamiah
penyakit (NHD), menentukan cost-effectiveness
intervensi klinis, memonitor manfaat dan keamanan
intervensi klinis, serta meningkatkan mutu pelayanan
pasien stroke.
Tentunya, kalau stroke registry berbasis rumah
sakit ini sudah berjalan dengan baik, maka bisa saja
dikembangkan menjadi population based registry,
dengan melibatkan puskesmas dan dokter keluarga,
sehingga akan dapat diidentifikasi prevalensi penyakit
stroke yang lebih akurat, dan juga survival dari pasien
paska stroke.
Saat ini, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan
dan Epidemiologi Klinik telah membuat web portal
terkait registri. Kedepan pelaksanaan registri ini akan
dilakukan secara online dan real time. Alamat website
http://www,ina-registry.org.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 05
PERAN APOTEKER DALAM
SAINTIFIKASI JAMU Dra. Lucie Widowati, Apt., M.Si
Terlaksananya penelitian jamu berbasis
pelayanan perlu didukung keterpaduan komitmen
dan keterlibatan unit kerja lintas sektor, berbagai
disiplin ilmu, organisasi seminat dan industri. Tujuan
dari Saintifikasi Jamu adalah a) Memberikan
landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu
secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan
kesehatan. b) Mendorong terbentuknya jejaring
dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya
sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif,
promotif, rehabilitative dan paliatif melalui
penggunaan jamu. c) Meningkatkan kegiatan
penelitian kualitatif terhadap pasien dengan
penggunaan jamu dan d) Meningkatkan penyediaan
jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji
secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik
untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas
pelayanan kesehatan. Untuk mewujudkannya
diperlukan kesadaran dari masing-masing pelaku
untuk secara terbuka menerima konsep dan
mendukung implementasinya untuk semata-mata
pada peningkatan derajat kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat. Salah satu disiplin ilmu
yang diperlukan untuk berhasilnya program
Saintifikasi Jamu adalah ilmu kefarmasian (profesi
apoteker). Apoteker adalah profesi kesehatan yang
menghubungkan ilmu kesehatan dengan kimia
medisinal, farmasetikal, patologi dan farmakologi
klinik dan berkewajiban menjaga keamanan dan
keefektivan obat.
Karena konsep dari Saintifikasi Jamu adalah
Penelitian berbasis pelayanan, maka modalitas dari
kegiatan tersebut adalah dokter dan jamu. Jamu yang
digunakan harus memenuhi kriteria aman,
mempunyai khasiat dibuktikan berdasarkan data
empiris yang ada dan memenuhi persyaratan mutu.
Untuk menjamin keamanan, khasiat dan mutu
jamu, merupakan kegiatan yang dijalankan oleh
apoteker di sisi hulu, artinya dari menjamin mutu
mulai budidaya tanaman obat hingga pasca panen,
sampai produk ramuan dapat diberikan kepada pasien.
Bagaimanakah peran Apoteker dari sisi hilir ?. Sisi
hilir pada kegiatan Saintifikasi Jamu merupakan
tahap dimana dokter memberikan pelayanan sekaligus
sebagai pelaku penelitian, pasien menerima jamu yang
telah dijamin mutu dan kemanfaatannya secara
empiris.
Klinik yang diatur dalam Permenkes no. 003/
Menkes/I/2010, merupakan Klinik Jamu sebagai
tempat penelitian pelayanan. Selayaknya Klinik,
tentunya terdapat ketenagaan, sarana dan prasarana
yang menjadi kriteria pada Klinik Jamu. Dalam
struktur Klinik Jamu, terdapat tugas Apoteker yang
menjalankan profesinya berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan No. 1027/Menkes/SK/IX/2004
tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek,
yang mengatur tentang pelayanan resep, promosi dan
edukasi serta home care.
Apotik Klinik Jamu, adalah suatu unit yang
berada dibawah Klinik Jamu yang bertugas menyiap-
kan dan menyajikan jamu sesuai dengan resep dokter
kepada pasien, yang terdiri dari jamu dan/ obat
konvensional. Menurut PP No. 51 tahun 2009,
Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau
penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 06
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah
bergeser dan mengalami perubahan pelayanan dari
paradigma lama (drug oriented) ke paradigma baru
dengan filosofi Pharmaceutical care (asuhan
kefarmasian), berorientasi kepada pasien. Peran
yang menonjol pada asuhan kefarmasian adalah
komunikasi dengan pasien, dan inilah yang disebut
trend baru dalam pelayanan kefarmasian. Kontribusi
dari seorang praktisi asuhan kefarmasian diukur
oleh kemampuannya untuk menerapkan
pengetahuan dan keterampilan untuk menyelesaikan
masalah terapi obat untuk pasien. Komunikasi
merupakan suatu aspek penting yang mutlak
dikuasai oleh seorang apoteker dalam melakukan
praktek kefarmasian khususnya di masyarakat.
Apoteker yang handal berkomunikasi akan mampu
memberikan penjelasan mengenai pekerjaannya,
kepada pengguna jasa, baik pasien, tenaga kesehatan
atau pihak lain yang terkait. Kegiatan tersebut
merupakan kesatuan sebagai fungsi Komunikasi,
Informasi, Edukasi (KIE). Salah satu implementasi
dari KIE adalah kegiatan konseling. Tujuan
dilakukannya konseling yaitu untuk memberikan
pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien dan
tenaga kesehatan, diantaranya mengenai nama obat,
tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara
menggunakan obat, lama penggunaan obat,
efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara
penyimpanan obat, dan penggunaan obat-obat lain.
Penelitian pelayanan jamu memanfaatkan
pasien yang memilih jamu untuk mengatasi keluhan/
penyakitnya, sebagai respoden. Kerjasama tim
dokter, apoteker dan pasien sangatlah erat, untuk
menghasilkan penelitian pelayanan yang memenuhi
metodologi yang ditentukan. Apoteker sangat
berperan dalam menjaga atau memelihara
kepatuhan pasien untuk minum jamu. Kepatuhan
dalam minum jamu dalam penelitian pelayanan
dapat diartikan sebagai perilaku pasien yang mentaati
semua nasehat dan petunjuk yang dianjurkan oleh
dokter Saintifikasi Jamu dan Apoteker Saintifikasi
Jamu. Mengenai segala sesuatu yang harus dilakukan
untuk mencapai tujuan pengobatan, salah satu
diantaranya adalah kepatuhan dalam minum jamu.
Pelatihan Dokter Saintifikasi Jamu telah
diselenggarakan sebanyak 6 kali. Dari pelatihan ini
telah meluluskan 178 dokter yang mempunyai
Sertifikasi Penelitian Saintifikasi Jamu. Selain itu,
dokter Saintifikasi Jamu juga berasal dari dokter
peserta pasca sarjana herbal UI dan dari diklat SJ
mandiri. Perkembangan ke depan, semakin banyak
masyarakat yang menggunakan jamu. Jika permintaan
pengobatan dengan jamu meningkat maka kebutuhan
penyediaan jamu tidak dapat ditangani sendiri oleh
dokter yang melakukan praktek Saintifikasi Jamu.
Untuk mendukung implementasi program Saintifikasi
Jamu di masyarakat, di pandang perlu untuk
memberikan pelatihan, tidak hanya kepada tenaga
dokter namun juga kepada apoteker.
Kompetensi yang diharapkan dari Apoteker Saintifikasi
Jamu:
1 Melakukan praktik kefarmasian secara profesional
dan etik
2. Memformulasi dan memproduksi jamu
3. Melakukan dispensing jamu
4. Menyelesaikan masalah terkait dengan penggunaan
jamu
5. Memberikan informasi jamu
6. Mengelola penyediaan jamu
7. Melaksanakan upaya preventif dan promotif
kesehatan masyarakat terkait jamu
Pelatihan Apoteker Saintifikasi Jamu angkatan
pertama telah diselenggarakan terhadap 15 apoteker,
di Surakarta dan B2P2TO2T Tawangmangu, tanggal
5 – 10 November 2012.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 07
AKTIVITAS LABORATORIUM TERPADU (LABDU)
PUSAT TTK & EK TAHUN 2011-2012
DR. Fitrah Ernawati, MSc
Sesuai dengan PerMenkes 1144 tentang
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan maka tugas Pusat Teknologi Terapan
Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (Pusat TTK dan
EK) adalah melaksanakan penelitian dan pengem-
bangan di bidang Teknologi Terapan Kesehatan dan
Epidemiologi Klinik. Dalam melakukan penelitian,
peneliti harus memegang kejujuran (honesty)
terhadap diri sendiri dan kepada pihak lain. Salah
satu bentuk kejujuran seorang peneliti adalah
memelihara keakuratan pengumpulan dan
pengelolaan informasi dan data penelitian, dengan
menghindari kesempatan untuk merekayasa
informasi dan data penelitian. (LIPI 2010). Untuk
dapat memenuhi kaidah tersebut, laboratorium
terpadu (labdu) sebagai sarana penunjang penelitian
dalam memberikan layanan pengujian bagi peneliti
terus berbenah mencapai laboratorium yang handal
dan dapat dipercaya.
Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, labdu
telah melakukan beberapa kegiatan untuk mening-
katkan kualitas baik sarana maupun prasarana.
Kegiatan besar yang telah dilakukan labdu antara
lain:
1. Persiapan Mendapatkan Akreditasi KAN
Akreditasi dirasakan perlu oleh labdu karena
dengan memperoleh akreditasi, laboratorium dapat
menunjukkan kredibilitasnya melalui penerapan
sistem management yang kuat serta memberikan
kepercayaan kepada mitra kerja. Di era terbuka saat
ini persyaratan terhadap mutu laboratorium menjadi
acuan bagi pengguna laboratorium. Pembuktian tidak
hanya cukup dengan hanya bentuk fisik laboratorium
atau peralatan yang canggih melainkan juga berdasar-
kan dokumen resmi yang menyertai hasil uji.
Dokumen yang menerangkan bahwa hasil uji telah
memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan, maka
untuk dapat diakui, harus dikeluarkan oleh
laboratorium penguji yang terakreditasi. Di sinilah
keberadaan laboratorium penguji terakreditasi
menjadi semakin penting peranannya. Hasil uji yang
digunakan oleh peneliti dalam mendukung artikel
yang akan dipublikasi nasional utamanya di jurnal
internasional, diperlukan pernyataan bahwa pengujian
dilakukan oleh laboratorium terakreditasi sehingga
tidak menimbulkan keraguan.
Menurut ISO (International Organization for
Standardisation), akreditasi adalah pengakuan formal
terhadap laboratorium penguji yang mempunyai
kompetensi untuk melakukan pengujian tertentu yang
tertuang dalam peraturan ISO 17025:2008. Akreditasi
laboratorium mampu memberikan jaminan terhadap
mutu dan keakuratan data hasil uji sekaligus
menjamin kompetensi laboratorium penguji. Di
Indonesia, laboratorium diakreditasi oleh Komite
Akreditasi Nasional (KAN).
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 08
Komite Akreditasi Nasional (KAN) adalah
suatu lembaga non struktural yang mempunyai tugas
pokok untuk menetapkan akreditasi dan
memberikan pertimbangan dan saran kepada Badan
Standardisasi Nasional (BSN) dalam menetapkan
sistem akreditasi dan sertifikasi. Untuk dapat
diakreditasi sebagai laboratorium yang kompeten,
laboratorium tersebut harus menerapkan standar
ISO/IEC 17025:2008 – Persyaratan Umum Kompe-
tensi Laboratorium Penguji.
Persiapan mendapatkan akreditasi sudah
dimulai sejak pertengahan tahun 2011. Pada tahun
2011 telah dilakukan diseminasi dengan materi
Pengenalan dan Interpretasi ISO/IEC 17025:2008
(Persyaratan Manajemen) dan Pengenalan dan Inter-
pretasi ISO/IEC 17025: 2008 (Persyaratan Teknis)
diikuti oleh peneliti yang banyak menggunggunakan
hasil laboratorium dan litkayasa. Dilanjutkan pada
tahun 2012 dengan mengadakan seminar tentang
bagaimana menyiapkan dokumentasi Mutu
Laboratorium, bagaimana melakukan Audit Internal
Laboratorium, penyusunan dokumentasi Sistem
Manajemen Laboratorium, dan melakukan
Pelaksanaan audit internal. Alhamdulillah dengan
rahmat Tuhan Yang Maha kuasa Tim manajemen
Labdu pada pertengahan November 2012 sudah me-
nyerahkan dokumen permohonan akreditasi kepada
KAN.
Pembukaan Pelatihan Audit Internal
2. Training Pemeriksaan retinol dalam minyak
Pada tanggal 13 sampai 15 juni 2012 labdu
mangadakan training analisa retinol (vitamin A) dalam
minyak. Training ini berhubungan dengan studi fortifi-
kasi minyak dengan vitamin A yang dilaksanakan di
Ciamis dan Tasikmalaya dengan ketua peneliti DR.
Sanjaya, MPH. Fortifikasi minyak goreng dengan
vitamin A yaitu penambahan vitamin A dalam minyak
goreng. Tujuan training ini adalah memberikan
penguatan sumber daya manusia khususnya dalam
melakukan analisis vitamin A sehingga hasil uji
analisis vitamin A antar laboratorium tidak berbeda.
Nara sumber adalah Sherry Tanumihardjo, PhD,
beliau adalah pakar vitamin A dari University of
Wisconsin – USA. Peserta training adalah pelaksana
teknis dari beberapa laboratorium pemerintah seperti
BBIA (Balai Besar Industri Agro), SEAMEO, Seafast
Center IPB dan BPOM.
Penjelasan Metabolisme Retinol
3. Kunjungan Tamu Nepal
Kunjungan ini merupakan salah satu rangkaian
kunjungan tamu dari Negara Nepal ke Badan Litbang
Kesehatan. Kunjungan ke Pusat TTK dan EK jatuh
pada tanggal 17 Oktober 2012, dalam kunjungan
tersebut disampaikan penjelasan tentang tugas dan
fungsi Pusat TTK dan EK, topik penelitian yang telah
dilakukan oleh Pusat TTK dan EK dan terakhir
rombongan tamu melihat fasilitas laboratorium terpadu
Pusat TTK dan EK di Bogor.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 09
Dalam kunjungan tersebut dijelaskan bahwa Labdu
Pusat TTK dan EK mampu melakukan analisis kimia
klinik meliputi analisis fungsi ginjal, fungsi hati,
profil lipid, darah rutin, analisis mineral seperti
selenium, calcium, Pb dan analisis vitamin seperti
vitamin A dan E. Disamping itu labdu juga mampu
melakukan analisis status besi meliputi ferritin,
Serum Transferrin Receptot (STfR), Total Iron
Binding Capacity (TIBC) dan analisis kimia
makanan seperti analisis zat gizi makro dan mineral
dalam makanan.
Kegiatan labdu saat ini masih terbatas untuk
mendukung kegiatan penelitian untuk kepentingan
Badan Litbang Kesehatan.
Penjelasan Tugas & Fungsi Pusat TTK dan EK
Penjelasan Ruang Lingkup Labdu
4. Training CRP(C-Reactive Protein)
C-Reactive Protein adalah suatu analisis yang
digunakan untuk melihat adanya inflamasi. Analisis ini
sering digunakan sebagai screening atau analisis
penyerta dari penentuan status besi. Training
dilaksanakan pada tanggal 20 November 2012 pukul
11.00 WIB dan berakhir pukul 16.00 WIB. Nara sumber
adalah Mr. Juergen Erhat peneliti dari Jerman. Beliau
banyak menulis tentang status besi status vitamin A di
beberapa jurnal internasional. Peserta training adalah
peneliti muda dan litkayasa Pusat TTK dan EK. Tujuan
training ini adalah mengembangkan metode analisa
CRP dengan metode-modifikasi sehingga kedepan labdu
Pusat TTK dan EK mampu mengembangkan
pemeriksaan CRP dengan metode yang lebih efisien,
harga lebih murah dari metode ysng ada, sehingga
dapat mengurangi ketergantungan import kit dari luar
negeri.
Demikian sepintas kegiatan labdu………..
SEMOGA SUKSES.
Training Pengukuran CRP di Lab Terpadu
Pusat TTK dan EK Bogor
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 10
TRAINING OF THE TRAINER GOOD CLINICAL PRACTICE
(TOT GCP) Yogyakarta, 3-5 Oktober 2012
Junediyono SKM, MKM
Seperti telah disampaikan dr. Siswanto, MHP,
DTM pada Newsletter edisi sebelumnya, GCP
merupakan suatu “standar” kualitas etik dan ilmiah
internasional untuk mendisain, melaksanakan,
mencatat dan melaporkan uji klinik yang
melibatkan subyek manusia atau merupakan
perangkat untuk standarisasi uji klinik. Dalam
bahasa baku, GCP sering disebut Cara Uji Klinik
yang Baik (CUKB). Pedoman tentang bagaimana
melaksanakan CUKB, juga telah diterbitkan oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan
Epidemiologi Klinik (Pusat TTK dan EK) sebagai
implementor tugas pokok dan fungsi sesuai Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1144/2010, bertugas
melaksanakan penelitian dan pengembangan serta
penapisan teknologi dibidang teknologi terapan
kesehatan dan epidemiologi klinik, sangat
berkewajiban untuk menstandarisasi penelitian
klinis. Penelitian klinis yang dimaksud dalam GCP
adalah uji klinik. Peneliti harus mempunyai
kemampuan yang „kaffah‟ tentang GCP. Workshop
GCP sendiri sudah pernah dilaksanakan oleh Pusat
TTK dan EK bekerjasama dengan Komisi Nasional
Etik Penelitian Kesehatan. Peserta adalah semua
peneliti Pusat TTK dan EK.
Era sekarang, penekanan peran Pusat lebih
sebagai regulator dan fasilitator. Sebagai fasilitator,
Pusat TTK dan EK harus dapat membina semua
institusi pelaksana penelitian uji klinik, termasuk
mengajarkan bagaimana melaksanakan uji klinik
yang terstandar. Berangkat dari tugas tersebut, Pusat
TTK dan EK bekerjasama dengan World Health
Organization Tropical Diseases Research (WHO TDR)
telah melaksanakan Training Of the Trainer Good
Clinical Practice (TOT GCP).
TOT GCP dilaksanakan guna memperoleh
peneliti yang mempunyai kemampuan untuk
mengajarkan tentang GCP. Kegiatan pelatihan
dilaksanakan selama 3 hari dari tanggal 3 - 5 Otober
2012, di Yogyakarta. Peserta berjumlah 30 orang yang
berasal dari 1) Peneliti Pusat TTK dan EK, 2) RS
Marzuki Mahdi Bogor, 3) RS Sardjito, 4) Universitas
Ahmad Dahlan dan 5) Balai Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional.
Fasilitator berasal dari WHO TDR India dan
Universitas Gadjah Mada.
Kegiatan dibagi menjadi dua, berupa Workshop
GCP pada hari pertama dan kedua dengan mekanisme
pelaksanaan berupa paparan, tanya jawab, dan diskusi
kelompok. Materi meliputi:
History and Principles of GCP
Quality System in Clinical Research
Principles of Ethic Research
Essential Documents
Stake Holders Responsibility
GCP in Trial Procedures
Informed consent process
Safety management
Investigational product management
Data management
Pada hari ketiga, dilaksanakan Training Of the
Trainer (TOT). Dari peserta TOT tersebut terpilih 10
orang sebagai peserta terbaik, yaitu : dr. Siswanto,
MHP, DTM; Dr. Ir. Basuki Budiman, M.Kes; drh. Endi
Ridwan, M.Sc; Ully Adhie Mulyani, Apt, M.Si; Dyah
Santi Puspitasari, SKM, M.Kes; Mutiara Prihatini,
SGz, M.Si; dr. Retna Mustika Indah; dr. Heny
Kismayati; Syachroni, S.Si; dan Dyah, PhD
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 11
PENGUKUHAN PROFESOR RISET dr. EMILIANA TJITRA, DTM&H, MSc, PhD
dr. Muhammad Karyana, M.Kes
Satu lagi peneliti dari Badan
Litbang Kesehatan dikukuhkan
sebagai Profesor Riset bidang
Parasitologi dan Mikrobiologi
dengan orasi yang berjudul
"Perkembangan Pengobatan
Malaria di Indonesia: Pengobatan
Radikal dengan Obat Kombinasi".
Prof (Riset) dr. Emiliana Tjitra memaparkan orasi
tersebut di ruang J. Leimena Kementerian Kesehatan
(19-12-2012). Prof. dr. Emiliana Tjitra merupakan
profesor wanita pertama yang dimiliki oleh Badan
Litbang Kesehatan.
Jabatan profesor riset mempunyai implikasi
terhadap tugas dan tanggung jawab yang tinggi
dalam melaksanakan penelitian, pengembangan dan
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Gelar
profesor riset merupakan insentif non material bagi
peneliti yang berprestasi dan merupakan pengakuan
resmi pemerintah dan negara. Oleh karena itu,
profesor riset diharapkan dapat lebih memacu
peningkatan kualitas riset dan sekaligus dapat
memberikan bimbingan kepada para peneliti yang
lebih muda.
Prof. dr. Emiliana Tjitra dilahirkan di Jakarta
pada tanggal 27 April 1952. Pendidikan formal
diawali dari Sekolah Rakyat sampai Sekolah
Menengah Atas di Jakarta. Sarjana Kedokteran
diperoleh dari Fakultas Kedokteran Universitas
Katolik Atma Jaya pada tahun 1976, dokter tahun
1981. Beasiswa SEAMEO untuk Diploma of Tropical
Medicine and Hygiene (DTM&H) dan Tropical
Medicine (MSc) didapat pada tahun 1984 dan 1985 di
Faculty of Tropical Medicine and Hygiene, Mahidol
University, Bangkok, Thailand. Beasiswa untuk
Philosophy of Doctor (PhD) di Menzies School of Health
Research (MSHR), Darwin, Australia pada tahun 1997.
Menjadi peneliti di Badan Litbang Kesehatan
sejak tahun 1986. Dengan jabatan fungsional pertama
adalah Asisten Peneliti Madya pada tahun 1988, Ajun
Peneliti Madya tahun 1990, Peneliti Muda tahun 1992,
Peneliti Madya tahun 1994, Ahli Peneliti Madya tahun
1996, Ahli Peneliti Utama tahun 2003 pada bidang
Parasitologi dan Mikrobiologi.
Sampai dengan tahun 2012, telah
menghasilkan lebih dari 140 karya tulis ilmiah yang
ditulis sendiri atau bersama penulis lain dalam jurnal
ilmiah, buku atau prosiding pertemuan ilmiah dalam
bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, di dalam
dan di luar negeri.
Melalui orasinya tersebut menunjukkan
pengobatan merupakan komponen penting upaya
pengendalian malaria dan bagian kegiatan rutin di
semua jenjang pelayanan kesehatan. Pengobatan
berhasil baik apabila ditunjang fasilitas pemeriksaan
darah untuk kepastian diagnosis malaria; ketersediaan
dan kemudahan mendapat obat antimalaria; cara
minum obat mudah, sederhana dan singkat waktu
pengobatan; aman, cepat responnya dan sangat efektif
sehingga dapat mencegah penyakit menjadi berat dan
komplikasi akibat kegagalan pengobatan, mencegah
penularan infeksi dan resistensi.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 12
Regimen kombinasi derivat artemisinin
merupakan obat antimalaria praktis untuk semua
jenis dan stadia malaria, dan membantu kekurangan
keterampilan mikroskopis dalam mengidentifikasi
jenis parasit. Kombinasi artemisinin fixed dose yang
aman, sangat potent dengan efikasi >95%, dosis
harian tunggal dan waktu pengobatan sesingkat
mungkin dapat memperbaiki kepatuhan minum obat.
Dihidroartemisinin -piperakuin, artesunat -
pironaridin dan artemisinin-naftokuin merupakan
ACT potensial untuk kebijakan multi first line
therapy sehingga perkembangan parasit resisten
dapat dicegah dan cakupan pengobatan ditingkatkan.
Petunjuk pengobatan malaria dapat dipertajam
menjadi:
pengobatan radikal baku malaria tanpa
komplikasi untuk semua kelompok umur dan
semua jenis malaria,
pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi
dengan gagal pengobatan,
pengobatan malaria untuk wanita hamil trimester
pertama,
pengobatan radikal malaria berat dan dengan
komplikasi.
Pengobatan malaria berkembang dan
mengalami perubahan paradigma dari monoterapi
menjadi komboterapi. Kombinasi yang ideal adalah
antara derivat artemisinin dan obat antimalaria yang
mempunyai waktu paruh panjang yang dapat
membunuh sisa parasit yang belum terbunuh oleh
derivat artemisinin, membunuh parasit yang relaps,
dan mencegah infeksi baru didaerah endemis atau
dikenal post treatment prophylaxis.
Pengobatan radikal dengan primakuin adalah
mutlak walaupun di daerah endemis malaria dan
menggunakan ACT yang efektif untuk dapat
memutuskan penularan dan menuju eliminasi malaria.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 13
Keluarga besar Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
mengucapkan SELAMAT kepada Prof. dr. Emiliana Tjitra,
atas pengukuhannya........
Diharapkan akan membawa kemaslahatan bagi peneliti khususnya
dan umat manusia umumnya................Aamiiin
REFORMASI BIROKRASI
DR. Ir. Dewi Permaesih, M.Kes
Undang-undang No 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025 mengamanatkan bahwa
pembangunan aparatur negara dilakukan melalui
reformasi birokrasi untuk mendukung keberhasilan
pembangunan bidang lainnya. Sebagai wujud
komitmen nasional untuk melakukan reformasi
birokrasi, pemerintah telah menetapkan reformasi
birokrasi dan tata kelola pemerintahan menjadi
prioritas utama dalam Perpres Nomor 5 Tahun
2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2010 – 2014.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya
merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan,
proses menata ulang, mengubah, memperbaiki, dan
menyempurnakan birokrasi agar menjadi lebih baik
(profesional, bersih, efisien, efektif, dan produktif).
Perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi
seperti kelembagaan, sumber daya manusia aparatur,
ketatalaksanaan, akuntabilitas, aparatur,
pengawasan dan pelayanan publik, yang dilakukan
secara sadar untuk memposisikan diri (birokrasi)
kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan
dinamika lingkungan yang dinamis.
Perubahan tersebut dilakukan untuk
melaksanakan peran dan fungsi birokrasi secara
tepat, cepat dan konsisten, guna menghasilkan
manfaat sesuai diamanatkan konstitusi. Perubahan
kearah yang lebih baik, merupakan cerminan dari
seluruh kebutuhan yang bertitik tolak dari fakta
adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari
harapan. Realitas ini, sesungguhnya menunjukan
kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara apa
yang sebenarnya diharapkan, dengan keadaan yang
sesungguhnya tentang peran birokrasi dewasa ini.
Sasaran Reformasi Birokrasi antara lain :
Terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas
KKN
Terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan
publik kepada masyarakat
Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja
birokrasi
Dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi ada 4 misi
yang diusung yaitu :
1. Membentuk/menyempurnakan peraturan
perundang-undangan dalam rangka mewujudkan
tata kelola pemerintah yang baik
2. Melakukan penataan dan penguatan organisasi,
tatalaksana, manajemen sumber daya manusia
aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas
pelayanan publik, mindset dan culture set.
3. Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif.
4. Mengelola sengketa administratif secara efektif
dan efisien.
Proses Reformasi yang sedang berjalan
tentunya diharapkan memberi manfaat, yaitu:
Penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, bersih
dan bebas dari KKN, masyarakat mendapat
pelayanan yang mudah cepat, ramah terjangkau dan
informatif, kemampuan dan rasa tanggungjawab
pegawai semakin meningkat.
Pelaksanaan reformasi dibagi dalam 8 area yaitu :
1. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
2. Penataan Tata Laksana
3. Penataan Peraturan Perundang-undangan
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 14
4. Penguatan Pengawasan
5. Penataan Organisasi
6. Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur
7. Penguatan Akuntabilitas Kinerja
8. Manajemen Perubahan Pola Pikir dan Budaya
Kerja
Proses reformasi birokrasi diharapkan akan
membawa perubahan antara lain pada peningkatan
disiplin kerja, pegawai datang melaksanakan tugas
tepat waktu, mengisi waktu di kantor dengan
m e l a k s a n a k a n t u g a s y a n g m e n j a d i
tanggungjawabnya sesuai dengan tugas dan fungsi
dan mengikuti aturan yang berlaku serta tepat
sasaran Bekerja dengan hati yang tulus dan
berupaya meningkatkan pelayanan maupun
meningkatkan keahlian. Semua Pegawai Negeri Sipil
mempunyai produktivitas yang tinggi karena
mempunyai kinerja yang jelas.
Agar semua itu cepat terlaksana, maka
perubahan harus dimulai dari sekarang, mulailah
dari diri sendiri yang kemudian ditularkan kepada
lingkungannya, sehingga menyebar dan pada
akhirnya semua berubah kearah yang lebih baik.
Tentunya hal ini dapat kita mulai dari hal-hal yang
kecil seperti absensi, kepatuhan untuk hadir tepat
waktu kemudian berkembang pada hal-hal lain.
Pelaksanaan perubahan tidak mengenal kata berhenti
tetapi dilaksanakan terus menerus dan
berkesinambungan. Mari kita mulai merubah mind set,
berpikir kearah positif, merubah budaya kerja, datang
kekantor tidak hanya sekedar mengisi absen.
Di lingkungan Pusat Teknologi Terapan
Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, sosialisasi pada
seluruh peneliti oleh “Agent of Change” dilakukan
secara bertahap pada peneliti di kantor Jakarta
maupun di Bogor, para litkayasa dan juga seluruh
pejabat struktural serta pelaksana administrasi
lainnya. Sosialisasi juga disampaikan oleh nara
sumber Assesor dari Badan Penelitian Pengembangan
Kesehatan, Bapak Dede Anwar Musadad, SKM, M.Kes
dan Ibu Dra. Rahmaniar Brahim, Apt., M.Kes dari Itjen
Kemenkes RI
Mari kita bersama mulai melaksanakan
Reformasi Birokrasi di lingkungan sendiri, sesuai
dengan pesan Kepala Badan Litbangkes “mari kita
BERTASBIH.”
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 15
KAUSASI DR. Ir. Basuki Budiman, MScPH
Kausasi dimaksudkan adalah proses
menimbang (judgement) suatu variabel atau faktor
sebagai penyebab suatu kejadian (penyakit, dsb).
Pengenalan suatu sebab memudahkan seseorang
memutuskan suatu tindakan yang tepat untuk
memecahkan masalah. Lingkup tulisan ini membahas
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam
menyusun, menganalisis dan menyimpulkan suatu
penelitian. Kausasi sangat bermanfaat dalam
melakukan kajian kumpulan hasil penelitian (review).
Penelitian pada dasarnya adalah proses
memecahkan masalah untuk mencari kebenaran
relatif. Ilmu dan pengetahuan selalu berkembang.
Kebenaran saat ini belum tentu benar di masa yang
akan datang. Temuan baru hasil penelitian akan
memperbarui kebenaran yang dipercaya sebelumnya.
Kejadian ini selalu berulang secara “secular trend”
atau yang dikenal dengan prinsip deducto-hipotetico-
verifikasi. Penelitian dimulai dengan mengumpulkan
fakta yang ada, menyusun teori dan hipotesis dan
melakukan verifikasi termasuk menyimpulkan.
Penyusunan fakta untuk menyusun teori
merupakan pekerjaan merunut fakta sedemikian rupa
sehingga diperoleh kerangka teori dan menyusun
hipotesis. Pada waktu merunut fakta, seseorang
memerlukan pengetahuan faktor sebab dan akibat
supaya tidak bertentangan dengan logika batang
tubuh pengetahuan (body of knowledge). Beberapa
pedoman disarankan oleh cendekiawan untuk
menimbang suatu faktor sebagai suatu sebab
kejadian, antara lain Hill (1965).
Model Kausasi
Suatu kejadian tidak berdiri sendiri atau tidak
disebabkan oleh faktor tunggal dan pasti berkaitan
dengan faktor lain. Rothman (1985) memberi contoh
yang sederhana dan mudah dipahami. Jika tombol
sakelar listrik ditekan “on” maka bola lampu akan
menyala. Kegiatan menekan sakelar listrik “on” tidak
serta merta menyimpulkan sebagai sebab bola lampu
menyala. Faktor lain yang berkonstribusi antara lain
kabel. Jika tidak ada kabel tidak mungkin bola lampu
menyala. Oleh karena itu perlu prasyarat dan kejadian
yang cukup (sufficient cause) untuk mengatakan suatu
faktor sebagai sebab.
Rothman mendefinisikan sufficient cause
sebagai berikut “ a set of minimal conditions and events
that inevitably produce disease”. Minimal prasyarat
dan kejadian yang pasti menghasilkan akibat (disease).
Minimal dalam arti prasyarat dan kejadian tidak
berlebihan. Dalam etiologi penyakit minimal
dipadankan dengan onset penyakit. Namun demikian,
untuk efek biologis, banyak hal dan seringkali terjadi
komponen sufficient cause (confounder) tidak
diketahui. Sebagai contoh “merokok penyebab kanker
paru”. Di antara “merokok” dengan “sakit kanker
paru” terdapat rangkaian kejadian atau prasyarat,
sehingga “merokok” itu sendiri tidak cukup
disimpulkan sebagai penyebab. Faktor lain yang perlu
dipertimbangkan adalah berapa banyak batang rokok
dihisap dalam waktu tertentu, jenis rokok, ada filter,
tanpa filter atau kretek, cara dan lama merokok. Jadi
kata merokok sendiri kurang tepat digunakan sebagai
penjelas sebab.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 16
UNICEF pernah mengenalkan sebab
langsung, sebab antara dan akar masalah. Istilah ini
diterapkan dalam analisis penyebab kurang gizi.
Green dalam menganalisis motif seseorang
bertindak, membedakan sebab dalam faktor
predisposisi, faktor pendorong dan faktor
penghambat.
Kausasi menurut Hill.
Hill memberi 9 (sembilan) bahan
pertimbangan dalam menentukan suatu faktor
sebagai sebab, yaitu:
1. Strength atau besaran kekuatan asosiasi/
hubungan antara faktor sebab dan faktor akibat.
Besaran dinyatakan dengan rasio relatif atau
rasio odd atau dalam analisis statistik regresi
sebagai koefisien. Semakin besar besaran
kekuatan asosiasi semakin besar peluang
menyingkirkan atau mengabaikan komponen lain
(confounder). Misalnya rasio odd merokok sebagai
penyebab kanker paru sebesar 10 kali. Definisi
merokok adalah menghisap rokok putih, tidak
berfilter, 20 batang per hari selama 10 tahun
atau lebih. Dalam hal ini faktor merokok dapat
disimpulkan sebagai sebab. Jika besaran sangat
kecil, misalnya rasio odd 1,10, maka bias tidak
terdeteksi. Peran faktor lain, yang mungkin tidak
diketahui, tidak terdeteksi.
2. Consistency adalah seri hasil pengamatan/
penelitian yang hampir sama walaupun
dilaksankan pada populasi dan mungkin metode
penelitian yang berbeda. Hal ini jarang terjadi.
Biasanya berbeda metode berbeda hasil.
3. Specificity membutuhkan single efek, bukan
multi efek. Misalnya kuman tuberkolosis
menyebabkan sakit tuberkolosis (TB) paru atau
defisiensi iodium menyebabkan pembesaran
kelenjar tiroid (gondok, goiter). Jika kuman
tuberkolosis dihilangkan tidak terjadi sakit TB
atau jika iodium diberikan (profilaksis) maka
goiter sembuh. Kuman TB dan iodium adalah
necessary cause.
4. Temporaly merujuk pada keharusan faktor sebab
mendahului akibat (efek) dalam satu waktu dan
tidak bertentangan dengan body of knowledge.
5. Biological gradient. Yang dimaksudkan adalah
dose-response effect. Semakin besar paparan
(exposure) semakin parah akibat yang ditimbulkan.
Keparahan akibat bergantung pada dosis sebab.
6. Plausibility lengkapnya adalah biologically
plausible mechanism yaitu peran dari faktor sebab
sehingga akibat terjadi. Ringkasnya dalam ilmu
kedokteran adalah patologi atau mekanisme
kejadian penyakit dari fakor sebab itu. Sebagai
contoh adalah pengaruh anemia terhadap kognisi.
Anemia berpengaruh terhadap saraf pusat yang
berkaitan dengan pendengaran. Mielinasi
terganggu karena defisiensi zat gizi besi sehingga
transmisi informasi dari auditori ke sistem saraf
pusat memerlukan waktu yang lebih lama.
7. Coherence adalah hubungan sebab-akibat tidak
bertentangan dengan pengetahuan yang ada
mengenai riwayat alamiah dan biologi penyakit.
8. Experimental evidence merujuk pada hasil
penelitian double blind randomized controlled trial
yang membuktikan bahwa pemberian intervesi
faktor yang “diduga sebab” memperbaiki atau
memulihkan keadaan atau menetralisasikan „faktor
akibat‟.
9. Analogy menjelaskan kesepadanan hasil observasi
penelitian lain. Misalnya jika suatu obat dapat
menyebabkan cacat lahir, bukan tidak mungkin
obat lain juga mempunyai pengaruh yang sama.
Pada akhir urainnya Hill mengakui bahwa sem-
bilan butir aspek yang disarankan tidak mutlak benar
dan harus semuanya ada.
None of my nine viewpoints can bring indisputable
evidence for or against the cause-and-effect hypothesis
and none can be required as a sine qua non
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 17
Telaah sembilan saran Hill
Hill menulis sarannya pada tahun 1965, saat
itu ilmu statistik belum berkembang seperti
sekarang. Teknik regresi multivariat tidak secanggih
sekarang atau bahkan belum ditemukan, sehingga
analisis hubungan antar variabel masih bivariat.
Suatu kejadian tidak mungkin terjadi berdiri sendiri,
seperti kata Rothman bahwa „sebab‟ disertai
„komponen sebab‟ atau dalam bahasa sekarang dise-
but konfonder. Oleh karena itu mengisolasi faktor
yang diduga sebab menjadi satu-satunya faktor sebab
(spesifisitas) adalah tidak mungkin.
Dalam hubungan dua variable seharusnya
ditentukan faktor sebab (independent variable, IV)
dan faktor akibat (dependent variable, DV) sehingga
ditentukan sebab mendahului akibat. Koefisien
korelasi, OR atau RR mungkin besar, namun
kekuatan hubungan (asosiasi) akan dimodifikasi oleh
faktor lain (konfonder). Besar kekuatan hubungan
bukan tidak mungkin menjadi kecil karena faktor
lain mempunyai hubungan yang lebih langsung
dibandingkan dengan faktor „sebab‟ yang dianalisis.
Hubungan yang lemah (OR kecil) tidak menghapus
konstribusi faktor „sebab‟.
Hasil satu penelitian, walaupun
dilaksanakan dengan desain double blind randomized
controlled trial-pun, belum meyakinkan mendekati
kebenaran relative. Oleh karena itu review (lebih
disukai sistematik atau meta-analisis) lebih
meyakinkan karena unsur konsistensi hasil
penelitian tercakup. Hasil penelitian lain baik yang
bersifat praklinis, klinis maupun pada populasi yang
luas akan lebih menjelaskan mekanisme hubungan
sebab-akibat. Konsistensi juga memenuhi hukum
“bell shape” atau kurva normal. Satu penelitian
bagaikan pengambilan satu kelompok sampel dari
satu populasi. Pengambilan sekelompok sampel dari
populasi yang sama seharusnya menghasilkan
kesimpulan yang sama.
Penelitian menghasilkan pengetahuan baru
yang dapat menumbangkan atau bahkan memperkuat
teori lama. Ilmu selalu berkembang. Sebagai contoh
penetapan kebutuhan vitamin D di Amerika Serikat.
Kebutuhan vitamin D untuk konsumsi sehari pada
tahun 1942 ditetapkan 400-800 IU/hari untuk semua
umur, kemudian 400 IU pada tahun 1948 sampai
dengan tahun 1980. Pada tahun 1989 konsumsi
vitamin D yang dianjurkan (RDA) turun dari periode
sebelumnya terutama untuk bayi berumur kurang dari
enam bulan, yaitu 300 IU (7,5 mg). Untuk kelompok
umur lebih tua ditetapkan 400 IU (10 mg). Periode
tahun 2008 ditetapkan 400 IU dengan perubahan dasar
penetapan RDA ke AI terutama untuk anak di bawah
umur kurang dari 6 bulan. Tahun 2011 direkomendasi-
kan 600 IU. Perubahan-perubahan penetapan terutama
pada kebutuhan anak. Pengetahuan tentang
pencegahan rackitis, kondisi bayi premature,
pemenuhan kadar serum darah 16 ng/mL (50 nmol/L)
dan perubahan konsep penetapan kebutuhan (RDA,
AI, DRI, EAR). Semua pengetahuan dapat berubah
karena ilmu adalah dinamis dan kebenaran adalah
relatif.
Analogi seperti yang dikemukakan oleh Hill
mungkin lebih banyak subyektif dan dipenuhi oleh
imaginasi atau intuisi peneliti. Sebaiknya tidak
menggunakan butir ini untuk mempertimbangkan
sebab-akibat suatu kejadian.
Penggunaan aspek kausasi
Pada paragraph sebelum ini telah disinggung
penggunaan aspek hubungan sebab-akibat dalam
menentukan akibat kognisi lemah oleh anemia zat gizi
besi pada anak berumur kurang dari dua tahun.
Grantham Mc Gregor dan Ani (2001) dan McCann dan
Ames (2007) mereview hasil penelitian mengenai
bahasan tersebut dalam kurun waktu yang berbeda.
Tulisan pertama (McGregor) mengunakan empat aspek
yaitu spesitifitas, biologically plausible mechanism,
strength of an association dan experimental evidence.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 18
Tulisan kedua (McCann) menggunakan lima
aspek, namun dua di antaranya (spesifisitas dan
ability to manipulate the effect agak tumpang tindih).
Aspek lainnya adalah konsistensi, dose-response
(biological gradient), dan biologically plausible
mechanism. Kedua tulisan tersebut menyimpulkan
bahwa walaupun sebagian aspek kausasi telah
terpenuhi namun hubungan kausal belum dapat
ditegakkan (established). Hal ini disebabkan antara
lain penelitian ujicoba dengan perlakuan (trial) pada
manusia tidak dapat dilaksanakan dengan
menggunakan placebo (kosong) karena alasan etis,
demikian pula penelitian pada otak manusia sangat
terbatas dan penggunaan pada otak binatang coba
tidak begitu saja dapat diterapkan (inference) pada
otak manusia.
Penggunaan teknik regresi multivariate
dengan memasukkan sebanyak mungkin faktor,
tetap saja harus mempertimbangkan aspek kausasi.
Pengabaian aspek kausasi ini sering ditemukan pada
proporsal penelitian, analisis dan bahkan disertasi.
Seringkali asosiasi sering diinterpretasikan bahkan
dipaksakan sebagai hubungan sebab-akibat (causal-
effect).
Kesimpulan
Aspek kausasi masih tetap dibutuhkan dalam
analisis hubungan sebab-akibat, walaupun kadang-
kadang belum sampai mengisolasikan sebagai faktor
sebab.
Aspek kausasi sangat membantu dalam
menemukan sebab ketika menelaah kumpulan hasil
penelitian serumpun (dalam topik yang sama).
Kepustakaan
1. Rothman KJ. Modern Epidemiology. Litle, Brown
and Company. 2nd Prn. Boston. 1986 pp 7-21
2. Grantham-McGregor S, Ani C. A Review of studies
on the effect of iron deficiency on cognitive
development in children. J Nutr 2001;131:649S-
668S
3. McCann JC, Ames BN. An Overview of evidence for
causal relation between iron deficiency during
development and deficiet in cognitive or behavioral
function. Am J Clin Nutr 2007;85:931-45
4. Abrams SA. Vitamin D requirements of children:
“all my life‟s a circle”. Nutrition Reviews 2012;70
(4):201-6. ILSI 2012.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 19
Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan
drh. Endi Ridwan. M.Sc
Penelitian kesehatan meliputi penelitian
biomedik, epidemiologi, sosial, serta perilaku dibidang
kesehatan. Sebagian penelitian kesehatan dari bahan
uji (obat) dapat dilakukan dengan cara in vitro,
memakai model matematik, atau simulasi komputer.
Jika hasil penelitian dari bahan tersebut akan
dimanfaatkan untuk manusia maka diperlukan
penelitian lanjutan dengan menggunakan bahan
hidup seperti: galur sel dan biakan jaringan. Untuk
mengamati lebih jauh dalam mempelajari dan
menyimpulkan reaksi bahan uji pada mahluk hidup
secara utuh masih diperlukan hewan percobaan,
karena mempunyai nilai pada setiap bagian tubuh
dan terdapat interaksi antara bagian tubuh tersebut.
Dalam rangkaian uji klinik pemanfatan hewan
percobaan disebut uji pre klinik.
Hewan percobaan yang digunakan pada
penelitian akan mengalami berbagai macam
p e n d e r i t a a n y a i t u : k e t i d a k n y a m a n a n ,
ketidaksenangan, kesusahan, rasa nyeri dan
terkadang berakhir dengan kematian. Oleh karena itu
hewan yang dikorbankan dalam penelitian yang
hasilnya dapat dimanfaatkan dan menguntungkan
bagi manusia patut dihormati, mendapat perlakuan
yang manusiawi, dipelihara dengan baik dan
diusahakan menyesuaikan pola dengan kehidupannya
di alam. Prinsip etika penelitian, dalam
pelaksanaan suatu penelitian, peneliti harus
membuat dan menyesuaikan protokol dengan standar
ilmiah dan etik penelitian kesehatan.
Etik penelitian kesehatan secara umum
dikenal dengan tiga prinsip yaitu;
Respect: yaitu menghormati hak martabat
makhluk hidup termasuk didalamnya hewan
percobaan.
Beneficiary: yaitu memaksimalkan manfaat dan
meminimalkan risiko
Justice: Bersikap adil dalam hal ini ketika
memanfaatkan hewan percobaan. Contoh sikap
tidak adil:
1. Hewan di suntik/ dibedah berulang ulang
untuk menghemat jumlah hewan
2. Memakai obat euthanasia yang menimbulkan
rasa nyeri karena harganya lebih murah.
Setiap penelitian kesehatan yang
menggunakan hewan percobaan agar dapat
dipertanggungjawabkan secara etis, selain
memperhatikan prinsip umum juga harus menerapkan
prinsip 3 R yaitu; Replacement, Reduction dan
Refinement.
Replacement: adalah keperluan atau alasan
memanfaatkan hewan percobaan (spesies, asal
hewan), sudah diperhitungkan secara seksama
baik dari pengalaman terdahulu atau literatur
untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Replacement terbagi menjadi dua bagian yaitu;
Relatif : mengganti hewan percobaan dengan
memakai organ/jaringan hewan dari rumah
potong, hewan dari ordo lebih rendah.
Absolut: mengganti hewan percobaan dengan
memakai kultur sel/jaringan, atau dengan
program komputer.
Reduction: adalah jumlah hewan yang
dimanfaatkan dalam penelitian sudah
diperhitungkan sesedikit mungkin namun
mendapatkan hasil yang optimal. Penggunaan
desain statistik yang tepat dapat digunakan untuk
memanfaatkan hewan dalam jumlah sedikit
mungkin, namun dapat memberikan hasil
penelitian yang sahih.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 20
Refinement: adalah memperlakukan hewan
percobaan secara humane (manusiawi),
memelihara hewan dengan baik, tidak menyakiti
hewan atau meminimalisir perlakuan yang
menyakitkan sehingga menjamin kesejahteraan
hewan percobaan sampai akhir penelitian.
Pinsip Refinement adalah membebaskan hewan
percobaan dari beberapa kondisi yang dikenal
dengan istilah 5 F (Freedom) yaitu bebas dari:
Rasa lapar dan haus, dengan memberikan
akses makanan dan air minum yang sesuai
dengan jumlah yang memadai baik jumlah dan
komposisi nutrisi untuk kesehatannya. Makanan
dan air minum memadai dari kualitas,
dibuktikan melalui analisa proximate makanan,
analisa mutu air minum, dan uji kontaminasi
secara berkala
Ketidaknyamanan; menyediakan lingkungan
bersih dan paling sesuai dengan biologi hewan
percobaan yang dipilih (siklus cahaya, suhu,
kelembaban lingkungan dan fasilitas fisik seperti
ukuran kandang, kebiasaan mengelompok atau
menyendiri).
Rasa sakit dan penyakit. Bebas dari penyakit
dengan menjalankan program kesehatan,
pencegahan, pemantauan terhadap hewan
percobaan dan pengobatan jika diperlukan. Bebas
dari rasa sakit dengan pemilihan prosedur
dengan pertimbangan meminimalkan rasa sakit
yang diderita dengan menggunakan anesthesia
dan analgesia apabila diperlukan. Euthanasia
dilakukan dengan metoda yang “humane” oleh
orang yang terlatih untuk meminimalkan atau
bahkan meniadakan penderitaan hewan.
Ketakutan dan stress jangka panjang, dengan
membuat kondisi lingkungan yang dapat
mencegah stress, misalnya memberikan masa
adaptasi/aklimatisasi, latihan bagi hewan
terhadap prosedur penelitian. Semua prosedur
dilakukan oleh tenaga yang qualified, dan
terlatih untuk meminimalkan stress, dan juga
care terhadap hewan percobaan.
Mengekspresikan tingkah laku alami dengan
memberikan ruang dan fasilitas yang sesuai dengan
biologi dan tingkah laku spesies hewan percobaan.
Memberikan sarana untuk kontak sosial (bagi
species yang bersifat sosial): Pengandangan
berpasangan atau berkelompok, kesempatan dan
kebebasan untuk berlari, bermain dll.
Peneliti yang akan memanfaatkan hewan
percobaan pada penelitian kesehatan harus mengkaji
secara mendalam kelayakan, alasan pemanfaatan
hewan dengan mempertimbangkan penderitaan yang
akan dialami oleh hewan percobaan dan manfaat yang
akan diperoleh untuk manusia.
Penanganan hewan percobaan selama
penelitian mulai pemilihan, strain, asal hewan,
aklimatisasi, pemeliharaan, tindakan yang
direncanakan, termasuk tindakan untuk meringankan,
mengurangi rasa nyeri atau meniadakan penderitaan
hewan, siapa yang bertanggung jawab terhadap
perawatan hewan, sampai cara mematikan dan
membuang kadaver harus dijelaskan dengan rinci
dalam protokol penelitian. Uraian perlakuan pada
hewan percobaan jika dianalogikan berperan sebagai
Informed Consent bagi hewan dan menjadi penilaian
dalam etika pemanfaatan hewan percobaan.
Rujukan :
1. Nomura T and Tajima Y. Defined Laboratory Animals,
Advances in Pharmacology and Therapeutics II.
Pergamon Press, Oxford and New York. 1982:15: 325-327
2. Insitute of Laboratory Animal Resources Commission on
Life Sciences, Guide for the Care and Use of Laboratory
Animals. National Research Council, USA: 1996.
3. Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Komisi
Nasional Etik Penelitian Kesehatan Jakarta 2005.
4. Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Suplemen
II Etik Penggunaan Hewan Percobaan. Komisi Nasional
Etik Penelitian Kesehatan Jakarta 2006.
5. Dondin Sajuthi. Etika Penelitian Menggunakan Hewan
Percobaan. Handout Pelatihan Dasar Etika Penelitian
Kesehatan. Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan
2011.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 21
Rahasia di balik COKELAT
Mutiara Prihatini S.Gz, M.Si Nindira Aryudhani, M.Si
Cokelat merupakan bahan makanan yang
enak dan banyak kegunaannya. Bentuk produk coklat
antara lain bubuk cokelat (cocoa powder) sebagai
bahan pembuat kue, permen cokelat (cocoa candy)
sebagai makanan kecil atau sebagai bahan untuk
buah tangan bagi anak-anak, dan cokelat pengoles
roti. Disamping itu, produk antara cokelat , misalnya
lemak cokelat (cocoa butter) dapat dipakai sebagai
bahan pembuat kosmetika. Lemak cokelat biasa
digunakan untuk membuat lipstick (Roesmanto 1991).
Organ tanaman kakao (T. cacao) yang paling
sering diteliti adalah kelopak bunganya. Kelopak
bunga tanaman kakao memiliki warna dasar yang
berasal dari pigmen antosianin. Demikian halnya
dengan organ yang lain, didominasi oleh pigmen
antosianin, antara lain ligula, filamen benang sari dan
buah (Bartley 2005). Senyawa aktif lain yang terdapat
pada cokelat adalah theobromine, yang merupakan
komponen yang mirip dengan kafein (Anonim 2010a).
Cokelat (chocolate) dibuat dari tanaman
kakao. Hal ini menunjukkan bahwa cokelat
mangandung banyak manfaat kesehatan. Manfaat ini
berasal dari flavonoid, yang berperan sebagai
antioksidan, yang melindungi tubuh dari penuaan
yang disebabkan oleh radikal bebas. Radikal bebas
juga dapat menyebabkan kerusakan yang akan
mengawali penyakit jantung (Chocolate
Manufacturers Association 2010).
Cokelat gelap (dark chocolate) mengandung
banyak antioksidan, yang setidaknya ditemukan
delapan kali lebih banyak dibandingkan pada buah
stroberi. Flavonoid juga membantu relaksasi tekanan
darah melalui produksi nitrit oksida serta
menyeimbangkan hormon tertentu di dalam tubuh
(Chocolate Manufacturers Association 2010).
Flavonoid merupakan salah satu jenis senyawa
polifenol. Jenis flavonoid yang terkandung pada
cokelat bernama flavonol. Konsumsi cokelat dengan
kandungan kakao yang tinggi berkorelasi dengan
manfaat positif bagi kesehatan yang diperoleh dari
daya antioksidan flavonol sebagai hasil derivatisasi biji
kakao (T. cacao) yang ditimbun di tanah dan
difermentasi. Dalam hal ini, dark chocolate dapat
membantu resistensi DNA terhadap stres oksidatif
karena kandungan flavonoidnya (Anonim 2010b).
Dark chocolate bermanfaat untuk jantung.
Sebatang kecil dark chocolate setiap hari dapat
membantu menjaga jantung dan memperlancar sistem
kardiovaskuler. Dua manfaat dark chocolate terhadap
kesehatan jantung adalah menurunkan tekanan darah
dan menurunkan kolesterol. Studi telah menunjukkan
bahwa konsumsi sebatang kecil dark chocolate setiap
hari dapat menurunkan tekanan darah pada tiap
individu yang memiliki tekanan darah tinggi. Dark
chocolate juga dapat mengurangi kolesterol LDL
hingga 10% (Chocolate Manufacturers Association
2010).
Cokelat juga memiliki manfaat yang lain selain
untuk bagi jantung, antara lain rasanya yang enak,
cokelat menstimulasi produksi hormon endorfin yang
berperan memberikan perasaan senang, cokelat
mengandung serotonin yang berperan sebagai
antidepresan serta mengandung theobromin dan
kafein yang berperan sebagai zat stimulan. Dalam hal
ini, penting juga untuk diketahui bahwa sejumlah
lemak pada cokelat tidak meningkatkan jumlah
kolesterol. Lemak pada cokelat terdiri atas sepertiga
asam oleat, sepertiga asam stearat dan sepertiga asam
palmitat.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 22
Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh
tunggal (monounsaturated fatty acid) yang memiliki
manfaat bagi kesehatan. Asam oleat juga terkandung
di dalam minyak zaitun (olive oil). Asam stearat
merupakan asam lemak jenuh (saturated fatty acid),
akan tetapi terdapat penelitian yang menunjukkan
bahwa asam stearat memiliki efek yang netral
terhadap kolesterol. Asam palmitat juga merupakan
asam lemak jenuh, yang dapat meningkatkan
kolesterol dan resiko penyakit jantung. Hal ini
menunjukkan bahwa hanya sepertiga bagian dari
lemak pada cokelat yang tidak baik untuk kesehatan.
Sebuah penelitian pada tahun 2008
menyatakan bahwa konsumsi sekitar 6,7 g dark
chocolate dapat menurunkan jumlah protein yang
berasosiasi dengan inflamasi di dalam aliran darah.
Hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa pada
para pengkonsumsi cokelat, kondisi trombosit
darahnya menggumpal lebih lambat. Penggumpalan
trombosit dapat mengawali pembentukan darah beku
yang menyebabkan serangan jantung. Konsumsi
cokelat dapat menurunkan tekanan darah dan
mencegah pembentukan plak pada pembuluh arteri,
serta memperbaiki aliran darah, terutama ke otak.
Perbaikan aliran darah ke otak tersebut dibantu oleh
flavonoid, sehingga seseorang dapat melaksanakan
pekerjaannya dengan lebih baik. Cokelat juga
memiliki manfaat antikanker, karena flavonoid dapat
membantu mengurangi kerusakan sel yang dapat
memacu pertumbuhan tumor (Rettner 2010).
Flavonoid merupakan senyawa yang terdapat
pada biji kakao, yang berperan sebagai antioksidan
untuk membantu melindungi sel dalam melawan
kerusakan yang datang dari toksin di lingkungan
maupun yang berasal dari zat sisa metabolisme
tubuh. Konsumsi flavonoid dapat terkait dengan
manfaat bagi kesehatan jantung. Akan tetapi,
flavonoid memiliki rasa pahit, sehingga membuat
para produsen cokelat menghilangkan senyawa ini
pada saat pengolahan cokelat. Produk cokelat yang
masih memiliki kandungan flavonoid adalah dark
chocolate, karena tidak banyak mengalami tahap
proses pengolahan (Rettner 2010).
Konsumsi cokelat tetap harus memperhatikan
konsumsi terhadap makanan yang lain. Pada faktanya,
sebagian besar cokelat yang biasa dikonsumsi adalah
cokelat sebagai permen yang mengandung banyak gula.
Gula tersebut membuat kandungan kalori pada produk
cokelat menjadi semakin tinggi. Hal ini menjadi tidak
baik jika produk cokelat dikonsumsi dalam jumlah
berlebihan, karena akan mengambil tempat bagi
makanan bergizi yang lain yang seharusnya juga
dikonsumsi. Disamping itu, jika cokelat dikonsumsi
secara berlebihan, maka sangat memungkinkan buah
dan sayur tidak dikonsumsi lagi. Hal ini mengingat
bahwa buah dan sayur juga merupakan bahan pangan
yang penting untuk kesehatan jantung dan pencegahan
penyakit (Rettner 2010).
Kepustakaan
[Anonim]. 2010a. Theobroma cacao. http://
en.wikipedia.org/wiki/ Theobroma_cacao
[Diakses tanggal 23 April 2010].
[Anonim]. 2010b. Types of Chocolate. http://
en.wikipedia.org/wiki/ Types_of_chocolate
[Diakses tanggal 14 April 2010].
Bartley BGD. 2005. The Genetic Diversity of Cacao and
Its Utilization. UK: King‟s Lynn, Biddles Ltd.
Chocolate Manufacturers Association. 2010. Health
Benefits of Chocolate.
http://longevity.about.com/od/lifelongnutrition/p/
chocolate.htm [Diakses tanggal 17 Maret 2010].
Rettner R. 2010. Sweet! Chocolate May Lower Stroke
Risk. http://www.msnbc.msn.com/id/35354279/
[Diakses tanggal 17 Maret 2010].
Roesmanto J. 1991. Kakao: Kajian Sosial Ekonomi.
Yogyakarta: PT Aditya Media.
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 23
Refleksi Akhir Tahun drh. Endi Ridwan
Tahun dua ribu dua belas akan berakhir beberapa saat lagi
meninggalkan pelangi kehidupan termasuk diantaranya ramalan kiamat yang tidak terjadi
namun mari kita berkonsentrasi pada kinerja Pusat Dua selama ini
mengambil manfaat apa telah kita perbuat dan mempersiapkan apa yang akan dihadapi
banyak yang telah kita lakukan selama ini
mulai dari pelatihan GCP yang berkesinambungan....,
termasuk magang untuk rintisan menjadi pusat uji klinik
saintifikasi jamu sehingga menerbitkan buku panduan
mengirimkan staf memperkokoh laboratorium, keluar negeri
dan tak kalah penting... BLO untuk sebuah kebersamaan dan kecintaan terhadap institusi
meskipun sejatinya cinta tidak dapat dipaksakan
biarkanlah ia mengalir seiring dengan bergulirnya waktu dan keadaan.
meredam gejolak, meresap dihati dan berujung pada saling pengertian dan mudah bersinergi
Kedepan terpampang Riskesdas yang harus diselesaikan
kami hanya berharap agar kisah buruk jangan terulang kembali
bukankah persiapan cukup lama dan uji coba telah menggambarkan kemampuan
haruskah kita hanya mengandalkan pengetahuan bahkan ego lalu memaksakan diri
tidak belajar dari pengalaman ... sayang..... jika upaya tak sepadan dengan yang diharapkan
Terimakasih kepada pimpinan kami yang telah bersusah payah
membina dan merangsang peneliti dan struktural dengan tak mengenal lelah
sehingga meningkatkan profesionalisme dan bekerja berpasukan menjadi suatu keharusan
jangan selalu bertanya ketika menghadapi setiap persoalan
namun temukanlah jawaban untuk didiskusikan dan menjadi rujukan
yang penting kita semua berusaha untuk mau dan mampu...dalam keragaman mosaik ilmu
mewujudkan lembaga yang berkualitas, sudah tentu dengan kerja keras.
Jadilah matahari yang menerangi diri sendiri dan alam sekitar
tiada yang dapat menghalangi... hanya awan dan mungkin gerhana ..... itupun hanya sebentar
selebihnya mampu menggerakkan alam semesta sehingga roda kehidupan berjalan
Jadikanlah inspirasi ini menjadi tekad sebuah kebersamaan....
yang terbina dengan komunikasi yang harmonis dan berkesinambungan
mewujudkan mimpi Pusat Dua menjadi unggulan Badan Litbang ..... menjadi kenyataan
Mudah-mudahan.
Endi Ridwan
Newsletter PTTK&EK | Vol. 1(3), Desember 2012 | 24
Pojok Pegawai Pusa
t TTK&EK
NAMA OKT JABATAN
Rika Rachmawati, SKM, MPH 7 Peneliti
dr. Fitriana 7 Calon Peneliti
Wahyu Sayekti Putri 16 Staf
Sugeng Supriadi 17 Staf
dr. Nova Sri Hartati 24 Calon Peneliti
Dian Pratiwi P 27 Peneliti
Taufan Hermawan 31 Litkayasa
Pegawai yang Berulang Tahun Bulan Oktober, November dan Desember
Pegawai Pindahan
Selamat Bergabung di Pusat TTK dan EK…
Selamat untuk yang Berulang Tahun...
semoga panjang umur, sukses selalu...
NAMA DES JABATAN
Anggita Bunga Anggraini, Apt 1 Calon Peneliti
dr. Sri Idaiani, Sp. Kj 3 Peneliti
Mat Nur 3 Staf
dr. Dona Arlinda 5 Calon Peneliti
dr. Muhammad Karyana, M.Kes 6 Ka Sub Bid EP PM
Yessy Desviyanti 6 Staf
Unang Sumpena 6 Staf
Sri Mulyati, SKM, M.Kes 9 Peneliti
dr. Siti Nur Hasanah 9 Calon Peneliti
DR. Djoko Kartono, M.Sc 11 Peneliti
Supardi 11 Litkayasa
Kusnadi 12 Staf
Edi Heriadi 13 Litkayasa
dr. Delima, M.Kes 16 Peneliti
drh. Basundari Sri Utami M.Kes 17 Peneliti
Nuzuliyati Nurhidayati, SKM, MKM 18 Staf
DR. drg. Indirawati TN, Sp.Perio 20 Peneliti
Sundari Wirasmi, S.Si 20 Calon Peneliti
dr. Srilaning Driyah 23 Peneliti
Mohamad Miharja 31 Staf
NAMA TMT JABATAN
Shanty Aru Rahmawati, S.Sos 1 / 4 /2006 Staf
Sumber: Subbag Keuangan Umum dan Kepegawaian
NAMA NOV JABATAN
dr. Bona Simanungkalit, DHSM, 4 Calon Peneliti
Irlina Raswanti Irawan, SKM 8 Peneliti
Yati Sahri 8 Staf
Adi Rustandi 9 Staf
Cecep Somantri 10 Staf
Aniska Novita Sari, S.Si 11 Calon Peneliti
Ir. Tjetjep Syarif Hidayat, M.Kes 13 Peneliti
Ita Novitawati 14 Staf
Dra. Lucie Widowati, Apt., M.Si 21 Peneliti
Joko Pambudi, MPS 22 Peneliti
Hestrika Novia, SIP 22 Staf
drh. Harli Novriani, M.Si 28 Peneliti
Galeri Pusat TTK&EK
National Scientific Meeting Stroke 2012 , Semarang, 23 November 2012
Pimpinan & Segenap Pegawai Pusat TTK&EK Mengucapkan Selamat Tahun Baru 2013
Pengukuhan Profesor Riset Balitbangkes, Jakarta, 19 Desember 2012
Simposium Nasional Badan Litbangkes, Yogyakarta, 9-12 Oktober 2012
Training of Trainer GCP , Yogyakarta, 3-5 Oktober 2012