Upload
tri-fitrian-afrianto
View
9
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Penegakan diagnosa dan terapi yang tepat pada kegawatan okuli di pelayanan primer sangat penting karena kondisi pasien bergantung pada penanganan. Semua kegawatan mata termasuk trauma mata, ablasio retina, oklusi arteri retina sentralis, glukoma akut sudut tertutup, dan jejas kimia,harus dirujuk ke IGD atau dokter spesialis mata. Pemeriksaan mata dan pemeriksaan fisik sederhana yang baik dapat membantu dokter umum memberikan terapi yang tepat. Semua pasien dengan gangguan mata harus diperiksa tajam penglihatan dan pergerakan bola mata. Pemeriksaan lapang pandang berupa tes konfrontasi, pemeriksaan reflek pupil, dan pemeriksaan oftalmoskopi di kedua mata juga harus dilakukan.
Citation preview
1.1. Judul Jurnal
Kegawatan Okuli
1.2. Abstrak
Penegakan diagnosa dan terapi yang tepat pada kegawatan okuli di pelayanan primer
sangat penting karena kondisi pasien bergantung pada penanganan. Semua kegawatan mata
termasuk trauma mata, ablasio retina, oklusi arteri retina sentralis, glukoma akut sudut tertutup,
dan jejas kimia,harus dirujuk ke IGD atau dokter spesialis mata. Pemeriksaan mata dan
pemeriksaan fisik sederhana yang baik dapat membantu dokter umum memberikan terapi yang
tepat. Semua pasien dengan gangguan mata harus diperiksa tajam penglihatan dan pergerakan
bola mata. Pemeriksaan lapang pandang berupa tes konfrontasi, pemeriksaan reflek pupil, dan
pemeriksaan oftalmoskopi di kedua mata juga harus dilakukan. Trauma mata akibat
mekanikmaupun akibat zat kimia, dengan mudah dapat terjadi salah diagnosa. Setelah terpapar
bahan kimia, mata dicuci selama 30 menit atau sampai pH mata mendekati nilai normal
sangatlah penting untuk mencegah komplikasi. Pengggunaan eye shield diperlukan pada pasien
ruptur okuli untuk mencegah kerusakan dan memelihara penglihatan pasien.
1.3. Introduksi
Trauma mata, ablasio retina, dan oklusi arteri retina centralis merupakan kegawatan mata
tersering di UGD. Diperkirakan 2 juta trauma mata terjadi setiap tahun di US, hal ini merupakan
jumlah signifikan yang mengakibatkan kebutaan.
1.4. Isi Jurnal
Semua pasien dengan masalah mata harus diperiksa tajam penglihatannya. Apabila tajam
penglihatan sulit diperiksa akibat pasien merasa matanya nyeri, tetes anastetik topikal dapat
digunakan. Jika memungkinkan, pemeriksaan pada mata mencakup palpebra, bola mata, orbita,
dahi, dan pipi, evaluasi motilitas extraokular, refleks pupil, pemeriksaan lapang pandang.
(misalnya pemeriksaan lapang pandang melalui tes konfrontasi). Interpretasi pada temuan
pemeriksaan mata dapat dilihat di tabel 1.
Tabel 1. Temuan klinis pada pemeriksaan mata dan interpretasinya
Temuan Klinis Penyebab
Diplopia, pandangan tidak fokus (akibat kedua
mata tidak dapat fokus pada satu objek pada
waktu yang sama), ptosis
Palsi Nervus kranialis III,IV, atau VI, maupun paresis
maupun paralisis muskulus ekstraokuler.
Leserasi palpebra Berhubungan dengan perforasi bola mata, bahaya pada
drainase sistem lakrimal, atau muskulus levator.
Reflek langsung kontralateral dan reflek
konsensual kontralateral baik, hilangnya reflek
consensual ipsilateral dan reflek langsung
ipsilateral.
Disfungsi pada salah satu sisi nervus okulomatorius
(misalnya nervus efferent),
Reflek langsung kontralateral dan reflek
consensual ipsilateral baik, hilangnya reflek
consensual kontralateral dan reflek langsung
ipsilateral.
Disfungsi pada salah satu sisi nervus optikus
(misalnya nervus afferent)
Deformitas orbita dan pipi, nyeri supraorbital atau
tulang frontal
Step-off fraktur orbit
Abnormalitas lapang pandang Gangguan pada jalur visual
Penglihatan hilang mendadak Oklusi arteri retina sentralis, ablasio retina, perdarahan
retina
Hilangnya penglihatan unilateral dengan Marcus
Gunn’s pupillary phenomenon
Gangguan respon pupil mengindikasikan disfungsi
nervus optikus atau ablasio retina, hilangnya
penglihatan unilateral tanpa marcus gunn’s pupillary
phenomenon mengindikasikan bahwa lesi terdapat di
nervus optikus atau di retina.
Trauma okuli mekanik
Ruptur bola mata mencakup kerusakan integritas kornea maupun sklera, hal ini harus
diperhatikan pada pasien dengan trauma mata. Apabila tidak diterapi dengan baik, pasien dapat
mengalami komplikasi endoftalmitis, yang merupakan infeksi intraokuli yang serius dan
mengakibatkan kebutaan. Apabila diduga maupun telah dipastikan adanya ruptur bola mata, eye
shield (gambar 1) harus digunakan pada mata dan tidak melakukan penekanan pada mata. CT
kepala dan orbita (coronal dan axial views) direkomendasikan untuk mengevaluasi trauma
terbuka, benda asing intraokuli, dan fraktur dinding orbital. Apabila memungkinkan, antibiotik
sistemik harus diberikan di 6 jam pertama.Pemilihan antibiotik tergantung pada usia pasien,
penyebab injuri, dan mikroorganisme yang terlibat. Streptococcus, Staphylococcus aureus dan
Staphylococcus epidermidis merupakan penyebab paling umum terjadinya endophthalmitis.
Fluoroquinolones, aminoglycosides, dan cephalosporins biasanya digunakan untuk mengatasi
infeksi. Regimen antibiotik yang diterima untuk dewasa adalah cefazolin intravena 1 gr
diberikan setiap 8 jam, ditambahkan ciprofloxacin 400 mg setiap 12 jam. Terapi antibiotik untuk
anak meliputi cefazolin intravena 25 – 50 mg/ kgbb/ hari (biasanya dibagi dan diberikan setiap 8
jam) ditambahkan gentamycin in intravena, 2 mg per kg setiap 8 jam. Trauma okuli akibat
gigitan kucing atau anjing membutuhkan terapi antibiotik profilaksis untuk infeksi Pasteurella
multocida dan Eikenella corrodens. Pada kasus trauma akibat bahan organik (jerami, daun, butir
padi), infeksi akibat bakteri gram negatif dan jamur juga harus diberikan antibiotik. Pasien harus
dirujuk kepada dokter spesialis mata untuk evaluasi dan operasi bedah. Trauma okuli akibat
trauma berkecepatan tinggi (tertimpa benda, kecelakaan lalu lintas) harus diterapi sebagai
penetrasi injury. Injury penetrasi pada mata melalui benda yang sangat kecil dengan kecepatan
tinggi dapat dideteksi sebagai defek kornea melalui pewarnaan fluoresin. Apabila kerusakan
tidak diterapi dengan baik, dapat terjadi endoftalmitis dan penurunan penglihatan dalam
beberapa hari. Pada kondisi ini, riwayat trauma berkecepatan tinggi, disarankan dirujuk pada
dokter spesialis mata. Apabila terjadi laserasi konjungtiva, terdapat rentang yang tinggi antara
ruptur okuli maupun laserasi, dan pasien harus diperiksa oleh dokter spesialis mata. Pemeriksaan
menggunakan slit lamp dan pewarnaan fluorescein membantu untuk membedakan antara laserasi
konjungtiva dan ruptur konjungtiva. Manipulasi konjungtiva dengan swab menggunakan kapas
dibawah slit lamp dapat membedakan laserasi konjungtiva superfisial atau dari lapisan sklera.
Dokter umum dapat mengatasi laserasi konjungtiva kurang dari 1 cm menggunakan antibiotik
topikal dan kontrol tertutup. Laserasi lebih dari 1 cm harus dirujuk kepada dokter spesialis mata
untuk dijahit.
Trauma zat kimia
Trauma kimia pada mata merupakan salah satu kegawatan okuli. Kontak dengan gas
maupun cairan merupakan rute paparan kimia. Trauma mata akibat paparan zat basa lebih sering
terjadi dibandingkan trauma kimia akibat zat asam. Keparahan bergantung pada konsentrasi pH
dan sifat alami bahan kimia. Apabila mata yang terpapar terlihat putih setelah terpapar zat basa,
hal ini merupakan indikasi keparahan trauma mata berupa iskemi pembuluh darah konjungtiva
dan sklera.
Di UGD, mata dapat diirigasi menggunakan tabung intravena, nasal canul, lensa Morgan
Medi-flow. Setelah diirigasi selama 30 menit, mata harus ditutup selama 5 menit. Kemudian pH
mata harus dicek menggunakan kertas lakmus yang disentuhkan pada konjungtiva fornix. Irigasi
harus diteruskan sampai pH netral (7.0) dan dipertahankan minimal 30 menit. Ketika pH telah
stabil, agen sikloplegik dan antibiotik spektrum luas (ciprofloxacin, ofloxacin, gentamicin,
tobramycin harus diberikan.
Durasi irigasi berpengaruh terhadap terapi dan perawatan. Jumlah irigasi untuk
mengakibatkan pH normal bergantung pada jenis zat kimia dan durasi paparan. 10 liter irigasi
mungkin saja diberikan untuk memperoleh pH yang normal. Jika kertas lakmus tidak tersedia,
mata harus diirigasi minimal 1-2 liter larutan irigasi selama 30 menit. Penelitian retrospektif
menunjukkan, pasien yang diirigasi, 76% mengalami trauma grade 1, sedangkan 86% pasien
yang tidak diirigasi mengalami trauma yang lebih berat yakni grade 2. Rata-rata pasien sembuh
dalam 8 hari untuk yang diirigasi, sedangkan pasien yang tidak diirigasi sembuh dalam 29
hari.Asam tidak boleh digunakan untuk menetralisisr basa dan asam versa. Pembersihan
konjungtiva fornik dengan kapas setelah anastesi topikal dapat membantu menetralisir pH
dengan membuang partikel kristal dari bahan kimia. Apabila pH pada rentang normal (7.0-7,3),
pasien harus dibawa ke dokter spesialis mata tanpa perlu diirigasi. Jika memungkinkan, pasien
disarankan untuk membawa bahan kimia yang menyebabkan trauma pada matanya.
Oklusi arteri retina sentralis
Arteri retina sentralis merupakan cabang dari arteri ophtalmikus, yang memvaskularisasi
terutama retina melalui cabang retina. Oklusi mendadak arteri retina sentralis mengakibatkan
stroke okuli, yang mengakibatkan kebutaan. Penurunan lapang pandang, dapat terjadi jika hanya
cabang arteri retinal bagian distal mengalami oklusi.
Jika penurunan penglihatan bersifat akut, transient, dan bilateral, penyebab lain mungkin
aura migraine, gagal jantung, dan hipertensi emergensi. Penurunan penglihatan mendadak
sekunder akibat iskemi retina dapat juga diakibatkan oleh keparahan stenosis arteri carotid
unilateral maupun bilateral. Pemeriksaan fundoskopi setelah CRAO nampak potongan kolom
darah di pembuluh retina (biasa disebut boxcarring) dan retina pucat sekunder akibat edema
retina, yang memiliki tanda khas Cherry-red spot pada fovea dan menipiskan arteri retina.
Emboli pada retina mungkin saja terlihat (Gambar 2).
Resiko tinggi CRAO meliputi usia lebih dari 70 tahun, aterosklerosis, diabetes,
endarteritis, glaukoma, peningkatan kadar kolesterol, hipertensi, keadaan hiperkoagulasi, dan
migraine. CRAO dapat terjadi pada pasien muda dengan penyakit sistemik, misalnya penyakit
kolagen vaskuler, hiperkoagulopati, ataupun penyakit cardiovalvular. Meskipun jarang, CRAO
juga dapat terjadi berhubungan dengan sipilis maupun penyakit sel sabit. CRAO berhubungan
dengan giant cell arteritis pada 5 sampai 10 persen kasus, penilaian sistemik yang tepat dan
pengukuran sedimen eritrosit maupun c-reaktiv protein harus dilakukan. Pasien dengan tanda dan
gejala CRAO harus dirujuk kepada dokter spesialis mata karena kerusakan ireversibel dapat
terjadi selambat-lambatnya 100 menit setelah oklusi. Setelah terapi CRAO akut, USG carotid
diperlukan untuk mengevaluasi stenosis maupun formasi plak sebagai penyebab CRAO. Pada
pasien dengan hasil USG carotid negatif, ekokardiografi transesofageal harus dipertimbangkan
untuk menyingkirkan penyebab emboli karena penyakit jantung. Meminimalisir faktor resiko
dengan diet dan modifikasi gaya hidup dan terapi hiperkolesterol, hipertensi, dan diabetes dapat
mencegah CRAO.
Glukoma akut sudut tertutup
Apabila glukoma akut sudut tertutup tidak ditatalaksana dengan segera, kerusakan nervus
optik dan kebutaan dapat terjadi dalam beberapa jam. Resiko tinggi glukoma akut sudut tertutup
adalah pemasangan lensa, hiperopia, miopia, sudut sempit, dan bilik mata depan yang dangkal.
Serangan glukoma akut sudut tertutup pada orang dengan predisposisi dapat terjadi akibat
pencahayaan yang suram ataupun penggunaan obat-obatan (misalnya tetes midriatikum,
antikolinergik, antidepresan). Obat-obatan seperti derivat sulfa dan topiramate (Topamax) dapat
mengakibatkan pembengkakan pada badan silier dan glukoma akut sudut tertutup. Apabila
tersedia tonometer, tekanan intraokuli harus diperiksa untuk mengetahui apakah terjadi
peningkatan tekanan intraokuli. Selama serangan, terapi obat-obatan digunakan untuk
menurunkan peningkatan tekanan intraokuli. Terapi definitif untuk glukoma akut sudut tertutup
adalah laser iridotomi. Bedah iridektomi dapat dilakukan apabila laser iridotomi tidak berhasil
digunakan.
Ablasio Retina
Ablasio retina merupakan terpisahnya lapisan neurosensori dari koroid dan lapisan bawah
epitel pigmen retina. Meskipun ablasio retina jarang terjadi (1 dari 10.000 orang per tahun), hal
ini dengan cepat dapat mengakibatkan degenerasi fotoreseptor akibat iskemia. Kebutaan
permanen dapat dicegah dengan diagnosa dan terapi awal. Miopia merupakan resiko tinggi
ablasio retina. Hal ini terjadi pada 55% ablasio retina nontraumatik. Faktor resiko lain dari
ablasio retina meliputi operasi katarak, diabetik retinopati, riwayat keluarga dengan ablasio
retina, usia tua, dan trauma. Pasien dengan ablasio retina biasanya mengeluh fotopsia (sensasi
melihat cahaya terang) dan peningkatan terjadinya floater pada mata yang terkena menandakan
ablasio vitreus posterior, penurunan tajam penglihatan, dan metamorfosia (distorsi bentuk
benda). Floater dapat berpindah diluar maupun didalam penglihatan sentral. Penurunan
penglihatan dapat berupa gambaran seperti tirai, film, aupun berkabut. Apabila makula maupun
penglihatan sentral terkena, pasien dapat kehilangan kemampuan membaca, persepsi cahaya,
atau tidak dapat melihat gerakan tangan didepannya (tabel 2). Pemeriksaan oftalmoskop
langsung dapat membantu mendiagnosa ablasio retina (Gambar 3). Robeknya retina yang tanpa
gejala serta tanda-tanda degenerasi (misalnya penipisan focal pada retina perifer) merupakan
resiko tinggi ablasio retina. Apabila pemeriksaan fundoskopi menyatakan salah satu dari faktor
resiko, laser demarkasi pada area tersebut dapat dilakukan untuk mencegah ablasio retina dan
kebutaan. Sebagai catatan, konsultasi mata dibutukan pada prosedur ini dan terdapat bukti
keefektivan. Apabila retina tidak dapat dievaluasi, dan diduga terjadi ablasio retina dari riwayat
pasien, segerra merujuk kepada dokter spesialis mata, khususnya pasien yang diketahui beresiko.