8

Click here to load reader

Keberadaan Perusahaan Multinasional Dan Respon Pemerintah Negara Penerima

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Keberadaan Perusahaan Multinasional Dan Respon Pemerintah Negara Penerima

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas

Indonesia

Page | 1

Tugas Review Perdagangan Internasional

Nama : Erika

NPM : 0706291243

Sumber Bacaan : Ali M. Nizamuddin, “Multinational Corporations and Economic Development: The Lessons of Singapore”,

dalam International Social Science Review.

Grazia Ietto-Gillies, Theories of International Production: A Critical Perspectives. Diakses dari

www.emeraldinsight.com/1742-2043.htm.

Keberadaan Perusahaan Multinasional dan Respon Pemerintah Negara Penerima

Perekonomian dunia terus berkembang. Pada mulanya, negara merupakan satu-satunya aktor yang

berperan dalam perdagangan internasional. Lama-kelamaan, seiring dengan perkembangan jaman, muncul

beberapa aktor lain yang memiliki peran signifikan dalam membentuk perdagangan internasional. Salah satu

aktor yang memiliki pengaruh besar dalam melakukan perdagangan internasional adalah Multinational

Corporations (MNC). Berbeda dengan perusahaan-perusahaan pada umumnya yang hanya beroperasi di

satu wilayah negara tertentu, Ali M. Nizamuddin dalam tulisannya yang berjudul “Multinational

Corporations and Economic Development: The Lessons of Singapore” mendefinisikan MNC sebagai

perusahaan yang beroperasi pada paling tidak dua negara penerima (host country) yang dihubungkan

melalui sebuah perusahaan induk dengan ikatan kepemilikan yang sama. MNC yang beroperasi di negara

lain (host country) disebut sebagai subsidiary, sementara MNC yang beroperasi di negara asalnya disebuh

perusahaan induk. Nizamuddin juga menyebutkan adanya empat karakter yang membedakan MNC dengan

perusahaan lain. pertama, MNC mempunyai birokrasi yang berkualitas dan terorganisir; birokrasi ini

mempunyai aturan dan prosedur tersendiri yang mengatur gerak-gerik MNC tersebut. Kedua, sebuah MNC

mengoperasikan fungsi spesifik tertentu. Ketiga, MNC melakukan fungsinya secara lintas batas nasional.

Keempat, terdapat tingkat integrasi tinggi antar unit-unit MNC sebagai hasil dari komunikasi dan

transportasi yang maju.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai cara MNC beroperasi, penulis ingin membahas lebih

dahulu mengenai motif-motif suatu perusahaan melakukan produksi internasional. Grazia Ietto-Gillies

dalam tulisannya yang berjudul “Theories of International Production: A Critical Perspective” membagi

motif-motif ini ke dalam tiga pandangan besar, yaitu pandangan Hymer, pandangan Vernon, dan pandangan

the Reading School. Pandangan pertama, dikeluarkan oleh Stephen Hymer, yang mengatakan bahwa kondisi

Page 2: Keberadaan Perusahaan Multinasional Dan Respon Pemerintah Negara Penerima

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas

Indonesia

Page | 2

pasar yang tidak sempurna pada akhirnya akan melahirkan bentuk dominasi dari suatu perusahaan tertentu,

di mana perusahaan itu akan memperoleh manfaat komparatif (comparative advantages) untuk bermain di

wilayah lainnya. Adanya kondisi pasar yang tidak sempurna juga melahirkan konflik, yang lantas

menyebabkan perusahaan yang menderita konflik tersebut berpindah lokasi dan melakukan produksi

internasional. Pandangan kedua berangkat dari teori siklus produksi Vernon, yang mengatakan bahwa pada

awalnya produk baru dimonopoli produksinya oleh suatu perusahaan, di mana kemudian perusahaan yang

tadinya hanya beroperasi secara domestik mulai memasarkan produknya di negara lain. Pemasaran produk

di negara lain tersebut kemudian mendorong terciptanya imitasi dari perusahaan lain di negara tujuan ekspor.

Adanya imitasi tersebut lantas mendorong perusahaan asal produk untuk membangun perusahaannya di

negara asal perusahaan imitasi, dan kemudian melakukan produksi internasional untuk menghindari

biaya-biaya yang tidak perlu seperti misalnya biaya ekspor. Pandangan ketiga, pandangan the Reading

School, dipelopori oleh John Dunning. Dunning menjelaskan alasan mengapa produksi internasional berupa

rute produksi langsung (direct production route) lebih digemari dibanding keterlibatan eksternal lainnya

seperti pemberian lisensi. Produksi langsung akan mendatangkan manfaat internalisasi, di mana biaya

transaksi dapat ditekan. Lebih lanjut lagi, pengeluaran untuk riset dan pembangunan (Research and

Development expenditure) dapat ditekan karena dengan melakukan produksi langsung. Sehingga pandangan

the Reading School menekankan adanya unsur efisiensi yang menjadi motif utama suatu perusahaan

melakukan produksi internasional.

Grazia Ietto-Gillies juga membahas mengenai faktor buruh yang juga mendorong motif suatu

perusahaan melakukan produksi internasional. Kekuatan buruh merupakan resiko besar yang harus dihadapi

setiap perusahaan, untuk mengurangi resiko terpusatnya kekuatan buruh tersebut, suatu perusahaan

kemudian menyebar produksinya di banyak negara. Persebaran produksi ini menyebabkan buruh-buruh yang

ada lebih terfragmentasi/tersegmentasi, yang lantas melemahkan kekuatan buruh tersebut untuk terlibat

dalam suatu konflik dengan pemilik modal. Adanya faktor fragmentasi buruh ini juga mendorong suatu

MNC melakukan produksi internasional. Luasnya jaringan produksi suatu perusahaan juga membuat

perusahaan tersebut memiliki posisi tawar yang baik di hadapan pemerintah suatu negara, karena perusahaan

tersebut dapat “mengancam” pemerintah dengan melakukan relokasi produksi dan karenanya mencabut FDI

dengan mudah. Kemampuan MNC untuk cenderung “mendikte” pemerintah juga menjadi motif mengapa

suatu perusahaan mau melakukan produksi internasional.

Page 3: Keberadaan Perusahaan Multinasional Dan Respon Pemerintah Negara Penerima

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas

Indonesia

Page | 3

Membahas lebih lanjut mengenai motif suatu perusahaan melakukan produksi internasional

kemudian menuntun kita pada dua pendekatan utama dilakukannya produksi internasional, yaitu pendekatan

efisiensi dan pendekatan strategis. Pendekatan efisiensi menjelaskan bahwa produksi internasional dilakukan

demi efisiensi perusahaan tersebut, seperti yang dijelaskan dalam pandangan the Reading School yang

menekankan bahwa produksi langsung perlu dilakukan untuk mengurangi biaya transaksi dan pengeluaran

riset dan pembangunan. Sementara pendekatan strategi menjelaskan bahwa suatu perusahaan melakukan

produksi internasional untuk mencapai goal tertentu, ketika perusahaan mengetahui dengan jelas tujuan apa

yang ingin dicapai dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Sehingga pendekatan strategi melihat

produksi internasional sebagai suatu tahap demi mencapai tujuan yang lebih besar. Pendekatan strategi ini

terwujud dalam teori siklus produk Vernon, di mana produksi internasional dimaksudkan untuk

mengalahkan rival yang mengimitasi produknya dan dimaksudkan untuk tetap mempertahankan monopoli

atas produk ciptaannya. Pendekatan ini juga terwujud dalam motif fragmentasi buruh, di mana produksi

internasional dimaksudkan untuk memecah buruh sehingga kemungkinan protes buruh dapat dihindari; atau

dalam motif menaikkan posisi tawar terhadap pemerintah, di mana tujuan akhir perusahaan adalah agar

pemerintah suatu negara dapat lebih kooperatif dalam mendukung usahanya.

Dalam menjalankan operasinya, MNC cenderung bertindak dengan menghindari setiap

kemungkinan resiko yang ada. Dalam kacamata MNC, resiko dilihat sebagai berbagai perubahan yang

mungkin terjadi di negara penerima yang dapat mempengaruhi operasi, tujuan, dan profit perusahaan.

Dengan memperhitungkan berbagai resiko yang mungkin terjadi, sebuah perusahaan kemudian memutuskan

apakah ia bersedia menanamkan investasi dalam suatu negara. Beberapa jenis resiko yang menjadi

pertimbangan utama MNC adalah kondisi politik domestik suatu negara, kondisi infrastruktur di negara

penerima, kondisi birokrasi suatu negara, dan banyak tidaknya kebijakan yang menghambat munculnya

kewirausahaan (enterpreneurship) di negara penerima. Untuk meningkatkan masuknya investasi, suatu

negara haruslah memiliki kebijakan atau memenuhi kondisi-kondisi yang dapat meminimalkan resiko-resiko

tersebut karena sebuah MNC hanya akan masuk ke dalam suatu negara bila situasi dan kondisi negara itu

sendiri menunjang untuk pengembangan usaha.

Lebih lanjut lagi, pembahasan mengenai MNC sebenarnya sangat berkaitan dengan dua pandangan

utama dalam hubungan internasional, yaitu pandangan neoklasik dan teori dependensi. Pandangan pertama,

pandangan neoklasik merupakan pandangan yang mengkonseptualisasikan ekonomi dunia sebagai agen

Page 4: Keberadaan Perusahaan Multinasional Dan Respon Pemerintah Negara Penerima

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas

Indonesia

Page | 4

yang unitari. Dalam pandangan ini, pasar dapat mencukupi kebutuhannya sendiri, dan karenanya peran

negara harus dibuat seminimal mungkin. Menurut Adam Smith sebagai salah satu pemikirnya, intervensi

negara hanya diperbolehkan untuk tiga hal, yaitu memastikan keamanan domestik melalui pengawasan

hukum, menyediakan keamanan nasional, dan menyediakan infrastruktur dan public goods. Peraturan yang

dapat membatasi perdagangan internasional seperti tarif, kuota, dan hambatan ekspor haruslah dihilangkan

agar investasi luar negeri dalam bentuk MNC dapat masuk dan beroperasi secara bebas dalam perekonomian

lokal. Model neoklasik juga mengatakan bahwa foreign direct investment (FDI) dapat meningkatkan

kompetisi, menyediakan lapangan pekerjaan, dan mewujudkan pertumbuhan domestik. Harry Johnson,

ekonomis pemenang Nobel, mengatakan MNC akan memberikan berbagai dampak positif pada negara

kurang maju, seperti teknologi yang maju, kemampuan manajemen yang baik, pengetahuan superior tentang

pasar luar negeri, cheap capital, dan berbagai dampak positif lain. Semua dampak positif tersebut dapat

terwujud apabila peran negara dalam proses mewujudkan ekonomi yang maju dapat diminimalkan.

Teori kedua yang berhubungan dengan keberadaan MNC dalam perekonomian internasional adalah

teori dependensi. Berakar dari pandangan Marxis, teori dependensi cenderung tidak memandang keberadaan

MNC sebagai hal yang positif dalam perdagangan internasional. Menurut teori ini, perusahaan luar negeri

dipandang sebagai perwujudan organisasional dari modal internasional, yang beroperasi dengan

memanfaatkan dominasi modal dari negara-negara inti (negara-negara maju/core) pada negara periferi dan

semi-periferi (negara-negara miskin dan sedang berkembang). Teori dependensi juga mengatakan bahwa

MNC akan mengakibatkan distorsi pada perekonomian nasional dengan mendorong produsen lokal keluar

dari perekonomian domestik sambil terus menghisap modal domestik. MNC juga dinilai bertanggung jawab

dalam merusak otonomi nasional dari negara berkembang, karena MNC mampu menjalin aliansi dengan

elit-elit lokal dan para teknokrat untuk kemudian menuntut pemerintah demi mewujudkan kepentingan

pribadinya. Kapabilitas MNC yang superior juga dinilai mampu memberikan MNC posisi tawar yang tinggi

saat berhadapan dengan pemerintah lokal. Sebagai akibatnya, pemerintahan negara berkembang cenderung

tidak dapat bernegosiasi pada kedudukan yang sama dengan MNC, dan karenanya pemerintahan lokal akan

cenderung menuruti kepentingan MNC.

Kedua pandangan mengenai MNC di atas mempunyai satu persamaan, yaitu cenderung tidak

menyetujui adanya peran negara sehubungan dengan keberadaan MNC. Pandangan neoklasik, misalnya,

berpendapat intervensi negara akan berbahaya bagi perekonomian negara tersebut. Sementara teori

Page 5: Keberadaan Perusahaan Multinasional Dan Respon Pemerintah Negara Penerima

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas

Indonesia

Page | 5

dependensi cenderung melihat negara sebagai entitas yang dapat didikte oleh kepentingan MNC dan

karenanya negara tidak dapat memainkan peran yang cukup berarti dalam menghadapi MNC. Tulisan

Nizamuddin kemudian akan membahas mengenai keberadaan MNC di Singapura di mana di negara tersebut,

pemerintah terbukti cukup aktif dan berperan bersandingan dengan MNC. Pandangan neoklasik dan teori

dependensi, karenanya, terbukti gagal dalam menjelaskan fenomena hubungan negara dan MNC pada kasus

Singapura.

Singapura merupakan negara dengan tingkat FDI yang tinggi. Berbagai kebijakan yang bersahabat

terhadap para pemilik modal asing menjadikan Singapura sebagai tempat favorit dalam menanamkan modal.

Hal ini tidak terlepas dari peran aktif pemerintah dalam mengeluarkan berbagai kebijakan yang memang

dibuat untuk menciptakan iklim yang atraktif bagi investasi, seperti misalnya Undang-Undang Insentif

Ekspansi Ekonomi pada 1967 yang membebaskan MNC dari pembayaran biaya lisensi pada agensi-agensi

birokratis Singapura. Pemerintah Singapura juga memberikan kemudahan dalam mengajukan pinjaman bagi

para pemilik modal. Dikeluarkannya Undang-Undang Ketenagakerjaan pada 1968 juga lantas memberikan

kelegaan bagi para pemilik modal karena undang-undang tersebut mampu memberikan jaminan

kesejahteraan bagi para buruh, sehingga kualitas buruh dapat terjamin dan resiko-resiko pemogokan dapat

dihindari. Dari segi pengadaan infrastruktur, pemerintah Singapura membuat empat agensi yaitu Housing

Development Board (HDB), Public Works Department, Urban Redevelopment Authority, dan Public Utilities

Board yang kesemuanya bertujuan untuk membangun infrastruktur domestik Singapura, dan karenanya

menghadirkan insentif bagi para pemilik modal berupa pengurangan biaya transaksi. Berbagai usaha

pemerintah Singapura ini ditujukan untuk menarik masuknya investasi luar negeri yang diharapkan dapat

memajukan perekonomian dalam negeri sehingga dapat mewujudkan spillover effect berupa terciptanya

Singapura yang maju dan termodernisasi. Usaha pemerintah Singapura ini berhasil, berbagai kebijakan dan

kemudahan tersebut kemudian berhasil meningkatkan masuknya FDI di Singapura. Perekonomian

Singapura pun tumbuh hingga mencapai angka 15% dalam ukuran Gross Domestic Product (GDP), tingkat

pengangguran berkurang, dan dengan sendirinya kesejahteraan penduduknya meningkat. Kasus Singapura

tersebut membuktikan bahwa MNC cenderung mau beroperasi di negara dengan tingkat resiko yang rendah.

Dengan membangun lingkungan politik yang stabil, memajukan infrastruktur, dan menyederhanakan

peraturan penanaman modal, dapat membantu mengurangi resiko pasar sehingga para investor akan lebih

tertarik untuk menanamkan modal di lokasi tersebut.

Page 6: Keberadaan Perusahaan Multinasional Dan Respon Pemerintah Negara Penerima

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas

Indonesia

Page | 6

Seperti telah disebutkan sebelumnya, kasus besarnya peran negara dalam mewujudkan iklim

investasi yang bersahabat bagi masuknya FDI di Singapura membuktikan kegagalan padangan neoklasik dan

teori dependensi dalam menjelaskan peran negara sehubungan dengan MNC. Pada kasus Singapura,

pemerintah terbukti menjadi aktor yang penting dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi,

kebijakan-kebijakan pemerintah terbukti krusial dalam mewujudkan modernisasi di Singapura—pandangan

neoklasik yang menafikan peran pemerintah dalam perekonomian internasional, karenanya, tidak terbukti

dalam kasus ini. Sementara itu, teori dependensi yang mengatakan negara cenderung akan didikte

perilakunya oleh MNC juga tidak terbukti; yang terjadi di Singapura adalah pemerintah tetap menunjukkan

kekuatannya sebagai entitas politik utama pembuat kebijakan, keberadaan MNC yang ada pada akhirnya

malah berfungsi sebagai agen perubahan bagi pemerintah yang berhasil mewujudkan spillover effect pada

masyarakat Singapura.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada kasus Singapura, berbagai MNC yang ada justru

memberikan berbagai dampak positif bagi perkembangan ekonomi Singapura. Akan tetapi, menurut penulis,

walaupun kehadiran MNC memang memberikan dampak positif bagi perekonomian negara penerima (host

country), kehadiran MNC di suatu negara lebih sering menghadirkan ancaman bagi negara tersebut. MNC

seringkali menjadi instrumen eksploitasi dan perpanjangan dari praktik imperialisme negara kapitalis yang

berkuasa.1 Kekuatan monopoli dari MNC kemudian akan menyebabkan terjadinya pembangunan yang tidak

merata berupa terfokusnya kekayaan pada salah satu kelompok masyarakat. Singkat kata, penulis percaya

bahwa kehadiran MNC akan membawa mal-development pada negara penerima.2

Ketika melihat performa sebuah MNC dalam suatu negara penerima, sering terlihat bahwa dalam

praktiknya MNC seringkali memiliki ikatan yang kuat pada negara/pemerintah asalnya (home country).

Ikatan yang kuat ini lantas membuat MNC seringkali, dalam tindakannya, cenderung mewujudkan

kepentingan nasional negara asalnya, sekaligus berperan sebagai alat diplomasi negara asalnya.3 Seperti

telah disebutkan sebelumnya, MNC merupakan unit yang tersentralisasi, MNC jugalah didominasi oleh

perusahaan induk yang berlokasi di negara penerima.4 Kebijakan yang dikeluarkan perusahaan juga

1 K. Mingst, Essentials of International Relations. (New York: W. W. Norton & Company, Inc., 1999), hal. 224.

2 S. Brown, New Forces, Old Forces, and the Future of World Politics: Post-Cold War Edition. (New York: Harper Collins

College Publishers, 1995), hal. 213. 3

Muhittin Ataman, The Impact of Non-State Actors to World Politics: A Challenge to Nation-States.

http://www.alternativesjournal.net/volume2/number1/ataman2.htm, diakses pada 15 November 2009, pukul 16.31. 4 M. Carnoy, "Multinationals in a Changing World Economy: Whither the Nation-State", dalam M. Carnoy, et. al. (Ed.), The New

Page 7: Keberadaan Perusahaan Multinasional Dan Respon Pemerintah Negara Penerima

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas

Indonesia

Page | 7

seringkali disesuaikan dengan kebijakan ekonomi dan kebijakan luar negeri negara asal MNC tersebut.5

Adanya ikatan yang kuat antara MNC dengan negara asalnya inilah yang membuat berbagai

kebijakan MNC seringkali menguntungkan negara asalnya. MNC seringkali memproduksi produk-produk

tertentu—di mana pembeli utama dari produk tersebut adalah negara asalnya—dengan harga relatif rendah.

MNC juga seringkali melakukan manipulasi terhadap harga impor dan ekspor suatu barang, tindakan yang

bertujuan untuk menguntungkan negara asalnya.6 Adanya ikatan yang sangat kuat antara MNC dan negara

asalnya ini tentu melahirkan kekhawatiran sendiri bagi negara penerima sebab bukan tidak mungkin ikatan

yang kuat ini akan mendasari MNC tersebut melakukan hal-hal yang dapat merugikan negara penerima.

Bennett mengilustrasikan hubungan antara MNC dan negara penerima sebagai “a ‘love-hate’ syndrome”7,

hubungan yang sulit ditebak dan diwarnai oleh baik manfaat maupun kerugian.

Adanya relasi yang tidak dapat ditebak akan mendatangkan kerugian ataupun keuntungan tersebut,

serta tendensi akan kuatnya ikatan antara MNC dengan negara asalnya mengharuskan pemerintah negara

penerima tidak boleh lengah dalam menyikapi keberadaan MNC. Berbeda dengan Nizamuddin yang

menitikberatkan peran pemerintah dalam menciptakan iklim yang bersahabat untuk menarik masuknya

MNC ke Singapura, penulis menyarankan adanya peran pemerintah yang besar dalam proses nasionalisasi

MNC melalui perbesaran partisipasi peran pemerintah dalam berbagai proyek joint development. Hal ini

dimaksudkan agar pemerintah tetap dapat melakukan kontrol pada setiap MNC yang beroperasi di

negaranya, sekaligus tetap memperoleh pemasukan berupa modal luar negeri. Pemerintah negara penerima

juga, menurut penulis, harus selalu mengawasi penerimaan pajak, kebijakan kredit, keseimbangan anggaran

belanja, restriksi perdagangan, dan merancang perencanaan ekonomi dengan baik untuk menghindari

munculnya ketergantungan negara pada MNC—sehingga apa yang ditakutkan kaum Marxist, yaitu bahwa

keberadaan MNC akan menimbulkan eksploitasi pada negara penerima, dapat dihindari. Dengan melakukan

kontrol yang ketat pada keberadaan MNC, negara penerima tetap dapat memastikan MNC tidak

menginjak-injak kedaulatan suatu negara.

Keberadaan MNC dalam suatu negara bisa dibilang seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, MNC

dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bagi kondisi perekonomian suatu negara. Di sisi

Global Economy in the Information Age. (Pennsylvania State University Press, 1993), hal. 45-96.

5 A. L. Bennett, International Organizations: Principles and Issues, (New Jersey: Prentice Hall, 1991), hal. 264.

6 S. Brown, op.cit., hal. 212-213.

7 A.L. Bennett, op.cit., hal. 265.

Page 8: Keberadaan Perusahaan Multinasional Dan Respon Pemerintah Negara Penerima

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas

Indonesia

Page | 8

lain, ikatan yang kuat antara MNC dan negara asalnya seringkali melahirkan kekhawatiran pada negara

penerima akan kemungkinan eksploitasi yang dapat dilakukan MNC pada negara penerima, ataupun

kekhawatiran akan berbagai tindakan MNC yang ditujukan untuk memberikan keuntungan pada negara asal

tapi malah mendatangkan kerugian bagi negara penerima. Untuk mengantisipasi dua kemungkinan dampak

kehadiran MNC dalam suatu negara itu, diperlukan peran pemerintah negara penerima yang dominan dalam

dua hal. Pertama, pemerintah haruslah secara aktif membantu menciptakan iklim yang bersahabat untuk

menarik masuknya MNC demi mewujudkan kemungkinan dampak positif dari kehadiran MNC—yaitu

untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi negara penerima. Kedua, pemerintah negara penerima tidak

boleh lengah dalam mengontrol keberadaan MNC di negaranya. Perlu adanya kontrol yang kuat terhadap

peran MNC di negara penerima untuk memastikan agar kehadiran MNC tidak lantas menjadi boomerang

bagi pertumbuhan ekonomi negara penerima.