Upload
rajbarohmatullah
View
3
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kwn
Citation preview
Maraknya kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia, salah satu faktornya adalah
rendahnya penerapan hukuman oleh para penegak hukum terhadap para pelaku kejahatan
pelanggaran berat HAM, apabila pelaku pelanggar berat HAM ini hanya dikenakan hukuman
ringan (jauh dari ancaman pidana pidana yang ditentukan dalam undang-undang), masyarakat
merasakan tidak adanya keadilan dan kepastian hukum, karena para pelaku kejahatan tersebut
sangat merugikan masyarakat, yaitu akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pelanggaran berat
HAM tersebut, padahal “memenuhi rasa keadilan adalah utama dan kepastian hukum merupakan
tujuan dari hukum pidana. Selain hal tersebut hukum pidana juga mempunyai tujuan tambahan
yaitu untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan dan untuk mendidik
dan memperbaiki orang-orang yang sudah melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik.
Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro adalah : 1
1. Untuk menakut-nakuti orang agar jangan melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie), maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar ia tidak mengulangi kejahatan lagi dikemudian hari (special preventie);
2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang sudah menandakan suka melaksanakan kejahatan agar menjadi orang yang baik sehingga bermanfaat bagi masyarakat.Menurut Soerjono Soekanto pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana juga merupakan
alat pengendali sosial yang bersifat prventif, represif dan rehabilitatif, yang untuk : 2
1. Mempertebal keyakinan akan kebaikan hukum;2. Memberikan penghargaan kepada warga yang patuh;3. Menimbulkan rasa malu kepada pelanggar;4. Menimbulkan rasa takut pada (calon) pelanggar;5. Penindakan terhadap pelanggar;6. Penghukum pelanggar;7. Mendidik pihak-pihak yang menjalani hukuman.
Tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP. Revisi 2005, dalam pasal 54 ayat (1)
dan ayat (2) menyatakan bahwa : 3
1 Wiorjono Prodjodikoro Asas-asas Huku, m Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hlm 18. 2 Soerjono Soekanto, Polisi dan Lalu lintas, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm 42.3 Rancangan Undang-undang,Kitab Undang Hukum Pidana (RUU.KUHP).2005.
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana;5. Memaafkan terpidana.
Tujuan dalam Rancangan KUHP tersebut nampak berlandaskan atas tujuan
pemidanaan yang berdasarkan pada teori pemidanaan yang relatif yang mempunyai tujuan untuk
mencapai manfaat, melindungi masyarakat, dan menuju kesehjateraan masyarakat. Tujuan
pemidanaan bukan merupakan pembalasan kepada pelaku dimana sanksi ditekankan pada
tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan.
Rancangan KUHP mengatur juga tentang adanya penentuan pidana minimum dan
maksimum dalam delik tertentu. Ketentuan mengenai perumusan pidana maksimum dan
minimum dalam RKUHP dikenal dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum khusus dengan
tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana
yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum,
khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat.
Ketentuan mengenai pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus.
Maksimum khusus dalam arti untuk tiap jenis pidana terdapat maksismum ancaman pidananya,
sedangkan untuk batas pemidanaan yang paling rendah ditetapkan minimum umum.
Menurut Pasal 69 ayat (2) Rancangan KUHP, Minimum untuk pidana penjara adalah
satu hari. Minimum khusus untuk tindak pidana yang meresahkan masyarakat bahwa pidana
penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 tahun berturut-turut atau paling singkat 1
hari, kecuali ditentukan minimum khusus.4
4 Rancangan Undang-undang, Kitab Undang Hukum Pidana (RUU.KUHP). 2005.
Ketentuan mengenai pidana minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa
terhadap kejahatan-kejahatan yang meresahkan masyarakat diberikan ancaman secara khusus.
Misalnya dalam perkara pelanggaran berat HAM yang diatur dalam UU No 26 Tahun 2000
Tentang pengadilan HAM Pasal 36.37, 38,39,40 mengenai ancaman pidana minimum khusus
dengan pidana penjara minimum 5 tahun penjara dan maksimum 25 tahun penjara atau dipidana
mati atau pidana penjara seumur hidup.
Setiap pelaku tindak pidana harus dituntut sesuai dengan kesalahannya berdasarkan
ketentuan undang-undang, supaya terciptanya kepastian hukum dan keadilan. Jika tidak adil dan
menyimpang dari ketentuan undang-undang maka pelaku tindak pidana tidak akan jera dan
akang mengulangi perbuatan tindak pidana tersebut.
Tugas penegak hukum dalam menentukan keadilan adalah menjembatani jurang antara
kepentingan korban dan pelaku, sehingga perasaan ketidakadilan dapat diminimalisir seoptimal
mungkin. Ukuran keberhasilan atau tidaknya dalam menegakan keadilan dapat dilihat dari
adanya reaksi dari para pihak masyarakat. Pada zaman orde baru pembangunan hukum cukup
bagus dan sistematis. Ini dalam arti kuantitas fisik maupun non fisik. Melalui GBHN- nya
pembangunan fisik lembaga penegak hukum (Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian) sudah
sampai ke tingkat Kabupaten/Kota bahkan tingkat Kecamatan dan Desa. Rekrutmen penegak
hukum hampir setiap tahun dilakukan dengan standar pendidikan sudah jauh lebih baik bila kita
bandingkan dengan tahun 1970an.5
Apabila pranata hukum telah demikian banyak, tetapi tuntutan menjadi semakin lebih
banyak, maka dapat disimpulkan permasalahan yang dihadapi sama sekali bukan masalah
pranata, produk, subtansi ataupun materi hukum dalam bentuk undang-undang, namun masalah
hukum yang menjadi tuntutan tersebut adalah mengenai penegakan dan penerapannya.
5 Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya, Op.Cit, hlm 46.
Menurut Wilhelm Filosof hukum aliran realisme mengatakan bahwa hukum itu bukan
apa-apa. Ia menartikan hukum seperti penganut paham konvensional yang memaknakan hukum
sebagai aturan bertingkah laku manusia yang apabila tidak ditaati akan mendapatkan sanksi
terhadap si pelaku. Oleh sebab itu hukum itu akan bermakna setelah hukum itu ditegakan. Tanpa
penegakan hukum, hukum dirasakan tidak ada. Yang memberi makna pada hukum itu adalah
aparat penegak hukum serta masyarakat. Bahkan tanpa subtansi hukum pun sebenarnya hukum
dapat dihasilkan, karena mengenai hal ini menjadi tugas para hakim untuk menciptakan hukum
(UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Penegakan hukum merupakan rangkaian
dari suatu proses yang dilaksanakan oleh beberapa komponen sebagai sub-sistem. Rangkaian
proses tersebut satu sama lain saling terkait secara erat dan tidak terpisahkan karena itu disebut
sebagai Intergrated Criminal Justice System.
Pada umumnya, komponen sub-sistem tersebut mencakup: 6
a. Kepolisian (Penyidik)
b. Kejaksaan (Penuntut Umum)
c. Penasihat Hukum (Korban/Pelaku)
d. Pengadilan (Hakim)
e. Pihak-pihak lain (Saksi/Ahli dan masyarakat)
Masing-masing komponen tersebut memiliki kewajiban dan tangggung jawab yang sama
dalam menegakan keadilan. Aparat penegak hukum mengambil porsi tanggung jawab terbesar
dalam penegakan hukum karena fungsi mereka adalah menegakan dan menerapkan hukum.
Oleh karena itu masalah penegakan hukum merupakan masalah penting, baik secara nasional
maupun internasional dalam proses bekerjanya hukum. Masalah ini akan selalu ada dan selalu
patut dibicarakan, sepanjang kita masih mengakui adanya negara hukum dan sepanjang kita
6 Ibid, hlm 47.
masih mempercayai hukum sebagai salah satu sarana untuk mengatur dan menyelesaikan
masalah-masalah kehidupan bermasyarakat.
Sebagaimana ditegaskan oleh Barda Nawawi Arief bahwa penegakan hukum pada
hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya membangun dan meningkatkan kualitas
kehidupan bermasyarakat yang lebih berbudaya dan bermakna.7
Berbicara masalah penegakan hukum sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran-
pemikiran tentang efektivitas hukum. Menurut Soekanto, bahwa masalah efektivitas hukum
berhubungan erat dengan usaha yang dilakukan agar hukum itu benar-benar erat dengan usaha
yang dilakukan agar hukum itu benar-benar hidup di dalam masyarakat, dalam artian berlaku
secara filosofis, berlaku sebagaimana yang di cita-citakan oleh adanya hukum tersebut. Berlaku
secara yuridis, berarti sesuai dengan apa yang telah dirumuskan, dan berlaku secara sosiologis
berarti hukum itu dipatuhi oleh warga masyarakat tersebut. 8
Implementasi Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Walaupun
telah disyaratkan dalam undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Apakah penegakan HAM ini sudah efektif. Kenyatannya hingga saat ini terdapat tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh Polisi Republik Indonesia (POLRI) dalam upaya penegakan
hukum dan penanggulangan kejahatan.9
Penegakan hukum di Indonesia, pada pelaksanaannya masih sulit ditegakan sebagaimana
digambarkan oleh Harkristuti Harkrisnowo, bahwa :10
7 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 16.
8 Sidik Sunaryo, Sistem Peradilan Pidana, UMM, Malang, 2005, hlm. 8.9 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 292.10 M. Wahyudin Husein dan Hufron, Hukum Politik dan Kepentingan.,Laskbang Presindo, Yogyakarta,
2008, hlm.211.
“kondisi hukum di Indonesia saat ini ditegarai mendekati titik nadir, telah menjadi
sorotan yang luar biasa dari komunitas dalam negeri maupun internasional. Proses penegakan
hukum, pada khususnya, acap dipandang betrsifat deskriminatif, inkonsisten, dan
mengedepankan kepentingan kelompok....”
Kejahatan yang dilakukan oleh Aparatur Negara dikatakan Anthon F. Susanto dalam bukunya
Semiotika Hukum sebagai berikut: 11)
“…apabila sebuah perbuatan dilakukan oleh pejabat yang memiliki kewenangan tertentu dengan dalih aturan yang mendukung. Perbuatan itu menjadi sulit untuk dikualifikasikan sebagai kejahatan, meskipun perbuatan tersebut dapat menimbulkan berbagai kerugian moril maupun meteril. Hal demikian itu dipandang lumrah (paling tidak menurut sebagian orang) karena aturan biasanya menunjuk kepada orang lain, bukan terhadap penegak hukum atau pembuat aturan. Memukul pedagang kaki lima atas nama hukum dan ketertiban, menganiaya pencuri untuk memperoleh pengakuan, memanipulasi bukti untuk memenangkan perkara, membunuh demi keamanan dan banyak lagi model lain yang serupa. Ini disebut ‘false sense on normalcy’, perbuatan yang salah namun dianggap normal”.
Sejalan dengan keadaan tersebut, Munir Fuady mengutarakan enam penyebab tidak
terlaksananya penegakan hukum oleh para penegak hukum adalah sebagai berikut : (1)
rendahnya kualitas hakim, jaksa, polisi, dan advokat (2) tidak diindahkannya prinsip the right
man in the right place (3) rendahnya komitmen aparat penegak hukum terhadap hukum (4) tidak
adanya mekanisme penegak hukum yang baik dan modern (5) kuatnya pengaruh intervesi politik
dan kekuasaan terhadap catur wangsa , terutama ke badan kepolisian, kejaksaan dan kehakiman
(6) adanya organized crime antar anggota catur wangsa berupa mafia peradilan. 12
11 Anthon F. Susanto, Semiotika Hukum, Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresifitas Makna, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 179-180.
12 Ibid, hlm. 212.
Oleh karena itu, peningkatan kualitas pelaksanaan penegakan hukum diharapkan dapat
meningkatkan wibawa hukum. Keberhasilan penegakan hukum adalah ditentukan oleh orang
yang menegakannya, yaitu aparat penegakan hukum.
Sehubungan dengan tuntutan adanya penegakan hukum yang berkualitas, Barda Nawawi Arief
menjelaskan bahwa kualitas pembangunan dan penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat
ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi kulitas material atau substansial. Oleh karena itu,
strategi sasaran pembangunan dan penegakan hukum harus ditujukan pada kualitas substansif
seperti terungkap dalam beberapa isu sentral yang muncul atau dituntut masyarakat saat ini, yaitu
antara lain :
1. Adanya perlindungan HAM;
2. Tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan antar sesama;
3. Tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan;
4. Bersih dari praktek favoritisme (pilih-kasih), korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan
mafia peradilan;
5. Terwujudnya kekuasaan kehakiman atau penegakan hukum yang merdeka, dan tegaknya
kode etik atau kode profesi;
6. Adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kualitas subtansif yang terungkap dalam berbagai isu sentral diatas, jelas lebih menekankan
pada aspek immateriel dari pembangunan masyarakat atau nasional. Pembangunan nasional tidak
hanya bertujuan meningkatkan kualitas masyarakat (lingkungan hidup dan kehidupan) secara
materil tetapi juga immateril.
Berdasarkan hal diatas, penegakan hukum itu seyoginya terwujud dalam seluruh tatanan norma
kehidupan masyarakat dan bernegara, salah satunya adalah terwujud dalam penegakan hukum
pidana.
Sistem peradilan pidana didalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem
pendukungnya yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan
yang secara keseluruhan dan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha mentrasformasikan
masukan (input) menjadi keluar (output) yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana yang
berupa resosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka
menengah) dan kesehjateraan sosial (jangka panjang).13
Sebagai subsistem didalam sistem peradilan pidana (SPP), maka masing-masing aparat
penegak hukum telah memiliki undang-undang yang menjadi dasar dalam menjalankan tugas
pokok, wewenang dan fungsi serta tujuan dari lembaga aparat penegak hukum. Tidak jarang
keberadaan masing-masing undang-undang yang bersifat sektoral mengatur secara berbeda
dengan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) tentang siapa yang berwenang
dalam menjalankan wewenang tertentu. Misalnya di dalam perkara pelanggar berat HAM diatur
dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang mengatur secara khusus dalam
sistem peradilan pidananya.
Dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenang bagi para penegak hukum khusunya
hakim dalam menerapkan sanksi hukum bagi para pelaku pelanggar berat HAM sebagai
kejahatan yang serius. Pengadilan HAM sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana dalam
menyelesaikan pelanggaran berat HAM haruslah dihormati independensinya sebagai lembaga
negara.
13 Muladi, op.cit,hlm. 62.
Karena kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi
Indonesia sebagai negara hukum. Prinsip negara hukum menghendaki kekuasaan kehakiman
yang bebas dari campur tangan pihak manapunatau bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan
tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidak keberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali
tehadap hukum dan keadilan.14
Dalam proses penegakan hukum untuk mewujudkan peradilan yang efektif dan
independen bagi pencapaian hak korban atas keadilan, yaitu bersumber pada Pasal 2 Konvenan
Hak Sipol yang mengharuskan agar mengambil langkah-langkah efektif guna memberi
pemulihan atas hak yang telah dilanggar pada korban. Hal ini sesuai dengan pengaturan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 8 yang menyatakan bahwa :
“setiap orang berhak atas penyelesaian yang efektif oleh peradilan nasional yang kompeten,
terhadap tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak mendasar yang diberikan padanya oleh
konstitusi atau oleh hukum”.
Hal tersebut diatas sesuai dengan pandangan A. Mukti Arto, bahwa hal yang diharapkan oleh
pencari keadilan terhadap pengadilan adalah :15
1. Mendapatkan perlakuan yang adil dan manusiawi;
2. Mendapatkan pelayanan yang simpatik dan bantuan yang diperlukan;
3. Mendapatkan penyelesaian atas perkaranya itu secara efektif, efesien, tuntas dan final
sehingga memuaskan.
Harapan pencari keadilan sebagaimana digambarkan oleh A. Mukti Arto tersebut, memang
tidak berlebihan, sebab hukum harus dapat mengakomodasi keadilan dan kepastian hukum dan 14 Moh. Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum, Pidana Umum dan Pidana Khusus, Liberty
Yogyakarta, Yogyakarta, 2009 hlm. 104.15 A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Kritik dan Solusi terhadap Praktik Peradilan Perdata di Indonesia,
Pustaka Pelajar, Jakarta, 2001, hlm. 6.
kemanfaatan. Hal ini penting untuk mewujudkan sebuah sistem peradilan pidana khususnya yang
terintegrasi atau terpadu dalam kerangka demokratisasi penegakan hukum pidana. Efektivitas
dan efesiensi tujuan hukum yang termanifestasi dalam produk keputusan hakim dalam proses
sidang pengadilan adalah tujuan dari kepastian hukum dan keadilan. Oleh kareana itu dalam
proses penegakan hukum khususnya dalam perkara pelanggar berat HAM, bagi para pelaku
pelanggar HAM tersebut harus dituntut dan diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yaitu salah satunya Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
A. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Dalam melakukan penelitian skripsi ini, penulis mempergunakan metode penelitian yang
bersifat deskriptif analitis yaitu suatu metode yang bertujuan untuk melukiskan atau
menggambarkan fakta-fakta yang berupa data dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, berdasarkan hasil analisis.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu
penelitian di bidang hukum yang dikonsepsikan terhadap asas-asas, norma-norma, dogma-dogma
atau kaidah-kaidah hukum yang merupakan patokan atau aturan tingkah laku.
Dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji ketentuan peraturan perundang-
undangan dengan tetap mengarah kepada permasalahan yang ada sekaligus meneliti
implementasinya dalam praktik.
Metode pendekatan ini diperlukan karena data yang digunakan adalah data sekunder yang
diperoleh dengan cara studi kepustakaan yang penelusuran bahan-bahan dari buku, literatur,
artikel, situs internet dan aturan hukum yang terkait dengan penerapan pidana minimum khusus
dalam perkara pelanggaran berat HAM.
3. Tahapan penelitian
Berkenaan dengan digunakannya metode pendekatan yuridis normatif. maka Penelitian
ini dilakukan melalui dua tahapan yaitu:
a. Penelitian kepustakaan (Library research) yaitu penelitian yang dilakukan
untuk memperoleh data sekunder dengan cara mengumpulkan literatur yang
kemudian diambil hal-hal yang penting guna membahas dan memperjelas
permasalahan dalam penelitian. Adapun data sekunder terdiri dari :
1. Bahan hukum primer, berupa Undang-undang Dasar 1945, peraturan
perundang-undangan seperti UU Pengadilan HAM.
2. Bahan hukum sekunder, mengacu pada buku-buku yang berisi tentang
pandangan hukum yang terkait dengan penerapan pidana minimum khusus
dalam perkara pelanggaran berat HAM.
3. Bahan tersier yang berasal dari makalah-makalah, internet, surat kabar dan
sejenisnya seperti surat keputusan dari departemen terkait serta segala
informasi yang dapat mendukung bahan hukum primer dan sekunder
sehingga masalah tersebut dapat dipahami secara komprehensif.
b. Penelitian lapangan (field research) yaitu studi dengan mengadakan penelitian
langsung yang dilakukan untuk memperoleh data primer berupa fakta-fakta
yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Penulisan ini akan
dilakukan di berbagai tempat dan instansi-instansi yang sekirannya
berhubungan dengan objek penelitian sehingga berbagai data yang sudah ada
dapat menganalisis fakta-fakta yang terjadi. Apakah sudah sesuai antara yang
seharusnya dengan apa yang terjadi (antara dus sollen dengan dus sein).
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui penelitian kepustakaan atau
dokumen dan melalui penelitian lapangan yaitu sebagai berikut :
a. Studi dokumen yaitu melakukan penelitian kepustakaan terhadap data sekunder
yaitu dengan mempelajari buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan
pembahasan, setelah itu menghubungkannya dengan UU Pengadilan HAM.
Kemudian meneliti dan mengkaji sumber-sumber tersebut guna memperjelas
pembahasan.
b. Studi lapangan yaitu pengumpulan data melalui aktivitas-aktivitas lapangan guna
diperolehnya fakta-fakta yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti,
salah satunya dengan wawancara.
5. Alat Pengumpul data
a. Data Kepustakaan
Peneliti sebagai insrtumen utama dalam pengumpulan data kepustakaan dengan
menggunakan alat tulis untuk mencatat bahan-bahan yang diperlukan kedalam buku
catatan, kemudian alat elektronik (comuputer) untuk mengetik dan menyusun bahan-
bahan yang telah diperoleh.
b. Data Lapangan
Melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan permasalahan
yang akan diteliti dengan menggunakan pedoman wawancara terstruktur (Directive
Interview) atau pedoman wawancara bebas (Non directive Interview) serta
menggunakan alat perekam suara (voice recorder) untuk merekam wawancara terkait
dengan permasalahan yang akan diteliti.
6. Analisis Data
Sesuai dengan metode pendekatan yang diterapkan, maka data yang diperoleh untuk
penulisan skripsi ini dianalisis secara yuridis kualitatif, yaitu:
a. Dengan memperhatikan tata urutan perundang-undangan, maka ketentuan
perundang-undangan yang satu dengan yang lain tidak boleh bertentangan.
b. Kepastian hukum, yaitu perundang-undangan yang diteliti telah dilaksanakan.
Kesemuanya dianalisis tanpa menggunakan data statistik atau rumus statistik.
7. Lokasi Penelitian
Dalam rangka penyusunan skripsi ini maka penulis sengaja memilih lokasi yang
dipandang lebih sesuai, antara lain:
a. Perpustakaan :
1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Jalan Lengkong
Dalam No. 17 Bandung;
2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Jalan Imam Bonjol
No.21 Bandung;
3) Perpustakaan Universitas Islam Bandung, Jalan Taman Sari No.1 Bandung;
4) Perpustakaan Universitas Katholik Parahyangan, Jalan Ciumbuleuit No.94 Bandung.
b. Instansi :
1) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Jalan Latuharhang No.4-B
Menteng Jakarta Pusat.
2) Pengadilan HAM Negeri I Jakarta Pusat. Jalan Gajah Mada No.17 Jakarta Pusat.