Upload
thoriq-zafi
View
25
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
dari zaman nabi sampai abubakar
Citation preview
SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR'AN
BAB I
PENDAHULUAN
Ad-Dair’aquli di dalam kitab Fawaidnya mengatakan: telah menceritakan kepada kami Ibrahim
bin Bisyar, (ia berkata): telah menceritakan kepada kami Sufyan Ibn ‘Uyainah, dari Az-Zuhri,
dari ‘Ubaid, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Qubidha annabiyyu saw walam yakun Al-Qur’an
jumi’afisyai” (Nabi saw telah diambil (Allah), sedangkan Al-Qur’an belum dikumpulkan pada
sesuatu).
Imam Al-Khathabi mengatakan, “Adanya Al-Qur’an yang belum dihimpun oleh Nabi saw di
dalam mushaf dikarenakan adanya ayat yang dinantikan, yaitu (ayat-ayat) yang me-nasikh
sebagai hukum-hukumnya atau tilawahnya. Tetapi ketika telah selesai (sempurna) turunnya
dengan wafatnya Nabi saw maka Allah memberikan ilham kepada Khulafaurrasyidin untuk
melakukan itu, sebagai bukti terhadap janji Allah untuk memelihara kitab-Nya pada umat ini.
Maka sebagai permulaannya adalah ada ditangan Abu Bakar ash-Shiddiq atas usulan Umar bin
Khattab.
Adapun riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang
berkata: Rasulullah saw bersabda, “Laa taktubuu ‘annii syai’an ghairal Qur’an...,” ini tidak
bertentangan dengan hal di atas, karena perintah untuk menulis memiliki penulisan secara khusus
dengan cara yang khusus pula. Al-Qur’an telah ditulis semuanya pada masa Rasulullah saw,
tetapi belum dihimpin dalam satu mushaf dan belum terangkai surat-suratnya secara berurutan.
Imam Al-Hakim di dalam kitabnya, Al-Mustadrak, mengatakan, “Al-Qur’an telah dihimpun
(ditulis) dalam tiga tahapan sebagai berikut: Penulisan Al-Qur’an pada masa Rasulullah,
penulisan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, dan penulisan Al-Qur’an pada masa Utsman bin
Affan yang akan dibahas pada pembahasan berikut.1[1]
1[1] Imam Suyuthi. Studi Al-Qur’an Komprehensif. (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008) hlm 243-244
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kodifikasi Al-Qur’an Zaman Rasulullah
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari sebuah atau berupa
sebuah surat yang pendek secara lengkap. Dan penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan
memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 13 tahun waktu Nabi masih tinggal di Mekkah
sebelum hijriyah dan 10 tahun waktu Nabi sesudah hijrah ke Madinah.
Wahyu ilahi yang diturunkan sebelum hijrah tersebut disebut ayat Makiyah merupakan 19/30
dari Al-Qur’an, surat dan ayat-ayatnya pendek-pendek dan gaya bahasanya singkat padat (ijaz),
karena sasaran yang pertama-tama dan utama pada periode Mekkah ini adalah orang-orang Arab
asli (suku Quraisy dan suku-suku Arab lainnya) yang sudah tentu mereka paham benar akan
bahasa Arab. Mengenai isi surat ayat Makkiyah pada pada umumnya berupa ajakan/seruan untuk
bertauhid yang murni atau Ketuhanan Yang Maha Esa secara murni dan juga pembinaan mental
dan akhlak.
Adapun wahyu ilahi yang diturunkan sesudah hijrah disebut surat/ayat Madaniyah dan
merupakan 11/30 dari Al-Qur’an. Surat dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasaya
panjang lebar dan lebih jelas, karena sasarannya bukan hanya orang-orang Arab asli, melainkan
juga non Arab dari berbagai bangsa yang telah mulai banyak masuk Islam dan sudah tentu
mereka kurang/belum menguasai bahasa Arab. Mengenai isi surat-surat/ayat-ayat Madaniyah
pada umumnya berupa norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan suatu
masyarakat/umat Islam dan negara yang adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.2[2]
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad pada malam Qadar tanggal 17 Ramadhan
pada waktu Nabi telah berusia 41 tahun bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Wahyu
yang pertama-tama diterima oleh Nabi adalah ayat 1-5 surat Al-‘Alaq, pada waktu Nabi sedang
berada di gua Hira, sedang wahyu yang terakhir adalah surat Al-Maidah: 3, pada waktu Nabi
sedang berwukuf di Arafah melakukan Haji Wada’ pada tanggal 9 Djulhijjah tahun kesepuluh
2[2] Masjfuk Zuhdi. Pengantar Ulumul Qur’an. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980) hlm 13-14
Hijriyah 7 Maret 632 M. Antara wahyu pertama dan wahyu terakhir yang diterima Nabi
berselang kurang lebih 23 tahun.3[3]
Pada masa Nabi, setiap wahyu yang turun, satu ayat atau lebih, terlebih dahulu Nabi Muhammad
memahami dan menghafalkannya, kemudian disampaikan dan diajarkan kepada para sahabatnya
pesis seperti apa yang diterimanya, tanpa ada perubahan dan penggantian sedikitpun. Selanjutnya
Rasulullah menganjurkan kepada para sahabat yang telah menerima ayat-ayat itu untuk
menghafalkannya dan meneruskannya pula kepada para pengikutnya.
Selain itu wahyu tersebut ditulis dan dicatat oleh dewan penulis wahyu yang disebut Khuttab al-
Wahy yang telah dibentuk oleh Rasulullah. Mereka ini terdiri dari para sahabat yang telah dapat
menulis dan membaca, baik dari golongan Muhajirin ataupun Anshar, baik ketika masih berada
di Mekkah maupun di Madinah. Para penulis wahyu tersebut tersebut ialah Abu Bakar Ash-
Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Amer bin
Al-‘Ash, Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Abi Sufyan, Al-Mughirah bin Syu’bah, Zubair
bin Al-‘Awwam, Khalid bin Walid, Al-‘Ala Al-Hadhramiy, Muhammad bin Salamah, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Tsabit bin Qais ibn Syammas. Para penulis wahyu ini menurut
orientalis Blacherc dalam kutipannya Masyfuk Zuhdi berjumlah 40 oarang, demikian pula
Maulana Muhammad Ali menurut kutipan Rif’at Syauqi dan Muhammad Ali Hasan
menyebutkan sejumlah itu.4[4]
Alat-alat yang mereka gunakan kalau tidak dikatakan primitif masih sangat sederhana. Para
sahabat menulis Al-Qur’an pada ‘usub (pelapah kurma), likhaf (batu halus berwarna putih), riqa’
(kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab (bantalan dari kayu yang biasa dipasang di atas punggung
unta). Salah seorang “jurnalis” wahyu yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah, yaitu Zaid
bin Tsabit menuturkan pengalamannya dalam riwayat Al-Bukhari sebagai berikut: “Dahulu kami
di sisi Rasulullah menyusun Al-Qur’an dari riqa’. Aku mengumpulkannya dari riqa’, aktaf
(tulang unta) dan hafalan-hafalan orang”.
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Al-Qur’an dengan lainnya,
misalnya hadis Rasulullah, maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat menulis apapun
selain Al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat dari hadis riwayat Muslim dari Abi Sa’id Al-Khudriy yang
berbunyi:
3[3] Ibid.
4[4] A. Chairudji Abd. Chalik. Ulumul Qur’an. (Jakarta: Diadit Media, 2007) hlm 47-48
( مسلم ( رواه فليمحه القران غير عني كتب ومن القران غير عني التكتبوا
Janganlah kalian tulis dariku sesuatu kecuali Al-Qur’an. Barangsiapa yang telah menulis dari (sumberku) selain
Al-Qur’an supaya menghapusnya.
Larangan Rasulullah untuk tidak menuliskan selain Al-Qur’an ini, oleh Dr. Adnan Muhammad
Zarzur dipahami sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjamin nilai-nilai akurasi
AL-Qur’an. (Ulumul Qur’an, Madkhul ila Tafsir Al-Qur’an wa Bayan I’jazihi, hal 86). Setiap
kali turun ayat Al-Qur’an Rasulullah memanggil “jurnalis” wahyu. Hal ini bisa disimak pada
hadis riwayat Imam Ahmad yang dinyatakan shahih oleh Ibn Hibban dan Al-Hakim, dari
Abdullahbin Abbas, dari Utsman bin Affan.5[5]
Kepada para penulis wahyu ini Rasul menunjuk letak masing-masing ayat yang akan mereka
tuliskan, yaitu di dalam surat mana, sebelum atau sesudah ayat mana. Hal ini disebabkan susunan
ayat itu tidak kronologis, sebab kebanyakan surat tidaklah diturunkan sekaligus komplit.
Seringkali suatu surat belum selesai diturunkan semua ayat-ayatnya telah disusuli pula oleh
surat-surat lainnya, sehingga apabila turun, Rasulullah lalu menunjukkan letak ayat itu. Apabila
suatu surah telah lengkap diturunkan semua ayat-ayatnya Rasulullah lalu memberikan nama
untuk surat itu, dan untuk memisahkan antara suatu surat dengan surat sebelumnya atau
sesudahnya, Rasulullah menyuruh letakkan lafazh basmalah pada awal masing-masing surat itu.
Tertib urut ayat-ayat dalam masing-masing surat itu dikokohkan pula oleh Nabi sendiri dengan
bacaan-bacaannya dalam waktu shalat ataupun di luar shalat.6[6]
Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra, ia berkata:
الرقاع من القران نؤلف الله رسول عند كنا
Kami di sisi Rasulullah saw mengumpulkan Al-Qur’an dari kulit.
Maksudnya mengumpulkan Al-Qur’an dengan mengurutkan ayat-ayatnya, sesuai dengan
petunjuk Rasululllah saw dan perintah (wahyu) dari Allah swt. Oleh sebab itu, para ulama
bersepakat bahwa pengumpulan AL-Qur’an adalah bersifat “tauqifi”. Yaitu bahwa urutannya
sedemikian rupa seperti yang kita lihat saat ini, adalah berdasarkan perintah dari wahyu Allah
swt.
Telah diceritakan bahwa Jibril as turun membawa satu atau beberapa ayat kepada Nabi saw. Ia
berkata kepada beliau: “Hai Muhammad! Allah swt memerintahkan kepadamu supaya kamu
5[5] Kamaluddin Marzuki. Ulum Al-Qur’an (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) hlm 67-68
6[6] A. Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 49
meletakkan ayat ini pada permulaan ini dari sudut ini.” Demikian pula Rasulullah saw berkata
kepada para sahabat: “Letakkan ayat itu pada tempat ini.”7[7]
Untuk memperhebat dan memperlancar penulisan Al-Qur’an Rasulullah menggerakkan kaum
muslimin untuk memberantas buta huruf. Berbagai cara dan usaha telah dilakukan Rasulullah
dalam hal ini, antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang telah pandai
menulis dan membaca.
Rasulullah saw bersabda:
الشهداء بدم العلماء مداد القيامة يوم يوزن
Pada hari kiamat tinta para ulama ditimbang dengan darah para syuhada.
Berdasarkan hadis ini berarti orang-orang yang pandai tulis baca ditempatkan sederajat dengan
para pahlawan yang mati syahid di medan pertempuran.
2. Rasulullah menggunakan tenaga para tawanan perang dalam usaha pemberantasan buta huruf.
3. Setiap kali ayat-ayat turun, Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabat dan menyuruh
mereka menghafalkannya.8[8]
Mengenai penulisan Al-qur’an di masa Rasulullah, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Tadwin Al-Qur’an, telah terjadi pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah
dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya belum
tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu
kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya.
Al-Suyuti mengatakan:
مجموع غير لكن وسلم عليه الله صلي الله رسول عهد في كله كتب القران كان وقد
السور مرتب وال واحد موضع في
Al-Qur’an betul-betul talah ditulis seluruhnya (dengan lengkap) pada masa Rasulullah saw, hanya saja belum
terhimpun dalam satu bahan yang seragam dan surat-suratnya pun belum tersusun urut (seperti yang dapat dilihat
sekarang ini).
2. Kegiatan-kegiatan dalam mentadwinkan Al-Qur’an di masa Rasulullah itu menurut yang
diterangkan oleh riwayat-riwayat adalah terjadi dalam periode yang kedua, yaitu periode
7[7] M. Qodirun Nur. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. (Jakarta: Pustaka Amani, 2001) hlm 80
8[8] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 50-51
Madaniy, sedang dalam periode pertama belumlah begitu tampak, walaupun telah ada juga
lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an itu.9[9]
Jadi setiap kali menerima wahyu Al-Qur’an, kata Ibnu Katsir ketika menjelaskan pengertian ayat
16-20 surah Al-Qiyamah, ada tiga tahap penting yang dilalui Rasulullah, yaitu:
Pertama, tahap penghimpunan Al-Qur’an dibentuk Rasulullah yakni penghafalan.
Kedua, tahap pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Artinya Jibril membacakan ayat-ayat yang baru
saja ia sampaikan di hadapan Raulullah.
Ketiga, tahap penjelasan atau tahap bayan. Pada tahap yang terakhir ini Rasulullah diberitahukan
pengertian atau maksud ayat yang beliau terima.10[10]
Suhuf Al-Qur’an yang disimpan di rumah Nabi dan diperkuat dengan nasakh-nasakh Qur’an
yang dibuat oleh para penulis wahyu untuk pribadi masing-masing serta ditunjang oleh hafalan
para sahabat yang hafidz Al-Qur’an yang tidak sedikit jumlahnya, maka semuanya itu dapat
menjamin Al-Qur’an tetap terpelihara secara lengkap dan murni, sesuai dengan janji Allah swt
dalam surat Al-Hijr: 9, yang artinya: “Sesungguhnya Aku telah menurunkan peringatan (Al-
Qur’an) dan sesungguhnya Aku telah memeliharanya/mengamankannya”.11[11]
B. Kodifikasi Al-Qur’an Zaman Khalifah Abu Bakar Al-Siddiq
Al-Qur’an telah selesai diturunkan semuanya pada tanggal 19 Dzulhijjah tahun ke-10 H, yaitu
dengan turunnya ayat yang terakhir di Arafah ketika Rasulullah mengerjakan Haji Wada’, kira-
kira 81 malam sebelum wafatnya.
Setelah Rasul wafat, timbullah kekacauan di Jazirah Arab, karena beberapa orang dari pemimpin
qibalah mengadakan pemberontakan. Mereka berusaha mempengaruhi rakyat supaya turut pula
dalam pemberontakan itu. Tujuannya pemberontakan ini bermacam-macam, antara lain:
1. Karena ingin membebaskan diri mereka dari tuntutan-tuntutan agama Islam.
9[9] Ibid. hlm 53-54
10[10] Kamaluddin Marzuki. Loc.cit. hlm 62-63
11[11] Masjfuk Zuhdi. Loc.cit. hlm 16
2. Di antara mereka ada yang ingin mendapatkan kekuasaan dan pengaruh. Mereka ini adalah
Musailamah Al-Kadzdzab dari suku Bani Hanifah di Yamamah, Sajah dari suku Bani Taghlab
dan Tamim, Thulaihah ibn Khuwailid dari suku Bani As’ad, dan Al-Aswad Al-Anasi di Yamah.
3. Orang-orang yang hanya ke luar dari agama Islam tapi tidak mengadakan tindakan-tindakan lain
yang bersifat memusuhi Islam dan kaum Muslimin.12[12]
Untuk memadamkan pemberontakan ini, maka khalifah Abu Bakar yang baru saja terpilih
sesudah wafat Rasulullah, membentuk 11 pasukan tentara yang masing-masing dipimpin oleh
seorang amir (panglima), antara lain Khalid ibn Walid. Tapi walaupun demikian tidaklah sedikit
korban yang jatuh. 360 orang dari golongan Anshar dan 300 orang dari golongan Muhajirin,
termasuk di dalamnya 70 para qurra. Pertempuran di Yamamah ini mencemaskan pemimpin
Islam di Madinah, terutama Umar ibn Khattab. Ia khawatir kalau-kalau pertempuran semacam
itu terjadi lagi ditempat lain yang mengakibatkan pula gugurnya para qurra. Hal ini akan
mengakibatkan habisnya secara berangsur-angsur orang yang hafal Qur’an. Kalau ini benar-
benar terjadi demikian, niscaya Al-Qur’an tidak akan lagi terpelihara dengan semestinya. Ini
disebabkan karena yang menjadi faktor pertama di masa itu dalam memelihara Al-Qur’an ialah
hafalan mereka. Umar lalu mengusulkan kepada Abu Bakar supaya mengeluarkan perintah untuk
mengumpulkan Al-Qur’an itu. Pada mulanya terjadi perbedaan pendapat, Umar di satu pihak dan
Abu Bakar dan Zaid di pihak lain. Akhirnya setelah diadakan musyawarah dan menugaskan
kepada Zaid untuk melaksanakan pengumpulan Al-Qur’an itu. Tugas ini dilaksanakan oleh Zaid
dengan sangat teliti.13[13]
Zaid sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini, sekalipun ia seorang penulis wahyu yang
utama dan hafal Al-Qur’an. Ia dalam menjalankan tugasnya berpegangan dengan dua hal, yaitu:
1. Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi dan disimpan di rumah Nabi.
2. Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz Al-Qur’an.
Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali kalau disaksikan dengan dua
orang saksi yang adil bahwa ayat itu benar-benar ditulis di hadapan Nabi atas
perintah/petunjuknya.
12[12] Chairudji Abd. Chalik. Loc.cit. hlm 54-56
13[13] Ibid.
Tugas menghimpun Al-Qur’an itu dapat dilaksanakan oleh Zaid dalam waktu kurang lebih 1
tahun, yakni antara sesudah terjadi perang Yamamah dan sebelum wafatnya Abu Bakar.14[14]
Al-Qur’an itu bukan saja dari tulisan-tulisan yang telah ada pada lembaran-lembaran yang telah
disebutkan di atas, bahkan juga didengarkan pula dari mulut orang-orang yang hafal Al-Qur’an,
kemudian dituliskan kembali pada lembaran-lembaran yang baru, dengan susunan ayat-ayatnya
tetapi seperti yang ditunjukkan Rasulullah. Lembaran-lembaran ini kemudian diikat menjadi
satu, lalu diberi nama Mushhaf, dan disimpan sendiri oleh khalifah Abu Bakar, kemudian oleh
khalifah Umar.
Maka faedah yang nyata dalam pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-
Qur’an itu terkumpul di dalam satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam,
baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan
Rasulullah. Adanya mushhasf ini telah dapat menentramkan hati kaum muslimin, bahwa Al-
Qur’an itu akan lebih terpelihara, dapat dihindarkan dari bahaya penambahan, pengurangan atau
pemalsuan atau kehilangan sebagian ayat-ayatnya. Mushhaf ini disimpan oleh khalifah Abu
Bakar sendiri.15[15]
Lembaran-lembaran AlQur’an yang dikumpulakn menjadi satu mushhaf pada zaman Abu Bakar
mempunyai beberapa segi kelebihan yang amat penting:
1. Penelitian yang sangat berhati-hati, detail, cermat dan sempurna.
2. Yang ditulis pada mushhaf hanya ayat yang sudah jelas tidak di nasakh bacaannya.
3. Telah menjadi ilma’ umat secara mutawatir bahwa yang tercatat itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4. Mushhaf itu memiliki Qira-ah Sab’ah yang dinuqil secara shahih.16[16]
Tidak syak, ketiga tokohyang disebut di atas berperan penting dalam pengumpulan Al-Qur’an.
Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentu punya
arti tersendiri. Dan Zaid sudah barang tentu mendapat kehormatan besar, karena ia dipercaya
menghimpun Kitab Suci Al-Qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan dan ketelitian juga
kerja keras. Tak bisa disangkal dalam hal ini khalifah Abu Bakar sebagai decision maker
menduduki posisi tersendiri. Tak berlebihan bial Ali bin Abi Thalib memujinya dengan
14[14] Masjfuk Zuhdi. Op.cit. hlm 16-17
15[15] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 56-58
16[16] M. Qodirun Nur. Loc.cit. hlm 86
mengatakan: ”Orang yang paling besar pahalanya di dalam masalah mushhaf adalah Abu Bakar.
Dialah orang yang pertama yang (mengambil keputusan) mengumpulkan kitab Allah”.17[17]
C. Kodifikasi Al-Qur’an Zaman Khalifah Usman bin Affan
Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman tidak sebagaimana mestinya, sebab
yang melatarbelakangi pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar. Pada masa Usman ini
Islam telah tersebar luas. Kaum muslimin hidup berpencar diberbagai penjuru kota maupun
pelosok. Di setiap kampung terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an kepada
penduduk kampung itu. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubai bin Kaab. Penduduk Kufah
memakai qira’ah Abdullah bin Mas’ud, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa Al-
Asy’ari. Maka tidak diragukan lagi timbul perbedaan bentuk qira’ah dikalangan mereka,
sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan
terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah
tersebut.18[18]
Perbedaan tersebut ialah:
1. Perbedaan mengenai susunan surat. Naskah-naskah yang mereka miliki itu tidak sama susunan
atau tertib urut surat-suratnya. Hal ini disebabkan karena Rasulullah sendiri memang tidak
memerintahkan supaya surat-surat Al-Qur’an itu disusun menurut tertib umat tertentu, karena
masing-masing surat itu pada hakikatnya adalah berdiri sendiri, seingga seolah-olah Al-Qur’an
itu terdiri dari 114 kitab. Rasulullah hanya menetapkan tertib urut ayat dalam masing-masing
surat itu.
2. Perbedaan mengenai bacaan. Asal mula pertikaian bacaan ini adalah karena Rasulullah sendiri
memang memberikan kelonggaran kepada qabilah-qabilah Islam di Jazirah Arab untuk membaca
dan melafadzkan ayat-ayat Al-Qur’an itu menurut dealek mereka masing-masing. Kelonggaran
ini diberikan oleh Rasulullah agar mudah bagi mereka untuk membaca dan menghafalkan Al-
Qur’an itu, tetapi kemudian kelihatanlah tanda-tanda bahwa pertikaian tentang qiraat itu, kalau
dibiarkan berlangsung terus, tentu akan mendatangkan perpecahan yang lebih luas dikalangan
kaum kuslimin, terutama karena masing-masing qabilah menganggap bahwa bacaan merekalah
17[17] Kamaluddin Marzuki. Loc.cit. hlm 69-70
18[18] M. Qodirun Nur. Op.cit. hlm 89
yang paling baik dan ejaan merekalah yang paling betul. Lebih berbahaya lagi apabila mereka
menuliskan ayat-ayat itu dengan ejaan yang sesuai dengan dealek mereka masing-masing.19[19]
Orang yang mula-mula mensinyalir dan menumpahkan perhatian kepada keadaan ini ialah
seorang sahabat bernama Hudzaifah Al-Yamani. Ia ikut dalam pertempuran, ketika kaum
muslimin menaklukkan Armenia dan Azarbaijan. Di dalam perjalanan ia pernah mendengar
perbedaan qiraat kaum muslimin, bahkan ia pernah menyaksikan dua orang muslim sedang
bertengkar mengenai bacaan tersebut, di mana yang seorang berkata kepada yang lain: قراءتي
قراءتك من Bacaanku lebih baik dari pada bacaanmu”. Hudzaifah merasa khawatir” أحسن
melihat kenyataan ini, sebab itu ketika ia kembali ke Madinah, ia menghadap khalifah Usman
dan melaporkan apa-apa yang telah dilihat dan didengarnya. Mengenai perbedaan qiraat itu
Hudzaifah berkata (Al-Suyuti, I, 1979:61):
النصاري و اليهود إختالف يختلفوا أن قبل مة اآل أدرك
Tertibkanlah umat, sebelum mereka berselisih seperti perselisihannya orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Usul Hudzaifah ini diterima khalifah Usman.20[20] Itulah sebabnya, Usman kemudian berpikir
dan merencanakan untuk membendung sebelum kegilaan itu meluas. Beliau akan mengusir
penyakit sebelum kesulitan mencari obat. Kemudian beliau mengumpulkan para sahabat yang
alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan meredakan fitnah dan
persengketaan itu.
Usman ra telah melaksanakan ketetapan yang bijaksana ini. Beliau memilih empat orang tokoh
handal dari sahabat pilihan. Mereka adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘Ash
dan Abdurrahman bin Hisyam. Mereka dari suku Quraisy golongan Muhajirin, kecuali Zaid, ia
dari golongan Anshar. Usaha yang amat mulia ini berlangsung pada tahun 24 H.21[21]
Tugas panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an, yaitu menuliskan atau menyalin kembali ayat-
ayat Al-Qur’an itu dari lembaran-lembaran yang telah ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga
menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin
sebagai sumber bacaan dan hafalan mereka.
Kepada panitia ini khalifah Usman memberikan patokan-patokan sebagai berikut:
19[19] Chairudji Abd. Chalik. Loc.cit. hlm 60-62
20[20] Ibid.
21[21] M. Qodirun Nur. Op.cit. hlm 90
1. Supaya panita itu berpedoman kepada bacaan orang-orang yang hafal Al-Qur’an, di samping
tulisan-tulisan yang ada pada mushhaf Abu Bakar.
2. Jika terjadi pertikaian, antara panitia itu sendiri tentang bacaan Al-Qur’an, maka panitia
hendaklah menuliskannya menurut dealek suku Quraisy, karena Al-Qur’an itu diturunkan
menurut dealek mereka.
Setelah panitia itu selesai mengerjakan tugasnya, maka naskah yang dipinjam dari Hafsah
dikembalikan kepadanya. Kemudian Usman memerintahkan untuk mengumpulkan dan
membakar semua lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an, selain dari
lembaran-lembaran yang ada pada mushhaf, dan naskah-naskah yang baru ditulis oleh panitia.
Panitia tersebut menulis sebanyak 5 buah mushhaf. 4 buah di antaranya dikirimkan ke daerah-
daerah, yaitu Mekkah, Syiria, Basrah, Kufah, dan yang satu lagi tetap di Madinah untuk khalifah
Usman. Inilah yang dinamakan mushhaf Usman atau mushhaf Al-Imam.22[22]
Kini tinggal satu lagi usaha, yaitu membakar mushhaf lainnya. Ia khawatir, kalau-kalau mushhaf
yang bukan salinan “Panitia Empat” itu tetap beredar. Padahal pada mushhaf-mushaf yang
peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan Al-Qur’an. Karena merupakan
catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di situ terdapat juga beberapa kalimat yang merupakan
tafsiran dan bukan Kalam Allah.
Usman memutuskan agar mushhaf-mushhaf yang beredar adalah mushhaf yang memenuhi
persyaratan berikut:
1. Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
2. Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di
hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
3. Kronologi surah dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushhaf Abu Bakar
yang susunan surahnya berbeda dengan mushhaf Usman.
4. Sistem penulisan yang digunakan mushhaf mampu mencakupi qiraat yang berbeda sesuai
dengan lafadz-lafadz Al-Qur’an ketika turun.
5. Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis dimushhaf sebagian
sahabat, di mana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushhaf, atau penjelasan Nasikh-
Mansukh.23[23]
22[22] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 62-63
23[23] Kamaluddin Marzuki. Loc.cit. hlm 76
Adapun manfaat dari usaha penulisan kembali Al-Qur’an di masa khalifah Usman ini, di
antaranya:
1. Kaum muslimin telah dapat disatukan dalam mushhaf-mushhaf yang seragam ejaan tulisannya.
2. Mereka juga dapat disatukan pada qiraat yang sama yang tidak menyalahi ejaan tulisan pada
mushhaf itu, walaupun setelah wafatnya khalifah Usman sampai sekarang ini masih tetap ada
bermacam-macam qiraat, namun qiraat-qiraat itu adalah yang telah diakui kebenarannya dan
diriwayatkan dengan mutawatir dari Rasulullah, dan tidak pula berlawanan dengan ejaan tulisan
pada mushhaf Usman itu. Adapun qiraat-qiraat yang tidak sesuai dengan ejaan tulisan itu telah
dapat dilenyapkan.
3. Kaum muslimin dapat pula disatukan mengenai susunan surat pada mushhaf-mushhaf mereka.
Dengan demikian dapatlah dihindarkan bahaya yang lebih besar, sebab kalau susunan mushhaf
itu tidak seragam di mana-mana tentulah akan timbul keragu-raguan pada generasi yang akan
datang kemudian tentang kebenaran Al-Qur’an itu.
4. Dengan adanya 5 buah nushhaf yang resmi itu, maka kaum muslimin telah mempunyai standar
yang akan menjadi pedoman mereka dalam membaca, menghafal dan memperbanyak mushhaf-
mushhaf Al-Qur’an itu, sehingga penyiaran dan pemeliharaan Al-Quran itu lebih baik dan lebih
terjamin keasliannya.24[24]
D. Persamaan dan Perbedaan Proses Kodifikasi
Pengumpulan Al-Qur’an oleh Abu Bakar berbeda dengan yang dilakukan oleh Usman. Dari
uraian di atas kita dapat membedakan yang dilakukan oleh kedua khalifah itu.
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah memindahkan ayat-ayat Al-Qur’an dari
pelapah kurma, kulit, dan daun ke dalam satu mushhaf. Sementara sebab pengumpulannya
adalah karena gugurnya para huffadzh. Sedang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman
adalah sekedar memperbanyak salinan mushhaf yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar
untuk dikirimkan ke berbagai wilayah Islam. Adapun sebab pengumpulan Al-Qur’an adalah
terjadinya perbedaan qiraah dalam membaca Al-Qur’an. Wallahu A’lam Bishshawab.25[25]
24[24] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 64-65
25[25] M. Qodirun Nur. Loc.cit. hlm 91-92
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dari penjelasan di atas yaitu:
1. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah
dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya belum
tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu
kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya.
2. Pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam
satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam, baik bahannya maupun
ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan Rasulullah.
3. Pengumpulan AL-Qur’an pada masa Usman bin Affan adalah menyeragamkan bacaan Al-
Qur’an dengan jalan menyeragamkan penulisannya kemudian membukukannya dengan
menyalinkan kembali ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga
menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin
sebagai sumber bacaan dan hafalan lalu diperbanyak dan dikirimkan ke daerah-daerah.