Upload
harnugrahanto-aank
View
54
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kedokteran, THT, KL
Citation preview
Presentasi KasusRhinosinusitis Kronis
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan, Kepala Leher
Rumah Sakit Umum Daerah “Saras Husada” PurworejoFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Preceptor :
dr. Tolkha Amaruddin, M.Kes, Sp.THT,KL
Oleh :
Harnugrahanto S 20070310078
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan, Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran dan Ilmu KesehatanUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta
2013
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. DS
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Alamat : Krendetan RT. 9/RW. 3 Bagelen, Purworejo
No. Register : 257697
Tgl. Pemeriksaan : 4 Januari 2013 (Pukul 9.00)
ANAMNESIS (Autoanamnesis) (Tanggal 4 Januari 2013)
Keluhan utama : Pilek kambuhan
RPS :
Pasien pilek sejak 3 bulan yang lalu, hilang timbul terutama jika udara dingin, ingus berwarna
kuning kental, dan berbau pada pagi hari. Keluhan pasien ini disertai dengan hidung buntu,
hilang timbul terutama jika udara dingin. Sudah berobat ke bidan setempat tetapi tidak
membaik dan disarankan periksa ke rumah sakit.
Batuk sejak 3 hari yang lalu, berdahak, dahak warna kuning kental, sudah diobati dengan obat
batuk sirup OBH dan keluhan batuk berkurang. Sakit kepala terutama bangun tidur, lama-
lama hilang sendiri. Badan terasa demam dan meriang.
Tenggorokan: nyeri (-), mengganjal (-), terasa lendir menetes di tenggorok (+), nyeri telan (-).
RPD
Riwayat pilek sebelumnya: sering. Riwayat bersin-bersin sering terutma ketika terkena debu
dan udara dingin.
Riwayat sakit gigi: tidak ada .
Riwayat atopi: bila makan ikan tongkol timbul gatal-gatal dan biduran.
RPK
Riwayat alergi dan keluhan serupa pada anggota keluarga disangkal
PEMERIKSAAN FISIK (Poliklinik THT) (Tanggal 4 Januari 2013)
Status Generalis
Vital Sign
Keadaan umum : Baik , Compos Mentis
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
RR : 20 x/menit
Kepala : Mesocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Leher : trakea di tengah, tidak ada pembesaran limfonodi
Thorax :
Cor : S1 > S2 reguler, bising (-).
Pulmo : Simetris, retraksi (-)
SD : Vesikuler
ST : Ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : Supel, datar
Hepar/lien tidak teraba
Peristaltik usus normal
Ekstremitas : Tidak ada kelainan
Status Lokalis
Telinga
Inspeksi :
Aurikula : AD/S : hiperemis (-), Nyeri tekan (+) Edema (-)
Kanalis auditorius : AD : Pus (-), serumen (+), liang sempit (-)
AS : bersih, serumen (-), liang sempit (-)
Palpasi :Nyeri tekan tragus AD/S (-), Nyeri tekan auricular AD/S (-)
Otoskopi : Membrane timpani AD/S Hipremis (-), retraksi (-), cone of light (+), Pus (-)
Hidung
Inspeksi : Deviasi septum (-), tidak ada deformitas, rinorhea (+)
Palpasi : nyeri tekan (+) Sinus Maksilaris Dekstra, krepitasi (-)
Rhinoskopi anterior : mukosa licin, discharge (+) mukopurulen, konka edema (+)
deviasi septum (-)
Rhinoskopi posterior : tidak dilakukan pemeriksaan
Transluminasi : tidak dilakukan pemeriksaan
Tenggorokan
Bibir : labioskisis (-), radang (-), tumor (-)
Gigi-ginggiva : caries dentis (-)
Lidah : lidah kotor (-), hilang rasa kecap (+) radang (-)
Palatum mole : bengkak (-), hiperemis (-)
Uvula : hiperemis (-), bengkak (-)
Faring : hiperemis (-), refleks menelan (-)
Tonsil dextra : pembesaran (-), permukaan licin (-), hiperemi (-), membran (-)
Tonsil sinistra : pembesaran (-), permukaan licin (-), hiperemi (-), membran (-)
Diagnosis Kerja
Rinosinusitis kronis
RENCANA
Rencana Diagnosis
Lab Darah Rutin
Tes Alergi
CT-Scan Sinus Para Nasal
RencanaTerapi
Antibiotik : Amoxicillin-Clavulanate 3x500mg
Dekongestan : Pseudoefedrin 2 x 60 mg
Antihistamin: Loratadine 1 x 10 mg
NSAID : Paracetamol 3x500 mg
Steroid : Methyl Prednisolone 3x4 mg
Kontrol 1 minggu lagi
Rencana Monitoring
Keluhan subjektif
Tanda objektif
RencanaEdukasi
Menjelaskan tentang diagnosis penyakit yang diderita oleh pasien.
Menjelaskan tentang tindakan yang akan dilakukan beserta komplikasi yang mungkin terjadi.
Menjelaskan tentang prognosis penyakit.
PROGNOSIS: dubia et bonam
Tinjauan Pustaka
1. Definisi Rinosinusitis Kronis
Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau
infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis, rinosinusitis dapat dikategorikan
sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu,
rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis
kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu
maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis
(Paraswati, 2007).
2. Etiologi Rinosinusitis Kronis
Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis cukup beragam. Pada era pra-
antibiotik, rinosinusitis hiperplastik kronis timbul akibat rinosinusitis yang berulang
dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Berbagai faktor fisik, kimia, saraf, hormonal
dan emosional mempengaruhi mukosa hidung. Secara umum, rinosinusitis kronis lebih
lazim pada iklim yang dingin dan basah. Defisiensi gizi, kelemahan tubuh yang tidak
bugar, dan penyakit umum sistemik perlu dipertimbangkan dalam etiologi rinosinusitis
kronis. Perubahan dalam faktor-faktor lingkungan, misalnya dingin, panas, kelembapan,
dan kekeringan, demikian pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat
merupakan faktor predisposisi.
Dalam daftar predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap infeksi
sebelumnya, misalnya common cold, asma ataupun penyakit alergi seperti rinitis
alergika. Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit
rinosinusitis kronis, berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda asing dan
neoplasma.
Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus, bakteri dan jamur dimana virus
adalah penyebab utama infeksi saluran napas atas seperti, rinosinusitis, faringitis, dan
sinusitis akut. Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung, nasofaring dan juga
meluas ke sinus, yang termasuk didalamnya adalah rinovirus, influenza virus dan
parainfluenza virus.
Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang
menyebabkan rinosinusitis akut. Namun, karena rinosinusitis kronik biasanya berkaitan
dengan drenase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen
infeksi yang terlibat cenderung oportunistik. Bakteri penyebab rinosinusitis kronis
banyak macamnya, baik anaerob maupun yang aerob, namun yang merupakan proporsi
terbesar adalah bakteri anaerob (Munir dan Kurnia, 2007). Bakteri aerob yang sering
ditemukan antara lain staphylococcus aureus, streptococcus viridians, haemuphilus
influenza, neisseria flavus, staphylococcus epidermidis, streptococcus pneumonia, dan
escherichia coli. Sedangkan bakteri anaerob antara lain peptostreptococcus,
corynebacterium, bacteroides, dan veillonella. Infeksi campuran antara organisme aerob
dan anaerob sering kali juga terjadi (Hilger, 1997).
3. Patofisiologi Rinosinusitis Kronis
Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, rinitis
kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi
anatomis karena edema dan akhirnya efek lanjut gangguan alergenik kronik, seperti
hipertropi mukosa, dan poliposis (Hilger, 1997).
Sinus-sinus terbentuk oleh evaginasi membran mukosa hidung, dan pelapis sinus
merupakan epitelium pernapasan. Patofisiologi dasar penyakit rinosinusitis kronis ini
suatu gangguan mukosa di dan sekitar ostium di regio meatus medius akibat reaksi
radang pada hidung yang berkelanjutan. Setiap infeksi traktus respiratorius atas biasanya
mengenai mukosa sinus, karena epitel sinus merupakan epitelium kuboid bertingkat
bersilia yang mirip dengan epitelium kolumner bertingkat bersilia pada hidung, sehingga
hal-hal yang terjadi di hidung biasanya terjadi pula di sinus-sinus, karena hidung akan
mengeluarkan ingus yang dapat menghasilkan superinfeksi bakterial, yang kemudian
bakteri tersebut dapat masuk melalui ostium menuju ke dalam rongga-rongga sinus dan
berkembangbiak didalamnya (Samsudin, 1991).
Rinosinusitis terjadi bila edema di mukosa kompleks ostiomeatal yang letaknya
berhadapan akan saling bertemu, dimana sekretnya ini menebal, dan bila ditunggangi
kontaminasi bakteri, mukosanya akan mengandung purulen. Virus juga memproduksi
enzim neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus
pada lapisan mukosilia, hal ini menyebabkan silianya menjadi kurang aktif, dan sekret
yang dihasilkan mukosa sinus menjadi kental, sehingga tidak dapat dialirkan. Maka akan
terjadi gangguan drenase dan ventilasi di dalam sinus. Bila sumbatan ini berlangsung
berulang atau terus-meneruslah yang akan menyebabkan rinosinusitis kronis, dimana
akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga timbul infeksi oleh bakteri aerob
maupun anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid
atau pembentukan polip dan kista (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Siklus dari peristiwa yang berulang pada rinosinusitis kronis (Hilger, 1997)
4. Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis
Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor (Kennedy, 1995). Yang merupakan kriteria
mayor dari rinosinusitis kronis antara lain berupa:
a. Nyeri atau sakit pada bagian wajah.
b. Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal
(post nasal drip).
c. Gejala faring, yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok.
d. Terdapat purulen pada pemeriksaan. Pada rhinoskopi anterior ditemukan sekret
kental purulen dari meatus medius atau meatus superior, sedangkan pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
e. Hyposmia atau anosmia.
f. Gejala mata, oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
g. Gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan
gastroenteritis, sering terjadi pada anak.
Sedangkan kriteria minornya dapat berupa:
a. Nyeri atau sakit kepala.
b. Demam.
c. Halitosis.
d. Kelelahan (fatigue).
e. Sakit gigi (dental pain).
f. Gejala saluran nafas berupa batuk yang kadang-kadang dapat menyebabkan
komplikasi di paru berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial,
sehingga terjadi penyakit sinobronkial.
g. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba
eustachius (Ryan, 2005).
Nyeri kepala pada rinosinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan
berkurang atau atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti,
tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung
dan sinus serta adanya statis vena (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Dari gambaran klinik ini, barulah kita dapat menentukan langkah diagnosis dari
rinosinusitis kronis, yang dibuat berdasarkan anamnesis yang cermat dan pemeriksaan
fisik untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasalis yang dilakukan dengan
inspeksi dari luar, palpasi, perkusi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior dan
transilumetri. Transiluminasi hanya dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan
sinus frontalis, bila fasilitas radiologis tidak tersedia.
Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologi, posisi rutin yang
dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral. Pungsi sinus maksila, sinoskopi sinus
maksila dengan menggunakan endoskop, pemeriksaan histopatologik dari jaringan yang
diambil pada waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus medius dan meatus
superior dengan menggunakan nasoendoskopi dan pemeriksaan CT-Scan
(Mangunkusumo dan Rifki). Pemeriksaan CT–Scan, merupakan cara terbaik untuk
memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan
pada sinusitis akan tampak penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen
atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan
sklerotik pada kasus-kasus kronik yang tidak membaik dengan terapi, rinosinusitis
dengan komplikasi, evaluasi preoperatif, dan jika ada dugaan keganasan. Magnetic
Resonance Imaging (MRI) lebih baik daripada tomografi komputer dalam resolusi
jaringan lunak dan sangat baik untuk membedakan rhinosinusitis karena jamur,
neoplasma, dan perluasan intrakanialnya, namun resolusi tulang tidak tergambar baik dan
harganya mahal (FKUI-Kapita Selekta Kedokteran, 2003).
5. Terapi Rinosinusitis Kronis
Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara konservatif dan
operatif dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas sekret, dan
mengeradikasi kuman. Jika telah ditemukan faktor predisposisinya, maka dapat dilakukan
tata laksana yang sesuai yaitu dengan penanganan konservatif, dengan pemberian
antibiotika yang sesuai untuk mengatasi infeksinya serta obat-obatan simptomatis lainnya
seperti analgetik berupa aspirin atau preparat codein, dan kompres hangat pada wajah
juga dapat membantu untuk menghilangkan rasa sakit tersebut. Dekongestan, misalnya
pseudoefedrin, dan tetes hidung poten seperti fenilefrin dan oksimetazolin cukup
bermanfaat untuk mengurangi udem sehingga dapat terjadi drainase sinus. Terapi
pendukung lainnya seperti mukolitik, antipiretik dan antihistamin (Piccirillo, 2004).
Adapun antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis, diantaranya dapat
dilihat pada tabel dibawah ini:
RINOSINUSITIS KRONIK
Agen Antibiotika Dosis
Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 3 dosis
Dewasa: 3 x 500 mg
Azitromisin Anak: 10 mg/kg pada hari 1 diikuti 5mg/kg
selama 4 hari berikutnya
Dewasa: 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250mg
selama 4 hari
Levofloxacin Dewasa: 2 x 250-500mg
Selain itu, dapat juga dibantu dengan diatermi gelombang pendek (Ultra Short
Wave Diathermy) selama 10 hari di daerah sinus yang sakit. Tindakan ini membantu
memperbaiki drenase dan pembersihan sekret dari sinus yang sakit. Untuk sinusitis
maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis etmoid, frontal atau
sfenoid dilakukan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian sinus dilakukan 2 kali dalam
seminggu. Bila setelah 5 – 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret
purulen, berarti mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal (perubahan irreversible),
maka dapat dilakukan operasi radikal untuk menghindari komplikasi lanjutan. Untuk
mengetahui perubahan mukosa masih reversible atau tidak, dapat juga dilakukan dengan
pemeriksaan sinoskopi untuk melihat antrum (sinus maksila) secara langsung dengan
menggunakan endoskop (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Bila penanganan konservatif gagal, maka dilakukan terapi operatif yaitu dengan
cara mengangkat mukosa sinus yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang
terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc, sedangkan untuk sinus
etmoid dilakukan etmoidektomi yang biasa dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau
dari luar (ekstranasal) (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Namun, akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang sehingga saat operasi
kta dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi pada rongga-rongga
sinus. Jaringan patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus
yang tersumbat diperlebar, inilah yang disebut dengan Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional (BSEF). Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan daerah kompleks
ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan
drenase sinus dapat lancar kembali melalui osteum alami. Dengan demikian sinus akan
kembali normal (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Daftar Pustaka
D.T.R,. Taylor. (1991), Pemeriksaan Hidung dan Sinus-Sinus, Penyakit Telinga
Hidung dan Tenggorokan (Diseases of the ears, nose, and throath), alih bahasa oleh
Samsudin, Sonny, EGC, Jakarta.
Dorland, W.A. Newman. (2002), Dorland’s Illustrated Medical Dictionary, alih
bahasa oleh Setiawan, Andy dkk dalam Kamus Kedokteran DORLAND, EGC, Jakarta.
BOIES (1997), Penyakit Sinus Paranasalis, Buku Ajar Penyakit THT, BOIES,
alih bahasa oleh Wijaya, Caroline, edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Harowi, M. Roikhan. (2007), Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronis
Pasca Terapi Bedah, Thesis Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Kedokteran Klinis
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Available from:
http://puspasca.ugm.ac.id/files/Abst_(2781-H-2007).pdf. (Accessed: 2008, July 31).
Hilger, Peter. A. (1997), Anatomi dan Fisiologi Terapan Hidung dan Sinus
Paranasalis, Buku Ajar Penyakit THT, BOIES, alih bahasa oleh Wijaya, Caroline, edisi 6,
EGC, Jakarta.
Kapita Selekta Kedokteran. (2002), Sinusitis Kronis, Ilmu penyakit Telinga
Hidung dan Tenggorok, edisi ketiga, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta.
Mangunkusumo, Endang dan Rifki, Nusjirwan. (2003). Sinusitis, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi kelima, FKUI. Jakarta.
Mangunkusumo, Endang. (1999), Sinusitis, dalam Kumpulan Makalah
Simposium Sinusitis, Jakarta, Available from: http:// www. kalbe. co. id/files/cdk/files/
cdk_155_THT. pdf. (Accessed: 2008, September 17).
Munir, Delfitri dan Kurnia, Beny. (2007), Pola Kuman Aerob Penyebab Sinusitis
Maksila Kronis, Cermin Dunia Kedokteran, No. 155, Poliklinik THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Medan, Sumatera Utara, Indonesia, Available from: http:// www. kalbe. co.id/ files/ cdk/
files/ cdk_155_THT. pdf. (Accessed: 2008, July 31).
Nizar, Nuty W. dan Mangunkusumo, Endang. (2003). Polip Hidung, Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi kelima, FKUI. Jakarta.
Piccirillo. (2004), Faktor-Faktor Prognosis Kesembuhan Rinosinusitis Kronis
Yang Dengan Terapi Medikamentosa, Available from: http://www.google. com/search?
q= cache: l5m__5v9 WEJ: puspasca.ugm. ac.id/ files(1021-H2004).
pdf+rhinosinusitis&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id&client=firefox-a (Acessed: 2008, July
31).
PIT, PERHATI. (2001), Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis, dipresentasikan di
Palembang, Available from: http://www.yanmedik-depkes.net/ hta/ Hasil% 20 Kajian
%20HTA/2006/Functional%20Endoscopic%20Sinus%20Surgery % 20di
%20Indonesia.doc. (Accessed: 2008, September 17).
Purnaman dan Rifki, Nusyirwan. (1990), Sinusitis, dalam Nurbaiti Iskandar,
Efiaty AS, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung Tenggorok, edisi pertama,
FKUI, Jakarta, Available from: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/ files/cdk_155_THT.pdf.
(Accessed: 2008, September 17).
Roos, K. (1999), The Pathogenesis of Infective Rhinosinusitis, In Rhinosinusitis:
Current Issues in Diagnosis and Management. Lund V. Corey J (Eds). The Royal Society
of Medicine Press Limited, London, UK, Round Table Series 67: 3-9, Available from:
http://www.yanmedik-depkes.net/ hta/ Hasil% 20 Kajian% 20HTA/ 2006/ Functional%
20 Endoscopic% 20 Sinus% 20 Surgery % 20 di % 20Indonesia.doc. (Accessed: 2008,
September 17).
Ryan, Matthew. (2006), Management of Chronic Rhinosinusistis. Grand Rounds
Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology.
Samsudin, Sony. (1991), Sinusitis, Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan,
EGC, Jakarta.
Sastroasmoro, S. dan Ismael, S. (1995), Dasar-Dasar Metodologi Penelitian
Klinis, Binarupa Aksara, Jakarta.
Stammberger, H. dan Jareoncharsri. (1997), Examination and Endoscopy of The
Nose and Paranasal Sinuses. In: Mygind N, Lildholdt T. Nasal Polyposis: An
Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaard; 120-36, Available
from: http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20 Kajian%20HTA/2006/Functional
%20Endoscopic%20Sinus% 20 Surgery% 0 di %20 Indonesia.doc. (Accessed: 2008,
September 17).
Taufik, M., Kusno., dan Suprihati. (1986), Faktor Alergi Pada Sinusitis Kronis.
Lab/UPF THT/FK UNDIP, RS Kariadi Semarang Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah
Konas VIII Perhati Ujung Pandang, 927-31.
USU digital library. (2003), Profil Sinusitis Maksila Kronis di Poliklinik THT
RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2000 – Februari 2001. (Accessed: 2009,
January 10).
Wiadyana, I.G.P. et al. (1998), Pedoman Upaya kesehatan Telinga dan
Pencegahan Gangguan pendengaran untuk Puskesmas, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
Yuniandri, Tiara Paraswati. (2007), Sinusitis, November, Friday 30 [04:48:53
UTC] - last modification, FK Universitas Islam Indonesia. (Accessed: 2008, July 31).