211
NILAI-NILAI AJARAN ZEN BUDDHISME DALAM ESTETIKA KERAMIK TRADISIONAL JEPANG NIHON NO DENTOUTEKINA YAKIMONO NO BIGAKU NO ZEN NO BUKKYOU NO KYOUKUN NO KACHI SKRIPSI Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Bidang Ilmu Sastra

keramik.docx

Embed Size (px)

Citation preview

NILAI-NILAI AJARAN ZEN BUDDHISME DALAM

ESTETIKA KERAMIK TRADISIONAL JEPANG

NIHON NO DENTOUTEKINA YAKIMONO NO BIGAKU NO ZEN NO

BUKKYOU NO KYOUKUN NO KACHI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Bidang Ilmu Sastra

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat, rahmat, anugrah dan perllindungan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.Penulisan skripsi yang berjudul Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme

dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

menerima

bantuanUntuk itu, pada

kesempatanpenghargaan, serta

penghormatanmembantu

penulis

1.Dekan Fakultas

2.selaku Ketua

3.Pembimbing I,

yang dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan banyak waktu, pikiran dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini.4. Ibu Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan banyak waktu, pikiran dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

5. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan Kepada semua Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Terima kasih juga penulis ucapkan untuk Bang Amran yang juga telah banyak membantu penulis.6.atas segala

henti. Kakak-Nenca, serta semangat

7.Rani, Ira,

dann teman-menguatkan satu membagi begitu Fakultas Sastra

8. Kepada Bobby Hard Satria Zalukhu yang tiada bosannya memberikan semangat dan perhatian kepada penulis. 9. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan Skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini,

termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi penulis tersebut.

Medan, Oktober 2009

Penulis

Silalahi)

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTARi

DAFTAR ISIiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Perumusan Masalah.....6

7

8

15

16

BAB IITRADISIONAL

JEPANG

.17

18

...19

Jepang...20

28

2.2 Zen Buddhisme di Jepang..31

2.2.1 Masuknya Ajaran Zen Buddhisme di Jepang33

2.2.2 Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme Dalam Masyarakat Jepang...36

2.3 Dasar-dasar Estetika Jepang...42

2.3.1 Nilai Estetika Jepang Secara Umum.43

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

2.3.2 Nilai Estetika Jepang Berdasarkan Ajaran Zen Buddhisme....48 BAB III NILAI-NILAI ZEN BUDDHISME DALAM ESTETIKA KERAMIK TRADISIONAL JEPANG

3.1 Nilai Ketidaksimetrisan..54

3.2 Nilai Kealamian.....57

3.3 Nilai Kesederhanaan..62

67

BAB IV

73

75

DAFTAR

ABSTRAK

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seni merupakan salah satu hasil kebudayaan yang diciptakan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan. Menurut Baumgarten dalam Simbolon (1996:5) seni adalah keindahan. Keindahan merupakan wujudbahkandengan

seni.sampai masa

kini danyang sama

mendesaknyapangan dan

papan.dalam semua

bentuknya

masyarakatnya.

MenurutPure Art

adalahkepentingan estetis

sepertimusik, dsb.

nilai-nilai

yang terkandung di dalamnya. Dalam seni, nilai adalah kualitas yang membangkitkan apresiasi. Nilai berbeda dengan fakta, sering semata-mata bersifat khayali. Nilai diungkapkan dalam seni dengan tujuan untuk menghadirkan estetika.Estetika secara sederhana adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.Dapat disimpulkan bahwa nilai estetika merupakan hal-hal abstrak yang dapat membangkitkan apresiasi terhadap karya seni. Keindahan merupakan hal abstrak yang terkandung di dalam karya seni tersebut. Dengan kata lain, keindahan dalam suatu karya

berbeda dengan

masyarakatoleh banyak

faktor,dan budaya.

Faktor-yang bersifat

khaskhas dapat

dilihat

pandangan

estetikaJepang hidup

akrabOrang Jepang

senang mengamati pergantian alam dan berharap untuk menikmatinya dalam media seni (Sutrisno, 1993:111). Dengan demikian, yang menjadi titik estetika di Jepang adalah alam, karena alamlah yang mengisi hampir semua objek seni budaya Jepang. Alam pulalah yang saling memperdalam antara religiositas (keagamaan) dan semangat hidup. Kalau berbicara mengenai Jepang, mengenai

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

estetikanya, hanya ada satu fenomena Jepang yang terus mengalir menembus alur kemajuan zaman yaitu alam (Sutrisno, 1993:118).Bangsa Jepang memiliki pandang yang berbeda tentang estetika jika dilihat dari sudut pandang dunia Barat mengenai kehampaan. Salah satu dasar pemikiran Barat adalah bahwa apa yang kosong (hampa) dianggap tidak menarik. Hanya yang berisi atau penuh lah yang menarik. Namun, bangsa Jepang menganggap bahwa kehampaan itu mempunyai arti, memiliki sesuatu yangmenariksesuatu.

Kehampaan1993:116-

117).

estetika Jepang.

FaktorJepang adalah

faktornilai-nilai

tidak adanya

unsurkuat karena

keindahan pun

demikian,inti realitas

dan. Pendekatan

ini menunjukkan bahwa Zen Buddhisme memberikan pengaruh spiritual yang sangat besar dalam memahami estetika. Salah satu seni di Jepang yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Zen Buddhisme adalah seni keramik.Seni Keramik adalah cabang seni rupa yang mengolah material keramik untuk membuat karya seni dari yang bersifat tradisional sampai modern atau canggih. Selain itu dibedakan pula kegiatan kriya keramik berdasarkan prinsip

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

dipengaruhi oleh minum teh kesederhanaan dalam Ishikawa dengan estetika

-beda serta pula. Namun, kealamian, proses kata lain, warna pada

fungsionalitas dan produksinya. Pada dasarnya keramik di kategorikan dalam dua kategori, yaitu keramik tradisional dan keramik modern atau keramik canggih. Keramik tradisional dibentuk dari tanah liat, seperti gerabah, porselen, tembikar dan sebagainya. Fungsi keramik tradisional biasanya adalah sebagai peralatan makan dan minum serta benda dekor, sedangkan keramik modern berfungsi untuk bidang teknis seperti pada industri elektronika, informatika, konstruksi bahkan

pada bidang kedokteran (Astuti, 1997:1-6).

menggunakan sebagai pembakaran memberikan keramik

upacara sebenarnya yang (2005:6),

wabi-sabi yang merupakan salah satu ajaran Zen Buddhisme.

Para ahli minum teh ingin agar peralatan makan dan minum mereka mengekspresikan semangat estetika wabi-sabi sehingga kemudian menggunakan pengaruh mereka dengan memerintahkan para pengrajin untuk membuat mangkuk dan peralatan yang sesuai dengan nilai estetika tersebut.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Karya-karya keramik di Jepang pun terimbas dengan falsafah ajaran Zen Buddhisme tersebut. Bentuk keramik yang dihasilkan sangatlah sederhana, alami, dan bahkan asimetris, yaitu bagian kiri dan kanan tidak seimbang atau sama. Hal ini menunjukkan bahwasanya di dalam karya keramik tradisional Jepang terdapatnilai-nlai Zen Budhhisme sehinga menghasilkan nilai estetika yang khas.

Estetika wabi-sabi tersebut mengekspresikan beberapa nilai ajaran Zen yang tidak terlepas dari kewajaran atau bersifat alami. Diantaranya adalah fukinsei(asimetrissegar), koko

(esensi),rasa yang

mendalam),(kesederhanaan dan

keindahan(kesendirian

dan1995:141).

Jepang

mengandungnilai

kealamian,nilai tersebut

merupakanJepang.

pengaruh yang

besarsuatu konsep

estetika yang dipedomani di Jepang, yaitu estetika wabi-sabi. Berdasarkan estetika wabi-sabi tersebut keramik tradisional Jepang pun mengandung nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme. Hal tersebutlah yang mendorong rasa ingin tahu penulis untuk meneliti lebih lanjut mengenai nilai estetika keramik Jepang dan memilih judul skripsi Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme pada Estetika Keramik Tradisional Jepang.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

1.2 Perumusan Masalah

Seni keramik merupakan salah satu bentuk tradisi kebudayaan Jepang yang masih populer sampai sekarang. Seni keramik di Jepang memiliki keistimewaan., baik dari segi bentuknya maupun dari segi nilai estetika yangmelekat padanya.

Keramik tradisional Jepang sebagai sebuah karya seni memiliki nilai estetika yang khas. Dalam hal ini, nilai estetika pada keramik Jepang tidakterpisahkandipengaruhi oleh

ajarandalam ajaran

ZenJepangyang

seder

yaituestetika

wabi-dipengaruhi oleh

nilaialami dan

bahkansama) sehingga

bentuknya-sabidalam

keramiktersebut.

yangmenjadi

karakteristik estetika Jepang, yaitu nilai fukinsei (asimetris atau ketidakteraturan), kanso (kesederhanaan yang rapi dan segar), koko (esensi), shizen (kewajaran atau kealamian), yugen (bermakna atau rasa yang mendalam), datsuzoku (kebebasan yang tidak terikat), shibui (kesederhanaan dan keindahan seadanya), wabi(kekayaan dalam kesederhanaan), sabi (kesendirian dan ketidakberaturan), dan seijaku (hening atau tenang).

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Berdasarkan estetika wabi-sabi, terdapat beberapa nilai ajaran Zen Buddhisme yang terkandung dalam estetika keramik Jepang. Nilai-nilai tersebut adalah nilai ketidaksimetrisan, nilai kealamian, nilai kesederhanaan dan nilai kedalaman rasa. Nilai-nilai tersebutlah yang membangun keramik Jepang menjadi satu kesatuan karya seni yang memiliki estetika yang khas dan menarik untuk diteliti.

Berangkat dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka penulis membuat permasalahantradisional

Jepang?

pada estetika

1.3 Ruang

Buddhisme pada

Estetikalebih lanjut

mengenaiBuddhisme

yang terkandung dalam estetikanya. Untuk mengetahui lebih dalam tentang hubungan tersebut, penulis akan membahas sejarah dan perkembangan keramik tradisional Jepang serta ajaran Zen Buddhisme di Jepang. Penulis juga akan mengarahkan pembahasan kepada nilai estetika yang dipercayai oleh masyarakat Jepang secara umum. Kemudian, penulis akan mengarahkan pembahasan kepada nilai-nilai estetika berdasarkan ajaranZen Buddhisme yaitu estetika wabi-sabi.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

seni pastilah Disini penulis estetika yang terkandung

Bedasarkan nilai-nilai estetika tersebut, penulis akan mengarahkan pembahasan kepada nilai ketidaksimetrisan, nilai kealamian, nilai kesederhanaan, dan nilai kedalaman rasa yang tecermin dalam keramik tradisional Jepang. Penulis tidak membahas mengenai keramik modern karena penulis tidak melihat adanya pengaruh ajaran Zen Buddhisme yang terkandung dalam nilai estetika keramik modern Jepang.Berdasarkan fakta-fakta tersebutlah nantinya akan ditinjau bagaimana

nilai-keramik

tradisional-sabi tentang

keindahan,yang tercermin

dalam

1.4

1.

mempunyai telah berguna

pada keramik Jepang.

Menurut Baumgarten dalam Simbolon (1996:5) seni adalah keindahan. Seni merupakan wujud bahkan tujuan seni. Oleh karena itu, segala manifestasi yang sempat dilahirkan sebagai hasil-hasil pengolahannya haruslah menjadikan orang lain senang. Sedangkan menurut Tolstoy dalam Simbolon (1996:6) seni menimbulkan perasaan yang pernah dialami. Dengan kata lain, seni haruslah

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

mengungkapkan keindahan baik dengan perantaraan bentuk, garis dan warna sehingga orang lain dapat merasakan dan menikmati keindahan tersebut.Menurut Hegel dalam Wiryomartono (2001:39) seni adalah manifestasi dari manusia untuk membawa keindahan alam raya ke dalam ranah budaya. Seni bukanlah produk alam. Seni adalah buah karya yang diciptakan secara mendasar untuk manusia kurang atau lebih melalui medium indrawi dan dialatkan pada tangkapan indrawinya. Seni senantiasa mengandung tujuan yang mengikatnya denganmembawa

kejelasanprinsip alami

dipenuhioleh manusia

sebagaisecara hakiki

akanpengamatnya

merasamelibatkan

rasa dan

mengacu

pada. Uraian-

uraiankarya seni itu

sendiri, baik ketika diciptakan maupun ketika diserap dan dinikmati.

Menurut Agustinus dalam Sutrisno (1993:32) keindahan adalah pandangan-pandangan tentang keselarasan, keseimbangan, keteraturan, dan lain-lain, sebagai ciri-ciri khas keindahan.Menurut Clive Bell dalam Sutrisno (1993:82) keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri punya pengalaman yang bisa

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

mempunyai metaphisik, sebagai dan prinsip(asimetris atau koko (esensi), mendalam), dan keindahan(kesendirian dan

mengenali wujud bermakna dalam suatu benda atau karya seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan.Dalam seni keramik di Jepang terdapat nilai estetika yang khas yaitu berdasarkan ajaran Zen Buddhisme. Menurut Sutrisno (1993:130-132) pada dasarnya Zen adalah seni untuk melihat kodrat diri sendiri dan dengan demikian menjadi Buddha. Zen mampu meleluasakan kekuatan-kekuatan alami manusia, mencegah kelesuan dan menyemangati manusia menuju kebahagiaan. Pengaruhspiritualyaitu gaya

sudut-dengan yang

lainnya

jangkauan ekspresi acuan seni

shizen datsuzokuseadanya), wabi (kekayaan dalam kesederhanaan), sabi ketidakberaturan), dan seijaku (hening atau tenang).Wabi secara harfiah berarti kesederhaan. Wabi adalah kekayaan rohaniah (bathin) dalam kemelaratan (fisik). Dalam pemakaian sehari-hari , kata ini berarti hidup di dalam pondok kecil, kekurangan biaya hidup, bagaikan tanaman hampir layu, ketiadaan air. Dapat disimpulkan bahwa wabi adalah jalan kehidupan

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

spiritual yang dipakai dalam menghargai benda dan seni. Prinsip Zen tentang wabi adalah gabungan prinsip Konfucius, Tao, Budha dan Shinto yang berfokus pada pandangan petapa dan mengapa petapa mengejar hidup terang dalam kesendirian. Prinsip filosofinya adalah mengurangi ego dan dunia materi yang memberikan penderitaan, ketakutan akan kematian, penghargaan terhadap hidup dan menyelaraskan hidup dengan alam.

Sedangkan sabi berarti suatu bentuk kesendirian, keterasingan dan lingkungan

secara

memiliki

nilaikeindahan yang

merupakanmemberikan

arti baginilai-nilai

ajaranajaran Zen

di

2.

menganalisa dengan terhadap seni keramik Jepang. Konsep religi menurut Koentjaraningrat dalam Barus (2008:9), yaitu sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk halus yang mendiami alam gaib.

Konsep historis atau sejarah juga digunakan penulis dalam penelitian ini, karena penulis menjelaskan latar belakang sejarah keramik dan masuknya ajaran

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

masyarakat estetika ajaran pendekatan

Zen,Zen mendalam hari

Zen Buddhisme di Jepang. Menurut Kaelan (2005:61), sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sedangkan menurut Nevin dalam Kaelan (2005:61), sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan, kejadian-kejadian atau fakta-fakta yang terjadi pada masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran.Pengaruh terbesar dari seluruh aliran Buddhis dalam sejarah Jepang adalah

. Selanjutnya berpengaruh secara kehidupan sehari-

besar bagi memandang besar dari melakukan

sendiri dan

dengan -kekuatan alami manusia, mencegah kelesuan dan menyemangati manusia menuju kebahagiaan. Pengaruh spiritual Zen juga mampu mewarnai ciri umum dalam karya seni, yaitu gaya sudut-tunggal (ditemukan pada seni lukis), wabi dan sabi, serta ketidaksimetrisan (bagian yang satu dengan yang lainnya tidak sama atau seimbang) (Sutrisno,1993:130-132).

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Pendekatan Zen terhadap realitas yang juga mempengaruhi ekspresi seni mereka dapat dirunut lewat pendekatannya yang berlawanan dengan pendekatan ilmiah. Zen masuk ke dalam obyek itu sendiri, ke inti realitas. Maka pengamatan terhadap realitas selalu didahului dengan pemerenungan dalam keheningan untuk melihat apakah semuanya itu memang ada sebagaimana adanya. Tidak justru keluar, mengambil jarak agar bisa menalari obyek secara logis sebagaimana terjadi dalam pemikiran barat (Sutrisno, 1993:129).kekayaan dalam

kemiskinanberarti suatu

bentuknilai wabi

dan sabiciri kealamian

dan

Jepang sangat

dipengaruhiZen tersebut

terdapatmembangun nilai

estetika

melakukan pendekatan digunakan sebagai metode dalam memaparkan nilai-nilai estetika dan sesuatu yang bersifat tekstual (Marx Bense dalam Sachari, 2002:61).

Menurut Paul Cobley dan Litza Janz dalam Ratna (2004:97) semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion/seme yang berarti tanda/penafsir tanda. Semiotika adalah studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya serta apa manfaatnya terhadap kehidupan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotik dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan persyaratannya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan dan ada interpretasi (van Zoest dalam Christomy,2004:79).

Menurut Pradopo (2002:271) semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,konvensimempunyai arti.

Tanda(signified).

Petandadisebut petanda,

sedangkanartinya.

sesuatu yang

mewakilpikiran atau

gagasanlengkap dan

sempurnabahasa saja,

melainkanwarna, baju,

bendera,

meneliti suatu tanda yang terdapat dalam kajian yang diteliti. Dalam hal ini, proses pembuatan dan keramik tradisional Jepang itu sendiri akan dijadikan tanda yang akan menunjukkan adanya nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme yang tercermin dalam estetika keramik tradisional Jepang.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembahasan di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai

berikut:

1) Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan keramik di Jepang.

2) Untuk mengetahui nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme di Jepang.

3) Untuk mengetahui nilai ajaran Zen Buddhisme pada estetika

2.

estetika keramik

di Jepang,

pengetahuan ajaran Zen

bidang pranata

1.6 Metode Penelitian

Di dalam melakukan sebuah penelitian dibutuhkan metode sebagai penunjang untuk mencapai tujuan. Metode adalah cara melaksanakan penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976:30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

kelompok tertentu. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir,1988:63).Dalam mengumpulkan data-data penelitian ini, penulis menggunakan teknik studi kepustakaan (library research), dengan mengambil sumber acuan dari berbagai buku dan artikel yang berhubungan dengan keramik di Jepang, seni dan nilai

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KERAMIK TRADISIONAL JEPANG

DAN ESTETIKA ZEN BUDDHISME DI JEPANG

2.1 Sejarah dan Perkembangan Keramik di Jepang

Seni keramik adalah seni yang paling sederhana dan sekaligus paling rumit dalam proses pembuatannya, karena dalam proses tersebut sangat bergantung

padaseni murni,

atinyamempunyai esensi

paling

manusia yang

terwujudnilai tertentu.

Keramikkomponen bahan

bakukeramik

mempunyaialam, tanah dan

batu-melalui proses

pembakaran

bukan hanya produk-produk yang berupa guci, melainkan termasuk bahan bangunan (semen, batu bata, kapur tohor, genteng dan lain-lain), bahan refrektori (bata tahan api dan semen tahan api dan sebagainya), bahan email, bahan gelas, dan porselen (Astuti, 1997:6). Selanjutnya keramik juga diklarifikasikan berdasar struktur bahan dan temperatur suhu bakarnya, yaitu: gerabah (earthen ware) , tembikar (stone ware), dan porselen.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Kendatipun keanekaragaman jenis keramik yang diuraikan di atas, penulisan ini difokuskan pada pengertian seni keramik, yaitu hasil karya manusia yang menggunakan medium tanah liat sebagai wadah apresiasi manusia.

2.1.1 Sejarah Keramik Tradisional Jepang

Keramik pertama kali dibuat di Jepang sekitar 13.000 tahun yang lalu.

Pada saat itu, benda yang dihasilkan secara umum adalah berupa periuk besar

untukmenekankan

jalinantanah liat

padadoki = barang

tanahbeberapa desain

yangperiuk dan

pola-pola

diperkenalkan dari

semenanjungkehidupan sehari-

harisebagai tempat

penyimpanan,zaman ini tidak

semeriahkesan lembut.

Sekitar abad ke-7, para pengrajin Jepang pergi mempelajari teknik-teknik pembuatan keramik ke Korea dan Cina. Mereka mempelajari menggunakan glasir dan pembakaran dengan suhu rendah. Selama berabad-abad masyarakat Jepang menggunakan teknik seperti yang dilakukan di Cina dan Korea.Pada sekitar abad ke-11 ajaran Zen Buddhisme masuk ke Jepang dari Cina. Munculnya Zen Buddhisme di Jepang diikuti dengan masuknya kebudayaan Cina,

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

2.1.2Keramik dapat digolaongkan menjadi dua jenis, yaitu keramik tradisional dan keramik canggih atau keramik modern. Dalam pembahasan ini hanya akan membahas mengenai keramik tradisional saja, khususnya keramik tradisional Jepang. Untuk selanjutnya akan disebut dengan kata keramik saja.Keramik dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu gerabah (earthen ware), tembikar (stone ware), dan porselen. Ketiganya terbuat dari bahan bakuEva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Buddhisme bahkan

ajaran Zen alami dan

termasuk diantaranya budaya penjamuan teh. Dalam perkembangannya, Zen telah memiliki pengaruh yang kuat pada kebudayaan Jepang.Bersamaan dengan itu, berkembang pulalah kebudayaan penjamuan teh yang kemudian dikenal dengan cha no yu atau cha do. Zen Buddhisme sangat erat hubungannya dengan upacara minum teh. Berdasarkan Zen Buddhisme, upacara minum teh merupakan perwujudan dalam mencari keindahan yang mendalam, serta berperan penting dalam pengembangan kepekaan estetis dan rasa keindahan.besar terhadap minum teh ingin semangatZen kemudian menggunakan keramik untuk

tanah liat yang berbeda-beda. Namun gerabah dan tembikar memiliki persamaan, yaitu tanah liatnya berwarna merah dan bersifat plastis, sedangkan porselen tanah liatnya putih dan tidak plastis sehingga tidak dapat diolah dengan tangan.Dalam perkembangannya, keramik putih atau porselen tidak mendapat pengaruh berarti dari ajaran Zen Buddhisme, sehingga keramik porselen tidak digunakan dalam upacara minum teh. Hal ini disebabkan sifat tidak plastis yang dimiliki oleh porselen yang mengharuskannya menggunakan peralatan khusus danbahan. Halini

bertentangankealamiandan

2.1.2.1

bahan baku, pembentukan, pembuatan keramik

1.

pengolahan bahan baku dibersihkan dari kotorannya dengan cara menghancurkan (funsai). Setelah bersih dan sempurna (seisei), bila perlu dicampur dengan bahan baku lainnya seperti talk, kwarsa dan lain-lain, sesuai dengan komposisi yang dikehendaki. Proses tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode basah maupun metode kering. Untuk mendapatkan hasil pencampuran yang maksimal perlu dilakukan penguletan (tsuchineri).

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Penguletan (tsuchineri) dilakukan dalam tiga tahap. Tahap penguletan pertama (aramomi), yaitu dengan cara mendorong tanah liat kemudian menariknya kearah belakang yang bertujuan untuk memperoleh homogenitas tanah liat. Tahap pertama ini dilakukan 10 sampai 15 kali. Tahap kedua penguletan (kikumomi atau nejimomi) berfungsi untuk menghilangkan gelembung udara yang terdapat dalam bungkahan tanah liat. Caranya yaitu dengan memutar tanah liat dengan menggunakan tangan kanan dan tangan kiri digunakan sebagai

tumpuanmelingkar

menyerupaiterakhir

(momiageliat dengan

caratanah liat

siap

2.

macam, yaitu

pembentukandengan

menggunakanmenggunakan

cetakan

1)

Pembentukan yang dilakukan dengan menggunakan tangan merupakan teknik tradisional sebelum teknik menggunakan alat putar dikenal oleh masyarakat Jepang. Teknik Tezukuri sampai saat ini masih dipertahankan masyarakat Jepang. Terdapat tiga macam teknik yang termasuk teknik Tezukuri, yaitu:

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

a. Teknik Pijit

Teknik pijit yaitu suatu pembentukan yang secara langsung dilakukan

dengan cara memijit-mijit gumpalan tanah liat yang telah melalui proses pengolahan sehingga membentuk sebuah bentuk sesuai dengan desain yang dikehendaki. Teknik pijit juga disebut dengan teknik Raku.b.Teknik Lilitan

Teknik lilitan merupakan suatu pembentukan benda dengan cara

melingkarkankemudian

padamenyatu.

c.Teknik

dengan

menggunakansiantara dua

bialahmempunyai

ketebalandan ukuran

yangyang lainnya

digunakan

2)

pemusatan pikiran (mental) dan tubuh dalam meditasi. Jika seseorang tidak melakukan pemusatan pikiran dan tenaga, maka ia tidak dapat membuat keramik dengan menggunakan teknik ini. Untuk dapat melakukannya diperlukan kedisiplinan dalam berlatih.

Pertama sekali yang harus dilakukan dalam teknik ini adalah meletakkan segumpal tanah liat tepat di tengah-tengan putaran. Kemudian tanah tersebut

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

ditekan dalam keadaan roda berputar untuk mencari pusat lingkaran. Dalam kondisi seperti ini memerlukan daya konsentrasi yang tinggi. Setelah menemukan titik pusat tanah liat tersebut segera dibentuk lubang sampai mendekati dasar (kurang lebih 1 cm dari dasar), kemudian tanah liat dalam posisi berputar ditarik ke atas, mengikuti gerak tangan. Bila penarikan dilakukan tegak lurus maka akan membentuk silinder, bila digerakkan kearah dalam akan membentuk cembung, demikian pula jika ditarik ke arah luar maka akan membentuk cekung.3)

porselen

karenaterbuat dari

gibs,cetakan hingga

penuh.tersebut turun

karenadiulang kembali

sampailebih 10

sampai. Semakin

besardiperlukan untuk

peresapan

dibentuk

dengan tangan dan mempunyai komposisi bahan yang sempurna, sehingga ia tidak dapat digolongkan sebagai keramik teh.3. Dekorasi dan Pewarnaan

Dekorasi atau hiasan memiliki sentuhan keindahan tersendiri yang mencerminkan kekhasan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Penataan unsur-unsur hiasan yang terdiri dari penyederhanaan bentuk-bentuk alam, tekstur

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

dan warna, membentuk suatu motif yang digunakan sebagai dekorasi suatu benda. Hiasan yang menyertai suatu benda dapat diinterpretasikan sebagai simbol, tidak terbatas pada bentuk-bentuk yang kongkrit atau realistis. Dalam hal ini masyarakat Jeapang memiliki beberapa cara atau teknik dekorasi keramik.a. Dekorasi Engobe

Engobe adalah suatu larutan tanah bewarna yang diperoleh secara alami

ataupun buatan. Pada umumnya engobe alami berwarnakrem, coklat, dan coklat

tuaengobe pada

stonelebih cerah

jika. Hal ini

dikarenakanberwarna

putihkecoklatan.

Selainsifat menutup

permukaandiglasir. Teknik

dekorasi

b.

-garis pada

pisau kecil

atau kawat pemotong.

c. Dekorasi Cap/ Tekan (Tataki Ita)

Menghiasi permukaan benda dengan motif-motif yang telah dipersiapkan di atas papan kayu. Kemudian ditekan-tekankan pada permukaan benda sehingga membentuk bekas atau cap sesuai dengan desain yang dibuat. Teknik ini selain

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

sebagai dekorasi, juga berfungsi untuk memadatkan permukaan benda sebelum dibakar.

d. Dekorasi Torehan Sisir (Kushine)

Menghiasi permukaan benda dengan menorehkan sisir sehingga membentuk guratan-guratan garis atau dilakukan dengan cara menorehkan jarum, batang ranting atau benda-benda runcing lainnya pada permukaan benda yangmasih dalam keadaan setengah kering.

e.D

benda tajam

kemudianSelanjutnya,

setelah.

f.

setelah

bendacelupkan ke

dalamagar tidak

terkena

g.Deko

dengan cara menuangkan glasir berwarna atau dengan engobe cair pada bagian punggung tempayang atau bagian lengkungan piring, sehingga secara alami warna-warna tersebut turun, tampak seperti meleleh menghiasi permukaan benda.

h. Dekorasi Tobiganna atau Kusuri Mon

Istilah Tobiganna ini sulit diartikan ke dalam bahasa Indonesia karena dekorasi ini ditemukan dan dikembangkan di Jepang dan tidak dimiliki oleh

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

negara-negara lain. Tobi berasal dari kata Tobu (terbang), dan ganna adalah pisau panjang semacam sabit rumput. Dalam teknik ini, sesuai dengan namanya, berupa cukilan-cukilan pisau. Cukilan-cukilan tersebut dibuat dengan cara membuat ketukan-ketukan pisau di atas permukaan benda setengah kering yang dilumuri bubur warna (engobe), pada saat benda keramik berada dalam posisi memutar di atas pemutar. Pada umumnya, warna yang dilumurkan berbeda dengan warna dasar stone ware.

i.

atau pelapisan

padadibakar)

maupunBeberapa cara

yangpenyemprotan, dan

pengolesandengan cara

mengoreskansapuan kuas

tampak

glasir

transparankeramik.

Pewarnaanengobe atau

oksida pewarna. Selain garam dapur, juga digunakan abu kayu pohon cemara sebagai glasir dof (tidak mengkilat).Masih berkaitan dengan pewarnaan keramik selain dengan menggunakan pelapisan atau pengglasiran pada permukaan benda keramik, mereka juga melakukan pengasapan (pembakaran reduksi) yang disebut dengan istilah Kokuto. Pengasapan dilakukan dengan memasukkan daun cemara yang basah

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

ke dalam perapian tungku pembakarn. Asap tersebut menjadikan pembakaran reduksi dan mengakibatkan benda keramik yang berada dalam tungku pembakaran menjadi hitam. Pewarnaan alami semacam ini ditemukan pertama kali saat ajaran Zen Buddhisme mulai diterapkan dalam prinsip kesenian di Jepang, khususnya seni keramik.4. Pembakaran Keramik

Pembakaran merupakan proses terpenting dalam membuat keramik,

karenakeramik jika

tidakpembakaran tidak

dilakukanapi, tetapi

dilakukandahan kering

atausemacam

ini dapatladang (Bon

firing).

yang dibakar.

Untukdari listrik,

gas,terbalik), dan

yangpembakaran netral

atau pembakaran reduksi). Pada umumnya tungku pembakaran yang ada di Jepang adalah tungku untuk pembakaran suhu tinggi karena bahan baku keramik adalah jenis stone ware dan prselen. Bahan bakar tungku sebagian besar menggunakan kayu untuk tungku tradisional, dan gas atau listrik untuk tungku modern. Ada juga beberapa daerah yang menggunakan bahan bakar minyak.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

menjadi rumah bangsa dengan seni keramik. eniman keramik merupakan jenis-atau tempat

Sebagai sumber panas, listrik dan gas menciptakan temperatur yang stabil sehingga hasil pemakaran sangat sempurna. Sedangkan panas yang dikeluarkan oleh minyak dan kayu tidaklah stabil karena pengaturan api melalui cerobongasap, sehingga mengakibatkan terjadinya pembakaran reduksi. Namun

pembakaran tersebut bagi orang Jepang dirasakan lebih alami dan lebih digemari.

Di Jepang,melakukan pembakaran keramik mempunyai makna tersendiri, yaitu mengharapkan sesuatu dengan berhati-hati agar konsentrasi yang ada tidakhilang.upacara dengan

minumpembakaran

selesai.

2.1.2.2

bagi populasi Variasi di Jepang jenispembuatanya:

1. Arita dan Karatsu

Tembikar Arita dipercaya sudah ada sejak abad 16 (periode Momoyama), ketika seorang pembuat keramik keturunan Korea, Ri Sampei, menemukan tanah liat di Arita, Kyushu dan memproduksi porselen. Inilah awal dari pembuatan porselen di Jepang. Bahkan sampai periode Meiji (1868-1911), wilayah Arita

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

minum teh sama sekali pembakaran wijen yang daerah ini.

mangkuk ekspresi pribadi

merupakan pusat porselen di Jepang dengan gaya Sometsuke, yaitu dekoarasi kebiruan dengan lapisan glasir bawah. Disamping itu juga dikembangkan porselen bergaya Aka-e yang menggunakan glasir enamel dan polychrome.Tembikar Karatsu juga berasal dari sekelompok orang keturunan Korea. Kebanyakan produksinya adalah untuk keperluan sehari-hari dan untuk peralatan upacara minum teh (cha no yu). Daerah ini memproduksi beberapa jenis tembikar dengan corak hias berupa glasir besi, dekorasi kuas, bulir, berbintik dan lain-lain.

2. Hagi

untuk dan3. Bizen

(cha no untuk yang muncul 4. KyotoKyoto terkenal sebagai pusat budaya dan politik serta maju secara kultural juga menjadi pusat kesenian dan kerajinan. Sehingga tidak mengherankan sebagai pusat seni, Kyoto juga mengalami perkembangan pada kerajinan keramiknya. Tidak hanya keramik tradisional, tetapi keramik avant-garde pun berkembang di sana.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

17, Tokyo pusat tradisi yang ingin mendukung mendukung

keramik diadopsi dari keramik di

Di daerah Tanba, umumnya keramik digunakan untuk peralatan rumah tangga dan sebagai peralatan upacara minum teh (cha no yu).5. Kutani dan Kanazawa

Kutani terletak di prefektur Ishikawa dengan ibukotanya Kanazawa. Kota ini juga merupakan pusat porselen di Jepang. Keramik Kutani dan Kanazawa yang diturunkan dari generasi ke generasi memiliki ciri khas pada penggunaan

warna dan bentuk yang berani.

6. Seto

sejak

Arita, daerah 7. Tokyo

bukanlah pembuatan menjadi dengan

bagi pembelajaran mengenai seni keramik.

Mashiko terletak di utara Kanto, termasuk prefektur Tokyo, merupakan pusat produksi tembikar rakyat Jepang untuk keperluan sehari-hari sejak zaman dahulu. Daerah ini menjadi pusat tembikar, berkat kepiawaian pengrajin tembikarShoji Hamada yang memproduksi dan mengerjakan peralatan sehari-hari dari tanah liat di akhir era Taisho.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

absolut atau dalam arti agak tersebut, yang darinyabiasanya disebut dalam Bahasa

Jepang untuk berasal dari arti yang

2.2 Zen Buddhisme di Jepang

Banyak orang berfikir bahwa Zen merupakan suatu yang sulit. Padahal huruf Cina yang digunakan untuk kata Zen berarti menunjukkan kesederhanaan. Seperti yang tercermin dalam huruf atau karakter tersebut, Zen adalah ajaran yang sangat jelas dan singkat ( Harada, 2003:15).Zen memiliki setidaknya tiga arti yang berbeda, namun saling berkaitan. Seperti yang diungkapkan oleh Chrismas Humpreys dalam Kiew Kit (2004:3)

bahwa:

Bahasa paling

realitas khusus suatu dunia kesadaran Jepang.Ketiga arti Zen tersebut berkaitan satu sama lain. Meditasi, secara umum adalah cara utama untuk mendapatkan pengalaman langsung dengan realitas tertinggi. Selain proses meditasi untuk mencapai realitas tertinggi, si pelaksana mungkin akan mengalami pemahaman realitas kosmis ini dalam situasi yang penuh dengan inspirasi saat mengalami kesadaran spiritual.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Zen Buddhisme merupakan salah satu aliran utama dalam Buddhisme Mahayana. Sedangkan agama Budha sendiri memiliki tiga aliran utama, yaitu:

Mahayana, Hinayana, dan Vajrana. Mahayana sendiri memiliki dua pandangan mengenai bagaimana mencapai keselamatan, yaitu Jiriki (upaya sendiri) danTariki (upaya dari yang lain). Zen menganut pandangan pertama, yaitu Jiriki,

bahwa keselamatan hanyalah dapat diperoleh dengan usaha dan upaya sendiri.

Zen Buddhisme yang berkembang di Jepang tidak terjadi begitu saja,

tetapi. Orang yang

paling(440-

528),Pertama dalam

penyebarantiba di

Cina,520 kemudian

diundangdialog tentang

ajaranperbuatan baik

sajakemurnian

moral,tertinggi,

tidakLiang Wu

Di tidakmelewatkan

kesempatan untuk memperoleh pencerahan atau kesadaran.

Bodhidharma pergi ke kuil Shaolin dan tiba pada tahun 527 untuk mengajarkan Zen. Di kuil tersebut Bodhidharma mengajarkan kepada para rahib tentang pentingnya menjaga kebugaran tubuh, emosi dan mental untuk pengembangan spiritual. Oleh karena itu, dia mengajarkan dua bentuk latihan, yaitu Delapan Belas Tangan Lohan dan Metamorfosis Otot, yang akhirnya

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

berkembang menjadi Kungfu Shaolin dan Chi Kung Shaolin. Bodhidharma menemukan penggantinya sebagai Patriarki Kedua di kuil tersebut. Orang tersebut bernama Ji Guang (487-583). Bodhidharma mengajarkan kepadanya tentang pentingnya arti meditasi. Ia sendiri pernah menjalani meditasi selama sembilan tahun di sebuah gua yang disebut Gua Bodhidharma.

Ajaran Zen tidak bergantung pada kitab-kitab dokumen-dokumen ataupun teori-teori keagamaan dalam penyebarannya, tetapi disampaikan dari hati ke hati.Demisebagai

Patriarkiberasal dari kuil

Shaolin

-651) di kuil

Shaolinsenagai Patriarki

KeempatJen sebagai

Patriarkiperpecahan

anataraNeng, dianggap

lebih. Sejak

saat itu,Utara (Shen

Xiu)Utara tidak

dapat bertahan lama dan akhirnya lenyap.

2.2.1 Masuknya Ajaran Zen Buddhisme di Jepang

Aliran Zen telah memasuki Jepang dari Cina sebelum zaman Kamakura. Pendeta Jepang telah pergi ke Cina untuk mempelajari Zen Buddhisme di tahun 654, demikian juga biarawan Cina pergi ke Jepang untuk mengajarkan Zen,

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

tepatnya di daerah Nara. Beberapa guru Zen dari Cina tersebut telah mamasuki Jepang dan menyebarkan ajaran Zen, tetapi Zen baru benar-benar mengakar dalam masyarakat Jepang setelah ajarannya disebarkan dua orang guru asli Jepang yaitu, Eisai (1141-1215) yang mendirikan sekte Rinzai dan Dogen yang mendirikan sekte Soto.Eisai pertama kali mengajarkan Zen di Kamakura. Ia didukung oleh

Shogun dan membuat Zen sangat popular diantara para samurai. Ia juga

membangunDiantaranya

adalahprefektur

Fukuoka),Kamakura,

kemudianGozan tersebut

seringMuromachi. Peran

paraluar negri

danseni dan ilmu

pengetahuan

dengan Eisai.

Dogen1223 dan

kemudianyang sangat

dekat dengan penguasa militer, sebaliknya ia berusaha menghindari pengaruh penguasa dalam ajaran Zen yang dianutnya. Karena itu ia memilih tinggal di propinsi Echizen tempat ia membangun kuil Eiheiji daripada tinggal di Kyoto. Dogen hanya ingin mengajarkan Zen secara murni, meninggalkan nafsu duniawi dan menjalankan meditasi. Menurut Wong Kiew Kit (2004:197) perbedaan yang paling penting antara ajaran Dogen dan Eisai mengenai Zen adalah pendekatan

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

mereka mengenai pencerahan. Ajaran Eisai, yang berkarakteristik Rinzai Zen, menekankan penggunaan Koan (cerita) sementara ajaran Dogan yang berkarakteristik Soto Zen, menekankan pada Zazen atau meditasi duduk. Meskipun demikian ajaran Soto tidak menolak Koan dalam pencapaian pencerahan, demikian juga sebaliknya.

Pengaruh Zen mencapai level tertinggi terjadi selama periode Muromachi (1333-1568). Pada masa itu Zen memperlihatkan kekuatannya yang luar biasa danmenyebarluasJepang pada

saatpengembangan

kebudayaanbanyak prajurit

Jepangbanyak anggota

militermusuh.

MikisoShingon

untukmasyarakat.

Sepanjangberkembang

padabunga, seni

pertamanan,bukan hanya

sekedardan budaya

Jepang hingga sekarang.

Periode Edo (1600-1868) menghasilkan perdamaian dan mendukung berkembangnya ajaran Zen. Para biarawan yang terkenal pada zaman Edo adalah Takuan Soho (1573-1745), Bankei Yotaku (1622-1693), dan Hakuin (1686-1769) meraka berasal dari Rinzai Zen, Takuan mengajar afinitas antara Zen dan manusia pedang, ia juga dikenal sebagai guru spiritual Miyamoto Musashi (seorang

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

tidak Bodhidharma pengalaman 2004:262) melalui demikian, seseorang

pemain pedang legendaries Jepang). Bankei bertanggung jawab untuk membuat Zen dapat diperoleh kedalam bentuk tidak tertulis yang paling sederhana.Memasuki zaman Meiji (1868), pemerintah lebih mendukung Shinto dari pada agama Buddha. Meskipun demikian Zen tetap berkembang .

2.2.2 Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Masyarakat Jepang

Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, Zen diajarkan dari hati ke hati,

teori-teori. adalah pada Kiew Kit, diungkapkan. Meskipun melalui buku

Zenpada

dasarnyamenunjukkan jalan

darienergiyang

tersimpanseniuntuk

melihat kodrat diri dan mempergunakan secara maksimal kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam diri manusia tersebut.Ajaran Zen tidak hanya terfokus pada kerohanian saja, melainkan juga mencakup penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Para rahib Zen dikatakan selalu berdoa untuk orang lain dan makhluk hidup lainnya, dan tidak pernah berdoa untuk dirinya sendiri. Kalaupun pernah, hanya berupa penyesalan atas

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

yang telah (kehidupan tanpa usaha untuk diwajibkan. Jadi dapat sendiri saja,manusia. tercermin di pencerahan

perbuatannya dan bukan meminta pertolongan. Mereka tidak hanya mengajarka tentang kasih sayang dan kebijaksanaan, tetapi juga menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Para pengikut Zen berusaha untuk hidup dalam disiplin yang ketat untuk membina dan menumbuhkan keutamaan, ketaatan, kesahajaan serta kerandahan hati.Pengikut Zen bukan hanya dituntut untuk hidup sederhana, disiplin, saling mengasihi dan saling membantu sesama manusia, tetapi juga harus bekerja keras untuk yang sering

dilakukan

menjadi batas) menyelamatk untuk disimpulkan melainkan

dalamnya,

(satori), koan dan mondo, meditasi dan diri. 1. Pencerahan (Satori)

Satori atau pencerahan adalah esensi Zen. Tanpa satori, seseorang tidak akan tahu sepenuhnya apa yang dimaksud dengan Zen. Satori adalah pengalaman utama dalam Zen sebagai seni melihat inti atau kodrat diri sehingga menjadi Budha. Suzuki dalam Sutrisno (2002:56) mengatakan:

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Satori adalah melihat inti kodrat diri seseorang. Kodrat ini bukan suatu entitas (kenyataan) yang dimiliki seseorang sebagaimana dibedakan dari yang lain; dan dalam melihat inti diri itu sesungguhnya tidak istilah penonton. Satori berarti mengatasi akal, satu pikiran mutlak, kekinian mutlak, kemurnian yang benar-benar, kekosongan, apa adanya, dan banyak lain lagi.

Pengertian di atas merupakan pengalaman pribadi Suzuki dalam hal satori.

Bagaimanapun juga, rumusan tentang satori tersebut sangat terbatas jika

diungkapkan dengan kata-kata. Seseorang harus mengalami satori itu sendiri

secara langsung untuk memahaminya dengan utuh. Bedasarkan pernyataan Suzuki

di atas,dan objek.

Seluruhperbedaan di

dalamnyahiduptersebut

dijalani,kehidupan

tersebutkehidupan.

membuang dan

dengan

pandanganatau berpikir

secaradengan cara

berpikirtidakberhasil

memecahkan masalah pribadi seseorang. Hal ini bernicara mengenai kekosongan

mutlak. Kekosongan di sini bukan berarti tidak terdapat sesuatu apapun,

melainkan suatu kepenuhan mutlak dan bebas dari segala konsep-konsep

intelektual dan rasional. Dalam Sutrisno (1993: 141) dikatakn, prinsip pertama

Buddhisme adalah kekosongan yang berarti situasi kepenuhan tanpa halangan dari

semua yang ada dalam kehidupan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Sedangkan menurut Takuan dalam Suzuki (2004: 40-41) yang terutama adalah menjaga agar pikiran agar pikiran selalu dalam keadaan mengalir. Jika pikiran terhenti, maka akan terjadi gangguan yang melukai kesejahteraan pikiran. Hal ini berarti pemikiran sebaiknya tidak dihalangi oleh apapun, tidak dipusatkan atau ditfokuskan hanya pada satu tempat. Jika hal tersebut terjadi, maka pertumbuhannya akan terhenti. Maksudnya adalah bahwa pikiran seseorang itu haruslah dibiarkan mengalir dan bergerak bebas. Jadi, tujuan pokok dari Zen Buddhisme pencerahan yang meliputi

2. Koan

dengan cara

Koanumumnya kedua

metode. Koan atau

kung-anpersoalan

yangSedangkan mondo

adalahmengetahui ada

atau

seseorang yang rasional, hubungan logika, dan memaksanya untuk memperoleh pengertian tiba-tiba dan intuisi kedalaman kenyataan. Persoalan dalam koan yang dierikan guru kepada muridnya tidak dapat dipecahkan secara logis atau rasional. Antara pertanyaan dengan jawaban koan kelihatannya tidak ada hubungannya. Berikut adalah beberapa contoh koan-mondo:

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

a. Seorang biksu bertanya pada chao-chao (seorang master Zen Cina): Adakah kodrat Budha dalam diri seekor anjing?. Jawaban sang guru hanyalah wu. b. Apakah Tao itu? Jawabannya, Pikiranmu setiap hari itulah tao.

c. Koan kegemaran hakuin adalah Apakah suara yang timbul dengan

bertepuk sebelah tangan?.

Para murid Zen yang diberikansoal koan tersebut, harus mampu

lain, murid

tersebutkoan tersebut

sebagaiBuddhisme,

yaitudualisme.

3.

(pencerahan). Kata

zazenbersila dan

zenberarti meditasi

duduk.

zazen bukan seperti melainkan tidak berpikir. Para pelaksana zazen duduk dengan kaki disilang dan menariknya ke dalam, dan punggung harus benar-benar tegak lurus atau disebut juga denagn sikap badan teratai. Sikap badan seperti ini adalah tanda luar dari pencerahan.

Dalam meditasi, dengan menutup seluruh pengaruh perasaan dan kesadaran berpikir, para pelaksana Zen mencoba untuk memcapai situasi konsentrasi mental setinggi mungkin. Zazen juga berbicara mewakili keadaan

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

pemikiran itu sendiri yang mengalami pencerahan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Mikiso Hane (1991: 80):

Zazen memerlukan posisi tubuh yang telah ditentukan, peraturan pernafasan, konsentrasi khusus untuk menetapkan pikiran agar mengontrol emosi dan memperkuat kehendak. Kemudian seseorang melihat kedalam hati dan pikiran untuk menemukan alam kehidupan senebarnya.

Akhirnya, dengan zazen (meditasi) tidak hanya satori (kesadaran), tetapi

juga perkembangan spiritual dan moral serta sifat baik dari manusia akan timbul

pada diri pelaksananya.

4. Diri

dasarnya adalah

melihatmengatakan:

ingat bahwa

bahwa justru

(atau diri

tentang (benda

memahami

dari dirinya

sendiri.pendekatan

logisfilsafat ataupun

sisitem

MenurutSuzuki (2004:50), diri dapat dibandingkan dengan sebuah

lingkaran tak bertepi (tidak ada garis lingkarannya), denagn kata lain adalah

kekosongan. Diri tersebutlah yang menjadi pusat semesta, asal dari segala sesuatu

dan tempat bernaung bagi semua termasuk manusia.

Zen juga berpengaruh dalam konsep estetika (keindahan). Konsep estetika

tersebut, yaitu: furyu, wabi-sabi, iki dan sui, mono no oware, mujo, dan shizenkan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Konsep yang berkaitan dengan tema pembahasan ini adalah wabi-sabi. Wabi artinya mencari kesempurnaan dalam kemiskinan dan kecantikan dalam kesederhanaan dan juga menikmati hidup bebas yang tenang. Wabi juga merupakan konsep keindahan dalam upacara minum teh. Sedangkan sabi adalah kesepian, pasrah, ketenangan, namun masih bersemangat. Konsep sabi ini juga digunakan dalam upacara minum teh yang kemudian mempengaruhi perkembangan keramik tradisional di Jepang.

ajaran Zen

yangadalah fukinsei

(asimetrissegar), koko

(esensi),rasa yang

mendalam),(kesederhanaan dan

keindahan(kesendirian

dantersebutlah

yangJepang.

2.3 Dasar

keindahan dalam suatu karya seni. Estetika bagi masyarakat Jepang dikenal dengan istilah bigaku. Istilah ini ditemukan oleh Nakae Chomin pada tahun 1883. Walaupun istilah estetika baru ditemukan pada tahun 1883, namun pemahaman masyarakat akan estetika itu sendiri, sudah sejak zaman Heian. Ini terbukti dari jumlah karangan yang memuat sifat-sifat alami dari seni musik, seni tari, seni taman, seni puisi dan seni drama. Karangan karangan tersebut, pada umumnya sangat dipengaruhi oleh

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

pemikiran estetika China, khususnya estetika Confucian klasiknya. Hal ini disebabkan karena konsep-konsep dan istilah-istilah estetika yang muncul dan berkembang pertama kali di Jepang berasal dari China.

2.3.1 Nilai Estetika Jepang Secara Umum

Melihat pengaruh pemikiran estetika China di Jepang, pengarang-pengarang Jepang, seperti Ki No Tsurayuki, Fujiwara No Kinto dan pengarang-pengarangkhasbuatan

Jepangbaik,dengan

munculnyabebas dari

pengaruhwanita,

sepertimenciptakanesei,

catatansendiridan

dinya

cenderung

dipengaruhitulisan Fujiwara

NoShonen dalam

kaligraupacara minum

teh, dan Ikenobo Seno dalam merangkai bunga. Semua karya seni mereka tersebut dipengaruhi oleh ajaran Buddha yang menekankan pentingnya pelatihan spiritual. Pelatihan spiritual ini dilakukan agar makna estetika dalam karya-karya seni mereka itu dapat lebih dipahami dengan jelas.Pada tahap berikutnya di zaman Edo, variasi konsep estetika Jepang menjadi lebih beragam, lebih humanis, dan lebih menekankan peran emosional

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

dari pengarang dan apresiasi dari penontonnya. Hal ini terbukti dari tulisan Yagyu Muenori dalam seni berperang. Tosa Mitsuoki dalam seni lukis, dan Basho dalam

Haiku. Dalam seni tersebut dimuat sejumlah ide-ide tradisional Jepang yang tetap dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Bukti yang lain dapat dilihat dari munculnya beberapa pemahaman estetika di Jepang.

Pemahaman yang pertama kali muncul di zaman Edo adalah pemahaman

Confusianis dengan teori seninya yang lebih pragmatis. Kemunculan teori seni ini,

ditolakdan Hirata

Atsutanebaru yang

berasalseni tersebut

banyakKabuki, yang

menggunakan

yang utama

terdapatseni tersebut,

seorangkehidupan

subjeknya

hanya terdapat pada kelihatannya kasar, sederhana dan buruk, estetika seni sulit didapatkan. Estetika seni ini hanya dapat diperoleh melalui proses penyeleksian unsur-unsur keindaham seni, karena di dalam proses tersebutlah unsur-unsur kekasaran, kesederhanaan, dan keburukan tadi akan dikurangi.

Walaupun banyak muncul konsep-konsep estetika pada zaman Edo, tetapi ada konsep yang paling digemari pada masa itu, yaitu konsep keagungan. Konsep

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Nishi sebuah pengajar kali ahli

ini danmenganjurkan banyaknya

keagungan ini memiliki makna konotasi yang sama dengan Furyu, Yugen, Iki, dan

Sui. Konsep estetika lain yang juga cukup digemari adalah konsep sementara, konsep kehalusan, dan konsep kerapuhan/kebinasaan. Konsep ini kemudian digabung dengan faham Buddha yang akhirnya menghasilkan suatu nilai estetika ideal (seperti momo no oware, yugen, wabi, dan sabi) yang sangat dihargai oleh para seniman Jepang selama berabad-abad.Selain itu, konsep kesederhanaan juga sangat dihargai di Jepang. Konsep

misteri alam*) konsep ini menghindari

Jepang oleh didirikanlah mempekerjakan yang pertama

di zaman

Meiji Yoshinori, kembali merintis studi filsafat estetika yang sebelumnya pernah berkembang di zaman Edo. Tindakan perintisan studi filsafat estetika ini, akhirnya memunculkan konsep-konsep estetika yang terus berkembang sampai sekarang di Jepang. Penjelasan mengenai nilai-nilai estetika tresebut dapat dilihat dalam uraian berikut:

* ) Misteri alam di Jepang tidak oernah dideskripsikan dalam bentuk uraian tetapi dalam bentuk simbol-simbol

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

yang mengerti sui terdapat tersebut sekali tidak pengetahuan

1. Iki ( )

Iki berarti semangat atau hati. Suatu bentuk semangat yang tinggi dan

hati yang bersih. Iki menunjukkan orang yang bersemangat tinggi dalam berbicara, bertingkah laku, dan berpakaian. Orang yang memiliki konsep Iki biasanya bersifat ceria, tenang, dan berpikiran terbuka. Iki juga menunjukkan keindahan yang penuh warna, tidak sempurna, artistik, sederhana, romantis, dan asli. Iki tidak ditemukan dalam alam tetapi dalam diri manusia itu sendiri yangmenghargaikepribadian/kelakuan

manusia,

2. Sui

dengan dalam

mengenal tersebut 3. Mujou

Mujou berarti suatu ketidakkekalan. Mujou menunjukkan bahwa setiap manusia pasti mati (tidak ada yang kekal) dan semua keadaan pasti berubah. Penggunaan mujou terdapat dalam karya-karya sastra abad pertengahan sepertiHaiku dan esei. Contohnya dalam dongeng Heike digambarkan kejatuhan Heike, seorang samurai kelas atas yang pada awalnya memiliki kemakmuran dan kekuatan besar, namun akhirya kemakmuran dan kekuatannya itu berakhir menjadi keruntuhan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

4. Mono no Oware

Mono no Oware berarti kedalaman perasaan manusia dalam kehidupan alam dan manusia. Mono no Oware berhubungan dengan kesedihan di bawah keadaan tertentu yang diikuti penghargaan dan kegembiraan. Jadi dapat dikatakan bahwa mono no oware menunjukkan perasaan manusia yang berhubungan dengan ketidakkekalan. Penggunaan mono no oware terdapat dalam Heike Monogatari,Genji Monogatari dan kritik-kritik sastra lainnya.

5. Ma

berarti kosong

samaPenggunaan Ma

terdapat

6. Furyu

menunjukkan rasa

kagumterdapat dalam :

seniKoda Rohan,

yangBuson.

hingga saat

ini, sehinggabanyak. Namun,

walaupun bentuknya beragam dan jumlahnya sangat banyak, semuanya tetap memusatkan konsep utamanya pada alam karena alam tidak bias dipisahkan dari kehidupan seni di Jepang, dimana alamlah yang mengisi hampir semua objek seni budaya Jepang. Alam jugalah yang menginspirasikan seseorang untuk memperoleh makna dalam hidupnya, dan alam pulalah yang saling memperdalam antara regiolitas dan semangat hidup orang Jepang. Itulah mengapa orang Jepang

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

mendefenisikan estetika sebagai keindahan yang alami, murni, dan sesedikit mungkin dipengaruhi oleh rekayasa tangan manusia.

2.3.2 Nilai Estetika Jepang Berdasarkan Ajaran Zen Buddhisme

Pengaruh estetika Jepang tentulah tidak hanya ditemukan dalam wujud-wujud alami saja, tetapi juga dalam wujud religiolitas (dalam keagamaannya). Berikut akan kita lihat bagaimana sebenarnya estetika Jepang dalam kehidupanreligiolZen, karena

ajaranseni keramik

Jepang.

yang secara

harfiahJepang

sejaksebagai

berikut:

Buddha. Gambaran klasik Zen yang terdiri dari 4 baris tersebut, menjelaskan bahwa

Zen adalah sebuah seni untuk melihat kodrat diri sendiri dan demikian menjadi Buddha. Selain itu, Zen juga dijelaskan sebagai sebuah seni yang mampu meleluasakan kekuatan-kekuatan alami, mencegah kelesuan manusia dan menyemangati manusia menuju kebahagiaan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Zen sendiri, memiliki pendekatan yang unik dalam memandang realitas. Menurut Zen, setiap orang harus telebih dahulu berhenti dan merenung dalam keheningan untuk melihat apakah semua memang ada sebagai mana adanya (as they are). Pendekatan Zen dalam memandang keindahan pun demikian. Setiap orang harus masuk ke objek itu sendiri, ke inti realitas dan kemudian melihatdan merasakan estetika itu sendiri dari dalam.

Berdasarkan pemikiran Zen Buddhisme, untuk dapat memahami

keindahanfaktor-faktor

lain yangBuddhisme tidak

dapatdalam

keindahanketika terjadi

prosesSelanjutnya,

anataradan secara

keseluruhanmempertentangkan

antaratentu indah,

sebaliknyademikian

pengertiankeindahan yang

alami.

Berkaitan dengan itu, Zen Buddhisme menggunakan istilah kensho (ken = melihat; sho = hakikat, inti). Penggabungan kedua kata tersebut secara harfiah mempunyai arti melihat dalam keadaan yang sesungguhnya. Dalam pemikiran Zen Buddhisme tersebut, untuk memahami suatu karya seni haruslah mampu menghilangkan sujektifitasnya, sehingga mampu menerima kehadiran objek sebagaimana adanya dengan menggunakan intuisi. Pendekatan seperti ini

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

menujukkan bahwa Zen Buddhisme memberikan pengaruh spiritual yang sangat besar dalam memahami estetika.Pengaruh pandangan Zen Buddhisme tentang keindahan itu sendiri tampak jelas pada kebudayaan khususnya kesenian dalam masyarakat Jepang. Pandangan Zen Buddhisme tentang estetika terkonsep dalam estetika wabi-sabi yang mengekspresikan nilai-nilai ajarannya yang tidak terlepas dari kewajaran dan kealamian. Adapun nilai-nilai estetika tersebut adalah sebagai berikut:

1.

(asimetris), tidak sempurna, pada seni pertamanan,

2. Kanso

berantakan), dan segar. Kanso terdapat dalam

3. Kou

penampilan), dan mampu melihat dari berbagai sisi. Kouko berhubungan dengan rasa menikmati keindahan alam dengan seutuhnya. Penggunaan Kouko terdapat dalam kayu lapuk, batu taman, pohon antik, batu keramat, lingkungan, dan cuaca.

4. Shizen ( )

Shizen berarti suatu bentuk kealamian, spontan, dan melibatkan keseluruhan unsur tanpa adanya paksaan. Penggunaan Shizen terdapat dalam seni keramik.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

keindahan interior, seni dekorasi yang sering disebut namun tanpa

kreativitas yang penggunaan pasir tersendiri bagi

5. Yuugen ( )

Yuugen berarti suatu bentuk kemisteriusan, ketidakberaturan alam, dan rasa yang mendalam. Keindahan yugen muncul melalui sedikit kata-kata atau sapuan kuas yang dapat menunjukkan sesuatu yang tidak terlihat dan tidak terkatakan. Penggunaan yuugen antara lain terdapat dalam seni pertamanan, seni

keramik, dan ikebana.

6. Datsuzoku ( )

dan batu orang

7. Shibui

yang keramik, dihasilkan shibui

terlihat berlebihan. 8. Wabi ( )

Wabi berasal dari kata wabu yang berarti memisahkan diri, dan wabishi yang berarti sendirian, yang menunjukkan bagaimana menderitanya orang yang jatuh dalam kondisi tidak menguntungkan. Jadi dapat dikatakan bahwa arti asli dari wabi adalah suatu bentuk kesendirian atau mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat, merenungkan arti kesengsaraan dan kebahagiaan. Dalam sastra, wabi

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

ketidakberaturan. secara umum. ikebana,

berarti kesedihan dan kemiskinan. Kemiskinan di sini bukan berarti tidak memiliki apapun, tetapi tidak bergantung pada harta materi. Wabi adalah membebaskan diri dari harta, kegemaran, keangkuhan, dan menyatukan diri dengan alam dan kenyataan. Wabi merupakan kesenangan akan hal sederhana.

Dapat disimpulkan bahwa wabi adalah jalan kehidupan spiritual yang dipakai dalam menghargai benda dan seni. Prinsip Zen Buddisme tentang wabi adalah gabungan prinsip Confucius, Tao, Budha dan Shinto yang terfokus pada

pandanganterangdalam

kesendirianmateri yang

memberikanterhadap hidup

danwabi adalah

suatukesederhanaan.

Penggunaanpertamanan,waka,

haiku,

9. Sabi

Sabi

Penggunaan dan lain-lain.

10. Seijaku ( )

Seijaku berarti suatu bentuk ketenangan dari kekuatan spiritual, kestabilan dan ketentraman ke arah pencerahan. Seijaku berhubungan dengan suatu keadaan aktif yang tenang (tanpa ada gangguan). Penggunaan seijaku terdapat dalam perasaan seseorang ketika melihat matahari terbit dan terbenam.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Dengan melihat penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa nilai-niai estetika Zen Buddhisme memusatkan titik estetikanya pada alam. Jadi, jelas bahwa konsep estetika Zen Buddhisme memiliki kesamaan dengan konsep estetika yang diakui masyarakat Jepang secara umum. Persamaannya terletak pada alam sebagai pusat estetika, karena alam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, dimana manusia adalah bagian dari alam. Alam tidak untuk ditaklukkan, tetapi untuk dihormati dan dihargai. Penghormatan dan penghargaan terhadap

alamtampak pada

nilai-secara umum

maupunBudhisme

mengenai. Penjelasan

mengenaiestetika

keramik

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

mempunyai maksud suci, makna ajaran Zen dari yang ini dibuat dan bersifat

BAB III

NILAI-NILAI ZEN BUDDHISME DALAM ESTETIKA KERAMIK

TRADISIONAL JEPANG

3.1 Nilai Ketidaksimetrisan

Asimetris di dalam prinsip desain mempunyai pengertian tidak sama atau tidak seimbang. Dimana dalam ketidakseimbangan itu terdapat perbedaan ukuran,warna,desain sering

dikatakanpengertian

tidaksesuai dengan

patokan

pengertian dan

Buddhisme umumnya dengan spiritual.

Untuk lebih memahami penjelasan di atas, berikut ini penulis menyertakan beberapa gambar keramik beserta penjelasan yang berhubungan dengan nilai ketidaksimetrisan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

permukaan bibir gelas tidak rata dan tidak seimbang

permukaan gelas tidak sama dan tidak seimbang

c.

Gambar 1.Mukuhara Kashun,

Hagi, Jepang

Keterangan

Gambar a dan b menunjukkan perbedaan bentuk cangkir. Bentuk yang tidak sama dan tidak seimbang menunjukkan ketidaksimetrisan. Gambar d dan e menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok pada ukuran (diameter) dan bentuk pada bagian bibir cangkir (gambar d) dengan bagian alas cangkir (gambar e). Secara umum, bagian alas dan bagian atas cangkir harus memiliki persamaan bentuk dan ukuran (diameter). Dengan kata lain memiliki

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

bentukyang simetris, namun dalam cangkir keramik ini

ketidaksimetrisan tersebut menjadi ciri yang unik.

Pada gambar e dapat dilihat tekstur permukaan bagian alas cangkir yang sangat tidak rata dan kasar. Hal ini berbeda dengan tekstur bagian permukaan badan dan bagian dalam cangkir yang lebih rata yang dapat dilihat pada gambar d. Pewarnaan pada permukaan badan cangkir keramik di atas tidak

dekorasi dan

umumnya,

bahwa terdapat tidak sesuai tergambar pada

estetika Zen

Buddhismefukinsei, sabi,

dannilai fukinsei

menekankan bentuk asimetris atau tidak teratur, demikian juga nilai sabi yang menekankan ketidakberaturan dan kesendirian, sedangkan datsuzoku menekankan suatu bentuk kejutan, fantasi dan kreativitas yang mengabaikan aturan.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

3.2 Nilai Kealamian

Yang dimaksud dengan kealamian adalah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, secara wajar dan tidak dibuat-buat, tanpa diawali dengan pemikiran atau tujuan tertentu. Di sisi lain, kealamian berkaitan dengan situasi alam. Zen Buddhisme dalam hal ini, lebih menitikberatkan dalam suasana tenang, tidak tegang seperti suasana yang diekspresikan dalam upacara minum teh (cha no yu). Demikian pengertian kealamian yang dimaksud dalam ajaran Zen Buddhisme, yaitu menghasilkan bentuk-

dilihat dari

proses

1.

Maksudnya

adalahperbukitan).

Bukandari campuran

bahan-

2.

liat secara

alami yang tidak licin atau halus.

3. Dekorasi dan Pewarnaan

a. Keramik menggunakan larutan tanah yang diperoleh secara alami dari alam, berwarna krem, cokelat atau cokelat tua. Setelah tanah liat dibentuk, kemudian di olesi atau dicelupkan ke dalam larutan tersebut sehingga keramik menjadi berwarna lebih muda dan cerah.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Selain sebagai pewarna, juga berfungsi sebagai penutup permukaan

keramik, sehingga pada saat pengglasiran, tekstur tanah liatnya

tidak rusak.

b. Sebagai glasir transparan, masyarakat Jepang menggunakan garam dapur untuk melapisi permukaan keramik. Selain itu, sebagai glasir juga digunakan abu kayu bakar yang digunakan sebagai bahan bakar dalam tungku pembakaran. tidak rata atau

4.

tanah yang jerami yang menggunakan

pengasapan daun cemara pembakaran. Asap tungku menjadiberwarna hitam.

c. Dalam tungku pembakaran, akibat api perapian yang tidak stabil, mengakibatkan loncatan glasir (abu kayu bakar) yang menjadi dekorasi atau hiasan yang khas pada permukaan keramik. d. Retak pada permukaan keramik yang diakibatkan proses pembakan juga menunjukkan nilai kealamiannya.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

e. Bentuk asimetris atau tidak beraturan juga diperoleh secara alami ketika proses pembakaran terjadi. f. Secara alami, api dalam suhu pembakaran yang tinggi mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk, warna dan tekstur keramik. Menurut Zen Buddhisme, bentuk seperti ini tidak dapat ditandingi oleh bentu-bentuk yang sengaja dibuat secara konseptual. menyertakan

beberapadengan nilai

kealamian

.

Gambar 2.Jepang. Diameter: 2.5

(6.4cm). Tinggi: 2 (5.3cm). Harga: US$52.00

Keterangan gambar 2:

Kealamian tampak pada warna cangkir yang kusam (a.) karena tidak mengalami proses pengglasiran. Warna kehitaman pada cangkir (b.) diakibatkan oleh teknik pembakaran reduksi yang alami dengan menggunakan daun cemara

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

yang basah. Asap dari pembakaran daun cemara yang basah tersebut kemudian memberikan warna kehitaman pada cangkir. Warna kehitaman ini dimanfaatkan sebagai dekorasi keramik yang menunjukkan adanya nilai kealamian pada keramik ini. Permukaan cangkir kasar, sesuai dengan hakikat tekstur tanah liat yang tidak licin dan tidak halus. Hal ini juga membuktikan bahwasanya dalam keramik ini terdapat nilai kealamian.

dekorasi

Gambar 3.

Gambar a. Sake Set Sangiri Bizen-128. Pengrajin: Seno-o Yusei Kiln, Okayama, Jepang. Tinggi botol: 5.1 (13.2cm). Tinggi cangkir: 2.1 (5.5cm). Harga: US$278.00Gambar b. Furisode, Shino Tea Bowl (abad ke-16). Seto, Jepang

Keterangan gambar 3:

Pada gambar a terdapat tanda hangus. Tanda hangus yang terdapat pada keramik ini secara tidak langsung merupakan dekorasi yang alami. Tanda hangus ini dihasilkan pada proses pembakaran keramik.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Keramin Bizen pada gambar a menggunakan dekorasi biji wijen. Dekorasi pada keramik Bizen ini dihasilkan secara alami saat proses pembakaran. Dekorasi biji wijen ini kemudian menjadi ciri khas keramik Bizen yang menunjukkan nilai kealamiannya.

Dekorasi biji wijen ini dihasilkan pada saat proses pembakaran keramik. Hal ini disebabkan oleh api dalam tungku pembakaran yang tidak stabil mengakibatkan loncatan abu kayu bakar menempel pada bentuk disebut sebagai

keramik. Tanda retak tersebut

berupa tanda tanda hangus pada proses yang alami

Ketidaksimetrisan atau ketidaksempurnaan bentuk maupun tekstur serta dekorasi keramik pada gambar a dan b menunjukkan nilai kealamiannya. Hal ini diperoleh secara alami pada proses pembakaran.

Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa keramik tradisional Jepang

mengandung nilai ajaran Zen Buddisme mengenai kealamian, yaitu shizen.

Karena seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa shizen menekankan pada

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

kealamian yang mengikutu garis alam, spontan, melibatkan keseluruhan unsur tanpa paksaan, dan tidak mengakui adanya unsur buatan.

3.3 Nilai Kesederhanaan

Kesederhanaan dalam karya seni umumnya dapat dicerminkan dalam warna dan bentuk. Dikatakan bahwa warna yang sederhana adalah warna yang tidak mencolok dan memiliki value rendah atau dalam gradasi warna mono-kromatikyangtidak

mempunyaimemiliki unsur

kesengajaanperwujudan yang

dapatutuhyang

diekspresikan

1.

bertujuan untuk

menjadikankeplastisan

tanahsederhana, yaitu

dengan

2.

a. Teknik yang dilakukan dalam tahap ini adalah teknik yang sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan tangan (tezukuri). b. Bentuk yang dihasilkan adalah bentuk yang sederhana, sesuai dengan fungsi keramik tersebut.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

3. Dekorasi dan Pewarnaan

a. Pelapisan dengan menggunakan larutan tanah liat (engobe) dilakukan dengan metode yang sangat sederhana, yaitu dengan menyapukan menggunakan kuas atau dengan cara mencelupkan keramik tersebut ke dalam larutan engobe.

b. Pada keramik teh (keramik yang termasuk dalam perlengkapan upacara minum teh), biasanya tanpa dekorasi (gambar maupun adalah tekstur keramik

sederhana, menggunakan mata setengah kering

4.

dengan cara jerami sebagai daun basahsebagai glasir alami di dalam tungku pembakaran.

b. Tungku pembakaran yang sangat sederhana, yaitu merupakan lubang-lubang yang dibuat di dalam tanah. c. Pembakaran sederhana dengan menggunakan kayu bakar dan minyak tanah menghasilkan pembakaran reduksi yang berperan penting dalam pewarnaan, yaitu menghasilkan glasir alami.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

d. Bentuk serta dekorasi, yaitu bentuk yang tidak beraturan, tanda hangus serta ketidaksempurnaan lainnya mencerminkan kesederhanaan keramik tersebut, bahkan dikatakan seperti tidak dibuat oleh seorang ahli keramik, karena sama sekali tidak mencermnkan kepribadian pembuatnya.Untuk lebih memahami penjelasan di atas, berikut ini penulis menyertakan beberapa gambar keramik beserta penjelasan yang berhubungan dengan nilai

mulutdekorasi guratan

tandapegangan

Gambar 4. Bizen Yohen Tea Pot (2009). Pengrajin: Suzuki Tsuneki, Okayama, Jepang. Tinggi: 4.5 (11.5cm). Handle: 7 (18cm). Isi: 500ml. Harga: US$200.00

Keterangan gambar 4:

Gambar di atas merupakan sebuah tempat teh (tea pot). Keramik ini memiliki bentuk yang sangat sederhana, tidak mempunyai banyak variasi bentuk, serta memiliki bentuk yang sesuai dengan fungsinya.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Tempat teh ini terdiri dari sebuah pegangan yang memudahkan saat menuang teh ke dalam cangkir, dan mulut ceret, serta tutup yang sederhana. Warna keramik ini sangat sederhana dan tidak mencolok, yaitu warna alami tanah liat yang alami yang merupakan bahan dasar keramik. Dekorasi pada badan ceret teh ini menunjukkan nilai kealamian. Dikatakan demikian karena keramik ini tidak memiliki ornamen atau serta dekorasi

mencolok serta yaitu dengan masih basah

dihasilkan pada dengan teknik bahan bakar loncatan-permukaankeramik sehinga meninggalkan tanda hangus.

Tanda hangus ini merupakan salah satu ketidaksempurnaan keramik yang mencerminkan kesederhanaan keramik tersebut.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Leher botol

Tanda hangus

Gambar 5.botol: 5.1 (13.2cm).

Tinggi

Keterangan

buah tempat

Leher botol mempermudah sake ini dalam keramik

Bentuk cangkir sangat sederhana sesuai dengan fungsinya.

Bentuk cangkir yang sederhana dan sesuai dengan genggaman tangan ini menimbulkan perasaan nyaman saat digenggam. Proses pembentukkan keramik dilakukan dengan teknik yang sederhana, yaitu dengan menggunakan tangan (tezukuri). Hal ini dapat

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

dilihatdari bentuk keramik yang sangat sederhana dan

ketidakseimbangan bentuk khususnya pada cangkir.

Botol dan cangkir memiliki dekorasi yang sederhana dan tanpa ornamen, hanya memanfaatkan sisa hangus sebagai dekorasi. Bentuk serta dekorasi pada keramik ini menunjukkan tanda-tanda ketidaksempurnaan yang semakin mempertegas kesederhanaan yang dikandungnya. estetikaZen

Buddhismeyang telah

dijelaskankesederhanaandan

tidakbentukyang

seadanya,sederhana dalam

kekayaan

3.4 Nilai

mempunyai arti

tersendiri. Sebagai

contoh,yang seram,

menakutkan, mencekam, mistis, dan seterusnya. Namun, dalam Zen Buddhisme kegelapan mengandung pengertian cerah (kegelapan yang cerah), mempunyai kesan tentram, damai, lembut, dan tenang.1. Pembuatan Keramik

Pembuatan keramik dengan menggunakan teknik putar, pada dasarnya sama dengan melakukan meditasi Zen. Dalam hal ini diperlukan

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

pemusatan pikiran dan konsentrasi yang tinggi, karena akan mempengaruhi bentuk keramik yang dihasilkan. Pada saat seperti ini, pembuat keramik akan memusatkan pikirannya dan seolah menyatu dengan keramik yang dibentuknya. Menghayati pembentukan keramik sama seperti mencari pencerahan dalam meditasi.2. Dekorasi dan Pewarnaan

a. Dalam pewarnaan keramik, pada umumnya digunakan warna-

glasir tenang dan

digunakan dianggap dapat

atau asimetris laku orangharmonis.

3.

kehati-hatian, kesabaran serta kepasrahan dan menghilangkan egoisme. Dikatakan demikian karena saat seperti itu merupakan penyerahan kepada alam untuk memberi bentuk pada keramik di dalam tungku pembakaran.b. Bentuk keramik yang dihasilkan setelah proses pembakaran sering kali mempunyai bentuk yang tidak beraturan, mempunyai tanda

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

bergantung pada kehidupan direkayasa akan menyentuh sesuatu yangkeramik sebagai bahan sintetik, melamin, cita rasa yang Jepang makan bukan mendalam, yaitu sebagai spirit untuk kelangsungan hidup.Untuk lebih memahami penjelasan di atas, berikut ini penulis menyertakan beberapa gambar keramik beserta penjelasan yang berhubungan dengan nilai kedalaman rasa pada keramik.Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

hangus, dan ketidaksempurnaan lainnya, namun hal tersebut sangat dihargai sebagai sesuatu yang menarik, karena masyarakat Jepang percaya bahwa itu lah yang menjadi ciri keramik tersebut. Bagi mereka sangatlah penting bahwa setiap keramik mempunyai kepribadiannya sendiri sama halnya dengan manusia.c. Kesederhanaan dan kealamian (polos tanpa dekorasi gambar maupun ornamen) mempunyai arti mengungkapkan kerendahan

Gambar 6.

Gambar a. .8cm). Tinggi: 3.2 (8.3cm)

Gambar b.

Keterangan

. Peralatan

musim dingin,

bermakna

pula. Nilai

perasaan hangat

menikmati

.

Pada gambar b terdapat keramik dengan warna yang redup atau tidak mencolok. Nilai kedalaman rasa pada keramik ini ditunjukkan oleh kesan tenang dan lembut yang dapat dirasakan saat melihat dan menggunakannya. Pada gambar a dan b terdapat bentuk serta dekorasi yang tidak beraturan (tidak terpola) dan tidak simetris. Hal ini merupakan salah

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

satu nilai kedalaman rasa yang tercermin dalam keramik tersebut, karena hal tersebut dianggap sebagai perlambangan masyarakat Jepang yang selalu dinamis, kontradiktif, namun tetap harmonis. Pada gambar a dan b terdapat tanda-tanda ketidaksempurnaan, seperti tanda hangus, ketidaksimetrisan serta tanda retak pada keramik. Tanda tanda ketidaksempurnaan tersebut tidak dianggap sebagai kegagalan namun sebagai ciri keramik tersebut. kepribadian karakter keramik unik, yangkedalaman rasa

sederhana dan Kesederhanaan dan kerendahan dan perasaan rasa yang

dapat dirasakan saat melihat dan mengamati keramik tersebut.

Pembuatan keramik pada gambar a dilakukan dengan teknik putar. Melakukan tenik putar persis seperti melakukan meditasi dalam Zen. Proses ini bermakna memusatkan pikiran dan menyatu dengan keramik seperti mencari pencerahan dalam Zen. Nilai kedalaman rasa di sini adalah bagaimana kita mengartikan bahwa seseorang yang sedang

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

membuatkeramik seolah melupakan kehidupan dunia dan

berkonsentrasi serta menyatu dengan alam untuk menciptakan suatu

bentuk keramik.

Tanda-tanda ketidaksempurnaan keramik pada gambar a dan b dihasilkan pada proses pembakaran. Proses pembakaran bermakna suatu kehati-hatian, kesabaran serta kepasrahan dan menghilangkan ogoisme. Nilai kedalaman rasa di sini dapat dilihat dari proses kepasrahan pada keramik identitas pada

estetikaZen

Buddhismeyang telah

dijelaskanyang muncul

melaluiterkatakan,

namunkesendirian,

keterasingan,individualdan

lingkunganpenikmat atau

pengamat keramik. Sedangkan seijaku menekankan pada suatu bentuk ketenangan dari kekuatan spiritual, kestabilan dan ketentraman ke arah pencerahan. Hal ini menggambarkan seseorang yang sedang membuat keramik seperti sedang melakukan meditasi, yaitu suatu keadaan aktif yang tenang (tanpa gangguan), memusatka pikiran dan berkonsentrasi.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Di Jepang, seni keramik telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Para seniman keramik Jepang mempelajari teknik-teknik pembuatan keramik dari Cina dan Korea. Buddhisme minum teh. ajaran Zen minum teh. tidak dapat bahan pandangan Zen

Jepang. Hal ini pembakaran jenis tersendiriyang khas.

4. Proses pembuatan keramik terdiri dari pengolahan bahan baku, pembentukan, dekorasi dan pewarnaan, serta pembakaran. Keseluruhan proses tersebut menggunakan teknik dan peralatan dan perlengkapan yang sederhana dan alami sesuai dengan falsafah ajaran Zen Buddhisme.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

5. Dalam proses pembuatan keramik Jepang terdapat 4 nilai estetika yang merupakan kombinasi dari beberapa nilai estetika Zen Buddhisme. Nilai-nilai tersebut adalah:

Fukinsei, sabi, dan datsuzoku, menciptakan nilai ketidaksimetsisan. Shizen, menciptakan niai kealamian.

Kanso, shibui, dam wabi, menciptakan nilai

kedalaman

mempunyai maksud suci, Ketidaksimetrisanspiritual. bahwa sesuatu

-bentuk unik menitikberatkan alam yang

sesungguhnya.

8. Nilai kesederhanaan menurut Zen Buddhisme adalah sesuatu yang tidak mencolok, tidak memiliki banyak variasi, bersifat naf dan polos serta tidak adanya unsur kesengajaan atau dibuat-buat. Kesederhanaan mencerminkan dan mewakili sifat suatu benda

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

secara utuh yang diekspresikan melalui bentuk, warna, tekstur, dan

sebagainya.

9. Nilai kedalaman rasa menurut Zen Buddhisme adalah memahami bahwa sesuatu hal atau benda pastinya memiliki makna mendalam yang tersirat, sesuatu yang berhubungan dengan spiritual. 10. Nilai kesederhanaan, nilai kealamian, dan nilai kedalaman rasa

terdapat dalam hampir setiap proses pembuatan keramik. pada proses keramik secara pada semua

dikatakan -nilai ajaran dihargai oleh perkembangan mencerminkan

4.2 Saran

1. Sebaiknya masyarakat Indonesia khususnya seniman keramik Indonesia juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai estetika yang terkandung dalam keramik Jepang, karena pemahaman tersebut dapat membantu seniman keramik Indonesia dalam mengembangkan dan mengkreasikan keramik Indonesia

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

sebagai suatu karya seni yang bernilai estetika tinggi, seperti yang

telah sukses dilakukan oleh masyarakat Jepang.

2. Sebaiknya masyarakat Indonesia mau mempelajari nilai-nilai positif yang terdapat dalam budaya Jepang, seperti ketekunan, kesabaran, serta konsistensi masyarakat Jepang dalam membuat keramik, sehingga seniman keramik Indonesia juga dapat menghasilkan keramik-keramik yang bernilai estetika tinggi namun kebudayaan

nilai-nilai khususnya merealisasikannya kehidupan

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

DAFTAR PUSTAKA

Akasaka, Moto. 1989. Jepang Dewasa Ini. Jepang: Japan Echo. Inc.

Astuti, Ambar. 1997. Pengetahuan Keramik. Yokyakarta: Gajah Mada University

Press.

Christomy, T dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemayarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian

Dharmawan

Earhart,Inc.

Hulu,Bonsai dalam

Ichsan,Kedutaan

Ishikawa,Ltd.

Iswidayati,Keramik

UI.

Kaelan.Yokyakarta:

Paradigma.

Koenjaraningrat.1976. Metode-Metode Penenlitian Masyarakat. Jakarta:

Gramedia.

Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yokyakarta: Gajah Mada

University Press.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

Kokusai BunkaJayaFilasafat1. Amerika:Weatherhill.Inc. Gramedia

dan Sejarah.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yokyakarta: Gajah Mada University Press.Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.____. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.

Sachari, Agus. 2002. Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa, Desain,

Arsitektur, Seni Rupa, dan Kriya. Jakarta: Erlangga.

Sedyawati,

Seiroku,

Simbolon,

Sutrisno

Tsunoda,

Wilson,

Pustaka Utama.

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

ABSTRAK

Seni merupakan salah satu hasil kebudayaan yang diciptakan manusia untuk memenuhi keutuhannya akan keindahan. Dalam karya seni terdapat nilai estetika. Pandangan mengenai nilai estetika pada suatu masyarakat berbeda dengan masyarakat lainnya. Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor, seperti faktor agama, struktur sosial, budaya, dan sebagainya.olehfaktor

agama,nilai

satuseni di

Jepang.

dengan

minum teh

digunakan.Peralatan

tersebutsenikeramik

Jepang

. Nilai-nilai

tersebutshibui, wabi,

sabi, dan sejaku. Nilai-nilai tersebut terdapat dalam estetika keramik Jepang.

Dari kesepuluh nilai estetika tersebut dapat dilihat empat nilai yang terkandung dalam nilai estetika keramik Jepang. Nilai tersebut adalah nilai ketidaksimetrisan, nilai kealamian, nilai k