22
Presentasi Kasus Rhinosinusitis Kronis Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan, Kepala Leher Rumah Sakit Umum Daerah “Saras Husada” Purworejo Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Preceptor : dr. Tolkha Amaruddin, M.Kes, Sp.THT,KL Oleh : Harnugrahanto S 20070310078 Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan,

Kedokteran

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kedokteran, THT, KL

Citation preview

Page 1: Kedokteran

Presentasi KasusRhinosinusitis Kronis

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan, Kepala Leher

Rumah Sakit Umum Daerah “Saras Husada” PurworejoFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Preceptor :

dr. Tolkha Amaruddin, M.Kes, Sp.THT,KL

Oleh :

Harnugrahanto S 20070310078

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan, Kepala dan Leher

Fakultas Kedokteran dan Ilmu KesehatanUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta

2013

Page 2: Kedokteran

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. DS

Umur : 39 tahun

Jenis kelamin : Wanita

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SMP

Agama : Islam

Alamat : Krendetan RT. 9/RW. 3 Bagelen, Purworejo

No. Register : 257697

Tgl. Pemeriksaan : 4 Januari 2013 (Pukul 9.00)

ANAMNESIS (Autoanamnesis) (Tanggal 4 Januari 2013)

Keluhan utama : Pilek kambuhan

RPS :

Pasien pilek sejak 3 bulan yang lalu, hilang timbul terutama jika udara dingin, ingus berwarna

kuning kental, dan berbau pada pagi hari. Keluhan pasien ini disertai dengan hidung buntu,

hilang timbul terutama jika udara dingin. Sudah berobat ke bidan setempat tetapi tidak

membaik dan disarankan periksa ke rumah sakit.

Batuk sejak 3 hari yang lalu, berdahak, dahak warna kuning kental, sudah diobati dengan obat

batuk sirup OBH dan keluhan batuk berkurang. Sakit kepala terutama bangun tidur, lama-

lama hilang sendiri. Badan terasa demam dan meriang.

Tenggorokan: nyeri (-), mengganjal (-), terasa lendir menetes di tenggorok (+), nyeri telan (-).

RPD

Riwayat pilek sebelumnya: sering. Riwayat bersin-bersin sering terutma ketika terkena debu

dan udara dingin.

Riwayat sakit gigi: tidak ada .

Riwayat atopi: bila makan ikan tongkol timbul gatal-gatal dan biduran.

RPK

Riwayat alergi dan keluhan serupa pada anggota keluarga disangkal

Page 3: Kedokteran

PEMERIKSAAN FISIK (Poliklinik THT) (Tanggal 4 Januari 2013)

Status Generalis

Vital Sign

Keadaan umum : Baik , Compos Mentis

Tensi : 120/80 mmHg

Nadi : 82 x/menit

RR : 20 x/menit

Kepala : Mesocephal

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)

Leher : trakea di tengah, tidak ada pembesaran limfonodi

Thorax :

Cor : S1 > S2 reguler, bising (-).

Pulmo : Simetris, retraksi (-)

SD : Vesikuler

ST : Ronkhi (-), wheezing (-)

Abdomen : Supel, datar

Hepar/lien tidak teraba

Peristaltik usus normal

Ekstremitas : Tidak ada kelainan

Status Lokalis

Telinga

Inspeksi :

Aurikula : AD/S : hiperemis (-), Nyeri tekan (+) Edema (-)

Kanalis auditorius : AD : Pus (-), serumen (+), liang sempit (-)

AS : bersih, serumen (-), liang sempit (-)

Palpasi :Nyeri tekan tragus AD/S (-), Nyeri tekan auricular AD/S (-)

Otoskopi : Membrane timpani AD/S Hipremis (-), retraksi (-), cone of light (+), Pus (-)

Page 4: Kedokteran

Hidung

Inspeksi : Deviasi septum (-), tidak ada deformitas, rinorhea (+)

Palpasi : nyeri tekan (+) Sinus Maksilaris Dekstra, krepitasi (-)

Rhinoskopi anterior : mukosa licin, discharge (+) mukopurulen, konka edema (+)

deviasi septum (-)

Rhinoskopi posterior : tidak dilakukan pemeriksaan

Transluminasi : tidak dilakukan pemeriksaan

Tenggorokan

Bibir : labioskisis (-), radang (-), tumor (-)

Gigi-ginggiva : caries dentis (-)

Lidah : lidah kotor (-), hilang rasa kecap (+) radang (-)

Palatum mole : bengkak (-), hiperemis (-)

Uvula : hiperemis (-), bengkak (-)

Faring : hiperemis (-), refleks menelan (-)

Tonsil dextra : pembesaran (-), permukaan licin (-), hiperemi (-), membran (-)

Tonsil sinistra : pembesaran (-), permukaan licin (-), hiperemi (-), membran (-)

Diagnosis Kerja

Rinosinusitis kronis

RENCANA

Rencana Diagnosis

Lab Darah Rutin

Tes Alergi

CT-Scan Sinus Para Nasal

RencanaTerapi

Antibiotik : Amoxicillin-Clavulanate 3x500mg

Dekongestan : Pseudoefedrin 2 x 60 mg

Page 5: Kedokteran

Antihistamin: Loratadine 1 x 10 mg

NSAID : Paracetamol 3x500 mg

Steroid : Methyl Prednisolone 3x4 mg

Kontrol 1 minggu lagi

Rencana Monitoring

Keluhan subjektif

Tanda objektif

RencanaEdukasi

Menjelaskan tentang diagnosis penyakit yang diderita oleh pasien.

Menjelaskan tentang tindakan yang akan dilakukan beserta komplikasi yang mungkin terjadi.

Menjelaskan tentang prognosis penyakit.

PROGNOSIS: dubia et bonam

Page 6: Kedokteran

Tinjauan Pustaka

1. Definisi Rinosinusitis Kronis

Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau

infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis, rinosinusitis dapat dikategorikan

sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu,

rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis

kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu

maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus disebut

multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis

(Paraswati, 2007).

2. Etiologi Rinosinusitis Kronis

Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis cukup beragam. Pada era pra-

antibiotik, rinosinusitis hiperplastik kronis timbul akibat rinosinusitis yang berulang

dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Berbagai faktor fisik, kimia, saraf, hormonal

dan emosional mempengaruhi mukosa hidung. Secara umum, rinosinusitis kronis lebih

lazim pada iklim yang dingin dan basah. Defisiensi gizi, kelemahan tubuh yang tidak

bugar, dan penyakit umum sistemik perlu dipertimbangkan dalam etiologi rinosinusitis

kronis. Perubahan dalam faktor-faktor lingkungan, misalnya dingin, panas, kelembapan,

dan kekeringan, demikian pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat

merupakan faktor predisposisi.

Dalam daftar predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap infeksi

sebelumnya, misalnya common cold, asma ataupun penyakit alergi seperti rinitis

alergika. Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit

rinosinusitis kronis, berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda asing dan

neoplasma.

Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus, bakteri dan jamur dimana virus

adalah penyebab utama infeksi saluran napas atas seperti, rinosinusitis, faringitis, dan

sinusitis akut. Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung, nasofaring dan juga

Page 7: Kedokteran

meluas ke sinus, yang termasuk didalamnya adalah rinovirus, influenza virus dan

parainfluenza virus.

Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang

menyebabkan rinosinusitis akut. Namun, karena rinosinusitis kronik biasanya berkaitan

dengan drenase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen

infeksi yang terlibat cenderung oportunistik. Bakteri penyebab rinosinusitis kronis

banyak macamnya, baik anaerob maupun yang aerob, namun yang merupakan proporsi

terbesar adalah bakteri anaerob (Munir dan Kurnia, 2007). Bakteri aerob yang sering

ditemukan antara lain staphylococcus aureus, streptococcus viridians, haemuphilus

influenza, neisseria flavus, staphylococcus epidermidis, streptococcus pneumonia, dan

escherichia coli. Sedangkan bakteri anaerob antara lain peptostreptococcus,

corynebacterium, bacteroides, dan veillonella. Infeksi campuran antara organisme aerob

dan anaerob sering kali juga terjadi (Hilger, 1997).

3. Patofisiologi Rinosinusitis Kronis

Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, rinitis

kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi

anatomis karena edema dan akhirnya efek lanjut gangguan alergenik kronik, seperti

hipertropi mukosa, dan poliposis (Hilger, 1997).

Sinus-sinus terbentuk oleh evaginasi membran mukosa hidung, dan pelapis sinus

merupakan epitelium pernapasan. Patofisiologi dasar penyakit rinosinusitis kronis ini

suatu gangguan mukosa di dan sekitar ostium di regio meatus medius akibat reaksi

radang pada hidung yang berkelanjutan. Setiap infeksi traktus respiratorius atas biasanya

mengenai mukosa sinus, karena epitel sinus merupakan epitelium kuboid bertingkat

bersilia yang mirip dengan epitelium kolumner bertingkat bersilia pada hidung, sehingga

hal-hal yang terjadi di hidung biasanya terjadi pula di sinus-sinus, karena hidung akan

mengeluarkan ingus yang dapat menghasilkan superinfeksi bakterial, yang kemudian

bakteri tersebut dapat masuk melalui ostium menuju ke dalam rongga-rongga sinus dan

berkembangbiak didalamnya (Samsudin, 1991).

Rinosinusitis terjadi bila edema di mukosa kompleks ostiomeatal yang letaknya

berhadapan akan saling bertemu, dimana sekretnya ini menebal, dan bila ditunggangi

Page 8: Kedokteran

kontaminasi bakteri, mukosanya akan mengandung purulen. Virus juga memproduksi

enzim neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus

pada lapisan mukosilia, hal ini menyebabkan silianya menjadi kurang aktif, dan sekret

yang dihasilkan mukosa sinus menjadi kental, sehingga tidak dapat dialirkan. Maka akan

terjadi gangguan drenase dan ventilasi di dalam sinus. Bila sumbatan ini berlangsung

berulang atau terus-meneruslah yang akan menyebabkan rinosinusitis kronis, dimana

akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga timbul infeksi oleh bakteri aerob

maupun anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid

atau pembentukan polip dan kista (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Siklus dari peristiwa yang berulang pada rinosinusitis kronis (Hilger, 1997)

4. Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis

Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1

kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor (Kennedy, 1995). Yang merupakan kriteria

mayor dari rinosinusitis kronis antara lain berupa:

a. Nyeri atau sakit pada bagian wajah.

b. Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal

(post nasal drip).

c. Gejala faring, yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok.

Page 9: Kedokteran

d. Terdapat purulen pada pemeriksaan. Pada rhinoskopi anterior ditemukan sekret

kental purulen dari meatus medius atau meatus superior, sedangkan pada

rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.

e. Hyposmia atau anosmia.

f. Gejala mata, oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.

g. Gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan

gastroenteritis, sering terjadi pada anak.

Sedangkan kriteria minornya dapat berupa:

a. Nyeri atau sakit kepala.

b. Demam.

c. Halitosis.

d. Kelelahan (fatigue).

e. Sakit gigi (dental pain).

f. Gejala saluran nafas berupa batuk yang kadang-kadang dapat menyebabkan

komplikasi di paru berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial,

sehingga terjadi penyakit sinobronkial.

g. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba

eustachius (Ryan, 2005).

Nyeri kepala pada rinosinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan

berkurang atau atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti,

tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung

dan sinus serta adanya statis vena (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Page 10: Kedokteran

Dari gambaran klinik ini, barulah kita dapat menentukan langkah diagnosis dari

rinosinusitis kronis, yang dibuat berdasarkan anamnesis yang cermat dan pemeriksaan

fisik untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasalis yang dilakukan dengan

inspeksi dari luar, palpasi, perkusi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior dan

transilumetri. Transiluminasi hanya dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan

sinus frontalis, bila fasilitas radiologis tidak tersedia.

Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologi, posisi rutin yang

dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral. Pungsi sinus maksila, sinoskopi sinus

maksila dengan menggunakan endoskop, pemeriksaan histopatologik dari jaringan yang

diambil pada waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus medius dan meatus

superior dengan menggunakan nasoendoskopi dan pemeriksaan CT-Scan

(Mangunkusumo dan Rifki). Pemeriksaan CT–Scan, merupakan cara terbaik untuk

memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan

pada sinusitis akan tampak penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen

atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan

sklerotik pada kasus-kasus kronik yang tidak membaik dengan terapi, rinosinusitis

Page 11: Kedokteran

dengan komplikasi, evaluasi preoperatif, dan jika ada dugaan keganasan. Magnetic

Resonance Imaging (MRI) lebih baik daripada tomografi komputer dalam resolusi

jaringan lunak dan sangat baik untuk membedakan rhinosinusitis karena jamur,

neoplasma, dan perluasan intrakanialnya, namun resolusi tulang tidak tergambar baik dan

harganya mahal (FKUI-Kapita Selekta Kedokteran, 2003).

5. Terapi Rinosinusitis Kronis

Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara konservatif dan

operatif dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas sekret, dan

mengeradikasi kuman. Jika telah ditemukan faktor predisposisinya, maka dapat dilakukan

tata laksana yang sesuai yaitu dengan penanganan konservatif, dengan pemberian

antibiotika yang sesuai untuk mengatasi infeksinya serta obat-obatan simptomatis lainnya

seperti analgetik berupa aspirin atau preparat codein, dan kompres hangat pada wajah

juga dapat membantu untuk menghilangkan rasa sakit tersebut. Dekongestan, misalnya

pseudoefedrin, dan tetes hidung poten seperti fenilefrin dan oksimetazolin cukup

bermanfaat untuk mengurangi udem sehingga dapat terjadi drainase sinus. Terapi

pendukung lainnya seperti mukolitik, antipiretik dan antihistamin (Piccirillo, 2004).

Adapun antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis, diantaranya dapat

dilihat pada tabel dibawah ini:

RINOSINUSITIS KRONIK

Agen Antibiotika Dosis

Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 3 dosis

Dewasa: 3 x 500 mg

Azitromisin Anak: 10 mg/kg pada hari 1 diikuti 5mg/kg

selama 4 hari berikutnya

Dewasa: 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250mg

selama 4 hari

Levofloxacin Dewasa: 2 x 250-500mg

Selain itu, dapat juga dibantu dengan diatermi gelombang pendek (Ultra Short

Wave Diathermy) selama 10 hari di daerah sinus yang sakit. Tindakan ini membantu

Page 12: Kedokteran

memperbaiki drenase dan pembersihan sekret dari sinus yang sakit. Untuk sinusitis

maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis etmoid, frontal atau

sfenoid dilakukan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian sinus dilakukan 2 kali dalam

seminggu. Bila setelah 5 – 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret

purulen, berarti mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal (perubahan irreversible),

maka dapat dilakukan operasi radikal untuk menghindari komplikasi lanjutan. Untuk

mengetahui perubahan mukosa masih reversible atau tidak, dapat juga dilakukan dengan

pemeriksaan sinoskopi untuk melihat antrum (sinus maksila) secara langsung dengan

menggunakan endoskop (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Bila penanganan konservatif gagal, maka dilakukan terapi operatif yaitu dengan

cara mengangkat mukosa sinus yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang

terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc, sedangkan untuk sinus

etmoid dilakukan etmoidektomi yang biasa dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau

dari luar (ekstranasal) (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Namun, akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan

menggunakan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang sehingga saat operasi

kta dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi pada rongga-rongga

sinus. Jaringan patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus

yang tersumbat diperlebar, inilah yang disebut dengan Bedah Sinus Endoskopik

Fungsional (BSEF). Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan daerah kompleks

ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan

drenase sinus dapat lancar kembali melalui osteum alami. Dengan demikian sinus akan

kembali normal (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Page 13: Kedokteran

Daftar Pustaka

D.T.R,. Taylor. (1991), Pemeriksaan Hidung dan Sinus-Sinus, Penyakit Telinga

Hidung dan Tenggorokan (Diseases of the ears, nose, and throath), alih bahasa oleh

Samsudin, Sonny, EGC, Jakarta.

Dorland, W.A. Newman. (2002), Dorland’s Illustrated Medical Dictionary, alih

bahasa oleh Setiawan, Andy dkk dalam Kamus Kedokteran DORLAND, EGC, Jakarta.

BOIES (1997), Penyakit Sinus Paranasalis, Buku Ajar Penyakit THT, BOIES,

alih bahasa oleh Wijaya, Caroline, edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Harowi, M. Roikhan. (2007), Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronis

Pasca Terapi Bedah, Thesis Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Kedokteran Klinis

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Available from:

http://puspasca.ugm.ac.id/files/Abst_(2781-H-2007).pdf. (Accessed: 2008, July 31).

Hilger, Peter. A. (1997), Anatomi dan Fisiologi Terapan Hidung dan Sinus

Paranasalis, Buku Ajar Penyakit THT, BOIES, alih bahasa oleh Wijaya, Caroline, edisi 6,

EGC, Jakarta.

Kapita Selekta Kedokteran. (2002), Sinusitis Kronis, Ilmu penyakit Telinga

Hidung dan Tenggorok, edisi ketiga, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI,

Jakarta.

Mangunkusumo, Endang dan Rifki, Nusjirwan. (2003). Sinusitis, Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi kelima, FKUI. Jakarta.

Mangunkusumo, Endang. (1999), Sinusitis, dalam Kumpulan Makalah

Simposium Sinusitis, Jakarta, Available from: http:// www. kalbe. co. id/files/cdk/files/

cdk_155_THT. pdf. (Accessed: 2008, September 17).

Munir, Delfitri dan Kurnia, Beny. (2007), Pola Kuman Aerob Penyebab Sinusitis

Maksila Kronis, Cermin Dunia Kedokteran, No. 155, Poliklinik THT-KL Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

Medan, Sumatera Utara, Indonesia, Available from: http:// www. kalbe. co.id/ files/ cdk/

files/ cdk_155_THT. pdf. (Accessed: 2008, July 31).

Page 14: Kedokteran

Nizar, Nuty W. dan Mangunkusumo, Endang. (2003). Polip Hidung, Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi kelima, FKUI. Jakarta.

Piccirillo. (2004), Faktor-Faktor Prognosis Kesembuhan Rinosinusitis Kronis

Yang Dengan Terapi Medikamentosa, Available from: http://www.google. com/search?

q= cache: l5m__5v9 WEJ: puspasca.ugm. ac.id/ files(1021-H2004).

pdf+rhinosinusitis&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id&client=firefox-a (Acessed: 2008, July

31).

PIT, PERHATI. (2001), Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis, dipresentasikan di

Palembang, Available from: http://www.yanmedik-depkes.net/ hta/ Hasil% 20 Kajian

%20HTA/2006/Functional%20Endoscopic%20Sinus%20Surgery % 20di

%20Indonesia.doc. (Accessed: 2008, September 17).

Purnaman dan Rifki, Nusyirwan. (1990), Sinusitis, dalam Nurbaiti Iskandar,

Efiaty AS, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung Tenggorok, edisi pertama,

FKUI, Jakarta, Available from: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/ files/cdk_155_THT.pdf.

(Accessed: 2008, September 17).

Roos, K. (1999), The Pathogenesis of Infective Rhinosinusitis, In Rhinosinusitis:

Current Issues in Diagnosis and Management. Lund V. Corey J (Eds). The Royal Society

of Medicine Press Limited, London, UK, Round Table Series 67: 3-9, Available from:

http://www.yanmedik-depkes.net/ hta/ Hasil% 20 Kajian% 20HTA/ 2006/ Functional%

20 Endoscopic% 20 Sinus% 20 Surgery % 20 di % 20Indonesia.doc. (Accessed: 2008,

September 17).

Ryan, Matthew. (2006), Management of Chronic Rhinosinusistis. Grand Rounds

Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology.

Samsudin, Sony. (1991), Sinusitis, Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan,

EGC, Jakarta.

Sastroasmoro, S. dan Ismael, S. (1995), Dasar-Dasar Metodologi Penelitian

Klinis, Binarupa Aksara, Jakarta.

Stammberger, H. dan Jareoncharsri. (1997), Examination and Endoscopy of The

Nose and Paranasal Sinuses. In: Mygind N, Lildholdt T. Nasal Polyposis: An

Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaard; 120-36, Available

from: http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20 Kajian%20HTA/2006/Functional

Page 15: Kedokteran

%20Endoscopic%20Sinus% 20 Surgery% 0 di %20 Indonesia.doc. (Accessed: 2008,

September 17).

Taufik, M., Kusno., dan Suprihati. (1986), Faktor Alergi Pada Sinusitis Kronis.

Lab/UPF THT/FK UNDIP, RS Kariadi Semarang Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah

Konas VIII Perhati Ujung Pandang, 927-31.

USU digital library. (2003), Profil Sinusitis Maksila Kronis di Poliklinik THT

RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2000 – Februari 2001. (Accessed: 2009,

January 10).

Wiadyana, I.G.P. et al. (1998), Pedoman Upaya kesehatan Telinga dan

Pencegahan Gangguan pendengaran untuk Puskesmas, Departemen Kesehatan RI,

Jakarta.

Yuniandri, Tiara Paraswati. (2007), Sinusitis, November, Friday 30 [04:48:53

UTC] - last modification, FK Universitas Islam Indonesia. (Accessed: 2008, July 31).