Kebijakan Perencanaan Pembangunan Perkotaan Sebelum Desentralisasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kebijakan Pembangunan Perkotaan Saat Masa Orde Baru yang Tersentralisasi

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPemerintahan Soeharto pada masa orde baru menegaskan bahwa kerdaulatan dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang sosial budaya. Tekad ini tidak akan bisa terwujud tanpa melakukan upaya-upaya restrukturisasi di bidang politik (menegakkan kedaulatan rakyat, menghapus feodalisme, menjaga keutuhan teritorial Indonesia serta melaksanakan politik bebas aktif), restrukturisasi di bidang ekonomi (menghilangkan ketimpangan ekonomi peninggalan sistem ekonomi kolonial, menghindarkan neokapitalisme dan neokolonialisme dalam wujudnya yang canggih, menegakkan sistem ekonomi berdikari tanpa mengingkari interdependensi global) dan restrukturisasi sosial budaya (nation and character building, berdasar Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila serta menghapuskan budaya inlander).

Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, langkah selanjutnya Yang ditempuh oleh pemerintah adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional diupayakan pada zaman Orde baru direalisasikan melalui pembangunan jangka pendek dan pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan jangka pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (PELITA). Setiap pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.

Namun pengertian dari pembangunan nasional yang sesungguhnya merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan meliputi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, bangsa dan negara. Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termasuk dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Untuk memberikan arah dalam usaha mewujudkan tujuan nasional tersebut, maka MPR telah menetapkan GBHN sejak tahun 1973, yang pada dasarnya merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian program-programnya. GBHN dijabarkan dalam repelita yang berisi program-program konkret yang dilaksanakan dalam kurun waktu 5 tahun. Pelaksanaan repelita telah dimulai sejak tahun 1969.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1988 telah mengamanatkan bahwa pembangunan daerah perlu senantiasa ditingkatkan agar laju pertumbuhan semua daerah serta laju pertumbuhan wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan semakin seimbang dan serasi sehingga pelaksanaan pembangunan nasional serta hasil-hasilnya makin merata di seluruh Indonesia. Ditetapkan pula dalam GBHN bahwa pembangunan daerah perlu dilaksanakan secara terpadu, selaras, serasi dan seimbang serta diarahkan agar pembangunan yang berlangsung di setiap daerah sesuai dengan prioritas dan potensi daerah. Keseluruhan pembangunan daerah juga merupakan satu kesatuan pembangunan nasional yang diarahkan untuk memantapkan terwujudnya Wawasan Nusantara. Untuk mencapai tujuan tersebut maka kemampuan, prakarsa, serta partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah dalam pembangunan terus didorong dan ditingkatkan. Sesuai amanat GBHN tersebut maka upaya pembangunan daerah, desa dan kota telah dilaksanakan dan ditingkatkan secara konsisten dari tahun ke tahun sejak Repelita I sampai dengan Repelita VI.1.2 Rumusan Masalah1. Bagaimana perencanaan pembangunan sebelum desentralisasi atau pada masa pemerintahan orde baru?2. Apa saja kebijakan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah pada masa orde baru mengenai perencanaan pembangunan perkotaan?

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 PerencanaanPerencanaan (Tjokroamidojo, 2003) ini pada asasnya berkisar kepada dua hal, yang pertama, ialah penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan konkrit yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan dan yang kedua ialah pilihan diantara cara-cara alternatif serta rasional guna mencapai tujuan tujuan tersebut.Menurut Munir (2002) berdasarkan jangka waktunya, perencanaan dapat dibagi menjadi:a. Perencanaan jangka panjang, biasanya mempunyai rentang waktu antara 10 sampai 25 tahun. Perencanaan jangka panjang adalah cetak biru pembangunan yang harus dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang.b. Perencanaan jangka menengah, biasanya mempunyai rentang waktu antara 4 sampai 6 tahun. Dalam perencanaan jangka menengah walaupun masih umum, tetapi sasaran-sasaran dalam kelompok besar (sasaran sektoral) sudah dapat diproyeksikan dengan jelas.c. Perencanaan jangka pendek, mempunyai rentang waktu 1 tahun, biasanya disebut juga rencana operasional tahunan. Jika dibandingkan dengan rencana jangka panjang dan jangka menengah, rencana jangka pendek biasanya lebih akurat.

2.2 Pembangunan PerkotaanPembangunan merupakan upaya sadar untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya guna meningkatkan mutu kehidupan rakyat melalui berbagai sektor pembangunan. Pada dasarnya kawasan perkotaan dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya secara alamiah atau dikembangkan melalui proses pertumbuhan yang direncanakan, diarahkan dan dikendalikan yang dikenal dengan istilah Pembangunan Perkotaan. Pembangunan perkotaan pada hakekatnya mencakup pembangunan fisik, sosial,ekonomi dan budaya. Pembangunan fisik kota dilakukan melalui upaya perencanaan dan pencanangan fisik perkotaan yang dituangkan dalam Rencana Penataan Ruang Kota, pembangunan sarana dan prasarana perkotaan serta pembangunan fisik lainnya, baik lingkungan fisik alamiah maupun lingkungan binaan. Upaya pembangunan non fisik mencakup pembangunan yang berkaitan dengan masalah sistem kepranataan sosial, sistem kelembagaan dan administrasi, mobilisasi pendanaan dan pengembangan sumber daya manusia. Kota sendiri mempunyai dua pengertian. Kota secara fungsional berarti lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai cirri non agraris, misalnya ibukota kabupaten, ibukota kecamatan yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan dan pusat pemukiman. Kota dapat juga diartikan secara administrative sebagaimana diatur dalam Perundang-Undangan, disebutkan bahwa kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.2.3 Sentralisasi Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang atas segala urusan yang menyangkut pemerintahan kepada tingkat pusat.. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sentralisasi adalah penyerahan kekuasaan serta wewenang pemerintahan sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Pemerintah pusat di sini maksudnya adalah presiden dan Dewan Kabinet. Kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan politik dan kewenangan administrasi. Kewenangan politik adalah kewenangan membuat dan memutuskan kebijakan sedangkan kewenangan administrasi adalah kewenangan melaksanakan kebijakan.Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. Bahkan pada zaman kerajaan, pemerintahan kolonial, maupun di zaman kemerdekaan.Istilah sentralisasi sendiri sering digunakan dalam kaitannya dengan kontrol terhadap kekuasaan dan lokasi yang berpusat pada satu titik.Kelemahan dari sistem sentralisasi adalah suatu kebijakan dan keputusan keputusan untuk daerah berada di pusat, sehingga butuh waktu yang lama untuk melakukan itu. Selain itu, karena semua bentuk pemerintahan berada di pusat, maka akan memberikan beban kerja yang tinggi karena pekerjaan rumah tangga yang akan semakin menumpuk.2.4 PELITA1. Pembangunan di Indonesia dilaksanakan dalam dua tahap, yakni :Jangka panjang: jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun2. Jangka pendek: jangka pendek mancakup periode 5 tahun yang terkenal yaitu Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Pelita yang dimaksud adalah : Pelita I (1 April 1969 31 Maret 1974) : Menekankan pada pembangunan bidang pertanian. Pelita II (1 April 1974 31 Maret 1979) : Tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelita III (1 April 1979 31 Maret 1984) : Menekankan pada Trilogi Pembangunan. Pelita IV (1 April 1984 31 Maret 1989) : Menitik beratkan sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Pelita V ( 1 April 1989 31 Maret 1994) : Menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri. Pelita VI (1 April 1994 31 Maret 1999) : Masih menitikberatkan pembangunan pada sektor bidang ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.

BAB IIIPEMBAHASAN3.1 Perencanaan Pembangunan Sebelum Desentralisasi (Orde Baru)Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya. Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi. Pembangunan Nasional pada masa orde baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Trilogi Pembangunan terdiri dari :1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.Delapan Jalur Pemerataan terdiri dari: Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, khususnya pangan, sandang dan papan ( perumahan ). Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan keselamatan. Pemerataan pembagian pendapatan. Pemerataan kesempatan kerja. Pemerataan kesempatan berusaha. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembagunan khurusnya bagi generasi muda dan jaum wanita. Pemerataan penyebaran pembangunan di wilayah tanah air. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

3.2 Kebijakan Perencanaan Pembangunan Perkotaan Pada Masa Orde BaruA. Kebijakan Perencanaan Pembangunan Perkotaan Pada Repelita I-VPertumbuhan penduduk perkotaan selama tahun 1980-1990 mencapai rata-rata 5,4% per tahun. Kota-kota besar dengan penduduk di atas 200.000 jiwa tumbuh dengan laju pertumbuhan antara 3-6% per tahun. Sedangkan kota-kota lainnya yang berpenduduk di bawah 200.000 jiwa tumbuh dengan laju yang lebih pesat. Pertumbuhan penduduk di kota-kota yang berstatus Kotamadya lebih pesat daripada di kota-kota lainnya.Urbanisasi yang pesat ini tidak mungkin dibendung. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan diversifikasi ekonomi nasional. Di samping merupakan pusat pertumbuhan ekonomi, kota-kota di Indonesia juga berfungsi sebagai pusat pendidikan tinggi serta pelayanan sosial lainnya, serta merupakan penggerak modernisasi dan inovasi. Semua fungsi itu menuntut penanganan kota yang terpadu sebagai bagian dari pembangunan daerah dan nasional. Untuk itu pemerintah melaksanakan berbagai program pembangunan perkotaan khususnya menyangkut pembangunan prasarana, peningkatan kemampuan keuangan dan kelembagaan daerah, penanggulangan kemiskinan, dan sebagainya.Penduduk perkotaan terkonsentrasi di kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung. Oleh sebab itu, dalam Repelita I (1969 1974), program pembangunan perkotaan dimasukkan sebagai program pembangunan nasional, meski terbatas pada kota besar seperti disebutkan di atas (terutama Jakarta). Fokus programnya, hanya pada air bersih dan perbaikan kampung. Dalam Repelita II (1975 1979), program pembangunan perkotaan mencakup juga kota menengah, dengan fokus program mencakup pula beberapa prasarana lain seperti drainase dan sampah.Dalam Repelita III, pada tahun 1980/81 telah dilakukan studi komprehensif mengenai Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (National Urban Development Strategy/NUDS). Atas dasar hasil studi ini, diusahakan identifikasi tingkatan (hirarki) dan kategori kota dalam sistem perkotaan yang menjadi landasan kebijaksanaan pengembangan prasarana perkotaan nasional.Dalam Repelita IV, dalam tahun 1981-1985, dilakukan upaya penyusunan konsep pembangunan perkotaan terpadu yang merupakan tindak lanjut dari studi penyusunan Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan. Pada tahun 1986 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan perkotaan yang terdiri dari 6 butir: (i) Peningkatan wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pembangunan dan pemeliharaan prasarana perkotaan; (ii) Penyempurnaan perencanaan dan penyusunan program pembangunan perkotaan; (iii) Peningkatan kemampuan keuangan pemerintah daerah; (iv) Penyempurnaan sistem pendanaan dengan memantapkan tata cara pinjaman pemerintah daerah; (v) Peningkatan kemampuan tenaga dan kelembagaan pemerintah daerah; (vi) Peningkatan koordinasi antara berbagai instansi dan tingkat pemerintahan yang terkait.Sesuai dengan arahan kebijaksanaan yang telah digariskan tersebut maka pada tahun anggaran 1986/87 mulai dilaksanakan penyiapan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT). Program ini bertujuan untuk menterpadukan pembangunan prasarana perkotaan dan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan kota. Prinsip-prinsip yang mendasari pelaksanaan P3KT adalah dekonsentrasi fungsi perencanaan dan pengembangan program, keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan program-program fisik, serta keterpaduan sumber-sumber pembiayaan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sumber-sumber dana luar negeri. P3KT pada saat ini meliputi program pembangunan di tujuh sektor, yaitu penyediaan air bersih, pengendalian banjir, pengelolaan persampahan, pengelolaan sanitasi lingkungan, perbaikan kampung, dan perbaikan prasarana lingkungan pasar. Penyiapan pelaksanaan P3KT dimulai pada tahun ketiga Repelita IV. Pada saat itu Program Jangka Menengah (PJM) kota Metropolitan Bandung telah diselesaikan. Selanjutnya pada tahun 1987/88, cakupan penyiapan P3KT terus diperluas ke kota-kota besar, seperti Jabotabek dan kota-kota kecil lainnya. Pada tahun 1988/89 dilaksanakan P3KT di Medan.Pada tahun 1989/90 sebanyak 90 kota besar dan kecil, sebagian besar meliputi kota-kota di Pulau Jawa dan Sumatera, telah melaksanakan P3KT. Pada tahun 1990/91 jumlah kota yang telah menyusun PJM dalam rangka pelaksanaan P3KT meningkat menjadi 121 kota, termasuk kota-kota yang memasuki tahapan pelaksanaan, seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandar Lampung, dan Palembang. Selain itu, juga dilaksanakan P3KT di kota-kota sedang dan kecil di Jawa Timur, Bali, Sulawesi, dan Irian Jaya. Pada tahun 1991/92, dan tahun 1992/93, tahun keempat Repelita V, jumlah kota besar dan kecil yang termasuk dalam program P3KT seluruhnya mencapai 123 buah. Pada tahun keempat Repelita V, hampir seluruh kota-kota yang telah memiliki PJM tersebut sudah memasuki tahap pelaksanaan.Peningkatan kemampuan koordinasi lembaga dalam pengelolaan perkotaan juga dikembangkan. Dalam hal ini, mulai tahun anggaran 1986/87, telah dibentuk Tim Koordinasi Pembangunan Perkotaan (TKPP) yang bertugas untuk menetapkan kebijaksanaan pembangunan perkotaan. Pada tahun 1989 dibentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (TKP4KT). yang bertugas mengelola pelaksanaan P3KT dan memberikan dukungan teknis pada TKPP. Sejak tahun 1989/90 fungsi koordinasi pembangunan perkotaan melalui TKPP lebih ditingkatkan lagi. Peningkatan kemampuan kelembagaan daerah merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari peningkatan kelembagaan. tingkat pusat. Untuk itu telah dikembangkan bentuk struktur organisasi di daerah guna mendukung pelaksanaan P3KT. Program ini juga meningkatkan peranan institusi daerah dalam upaya untuk mengimbangi percepatan yang timbul pada pembangunan perkotaan. Usaha-usaha yang telah dilakukan selama ini adalah berupa bantuan pelatihan yang diikuti oleh wakil-wakil instansi yang terkait dalam pembangunan perkotaan di daerah.Dalam kurun waktu PJPT I pelaksanaan pembangunan perkotaan juga telah memberikan sumbangan besar dalam penanggulangan kemiskinan di daerah perkotaan. Jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan di daerah perkotaan telah menurun dari sekitar 39% dari jumlah penduduk perkotaan di tahun 1976, menjadi sekitar 17% pada tahun 1990. Upaya penanggulangan kemiskinan di daerah perkotaan banyak diarahkan pada. program peremajaan lingkungan permukiman kumuh atau KIP (Kampong Improvement Program). Pada akhir Repelita I, tahun 1973/74, penanganan lingkungan permukiman kumuh telah dimulai di 1 kota, DKI Jakarta. Pada akhir Repelita II, 1978/79, telah ditangani di 2 kota yaitu DKI Jakarta dan Surabaya. Sedangkan pada akhir Repelita III, 1983/84, penanganan permukiman kumuh telah meningkat secara kumulatif menjadi di 228 kota, meliputi area seluas 25.490 ha. Pada akhir Repelita IV, yaitu tahun 1988/89, jumlah kota yang ditangani dalam program ini secara kumulatif menjadi 451 kota, meliputi area seluas 49.757,6 ha.Khusus dalam tahun 1988/89 penanganan kawasan permukiman kumuh mencakup kawasan seluas 5.431,7 ha. Sejak tahun pertama sampai tahun keempat Repelita V, penanganan permukiman kumuh masing-masing dapat disebutkan sebagai berikut: tahun 1989/90 sebanyak 242 kota, tahun 1990/91 sebanyak 291 kota, tahun 1991/92 sebanyak 299 kota, dan tahun 1992/93 sebanyak 386 kota. Sejak tahun 1984/85 hingga tahun 1988/89 seluas 24.100 hektar permukiman kumuh di perkotaan telah diperbaiki melalui Program Perbaikan Kampung (KIP) dan telah bermanfaat bagi sekitar 6 juta rumah tangga. Usaha lain untuk perbaikan kondisi perumahan bagi penduduk berpendapatan rendah adalah penyediaan pinjaman Bank Tabungan Negara (BTN) bagi rumah tangga dengan penghasilan kurang dari Rp 450.000 per bulan.Dengan dilaksanakannya program pembangunan perkotaan, telah memberikan dampak bagi peningkatan penyediaan prasarana perkotaan. Selain itu peran serta masyarakat dan swasta dalam penyediaan prasarana perkotaan makin menjadi kenyataan. Hal ini terlihat dari peningkatan partisipasi masyarakat dalam program perbaikan kampung dan peningkatan peranan aktif serta kerja sama pihak swasta dan pemerintah Dati II dalam bidang air minum dan persampahan. Koordinasi pembangunan di daerah juga terlihat makin meningkat, yaitu dengan makin berfungsinya Bappeda TK I maupun Bappeda TK II sebagai lembaga perencana dan koordinasi serta terlibatnya dinas-dinas sektoral TK I dan II pada tahap persiapan serta pelaksanaan pembangunan prasarana perkotaan.B. Kebijakan Perencanaan Pembangunan Perkotaan Pada Repelita VIPembangunan perkotaan dan perdesaan semakin penting peranan dan kontribusinya dalam pembangunan nasional sejalan dengan meningkatnya pembangunan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada Repelita VI, pembangunan perkotaan dan perdesaan diselenggarakan secara bersama-sama, saling memperkuat, sehingga kesenjangan pertumbuhan antara perkotaan dan perdesaan akan semakin mengecil dan keterkaitan di antara keduanya semakin menguat. Dengan demikian, pembangunan perkotaan tidak terpisah dengan pembangunan perdesaan, akan tetapi saling melengkapi satu dengan yang lain serta dapat menigkatkan kulitas Sumber Daya Manusia yang menjadi titik terpenting dalam Repelita VI. Akan tetapi pada paper ini, akan membahas mengenai perencanaan pembangunan perkotaannya saja. Sasaran Pembangunan Perkotaan Pada Repelita VISasaran pembangunan perkotaan pada Repelita VI adalah terselenggaranya pengelolaan pembangunan perkotaan yang lebih efisien dan efektif dalam pemanfaatan sumber daya alamnya dengan mengacu pada rencana tata ruang kota yang berkualitas, termasuk pengelolaan administrasi pertanahan yang lebih tertib dan adil, dan ditunjang oleh kelembagaan pemerintah yang makin siap melaksanakan otonomi daerah; makin mantapnya kemitraan pemerintah daerah dengan masyarakat dan dunia usaha dalam pelaksanaan pembangunan perkotaan, baik melalui organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya maupun pengusaha perseorangan; meningkatnya kesejahteraan masyarakat; berkurangnya penduduk miskin di perkotaan; serta meningkatnya kualitas fisik lingkungan di perkotaan.Dalam upaya mencapai sasaran-sasaran pembangunan perkotaan tersebut, kebijaksanaan pembangunan perkotaan dalam Repelita VI adalah mengembangkan dan memantapkan sistem perkotaan; meningkatkan kemampuan dan produktivitas kota; meningkatkan kemampuan sumber daya manusia; memantapkan kelembagaan dan kemampuan keuangan perkotaan; melembagakan pengelolaan pembangunan yang terencana dan terpadu; memantapkan perangkat peraturan pendukung pembangunan perkotaan; serta meningkatkan kualitas lingkungan fisik dan sosial ekonomi perkotaan. Pembangunan perkotaan dalam Repelita VI dilaksanakan melalui berbagai program, yaitu: a) pemantapan fungsi kota; b) pembangunan prasarana dan sarana kota, c) pengembangan ekonomi perkotaan; d) peningkatan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; e) peningkatan peranserta masyarakat; f) pemantapan keuangan perkotaan; g) pemantapan kelembagaan pemerintahan kota; dan h) penataan ruang, pertanahan, dan lingkungan perkotaan. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Pekotaan Sampai Dengan Tahun Keempat Repelita VIPembangunan perkotaan sampai dalam Repelita VI dilaksanakan melalui 8 program, yaitu (1) program pemantapan fungsi kota, (2) program pembangunan prasarana dan sarana kota, (3) program pengembangan ekonomi perkotaan, (4) program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, (5) program peningkatan peran serta masyarakat, (6) program pemantapan keuangan perkotaan, (7) program kelembagaan pemerintahan kota, dan (8) program penataan ruang, pertanahan, dan lingkungan perkotaan. Pelaksanaan program-program tersebut sampai dengan tahun keempat Repelita VI adalah sebagai berikut:

1) Program Pemantapan Fungsi KotaUntuk menjamin penyebaran kegiatan ekonomi, pengendalian urbanisasi dan efisiensi pembangunan prasarana perkotaan, kota perlu dikembangkan sesuai dengan fungsi dan strukturnya dalam sistem kota dengan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kotamadya (RTRWKab./Kod.) yang berlaku.Untuk melaksanakan program ini, dalam Repelita VI telah dikembangkan kegiatan-kegiatan utama berupa: (a) pengidentifikasian dan pemantapan sistem kota-kota nasional yang dijabarkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), (b) penataan kota untuk kota besar yang mempunyai fungsi menunjang kegiatan ekonomi nasional/wilayah (c) penataan kota menengah serta kota di sekitar kawasan cepat berkembang yang berfungsi sebagai kota penyangga, dan (d) pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana dasar bagi masyarakat yang bertempat tinggal di kota yang terletak di luar kawasan cepat berkembang.Upaya untuk memantapkan fungsi kota meliputi pengembangan kota-kota strategis, penetapan pusat-pusat kota baik dalam Skala nasional, wilayah, dan lokal, penetapan kawasan andalan, penetapan segitiga pertumbuhan, dan pengkajian kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET). Upaya-upaya tersebut ditindaklanjuti dengan penyusunan program jangka menengah, penyusunan rencana tahunan investasi, dan pelaksanaan investasi.

Penyediaan sarana dan prasarana perkotaan diarahkan untuk mendukung pemantapan peranan kota, baik peranan fungsional (kota metropolitan, kota besar, kota menengah, dan kota kecil) maupun peranan administratif (ibukota propinsi, ibukota kabupaten, kotamadya, ibukota kecamatan).

Untuk lebih mendukung upaya pemantapan fungsi kota, disiapkan Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan serta Rencana Tindakan Pembangunan Perkotaan yang mengarahkan pembangunan perkotaan agar dapat memanfaatkan peluang ekonomi global, melalui pemanfaatan secara optimal sumber daya dalam negeri. Dalam hubungan ini, dari semula 87 kota-kota strategis yang ditetapkan pada awal Repelita VI untuk dikembangkan, pada akhir Repelita VI telah bertambah menjadi 521 kota-kota strategis, antara lain untuk mendukung pengembangan 111 kawasan andalan. Kotakota strategis ini diupayakan untuk ditingkatkan dan dimantapkan peran dan fungsinya. Dari jumlah tersebut terdapat kota-kota di sejumlah 13 kawasan andalan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang diprioritaskan pengembangannya dengan pendekatan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Selanjutnya, akan ditingkatkan pengembangan kota-kota kecil dan kota-kota menengah dalam sistem kota-kota dalam kawasan andalan serta peningkatan keterkaitan kota dan desa serta kawasan (rural-urban linkages) yang didukung oleh peningkatan pelayanan prasarana dan sarananya.Dalam rangka pemantapan fungsi kota, dalam Repelita VI telah diupayakan pula untuk meningkatkan pengendalian pengembangan kota-kota baru melalui koordinasi pemanfaatan lahan dan pengembangan prasarana serta sarananya antara kota baru dan kota induknya, terutama di sekitar kota-kota besar agar kesatuan dan keterkaitan fungsi-fungsi kota antara yang satu dengan yang lain tetap terjaga.

2) Program Pembangunan Prasarana dan Sarana KotaTujuan dari program ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pelayanan prasarana dan sarana bagi penduduk kota sehingga diharap- kan kemampuan dan produktivitas kota dapat meningkat. Penanganan pembangunan prasarana dan sarana dasar perkotaan sejak Repelita V telah dilaksanakan melalui suatu program pena- nganan terpadu yang disebut Integrated Urban Infrastructure Development Program atau Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT). Penekanan program ini adalah peningkatan kemam- puan pemerintah daerah dalam pengelolaan urusan-urusan yang menjadi tanggungjawabnya secara otonom. Pemerintah pusat berperan memberikan pembinaan teknis sedangkan perencanaan dan implement- tasinya merupakan tugas dan wewenang pemerintah daerah. Sejak awal Repelita VI, program ini telah dijabarkan dalam sub-sub pro- gram berupa:a) Peningkatan penyediaan jaringan listrik dan telekomunikasi, terutama untuk kawasan khusus, seperti kawasan industri dan kawasan cepat berkembang.b) Pengembangan prasarana dan sarana transportasi kota yang ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kota dalam hal penye- diaan aksesibilitas di dalam kota, kelancaran, keamanan dan kenyamanan pemakai jalan di dalam kota dengan tarif terjangkau.c) Peningkatan pelayanan air bersih kepada masyarakat kota dan kawasan industri.d) Peningkatan prasarana penyehatan lingkungan permukiman, se- perti jaringan pematusan, pengolahan limbah dan persampahan.e) Pengembangan dan perbaikan fasilitas perumahan termasuk pengembangan kawasan perumahan berskala besar dan pemba- ngunan kota baru.Keseluruhan sub-sub program ini dikoordinasikan dalam bentuk kegiatan/paket-paket proyek Urban Development Program (UDP). UDP sekarang mencakup perkotaan di semua propinsi. Pada tahun 1996/1997 terdapat enam UDP baru yang sebagian dibiayai melalui pinjaman luar negeri senilai $ 795,7 juta. Diharapkan pelaksanaan fisik paket-paket UDP tersebut dapat diselesaikan pada tahun 2002. Melalui program pembangunan prasarana kota terpadu (P3KT) terlihat adanya peningkatan efisiensi dan efektivitas program pembangunan perkotaan dalam upaya peningkatan pelayanan sarana dan prasarana perkotaan. Sebagai contoh, paket Sulawesi-Irian Jaya UDP pada awalnya dikembangkan hanya untuk melayani 9 kota dan pada tahun 1996/1997 program tersebut dikembangkan untuk mela- yani 41 daerah tingkat II. Selain itu, juga dilaksanakan paket Sumatera UDP yang diperuntukkan bagi pembangunan prasarana perkotaan di 53 daerah tingkat II dengan jumlah penduduk total sebesar 5,3 juta jiwa. Sebagai indikasi peningkatan kemampuan daerah dalam menge- lola keuangannya maka sampai dengan tahun ketiga Repelita VI telah disalurkan pinjaman pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk pembangunan prasarana perkotaan sebesar Rp. 503,1 milyar yang disalurkan melalui Rekening Pinjaman Daerah (RPD). Untuk mengembangkan cakupan pembangunan prasarana perkotaan guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan, maka unsur lingkungan hidup mulai tahun 1996/1997 dikembangkan sebagai bagian dalam pembangunan prasaran perkotaan. Bali Urban Infrastructure Program (BUIP) adalah salah satu pilot project pemba- ngunan perkotaan yang melibatkan aspek lingkungan hidup (environ- mental assesment) dan aspek penyelamatan obyek peninggalan ber- sejarah. 3) Program Pengembangan Ekonomi PerkotaanProgram ini bertujuan untuk meningkatkan investasi di sektor ekonomi andalan dan mengembangkan kegiatan perekonomian di perkotaan. Kegiatan ini dilakukan melalui berbagai sektor pemba- ngunan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat dan dunia usaha antara lain berupa (a) pemantapan ketersediaan fasilitas pasar, pusat produksi dan fasilitas perdagangan lainnya termasuk kemudahan prosedur dan perijinan bagi kegiatan usaha di perkotaan, (b) peman- tapan lembaga perekonomian sekaligus peningkatan kemudahan pencapaian fasilitas keuangan guna menunjang usaha masyarakat, (c) pembinaan pengusaha skala menengah, kecil, dan tradisional termasuk koperasi melalui pendekatan kemitraan, (d) perluasan kesempatan kerja terutama bagi tenaga kerja setempat. Pembangunan sarana perdagangan dan jasa perkotaan meningkat pesat seiring dengan bertambahnya permukiman baru dan meningkat- nya kemampuan perkonomian masyarakat perkotaan. Melalui pro- gram Inpres Pasar dibangun fasilitas perdagangan bagi kota-kota kecamatan, sedangkan pada kota-kota sedang dan besar dibangun pasar oleh pemerintah daerah, perusahaan daerah, atau dunia usaha dengan mendayagunakan potensi masyarakat setempat. Pengembangan ekonomi perkotaan dilaksanakan melalui intensifi- kasi dan ekstensifikasi kegiatan produksi yang berada di perkotaan. Selain itu, juga dilaksanakan investasi di bidang prasarana dan sarana transportasi perkotaan untuk memberikan kemudahan kepada proses koleksi dan distribusi di perkotaan. 4) Program Pendidikan, Pelatihan, dan PenyuluhanProgram pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah kota dalam membangun dan mengelola pembangunan perkotaan secara efisien dan efektif. Kegiatan pendidikan formal untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan pembangunan perkotaan telah dilaksanakan baik di dalam maupun di luar negeri (D3, S1, S2 dan S3). Kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan di luar negeri antara lain dengan Amerika Serikat, Belanda, Perancis, Australia, dan Inggris untuk pengelolaan dan pembangunan perkotaan telah menghasilkan tenaga-tenaga terdidik yang mempunyai jenjang pendidikan di atas. Sampai dengan tahun keempat Repelita VI hampir sekitar 1.500 tenaga telah dididik dalam berbagai jenjang pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan di dalam dan di luar negeri.

Selain itu, dikembangkan pula berbagai pendidikan kejuruan untuk perencanaan dan pengelolaan pembangunan perkotaan, antara lain dengan ITB, UNDIP dan juga dengan Sekolah Tinggi yang dikelola oleh departemen teknis untuk jenjang D-3. Sampai dengan tahun keempat Repelita VI, telah dihasilkan tenaga-tenaga kejuruan perencanaan dan pengelolaan pembangunan perkotaan khususnya pembangunan prasarana dan sarana perkotaan sekitar 1.000 orang yang sebagian besar merupakan utusan dari aparat pemerintah daerah tingkat I dan II.Kegiatan penyuluhan kepada masyarakat luas mengenai pembangunan perkotaan terutama diarahkan untuk meningkatkan kedisiplinan dan mengembangkan kehidupan perkotaan yang tertib dan sadar hukum, serta dalam mengembangkan peran serta masyarakat dalam pembangunan kota. Penyuluhan tentang kebersihan kota dilakukan oleh pemerintah daerah yang didukung oleh instansi terkait yang dikoordinasikan antara lain dalam Gerakan Disiplin Nasional (GDN). Penyuluhan dan pembinaan masyarakat dalam peningkatan kesehatan dan ketertiban dalam perumahan dan permukiman dilaksanakan antara lain melalui Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat (GNPPS). Penyuluhan kepada masyarakat yang terkait dengan lingkungan dan penggunaan sumber daya air yang lebih efisien dan berkelanjutan dilaksanakan khususnya di kota-kota besar antara lain melalui Gerakan Sadar Lingkungan (Darling), Gerakan Hemat Air dan melalui diseminasi berbagai informasi. Sementara itu, penyuluhan kepada masyarakat yang dikaitkan dengan kesadaran hukum dilaksanakan dalam kerangka pelaksanaan Gerakan Masyarakat Sadar Hukum (Kadarkum).5) Program Peningkatan Peran serta MasyarakatProgram ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan perkotaan, mulai dari tahap perencanaan sampai pada proses pelaksanaan pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan perkotaan ini termasuk di dalamnya partisipasi swasta atau dunia usaha.Sampai dengan tahun ketiga Repelita VI, sekitar 48 kota diper- siapkan untuk dikembangkan pelayanan sarana air bersihnya melalui kerjasama kemitraan dengan swasta, 12 kota untuk pengembangan kemitraan dalam pengelolaan persampahan dan 8 kota untuk pena- nganan air limbah. Jakarta dan Medan telah mengembangkan kerja- sama kemitraan dengan swasta dalam pengelolaan pelayanan air bersih.Peranan swasta dan masyarakat semakin menonjol dalam pengem-bangan kota-kota satelit dan kota baru. Sampai dengan tahun ketiga Repelita VI, telah dibangun sekitar 12 kota-kota satelit dan kota baru terutama di sekitar kota-kota besar. Dengan tersedianya pelayanan yang lebih baik pada kota-kota satelit dan kota baru tersebut, maka tekanan urbanisasi pada kota induk akan semakin berkurang dan lapangan pekerjaan baru akan semakin berkembang.Sejak awal tahun 1990 pola kemitraan swasta dan pemerintah telah dirintis melalui berbagai pembangunan prasarana untuk penye khususnya jalan tol, dan telekomunikasi. Perkembangan kemitraan ini terlihat semakin nyata di berbagai kota besar di Indonesia. Untuk mengantisi- pasi keadaan ini telah dilakukan berbagai pelatihan bagi aparat kota. Bila pada tahun 1995/1996 telah diadakan 6 kegiatan baik berupa konperensi ataupun pelatihan dengan keseluruhan peserta 87 orang, pada tahun 1996/1997 seluruh peserta meningkat menjadi 233 orang. Berbagai jenis pelatihan ini berupa: Public Private Partnership Seminar, Strategic Public Sector Negotiation, Workshop Public Private Partnership in Finance and Provision Environmental Services. Di samping itu program pemberian penghargaan ADIPURA dikembangkan sebagai upaya untuk meningkatkan peranserta masyarakat dalam memelihara kebersihan dan keindahan kawasan perkotaan. Pada tahun 1996/1997 telah diberikan penghargaan ADIPURA kepada 263 kota, suatu peningkatan sebanyak 50 kota dibandingkan dengan tahun 1995/1996.6) Program Pemantapan Keuangan PerkotaanProgram ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah kota dan meningkatkan efisiensi penggunaannya. Hal ini sangat diperlukan mengingat kebutuhan pembiayaan pembangunan perkotaan yang semakin meningkat. Penanganan program pemantapan keuangan perkotaan dirinci dalam beberapa sub-program berupa: (1) penyempurnaan dan perbaikan sistem bantuan kepada pemerintah kota berdasarkan kebutuhan pembangunan di perkotaan dan potensi sumber dana lokal serta kemampuannya untuk meminjam, (2) peningkatan pendapatan kota untuk kepentingan pembangunan perkotaan, (3) penyempurnaan dan penyederhanaan mekanisme pinjaman untuk pembiayaan pemba ngunan, dan (4) mobilisasi tabungan masyarakat setempat dan dunia usaha. Dalam menjabarkan program-program diatas upaya yang telah dilakukan antara lain: a) menyusun rencana tindakan untuk menaikkan pendapatan pemerintah kota melalui rencana tindakan perbaikan pendapatan atau Revenue Improvement Action Plan (RIAP), terutama di kota-kota yang terlibat dalam pelaksanaan program pembangunan prasarana kota terpadu; dan b) penyempurnaan sistem alokasi dana pinjaman untuk pemerintah kota dan daerah serta menyempurnakan mekanismenya untuk pemerintah daerah atau perusahaan daerah.Untuk menangani program pemantapan keuangan perkotaan disini selain dilakukan studi untuk melihat potensi dan tindakan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui studi RIAP juga dilaku- kan pelatihan untuk itu. Jumlah peserta pelatihan untuk mengimple- mentasi RIAP ini pada tahun 1995/1996 adalah 35 orang dari beberapa pemerintah daerah. Disamping itu juga dilakukan pelatihan dalam Pengelolaan Dana Pinjaman Akuntansi dan Manajemen seba- nyak 53 orang peserta dari pemerintah daerah. 7) Program Kelembagaan Pemerintah KotaProgram ini bertujuan untuk mendorong pelaksanaan pemba-ngunan perkotaan secara mandiri oleh pemerintah kota. Kegiatan yang telah dilakukan adalah penyempurnaan fungsi dan struktur kelem- bagaan pemerintahan kota antara lain peningkatan status pemerintahan kota administratif menjadi kotamadya di Mataram, Denpasar, dan Bitung. Pada tahun 1996/1997 dilakukan peningkatan status dari kota administratip menjadi kotamadya di Kupang dan Bekasi; peningkatan kemampuan aparat pemerintah kota; peningkatan kerjasama antar pemerintahan kota antara lain melalui Badan Kerja Sama Antar Kota Seluruh Indonessia (BKS-AKSI); dan penyiapan kelembagaan bagi terselenggaranya kerjasama pemerintah kota dengan masyarakat dan dunia usaha. Untuk itu program kerjasama antar kota antar negara terus dikembangkan seperti kerjasama antara Jakarta-Casablanca, Jakarta-Tokyo, dan Bandung-Braunsweig.Dalam rangka penyempurnaan kelembagaan pemerintah kota, di beberapa kota dibentuk dan dikembangkan dinas-dinas baru sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Dalam kaitan dengan pelaksanaan P3KT dikembangkan program pemantapan kelembagaan di perkotaan melalui Local Institution Development Action Plan (LIDAP). Untuk itu sejak tahun 1995/1996 telah dilakukan implementasi dan ujicoba LIDAP melalui pelatihan terhadap 26 orang peserta dari beberapa pemerintah daerah.8) Program Penataan Ruang, Pertanahan, dan LingkunganProgram ini bertujuan untuk memelihara lingkungan perkotaan dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah penyusunan rencana tata ruang kota dan rencana detail tata ruang kota; peningkatan pengawasan pelaksanaan rencana tata ruang kota; peningkatan administrasi, pelayanan, dan tertib hukum pertanahan; penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL), penghijauan, serta Program Kali Bersih (Prokasih).Dari tahun 1995/1996 hingga tahun 1996/1997 74 kotamadya telah mempunyai Rencana Induk Pembangunan Prasarana. Sampai dengan tahun 1996/1997 dari 113 kotamadya di Indonesia, 37 kota- madya telah menyiapkan Rencana Program Pembangunan Jangka Menengah. Penyusunan rencana tata ruang kawasan perkotaan tersebut sebagian besar dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri dengan pembinaan teknis oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN).Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat perkotaan terhadap pentingnya kelestarian lingkungan hidup di perkotaan maka dilak- sanakan penghargaan Adipura. Kota yang telah berhasil mendapatkan penghargaan ADIPURA dapat dilihat pada program Pembinaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.BAB IVPENUTUP4.1 KesimpulanDalam era sentralistik landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaanpembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat danbersifat ekslusif. Pembangunan perkotaan dsudah dimulai dari era Repelita I sampai Repelita V. Pembangunan perkotaan sampai dalam Repelita VIdilaksanakan melalui 8 program, yaitu (1) program pemantapan fungsi kota, (2) program pembangunan prasarana dan sarana kota, (3) program pengembangan ekonomi perkotaan, (4) program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, (5) program peningkatan peran serta masyarakat, (6) program pemantapan keuangan perkotaan, (7) program kelembagaan pemerintahan kota, dan (8) program penataan ruang, pertanahan, dan lingkungan perkotaan. 4.2 SaranPemerintah perlu melakukan:1. Pengambilan langkah-langkah yang efisien2. Berpandangan integraf dalam mengakomodir sebuah kebijakan pembangunan perkotaan dengan para pelaku pembangunan (swasta dan masyarakat)3. Bersikap fleksibel dalam pelaksanaan program pembangunan menghadapi perubahan yang terjadi4. Bersikap demokratis agar mampu menciptakan iklim yang dapat mendorong partisipasi dalam sebuah pembangunan perkotaanPerubahan sistem pengaturan wewenang saat ini dari sentralisasi menjadi desentralisasi maka dalam rangka mendukung pelaksanaan desentralisasi dalam pembangunan perkotaan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab maka kebijakan pembangunan perkotaan yang diterapkan harus dapat meningkatkan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam melaksanakan dan mengendalikan kegiatan perkotaan tersebut dan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan perkotaan

DAFTAR PUSTAKARenika Putra. Perencanaan Pembangunan Perkotaan. (Online), (http://renikaputra.blogspot.com/2008/05/kebijakan-pembangunan-perkotaan-dalam.html), diakses pada tanggal 29 November 2014Kansil, C.S.T . 2005. Sistem Pemerintahan Indonesia. PT Bumi Aksara : Jakarta.Repelita VI Buku II Bab XVII. Pembangunan Perkotaan dan Pedesaan, Perumahan dan Pemukiman. Dokumen Perencanaan dan Pelaksanaan Kementerian PPN/Bappenas

13